NIM : 20180430043
Sejarah
Pada tanggal 10 Oktober 1827, Indonesia masih dijajah Belanda, didirikan sebuah
Bank di Batavia dengan nama De Javasche Bank. Tujuan utama pendirian bank tersebut
adalah untuk meningkatkan perekonomian pemerintahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka
pada tahun 1951, De Javasche Bank dinasionalisasikan dan berganti nama menjadi Bank
Indonesia.
Pendirian Bank oleh orang pribumi pertama kali dirintis oleh R. Aria Wiraatmadja,
seorang patih dari Purwokerto, tahun 1896. R. Wiraatmadja mendirikan Hulpen Spaar Bank
(Bank penolong dan tabungan). Tujuan pendirian bank ini adalah untuk membantu
peranggotaannya agar tidak jatuh ke tangan yang suka memeras rakyat.
c. Pegadaian Syariah
Secara umum, gadai dapat definisikan sebagai transaksi antara nasabah dan lembaga gadai,
yaitu nasabah menjamin sejumlah barang berharga yang dimiliki dalam rangka mendapatkan
sejumlah dana sesuai dengan nilai barang yang dijaminka dan akan di tebus saat jatuh tempo.
Secara terminologi, gadai adalah pinjam meminjam uang dengan menyerahkan barang dan
batas waktu (jika telah sampai waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak orang yang
memberi pinjaman).4[8]
Pelaksanaan keenam pilar API dijabarkan lebih rinci oleh bank Indonesia dalam program
kegiatan pada rentang waktu sepuluh tahun (dari tahun 2004 hingga tahun 2013).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan untuk sektor
perbankan, pasar modal dan industri keuangan non-bank.
Selain itu, ada pula fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai ujung toimbak inklusi keuangan
serta perlindungan konsumen.
Dalam sektor perbankan, Otoritas Jasa Keuangan memiliki tugas pokok antara lain:
Tugas Otoritas Jasa Keuangan pada sektor pasar modal antara lain:
Dalam POJK No. 13/POJK.02/2018, Otoritas Jasa Keuangan telah menyusun semua hal yang
diperlukan bagi industri fintech, antara lain:
Sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan, gerak langkah
Otoritas Jasa Keuangan tentu tidak lepas dari sinergi dan hubungan saling kerja sama dengan
lembaga negara lainnya seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Contoh terbaru sinergi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan DJP adalah kesiapan DJP
menerapkan pertukaran data otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Melalui data ini DJP bisa mendapatkan data warga negara Indonesia yang menjadi nasabah
lembaga jasa keuangan di luar negeri.
Kepada awak media, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan
mengungkapkan, DJP telah menandatangani dan telah bekerjasama dengan Otoritas Jasa
Keuangan untuk mengimplementasikan AEoL.
Lewat data-data dari AEoL ini akan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Orang Pribadi.
Otoritas Jasa Keuangan memiliki dua struktur, yakni Dewan Komisioner dan Pelaksana
Kegiatan Operasional.