Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI BLOK 6

“Bentuk Sediaan Obat”

DISUSUN OLEH:
NAMA KELOMPOK

HUZREEN SOFEA BINTI ZAKARIA


(190600222)
YASMEEN AMELIN BINTI BADRUL SHAM
(190600223)
YULIA FARAH NABILA BINTI YULIAFARTA
(190600224)
NUR ADILLA ATASYA BINTI RIDZUAN
(190600225)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kita, sehingga tugas makalah praktikum tentang bentuk sediaan obat dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini juga sebagai tugas yang harus dikerjakan untuk sarana
pembelajaran bagi kita.
Makalah ini kami buat berdasarkan apa yang telah kami terima dan juga kami kutip dari
berbagi sumber baik dari buku maupun dari media elektronik. Semoga isi dari makalah ini
dapat berguna bagi kita dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa
saja yang ada dalam bentuk sediaan obat.
Selayaknya manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan, maka dalam
pembuatan makalah ini masih banyak yang harus di koreksi dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat dianjurkan guna memperbaiki kesalahan dalam makalah ini.
Demikian, apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam isi makalah ini,penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Medan, 15 Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..……..2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..3

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG………………………..………………………………………4

1.2 TUJUAN.....................…………………………………..……………………………4

1.3 DESKRIPSI TOPIK......................................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 KASUS A.......................................……………………………….…………………..6

2.2 KASUS B......................................................................................................................9

BAB III : PENUTUP

3.1 KESIMPULAN……………………………….……………………………….….…14

DAFTAR PUSTAKA....... …………………………………………………………………..15

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kegagalan terapi dapat diakibatkan oleh kesalahan dalam memilih bentuk sediaan obat
yang sesuai dengan kondisi klinis penderita dan farmakokinetik obat yang diresepkan. Contoh:
obat dengan kandungan yang sama (misalnya kanamycin):
1. Tersedia dalam bentuk sediaan injeksi yang akan diberikan per-oral.
2. Sediaan tetes kuping akan digunakan sebagai obat tetes mata.

1.2 TUJUAN

Tujuan Instruksional Umum


- Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai bentuk sediaan obat.

Tujuan Instruksional Khusus


- Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai bentuk sediaan obat menurut kepadatannya.
- Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai bentuk sediaan obat menurut penggunaannya.
- Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam rute pemberian obat.

1.3 DESKRIPSI TOPIK

Kasus A
Seorang pasien, usia 35 tahun, datang ke dokter gigi dengan keluhan gigi impaksi M3.
Setelah dilakukan pemeriksaan rontgen, dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi
kecil untuk mengangkat gigi impaksi pasien tersebut. Tindakan operasi dilakukan dengan
penyuntikan injeksi lidokain 1 ampul. Lima menit kemudian, pasien mengeluhkan sesak dan
terjadi henti jantung pada pasien tersebut.

Pertanyaan:
1. Ada berapa jeniskah cara penyuntikan obat lidokain berdasarkan rute pemberian obat?
Jelaskan pendapat anda.
2. Obat apakah lidokain itu? Bagaimanakah profil farmakodinamik dan
farmakokinetiknya? Apa saja reaksi simpang obat yang dapat terjadi? Jelaskan jawaban
anda.

4
3. Apakah yang menyebabkan sesak dan henti jantung pada pasien tersebut? Apakah hal
tersebut bisa timbul akibat rute pemberian obat yang tidak sesuai? Jelaskan jawaban
anda.

Kasus B
Seorang dokter gigi, ingin membandingkan obat yang sama dengan jalur pemberian
yang berbeda, yakni:
 Pasien N: mendapat tablet diazepam 5 mg
 Pasien 0: Mendapat injeksi diazepam 5 mg/ml
 Pasien R: Mendapat diazepam suppositoria 5 mg/ml

Pertanyaan:
1. Berdasarkan kasus diatas, apa sajakah perbedaan yang dapat timbul pada pasien dengan
berbagai jalur pemberian obat yang berbeda? Diskusikan berdasarkan parameter mula
kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action), waktu paruh (T1/2) dan
reaksi simpang yang dapat dialami pasien.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KASUS A

1. Ada berapa jeniskah cara penyuntikan obat lidokain berdasarkan rute pemberian obat?
Jelaskan pendapat anda.

Pemberian lidokain suntik hanya dilakukan oleh dokter. Memberitahukan kondisi atau
riwayat penyakit akan sangat membantu dokter dalam melakukan pengobatan. Terdapat
beberapa dosis lidokain yang harus diberikan kepada pasien mengikut kondisi yang dialami
pasien. Antaranya adalah:
a) Kondisi: Aritmia
- Suntik (darurat)
 Dewasa: 300 mg diberikan melalui otot bahu. Dapat diulang setelah 60-90 menit,
jika dibutuhkan.
- Suntik (stabil)
 Dewasa: 1-1,5 mg/kgBB, dapat diulang jika dibutuhkan. Dosis maksimal: 3
mg/kgBB. Dapat diulang satu atau dua kali. Dosis perlu dikurangi jika penggunaan
obat lebih lama dari 24 jam.
b) Kondisi: Anestesi epidural
- Suntik daerah saraf tulang belakang dan pemasangan kateter
 Dewasa: Dosis yang direkomendasikan: 250-300 mg sebagai analgesik epidural
lumbar/pinggang (larutan 1%).
c) Kondisi: Anestesi spinal
- Suntik daerah saraf tulang belakang (spinal)
 Dewasa: 50-100 mg sebagai larutan 5% tergantung jenis operasi.
d) Kondisi: Anestesi area tubuh tertentu
- Suntik (pembuluh darah)
 Dewasa: Sebagai larutan 0,5%: 50-300 mg. Dosis maksimal: 4 mg/kgBB.

6
2. Obat apakah lidokain itu? Bagaimanakah profil farmakodinamik dan
farmakokinetiknya? Apa saja reaksi simpang obat yang dapat terjadi? Jelaskan jawaban
anda.

Lidokain (Xylocaine/Ligno caine) adalah obat anestesi lokal kuat yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Lidokain disintesa sebagai anestesi lokal
amida oleh Lofgren pada tahun 1943. Lidokain menimbulkan hambatan hantaran yang lebih
cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Tidak
seperti prokain, lidokain lebih efektif digunakan secara topikal dan merupakan obat anti
disritmik jantung dengan efektifitas yang tinggi. Untuk alasan ini, lidokain merupakan standar
pembanding semua obat anestesi lokal yang lain.
Farmakodinamik lidokain adalah melalui inhibisi kanal sodium. Pada keadaan normal,
kanal ion sodium pada membran neuron berada dalam kondisi istirahat. Ketika mendapatkan
stimulasi, kanal ion tersebut menjadi aktif. Akibatnya, sejumlah besar ion sodium masuk ke
dalam sel dan memicu depolarisasi. Peningkatan voltage membran neuron yang drastis ini akan
mengembalikan kanal ion sodium ke kondisi istirahat sehingga menyebabkan repolarisasi.
Lidokain akan masuk ke dalam sitoplasma dalam bentuk yang belum diubah
(uncharged form). Penetrasi ini dipelopori oleh ujung lipofilik dari lidokain. Setelah sampai di
sitoplasma, lidokain mengalami protonasi. Bentuk terprotonasi inilah yang akan berikatan
dengan kanal sodium dari sisi sitoplasma. Lidokain bekerja dengan menghambat aktivasi kanal
sodium sehingga menstabilkan membran neuron. Akibatnya, tidak terjadi potensial aksi dan
konduksi impuls saraf menjadi terganggu. Mekanisme kerja lidokain bergantung pada dosis
dan waktu. Semakin besar dosis yang diberikan, maka semakin banyak kanal sodium yang
terinhibisi. Efek inhibisi ini bersifat reversibel dan akan semakin berkurang seiring
bertambahnya waktu. Selain itu, mekanisme kerja lidokain juga dipengaruhi oleh pH. Jaringan
yang sedang meradang memiliki pH rendah sehingga efek lidokain terhambat.
Selain anestesi lokal, lidokain juga digunakan sebagai antiaritmia golongan 1B. Efek
ini juga didapatkan melalui inhibisi kanal ion sodium. Inhibisi ini meningkatkan threshold
eksitasi sel jantung dan menurunkan otomatisasi. Selain itu, lidokain juga menstabilkan
membran sel jantung sehingga menurunkan durasi potensial aksi. Lidokain lebih mudah
menghambat sel dengan potensial aksi yang panjang, yaitu sel purkinje dan ventrikel. Oleh
karena itu, lidokain lebih efektif untuk mengatasi aritmia ventrikel daripada aritmia atrium.
Lidokain juga lebih mudah mempengaruhi kanal yang memiliki aktivitas tinggi. Akibatnya,

7
depresi aktivitas jantung yang terjadi bersifat selektif dan hanya menimbulkan sedikit
perubahan pada elektrokardiogram normal.
Secara farmakokinetik, lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat
melewati sawar darah otak.Sekitar 70% (55-95%) lidokain dalam plasma terikat protein,
hampir semuanya dengan alfa 1–acid glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume
distribusi adalah 1 liter per kilogram;volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada
lidokain yang diekskresi secara utuh dalam urin. Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar
(retikulum endoplasma), mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed
function oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian
dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin
xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal.
Penyakit hepar yang berat atau perfusi yang menurun ke hepar yang dapat terjadi
selama anestesi, menurunkan kecepatan metabolisme lidokain. Bersihan lidokain mendekati
kecepatan aliran darah di hepar, sehingga perubahan aliran darah hepar akan mengubah
kecepatan metabolisme. Bersihan lidokain dapat menurun bila infus berlangsung lama. Waktu
paro eliminasi adalah sekitar 100 menit. Sebagai contoh, waktu paro eliminasi lidokain
meningkat lebih dari lima kali pada pasien dengan disfungsi hepar dibanding dengan pasien
normal. Cimetidin dan propranolol menurunkan aliran darah hepar dan bersihan lidokain.
Penurunan metabolisme hepatik terjadi pada pasien yang dianestesi dengan obat anestesi
volatil.
Paru-paru mampu mengambil obat anestesi lokal seperti lidokain. Mengikuti cepatnya
obat anestesi lokal masuk ke sirkulasi vena, ambilan paru-paru ini akan membatasi konsentrasi
obat yang mencapai sirkulasi sistemik untuk didistribusikan ke sirkulasi koroner dan serebral.
Untuk reaksi simpang ataupun efek samping obat, reaksi yang tidak diinginkan yang
serius jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi akibat dosis lebih relatif atau mutlak (toksisitas
sistemik) dan reaksi alergi. Dapat terjadi bila lidokain secara tidak sengaja ke dalam arteri yang
menuju otak. Hal ini dapat terjadi pada saat memblok saraf pada daerah leher atau bila arteri
kecil pada setengah tubuh bagian atas tertusuk dan lidokain mencapai otak akibat injeksi
retrograd. Pada kasus ini dapat timbul gejala-gejala sistem saraf pusat, mungkin juga kejang
pada dosis yang diperkirakan tidak berbahaya.
Toksisitas sistemik obat anestetik lokal adalah kelebihan konsentrasi obat dalam
plasma. Penjelasan konsentrasi obat anestetik lokal dalam plasma adalah kecepatan obat masuk
ke dalam sirkulasi relatif terhadap redistribusinya ke sisi jaringan yang tidak aktif dan bersihan
olehmetabolisme. Kejadian infeksi langsung intravaskular yang tidak disengaja selama
8
tindakan anestesi blok saraf perifer atau anestesi epidural merupakan mekanisme yang paling
umum untuk menyebabkan kelebihan konsentrasi obat anestesi lokal dalam plasma. Jarang,
kelebihan konsentrasi dihasilkan dari absorbsi dari tempat injeksinya. Besarnya absorbsi
sistemik ini tergantung pada:
1. Dosis yang diberikan ke dalam jaringan,
2. Vaskularisasi tempat suntikan,
3. Penambahan epinefrin dalam larutan,
4. Sifat fisikokimia obat.

3. Apakah yang menyebabkan sesak dan henti jantung pada pasien tersebut? Apakah hal
tersebut bisa timbul akibat rute pemberian obat yang tidak sesuai? Jelaskan jawaban
anda.

Pemberian lidokain dapat menyebabkan overdosis yang biasanya disebabkan oleh


miskalkulasi dosis atau injeksi intravena secara tidak sengaja yang seharusnya digunakan untuk
infiltrasi perkutan. Toksisitas ditandai dengan gejala berikut:
 Kejang yang dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia
 Penurunan kesadaran
 Gangguan pernapasan: dyspnea, depresi atau henti napas
 Gangguan kardiovaskular: hipotensi, bradikardi, aritmia, henti jantung

Berikut adalah penanganan overdosis lidokain:


 Menghentikan injeksi lidocaine
 Jika terjadi kejang atau penurunan kesadaran akibat depresi sistem saraf pusat,
diberikan oksigenasi yang adekuat dengan mempertahankan jalan napas, intubasi, dan
berikan bantuan napas jika perlu

2.2 KASUS B

1. Berdasarkan kasus diatas, apa sajakah perbedaan yang dapat timbul pada pasien
dengan berbagai jalur pemberian obat yang berbeda? Diskusikan berdasarkan
parameter mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action), waktu
paruh (T1/2) dan reaksi simpang yang dapat dialami pasien.

Diazepam dimetabolisme oleh enzim hepatik (hepatic cytochrome enzyme


isozyme/CYP450) menjadi bentuk metabolit aktif yaitu oxazepam, temazepam, dan
desmethyldiazepam. Temazepam dan oxazepam dieliminasi dengan cepat oleh proses

9
glukuronidasi. Eliminasi waktu paruh pada dewasa 20-50 jam, meningkat pada pasien geriatri
(di atas 40 tahun bertambah 1 jam untuk setiap usianya; misal eliminasi waktu paruh pada
pasien usia 75 tahun adalah 75 jam), neonatal, dan penyakit hepar (sirosis, hepatitis) dan
gangguan renal. Waktu paruh menurun (lebih cepat dimetabolisme) pada pasien dengan
konsumsi medikasi yang mengandung enzim hepatic.

Parameter Mula Kerja Obat (Onset of Action)

Tablet Injeksi Suppositoria


Setelah pemberian oral > 90% Injeksi intravena dapat Pengalaman menunjukkan
diazepam diserap dan waktu dikaitkan dengan reaksi bahwa diazepam dubur
rata-rata untuk mencapai lokal dan tromboflebitis dan cepat efektif pada anak-
konsentrasi plasma puncak trombosis vena dapat anak, tetapi kemanjuran
adalah 1 - 1,5 jam dengan terjadi. Untuk belum diteliti dengan baik
kisaran 0,25 hingga 2,5 jam. meminimalkan pada orang dewasa.
Penyerapan tertunda dan kemungkinan efek ini, Diazepam yang diberikan
menurun saat diberikan dengan injeksi diazepam intravena secara rektal tampaknya
makan lemak sedang. Dengan harus diberikan ke vena sama efektifnya dengan
adanya makanan berarti jeda besar antecubital fossa. diazepam intravena dalam
waktu sekitar menghentikan kejang.
45 menit dibandingkan dengan
15 menit saat puasa. Ada juga
peningkatan waktu rata-rata
untuk mencapai konsentrasi
puncak menjadi sekitar 2,5 jam
di hadapan makanan
dibandingkan dengan 1,25 jam
saat puasa. Ini hasil dalam
penurunan rata-rata dalam
Cmax sebesar 20% di samping
penurunan 27% dalam AUC
(kisaran 15% hingga 50%) saat
diberikan dengan makanan.

10
Lama Kerja Obat (Duration of Action)

Tablet Injeksi Suppositoria

Durasi Pengobatan - Durasi pengobatan Ketika diberikan secara Kebaikan


harus sesingkat mungkin tergantung intravena, diazepam terutamanya tindakan
pada indikasi. Pasien harus dievaluasi bekerja dalam 1 hingga yang lebih lama (20-
setelah jangka waktu tidak lebih dari 4 3 menit, sedangkan 30 menit
minggu dan kemudian secara teratur onset dosis oral berkisar dibandingkan dengan
untuk menilai kebutuhan untuk antara 15 hingga 60 10-20 menit), lebih
perawatan lanjutan, terutama jika pasien menit. Diazepam tahan sedikit depresi
bebas dari gejala. Secara umum, lama dengan durasi aksi pernapasan, kurang
perawatan tidak boleh lebih dari 8-12 lebih dari 12 jam kantuk dan sedikit
minggu, termasuk proses tapering off. efek pada tekanan
Perpanjangan setelah periode ini tidak darah. Diazepam
boleh terjadi tanpa evaluasi ulang intravena dan dubur
situasi. Mungkin bermanfaat untuk sama-sama
memberi tahu pasien ketika pengobatan menghentikan kejang
dimulai bahwa durasinya akan terbatas pada lebih dari 80%
dan untuk menjelaskan dengan tepat kasus dalam 10- 15
bagaimana dosis akan semakin menit
berkurang. Selain itu penting bahwa
pasien harus menyadari kemungkinan
fenomena rebound, sehingga
meminimalkan kecemasan atas gejala-
gejala seperti itu harus terjadi ketika
diazepam sedang dihentikan. Ada
indikasi bahwa, dalam kasus
benzodiazepin dengan durasi aksi
singkat, fenomena penarikan dapat
menjadi nyata dalam interval dosis,
terutama ketika dosisnya tinggi.

• Ketika benzodiazepine dengan durasi


aksi yang panjang digunakan, penting

11
untuk memperingatkan agar tidak
berubah menjadi benzodiazepine
dengan durasi aksi pendek, karena
gejala penarikan dapat terjadi.

Waktu paruh diazepam inisial (1-3 jam) diikuti oleh waktu paruh terminal (20-50 jam
atau ~48 jam). Untuk eliminasi waktu paruh terminal metabolit aktif dari desmethyldiazepam
membutuhkan waktu hingga 100 jam. Diazepam dan metabolit aktifnya diekskresikan lewat
urin dalam bentuk sulfat dan konjugat glukuronida. Rata-rata kecepatan waktu pembersihan
diazepam dalam tubuh manusia dewasa adalah 20-30 mL/menit. Dengan dosis multipel
diazepam akan menumpuk sehingga mengakibatkan semakin panjangnya waktu eliminasi.
 Anak usia 3-8 tahun: rata-rata waktu paruh diazepam ~18 jam.
 Neonatal: pada neonatal aterm eliminasi waktu paruh berkisar 30 jam, pada neonatal
prematur usia gestasi 28-34 minggu waktu paruh ditemukan memanjang yaitu 54 jam
pada kehidupan hari ke 8-81 post partum. Hal ini disebabkan oleh karena maturasi yang
belum sempurna dari jalur metabolik neonatal.
 Geriatri: seiring dengan fisiologis degeneratif, terdapat penurunan fungsi organ
terutama sistem saraf pusat, liver, dan ginjal pada pasien diatas usia 75 tahun.
Degenerasi sel hepar dan ginjal menyebabkan lebih panjangnya waktu yang dibutuhkan
untuk pembersihan. Penurunan fungsi renal dimulai saat usia 40 tahun sebanyak 1%
per tahun atau 1 mL/menit/tahun pada pembersihan kreatinin. Karena proses ini maka
diazepam akan cenderung terakumulasi dan dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya disorientasi.
 Insufisiensi hepar: pada sirosis ringan dan moderate waktu paruh diazepam meningkat
2-5 kali lipatnya (~500 jam), pada fibrosis hepatis meningkat hingga 90 jam (kisaran
66-104 jam), pada hepatitis kronis meningkat hingga 60 jam (kisaran 26-76 jam), dan
pada hepatitis akut virus meningkat hingga 74 jam (kisaran 49-129 jam). Pada sirosis
dan hepatitis kronis waktu pembersihan juga menurun hingga hampir setengah lebih
lama dari waktu pembersihan normal.

Obat-obat yang diberikan lewat mulut seperti tablet, kapsul dan sirup memberikan efek
relatif lebih lambat dibandingkan injeksi dan inhalasi. Karena lambat, obat oral jauh lebih aman
karena jika terjadi kesalahan masih ada kesempatan untuk memuntahkannya kembali.
Kecepatan aksinya dipengaruhi banyak faktor, terutama bentuk sediaan. Sirup paling cepat

12
karena tidak butuh waktu untuk disolusi atau memecah partikel, sedangkan yang paling lama
adalah tablet salut selaput (film coated) yang didesain agar tidak pecah di lambung. Tablet
hisap (sublingual) sebenarnya memberikan efek paling cepat, namun secara teknis tidak bisa
dibandingkan dengan obat-obat oral lainnya. Penyerapan zat aktif pada tablet hisap tidak terjadi
di saluran pencernaan melainkan di bawah lidah dan rongga mulut. Obat suntik atau injeksi
termasuk jenis obat yang memberikan efek paling cepat, sehingga banyak dipilih dalam kondisi
gawat darurat. Dibandingkan obat yang ditelan, obat suntik lebih cepat mencapai pembuluh
darah sehingga cepat didistribusikan keseluruh tubuh.
Kecepatan obat suntik dalam memberikan efek berbeda-beda tergantung jenis injeksi
atau penyuntikan. Injeksi intravena memberikan efek paling cepat karena langsung disuntikkan
ke pembuluh darah, sementara injeksi subkutan (di bawah kulit) dan intramuskular (di jaringan
otot) efeknya lebih lambat. Pemberian obat suntik hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis,
kecuali pada kondisi tertentu misalnya pasien diabetes tipe-1 yang sewaktu-waktu harus
menyuntikkan insulin sendiri. Jenis obat suntik lain seperti pereda nyeri, antibiotik dan vitamin
tidak boleh disuntikkan sendiri.
 Efek samping yang umum adalah mengantuk, kesulitan koordinasi, kelelahan,
kelemahan otot, ataksia, dan kepala terasa ringan.
 Efek samping yang lebih jarang misalnya nyeri kepala, vertigo, perubahan salivasi,
gangguan saluran cerna, ruam kulit, dan gangguan penglihatan.
 Efek samping yang lebih serius, tetapi kejadiannya relatif jarang misalnya depresi
pernapasan, ketergantungan, gangguan mental, amnesia, kebingungan, kelainan darah
dan sakit kuning, retensi urin, dan hipotensi.
 Efek samping paradoks dapat terjadi, termasuk kegelisahan, lekas marah, kegembiraan,
memburuknya kejang, insomnia, kram otot, perubahan libido, dan dalam beberapa
kasus, kemarahan dan kekerasan. Efek samping ini lebih mungkin terjadi pada anak-
anak, orang tua, dan individu dengan riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol dan
atau agresi.
 Obat ini meningkatkan risiko kejang jika digunakan terlalu sering pada pasien pengidap
epilepsi.
 Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan toleransi, ketergantungan, dan gejala
putus obat pada pengurangan dosis.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan
kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai obat
dalam ataupun obat luar. Ada berbagai bentuk sediaan obat di bidang farmasi, yang dapat
diklasifikasikan menurut wujud zat dan rute pemberian sediaan. Berdasarkan wujud zat, bentuk
sediaan obat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sediaan bentuk cair (larutan sejati, suspensi,
dan emulsi), bentuk sediaan semipadat (krim, lotion, salep, gel, supositoria), dan bentuk
sediaan solida/padat (tablet, kapsul, pil, granul, dan serbuk). Perkembangan dalam bidang
industri farmasi telah membawa banyak kemajuan khususnya dalam formulasi suatu sediaan,
salah satunya adalah bentuk sediaan solida. Sediaan solida memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan sediaan bentuk cair, antara lain: takaran dosis yang lebih tepat, dapat
menghilangkan atau mengurangi rasa tidak enak dari bahan obat, dan sediaan obat lebih stabil
dalam bentuk padat sehingga waktu kadaluwarsa dapat lebih lama.

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Samudro, Ratno, dkk, 2011, Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal, Bagian
Anestesiologi dan TerapiIntensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang.
2. Santosa TN, Saraswati TR, Tana S. Pengaruh Pemberian Diazepam, Formalin dan
Minuman Beralkohol terhadap Bobot Intestinum, Hepar dan Ren Mencit Mus musculus
L. ANATOMI FISIOLOGI. 2011;19(2):42-54.
3. Soegijanto S. Kumpulan makalah penyakit tropis dan infeksi di Indonesia. Airlangga
University Press; 2016 Jan 4.
4. Rafli A, Handryastuti S. Perbandingan Efektifitas dan Keamanan Midazolam Buccal
dengan Diazepam Intravena dalam Tata Laksana Kejang Akut pada Anak. Sari Pediatri.
2018 Mar 1;19(4):231-6.
5. Hadisoewignyo L. dan Fudholi A., 2013, Sediaan Solida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai