Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“KUNJUNGAN WADUK JATILUHUR PURWAKARTA”


Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Praktikum Konservasi Tanah
dan Air dengan dosen pengamp u: Agung Rahmadi, SP.

Disusun oleh:
Kelompok 1

Chairul Muttaqin 1157060014


Fedora Gusti D 1157060023
FirdaAyu Lestari 1157060026
Hana Fitriani 1157060032

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi, shalawat dan salam
semoga tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW. Berkat karunia yang senantiasa
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Praktikum Konservasi Tanah dan Air, yang membahas tentang “Kunjungan
Waduk Jatiluhur Purwakarta”. Kami menyadari bahwa masih terdapat beberapa
kekurangan dalam makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
motivasi bagi siapa saja yang membaca dan memanfaatkannya.

Bandung, 28 April 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4

1.2Rumusan Masalah .......................................................................................... 5

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB IIPEMBAHASAN ...................................................................................... 6

2.1 Sejarah Terbentuknya Waduk ....................................................................... 6

2.2 Seberapa Aman Waduk Jatiluhur .................................................................. 7

2.3 Turbin yang Digunakan ................................................................................. 9

2.4 Tambak Ikan Diberhentikan ........................................................................ 10

BAB IIIPENUTUP ............................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12

LAMPIRAN ...................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Purwakarta (purwa = permulaan, karta= ramai/hidup) berada di
Jawa Barat. Letaknya berada di antara ibu kota negara (Jakarta) dan ibu kota
provinsi (Bandung). Purwakarta adalah penghasil lumbung beras dan teh. Salah
satu objek wisata yang paling terkenal di Purwakarta yaitu Waduk/Bendungan
Jatiluhur.Bendungan tersebut berjarak kurang lebih 100 km dari arah Tenggara
Jakarta, yang dapat dicapai melalui jalan tol Jakarta Cikampek ataupun jalan tol
Cipularang dan 60 km dari arah Barat Laut Bandung, yang dapat dicapai melalui
jalan tol Cipularang. Dari Kota Purwakarta sekitar 7 km arah barat. Berdasarkan
koordinat geografis, posisi Tubuh Bendungan Jatiluhur berada pada 6o31’ Lintang
Selatan dan 107o23’ Bujur Timur.
Bendungan adalah setiap penahan buatan, jenis urugan batu atau jenis
lainnya, yang menampung air atau dapat menampung air baik secara alamiah
maupun buatan, termasuk pondasi, bukit/tebing tumpuan, serta bangunan
pelengkap dan peralatannya. Air yang ditampung akibat dibangunnya bendungan
biasanya digunakan untuk irigasi, pasok air baku untuk air minum, industri dan
perkotaan, perikanan serta pembangkitan listrik. Manfaat lain bendungan adalah
untuk pengendalian banjir dan pariwisata. Disamping untuk menampung air,
bendungan juga dibangun untuk menampung material lain, seperti buangan atau
limbah pertambangan dan lahar dingin. Berdasarkan ukurannya Bendungan
Jatiluhur termasuk ke dalam bendungan besar.
Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia,
membendung aliran Sungai Citarum di Kecamatan Jatiluhur – Kabupaten
Purwakarta –Jawa Barat, membentuk waduk dengan genangan seluas ± 83 km2
dan keliling waduk 150 km pada elevasi muka air normal +107 m di atas
permukaan laut (dpl). Luas daerah tangkapan bendungan adalah 4.500 km2.
Sedangkan luas daerah tangkapan yang langsung ke waduk setelah dibangun
Bendungan Saguling dan Cirata di hulunya menjadi tinggal 380 km2, yang
merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan. Maka dalam pembuatan
makalah ini akan dibahas mulai dari sejarah dan hal-hal lain yang belum diketahui
orang banyak.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana asal usul dan sejarahberdirinya waduk jatiluhur ?
1.2.2 Seberapa aman waduk jatiluhur tersebut ?
1.2.3 Ada berapa turbin yang digunakan ?
1.2.4 Mengapa penambak ikan diberhentikan ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui asal-usul dan sejarah berdirinya waduk jatiluhur.


1.3.2 Untuk mengetahui keamanan waduk jatiluhur.
1.3.3 Dapat mengetahui jumlah turbin yang digunakan.
1.3.4 Dapat mengetahui penyebab diberhentikan penambak ikan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Terbentuknya Waduk


Gagasan pembangunan bendungan di Sungai Citarum sudah dimulai pada
abad ke-19 oleh para ahli pengairan. Bahkan pengukuran debit Sungai Citarum
untuk keperluan bendungan dan irigasi telah di mulai pada tahun 1888.
Pembangunan tersebut kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Prof.
Dr. Ir. W.J. van Blommestein, seorang ahli pengairan Belanda pada tahun 1930.
Ketika itu, Prof. Ir. W.J. van Blommestein, Kepala Perencanaan Jawatan
Pengairan Belanda, sudah melakukan survey secara lebih rinci untuk membuat
rencana pembangunan tiga waduk besar di sepanjang aliran Sungai Citarum;
Saguling (sebelumnya dinamakan Waduk Tarum oleh Prof. Ir. W.J. van
Blommestein), Cirata dan Jatiluhur.
Selanjutnya Prof. W.J. van Blommestein sampai kepada sebuah gagasan
dimana selain potensi tiga waduk di Sungai Citarum, juga ada potensi
pengembangan antar Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk sungai-sungai di Pulau
Jawa, yang dikenal dalam tulisannya berjudul “A Development Project for the
Island of Java and Madura” pada Agustus 1979. Gagasannya waktu itu adalah
Jatiluhur hanya dikembangkan untuk kepentingan irigasi dan pembangunan kanal
untuk transportasi air dari Anyer sampai Surabaya melewati Solo.
Gagasan Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein kemudian dikaji ulang oleh
Ir. Van Scravendijk tahun 1955 dengan tulisan berjudul “Integrated Water
Resources Development in Citarum River Basin” (240,000 ha sawah). Kemudian
dilengkapi oleh Ir. Abdullah Angudi tahun 1960 melalui nota pengelolaan
sehingga menjadi Rencana Induk Pengembangan Proyek Serbaguna
Jatiluhur.Gagasan untuk membangun sebuah bendungan di aliran Sungai Citarum
dirintis kembali pada era tahun 1950-an oleh Ir. Agus Prawiranata sebagai Kepala
Jawatan Irigasi waktu itu mulai memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk
mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri. Ketika itu, Indonesia sudah
menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia.
Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1957 ditandai dengan
peletakkan batu pertama pembangunan oleh Presiden RI pertama yaitu Ir.
Soekarno. Peresmian tersebut agar Bendungan Jatiluhur dapat beroperasi sesuai
rencana, pada keempat jendela pelimpah pembantu Ubrug dibuat beton lunak
lengkung yang puncaknya mencapai elevasi +111,6 m, yakni elevasi banjir
maksimum. Pelimpah pembantu Ubrug dioperasikan dengan cara meledakkan
beton lunak lengkung. Namun, selama operasi Bendungan Jatiluhur tersebut
pelimpah pembantu belum pernah dioperasikan.
Untuk mengenang jasa Ir. H. Djuanda (nama lengkap Ir. H. R. Djoeanda
Kartawidjaja) dalam memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan
Jatiluhur, bendungan ini dinamakan secara resmi Bendungan Ir. H. Djuanda.
Beliau adalah Perdana Menteri RI terakhir dan memimpin Kabinet Karya (1957 –
1959). Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah
Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya
pernah menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan,
Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Pada saat itu bendungan mulai
dibangun dan genangan yang terjadi akibat pembangunan Bendungan Jatiluhur
menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk berjumlah 5.002 orang. Penduduk
tersebut kemudian sebagian dipindahkan ke daerah sekitar bendungan dan
sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang. Karena, sebagian besar
penduduk waktu itu bekerja sebagai petani.

2.2 Seberapa Aman Waduk Jatiluhur


Ketika tinggi muka air atau TMA Waduk Jatiluhur mencapai 108,96 m
dari batas maksimum 115 m, banyak orang panik, bingung dan bahkan muncul isu
Waduk Jatiluhur akan jebol. Isu tersebut mengemukakan antara lain karena, yang
pertama TMA belum pernah mencapai batas maksimum dalam sejarah sejak
Waduk Jatiluhur beroperasi. Efek psikologis peningkatan 0,61 meter muka air
waduk dari kondisi maksimum yang pernah terjadi menjadikan ada tambahan
volume air 48,8 juta m3 air (luas genangan air waduk 80 km2).
Kedua, adalah arah angin baik dari Samudra Hindia maupun Samudra
Pasifik yang membawa banyak uap air dominan menuju Indonesia sehingga
peluang penambahan volume air ke Waduk Jatiluhur masih sangat tinggi dan
lama. Situasinya menjadi sangat mengerikan apabila melampaui kapasitas waduk
dan tidak dapat dikelola dengan baik.Ketiga, umur waduk yang semakin
bertambah sehingga ketahanan waduk secara alamiah menurun dibandingkan
dengan kondisi awalnya. Dan yang keempat, areal pertanian di hilir Waduk saat
ini lebih dari 200.000 hektar merupakan pertanaman padi siap panen sehingga
berpotensi menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang besar apabila
Wadukjebol. Selain menggenangi permukiman, juga akan menghancurkan padi di
sawah yang siap panen.
Menurut Perum Jasa Tirta II, Waduk Jatiluhur dibangun dengan basis
maximum performance flood, atau untuk banjir maksimum yang mungkin terjadi.
Kekuatan itu bertumpu pada: konstruksi BendunganJatiluhur dan saluran
pengamannya (spill way) sehingga, apabila dikelola dengan baik, kecil
peluangnya waduk akan jebol.
Argumen ini gugur apabila konstruksi Waduk Jatiluhur terdestruksi seperti
Situ Gintung. Meskipun tidak jebol, tambahan volume air di
Waduk Jatiluhur yang ekstrim tinggi memaksa sebagian besar volume air dilepas
melalui spill way agar waduk tidak jebol.Implikasinya, daerah hilir yang
merupakan areal persawahan siap panen dan permukiman akan diterjang banjir
dan tergenang dahsyat.
Tanggul di hilir Waduk Jatiluhur yang dirancang berdasarkan return
period 25 tahun akan jebol dengan pelepasan air Waduk Jatiluhur,Saguling dan
Cirata secara simultan. Artinya, kerugian sosial ataupun ekonomi masyarakat di
hilir Waduk Jatiluhur akan sangat besar. Saat ini di daerah aliran Sungai (DAS)
Cikao sudah 500 rumah terendam air dan ada ribuan rumah
di Bekasi dan Karawang yang terendam air.
Pelajaran dari malapetaka jebolnya Situ Gintung menjadi trauma bagi
semua orang termasuk masyarakat yang bermukim di hilir WadukJatiluhur.
Masyarakat bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya apabila
Waduk Jatiluhur jebol. Menurunnya kualitas dan ketahanan waduk terhadap
desakan, dorongan air, dan sedimen menyebabkan risiko jebolnya Wadukperlu
diperhitungkan. Kapasitas tampung air maksimumWaduk Saguling, Cirata,
dan Jatiluhur yang sudah tercapai, menyebabkan peran reservoir linier bertingkat
(in cascade) dalam modifikasi karakteristik melalui penurunan debit puncak dan
perpanjangan waktu menuju debit puncak sangat terbatas.
Menurunnya kapasitas tampung ketiga waduk menurun akibat terisi
sedimen, adanya curah hujan eksepsional dengan durasi yang lama akan
menyebabkan daya dobrak air sangat dahsyat. Apabila tidak dikelola dengan baik,
kejadian Situ Gintung jilid dua bukan tidak mungkin terjadi. Supervisi kondisi
waduk terkini perlu dilakukan agar dapat memprediksi dampak terburuk jika
curah hujan eksepsional terjadi. Model transfer hujan aliran permukaan
memungkinkan untuk memprediksi skenario tersebut.
Diperlukan audit investigasi banjir dan destruksi hutan dan lahan
berpenutup vegetasi ke nonvegetasi spesifik lokasi sehingga ada pihak yang dapat
dimintai pertanggungjawaban sesuai tugas pokok dan fungsi. Audit lahan, hutan
dan tanaman mutlak dilakukan agar klaim keberhasilan konservasi, reboisasi,
perhutanan kembali dan perbaikan lingkungan dapat dievaluasi secara transparan
dan fair.
Karut-marutnya penanganan degradasi hutan dan lahan serta banjir
tecermin dari data lahan sawah yang terkena banjir tahun 1997 yang mana hanya
36 persen sawah dan lahan tadah hujan yang tidak rawan banjir dan
kekeringan.Itu artinya degradasi lingkungan sudah lampu merah, termasuk masa
depan pasokan pangan nasional.

2.3 Turbin yang Digunakan


Penyusutan volume air di Sungai Citarum mempengaruhi operasional
PLTA Saguling. Dari empat turbin yang terdapat di PLTA Saguling, saat ini
hanya tersisa satu turbin yang masih bisa berputar. Air yang mengalir ke turbin itu
dihubungkan ke generator untuk menghasilkan daya listrik.Satu turbin itu masih
berputar karena adanya pola operasi di tiga waduk, salah satunya adalah Waduk
Jatiluhur. Jadi, besar atau kecil volume air yang digunakan, itu diatur di tiga
waduk itu.
Satu turbin bisa menghasilkan kapasitas listrik berdaya 175 megawatt.
Namun, tidak harus selalu sesuai dengan kapasitasnya, tidak harus selalu 175
megawatt, itu tergantung dari kondisi airnya. Apabila volume air terus berkurang
PT Indonesia Power bisa menyiasatinya dengan menghentikan pembangkitan
pada siang hari. Sebab kebutuhan listrik masyarakat lebih besar pada malam hari.
Kini dalam pemanfaatan hanya satu turbin tersebut tetap menjaga sistem pola
pembangkitan. Artinya, di jaga juga sistem pembuangan air untuk top load, yaitu
jam 17.00-21.00.
Sedangkan didalam Waduk Jatlihuru sendiri saat ini, terpasang enam
turbin dengan daya terpasang 187 megawatt dengan produksi tenaga listrik rata-
rata 1.000 juta kwh setiap tahun. Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air
irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum,
budidaya perikanan dan pengendali banjir.

2.4 Tambak Ikan Diberhentikan


Diperkirakan puluhan ton ikan ternak di keramba jaring apung (KJA)
Bendungan Ir H Juanda, Jatiluhur Purwakarta mati mendadak. Mayoritas ikan
yang mati adalah jenis ikan mas dan fenomena ini kerap terjadi setiap tahun
terutama saat curah hujan tinggi. Sejumlah peternak ikan KJA menyebut
fenomena dengan istilah umbalan.Fenomena umbalan itu terjadi diduga terkait
tingginya curah hujan yang tinggi sehingga sinar matahari yang masuk ke dasar
kolam berkurang.
Dampaknya, air dari dasar waduk naik ke permukaan membawa endapan
yang terdiri dari lumpur dan sisa-sisa pakan ikanmenjadi racun dan membuat ikan
kekurangan oksigen. Sehingga ikan mabuk dan mati massal. Matinya ikan hampir
merata di semua zona peternakkan ikan KJA. Namun, tidak semua peternak
mengalaminya. Sebab, sebaran virus belum merata ke seluruh danau. Para
peternak terpaksa memanen ikan lebih awal supaya tidak terlalu merugi. Untuk
saat ini baru ikan mas yang banyak mati. Sedangkan ikan nila yang diternakkan
hanya bisa dipindah tempat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian diatas. Maka, dapat disimpulkan sebagai berikut :

 Waduk Jatiluhur mulai dibangun pada tahun 1957 yang menampung dari
aliran Sungai Citarum. Untuk mengenang jasa Ir. H. Djuanda (nama
lengkap Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja) dalam memperjuangkan
pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur, bendungan ini
dinamakan secara resmi Bendungan Ir. H. Djuanda. Saat akan dibangun
Bendungan Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk
berjumlah 5.002 orang. Penduduk tersebut kemudian sebagian
dipindahkan ke daerah sekitar bendungan dan sebagian lainnya pindah ke
Kabupaten Karawang
 Menurut Perum Jasa Tirta II, Waduk Jatiluhur dibangun dengan basis
maximum performance flood, atau untuk banjir maksimum yang mungkin
terjadi. Kekuatan itu bertumpu pada: konstruksi Bendungan Jatiluhur dan
saluran pengamannya (spill way) sehingga, apabila dikelola dengan baik,
kecil peluangnya waduk akan jebol.
 terpasang enam turbin dengan daya terpasang 187 megawatt dengan
produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun.
 Tambak ikan diberhentikan, karena Fenomena umbalan itu terjadi diduga
terkait tingginya curah hujan yang tinggi sehingga sinar matahari yang
masuk ke dasar kolam berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Angga Indrawan. 2007. Mengurut Sejarah Purwakarta.


Melaluihttp://www.republika.co.id/ [27-04-17]

Gatot Irianti. 2010. Amankah Waduk Jatiluhur. Melalui


http://nasional.kompas.com/ [27-04-17]

Hendro S, Husodo. 2015. Hanya Satu Turbin yang Berputar di PLTA


Saguling. Melalui http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya.co.id
[27-04-17]

Mega Nugraha. 2013. Puluhan Ton Ikan di Waduk Jatiluhur Mendadak Mati.
Melalui http://www.tribunnews.com/ [27-04-17]

Reni Susanti. 2012. Waduk Jatiluhur Purwakarta.


Melaluihttp://www.pondoksalam.co.id/ [27-04-17]

Yogi Arifin. 2001. Sedimentasi Waduk Jatiluhur Kian Parah. Melalui


http://nationalgeographic.co.id/[27-04-17]
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai