Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan
bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu
penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang
maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk
rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat [1]. Penyakit-penyakit saluran
pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic
Obstructive Pulmonary Disease [1].
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap
tahunnya. 40-60 % dari kunjungan di pelayanan primer akibat ISPA. ISPA
menyebabkan kejadian kematian sebanyak 20-30 % [2]. Infeksi saluran pernafasan
akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan
oleh berbagai etiologi. Kebanyakan infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh
virus dan mikroplasma. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis bakteri, virus, dan
jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium
Diffteria [4].
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang
benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya
kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Orang dengan ISPA harus
mengurangi kontak dengan orang lain untuk menghindari penyebaran infeksi.
Orang dewasa dapat menular sejak hari sebelum gejala dimulai sekitar 5 hari setelah
timbulnya penyakit [8].
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA dan Faringitis


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan
atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai
penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor
lingkungan, dan faktor pejamu [3]. ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran
pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia
ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri
tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas. Contoh
patogen yang menyebabkan ISPA yang dimasukkan dalam pedoman ini adalah
rhinovirus, respiratory syncytial virus, paraininfluenzaenza virus, severe acute
respiratory syndrome associated coronavirus (SARS-CoV), dan virus Influenza
[3].
Setiap tahunnya ±40 juta orang datang ke pusat pelayanan kesehatan karena
faringitis. Banyak anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5 kali infeksi virus
pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral
faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah.
Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan pada faring yang
bisa disebabkan oleh bakteri maupun virus. Kebanyakan disebabkan oleh virus,
termasuk penyebab common cold, adenovirus, mononucleosis atau HIV. Bakteri
yang bisa menyebabkan faringitis adalah Streptokokus grup A, korinebakterium,
arkanobakterium, Neisseria gonorrhoeae atau Clamidia pneumonia. Faringitis
menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis [7].
2.2. Etiologi
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek
dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Kebanyakan infeksi saluran
pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikroplasma. Etiologi ISPA terdiri dari
300 lebih jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya:
Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza,
Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium Diffteria [4]. Bakteri tersebut di udara
bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu
tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak yang
kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan
[5].
Golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus.
Virus para-influensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan,
bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa
bukan penyebab terbesar terjadinya terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali
hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza
merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas
daripada saluran nafas bagian bawah. National Ambulatory Medical Care Survey
menunjukkan ±200 kunjungan ke dokter tiap 1000 populasi akibat viral faringitis
[6, 7].
2.3. Faktor Resiko
2.3.1. Faktor host (diri)
2.3.1.1 Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering
mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang
dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada
usia yang lebih lanjut [8].
2.3.1.2 Jenis kelamin
Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu
diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukkan
adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis
kelamin tertentu. Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada
usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark
[8].
2.3.1.3 Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein
(KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik,
saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi
yang lainnya. Ketahanan tubuh menurun dan virulensi
pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan
yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah
satu determinan utama dalam mempertahankan
keseimbangan tersebut adalah status gizi anak [8].
2.3.1.4 Status imunisasi
Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan
penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai
dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi
yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti
dalam mencegah kejadian ISPA [8].
2.3.1.5 Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa
pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama
pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk
mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi [2].
2.3.1.6 Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama
pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya
merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai
sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya
beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk
sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif
melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten
ke permukaan saluran pernafasan atas [9].
2.3.2. Faktor lingkungan
2.3.2.1 Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang
menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi
dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan,
perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani
dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan
individu. Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki
faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak-
anak yang tinggal di rumah culster di Denmark.
2.3.2.2 Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah
anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor
risiko untuk ISPA. Kepadatan hunian (crowded)
mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat [10].
2.3.2.3 Status sosial ekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat
sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat
dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan
tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden
ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara
kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi
[11].
2.3.2.4 Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya
mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat
dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak
merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa
episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua
merokok [12].
2.3.2.5 Polusi udara
Polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit ISPA. Adanya ventilasi rumah yang kurang
sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang
terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya
ISPA anak [12, 11].
Faktor risiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang
berlebihan [7].
2.4. Tanda dan Gejala ISPA
Sebagian besar anak dengan ISPA memberikan gejala yang sangat penting
yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda
lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali
batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan. Selain batuk
gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak
meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas [12]. Menurut derajat
keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu ISPA ringan bukan
pneumonia; ISPA sedang, pneumonia; ISPA berat, pneumonia berat [1].
Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA
ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari dua
bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya
tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang
menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien
kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala
ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam, sedangkan ISPA sedang
dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana [12]. Seorang anak
dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut: batuk;
serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada
waktu berbicara atau menangis); pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari
hidung; dan, panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas [13].
2.5. Patogenesis ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia
yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke
arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks
tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernafasan [14]. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya
batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas,
sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap
awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk [1].
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi
bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan
staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut [1]. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang
produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak [6].
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat
yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa
menyebar ke saluran nafas bawah [14]. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri [1]. Penanganan
penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran
nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar
terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang
tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah
bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran
nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa saluran nafas [3].
Perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
[1]:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal
akibat pneumonia.
2.6. Klasifikasi ISPA
Banyaknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan
akut ini cukup menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, hal ini semakin nyata
setelah diketahui bahwa satu organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis
penyakit serta adanya satu macam penyakit yang bisa disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme tersebut [1, 3].
2.6.1 Lokasi Anatomis
a. Infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Merupakan infeksi akut yang menyerang hidung hingga
faring.
b. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Merupakan infeksi akut yang menyerang daerah di bawah
faring sampai dengan alveolus paru-paru.
2.6.2 Derajat keparahan penyakit
WHO merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya.
Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah
ditetapkan dalam lokakarya Nasional ISPA. Adapun pembagiannya sebagai berikut
[4]:
a. ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut:
1. Batuk
2. Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
1. Pernafasan cepat.
2. Wheezing (nafas menciut-ciut).
3. Sakit/keluar cairan dari telinga.
4. Bercak kemerahan (campak).
c. ISPA berat
Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala
berikut:
1. Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi.
2. Kesadaran menurun.
3. Bibir / kulit pucat kebiruan.
4. Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
5. Adanya selaput membran difteri.
2.7. Penatalaksanaan Penyakit ISPA
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang
benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya
kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan
kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang
akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek
biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi
penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan
minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut [1]:
Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit tersebut dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada yang bersangkutan orang tua misalkan
penderita ISPA pada anak-anak atau balita [11].
Klasifikasi ISPA berdasarkan ada atau tidaknya pneumonia
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai
berikut [4]:
1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding
dada kedalam (chest indrawing).
2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa
disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas
cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan
pneumonia.
Pengobatan ISPA
Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) didiagnosis sendiri dan
diobati sendiri di rumah oleh pasien atau keluarga. Pasien yang datang dengan ISPA
sering mendapat manfaat dari jaminan, pendidikan, dan instruksi untuk pengobatan
simptomatik di rumah. Terapi berbasis gejala merupakan pengobatan ISPA pada
orang dewasa yang imunokompeten, meskipun terapi antimikroba atau antivirus
sesuai untuk pasien tertentu. The American Academy of Pediatrics merilis satu
prinsip dasar penggunaan antibiotik yang efektif untuk mengobati ISPA pada anak,
termasuk otitis media akut, sinusitis bakteri akut, dan faringitis streptokokus.
Prinsipnya adalah sebagai berikut: Diagnosis yang akurat dari infeksi bakteri;
Pertimbangan risiko dan manfaat pengobatan antibiotik; dan Implementasi strategi
peresepan yang bijak, termasuk pemilihan antibiotik yang paling efektif, resep dosis
yang tepat, dan pengobatan untuk durasi sesingkat mungkin [15].
Prinsip-prinsip ini akan membantu penyedia layanan kesehatan membedakan
infeksi bakteri dari infeksi virus. Little et al mengevaluasi efektivitas strategi
peresepan antibiotik yang tertunda untuk infeksi saluran pernafasan pada 889
pasien di pelayanan primer Kerajaan Inggris (usia ≥3 tahun) yang dinilai tidak
memerlukan antibiotik segera. Mereka melaporkan bahwa menggunakan strategi
baik tidak atau resep yang tertunda menghasilkan kurang dari 40% pasien di 25
praktik menggunakan antibiotik. Strategi pemberian resep yang tertunda terdiri dari
rekontruksi resep, resep yang sudah dipatenkan, pengumpulan resep, dan
pemberian resep. Tidak ada atau resep yang tertunda dikaitkan dengan pasien yang
memiliki keyakinan kurang kuat dalam penggunaan antibiotik, dan hasil gejala
mirip dengan yang diamati pada pasien yang menerima resep segera [16].
Langkah-langkah perawatan di rumah dapat membantu untuk meredakan
gejala hidung dan sinus, antara lain: menjaga udara ruangan agar hangat dan
lembab, melakukan nasal toilet, minum yang cukup, Suction bulb (untuk bayi),
menghindari iritasi hidung (misalnya, asap rokok, polusi udara dalam dan luar
ruangan). Hidung dan mukosa sinus paranasal mungkin menjadi lebih sering
teriritasi oleh udara kering. Strategi berikut dapat mempertahankan kelembaban
membran dan melonggarkan sekresi hidung dengan cara menghirup uap panas (bisa
dari uap memasak nasi, air yang sedang dipanaskan) [17]. Salah satu cara untuk
memberikan udara yang hangat dan lembab adalah dengan menuangkan air matang
ke dalam panci atau mangkuk yang ditempatkan di lokasi yang stabil (misalnya,
tengah meja dapur) dan minta pasien menggantungkan sehelai kain di atas
kepalanya dan membungkuk di atas mangkuk untuk menghirup uap. Berhati-hatilah
untuk menghindari tumpahan air mendidih yang dapat menyebabkan luka bakar
[17].
Menyeruput air panas atau minuman hangat mungkin lebih menenangkan
saluran hidung daripada minuman dingin es. Hindari udara yang sangat dingin dan
kering Nasal saline dapat memberikan bantuan melancarkan saluran nafas di
hidung. Minum 8 gelas atau lebih air, jus, atau minuman tanpa kafein setiap hari
dapat membantu mengencerkan sekresi lendir dan mengganti kehilangan cairan.
Pasien dengan gagal jantung kongestif atau penyakit ginjal atau hati mungkin perlu
memoderasi asupan cairan mereka untuk menghindari volume berlebihan.
Langkah-langkah perawatan di rumah untuk meredakan gejala-gejala tenggorokan
termasuk pembilasan garam hangat. Hindari bahaya tersedak pada anak-anak kecil.
Tindakan perawatan di rumah untuk meredakan batuk termasuk mengurangi
rangsangan iritasi (misalnya, udara dingin dan kering; polusi udara dalam atau luar
ruangan) yang dapat memicu batuk. Postur tegak atau semi-tegak, seperti tidur
dengan kepala dan bahu terangkat, dapat menurunkan batuk terkait dengan sekresi
faring [18].
Sebuah studi 2007 menunjukkan bahwa madu lebih unggul daripada
dekstrometorfan dalam mengurangi gejala batuk dan memperbaiki tidur pada anak-
anak dengan ISPA [17]. Tindakan perawatan di rumah untuk meningkatkan kualitas
tidur termasuk tidur dengan kepala dan bahu sedikit lebih tinggi, yang dapat
meningkatkan drainase sinus dan hidung. Banyak gejala memburuk pada malam
hari, karena mekanika pembersihan jalan relatif tidak efektif dalam posisi
tengkurap. Selain itu, gangguan dari pengalaman gejala lebih sedikit dari pada siang
hari [13].
Dekongestan oral dapat memberikan bantuan untuk menghilangkan gejala
pada pasien dengan rhinorrhea persisten atau bersin. Efek merugikan dari
dekongestan oral termasuk yang berikut: cemas, insomnia, takikardia dan disritmia,
tekanan darah tinggi, palpitasi, tremor, dan retensi urin. Hati-hati pada pasien
dengan penyakit jantung, hipertensi, pembesaran prostat, glaukoma, kecemasan,
hipertiroidisme, atau kondisi medis lainnya dan pada wanita hamil atau menyusui.
Tidak seperti dekongestan hidung topikal, dekongestan oral tampaknya tidak
menyebabkan fenomena rebound setelah penghentian penggunaan [13].
Pertimbangan mengenai risiko dan manfaat menggunakan obat batuk dan pilek
pada anak-anak yang lebih muda dari 2 tahun harus cermat karena efek samping
yang serius, termasuk kematian, telah dilaporkan dengan penggunaan obat yang
dijual bebas. Banyak obat batuk dan pilek yang dijual bebas diberi label "jangan
digunakan" pada anak-anak yang lebih muda dari 4 tahun [20].
Dekongestan topikal seperti phenylephrine (alpha agonist) dan
oxymetazoline (agonis alpha2-adrenergik selektif) dapat memberikan bantuan
sementara yang cepat dari obstruksi nasal. Histamin dianggap berperan dalam
menurunkan gejala ISPA, sehingga antihistamin oral generasi pertama (misalnya,
diphenhydramine, chlorpheniramine, clemastine) memiliki beberapa efek
antikolinergik, yang secara teori dapat mengurangi bersin dan rhinorrhea. Efek
tersebut telah dilaporkan untuk clemastine fumarate pada pasien dengan flu biasa.
Pada anak-anak non alergi dengan rinosinusitis bakterial akut, data mengenai
efektifitas antihistamin sebagai adjuvan untuk antibiotik tidak cukup. Antihistamin
dapat memeprbanyak sekresi dan dapat mengurangi drainase sinus [13]. Steroid
topikal dan sistemik diresepkan dengan tujuan mengurangi pembengkakan mukosa
pada pasien dengan rinosinusitis virus atau bakteri akut. Namun, sedikit bukti
mendukung penggunaannya untuk indikasi ini. Antibiotik tidak memberikan
perbaikan pada anak-yang terkena rinosinusitis bakteri akut [17].
Pengobatan ISPA dengan Pneumonia [4]
1. Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral, oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan
pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai
obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin
prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila
demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita
dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat
adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah
bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
Pencegahan
Beberapa langkah dapat mengurangi kerentanan terhadap ISPA. Pada bayi
baru lahir, praktik menyusui ASI dilakukan untuk mentransfer antibodi protektif
melalui ASI ibu dan memberikan imunisasi pasif terhadap banyak patogen. Anak
yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa diberikan diet yang cukup untuk menjaga
kesehatan secara keseluruhan dan fungsi kekebalan tubuh yang optimal. Makan
lima porsi buah dan sayuran setiap hari biasanya. Berbagai vitamin dan mineral
diperlukan untuk kekebalan, makanan mungkin memiliki lebih banyak manfaat gizi
daripada mengonsumsi suplemen individu.
Perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok dan pengurangan paparan
asap rokok dapat mengurangi kejadian ISPA. Olahraga yang teratur dan sedang
dapat mengurangi kerentanan terhadap ISPA, sedangkan pelatihan intensif dalam
atlet ketahanan berkinerja tinggi dapat meningkatkan kerentanan. Stres memiliki
efek merusak pada sistem kekebalan tubuh. Langkah-langkah untuk mengurangi
stres mungkin termasuk mengubah jadwal dan tanggung jawab, meningkatkan
waktu yang dihabiskan melakukan kegiatan santai, dan meningkatkan waktu tidur
[4, 1].
Mencuci tangan adalah andalan untuk mengurangi risiko tertular ISPA. Cuci
tangan selama 20 detik dengan sabun dan air biasa pada semua permukaan tangan,
jari-jari dan memebersihkan kuku dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat ISPA. Mencuci tangan sebelum makan dan saat menyiapkan makanan,
setelah buang air besar, setelah mengganti popok atau menangani sampah lain, serta
setelah batuk atau bersin. Penggunaan pembersih tangan berbahan dasar alkohol
dapat dilakukan bila sabun dan air tidak tersedia. Hindari kontak dengan zat sekresi
orang yang terinfeksi. Tutup batuk dan bersin dengan tisu atau lengan atas.
Rhinovirus dapat bertahan selama 3 jam pada kulit dan alat yang disentuh, seperti
telepon, gagang pintu, dan pagar tangga [13].
Orang dengan ISPA harus mengurangi kontak dengan orang lain untuk
menghindari penyebaran infeksi. Orang dewasa dapat menular sejak hari sebelum
gejala dimulai sekitar 5 hari setelah timbulnya penyakit. Anak-anak dapat
kehilangan virus selama beberapa hari sebelum penyakit mereka dimulai, dan
mereka dapat tetap menular hingga 10 hari setelah onset gejala. Pasien dengan
pertusis dapat menular selama berminggu-minggu selama fase batuk. Orang dengan
gangguan imun berat dapat mengeluarkan virus selama berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan. Pasien yang sakit influenza atau infeksi serupa harus tetap
di rumah (kecuali untuk menerima perawatan medis dan kebutuhan lainnya) sampai
setidaknya 24 jam telah berlalu tanpa demam, tanpa menggunakan obat penurun
demam [8].

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Nurmisbahul
Umur : 21 Tahun
Pekerjaan : Wirausaha
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Meunasah Baro
Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2018

3.2. Anamnesis
KeluhanUtama : Batuk tidak berdahak
RiwayatPenyakitSekarang :
Pasien datang ke poli PKM dengan keluhan batuk tidak berdahak
dan tenggorokan terasa gatal yang dialami sejak 2 hari yang lalu, keluhan
disertai dengan suarau parau, dan demam naik turun. Pasien tidak
mengalami sesak napas maupun mual-muntah. Nafsu makan berkurang,
BAB lancar, tidak ada kelainan. BAK lancar dan tidak ada kelainan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sudah beberapa kali mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien mengalami keluhan yang sama.
Genogram :

Keterangan : = Laki-laki
= Perempuan
= Pasien

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan:


 Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk seadanya, namun terkadang
pasien makan tidak teratur dan menjadi malas makan terutama saat sakit.
Pasien lebih suka mengkonsumsi makanan jajanan disekitar lingkungan
rumah terutama jajan snack. Pasien mulai diajarkan ibunya untuk
mencuci tangan sebelum makan, dan setelah pasien bermain diluar
rumah. Ayah pasien adalah seorang perokok aktif, keduanya dapat
merokok dimana saja, bahkan saat berkumpul dengan anak–anaknya.
 Pasien tinggal bersama orang tuanya di rumah pribadi yang berada
di pinggir jalan. Rumah pasien berupa sebuah rumah tipe semi-permanen
berukuran panjang x lebar ± 10 x 14 m2. Rumah terdiri dari ruang tamu,
2 kamar tidur, ruang keluarga, dapur, ruang makan, tempat cuci piring,
dan tempat menjemur pakaian. Lantai rumah terbuat dari keramik,
dinding rumah dari batako yang sudah diplester, dan atap rumah terbuat
dari seng tanpa plafon. Ruang tamu, kamar, dan dapur memiliki jendela
dan pencahayaan yang cukup. Ruang keluarga tempat utama
berkumpulnya seluruh anggota keluarga juga digunakan sebagai ruangan
untuk tidur sekeluarga, karena kamar tidur jarang digunakan dengan
alasan belum diberi plafond. Jarak rumah pasien dengan rumah tetangga
+ 2 m.
 Sumber air yang dipakai untuk sehari–hari adalah dari air tanah yang
dihubungkan dengan pipa air. Sedangkan untuk minum, keluarga pasien
menggunakan air dari pipa tersebut yang telah dimasak.
 Sumber listrik dari PLN. Sampah dibuang pada tempat sampah di
halaman depan rumah dan dibakar di halaman depan rumah saat tempat
sampah penuh.
 Ayah Pasien memiliki kebiasaan sering merokok dalam rumah dan
di sekitarnya biasa ada anak-anak meraka yang sedang bermain.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah pasien sebagai tulang punggung keluarga, dengan penghasilan yang
tidak menetap. Rata-rata penghasilan per bulannya kurang lebih Rp.800.000,-.
Pasien sendiri bekerja dengan berjualan.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Kondisi Umum : Saki tringan BeratBadan : 48 kg
Tingkat Kesadaran : Compos Mentis TinggiBadan : 158 cm
Status Gizi : Kurang
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 96 kali/menit (kuat angkat, isi cukup, reguler)
Suhu : 36.70C
Pernapasan : 19 kali/menit
Kulit : Warna sawo matang.

Kepala : Rambut berwarna hitam, tipis dan tidak mengkilap,


konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, pupil bulat
isokor (diameter 3 mm). Terdapat sekret pada hidung
(warna bening keputihan), tidak terdapat pernapasan
cuping hidung. Tidak ada sekret pada telinga, sekret di
hidung, bibir tidak sianosis.
Tenggorokan-Leher : Faring hiperemis.
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.
Thoraks :
Paru : Inspeksi : permukaan dada simetris, penggunaan
otot-otot bantu pernapasan (-).
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-) taktil fremitus
kiri = kanan.
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : bunyi napas brokovesikuler +/+,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Jantung : Inspeksi : iktus kordis tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi : pekak
Auskultasi : bunyi jantung I dan II murni, reguler,
bising jantung (-).
Abdomen : Inspeksi : permukaan datar, seirama gerak napas
Auskultasi : peristaltik kesan normal
Perkusi : timpani
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (-)
Bawah : Akral hangat, edema (-)
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
3.5. Diagnosis Kerja
ISPA non pneumonia
3.6. Diagnosis Banding
- ISPA pneumonia
3.7. AnjuranPemeriksaan
1) Pemeriksaan darah rutin
2) Pemeriksaan apusan sekret
3) Pemeriksaan foto thoraks
3.8. Terapi
 Medikamentosa :
CTM (4 mg) 2x1 tab.
Paracetamol (500 mg) 3x1
 Nonmedikamentosa :
 Kompres jika demam
 Meminum air hangat, memakan buah dan istirahat yang cukup
 Makan makanan bergizi pada anak secara teratur untuk membantu
meningkatkan daya tahan tubuh.
 Jauhi paparan iritan.
BAB 4
PEMBAHASAN

Aspek Klinis
Pasien perempuan usia 21 datang ke poli PKM dengan keluhan utama batuk
kering yang dialami sejak 1 hari yang lalu. Pasien tidak mengalami sesak napas
maupun mual-muntah. Pasien juga mengalami demam yang naik turun sejak 1 hari
yang lalu tanpa disertai menggigil maupun kejang. Nafsu makan berkurang. BAB
lancar, biasa. BAK lancar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi pasien
tergolong kurang, tampak sekret pada hidung pasien (berwarna bening keputihan)
dan pada pemeriksaan bunyi pernapasan tidak ditemukan Rhongki. Tidak
didapatkan abnormalitas lainnya sehingga berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik pasien ini didiagnosis dengan ISPA non pneumonia.
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) didefinisikan sebagai infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai dari hidung
sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).
Dikatakan akut karena munculnya mendadak dan biasanya berlangsung dalam
waktu kurang dari 14 hari [12]. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan
hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumonia dan bila infeksi paru
ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian [1]. Infeksi saluran
pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang
disebabkan oleh berbagai etiologi. Kebanyakan infeksi saluran pernafasan akut
disebabkan oleh virus dan mikroplasma. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis
bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus
Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella
Pertusis, dan Korinebakterium Diffteria [4].
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam
2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas
derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat.
Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas
bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan apusan sekret maupun foto thoraks pada kasus ini
belum perlu dilakukan karena berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien
tergolong penderita ISPA non pneumonia sehingga untuk kunjungan awalnya dapat
diberikan terapi awal berupa terapi simptomatik dan pemberian vitamin tanpa
pemberian antibiotik karena etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas
bagian atas ini ialah virus sehingga tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Terapi awal
dapat dievaluasi 3 hari kemudian untuk menentukan langkah selanjutnya yang perlu
diambil [4, 3].
Pasien ini diberikan terapi simptomatik, yaitu paracetamol dan CTM.
Paracetamol diberikan sebagai antipiretik yang bekerja pada hipotalamus.
Paracetamol juga dapat bekerja secara perifer dengan memblok impuls nyeri dan
dapat pula bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf
pusat. CTM (Chlorpheniramine Maleatalkilamin) yang merupakan salah satu dari
alkilamin yang merupakan golongan antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
Antihistamin dapat menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas dan
menurunkan produksi mukus. Efek samping yang paling sering ditimbulkan adalah
efek sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien
yang memerlukan banyak istirahat. Antihistamin juga dapat menurunkan sekresi
mukus [8].
Pada pasien ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi terutama
apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang
tidak hygiene. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan
tanda-tanda laboratoris. Tanda-tanda klinis yang dapat diamati, antara lain [4]:
1. Pada sistem respiratorik: tachypnea, napas tak teratur (dispnea), retraksi
dinding thoraks, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau
hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
2. Pada sistem hemostasis: takikardia, bradikardia, hipertensi, hipotensi dan
henti jantung.
3. Pada sistem saraf: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil
bendung, kejang dan koma.
4. Kondisi umum: letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan,
antara lain: Hipoksemia, Hiperkapnea dan Asidosis (metabolik dan atau
respiratorik). Pada kasus ini, pasien tidak memerlukan rawat inap, sehingga pasien
perlu diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk menunjang
kesembuhan saat anak menjalani perawatan di rumah, antara lain: mengatasi panas
(demam), mengatasi batuk, pemberian makanan, pemberian minum, dan tidak
dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat [3]. Cara
penularan ISPA dapat melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan
dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita
ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau
sputum. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan: Menjaga keadaan gizi agar
tetap baik, Immunisasi, Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA [1].
Kebanyakan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) didiagnosis sendiri dan
diobati sendiri di rumah oleh pasien atau keluarga. Pasien yang datang dengan ISPA
sering mendapat manfaat dari jaminan, pendidikan, dan instruksi untuk pengobatan
simptomatik di rumah. Terapi berbasis gejala merupakan pengobatan ISPA pada
orang dewasa yang imunokompeten, meskipun terapi antimikroba atau antivirus
sesuai untuk pasien tertentu. The American Academy of Pediatrics merilis satu
prinsip dasar penggunaan antibiotik yang efektif untuk mengobati ISPA pada anak,
termasuk otitis media akut, sinusitis bakteri akut, dan faringitis streptokokus.
Prinsipnya adalah sebagai berikut: Diagnosis yang akurat dari infeksi bakteri;
Pertimbangan risiko dan manfaat pengobatan antibiotik; dan Implementasi strategi
peresepan yang bijak, termasuk pemilihan antibiotik yang paling efektif, resep dosis
yang tepat, dan pengobatan untuk durasi sesingkat mungkin [15]. Pertimbangan
mengenai risiko dan manfaat menggunakan obat batuk dan pilek pada anak-anak
yang lebih muda dari 2 tahun harus cermat karena efek samping yang serius,
termasuk kematian, telah dilaporkan dengan penggunaan obat yang dijual bebas.
Banyak obat batuk dan pilek yang dijual bebas diberi label "jangan digunakan" pada
anak-anak yang lebih muda dari 4 tahun [20].
Aspek Kedokteran Keluarga
Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidak seimbangan faktor-
faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma
hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Bloom mencakup 4 faktor yaitu faktor
genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor
lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis,
cakupan dan kualitasnya), namun yang paling berperan dalam terjadinya ISPA
adalah faktor perilaku, lingkungan serta pelayanan kesehatan [21]. ISPA menjadi
masalah di mayarakat disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut:
Faktor host (diri)
Interaksi antara infeksi dan gizi telah lama dikenal, kedua keadaan ini
sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lainnya.
Ketahanan tubuh yang menurun dan virulensi patogen lebih kuat dapat
menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan
salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah
status gizi. Pada kasus ini pasien tergolong gizi kurang sehingga lebih rentan
menderita infeksi [22].
Faktor lingkungan
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk
tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan,
perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya
yang baik untuk keluarga dan individu [23]. Menurut Depkes RI, rumah sehat
adalah proporsi rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah
dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria sehat
pada masing-masing parameter adalah sebagai berikut [24]:
a. Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit,
dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi,
sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.
b. Minimum kelompok fasilitas pendukung rumah sehat adalah sarana
air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan
air limbah (SPAL) dan sarana pembuangan sampah.
c. Perilaku. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat untuk
menitikberatkan pada pengawasan terhadap strukur fisik yang
digunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan
angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan
perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA.
Kepadatan hunian seperti luas ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPAKepadatan hunian
(crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat [5]. Kepadatan
penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat
dengan kesehatan masyarakat dimana pasien ini tinggal di daerah dengan penduduk
padat dan tergolong ekonomi lemah. Pada keluarga yang merokok, secara statistik
anaknya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan
anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa
episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok. Di tempat tinggal
pasien terdapat ayahnya yang merupakan perokok aktif sehingga pasien lebih
mudah terserang ISPA [8].
Beberapa langkah dapat mengurangi kerentanan terhadap ISPA. Pada bayi
baru lahir, praktik menyusui ASI dilakukan untuk mentransfer antibodi protektif
melalui ASI ibu dan memberikan imunisasi pasif terhadap banyak patogen. Anak
yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa diberikan diet yang cukup untuk menjaga
kesehatan secara keseluruhan dan fungsi kekebalan tubuh yang optimal. Makan
lima porsi buah dan sayuran setiap hari biasanya. Berbagai vitamin dan mineral
diperlukan untuk kekebalan, makanan mungkin memiliki lebih banyak manfaat gizi
daripada mengonsumsi suplemen individu.
Perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok dan pengurangan paparan
asap rokok dapat mengurangi kejadian ISPA. Olahraga yang teratur dan sedang
dapat mengurangi kerentanan terhadap ISPA, sedangkan pelatihan intensif dalam
atlet ketahanan berkinerja tinggi dapat meningkatkan kerentanan. Stres memiliki
efek merusak pada sistem kekebalan tubuh. Langkah-langkah untuk mengurangi
stres mungkin termasuk mengubah jadwal dan tanggung jawab, meningkatkan
waktu yang dihabiskan melakukan kegiatan santai, dan meningkatkan waktu tidur
[4, 1].
Mencuci tangan adalah andalan untuk mengurangi risiko tertular ISPA. Cuci
tangan selama 20 detik dengan sabun dan air biasa pada semua permukaan tangan,
jari-jari dan memebersihkan kuku dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat ISPA. Mencuci tangan sebelum makan dan saat menyiapkan makanan,
setelah buang air besar, setelah mengganti popok atau menangani sampah lain, serta
setelah batuk atau bersin. Penggunaan pembersih tangan berbahan dasar alkohol
dapat dilakukan bila sabun dan air tidak tersedia. Hindari kontak dengan zat sekresi
orang yang terinfeksi. Tutup batuk dan bersin dengan tisu atau lengan atas.
Rhinovirus dapat bertahan selama 3 jam pada kulit dan alat yang disentuh, seperti
telepon, gagang pintu, dan pagar tangga [13].
Orang dengan ISPA harus mengurangi kontak dengan orang lain untuk
menghindari penyebaran infeksi. Orang dewasa dapat menular sejak hari sebelum
gejala dimulai sekitar 5 hari setelah timbulnya penyakit. Anak-anak dapat
kehilangan virus selama beberapa hari sebelum penyakit mereka dimulai, dan
mereka dapat tetap menular hingga 10 hari setelah onset gejala. Pasien dengan
pertusis dapat menular selama berminggu-minggu selama fase batuk. Orang dengan
gangguan imun berat dapat mengeluarkan virus selama berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan. Pasien yang sakit influenza atau infeksi serupa harus tetap
di rumah (kecuali untuk menerima perawatan medis dan kebutuhan lainnya) sampai
setidaknya 24 jam telah berlalu tanpa demam, tanpa menggunakan obat penurun
demam [8].
BAB 5
KESIMPULAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidak seimbangan faktor-
faktor utama yang dapat menyebabkan penyakit, antara lain: host, agen dan
lingkungan. Pasien tergolong gizi kurang, sering terpapar iritan, dan tinggal
dirumah yang padat. Edukasi mengenai pencegahan ISPA penting dan mudah untuk
dilakukan, antara lain: mencuci tangan, nasal toilet, menjauhi paparan iritan dan
menghindari kontak dengan penderita.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Danusantoso H. Buku saku ilmu penyakit paru. 2nd Ed. Jakarta: EGC 2012.

[2] Barnett ED, Klein JO. Bacterial infections of the respiratory tract. Remington JS, Klein
JO, eds. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. 6th ed. Philadelphia,
Pa: Elsevier Saunders Co; 2006. 297-317.

[3] WHO. Acute Respiratory Infections. [serial online]. 2009. Available from :
www.who.int/vaccine_research/diseases/ari/en/print.html.

[4] Achmady, R. 2009. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya.
Available from : http://library.usu.ac.id/.

[5] Goldman, Lee and Aussielo, Dennis. Cecil Medicine 23rd Edition. USA : Elsevier Inc.
2008.

[6] WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang
Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2007.

[7] Phua J, Badia JR, Adhikari NK, et al. Has mortality from acute respiratory distress
syndrome decreased over time?: A systematic review. Am J Respir Crit Care Med.
2009 Feb 1. 179(3):220-7..

[8] Rochwerg B, Brochard L, Elliott MW, Hess D, Hill NS, Nava S, et al. Official ERS/ATS
clinical practice guidelines: noninvasive ventilation for acute respiratory failure. Eur
Respir J. 2017 Aug. 50 (2).

[9] Rubin, Michael A, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. USA : McGraw Hill.
2010.

[10] Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Premature
Birth. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010..

[11] Utah Department of Health, Bureau of Epidemiology. 2012. Whooping Cough Sound
Files. Utah Department of Health, Bureau of Epidemiology. Available at
http://health.utah.gov/epi/diseases/pertussis/pertussis_sounds.htm.
[12] Djojodibroto, D., "Penyakit yang sering melibatkan paru-paru”. Respiratory
Medicine., Jakarta: EGC., 2010.

[13] [Guideline] Wald ER, Applegate KE, Bordley C, Darrow DH, Glode MP, Marcy SM, et
al. Clinical practice guideline for the diagnosis and management of acute bacterial
sinusitis in children aged 1 to 18 years. Pediatrics. 2013 Jul. 132(1):e262-80.

[14] Hanafi B. Trisnohadi. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 5. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.

[15] Hersh AL, Jackson MA, Hicks LA. Principles of Judicious Antibiotic Prescribing for
Bacterial Upper Respiratory Tract Infections in Pediatrics. Pediatrics. 2013 Nov 18.

[16] Little P, Moore M, Kelly J, et al. Delayed antibiotic prescribing strategies for
respiratory tract infections in primary care: pragmatic, factorial, randomised
controlled trial. BMJ. 2014 Mar 6. 348.

[17] [Guideline] Irwin RS, Baumann MH, Bolser DC, Boulet LP, Braman SS, Brightling CE,
et al. Diagnosis and management of cough executive summary: ACCP evidence-
based clinical practice guidelines. Chest. 2006 Jan. 129(1 Suppl):1S-23S.

[18] Harvey R, Hannan SA, Badia L, Scadding G. Nasal irrigation with saline (salt water)
for the symptoms of chronic rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev. January 24,
2007. Issue 3.

[19] Paul IM, Beiler J, McMonagle A, Shaffer ML, Duda L, Berlin CM Jr. Effect of honey,
dextromethorphan, and no treatment on nocturnal cough and sleep quality for
coughing children and their parents. Arch Pediatr Adolesc Med. 2007 Dec.
161(12):1140-6.

[20] Food and Drug Administration. FDA Statement Following CHPA's Announcement on
Nonprescription Over-the-Counter Cough and Cold Medicines in Children. FDA: U.S.
Food and Drug Administration. Available at
http://www.fda.gov/bbs/topics/NEWS/2008/NEW01899.html.

[21] Hasyim, H. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis Wilayah. Jurnal Manajemen


Pelayanan Kesehatan, 2008.

[22] Achmadi. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi. .

[23] Amiruddin, R. 2012. Surveilans Kesehatan Masyarakat. Kampus IPB Pres Taman
Kencana Bogor: PT Penerbit IPB Press.
[24] Noor, NN. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai