Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

STANDAR DAN PROSEDUR PEMULANGAN JENAZAH


DI RUMAH SAKIT

Oleh:
DM UNEJ 5 (18 November 2019 – 29 Desember 2019)

Pembimbing :
dr. Abdul Aziz, Sp.F

DEPARTEMEN / INSTALASI ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLOGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat berjudul “Standar dan Prosedur Pemulangan Jenazah di Rumah Sakit”


telah disetujui dan disahkan oleh Departemen/Instalasi Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK Unair RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat : Departemen / Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK
Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Penyusun : DM Universitas Jember Kelompok I
(Periode 18 November 2019 – 29 Desember 2019)
1. Fairuza Nafilah Sari 142011101107
2. Muhammad Faizal Akbar 142011101025
3. Siti Ananda Hardita S. 142011101051
4. Systriana Esi Kamasita 142011101031
5. Dasarina Rizqi Amalia 142011101190
6. Lathifa Rusyda Ghani 142011101055
7. Achmad Ma’ruf Fauzi 142011101101

Surabaya, 2019

Koordinator Pendidikan Pembimbing

dr. Nily Sulistyorini, Sp.F dr. Abdul Aziz,Sp.F


NIP. 19820415 200912 3 002 NIP. 19700513 200112 1002

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan.............................................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan............................................................................ 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 3
2.1 Definisi Jenazah................................................................................. 3
2.1.1 Surat Keterangan Kematian.................................................... 3
2.2 Pemulasaraan Jenazah....................................................................... 6
2.2.1 Pengertian Pemulasaraan Jenazah........................................... 6
2.2.2 Jenis Pelayanan Terkait Kamar Jenazah................................. 6
2.2.3 Tujuan Pemulasaraan Jenazah................................................. 7
2.2.4 Penatalaksanaan Jenazah di Rumah Sakit............................... 9
2.2.5 Embalming dan Pengiriman Jenazah……………………….. 11
2.2.6 Pemulasaraan Jenazah di Kamar Jenazah…………………... 12
2.3 Tata Cara/Prosedur Pemulangan Jenazah.......................................... 13
2.4 Dasar Hukum Pemulangan Jenazah................................................... 18
BAB 3. PENUTUP................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 19
2.3 Saran ................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur jenazah di rumah sakit…………………………………10


Gambar 2. Konsep alur pelayanan jenazah di rumah sakit dalam kondisi
bencana…………………………………………………………………..11

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap makhluk hidup pasti akan menglamai mati. Kematian merupakan
salah satu siklus hidup setiap individu yang nantinya membutuhkan
perawatan/pengurusan jenazah. Peran seorang dokter pada salah satu siklus
kehidupan ini adalah memeriksa dan dapat memastikan bahwa seseorang
tersebut telah meninggal. Kepastian kematian seseorang tersebut dinyatakan
dalam bentuk surat keterangan kematin yang dikeluarkan oleh seorang Dokter
atau suatu institusi kesehatan seperti rumah sakit. Surat keterangan kematian
tersebut tidak serta merta dapat diberikan kepada pihak keluarga. Pengeluaran
surat tersebut haruslah memenuhi syarat sesuai alur/protokol yang telah di
keluarkan oleh pihak rumah sakit (Susanti, 2015).
Beberapa bulan terakhir masih banyak ditemukan kasus sulitnya
seorang pasien yang telah meninggal untuk dibawa pulang/keluar dari rumah
sakit, sehingga muncul kesalah pahaman dari keluarga korban bahwa proses
pemulangan jenazah sengaja dipersulit dan muncul keinginan dari keluarga
pasien untuk melakukan pengambilan secara paksa. Sebagai salah satu contoh
adalah kasus pulang paksa di RSUP M Djamil Padang bulan November 2019
yang dilakukan oleh rekan keluarga pasien, Pengemudi Ojek Online, yang
mengambil secara paksa jenazah bayi salah satu rekan mereka yang dirawat di
rumah sakit tersebut (Kompas, 20 November 2019).
Oleh karena itu, dibutuhkan alur yang jelas serta proses pemahaman
yang baik oleh keluarga pasien dan masyarakat umum sehingga akan
meminimalkan kesalah pahaman yang ada. Sebagai seorang dokter, diperlukan
kemampuan untuk dapat memberikan pemahaman yang baik saat diminta
untuk memberikan penjelasan alur perawatan dan pengeluaran jenazah dari
rumah sakit (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI,
2004).

1
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum


Memahami dan mengetahui stándar dan prosedur alur pemulangan jenazah
di rumah sakit.

1.2.2 Tujuan khusus


a. Mengetahui definisi jenazah
b. Mengetahui pemulasaraan jenazah di rumah sakit
c. Mengetahui tata cara/prosedur pemulangan jenazah di rumah sakit
d. Pengetahui dasar hukum pemulangan jenazah

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Memberikan pengembangan terhadap studi kedokteran khususnya
kedokteran forensik dan medikolegal tentang tata cara dan prosedur pemulangan
jenazah di rumah sakit. Sebagai dokter umum dapat menjadi tambahan
pengetahuan forensik mengenai dasar hukum pengeluaran surat keterangan
kematian dan pemulangan jenazah di praktik sehari-hari.

1.3.2 Manfaat Praktis


Membantu dokter dalam melakukan pengeluaran surat keterangan
kematian jenazah di rumah sakit sesuai dengan dasar hukum yang ada dan
melakukan edukasi tatacara/prosedur pemulangan jenazah.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2
2.1 Definisi Jenazah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2019 Jenazah


merupakan sinonim dari kata mayat, yang berarti badan atau tubuh orang yang
sudah mati. Kematian adalah berhentinya fungsi biologis yang mempertahankan
kehidupan seseorang. Pada dasarnya kematian disebabkan oleh gagalnya fungsi
salah satu dari tiga pilar kehidupan manusia yaitu gagalnya fungsi otak (central
nervous system) yang ditandai dengan keadaan koma, gagalnya fungsi jantung
(circulatory system) dengan gejala sinkop, dan gagalnya fungsi paru-paru
(respiratory system) yang menyebabkan asfiksia (Suryadi, 2019).

2.1.1 Surat Keterangan Kematian

Terjadinya kematian pada seorang individu akan menyebabkan timbulnya


serangkaian pengurusan, seperti pengurusan administratif ataupun tindakan
terhadap jenazah yang perlu dilakukan sampai saatnya jenazah tersebut dikubur
atau dikremasi. Proses pengurusan jenazah di rumah sakit adalah pemeriksaan
jenazah, penerbitan Surat Keterangan Kematian (SKK), autopsi dan pembuatan
visum et repertum serta pengawetan janazah (Syahputra, 2016).
Surat kematian atau surat keterangan kematian adalah surat yang
menyatakan tentang meninggalnya seseorang dengan identitas tertentu, tanpa
menyebutkan sebab kematiannya. Keterangan ini dibuat sekurang-kurangnya
berdasarkan atas pemeriksaan luar jenazah. Berbeda dengan Visum et Repertum
(VeR), adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia,
baik hidup maupun mati atau bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Dalam hal kematian yang berkaitan dengan tindak pidana tertentu harus
dipastikan bahwa prosedur hukum telah dilakukan dan pembedahan jenazah
mungkin dibutuhkan untuk memperoleh sebab kematian yang pasti. Surat
keterangan kematian tidak boleh dibuat pada orang yang mati diduga akibat
peristiwa pidana jika tanpa pemeriksaan kedokteran forensik terlebih dahulu
(Syahputra, 2016).
3
Format baku untuk membuat surat keterangan kematian telah dibuat oleh
Departemen Kesehatan dengan berdasarkan ketentuan dari World Health
Organization (WHO). Isi dari surat keterangan kematian adalah semua informasi
yang berhubungan dengan kematian dan adanya keterangan dokter (Syahputra,
2016).
Surat keterangan kematian (SKK) adalah surat yang menerangkan bahwa
seseorang telah meninggal dunia. Surat keterangan kematian berisi identitas, saat
kematian dan sebab kematian. Kewenangan penerbitan surat keterangan kematian
ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya dan memenuhi syarat
administratif untuk menjalankan praktik kedokteran (Gani, 2005).
Surat keterangan kematian biasa/alamiah penting dibuat untuk
kepentingan berbagai kalangan, seperti ahli waris (asuransi), statistik/sensus
penduduk dan instansi tempat korban bekerja, serta untuk pengurusan penguburan
(Gani, 2005).
Pada saat menuliskan surat keterangan kematian, maka keadaan orang
sebelum meninggal tersebut dapat diperoleh dari rekam medis, keterangan dokter
yang merawat dirumah sakit/puskesmas/klinik dan dari keluarga yang meninggal
sebelum jenazah dikuburkan atau dikremasi. Peran dokter dalam hal menuiskan
surat keterangan kematian adalah (Rika, 2012):
 Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen
terhadap sirkulasi, respirasi dan neurologi, serta memastikan adanya tanda
awal pasti mati).
 Melengkapi surat keterangan kematian bagian medis (menuliskan sebab
kematian, jika diperlukan pemeriksaan luar dan autopsi).
 Jika jenazah tidak dikenal, jenazah harus di identifikasi terlebih dahulu.
Dasar Hukum pengeluaran surat keterangan kematian menurut peraturan
bersama Mendagri dan Menkes No. 15 Tahun 2010, nomor
162/MENKES/PB/I/2010, tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian,
menyebutkan (Mendagri dan Menkes, 2010) :

 BAB I Pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan


pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.”

4
 BAB II Pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
ang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien
meninggal dunia.”
 Pasal 267 KUHP : Ancaman pidana untuk surat keterangan palsu.
 Pasal 179 KUHAP : Wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan,
keterangan yang diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji.
Surat keterangan kematian termasuk kedalam salah satu dari sekian banyak
surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter. Surat keterangan dokter adalah
surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang
kesehatan atau penyakit pasien, atas permintaan pasien atau dasar perminaan
pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah Undang-Undang (Rika,
2012).
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang
sudah meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar pemeriksaan
jenazah, minimal pemeriksaan luar. Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak
pidana, pastikan bahwa prosedur hukum telah dilakukan sebelum dikeluarkannya
surat keterangan kematian. Suatu surat keterangan kematian tidak boleh
dikeluarkan atas seseorang yang meninggal diduga akibat suatu peristiwa
pidana/mati tidak wajar, tanpa pemeriksaan kedokteran forensik terlebih dahulu.
Pembuatan surat keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati, mengingat
aspek hukum yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan
santunan asuransi, hingga adanya kemungkinan pidana sebagai penyebab
kematian (Rika, 2012).
Surat keterangan kematian minimal berisi identitas korban, tanggal
kematian, jenis pemeriksaan dan sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah
terdapat dokter spesialis Forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu ke
Bagian Forensik, maka surat keterangan kematian untuk seluruh jenazah yang
meninggal dirumah sakit dikeluarkan oleh dokter spesialis Forensik. Jika
kematian korban akibat suatu tindakan pidana, maka surat keterangan kematian
boleh dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan forensik terhadap jenazah (Rika,
2012).

5
2.2 Pemulasaraan Jenazah di Rumah Sakit

2.2.1. Pengertian Pemulasaraan Jenazah


Pemulasaran jenazah adalah perawatan pasien setelah meninggal, yang
meliputi persiapan jenazah untuk diperlihatkan pada keluarga, transportasi ke
kamar jenazah dan melakukan disposisi (penyerahan) barang-barang milik pasien.
jika pasien meninggal karena kekerasan atau dicurigai akibat kriminalitas,
perawatan jenazah setelah pemeriksaan medis lengkap melalui otopsi (Kesuma,
2013).
Jenazah secara etis diperlakukan penghormatan sebagaimana manusia,
karena jenazah adalah manusia. Martabat kemanusiaan ini secara khusus adalah
perawatan keberhasilan sebagaimana kepercayaan/adatnya, perlakuan sopandan
tidak merusak badannya tanpa indikasi atau kepentingan kemanusian, termasuk
penghormatan atas kerahasiaannya. Oleh karenanya kamar jenazah harus bersih
dan bebas dari kontaminasi khususnya hal yang membahayakan petugas atau
penyulit analisa kemurnian identifikasi (termasuk kontaminasi DNA dalam kasus
forensik mati). Demikian pula aman bagi petugas yang bekerja, termasuk terhadap
resiko penularan jenazah bagi petugas yang bekerja, termasuk terhadap resiko
penularan jenazah terinfeksi karena penyakit mematikan (Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.2.2. Jenis Pelayanan Terkait Kamar Jenazah


Pelayanan jenazah yang terkait dengan kamar jenazah dapat dikelompokkan
dalam 5 kategori (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI, 2004) :
a. Pelayanan jenazah purna-pasien atau “ mayat dalam” Cakupan pelayanan ini
adalah berasal dari bagian akhir pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah
sakit, setelah pasien dinyatakan meninggal, sebelum jenazah diserahkan ke
pihak keluarga atau pihak berkepentingan lainnya.
b. Pelayanan kedokteran forensik terhadap korban mati atau “ mayat luar”
Rumah sakit pemerintah sering merupakan sarana bagi dibawanya jenazah
atau mayat tidak dikenal atau memerlukan pemeriksaan forensik. Ada 2
jenis pemeriksaan forensik, yakni visum luar (pemeriksaan luar) dan visum

6
dalam (pemeriksaan otopsi), keduanya dengan atau tanpa diikuti
pemeriksaan penunjang seperti patologi anatomi, radiologik,
toksikologik/farmakologik, analisa mikrobiologik, dan lain-lain.
c. Pelayanan sosial kemanusiaan lainnya: seperti pencarian orang hilang,
rumah duka/penitipan jenazah.
d. Pelayanan bencana atau peristiwa dengan korban mati massal.
e. Pelayanan untuk kepentingan keilmuan atau pendidikan/penelitian

2.2.3. Tujuan Pemulasaraan Jenazah


Pemulasaraan jenazah bertujuan untuk (Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, 2004; Danila, 2013):
a. Pencegahan penularan penyakit
Mayat yang meninggal di rumah sakit pasti diantaranya ada yang
menderita penyakit menular, seperti HIV-AIDS, hepatitis B dan hepatitis C,
SARS, flu burung dan sebagainya. Oleh karena itu, perawatan jenazah
penderita penyakit menular harus menerapkan kewaspadaan universal tanpa
mengganggu tradisi budaya dan agama yang dianut keluarganya. Prinsip
kewaspadaan universal adalah (Kesuma, 2013):
1) Jangan sampai petugas yang merawat dan orang-orang sekitarnya
menjadi tertular
2) Segala sesuatu yang keluar dari tubuh jenazah (kencing, darah,
kotoran, dan jaringan tubuh) bisa mengandung kuman sehingga
menjadi sumber penularan (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, 2004; Kesuma, 2013).
3) Petugas pemulasaran jenazah harus menjalankan prosedur universal
precaution, yaitu dengan memakai alat pelindung diri saat melakukan
perawatan terhadap jenazah, seperti sarung tangan, pelindung wajah
(masker dan kacamata), gaun pelindung, apron, dan pelindung kaki
seperti sepatu boot. Menit (Kesuma, 2013).
4) Semua alat-alat yang telah dipakai harus direndam dilarutan clorin
0,5% selama 10 menit (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, 2004; Kesuma, 2013).

7
Pada kasus kematian tidak wajar dengan korban yang diduga mengidap
penyakit menular maka pelaksanaan otopsi tetap mengacu pada prinsip-prinsip
universal precaution. Tetapi apabila dapat dikoordinasikan dengan penyidik untuk
tidak dilakukan outopsi, cukup pemeriksaan luar (Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, 2004).

b. Penegakan hukum
Dalam rangka proses penyidikan dan penegakan hukum untuk kepentingan
peradilan ilmu kedokteran forensik dapat dimanfaatkan dalam membuat terangnya
perkara pidana yang menimbulkan korban manusia, baik korban hidup maupun
korban mati. Pemeriksaan otopsi umumnya diperlukan apabila korban dari tindak
perkara pidana tersebut korban mati. Dari pemeriksaan otopsi yang dilakukan,
dokter diharapkan dapat memberikan keterangan setidaknya tentang luka atau
cedera yang dialami korban, tentang penyebab luka atau cedera tersebut, serta
tentang penyebab kematian dan mekanisme kematiannya. Dalam beberapa kasus
dokter juga diharapkan untuk dapat memperkirakan cara kematian dan faktor-
faktor lain yang mempunyai kontribusi terhadap kematiannya (Afandi, 2009).
Sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yaitu dengan
undang-undang nomor 8 tahun 1981 (KUHAP), setiap dokter baik dokter umum,
dokter ahli, kedokteran kehakiman (dokter spesialis forensik), maupun dokter
spesialis klinik lain wajib memberi bantuan kepada pihak yang berwajib untuk
kepentingan peradilan, bila diminta oleh petugas kepolisian/pihak penyidik yang
berwenang (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI,
2004).
Pada pelaksanaan pelayanan pemeriksaan medis secara kedokteran forensik
sekalipun dapat dimintakan kepada setiap dokter, baik dokter umum, dokter
spesialis klinik maupun dokter forensik, namun untuk memperoleh hasil yang
optimal baik ditinjau dari segi kepentingan pelayanan, bantuan untuk proses
peradilan dan segi kepentingan pelayanan kesehatan sebaiknya pemeriksaan
dilakukan oleh dokter spesialis forensik (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, 2004).

8
Pada kasus kematian yang tidak wajar harus dilakukan pembedahan mayat
klinis untuk mengetahui sebab kematian. Hal ini sesuai dengan UU No.18 tahun
1981 pasal 2 yang berbunyi bedah mayat hanya boleh dilakukan dalam keadaan
sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
1981):
1) Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang
terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab
kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti.
2) Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila
diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang
lain atau masyarakat sekitarnya.
3) Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila
dalam jangka waktu 2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak
ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah
sakit. Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah
sakit yang disediakan untuk keperluan itu (pasal 3) dan perawatan
mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilakukan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan (pasal 4).
Di Indonesia otopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua
kematian, namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya otopsi maka tidak ada
lagi yang boleh menghalangi pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222
KUHP), dan tidak membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya. Mereka yang
menghalangi pemeriksaan jenazah untuk kepentingan peradilan diancam hukuman
sesuai pasal 222 KUHP (Afandi, 2009; FKUI, 1997)

2.2.4. Penatalaksanaan Jenazah di Rumah Sakit


Pasien yang datang ke rumah sakit pada prinsipnya dibagi manjadi 2, yaitu
(Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2004):
a. Pasien yang tidak mengalami kekerasan apabila meninggal dunia, langsung
diberi surat kematian. Kemudian dibawa ke kamar jenazah hanya untuk
dicatat dalam buku register.

9
b. Pasien yang mengalami kekerasan misalnya karena pembunuhan. Apabila
korban telah sampai di kamar jenazah, tetapi belum disertai surat
permohonan Visum et Repertum, maka petugas akan menyuruh keluarga
untuk melapor ke polisi. Apabila keluarga menolak melapor ke polisi dan
tetap bersikeras membawa jenazah, maka diberikan surat pernyataan dan
tidak diberikan surat kematian. Tetapi jika korban dilengkapi dengan surat
permintaan Visum et Repertum, maka keluarga korban diminta membuat
surat pernyataan untuk melakukan otopsi. Setelah selesai otopsi dibuatkan
surat kematian.

10
Gambar 1. Alur jenazah di rumah sakit (Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, 2004)
COT (Central Operation Theatre)

11
Gambar 2. Konsep alur pelayanan jenazah di rumah sakit dalam kondisi bencana
(Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2004)
COT (Central Operation Theatre)
2.3.5. Embalming dan Pengiriman Jenazah
Embalming atau pengawetan jenazah pada umumnya dilakukan untuk
menghambat pembusukan, membunuh kuman, serta mempertahankan bentuk
mayat. Pada prinsipnya pengawetan jenazah hanya boleh dilakukan oleh dokter
pada mayat yang meninggal secara wajar (natural death), sedangkan pada mayat
yang meninggal tidak wajar (akibat pembunuhan, bunuh diri, serta kecelakaan)
pengawetan baru boleh dilakukan setelah proses pemeriksaan forensik selesai
dilakukan. Dilakukannya pengawetan jenazah sebelum otopsi dapat menyebabkan
perubahan serta hilangnya atau berubahnya beberapa fakta forensik. Dokter yang
melakukan hal tersebut dapat diancam hukuman karena melakukan tindak pidana
menghilangkan barang bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Dengan demikian

12
pengawetan jenazah sebaiknya dilakukan oleh dokter forensik atau sekurangnya
oleh dokter yang dapat membedakan kasus mati wajar dan tidak wajar (Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2004; RS Anutapura,
2010).
Pengiriman jenazah harus dilakukan embalming (hati-hati dalam pengiriman
jangan disertai dengan barang ilegal, seperti narkoba). Harus dibuat berita acara
kematian kalau perlu dilibatkan polisi (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI, 2004).
2.3.6. Pemulasaraan Jenazah di Kamar Jenazah
Pelayanan kamar jenazah adalah kegiatan mempersiapkan jenazah sebelum
diperlihatkan kepada keluarga. Untuk memberikan pelayanan yang lebih baik
pada pasien meninggal, maka diperlukan alur penanganan jenazah yang jelas.
Tersedianya kamar jenazah yang standar dapat dipakai sebagai acuan oleh petugas
kamar jenazah dalam memberikan mutu pelayanan yang baik bagi keluaga pasien.
Prosedur pemulasaraan jenazah di kamar jenazah sebagai berikut (RS
Umum Restu Ibu, 2011)21:

Jenazah dari instalasi lain Masuk instalasi kamar


jenazah

Pembayaran di kasir RS Surat keterangan kematian

Pengambilan jenazah oleh


keluarga (menggunakann
kereta jenazah dan mobil
jenazah)
a. Pasien dari instalasi lain yang sudah
dinyatakan meninggal (jenazah) dikirim ke kamar jenazah.
b. Di kamar jenazah dilakukan perawatan sebelum ditunjukkan kepada
keluarga. Di kamar jenazah dilakukan pemeriksaan kembali. Kepala diberi
tali kassa sampai mulut jenazah tertutup. Tangan diposisikan diatas perut
kemudian pergelangan tangan ditali. Kemudian diantara jempol kaki
diselipkan kassa dan ditali kembali. Setelah posisi dan keadaan jenazah

13
sudah dirapikan, keluarga dipanggil untuk melihat keadaan keluarganya
yang meninggal.
c. Setelah dilakukan perawatan di kamar jenazah petugas kamar jenazah
memberikan surat kematian.
d. Kemudian keluarga membawa surat kematian ke ruang administrasi rumah
sakit untuk mengurus biaya perawatan selama di Rumah sakit. Setelah surat
kematian dan biaya administrasi telah selesai, keluarga menunjukkan
kepada petugas instalasi kamar jenazah.
e. Setelah ditunggu 2 jam jenazah diperbolehkan dibawa pulang dengan
menggunakan kereta/ brankart khusus untuk jenazah menuju ke mobil
jenazah rumah sakit.
Instalasi kamar jenazah di Rumah Sakit Umum Restu Ibu sebagai salah satu
bagian penting rumah sakit untuk mencegah resiko infeksi dan menunjang
pelayanan medis baik untuk petugas, pasien dan pengunjung. Apabila alat dan
bahan untuk pemrosesan linen habis maka petugas atau staf menulis permintaan
barang kepada kepala instalasi kamar jenazah. Kepala instalasi kamar jenazah
memberikan formulir permintaan bahan dan alat kepada bagian rumah tangga.
Prosedur pemulasaraan jenazah di kamar jenazah sebagai berikut (RS
Anutapura, 2010):
f. Persiapan:
1) Sarung tangan (hand scoon)
2) Masker
3) Gaun kedap air (apron)
4) Baskom berisi air
5) Sabun mandi
6) Tempat sampah (kantung plastik infeksius)
7) Formalin
8) Disposible 20 cc
g. Prosedur
1) Petugas mencuci tangan
2) Petugas menggunakan APD
3) Petugas memandikan jenazah
14
4) Petugas mengeringkan jenazah dengan handuk
5) Petugas mengganti tutup mata, telinga, dan hidung dengan kapas yang
bersih
6) Petugas meletakkan jenazah dalam posisi terlentang tangan disisi atau
terlipat di dada
7) Petugas membungkus jenazah dengan kain kafan atau dengan lainnya
sesuai dengan kepercayaan agamanya
8) Petugas melepas APD dan menghubungi keluarga bila jenazah sudah
selesai dimandikan dan dirapikan

2.3 Tata Cara/Prosedur Pemulangan Jenazah

Di Indonesia standart adanya kamar jenazah di sebuah rumah sakit sudah


ditetapkan peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 24 tahun 2016
bab II tentang bangunan rumah sakit bagian kesatu umum pada Pasal 16 yaitu
“Bangunan Rumah Sakit terdiri atas Ruang rawat jalan; Ruang rawat inap;
Ruang gawat darurat; Ruang operasi; Ruang perawatan intensif; Ruang
kebidanan dan penyakit kandungan; Ruang rehabilitasi medik; Ruang radiologi;
Ruang laboratorium; bank darah Rumah Sakit; Ruang sterilisasi; Ruang farmasi;
Ruang rekam medis; Ruang tenaga kesehatan; Ruang pendidikan dan latihan;
Ruang kantor dan administrasi; Ruang ibadah; Ruang tunggu; Ruang
penyuluhan kesehatan masyarakat Rumah Sakit; Ruang menyusui; Ruang
mekanik; Ruang dapur dan gizi; laundry; kamar jenazah; taman; pengelolaan
sampah; pelataran parkir yang mencukupi.” 20
Transportasi jenazah mendapatkan proses pengawasan dalam upaya
kesehatan untuk karantina, tujuannya adalah agar jenazah bebas dari penyakit
menular yang dapat membahayakan tempat tujuan jenazah.1 Untuk mencegah
masuk atau keluarnya penyakit menular dari dan ke suatu tempat, Indonesia sudah
mengeluarkan peraturan tentang pedoman upaya kesehatan dalam rangka
karantina kesehatan yaitu dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor
424/MENKES/SK/IV/2007 (Menkes, 2007).

15
Prosedur pengawasan pengangkutan jenazah adalah sebagai berikut
(Susanti, 2015).
1. Pemberangkatan Jenazah
Syarat teknis pemberangkatan jenazah yaitu: jenazah harus disuntik dengan
obat penahan busuk secukupnya yang dinyatakan dengan keterangan dokter,
jenazah harus dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari logam (timah, seng,
dan sebagainya), alasnya ditutup dengan bahan yang menyerap (absorbent)
umpamanya serbuk gergaji/arang halus yang tebalnya kurang lebih 5 cm, peti
logam ditutup rapat-rapat (air tight), lalu dimasukkan dalam peti kayu yang
tebalnya sekurang-kurangnya 3 cm, sehingga peti tidak dapat bergerak di
dalamnya. Peti kayu ini dipaku dengan skrup dengan jarak sepanjang-panjangnya
20 cm dan diperkuat dengan ban-ban logam (secured with metal bands).
Sedangkan syarat administrasi yaitu: harus ada proses verbal yang sah dari
pamong praja setempat atau polisi tentang pemetian jenazah tersebut, harus ada
keterangan dokter yang menyatakan sebab kematian orang itu bukan karena
penyakit menular, segala surat keterangan/dokumen yang bersangkutan harus
disertakan pada jenazah tersebut untuk ditandatangani oleh dokter KKP (Kantor
Kesehatan Pelabuhan) (Menkes, 2007).
a. Pengangkutan jenazah ke luar kota
Apabila jenazah hendak diangkut ke luar kota, maka harus mendapat
persetujuan dahulu dari kantor DKK setempat. Bila dokter DKK menyetujui
baru minta izin dari pembantu gubernur atau kepala daerah setempat (Dinas
Pertamanan). Syarat-syarat untuk pengangkutan jenazah keluar kota ialah:
1) bukan meninggal karena penyakit menular,
2) jenazah dimasukkan ke dalam peti kayu yang kuat dan rapat serta
didempul,
3) sampai di tempat harus langsung dibawa ke makam (Algozi, 2012).
b. Pengiriman jenazah ke luar negeri
Syarat-syarat pengangkutan jenazah keluar negeri, adalah sebagai berikut:
1) jenazah harus diawetkan dengan formalin 10% sebanyak kira-kira 12
liter,
2) dimasukkan kedalam peti logam, misal seng, timah, dan lain-lain,
16
3) alas peti logam dilapisi bahan absorbent, misal serbuk gergaji,
4) peti logam ditutup rapat dan disolder,
5) peti logam ini kemudian dimasukan ke dalam peti kayu yang tebalnya
kira-kira minimal 3 cm dan diusahakan jangan sampai peti logam
bergerak,
6) peti kayu ini dipaku dengan skrup, dengan jarak masing-masing 20 cm,
7) peti kayu ini kemudian diperkuat dengan melingkarinya memakai plat
dari logam,
8) kemudian peti dimasukkan kedalam peti barang yang terbuat dari kayu,
9) peti yang berisi jenazah ini harus diletakkan dibagian dari kapal atau
pesawat terbang yang jauh dari makanan atau minuman dan tidak
menghalangi lalu lalang dari penumpang atau awak kapal,
10) harus ada proses verbal yang sah dari polisi tentang pemasukan jenazah
tersebut,
11) harus ada keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa jenazah
tersebut tidak meninggal karena penyakit menular, dan
12) semua surat-surat keterangan yang bersangkutan harus disertakan
dengan jenazah untuk ditanda tangani oleh dokter pelabuhan (Algozi,
2012).
2. Kedatangan Jenazah
Syarat teknis kedatangan jenazah yaitu: jenazah telah dimasukkan dalam
peti sesuai prosedur yang berlaku, apabila tidak sesuai dengan ketentuan tersebut
di atas, dapat dilakukan pemeriksaan ulang bersama intansi terkait (bea cukai dan
kepolisian). Sedangkan syarat administrasi yaitu: meninggal bukan karena
penyakit karantina atau penyakit menular tertentu, dilengkapi dengan surat
keterangan kematian dari dokter atau rumah sakit yang berwenang, telah
dilengkapi proses verbal yang sah dari pamong praja setempat atau polisi tentang
pemetian jenazah tersebut (Menkes, 2007).
Terminal kargo yang menerima di Indonesia wajib memiliki fasilitas ruang
penyimpanan bagi jasad manusia. Bangunan terminal kargo harus dilengkapi
dengan prosedur dan sarana pendukung untuk mengantisipasi adanya upacara
penjemputan bagi jenazah, sehingga tidak menggangu kegiatan pengiriman dan
17
penerimaan kargo (Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2005).
Pembagian transportasi jenazah yaitu sebagai berikut.
a. Transportasi jenazah di darat
Mobil jenazah merupakan alat transportasi yang digunakan untuk
mengangkut jenazah yang dilengkapi dengan peralatan sesuai standar. Mobil ini
dilengkapi dengan lampu isyarat warna merah dan sirine. Isyarat peringatan
dengan bunyi yang berupa sirine hanya dapat digunakan oleh kendaraan jenazah
yang sedang mengangkut jenazah. Pengguna jalan berupa iring-iringan pengantar
jenazah memiliki hak utama untuk didahulukan. Berbeda dengan angkutan umum
lainnya, pengangkutan jenazah tidak wajib memiliki izin penyelenggaraan
(Susanti, 2015).
b. Transportasi jenazah di laut
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan
yang disatukan oleh wilayah perairan yang sangat luas. Di beberapa daerah di
Indonesia akses transportasi hanya bisa melalui kapal. Ketika membawa jenazah
di atas kapal harus disertai dengan dokumentasi: surat keterangan kematian dari
rumah sakit, surat keterangan kematian dari polisi, surat keterangan kematian dari
camat, surat keterangan kematian dari karantina. Kemudian nakhoda pihak yang
menerima jenazah menyediakan ambulan pada pelabuhan tujuan.1
c. Transportasi jenazah di udara
Setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan
tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang
bawaan atau barang yang tidak bertuan disebut kargo. International Air Transport
Association (IATA) mengategorikan peti atau kemasan lain yang berisi jenazah
atau abu jenazah termasuk dalam special cargo yang memerlukan penanganan
khusus (special handling). Pemeriksaan dengan cara perlakuan khusus dilakukan
dengan pemeriksaan fisik kargo, dokumen dari instansi terkait dan
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prosedur
penerimaan kargo dan pos harus memuat proses pemeriksaan terhadap dokumen,
yaitu : administrasi, pemberitahuan tentang isi, surat muatan udara (airway bill),
daftar kargo dari perjanjian kerjasama bagi pengirim pabrikan (known shipper),
dan dokumen lain yang diperlukan dalam pengangkutan kargo dan pos tertentu.
18
Pengangkutan jenazah menggunakan pesawat udara harus disertai dengan surat
keterangan dari instansi kesehatan.1
Pengurusan pengiriman jenazah ke Indonesia, harus melakukan koordinasi
dengan:
1) Rumah Sakit (mengenai penyimpanan sementara jenazah).
2) KBRI / Konjen sebagai wakil pemerintah RI (mengenai pengesahan
dokumen dan terjemahannya).
3) Ward Office atau City Hall sebagai wakil pemerintah asal.
4) Perusahaan peti jenazah.
5) Perusahaan penerbangan (jika dibawa dengan pesawat terbang).14
Prosedur pengurusannya yaitu: pihak rumah sakit akan menerbitkan surat
kematian selanjutnya pengesahan surat kematian oleh pemerintahan kota
setempat, dan keterangan lokasi pemakaman: bahwa jenazah akan dibawa ke
Indonesia untuk dimakamkan di sana. Mayat harus diawetkan, pengawetan
jenazah yang lazim dalam pengiriman via pesawat adalah memakai es kering (dry
ice). Berikutnya kontak ke perusahaan peti jenazah, dan penerbitan surat
keterangan mengenai: ukuran peti jenazah, cara pengawetan jenazah (misalnya
apakah memakai formalin, atau es kering). Juga menerbitkan surat keterangan
bahwa peti tersebut berisi jenazah. KBRI/Konjen berdasarkan surat-surat tersebut,
akan menerbitkan surat pengantar perjalanan resmi. Dokumen maupun terjemahan
yang telah disahkan oleh KBRI atau Konsulat Jenderal tersebut akan dipakai
untuk mengurus pengiriman jenazah ke Indonesia ke perusahaan penerbangan.
Istilah baku untuk jenazah dalam pengiriman via pesawat adalah “human
remains”.1
Pada RSUD Arifin Achmad, Provinsi Riau, alur pemulangan jenazah yang
berasal dari luar atau yang meninggal di luar RSUD dan dibawa ke RSUD Arifin
Achmad untuk divisum atau dititipkan adalah sebagai berikut.18
1) Pengantar atau penanggungjawab jenazah menandatangani Surat
Penitipan, dengan tujuan untuk divisum atau dititipkan.
2) Jenazah kemudian diperiksa dokter dan dibuatkan SKK (Surat Keterangan
Kematian) yang ditanda tangani dokter rangkap 2 (satu yang asli dan satu
duplikat).
19
3) Petugas kamar jenazah mengisi “Berita Acara Pengambilan Jenazah” oleh
keluarga dan menandatanganinya.
4) Pihak keluarga juga menandatangani “Berita Acara Pengambilan Jenazah”.
5) Petugas kamar jenazah memberi penjelasan, kemudian menyerahkan SKK
Asli dan Lembar Asli Berita Acara Pengambilan Jenazah kepada keluarga.
Sementara itu, untuk alur pemulangan jenazah yang berasal dari dalam atau
yang meninggal di RSUD Arifin Achmad adalah sebagai berikut. 18
1) Jenazah dari Ruangan Perawatan (IGD, ICU, CVCU, Bangsal) diantar
oleh petugas ke kamar jenazah.
2) Dilengkapi dengan bukti SKK ( Surat Keterangan Kematian) yang telah
ditandatangani dokter rangkap 2 (satu yang asli dan satu duplikat).
3) Petugas pengantar jenazah melakukan serah terima jenazah dengan
petugas kamar jenazah.
4) Petugas kamar jenazah mengisi “Berita Acara Pengambilan Jenazah” oleh
keluarga dan menandatanganinya.
5) Pihak keluarga juga menandatangani “Berita Acara Pengambilan
Jenazah”.
6) Petugas kamar jenazah memberi penjelasan, kemudian menyerahkan SKK
Asli dan Lembar Asli Berita Acara Pengambilan Jenazah kepada keluarga
dan gelang identitas dibuka / digunting.
7) Jenazah dapat dibawa pulang oleh keluarga.
Waktu pengambilan jenazah dari ruangan perawatan tergantung diagnosis
akhir oleh DPJP, antara lain:19
1. Jenazah non infeksi
Diambil kurang lebih 2 jam setelah meninggal,
2. Jenazah B20/HIV AIDS
Diambil kurang lebih 3 jam setelah meninggal dengan memperhatikan
(Universal Precaution),
3. Jenazah terlantar
Penitipan 2x24 jam.

20
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2019 Jenazah


merupakan sinonim dari kata mayat, yang berarti badan atau tubuh orang
yang sudah mati.
2. Pemulasaran jenazah adalah perawatan pasien setelah meninggal, yang
meliputi persiapan jenazah untuk diperlihatkan pada keluarga, transportasi
ke kamar jenazah dan melakukan disposisi (penyerahan) barang-barang
milik pasien.
3. Di Indonesia, transportasi jenazah mendapatkan proses pengawasan dalam
upaya kesehatan untuk karantina, tujuannya adalah agar jenazah bebas dari
penyakit menular yang dapat membahayakan tempat tujuan jenazah.
4. Prosedur pengawasan pengangkutan jenazah dibagi sebagai berikut,
a. Pemberangkatan Jenazah
b. Kedatangan Jenazah
5. Di Indonesia standart adanya kamar jenazah di sebuah rumah sakit sudah
ditetapkan peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 24 tahun
2016 bab II tentang bangunan rumah sakit bagian kesatu umum pada Pasal
16.

3.2 Saran

1. Di harapkan semua RS memiliki ruang pendingin “lemari es” untuk


menyimpan jenazah jika jenazah kurun waktu 1x24 jam belum ada yang
mengambil.
21
2. Diharapkan semua rumah sakit dalam menangani jenazah B20 yang
merupakan kiriman dari ruangan RS setempat, tidak lupa memberikan
informasi kepada petugas kamar jenazah untuk melakukan tindakan
prosedur pemulangan jenazah dengan B20.
3. Untuk Jenazah yang terlantar tanpa ada keluarga yang mengambil,
sebaiknya di tunggu 5 hari dan di masukkan ke dalam lemari es serta di beri
suntukan agar tidak cepat membusuk, jika dalam kurun waktu 5 hari tidak
ada keluarga yang mengambil maka RS bersangkutan dapat menyimpan
jenazah di lemari es dan salama setahun dan dapat menghunbungi fakultas
kedokteran bagian Dept. forensik untuk melihat jenazah layak atau tidak
untuk menjadi bagian pembelajaran di institusi pendidikan dokter.

22
DAFTAR PUSTAKA

1) Susanti, R. 2015. Transportasi jenazah dan aspek medikolegal. Jurnal Kesehatan


Andalas. 4(3): 600-606.
2) Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Standar Kamar
Jenazah. Jakarta: Bakti Husada; 2004.
3) Suryadi, Taufik. 2019. Penentuan Sebab Kematian Dalam Visum Et Repertum
Pada Kasus Kardiovaskular. Aceh. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syiah.Jurnal Averrous Vol. 5 (1).
Mei 2019.
4) Syahputra, A.A., R. Susanti., H. Mulyani. 2016. Gambaran Format dan Tata Cara
Pengeluaran Surat Keterangan Kematian Pada Rumah Sakit di Kota Padang.
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2016; 5 (1)
5) Rika S. Paradigma Baru Peran Dokter dalam Pelayanan Kedokteran Forensik.
Majalah Kedokteran Andalas. 2012;2(36):146-153
6) Gani, M. Husni. Surat Keterangan Kematian. Dalam : Ilmu Kedokteran Forensik.
Materi Kuliah, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas: 2005; h 49-51;
7) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Nomor 15
Tahun 2010 Nomor 162/MENKES/PB/I/2010.
8) Kesuma MMA. 2013. Standar operasional prosedur perawatan jenasah. Available
from: URL: www.scribd.com
9) Danila A, dkk. 2013. Aspek medikolegal tentang standarisasi kamar jenazah.
Available from: URL: https://ml.scribd.com/doc/210084269/Referat-Forensik-25-
12-13

23
10) Afandi D. 2009. Otopsi virtual. Available from: URL:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/655/6
11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1981. Tentang bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan
tubuh manusia. Available from: URL: http://www.hukor.depkes.go.id/pdf
12) Bagian kedokteran forensik fakultas kedokteran universitas Indonesia. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta: FKUI; 1997. Ikatan dokter indonesia. Available
from:URL: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?
act=tampil&id=43100&idc=24
13) Standar Operasional Prosedur Pemulasaran Jenazah Rumah Sakit Anutapura.
2010.
14) Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/Menkes/sk/iv/2007
tentang pedoman upaya kesehatan pelabuhan dalam rangka karantina kesehatan
diakses dari http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.
%20424%20ttg%20Pedoman%20Upaya%20Kesehatan%20Pelabuhan%20dalam
%20Rangka%20Karantina%20Kesehatan.pdf
15) Algozi, A. M. 2012. Surat Kematian. Dalam Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Hoediyanto dan Hariadi, A. Surabaya: Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.
16) Peraturan menteri perhubungan nomor: km 29 tahun 2005 tentang pemberlakuan
standar nasional Indonesia (SNI) 03-7047-2004 mengenai terminal kargo Bandar
udara sebagai standar wajib, diakses dari
http://kemhubri.dephub.go.id/perundangan/images/stories/doc/permen/2005/km_n
o_29_tahun_2005.pdf
17) Departemen Kesehatan RI. 2004. Standar Kamar Jenazah. Jakarta: Departemen
Kesehatan.
18) Alur Pemulangan Jenazah Dari Luar Dan Dalam Rumah Sakit RSUD AA diakses
dari https://www.riau.go.id/home/skpd/2018/08/16/4213-alur-pemulangan-
jenazah-dari-luar-dan-dalam-rumah-sakit-rsud

24
19) Pelayanan Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal diakses dari
https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/jawa-tengah/kota-tegal/pelayanan-
instalasi-kedokteran-forensik-dan-medikolegal
20) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 diakses
dari
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._24_ttg_Sekretariat_
Komisi_Penanggulangan_AIDS_Nasional_.pdf
21) Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/Menkes/sk/iv/2007
tentang pedoman upaya kesehatan pelabuhan dalam rangka karantina kesehatan
diakses dari http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.
%20424%20ttg%20Pedoman%20Upaya%20Kesehatan%20Pelabuhan%20dalam
%20Rangka%20Karantina%20Kesehatan.pdf
21) Standar Operasional Prosedur Pemulasaran Jenazah Rumah Umum Restu Ibu.
2011.

25

Anda mungkin juga menyukai