Anda di halaman 1dari 52

BIOMANIPULASI,

PARADIGMA BARU DALAM PENGENDALIAN


LIMBAH ORGANIK BUDIDAYA PERIKANAN
DI WADUK DAN TAMBAK

OLEH:

H. YUDHI SOETRISNO GARNO, PhD.

(NASKAH)

ORASI ILMIAH
PENGUKUHAN AHLI PENELITI UTAMA
BIDANG MANAJEMEN KUALITAS PERAIRAN
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
JAKARTA, 28 APRIL 2OO4
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN…………………………………… 1
1.1 Pencemaran Perairan………………...…………… 1
1.2 Perkembangan Budidaya Perikanan Intensif
Di Sumberdaya Lingkungan Perairan
Waduk dan Tambak ……………………………… 2

2. LIMBAH ORGANIK…………………….………… 4
2.1 Dekomposisi Limbah Organik…………………… 5
2.2 Dampak Dekomposisi Limbah Organik………… 6

3 LIMBAH ORGANIK DAN TRAGEDI 13


KEMATIAN MASAL IKAN DAN UDANG…………
3.1 Limbah Organik di Waduk Kaskade Citarum……. 14
3.2 Limbah Organik di Tambak Udang……………….. 21

4. TEKNOLOGI PENCEGAHAN DAN PEMULIHAN


DAMPAK LIMBAH ORGANIK ……………………. 29
4.1 Teknologi pencegahan dan pemulihan dampak
limbah organik di waduk kaskade Citarum……… 29
4.2 Teknologi pencegahan dan pemulihan
dampak limbah organik di tambak udang………... 32
4.3 Kelayakan Pelaksanaan…………………………… 33

5. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………… 36


5.1 Kesimpulan….………………………………………. 36
5.2 Saran………………………………………………… 38
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………….... 41
DAFTAR PUSTAKA……………………………….………. 44
RIWAYAT HIDUP………………………………….………. 48

ii
1. PENDAHULUAN.
1.1 Pencemaran Perairan
Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai
perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat
masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem
perairan seperti sungai, danau, waduk dan pesisir serta tambak,
pencemaran dapat terjadi karena masuknya limbah dari
berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga, industri,
pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan. Limbah yang
masuk ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni
limbah nonorganik yang sulit atau tidak-dapat terurai oleh
mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai oleh
mikroorganisme
Pencemaran perairan oleh limbah nonorganik terutama
oleh logam berat telah populer dan banyak dibahas berbagai
media. Hal ini mungkin disebabkan karena pencemar limbah
nonorganik, terutama logam berat dampaknya terhadap
kesehatan manusia pernah
dirasakan langsung sehingga Karena belum pernah
menimbulkan dampak
sangat popular; seperti kasus
yang menghebohkan
Minamata. Sementara itu, belum
seperti pada kasus
pernah ada publikasi besar- “Minamata” maka
besaran yang mengekpos betapa pencemaran badan air
limbah organik dapat merusak oleh limbah organik
ekosistem perairan, dan belum di perhatikan
menghilangkan potensi sosial masyarakat luas dan
ekonomi dari SDLP yang pemerintah
dicemarinya Apalagi ada kesan
bahwa nutrien hasil urai limbah organik dapat meningkatkan
kesuburan dan produktfitas perairan; sehingga karenanya
dianggap menguntungkan. Fenomena ini sungguh menyesatkan,
dan menjadikan limbah organik cenderung diabaikan
Berkenaan dengan fenomena tersebut maka paper “orasi”
ini disusun untuk mengungkapkan perihal yang sebenarnya
tentang limbah organik, pencemaraan dan dampak yang

1
ditimbulkannya. Untuk memberikan gambaran yang lebih
lengkap dipaparkan pula kasus pencemaran oleh limbah organik
di waduk dan tambak, yang dapat menggambarkan betapa
dampak limbah organik bukan hanya terbatas pada penurunan
kualitas ekosistem perairan; namun juga mampu menghilangkan
potensi lain yang dimiliki oleh SDLP tersebut.
1.2 Perkembangan Budidaya Perikanan Intensif di Sumber
daya Lingkungan Perairan Waduk dan Tambak
Sebagai sumberdaya lingkungan perairan (SDLP), suatu
ekosistem perairan pada umumnya memiliki berbagai potensi,
seperi sebagai pengendali banjir, pengatur irigasi, media
budidaya ikan, transportasi dan tujuan wisata. Potensi-potensi
tersebut akan dapat mensejahterakan “stakeholders” nya jika
dalam pemanfaatannya selalu mempertimbangkan kemampuan
optimal (daya dukung) ekositem bersangkutan, baik daya
dukung untuk setiap jenis potensi ataupun untuk pemakaian
bersama. Pemanfaatan berlebihan dari satu potensi saja akan
dapat menyebabkan kerusakan ekosistem secara keseluruhan
dan dapat mengganggu potensi SDLP yang lain. Sebagai
contoh; eutrofikasi yang disebabkan oleh limbah organik
budidaya ikan telah mengakibatkan hilangnya potensi waduk
sebagai tempat wisata/rekreasi; karena badan air dipenuhi alga
berlendir, bau anyir dan menjijikan tidak ubahnya sebuah
“comberan raksasa”
Dalam rangka pembangunan perikanan budidaya yang
bertujuan untuk meningkatkan gizi dan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat, pemerintah telah berusaha mengarahkan
petani dan pengusaha untuk memanfaatkan sumberdaya
lingkungan perairan (SDLP) seperti waduk, danau dan tambak
sebagai sarana peningkatan produksi perikanan. Arahan yang
disertai dengan penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai tersebut telah memacu perkembangan yang pesat
bagi budidaya udang (Peneaus monodon) di tambak air payau,
dan ikan Mas (Cyprinus carpio) di waduk dan danau air tawar di
Indonesia (Garno, 2001; 2002)

2
Perkembangan budidaya intensif di dua ekosistem
perairan yang berbeda tersebut telah terbukti sangat positif
pengaruhnya bagi perekonomian lokal dan nasional; bahkan
budidaya intensif di tambak, khususnya udang pernah
mengantarkan Indonesia menjadi produsen terbesar ke-2
didunia setelah China; dan
penyumbang devisa ke-4 Di berbagai media masa, kini
sektor non-migas setelah setiap tahun muncul berita
tekstil/pakaian, kayu dan kematian masal ikan yang di
karet di tahun 1989, 1990 pelihara di waduk, dan
dan 1991; serta ke-5 setelah setiap saat ada berita
tembaga di tahun 1982. kegagalan budidaya udang,
karena satu demi satu udang
Prestasi yang patut ditemukan mati tergeletak di
dibanggakan tersebut dasar dan tepian tambak.
ternyata tidak bertahan lama
apalagi berkelanjutan. Kejayaan budidaya perikanan intensif
hanya mampu bertahan dalam kisaran dasawarsa saja. Di
berbagai media masa kini setiap tahun muncul berita tentang
kematian masal ikan ikan yang dipelihara di waduk kaskade
Citarum (Anonim, 2000) dan danau Maninjau (Syandri, 2000);
dan hampir setiap saat ada berita kegagalan budidaya udang,
karena satu demi satu udang yang dipelihara ditemukan mati
tergeletak di dasar dan tepian tambak.
Publikasi yang ada mengungkapkan bahwa kematian
masal ikan yang di pelihara di waduk-waduk yang dimasa lalu
diduga hanya akibat arus balik (umbalan) yang menyebabkan
deplesi oksigen dan munculnya senyawa beracun dipermukaan,
kini ternyata disebabkan pula oleh Koi-Herves-Virus yang
tadinya hanya menyerang ikan ikan di kolam. Di sisi lain,
kematian udang di tambak juga diduga karena serangan
mikroorganisme fatogen (virus, bacteria dan protozoa) yang
hidup dengan subur di ekosistem tambak yang telah mengalami
degradasi

3
Berita tentang kegagalan budidaya perikanan intensif di
dua sumberdaya lingkungan perairan (SDLP) yang berbeda
tersebut, kini telah menjadi
Berbagai usaha untuk hal yang biasa. Berbagai
mengatasi hal tersebut usaha untuk mengetahui
telah dilakukan namun penyebab dan cara
yang didapat hanyalah mengatasinya telah banyak
satu kepastian bahwa dilakukan namun kepastian
sebab dari semua sebab keberhasilannya belum
kematian masal tersebut
didapatkan. Yang telah
adalah karena pencemaran
didapat hanyalah satu
khususnya oleh limbah
kepastian bahwa sebab dari
organik dari kegiatan budi-
semua sebab kematian ikan
daya intensif itu sendiri.
di waduk dan udang di
tambak tersebut adalah karena pencemaran, khususnya
pencemaran badan air oleh limbah organik dari kegiatan
budidaya itu sendiri.
2. LIMBAH ORGANIK
Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai
aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman,
peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan
organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989).
Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk
padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada
umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung
mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya
berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob.
Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh
fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya;
maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba; baik mikroba
aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba
anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak memerlukan oksigen)
dan mikroba .fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan
aerobik dan anaerobik).

4
2.1 Dekomposisi Limbah Organik
2.1.1 Dekomposisi di Badan air Aerob.
Limbah organik yang ada di badan air aerob akan
dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik
(BAR); dengan proses seperti pada reaksi (1) dan (2):
 BAR + O2 + BAR  CO2 + NH3 + prod lain + enerji .. (1)
(COHNS)

 COHNS + O2 + BAR + enerji  C5H7O2N (sel MO baru)…(2)


Kedua reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisaratkan
bahwa makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal
pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen
bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan
oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen
terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba
aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan
fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan
oksigen.
2.1.2. Dekomposisi di Badan Air Anaerob
Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob
akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba
anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada
reaksi (3) dan (4):
 COHNS + BAN  CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain +
enerji …………………………….(3)
 COHNS + BAN + enerji  C5H7O2 N (sel MO baru)….…..(4)

Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa


aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob
selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan

5
senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa
lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide
(H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang
mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S
berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir
bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat
konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan
organisme lain, termasuk ikan.
Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi
lingkungan seperti tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua
bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai
oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas
fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi (5).

MATAHARI
NH3 +7.62 CO2 + 2.53 H2O  C7.62 H8.06 O 2.53 N + 7.62 O2 …..(5)
Alga sel alga baru

2.2. DAMPAK DEKOMPOSISI LIMBAH ORGANIK.


Uraian diatas mengungkapkan bahwa proses dekomposisi
limbah organik di badan air bagian manapun cenderung selalu
merugikan karena sebagian besar produknya (NH3 H2S dan
CH4) dapat langsung
Di badan air dekomposisi mengganggu kehidupan
organik selalu merugikan fauna, sedang produk yang
karena sebagian besar lain (nutrien) meskipun
senyawa produknya ber- sampai pada konsentrasi
sifat racun bagi hewan tertentu menguntungkan
air, sedang produk lain namun jika limbah/nutrien
yang berupa nutrien terus bertambah (eutrofikasi)
hanya berdampak positif akan menjadi pencemar
sementara karena pada yang menurunkan kualitas
akhirnya menyebabkan perairan dan akhirnya
eutrofikasi dan blooming mengganggu kehidupan
yang merusak ekosistem fauna

6
2.2.1 Dampak Langsung.
Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di
badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut
dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan
fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat
gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi
oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Secara umum
diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih
tinggi daripada ikan dan kebutuhan oksigen fase larva/juvenil
suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya. Dengan
demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut
menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih
menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya.
Fenomena seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa
akhir-akhir ini di sepanjang pantai utara P. Jawa yang padat
penduduk dan tinggi pemasukan limbah organiknya tidak mudah
lagi ditemukan bibit-bibit udang dan bandeng (nener); padahal
pada masa lalu dengan mudahnya ditemukan..
Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut
sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah
pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka
proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar
dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen
bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob
(Polprasert, 1989). Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian
badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa
menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air
maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke
permukaan hingga terhindar dari kematian. Secara alamiah
kejadian anaerob di semua lapisan badan air memang sangat
sulit terjadi karena bagian atas air selalu berhubungan dengan
udara bebas yang selalu mensupplainya, namun demikian kalau
sebagian badan air anaerob sangatlan sering; misal di teluk-
teluk waduk dan pantai yang relatip menggenang sering muncul
gelembung-gelembung gas yang mengisaratkan bahwa bagian
air yang anaerob dekat dengan permukaan air.

7
Telah diuraikan bahwa pada badan air yang anaerob
dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S,
metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan
dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen terlarut;
senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu
akan dapat membunuh fauna air
Selain merusak ekosistem
yang ada.
perairan dengan berbagai
senyawanya, dekomposisi Selain menyebabkan penurunan
juga dapat menciptakan konsentrasi oksigen terlarut dan
kondisi perairan yang menghasilkan senyawa beracun
sesuai/kondusif bagi ke- yang selalu merugikan dan
hidupan mikroba patogen, dapat menyebabkan kematian
yang setiap saat dapat fauna; dekomposisi juga dapat
menjadi penyakit menghasilkan kondisi perairan
yang cocok bagi kehidupan
mikroba fatogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa
(Polprasert, 1989), yang setelah berkembang-biak, setiap saat
dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan ikan,
udang dan fauna lainnya

2.2.2. Dampak Tidak Langsung (Eutrofikasi)


Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut,
menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup
mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi
juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang
menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang
diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya
(Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980). Sampai
pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi
nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas
perairan (Garno, 1995); karena nutrien yang larut dalam badan
air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no 5) untuk
pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya
meningkat (Garno, 1992). Peningkatan kelimpahan fitoplankton
akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang
makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno, 1998).

8
Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan
utama ikan; maka kenaikan kelimpahan keduanya akan
menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
Sangat disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus
berlanjut maka dampak positif seperti itu hanya bersifat
sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif
bagi kualitas badan air (Anonim,
Eutrofikasi sesungguh
2001). Peningkatan konsentrasi
nya adalah proses
penyuburan badan air nutrien yang berkelanjutan
yang memakan waktu dalam badan air, apalagi dalam
ribuan tahun; namun jumlah yang cukup besar akan
karena peningkatan menyebabkan badan air menjadi
populasi dan kegiatan sangat subur atau eutrofik
manusia; maka tanpa (Henderson, 1987). Proses
disadari telah dipercepat peningkatan kesuburan air yang
menjadi dalam hitungan berlebihan yang disebabkan
abad; bahkan tahun oleh masuknya nutrien dalam
seperti pada perairan badan air, terutama fosfat
waduk kaskade Citarum inilah yang disebut eutrofikasi
dan bulan seperti pada (Anonim, 2001).
tambak
Sesungguhnya eutrofikasi
adalah sebuah proses alamiah yang terjadi dengan pelahan-
lahan dan memakan waktu berabad-abad bahkan ribuan tahun;
di mana badan air yang relatif tergenang seperti danau dan
pantai tertutup mengalami perubahan produktifitas secara
bertahap. Namun demikian, sejalan dengan peningkatan
populasi manusia yang diikuti dengan peningkatan jumlah
limbah yang dihasilkannya, maka tanpa disadari fenomena ini
telah dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade
seperti yang umum terjadi pada berbagai danau dan pantai
(Goldman dan Horne,1983); bahkan beberapa tahun saja
seperti eutrofikasi yang terjadi pada perairan waduk kaskade
Citarum (Garno, 2001a) dan beberapa minggu seperti eutrofikasi
yang terjadi pada perairan tambak (Garno, 2001b). Fenomena
tersebut menunjukkan bahwa eutrofikasi memang telah menjadi
masalah perairan umum di seluruh di dunia..

9
Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor
> 0,010 mgPl-1 dan nitrogen > 0,300 mgNl-1 dalam badan air
akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-
biak dengan pesat (Henderson dan Markland, 1987), sehingga
terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan
menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno,
1992). Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien
dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga
kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda (Henderson
dan Markland 1987; Margalef, 1958;. Selain itu setiap jenis
fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap
perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham
dan Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas
fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan
dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya
(Hutchinson, 1944; Margalef., 1958 Reynolds, 1989).
Perbedaan struktur dan dominasi jenis fitoplankton
tersebut diatas juga dipengaruhi oleh karakteristik fitoplankton
dan zooplankton yang ada. Diketahui beberapa jenis
fitoplankton tidak dapat dimakan oleh zooplankton karena bentuk
morpologi, fisiologi (Horn, 1981; Garno, 1993; Geller, 1975,
Downing dan Petter, 1980) komposisi fitoplankton; dan
mekanisme makan zooplankton (DeMott, 1982; Frost, 1980;
James &. Forsynth 1990) serta faktor abiotik lainnya.
Selanjutnya dalam kondisi persediaan makanan (fitoplankton)
banyak dan beragam; zooplankton melakukan pemilihan
terhadap jenis, bentuk dan ukuran fitoplankton yang hendak
dimakan atau selective feeding (Garno, 1993).
Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan
zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang mengalami
eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis
fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan
oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan; termasuk karena
beracun. Sebagai contoh yang nyata dari fenomena ini adalah
dominasi Mycrocistis sp di waduk-waduk Saguling, Cirata dan

10
Jatiluhur (Garno, 2001, 2002, 2003); dan dominasi Pyrodinium
bahamense, lexandrium spp. dan Gymnodinium spp. di perairan
pantai/pesisir waktu terjadi “red-tide
Selain merugikan dan
mengancam keberlanjutan Pertumbuhan fitoplankton
fauna akibat dominasi fito- sangat dipengaruhi oleh
plankton yang tidak dapat kuantitas nutrien; sedang
dimakan dan beracun; dominasinya dipengaruhi
blooming yang menghasilkan oleh ratio nutrien N:P:K;
biomasa (organik) tinggi juga dan pemangsaan oleh zoo-
merugikan fauna; karena plankton. Hal ini menyebab-
fenomena blooming selalu kan suatu badan air yang
diikuti dengan penurunan mengalami eutrofikasi pada
oksigen terlarut secara drastis akhirnya didominasi oleh
fitoplankton yang tidak bisa
akibat pe-manfaatan oksigen
dimakan oleh zooplankton
yang ber lebihan untuk de-
dan ikan, bahkan ada yang
komposisi biomasa (organik) beracun bagi manusia.
yang mati. Seperti pada
analisis dampak langsung tersebut diatas maka rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai batas nol akan
menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan
baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses
dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti
NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat
membahayakan fauna air, termasuk ikan.
Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak
ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi juga
merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup
di tepian (eceng gondok) maupun dalam badan air (hydrilla).
Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan danau-danau yang
telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur
oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes),
Hydrilla dan rumput air lainnya.

11
Akhirnya, yang harus dimengerti dan disadari adalah
bahwa karena Indonesia merupakan negara tropis yang
mendapatkan cahaya Matahari sepanjang tahun; maka blooming
(dalam arti biomasa alga tinggi) dapat terjadi sepanjang tahun.
Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari
manapun asalnya kalau konsentrasi nutrien dalam badan air
meningkat maka akan meningkat pula aktifitas fotosintesa
fitoplankton yang ada; dan jika
Tidak seperti di negera 4 peningkatan nutrien cukup besar
musim yang hanya alau lama akan terjadi blooming.
terjadi 1-2 kali setahun. Fenomena itulah yang
Di Indonesia, karena menyebabkan badan-badan air
hampir setiap hari ada (waduk, danau dan pantai) di
cahaya matahari maka
Indonesia yang telah menjadi
blooming dapat terjadi
hijau warnanya tidak pernah atau
setiap saat. Fenomena
inilah yang menyebab- jarang sekali menjadi jernih
kan waduk, danau dan kembali; tidak seperti di negeri 4
pantai yang telah musim seperti Kanada dan
menjadi hijau jarang Jepang yang blooming hanya
menjadi jernih kembali. terjadi di akhir musim semi dan
panas.
2.2.3. Dampak terhadap Sosial Ekonomi.
Uraian tersebut diatas menggambarkan betapa
pencemaran oleh limbah organik yang berlanjut akan mampu
merubah metabolisme badan air dan merusak sistem
metabolisme yang ada sehingga ekosistem terdegradasi dan
berubah menjadi seperti “comberan” atau genangan air
pembuangan limbah atau pelimbahan Untuk itulah, maka
meskipun saat ini waduk, danau dan pantai belum benar-benar
menjadi “comberan-raksasa” namun karena penuh dengan
eceng gondok, alga berlendir, beracun dan bau maka potensi-
lain dari SDLP ini; seperti untuk arena-rekreasi, dan budidaya
ikan. akan hilang; sedangkan potensi lain seperti untuk bahan
baku air bersih, MCK dan pembangkit tenaga listrik menjadi
sangat mahal karena untuk memanfaatkan secara optimal
memerlukan biaya tambahan yang tidak sedikit.

12
3. LIMBAH ORGANIK DAN TRAGEDI KEMATIAN MASAL
IKAN DAN UDANG.
Uraian diatas adalah pola umum dari proses dan dampak
pencemaran ekosistem perairan oleh limbah organik yang saat
ini telah terjadi di hampir semua perairan umum di muka bumi
ini, termasuk di Indonesia. Pencemaran tersebut umumnya
disebabkan oleh limbah organik yang sedikit demi sedikit dibawa
air sungai yang bermuara di perairan umum, seperti danau,
waduk dan pesisir sehingga dampaknya tidak terasakan
langsung dan nyata. Karena tidak berdampak langsung pada
keseharian hidup manusia itulah maka mungkin sedikit pelaku
pencemar yang mau mempercayai dan menyadari bahwa
perbuatannya dapat merusak keberlanjutan suatu ekosistem
perairan, yang sebenarnya adalah sumberdaya lingkungan yang
memiliki berbagai macam potensi dan kegunaan.
Pada kesempatan ini penulis berusaha menguraikan
betapa tragedi kematian masal yang menimpa ikan peliharaan di
waduk kaskade Citarum dan udang di tambak, adalah
merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari
keberadaan limbah organik
Penulis berusaha meng- dalam media hidup kedua jenis
uraikan dan meyakinkan budidaya intensif tersebut.
bahwa tragedi kematian Dimana tragedi kematian di
masal ikan di waduk waduk disebabkan oleh sumber
dan udang di tambak , limbah dari kegiatan manusia di
adalah oleh keberadaan
luar (pemukiman dan pertanian)
limbah organik khusus
dan dalam (KJA) waduk;
nya dari kegiatan dalam
SDLP itu sendiri. sedangkan tragedi kehancuran
industri budidaya udang intensif
disebabkan oleh sumber dari dalam.(sisa pakan).. Mudah-
mudahan dengan mengetahuinya maka semua stakes-holder
sumberdaya lingkungan perairan (SDLP) kolam, tambak,
waduk, danau dan pantai menjadi yakin bahwa pencemar
organik memang dapat menimbulkan dampak yang serius bagi
ekosistem perairan dan sosial ekonomi.

13
3.1. LIMBAH ORGANIK DI WADUK KASKADE CITARUM.

Waduk Kaskade Citarum, khususnya waduk Saguling,


Cirata dan Juanda mendapatkan limbah organik dari 2 sumber
yakni dari kegiatan manusia diluar SDLP waduk (Alloch-
thonous),, seperti pemukiman, industri, pertanian dan peternak-
an; dan dari dalam SDLP waduk sendiri (Autochthonous).
Khususnya dari keramba jaring apung (KJA). Secara umum,
limbah organik yang masuk ke
Kerusakan SDLP oleh
masing-masing waduk tersebut
limbah organik kegiatan
adalah seperti pada tabel-2
di dalam badan air
(Garno, 2002). Tabel-2 meng- adalah fenomena yang
ungkapkan bahwa sumber sangat langka dan ber-
pencemar organik terbesar pada beda dengan di Negara
ketiga waduk tersebut adalah lain yang umumnya
dari pemukiman; dan limbah disebabkan limbah dari
KJA. Mengingat perkiraan luar SDLP.
potensi organik sumber
pemukiman hanya didasarkan pada jumlah penduduk dengan
asumsi tanpa MCK, serta tidak diperhitungkannya senyawa yang
hilang sebelum masuk waduk, maka diperkirakan bahwa yang
sampai di waduk jauh lebih kecil. Lain halnya dengan limbah
organik dari KJA yang sudah berada dalam badan air, yang
langsung mengendap atau terlarut. Kenyataan ini
memungkinkan jumlah limbah organik dari KJA lebih besar dari
pemukiman dan pertanian; khususnya untuk waduk Cirata.
Pencemar organik dari dalam ekosistem yang sangat besar ini
adalah fenomena yang sangat berbeda dengan pencemaran
SDLP oleh organik di tempat-tempat lain, karena pada
umumnya pencemaran badan air besar seperti danau, waduk
dan pesisir di dominasi oleh sumber dari luar perairan
3.1.1 Dampak Limbah Organik pada Kualitas air (Eutrofikasi)
Tabel-2 mengungkapkan bahwa selama lima tahun
terakhir, setiap tahunnya W. Saguling mendapatkan asupan 2,07
mgP•liter-1 dan 12,57 mgN•liter-1; W. Cirata mendapatkan
asupan 0,95 mgP•liter-1 dan 6,19 mgN•liter-1; dan W. Juanda

14
mendapatkan asupan 0,06 mgP•liter-1 dan 0,88 mgN•liter-1. Hal
ini mengisaratkan bahwa dengan tanpa memperhatikan
sumbernya; setiap liter air di W. Saguling menerima beban
nutrien khususnya fosfor 2.2 kali lebih besar dari yang diterima
oleh waduk Cirata dan 34 kali lebih besar dari W. Juanda.
Tabel-2. Perkiraan sumber dan potensi beban pencemaran
nitrogen dan fosfor (ton•th-1•W.-1)

Sumber pencemar Saguling Cirata Juanda


P N P N P N
Pemukiman 1.303 9.953 1.022 6.781 25 1.697
Industri - 8 - - - -
Pertanian 219 1.022 - - - -
Peternakan 296 1.197 - - 62 255
Budidaya ikan di KJA 214 1.359 1.041 6.612 104 659
Jumlah (ton•th-1•W.-1) 2.032 12.342 2.063 13.393 191 2.611
Beban per volume air
2,07 12,57 0,95 6,19 0,06 0,88
(mg•th-1•liter-1)
Sumber: Garno ( 2002)

Meskipun pada periode tersebut ketiga waduk menerima


nutrien yang sangat berbeda kuantitasnya, namun dampaknya
terhadap kualitas air ternyata tidak berbeda; yakni semua waduk
menjadi sangat subur (hipertrofik) seperti tertera pada tabel-3
(Garno, 2002). Kesamaan status kualitas perairan tersebut
mengindikasikan bahwa kandungan nutrien terlarut di ketiga
badan air waduk tersebut telah melewati ambang batas
konsentrasi untuk terjadinya blooming; yakni 0,010 mgPl-1 dan
0,300 mgNl-1 (Hendersen dan Markland, 1987). sehingga
penambahan konsentrasi nutrien tidak banyak mengakibatkan
perubahan biomasa dan kecerahan yang ada. Berkenaan
dengan ambang batas nutrien untuk terjadinya blooming dan
tersebut Garno (2002) mengungkapkan bahwa hanya dengan
terdekomposisinya 0,02% organik di Saguling; 1,05% organik di
Cirata dan 16% organik di Juanda; ketiga waduk tersebut mudah
mengalami blooming.

15
Saat ini, tanda-tanda blooming untuk suatu badan air yakni
kecerahan rendah, biomasa dan kepadatan fitoplankton tinggi,
setiap saat selalu terjadi di ketiga waduk tersebut. Garno (2002)
telah mengindikasikan bahwa jika supplai organik terus terjadi
maka tanda-tanda blooming
yang di negeri asalnya (negeri Di waduk Kaskade Citarum
4 musim) hanya terjadi 1-2 kali blooming kini terjadi
setahun; di Indonesia dapat setiap saat. Fenomena ini
terjadi sepanjang tahun bukan saja mengindikasi-
kan bahwa kualitas perair-
karena cahaya matahari yang
an waduk tersebut telah
terus menerus menyinarinya.
menjadi sangat buruk
Kini fenomena tersebut di seperti comberan raksasa,
waduk kaskade Citarum telah hingga mengancam keber-
terjadi sepanjang tahun. lanjutan budidaya ikan itu
Pantaskah istilah blooming sendiri, namun juga telah
yang pengertian awalnya mengganggu pemanfaatan
adalah peningkatan populasi potensi yang lain; seperti
alga secara mendadak itu untuk tempat rekresi,
diterapkan di ketiga waduk MCK, bahan baku air
tersebut ?. Hal ini sulit bersih dan lainnya
didiskusikan, yang jelas
adalah bahwa dengan tanda-tanda blomming sepanjang tahun
di ketiga waduk tersebut; bukan saja menunjukkan bahwa kini
kualitas perairan ketiga waduk tersebut telah menjadi sangat
buruk dan telah mengancam keberlanjutan budidaya ikan di KJA
itu sendiri, namun juga telah mengancam keberlanjutan potensi
yang lain dari SDLP waduk tersebut, seperti untuk tempat
rekresi, MCK, sumber bahan baku air minum dan lainnya..
3.1.2 Dampak Langsung Limbah Organik pada Kualitas air
dan kehidupan Ikan
Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat
dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai
itulah yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Pada
umumnya, karena hubungannya dengan daya tembus cahaya
matahari dan fotosintesa maka makin kedalam bagian badan air
makin menurun oksigen terlarutnya, bahkan bisa menjadi nol.

16
Berkenaan dengan kedua sifat tersebut maka limbah organik
yang jatuh ke dasar waduk dengan sendirinya cenderung
terkumpul di bagian dalam yang mengandung oksigen sangat
rendah. Masuknya limbah organik pada bagian bawah/dasar
badan air yang mengandung oksigen sangat rendah; akan
segera merubah bagian bawah badan air menjadi anaerob dan
jika supplai limbah organik terus berlanjut maka dekomposisinya
akan menghasilkan senyawa beracun seperti NH3 dan H2S.
Tabel-3. Beberapa parameter penentu status trofik di W. Saguling,
Cirata dan Juanda.

Hyper
Parameter Saguling* Cirata* Juanda* Eutrofik** trofik**
Kecerahan/
47-65 50-62 80-115 300-150 <150
Sec. disk (cm)
Khlorofil (Chl)-a
27,9-48,3 33,3-49,0 20,4-28,0 8,0-25 > 25
µgl-1
Kepadatan Fito-
19.0-25.4 44,8-62,3 20.0-50.4 - -
plankton (x106
sell-1)
Keterangan: sumber Garno (2002)

Mengingat pendugaan limbah organik dari luar SDLP


waduk yang langsung mengendap kedasar waduk sulit ditebak
dikarenakan perjalanan panjang sebelum masuk waduk yang
memungkinkan mereka terlarut dan terdekomposisi, maka
analisis ini hanya mendasarkan pada potensi sumber limbah dari
KJA yang sebagian besar diduga bisa jatuh kedasar waduk.
Berdasarkan perkiraan yang ada limbah organik dari KJA yang
masuk ke W. Saguling adalah sekitar 29.868,75 ton•th-1; W.
Cirata sebanyak 145.334. ton•th-1 dan W. Juanda 14.492,25
ton•th-1 (Garno, 2002). Dengan kuantitas sebesar itu, dan
sampai saat ini belum pernah diangkat serta kenyataannya
menunjukkan adanya pendangkalan akibat akumulasi limbah
(terutama saat sampel di Cirata) maka dipastikan dasar waduk
telah tertutup limbah organik dengan ketebalan yang cukup

17
tinggi.’yang setiap saat selalu melepas senyawa beracun hasil
dekomposisinya. Beberapa data yang ada baik data waduk
saguling, Cirata maupun Juanda menunjukkan bahwa di dasar
waduk telah terakumulasi senyawa beracun seperti asam sulfide
dan juga telah menjadi anaerob (konsentrasi oksigen nol).

Kumpulan senyawa beracun tersebut pada hari-hari biasa


tidak berhubungan langsung dengan ikan-ikan yang dipelihara
dengan KJA diatasnya sehingga keberadaan senyawa tersebut
tidak mengganggu kehidupan ikan; apalagi pada badan air
SDLP waduk yang baru dimanfaatkan; yang sudah tentu
keberadaan senyawa beracun hasil dekomposisi di dasar relatif
masih sangat sedikit. Dekomposisi
Jika badan air selama organik di dasar waduk mulai
3-4 hari tidak men- berpengaruh negatif ketika
dapatkan cahaya mata- senyawa-senyawa dalam bentuk
hari maka akumulasi gas (NH3, H2S dan CH4) yang
hasil dekomposisi an- makin besar sedikit demi sedikit
aerobik bisa menimbul meluas dan mendesak badan air
kan tragedi mengeri- yang masih aerob diatasnya.
kan karena umbalan Dengan makin besarnya desakan
bisa mengakibatkan gas hasil dekomposisi itu; maka
seluruh badan air sedikit demi sedikit namun pasti
menjadi anaerob dan bagian badan air yang anaerob
mengandung senyawa makin menebal sedangkan bagian
beracun. yang aerob makin menipis;
terdesak ke permukaan badan air.
Namun demikian fenomena tersebut diatas baru akan
menimbulkan dampak yang serius bagi kualitas air dan
kehidupan fauna didalamnya jika dalam waktu yang cukup lama
(3-4 hari) badan air tidak mendapatkan cahaya matahari. KArena
ketiadaan cahaya matahari yang cukup lama tersebut akan
dapat menyebabkan 2 hal; yakni

18
Gambar-1. Keramba Jaring Apung (KJA) di SDLP Waduk.

Gambar-2. Kematian masal ikan di KJA seperti ini terjadi


setiap tahun.

Gambar-3. Waduk yang penuh bangkai ikan seperti ini lebih


pantas disebut “Comberan Raksasa”.

19
i. Tidak terjadinya Fotosintesa yang mengakibatkan berhentinya
supplai oksigen, sehingga badan air yang anaerob makin luas
(tebal) dan mendesak bagian aerob makin keatas. Keadaan ini
akan mempersempit gerak semua fauna, termasuk ikan
peliharaan yang untuk bernafas perlu oksigen. Keadaaan ini
belum akan mampu membunuh semua fauna yang ada,
karena mereka bisa menghindar lari kepermukaan yang selalu
mendapatkan diffusi oksigen dari atmosfir
ii. panas badan air bagian bawah lebih tinggi daripada badan air
bagian atas, karena bagian atas melepaskan panas yang
lebih cepat. Fenomena ini menyebabkan masa air bagian atas
lebih berat daripada bagian bawah, sebagai akibatnya akan
terjadi pengadukan, dimana lapisan air bagian bawah yang
anaerob dan mengandung senyawa beracun hasil
dekomposisi terangkat ke permukaan. Akibatnya seluruh
badan air kehabisan oksigen, dan sekaligus mengadung
secawa beracun. Sudah tentu dalam keadaan seperti itu
semua fauna tidak akan bisa bertahan hidup dan mati secara
masal. Fenomena inilah yang setiap tahun menjadi sebab
terjadinya tragedi kematian ikan secara masal di waduk
Saguling, Cirata dan Jatiluhur
dan telah merugikan petani Akhir-akhir ini kematian
bermilyar-milyar rupiah. masal ikan bukan hanya
karena umbalan, namun
Fenomena kematian ikan juga karena koi herves-
secara masal tersebut kini terjadi virus. Keberadaan virus
setiap tahun;. Karena terjadinya di waduk bukan hanya
di saat cahaya matahari sangat menunjukkan betapa
lemah karena mendung 3-4 hari kualitas air waduk telah
tanpa henti maka pakar sedemikian buruknya
lingkungan meduga ikan mati hingga menjadi sesuai
karena senyawa beracun dan untuk kehidupan virus;
kekurangan oksigen akibat dan jika virus menetap
umbalan.Selain dugaan tersebut di air waduk maka
kematian masal ikan
sejak tahun 2003 kematian
bisa lebih sering terjadi
masal ikan di KJA diduga tidak
lagi hanya karena umbalan semata, namun juga karena diserang

20
oleh virus bernama Koi Herver-Virus. Kematian akibat virus
tersebut tidak boleh dianggap sepele karena kehadiran virus di
waduk menunjukkan betapa kualitas air waduk telah sedemikian
buruknya sehingga menjadi kondusif bagi virus untuk hidup dan
berkembang dengan baik. Yang perlu disadari adalah bahwa
jika virus dan mikroba fatogen lain menjadi penghuni tetap
waduk maka kematian masal ikan di KJA bisa lebih dari sekali
dalam setahun.
3.2. LIMBAH ORGANIK DI TAMBAK UDANG
Tambak udang intensif umumnya mempunyai luas 0.5-1 Ha;
dan diisi dengan air dari pesisir/laut, sehingga kualitas air pada
awal pengisian tambak sangat tergantung pada kualitas air
sumbernya. Untuk memastikan bahwa sumber yang akan
digunakan berkualitas cukup memadai untuk memelihara dalam
arti jernih, kandungan organik
dan nutrien rendah, serta tidak Dengan target produksi
membahayakan kehidupan 5 ton perhektar per masa
udang yang dipelihara maka tanam dan RKP 1,6 maka
limbah organik dari 1 Ha
sebelum dimasukan ke tambak;
tambak udang intensif
air disimpan dahulu dalam
tersebut adalah setara
kolam “perlakuan” atau “tandon”. dengan limbah organik
Di kolam ini berbagai partikel dari 113,4 -130 orang.
diendapkan, konsentrasi nutrien
diturunkan dan senyawa
beracun dinetralkan; baik secara biologis maupun kimiawi.
Mencermati uraian tersebut maka dapat diperkirakan bahwa
limbah organik dalam badan air tambak sebagian besar berasal
dari sisa pakan dan sedikit dari air tambahan yang lolos dari
kolam tandon.
Dimasa keemasannya, produksi udang 5 ton•ha-1•masa
tanam-1 atau 10 ton•ha-1•th-1 adalah bukan target yang terlalu
tinggi. Untuk mencapai target tersebut maka dengan rasio
konversi pakan (RKP) 1.6 diperlukan pakan sekitar 16 ton per
tahun. Dengan produksi dan keperluan pakan seperti itu maka
dengan formula Schmittou dapat diketahui bahwa setiap hektar

21
tambak udang berpotensi menghasilkan limbah organik sekitar
13.,5 ton dengan kandungan nitrogen 600 kgN•th-1dan fosfor 90
kgP•th-1. Dibandingkan dengan limbah penduduk yang setiap
orang menghasilkan 14,5 gN•h-1 (5,29 kgN•th-1) dan 1,9 gP•h-1
(0,69 kgP•th-1) (Irianto,1996); maka beban pencemar organik
dari 1 Ha tambak udang intensif tersebut adalah setara dengan
beban pencemar dari 113,4 -130 orang.
3.2.1 Dampak langsung Limbah Organik pada Kualitas air
dan kehidupan Udang.
Di lapangan limbah organik sebanyak itu sudah tentu tidak
masuk ke tambak sekaligus, namun sedikit demi sedikit, sesuai
perkiraan berat udang yang diberi makan (Tricahyo, 1995).
Karena diberikan bertahap, maka pengaruh limbah pada kualitas
air dan aspek biologi udang pun terjadi secara bertahap. Pada
awal budidaya, dekomposisi limbah yang relatif masih sedikit
hanya akan menyebabkan kenaikan konsentrasi nutrient yang
merangsang pertumbuhan fitoplankton sehingga air menjadi
nampak keruh dan berwarna sesuai dengan jenis fitoplankton
yang mendominasi komunitasnya. Pada masa awal pemelihara
an seperti ini jarang ditemukan kematian udang, bahkan jika
fitoplankton yang tumbuh
Untuk menghindari akumulasi sesuai dengan kebutuhan
sisa pakan maka setiap hari gizi yang diperlukan akan
sekitar 10% dari total air dapat mempercepat per-
tambak diganti dengan tumbuhan udang. Oleh
membuang air tambak bagian karena itu fenomena
bawah dan menggantinya seperti ini bagi tambak
dengan air dari tandon Sudah intensif belum menjadi
pasti cara ini tidak dapat me- masalah karena dengan
ngeluarkan 100% limbah yang penggunaan kincir maka
ada dan akibatnya pengendap kebutuhan oksigen untuk
an di dasar tambakpun tidak
respirasi yang besar di
bisa dihindari lagi.
malam hari akan dapat
dipenuhi.

22
Seiring dengan peningkatan berat total udang di tambak
maka kuantitas makanan yang diberikan bertambah, sehingga
kuantitas limbah bertambah pula Untuk menghindari akumulasi
sisa pakan di dasar tambak, maka setiap hari sekitar 10% air
tambak diganti; dengan cara membuang air bagian bawah ke
pesisir dan menggantinya dengan air dari tambak tandon. Cara
ini tentu tidak mampu mengeluarkan 100% limbah yang ada di
tambak Akibatnya jumlah limbah dibadan air bertambah dan
pengendapan didasar tambakpun tidak bisa dihindari lagi.
Selanjutnya sedikit demi sedikit tapi pasti oksigen di dasar
tambak terpakai untuk mendekomposisi organik, dan munculah
senyawa yang bersifat racun bagi udang, seperti NH3 dan H2S..
Untuk mengendalikan dekomposisi anaerobik yang menghasil
kan senyawa beracun tersebut, digunakan aerator untuk
mensupplai udara yang mengadung oksigen ke dasar tambak.
Namun demikian udara dari aeratorpun tidak mungkin mencapai
seluruh dasar tambak, karena pengoperasian aerator harus hati-
hati agar tidak sampai mengaduk dasar tambak yang bisa
berakibat fatal bagi udang.
Dengan demikian maka keber- Dalam hidupnya udang
adaan limbah organik dan memerlukan oksigen yang
senyawa beracun hasil de- tinggi dan mempunyai
komposisinya di dasar tambak kebiasaan mencari makan
tidak dapat dihindari lagi, di dasar perairan. Kedua
khususnya dimalam hari yang sifat itu menjadikan udang
hanya mengandalkan supplai mudah menemui kesulitan
oksigen dari aerator dan kematian, karena
setiap saat selalu bertemu
Udang termasuk hewan media tanpa oksigen dan
yang memerlukan oksigen beracun (dasar tambak)
lebih banyak daripada hewan
lain (normal 4.0-7.0 mgl-1), dan dalam kesehariannya
mempunyai kebiasaan di dasar perairan; khususnya mencari
makan (Tricahyo,1995). Kedua aspek tersebut secara tidak
langsung memudahkan udang menemui kesulitan dan bahkan
kematian, karena dengan mencari makan di dasar tambak maka
akan selalu kontak dengan media tanpa oksigen dan beracun.

23
Pada awal pemeliharaan; disaat dasar tambak masih
cukup bersih dan mengandung cukup oksigen maka kehidupan
udang tidak mengalami masalah; tetapi setelah masa
pemeliharaan cukup lama dan limbah organik mulai mengendap
serta terdekomposisi sehingga terbentuk lapisan anaerob dan
senyawa beracun maka masalah serius mulai mengancam
kehidupan udang karena dengan kebiasaan yang menempel di
dasar tambak untuk mencari makan, udang akan mudah
terjebak dalam media tanpa oksigen dan beracun, yang siap
mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah maka kematian udang
dalam tambak biasanya terjadi setelah masa pemeliharaan lebih
dari 1 bulan, yakni saat limbah organik dari sisa pakan yang
gagal tidak ikut terbuang keluar tambak mulai mengendap dan
terdekomposisi.

Kematian udang di Selain karena penurunan


tambak juga dipercepat oksigen terlarut dan senyawa
oleh serangan beruntun beracun seperti tersebut diatas,
berbagai penyakit yang kematian udang di tambak diduga
justru terjadi di saat juga dipercepat oleh serangan
udang mulai mengalami beruntun berbagai penyakit yang
kesulitan hidup akibat justru muncul bersama-sama atau
deplesi oksigen dan bertepatan dengan terjadinya
timbulnya gas beracun deplesi oksigen dan timbulnya
di dasar tambak gas beracun yang sudah
mengancam keberlanjutan
hidupnya. Fenomena tersebut terjadi, karena kualitas air yang
memburuk akibat keberadaan limbah organik justru merupakan
media yang baik bagi kehidupan mikrooorganisme, termasuk
yang fatogen baik dari jenis virus, mikroba, protozoa maupun
jamur. Dengan kondisi yang cocok untuk kehidupannya itulah
mikroorganisme fatogen tersebut berkembang pesat dan
bergantian menyerang udang; justru disaat kondisi udang lemah
karena menghadapi deplesi oksigen dan senyawa beracun
didasar tambak.. Kenyataan tersebut menjadikan penderitaaan
udang makin sempurna dan mudah menemui kematiannya.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa serangan bakteria dan

24
virus bersifat primary infection yang akan menjadi kronik jika
lingkungan air memburuk. Pada saat itulah mikroorganisme lain
seperti jamur Fusarium sp. dan parasit Lagenophrys sp.
menyerang
3.2.2 Peran Limbah Organik Budidaya Udang pada
Kualitas Perairan Pesisir
Meskipun tidak dalam waktu yang sama, sebagian besar
limbah organik tambak udang intensif dapat dipastikan akan
masuk dan mencemari perairan pantai. Hal ini bisa dimaklumi
karena selama masa pemeliharaan udang, setiap harinya air
tambak bagian bawah yang berisi sisa pakan dan senyawa
beracun hasil dekomposisi (sekitar 10% total air tambak)
dibuang ke pesisir/laut; sedangkan setelah udang panen air
beserta lumpur cair juga
Pembuangan limbah dari dibuang ke pantai; sedangkan
dasar tambak ke per- lumpur padat diangkat ke
airan pesisir yang di- pematang. Lumpur padat ini
lakukan setiap hari dan
akan kembali ke tambak dibawa
setelah panen me-
air hujan dan akhirnya ke
nunjukkan bahwa budi-
daya udang intensif di
pesisir.. Kenyataan tersebut
tambak adalah sumber menunjukkan bahwa budidaya
limbah organik yang udang intensif di tambak
potensial bagi perairan merupakan sumber pencemar
pesisir dan laut. organik potensial bagi perairan
pesisir dan laut.
Telah diperkirakan bahwa dengan target produksi 5 ton
perhektar untuk setiap masa tanam atau 10 ton•th-1, tambak
udang intensif akan mensupplai 13.5 ton•ha-1•th-1 limbah
organik, dengan kandungan nitrogen 600 kgN•ha-1•th-1 dan
fosfor 90 kgP•ha-1•th-1. Dengan potensi limbah sebesar itu
maka dapat diperkirakan betapa besar sumbangan limbah dari
budidaya tambak intensif ke perairan pesisir/laut
Sebagai ilustrasi, mari kita cermati perkiraan sumbangan
limbah organik dari tambak intensif ke pesisir/laut Jawa.
Supardan (1999) mengunkapkan bahwa jumlah tambak yang

25
mendapatkan irigasi di P. Jawa, khususnya pantura adalah
sekitar 52.034,5 ha. Mengasumsikan bahwa pada masa
keemasan udang; hanya tambak tersebut saja yang digunakan
untuk budidaya intensif, maka limbah yang dibuang ke pantai
pada masa itu adalah sekitar 705.465,75 ton organik•th-1,
dengan kandungan nitrogen 31.220,700 ton N•th-1 dan fosfor
4.683,105 tonP•th-1. Berdasarkan kandungan nitrogennya maka
buangan itu setara dengan
Jika tambak udang intensif buangan dari 5.901.833 orang,
hanya yang mendapatkan sedangkan berdasarkan
irigasi saja, maka buangan fosfornya setara dengan
nutrien yang diterima perai- buangan dari 6.787.108 orang.
ran pesisir pantura P. Jawa
setara dengan buangan Limbah organik setara
dari 5.9-6.8 juta. dengan buangan dari 6.5 juta
orang tersebut setiap tahun
langsung masuk ke badan air pesisir pantura P. Jawa dalam
bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut.
Dibandingkan dengan limbah organik dari keseluruhan aktivitas
manusia yang ada di pantura P. Jawa yang masuk melalui
sungai, mungkin memang jauh
lebih kecil; sehingga sumber Ironisnya; para petani
pencemar mengabaikannya. Bukti tambak udang intensif
nya tidak satupun petani dan tidak menyadari bahwa
mereka adalah pen-
pengusaha udang yang mulai
cemar lingkungan; tapi
berfikir untuk mengolah limbah
justru merasa sebagai
yang dihasilkan-nya dengan unit
korban pencemaran
pengolah limbah.
Seperti yang terjadi pada perairan waduk, masuknya
nutrien ke perairan pesisir; pada mulanya akan berpengaruh
positif karena menaikan kesuburan dan produktifitas primer
perairan, serta pada gilirannya akan menaikan produksi ikan
(Garno, 1995). Tetapi karena penambahan nutrien terjadi terus
menerus dan Indonesia merupakan daerah yang sepanjang
tahun menerima cahaya matahari, maka eutrofikasi bukan saja
menyebabkan blooming, namun juga menyebabkan biomasa
yang selalu tinggi sepanjang tahun.

26
Gambar-4. Tambak udang lengkap dengan aerator dan
jembatan pengontrol

Gambar-5. Pemandangan kematian udang seperti ini telah


menjadi hal yang biasa,

27
Dampak pemasukan nutrient berkelanjutan pada biomasa
fitoplankton di perairan pesisir ini, dengan jelas dapat dilihat dari
udara (pesawat-terbang), dimana perairan disekitar muara
(mulut) sungai besar terlihat jauh lebih berwarna hijau dan keruh
daripada perairan yang tidak dimasuki sungai dan pesisir di
sepanjang pantura yang jauh lebih hijau daripada pesisir pulau-
pulau besar lainnya.
Selain biomasa yang tinggi
Dampak eutrofikasi
perairan pesisir yang sepanjang tahun, dampak lain yang
paling dicemaskan bisa menyertai eutrifokasi per-airan
adalah kemungkinan pesisir adalah kemungkinan
terjadinya pergantian terjadinya pergantian dominasi
dominasi plankton plankton dari yang tidak beracun
dari jenis yang tidak seperti Skeletoinema sp. dan Noc-
beracun ke beracun. tiluca sp ke jenis yang beracun
Yang dampaknya seperti Protoperinidium spp, Pyro-
bukan hanya pada dinium spp dan Gymnodinium spp.
hewan air yang mati Jika fenomena ini terjadi maka
dan tidak benilai dampaknya bukan hanya pada
ekonomi lagi karena fauna pesisir yang mati dan tidak
tidak dapat dimakan bernilai ekonomi lagi karena tidak
manusia dan hewan, bisa dimakan manusia dan hewan
namun juga karena lain; namun juga kegiatan lain
kegiatan lain seperti seperti wisata renang di pantai harus
wisata renang di di hentikan.
pantai bisa di ber-
hentikan sementara Akhirnya, perlu dipahami
bahwa limbah organik dari dasar
tambak yang setiap hari masuk ke pesisir; dapat menjadikan
pesisir sebagai media penular penyakit udang yang sangat baik;
karena air yang keluar dari tambak yang membawa vektor
penyakit; sesampainya di pesisir segera di masukan ke tambak
lain. Hal ini pula, yang mungkin menyebabkabn kenapa penyakit
udang dengan mudahnya menular dari satu tambak ke tambak
lain, dan sekali suatu jenis penyakit berjangkit di suatu wilayah
tidak akan hilang dari peredaran, serta muncul pada periode
pembudidayaan berikutnya.

28
4. TEKNOLOGI PENCEGAHAN DAN PEMULIHAN DAMPAK
LIMBAH ORGANIK
Rangkaian uraian diatas dengan tuntas mengungkapkan
bahwa langsung ataupun tidak langsung penyebab kematian
masal ikan di waduk dan udang di tambak adalah mutlak oleh
keberadaan limbah organik dalam badan air di waduk dan
tambak. Kesimpulan ini harus diterima karena munculnya
berbagai senyawa beracun, kelangkaan oksigen, alga beracun
dan mikroba fatogen yang akhirnya menyebabkan ikan dan
udang mati; adalah produk dari proses yang terjadi setelah
munculnya limbah organik; dimana tanpa adanya limbah organik
di badan air waduk dan tambak tertebut tidak akan ada pula
perubahan kualitas air yang berarti.
Keberadaan limbah organik yang menjadi penyebab
kematian ikan dan udang tersebut menunjukkan adanya
kesalahan dalam manjemen budidaya, terutama kesalahan
dalam penanganan limbah organik yang tetap berada di media
budidaya (waduk dan tambak). Oleh karena itu maka satu-
satunya jalan untuk mencegah dan menghindari terjadinya
kematian masal dan sekaligus memulihkan dampak yang lain
adalah mengkaji, menerapkan dan mengembangkan
(Karapbang) berbagai peraturan dan teknologi yang langsung
atau tidak langsung dapat mengurangi atau mencegah organik
tetap berada dalam badan air yang diajadikan media budidaya.
4.1. Teknologi pencegahan dan pemulihan dampak limbah
organik di waduk kaskade Citarum
Telah dijelaskan bahwa limbah organik di Waduk berasal
dari 2 sumber yakni berasal dari luar waduk (Allochthonous),
khususnya pemukiman dan pertanian; dan sumber dari dalam
waduk (Autochthonous). Sumber limbah organik dari luar
waduk memang sangat besar; terutama dari pemukiman. Usaha
untuk menguranginya telah lama di usahakan, baik dengan
peraturan ataupun dengan penerapan berbagai teknologi
pengolahan limbah yang telah ada; namun karena berbagai
alasan; terutama karena keterbatasan biaya dan kesadaran

29
masyarakat serta rasa emphati yang rendah; maka usaha
tersebut sampai saat ini belum atau tidak berhasil sehingga
limbah organik yang terbuang ke sungai Citarum dan akhirnya
masuk ke waduk tidak berkurang bahkan mungkin terus
bertambah. Oleh karena itu untuk mengurangi limbah dari luar
waduk tersebut perlu dilakukan hal-hal berikut:
1) Pengkajian dan penerapan (kajiterap) berbagai per-aturan
yang ada, yang berpihak pada keberlanjutan SDLP DAS
Citarum perlu disosialisasi-
kan dan diterap kan dengan Penyebab utama dari
konsekuen, sedangkan yang kematian masal ikan
dan udang adalah ke-
tidak/kurang berpihak pada
beradaan limbah
keberlanjutan SDLP DAS
organik dalam badan
Citarum agar diganti.. air. Oleh karena itu
2) Meningkatkan pengetahuan pendekatan yg paling
dan rasa emphati stake masuk diakal untuk
holders SDLP DAS Citarum mengatasinya adalah
tentang limbah dan dampak karapbang berbagai
dari pencemaran (domestik peraturan dan tekno-
dan pertanian) yang tidak logi yang dapat men-
cegah dan memanen
sengaja mereka lakukan
keberadaan organik
melalui berbagai kegiatan
dalam badan air SDLP.
formal dan nonformal;..
3) Pengkajian, penerapan dan pengembangan (Karapbang)
berbagai teknologi pengelolaan limbah (termasuk
kesesuaian IPAL) dengan melibatkan semua stakeholders.
4) Karapbang teknologi pupuk dan pemupukan komoditas
pertanian guna mendapatkan teknologi yang effisien dan
effektif
Selanjutnya untuk menurunkan kuantitas limbah dari
dalam waduk yang sumbernya KJA; secara teoritis sangat
mudah, salah satumnya dengan mengurangi target produksi
total. Penurunan produksi yang ditujukan untuk mengurangi
pencemaran maka harus disesuaikan dengan daya dukung

30
badan air waduk; yang dinyatakan dengan jumlah maksimal
“biomasa ikan” yang boleh dipelihara dengan KJA di waduk.
Disini bukan “jumlah maksimal KJA”; karena limbah organik
yang dihasilkan oleh setiap KJA bukan tergantung ”jumlah KJA”
tapi tergantung “biomasa ikan” di dalamnya. Sudah tentu jumlah
maksimal yang diperbolehkan pada ketiga waduk berbeda;
karena kualitas air dan RDTR (rencana detail tata ruangnya) tiap
waduk berbeda Untuk itu maka keberhasilan dilapang sangat
tergantung pada ketegasan pengelola waduk dan petani KJA
dalam menerapkan kesepakatan “daya dukung biomasa ikan”
tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi limbah dari dalam
waduk tersebut disarankan melakukan:
5) Peningkatan pengetahuan petani/pengusaha KJA tentang
limbah KJA, dan dampak dari pencemaran yang tidak
sengaja mereka lakukan. melalui berbagai kegiatan formal
dan nonformal;
6) Kajiterap (pengkajian dan penerapan) serta penentuan
biomasa yang boleh dipelihara di masing-masing waduk
dengan mempertimbangkan semua potensi SDLP dan
sedini mungkin melibatkan semua stakeholders ;.
7) Karapbang teknologi yang menghasilkan pakan yang
effisien; dan pemberian pakan yang effektif beserta
kombinasinya sehingga mendapatkan ratio konversi pakan
yang kecil
8) Karapbang teknologi yang mampu mengangkat keluar
atau memindah limbah yang mengendap di dasar waduk
secara fisik; dan memperlakukan (mengolah) limbah
tersebut seperti limbah organik lain, mungkin bisa dirubah
jadi pupuk atau enerji.
9) Karapbang berbagai teknologi “pemanenan nutrien dan
organic, termasuk alga” bukan “pengusiran nutrien” dari
dalam badan air.
 Teknologi “pemanenan nutrient dan organik” adalah
usaha merubah nutrien menjadi biomasa yang dapat

31
dipanen dari badan air, dalam bentuk biomasa flora atau
fauna yang bernilai ekonomi, sedangkan teknologi
“pengusiran nutrien” adalah merubah nutrien dan
senyawa lain kedalam bentuk lain baik dalam bentuk
biomasa atau senyawa tidak aktif lain dengan
pengendapan atau pengaliran ke tempat lain; (seperti
aerasi, presipitasi fosfor, dan oksidasi dasar). Teknologi
seperti ini dikemudian hari dapat menimbulkan masalah
di tempat yang baru, dan cenderung sektoral karena
hanya berpihak pada keberlanjutan budidaya ikan, bukan
pada keberlanjutan lingkungan.

4.2.Teknologi pencegahan dan pemulihan dampak limbah


organik di tambak udang

Seperti waduk; tambak juga memiliki 2 sumber limbah


organik, yakni dari luar dan dari dalam badan air. Oleh karena
itu untuk mengurangi dan menghidari kematian udang satu-
satunya jalan adalah mengurangi keberadaan limbah sampai
sedikit mungkin berada dalam media budidaya. Untuk itu
disarankan agar dilakukan kegiatan-kegiatan:
1) Karapbang berbagai teknologi budidaya udang intensif
sistem semi tertutup dan sistem tertutup, yang tidak
mengambil dan membuang air kecuali untuk mengganti air
yang menguap.
2) Karapbang berbagai teknologi yang dapat menghasilkan
pakan udang yang effisien; dan pemberian pakan yang
effektif; serta kombinasinya sehingga mendapatkan ratio
konversi pakan kecil.
3) Karapbang berbagai teknologi “pemanenan nutrien” bukan
“pengusiran nutrien” dari dalam badan air tambak; baik
tambak udang maupun tambak “Tandon”.
4) Karapbang teknologi pengelolaan dan pengolahan limbah
tambak udang intensif.

32
 Demi keberlanjutan SDLP pesisir dan laut, petani dan
pengusaha tambak udang intensif harus disadarkan bahwa
mereka adalah penyumbang limbah (pencemar) organik
yang besar karena limbah organik dari 1 ha tambak
intensif setara dengan limbah organik dari 113,4 -130
orang Untuk itu sudah waktunya para petani dan
pengusaha tambak udang mengolah limbahnya sebelum
dibuang ke perairan.
 Kajiterap kemungkinan pemberlakuan RPL dan RKL pada
pengembangan tambak udang intensif.
4.3 Kelayakan Pelaksanaan
Diatas, telah disampaikan beberapa karapbang teknologi
yang diharapkan dapat menekan beban pencemar organik di
waduk (9 buah) dan di tambak
Berbagai peraturan dan (4 buah). Harus diakui bahwa
teknologi pengelolaan sebagian besar kegiatan ter-
limbah telah disosiali- sebut adalah usulan yang sudah
sasikan, namun karena
banyak disampaikan pakar dan
kesadaran stakeholsers
pemerhati pencemaran perair-
masih rendah dan perlu
biaya tinggi maka belum an; namun belum pernah
pernah diterapkan dgn terlaksana dengan baik. Ketidak
benar. Oleh karena itu berhasilan karapbang tersebut
dirasakan perlu adanya lebih disebabkan karena
perubahan paradigma, memerlukan biaya besar dan
dari teknologi yang me- rendahnya kesadaran serta
merlukan biaya tinggi ke emphati stakeholdersi pada
teknologi yang produk dampak yang ditimbulkan. Jika
nya bernilai ekonomi. demikian halnya maka
karapbang tersebut perlu
dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih serius dari
stakeholders utama. Untuk itu mengingat stakeholders yang
secara tegas ditunjuk oleh undang-undang sebagai pengelola
SDLP milik umum seperti waduk, danau dan pesisir adalah
Pemerintah dan Pemda; maka sudah sewajarnya jika
pemerintah/pemdalah yang selalu berusaha keras agar kegiatan

33
tersebut terlaksana. Salah satu caranya adalah meng-
koordinasikan stakeholders yang ada dan membagi tugas
masing-masing sesuai kemampuannya.
Selain karapbang yang sulit pelaksanaannya karena harus
melibatkan banyak stakeholders dan membutuhkan biaya besar;
mungkin ada baiknya kita melihat beberapa karapbang yang
pelkasanaanya tidak memerlukan biaya besar bahkan bisa
menghasilkan produk memiliki
Mengingat kendala utama nilai ekonomi yang cukup
adalah faktor ekonomi; menarik. Di masa krisis
maka dalam suasana ekonomi dan emphati seperti
krisis ekonomi dan krisis saat ini, karapbang seperti
empathi seperti saat ini; inilah yang mungkin lebih
akan lebih bijaksana dan menarik dan mudah di
tepat jika kita melakukan sosialisasikan karena selain
karapbang teknologi pe- tidak membebani dengan biaya
ngendalian limbah meng- tinggi juga dapat menghasilkan
gunakan dengan organ- produk bernilai ekonomi (uang).
isme perairan bernilai Kegiatan yang dimaksud ada-
ekonomi tinggi yang lah “karapbang teknologi
dapat memanen nutrien
pemanenan nutrien” dari badan
dan organik yang ada
air waduk dan tambak (4.1 no 9
dalam badan air; sebagai
contoh: rumput laut dan
dan 4.2 no 3). Teknologi
kijing taiwan pemanenan nutrien pada dasar
nya adalah bagian dari
teknologi biomanipulasi, yakni
teknologi yang memanfaatkan/ memanipulasi rantai makanan
untuk mencapai tujuan tertentu. Pemanfaatan teknologi
biomanipulasi untuk pengelolaan pencemaran sebenarnya
sudah cukup banyak dikaji; seperti pemanfaatan daphnia, eceng
gondok, dan ikan silver carp Hypothalmicthys molitrix; dengan
hasil yang cukup baik, namun karena mungkin kurang memiliki
nilai ekonomis dan kurang instant maka sosialisasi dan
penerapannya tidak berhasil dengan baik seperti yang
diharapkan.

34
Menimbang bahwa sampai saat ini faktor ekonomi yang
menjadi kendala utama dalam menyelesaikan setiap
permasalahan lingkungan termasuk dalam usaha penekanan
limbah organik; maka akan lebih bijaksana dan mudah diterima
sosialisasinya jika usaha pencegahan dan rehabilitasi tidak lagi
menambah beban ekonomi stakeholders, namun justru
menambah penghasilan. Untuk itulah maka ada baiknya jika kita
bisa mengkaji, menerapkan dan mengembangkan (karapbang)
beberapa komoditas organisme perairan untuk memanen nutrien
dan organik yang ada dalam badan air.

Pada kesempatan ini direkomendasikan agar komoditas


berikut ini dipertimbangkan karapbang nya karena selain telah
banyak diteliti aspek biologinya, jika berhasil akan sangat
bermanfaat bagi terlaksananya pembangunan perikanan yang
berkelanjutan.

 Karapbang berbagai teknologi “pemanenan nutrient dan


organik” dari badan air waduk; untuk pertama diusulkan
Kijing Taiwan.
Kijing Taiwan (Anodonta woodiana Lea) adalah hewan
filter feeder; yang dalam sehari mampu menyaring air
sebanyak 40 liter. Hewan tersebut mampu menyaring
partikel berukuran 0,1 – 50 µm dan dapat mengekstrak
bahan koloid, partikel dan tersuspensi, serta mampu
menurunkan kandungan bahan organik di perairan yang
mengandung bahan/limbah organic Dengan kemampuan
tersebut Kijing Taiwan akan dapat digunakan untuk
membersihkan perairan dari partikel organik (Kadar, 2004)
Kijing Taiwan diduga juga dapat dijadikan media
pengembangan mutiara air tawar yang bernilai ekonomi
tinggi. Oleh karena itulah sangat disarankan agar kijing
Taiwan dapat dikaji pengembangannya di waduk yang
saat ini tercemar organik seperti waduk kaskade Citarum
dan waduk Maninjau di Sumatra.

35
 Karapbang berbagai teknologi “pemanenan nutrien dan
organik” dari dalam badan air tambak “tandon”, dan tambak
budidaya dan pasca budidaya dengan rumput laut
khususnya Glacilaria sp.
Gracillaria sp. adalah sejenis rumput laut yang dapat
tumbuh dengan baik di perairan payau, eutrofik;
bertemperatur tinggi, dan daerah sedimentasi (Jones dkk,
2003). Kondisi badan air seperti itu mirip dengan kondisi
pertambak udang baik yang saat ini masih dimanfatkan
maupun yang telah ditelantarkan. Untuk itu maka sangat
direkomendasikan agar dilakukan karapbang lebih
mendalam tentang peran Gracillaria sp pada pemanenan
nutrien dan pemulihan kualitas lingkungan substrat dasar
tambak. Keberhasilan kajian ini; dalam jangka pendek;
diharapkan dapat menggairahkan petani dalam
pemanfaatan tambaknya yang kini terlantar tak
berproduksi; sedang jangka panjang diharapkan dapat
memulihkan lingkungan tambak sehingga dapat untuk
memelihara udang kembali; baik budidaya tunggal. Karena
fungsinya sebagai bahan baku industri makanan aditif,
kosmetik dan obat-obatan maka Gracillaria sp telah
banyak dikenal sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi
apalagi jika dapat tumpang sari dengan komoditas
perikanan lainnya,

5.KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Mencermati semua uraian tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa :
i. Eutrofikasi pada dasarnya adalah fenomena alam yang
harus terjadi karena dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
manusia selalu menghasilkan limbah organik; namun
demikian karena peningkatan populasi yang tinggi dan
pemenuhan ragam kebutuhan dilakukan dengan “semangat

36
eksploitatif” pada SDLP dan tanpa “rasa emphati” pada
sesama stakeholders” maka eutrofikasi telah dipercepat
sehingga merusak dan
membahayakan keber- Menyatakan bahwa ke-
lanjutan fungsi dan potensi gagalan budidaya ikan
SDLP tersebut. Selain itu dan udang intensif
percepatan eutrofikasi SDLP sebagai korban pen-
juga mengganggu sosial cemaran pihak lain.
ekonomi stakeholdersnya. adalah keliru dan tidak
Contoh yang nyata di adil; yang benar adalah
Indonesia adalah kegagalan oleh limbahnya sendiri;
budidaya (kematian masal) bahkan limbah tersebut
ikan di badan air waduk menjadi sumber pen-
kaskade Citarum dan udang cemar bagi tempat lain,
di sepanjang pantai utara P. khususnya pesisir
Jawa
ii. Banyak pihak yang menyatakan bahwa kegagalan budidaya
ikan di waduk dan udang di tambak adalah korban dari
pencemaran pihak lain. Pernyataan tersebut jelas keliru dan
tidak adil; sebab yang benar ikan dan udang mati karena
dampak limbahnya sendiri. Dan limbah itupun bukan hanya
merusak media budidaya (waduk dan tambak) tapi menjadi
sumber pencemar bagi tempat lain yang dialiri air dari SDLP
tersebut. Jadi mereka sebenarnya adalah sumber pencemar
bukan korban pencemaran
iii. Guna mengurangi pencemar limbah organik; baik yang akan
masuk dan yang sudah berada dalam badan air waduk dan
tambak diperlukan beberapa karapbang peraturan dan
teknologi pengelolaan limbah organik, termasuk
biomanipulasi
iv. Mengingat kendala utama dalam penerapan teknologi
pengendalian limbah organik adalah biaya, maka diperlukan
perubahan paradigma dari penggunaan teknologi yang
membutuhkan biaya tinggi ke penggunaan teknologi yang
menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi.

37
5.2. Saran.
Dengan kesimpulan seperti tersebut diatas maka
disarankan hal-hal berikut:
i. Mengingat percepatan kerusakan SDLP dan kegagalan
budidaya perikanan diakibatkan oleh limbah organik yang
muncul oleh “sifat eksploitatif” pada SDLP dan tanpa “rasa
emphati” pada sesama stakeholders” Maka diperlukan
program penyadaran stakeholder. Stakeholder .harus sadar
bahwa SDLP adalah
Karena selalu berubah,
sumberdaya dapat-pulih maka meskipun SDLP bukan
sehingga meskipun makluk hidup tapi dia
SDLP itu benda mati sebenarnya sesuatu yang
tapi dia “hidup” yakni “hidup”; yang jika kita ingin
selalu merespon dan mendapatkan manfaat dari-
berubah sesuai perlaku nya, dia harus diperlakukan
an yang diterimanya. sesuai kemampuan (daya-
Jika dikelola melebihi dukung) nya. Dia akan sakit
kemanpuannya maka (rusak) dan tidak bermanfaat
SDLP akan sakit (rusak/ jika diperlakukan berlebihan,
tercemar), sebaliknya dan akan berkelanjutan
jika dikelola sesuai ke- manfaatnya jika dikelola
mampuan (dayadukung) dengan baik dan bijaksana .
nya maka SDLP akan
sehat dan bisa dimanfaatkan dengan berkelanjutan. Oleh
karena itu maka sudah waktunya pemerintah menyeba-
luaskan pengetahuan tentang limbah organik dan
dampaknya; serta lebih serius dalam mengelola sumber
limbah organik besar seperti pemukiman dan budidaya
ikan/udang; melalui pengadaan berbagai peraturan dan
teknologi yang berpihak pada pembangunan keberlanjutan.
ii. Departemen Kelautan dan Perikanan sedang merencana-
kan pengembangan tambak, dan pada tahun 2003 telah ada
480.000 Ha (Dahuri, 2003). Jika tambak-tambak tersebut
digunakan untuk budidaya udang intensif, maka limbahnya
akan setara dengan limbah dari sekitar 54 juta orang. Untuk

38
Gambar-6: Kijing Taiwan; dan Mutiara di cangkangnya

Gambar-7. Tambak dan rumput laut jenis Gracillaria sp.

39
itu maka pengkajian, penerapan dan pengembangan
(karapbang) teknologi pengelolaan limbah budidaya tambak
sangat perlu segera dilakukan, agar jika program tersebut
berjalan; tidak menyebabkan semua pesisir di Indonesia
berubah menjadi seperti pesisir di pantura P. Jawa
iii. Guna mendapatkan teknologi biomanipulasi yang memenuhi
paradigma baru; yakni teknologi yang memerlukan sedikit
biaya tapi berpeluang mendapatkan produk yang memiliki
nilai ekonomi. Maka perlu karapbang budidaya kijing Taiwan
(Anodonta) di perairan waduk dan karapbang rumput laut
(Gracillaria sp) di tambak. Selanjutnya paralel dengan
kegiatan tersebut perlu dicari komoditas potensial lainnya
iv. Kegagalan industri udang lebih disebabkan oleh kekeliruan
dalam pengelolaan limbah- Mencari komoditas baru
nya. Sementara aspek lain memang perlu dilaku-
seperti pembenihah, pem- kan, tapi menyehatkan
besaran, pemasaran dan industri udang yang
infrastruktur lainnya tidak gagal hanya karena satu
ada masalah. Jika sistem aspek limbah, seharus
industri udang diibaratkan nya didahulukan karena
“gelang rantai” maka ada aspek lain masih di-
satu mata rantai yang rusak. kuasai dengan baik; dan
Ini berarti untuk hasilnya akan lebih
membetulkannya hanya cepat disosialisasikan
perlu pembetulan satu mata
rantai yang rusak itu. Tidak perlu membuat yang baru
dengan mengumpul-kan banyak mata rantai yang baru,
sebab selain mahal, juga perlu waktu dan belum tentu cocok
dipakainya. Demikian pula dengan system industri udang;
untuk menghidupkan kembali hanya litbangyasa
penanganan limbah organik yang baik; tidak perlu
ditinggalkan dan hanya mencari komoditas baru. Mencari
komoditas baru memang perlu dilakukan, tapi menyehatkan
industri udang harus didahulukan karena lebih mudah dan
cepat.

40
UCAPAN TERIMA KASIH
Akhirnya, perkenankanlah saya mengakhiri orasi ilmiah ini
dengan menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberi kepercayaan, kesempatan dan bantuan sehingga
acara pengukuhan jabatan fungsional Ahli Peneliti Utama ini
terlaksana dengan baik:
Perkenankanlah pula saya menyampaikan rasa terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Presiden Republik Indonesia, yang telah berkenan menetap
an saya sebagai ahli Peneliti Utama dengan Keputusan
Presiden No. 109/M tahun 2003.
2. Menteri Negara Riset dan Teknologi selaku Kepala Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah memberi
kepercayaan dan mengusulkan penetapaan saya menjadi
ahli Peneliti Utama.
3. Para Pejabat Penilai Jabatan Peneliti (P2JP) Instansi BPPT
dan P2JP Pusat yang telah menilai, mempercayai dan
mengusulkan saya untuk menduduki jabatan Ahli Peneliti
Utama.
4. Deputi dan Para Mantan Deputi Kepala BPPT Bidang
Teknologi Informasi, Enerji, Material dan Lingkungan BPPT;
dan Direktur dan Mantan Direktur Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT yang telah
memberikan suasana kebebasan dan keterbukaan dalam
mengembangkan karier peneliti saya ini.
5. Sekretaris Utama dan Para Mantan Sekretaris Utama
BPPT; Kepala Biro Sumberdaya Manusia dan Kepala Bagian
Pengembangan SDM BPPT beserta seluruh staf yang
dengan sigap dan tanggap telah memproses pengusulan
jabatan peneliti saya dari Ajun Peneliti sampai menjadi Ahli
Peneliti Utama.

41
Pada kesempatan berbahagia ini tidak lupa pula saya
sampaikan ucapan terimakasih kepada rekan-rekan dan semua
karyawan/ti BPPT dan Sekretariat DP-KTI, yang sengaja
ataupun tidak sengaja telah membantu saya dalam meniti karier
peneliti; khususnya sahabat-sahabat saya; W. Komarawidjaja
MS. Pudji Pranoto MSc, DR. Sabaruddin W. TJ. Firman L.
Sahwan MS. dan Hendra Tjahjono MS yang atas ketulusannya
dalam bersahabat telah memacu saya dalam meniti jabatan
peneliti; Juga DR. Ikhwanuddin M. DR. Tusy A. Adibroto, DR.
Joko P. Susanto, Drs. Kusno Wibowo S., DR. Sutrisno Sukimin
DR. Rosyied Haryadi dan Sudaryono MS yang dalam keseharian
telah banyak membangun inspirasi yang berguna
Rasa hormat dan terima kasih juga saya sampaikan kepada
semua guru-guru saya di Sekolah Dasar Negeri Krandon Tegal,
SMP Negeri III Tegal dan SMA Negeri I Tegal yang telah
memberikan dasar keilmuan umum; dosen-dosen saya di
Fakultas Perikanan IPB di Bogor yang telah memberikan
wawasan dasar penelitian; dan guru besar saya Prof. Yatsuka
Saijo dan Prof. Mitsuru Sakamoto di Universitas Nagoya Jepang
yang telah membimbing dan mengarahkan saya menjadi
seorang peneliti di bidang ekosistem perairan. Sungguh jasa
mereka tak akan pernah saya lupakan.
Hormat yang tulus dan terima kasih yang tak terhingga saya
haturkan pada ibundaku Hj. Siti Sakhedah dan almarhum
ayahanda M. Soegarno Bangsa Widjaja yang tanpa pamrih
apapun telah mengasuh dan membesarkan serta memberikan
segala doa dan kasih serta sayangnya, hingga anaknya ini bisa
menjadi seperti saat ini. Begitu pula kepada almarhumah ibu Hj.
Saribanon Adil dan almarhum Bapak H.A. Halik Munir terima
kasih tak terhingga saya sampaikan atas kasih sayang dan
bimbingan serta doanya sehingga mengantarkan saya sampai
bisa seperti ini. Tidak lupa pula pada kesempatan ini saya
sampaikan terima kasih kepada kakak dan adik-adiku serta
saudara-saudaraku yang selalu memberikan dukungan moril
demi keberhasilan ini.

42
Terima kasih yang sangat tulus dan tak terhingga saya
sampaikan kepada istri tercinta, Dra. Hj. Rita Maemunah yang
sejak menikah hingga saat ini selalu setia mendampingi saya
disaat suka dan duka; dan oleh karenanya sungguh saya sangat
bahagia dan bangga memperistrinya. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada anak-anakku tersayang Trista Chlorellano
Garno dan Dwitrista Chlrofillano Garno, yang karena kehadiran
mereka membuat kehidupan yang telah bahagia ini menjadi
lebih berarti dan ceria.
Akhirul kalam terima kasih saya sampaikan kepada Majelis
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama dan para hadirin yang telah
memenuhi undangan yang dengan penuh kesabaran mengikuti
orasi pengukuhan ini.
Wabillahit Taufiq Wal Hidayah,
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Jakarta, 28 April 2004.

43
DAFTAR PUSTAKA

Abel, P.D., (1989): Water Pollution Biology, John Wiley & Sons.
New-York.
Anonim, (2000): Produksi ikan dan kematian akibat umbalan,
Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta.
Anonim, (2001): Lakes and Reservoirs “ Water Quality : The
Impact of Eutrofication”. UNEP-IETC/ILEC, 26 pp.
Brahmana S.S. dan F. Achmad, (1997): Eutrophication in Three
Reservoirs at Citarum River and Its relation to Beneficial
uses. Workshop On Ecosystem Approach to Lake and
Reservoir Management.
Dahuri, R. (2003): Perkembangan Pembangunan Kelautan dan
Perikanan< Departemen Kelautan dan Perikanan, 65 hal.
Danakusumah, E dan H. Herawan (2000): Kematian masal Ikan
Budidaya di Perairan Waduk dan Kemungkinan
Penanggulangannya. Pros. Sem-Nas “Pengelolaan dan
Pemanfaatan Waduk.”. UNPAD- Bandung. 1:306-318
Downing, J. A, and R.H. Petter, (1980): The effect of body size
and food concentration on the in-situ filtering rate of Sida
crystalina , Limnol. Ocanogr., 25: 883-896.
DeMott,W.R.,(1982): Feeding selectivities and relatives ingestion
rates of Daphnia and Bosmina, Limn. Ocean. 27, 518-527.
Feachem, R.G,.D.J. Bradley, H.Garelick and D.D.Mara. (1983):
Sanitation and disease-Health Aspects of Excreta and
Wastewater Management. Wiley, Chichester.
Frost, B.W., , (1980): Grazing" In I. Morris (ed.): The
physiological ecology of phytoplankton. Blackwell
Scientific, Oxford 1980, 465-486.
Garno, Y.S. (1992): Phytoplankton Dynamics under Different
Impacts of Zooplankton and Nutrients. “Doctor Thesis”.
Graduated Course of the Sciences for Atmosphe and
Hydrosphere School of Sciences, Nagoya Univ. Japan.

44
Garno, Y.S (1993): Pengaruh grazing zooplankton terhadap
struktur komunitas fitoplankton. Lokakarya Teknologi
Konservasi Fauna. Dit TPLH-BPPT., 159-174.
Garno, Y.S., P. Pranoto, dan K. Widjaja (1995): Menyelamatkan
Kehancuran Industri Budidaya Udang dari Degradasi
Ekosistem Tambak, Menuju Era Teknologi Hijau, Buku I:
Masalah Lingkungan dan Pengelolaannya. Dit. TPLH-
BPPT, 247-256.
Garno,Y.S.(1995):Pengaruh Eutrofikasi Terhadap Pertumbuhan,
Mortalitas dan Produksi Ikan. Menuju Era Teknologi Hijau,
Buku I: Masalah Lingkungan dan Pengelolaannya. Dit.
TPLH- BPPT, 211-224.
Garno, Y.S (1998): Grazing Rate pada Zooplankton. Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Kawasan
Akuakultur Secara Terpadu. BPPT-OCEANOR-
Dep.pertanian, 286-293
Garno, Y.S dan T.A. Adibroto (2000): Dampak Penggemukan
Ikan Di Badan Air Waduk Multiguna Pada Kualitas Air Dan
Potensi Waduk. Proseding Sem-Nas. Pengelolaan dan
Pemanfaatan Danau & Waduk. IPB, Bogor hal. XVII:1-10.
Garno,Y.S (2001a): Status dan Karakteristik Pencemaran di
waduk Kaskade Citarum. J. Tek. Ling. DIT. TL-BPPT. 2
(2): 207-213
Garno,Y.S (2001b): Pengembangan Industri Budidaya Udang Di
Tambak Kedap Air dan Beban Pencemaran Limbahnya
pada Perairan Pantai. JSTI-BPPT, (5):70-76.
Garno, 2002 Y.S (2002): Beban Pencemaran Limbah Perikanan
Budidaya dan Yutrofikasi di Perairan waduk pada DAS
Citarum. J. Tek. Ling. P3TL-BPPT. 3 : 112-120
Gaudy, A. and A.Gaudy, (1980): Microbiology for Environmental
Scientist and Enginers. McGraw-Hill, New-York.
Geller, W. (1975): Food ingestion of Daphnia pulex as a punction
of food concentration, temperatur, animals, body length
and hunger", Arch. Hydrobiol. Suppl., 48: 47-107.

45
Hendersen B. and H.R. Markland (1987): Decaying Lakes-The
Origins and Control of Cultural Eutrofication. John & Willey
Sons Ltd. New York Chichester, Brisbane, Toronto,
Singapura.. Theor. Angew. Limnol. Verh., 20: 68-74
Horn, W, (1981);.,"Phytoplankton losses due to zooplankton
grazing in dringking water reservoir", Int. Revue ges.
Hidrobiol., 66 : 787-810
Hutchinson, G.E., (1944): "Limnological studies in Connecticut.
7. A. Critical examination of supposed relationship
between phyto plankton peridiocity & chemical changes in
lake waters", Ecology.
Iskandar dan Suryadi (2000): Kosntruksi Keramba Jaring Apung.
Prosiding Seminar Nasional “Pengelolaan dan
Pemanfaatan Waduk.. UNPAD-Bandung. 1:153-160
James M.R, and D.J. Forsynth (1990): Zooplankton-
phytoplankton interaction in a eutrophic lake.J.Plankton
Res.,12:455-472.
Jones, A.B, N.P. Preston and W.C Dennison (2003): The
efficiency and condition of oysters and macoalgal used as
biological filters of shrimp pond effluent. Aquaculture
Research, 33:1-19.
Kadir E. (1997): Filtrationby unionid mussel as a potential tool in
Bioremediation of waste water. WWW. CEU.HU.
Kilham,S.S, dan P. Kilham, (1978): "Natural community
bioasaays: Predictions of result based on nutrien
physiology and competition", Int. Ver. Theor. Angew.
Limnol. Verh., 20: 68-74
Krismono (2000): Perikanan di Perairan Waduk Prosiding
Seminar Nasional “Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk.
UNPAD- Bandung, 1:161-170.
Mahida, U.N., Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah
Industri, CV. Rajawali, Jakarta.

46
Margalef, R., (1958): "Temporal succession and spaital
heterogeneity in phytoplankton" In A.A. Buzzati-Traverso
(ed.), Perspective in Marine Biology Univ. Calofornia
Press, 323-349
Poprasert C. (1989): Oeganic Water Recycling. Jhon Wiley &
Sons, Chichester.
Reynolds,C.S.,(1989): Physical deter-minants of phytoplankton
succesion" In U. Sommer (ed.) Plankton ecology.
Springler-Verlag. 9-51.
Salim, H., (2002): Bebn Pencemran Limbah Domestik dan
Pertanian DI DAS Citarum. J. Tek.Ling. 3: 107-111.
Schmittou, H.R., (1991): Cage Culture: A methode of Fish
Production in Indonesia
Suboko, B, (1999): Hiruk Pikuk, Pasar Udang Dunia “Lemahnya
Demand di Asia Sodok Pasa Amerika Serikat” , Buletin
GAPPINDO, Edisi Awal , 3-5.
Sukimin, S., M. Ulama dan D.G. Bengen, (1997). Water Quality
Observations and Floating Cages Arrangements For
Fisheries at Juanda Reservoir. Work shop on Ecosystem
Approach to Lake and Reservoir Management. 139-166
Supardan, A. (1999): Kebijakan Tambak Udang di Indonesia,
Seminar WALHI, 20 Desember 1999, 19 hal.
Suriadarma, A. dan M. Djuwangsah, (1997): Mycrocystis
blooming as eutrofication indicators in Jatiluhur Reservoir.
Workshop on Ecosystem Approach to Lake and Reservoir
Management. 1-16.
Syandri, H. (2000): Keramba Jaring Apung dan
Permasalahannya di Danau Maninjau, Prosideing
Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Dananu
dan Waduk. UNPAD., 2: 16-25
Tricahyo, E., (1995): Biologi dan Kultur Udang Windu,
Akademika Pressindo, Jakarta. 128 hal

47
RIWAYAT HIDUP
H. YUDHI SOETRISNO GARNO, PhD dilahirkan di Tegal, Jawa
Tengah pada 4 Oktober 1954 sebagai
anak ketiga dari ibu Hj. Siti Sakhedah dan
bapak M. Soegarno Bangsa Widjaja.
Menikah dengan Dra. Hj. Rita Maemunah
dikaruniai 2 orang putra yaitu Trista
Chlorellano Garno (OREL) dan Dwitrista
Chlorofilano Garno. (OFIL) Pendidikan
dasar dan menengah diselesaikan di
Tegal. Pada tahun 1979 memperoleh
gelar sarjana akuakultur IPB, Bogor; tahun
1986 menyelesaikan thesis Master of
Science bidang ilmu perairan umum di Water Research Institute,
Nagoya University Jepang, dan pada tahun 1992 di institute
yang sama menyelesaikan disertasi Doctor Philosopy (PhD)
dibidang ekologi perairan dengan judul thesis “Phytoplankton
community dynamics under different impacts of zooplankton and
nutrients”.
Mulai bekerja pada tahun 1980 di Direktorat
Pengembangan Teknologi BPPT. Tahun 1980-1985 menjadi
anggota peneliti di proyek “Peningkatan Lingkungan hidup
sosial-ekonomi Masyarakat Amungme di Timika Irian Jaya”
dengan tugas utama pengkajian dan pengembangan perikanan
di perairan umum. Tahun 1985-1992 melaksanakan tugas
belajar ke Jepang guna mempelajari pengelolaan sumberdaya
perairan umum (S-2) dan ekologi perairan (S-3). Tahun 1993-
1995 menjadi peneliti pada proyek “Pengelolaan Lingkungan P.
Batam” dengan tugas utama menyusun konsep Baku Mutu
lingkungan untuk air permukaan P. Batam. Tahun 1995-
sekarang melakukan penelitian tentang dampak dan strategi
penanggulangan pencemaran limbah organik dan nutrien
(eutrofikasi) pada kualitas perairan; khususnya di waduk
Kaskade Citarum dan bekas tambak udang di pantai utara
Jawa.

48
Selain melakukan tugas utama sebagai peneliti bidang
Pengelolaan/ Manajemen kualitas perairan, tugas lain yang saat
ini masih diembannya adalah sebagai “Koordinator Bidang
Teknologi Lingkungan BPPT” dengan tugas utama
mengkoordinir penyusunan konsep “Strategi utama (Grand
Strategy)” penelitian, pengembangan dan rekayasa
(Litbangyasa) teknologi lingkungan BPPT; dan sebagai
Sekretaris Kelompok Kerja Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DPKTI)
dengan tugas utama mengkoordinir dan menyelaraskan konsep
rencana tindak Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (Jakstranas PPKTI).
Karier fungsional peneliti bidang manajemen kualitas
perairan di mulai pada 1 Februari 1994 dengan jabatan pertama
adalah Ajun Peneliti Muda. Selanjutnya pada 1 Oktober 1995
menjabat Ajun Peneliti Madya; 1 Nopember 1997 menjabat
Peneliti Muda; 1 Desember 2000 menjabat Peneliti Madya, 1
Oktober 2001 menjabat Ahli Peneliti Madya, dan 1 Januari 2003
menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama. Sejak menekuni jalur
fungsional peneliti (1994) telah mempublikasikan karya ilmiah
dibidang Ekologi perairan, perikanan, dan Pengelolaan perairan
sebanyak 70 buah (54 penulis tunggal, 7 penulis utama dan 9
penulis ke-2).

49
Naskah (buku) ini berusaha mengungkapkan bahwa limbah
organik budidaya perikanan yakni ikan di KJA dan udang di Tambak
telah menjadi sumber pencemar utama pada sumberdaya lingkungan
perairan (SDLP) WADUK dan PESISIR yang telah mengakibatkan:
 ikan yang dipelihara di waduk Saguling, Cirata Dan Jatiluhur sering
mendadak mati secara masal; yang merugikan petani ikan milyaran
rupiah.”.
 Udang yang dipelihara di tambalk mati masal, yang mengakibatkan
pengusaha berhenti budidaya udang dan membiarkan ribuan
hektar tambak terbengkalai serta puluhan ribu petani tambak serta
karyawan industri pendukungnya menganggur.
Anehnya adalah bahwa meskipun sudah jelas bahwa kematian
ikan dan udang secara masal tersebut disebabkan oleh limbahnya
sendiri yang tidak diolah, namun pembudidaya belum sadar apalagi
mengakui bahwa merekalah yang menjadi penyebab (pencemar)-
nya; yang ada justru perasaan dan keluhan bahwa kegagalan
mereka adalah korban pencemaran pihak lain.
Fenomena tersebut terjadi karena pembudidaya, peneliti dan
pengamat lingkungan belum menyadari bahwa SDLP WADUK DAN
PESISIR ITU HIDUP; artinya SDLP itu selalu berubah. Mereka perlu
diperlakukan dengan baik sehingga tidak berubah kearah yang
merusak/mencemari. Jika metabolisme badan air terganggu (karena
terpolusi kegiatan manusia) maka badan air akan sakit (tercemar)
dan kehilangan fungsinya. Untuk itu pengelola harus bijaksana dan
penuh rasa emphati dalam memberdayakan SDLP; sehingga tidak
sampai melampaui kemampuan (dayadukung)-nya. Tanpa rasa
emphati, maka KJA di waduk terus ditambah dan tambak diberi
makanan tak terbatas. Jika ini terus dilakukan maka jangan heran jika
waduk-waduk di Citarum dan perairan pantai yang tertutup akan
menjadi ”COMBERAN RAKSASA” yang tak berguna dan menjijikan.
Berbagai peraturan dan teknologi pengelolaan limbah telah
disosialisasikan, namun karena perlu biaya besar dan kesadaran
lingkungan serta rasa emphati “stakesholders” yang masih rendah,
maka belum ada yang diterapkan dengan serius sehingga
pencemaran terus berjalan. Naskah ini mengulas dan menyarankan
perlunya perubahan paradigma baru dalam penyediaan teknologi
pengendalian pencemaran waduk dan tambak; yakni dari teknologi
yang memerlukan biaya tinggi ke teknologi biaya rendah bahkan bisa
menghasilkan produk bernilai ekonomi. (Yusoegarno, 2004).

50

Anda mungkin juga menyukai