Anda di halaman 1dari 9

LABA DALAM PERSPEKTIF CINTA

PROFIT IN THE PERSPECTIVE OF LOVE

Sry Wahyuni, Alimuddin, Darwis Said

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi:

Sry Wahyuni
HP. 085240875510
Jurusan Akuntansi
Universitas Hasanuddin
Makassar
Email: srywahyuningiu@gmail.com
Abstrak

Laba yang merupakan salah satu elemen penting dalam akuntansi dan selalu dijadikan salah satu tolok ukur
keberhasilan usaha, seharusnya dimaknai secara luas dan holistik tidak semata dari aspek materi Penelitian ini
bertujuan memperoleh/menggali pemahaman konsep keuntungan (laba) dalam perspektif cinta yang didasarkan
pada eksplorasi nilai-nilai filosofis dari sumber-sumber tekstual dan kontekstual dari pedagang pasar tradisional
untuk ditafsirkan.Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif interpretif dan
menggunakan paradigma hermeneutika fenomenologi serta perpektif cinta Jalalluddin Rumi sebagai alat analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laba akuntansi yang berbasis pada nilai-nilai cinta disarikan dalam tiga
tahapan yakni Laba dalam perspektif cinta materi, Laba dalam perspektif cinta Tuhan, dan Laba dalam perspektif
cinta Mistis.

Kata kunci: Laba, Akuntansi, Hermeneutika, Jalalluddin Rumi, Laba Cinta

Abstract

Profits is one of important element in accounting and is always used as one measure of the success of the
business, should be interpreted extensively and holistically not only from the aspect of the material.The research
aimed at obtaining / digging the comprehension of the profit concept in the perspective of love which was based
on the exploration of the philosophical values from the textual and contextual sources from the traditional
market traders to be interpreted. The research used the . interpretative qualitative approach the
phenomenological hermeneutic paradigm and Jalaluddin Rumi's perspective of love as the instrument analysis.
The research result indicates that the love values based the accounting profit is summarized in three phases
namely the profit in the perspective of material love, profit in the percpective of God's love, profit in the
perspective of mystical love.

Keywords: Profit, Accounting, Hermeneutics, Jalalluddin Rumi, Profit of Love


PENDAHALUAN
Perkembangan pemikiran dan konsep alternatif dalam disiplin ilmu akuntansi saat ini
mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Perhatian dari para peneliti akuntansi saat ini
dalam memahami nilai akuntansi dalam pengertian yang lebih luas, misalnya dalam konteks
sosial, ekonomi, politik dan organisasi. Adanya perhatian semacam ini berakibat pemahaman
akuntansi menjadi berubah, yaitu akuntansi mulai dipahami sebagai entitas yang selalu
berubah dengan kata lain, akuntansi tidak lagi dipandang sebagai produk jadi atau statis dari
suatu masyarakat, tetapi dipandang sebagai produk yang selalu mengalami perubahan setiap
waktu tergantung pada lingkungan dimana ia hidup dan dipraktekkan oleh karena itu telah
banyak pemikir yang mencoba memberikan alternatif akuntansi.
Berbagai kelemahan dalam praktek akuntansi kovensional dewasa ini membuat
banyak entitas bisnis beralih pada konsep-konsep akuntansi yang ditawarkan oleh akuntansi
alternatif. Salah satu kelemahan akuntansi konvensional adalah sifat materialistik akuntansi
yang dilegitimasi dalam Accounting Principle Board Statement No. 4. Bahwa akuntansi
menyediakan informasi yang bersifat kuantitatif serta dapat diukur dengan satuan moneter.
Sifat kuantitatif yang materialistik dalam akuntansi ini menunjukkan keterbatasan akuntansi
yang hanya menyediakan informasi kuantitatif dan mengabaikan informasi yang bersifat
kualitatif. Tidak bisa dipungkiri bahwa akuntansi konvensional lahir dan berkembang dalam
lingkup kapitalis sehingga dasar yang digunakan adalah semata-mata rasional.
Kelemahan lain dari akuntansi konvensional adalah kecenderungan akan sifat egoistik
yang tergambar dalam praktek akuntansi yang hanya berfokus pada penyajian informasi
keuangan untuk shareholders, seperti yang di kemukakan Mathews & Perera (1996), Tujuan
dari laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi yang berguna untuk investor dan
kreditur untuk memprediksi, membandingkan, dan mengevaluasi potensi arus kas kepada
mereka dalam hal jumlah, waktu, dan kepastian keterkaitan. Keegoisan akuntansi direflesikan
dalam bentuk konsep income yang diperuntukkan bagi pemegang saham. Husnan (2000),
menjelaskan “secara normatif tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimumkan
nilai perusahaan. Tujuan tersebut dipergunakan karena dengan memaksimumkan nilai
perusahaan maka pemilik perusahaan akan menjadi lebih makmur (atau menjadi semakin
kaya).”
Destruksi yang ditimbulkan oleh akuntansi pada dasarnya dapat di eliminasi dengan
memasukan nilai kasih sayang dan cinta. McKernan & MacLullich (2004), mengemukakan
bahwa :
“Accounting needs to get beyond the constraints that have been imposed on its language
and take up the creative potential of poetry and emotion. The crucial emotion involved in
the positive construction of moral identities is, we would suggest, love. We must allow
even the excessive language of love to be introduced into accounts and into the narrative
constitution of corporate agents. Schweiker may be right, as things presently stand, to
insist that ‘love is not constitutive of corporate purposes’: he finds it difficult to imagine a
more ‘naı¨ve’ suggestion (Schweiker, 1993, p. 245). However, we find it difficult to
imagine a moral responsibility, with real bite, without love. Things can be different,
through faith and hope and love.”
Triyuwono & As’udi (2003), mencoba untuk “turun” mewacanakan konsep
keuntungan (laba) dalam akuntansi syari’ah dengan mengkonsep laba dalam konteks metafora
zakat. Kemudian Triyuwono (2007), menggagas konsep nilai tambah syariah untuk menilai
keuntungan (laba) sebagai nilai tambah syari’ah adalah nilai tambah ekonomi, mental, dan
spiritual yang diperoleh, diproses, dan didistribusikan dengan cara yang halal. Dengan
demikian dalam perspektif akuntansi syariah laba bukan hanya sekedar berorientasi pada
material semata akan tetapi meliputi mental dan spiritual.
Pedagang pasar tradisional adalah salah satu pilar penggerak ekonomi rakyat dan pada
prakteknya melakukan transaksi bisnis secara langsung (face to face) dengan pembeli
(konsumen) sehingga ada high touch dalam bertransaksi dengan pelanggan. Kondisi seperti
ini yang terus-menerus terjadi dapat menciptakan ikatan emosional yang tinggi antara penjual
dan pembeli, sehingga diasumsikan bahwa ikatan emosional ini dapat mempengaruhi
transaksi jual beli diantara keduanya. Melalui alasan ini, seharusnya peletakan harga di pasar
tradisional bukan sesuatu yang “mengerikan” karena melibatkan hubungan emosional dalam
proses tawar menawar harga.
Didasarkan pada uraian panjang di atas, Penelitian ini bertujuan memperoleh/menggali
pemahaman konsep keuntungan (laba) dalam perspektif cinta yang didasarkan pada eksplorasi
nilai-nilai filosofis dari sumber-sumber tekstual dan kontekstual dari pedagang pasar
tradisional untuk ditafsirkan.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pasar Tradisional dengan pendekatan penelitian kualitatif
Interpretif dan menggunakan paradigma hermeneutika fenomenologi.
Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah pedagang tradisonal. Pencarian
informan dilakukan dengan menggunakan tehnik snowballing sampling.
Metode Pengumpulan Data
Kelompok jenis sumber data dalam penelitian kualitatif ini berupa orang (informan),
peristiwa (aktivitas), tempat (lokasi) dan dokumen (arsip). kepustakaan yang dilakukan
dengan mencari data-data penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya dan dari
literatur-literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yakni, wawancara,
observasi dan dokumentasi diorganisir kesamaan dan perbedaannya data yang sudah diorganisir
ditentukan temanya kemudian mencari keterkaitan antara tema yang satu dengan lainnya, Coding,
kemudian interpretasi atas temuan, hasil interpretasi dituangkan dalam deskriptif analitik
kontekstual. Terakhir dilakukan pengecekan validitas temuan dan data dilakukan dengan metode
triangulasi.

HASIL
Berdasarkan hasil penelitian studi ini menunjukan bahwa, Pertama, laba dalam
perspektif cinta materi dianggap sebagai sesutau yang dapat memberikan kepuasan, dan
mendatangkan kesejahteraan baik individu maupun kelompok. Kedua, Laba dalam perpekstif
cinta Tuhan justru lebih dipahami sebagai keuntungan yang didapat ketika membeelakukan
bisnisnya sebgai ibadah yang dapat mendatangkan keuntungan akhirat dan syurga. Ketiga,
laba dalam perspektif cinta mistis melampaui itu semua yakni laba yang dikaitkan dengan
keuntungan yang diperoleh seseorang terkait dengan spiritual dan nilai-nilai cinta yang tulus
dalam berbisnis.

PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan bahwa pemahaman tentang laba akuntansi dalam
perspektif cinta dari segi materi saja merupakan pemahaman yang sempit dan cenderung tidak
mengindahkan nilai-nilai etika dan moral. Sebaliknya, ada perspektif lain dari laba akuntansi
yang menyentuh dimensi cinta Tuhan dan mistis yang sebenarnya hadir dari proses bisnis
yang dijalankan dengan penuh kesadaran rasa tanggung jawab. Informan yang diwawancarai
dalam hal ini pelaku bisnis pasar tradisional menunjukan kecenderungan orientasi pada dua
sisi yakni aspek materi dan aspek cinta Tuhan dan mistis.
Mindset tentang keuntungan yang selama ini hanya dititik beratkan pada keuntungan
materi (ekonomi) yang ditandai dengan peningkatan dalam kesejahteraan semata
sesungguhnya menumbuhkan akibat yang tidak baik pada masyarakat. Mindset ini lahir dari
konsep laba yang dikemukakan oleh ahli ekonomi Adam Smith. Pola pikir yang kemudian
menjadi tujuan yang dicintai dalam kehidupan karena hati cenderung ke tujuan itu
(keuntungan materi) dapat menjerumuskan manusia pada perilaku mementingkan diri sendiri
(egoistik dan individualistik). Triyuwono (1997), menegaskan hal yang didorong oleh
keinginan untuk memperoleh profit yang lebih besar dan secara tidak langsung akan
menstimulus timbulnya perilaku egoistik yang berlebihan dan juga menjauhkan organisasi
dari nilai-nilai etika dan kemanusiaan.
Sikap memaksimalkan keuntungan kemudian dalam konteks bisnis menjadi hal
utama yang dituju. Keraf (1998), bahwa tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan dan
keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan bisnis karena hal ini terkait dengan tiga
hal, pertama, keuntungan memungkinkan suatu perusahaan bertahan dalam kegiatan
bisnisnya. Kedua, tanpa keuntungan tidak akan terjadi aktifitas ekonomi yang menjamin
kemakmuran. Ketiga, keuntungan dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik. Sejalan
dengan hal ini, keuntungan memang menjadi tujuan utama sebagian orang dalam berbisnis.
Mencari kehidupan dalam hal ini uang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, rumah,
dan kenderaan untuk memenuhi hasrat kelangsungan hidup.
Studi ini menemukan bahwa kecondongan usaha yang berorientasi pada profit
semata menimbulkan permasalahan berat secara etika, usaha yang berjalan dengan terus
mengejar keuntungan tanpa mengindahkan nilai-nilai, cenderung berujung pada tindakan
tanpa kasih sayang, amoral, dan kerakusan, yang lebih disayangkan lagi tindakan curang yang
dilakukan untuk mendapatkan profit yang tinggi pada beberapa kasus justru berbalik menjadi
kerugian. Dalam Al-Qur’an (104:1-4) menjelaskan : “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi
pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu
dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke
dalam (neraka) huthamah."
Lalu apakah dalam pandangan agama, kita dilarang untuk mencari harta?. Dalam
islam bekerja/mencari nafkah bukan sekedar untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan
lebih dari itu. Bekerja keras merupakan aktivitas yang mulia. Dengan bekerja dan mendapatkn
uang, kita dapat melaksanakan perintah-perintah Allah lainnya, seperti zakat, infak, dan
sedekah. Bahkan mereka yang bekerja atas dasar niat untuk menafkahi keluarganya
dikategorikan sebagai mujahid (pejuang) di jalan Allah. Rasullullah SAW bersabda
“sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja dan barang siapa bekerja keras untuk
keluarganya, maka ia seperti seorang mujahid dijalan Allah” (HR. Ahmad).
Saleh (2009), Di dalam Islam konsep rezeki bukanlah hasil kerja semata, melainkan
pemberian sang pemberi rezeki. Akan tetapi banyak orang memaknai rezeki begitu sempit,
yaitu uang atau materi. Al-Qur’an (7:31) menjawab "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah setiap (memasuki) Masjid, makan, minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." Ayat ini jelas
menyatakan bahwa yang tidak diperbolehkan dalam pandangan agama adalah berlebih-
lebihan serta dalam berbisnis prinsip keseimbangan yang berarti keadilan merupakan hal yang
mutlak.
Keuntungan bukan hanya untung untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain.
Kredibilitas diri kita adalah modal utama dalam berwirausaha, dengan menahan diri untuk
tidak menikmati kebahagiaan orang lain sebagai keberuntungan kita. Jual beli bukan hanya
transaksi uang dan barang, tapi jual beli harus dijadikan amal soleh yaitu dengan niat dan cara
yang benar (Gymnastiar, 2006).
Sejatinya keuntungan materi bukanlah sesuatu yang selamanya buruk bila mampu
ditempatkan pada porsinya dan tidak menjadikan manusia menjadi teralienasi dari nuraninya
sebagai manusia yang diciptakan dengan potensi nilai-nilai luhur dalam dirinya. Banyak hal
positif yang justru bisa dilakukan jika seseorang memiliki kelebihan materi, dengan
pengelolaan yang baik dan amanah, materi justru dapat mendatangkan kemaslahatan, seperti
pemerataan kesejateraan dan lain-lain.
Pentingnya memperoleh laba dalam bentuk materi hakikatnya berdampingan
langsung dengan kepentingan-kepentingan lain dalam keberlangsungan hidup dari usaha.
Dengan memadainya laba (profit) dapat mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
banyak pihak khususnya pihak yang terkait. Usaha pun dapat melakukan pengembangan-
pengembangan. Selama aspek materi ini dikelola dengan penuh rasa tanggung jawab dan
amanah. Dilain sisi, pemahaman akan laba dalam akuntansi konvensional saat ini yang terlalu
sempit dan berfokus pada aspek material saja, perlu membuka diri pada kearifan pemahaman
akan laba dari perspektif yang lainnya, seperti laba sebagai ketenangan batin, laba sebagai
wujud ibadah dan cinta kepada sang pencipta.
Dalam Islam, segala hal dari semua aspek kehidupan di atur dalam syariah Islam.
Termasuk aturan-aturan yang mengatur tentang kehidupan yang selaras antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam serta antara manusia dengan tuhan, yang kesemuanya
dinilai sebagai ibadah jika dijalankan dengan baik.
Pengusaha yang melakukan aktivitas bisnis dengan niat beribadah kepada tuhan
menyadari bahwa segala sesuatu yang dikerjakan merupakan bentuk dari tanggung jawab
kepada tuhan. Termasuk dengan memaknai keuntungan (laba) dalam usaha. Jika dari
keuntungan materi bisa mendatangkan kepatuhan dalam beribadah kepada tuhan, itulah
makna laba baginya. Pengusaha yang menjalankan bisnis dengan niat beribadah kepada tuhan
cenderung menggantungkan segala niat, aktivitas dan hasil dari usaha kepada hal-hal yang
disukai oleh tuhan. Meski secara bersamaan tersirat motivasi untuk mendapatkan reward
berupa pahala yang besar dari tuhan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa pada tataran
pemahaman laba dalam perpektif cinta kepada tuhan bisa dikatakan masih bersifat
transaksional, dengan motivasi mendapatkan pahala serta bertujuan syurga.
Studi ini berasumsi bahwa pemahaman laba oleh para pengusaha keuntungan (laba)
jika ditelisik dengan menggunakan kacamata perpektif cinta Jalaluddin Rumi dapat disari
kedalam sifat, motivasi dan tujuan. Dari dua klasifikasi tingkatan ini, memiliki kategori dan
orientasinya masing-masing. Dari penjelasan panjang di atas dilihat bahwa laba sejatinya
memiliki makna yang luas. Tidak hanya sebatas pemahaman laba materi saja, seperti yang
selama ini menjadi persepsi umum dalam organisasi bisnis, namun, mengandung banyak
makna dari berbagai penafsiran pada konteksnya masing-masing. Seperti halnya dalam studi
ini menemukan bahwa sebuah usaha yang survive tidak hanya mengandalkan materi sebagai
penopang hidupnya, namun, jauh lebih penting dari itu adalah pencapaian nilai-nilai kebaikan
dalam usaha karena dengan internalisasi nilai-nilai itulah dapat mendatangkan keberkahan
dalam bisnis.

KESIMPULAN DAN SARAN


Merupakan sesuatu yang lumrah ketika dalam berbisnis seseorang mengharapkan
laba materi yang berlimpah, dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar dari pedagang
tradisional melakukan aktivitas bisnis dengan tujuan utama untuk memperoleh materi yang
banyak bahkan dengan melakukan segala cara (termasuk praktek bisnis curang) untuk
mendapatkannya. Himpitan ekonomi dan keyakinan yang lemah bahwa tuhanlah pemberi
rezeki yang adil menjadi faktor yang kadang dapat menggerus nilai-nilai etika, moral dan
spiritual para pedagang. Namun, tidak bisa juga dinafikakn bahwa diantara pedagang-
pedagang tradisional yang materialistik ada juga pedagang yang memaknai keuntungan-
keuntungan (laba) yang diperoleh tidak sekedar laba materi, namun, banyak sekali
keuntungan lainnya termasuk keuntungan secara spiritual yang bisa diraup dari bisnis yang
dijalankan dengan cara-cara yang baik dan halal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya . (2006). Bandung: Penerbit Diponegoro
Gymtastiar A. (2006). Etika Berwirausaha. Bandung: Bundel Ceramah
Husnan S. (2000). Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Keraf. S. (1998). Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius
Mathew M. R & Perera. M. H. B. (1996). Accoutning Theory and Development. Melbourne:
Thomas Nelson Australia
McKernan. F. J & MacLullich. K. K. (2004). Accounting, Love and Justice. Vol. 17 (3) :
327-360q
Saleh M. (2009). Bekerja dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga
Triyuwono I. (1997). Akuntansi Syari’ah dan Koperasi: Mencari Bentuk Dalam Bingkai
Metafora Amanah. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia Vol.1 No. 1
Triyuwono I & As’udi. (2003). Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan
Keuangan Akuntansi Syari’ah. IQTISAD Journal of Islamic Economics. Vol. 4. (1) : 79 –
90
Triyuwono I. (2007). Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah Syariah.
Simposium Nasional Akuntansi X Makassar 2007

Anda mungkin juga menyukai