Anda di halaman 1dari 134

BAB 1 PENGANTAR AKUNTANSI PEMERINTAH

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan akan dapat memahami dan
menjelaskan :
a. Konsep dasar akuntansi pemerintah, perbedaan akuntansi pemerintah dengan akuntansi
komersial dan ciri-ciri penting lingkungan yang berpengaruh terhadap karakteristik tujuan
akuntansi dan pelaporan keuangan Akuntansi Pemerintah.
b. Dasar hukum Pelaporan Keuangan, Peranan dan Tujuan Pelaporan Keuangan, Entitas
Pelaporan dan Tanggung Jawab Penyusunan Laporan Keuangan
c. Pengguna informasi akuntansi pemerintah dan kebutuhan informasi akuntansi pemerintah.

A. Pendahuluan
Pemerintah mempunyai kewajiban menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan prinsip
good governance, pengelolaan keuangan yang efisien, transparan dan akuntabel dan membuat
pertanggungjawaban atas pelaksanaan manajemen pemerintahan kepada rakyat Indonesia. Setiap
tahun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyampaikan laporan keuangan sebagai wujud
pertanggungjawaban kepada DPR / DPRD sebagai wakil rakyat Indonesia. DPR, DPRD,
masyarakat Indonesia, pebisnis dan pengguna laporan keuangan lainnya menggunakan informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dalam menilai akuntabilitas dan membuat
keputusan baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik.
Upaya konkrit dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah
mengharuskan setiap pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas, akurat dan tepat
waktu. Laporan Keuangan harus disusun berdasarkan proses akuntansi yang wajib dilaksanakan
oleh setiap Pengguna Anggaran dan kuasa Pengguna Anggaran serta pengelola Bendahara Umum
Negara/Daerah. Sehubungan itu, pemerintah pusat maupun setiap pemerintah daerah perlu
menyelenggarakan akuntansi pemerintah. Pada tanggal 13 Juni 2005 Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP) yang menjadi pedoman akuntansi di lingkungan pemerintahan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa:
a. Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum
Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas
dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
b. Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk
transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.
c. Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN.
d. Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan
menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan
Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada
kementerian negara/Lembaga masing-masing.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 ayat (2)
menyatakan bahwa Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang meliputi
Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

B. Klasifikasi Ilmu Akuntansi


Pengertian akuntansi menurut Accounting Principles Board (1970) adalah “Suatu kegiatan
jasa yang fungsinya menyediakan informasi kuantitatif, terutama yang bersifat keuangan tentang
entitas ekonomi, digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomi dalam membuat pilihan-
pilihan alternatif arah tindakan”.
Sementara menurut American Accounting Association (1966), akuntansi adalah “Suatu
proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi (keuangan)
dari suatu organisasi/entitas yang dijadikan sebagai informasi dalam rangka pengambilan
keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang memerlukan”.
Ilmu akuntansi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa cara pengelompokan:
1. Pengelompokan akuntansi berdasarkan pengguna:
a) Akuntansi keuangan, diselenggarakan untuk menghasilkan informasi keuangan yang
difokuskan pada berbagai pengguna eksternal.
b) Akuntansi manajemen, diselenggarakan untuk menghasilkan informasi keuangan bagi
pengguna internal dalam rangka melaksanakan aktivitasnya serta melaksanakan fungsi
manajerial (planning, organizing, directing dan controlling).
2. Pengelompokan akuntansi berdasarkan jenis organisasi:
a) Akuntansi komersial, digunakan oleh perusahaan atau organisasi yang kegiatannya
berorientasi untuk menghasilkan laba.
b) Akuntansi sektor publik, didefinisikan sebagai informasi yang mengidentifikasi,
mengatur dan mengkomunikasikan informasi ekonomi dan entitas sektor publik. Informasi
ekonomi sektor publik berguna untuk pengambilan keputusan : alokasi sumber daya
ekonomi, pelayanan publik, kinerja organisasi sektor publik, penilaian kemampuan
likuiditas dan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi. Akuntansi Sektor Publik
digunakan oleh organisasi publik, yaitu organisasi yang sebagian besar dana kegiatannya
dihimpun dari kontribusi masyarakat dan yang beroperasi untuk kepentingan masyarakat
luas(kesejahteraan masyarakat), seperti lembaga sosial masyarakat (LSM), partai politik,
pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Akuntansi sektor publik dibagi dalam dua
kategori :
1) Akuntansi organisasi nirlaba, digunakan oleh organisasi yang kegiatannya tidak
berorientasi untuk memupuk laba, seperti yayasan, rumah sakit, perguruan tinggi
2) Akuntansi Pemerintah, digunakan oleh instansi pemerintah dimana dilakukan
aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah
berdasarkan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi
keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan.

C. Akuntansi Pemerintah
1. Perbedaan Akuntansi Pemerintah dengan Akuntansi Komersial
Ada beberapa perbedaan antara Akuntansi Pemerintah dengan Akuntansi Komersial :
ASPEK PERBEDAAN PEMERINTAHAN BISNIS/SWASTA

Tujuan Organisasi Nonprofit Motive Profit Motif


Sumber Pendapatan Hibah, Pajak, Retribusi, donasi / Penjualan barang / jasa yang
sumbangan ditawarkan
Matching cost against Sulit dilakukan di sektor pemerintahan Sering dilakukan untuk menyesuaikan
revenue antara pendapatan dan biaya

Pertanggung-jawaban Publik/Masyarakat, DPR Pemegang Saham , Kreditur


Harga produk / jasa : tidak ada atau lebih murah dari harga Sesuai dengan biaya pembuatan
produk / jasa yang sebenarnya produk / jasa tersebut

Pengguna informasi Lembaga eksekutif, yudikatif, Direksi, komisaris, pemegang saham,


legislatif, rakyat kreditur, pegawai

Karakteristik Anggaran Terbuka untuk publik Tertutup untuk publik


Sistim Akuntansi Cash Toward Accrual Accounting Accrual Accounting

Kriteria Keberhasilan Ekonomi, Efisiensi, Efektivitas Laba


Kecenderungan Sifat Politis Bisnis

Pencatatan kepemilikan Tidak ada Ada


pribadi
Laporan Keuangan Lapkeu Pemerintah dipengaruhi proses Lapkeu. Swasta sangat terikat dengan
keuangan dan politik aturan dan kriteria keuangan
Pengembangan akuntabilitas publik Akuntabilitas Hanya diungkap di
Diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan tingkat organisasi
Diperiksa oleh auditor independen
Keuangan Negara, Daerah Individual

2. Lingkungan Akuntansi Pemerintah


Lingkungan operasional organisasi pemerintah berpengaruh terhadap karakteristik tujuan
akuntansi dan pelaporan keuangannya. Ciri-ciri penting lingkungan pemerintahan yang perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan akuntansi dan pelaporan keuangan adalah sebagai
berikut:
a) Ciri utama struktur pemerintahan dan pelayanan yang diberikan:
(1) bentuk umum pemerintahan dan pemisahan kekuasaan;
Dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berazas demokrasi, kekuasaan
ada di tangan rakyat. Rakyat mendelegasikan kekuasaan kepada pejabat publik melalui
proses pemilihan. Selain itu, ada pemisahan wewenang di antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Sistem ini dimaksudkan untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan terhadap
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan di antara penyelenggara pemerintahan.
(2) sistem pemerintahan otonomi dan transfer pendapatan antar pemerintah;
Terdapat tiga lingkup pemerintahan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Adanya pemerintah yang menghasilkan pendapatan pajak atau bukan pajak yang lebih
besar mengakibatkan diselenggarakannya sistem bagi hasil, alokasi dana umum, hibah,
atau subsidi antar entitas pemerintahan.
(3) adanya pengaruh proses politik;
(4) hubungan antara pembayaran pajak dengan pelayanan pemerintah.
Jumlah pajak yang dipungut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan yang
diberikan pemerintah kepada wajib pajak.

b) Ciri keuangan pemerintah yang penting bagi pengendalian:


(1) anggaran sebagai pernyataan kebijakan publik, target fiskal, dan sebagai alat
pengendalian;
(2) investasi dalam aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan;
(3) kemungkinan penggunaan akuntansi dana untuk tujuan pengendalian.

D. Dasar Hukum Pelaporan Keuangan


Pelaporan keuangan pemerintah diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur keuangan pemerintah, antara lain:
(a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, khususnya bagian yang mengatur keuangan
negara;
(b) Undang-undang di bidang keuangan negara;
(c) Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
(d) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintah daerah, khususnya yang
mengatur keuangan daerah;
(e) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
(f) Ketentuan perundang-undangan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah; dan
(g) Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang keuangan pusat dan daerah.

E. Peranan dan Tujuan Pelaporan Keuangan


1. Peranan Pelaporan Keuangan
Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi
keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode
pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan,
belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi
keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu
menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.
Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah
dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur
pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan:
a)
2. Tujuan Pelaporan Keuangan
Tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan informasi mengenai posisi keuangan,
realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi
para pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.
Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para
pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial,
maupun politik dengan:
(a) Menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan periode berjalan untuk membiayai
seluruh pengeluaran.
(b) Menyediakan informasi mengenai kesesuaian cara memperoleh sumber daya ekonomi dan
alokasinya dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan.
(c) Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam
kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai.
(d) Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas pelaporan mendanai seluruh kegiatannya
dan mencukupi kebutuhan kasnya.
(e) Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan berkaitan
dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang,
termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman.
(f) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah
mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode
pelaporan.
Laporan keuangan untuk tujuan umum juga mempunyai peranan prediktif dan prospektif,
menyediakan informasi yang berguna untuk memprediksi besarnya sumber daya yang dibutuhkan
untuk operasi yang berkelanjutan, sumber daya yang dihasilkan dari operasi yang berkelanjutan,
serta risiko dan ketidakpastian yang terkait. Pelaporan keuangan juga menyajikan informasi bagi
pengguna mengenai:
a) indikasi apakah sumber daya telah diperoleh dan digunakan sesuai dengan anggaran;
b) indikasi apakah sumber daya diperoleh dan digunakan sesuai dengan ketentuan, termasuk batas
anggaran yang ditetapkan oleh DPR/DPRD.
Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, laporan keuangan menyediakan informasi
mengenai pendapatan, belanja, transfer, dana cadangan, pembiayaan, aset, kewajiban, ekuitas
dana, dan arus kas suatu entitas pelaporan.

3. Entitas Pelaporan
Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas
akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban berupa laporan keuangan, yang terdiri dari:
(a) Pemerintah pusat;
(b) Pemerintah daerah;
(c) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah atau organisasi lainnya, jika menurut
peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan
keuangan.
Dalam penetapan entitas pelaporan, perlu dipertimbangkan syarat pengelolaan,
pengendalian, dan penguasaan suatu entitas pelaporan terhadap aset, yurisdiksi, tugas dan misi
tertentu, dengan bentuk pertanggungjawaban dan wewenang yang terpisah dari entitas pelaporan
lainnya.

4. Tanggung Jawab Penyusunan Laporan Keuangan


Tanggung jawab penyusunan dan penyajian laporan keuangan berada pada pimpinan entitas.
Dalam lingkup pemerintah pusat yang dimaksud dengan pimpinan entitas adalah setiap kepala
satuan kerja sebagai entitas akuntansi dan setiap Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai entitas
pelaporan. Kewajiban dan tanggung jawab penyusunan dan penyajian laporan keuangan untuk
setiap Menteri/pimpinan lembaga juga dinyatakan dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang berbunyi:
“Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan
menyampaikan laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan
atas laporan keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian
negara/lembaga masing-masing. “

5. Jenis Laporan Keuangan


Dalam rangka pelaksanaan APBN setiap entitas baik pemerintah pusat, kementerian
negara/lembaga, pemerintah daerah, dan satuan kerja di tingkat pemerintah pusat/daerah wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, laporan keuangan pemerintah pokok setidak-tidaknya
terdiri atas:
a) Laporan Realisasi Anggaran (LRA);
b) Neraca;
c) Laporan Arus Kas (LAK); dan
d) Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan disajikan oleh setiap entitas pelaporan. Hal ini berarti setiap Menteri/pimpinan lembaga
wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan di atas. Namun demikian, Laporan Arus Kas
hanya disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan (Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara). Oleh karena itu kepala satuan kerja sebagai entitas
akuntansi dan menteri/pimpinan lembaga tidak menyusun dan menyajikan Laporan Arus Kas.
Di samping menyajikan laporan keuangan pokok, suatu entitas pelaporan diperkenankan
menyajikan Laporan Kinerja Keuangan berbasis akrual dan Laporan Perubahan Ekuitas. Laporan
Kinerja Keuangan adalah laporan yang menyajikan pendapatan dan beban serta surplus/defisit
selama suatu periode yang disusun berdasarkan basis akrual. Laporan Perubahan Ekuitas adalah
laporan yang menyajikan mutasi atau perubahan saldo ekuitas dana pemerintah selama suatu
periode.

F. Pengguna dan Kebutuhan Informasi Akuntansi Pemerintah


1. Pengguna Informasi Akuntansi dan /atau Laporan Keuangan
Banyak pihak yang menggunakan informasi akuntansi. Ada beberapa kelompok utama
pengguna laporan keuangan pemerintah, namun tidak terbatas pada:
a) Masyarakat;
b) Para wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa;
c) Pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi, dan pinjaman; dan
d) Pemerintah.

2. Kebutuhan Informasi Akuntansi


Akuntansi memproses informasi yang dituangkan dalam laporan keuangan. Informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan bertujuan umum untuk memenuhi kebutuhan informasi dari
semua kelompok pengguna. Dengan demikian laporan keuangan pemerintah tidak dirancang
untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari masing-masing kelompok pengguna. Berhubung pajak
merupakan sumber utama pendapatan pemerintah, maka ketentuan laporan keuangan yang
memenuhi kebutuhan informasi para pembayar pajak perlu mendapat perhatian.
Meskipun memiliki akses terhadap detail informasi yang tercantum di dalam laporan
keuangan, pemerintah wajib memperhatikan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
untuk keperluan perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan. Selanjutnya, pemerintah
dapat menentukan bentuk dan jenis informasi tambahan untuk kebutuhan sendiri di luar jenis
informasi yang diatur dalam kerangka konseptual Pemerintah d a n Standar Akuntansi Pemerintah.

Rangkuman
1. Pengelolaan keuangan dan akuntansi di lingkungan instansi Pemerintah berpedoman pada UU
Keuangan Negara, UU Perbendaharaan dan berbagai ketentuan pemerintah lainnya. Adapun
aktifitas akuntansi di lingkungan pemerintahan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP).
2. Akuntansi Pemerintah merupakan bagian dari Akuntansi Sektor Publik dan mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan Akuntansi Komersial.
3. Lingkungan operasional organisasi pemerintah berpengaruh terhadap karakteristik tujuan
akuntansi dan pelaporan keuangannya. Ciri utama struktur pemerintahan dan
pelayanan yang diberikan mencakup : (1) bentuk umum pemerintahan dan pemisahan
kekuasaan; (2) sistem pemerintahan otonomi dan transfer pendapatan antar pemerintah; (3)
adanya pengaruh proses politik; dan (4) hubungan antara pembayaran pajak dengan pelayanan
pemerintah. Adapun ciri keuangan pemerintah yang penting bagi pengendalian
meliputi : (1) anggaran sebagai pernyataan kebijakan publik, target fiskal, dan sebagai
alat pengendalian; (2) investasi dalam aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan;
dan (3) kemungkinan penggunaan akuntansi dana untuk tujuan pengendalian.
4. Pelaporan keuangan pemerintah diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang mengatur keuangan pemerintah.
5. Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi
keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu
periode pelaporan untuk kepentingan : akuntabilitas, manajemen, transparansi, keseimbangan
antargenerasi (intergenerational equity). Laporan keuangan terutama digunakan untuk
membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran
yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu
entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-
undangan.
6. Tujuan umum laporan keuangan adalah menyajikan informasi mengenai posisi keuangan,
realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat
bagi para pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber
daya. Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat
bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan
ekonomi, sosial, maupun politik.
7. Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban berupa laporan keuangan, yang terdiri dari: (a) Pemerintah pusat; (b)
Pemerintah daerah; (c) Satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah atau
organisasi lainnya, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud
wajib menyajikan laporan keuangan.
8. Tanggung jawab penyusunan dan penyajian laporan keuangan berada pada pimpinan entitas.
9. Pengguna laporan keuangan pemerintah terdiri atas : masyarakat; para wakil rakyat, lembaga
pengawas, dan lembaga pemeriksa; pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi,
investasi, dan pinjaman; dan pemerintah.
10. Informasi akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan bertujuan umum untuk
memenuhi kebutuhan informasi dari semua kelompok pengguna. Pemerintah wajib
memperhatikan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan untuk keperluan
perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan.

Bahan Evaluasi
1. Apa yang menjadi pedoman akuntansi di lingkungan pemerintahan ?
2. Apa yang dimaksud dengan Akuntansi Pemerintah ?
3. Jelaskan pengelompokan ilmu akuntansi berdasarkan pengguna dan jenis organisasi !
4. Jelaskan perbedaan antara Akuntansi Pemerintah dengan Akuntansi Komersial !
5. Jelaskan ciri-ciri penting lingkungan akuntansi pemerintahan !
6. Jelaskan peranan dan tujuan laporan keuangan Pemerintah !
BAB 2 KEUANGAN NEGARA

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan akan dapat memahami dan
menjelaskan :
a. garis besar dan lingkup pengelolaan keuangan negara;
b. siklus keuangan negara;
c. pengelolaan aset pemerintah
d. pelaporan keuangan negara; dan
e. proses pemeriksaan dan pertanggungjawaban/akuntabilitas keuangan negara kepada
pemangku kepentingan.

A. Pendahuluan
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Sampai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
pengelolaan keuangan negara Republik Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 masih
menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial. Peraturan perundangan tersebut terdiri dari
Indische Comptabiliteitswet (ICW), Indische Bedrijvenwet (IBW) dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB). ICW ditetapkan pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867,
Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381.
Walau kehendak menggantikan aturan bidang keuangan warisan telah lama dilakukan agar
selaras dengan tuntutan jaman, baru pada tahun 2003 hal itu terwujud dengan terbitnya Undang-
undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Hal itu senada dengan makin besarnya belanja
negara yang dikelola oleh pemerintah sehingga diperlukan suatu metode pengawasan yang
memadai. Salah satu bentuknya adalah keterlibatan masyarakat/stakeholders.
Keterlibatan masyarakat ini juga seiring dengan makin besarnya porsi pajak dalam mendanai
operasional pemerintahan. Sumber daya alam yang selama ini besar porsinya dalam penerimaan
negara makin lama makin berkurang oleh karena jumlah sumber yang terbatas. Pada satu pihak,
biaya penyelenggaraan pemerintahan semakin besar. Satu-satunya sumber adalah pajak dari
masyarakat. Agar masyarakat tidak merasa dirugikan, maka diperlukan suatu pertanggungjawaban
penggunaan pajak dari masyarakat oleh pemerintah dengan transparan.
Berkenaan dengan perubahan paradigma sistem pemerintahan dan tuntutan masyarakat,
maka perlu dilakukan reformasi di bidang keuangan sebagai perangkat pendukung terlaksananya
penerapan good governance. Reformasi pengelolaan keuangan dilakukan dengan cara:
 Penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum;
 Penataan kelembagaan;
 Penataan sistem pengelolaan keuangan negara; dan
 Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Reformasi manajemen keuangan ini tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat dalam
pelaksanaannya, tetapi sekaligus berlaku bagi Pemerintah Daerah.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Undang-undang 17/2003 memberi batasan keuangan negara sebagai “semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut.” Secara rinci sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU 17/2003, cakupan
Keuangan Negara terdiri dari :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara/Daerah;
d. Pengeluaran Negara/Daerah;
e. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
g. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Cakupan terakhir dari Keuangan Negara tersebut dapat meliputi kekayaan yang dikelola oleh
orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
Beberapa hal yang terkait dengan keuangan Negara, yaitu :
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
2. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya
adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap
menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu
bidang tertentu pemerintahan. Pembagian kewenangan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Pendelegasian Kewenangan dalam Pelaksanaan


Anggaran

Presiden
(sebagai CEO)

Menteri Teknis Menteri Keuangan


(sebagai COO) (sebagai CFO)
Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya

Kepala Kantor Kepala KPPN


(selaku Kuasa COO) (selaku Kuasa CFO)

Berdasarkan gambar tersebut, ada pemisahan kewenangan administratif (ordonatur)


Pendelegasian kewenangan pelaksanaan program
Pendelegasian kewenangan perbendaharaan

Dalam pelaksanaan anggaran, mereka mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rangka
menjaga terlaksananya mekanisme check and balance. Sesuai dengan prinsip tersebut
Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban
negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggung-
jawab atas penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing.
Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Pengelolaan keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam APBN. Dengan demikian
seluruh program/kegiatan pemerintah harus dituangkan dalam APBN (azas universalitas) dan tidak
diperkenankan adanya program/kegiatan yang dikelola di luar APBN (off budget).

C. Perencanaan Pembangunan Nasional


Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa
dalam mencapai tujuan bernegara. Agar pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik tidak
dapat dilepaskan dari tataran demokrasi dan mengacu pada prinsip-prinsip penting yang tidak
boleh diabaikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan nasional. Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran
diperlukan adanya suatu perencanaan pembangunan yang matang.
Perencanaan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang
Sistem Pembangunan Pembangunan Nasional (SPPN) merupakan suatu “proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya yang tersedia.”i) Perencanaan sangat penting sebagai salah satu proses dalam
pengelolaan keuangan negara. Perencanaan sangat bermanfaat dalam (a) mengurangi
ketidakpastian serta perubahan di masa datang; (b) mengarahkan semua aktivitas pada pencapaian
visi dan misi organisasi; (c) sebagai wahana untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan
kinerja suatu organisasi.

1. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)


Sistem Perencanaan pembangunan nasional diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan
dalam bernegara. SPPN mencakup penyelenggaraan perencanaan makro dari semua fungsi
pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan
nasional. SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek
yang akan dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat baik di tingkat pusat
maupun daerah.
Dalam cakupan waktu, SPPN disusun dalam cakupan tiga periode perencanaan, yaitu:
a. Jangka panjang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan
jangka waktu 20 tahun;
b. Jangka menengah dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang
berjangka waktu 5 tahun, dan
c. Jangka pendek dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan periode tahunan.
Dalam suatu perencanaan pembangunan sebagai suatu siklus ada empat tahapan yang dilalui,
yakni:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan
membentuk satu siklus perencanaan yang utuh.
2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) merupakan suatu dokumen perencanaan
pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Perencanaan ini bersifat makro yang
memuat “penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk
visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.” Proses penyusunan RPJP dilakukan secara
partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan.
Penyusunan RPJP dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
a. Penyiapan Rancangan RPJP, dimana kegiatan ini dibutuhkan guna mendapatkan gambaran
awal dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional.
b. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) jangka panjang yang dilaksanakan
untuk mendapatkan masukan dan komitmen dari seluruh pemangku
kepentingan/stakeholders terhadap rancangan RPJP.
c. Penyusunan Rancangan Akhir RPJP. Seluruh masukan dan komitmen hasil Musrenbang
menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan.
d. Penetapan undang-undang tentang RPJP, di bawah koordinasi Bappenas yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum. Rancangan akhir RPJP beserta
lampirannnya disampaikan kepada DPR sebagai inisiatif Pemerintah, untuk diproses lebih
kanjut menjadi undang-undang tentang RPJP Nasional.

3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)


RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala negara terpilih yang
wajib disusun dalam waktu tiga bulan setelah dilantik. Dalam penyusunannya, RPJMN harus
berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan
umum, program baik di dalam maupun lintas Kementerian/Lembaga, dalam satu maupun lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro. Termasuk di dalamnya adalah arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
Tahapan Penyusunan RPJM, yaitu :
a. Penyiapan Rancangan awal RPJM Nasional oleh Bappenas sebagai lembaga yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan perencanaan pembangunan secara nasional.
b. Penyiapan rancangan Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (rancangan Renstra K/L),
yang dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga. Penyusunan rancangan Renstra ini
bertujuan untuk merumuskan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan tugas dan fungsi kementeria/lembaga, agar selaras
dengan program prioritas kepala negara terpilih.
c. Penyusunan rancangan RPJM Nasional oleh Kementerian Perencanaan. Tahap ini
merupakan upaya mengintegrasikan rancangan awal RPJM Nasional dengan rancangan
Renstra K/L, yang menghasilkan rancangan RPJM Nasioal.
d. Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) jangka
menengah nasional. Kegiatan yang dilaksanakan paling lambat dua bulan setelah presiden
dilantik ini dilaksanakan guna memperoleh berbagai masukan dan komitmen dari seluruh
pemangku kepentingan (stakeholders) atas rancangan RPJM Nasional.
e. Penyusunan Rancangan Akhir RPJM Nasional, dimana seluruh masukan dan komitmen
hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional menjadi masukan utama penyempurnaan
rancangan RPJM Nasional.
f. Penetapan Peraturan Presiden tentang RPJM Nasional, di bawah koordinasi kementerian
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum.

4. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (K/L)


Renstra Kementerian/Lembaga (K/L) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi K/L serta
berpedoman kepada RPJM dan bersifat indikatif. Tahapan Penyusunan Renstra K/L adalah
sebagai berikut:
a. Mempelajari Visi, Misi, dan program kepala negara terpilih terhadap tugas dan fungsi
kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Dalam hal ini menteri/kepala lembaga mengkaji
implikasi visi, misi, dan program presiden terpilih terhadap tugas pokok dan fungsi K/L
yang dipimpinnya dalam bentuk:
 Memberikan penilaian keterkaitan visi, misi, dan program dalam Renstra K/L pada
periode lalu;
 Mengidentifikasikan program presiden terpilih terhadap capaian kinerja program
K/L periode sebelumnya
 Membuat kesimpulan.
b. Menyusun Rancangan Renstra K/L dengan berpedoman pada Rancangan Awal RPJM
Nasional.

5. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan


Rencana Pembangunan Jangka Tahunan adalah perencanaan yang meliputi periode satu tahun
yang dalam hal ini disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan merupakan
penjabaran dari RPJM Nasional. RKP berisi prioritas pembangunan, rancangan kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian yang menyeluruh termasuk
kebijakan fiskal, serta program K/L, lintas K/L, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi
dan kerangka pendanaan yang masih bersifat indikatif.
Selain RKP, pada tingkat kementerian/lembaga disusun Rencana Kerja Kementerian/
Lembaga (Renja-KL). Renja-KL disusun berpedoman pada Renstra-KL yang telah ada lebih
dulu dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional. Penyusunan Renja-KL dilakukan
secara bersamaan dengan penyusunan RKP karena keduanya saling terkait. Adapun tahap
penyusunan RKP adalah sebagai berikut:
a. penyiapan rancangan awal RKP sebagai penjabaran RPJM Nasional;
b. penyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP;
c. Bappenas mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP dengan menggunakan
rancangan Renja-KL;
d. musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang);
e. penyusunan rancangan akhir rencana kerja berdasarkan hasil Musrembang; dan
f. Penetapan RKP dalam bentuk Peraturan Presiden.
Selanjutnya, RKP ini menjadi pedoman dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Renja-KL menjadi pedoman untuk menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).
6. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga RKA- K/L
RKA-KL, memuat rencana pendapatan, belanja untuk masing-masing program dan kegiatan
menurut fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan rincian objek
pendapatan, belanja, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.
Penyusunan RKA-K/L dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran
jangka menengah, terpadu dan prestasi kerja. Penyusunan RKA-K/L melalui tahapan sebagai
berikut :
a. Penyusunan RKA-KL diawali dengan penyusunan Renja-KL yang memuat kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan mengacu pada prioritas
pembangunan nasional dan pagu indikatif serta prakiraan maju untuk tahun anggaran
berikutnya. Tahap ini merupakan tahap dimulainya mengaitkan rencana kerja dengan
jumlah anggaran yang tersedia dan persiapan untuk menyusun RKA-KL. Selanjutnya
Renja dimaksud ditelaah oleh Bappenas berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Koordinasi ini dilakukan atas pendaanan dan pengkodean.
b. Berdasarkan hasil pembahasan pokok-pokok kebijakan umum fiskal dan RKP antara
pemerintah dengan DPR, Menteri Keuangan menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang Pagu
Sementara bagi masing-masing program pada K/L pada pertengahan bulan Juni. Pagu
Sementara ini merupakan dasar bagi K/L untuk menyesuakan Rencana Kerja mereka
menjadi RKA-KL yang dirinci per kegiatan untuk setiap unit kerja yang ada di K/L.
Selanjutnya hasil penyusunan RKA ini akan dibahas oleh K/L dengan komisi di DPR yang
mitra kerjanya.
c. RKA-K/L hasil pembahasan kemudian diserahkan kepada Menteri Perencanaan untuk
ditelaah. Penelaahan dilakukan oleh MenteriPerencanaan untuk kesesuaiannya dengan
RKP dan oleh Menkeu untuk kesesuaiannya dengan Pagu Sementara. Hal ini dilakukan
untuk menjaga konsistensi penganggaran dengan perencanaan dan prioritas pembangunan
nasional serta tidak melampaui pagu.
d. Tahap akhir dari penyusunan RKA-KL ini adalah menghimpun seluruh RKA hasil telaahan
untuk dijadikan bahan menyusun rancangan APBN dan nota keuangan. Tahap ini
dilakukan oleh Menkeu dan hasilnya akan dibahas dalam sidang kabinet.

7. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang masa berlakunya
dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan. Anggaran Pendapatan merupakan estimasi pendapatan yang mungkin dicapai
dalam periode yang bersangkutan. Kelompok anggaran pendapatan terdiri dari penerimaan
dalam negeri dan hibah. Anggaran belanja merupakan batas tertinggi pengeluaran yang dapat
dibebankan pada APBN.
Pembahasan mengenai Anggaran dan Pelaksanaan APBN akan dijelaskan lebih lanjut pada
materi Anggaran.

D. Pengelolaan Aset dan Utang


1. Pengertian dan Ruang Lingkup

Kas &
Setara kas
Aset
Keuangan & Piutang &
Utang
Utang

Investasi Persediaan
Berwujud
ASET
Aset
PEMERINTAH Dapat
Diidentifikasi Tetap
Tidak
Aset Berwujud
Non SDA
keuangan
Tidak dapat SDM
diidentifikasi
dll

Bagan aset pemerintah

Aset merupakan sumber daya yang mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa
depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat
diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena
alasan sejarah dan budaya.
Aset yang berada dalam pengelolaan pemerintah tidak hanya yang dimiliki oleh pemerintah
saja, tetapi juga termasuk aset pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka pelayanan
ataupun pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Aset pemerintah bukanlah sebagai sumber
daya untuk memperoleh pendapatan, namun mencerminkan potensi pelayanan bagi
masyarakat. Oleh karena itu dalam mengukur kemampuan keuangan pemerintah tidaklah tepat
jika dilakukan dengan membandingkan antara pendapatan dan total aset yang tersedia.
Kecukupan tersedianya aset dapat diukur dengan membandingkan antara aset yang tersedia
dengan kebutuhan dalam pelayanan, yang pada umumnya ditentukan dalam rasio-rasio yang
relevan sesuai dengan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Definisi aset di atas mencerminkan bahwa ruang lingkup aset pemerintah sangatlah luas. Aset
pemerintah dapat diklasifikasikan sebagai aset keuangan dan aset non keuangan. Dalam rangka
manajemen kas pada umumnya terintegrasi dengan manajemen utang.

2. Pengelolaan Kas
Kas merupakan sumber daya yang mutlak diperlukan untuk menjalankan pemerintahan. Kas
seringkali dikatakan bagaikan darah bagi suatu organisasi. Tanpa kas suatu organisasi tidak
akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu Pemerintah dituntut melakukan pengelolaan kas
dengan baik.
Pengelolaan kas di pemerintah terutama bertujuan untuk dapat melaksanakan anggaran secara
efisien serta melakukan manajemen sumber daya keuangan yang baik. Pengelolaan kas yang
baik dapat menghasilkan pengendalian pengeluaran secara efisien, meminimumkan biaya
pinjaman, dan memaksimumkan hasil yang diperoleh dari penempatan kas. Hal ini telah diatur
dalam Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada prinsipnya
pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan dana yang diperlukan secara tepat waktu dan
aman dalam rangka pelaksanaan anggaran. Agar kas tersedia pada saat diperlukan maka perlu
adanya rencana penarikan dana dan rencana penerimaan dari pengguna anggaran. Dari rencana
ini dapat disusun budget cash sehingga dapat diketahui jumlah arus masuk dan arus keluar kas
untuk suatu periode serta surplus/defisit kas yang terjadi. Dengan informasi demikian maka
Bendahara Umum Negara dapat mengatur penempatan saldo kas yang menganggur serta
menerapkan strategi pinjaman untuk menutup defisit kas.

3. Pengelolaan Piutang
Piutang merupakan hak pemerintah untuk menagih pada pihak lain Piutang ini dapat terjadi
karena hubungan perdata, seperti adanya jual beli atau pinjam meminjam, namun bisa juga
terjadi karena ketentuan perundang-undangan, seperti piutang pajak.
Dalam Undang-undang diatur bahwa kementerian/lembaga yang mempunyai piutang wajib
mengupayakan penerimaannya kembali secara tepat waktu. Dalam hal terdapat piutang tak
tertagih penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menjaga agar piutang dapat diterima kembali secara tepat waktu,
kementerian/lembaga dituntut untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan piutang secara
seksama. Hal-hal seperti perencanaan, pemberian pinjaman atau penjualan secara kredit atau
penerbitan surat ketetapan, pencatatan, pelaporan, penilaian, penagihan, dan penghapusan
piutang harus diatur secara tegas. Pengendalian intern harus tercermin dan melekat sejak proses
timbulnya piutang sampai dengan berakhirnya, karena pembayaran atau penghapusan.
Piutang pemerintah jenis tertentu, seperti piutang pajak, mempunyai hak mendahului.
Penyelesaian piutang yang terjadi karena hubungan keperdataan dapat dilakukan melalui
perdamaian kecuali untuk piutang yang penyelesaiannya diatur sendiri dalam undang-undang.
Penyelesaian piutang yang demikian ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk jumlah sampai
dengan Rp 10 milyar, oleh Presiden untuk jumlah diatasnya sampai dengan Rp 100 milyar,
dan jumlah diatasnya oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Dalam hal terdapat piutang tak tertagih dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari
pembukuan. Penghapusan piutang tak tertagih sampai dengan Rp 10 milyar dapat dilakukan
oleh Menteri Keuangan. Penghapusan piutang di atas Rp 10 milyar sampai dengan Rp 100
milyar dilakukan oleh Presiden, sedangkan di atas Rp 100 milyar oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.

4. Pengelolaan Utang
Sehubungan diberlakukannya anggaran defisit (I Account) berarti anggaran pendapatan tidak
harus sama dengan anggaran belanja. Dalam UU 17/2003 ditekankan bahwa dalam
memanfaatkan surplus anggaran atau membiayai defisit anggaran harus mempertimbangkan
keseimbangan generasi. Defisit anggaran antara lain dapat dibiayai dari pinjaman. Berdasarkan
UU 17/2003 defisit anggaran dalam suatu tahun anggaran maksimum sebesar 3 (tiga) persen
dari Pendapatan Domestik Bruto, dan akumulasi utang maksimum sebesar 60 (enam puluh)
persen dari Pendapatan Domestik Bruto. Dalam rangka pengendalian defisit anggaran dan
akumulasi pinjaman secara nasional, Menteri Keuangan mempunyai kewenangan untuk
mengaturnya. Ketentuan tentang besarnya defisit serta jumlah utang yang dapat dimiliki oleh
suatu pemerintah daerah diatur setiap tahun dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam melakukan pengelolaan utang harus diperhatikan struktur portofolio utang berikut biaya
serta risikonya. Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh pinjaman yang paling efisien dan
untuk meyakini bahwa pemerintah mampu membayar bunga dan angsuran secara tepat waktu.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mempunyai kewenangan untuk
mengadakan pinjaman. Pinjaman dapat berupa pinjaman yang dilakukan secara bilateral atau
multilateral. Pinjaman ini dapat diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah/BUMN/BUMD.
Pinjaman ini dituangkan dalam suatu naskah perjanjian pinjaman. Sejalan dengan azas bruto
maka biaya yang terjadi karena penarikan pinjaman dibebankan pada anggaran belanja.
Disamping itu pemerintah juga dapat menerbitkan surat utang negara.
Disamping ada utang yang berasal dari pinjaman, pemerintah juga bisa mempunyai utang
karena kegiatan operasional atau utang perhitungan pihak ketiga (PFK). Utang operasional
antara lain timbul sehubungan dengan adanya pengadaan barang/jasa yang telah diterima tetapi
pada akhir tahun anggaran belum dibayar. Dengan demikian utang yang berasal dari kegiatan
operasional ini dapat terjadi di kementerian negara/lembaga. Utang PFK timbul karena adanya
uang yang dipungut oleh pemerintah untuk kepentingan pihak lain dan belum disampaikan
kepada pihak tersebut.Terhadap utang-utang ini, pengguna anggaran atau kuasa pengguna
anggaran juga wajib menatausahakan dan melaporkannya dalam laporan keuangan. Pengguna
Anggaran atau Kuasanya berkewajiban mengelola utang dalam kepengurusannya dan menguji
setiap klaim sebelum memerintahkan pembayaran atas beban anggaran
Utang dibayar secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan. Hak tagih atas utang sebagai beban
negara kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan
lain dalam undang-undang. Kadaluwarsa ini akan tertunda jika pihak yang berpiutang
mengajukan tagihan kepada negara sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa. Ketentuan
kadaluwarsa ini tidak berlaku untuk pembayaran bunga dan pokok utang yang timbul karena
pinjaman.

5. Pengelolaan Investasi
Pemerintah dapat melakukan investasi karena berbagai alasan, antara lain memanfaatkan
surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan atau memanfaatkan dana yang belum
digunakan dalam bentuk invetasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas. Investasi
jangka pendek yang dilakukan pemerintah harus memenuhi karakteristik dapat segera
dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas, dan berisiko rendah.
Investasi jangka panjang dapat berupa investasi permanen dan investasi non permanen.

6. Pengelolaan Barang Milik Negara


Barang milik negara mencakup semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan ini antara lain dapat dilakukan melalui
pembelian, pembangunan, pertukaran, kerja sama, hibah/donasi, dan rampasan.
Dalam rangka menertibkan pengelolaan barang milik negara, maka dilakukan pembagian
kewenangan yang jelas atas barang milik negara. Menteri Keuangan adalah sebagai pengelola
barang berwenang mengatur pengelolaan barang milik negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Menteri/pimpinan lembaga berkedudukan sebagai pengguna barang
pada instansi yang dipimpinnya. Para pengguna barang wajib mengelola dan menatausahakan
barang milik negara yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam rangka menjaga kesinambungan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan pengaturan
atas penghapusan serta pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik negara yang
diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tidak dapat dipindahtangankan.
Penghapusan barang milik negara pada prinsipnya harus mendapat persetujuan DPR.
Pemindahtangan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
Dengan memperhatikan bahwa tanah dan bangunan merupakan kekayaan negara yang sangat
penting artinya serta nilainya signifikan maka pemindahtanganan tanah dan bangunan harus
mendapat persetujuan DPR kecuali untuk tanah dan bangunan yang tidak sesuai lagi dengan
tata ruang wilayah atau penataan kota. Demikian pula untuk bangunan yang sudah memperoleh
alokasi anggaran untuk menggantinya, diperuntukkan bagi pegawai negeri, untuk kepentingan
umum, ataupun yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
Hal ini terjadi karena pada dasarnya DPR telah menyetujuinya pada saat pembahasan tata
ruang ataupun pembahasan APBN.
Dalam rangka efisiensi pengelolaan barang selain tanah dan bangunan, proses penghapusan
dan pemindahtangannya dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana.
Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan dengan nilai sampai dengan
Rp 10 milyar dilakukan oleh Menteri Keuangan, di atas Rp 10 milyar sampai dengan Rp 100
milyar oleh Presiden, sedangkan di atas Rp 100 milyar oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Apabila pemindahtanganan ini dilakukan dengan penjualan maka harus dilakukan dengan
lelang. Dengan pengaturan demikian diharapkan pengelolaan barang dapat dilakukan dengan
lebih efisien.
Pengamanan barang milik negara merupakan salah satu sasaran pengendalian intern, baik dari
aspek fisik, administrasi, maupun hukum. Oleh karena tanah dan bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib. Tanah harus disertifikatkan atas
nama Pemerintah RI. Tanah dan bangunan yang tidak lagi digunakan untuk menjalankan tugas
dan fungsi pemerintahan wajib dikembalikan kepada Menteri Keuangan. Barang milik negara
tidak diperkenankan untuk digadaikan atau digunakan sebagai jaminan dan tidak boleh
diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran utang. Disamping itu barang milik negara
atau barang pihak lain yang dikuasai negara yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan tidak dapat disita.

7. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum


Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
Pemerintah dapat membentuk Badan Layanan Umum (BLU). Kekayaan BLU merupakan
kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dapat dikelola sepenuhnya untuk pelayanan
kepada masyarakat, Oleh karena itu BLU tetap menyusun anggaran sebagaimana instansi
pemerintah pada umumnya untuk digabungkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian negara/lembaga maupun APBN. Pendapatan dan belanja yang dilakukan
dilaprkan dalam laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang membawahinya dan
dikonsolidasikan dalam laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Upaya peningkatan kinerja pelayanan maupun kinerja keuangan dilakukan dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.
Pendapatan BLU dapat bersumber dari APBN, jasa layanan, hibah atau sumbangan dari
masyarakat. Pendapatan BLU dapat digunakan secara langsung untuk membiayai belanjanya.
Dalam pelaksanaan anggaran belanja, BLU juga diberikan pengecualian untuk tidak mengikuti
ketentuan pengadaan barang/jasa sebagaimana yang berlaku di pemerintahan karena alasan
efisiensi dan produktivitas. Di samping itu BLU juga diperkenankan memperoleh pinjaman
untuk mendanai kegiatannya.
Untuk menjaga kinerja pelayanan dan kinerja keuanga BLU maka diperlukan adanya
pembinaan. Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan sedangkan
pembinaan teknis dilakukan oleh kementerian teknis yang membawahinya.

E. Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN


1. Laporan Keuangan Pemerintah
Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu tuntutan masyarakat yang harus
dipenuhi. Salah satu pilar tata kelola tersebut adalah akuntabilitas. Pada dasarnya
penyelenggara negara wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, berupa
akuntabilitas keuangan (financial accountability) dan akuntabilitas kinerja (performance
accountability). Dengan pola pertanggungjawaban yang demikian, Pemerintah tidak hanya
dituntut untuk mempertanggungjawabkan uang yang dipungut dari rakyat tetapi juga dituntut
untuk mempertanggungjawabkan atas hasil-hasil yang dicapainya.
Pola pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara dikembangkan sejalan dengan
teori keagenan (agency Theory). Pada prinsipnya, Pemerintah merupakan orang suruhan atau
agen dari rakyat. Rakyat dalam hal ini diwakili oleh DPR. Pemerintah diberi kekuasaan untuk
memungut uang dari rakyat berdasarkan Undang-Undang. Setiap tahunnya anggaran
pendapatan dan belanja dituangkan dalam Undang-undang APBN. Pemerintah yang
memungut, Pemerintah yang mengelola, maka Pemerintah juga berkewajiban untuk mencatat
(mengakuntansikan) dan melaporkannya kepada rakyat melalui DPR. Dalam rangka meyakini
bahwa laporan dimaksud telah menyajikan kondisi yang sesungguhnya serta Pemerintah telah
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan, maka laporan keuanga tersebut wajib
diperiksa oleh pemeriksa yang indipenden. Berdasarkan UUD 45 yang berwenang untuk
melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah adalah BPK RI.
Gambar atas pola pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

HUBUNGAN KONTRAK PRINSIPAL–


AGEN: SOLUSI

L Ketentuan Undang-Undang
E
M P
R B E
P A
Rencana Kerja/ RK Anggaran
R A G
A
M
E
I K P R A
N E I G
S Y R
N E
W
I
P
A A
K
Akuntansi Pelaporan T N
A
A T I
L H
L A
N
Auditing

AKUNTABILITAS
3

Laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN berupa Laporan Keuangan. Laporan


keuangan setidak-tidaknya terdiri dari:
 Neraca;
 Laporan Realisasi Anggaran;
 Laporan Arus Kas; dan
 Catatan atas laporan Keuangan.

PAKET LAPORAN
KEUANGAN DAN KINERJA
SURAT PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB

LRA NERACA LAK CALK

IKHTISAR IKHTISAR IKHTISAR LK IKHTISAR


KINERJA LAIN BUMN/BUMD LAIN

10

Dari gambar tersebut tampak bahwa terdapat lampiran yang bersifat wajib dan diamanatkan
dalam undang-undang, yaitu laporan kinerja dan laporan keuangan BUMN dan badan lainnya.
Yang dimaksud dengan badan lainnya, saat ini yang ada di Pemerintah adalah Badan Layanan
Umum (BLU) dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Laporan keuangan yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan
APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit BPK RI. Laporan keuangan ini paling
lambat disampaikan ke DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan keuangan
dilampiri dengan Laporan Kinerja dan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara dan badan
lainnya. Laporan keuangan disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung jawab atau Statement
Of Responsibility (SOR). Laporan keuangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Laporan Keuangan Pemerintah disusun dengan menggabungkan seluruh laporan keuangan
Kementerian negara/Lembaga selaku pengguna anggaran dengan laporan keuangan Bendahara
Umum Negara. Laporan keuangan kementerian negara/lembaga ini harus disampaikan ke
Presiden melalui Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah tutup tahun anggaran.
Dengan memperhatikan pengaturan tentang pengelolaan kas negara yang dilakukan oleh
Bendahara Umum Negara maka kementerian negara/lembaga sebagai pengguna anggaran
tidak diwajibkan menyusun Laporan Arus Kas. Yang menyusun Laporan Arus Kas hanya
Bendahara Umum Negara.

2. Standar Akuntansi Pemerintahan


Laporan keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). SAP merupakan pedoman umum dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Kesesuaian dengan SAP mencerminkan tingkatan akuntabilitas dan transparansi dalam
pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu penyusunan dan penyajian laporan keuangan
yang sesuai dengan SAP merupakan salah satu kriteria bagi BPK RI dalam memberikan opini
atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara, SAP disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). KSAP merupakan
suatu komite yang independen dengan komite kerja. beranggotakan 9 orang. KSAP telah
mengeluarkan SAP yang tertuang dalam PP 24/2005.

3. Sistem Akuntansi Pemerintahan


Sistem akuntansi pemerintahan merupakan rangkaian secara sistematik dari prosedur,
penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis
transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi pemerintah. Dengan
demikian sistem akuntansi merupakan suatu wadah untuk memproses data keuangan sampai
dihasilkannya informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.
Sistem akuntansi untuk Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku untuk
seluruh kementerian negara/lembaga. Sistem akuntansi ini disusun sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan. Dengan demikian maka laporan keuangan yang dihasilkan akan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Akuntansi Pemerintahan pada dasarnya merupakan akuntansi anggaran. Oleh karena itu sistem
akuntansi yang baik seharusnya terintegrasi dengan sistem anggaran. Apabila hal ini
dijalankan, maka akan terdapat konsistensi dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
akuntansi dan pertanggungjawaban anggaran.
Sistem akuntansi Pemerintah diperlukan untuk tujuan tiga hal. Pertama adalah untuk
menetapkan prosedur yang harus diikuti oleh pihak-pihak yang terkait sehingga jelas
pembagian kerja dan tanggung jawab diantara mereka. Kedua adalah untuk
terselenggarakannya pengendalian intern untuk menghindari terjadinya penyelewengan.
Terakhir adalah untuk menghasilkan laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan dimana jenis dan isi diatur oleh PP 24/2005 tentang SAP.
Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan tersebut, secara umum tata cara dan tanggung
jawab pelaporan diatur dalam PP 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.

F. Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara


1. Lingkup Pemeriksaan
Pada pola hubungan antara Pemerintah sebagai agen dari rakyat dan DPR sebagai wakil dari
rakyat sebagai prinsipalnya, pemerintah wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangannya kepada rakyat yang diwakili oleh DPR/DPRD. Dalam hal ini terdapat
ketidakseimbangan pemilikan informasi. Lembaga perwakilan tidak mempunyai informasi
secara penuh apakah laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah dari
eksekutif telah mencerminkan kondisi yang sesungguhnya, apakah telah sesuai semua
peraturan perundang-undangan dan menerapkan sistem pengendalian intern secara memadai
dan pengungkapan secara paripurna. Oleh karena itu diperlukan pihak yang kompeten dan
independen untuk menguji laporan pertanggungjawaban tersebut. Lembaga yang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban tersebut adalah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketentuan tentang pemeriksaan oleh BPK diatur dalam UU No.
15/2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Sedangkan
ketentuan tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai institusi pemeriksa diatur dalam UU
15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD RI tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas
BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan dan pemeriksaan atas tanggung jawab
keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara. Oleh
karena itu kepada BPK diberikan kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan,
yaitu:
1. Pemeriksaan keuangan
2. Pemeriksaan kinerja
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu

1) Pemeriksaan Keuangan
Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah dalam
rangka pemberian opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan. Hasil pemeriksaan
keuangan oleh BPK akan menghasilkan opini yang merupakan pernyataan profesional
pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan. Kriteria untuk
pemberian opini adalah sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
b. Kecukupan pengungkapan;
c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan
d. Efektivitas sistem pengendalian intern.
Penilaian atas empat hal di atas akan menentukan suatu opini. Ada empat macam opini
yang diberikan pemeriksa, yaitu:
a. Wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion);
b. Wajar dengan pengecualian (qualified opinion);
c. Tidak wajar (adversed opinion);
d. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).

2) Pemeriksaan Kinerja (value for money audit)


Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta
pemeriksaan atas efektivitas. Pemeriksaan ini lazim dilakukan oleh aparat penawasan
intern untuk kepentingan jajaran manajemen. Namun demikian UUD RI tahun 1945 juga
mengamanatkan kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kinerja, terutama untuk
mengidentifikasi area-area yang potensial untuk peningkatan kinerja yang menjadi
perhatian lembaga perwakilan.
Hasil pemeriksaan kinerja adalah temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Pemeriksaan
kinerja antara lain dilakukan dengan melakukan evaluasi atas efisiensi pelaksanaan
kegiatan serta efektivitas suatu program. Pemeriksaan kinerja tidak dapat dilepaskan dari
hierarki kriteria dan indikator kinerja. Hierarki tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Herarki Kriteria dan Indikator Kinerja

Policy goals

Program Objectives

Planned Outcomes process Actual Outcomes

Effectiveness
Planned Outputs process Actual Outputs
Efficiency
Planned Inputs process Actual Inputs Compliance

14

Adapun bagi pemerintah, pemeriksaan kinerja ini dimaksudkan untuk mengarahkan agar
sumber daya yang tersedia dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk pelayanan kepada
masyarakat.

3) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu


Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam
pemeriksaan ini adalah pemeriksaan pemeriksaan atas hal-hal lain yang bersifat keuangan,
pemeriksaan atas sistem pengendalian intern, dan pemeriksaan investigatif.
Dalam hal pemeriksaan investigatif, apabila diketemukan adanya indikasi tindak pidana
atau tindakan yang membawa dampak pada kerugian negara, BPK segera melaporkannya
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pelaksanaan Pemeriksaan
BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan pemeriksaan. Kemandirian
ini termasuk dalam perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, maupun penyusunan
dan penyajian laporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam perencanaan mencakup penetapan
obyek pemeriksaan (auditee), kecuali untuk obyek pemeriksaan yang telah diatur dalam
undang-undang atau berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan informasi dari berbagai pihak
yang kompeten dan terkait, seperti hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah,
masukan dari lembaga legislatif, serta informasi dari pihak lain yang andal. Dalam pelaksanaan
pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan anggaran serta sumber daya yang dimiliki secara
mandiri dan akuntabel. Dengan mekanisme yang demikian diharapkan BPK dapat
memfokuskan pemeriksaannya pada hal-hal yang menjadi perhatian lembaga legislatif serta
pada berbagai hal yang berdampak pada kewajaran penyajian laporan keuanga, efisiensi, dan
efektifitas program dan kegiatan.
Selama menjalankan pemeriksaan BPK dapat mengakses data yang diperlukan, meminta
informasi dari orang-orang terkait, memperoleh bukti dokumen, wawancara, maupun bukti
fisik untuk mendukung hasil pemeriksaannya, termasuk melakukan penyegelan tempat
penyimpanan uang, barang, atau dokumen jika dipandang perlu.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengamanatkan bahwa pemeriksaan harus
dilaksanakan oleh pemeriksa yang kompeten. Apabila BPK tidak mempunyai tenaga ahli pada
bidang tertentu, sementara keahlian ini diperlukan, maka BPK dapat menggunakan bantuan
tenaga ahli dari luar BPK.

3. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut


Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) segera setelah
berakhirnya pemeriksaan. LHP ini disampaikan kepada lembaga perwakilan sesuai dengan
kewenangannya. Di samping itu pada saat yang bersamaan, LHP ini juga disampaikan kepada
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk ditindaklanjuti. Hasil pemeriksaan BPK akan
digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi atau melakukan penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan. Di samping itu pemerintah berkewajiban menyampaikan
tanggapan atas temuan hasil pemeriksaan. Tanggapan ini wajib dimuat dalam LHP. Dengan
dimuatnya tanggapan ini maka pengguna dapat memperoleh informasi secara berimbang dari
pemeriksa dan dari obyek yang diperiksa (auditee).
BPK wajib menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan selama 1 (satu) semester.
Ikhtisar ini disampaikan kepada lembaga legislatif sesuai dengan kewenangannya dan kepada
Presiden serta Gubernur/Bupati/walikota yang bersangkutan agar memperoleh infrmasi secara
menyeluruh tentang hasil pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga legislatif berarti telah
dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu terhadap hasil pemeriksaan yang
tersebut dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga dapat diakses oleh masyarakat.
Pemerintah berkewajiban melaksanakan tindak lanjut atas rekomendasi BPK. BPK wajib
memantau perkembangan pelaksanaan tindak lanjut tersebut serta menginformasikannya
kepada lembaga legislatif terkait.
4. Pidana, Sanksi dan Ganti Rugi
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam UU
APBN. Kebijakan pemerintah dituangkan dalam bentuk program. Dengan demikian maka
menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas outcome yang dicapai. Program
pemerintah dilaksanakan oleh kegiatan. Kegiatan dilaksanakan oleh unit organisasi atau satuan
kerja tertentu. Oleh karena itu pimpinan unit organisasi bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan dan capaian ouput atas kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam UU
17/2003 ditegaskan bahwa menteri/pimpinan lembaga ataupun pimpinan unit organisasi yang
melakukan penyimpangan program/kegiatan dikenakan sanksi. Sanksi di sini dapat berupa
sanksi administratif, pidana, atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ketentuan tentang sanksi ini merupakan upaya preventif yang berfungsi sebagai
jaminan atas ditaatinya UU APBN.
Selanjutnya terhadap pejabat negara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung maupun tidak langsung yang
merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian. Setiap kerugian negara wajib
dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan
diberitahukan kepada BPK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian diketahui.
Kepada mereka yang mengakibatkan kerugian negara segera dimintakan surat pernyataan
kesanggupan untuk mengganti kerugian dimaksud. Apabila surat kesanggupan tidak diperoleh
maka menteri/pimpinan lembaga dapat menerbitkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Disamping itu terdapat prinsip yang berlaku universal bahwa siapa yang diberi wewenang
untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga, atau
barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas kekurangan yang terjadi dalam
pengurusannya. Pengenaan ganti kerugian untuk bendahara dilakukan oleh BPK.

Rangkuman
1. Keuangan negara adalah “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
2. Prinsip-prinsip pembangunan nasional adalah kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan nasional.
3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka
panjang (Rencana Pembangunan Jangka Panjang / RPJP ber jangka waktu 20 tahun), jangka
menengah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah / RPJM yang berjangka waktu 5 tahun),
dan jangka pendek (Rencana Kerja Pemerintah / RKP dengan periode tahunan) yang akan
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat baik di tingkat pusat maupun
daerah.
4. Empat tahapan suatu perencanaan pembangunan yakni : penyusunan rencana; penetapan
rencana; pengendalian pelaksanaan rencana; dan evaluasi pelaksanaan rencana.
5. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional merupakan penjabaran dari visi,
misi, dan program kepala negara terpilih yang wajib disusun dalam waktu tiga bulan setelah
dilantik. Dalam penyusunannya, RPJMN harus berpedoman pada RPJP Nasional, yang
memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program baik di dalam maupun
lintas Kementerian/Lembaga, dalam satu maupun lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi
makro. Termasuk di dalamnya adalah arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
7. Renstra Kementerian/Lembaga (K/L) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi K/L serta
berpedoman kepada RPJM dan bersifat indikatif.
8. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan adalah perencanaan yang meliputi periode satu tahun
yang dalam hal ini disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah dan merupakan penjabaran dari
RPJM Nasional. RKP berisi prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian yang menyeluruh termasuk kebijakan fiskal, serta program
K/L, lintas K/L, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
masih bersifat indikatif.
9. Pada tingkat kementerian/lembaga disusun Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-
KL). Renja-KL disusun berpedoman pada Renstra-KL yang telah ada lebih dulu dan mengacu
pada prioritas pembangunan Nasional. Penyusunan Renja-KL dilakukan secara bersamaan
dengan penyusunan RKP karena keduanya saling terkait.
10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang masa berlakunya
dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan.
Anggaran Pendapatan merupakan estimasi pendapatan yang mungkin dicapai dalam periode
yang bersangkutan. Anggaran belanja merupakan batas tertinggi pengeluaran yang dapat
dibebankan pada APBN.
11. Aset pemerintah dapat diklasifikasikan sebagai aset keuangan dan aset non keuangan.
12. Berdasarkan Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, pada prinsipnya
pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan dana yang diperlukan secara tepat waktu dan
aman dalam rangka pelaksanaan anggaran. Agar kas tersedia pada saat diperlukan maka perlu
adanya rencana penarikan dana dan rencana penerimaan dari pengguna anggaran. Dari rencana
ini dapat disusun budget kas sehingga dapat diketahui jumlah arus masuk dan arus keluar kas
untuk suatu periode serta surplus/defisit kas yang terjadi. Dengan informasi demikian maka
Bendahara Umum Negara dapat mengatur penempatan saldo kas yang menganggur serta
menerapkan strategi pinjaman untuk menutup defisit kas.
13. Piutang merupakan hak pemerintah untuk menagih pada pihak lain. Dalam rangka menjaga
agar piutang dapat diterima kembali secara tepat waktu, kementerian/lembaga dituntut untuk
mengatur berbagai hal yang terkait dengan piutang secara seksama. Hal-hal seperti
perencanaan, pemberian pinjaman atau penjualan secara kredit atau penerbitan surat ketetapan,
pencatatan, pelaporan, penilaian, penagihan, dan penghapusan piutang harus diatur secara
tegas. Pengendalian intern harus tercermin dan melekat sejak proses timbulnya piutang sampai
dengan berakhirnya, karena pembayaran atau penghapusan. Dalam hal terdapat piutang tak
tertagih penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
14. Dalam melakukan pengelolaan utang harus diperhatikan struktur portofolio utang berikut biaya
serta risikonya. Risiko-risiko yang perlu dipertimbangkan antara lain risiko pasar, risiko
pendanaan kembali, risiko likuiditas, risiko kredit, risiko penyelesaian, dan risiko operasional.
Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh pinjaman yang paling efisien dan untuk meyakini
bahwa pemerintah mampu membayar bunga dan angsuran secara tepat waktu.
15. Pemerintah dapat melakukan investasi karena berbagai alasan, antara lain memanfaatkan
surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan atau memanfaatkan dana yang belum
digunakan dalam bentuk invetasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas. Investasi
jangka pendek yang dilakukan pemerintah harus memenuhi karakteristik dapat segera
dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas, dan berisiko rendah. Investasi jangka
panjang dapat berupa investasi permanen dan investasi non permanen.
16. Barang milik negara mencakup semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan ini antara lain dapat dilakukan melalui
pembelian, pembangunan, pertukaran, kerja sama, hibah/donasi, dan rampasan. Menteri
Keuangan adalah sebagai pengelola barang berwenang mengatur pengelolaan barang milik
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Para pengguna barang wajib mengelola
dan menatausahakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-
baiknya. Dalam rangka menjaga kesinambungan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan
pengaturan atas penghapusan serta pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik
negara yang diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tidak dapat
dipindahtangankan. Penghapusan barang milik negara pada prinsipnya harus mendapat
persetujuan DPR. Pengamanan barang milik negara merupakan salah satu sasaran
pengendalian intern, baik dari aspek fisik, administrasi, maupun hukum. Barang milik negara
tidak diperkenankan untuk digadaikan atau digunakan sebagai jaminan dan tidak boleh
diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran utang. Disamping itu barang milik negara
atau barang pihak lain yang dikuasai negara yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan tidak dapat disita.
17. Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, BLU tetap menyusun anggaran untuk digabungkan
dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian negara/lembaga maupun APBN. Pendapatan
dan belanja yang dilakukan dilaporkan dalam laporan keuangan kementerian negara/lembaga
yang membawahinya dan dikonsolidasikan dalam laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dapat dikelola
sepenuhnya untuk pelayanan kepada masyarakat,
18. Penyelenggara negara wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, yang
diwakili oleh DPR, berupa akuntabilitas keuangan (financial accountability) dan akuntabilitas
kinerja (performance accountability). Laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN
berupa Laporan Keuangan. Laporan keuangan setidak-tidaknya terdiri dari: Neraca, Laporan
Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas dan Catatan atas laporan Keuangan. Laporan keuangan
yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN adalah laporan
keuangan yang telah diaudit BPK RI. Laporan keuangan ini paling lambat disampaikan ke
DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan keuangan dilampiri dengan Laporan
Kinerja dan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara dan badan lainnya. Laporan
keuangan disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung jawab atau Statement Of Responsibility
(SOR).
19. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan pedoman umum dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangan. Kesesuaian laporan keuangan dengan SAP mencerminkan
tingkatan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu
penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan SAP merupakan salah satu
kriteria bagi BPK RI dalam memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
20. Sistem akuntansi pemerintahan merupakan rangkaian secara sistematik dari prosedur,
penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis
transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi pemerintah. Sistem
akuntansi ini disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sistem akuntansi
Pemerintah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku untuk seluruh kementerian
negara/lembaga.
21. Lembaga yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan Pemerintah adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan
yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan dan pemeriksaan
atas tanggung jawab keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara.
22. BPK diberikan kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu: pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hasil pemeriksaan
dengan tujuan tertentu adalah kesimpulan. Dalam hal pemeriksaan investigatif, apabila
diketemukan adanya indikasi tindak pidana atau tindakan yang membawa dampak pada
kerugian negara, BPK segera melaporkannya kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
23. BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan pemeriksaan. Kemandirian
ini termasuk dalam perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, maupun penyusunan
dan penyajian laporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam perencanaan mencakup penetapan
obyek pemeriksaan (auditee), kecuali untuk obyek pemeriksaan yang telah diatur dalam
undang-undang atau berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan. Hasil
pemeriksaan BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) segera setelah
berakhirnya pemeriksaan. LHP ini disampaikan kepada lembaga perwakilan sesuai dengan
kewenangannya. Di samping itu pada saat yang bersamaan, LHP ini juga disampaikan kepada
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk ditindaklanjuti. Hasil pemeriksaan BPK akan
digunakan oleh pemerintah untuk melakukan koreksi atau melakukan penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan.
24. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam UU
APBN. Dalam UU 17/2003 ditegaskan bahwa menteri/pimpinan lembaga ataupun pimpinan
unit organisasi yang melakukan penyimpangan program/kegiatan dikenakan sanksi. Sanksi di
sini dapat berupa sanksi administratif, pidana, atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya terhadap pejabat negara, pegawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung maupun
tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian. Disamping
itu terdapat prinsip yang berlaku universal bahwa siapa yang diberi wewenang untuk
menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga, atau barang
milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas kekurangan yang terjadi dalam
pengurusannya.
Bahan Evaluasi
1. Jelaskan pengertian dan cakupan keuangan negara berdasarkan pasal 2 UU 17/2003 !
2. Jelaskan pendelegasian kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara !
3. Sebutkan prinsip-prinsip penting dalam pembangunan nasional !
4. Apa manfaat perencanaan dalam proses dalam pengelolaan keuangan negara ?
5. Jelaskan sistem perencanaan pembangunan nasional !
6. Apa yang dimaksud dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan jelaskan
tahapan penyusunan RPJP!
7. Apa yang dimaksud dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan jelaskan
tahapan penyusunan RPJM !
8. Apa yang dimaksud dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (K/L) dan jelaskan
tahapan penyusunannya !
9. Jelaskan Rencana Pembangunan Jangka Tahunan dan jelaskan tahapan penyusunannya!
10. Jelaskan Rencana Kerja Anggaran kementerian / lembaga (RKA-K/L) dan jelaskan tahapan
penyusunannya!
11. Jelaskan apa yang dimaksud Standar Akuntansi Pemerintahan !
12. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan keuangan Pemerintah !
13. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan kinerja Pemerintah !
14. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu !
15. Jelaskan bagaimana hasil pemeriksaan BPK dan tindak lanjutnya !
BAB 3 ANGGARAN

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan akan dapat memahami dan
menjelaskan konsep dasar tentang :
a. Anggaran, fungsi anggaran, prinsip-prinsip, aspek penganggaran serta siklus anggaran
b. Anggaran sebagai pernyataan kebijakan, target fiskal, dan alat pengendalian
c. Sistem penganggaran di Indonesia dan landasan hukum pelaksanaan anggaran
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan siklus APBN
e. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
f. Struktur anggaran dan klasifikasi anggaran

A. Pendahuluan
Alat utama kebijakan fiskal adalah anggaran. Anggaran merupakan alat ekonomi terpenting
yang dimiliki pemerintah untuk mengarahkan perkembangan sosial dan ekonomi, menjamin
kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Aliran uang yang terkait dengan
aktivitas pemerintahan akan mempengaruhi harga, lapangan kerja, distribusi pendapatan,
pertumbuhan ekonomi, dan beban pajak yang harus dibayar atas pelayanan yang diberikan
pemerintah.
Pada dasarnya anggaran perlu disusun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki
pemerintah, dalam hal ini adalah dana. Karena terbatasnya dana, maka diperlukan alokasi sesuai
dengan prioritas dan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Anggaran negara (state budget) menurut John F. Due dalam ”Government Finance and
Economic Analysis” adalah: ”A budget, in the general sense of the term, is a financial plan for a
spesific period of time. A government budget therefore, is a statement of proposed expenditures
and expected revenues for the coming period, together with data of actual expenditures and
revenues for current and past period.”
Sedangkan menurut Wildavsky, anggaran adalah catatan masa lalu; rencana masa depan;
mekanisme pengalokasian sumber daya; metode untuk pertumbuhan; alat penyaluran pendapatan;
mekanisme untuk negosiasi; harapan-aspirasi-strategi organisasi; satu bentuk kekuatan kontrol;
alat atau jaringan komunikasi. Adapun definisi anggaran menurut Mardiasmo, adalah estimasi
kinerja yang hendak dicapai.
Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan
legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan
pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang
diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. Dengan demikian, anggaran
mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah dan memberi landasan bagi upaya perolehan
pendapatan dan pembiayaan oleh pemerintah untuk suatu periode tertentu yang biasanya
mencakup periode tahunan. Namun, tidak tertutup kemungkinan disiapkannya anggaran untuk
jangka waktu lebih atau kurang dari setahun.
B. Fungsi Anggaran
Anggaran mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu:
1. Sebagai alat perencanaan untuk mencapai tujuan organisasi
Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk merumuskan tujuan serta sasaran
kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan, merencanakan berbagai program
dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber
pembiayaannya, mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah
disusun, dan menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
2. Sebagai alat pengendalian
Anggaran menjadi landasan pengendalian yang memiliki konsekuensi hukum. Anggaran
merupakan alat untuk memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau
kegiatan pemerintah. Sebagai instrumen pengendalian, anggaran digunakan untuk
menghindari adanya overspending, underspending dan salah sasaran (misappropriation)
dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas.
Pengendalian anggaran dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu:
a. Membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan;
b. Menghitung selisih anggaran (favourable dan unfavourable variances);
c. Menemukan penyebab yang dapat dikendalikan (controllable) dan tidak dapat
dikendalikan (uncontrollable) atas suatu varian;
d. Merevisi standar biaya atau target anggaran untuk tahun berikutnya.
3. Sebagai alat kebijakan fiskal
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menstabilkan ekonomi
dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran merupakan target fiskal yang
menggambarkan keseimbangan antara belanja, pendapatan, dan pembiayaan yang diinginkan.
4. Sebagai alat politik
Anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan
legislatif atas penggunaan dana untuk kepentingan tertentu.
5. Sebagai alat koordinasi dan komunikasi
Anggaran merupakan alat koordinasi dan komunikasi antar bagian dalam pemerintahan.
Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu
unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi
6. Sebagai alat penilaian kinerja
Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi
pelaksanaan anggaran. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan
penilaian kinerja.
7. Sebagai alat motivasi
Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan stafnya agar bekerja
secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
8. Sebagai alat untuk menciptakan ruang
Kabinet, birokrat, dan lembaga perwakilan masyarakat. Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi,
dan berbagai organisasi kemasyarakatan harus terlibat dalam proses penganggaran.
C. Prinsip-prinsip dan Aspek penganggaran
Anggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan alokasi sumber
daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran
pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan,
rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik.
1. Prinsip Anggaran
Secara umum, prinsip-prinsip penganggaran adalah sebagai berikut:
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
b. Disiplin Anggaran
c. Keadilan Anggaran
d. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
e. Disusun dengan pendekatan kinerja
Penganggaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program
dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran dimulai ketika perumusan strategi dan
perencanaan strategik telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil
perumusan strategi dan perencanaan strategik yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi
sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat
menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan managerial plan for action
untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.

2. Aspek-aspek anggaran
Aspek-aspek anggaran yang harus tercakup meliputi:
(1) aspek perencanaan;
Untuk menetapkan kehendak pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan memanfaatkan sumber daya dan dana untuk mendukung kegiatan pembangunan jangka
panjang dalam bentuk anggaran tahunan
(2) aspek pengendalian;
Digunakan sebagai alat pengendalian yang efektif, dan harus dilakukan secara melekat (built
in control) dalam tubuh organisasi atas berlangsungnya pelaksanaan kegiatan dan
(3) aspek akuntabilitas dan evaluasi.
Kinerja dapat diukur secara periodik maupun insidentil :
a) Apakah sudah sesuai dengan rencana anggaran.
b) Apakah tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan.
c) Apakah telah memenuhi 3E (efisiensi, ekonomis, efektif)

Penganggaran harus diawasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Proses
penganggaran akan lebih efektif jika diawasi oleh lembaga pengawas khusus (oversight body)
yang bertugas mengontrol proses perencanaan dan pengendalian anggaran.

D. Siklus Anggaran
Siklus anggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas:
1. Tahap Persiapan Anggaran (Budget Preparation)
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan
yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum
menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan
secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika
anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang
anggaran pengeluaran.
Dalam persoalan estimasi, yang perlu mendapat perhatian adalah terdapatnya faktor
“uncertainty” (tingkat ketidakpastian) yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, manajer keuangan
harus memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata anggaran. Besarnya suatu mata
anggaran sangat tergantung pada sistem angggaran yang digunakan. Besarnya mata anggaran
pada suatu anggaran yang menggunakan “line-item budgeting,” akan berbeda pada “input-
output budgeting,” “program budgeting,” atau “zero based budgeting”.

2. Tahap Ratifikasi Anggaran (Budget Ratification)


Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat.
Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki “managerial skill” namun juga harus
mempunyai “political skill,” “salesmanship,” dan “coalition building” yang memadai.
Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal
tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan
untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan
dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.

3. Tahap Pelaksanaan Anggaran (Budget Implementation)


Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah dimilikinya sistem (informasi)
akuntansi dan sitem pengendalian manajemen. Manajer keuangan bertanggung jawab
menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan pengendalian
anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran
periode berikutnya. Sistem akuntansi yang baik meliputi pula dibuatnya sistem pengendalian
internal yang memadai.

4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran (Reporting and Evaluation)


Tahap persiapan, ratifikasi, dan implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional
anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika
tahap implemetasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian
manajemen yang baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak akan
menemui banyak masalah.

E. Sistem Penganggaran di Indonesia dan Landasan Hukum Pelaksanaan Anggaran


Setiap tahun pemerintah menghimpun dan membelanjakan dana melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara formal
mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang dikelola pemerintah pusat. Oleh
karena mengacu pada anggaran yang dikelola pemerintah pusat, maka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Pemerintah Daerah (APBD) dan BUMN tidak termasuk APBN. Sesuai dengan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, APBN harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang, dalam hal
ini presiden berkewajiban menyusun dan mengajukan Rancangan APBN (RAPBN) kepada DPR.
Oleh karena itu, proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang
melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR.
Landasan Hukum Anggaran Negara tercantum pada Pasal 23 UUD 1945 Pasal 23 (1) yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 23 (1): Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Pasal 23 (2): Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan
Perwakilan Daerah.
3. Pasal 23 (3): Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Pelaksanaan perencanaan dan penyusunan penganggaran tersebut dijabarkan lebih lanjut
dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 13, 14, dan 15. Pasal
13 dari UU No 17/2003.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada
menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan kewenangan untuk
pengelolaan keuangan didelegasikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya undang-
undang bidang keuangan negara di atas adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur)
yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan perbendaharaan (comptable) yang
berada pada Menteri Keuangan.
Kewenangan administratif meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya
yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan
pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan
realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang
timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) - adalah pejabat yang
diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara - dan pejabat lainnya yang
ditunjuk sebagai BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan
dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut.
Menteri Keuangan selaku BUN adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu
berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan
disini terbatas pada aspek rechmategheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat
terjadinya penerimaaan dan pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang
dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional.
Pembagian kewenangan antara menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya dinyatakan dalam pasal 4
Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan kewenangan
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dijelaskan pada pasal 7 Undang-
Undang No. 1 tahun 2004.
Kuasa Pengguna Anggaran dapat ditunjuk sehubungan dengan kompleksitas kegiatan,
rentang kendali yang luas, jumlah anggaran yang besar, atau karena lokasi kegiatan. Demikian
pula di pemerintah daerah, dapat ditetapkan adanya Kuasa Pengguna Anggaran yang diusulkan
oleh pengguna anggaran dan ditetapkan oleh kepala daerah karena alasan yang sama.
Beberapa kesimpulan penting landasan hukum penyusunan APBN adalah:
1) Pemerintah mengusulkan RAPBN dan DPR membahas usulan pemerintah tersebut dengan hak
untuk melakukan pembahasan, perubahan, dan pemberian persetujuan atau penolakan.
2) Persetujuan APBN oleh DPR yang terinci menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah
bermaksud agar pelaksanaan APBN dengan asas kedisiplinan anggaran tinggi.
3) Dalam rangka itu pula siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran sangat ketat
dan rigid (kaku).
4) Pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh pemerintah (eksekutif) melalui departemen dan
lembaga pengguna anggaran serta diawasi oleh DPR, auditor internal dan eksternal.

F. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Siklus APBN


1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurut UU 17/2003 tentang Keuangan
Negara, merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat yang masa berlakunya dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember tahun berkenaan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan. Anggaran pendapatan merupakan estimasi penerimaan (estimated revenue) yang
diperkirakan akan diterima dalam satu tahun anggaran. Kelompok anggaran pendapatan terdiri
dari penerimaan dalam negeri dan hibah. Anggaran belanja merupakan batas tertinggi pengeluaran
yang dapat dibebankan pada APBN.
Anggaran belanja merupakan pagu anggaran belanja (batas tertinggi pengeluaran yang dapat
dibebankan pada APBN) yang disediakan untuk membiayai program dan kegiatan selama satu
tahun anggaran (appropriation). Apropriasi adalah anggaran yang disetujui DPR yang merupakan
mandat yang diberikan kepada Presiden untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran sesuai tujuan
yang ditetapkan APBN.
Belanja klasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja.
Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan rencana kerja masing-
masing kementerian/lembaga. Selain jenis belanja di atas, terdapat kelompok belanja ke daerah
yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan suatu dokumen yang sangat
penting artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara. Undang-Undang APBN
mencerminkan otorisasi yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Pemerintah
untuk melaksanakan program-program pembangunan dalam batas-batas anggaran yang telah
ditetapkan. Undang-undang APBN inilah yang mengatur program dan kegiatan yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah dalam suatu tahun anggaran. Selanjutnya Undang-Undang APBN
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN, yang dalam istilah
keuangan Negara dikenal sebagai apportionment. Peraturan Presiden dimaksud diperlukan sebagai
landasan operasional bagi Pemerintah untuk melaksanakan APBN.
Dalam rangka menjaga agar APBN dapat dilaksanakan secara tepat waktu maka dalam
Undang-Undang 17/2003 maupun PP 21/2004 telah ditentukan kalender anggarannya, yaitu
APBN harus sudah diundangkan paling lambat bulan Oktober tahun sebelumnyan demikian
diperlukan agar Pemerintah mempunyai waktu yang cukup untuk menyiapkan dokumen
pelaksanaan anggaran. Demikian pula bagi Pemerintah Daerah, diharapkan dengan ditetapkannya
APBN pada bulan Oktober, mereka dapat menyelesaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah secara tepat waktu.
APBN terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan. Hal
ini mencerminkan bahwa pemerintah menggunakan struktur anggaran defisit (I account). Dengan
pendekatan ini berarti pendapatan tidak harus sama dengan belanja. Selisih antara pendapatan dan
belanja disebut sebagai surplus/defisit. Surplus/defisit tersebut selanjutnya ditutup dengan
transaksi pembiayaan. Dalam kondisi defisit akan digali sumber-sumber pembiayaan untuk
menutupinya, antara lain dengan penarikan pinjaman, maupun divestasi penyertaan modal yang
dimiliki pemerintah. Sebaliknya dalam kondisi surplus pemerintah dapat memanfaatkannya untuk
membayar utang, membentuk dana cadangan, atau melakukan investasi yang bertujuan untuk
menambah pemasukan kas di masa mendatang atau untuk mendapatkan manfaat sosial seperti
penciptaan lapangan kerja.
APBN selalu dinanti oleh berbagai kalangan untuk dikaji sejauh mana kemampuan
pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan dari sumber daya
yang terbatas. Anggaran pemerintah setiap tahun selalu berubah-ubah baik jumlah nominal, jenis
pendapatan dan alokasi belanja, serta proporsi alokasinya. Pada tahun tertentu, pemerintah
memprioritaskan sektor pekerjaan umum, tapi ditahun berikutnya pemerintah memprioritaskan
sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini terjadi diakibatkan berbagai faktor, antara lain
perkembangan politik, dinamika perekonomian dunia/nasional/daerah, peristiwa sosial/alam,
tuntutan masyarakat, dan lain sebagainya.
2. Siklus APBN
Siklus anggaran yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pertanggungjawaban. Adapun siklus APBN dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tahap pendahuluan.
Tahap ini diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain
meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala
prioritas dan penyusunan budget exercise. Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya (misal tahun
anggaran 2014) kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan (misal
tahun 2013). Kemudian pemerintah pusat dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah pusat dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah
pusat bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan
acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.

Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku


pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai, disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun
anggaran yang sedang disusun. RKA-KL tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang
APBN tahun berikutnya. Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN
oleh pemerintah.
2. Tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN.
Tahapan ini dimulai dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota
Keuangan. Pemerintah pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai
dengan nota keuangan dan dokumen–dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan
Agustus tahun sebelumnya. Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan
sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. Selanjutnya akan
dilakukan pembahasan baik antara menteri keuangan dan Panitia Anggaran DPR, maupun
antara komisi-komisi dengan departemen/lembaga teknis terkait. Dalam pembahasan ini DPR
dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran
dalam rancangan undang-undang tentang APBN. Hasil dari pembahasan ini adalah UU APBN,
yang di dalamnya memuat satuan anggaran sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang
tersebut. Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per
departemen/lembaga, sub, program dan proyek/kegiatan.
Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN
dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan pemerintah pusat, maka pemerintah pusat dapat
melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

3. Tahap Pelaksanaan APBN


Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, rincian pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan Peraturan Presiden tentang rincian APBN sebagai Pedoman Pelaksanaan
APBN. Kemudian Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga
agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan
dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN serta mengajukannya kepada Depkeu dan
Bappenas untuk kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan
diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai
Desember.
Dalam dokumen pelaksanaan anggaran diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi,
program, dan rincian kegiatan anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan
rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.Pada
Dokumen pelaksanaan anggaran juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan
umum dalam lingkungan kementerian negara/lembaga.
Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan disampaikan
kepada menteri/pimpinan lembaga, BPK, Gubernur, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur
Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan terkait, Kuasa
Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran.
Pengajuan dana dengan menerbitkan surat perintah membayar oleh masing-masing
penanggungjawab kegiatan kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum
Negara, yang kemudian melaksanakan fungsi pembebanan kepada masing-masing bagian
anggaran serta fungsi pembayaran kepada yang berhak melalui jalur penyaluran dana yang
ditetapkan dengan mekanisme giralisasi.
Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan APBN adalah Surat Keputusan
Otorisasi/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Surat Permintaan Pembayaran, Surat Perintah
Membayar, dan Surat Perintah Pencairan Dana.
Dalam Pelaksanaan APBN tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat menyusun laporan
realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, kemudian
disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang
bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah pusat.
Sesuai azas flexibilitas anggaran, untuk mengakomodasi kondisi riil yang dapat saja
berbeda dengan yang diasumsikan pada saat penyusunan anggaran, pada tahun berjalan dapat
dilakukan revisi APBN yang dikenal dengan APBN-Perubahan (APBN-P). Penyesuaian
APBN dengan perkembangan dan atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan
pemerintah pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran
yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam
APBN;
b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja;
d. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk
pembiayaan anggaran yang berjalan.
Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, pemerintah pusat mengajukan rancangan
undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan, untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang tidak tersedia
anggarannya. Apabila pengeluaran tersebut terjadi sebelum APBN-P maka pengeluaran ini
dimasukkan dalam APBN-P dan dilaporkan di Laporan Realisasi Anggaran disertai penjelasan.
Apabila pengeluaran terjadi setelah APBN-P diundangkan, maka pengeluaran ini dilaporkan
dalam Laporan Realisasi Anggaran disertai dengan penjelasan.
Apabila pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai dilaksanakan
atau anggaran belum terserap, tidak dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya kecuali ada
kebijakan pemerintah untuk luncuran APBN. Namun demikian, berhubung APBN hanya
berlaku untuk periode satu tahun, maka apabila ada kebijakan luncuran APBN wajib
dimasukkan dalam APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2004, sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara, Pemerintah memberikan Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.Laporan keuangan yang disampaikan
ke DPR adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK. Laporan keuangan tersebut
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Untuk penyusunan LKPP, setiap Kementerian/Lembaga sebagai pengguna
anggaran/barang wajib menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Presiden yang berupa
Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Kementerian/Lembaga merupakan entitas pelaporan sehingga terhadap laporan keuangannya
dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan
keuangan.
4. Tahap pengawasan APBN.
Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional
baik eksternal maupun internal pemerintah. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan
APBN dilakukan oleh atasan kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga
menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN yang dilakukan kepala
kantor/satuan kerja dalam lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan
pemeriksaaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga melakukan
pengawasan atas pelaksanaan APBN yang dilakukan kantor/satuan kerja dalam lingkungan
departemen/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Mengenai hasil
pemeriksaan Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga tersebut
disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan. Inspektur Jenderal
departemen/pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat
mengenai pelaksanaan APBN.
Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan yang
dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan
secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian laporan
semester I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester I tahun
anggaran yang bersangkutan atau sekitar bulan Juli. Laporan tersebut harus pula
mencantumkan prognosa untuk semester kedua dengan maksud agar DPR dapat
mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN perubahan untuk tahun anggaran
bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut dibahas dalam rapat kerja
antara panitia anggaran dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan tidak
langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBN
kepada DPR. Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab pemerintah
dalam melaksanakan APBN.

5. Tahap Pertanggungjawaban APBN.


Pada tahap pertanggungjawaban, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di lingkungan
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berupa laporan keuangan yang meliputi
laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri laporan
keuangan badan layanan umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing.
Laporan keuangan kementerian negara/lembaga oleh menteri/pimpinan lembaga
disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Kemudian Menteri Keuangan menyusun rekapitulasi laporan keuangan seluruh
instansi kementerian negara. Selain itu, Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara
menyusun laporan arus kas, dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah pusat dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan
perusahaan negara.
Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada Presiden dalam
memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Presiden menyampaikan laporan
keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya dua
bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima oleh BPK dari pemerintah.
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-jawaban
pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Mengenai bentuk dan isi laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah.

G. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


1. Definisi
1) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil
Ditjen Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
2) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut KPPN adalah instansi
vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
3) Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan pemerintahan.
4) Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke Bendahara Umum Negara.
5) Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari Bendahara Umum Negara
6) Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disebut Rekening KUN adalah rekening
tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan atau membayar seluruh
pengeluaran negara pada Bank/ Sentral Giro yang ditunjuk.
7) Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut SPM adalah dokumen yang diterbitkan
oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
8) Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang
diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan
pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
9) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-UP adalah surat
perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
untuk pekerjaan yang akan dilaksanakan dan membebani MAK transito.
10) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-TUP
adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi pagu uang persediaan dan membebani MAK
transito.
11) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-
GUP adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran /Kuasa
Pengguna Anggaran dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk
menggantikan uang persediaan yang telah dipakai.
12) Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah surat perintah
membayar langsung kepada pihak ketiga yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah kerja lainnya.
13) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut
SPM-GUP Nihil adalah surat perintah membayar penggantian uang persediaan nihil yang
diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk selanjutnya disahkan
oleh KPPN.
14) Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut TUP adalah uang yang diberikan
kepada satker untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam satu bulan melebihi pagu UP
yang ditetapkan.
15) Uang Persediaan yang selanjutnya disebut UP adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu
yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk
membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan
pembayaran langsung.

2. Pengertian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Salah satu pendekatan yang digunakan dalam refomasi manajemen keuangan Negara adalah
“let the managers manage”. Dengan pendekatan ini kepada pengguna anggaran diberikan
fleksibilitas untuk melaksanakan anggaran. Untuk melaksanakan anggaran diperlukan dokumen
pelaksanaan anggaran memuat alokasi anggaran yang disediakan kepada pengguna anggaran.
Alokasi anggaran pendapatan disebut Estimasi pendapatan yang dialokasikan dan alokasi
anggaran belanja disebut allotment. Otorisasi Kredit Anggaran (allotment) adalah dokumen
pelaksanaan anggaran yang menunjukkan bagian dari apropriasi yang disediakan bagi instansi dan
digunakan untuk memperoleh uang dari Bendahara Umum Negara guna membiayai pengeluaran-
pengeluaran selama periode otorisasi tersebut. Dokumen pelaksanaan anggaran di Pemerintah
Pusat disebut Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sedangkan di Pemerintah daerah disebut
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD).
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA atau dokumen lain
yang dipersamakan dengan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga atau Satuan Kerja (satker) serta disahkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama
Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan
akuntansi pemerintah.
Pengguna anggaran diberikan kewenangan untuk menyusun DIPA sesuai dengan program
dan kegiatan yang telah ditetapkan serta plafon anggaran yang telah disediakan. Dengan
mekanisme yang demikian maka kepada para pengguna anggaran diberikan fleksibilitas yang
seluas-luasnya untuk mengatur anggarannya, dituangkan dalam DIPA sesuai dengan kebutuhan.
Namun demikian mekanisme check and balance tetap dilaksanakan sehingga DIPA yang
disusun oleh pengguna anggaran tidak serta merta langsung diberlakukan, namun harus dibahas
dulu dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Pelaksanaan
Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memperoleh pengesahan. Pembahasan ini
merupakan pelaksanaan fungsi pengendalian, dilakukan untuk meyakini bahwa DIPA disusun
sesuai dengan Undang-Undang APBN serta menggunakan standar harga yang wajar sesuai dengan
ketentuan.
Pada Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di pasal 4 ayat 2
huruf a disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna
barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang menyusun dokumen
pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan anggaran atau APBN, maka
Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas penyusunan kegiatan dan perhitungan biaya
yang tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran Kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya. Kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut dilimpahkan kepada kepala
satuan kerja (satker) pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal tertentu/satker
sementara dan dikuasakan kepada gubernur untuk menunjuk satker perangkat daerah selaku kuasa
pengguna anggaran.
Anggaran dalam DIPA diklasifikasikan terinci sampai organisasi, fungsi, sub fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja. Dengan demikian maka azas spesialitas benar-benar
digunakan di sini, yaitu anggaran secara spesifik disediakan untuk membiayai kegiatan tertentu
dan tidak dapat digeser tanpa mekanisme revisi DIPA sesuai dengan ketentuan.
Sehubungan dengan diberlakukannya manajemen keuangan dalam pengelolaan keuangan
Negara maka setiap pengguna anggaran wajib menyusun rencana penarikan dana untuk setiap
progam/kegiatan yang ada dalam DIPA. Hal yang sama berlaku untuk penerimaan, yaitu rencana
penerimaan pendapatan juga disiapkan jika penguna anggaan tersebut mempunyai alokasi
anggaran pendapatan. Informasi tentang rencana penarikan dana serta rencana penerimaan ini
diperlukan oleh Bendahara Umum Negara untuk menyusun anggaran kas. DIPA tersebut disusun
atas dasar peraturan presiden tentang rincian APBN.
Konsep DIPA yang telah selesai disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran satker disampaikan
kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan kepada Kepala Kanwil DJPB
untuk DIPA daerah. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara menelaah kesesuaian konsep DIPA dengan rincian APBN yang
ditetapkan dalam peraturan presiden dan kemudian mengesahkan DIPA pusat. Sedangkan Kepala
Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan selaku BUN menelaah kesesuaian konsep DIPA
dengan rincian APBN yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan kemudian mengesahkan
DIPA daerah.
Apabila dalam batas waktu yang ditentukan (akhir tahun anggaran) Kuasa Pengguna
Anggaran satker belum menyampaikan konsep DIPA, maka Direktur Jenderal Perbendaharaan
atau Kepala Kanwil DJPB tetap menerbitkan Surat Pengesahan DIPA yang dilampiri konsep DIPA
(sementara) yang dibuat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB
berdasarkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) dan rencana kerja anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL) atau peraturan presiden tentang rincian APBN. Dalam hal
DIPA (sementara) ini dapat dipakai sebagai dasar penerbitan surat perintah membayar dengan
ketentuan bahwa dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai, pengeluaran
keperluan sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana
untuk jenis pengeluaran lainnya harus diblokir.
Dalam DIPA terdapat dua dokumen yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga
bersangkutan dan dokumen surat pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB atas nama menteri keuangan selaku bendahara umum
negara.
Suatu hal yang perlu diingat dalam anggaran adalah digunakannya pendekatan anggaran
berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja mengamanatkan bahwa anggaran dialokasikan
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah output
atau outcome yang dihasilkan atau akan dihasilkan dari pelaksanaan suatu kegiatan atau program.
Dengan demikian maka dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu adanya informasi tentang
indikator kinerja berikut target yang akan dicapai dari suatu kegiatan atau program dengan dana
yang disediakan dalam anggaran.

Pada Pemerintah Pusat, pelaksanaan APBN dimulai dengan diterbitkannya DIPA. Dalam
rangka menjaga agar anggaran dapat dimulai segera pada awal tahun anggaran maka DIPA harus
diselesaikan dalam bulan Desember tahun sebelumnya. Segera setelah suatu tahun anggaran
dimulai, maka DIPA harus segera diterbitkan untuk dibagikan kepada satuan-satuan kerja sebagai
pengguna anggaran pada kementerian/lembaga.
Seperti pada Pemerintah Pusat, pada pemerintah daerah pun digunakan mekanisme yang
sama dengan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di daerah. Setelah terbit
Peraturan Daerah tentang APBD, SKPD wajib menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA). Dengan demikian maka fleksibilitas penggunaan anggaran diberikan kepada Pengguna
Anggaran. DPA disusun secara rinci sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja disertai indikator kinerja. Dokumen ini disertai dengan rencana penarikan dana untuk
mendanai kegiatan dan apabila dari kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan maka rencana
penerimaan kas juga dilampirkan. DPA disampaikan kepada kepala SKPKD untuk dimintakan
pengesahan.
Jika DIPA bagi kementerian/lembaga sudah dapat dijadikan dokumen untuk segera
melaksanakan anggaran Pemerintah Pusat, pada pemerintah daerah masih diperlukan Surat
Penyediaan Dana (SPD). SPD merupakan suatu dokumen yang menyatakan tersedianya dana
untuk melaksanakan kegiatan. SPD ini diperlukan untuk memastikan bahwa dana yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan telah tersedia pada saat kegiatan berlangsung. Setelah DPA dan SPD
terbit, maka masing-masing satuan kerja wajib melaksanakan kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya.

3. Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Penyusunan DIPA adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kantor/ satuan kerja
kementerian negara/lembaga dalam mempersiapkan konsep DIPA yang akan dimintakan
pengesahannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA kantor pusat atau Kepala
Kanwil DJPB untuk DIPA daerah.
DIPA yang disusun oleh kementerian negara/lembaga harus mengacu kepada rencana kerja
dan anggaran (RKA-KL) dan mengacu kepada rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) dan
berpedoman pada peraturan presiden tentang rincian APBN yang merupakan alokasi dana pada
masing-masing satuan kerja dalam mencapai sasaran kegiatan yang telah ditetapkan. Khusus untuk
Departemen Agama, Keuangan, Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan
Badan Pertanahan Nasional, DIPAnya disusun untuk masing-masing propinsi/kantor wilayah atau
yang setara.
Kementerian negara/lembaga dalam menyusun konsep DIPA harus mengacu kepada APBN
yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai dengan peraturan presiden tentang
rincian APBN, maka struktur penganggaran dalam DIPA harus terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan lokasi. Kegiatan pada
prinsipnya disusun dengan mengacu kepada rencana pembangunan jangka menengah nasional,
rencana kerja pemerintah, rencana strategis kementerian negara/lembaga dan program prioritas
pendukung kementerian negara/ lembaga.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan rumusan kegiatan, antara lain:
(1) Penentuan suatu kegiatan didasarkan atas program dalam satu lingkungan unit eselon I.
Instansi pusat pada dasarnya melakukan kegiatan yang bersifat pembinaan, koordinasi,
integrasi, sinkronisasi pada setiap tahapan manajemen atau melakukan kegiatan rintisan dalam
rangka pengembangan sistem tertentu dengan lingkup nasional.
Untuk kegiatan-kegiatan non fisik yang karena sifat dan permasalahannya memerlukan
keterpaduan sistem pada tingkat nasional dapat dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai
kegiatan pusat.
(2) Untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pembangunan, perluasan, perawatan atau pemeliharaan
sarana fisik/gedung dan atau pengadaan barang/jasa yang kegiatannya secara nyata berada di
daerah propinsi/kabupaten/kota agar dialokasikan ke daerah yang bersangkutan dengan cara
mengintegrasikan kegiatan dimaksud kedalam kegiatan di daerah yang sejenis pada program
yang sama menjadi kegiatan atau unsur kegiatan. Apabila tidak ada kegiatan yang sejenis yang
menampungnya dapat diciptakan kegiatan baru yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi
pengalokasian dana ke daerah propinsi/kabupaten/kota, maka pengadaan barang/jasa tersebut
tidak diperkenankan dilaksanakan oleh unit eselon I di pusat.
(3) Kegiatan operasional yang merupakan kegiatan lanjutan, pada waktu menyusun anggaran yang
direncanakan perlu dicantumkan prakiraan maju untuk tahun berikutnya. Kegiatan lanjutan
adalah kegiatan terusan dari kegiatan tahun sebelumnya yang jangka waktu penyelesaiannya
lebih dari satu tahun anggaran, termasuk kegiatan - kegiatan yang merupakan bagian dari suatu
rencana induk (master plan) dan kegiatan - kegiatan yang penyelesaiannya memerlukan waktu
lebih dari satu tahun (multi years).
Pengalokasian anggaran untuk belanja barang mengacu pada standar biaya yang telah
ditetapkan. Sedangkan pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang belum ditetapkan standar
biayanya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Belanja (RAB) yang ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang, dengan memperhatikan harga pasar yang berlaku dan dapat
dipertanggunjawabkan sesuai jenis serta spesifikasi yang diperlukan. Perhitungan dan penilaian
belanja modal dilakukan berdasarkan standar biaya sepanjang telah ditetapkan. Sedangkan
penilaian atas pekerjaan yang belum ditetapkan dalam standar biaya dilakukan atas dasar Rincian
Anggaran Biaya (RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga
pasar yang berlaku dan jenis serta spesifikasi yang diperlukan.

4. Penelaahan Konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Pada pasal 7 ayat (2) huruf b Undang - undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan
disebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara berwenang mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dengan menerbitkan surat pengesahan DIPA (SP
DIPA). Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan mempercepat proses penerbitan SP DIPA di
daerah, maka kewenangan Direktur Jenderal Perbendaharaan tersebut didelegasikan kepada
Kepala Kantor Wilayah DJPb.
Pada awal bulan Nopember, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan
menetapkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) atas dasar peraturan presiden tentang rincian
APBN yang secara nyata kegiatannya berlokasi di daerah. SRAA tersebut memuat kutipan
peraturan presiden tentang rincian APBN sesuai dengan satuan kerja di daerah. Sebelum
mengesahkan konsep DIPA yang diterima dari kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga,
DJPb maupun Kanwil DJPb melakukan kegiatan penelaahan terhadap konsep DIPA tersebut.
Pengertian penelaahan adalah proses pencocokan SRAA, peraturan presiden tentang rincian
APBN (menurut organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, serta
lokasi kegiatan/sub kegiatan) dari Direktur Jenderal Anggaran dengan konsep DIPA dari instansi
kementerian negara/ lembaga/satuan kerja terkait. Proses penelaahan DIPA sampai dengan
penetapan SP DIPA harus telah diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember
sebelum tahun anggaran berjalan.
Tujuan penelaahan adalah untuk memperoleh kesesuaian DIPA yang akan ditetapkan dengan
dokumen resmi yang menjadi dasar penyusunannya. Apabila penelaahan konsep DIPA tersebut
telah sesuai dengan SRAA dan rincian peraturan presiden selanjutnya ditetapkan SP DIPA yang
ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA Pusat dan Kepala Kanwil DJPb
untuk DIPA yang telah ditelaah di daerah. SP DIPA dan konsep DIPA tersebut menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan disebut DIPA. Pengesahan ini berlaku sebagai dasar pencairan
dana oleh KPPN, sedangkan tanggungjawab terhadap perhitungan biaya dan penggunaan dana
yang tertuang dalam DIPA sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran.
5. Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
Apabila dalam pelaksanaan DIPA terdapat hal-hal yang mengharuskan adanya perubahan isi
yang tercantum dalam DIPA, maka satker kementerian negara/lembaga dapat mengajukan revisi
DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA Pusat atau Kepala Kanwil DJPb
untuk DIPA daerah untuk memperoleh pengesahannya. Mengenai pengesahan revisi DIPA ini ada
yang langsung diputuskan oleh Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil
Ditjen PBN, namun ada yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari Direktur
Jenderal Anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Revisi DIPA yang disahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur
Pelaksanaan Anggaran setiap bulan beserta seluruh ADK baik yang dilaporkan revisinya maupun
yang tidak direvisi. Dalam rangka memperoleh data yang akurat, Direktorat Jenderal Anggaran,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Satuan Kerja melakukan pemutakhiran data anggaran
berdasarkan revisi DIPA yang telah disahkan.

H. Struktur Anggaran dan Klasifikasi Anggaran


1. Struktur Anggaran
Anggaran terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan.
Struktur anggaran tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Pendapatan .....................
b. Belanja .....................
c. Surplus/Defisit (a – b) .....................
d. Pembiayaan: .....................
Penerimaan Pembiayaan (d1) .....................
Pengeluaran Pembiayaan (d2) .....................
Pembiayaan Neto (d1 – d2) .....................
e. Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran
(SILPA/SIKPA) (c – d) .....................

2. Pendapatan Negara
a. Definisi Pendapatan Negara
Pendapatan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara yang menambah
ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, yang menjadi hak
pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.
Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa pemerintah pusat
mempunyai berbagai hak, yang salah satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber-sumber
penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja/pengeluaran negara yang berkaitan
dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai penerimaan
negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 diberikan pengertian
bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
Dikatakan masuk ke kas negara mengandung makna tercatat dalam akuntansi / pembukuan kas
negara atau kas umum negara. Dengan demikian pendapatan negara adalah semua penerimaan kas
negara/kas umum negara (uang pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah
ekuitas dana dalam periode satu tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat.
Dalam sistem APBN, pendapatan/penerimaan negara mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan/ penerimaan negara sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler) dalam
arti bahwa pendapatan/penerimaan negara sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, setiap pemungutan pendapatan/penerimaan negara oleh pemerintah pusat
maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dari masyarakat, maka
setiap pungutan pendapatan/penerimaan negara harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara berdasarkan keadilan yaitu sesuai dengan tujuan
hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan
pemungutan secara umum dan merata serta pelaksanaan pemungutan pendapatan/penerimaan
negara tidak membeda-bedakan.
(2) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus berdasarkan undang-undang.
(3) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak mengganggu perekonomian.
(4) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
(5) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus efisien yaitu sesuai fungsi budgetair, biaya
pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus dapat ditekan lebih rendah dari hasil
pemungutannya.
(6) Sistem pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus sederhana yaitu akan memudahkan
dan mendorong masyarakat (perorangan atau badan) dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Yang dimaksud dengan pendapatan negara yaitu semua penerimaan yang berasal dari
penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri
dan luar negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan. Semua penerimaan dan pengeluaran
negara dilakukan melalui rekening kas negara pada bank sentral dan atau lembaga keuangan
lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

b. Jenis-Jenis Penerimaan Negara


Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19 Oktober
2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari Penerimaan Perpajakan,
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja,
Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga.
(1) Penerimaan Perpajakan.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak negara
wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening kas negara pada
bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Orang atau
badan yang melakukan pemungutan pajak atau penerimaan uang negara wajib menyetorkan
seluruh penerimaan dalam batas waktu satu hari kerja setelah penerimaannya ke rekening
kas negara.
Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dan badan-badan lain
yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/anggaran BUMN/BUMD, ditetapkan
sebagai wajib pungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, setiap bendahara, instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD,
dan badan-badan lain sebagai wajib pungut pajak, wajib menyetorkan seluruh penerimaan
pajak yang dipungutnya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu hari kerja setelah uang
pajak diterimanya.
(2) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak
berasal dari penerimaan perpajakan, antara lain sumber daya alam, bagian pemerintah atas
laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Setiap anggaran kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) yang bersifat umum tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan
fungsinya, antara lain seperti penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak
digunakan lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang
negara pada bank pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot
gaji/tunjangan, penerimaan umum tersebut masih ada lagi PNBP yang bersifat fungsional
yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas
jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan
fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada sebagian
besar kementerian negara/lembaga, namun macam dan ragamnya berbeda antara satu
kementerian negara/lembaga dengan kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung
kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.
Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP disebutkan bahwa
seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN. Hal ini berarti bahwa pendapatan negara yang
berasal dari PNBP dikemukakan oleh pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan
dan penyusunan rancangan undang-undang APBN. Selain itu, seluruh penerimaan PNBP
wajib langsung secepatnya ke kas negara, serupa dengan perpajakan. Jadi seluruh
penerimaan PNBP yang disetor ke kas negara berarti telah dibukukan pada setiap saat dalam
satu tahun anggaran serta dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada DPR dalam
laporan keuangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Pada prinsipnya, seluruh jenis dan penyetoran PNBP diatur dengan undang-undang. Namun,
apabila undang-undang belum menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau
memungut PNBP terhutang, maka Menteri Keuangan dapat menunjuk instansi pemerintah
untuk tujuan dimaksud. Instansi pemerintah yang ditunjuk tersebut wajib menyampaikan
kepada Menteri Keuangan secara tertulis dan berkala, yaitu rencana PNBP sekurang -
kurangnya satu kali dalam satu tahun anggaran dan laporan realisasi PNBP sekurang-
kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
Ketentuan tentang tatacara penyampaian laporan realisasi PNBP diatur dalam pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 yang menyebutkan bahwa Satuan
kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan pertanggung-jawaban
penerimaan negara dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran yang dihasilkan melalui
Sistem Akuntansi Instansi.
(3) Penerimaan Hibah.
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan swasta
dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri yang menjadi hak
pemerintah.
Penerimaan hibah dapat berupa uang, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli atau
pelatihan. Sumbangan mengandung arti bahwa hibah tidak perlu dibayar kembali kepada
pemberi hibah. Penerimaan hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah, devisa atau surat
berharga. Penerimaan hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang bergerak seperti
perlatan dan mesin dan barang tidak bergerak seperti gedung dan bangunan. Penerimaan
hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan dan jasa lainnya.
Penarikan hibah luar negeri antara yang satu dengan hibah luar negeri lainnya tidak sama,
karena setiap penarikan sangat tergantung dari naskah perjanjian hibah luar negeri yang
ditandatangani oleh pemerintah pusat dan negara/badan pemberi hibah.
Dalam naskah perjanjian hibah luar negeri biasanya diatur antara lain mengenai jumlah hibah
yang diberikan, prosedur pengadaan barang/jasa memakai local competitive bidding atau
international competitive bidding, tata cara penarikan hibah dan persyaratannya, tanggal
efektif hibah, batas waktu closing date dan lainnya.
(4) Penerimaan Pengembalian Belanja.
Penerimaan Pengembalian Belanja adalah seluruh penerimaan negara yang berasal dari
pengembalian belanja tahun anggaran berjalan.
Penerimaan pengembalian belanja ini dapat terjadi karena kelebihan pembayaran atas belanja
yang dibebankan kepada negara yang diakibatkan kesalahan/kelalaian bendahara
pengeluaran dalam melakukan pembayaran maupun dalam melakukan pembebanan MAK
sehingga atas kelebihan pembayaran tersebut harus disetor ke kas negara.
(5) Penerimaan Pembiayaan.
Penerimaan Pembiayaan adalah semua penerimaan negara yang digunakan untuk menutup
defisit anggaran negara dalam APBN, antara lain berasal dari penerimaan pinjaman dan hasil
divestasi.
(6) Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga
Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
potongan penghasilan pegawai negeri sipil serta setoran subsidi dan iuran pemerintah daerah
dalam rangka penyelengaraan asuransi kesehatan.

c. Penatausahaan Pendapatan/Penerimaan Negara


Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan dalam pelaksanaan anggaran pendapatan
pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga, Menteri/pimpinan lembaga
setiap awal tahun anggaran mengangkat Bendahara Penerima. Tugas kebendaharaan tersebut
meliputi kegiatan menerima, menyimpan, menyetor, menatausahakan dan mempertanggung-
jawabkan penerimaan negara bukan pajak yang berada dalam pengelolaannya. Untuk
melaksanakan tugas tersebut Menteri/pimpinan lembaga dapat membuka Rekening Penerimaan
pada Bank Umum/Kantor Pos setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan selaku
BUN.
Sesuai pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 tahun 2006 dinyatakan bahwa
kementerian negara/lembaga mencantumkan seluruh estimasi pendapatan ke dalam DIPA satuan
kerja kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. DIPA tersebut atau dokumen pelaksanaan
anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA merupakan dokumen sumber untuk mencatat
estimasi pendapatan.
Bendahara Penerima wajib menyetor penerimaan negara setiap akhir kerja ke kas negara dan
wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan Realisasi Penerimaan ke KPPN. Dalam hal
penerimaan negara diterima pada hari libur dan/atau di daerah tersebut tidak terdapat Bank
Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi, maka Bendahara Penerima menyetor penerimaan tersebut
selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya. Yang dimaksud dengan Bank Persepsi adalah
bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penerima setoran penerimaan negara
bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan
bukan pajak. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor. Sedangkan Pos
Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran
penerimaan negara.
Dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, satker yang menerapkan Pengelolaan
Keuangan BLU (PK BLU) diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berupa keleluasaan
untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam mengelola sumber daya serta
keuangannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Satker yang menerapkan PK BLU dapat menggunakan langsung pendapatannya tanpa harus
disetor terlebih ke Kas Negara, dapat mengadakan perjanjian utang piutang, dapat mengadakan
kerjasama operasional dengan pihak lain dan dapat menggunakan surplus untuk tahun berikutnya,
sedangkan bila defisit dapat dimintakan dari APBN, pegawai dapat dari PNS atau non PNS,
Remunerasi sesuai tanggung jawab dan profesionalitas.
Sedangkan terhadap penerimaan negara yang sesuai ketentuan harus disetor ke rekening kas
negara, tata cara penyetoran penerimaan negara yang dapat dilakukan Wajib Pajak/Wajib
Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan dapat dilakukan setiap saat melalui Bank/Pos yang
terhubung dengan MPN. MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur
mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan
pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/ Bendahara
Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal pembayaran.

Selanjutnya KPPN menatausahaan penerimaan negara sesuai peraturan yang berlaku.


Penatausahaan pada KPPN dilakukan oleh Seksi
a. Seksi Bendahara Umum/Seksi Persepsi
b. Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum
c. Seksi Verifikasi dan Akuntansi.
Dokumen yang harus ditatausahakan oleh Bendahara Penerima pada penatausahaan
pendapatan negara pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian/lembaga adalah dokumen
sumber penerimaan yang digunakan sebagai dasar pencatatan penerimaan negara.
Seluruh dokumen sumber penerimaan negara dinyatakan sah setelah mendapat Nomor
transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos
(NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP). NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti
penerimaan negara yang diterbitkan melalui MPN.
NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh
Bank. NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh
Kantor Pos. NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM
yang diterbitkan oleh KPPN. KPPN mengesahkan data penerimaan yang berasal dari potongan
SPM yang sudah diterbitkan SP2D untuk mendapatkan NTPN paling lambat setiap akhir hari
kerja.
Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat Bank/Pos dengan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih dari 1 (satu) hari, maka Bank/Pos wajib
menerima setoran penerimaan negara dan mengadministrasikan penerimaan negara secara off-line
dan memberikan NTB/NTP pada dokumen sumber.
Bendahara Penerima wajib menyetor penerimaan negara setiap akhir kerja ke kas negara dan
wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan Realisasi Penerimaan ke KPPN.

3. Belanja Negara dan Klasifikasi Anggaran Belanja


Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara yang mengurangi
ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh pemerintah.
Anggaran belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk
membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah. Belanja untuk daerah adalah semua
pengeluaran untuk membiayai dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian.
Dana perimbangan adalah semua pengeluaran Negara yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi
hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Semua pengeluaran negara atas beban rekening kas Negara/kas umum negara harus melalui
transfer dana atau pemindahbukuan dana antar rekening bank, termasuk membayar tagihan pihak
ketiga yang dilakukan oleh kantor/satuan kerja kementrian Negara/lembaga. Dengan demikian,
penyaluran dana APBN kepada yang berhak dilakukan transfer dana atau pemindahbukuan dana
langsung dari rekening kas negara/kas umum negara ke rekening yang berhak pada bank.
Pengecualian diberikan untuk pembelian atau pengadaan barang/jasa keperluan kantor/satuan
kerja kementerian negar/lembaga yang nilainya kecil-kecil sampai dengan Rp 10 juta dapat
dibayar melalui uang persediaan yang dikelola Bendahara Pengeluaran.
Belanja pemerintah pusat diklasifikasikan atas belanja pemerintah pusat menurut
organisasi/bagian anggaran, belanja pemerintah pusat menurut fungsi, dan belanja pemerintah
pusat menurut jenis belanja.
1) Klasifikasi Menurut Organisasi
Klasifikasi belanja menurut organisasi artinya anggaran dialokasikan ke organisasi
sesuai dengan struktur organisasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara/Lembaga
(K/L). Suatu K/L bisa terdiri dari unit-unit organisasi (Unit Eselon I) yang merupakan bagian
dari suatu K/L. Dan suatu unit organisasi bisa didukung oleh satuan kerja (Satker) yang
bertanggungjawab melaksanakan kegiatan dari program unit eselon I atau kebijakan
Pemerintah dan berfungsi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Klasifikasi anggaran belanja berdasarkan organisasi menurut K/L disebut Bagian
Anggaran (BA). BA dilihat dari apa yang dikelola dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) jenis.
Pertama, Bagian Anggaran K/L yang selanjutnya disebut BA-KL adalah kelompok anggaran
yang dikuasakan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran. Kedua,
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disebut BA-BUN adalah
kelompok anggaran yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal.
Selanjutnya yang dimaksud dengan unit organisasi pada K/L adalah Unit Eselon I yang
bertanggung jawab atas pencapaian sasaran program/hasil (outcome) dan pengkoordinasian
atas pelaksanaan kegiatan oleh satuan kerja. Sedangkan satuan kerja pada unit organisasi K/L
adalah satker baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja yang memperoleh
penugasan dari unit organisasi K/L. Suatu satker ditetapkan sebagai Kuasa Penguna Anggaran
dalam rangka pengelolaan anggaran.
Klasifikasi menurut organisasi ini tidak disajikan di lembar muka laporan keuangan,
melainkan disajikan di Catatan atas Laporan Keuangan.

2) Klasifikasi Menurut Fungsi


Klasifikasi anggaran menurut fungsi merinci anggaran belanja menurut fungsi dan sub
fungsi sebagai berikut:
a) Fungsi
Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Klasifikasi belanja menurut fungsi
pemerintahan adalah sebagai berikut: Pelayanan Umum, Pertahanan, Ketertiban dan
Keamanan, Ekonomi, Lingkungan Hidup, Perumahan dan Fasilitas Umum, Kesehatan,
Pariwisata dan Budaya, Agama, Pendidikan dan Perlindungan Sosial.
Klasifikasi belanja berdasarkan fungsi diatur dalam penjelasan pasal 11 ayat (5) UU 17
tahun 2003. Klasifikasi fungsi perlu dilihat hubungannya dengan program dan kegiatan
suatu entitas atau satuan kerja. Klasifikasi fungsi ini disajikan dalam Catatan atas Laporan
Keuangan.
b) Subfungsi
Sub fungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi dan terinci ke dalam 79 (tujuh
puluh sembilan) sub fungsi.

Penggunaan fungsi dan sub fungsi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing K/L. Penggunaannya dikaitkan dengan kegiatan yang dilaksanakan, sehingga suatu
program dapat menggunakan lebih dari satu fungsi. Selanjutnya fungsi dan sub-fungsi dijabarkan
lebih lanjut dalam program/kegiatan.
3) Klasifikasi Ekonomi (Jenis Belanja)
Jenis belanja dalam klasifikasi belanja digunakan dalam dokumen penganggaran baik dalam
proses penyusunan anggaran, pelaksanan anggaran, dan pertanggungjawaban / pelaporan
anggaran. Namun penggunaan jenis belanja dalam dokumen tersebut mempunyai tujuan berbeda.
Dalam kaitan proses penyusunan anggaran tujuan penggunaan jenis belanja ini dimaksudkan untuk
mengetahui pendistribusian alokasi anggaran kedalam jenis–jenis belanja.
Berdasarkan karakternya belanja dikelompokkan menjadi Belanja Operasi dan Belanja
Modal. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat
yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja Operasi antara lain meliputi belanja pegawai,
belanja barang non investasi, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja
operasional lainnya.
Dalam penyusunan anggaran (RKA-KL) penggunaan jenis belanja mengacu pada Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) mengenai Bagan Akun Standar (BAS) dengan penjelasan teknis pada
Buletin Teknis Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP).
Jenis-jenis belanja yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL adalah berikut:
1. Belanja Pegawai (51)
Belanja Pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan
kepada pegawai pemerintah (pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan pegawai yang
dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS) yang bertugas di dalam maupun di
luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang
berkaitan dengan pembentukan modal dan/atau kegiatan yang mempunyai output dalam
kategori belanja barang.

2. Belanja Barang (52)


Belanja Barang yaitu pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan
serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat
dan belanja perjalanan. Dalam pengertian belanja tersebut termasuk honorarium yang
diberikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan untuk menghasilkan barang/jasa. Belanja Barang
dapat dibedakan menjadi Belanja Barang (Operasional dan Non Operasional) dan Jasa, Belanja
Pemeliharaan, serta Belanja Perjalanan Dinas.
Belanja Barang terdiri dari :
(a) Belanja Barang Mengikat.
Belanja Barang Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara terus menerus
selama 1 (satu) tahun dan dialokasikan oleh kementerian/lembaga dengan jumlah yang
cukup pada tahun yang bersangkutan. Belanja Barang Mengikat, terdiri atas :
1). Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk
membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti
alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa,
lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non fisik dan secara
langsung menunjang tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan
inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi (nilai satuan
barang kurang dari Rp 300.000,-)
2). Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahan-
kan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal.
Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan gedung dan bangunan
kantor, taman, jalan lingkungan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas dan
lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
3). Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai
perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatan.

(b) Belanja Barang Tidak Mengikat.


Belanja Barang Tidak Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara insidentil
(tidak terus menerus) yang meliputi barang non operasional, belanja jasa (jasa konsultan,
sewa, jasa profesi dan jasa lainnya), belanja pemeliharaan serta belanja perjalanan dinas
dalam rangka pelaksanaan suatu kegiatan/tugas pokok fungsi satuan kerja.

3. Belanja Modal (53)


Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh
atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang
ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-
hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Belanja Modal meliputi :
a. Belanja Modal Tanah.
Seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengadaan/pembelian/ pembebasan/
penyelesaian, balik nama, sewa tanah, pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan
tanah, pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran - pengeluaran lain yang bersifat
administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat
pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap digunakan/pakai.
b. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya
langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin
tersebut siap digunakan. Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan
penggantian yang meningkatkan masa manfaat dan efisiensi peralatan dan mesin.
Pengadaan peralatan kantor yang dialokasikan pada Kegiatan 0002 apabila masuk dalam
nilai kapitalisasi maka dialokasikan pada belanja modal.
c. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan
gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi,
termasuk biaya pengurusan IMB, notaris dan pajak (kontraktual).
d. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai
meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai. Dalam belanja ini
termasuk biaya untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat dan
efisiensi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan. Dalam kriteria ini termasuk biaya yang
berhubungan dengan perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan prasarana
dan sarana tersebut di atas.
e. Belanja Modal Pemeliharaan yang dikapitalisasi
f. Belanja Modal Fisik Lainnya
Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk
pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam
perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan,
Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa
beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang
purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak selain untuk dijual dan
diserahkan kepada masyarakat, buku-buku dan jurnal ilmiah.

4. Bunga Utang (54)


Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal
outstanding), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan
posisi pinjaman. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran
BUN.

5. Subsidi (55)
Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang
memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat
hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada perusahaan negara dan
perusahaan swasta. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran
BUN.

6. Hibah (56)
Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada pemerintah
atau pemerintah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan, yang
secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta
tidak secara terus menerus.

7. Bantuan sosial (57)


Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung
diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk didalamnya
bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan.

8. Belanja lain-lain (58)


Belanja lain-lain yaitu pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang tidak dapat diklasifikasikan
ke dalam jenis belanja pada butir 1 (satu) sampai dengan 8 (delapan) tersebut di atas.
4). Prinsip-prinsip Belanja Negara
Setiap uang yang keluar dari kas Negara harus dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena
itu, pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip pembayaran atas beban
APBN serta tidak melanggar larangan pembebanan belanja negara sesuai aturan yang berlaku.
Pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan;
b. efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap
departemen/lembaga/ pemerintah daerah;
c. mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.
d. belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti
yang sah untuk memperoleh pembayaran.
e. Jumlah dana yang dimuat dalam anggaran belanja negara merupakan batas tertinggi untuk tiap-
tiap pengeluaran.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan poin d. di atas, maka pembayaran baru dapat
dilaksanakan bila barang yang dipesan atau pekerjaan yang diperjanjikan sudah diterima atau
selesai dikerjakan. Dengan kata lain agar dapat dikeluarkan uang dari kas negara harus dapat
memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu :
Pertama : harus bisa dibuktikan keabsahan yang berhak;
Kedua : harus sudah tersedia dananya dalam DIPA;
Ketiga : harus sesuai dengan tujuan alokasi dana yang tercantum pada DIPA.
Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga tidak diperkenankan melakukan tindakan
yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja negara, jika dana untuk membiayai
tindakan tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam anggaran belanja negara.
Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga tidak diperkenankan melakukan
pengeluaran atas beban anggaran belanja negara untuk tujuan lain dari yang ditetapkan dalam
anggaran belanja negara.

4. Transfer ke Daerah
Transfer ke daerah yaitu pengeluaran uang dari suatu entitas pelaporan ke entitas pelaporan
lain, seperti pengeluaran dana perimbangan dan transfer lainnya. Contoh: Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

5. Surplus/Defisit
Surplus/Defisit timbul sehubungan dengan penggunaan anggaran defisit, di mana jumlah
pendapatan tidak sama dengan jumlah belanja. Surplus adalah selisih lebih antara pendapatan dan
belanja selama satu periode pelaporan. Defisit adalah selisih kurang antara pendapatan dan belanja
selama satu periode pelaporan.

6. Pembiayaan
Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan
maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran
pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan/atau memanfaatkan surplus
anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi.
Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok
pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.

7. Pembiayaan Neto
Pembiayaan Neto adalah selisih antara penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran
pembiayaan. Apabila manajemen keuangan pemerintah dilakukan dengan baik maka jumlah
pembiayaan netto ini seharusnya mendekati jumlah surplus/defisit anggaran karena pembiayaan
dimaksudkan untuk memanfaatkan surplus atau menutup defisit anggaran.

8. Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran


Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) adalah selisih lebih antara realisasi penerimaan
dan pengeluaran anggaran selama satu periode pelaporan. Sedangkan Sisa kurang pembiayaan
anggaran (SIKPA) selisih kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama
satu periode pelaporan.
Dalam penyusunan APBN, SILPA/SIKPA akan selalu nihil karena jumlah surplus atau
defisit harus ditetapkan rencana pemanfaatannya atau penutupannya. Namun dalam realisasi
anggaran pada umumnya SILPA akan muncul. Jumlah ini merupakan selisih antara penerimaan
anggaran dikurangi dengan pengeluaran anggaran. Dengan kata lain jumlah ini diperoleh dengan
menjumlahkan surplus/defisit dengan pembiayaan neto.

I. Mekanisme Pencairan Dana


Pada dasarnya alokasi anggaran kepada satuan kerja (DIPA) akan diberikan jika sudah
tersedia alokasinya dalam APBN. Berdasarkan DIPA satuan kerja dapat melakukan kegiatan
perolehan barang/jasa. Barang/jasa yang diperoleh harus diverifikasi kebenarannya. Setelah
diverifikasi barulah dilakukan pembayaran. Urut-urutan tahapan yang harus dilalui dalam
pelaksanaan anggaran belanja tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

PELAKSANAAN ANGGARAN

APBN
PERPRES RINCIAN APBN

DIPA

PESANAN
KOMITMEN

VENDOR

VERIFIKASI
BARANG/JASA

PEMBAYARAN
Dalam pelaksanaan anggaran, pengguna anggaran diberikan kewenangan untuk membebani
anggaran. Sebagai konsekuensinya pengguna anggaran dituntut untuk melakukan verifikasi atau
pengujian atas kebenaran formil maupun materiil atas pelaksanaan anggaran serta
mempertanggungjawabkannya. Apabila verifikasi terhadap belanja telah dilakukan dan sah maka
pengguna anggaran menyampaikan Surat Perintah Membayar ke KPPN. Berhubung mereka harus
mempertanggungjawabkannya maka bukti-bukti pengeluaran tetap disimpan di
kementerian/lembaga dan tidak dikirim ke KPPN. KPPN tetap melakukan pengujian untuk
mengecek ketepatan jumlah, peruntukan, maupun penerimanya. Mekanisme pembayaran ini dapat
dilihat pada gambar berikut:

Mekanisme Pembayaran

Menteri Teknis Menteri Keuangan

PEMBUATAN PENGUJIAN & PERINTAH PENCAIRAN


PENGUJIAN
KOMITMEN PEMBEBANAN PEMBAYARAN DANA

administratief Comptabel beheer


administratief beheer beheer

Proses pengujian yang dilakukan pada pengguna anggaran dan pada Bendahara Umum
Negara dapat dilihat pada gambar berikut:
PENGUJIAN DALAM PELAKSANAAN
PENGELUARAN NEGARA
Menteri Teknis Menteri Keuangan
Selaku Pengguna Anggaran Selaku BUN
Tahapan Administratif Tahapan Komtabel

PEMBUATAN
KOMITMEN

PENGUJIAN CHEQUE

Pengujian :
PENGUJIAN SPM • Substansial :

Pengujian :
•Wetmatigheid
?
•Rechtmatigheid
• Formal
• Wetmatigheid
• Rechtmatigheid
• Doelmatigheid

Penjelasan lebih detail mengenai mekanisme pencairan dana akan dijelaskan berikut ini :
1. Model Pencairan & Syarat Administrasi Pembebanan Anggaran
1). Model Pencairan Dana
Ada dua cara pembayaran, yaitu pembayaran yang dilakukan secara langsung oleh
Bendahara Umum Negara kepada yang berhak menerima pembayaran atau lebih dikenal dengan
sistem LS melalui KPPN. Pembayaran ini dilakukan untuk pengeluaran yang telah pasti, baik
jumlah, peruntukan, maupun penerimanya. Cara lainnya adalah dengan menggunakan Uang
Persediaan (UP) melalui Bendahara Pengeluaran. Pengeluaran dengan UP dilakukan untuk belanja
yang nilainya kecil di bawah jumlah tertentu untuk membiayai keperluan sehari-hari perkantoran.

a). Uang Persediaan (UP) dan Tambahan Uang Persediaan (TUP)


Kepada setiap satuan kerja dapat diberikan Uang Persediaan. Untuk mengelola uang
persediaan bagi satuan kerja di lingkungan kementrian Negara/lembaga, sebelum diberlakukannya
ketentuan dan atau dilakukannya pengangkatan pejabat fungsional Bendahara, Menteri / Pimpinan
lembaga pengeluaran pada kementrian/lembaga atau satuan kerja yang dipimpinnya.
Untuk membantu pengelolaan uang persediaan pada kantor/satuan kerja di lingkungan
kementrian/lembaga, apabila diperluka,n kepala satuan kerja dapat menunjuk pemegang uang
muka. Dalam pelaksanaan tugasnya pemegang uang muka bertanggungjawab kepada bendahara
pengeluaran.
Bendahara pengeluaran dapat membagi uang persediaan kepada beberapa PUM. Apabila
diantara PUM telah merealisasikan penggunaan UP-nya sekurang-kurangnya 75% Kuasa
PA/pejabat yang ditunjuk dapat mengajukan SPM-GUP bagi PUM berkenaan tanpa menunggu
realisasi PUM lain yan belum mencapai 75%.
 Prosedur uang persediaan diatur sebagai berikut:
a. PA/kuasa PA menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas permintaan Bendahara
pengeluaran yang dibebankan pada MAK transito kode kegiatan untuk rupiah murni
0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP 0000.0000.825113.
b. Berdasarkan SPM-UP, KPPN menerbitkan SP2D untuk rekening Bendahara Pengeluaran yang
ditunjuk dalam SPM-UP.
c. Penggunaan Uang Persediaan menjadi tanggungjawab Bendahara pengeluaran.
d. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisian kembali Uang Persediaan setelah Uang
Persediaan digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia pagu dana dalam DIPA.
e. Bagi Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam pengajuan SPM-UP
diwajibkan melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah uang yang dikelola oleh
masing-masing PUM.
f. Sisa uang persediaan yang ada di Bendahara Pengeluaran pada akhir tahun anggaran harus
disetorkan kembali ke rekening kas Negara selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun
anggaran berkenaan. Setoran sisa uang persediaan dimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai
pengembalian uang persediaan sesuai mata anggaran yang ditetapkan.

 Tambahan Uang Persediaan (TUP)


a. Pemberian TUP diatur sebagai berikut:
1) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah RP 200 juta untuk
klarifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi instansi dalam wilayah
pembayaran KPPN bersangkutan.
2). Permintaan TUP diatas Rp 200 juta untuk klarifikasi belanja yang diperbolehkan
diberi UP harus mendapat dispensasi dari Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
b. Syarat untuk mengajukan Tambahan UP :
(1) Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
(2) Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
(3) Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada bendahara,
harus disetor ke Rekening kas Negara;
(4) Apabila ketentuan pada butir c tidak dipenuhi kepada satker yang bersangkutan tidak
dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran berkenaan.
(5) Pengecualian terhadap butir diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan
atas usul Kepala KPPN.
c. Dalam mengajukan permintaan TUP bendahara pengeluaran wajib menyampaikan :
(1) Rincian Rencana Penggunaan Dana untuk kebutuhan mendesak dan riil serta rincian
sisa dana MAK yang dimintakan TUP.
(2) Rekening Koran yang menunjukkan saldo terakhir.
(3) Surat Pernyataan bahwa kegiatan yang dibiayai tersebut tidak dapat dilaksanakan /
dibayar melalui penerbitan SPM-LS.
d. SPM-UP/Tambahan UP diterbitkan dengan menggunakan kode kegiatan untuk rupiah
murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP
0000.0000.825113.
e. Penggantian UP, diajukan ke KPPN dengan SPM-GUP dengan SPM-GUP, dilampiri
SPTB, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilegalisir oleh Kuasa Pengguna
Anggaran atau pejabat yang ditunjuk, untuk transaksi yang menurut ketentuan harus
dipungut PPN dan PPh.
f. Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada satu rekanan tidak
boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran honor.

b). Model pembayaran dengan LS


Pembayaran dengan menggunakan model LS artinya pembayaran melalui transfer dari
rekening kas Negara ke rekening bank penerima setelah memenuhi persyaratan yang diharuskan.
Pembayaran dengan menggunakan model LS biasa dilakukan untuk :
1) Pengadaan Tanah
2) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
3) LS non Belanja Pegawai, yaitu : Pembayaran Pengadaan barang dan jasa, Pembayaran Biaya
Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air), dan Pembayaran Belanja Perjalanan
Dinas
(1) Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui mekanisme
pembayaran langsung (LS), kecuali tidak mungkin dilaksanakan melalui mekanisme LS, maka
dapat dilakukan melalui UP/TUP.
(2) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
a. Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka wafat
b. Pembayaran lembur
c. Pembayaran Honor/vakasi.

(3) LS non Belanja Pegawai :


a. Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
b. Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air) :
c. Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas

2). Persyaratan administratif untuk dapat membebani anggaran belanja


Kebenaran pengisian dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi :
a. Kuitansi
b. Surat Perintah Kerja (SPK)
c. Surat perjanjian/Kontrak
d. Berita Acara Penyerahan Barang/Pekerjaan.
e. Berita Acara Pembayaran,
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak
penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya pajak yang dipungut oleh bendahara sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku

2. Prosedur Pencairan Dana


1). Prosedur Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
Persyaratan yang harus dipenuhi sebagai kelengkapan dalam pengajuan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP) untuk dapat diterbitkan SPM, diatur sebagai berikut:
a. SPP-UP (Uang Persediaan)
Surat pernyataan dari kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk, menyatakan bahwa UP tersbut
untuk menbiayai pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.

b. SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan)


a) Rincian rencana penggunaan dana Tambahan UP dari kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
b) Surat pernyataan dari kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
(1) Dana tambahan UP tersebut akan digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
tanggal diterbitkannya SP2D;
(2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke rekening Kas Negara;
(3) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
c) Rekening Koran Terakhir
c. SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan)
a) Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
b) SPTB;
c) Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat
yang ditunjuk.

d. SPP untuk Pengadaan Tanah


Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui mekanisme
pembayaran langsung (LS). Apabila tidak mungkin dilaksanakan melalui mekanisme LS,
dapat dilakukan melalui UP/TUP.

e. SPP-LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi


(a) Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka wafat
dilengkapi dengan Daftar Gaji Induk/susulan gaji/ ekutrangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat, SK CPNS, SK naik pangkat, SK jabatan, KGB, Surat Pernyataan Pelantikan, Surat
Pernyataan Masih Menduduki Jabatan, Surat Pernyataan Pelaksanaan Tugas, Daftar
Keluarga 9KP$), kopi Surat Nikah, kopi Akte Kelahiran, Surat Keterangan Penghentian
Pembayaran, Daftar potongan Sewa Rumah Dinas, Surat Keterangan Masih
Sekolah/Kuliah, Surat Pindah, Surat Kematian, SSP PPh pasal 21. Kelengkapan tersebut
harus sesuai peruntukannya.
(b) Pembayaran lembur dilengkapi dengan Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur yang
sudah ditandatangani oleh Kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran
Satker/SKS ybs, surat perintah kerja lembur, daftar hadir kerja, daftar kerja lembur dan
SSP PPh pasal 21.
(c) Pembayaran Honor/vakasi dilengkapi dengan SK tentang pemberian honor vakasi, daftar
pembayaran perhitungan honor/vakasi yang ditandatangani oleh kuasa PA/Pejabat yang
ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran ybs dan SSP PPh pasal 21.

f. SPP-LS non Belanja Pegawai :


(a) Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
1) Kontrak/SPK yang mencantmkan nomor rekening rekanan;
2) Surat pernyataan kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
4) Berita acara serah terima pekerjaan;
5) Berita acara pembayaran;
6) Kuitansi yang disetujui oleh kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani Wajib Pajak;
8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau Lembaga
Keuangan non bank.
9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya sebagian
atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri;
10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN
Berita Acara pada butir 3), 4) dan 5) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 dan
disampaikan kepada :
 Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
 Masing-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak.
 Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan.
(b) Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air) :
1). Bukti tagihan daya dan jasa;
2). No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom, PDAM,dll).
Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan secara langsung,
satker/SKS ybs dapat melakukan pembayaran dengan UP. Tunggakan langganan daya dan
jasa tahun anggaran sebelumnya dapat dibayarkan oleh satker/SKS setelah mendapat
dispensasi/persetujuan terlebih dahulu dari Kanwil Ditjen PBN sepanjang dananya tersedia
dalam DIPA berkenaan.
(c) Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas harus dilengkapi dengan daftar nominative pejabat
yang akan melakukan perjalnan dinas, yang berisi antara lain: informasi mengenai data
pejabat (Nama, pangkat/Golongan), tujuan, tanggal keberangkatan, lama perjalanan dinas,
dan biaya yang diperlukan untuk masing-masing pejabat. Daftar normative tersebut harus
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang memerintahkan perjalanan dinas, dan
disahkan oleh pejabat yang berwenang di KPPN. Pembayaran dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran Satker/SKS ybs kepda para pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas.

g. SPP untuk PNBP


(1) UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya.
(2) UP dapat diberikan kepada Satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada
DIPA maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan
dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun anggaran sebelumnya. Apabila UP tidak
mencukupi dapat mengajukan TUP debesar kebutuhan riil satu bulan dengan
memperhatikan maksimum pencairan (MP).
(3) Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula sebagai berikut
: MP = (PPP x JS) = JPS;
MP = Maksimum Pencairan Dana;
PPP = Proporsi Pagu Pengeluran terhadap Pendapatan;
JS = Jumlah setoran;
JPS = Jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan.
(4) Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, Satker pengguna harus
melampirkan Daftar perhitungan Jumlah MP;
(5) Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur
secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkan SSBP;
(6) Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat),
pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi olah
KPPN;
(7) Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat keputusan
Menteri Keuangan yang berlaku;
(8) Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu PNBP
satker ybs dalam DIPA.
(9) Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh kuasa PA, dilakukan dengan
mengajukan SPM setempat cukup dengan melampirkan SPTB.
(10) Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non BHMN), sisa dana PNBP
yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening kas negara dapat dicairkan
kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya
mendahului diterimanya DIPA dan merupakan bagian dari target PNBP yang tercantum
dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
(11) Sisa dana PNBP dari satker pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke rekening kas
Negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun
anggaran berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah
diterimanya DIPA.
(12) Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan ke rekening
kas Negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP tahun anggaran
berikutnya.
(13) Untuk keseragaman dalam pembukuan system akuntansi, maka penyetoran PNBP agar
menggunakan formulir SSBP.

2). Mekanisme Penerbitan SPM.


Segera setelah menerima SPP, pejabat penerbit SPM menerbitkan SPM dengan mekanisme,
sebagai berikut
a. Penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi chek list kelengkapan
berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP dan
membayar/menandatangani tanda terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas penerima SPP
menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat penerbit SPM.
b. Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
i. Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku;
ii. Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh kyakinan bahwa
tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
iii. Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan atau kelayakan hasil kerja yang dicapai dengan
indikator keluaran.
iv. Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain :
a) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan, alamat,
no. rekening dan nama bank)
b) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan atau kelayakannya dengan prestasi
kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak).
c) Jadwal waktu pembayaran.
v. Memeriksa pencapaian tujuan dan atau sasaran kegiatan sesuai dengan indicator kinerja
yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan atau spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan
dalam kontrak.
Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-UP/SSP-GUP/SPP-LS, maka pejabat penguji SPP
dan Penandatanganan SPM menerbitkan SPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP/SPM-LS dalam
rangkap tiga :
a) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN;
b) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada satker ybs.
SPM yang telah diterbitkan SP2Dnya oleh KPPN dan telah dicairkan (telah dilakukan pendebetan
rekening kas Negara) tidak dapat dibatalkan.
Perbaikan hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan administrasi sebagai berikut :
a. Kesalahan Pembebanan pada MAK;
b. Kesalahan pencantuman kode fungsi, sub fungsi, kegiatan dan sub kegiatan
c. Uraian pengeluaran yang tidak berakibat jumlah uang pada SPM.
d. Perbaikan dilakukan oleh kuasa PA/penerbit SPM. Selanjutnya SPM perbaikan dimaksud
dilampiri dengan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) disampaikan kepada
Kepala KPPN.

 Aplikasi SPM
Saat ini semua satker bertanggung jawab untuk menerbitkan SPM. Untuk menerbitkan SPM
ini masing-masing satuan kerja mengoperasikan aplikasi SPM untuk membuatnya.

3). Prosedur Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)


Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan sebagai berikut:
1) Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan SPM beserta
dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) berupa soft copy
(disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi
satker yang masih menerbitkan SPM secara manual tidak perlu ADK.
2) SPM Gaji Induk harus diterima KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan pembayaran.
3) Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM memeriksa kelengkapan SPM, mengisi check list
kelengkapan berkas SPM, mencatat dalam Daftar Pengawasan Penyelesaian SPM dan
meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke Seksi Perbendaharaan untuk diproses lebih
lanjut.
Mengenai penerbitan SP2D oleh KPPN diatur sebagai berikut:
1) SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D.
2) SPM yang dimaksud dilampiri bukti pengeluaran sebagai berikut :
(a) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai:
i. Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/honor yang ditanda-tangani oleh
Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran;
ii. Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi perubahan pada daftar gaji;
iii. Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;
iv. Surat Setoran Pajak (SPP).
(b) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai:
i. Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
ii. SPTB;
iii. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
(c) Untuk keperluan pembayaran TUP:
i. Rincian rencana penggunaan dana;
ii. Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan untuk TUP diatas Rp
200 juta.
iii. Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk yang
menyatakan bahwa:
(1) Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak dan akan
habis digunakan dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D;
(2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke Rekening Kas Negara;
(3) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
(4) Untuk keperluan pembayaran GUP; SPTB dan Faktur Pajak dan SSP (surat setoran
pajak);
Menurut Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor Per-66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di pasal 10
disebutkan bahwa bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang disimpan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat substansif dan
formal, meliputi :
1) Pengujian substansif dilakukan untuk:
a. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b. menguji ketersediaan dana pada kegiata/sub kegiatan/MAK dan DIPa yang ditunjuk dalam
SPM tersebut;
c. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan,
Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
d. menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau pejabat lain
yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
e. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
2) Pengujian formal dilakukan untuk :
a. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan specimen tandatangan.
b. memeriksa cara penulisan/pengisisan jumlah uang dalam angka dan huruf;
c. memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh tedapat cacat dalm penulisan.
Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan. Sedangkan pengembalian SPM kepada penerbit SPM,
apabila tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SP2D.
Pengembalian diatur sebagai berikut: SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk dikembalikan
paling lambat tiga hari kerja setelah SPM diterima; SPM/TUP/GUP dan LS dikembalikan paling
lambat satu hari kerja setelah SPM diterima.
Pengesahan Surat Perintah Membayar Penggantian UP (SPM-GUP) nihil atas TUP
dilaksanakan KPPN dengan membubuhkan Cap pada SPM GU Nihil “telah dibukukan pada
tanggal………oleh KPPN” dan ditandatangani oleh Kepala Seksi Perbendaharaan. Mengenai
penerbitan SP2D diatur sebagai berikut :
1) Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu sebagai berikut:
a. SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja sebelum awal bulan
pembayaran gaji.
b. SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja setelah diterima SPM
secara lengkap.
c. SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu hari kerja setelah diterima SPM secara
lengkap.
2) Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara :
a. SP2D ditandatangani oleh Seksi Perbendaharaan dan seksi bank/giro pos atau seksi
Bendum
b. SP2D diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) dan dibubuhi stempel timbul seksi bank/giro pos
atau seksi bendum yang disampaikan kepada:
(1) Lembar 1 : Kepada Bank Opersional.
(2) Lembar 2 : Kepada penerbit SPM dengan dilampirkan SPM yang telah dibubuhi Cap
‘Telah diterbitkan Sp2D tanggal…………Nomor………..”.
(3) Lembar 3 : Sebagai Pertinggal di KPPN (Seksi Verifikasi dan Akuntansi), dilengkapi
lembar ke-1 SPM dan dokumen pendukungnya.
Daftar Penguji dibuat dalam rangkap 3 (tiga) sebagai pengantar SP2D dengan ketentuan:
1) Ditandatangani oleh Kepala Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum dan diketahui oleh kepala
KPPN serta dibubuhi stempel timbul kepala KPPN.
2) Lembar kesatu dan lembar kedua dilampiri asli SP2D dikirimkan melalui petugas kurir KPPN
ke BI/Bank Operasional/Sentral Giro.
3) Daftar penguji lembar kedua setelah ditandatangani oleh BI/Bank Operasional/ Sentral Giro
dikembalikan kepada KPPN melalui petugas kurir yang sama.
4) Daftar penguji lembar ketiga sebagai pertinggal di KPPN.

3. Pejabat yang terkait dengan pengeluaran


1). Kuasa Pengguna Anggaran
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor Per-66/PB/2005 tentang
Mekanisme Pelaksanaan APBN di pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pada setiap awal tahun
anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran menunjuk pejabat kuasa
pengguna anggaran untuk satuan kerja/satuan kerja sementara di lingkungan instansi pengguna
angggaran bersangkutan dengan surat keputusan. Selanjutnya di pasal yang sama ayat (2)
dinyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa
Pengguna Anggaran untuk menunjuk :
a. Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja/penanggungjawab kegiatan/ pembuat komitmen;
b. Pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani
SPM;
c. Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran belanja.
Dalam hal satuan kerja sementara adalah dinas-dinas daerah, maka Menteri/Pimpinan
Lembaga selaku PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat kuasa PA, pejabat pembuat
komitmen, pejabat penerbit SPM dan Bendahara pengeluaran kepada Gubernur/Bupati/
Walikota/Kepala Desa yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas pembantuan.
Dalam menunjuk para pejabat tersebut harus diperhatikan larangan perangkapan jabatan,
sebagai berikut:
a. Pejabat PA/Kuasa PA tidak boleh merangkap pejabat Bendahara Pengeluaran;
b. Pejabat pembuat komitmen, pejabat penguji SPP/penerbit SPM dan Bendahara pengeluaran
tidak boleh saling merangkap;
c. Dalam hal pejabat/pegawai pada satuan kerja tidak memungkinkan pemisahan fungsi karena
jumlah pegawai yang sangat terbatas (pembuat komitmen, penguji SPP/penerbit SPM dan
Bendahara Pengeluaran), maka pejabat Kuasa PA dapat merangkap sebagai pejabat pembuat
komitmen dan pejabat penguji SPP/penerbit SPM.
Tembusan penetapan/Surat keputusan para pejabat tersebut, disampaikan kepada Kepala
KPPN selaku kuasa BUN.
Berdasarkan DIPA yang telah disahkan oleh Dirjen Perbendaharaan untuk DIPA
kementrian/lembaga di pusat dan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk DIPA di
daerah, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sesuai rencana kerja dan anggaran yang telah
ditetapkan dalam DIPA.

2). Pejabat Pembuat Komitmen


Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/ penanggung-jawab
kegiatan/pembuat komitmen.

3). Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM


a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berhak untuk :
1. menguji,
2. membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan
3. memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN/APBD.
b. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
berwenang:
(1) menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih;
a) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan, alamat,
nomor rekening dan nama bank)
b) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan atau kelayakannya dengan prestasi
kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak).
c) Jadwal waktu pembayaran.
d) Memeriksa pencapaian tujuan dan atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator kinerja
yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan atau spesifikasi teknis yang sudah
ditetapkan dalam kontrak.
(2) meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan
ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa;
(3) meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
(4) membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang bersangkutan;
(5) memerintahkan pembayaran atas beban APBN.

4). Bendahara Pengeluaran


1) Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang untuk keperluan
belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
2) Bendahara Pengeluaran diangkat oleh menteri/pimpinan lembaga Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
3) Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional;
4) Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Bendahara Umum Negara.
5) Bendahara Pengeluaran dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan
dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut
6) Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa
diterima.
7) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat diberikan uang
persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran.
8) Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya
setelah :
a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran /
Kuasa Pengguna Anggaran;
b) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran;
c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
9) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran apabila persyaratan tidak dipenuhi.
10) Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakannya.

4. Surat Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA)


Selain DIPA, dokumen lain yang dapat digunakan dalam pelaksanaan anggaran pada satuan
kerja adalah Surat Kuasa Penggunaan Anggaran (SKPA).
a. Definisi
Pola SKPA dengan sistem ini diperuntukkan bagi Kementerian Negara/Lembaga yang
melaksanakan SKPA dalam satu unit organisasi terhadap unit vertikal dibawahnya
b. Pelaksanaan
 SKPA menambah Pagu DIPA Satuan Kerja penerima SKPA, dan mengurangi Pagu
DIPA Satuan Kerja Pemberi SKPA
 KPPN dalam hal ini hanya melakukan pengurangan Pagu anggaran untuk kegiatan
yang di SKPAkan oleh Satker pemberi SKPA sebesar anggaran yang di SKPA-kan
 KPPN penerima SKPA menambah Pagu anggaran Satker Penerima untuk kegiatan
yang di SKPAkan dan wajib memonitor laporan realisasi SKPA (SPM, dan SP2D) yang
dilaksanakan oleh Satker Penerima SKPA
 SPM yang diterbitkan oleh KPA penerima SKPA menggunakan kode Satker Penerima
SKPA, sehingga tanggungjawab pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan
Keuangan dilaksanakan oleh KPA penerima SKPA
 SKPA menjadi dasar untuk Revisi alokasi anggaran.

Rangkuman
1. Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana
pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun
menurut klasifikasi tertentu secara sistematis dalam suatu periode. Anggaran juga merupakan
pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial.
2. Menurut UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran pendapatan merupakan estimasi penerimaan (estimated
revenue) yang diperkirakan akan diterima dalam satu tahun anggaran, sedangkan anggaran
belanja merupakan pagu anggaran belanja yang disediakan untuk membiayai program dan
kegiatan selama satu tahun anggaran (appropriation). Periode pelaksanaan APBN adalah satu
tahun, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
3. Fungsi anggaran : sebagai alat perencanaan untuk mencapai tujuan organisasi, sebagai alat
pengendalian, sebagai alat kebijakan fiskal, sebagai alat politik, sebagai alat koordinasi dan
komunikasi, sebagai alat penilaian kinerja, sebagai alat motivasi dan sebagai alat untuk
menciptakan ruang. Fungsi anggaran di lingkungan pemerintah mempunyai pengaruh penting
dalam akuntansi dan pelaporan keuangan.
4. Prinsip-prinsip anggaran adalah : transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran,
keadilan anggaran, efisiensi dan efektifitas anggaran dan disusun dengan pendekatan kinerja.
5. Aspek-aspek anggaran meliputi: aspek perencanaan; aspek pengendalian; aspek akuntabilitas
dan evaluasi.
6. Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia
mempunyai kewenangan perbendaharaan (comptable) dan menjadi pengelola keuangan dalam
arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer
keuangan. Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset
dan kewajiban negara secara nasional. Menteri/pimpinan lembaga selaku Chief Operasional
Officer untuk suatu bidang tertentu pemerintahan, memiliki kewenangan administratif meliputi
melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya
penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang
diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut,
serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan anggaran. Kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing.
7. Siklus Anggaran meliputi tahap persiapan anggaran, tahap ratifikasi anggaran, tahap
pelaksanaan anggaran, tahap pelaporan dan evaluasi anggaran. Adapun siklus APBN meliputi
tahapan : Tahap pendahuluan, Tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN
Tahap Pelaksanaan APBN, Tahap pengawasan APBN, Tahap Pertanggungjawaban APBN.
8. Daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat
oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendahaan atas
nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen
pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
9. DIPA yang disusun oleh kementerian negara/lembaga harus mengacu kepada rencana kerja
dan anggaran (RKA-KL) dan mengacu kepada rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) dan
berpedoman pada peraturan presiden tentang rincian APBN yang merupakan alokasi dana pada
masing-masing satuan kerja dalam mencapai sasaran kegiatan yang telah ditetapkan.
10. Apabila dalam pelaksanaan DIPA terdapat hal-hal yang mengharuskan adanya perubahan isi
yang tercantum dalam DIPA, maka satker kementerian negara/lembaga dapat mengajukan
revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat atau Kepala Kanwil
DJPb untuk DIPA daerah untuk memperoleh pengesahannya.
11. Dalam sistem APBN, pendapatan/penerimaan negara mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan/ penerimaan negara sebagai sumber dana
bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler)
dalam arti bahwa pendapatan/penerimaan negara sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pendapatan negara dan
hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan
negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
12. Anggaran belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai
belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah. Belanja pemerintah pusat diklasifikasikan
atas belanja pemerintah pusat menurut organisasi/bagian anggaran, belanja pemerintah pusat
menurut fungsi, dan belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja.
13. Setiap uang yang keluar dari kas Negara harus dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena itu,
pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip pembayaran atas beban
APBN serta tidak melanggar larangan pembebanan belanja negara sesuai aturan yang berlaku.
Agar dapat dikeluarkan uang dari kas negara harus dapat memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu : harus
bisa dibuktikan keabsahan yang berhak; harus sudah tersedia dananya dalam DIPA; dan harus
sesuai dengan tujuan alokasi dana yang tercantum pada DIPA.
14. Terdapat dua cara pembayaran, yaitu pembayaran yang dilakukan secara langsung oleh
Bendahara Umum Negara kepada yang berhak menerima pembayaran atau lebih dikenal
dengan sistem LS melalui KPPN. Pembayaran ini dilakukan untuk pengeluaran yang telah
pasti, baik jumlah, peruntukan, maupun penerimanya. Cara lainnya adalah dengan
menggunakan Uang Persediaan (UP) melalui Bendahara Pengeluaran. Pengeluaran dengan UP
dilakukan untuk belanja yang nilainya kecil di bawah jumlah tertentu untuk membiayai
keperluan sehari-hari perkantoran.
15. Kebenaran pengisian dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi kuitansi, Surat Perintah Kerja
(SPK), Surat perjanjian/Kontrak, Berita Acara Penyerahan Barang/Pekerjaan, dan Berita
Acara Pembayaran.
16. Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk dapat diterbitkan SPM harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan. SPM diterbitkan setelah melalui mekanisme Penerimaan
dan pengujian SPP dan melakukan pengujian atas SPP oleh Pejabat penerbit SPM. Prosedur
Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) melalui tahapan penyampaian SPM kepada
KPPN dan pengujian SPM yang bersifat substansif dan formal yang dilaksanakan oleh KPPN.
Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D bilamana SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan. Sedangkan pengembalian SPM kepada penerbit
SPM, apabila tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SP2D.
17. Pejabat yang terkait dengan pengeluaran antara lain adalah Kuasa Pengguna Anggaran,
Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM dan
Bendahara Pengeluaran.

Bahan Evaluasi
1. Sebutkan Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan anggaran
atau APBN !
2. Sebutkan wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang dan wewenang Menteri Keuangan selaku Bendara Umum Negara !
3. Uraikan definisi pendapatan/penerimaan negara menurut UU 17 tahun 2003! Sebutkan pula
fungsi dan syarat pendapatan/penerimaan negara!
4. Uraikan jenis-jenis penerimaan negara, beserta contoh !
5. Jelaskan pengertian belanja Negara !
6. Prinsip-prinsip apa saja yang harus diperhatikan di dalam pelaksanaan belanja negara?
7. Apa tugas bendahara sehubungan dengan penerimaan negara, serta bagaimana penatausahaan
penerimaan negara yang dilakukan oleh Bendahara ?
8. Bagaimana tata cara pembayaran/penyetoran penerimaan negara dengan sistem MPN (Modul
Penerimaan Negara)?
9. Apa perbedaan uang persediaan dan pembayaran dengan LS?
10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pengujian SPM yang dilaksanakan oleh KPPN mencakup
pengujian yang bersifat substantif dan format!
BAB 4 SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH PUSAT

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan akan dapat memahami dan
menjelaskan tentang :
a. Konsep dasar, ruang lingkup, tujuan dan ciri-ciri pokok serta kerangka umum Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat .
b. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara
c. Sistem Akuntansi Instansi
d. Jenis-jenis laporan keuangan Pemerintah Pusat
e. Rekonsiliasi data keuangan dalam Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
f. Badan Layanan Umum dan dokumen sumber yang digunakan di tingkat satuan kerja

A. Pendahuluan
Dalam rangka usaha mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik dalam penyelenggaraan
negara, pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan di dalam UUD 1945.
Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang
dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal, Bendahara Umum Negara dan
wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Sejalan dengan hal itu Menteri Keuangan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan
kewajiban negara secara nasional. Untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan negara, Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun laporan pertanggungjawaban berupa laporan
keuangan tentang pelaksanaan APBN secara tepat waktu dan memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dihasilkan melalui proses akuntansi, yang terdiri dari:
Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas (LAK) disertai dengan
Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
2. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP).
3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang dihasilkan melalui Sistem Pengendalian Intern yang
memadai.
Agar informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dapat memenuhi
prinsip transparansi dan akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
(SAPP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) yang
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan
oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah serangkaian prosedur manual maupun
yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan
pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat.
SAPP terdiri dari Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) yang dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh
kementerian negara/lembaga.

B. Ruang Lingkup
SAPP berlaku untuk seluruh unit organisasi pada Pemerintah Pusat dan unit akuntansi pada
Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan yang
dananya bersumber dari APBN serta pelaksanaan Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.
► Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah pusat melalui kementerian
negara/lembaga kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Dana Dekonsentrasi merupakan
dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi,
tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana
Dekonsentrasi merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang
dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan dilaksanakan oleh
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan Gubernur. Gubernur memberitahukan
kepada DPRD tentang kegiatan Dekonsentrasi.
► Dana Tugas Pembantuan
Dana Tugas Pembantuan merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh
daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas
pembantuan. Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian dari anggaran kementerian
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja kementerian negara/lembaga dan
dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota. Tugas
Pembantuan adalah penugasan pemerintah kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain,
dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang
menugaskan.
Dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan, Kepala Daerah wajib mengusulkan daftar SKPD yang
mendapatkan alokasi dana Tugas Pembantuan kepada kementerian negara/lembaga yang
memberikan alokasi dana, untuk ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Barang. Apabila Kepala Daerah tidak menyampaikan usulan daftar SKPD,
kementerian negara/lembaga dapat meninjau kembali pengalokasian Dana Tugas Pembantuan.
Pemerintah Daerah memberitahukan adanya Tugas Pembantuan kepada DPRD.

Tidak termasuk dalam ruang lingkup SAPP adalah:


1) Pemerintah Daerah (yang sumber dananya berasal dari APBD);
2) Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang terdiri dari:
a. Perusahaan Perseroan; dan
b. Perusahaan Umum.
3) Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah.

C. Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat


1. Tujuan SAPP.
Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP) bertujuan untuk:
a. Menjaga aset Pemerintah Pusat dan instansi-instansinya melalui pencatatan, pemprosesan dan
pelaporan transaksi keuangan yang konsisten sesuai dengan standar dan praktek akuntansi
yang diterima secara umum;
b. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan kegiatan keuangan
Pemerintah Pusat, baik secara nasional maupun instansi yang berguna sebagai dasar penilaian
kinerja, untuk menentukan ketaatan terhadap otorisasi anggaran dan untuk tujuan
akuntabilitas;
c. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu instansi dan
Pemerintah Pusat secara keseluruhan;
d. Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan dan
pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien.

2. Ciri-ciri Pokok SAPP.


a. Basis Akuntansi Cash toward Accrual. Basis akuntansi yang digunakan dalam penyusunan
laporan keuangan pemerintah saat ini menurut PSAP Nomor 01 adalah basis kas untuk
pengakuan pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi
Anggaran dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.
Entitas pelaporan diperkenankan untuk menyelenggarakan akuntansi dan penyajian laporan
keuangan dengan menggunakan sepenuhnya basis akrual (fully accrual basis), baik dalam
pengakuan pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, maupun dalam pengakuan aset,
kewajiban, dan ekuitas dana. Namun, entitas pelaporan tersebut tetap menyajikan Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) berdasarkan basis kas. Rekonsiliasi dari LRA berbasis akrual ke
LRA berbasis kas wajib disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
b. Sistem Pembukuan Berpasangan
c. Dana Tunggal
d. Desentralisasi Pelaksanaan Akuntansi
e. SAPP menggunakan Bagan Akun Standar (BAS)
f. SAPP mengacu pada Standar akuntansi Pemerintahan (SAP)

3. Kerangka Umum SAPP.


Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdiri dari :
a. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN); dan
b. Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
a. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN);
SA-BUN adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan
operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Laporan
Keuangan yang dihasilkan berupa Laporan Realisasi Anggaran termasuk pembiayaan, Neraca,
Laporan Arus Kas serta dilengkapi dengan Catatan atas Laporan Keuangan.
Menteri
Keuangan

Selaku Pimpinan Selaku


Departemen Bendahara
Keuangan UA-BUN
Umum Negara

PPh Migas, PNBP Migas & Pengelola


SAI Kuasa BUN Pengelola
PNBP Migas lainnya, Penrimaan Barang
(SiAP)
Dep. Keu Laba BUMN Perbankan dan Non (SIMAK-BMN, d/h BAPP
Perbankan SABMN)

Pengelolaan Pengelolaan
Pengelolaan Pengelolaan Pengelolaan
Pengelolaan Transfer ke Belanja Subsidi Pengelolaan
Investasi Penerusan dan Belanja lain- Transaksi
Utang & Hibah Daerah Badan Lain
Pemerintah Pinjaman lain Khusus

Penggabungan
DJPU DJKN DJPBN DJPK DJA, Kementerian
Negara/Lembaga
Laporan Keuangan
BKF, SETJEN,
dan DJPBN
Badan Lainnya (SA-
(SA-UP&H) (SA-IP) (SA-PP) (SA-TD) (SA-BSBL) BL)

Kerjasama Internasional, Hukum


Internasional, Jasa Perbendaharaan, PFK
999.01 999.07
999.02 999.03 999.04 999.05 dan Koreksi Kesalahan
999.08

SA-BUN dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharan


dan Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). SA-BUN terdiri
dari beberapa sub sistem, yaitu:
1. Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) yang terdiri dari:
a. Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) adalah sub sistem akuntansi pusat yang
mengelola transaksi-transaksi pusat yang berhubungan dengan penerimaan dari
pengeluaran negara untuk menghasilkan Laporan Arus Kas dan Neraca KUN dan Laporan
Penerimaan dan Pengeluaran Kas dan Laporan Perubahan Posisi Kas;
b. Sistem Akuntansi Umum (SAU) adalah sub sistem akuntansi pusat yang menghasilkan
Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU.
2. Sistem Akuntansi Utang Permerintah dan Hibah (SA-UPH)
3. Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP)
4. Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah (SA-IP)
5. Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD)
6. Sistem Akuntansi Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (SA- BSBL)
7. Sistem Akuntansi Transaksi Khusus (SA-TK)
8. Akuntansi Badan Lainnya
Prosedur pemrosesan data akuntansi dimulai dari:
a. KPPN memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa LAK,
Neraca KUN, dan LRA. KPPN melakukan rekonsiliasi LRA dengan seluruh satuan kerja di
wilayah kerjanya setiap bulan. KPPN menyusun Laporan Keuangan tingkat KPPN dan
menyampaikannya beserta data akuntansi berupa ADK ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Khusus KPPN yang memproses data pengeluaran Bantuan Luar Negeri (BLN) menyampaikan
Laporan Keuangan beserta ADK-nya ke Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
b. Kanwil Ditjen Perbendaharaan melakukan penyusunan Laporan Keuangan berupa LAK,
Neraca KUN, dan LRA berdasarkan konsolidasi Laporan Keuangan dari seluruh KPPN di
wilayah kerjanya. Kanwil Ditjen Perbendaharaan melakukan rekonsiliasi LRA dengan
UAPPA-W di wilayah kerjanya setiap triwulan. Kanwil Ditjen Perbendaharaan mengirimkan
Laporan Keuangan tingkat Kanwil beserta ADK-nya ke Direktorat Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan.
c. Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) memproses
transaksi penerimaan dan pengeluaran Kas Umum Negara melalui BUN, serta menyampaikan
laporan beserta ADK kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
d. Direktorat Pengelolaan Dana Investasi memproses transaksi Investasi pemerintah serta
menyampaikan laporan dan ADK kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
e. Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman memproses transaksi piutang jangka pendek
maupun piutang jangka panjang yang berasal dari pinjaman yang diteruspinjamkan baik
kepada BUMN maupun perusahaan daerah serta menyampaikan laporan dan ADK kepada
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
f. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang memproses transaksi yang berhubungan dengan Utang
Negara, Penerimaan dan Pengeluran Pembiayaan serta hibah selanjutnya menyampaikan
laporan beserta ADK kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
g. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara memproses transaksi Barang Milik Negara, Penyertaan
Modal Negara dan Investasi Permanen serta investasi pemerintah lainnya serta menyampaikan
laporan dan ADK kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
h. Direktorat Jenderal Anggaran memproses transaksi Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain
yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga serta menyampaikan laporan dan ADK
kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
i. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan memproses transaksi Transfer ke Daerah serta
menyampaikan laporan dan ADK kepada Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
j. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan melakukan konsolidasi seluruh laporan
keuangan yang diterima dari Kanwil, laporan keuangan dari KPPN pengelola transaksi
pengeluaran BLN, dan transaksi penerimaan dan pengeluaran melalui BUN.

Penjelasan Bagan Arus Mekanisme Pelaporan SA-BUN:


1. KPPN mengirim semua file data setiap hari dan laporan keuangan setiap bulan ke Kanwil
DJPBN c.q. Bidang AKLAP sedangkan KPPN yang khusus memproses data BLN mengirim
semua file data setiap hari ke DAPK;
1a. KPPN setiap hari mengirim data transaksi ke Dit. APK;
GAMBAR MEKANISME PELAPORAN SA-BUN

KPPN

1a
KANWIL

Ditjen
PBN
2

Dit.
Ditjen APK

PBN
7 3
6 5a
3a
BPK
5
Dit.
PKN

Entitas
BUN

4a 4b 4c 4d 4e 4f 4g
UAPBUN UAPBUN UAPBUN UAPBUN UAPBUN UAPBUN UAPBUN

UH IP PP TD BSBL BL TK

Keterangan:

: Penyampaian Laporan dan Data

: Pemeriksaan

: Rekonsiliasi

: Online Data
2. Kanwil DJPBN menyampaikan file data dan laporan keuangan setiap bulan ke DAPK sebagai
bahan penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat;
3. Direktorat Pengelolaan Kas Negara (Dit. PKN) menyampaikan file data dan laporan keuangan
BUN setiap bulan ke DAPK sebagai bahan penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat;
3a. Dit. PKN melakukan Rekonsiliasi data dengan Dit. APK;
4. Seluruh Unit Akuntasi dibawah Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara menyampaikan:
4a. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang selaku UAPBUN-UH menyampaikan data berupa
laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan keuangan gabungan
Entitas BUN;
4b. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selaku UAPBUN-IP menyampaikan data berupa
laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan keuangan gabungan
Entitas BUN;
4c. Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman selaku UAPBUN-PP menyampaikan data
berupa laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan keuangan
gabungan Entitas BUN;
4d. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selaku UAPBUN-TD menyampaikan data
berupa laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan keuangan
gabungan Entitas BUN;
4e. Direktorat Jenderal Anggaran selaku UAPBUN-BSBL menyampaikan data berupa
laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan keuangan gabungan
Entitas BUN;
4f. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan selaku UAPBUN-BL menyampaikan
laporan gabungan Badan Lainnya ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan
keuangan gabungan Entitas BUN;
4g. Unit Akuntansi yang mengelola Transaksi Khusus selaku UAPBUN-TK menyampaikan
data berupa laporan dan ADK ke Entitas BUN dalam rangka penyusunan laporan
keuangan gabungan Entitas BUN;
5. Entitas BUN menyampaikan Laporan Keuangan Gabungan dan ADK seluruh entitas di bawah
BUN ke Dit. APK sebagai bahan penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat;
6. Presiden c.q. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat kepada BPK tiap semester dan tahunan;
7. BPK melakukan pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang
disampaikan Presiden.

b. Sistem Akuntansi Instansi (SAI).


Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga. SAI
memiliki 2 (dua) subsistem, yaitu Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Informasi
Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN). SAI dilaksanakan oleh
Menteri/Ketua Lembaga Teknis selaku Chief Operational Officer (COO).
DJPBN UAPA UAPB DJKN
UAPPA-E1 UAPPB-E1

KANWL UAPPA-W UPPB-W KANWIL

KPPN SAKPA SAKPB KPKNL


Skema Sistem Akuntansi Instansi
Kementerian negara/lembaga melakukan pemrosesan data untuk menghasilkan Laporan
Keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan.
SAK digunakan untuk memproses transaksi anggaran dan realisasinya, sehingga menghasilkan
Laporan Realisasi Anggaran. Sedangkan SIMAK-BMN memproses transaksi perolehan,
perubahan dan penghapusan BMN untuk mendukung SAK dalam rangka menghasilkan
Laporan Neraca. Di samping itu, SIMAK-BMN menghasilkan berbagai laporan, buku-buku,
serta kartu-kartu yang memberikan informasi manajerial dalam pengelolaan BMN.
Dalam pelaksanaan SAI, Kementerian Negara/Lembaga membentuk unit akuntansi keuangan
dan unit akuntansi barang.

 Sistem Akuntansi Keuangan


Sistem Akuntansi Keuangan merupakan bagian SAI yang digunakan untuk memproses
transaksi anggaran dan realisasinya, sehingga menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran.
SAK dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga. Berdasarkan PMK Nomor
171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Perdirjen Nomor Per-51/PB/2008 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan SAK kementerian
negara/lembaga membentuk dan menunjuk unit akuntansi di dalam organisasinya, yang terdiri
dari :
1. Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA) pada tingkat Kementerian Negara / Lembaga;
2. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Eselon1 (UAPPA-E1);
3. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Wilayah (UAPPA-W);
4. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) pada tingkat satuan kerja.
Unit-unit akuntansi instansi tersebut melaksanakan fungsi akuntansi dan pelaporan keuangan
atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan tingkat organisasinya. Laporan keuangan yang
dihasilkan merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran oleh unit-unit
akuntansi, baik sebagai entitas akuntansi maupun entitas pelaporan.
Adapun unit akuntansi barang terdiri dari:
1. Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
2. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Eselon1 (UAPPB-E1);
3. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Wilayah (UAPPB-W);
4. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).

4. Jenis-jenis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat


Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disampaikan kepada DPR sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Sebelum disampaikan kepada DPR, LKPP
tersebut diaudit terlebih dahulu oleh pihak BPK.
Laporan keuangan pemerintah pusat terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi
pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang
pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam
satu periode. Konsolidasi Laporan Realisasi Anggaran dari seluruh Kementerian
Negara/Lembaga yang telah direkonsiliasi.
b. Neraca Pemerintah
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset,
utang dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Neraca Pemerintah Pusat merupakan
konsolidasi Neraca SAI dan Neraca SAKUN.
c. Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas adalah laporan yang menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas
selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset
non keuangan, pembiayaan, dan non anggaran. Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat
merupakan konsolidasi Laporan Arus Kas dari seluruh Kanwil Ditjen PBN.
d. Catatan atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan adalah laporan yang menyajikan penjelasan rinci atau
analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Kementerian negara/lembaga yang menggunakan Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja
Lainnya, disamping wajib menyusun laporan keuangan atas bagian anggarannya sendiri,
juga wajib menyusun Laporan Keuangan Bagian Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja
Lainnya secara terpisah.
Atas Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang dilimpahkan/dialokasikan oleh
kementerian negara/lembaga kepada pemerintah daerah, laporan keuangannya merupakan
satu kesatuan/tidak terpisah dari laporan keuangan kementerian negara/lembaga.
Data akuntansi dan laporan keuangan secara berkala disampaikan kepada unit akuntansi di
atasnya (asas desentralisasi). Data akuntansi dan laporan keuangan dimaksud dihasilkan oleh
sistem akuntansi keuangan (SAK) dan sistem informasi dan akuntansi barang milik negara
(SIMAK-BMN) yang dikompilasi.

5. Rekonsiliasi data keuangan dan Rekonsiliasi data Barang Milik Negara (BMN).
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan informasi berupa laporan keuangan yang dihasilkan dari
dokumen yang sama yang diproses oleh dua unit pemroses data yang berbeda. Unit pemroses
tersebut adalah Menteri Keuangan yang bertindak selaku Chief Financial Officer (CFO) dengan
Kementerian Negara/Lembaga sebagai Chief Operation Officer (COO). Rekonsiliasi dilakukan
terhadap data keuangan dan data BMN. Proses rekonsiliasi untuk data keuangan dimulai pada
level unit akuntansi terbawah yaitu satuan kerja sampai dengan level akuntansi teratas yaitu
tingkat Kementerian Negara/Lembaga.
Rekonsiliasi data Keuangan. Proses rekonsiliasi data keuangan ini diwajibkan terhadap semua
level akuntansi untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dihasilkan oleh CFO dan
COO menghasilkan angka yang sama. Terhadap COO yang tidak melakukan rekonsiliasi
dengan CFO dapat dikenakan sanksi. Ketentuan sanksi ini dimulai pada level satuan kerja.
Rekonsiliasi antara satuan kerja (UAKPA) dengan KPPN dilakukan setiap bulan. Laporan
Keuangan yang direkonsiliasi berupa LRA Belanja, LRA Pendapatan, dan Neraca. Sejak
dimulainya proses rekonsilasi ditingkat satker, perkembangan ketaatan satuan kerja menyusun
laporan keuangan meningkat cukup tajam. Sehingga dapat dikatakan hampir seluruh satuan
kerja sudah menyusun laporan keuangan dengan tingkat kesempurnaan yang berbeda-beda.
Diharapkan dengan berjalannya waktu laporan keuangan yang dihasilkan akan lebih sempurna.

Ketentuan Sanksi
 KPPN akan menerbitkan Surat Peringatan Penyampaian Laporan Keuangan (SP2LK)
terhadap satker tidak menyampaikan laporan keuangan ke KPPN sampai dengan tujuh hari
kerja setelah bulan berakhir.
 Bagi Satuan kerja yang belum menyampaikan keuangan selama lima hari kerja sejak
terbitnya SP2LK akan dikenakan sanksi berupa penundaan pencairan dana atas SPM – UP
dan SPM-LS Bendahara.
 Pada tingkat Wilayah, UAPPA-W yang tidak melaksanakan rekonsiliasi data dengan Kantor
Wilayah Dirjen Perbendaharaan c.q Bidang Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Bidang
Aklap) dapat dikenakan sanksi yang akan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Ditjen
Perbendaharaan.
 Untuk Level UAPPA-E1 dan UAPA belum diatur sanksi terhadap kelalaian melakukan
rekonsiliasi dengan pihak CFO.

Rekonsiliasi data Barang Milik Negara (BMN). Rekonsiliasi BMN internal Kementerian
Negara/ Lembaga dilakukakan mulai dari tingkat satuan kerja. Rekonsiliasi internal tingkat
satuan kerja dilakukan setiap bulan antara UAKPA dengan UAKPB. Rekonsiliasi BMN juga
dilakukan dilakukan antara Kementerian Negara/Lembaga dengan Menteri Keuangan. Selain
itu juga rekonsiliasi dilakukan antara Direktorat Jenderal Perbendaharaan dengan Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara baik ditingkat satuan kerja (KPPN dengan KPKNL), tingkat
wilayah (Kanwil DJPBN dengan Kanwil DJKN) dan tingkat Pusat (Kantor Pusat DJPBN
dengan Kantor Pusat DJKN).
Rekonsiliasi yang dilakukan antara satuan kerja dengan KPPN terkait dengan BMN adalah
memastikan bahwa nilai aset yang tercantum dalam neraca sudah sesuai dengan rincian aset
yang dibukukan dalam SIMAK-BMN. KPPN juga harus memiliki saldo awal aset seluruh
satker yang berada diwilayah kerjanya. Sehingga setiap mutasi perubahan BMN pada satker
juga dicatat oleh KPPN. KPPN juga harus secara cermat menganalisa realisasi Belanja
Modal yang telah dilakukan satuan kerja terkait dengan jumlah kenaikan saldo BMN pada
Neraca.
Satuan kerja sebagai Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB) setiap semester
melakukan rekonsiliasi dan pemuktahiran data BMN dengan KPKNL selaku kuasa
Pengelola Barang. KPKNL harus memonitor perkembangan BMN dan menjaga saldo awal
BMN yang telah ditetapkan tidak mengalami perubahan. KPKNL akan meneruskan
perolehan data BMN ini kepada Kanwil DJKN sebagai bahan menyusun laporan BMN
tingkat Wilayah.
Rekonsiliasi antara KPPN dengan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang)
dilakukan setiap semester dan tahunan untuk memastikan bahwa laporan BMN yang
disampaikan oleh satuan kerja sudah sesuai dengan nilai BMN pada laporan Neraca.

6. Badan Layanan Umum


Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya
memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang
fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas dan menerapkan
manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja).
Sistem Akuntansi yang diterapkan pada satuan kerja berstatus BLU menggunakan Standar
Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, akan tetapi untuk tujuan
konsolidasi Laporan Keuangan tingkat Kementerian Negara/ Lembaga BLU harus
menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan.
BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi yang mendukung penyusunan laporan keuangan
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan penyusunan laporan keuangan untuk
diintegrasikan dalam laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintahan.

Rangkuman
1. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah serangkaian prosedur manual maupun
yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai
dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat.
2. SAPP berlaku untuk seluruh unit organisasi pada Pemerintah Pusat dan unit akuntansi pada
Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan.
3. Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP) bertujuan untuk:
a. Menjaga aset Pemerintah Pusat dan instansi-instansinya melalui pencatatan, pemprosesan
dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten sesuai dengan standar dan praktek
akuntansi yan diterima secara umum;
b. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan kegiatan
keuangan Pemerintah Pusat, baik secara nasional maupun instansi yang berguna sebagai
dasar penilaian kinerja, untuk menentukan ketaatan terhadap otorisasi anggaran dan untuk
tujuan akuntabilitas;
c. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu instansi dan
Pemerintah Pusat secara keseluruhan;
d. Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan dan
pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien.
4. Ciri-ciri Pokok SAPP adalah :
a. Basis akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah menurut
PSAP Nomor 01 adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk pengakuan aset,
kewajiban, dan ekuitas dalam neraca. Rekonsiliasi dari LRA berbasis akrual ke LRA
berbasis kas wajib disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
b. Sistem Pembukuan Berpasangan didasarkan atas persamaan dasar akuntasi yaitu: Aset =
Kewajiban + Ekuitas Dana.
c. Dana Tunggal merupakan tempat dimana Pendapatan dan Belanja Pemerintah
dipertanggungjawabkan sebagai kesatuan tunggal.
d. Desentralisasi Pelaksanaan Akuntansi, kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan di
instansi dilaksanakan secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat
instansi maupun di daerah.
e. Bagan Akun Standar (BAS), adalah daftar perkiraan buku besar yang ditetapkan dan
disusun secara sistematis untuk memudahkan perencanaan dan pelaksanaan anggaran, serta
pembukuan dan pelaporan keuangan pemerintah.
f. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) menjadi acuan dalam melakukan pengakuan,
penilaian, pencatatan, penyajian, dan pengungkapan terhadap transaksi keuangan dalam
rangka perencanaan, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban, akuntansi, dan
pelaporan keuangan. SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.
5. Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdiri dari Sistem Akuntansi Bendahara Umum
Negara (SABUN) yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga.
6. SA-BUN adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan
operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Laporan
Keuangan yang dihasilkan berupa Laporan Realisasi Anggaran termasuk pembiayaan, Neraca,
Laporan Arus Kas serta dilengkapi dengan Catatan atas Laporan Keuangan. SA-BUN
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharan dan
Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).
7. SAI memiliki 2 (dua) subsistem, yaitu Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem
Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN). Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga. Kementerian negara/lembaga
melakukan pemrosesan data untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan. SAK digunakan untuk memproses
transaksi anggaran dan realisasinya, sehingga menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran.
Sedangkan SIMAK-BMN memproses transaksi perolehan, perubahan dan penghapusan BMN
untuk mendukung SAK dalam rangka menghasilkan Laporan Neraca. Di samping itu, SIMAK-
BMN menghasilkan berbagai laporan, buku-buku, serta kartu-kartu yang memberikan
informasi manajerial dalam pengelolaan BMN.
8. Laporan keuangan pemerintah pusat terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran, merupakan konsolidasi Laporan Realisasi Anggaran dari
seluruh Kementerian Negara/Lembaga yang telah direkonsiliasi.
b. Neraca Pemerintah Pusat, merupakan konsolidasi Neraca SAI dan Neraca SAKUN.
c. Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat, merupakan konsolidasi Laporan Arus Kas dari
seluruh Kanwil Ditjen PBN.
d. Catatan atas Laporan Keuangan, adalah laporan yang menyajikan penjelasan rinci atau
analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan
Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
9. Rekonsiliasi adalah proses pencocokan informasi berupa laporan keuangan yang dihasilkan
dari dokumen yang sama yang diproses oleh dua unit pemroses data yang berbeda, yaitu
Kementerian Keuangan yang bertindak selaku Chief Financial Officer (CFO) dengan
Kementerian Negara/Lembaga sebagai Chief Operation Officer (COO). Rekonsiliasi
dilakukan terhadap data keuangan dan data BMN. Proses rekonsiliasi untuk data keuangan
dimulai pada level unit akuntansi terbawah yaitu satuan kerja sampai dengan level akuntansi
teratas yaitu tingkat Kementerian Negara/Lembaga.
10. Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya
memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang
fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas. Sistem Akuntansi yang
diterapkan pada satuan kerja berstatus BLU menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, akan tetapi untuk tujuan konsolidasi Laporan
Keuangan tingkat Kementerian Negara/ Lembaga BLU harus menggunakan Standar
Akuntansi Pemerintahan. BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi yang mendukung
penyusunan laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan penyusunan
laporan keuangan untuk diintegrasikan dalam laporan keuangan Kementerian
Negara/Lembaga berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan.
11. Dokumen sumber yang digunakan di tingkat satuan kerja adalah : dokumen penerimaan,
dokumen pengeluaran, dokumen piutang, dokumen persediaan, dokumen konstruksi dalam
pengerjaan dan dokumen lainnya.

Bahan Evaluasi
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) ?
2. Apa tujuan SAPP ?
3. Jelaskan ciri-ciri pokok Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) !
4. Entitas organisasi mana yang termasuk dan tidak termasuk ruang lingkup SAPP ?
5. Jelaskan secara singkat mengenai dekonsentrasi !
6. Jelaskan secara singkat mengenai dana tugas Pembantuan !
7. Jelaskan kerangka umum SAPP !
8. Jelaskan secara ringkas jenis-jenis laporan keuangan Pemerintah Pusat !
9. Jelaskan mengenai rekonsiliasi data keuangan !
10. Jelaskan mengenai Badan Layanan Umum !
BAB 5 PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan akan :
a. Dapat memahami dan menjelaskan konsep dasar perbendaharaan, jenis dan tugas pokok
Bendahara, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan penatausahaan kas
b. Dapat memahami, menjelaskan dan membuat pembukuan serta menyusun Laporan
Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ)

A. P e n d a h u l u a n
Reformasi di bidang keuangan negara ditandai dengan diterbitkannya tiga paket undang -
undang, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-
undang Nomor 1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Reformasi tersebut menyangkut
seluruh aspek di bidang keuangan negara, termasuk pengelolaan uang di bendahara.
Bendahara selaku pejabat fungsional yang bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan seluruh uang negara yang
dikelolanya. Disamping itu, bendahara selaku pejabat yang diangkat oleh Menteri/pimpinan
lembaga juga wajib membukukan seluruh transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran satuan
kerja sebagaimana tertuang dalam DIPA. Berdasarkan pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan dengan tegas bahwa bendahara wajib
menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan
tidak terpenuhi. Selain itu, bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakan dan secara fungsional bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara Umum Negara.
Oleh karena itu berbeda dengan laporan yang dihasilkan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna
Anggaran (UAKPA), pembukuan bendahara akan menghasilkan laporan keadaan kas dan
realisasi belanja yang sesungguhnya. Laporan ini merupakan managerial report yang sangat
berguna untuk pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari bagi pimpinan.

B. Jenis dan Tugas Pokok Bendahara


Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 35 ayat (2) disebutkan bahwa
setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang
atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 pasal 1 nomor urut 14 menyebutkan bahwa bendahara adalah setiap orang atau
badan yang diberi tugas untuk dan atas nama Negara/daerah menerima, menyimpan,
membayar, dan atau mengeluarkan uang/surat berharga/barang-barang milik Negara/daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 pasal 3 ayat (4)
menyebutkan bahwa Bendahara Penerimaan/Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang secara
fungsional bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara Umum Negara atas pengelolaan uang
yang menjadi tanggung jawabnya.
Berdasarkan ruang lingkup tugas dan wewenang yang ada pada bendahara, maka
dikenal ada dua jenis bendahara yaitu Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Selain itu, untuk aktivitas pekerjaan yang kompleks dan lokasinya berjauhan dengan tempat
kedudukan Bendahara Pengeluaran maka Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberi
kuasa dapat mengangkat satu atau lebih Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) guna
kelancaran pelaksanaan kegiatan di maksud. Penjelasan jenis-jenis bendahara tersebut adalah
sebagai berikut:
1). Bendahara Penerimaan
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara
dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga.
Oleh karena itu, semua transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan
kerja yang berada di bawah pengelolaannya harus dicatat dalam pembukuan Bendahara
Penerimaan.
2). Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan
belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian
Negara/Lembaga. Oleh karena itu semua transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran
satuan kerja yang berada di bawah pengelolaannya harus dicatat dalam pembukuan
Bendahara Pengeluaran.
3). Bendahara Pengeluaran Pembantu
Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disebut BPP adalah bendahara yang
bertugas membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang
berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. BPP juga wajib melakukan
pembukuan atas seluruh uang yang berada dalam pengelolaannya, dan oleh karena itu
BPP wajib melakukan pembukuan sebagaimana pembukuan yang dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran, sepanjang tidak diatur lain. Dalam melaksanakan tugasnya, BPP bertindak untuk
dan atas nama Bendahara Pengeluaran. Dengan diangkatnya BPP dalam suatu satker, maka
Bendahara Pengeluaran melimpahkan kewajiban dan tanggung jawab pengelolaan sebagian
uang kepada BPP tersebut.
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran diangkat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga pada
setiap awal tahun anggaran. Bendahara menjalankan tugas-tugas kebendaharaan yang meliputi
kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan dan
mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya pada
Kementerian Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja. Meskipun diangkat oleh Menteri/ Pimpinan
Lembaga, namun secara fungsional bendahara tetap bertanggung jawab kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara (Kuasa BUN). Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, dilarang adanya jabatan
rangkap antara Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran, kecuali dalam kondisi
tertentu setelah memperoleh ijin dari BUN/Kuasa BUN. Dalam rangka menunjang pelaksanaan
tugas dan fungsinya, Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran dan BPP membuka rekening pada
bank/pos atas nama jabatannya, bukan atas nama pribadi.
Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa PA dan/atau bendahara merupakan wajib pungut atas
transaksi/kegiatan yang membebani APBN. Hasil pungutan/penerimaan yang dikelola oleh
bendahara tidak dapat digunakan secara langsung untuk membiayai kegiatan untuk satuan kerja
bersangkutan, kecuali diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakan dan
bertanggung jawab hanya sebatas pada uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBN.
Dalam rangka pertanggungjawaban tersebut, bendahara wajib melakukan pembukuan baik
secara manual maupun menggunakan program komputer. Pembukuan bendahara diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.05/2008 tanggal 9 Mei 2008 tentang Tata Cara
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian
Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan Kerja dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor: PER-47/PB/2009 tanggal 10 November 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian
Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja.

C. Bendahara Penerimaan
1. Penatausahaan Kas
Setiap penerimaan pada dasarnya harus secara langsung disetor ke rekening kas
negara. Dengan demikian, Bendahara Penerimaan dilarang menerima secara langsung
setoran penerimaan dari wajib setor, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang diatur
secara khusus dan telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Apabila Bendahara
Penerimaan tersebut menerima secara langsung setoran penerimaan dari wajib setor, maka
Bendahara Penerimaan wajib menyetorkan seluruh penerimaannya ke kas Negara paling
lambat satu hari kerja, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang berdasarkan ketentuan
yang berlaku, penyetorannya dilakukan secara berkala. Penyetoran penerimaan oleh
Bendahara Penerimaan baik secara berkala maupun harian ke kas negara dilakukan dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP).
Bendahara yang melakukan penyetoran secara berkala, wajib menyimpan uang setoran
penerimaan dari wajib setor pada rekening bank/pos atas nama jabatannya (bukan atas nama
pribadi). Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Penerimaan wajib menyetorkan seluruh uang
negara yang dikuasainya ke kas negara.
Bendahara Penerimaan wajib melakukan pembukuan atas seluruh penerimaan dan
pengeluaran/penyetoran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja yang
berada di bawah pengelolaannya.

2. Tata Cara Pembukuan


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Bendahara Penerimaan wajib mencatat
semua transaksi dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan satuan kerja yang berada
di bawah pengelolaannya, maka dokumen sumber pembukuannya dibukukan sebagai
berikut:
1). Rencana Penerimaan yang tertuang dalam DIPA, dibukukan di sisi debet dan kredit (in-
out) pada Buku Kas Umum serta dicatat sebagai target penerimaan pada Buku
Pengawasan Anggaran Pendapatan.
2). Surat Bukti Setoran (SBS) yang merupakan tanda terima dari Satker / Bendahara
Penerimaan kepada wajib setor, dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku
Pembantu Kas, dan Buku Pembantu berkenaan, dan dibukukan secara akumulatif pada
kolom MAP sesuai MAP berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran Pendapatan.
3). SSBP yang dinyatakan sah yang merupakan setoran bendahara ke kas negara sehubungan
dengan penerimaan SBS tersebut pada butir 2 di atas, dibukukan di sisi Kredit pada
Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu berkenaan, serta dibukukan
sebagai penyetoran pada Buku Pengawasan Anggaran Pendapatan.
4). SSBP yang dinyatakan sah yang merupakan setoran langsung wajib setor ke kas negara,
dibukukan di sisi Debet dan sisi Kredit (in-out) pada Buku Kas Umum, serta dicatat
pada kolom sesuai MAP berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran Pendapatan dan
sekaligus berfungsi sebagai penyetoran pada Buku Pengawasan Anggaran Pendapatan.
5). Pada dasarnya bendahara wajib membukukan dan mempertanggungjwabkan seluruh uang
yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung kemungkinan adanya penerimaan
bendahara di luar aktivitas tersebut di atas, pembukuan dilakukan sebagai berikut:
a. Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku
Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
b. SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan lain- lain,
dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku
Pembantu Lain-lain.
3. Contoh Format Pembukuan Bendahara Penerimaan
1. Buku Kas Umum (BKU)
Bagian 1: Halaman muka BKU, berbentuk sebagai berikut

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(6) diisi tanggal dan nomor revisi DIPA
(7) diisi tahun anggaran
(8) diisi kode dan nama KPPN
(9) diisi tempat dan tanggal BKU ditandatangani
(10) diisi nama dan NIP Kuasa PA yang ditunjuk
(11) diisi nama dan NIP bendahara penerimaan yang ditunjuk
Bagian 2: Halaman isi BKU, berbentuk sebagai berikut:

Tanggal Nomor Bukti Uraian Debet Kredit Saldo


(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Petunjuk pengisian:
Kolom 1 : diisi tanggal pembukuan (format:bulan-tanggal)
Kolom 2 : diisi nomor bukti bendahara
Kolom 3 : diisi uraian dari transaksi penerimaan/pengeluaran
Kolom 4 : diisi jumlah penerimaan yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 5 : diisi jumlah setoran yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 6 : diisi jumlah saldo setelah ditambah/dikurangi jumlah penerimaan/
setoran yang tercantum dalam dokumen sumber.
Bagian 3 : Halaman Catatan BKU (untuk catatan pemeriksaan kas)

95
2. Buku Pembantu (BP)
1). BP Kas/BP ……/BP ……/ BP ……../BP Lain-Lain
Bentuk BP di atas adalah sebagai berikut:

Buku Pembantu …………….. (1)


Departemen/Lembaga : (……) …………….. (2)
Unit Organisasi : (……) …………….. (3)
Propinsi/Kabupaten/Kota : (……) …………….. (4)
Satuan Kerja : (……) …………….. (5)
Tgl, No.SP DIPA : ……., ………………. (6)
Tahun Anggaran : …………. (7)
KPPN : (……) …………….. (8)

Tanggal Nomor Uraian Debet Kredit Saldo


Bukti
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Petunjuk pengisian
(1) diisi jenis BP berkenaan
(2) diisi kode dan nama Departemen
(3) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(4) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(5) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(6) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(7) diisi tahun anggaran
(8) diisi kode dan nama KPPN

Pengisian kolom (1) sampai dengan (6) mengikuti petunjuk pengisian halaman
isi BKU (bagian 2 BKU)
2). Buku Pengawasan Anggaran
Bentuk Buku Pengawasan Anggaran Bendahara Penerimaan sebagai berikut:

BUKU PENGAWASAN ANGGARAN PENDAPATAN


Departemen/Lembaga : (……) …………….. (1) Fungsi : ………. (8)
Unit Organisasi : (……) …………….. (2) Sub Fungsi : ………. (9)
Propinsi/Kabupaten/Kota : (……) …………….. (3) Program : ………. (10)
Satuan Kerja : (……) …………….. (4) Kegiatan : ………. (11)
Tgl, No.SP DIPA : ……., ……………… (5) Sub Kegiatan : ………. (12)
Tahun Anggaran : …………. …………. (6)
KPPN : (……) …………….. (7)

MA MA MA MA MA MA Posisi Penerimaan
No. Pene-
Tgl Uraian Bukti Sudah di-
Bkt rimaan (13) (14) (15) (16) (17) (18)
penerimaan setorkan
PAGU (19) (20) (21) (22) (23) (24)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(6) diisi tahun anggaran
(7) diisi kode dan nama KPPN
(8) diisi fungsi berkenaan
(9) diisi kode sub fungsi berkenaan
(10) diisi kode program berkenaan
(11) diisi kode kegiatan berkenaan
(12) diisi kode sub kegiatan berkenaan
(13) s/d (18) diisi MA berkenaan
(14) s/d (24) diisi pagu MA terkait

Kolom (1) diisi tanggal, bulan dan tahun transaksi terjadi


Kolom (2) diisi nomor bukti dokumen sumber
Kolom (3) diisi uraian dari transaksi penerimaan yang dilakukan
Kolom (4) diisi jumlah penerimaan yang diterima Bendahara Penerimaan
Kolom (5) s/d (10) diisi jumlah akumulasi penerimaan sesuai MA terkait
Kolom (11) diisi jumlah penerimaan yang belum di setorkan ke kas negara Kolom
(12) diisi jumlah penerimaan yang sudah di setorkan ke kas negara
Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara (dijelaskan lebih lanjut di materi
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara)
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan dari soal sebelumnya :

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENERIMAAN


Bulan: ………………… (1)
Departemen/ Lembaga : (…..) …………… (2) Tgl, No. SP DIPA : ………………. (7)
Unit Organisasi : (…..) …………… (3) Tahun Anggaran : ………………. (8)
Propinsi/Kab/Kota : (…..) …………… (4) KPPN : (…) ….……… (9)
Satuan Kerja : (…..) …………… (5)
Alamat dan Tlp. : (…..) …………… (6)
I. Keadaan Pembukuan bulan pelaporan dengan saldo akhir pada BKU sebesar Rp.
……………….…(10) dan Nomor Bukti terakhir Nomor: …………….. (11)
Jenis Buku Pembantu Saldo Awal Penerimaan Penyetoran Saldo Akhir
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A. BP Kas …………..
1. BP Kas (tunai dan Bank) ………….. ………….. ………….. …………..
B. Buku Pembantu …………..
1. BP Fungsional ………….. ………….. ………….. …………..
2. BP Umum. ………….. ………….. ………….. …………..
3. BP Lain-lain ………….. ………….. ………….. …………..
II. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan

1. Uang tunai di brankas Rp. ………… (12)


2. Uang di rekening bank Rp. ………… (13) (+) (terlampir salinan rekening koran)
3. Jumlah saldo kas Rp. ………… (14)
III. Hasil rekonsiliasi internal dengan UAKPA
Hasil Rekonsiliasi internal (Bendahara dengan UAKPA)
A Pembukuan menurut Bendahara
1 Penerimaan yang sudah disetorkan ke kas negara Rp ……… (15)
1. Penerimaan yang belum disetorkan Rp ……… (16)
___________________________________________________________ (+)
2. Jumlah (A.1 +2) Rp ……… (17)
B Pembukuan menurut UAKPA Rp ……… (18)
C Selisih pembukuan Bendahara dengan UAKPA (A1 – B) Rp ……….. (19)
IV. Pembukuan dan fisik kas telah diperiksa oleh KPA dengan hasil sebagai berikut:

1. Selisih Kas (saldo akhir I.A.1 – II.3) Rp. ……… (20) (jelaskan apabila ada selisih)
Rp
2. Selisih Pembukuan (III.C) Rp. ……… (21) (jelaskan apabila ada selisih)

……….., …………… (22)


Mengetahui: Bendahara Penerimaan
Kuasa Pengguna Anggaran

Nama: (23) Nama: (24)


NIP: NIP:

119
Petunjuk pengisian:
(1) diisi bulan dan tahun berkenaan
(2) diisi kode dan nama Departemen
(3) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(4) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(5) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(6) diisi alamat dan No telpon satuan kerja
(7) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(8) diisi tahun anggaran
(9) diisi kode dan nama KPPN
(10) diisi jumlah saldo akhir BKU pada bulan pelaporan
(11) diisi nomor bukti terakhir pada BKU

Kolom (3) : diisi saldo awal masing-masing buku yang merupakan saldo bulan lalu
Kolom (4) : diisi jumlah kolom debet yang terjadi di bulan pelaporan pada masing-
masing buku
Kolom (5) : diisi jumlah kolom kredit yang terjadi di bulan pelaporan pada masing-
masing buku
Kolom (6) : diisi jumlah saldo akhir kolom (3) ditambah kolom (4) dikurangi kolom
(5) masing-masing buku

(12) diisi jumlah uang tunai di brankas bendahara penerimaan pada akhir bulan
pelaporan
(13) diisi jumlah uang pada rekening bendahara penerimaan di bank pada akhir
bulan pelaporan
(14) diisi penjumlahan nomor (12) dan (13)
(15) diisi jumlah penerimaan pada seluruh Buku Pembantu bulan yang berkenaan
(16) diisi jumlah penerimaan yang belum disetorkan pada bulan yang berkenaan
(17) diisi penjumlahan nomor (15) dan (16)
(18) diisi saldo UP menurut UAKPA
(19) diisi selisih antara nomor (17) dan (18)
(20) diisi selisih antara I.A.1 kolom (6) dengan II.3
(21) diisi sama dengan nomor (19)
(22) diisi tempat dan tanggal LPJ ditandatangani
(23) diisi nama dan NIP Kuasa PA
(24) diisi nama dan NIP Bendahara Penerimaan

120
D. Bendahara Pengeluaran
1. Bendahara Pengeluaran y a n g tidak me mp u n y ai BPP
a. Pengelolaan Kas UP/TUP
Pada setiap awal tahun anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengajukan
Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP) kepada Pejabat Penerbit
Surat Perintah Membayar (PPSPM). Selanjutnya, atas dasar SPP-UP tersebut, PPSPM
akan menerbitkan SPM-UP dan menyampaikannya kepada Kantor Pelayanan
Perbendaharaan (KPPN). KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
berdasarkan SPM-UP dimaksud. Dengan telah diterbitkannya SP2D-UP, maka secara
otomatis rekening Bendahara Pengeluaran akan terisi sejumlah nilai dalam SP2D
berkenaan. Uang Persediaan (UP) merupakan uang muka kerja yang akan digunakan
oleh KPA untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional kantor
sehari-hari.
Apabila UP yang ada diperkirakan tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan
yang telah direncanakan dalam bulan berkenaan, maka KPA dapat mengajukan SPP
Tambahan Uang Persediaan (SPP-TUP), setelah memperoleh ijin prinsip sesuai
ketentuan yang berlaku dengan dilengkapi rincian rencana kebutuhan dana untuk
kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut. Seperti proses dalam pengajuan UP,
maka rekening Bendahara Pengeluaran akan bertambah sejumlah nilai yang tertuang
dalam SP2D atas SPM-TUP tersebut.
Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan Bendahara Pengeluaran harus
ditatausahakan, dicatat dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan pembayaran
dengan UP/TUP hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari PA/KPA.
Sebelum melakukan pembayaran, Bendahara Pengeluaran:
a). Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diajukan oleh PA/Kuasa PA,
meliputi kuitansi/tanda terima, faktur pajak, dan lain-lain dokumen yang menjadi
dasar hak tagih;
b). Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran, termasuk perhitungan pajak dan perhitungan atas kewajiban lainnya
yang berdasarkan ketentuan dibebankan kepada pihak ketiga; dan
c). Menguji ketersediaan dana, meliputi pengujian kecukupan pagu/sisa pagu DIPA
untuk jenis belanja yang dimintakan pembayarannya.
Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah pembayaran apabila persyaratan
pada huruf a sampai dengan c di atas tidak dipenuhi. Dalam hal semua syarat-syarat
pada huruf a sampai dengan c dipenuhi maka Bendahara Pengeluaran melakukan
pembayaran sesuai dengan besarnya tagihan yang diajukan.
Atas pembayaran yang dilakukannya, Bendahara Pengeluaran sebagai wajib
pungut wajib memungut pajak-pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.
Bukti-bukti pembayaran selanjutnya disampaikan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk dikumpulkan dan diajukan penggantian dana persediaannya
(GUP), sehingga uang UP nantinya akan berdaur ulang (revolving). Pada akhir tahun
anggaran, Bendahara Pengeluaran wajib menyetorkan sisa UP/TUP yang berada
dalam pengelolaannya ke kas negara.

121
b. Pengelolaan Kas Selain UP/TUP
Disamping mengelola uang persediaan, Bendahara Pengeluaran juga mengelola
uang yang berasal dari SP2D-LS yang ditujukan kepadanya, pajak-pajak dari
potongan pembayaran yang dilakukannya dan sumber penerimaan lainnya yang
menjadi hak negara.
Potongan pajak-pajak dan penerimaan lainnya tidak dapat digunakan langsung
untuk melakukan pembayaran. Pajak-pajak dan penerimaan lainnya tersebut
harus disetor ke kas negara dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
Surat Setoran Pajak (SSP) digunakan untuk penyetoran pajak, Surat Setoran
Pengembalian Belanja (SSPB) digunakan untuk penyetoran pengembalian belanja
tahun anggaran berjalan, dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) digunakan
untuk penyetoran penerimaan lainnya.
SP2D-LS Bendahara harus dibayarkan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
yang berhak menerimanya. Apabila penerima pembayaran tidak menunaikan
haknya, maka atas uang yang tidak diambil tersebut disetorkan ke kas negara dengan
menggunakan formulir SSPB. Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Pengeluaran
wajib menyetorkan semua uang yang berada dalam pengelolaannya ke kas Negara.

c. Pembukuan Bendahara Pengeluaran


Berdasarkan aktivitasnya, dokumen sumber pembukuan Bendahara Pengeluaran,
dapat dibedakan dalam 5 (lima) kelompok, yaitu:
a. Aktivitas penerbitan SPM oleh Kuasa PA;
b. Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari Uang Persediaan;
c. Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari SPM-LS yang ditujukan
kepada bendahara (selanjutnya disebut SPM-LS Bendahara);
d. Aktivitas Lainnya.
Berikut petunjuk pembukuan dokumen sumber pembukuan Bendahara
Pengeluaran, dalam Buku Kas Umum dan Buku-buku Pembantu berdasarkan
kelompok aktivitas tersebut di atas.
(a). Aktivitas Penerbitan SPM oleh Kuasa Pengguna Anggaran
1) Pagu DIPA yang telah mendapat pengesahan, merupakan Pagu Anggaran
tertinggi yang disediakan untuk satuan kerja, dibukukan di sisi debet dan kredit
(in-out) pada Buku Kas Umum dan dicatat sesuai MAK berkenaan pada Buku
Pengawasan Anggaran Belanja.
2) SPM-LS kepada pihak ketiga/rekanan yang dinyatakan sah adalah realisasi
belanja yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dan mengurangi/
membebani Pagu Anggaran yang disediakan dalam DIPA. Pelaksanaan
pembayaran atas SPM jenis ini, dilakukan langsung dari kas negara kepada
pihak ketiga/rekanan. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet dan sisi
kredit (in-out) pada Buku Kas Umum dan dicatat sebagai pengurang pagu
pada kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran
Belanja.
3) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) yang dinyatakan
sah merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai bukti penyediaan
Uang Persediaan dari KPPN kepada Kuasa PA melalui Bendahara
Pengeluaran. Dibukukan:
a) Sebesar nilai bruto di sisi debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu
122
Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan;
b) Sebesar nilai potongan (jika ada) di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
4) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TUP) yang
dinyatakan sah merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai bukti
penyediaan tambahan Uang Persediaan dari KPPN kepada Kuasa PA melalui
Bendahara Pengeluaran. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet pada
Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
5) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GUP) yang
dinyatakan sah merupakan dokumen sumber yang berfungsi sebagai sarana
pengisian kembali/revolving Uang Persediaan. Dibukukan:
a) sebesar nilai bruto di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu
Kas, Buku Pembantu Uang Persediaan, dan dibukukan sebagai
pengesahan pada Buku Pengawasan Anggaran Belanja;
b) sebesar nilai potongan (jika ada) dibukukan di sisi kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
Sebagai catatan: potongan pada SPM-GUP terjadi apabila sisa
Pagu Anggaran yang tersedia pada DIPA terbatas, sehingga tidak
memungkinkan pemberian/revolving uang persediaan sepenuhnya. Dalam
hal ini, maksimal pemberian uang persediaan sebesar sisa Pagu
Anggaran dalam DIPA, terhadap selisihnya (nilai bruto SPM-GUP
dikurangi sisa pagu) dinyatakan sebagai setoran/potongan atas Uang
Persediaan terdahulu.
6) SPM-GUP Nihil yang dinyatakan sah merupakan dokumen sumber sebagai
bukti pengesahan belanja yang menggunakan Uang Persediaan/Tambahan
Uang Persediaan. Dibukukan sebesar nilai bruto di sisi debet dan sisi kredit
(in-out) pada Buku Kas Umum, dan dibukukan sebagai pengesahan pada
Buku Pengawasan Anggaran Belanja.
7) SPM-LS Bendahara yang dinyatakan sah, adalah realisasi belanja yang
dilakukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dan mengurangi/ membebani Pagu
Anggaran yang disediakan dalam DIPA. Pelaksanaan pembayaran atas SPM
jenis ini, dilakukan dari Kas negara kepada pegawai/pihak ketiga melalui
Bendahara Pengeluaran. Dibukukan:
a) sebesar nilai bruto di sisi Debet pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu
Kas, Buku Pembantu LS-Bendahara, dan dicatat sebagai pengurang
pagu pada kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran Belanja;
b) sebesar nilai potongan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum dan di
sisi Kredit pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
(b). Aktivitas Pembayaran atas Uang yang Bersumber dari Uang Persediaan.
1) Pembayaran atas uang persediaan dilakukan setelah kewajiban pihak
terbayar/pihak ketiga dilaksanakan. Selanjutnya bendahara wajib meminta
kuitansi/bukti pembayaran sebesar nilai bruto dan faktur pajak (bila
disyaratkan) serta mengembalikan faktur pajak yang telah disahkan oleh
bendahara kepada pihak terbayar/pihak ketiga. Kuitansi/bukti pembayaran dan
faktur pajak/bukti pungutan pajak dibukukan:
a) sebesar nilai bruto kuitansi/bukti pembayaran di sisi Kredit pada Buku

123
Kas Umum, Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu Uang Persediaan, dan
dicatat sebagai pengurang pagu pada kolom mata anggaran berkenaan pada
Buku Pengawasan Anggaran Belanja.
b) sebesar nilai faktur pajak/bukti pungutan pajak di sisi Debet pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
2) Setoran atas sisa uang persediaan ke Kas negara dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran pada akhir kegiatan atau akhir tahun anggaran dengan
menggunakan SSBP. Sedangkan setoran atas pungutan pajak dilakukan
segera setelah dilakukan pungutan/potongan dengan menggunakan SSP.
SSBP dan SSP dibukukan:
a) SSBP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Uang Persediaan.
b) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
(c). Aktivitas Pembayaran atas Uang yang Bersumber dari SPM-LS Bendahara.
1) Pada dasarnya dengan SPM-LS Bendahara pemotongan kepada pihak terbayar
telah dilakukan pada saat penerbitan SPM dimaksud. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembayaran dilakukan atas nilai netto berdasarkan daftar yang
sudah dibuat. Demikian juga penyetoran atas sisa SPM-LS Bendahara ke
Kas negara dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran dengan menggunakan
SSPB sebesar nilai netto, hal mana terjadi apabila setelah waktu tertentu
pihak yang dituju tidak mengambil uang dimaksud. Pembukuan atas bukti
pembayaran dan SSPB dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran dibukukan di sisi Kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS- Bendahara.
b) SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
2) Dalam hal SPM-LS Bendahara tidak mencakup pemotongan pajak pihak
terbayar, bendahara wajib melakukan pemotongan pajak dimaksud pada saat
pelaksanaan pembayaran. Pembukuan dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran (bruto) dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS-
Bendahara.
b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, di sisi debet pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
c) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
(d). Aktivitas Lainnya.
Pada dasarnya bendahara wajib membukukan dan mempertanggung-
jawabkan seluruh uang yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung
kemungkinan adanya penerimaan bendahara di luar aktivitas tersebut di atas,
pembukuan dilakukan sebagai berikut:
1). Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi Debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
2). SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan lain-
lain, dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas,
dan Buku Pembantu Lain-lain.
124
2. Bendahara Pengeluaran y a n g me mp u n yai BPP
Pembukuan Bendahara Pengeluaran yang mempunyai BPP pada dasarnya tidak
berbeda dengan pembukuan Bendahara Pengeluaran yang tidak mempunyai BPP. Untuk
Bendahara Pengeluaran yang mempunyai BPP ditambah dengan pembukuan sebagai
berikut:
a. Penyaluran Dana dari Bendahara Pengeluaran Kepada BPP.
Sehubungan dengan fungsi BPP selaku pembantu Bendahara Pengeluaran,
maka penyaluran dana kepada BPP (baik yang bersumber dari UP maupun SPM-
LS Bendahara) pada dasarnya belum merupakan belanja/pengeluaran kas bagi
Bendahara Pengeluaran. Dengan demikian, kas pada BPP masih merupakan uang yang
harus dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran. Pembukuannya adalah
sebagai berikut:
1). Sebesar tanda terima/bukti transfer kepada BPP di sisi debet dan sisi kredit pada
Buku Kas Umum, di sisi kredit pada Buku Pembantu Kas dan di sisi debet pada
Buku Pembantu BPP.
2). Pengembalian sisa Uang Persediaan dari BPP ke Bendahara Pengeluaran
dibukukan melalui LPJ-BPP, dibukukan di sisi debet dan sisi kredit pada buku
kas umum, disisi debet pada buku pembantu kas dan sisi kredit pada buku
pembantu BPP.

b. LPJ-BPP sebagai dokumen sumber.


Berdasarkan ketentuan, bendahara wajib melakukan pembukuan atas dasar
transaksi dan mempertanggungjawabkannya. Oleh karena itu selaku bendahara,
BPP melakukan pembukuan atas transaksi yang dilakukannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada Bendahara Pengeluaran dalam bentuk LPJ-
BPP. Selanjutnya dalam kaitan penyaluran dana kepada BPP, LPJ-BPP menjadi
dokumen sumber pembukuan bagi Bendahara Pengeluaran. Adapun pembukuannya
sebagai berikut:
a). Dana UP.
1) Belanja yang dilakukan oleh BPP atas Uang Persediaan, sebesar jumlah
nilai pengurangan menurut MA dibukukan di sisi Kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu BPP, Buku Pembantu UP, dan dicatat sebagai
pengurangan pagu dalam kolom mata anggaran berkenaan pada Buku
Pengawasan Anggaran Belanja.
2) Transfer ke Bendahara Pengeluaran (pengembalian sisa Uang Persediaan
dari BPP ke Bendahara Pengeluaran) sebesar jumlah pengurangan/transfer
dibukukan di sisi debet dan sisi kredit (in-out) pada Buku Kas Umum, di
sisi debet pada Buku Pembantu Kas dan di sisi kredit pada Buku
Pembantu BPP.

125
b). Dana LS-Bendahara.
1) Pembayaran (yang dilakukan oleh BPP) atas dana yang bersumber dari
SPM-LS Bendahara, sebesar jumlah pengurangan/pembayaran dibukukan
di sisi Kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu BPP, dan Buku
Pembantu LS-Bendahara.
2) Setoran ke Kas Negara (yang dilakukan oleh BPP) atas sisa dana yang
bersumber dari SPM-LS Bendahara, sebesar jumlah pengurangan / setoran
dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu BPP,
dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
c). Dana Pajak.
Pungutan pajak atas belanja/pembayaran yang dilakukan oleh BPP
dibukukan:
1) Sebesar jumlah penambahan dibukukan di sisi debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Pajak.
2) Sebesar jumlah pengurangan dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Pajak Dana Lain-lain.
3) Sebesar jumlah penambahan dibukukan di sisi debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Lain-lain.
4) Sebesar jumlah pengurangan dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu BPP, dan Buku Pembantu Lain-lain.
Catatan:
Bukti-bukti pengeluran dan bukti-bukti setor disampaikan kepada Pejabat
Penerbit SPM sebagai bahan penguji atas SPP yang diajukan oleh Pejabat
Pembuat Komitmen.
Sebelum melakukan pembukuan atas LPJ-BPP, Bendahara Pengeluaran
wajib menguji kebenaran LPJ-BPP terkait dengan penyaluran dana dari
Bendahara Pengeluaran kepada BPP dan pengembalian sisa Uang Persediaan
dari BPP kepada Bendahara Pengeluaran.Dalam hal terjadi perbedaan
Bendahara Pengeluaran wajib melakukan konfirmasi kepada BPP (Pengujian
kebenaran di sini dimaksudkan hanya terhadap kebenaran pembebanan dan
ketersediaan dananya pada mata anggaran pengeluaran, bukan atas bukti-
bukti kuitansi).

126
c. Contoh Format Pembukuan Bendahara Pengeluaran
a). Buku Kas Umum (BKU)
Bagian 1: Halaman Muka BKU, berbentuk sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(6) diisi tanggal dan nomor revisi DIPA (jika ada)
(7) diisi tahun anggaran
(8) diisi kode dan nama KPPN
(9) diisi tempat dan tanggal, bulan dan tahun BKU dibuat dan ditandatangani
(10) diisi nama lengkap dan NIP Kuasa PA yang ditunjuk
(11) diisi nama lengkap dan NIP bendahara pengeluaran yang ditunjuk

127
Bagian 2: Halaman isi BKU, berbentuk sebagai berikut:

Tanggal No. Bukti Uraian Debet Kredit Saldo


(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Petunjuk pengisian:
Kolom 1 : diisi tanggal pembukuan (format: bulan-tanggal)
Kolom 2 : diisi nomor bukti bendahara
Kolom 3 : diisi uraian dari transaksi penerimaan/pengeluaran
Kolom 4 : diisi jumlah penerimaan yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 5 : diisi jumlah pengeluaran yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 6 : diisi jumlah saldo setelah ditambah/dikurangi jumlah penerimaan /
pengeluaran yang tercantum dalam dokumen sumber.

128
Bagian 3: Halaman Catatan BKU (untuk catatan pemeriksaan kas)

BERITA ACARA PEMERIKSAAN KAS DAN REKONSILIASI

Pada hari ini,……. tanggal………..bulan……….tahun………. kami selaku Kuasa Pengguna


Anggaran telah melakukan pemeriksaan kas dengan posisi saldo BKU sebesar Rp……… dan
Nomor Bukti terakhir No. ………….
Adapun hasil pemeriksaan kas sebagai berikut:
I Hasil pemeriksaan pembukuan Bendahara
A Kas Bendahara (yang belum dipertanggungjawabkan Bendahara)
1. Saldo BP Kas (tunai dan bank) Rp ……….
2. Saldo BP BPP Rp ……….
3. Jumlah (A.1+A.2) Rp ……….
B Kas tersebut pada huruf A, terdiri dari
1. Saldo BP UP Rp ……….
2. Saldo BP LS-Bendahara Rp ……….
3. Saldo BP Pajak Rp ……….
4. Saldo BP Lain-lain Rp ……….
5. Jumlah (B.1+B.2+B.3+B.4) Rp ……….
C Selisih Pembukuan (A.3-B.5) Rp …….
II Hasil Pemeriksaan kas
A Kas yang dikuasai Bendahara
1 Uang tunai di brankas Bendahara Rp ……….
2 Uang di rekening bank Bendahara Rp ……….
3 Jumlah kas pada Bendahara (A.1+A.2) Rp ……….
B Selisih antara saldo buku dengan kas (I.A.1-II.A.3) Rp …….
III Hasil Rekonsiliasi Internal (Bendahara dengan UAKPA) A
Pembukuan UP menurut Bendahara
1 Saldo UP Rp ……….
2 Kuitansi UP yang belum disahkan Rp ……….
3 Jumlah UP dan kuitansi UP (A1+A2) Rp ………. B
Pembukuan UP menurut UAKPA Rp ……….
C Selisih UP pembukuan Bendahara dengan UAKPA (A3 – B) Rp …….
IV Penjelasan atas selisih

1 Selisih Kas (IIB)


…………………………………………………………………………………………
2 Selisih UP (IIIC)
…………………………………………………………………………………………

Yang diperiksa
Bendahara Pengeluaran Kuasa Pengguna Anggaran

Nama: Nama:
NIP. NIP.

129
b). Buku Pembantu (BP)

1) BP Kas/BP Uang Persediaan (UP) / BP LS Bendahara / BP Bendahara Pengeluaran


Pembantu (BPP) / BP Lain-Lain.

Bentuk BP di atas adalah sebagai berikut:

Buku Pembantu …………….. (1)

Departemen/Lembaga : (……) …………….. (2)


Unit Organisasi : (……) …………….. (3)
Propinsi/Kabupaten/Kota : (……) …………….. (4)
Satuan Kerja : (……) …………….. (5)
Tgl, No.SP DIPA : ……., ………………. (6)
Tahun Anggaran : …………. (7)
KPPN : (……) …………….. (8)

Tanggal Nomor Uraian Debet Kredit Saldo


Bukti
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Petunjuk pengisian
(1) diisi jenis BP berkenaan
(2) diisi kode dan nama departemen
(3) diisi kode dan nama unit organisasi
(4) diisi kode dan nama propinsi/kabupaten/kota
(5) diisi kode dan nama satuan kerja
(6) diisi tanggal dan nomor SP DIPA (7) diisi tahun anggaran
(8) diisi kode dan nama KPPN

Pengisian kolom (1) sampai dengan (6) mengikuti petunjuk pengisian bagian 2
BKU.

130
2) Buku Pembantu Pajak (BP Pajak)

Bentuk BP Pajak adalah sebagai berikut:

BUKU PEMBANTU PAJAK

Departemen/Lembaga : (……) …………….. (1)


Unit Organisasi : (……) …………….. (2)
Propinsi/Kabupaten/Kota : (……) …………….. (3)
Satuan Kerja : (……) …………….. (4)
Tgl, No.SP DIPA : ……., ………………. (5)
Tahun Anggaran : …………. (6)
KPPN : (……) …………….. (7)
Penerimaan (Debet)
No. Pengeluaran
Tgl Uraian PPh PPh PPh Saldo
bukti PPN ……… (Kredit)
Ps 21 Ps 22 Ps 23
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(6) diisi tahun anggaran
(7) diisi kode dan nama KPPN
Kolom (1) : diisi tanggal, bulan dan tahun transaksi terjadi
Kolom (2) : diisi nomor bukti bendahara
Kolom (3) : diisi uraian dari transaksi penerimaan atau pengeluaran
Kolom (4) : diisi jumlah pungutan PPN yang diterima Kolom
(5) : diisi jumlah pungutan PPh Ps 21 diterima Kolom (6) :
diisi jumlah pungutan PPh Ps 22 diterima Kolom (7) : diisi
jumlah pungutan PPh Ps 23 diterima
Kolom (8) : diisi jumlah pungutan pajak lainnya (jika ada) termasuk penerimaan
pajak yang diterima dari BPP yang dilaporkan dalam LPJ-BPP
Kolom (9) : diisi jumlah pajak yang telah disetorkan ke kas negara
Kolom (10) : diisi jumlah saldo setelah ditambah penerimaan pajak atau
dikurangi jumlah setoran pajak yang tercantum dalam
dokumen sumber.

131
3) Buku Pengawasan Anggaran.

Bentuk Buku Pengawasan Anggaran Bendahara Pengeluaran sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(6) diisi tahun anggaran
(7) diisi kode dan nama KPPN
(8) diisi fungsi berkenaan
(9) diisi kode sub fungsi berkenaan
(10) diisi kode program berkenaan
(11) diisi kode kegiatan berkenaan
(12) diisi kode sub kegiatan berkenaan
(13) diisi kode kelompok MA berkenaan
(14) s/d (17) diisi kode MA terkait
(18) diisi pagu kelompok MA berkenaan
(19) s/d (22) diisi pagu MA terkait

132
Kolom (1) : diisi tanggal, bulan dan tahun transaksi terjadi
Kolom (2) : diisi nomor bukti bendahara
Kolom (3) : diisi uraian dari transaksi pengeluaran yang dilakukan
Kolom (4) : diisi jumlah nominal transaksi
Kolom (5) : diisi akumulasi jumlah pembayaran melalui mekanisme UP
Kolom (6) : diisi akumulasi jumlah pembayaran melalui mekanisme LS
Kolom (7) : diisi sisa pagu kelompok MA berkenaan
Kolom (8) s/d (11) : diisi sisa pagu MA terkait
Kolom (12) : diisi jumlah pembayaran yang belum di GU kan
Kolom (13) : diisi jumlah pembayaran yang sudah di GU kan

3. Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP).


a. Pengelolaan Kas UP/TUP.
UP/TUP yang dikelola BPP berasal dari Bendahara Pengeluaran. Bendahara
Pengeluaran mentransfer sejumlah UP/TUP kepada BPP untuk membiayai
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh BPP. UP/TUP BPP merupakan uang
muka kerja yang akan digunakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dimana
BPP berada (PPK-BPP) untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan oleh PPK-BPP.
Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan BPP harus ditatausahakan,
dicatat dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan pembayaran dengan
UP/TUP hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari PPK-BPP. Sebelum
melakukan pembayaran, BPP:
a. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diajukan oleh PA/Kuasa PA,
meliputi kuitansi/tanda-terima, faktur pajak, dan lain-lain dokumen yang menjadi
dasar hak tagih;
b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran,
termasuk perhitungan pajak dan perhitungan atas kewajiban lainnya yang
berdasarkan ketentuan dibebankan kepada pihak ketiga; dan
c. Menguji ketersediaan dana, meliputi pengujian kecukupan pagu untuk jenis
belanja yang dimintakan pembayarannya.
BPP wajib menolak perintah pembayaran apabila persyaratan pada huruf a
sampai dengan c di atas tidak dipenuhi. Dalam hal semua syarat-syarat pada huruf a
sampai dengan c dipenuhi, maka BPP melakukan pembayaran sesuai dengan besarnya
tagihan yang diajukan.
Atas pembayaran yang dilakukannya, BPP sebagai wajib pungut wajib
memungut pajak-pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku.
Bukti-bukti pembayaran selanjutnya disampaikan kepada PPK-BPP untuk
dikumpulkan dandiajukan penggantian dana persediannya (GUP) melalui PPK. Pada
akhir kegiatan/tahun anggaran, BPP wajib menyetorkan sisa UP/TUP yang berada
dalam pengelolaannya kepada Bendahara Pengeluaran.

b. Pengelolaan Kas Selain UP/TUP.


Disamping mengelola uang persediaan, BPP juga mengelola uang yang berasal
dari SP2D-LS yang ditujukan kepada Bendahara Pengeluaran namun diteruskan
kepadanya, pajak-pajak dari potongan pembayaran yang dilakukannya dan sumber

133
penerimaan lainnya yang menjadi hak negara.
Atas potongan pajak-pajak dan penerimaan lainnya tidak dapat digunakan
langsung untuk melakukan pembayaran. Pajak-pajak dan penerimaannya lainnya
tersebut harus disetor ke kas negara dengan menggunakan formulir yang telah
ditentukan. Surat Setoran Pajak (SSP) digunakan untuk penyetoran pajak, Surat
Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) digunakan untuk penyetoaran pengembalian
belanja tahun anggaran berjalan, dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) digunakan
untuk penyetoran penerimaan lainnya.
SP2D-LS Bendahara yang diteruskan kepada BPP harus dibayarkan oleh BPP
kepada yang berhak menerimanya. Apabila penerima pembayaran tidak menunaikan
haknya, maka atas uang yang tidak diambil tersebut disetorkan ke kas negara dengan
menggunakan formulir SSPB. Pada akhir tahun anggaran, BPP wajib menyetorkan
semua uang yang berada dalam pengelolaannya ke kas Negara (kecuali sisa UP yang
harus disetorkan ke Bendahara Pengeluaran).

c. Pembukuan BPP.
Sehubungan dengan fungsi BPP selaku pembantu Bendahara Pengeluaran, BPP
akan menerima sejumlah dana dari Bendahara Pengeluaran guna dibayarkan kepada
yang berhak. Selaku bendahara, BPP dalam melakukan pembayaran wajib melakukan
pengujian dan wajib melakukan pungutan baik pajak maupun non pajak termasuk jasa
giro.
a). Penerimaan dana dari Bendahara Pengeluaran.
Penyaluran dana dari Bendahara Pengeluaran kepada BPP dapat bersumber dari
Uang Persediaan dan dapat bersumber dari SPM-LS Bendahara. Dalam hal
setelah pelaksanaan pembayaran terdapat sisa atas dana dimaksud, terhadap
sisa dana UP dikembalikan kepada Bendahara Pengeluaran sedangkan terhadap
sisa dana SPM-LS Bendahara disetor ke Kas Negara dengan menggunakan SSBP.
Pembukuan yang dilakukan oleh BPP adalah sebagai berikut:
1) Tanda terima/bukti transfer dari Bendahara Pengeluaran, dibukukan di sisi debet
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP dan/atau Buku
Pembantu LS-Bendahara. Khusus untuk UP dicatat sebagai pagu dalam kolom
mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran UP sesuai rencana
penggunaan.
2) Pengembalian sisa UP kepada Bendahara Pengeluaran, dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan dan Buku Pembantu UP.
3) Setoran sisa dana SPM-LS Bendahara ke Kas Negara, dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS
Bendahara.
b). Aktivitas pembayaran atas uang yang bersumber dari Uang Persediaan.
1) Pembayaran atas uang persediaan dilakukan setelah dikurangi kewajiban pihak
terbayar/pihak ketiga. Selanjutnya BPP wajib meminta kuitansi/bukti
pembayaran sebesar nilai bruto dan faktur pajak serta mengembalikan faktur
pajak yang telah disahkan oleh BPP kepada pihak terbayar/pihak ketiga sebesar
kewajibannya. Kuitansi/bukti pembayaran dan faktur pajak dibukukan:
(a) Sebesar nilai bruto kuitansi/bukti pembayaran dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum dan di sisi kredit pada Buku Pembantu Kas, Buku
Pembantu Uang Persediaan, dan dicatat sebagai pengurangan pagu dalam

134
kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan Anggaran UP.
(b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum di sisi debet pada Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak.
2) Penyetoran pajak ke Kas Negara.
SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu Pajak
3) Pengembalian sisa UP kepada Bendahara Pengeluaran.
Tanda terima/bukti transfer dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu UP.
Catatan: Sebagai wujud pertanggungjawaban kepada PA/Kuasa PA
dan sekaligus sebagai sarana revolving Uang Persediaan, Pejabat Pembuat
Komitmen menerbitkan SPP dan menyampaikannya kepada Pejabat Penerbit
SPM dengan disertai bukti-bukti pengeluaran dan bukti-bukti setor. SPP
dibukukan di sisi debet dan sisi Kredit (in-out) pada Buku Kas Umum,
dan dicatat dalam kolom mata anggaran berkenaan pada Buku Pengawasan
Anggaran UP.
c). Aktivitas pembayaran atas Uang yang bersumber dari SPM-LS Bendahara.
1) Pada dasarnya dengan SPM-LS Bendahara pemotongan kepada pihak terbayar
telah dilakukan pada saat penerbitan SPM dimaksud. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembayaran dilakukan atas nilai netto berdasarkan daftar yang
sudah dibuat. Demikian juga penyetoran atas sisa SPM-LS Bendahara ke Kas
negara dilakukan oleh BPP dengan menggunakan SSPB sebesar nilai netto,
hal mana terjadi apabila setelah waktu tertentu pihak yang dituju tidak
mengambil uang dimaksud. Pembukuan atas bukti pembayaran dan SSPB
dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran dibukukan di sisi Kredit pada Buku
Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
b) SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi Kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
2) Dalam hal SPM-LS Bendahara tidak mencakup pemotongan pajak pihak
terbayar, BPP wajib melakukan pemotongan pajak dimaksud pada saat
pelaksanaan pembayaran. Pembukuan dilakukan sebagai berikut:
a) Sebesar tanda terima/bukti pembayaran (bruto) dibukukan di sisi kredit
pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas dan Buku Pembantu LS-
Bendahara.
b) Sebesar nilai faktur pajak/SSP dibukukan di sisi debet pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Pajak.
c) SSP yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas
Umum, Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Pajak.
3) Setoran sisa dana SPM-LS Bendahara ke Kas Negara
SSPB yang dinyatakan sah dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu LS-Bendahara.
4). Aktivitas Lainnya.
Pada dasarnya BPP wajib membukukan dan mempertanggungjawabkan
seluruh uang yang diterimanya. Selanjutnya untuk menampung kemungkinan
adanya penerimaan BPP di luar aktivitas tersebut di atas, pembukuan
dilakukan sebagai berikut:

135
1) Bukti penerimaan lainnya dibukukan di sisi debet pada Buku Kas Umum,
Buku Pembantu Kas, dan Buku Pembantu Lain-lain.
2) SSBP yang dinyatakan sah, yang merupakan setoran atas penerimaan lain- lain,
dibukukan di sisi kredit pada Buku Kas Umum, Buku Pembantu Kas, dan
Buku Pembantu Lain-lain.

d. Contoh Format Pembukuan Bendahara Pengeluaran Pembantu.


a. Buku Kas Umum (BKU)
Bagian 1: Halaman Muka, berbentuk sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan BPP
(6) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan Pejabat Pembuat Komitmen
(7) diisi tahun anggaran
(8) diisi tempat dan tanggal BP-BPP ditandatangani
(9) diisi nama dan NIP Pejabat Pembuat Komitmen yang ditunjuk
(10) diisi nama dan NIP Bendahara Pengeluaran Pembantu yang ditunjuk

136
Bagian 2: Halaman isi BKU, berbentuk sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
Kolom 1 : diisi tanggal pembukuan (format:bulan-tanggal)
Kolom 2 : diisi nomor bukti dokumen sumber
Kolom 3 : diisi uraian dari transaksi penerimaan/pengeluaran
Kolom 4 : diisi jumlah penerimaan yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 5 : diisi jumlah pengeluaran yang tercantum dalam dokumen sumber
Kolom 6 : diisi jumlah saldo setelah ditambah / dikurangi jumlah penerimaan /
pengeluaran yang tercantum dalam dokumen sumber.

137
Bagian 3: Halaman catatan BKU (untuk Pemeriksaan Kas BPP), berbentuk
sebagai berikut:

138
b. Buku Pembantu (BP)
1) BP Kas/BP Uang Persediaan (BP UP)/BP LS-Bdh/BP Lain-lain

Bentuk BP di atas adalah sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
(1) diisi jenis BP berkenaan
(2) diisi kode dan nama departemen
(3) diisi kode dan nama unit organisasi
(4) diisi kode dan nama propinsi/kabupaten/kota
(5) diisi kode dan nama satuan kerja
(6) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan BPP
(7) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan Pejabat Pembuat Komitmen
(8) diisi tahun anggaran
Pengisian kolom (1) sampai dengan (6) mengikuti petunjuk pengisian bagian 2
BKU-BPP

139
2) Buku Pembantu BPP Pajak (BP BPP Pajak)

Bentuk BP Pajak adalah sebagai berikut:

Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama departemen
(2) diisi kode dan nama unit organisasi
(3) diisi kode dan nama propinsi/kabupaten/kota
(4) diisi kode dan nama satuan kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan BPP
(6) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan Pejabat Pembuat Komitmen
(7) diisi tahun anggaran
Kolom (1) : diisi tanggal, bulan dan tahun transaksi terjadi
Kolom (2) : diisi nomor bukti dokumen sumber
Kolom (3) : diisi uraian dari transaksi penerimaan atau pengeluaran
Kolom (4) : diisi jumlah pungutan PPN yang diterima
Kolom (5) : diisi jumlah pungutan PPh Ps 21 diterima
Kolom (6) : diisi jumlah pungutan PPh Ps 22 diterima
Kolom (7) : diisi jumlah pungutan PPh Ps 23 diterima
Kolom (8) : diisi jumlah pungutan pajak lainnya (jika ada)
Kolom (9) : diisi jumlah pajak yang telah disetorkan ke kas negara
Kolom (10) : diisi jumlah saldo setelah ditambah penerimaan pajak atau
dikurangi jumlah setoran pajak yang tercantum dalam dokumen
sumber.

140
3) Buku Pengawasan Anggaran BPP.
Bentuk Buku Pengawasan Anggaran BPP sebagai berikut:
Buku Pengawasan Anggaran Uang Persediaan

141
Petunjuk pengisian:
(1) diisi kode dan nama Departemen
(2) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(3) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(4) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(5) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan BPP
(6) diisi tanggal dan nomor SK Pengangkatan Pejabat Pengelola Kegiatan
(7) diisi tahun anggaran
(8) diisi fungsi berkenaan
(9) diisi kode sub fungsi berkenaan
(10) diisi kode program berkenaan
(11) diisi kode kegiatan berkenaan
(12) diisi kode sub kegiatan berkenaan
(13) diisi kode kelompok MA berkenaan
(14) s/d (18) diisi kode MA berkenaan
(19) diisi pagu kelompok MA berkenaan
(20) s/d (24) diisi pagu MA berkenaan

Kolom (1) : diisi tanggal, bulan dan tahun transaksi terjadi


Kolom (2) : diisi nomor bukti dokumen sumber pengeluaran
Kolom (3) : diisi uraian dari transaksi pengeluaran yang dilakukan
Kolom (4) : diisi jumlah nominal transaksi
Kolom (5) : diisi sisa pagu kelompok MA berkenaan.
Kolom (6) s/d (10) diisi sisa pagu MA berkenan
Kolom (11) : diisi jumlah pembayaran yang belum di LPJ kan
Kolom (12) : diisi jumlah pembayaran yang sudah di LPJ kan

4. Contoh Pembukuan Bendahara Pengeluaran

Diketahui anggaran belanja DIPA tahun 2014 Departemen Fiktif tanggal 1 Januari 2014 adalah
sebagai berikut :

Jenis Kegiatan MAK Jumlah

142
Belanja Barang Operasional (5211) 5211 Rp 210.000.000,00
A. Keperluan sehari-hari 521111 Rp 60.000.000,00
perkantoran 521112 Rp 90.000.000,00
B. Belanja Inventaris Kantor 521119 Rp 60.000.000,00
C. Belanja barang
operasional lainnya 5221 Rp 72.000.000,00
522111 Rp 72.000.000,00
Belanja Jasa (5221)
Belanja Layanan Daya dan Jasa 5231 Rp 138.000.000,00

Belanja Pemeliharaan Ged. Bangunan dan 523111 Rp 54.000.000,00


Peralatan & Mesin 523121 Rp 48.000.000,00
A. Belanja Pemeliharaan Ged. Bangunan 523122 Rp 36.000.000,00
B. Belanja Pemeliharaan Peralatan & Mesin
C. Belanja Pemeliharaan Peralatan & Mesin lainnya 5241 Rp 120.000.000,00
524111 Rp 120.000.000,00
Belanja Perjalanan
Belanja Perjalanan Biasa Rp 540.000.000,00

Jumlah MAK

Berdasarkan surat Persetujuan Dispensasi dari Dirjen Kebendaharaan, Uang Persediaan (UP)
yang diperkenankan adalah Rp 45.000.000,00.
Transaksi-transaksi keuangan yang terjadi pada bulan Januari 2014 adalah sebagai berikut :
1). Januari 03, Atas perintah Atasan Langsung, Bendahara mengajukan SPP-UP No.
01/023.115/UP/2014 kepada Pejabat Penguji dan perintah pembayaran (Pejabat Penerbit
SPM) sebesar Rp 45.000.000,00
2). Januari 03, Diterima SPM UP dan diteruskan ke KPPN guna meminta pencairan dana
pengisi uang persediaan
3). Januari 04, Bendahara menerima SP2D lembar 2 dari KPPN Bogor atas SPM UP yang telah
diajukan tertanggal 04 Januari 2014 No. 0001 U sebesar Rp 45.000.000,00
4) Januari 06, Untuk keperluan biaya sehari-hari, Bendahara mengambil uang dari bank untuk
mengisi kas dengan Cek ABC No 001 sebesar Rp 30.000.000,00
5). Januari 07, Dibayar dengan tunai rekening listrik (Rp 3.000.000), gas (Rp 1.000.000), dan
telepon (Rp 2.000.000) bulan Desember 2013 atas beban MAK 522111.
6). Januari 08, Dibayar dengan tunai atas pembelian alat tulis kantor (ATK) dari Koperasi Teko
Sumodiwirjo sebesar Rp 900.000,00 atas beban MAK 5211 (Sub MAK 521111).
7). Januari 14, Dibayar dengan tunai atas pengadaan Komputer dari Toko Genzi (NPWP
No.0004.500.002) seharga Rp 7.700.000,00 atas beban MAK 5211 (Sub MAK 521112).
Atas pengadaan tersebut Bendahara telah memungut pajak sesuai dengan ketentuan
masing-masing PPN 10% dan PPh pasal 22 sebesar 1,5%. Hasil pungutan tersebut langsung
disetor ke Kas Negara.
8). Januari 25, Dibayar melalui Bank atas biaya perbaikan 3 (tiga) buah kendaraan dinas
kepada bengkel “Delima Jaya” (NPWP 0004.600.003) sebesar Rp 12.375.000,00 atas
beban MAK 5231 (Sub MAK 523121).
Bendahara telah memberikan Cek No. ABC. 002. dengan nilai bersih yaitu
memperhitungkan pungutan PPN 10% dan PPh pasal 23 sebesar 2% sebagai alat

143
pembayaran kepada rekanan sebesar Rp 10.575.000,00. Hasil pungutan pajak tersebut
langsung disetor tunai ke Kas Negara masing-masing dengan bukti kas
9). Januari 27, Dibayar dengan tunai atas biaya perbaikan peralatan lab oleh CV. Pharmasindo
(NPWP. No. 0004.700.004) sebesar Rp 9.432.500,00 atas beban MAK 5231 (Sub MAK
523122).
Bendahara telah mengeluarkan Cek No. ABC. 003. dengan nilai bersih yaitu dengan
memperhitungkan PPN 10% dan PPh pasal 23 sebesar 2 % sebagai alat pembayaran kepada
rekanan sebesar Rp 10.105.000. Hasil pungutan pajak tersebut langsung ditransfer ke kas
negara
Diminta : Mencatat kejadian-kejadian tersebut di atas ke dalam :
1. Buku Kas Umum Bentuk Scontro
2. Buku Pembantu Kas Tunai
3. Buku Pembantu Bank
4. Buku Pembantu Pajak
5. Buku Pengawasan Uang Persediaan
6. Buku Pengawasan Kredit MAK

BUKU KAS UMUM

Departemen/Lembaga : (0XX) Departemen Fiktif


Unit Organisasi : (0X) Dit. ……
Propinsi/Kabupaten/Kota : (0XX)
Satuan Kerja : (XXXXXXX)
Tgl, No.SP DIPA : 31-12-2013 No. 0102.0/011-02/XX/2013
Revisi D I P A ke : -

Tahun Anggaran : 2014


KPPN : Bogor

Palembang, 2 - 1 - 2 0 1 4

Mengetahui,
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Pengeluaran

Ttd. Ttd.

(Toto Kurnia,SH ) (Susan Indria, SE)


NIP. 19650207 19902 1002 NIP. 19750101 19993 1001

144
E. Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ)
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran wajib menyusun laporan
pertanggungjawaban secara bulanan atas uang yang dikelolanya. Bendahara Pengeluaran
Pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya kepada Bendahara
Pengeluaran pada setiap awal bulan.

1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)


Laporan Pertanggungjawaban merupakan laporan yang disusun atas pelaksanaan amanah
yang diberikan. Bendahara pengeluaran sebagai orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan uang untuk keperluan belanja Negara dalam rangka
pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian Negara / Lembaga wajib
menatausahakan dan menyusun laporan pertanggungjawaban atas uang yang dikelolanya. Hal
tersebut dijelaskan dalam peraturan Menteri Keuagan nomor 73/PMK/2008 pasal 1 menyebutkan
bahwa Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ), adalah laporan yang dibuat Bendahara atas
uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang. Masih dalam pasal 1
disebutkan juga bahwa Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Pembantu, (LPJ-
BPP), adalah laporan yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) atas uang yang
dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang. Jika kita perhatikan proses
pertanggungjawaban merupakan proses akhir dalam satu siklus pengelolaan sumber daya yang
berupa uang dan surat berharga yang menjadi tanggung jawab bendahara.

Gambar – Siklus Pekerjaan Bendahara

Laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan sangat diperlukan untuk beberapa


tujuan, yaitu :

145
1. Memberikan informasi antara pemberi dan penerima sumber daya sehingga tercipta
komunikasi dua arah yang seimbang tentang posisi awal, mutasi dan posisi akhir dalam
penggunaan sumber daya yang dipertanggungjawabkan.
2. Memberikan informasi kesesuaian pelaksanaan anggaran dengan anggaran yang telah
ditetapkan
3. Memberikan informasi kesesuaian antara pencatatan dengan keadaan fisik sumber daya yang
dikelola bendahara pengeluaran.
4. Memberikan informasi tambahan atas perbedaan antara pencatatan akuntansi dan pencatatan
yang dilakukan bendahara secara pembukuan.
5. Memberikan informasi tambahan jika terdapat perbedaan antara pembukuan dengan keadaan
fisik sumber daya yang dikelola oleh bendahara.
Manfaat LPJ
Manfaat Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran secara umum antara lain :
1. Laporan Pertanggungjawaban Bendahara sebagai alat komunikasi
Laporan pertanggungjawaban merupakan informasi atas pengelolaan sumber daya yang
diamanahkan atau dipercayakan kepada suatu entitas atau individu. Dengan adanya informasi
tersebut maka akan terjalin komunikasi antara pemberi dan penerima sumber daya tersebut,
bahkan kepada pihak-pihak yang memang berkepentingan atas sumber daya dan informasi
tersebut.
2. Laporan Pertanggungjawaban sebagai dasar pengambilan keputusan
Sistem Pengendalian Manajemen memerlukan data dan informasi yang akurat agar pengambil
keputusan dapat mengambil keputusan dan tindakan-tindakan yang tepat dan akurat, yang
diperlukan di masa yang datang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hasil interpretasi
data dan informasi yang ada, sehingga diharapkan organisasi akan berjalan seperti yang
diharapkan.
3. Laporan Pertanggungjawaban sebagai sarana akuntabilitas.
Laporan pertanggungjawaban adalah sarana dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan
atas pengelolaan sumber daya dalam mencapai tujuan berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Manfaat Laporan Pertanggungjawaban Bendahara secara khusus untuk berbagai pihak antara
lain:
1. Manfaat bagi Bendahara
Sebagai laporan pertanggungjawaban dan pengawasan ketersediaan dana terkait dengan
perintah bayar dari KPA.
2. Manfaat bagi Pimpinan Satuan Kerja
Merupakan managerial report, sebagai sarana untuk pengambilan keputusan dalam
pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari terkait dengan keadaan sisa pagu dana yang
sesungguhnya (kuitansi UP dianggap mengurangi pagu dana) dan pelengkap SAI, terkait
dengan perkiraan kas di Bendahara.
3. Manfaat bagi Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) / KPPN
a. Alat monitoring rekening Satker di wilayah kerja KPPN.
b. Alat monitoring keadaan kas di Bendahara yang sebenarnya, meliputi :
 Saldo UP/TUP;

146
 Saldo SPM-LS Bendahara;
 Saldo Pajak;
 Saldo Penerimaan lainnya;
 Saldo penerimaan pada Bendahara Penerimaan.
c. Alat penguji/rekonsiliasi atas pembukuan yang dilakukan KPPN dengan Bendahara.
d. Bahan analisis untuk pelaksanaan pembinaan kepada Bendahara.
4. Manfaat bagi Kanwil DJPbn
a. Alat monitoring keadaan kas di bendahara dan keadaan rekening Satker di wilayah
kerjanya
b. Bahan analisis untuk pelaksanaan pembinaan kepada KPPN dan Bendahara;
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk pemberian dispensasi TUP.
5. Manfaat bagi Direktorat PKN
a. Alat monitoring keadaan kas di Bendahara dan dan keadaan rekening Satker di seluruh
Indonesia
b. Bahan analisis untuk pelaksanaan pembinaan kepada Kanwil dan Bendahara;
c. Memberikan sumbangan data Neraca dan Laporan Realisasi APBN, khususnya perkiraan
kas di Bendahara.
Laporan pertanggungjawaban bendahara tersebut harus menyajikan informasi tentang:
a. Keadaan pembukuan pada bulan pelaporan, meliputi saldo awal, penambahan,
penggunaan/pengurangan, dan saldo akhir dari buku-buku pembantu;
b. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan, meliputi uang tunai di brankas dan saldo di
rekening bank/pos;
c. Hasil rekonsiliasi internal (antara pembukuan bendahara dengan UAKPA); dan
d. Penjelasan atas selisih (jika ada), antara saldo buku dan saldo kas.

2. Tata Cara Penyusunan dan Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban


LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disusun berdasarkan buku kas
umum, buku-buku pembantu dan buku pengawasan anggaran yang telah direkonsiliasi dengan
UAKPA. Disamping itu juga perlu ditambahkan bahwa LPJ Bendahara Pengeluaran merupakan
gabungan dari satu atau lebih LPJ-BPP dengan LPJ Bendahara Pengeluaran itu sendiri. LPJ
BPP juga disusun berdasarkan Buku Kas Umum, Buku-buku Pembantu dan Buku
Pengawasan Anggaran.
LPJ Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran disampaikan kepada:
a. Kepala KPPN yang ditunjuk dalam DIPA satuan kerjanya
b. Menteri/Pimpinan Lembaga masing-masing
c. Badan Pemeriksa Keuangan
Penyampaian LPJ tersebut dilakukan secara bulanan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
hari kerja bulan berikutnya, disertai dengan salinan rekening koran dari bank/pos bulan
berkenaan.
LPJ BPP dikirimkan kepada Bendahara Pengeluaran induknya paling lambat 5 (lima) hari
kerja bulan berikutnya disertai dengan salinan rekening koran dari bank/pos bulan berkenaan.

147
3. Bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara
a. LPJ Bendahara Penerimaan
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan, berbentuk sebagai berikut:

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENERIMAAN


Bulan: ………………… (1)
Departemen/ Lembaga : (…..) …………… (2) Tgl, No. SP DIPA : ………………. (7)
Unit Organisasi : (…..) …………… (3) Tahun Anggaran : ………………. (8)
Propinsi/Kab/Kota : (…..) …………… (4) KPPN : (…) ….……… (9)
Satuan Kerja : (…..) …………… (5)
Alamat dan Tlp. : (…..) …………… (6)
I. Keadaan Pembukuan bulan pelaporan dengan saldo akhir pada BKU sebesar Rp.
……………….…(10) dan Nomor Bukti terakhir Nomor: …………….. (11)
Jenis Buku Pembantu Saldo Awal Penerimaan Penyetoran Saldo Akhir
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A. BP Kas …………..
1. BP Kas (tunai dan Bank) ………….. ………….. ………….. …………..
B. Buku Pembantu …………..
1. BP …. ………….. ………….. ………….. …………..
2. BP ….. ………….. ………….. ………….. …………..
3. BP Lain-lain ………….. ………….. ………….. …………..
II. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan

1. Uang tunai di brankas Rp. ………… (12)


2. Uang di rekening bank Rp. ………… (13) (+) (terlampir salinan rekening koran)
3. Jumlah saldo kas Rp. ………… (14)
III. Hasil rekonsiliasi internal dengan UAKPA
Hasil Rekonsiliasi internal (Bendahara dengan UAKPA)
A Pembukuan menurut Bendahara
1 Penerimaan yang sudah disetorkan ke kas negara Rp ……… (15)
B Pembukuan menurut UAKPA Rp ……… (16)
C Selisih pembukuan Bendahara dengan UAKPA (A1 – B) Rp ……….. (17)
IV. Pembukuan dan fisik kas telah diperiksa oleh KPA dengan hasil sebagai berikut:

1. Selisih Kas (saldo akhir I.A.1 – II.3) Rp. ……… (18) (jelaskan apabila ada selisih)
Rp
2. Selisih Pembukuan (III.C) Rp. ……… (19) (jelaskan apabila ada selisih)

……….., …………… (20)


Mengetahui: Bendahara Penerimaan
Kuasa Pengguna Anggaran

Nama: (21) Nama: (22)


NIP: NIP:

148
Petunjuk pengisian:
(1) diisi bulan dan tahun berkenaan
(2) diisi kode dan nama Departemen
(3) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(4) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(5) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(6) diisi alamat dan No telpon satuan kerja
(7) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(8) diisi tahun anggaran
(9) diisi kode dan nama KPPN
(10) diisi jumlah saldo akhir BKU pada bulan pelaporan
(11) diisi nomor bukti terakhir pada BKU

Kolom (3) : diisi saldo awal masing-masing buku yang merupakan saldo bulan lalu
Kolom (4) : diisi jumlah kolom debet yang terjadi di bulan pelaporan pada masing- masing
buku
Kolom (5) : diisi jumlah kolom kredit yang terjadi di bulan pelaporan pada masing- masing
buku
Kolom (6) : diisi jumlah saldo akhir kolom (3) ditambah kolom (4) dikurangi kolom (5)
masing-masing buku

(12) diisi jumlah uang tunai di brankas bendahara penerimaan pada akhir bulan pelaporan
(13) diisi jumlah uang pada rekening bendahara penerimaan di bank pada akhir bulan
pelaporan
(14) diisi penjumlahan nomor (12) dan (13)
(15) diisi jumlah penerimaan yang sudah disetorkan pada bulan berkenaan
(16) diisi realisasi penerimaan bulan berkenaan menurut UAKPA
(17) diisi selisih antara nomor (15) dan (16)
(18) diisi selisih antara I.A.1 kolom (6) dengan II.3 (19) diisi sama dengan nomor (17)
(20) diisi tempat dan tanggal LPJ ditandatangani
(21) diisi nama dan NIP Kuasa PA
(22) diisi nama dan NIP Bendahara Penerimaan

149
b. LPJ Bendahara Pengeluaran
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran, berbentuk sebagai berikut:

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENGELUARAN


Bulan : ………………… (1)
Departemen Lembaga : (…..) ………… (2) Tgl, No. SP DIPA : ………………… (7)
Unit Organisasi : (…..) ………… (3) Tahun Anggaran : ………………… (8)
Provinsi/Kab/Kota : (…..) ………… (4) KPPN : (…) ….……….. (9)
Satuan Kerja : (…..) ………… (5)
Alamat dan Telp. : ……………….. (6)
I. Keadaan Pembukuan bulan pelaporan dengan saldo akhir pada BKU sebesar Rp. …………(10)
dan Nomor Bukti terakhir Nomor: …………….. (11)
Jenis Buku Pembantu Saldo Awal Penambahan Pengurangan Saldo Akhir

1 2 3 4 5 6

A. BP Kas, BPP, dan UM Perjadin …………..


1. BP Kas (Tunai dan Bank) ………….. ………….. ………….. …………..
2. BP UM Perjadin ………….. ………….. ………….. …………..
3. BP BPP (Kas pada BPP) ………….. ………….. ………….. …………..
B. BP selain Kas, BPP, dan UM …………
Perjadin
1. BP UP *) ………….. ………….. ………….. …………..
2. BP LS-Bendahara ………….. ………….. ………….. …………..
3. BP Pajak ………….. ………….. ………….. …………..
4. BP Lain-lain ………….. ………….. ………….. …………..
*) jumlah pengurangan sudah termasuk kuitansi UP yang belum di SPM kan sebesar Rp.........(12)
II. Keadaan Kas pada akhir Bulan Pelaporan
1. Uang Tunai di Brankas Rp. ………… (13)
2. Uang di Rekening Bank Rp ………… (14) (+) (terlampir salinan rekening koran)
3. Jumlah Kas Rp. ………… (15)
III. Selisih Kas
1. Saldo Akhir BP Kas (I.A.1 kol 6) Rp. ………… (16)
2. Jumlah Kas (II.3) Rp ………… (17) (-)
3. Selisih Kas Rp. ………… (18)
IV. Hasil Rekonsiliasi Internal dengan UAKPA
1. Saldo UP Rp. ………. (19)
2. Kuitansi UP Rp. ………. (20) (+)
3. Jumlah UP Rp. ………… (21)
4. Saldo UP menurut UAKPA Rp. ………… (22) (-)
5. Selisih Pembukuan UP Rp. ……….. (23)
V. Penjelasan selisih kas dan/atau selisih pembukuan UP (apabila ada):
1. ……………………………………………………
(24)
2. ……………………………………………………
……….., …………… (25)
Mengetahui: Bendahara Pengeluaran,
Kuasa Pengguna Anggaran,

Nama…………..(26) Nama…………….(27)
NIP………………….. NIP………………….

150
Petunjuk pengisian:
(1) diisi bulan dan tahun berkenaan
(2) diisi kode dan nama Departemen
(3) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(4) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(5) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(6) diisi alamat da No telpon satuan kerja
(7) diisi tanggal dan nomor SP DIPA
(8) diisi tahun anggaran
(9) diisi kode dan nama KPPN
(10) diisi jumlah saldo akhir BKU pada bulan pelaporan
(11) diisi nomor bukti terakhir pada BKU
Kolom (3) : diisi jumlah saldo awal masing-masing buku yang merupakan saldo
akhir bulan lalu
Kolom (4) : diisi jumlah kolom debet yang terjadi di bulan pelaporan pada
masing-masing buku pembantu
Kolom (5) : diisi jumlah kolom kredit yang terjadi di bulan pelaporan pada
masing-masing buku pembantu
Kolom (6) : diisi jumlah saldo akhir (kolom (3) ditambah kolom (4) atau
dikurangi kolom (5)) masing-masing buku
(12) diisi jumlah uang tunai di brankas bendahara pengeluaran pada akhir bulan
pelaporan
(13) diisi jumlah uang pada rekening bendahara pengeluaran di bank pada akhir bulan
pelaporan
(14) diisi penjumlahan nomor (12) dan (13)
(15) diisi saldo UP pada BP UP bulan berkenaan
(16) diisi jumlah UP yang belum disahkan pada bulan berkenaan
(17) diisi penjumlahan nomor (15) dan (16)
(18) diisi saldo UP menurut UAKPA
(19) diisi selisih antara nomor (17) dan (18)
(20) diisi selisih antara I.A.1 kolom (6) dengan II.3
(21) diisi sama dengan nomor (19)
(22) diisi tempat dan tanggal LPJ ditandatangani
(23) diisi nama dan NIP Kuasa PA
(24) diisi nama dan NIP Bendahara Pengeluaran

151
c. LPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu (LPJ-BPP)
Bentuk LPJ-BPP sebagai berikut:

LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENGELUARAN PEMBANTU


Bulan: ………………… (1)
Departemen Lembaga : (…..) ………. (2) Tgl/No SK Pengangkatan
Unit Organisasi : (…..) ………. (3) 1. BPP : ………….. (7)
Propinsi/Kab/Kota : (…..) ………. (4) 2. Pejabat Pembuat Komitmen : ………….. (8)
Satuan Kerja : (…..) ………. (5) Tahun Anggaran : ………….. (9)
Alamat dan Tlp. : ……………... (6)

I. Keadaan pembukuan bulan pelaporan dengan saldo akhir pada BKU-BPP sebesar
Rp.………(10) dan nomor bukti terakhir nomor ………….. (11)
Saldo
Jenis Buku Saldo Awal Penambahan Pengurangan
Akhir
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A. BP Kas dan UM Perjadin …………..
1. BP Kas (kas tunai dan bank) ………….. ………….. ………….. …………..
2. BP UM Perjadin ………….. ………….. ………….. …………..
B. BP selain Kas dan UM Perjadin
1. BP UP *) ………….. ………….. ………….. …………..
Belanja MA …… …………..
Belanja MA …… …………..
…………..
Belanja MA ……
…………..
Pengembalian Sisa UP
………….. ………….. ………….. …………..
2. BP LS-Bdh
………….
Pembayaran atas LS-Bdh …………..
Setoran atas LS-Bdh ………….. ………….. ………….. …………..
3. BP Pajak ………….. ………….. ………….. …………..
4. BP Lain-lain
*) jumlah pengurangan sudah termasuk kuitansi UP yang belum di SPP kan sebesar Rp…………

II. Keadaan kas pada akhir bulan pelaporan


1. Uang tunai Rp. ………… (12)
2. Uang direkening bank Rp ………… (13) (+) (terlampir salinan rekening koran)
3. Jumlah kas Rp. ………… (14)
III. Selisih Kas
1. Saldo akhir BP Kas (I.A.1 kol 6) Rp. ……….. (15)
2. Jumlah Kas (II.3) Rp. ……….. (16) (-)
3. Selisih Kas Rp. ………. (17)
IV. Penjelasan selisih III.3 (apabila ada):
1. …………………………………………… (18)

……….., …………… (19)


Mengetahui
Pejabat Pembuat Komitmen Bendahara Pengeluaran Pembantu

Nama: (20) Nama: (21)


NIP: NIP:

152
Petunjuk pengisian:
(1) diisi bulan dan tahun berkenaan
(2) diisi kode dan nama Departemen
(3) diisi kode dan nama Unit Organisasi
(4) diisi kode dan nama Propinsi/Kabupaten/Kota
(5) diisi kode dan nama Satuan Kerja
(6) diisi alamat dan nomor telpon satuan kerja
(7) diisi tanggal dan nomor SK pengangkatan BPP
(8) diisi tanggal dan nomor SK pengangkatan Pejabat Pembuat Komitmen
(9) diisi tahun anggaran
(10) diisi jumlah saldo akhir BKU BPP pada bulan pelaporan
(11) diisi nomor bukti terakhir pada BKU BPP
Kolom (3) : diisi jumlah saldo awal masing-masing buku pembantu yang merupakan
saldo akhir bulan lalu.
Kolom (4) : diisi jumlah kolom debet yang terjadi di bulan pelaporan pada masing-
masing buku pembantu.
Kolom (5) : diisi jumlah kolom kredit yang terjadi di bulan pelaporan pada masing-
masing buku pembantu.
Kolom (6) : diisi jumlah saldo akhir (kolom (3) ditambah kolom (4) atau dikurangi
kolom (5)) masing-masing buku.
(12) diisi jumlah uang tunai di brankas BPP pada akhir bulan pelaporan
(13) diisi jumlah uang pada rekening BPP di bank pada akhir bulan pelaporan
(14) diisi penjumlahan nomor (12) dan (13)
(15) diisi sama dengan I.A kolom 6
(16) diisi sama dengan II.3
(17) diisi selisih antara nomor (15) dan (16)
(18) diisi penjelasan terjadinya selisih (apabila terdapt selisih)
(19) diisi tempat dan tanggal LPJ ditandatangani
(20) diisi nama dan NIP Pejabat Pembuat Komitmen
(21) diisi nama dan NIP Bendahara Pengeluaran Pembantu

4. Verifikasi Laporan Pertanggungjawaban Bendahara


KPPN selaku Kuasa BUN melakukan verifikasi atas LPJ Bendahara yang diterimanya.
Verifikasi yang dilakukan oleh KPPN meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Membandingkan saldo Uang Persediaan yang tertuang dalam LPJ dengan Kartu
Pengawasan Kredit Anggaran yang ada di KPPN;
b. Membandingkan saldo awal yang tertuang dalam LPJ dengan saldo akhir yang tertuang
dalam LPJ bulan sebelumnya;
c. Menguji kebenaran nilai uang di rekening bank yang tercantum dalam LPJ dengan
salinan rekening koran bendahara;
d. Menguji kebenaran perhitungan (penambahan/pengurangan) pada LPJ; dan
e. Meneliti kepatuhan bendahara dalam penyetoran pajak dan dalam penyampaian
laporan pertanggungjawaban.
LPJ Bendahara yang telah diverifikasi tetapi masih terdapat kesalahan, dikembalikan
kepada bendahara yang bersangkutan untuk kemudian dilakukan pembetulan dan
disampaikan kembali kepada KPPN setelah dilakukan revisi seperlunya.
KPPN merekap seluruh LPJ Bendahara yang berada di wilayah kerjanya untuk
kemudian menyampaikan rekap LPJ Bendahara tersebut ke Kanwil Direktorat Jenderal
153
Perbendaharaan setempat.
Atas dasar Rekapitulasi LPJ Bendahara yang diterima dari seluruh KPPN di wilayah
kerjanya, Kanwil Ditjen Perbendaharaan melakukan rekapitulasi LPJ Bendahara menurut
bagian anggaran dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p.
Direktur PKN.
Atas dasar Rekapitulasi LPJ Bendahara yang diterima dari seluruh Kanwil Ditjen
Perbendaharaan, Direktorat PKN menyusun Rekapitulasi LPJ Bendahara menurut bagian
anggaran. Hasil rekapitulasi LPJ disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan
untuk digunakan sebagai sumbangan data dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah
tingkat pusat, serta sebagai bahan dalam menentukan kebijakan terkait dengan Kas di
Bendahara.

Rangkuman
1. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama
Negara/daerah menerima, menyimpan, membayar, dan atau mengeluarkan uang/surat
berharga/barang-barang milik Negara/daerah. Bendahara bertanggung jawab secara
pribadi atas pembayaran yang dilaksanakan dan secara fungsional bertanggung jawab
kepada Kuasa Bendahara Umum Negara. Klasifikasi Bendahara terdiri atas : Bendahara
Penerimaan, Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP). BPP
adalah bendahara yang bertugas membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan
pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. Dalam
melaksanakan tugasnya, BPP bertindak untuk dan atas nama Bendahara Pengeluaran.
2. Bendahara wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan seluruh uang negara
yang dikelolanya. Disamping itu, bendahara selaku pejabat yang diangkat oleh
Menteri/pimpinan lembaga juga wajib membukukan seluruh transaksi dalam rangka
pelaksanaan anggaran satuan kerja sebagaimana tertuang dalam DIPA. Pembukuan
bendahara akan menghasilkan laporan keadaan kas dan realisasi belanja yang
sesungguhnya.
3. Setiap penerimaan pada dasarnya harus secara langsung disetor ke rekening kas negara.
Apabila Bendahara Penerimaan tersebut menerima secara langsung setoran penerimaan
dari wajib setor, maka Bendahara Penerimaan wajib menyetorkan seluruh penerimaannya
ke kas Negara paling lambat satu hari kerja, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang
berdasarkan ketentuan yang berlaku, penyetorannya dilakukan secara berkala. Bendahara
yang melakukan penyetoran secara berkala, wajib menyimpan uang setoran penerimaan
dari wajib setor pada rekening bank/pos atas nama jabatannya (bukan atas nama pribadi).
Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Penerimaan wajib menyetorkan seluruh uang
negara yang dikuasainya ke kas negara.
4. Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan Bendahara Pengeluaran harus ditatausahakan,
dicatat dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan pembayaran dengan UP/TUP
hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari PA/KPA. Atas pembayaran yang
dilakukannya, Bendahara Pengeluaran sebagai wajib pungut wajib memungut pajak-
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Bukti-bukti
pembayaran selanjutnya disampaikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk
dikumpulkan dan diajukan penggantian dana persediaannya (GUP), sehingga uang UP
nantinya akan berdaur ulang (revolving). Pada akhir tahun anggaran, Bendahara
Pengeluaran wajib menyetorkan sisa UP/TUP yang berada dalam pengelolaannya ke
kas negara.
5. SP2D-LS Bendahara harus dibayarkan oleh Bendahara Pengeluaran kepada yang berhak
menerimanya. Apabila penerima pembayaran tidak menunaikan haknya, maka atas uang
154
yang tidak diambil tersebut disetorkan ke kas negara dengan menggunakan formulir
SSPB. Pada akhir tahun anggaran, Bendahara Pengeluaran wajib menyetorkan semua
uang yang berada dalam pengelolaannya ke kas Negara.
6. UP/TUP yang dikelola BPP berasal dari Bendahara Pengeluaran. UP/TUP BPP
merupakan uang muka kerja yang akan digunakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) dimana BPP berada (PPK-BPP) untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan
yang dilaksanakan oleh PPK-BPP. Dana UP/TUP yang ada dalam pengelolaan BPP
harus ditatausahakan, dicatat dan dibukukan dengan baik dan tertib. Pelaksanaan
pembayaran dengan UP/TUP hanya dapat dilaksanakan apabila ada perintah dari
PPK-BPP.
7. Bendahara Pengeluaran dan / atau BPP juga mengelola uang yang berasal dari SP2D-LS
yang ditujukan kepadanya. Atas potongan pajak-pajak dan penerimaan lainnya yang
menjadi hak Negara, tidak dapat digunakan langsung untuk melakukan pembayaran.
Pajak-pajak dan penerimaan lainnya tersebut harus disetor ke kas negara dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) untuk penyetoran pajak, Surat Setoran
Pengembalian Belanja (SSPB) digunakan untuk penyetoran pengembalian belanja tahun
anggaran berjalan, dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) digunakan untuk penyetoran
penerimaan lainnya.
8. Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ) adalah laporan yang dibuat Bendahara
atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang. Bendahara
Penerimaan, Bendahara Pengeluaran dan BPP wajib menyusun laporan pertanggung-
jawaban secara bulanan atas uang yang dikelolanya. Bendahara Pengeluaran Pembantu
wajib menyampaikan laporan pertanggung jawabannya kepada Bendahara Pengeluaran
pada setiap awal bulan. LPJ Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran dan BPP
disusun berdasarkan buku kas umum, buku-buku pembantu dan buku pengawasan
anggaran yang telah direkonsiliasi dengan UAKPA. LPJ Bendahara Pengeluaran
merupakan gabungan dari satu atau lebih LPJ-BPP dengan LPJ Bendahara Pengeluaran
itu sendiri.
9. KPPN selaku Kuasa BUN melakukan verifikasi atas LPJ Bendahara yang diterimanya.
LPJ Bendahara yang telah diverifikasi tetapi masih terdapat kesalahan, dikembalikan
kepada bendahara yang bersangkutan untuk kemudian dilakukan pembetulan dan
disampaikan kembali kepada KPPN setelah dilakukan revisi seperlunya.

Bahan Evaluasi
1. Siapa yang dimaksud dengan bendahara ?
2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis bendahara !
3. Sebutkan tugas dan fungsi bendahara !
4. Jelaskan pengertian, tujuan dan manfaat Laporan Pertanggungjawaban !
5. Apa yang dilakukan KPPN ketika memverifikasi laporan pertanggungjawaban bendahara?

155

Anda mungkin juga menyukai