Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang berasal dari pseudostratified ciliated
columnar epithelium regio sinonasal, umumnya dinding lateral rongga hidung kebanyakan
pada meatus media, jarang dari septum nasi ataupun sinus paranasal. 1

Papilloma inverted pertama kali didokumentasikan oleh Ward pada tahun 1854 yang
disebut Schnederian Papilloma. Tumor jinak ini diberi nama untuk menghormati C. Victor
Schneider yang pada tahun 1600 menjelaskan mukosa nasal memproduksi cairan katar bukan
menghasilkan cairan serebrospinal. Papilloma inverted menggambarkan kelompok lesi tumor
jinak yang berasal dari permukaan mukosa traktus sinonasal. Papiloma inverted ini
merupakan tumor jinak epitelial yang paling banyak ditemukan pada rongga hidung. 2

Tumor sinonasal yang tumbuh secara lokal, bersifat agresif dan mempunyai angka
rekurensi yang cukup tinggi. Tumor ini dapat berubah menjadi ganas, oleh karena itu
penatalaksanaan tumor ini adalah dengan mereseksi seluruh jaringan tumor. 2

Tumor ini masih jarang ditemukan 0,5%-4% dari seluruh tumor hidung dan sinus
paranasal, menyerupai polip tetapi lebih padat bila dibandingkan polip nasi, biasanya bersifat
unilateral. Insiden terjadi lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perenpuan, dengan
perbandingan 3:1. Umumnya terjadi padaa usia dekade 50-70 tahun dan rata-rata berusia 53
tahun. Akan tetapi, IP pernah ditemukan pada usia remaja dan anak-anak, dan usia yang lebih
tua. 2

Keberadaan human papiloma virus (HPV) telah dibuktikan pada beberapa laporan
dengan frekuensi yang berbeda. Respler et al, menemukan DNA HPV 11 pada 2 orang pasien
mereka. Weber et al, menemukan DNA HPV pada 16 dari 21 pasien mereka.Weiner et al,
menemukan DNA HPV 6 dan HPV 11 sebanyak 6,8 % dari 69 kasus. 1
2

1.2.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami inverted
papilloma, sehingga dapat diterapkan pada kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu THT
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum
nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.3

Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal.3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.3
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga didalam tulang. Ada empat sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.3

2.2. INVERTED PAPILLOMA

2.1.1. Definisi

Inverted papilloma adalah tumor jinak primer dari hidung dan sinus paranasal yang
jarang terjadi. Papilloma inverted merupakan tumor jinak yang berasal dari pseudostratified
ciliated columnar epithelium regio sinonasal, umumnya dinding lateral rongga hidung
kebanyakan pada meatus media, jarang dari septum nasi ataupun sinus paranasal.4.1
4

2.1.2. Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab pasti papiloma inverted belum diketahui. Beberapa teori telah diajukan,
meliputi alergi, inflamasi kronik dan karsinogen berhubungan dengan pajanan serta infeksi
virus papiloma.5

Alergi merupakan penyebab yang sudah agak ditinggalkan, dikarenakan pasien-pasien


penderita papiloma inverted mempunyai riwayat alergi yang negatif, selain itu papiloma
sinonasal biasanya unilateral. Sinusitis paranasal sering ditemukan pada penderita papiloma
inverted dan ini disebabkan oleh obstruksi tumor dibanding dengan menyebabkan
terbentuknya tumor.5

Faktor ekstrinsik yang berhubungan dengan polusi udara dan limbah industri yang
bersifat karsinogenik telah dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab timbulnya
papiloma inverted. 5

Beberapa virus telah lama dicurigai sebagai penyebab lesi-lesi neoplastik ini,
dikarenakan virus-virus tersebut telah diketahui mempunyai kecenderungan membentuk
papiloma-papiloma di berbagai organ tubuh. Virus Human Papiloma (HPV) merupakan
epiteliotropik virus yang berimplikasi pada kehamilan dan lesi malignansi pada traktus
anogenital. HPV 11, HPV 6, HPV 16, dan HPV 18 telah dapat diidentifikasi pada papiloma
inverted. Beberapa penelitian dengan menggunakan teknik hibridasi dan reaksi rantai
polimerase memperlihatkan bahwa HPV 11 dan HPV 6 berhubungan dengan banyak kasus
papiloma tipe fusiform tetapi sangat jarang pada tipe silindrikal dan inverted.5

2.1.3. Prevalensi

Inverted papilloma merupakan tumor ini masih jarang ditemukan, sekitar 0,5%-4%
dari seluruh tumor hidung primer. Angka kejadiaannya sekitar 0.74-1.5 kasus per 100.000 per
tahun. Pada laki-laki cenderung lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 4 : 1.
Orang berkulit putih adalah yang paling berisiko, dibandingkan dengan orang-orang dari ras
lain. Inverted papiloma umumnya mengenai usia 50-70 tahun, ,meskipun rentang usia untuk
kejadian adalah 6-90 tahun, inverted papilloma jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda.5,6
5

2.1.4. Klasifikasi

Klasifikasi Inverted papilloma (IP)

Secara anatomi, inverted papilloma dapat dibagi menjadi dua yaitu papiloma dinding
lateral dan papilloma septal. Kedua jenis papilloma ini menunjukkan pola yang berbeda.
Papilloma septal hanya berada di septum nasi dan jarang melibatkan kavum nasalis. Bentuk
keganasan jarang dijumpai pada papilloma septal. Pada papilloma dinding lateral sering
mengenai beberapa tempat seperti dasar dari kavum nasi, sinus para nasalis dan duktus
nasolakrimalis. Bentuk keganasan sering dijumpai pada jenis ini. 7

Secara histologi, papilloma dapat dibagi menjadi tiga yaitu (1) bentuk papillary atau
bentuk fungiform, tipe ini menunjukkan proliferasi epitel dengan jaringan ikat sebagai
intinya, inversi dari epitel tidak terlihat pada jenis ini, (2) inverted papilloma (klasik) pada
tipe ini pertumbuhan epitel dominan berada di bawah stroma, (3) papiloma sel kolumnar,
merupakan varian dari papiloma yang ada di kavum nasi, sel pada tipe ini adalah sel
kolumnar dan pada tipe ini angka rekurensi dan keganasannya lebih tinggi dari tipe lain. 7

2.1.5. Patofisiologi

Sinonasal SPs hampir selalu unilateral. 3 gejala utama atribut karakteristik klinis dari
tumor (1) kecenderungan untuk kambuh, (2) kemampuan mereka untuk merusak struktur
sekitarnya, dan (3) kecenderungan mereka untuk dihubungkan dengan keganasan. Tingkat
kekambuhan lesi neoplastik sangat bervariasi (0-78%), terutama tergantung pada jenis
pendekatan bedah dan kelengkapan reseksi. Phillips et al menemukan bahwa tingkat
kekambuhan setelah rhinotomy lateral dan medial maxillectomy rendah dibandingkan dengan
setelah eksisi transnasal dengan Caldwell-Luc operasi (35%) atau non-endoskopik eksisi
transnasal saja (58%), dimana tingkat kekambuhan secara signifikan lebih tinggi [6] asal
multicentric dari SPs juga telah diusulkan sebagai faktor lain yang mengarah ke tingkat
kekambuhan tinggi,. namun, hal ini telah didokumentasikan hanya dalam beberapa kasus.8

Karsinoma sel skuamosa adalah neoplasma ganas yang paling umum yang terkait
dengan SPs. Jenis lain keganasan jarang dikaitkan dengan SPs adalah adenokarsinoma dan
karsinoma sel kecil. Dari 3 subtipe SPs, papillomas fungiform belum dilaporkan memiliki
6

potensi ganas. Sebaliknya, papillomas terbalik telah dilaporkan untuk berkembang menjadi
karsinoma pada 5-10% kasus. Papillomas Silinder tampaknya memiliki frekuensi yang lebih
tinggi (14-19%) dari asosiasi keganasan. Korelasi ada jelas antara jumlah rekurensi atau
interval antara pengulangan dan pengembangan keganasan.
Lesi gabungan dari karsinoma sel skuamosa dan SP muncul untuk membentuk 3
kategori histologis, dan kebanyakan pasien memiliki lesi di kelompok pertama dan kedua.
Pada kelompok pertama, SP dan karsinoma sel skuamosa menempati wilayah anatomi yang
sama, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa papilloma menimbulkan karsinoma.
Pada kelompok kedua, papiloma mengandung fokus karsinoma invasif. Pada kelompok
ketiga, karsinoma invasif berkembang setelah papilloma yang resected.8

2.1.6. Gejala Klinis

Gejala klinis

Lamanya timbul gejala IP bervariasi antara beberapa minggu sampai tahunan, tidak
ada gejala spesifik yang dapat membedakan IP dan IP dengan keganasan. 1 Gejala klinis pada
1,7,2,6
IP adalah sebagai berikut Obstruksi hidung unilateral, hal ini terjadi karena adanya
massa yang cukup besar sehingga menyebabkan obstruksi saluran nafas.

a. Rinore, hal ini terjadi karena penumpukan sekresi dari kavum nasi dan sekresi mukus
yang berlebihan dari kelenjar pada mukosa nasal.
b. Epistaksis, biasanya terjadi unilateral dan tidak dipicu oleh sesuatu. Epistaksis akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan.
c. Sakit kepala, hal ini terjadi karena adanya penyumbatan drainase dari sinus. Jika sakit
kepala terasa terus-menerus dan nokturnal maka harus dicurigai adanya tranformasi
malignan yang merusak basis cranii.
d. Sinusitis dan bengkak pada kedua hidung, hal ini karena adanya massa yang
mengakibatkan obstruksi dari drainase sinus.
e. Anosmia, hal ini sangat jarang terjadi tetapi dapat terjadi apabila mengenai kedua
hidung.
f. Gangguan pendengaran, hal ini disebabkan oleh adanya massa yang meluas ke
nasofaring dan melibatkan tuba eustachius. Tinitus juga dapat terjadi tetapi sangat
jarang.
7

g. Epifora, hal ini disebabkan oleh adanya sumbatan pada duktus nasolakrimalis pada
meatus inferior
h. Kaku pada wajah, hal ini disebabkan oleh keterlibatan dari nervus infraorbital
i. Gangguan berbicara, Hal ini terjadi apabila massa telah melibatkan nasofaring
j. Proptosis, terlihat apabila lamina papyracea telah rusak.

2.1.7. Diagnosis

Diagnosa dari Inverted Papilloma ddapat ditegakkan dari :

1. Anamnesa
Keluhan utama penderita umumnya berupa hidung tersumbat
unilateral. Gejala lain berupa epistaksis, Anosmia, rasa penuh di hidung, bersin-bersin,
proptosis dan lakrimasi yang berlebihan, Gejala berupa hidung tersumbat yang bersifat
unilateral yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Penderita mempunyai riwayat
nyeri kepala, rhinorea, sinusitis atau epistaksis.9

2. Pemeriksaan fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada
asimetriatau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika
mata terdorong ke atas berarti tumor yang berasal dari sinus maksila, jika ke bawah
dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.9

Pada pemeriksaaan klinis didapatkan massa tumor mirip dengan polip hidung, tetapi biasanya
unilateral, umumnya terdapat pada dinding lateral kavum nasi, namun tidak jarang juga
ditemukan pada vestibulum, septum nasi, dasar nasofaring, sinus frontal dan spenoidal,dan
saccus lakrimal. Tetapi biasanya unilateral. D i j u m p a i m a s s a polipoid unilateral yang
mengisi kavum nasi yang menyebabkan hidung tersumbat. Inverted papiloma berbentuk irregular,
biasanya berdarah jika disentuh, berwarna keabuan, mengisi penuh kavum nasi, berlanjut dari
vestibulum ke nasofaring. Septum nasi biasanya terdorong kontralateral.9

Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakah permukaannya licin,
merupakan pertanda tumor jinak atau permukaan berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong
8

ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, di
samping inspeksi lakukanlah palpasi dengan menggunakan sarung tangan. Palpasi
gusi, rahang atas, dan palatum. Apakah asa penonjolan, nyeri tekan, atau gigi goyah.9

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinoskopi dapat membantu menemukan tumor.


Adanya pembesaran kalenjar leher juga perlu di cari meskipun tumor ini jarang
bermetastasiske kalenjar leher. Pada pemeriksaan endoskopi
b i a s a n y a b e r a s a l d a r i m e d i a l m a x i l l a namun terkadang ditemukan
pada septum, vestibulum atau dari sinus frontalis.9

3. Pemeriksaan Penunjang (Histopatologi dan Gambaran Radiologi)

1) Histopatologi

Biopsi tumor penting untuk menegakkan diagnosis. Biopsi tumor sinus maksila,
dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi
Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Biopsi nasal penting
dilakukan untuk mendiagnosa pada suspek inverted papilloma,biasanya dilakukan
dengan hati-hati karena akan memperberat epistaksis.9

Gambaran mikroskopik IP adalah Gambaran makroskopis IP mirip seperti polip tetapi


lebih padat dan permukaan bergerombol, dengan warna bervariasi dari merah muda
sampai agak pucat, lebih banyak jaringan vaskularnya dari polip. Lesi dari IP ini
umumnya berasal dari mukosa dinding lateral dari nasal dan dapat melibatkan sinus
paranasal, orbital dan anterior basis kranii, telah dilaporkan juga bisa melibatkan
nasofaring, duktus lakrimalis dan bahkan tulang temporal pada cavum mastoid. 9

IP merupakan bentuk kelainan yang ditandai dengan epitel yang hiperplastik terlihat
membalik (inverted) dan terdapat pertumbuhan yang endofitik ke stroma dibawahnya.

2) Gambaran Radiologi 9

- Plain Film

Tidak lagi memiliki peran penting dalam penilaian penyakit sinonasal. Jika
memperoleh temuan yang paling umum adalah bahwa massa hidung dengan
kekeruhan terkait dari antrum maksilaris yang berdekatan.
9

- CT-Scan

CT-Scan dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran tumor, hal ini juga
mempermudah saat pembedahan.

Gambaran CT sebagian besar adalah non-spesifik, menunjukkan massa jaringan lunak


dengan peningkatan kepadatan beberapa. Lokasi massa adalah salah satu dari sedikit
petunjuk ke arah diagnosis yang benar.
Pengapuran kadang-kadang bermanfaat, seperti hyperostosis fokus yang cenderung
terjadi di lokasi asal tumor. Hal ini berguna tidak hanya dalam menunjukkan
diagnosis, tetapi juga untuk membantu perencanaan bedah, sebagai lokasi asal tumor
menentukan tingkat operasi yang dibutuhkan.
Sebagai massa memperbesar resorpsi tulang dan kehancuran dapat ditemukan, dengan
pola yang sama dengan yang terlihat pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa.

- MRI
MRI sering menunjukkan penampilan yang khas, disebut sebagai pola cerebriform
yang berbelit-belit dilihat pada kedua T2 dan ditingkatkan kontras gambar tertimbang
T1. Ini merupakan garis bolak intensitas sinyal tinggi dan rendah, penampilan yang
telah disamakan dengan, meskipun longgar, perputaran korteks serebral. Tanda ini
terlihat pada 50 - 100% dari kasus, dan jarang terjadi pada tumor sinonasal lainnya.

T1:isointense ke otot

T2: umumnya hyperintense ke otot garis hypointense yang bertolak belakang T1C+
(Gd): peningkatan heterogen garis hypointense yang bertolak belakang

Koronal dan aksial kontras ditingkatkan CT dianggap sebagai studi pilihan untuk
menilai lesi intranasal. Sebanyak 75% dari pasien dengan SPs memiliki bukti berbagai
tingkat kerusakan tulang. Ini mungkin termasuk penipisan, renovasi, erosi, dan
(kurang umum) perubahan tulang sklerotik. Kehadiran kerusakan tulang saja tidak
menunjukkan dedifferentiation ke keganasan dari SP. CT scan lebih tepat daripada
radiografi konvensional untuk mengidentifikasi bidang erosi tulang.

Dengan CT scan, membedakan lesi papillomatous dari mukosa inspissated, penebalan


10

mukoperiosteal, atau polip yang dihasilkan dari obstruksi dari jalur drainase sinus
terkadang sulit. MRI merupakan studi alternatif yang lebih unggul CT scan di
papillomas membedakan dari peradangan dan untuk memberikan penggambaran yang
lebih baik dari lesi kontras dengan sekitarnya jaringan lunak.

SPs memiliki penampilan heterogen pada MRI.


Pada T1-tertimbang gambar, papillomas sinonasal terlihat sedikit hyperintense untuk
otot, namun, pada T2-tertimbang gambar, SPs memiliki intensitas sinyal intermediate.
Pola cerebriform berbelit-belit pada T2 dan ditingkatkan T1-tertimbang MRI untuk
papilloma pembalik mungkin berpotensi khas pada 80% kasus, menurut Ojiri et al.
Polip inflamasi dan materi inspissated dalam sinus sekunder untuk obstruksi oleh
papilloma adalah hyperintense pada T2-tertimbang gambar. Karena temuan yang
tercantum di atas, MRI dapat lebih akurat menentukan tingkat sebenarnya dari lesi
dan dapat membantu dalam perencanaan perawatan.

2.1.8. PENATALAKSANAAN
Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai dari terapi
medikamentosa, radioterapi dan terapi operasi. Namun pada inverted papilloma dianjurkan
hanya terapi pembedahan. Terdapat tiga tujuan operasi papiloma inverted, yaitu 1. dapat
membuka dengan cukup sehingga dapat mereseksi tumor keseluruhan. 2.operasi
menghasilkan lapangan pandang yang baik sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas
6.
pasca operasi. 3. meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidakmampuan fungsional.
Prinsip pengobatan IP adalah pengangkatan tumor secara keseluruhan, tanpa meninggalkan
sisa, mengingat tumor ini cenderung kambuh. Sebagai pilihan pengobatan utama adalah
pengangkatan tumor dan eksisi dengan pendekatan rinotomi lateral atau degloving bila massa
tumor ada di traktus sinonasal dan dengan mastoidektomi untuk massa tumor di telinga
tengah dan kavum mastoid. 10
Terapi IP adalah tindakan bedah. Eksisi komplit penting untuk mencegah rekuren.
Angka rekuren yang tinggi terjadi pada eksisi tidak komplit dari tumor, reseksi secara
endoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengurangi komplikasi pendekatan eksternal.
Pendekatan degloving atau rinotomi lateral yang dikombinasi dengan medial maksilektomi
sangat menurunkan angka rekurensi. 10
11

Tindakan bedah yang akan dipilih dapat diputuskan dengan adanya sistem staging
dari Krouse yang berdasarkan temuan radiologi dan endoskopi preoperasi. Selain itu empat
kelompok ini dimaksudkan untuk memprediksi prognosis, dan perluasan tumor.
Pembagiannya terdiri dari :
1. Tumor terbatas pada satu sisi kavum nasi tanpa perluasan ke sinus paranasal.
2. Tumor melibatkan dinding medial dan superior sinus maksila dengan atau tanpa
keterlibatan kavum nasi. Jika menenai kavum nasi, sinus etmoid juga terlibat.
3. Tumor meluas ke inferior, posterior, anterior atau dinding lateral sinus maksila, sinus
frontal atau sinus spenoid
4. Tumor perluasan ke ekstrasinonasal atau tumor berubah ganas. 11

Sistem ini secara primer berdasarkan lokasi dan perluasan dari inverted papiloma.
Kategori ini sangat menolong pada perencanaan pendekatan bedah. Inverted papiloma
kelompok (1) dapat diangkat secara endoskopik tanpa reseksi tulang. Inverted papiloma pada
kelompok (2) pendekatan masih secara endoskopik dengan mereseksi stuktur tulang. Pada
pasien dengan keterlibatan sinus frontal atau kelompok (3) endoskopi masih bisa dipakai jika
visualisasi memungkinkan, pendekatan maksilektomi medial bisa digunakan. Pada kelompok
(4) direkomendasikan open surgical untuk mendapatkan maksimal eksposur. 12

A. Rinotomi Lateral
Myers dan Thawley menganjurkan rinotomi lateral pada dinding samping hidung
diikuti dengan pengangkatan dengan hati-hati semua mukosa lainnya yang ada pada
ipsilateral sinus paranasal.
Sessions, Larson dan Pope menganjurkan cara rinotomi lateral yang dilanjutkan
dengan etmoidektomi dan maksilekstomi medial untuk mengangkat tumor-tumor yang
terlokalisir di hidung, baik jinak maupun ganas.
Teknik rinotomi lateral telah mengalami beberapa modifikasi. Moure, membuat insisi
di samping hidung setinggi kantus medial sampai ke ala nasi, diteruskan sampai ke dasar
kolumela, bila insisi Moure dilanjutkan ke bawah melalui sulkus infranasal dan mendorong
bibir atas disebut insisi Weber. Bila insisi Weber ini diperluas sampai dibawah kelopak mata
disebut insisi Weber-Ferguson. Insisi dapat diteruskan sampai bersambung dengan insisi
gingivobukal.13,14,1
12

Gambar 2.1 Insisi rinotomi lateral Moore( bala lateral rhinotomy)

Gambar 2.2 Insisi rinotomi lateral Weber-Fergusson 14

Setelah kulit diinsisi dan periosteum dilepaskan dari tulang muka, dilakukan
osteotomi untuk mengangkat tulang hidung. Mukosa hidung dipotong sepanjang pinggir
aperture piriformis sehingga pyramid hidung bisa ditarik ke sisi yang berlawanan. Semua
kasus-kasus yang ditemui bersama KSS telah ditanggulangi dengan cara seperti di atas tanpa
13

terjadi kekambuhan kembali tumor tersebut dan didapat hasil yang cukup baik mengenai
aspek kosmetik dan fungsionalnya. 1

B. Degloving
Teknik pembedahan degloving yang digunakan ada 2 jenis yaitu:
I. Menurut Conley dan Price serta Magnila:
Pada prinsipnya dibuat 4 macam insisi yaitu:
1. Insisi sublabial seperti pada operasi Caldwell luc, mulai dari tuberositas maksila
satu sisi sampai tuberositas maksila sisi lainnya. Insisi diteruskan sampai mencapai
periosteum dan jaringan lunak muka dilepaskan dari dinding depan maksila sampai
mencapai foramen infraorbita. Saraf dan pembuluh darah infraorbita
dipertahankan.
2. Dilakukan insisi transfiksi yang akan memisahkan tulang rawan septum dengan
kolumela.
3. Insisi interkartilago pada kedua sisi, sehingga memisahkan jaringan lunak hidung
dengan kartilago lateral atas hidung. Periosteum di atas tulang dilepaskan ke lateral
sejauh mungkin dan juga ke superior sampai mencapai pangkal hidung.
4. Insisi sekeliling apertura piriformis pada kedua sisi 15

Gambar 2.3 Teknik Degloving A. Insisi Sublabial B. Insisi Transfiksi C. Insisi interkartilago
D. Degloving komplit
14

C D

Gambar 2.4 Teknik Degloving A. Insisi Sublabial B. Insisi Transfiksi C. Insisi interkartilago
D. Degloving komplit 15
II. Cara Pavolainen dan Malmberg
1. Dilakukan insisi sublabial bilateral seperti cara Conley.
2. Mukosa hidung hanya diinsisi sepanjang bagian bawah apertura piriformis.
3. Dilakukan osteotomi lateral pada kedua sisi, yang juga memotong mukosa hidung
sampai mencapai sutura naso frontal.
4. Tulang rawan septum bersama mukosa yang menutupinya digunting mulai dari
spina nasalis anterior ke atas sampai mencapai sutura nasofrontal, yaitu pada batas
atas osteotomi sejajar dengan arah osteotomi

C. Maksilektomi Medial

Pemotongan Tulang untuk masilektomi medial adalah dengan memotong sepanjang


tulang hidung dari apertura piriformis ke glabella beberapa milimeter anterior dari alur
nasomaksilaris. Potongan horisontal dibuat tepat di bawah glabella diarahkan menuju
posterior frontoethmoid suture line. Potongan anteroposterior dibuat sepanjang garis jahitan
fronto ethmoidal. Potongan Obliq dasar orbita dari tepi medial orbita ke foramen infraorbital
diperluas ke arah postero medial untuk bergabung dengan potongan fronto etmoid di wilayah
15

ethmoid posterior.

Gambar 2.5 Daerah kuning menunjukkan daerah reseksi tulang pada masilektomi
medial (Atlas Johan Fagan)

D. Endoskopi pada inverted papilloma 6,16


Sejak diperkenalkan oleh Messerklinger, Stammberger dan Kennedy, endoskopi telah
banyak mengalami evolusi oleh para Rhinologist untuk melakukan pendekatan bedah hidung
dan sinus paranasal. Setelah lebih dari 20 tahun, saat sekarang ini penggunaan endoskopi
tidak hanya terbatas pada radang sinus paranasal tetapi juga digunakan untuk terapi pada
berbagai patologi sinonasal.
Dengan adanya endoskopik nasal, dengan pencahayaan yang kuat, resolusi yang
tinggi dan sudut visualisasi, bersamaan dengan kemajuan pada Tomografi komputer dan
pencitraan Magnetik Resonansi dapat menuntun kearah identifikasi yang akurat, penentuan
lokasi yang baik, dan keberhasilan reseksi lesi intranasal. Reseksi endoskopik dapat meliputi
spenoetmoidektomi total, meatotomi yang luas, reseksi konka media dan visualisasi sinus
frontal. Keuntungan pendekatan secara endoskopik transnasal dibanding maksilektomi
medial adalah sangat kecil terbentuknya skar eksternal sehingga deformitas kosmetik dapat
ditiadakan, mengurangi waktu rawat di rumah sakit, mengurangi kehilangan darah pada saat
operasi dan perluasan dari tumor dapat ditentukan dengan visualisasi secara langsung,
sehingga menghasilkan reseksi secara utuh yang lebih baik.
Manipulasi yang hati-hati terhadap massa tumor dapat menuntun operator untuk
menentukan asal tumor dari dinding lateral hidung. Setelah uncinektomi, dinding medial
sinus maksila dapat diidentifikasi. Jika mukosa antrum terlihat massa tumor, konka inferior
16

dilepaskan bersama dinding medial sinus maksila sampai ke dasar hidung. Backbitting dan
sitebitting dapat digunakan pada saat ini. Pada tahap ini seluruh antrum maksila dapat
divisualisasi secara lengkap.
Apabila tumor telah meluas ke sinus etmoid dan spenoid, dapat dilakukan
etmoidektomi total dan spenoidektomi. Hal yang sama dilakukan pada sinus frontal jika
mukosanya juga ikut terlibat. Prosedur Caldwell-Luc kadang dibutuhkan untuk mendapatkan
akses ke seluruh antrum maksila pada kasus yang melibatkan seluruh mukosa sinus maksila.
Apabila pada CT Scan terlihat adanya area hyperostosis, operator disarankan untuk
menggunakan bor diamond untuk menipiskan tulang di area ini. Daerah hyperostosis ini
berhubungan dengan tempat berasal tumor.
Pada endoskopi maksilektomi medial, reseksi dilakukan pada seluruh dinding lateral
hidung. Campuran lidokain dan epinefrin disuntikkan pada daerah konka media, dinding
meatus inferior dan dinding meatus media dan garis nasomaksila untuk hemostasis. Batas
superior ditentukan setelah reseksi anterior dan posterior etmoid ke batas sphenoid dan
perlengketan konka media ke dinding lateral hidung dipisahkan. Arteri etmoid di ekspos
untuk landmark reseksi yang meluas ke superior. Pada kasus tumor yang meluas ke fovea
atau ke orbita, arteri etmoid dipotong dan dipisahkan. Konka media di eksisi dari
perlengketannya di superior untuk menghindari cedera lamina kribriformis. Insisi dibuat dari
bagian anterior meatus inferior ke dinding posterior sinus maksila. Batas anterior diperluas
dari perlengketan konka media ke batas anterior dari bagian anterior meatus media termasuk
konka media, procesus unsinatus dan kanalis nasolakrimalis.
Dinding lateral dipisahkan ke medial dan diseksi diangkat dari sinus maksila sampai
ke arteri spenopalatina yang telah diligasi. Tumor kemudian di buang secara en bloc. Mukosa
etmoid posterior yang tersisa di buang untuk batas control. Reseksi dapat dimodifikasi
tergantung dari perluasan tumor.

2.1.9. KOMPLIKASI
Komplikasi Inverted papilloma
Komplikasi inverted papilloma adalah terjadinya perdarahan dan malignansi dari
7
papilloma tersebut. Komplikasi dapat terjadi setelah reseksi bedah sinonasal papilloma.
Komplikasi yang paling serius adalah yang berhubungan dengan orbita. Blepharitis, diplopia,
dan dacryocystitis intermiten telah dilaporkan pada pasien dengan rinotomi lateral dan
masilektomi medial. Ektropion terjadi secara sekunder akibat jaringan parut yang menarik ke
17

bawah kelopak mata bawah. Kebocoran CSF dapatterjadi jika dasar tenggorok terkena selama
operasi.

Komplikasi lambat yang dapat terjadi adalah crusting, infeksi, fistula nasokutaneus,
stenosis vestibular, dan nasal-valve collapse. Komplikasi yang paling umum setelah prosedur
degloving adalah stenosis vestibular. Fistula Oroantral, intermiten parestesia, dan crusting
yang berkepanjangan juga dapat terjadi. Reseksi endoskopik menimbulkan risiko yang sama
dari setiap operasi sinus endoskopi. Potensi komplikasi termasuk kebocoran CSF, komplikasi
orbital (hematoma orbita atau periorbita, diplopia, cedera pada saraf optik, cedera pada otot
ekstraokular, epiphora), perdarahan, infeksi, dan sinekia. 6

2.1.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut
seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang
diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis,
lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas
penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit
ini. Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan
hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor 1
18

BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan
Inverted Papilloma merupakan tumor jinak primer dari hidung dan sinus paranasal
yang jarang terjadi. Penyebab pasti dari papillomainverted belum diketahui. Beberapa teori
telah seperti alergi, inflamasi kronik dan karsinogen berhubungan dengan pajanan serta
infeksi virus papilloma. Sinusitis paranasal sering ditemukan pada penderita papilloma
inverted.
Angka kejadiannya sekitar 0,74-1,5 kasus per 100.000 per tahun. Pada laki-laki
cenderung lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 4:1. Penegakan diagnosis
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai dari terapi
medikamentosa, radioterapi dan terapi operasi. Namun pada inverted papilloma dianjurkan
hanya terapi pembedahan. Terdapat tiga tujuan operasi papiloma inverted, yaitu 1. dapat
membuka dengan cukup sehingga dapat mereseksi tumor keseluruhan. 2.operasi
menghasilkan lapangan pandang yang baik sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas
pasca operasi. 3. meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidakmampuan fungsional.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Salim, Agus. Imunoekspresi p63 Pada Inverted Papilloma Dan Karsinoma Sel
Skuamosa Sinonasal Available at http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33509
[accessed on September, 10]

2. Thapa, Narmaya. 2010. Diagnosis and Treatment of Sionasal Inverted Papilloma.


Nepalese Journal of ENT Head and Neck Surgery; Volume 1, No.1 (Jan-June 2010).

3. Soepardi E.A, Iskandar N., Bashiruddin J., dan Rastuti R.D. Buku ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. FK UI, 2007: 118, 119, 145

4. Netter F.H. Atlas of Human Anatomy. Available from: http://www.


Netterimages.com/image/4413.htm.

5. Woodruf W.W. dan Vrabec D.P. Inverted Papilloma of The Nasal Vault and
Paranasal Sinuses: Spectrumof CT Finding. American Journal of Roentgenology
February 1994: 419

6. Sadeghi, Nader. Sinonasal Papillomas. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/862677-overview#showall[accessed on
September, 10]

7. Balasubramanian, T. Inverted Papilloma of Nose. Available at


http://www.scribd.com/doc/33702466/Inverted-papilloma-nose-and-its-management.
[accessed on September, 10]

8. Momose KJ, Weber AL, Goodman M et al Radiological aspects of inverted


papilloma. Radiology. PubMed citation

9. Lee DK, Chung SK, Dhong HJ et al Focal hyperrotosis on CT of sinonasal inverted


papilloma as a predicator of tumor origin. ANJR Am J Neuroradiol. 2007. PubMed
citation

10. Baruah, P., Deka, C. 2003. Endoscopic Management of Inverted Papillomas of the
Nose and Paranasal Sinus, In : Ear, Nose, Throat Journal, Vol. 82: 317-20.

11. Krouse, John H. 2000. Development of a Staging System for Inverted Papilloma. The
American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. Lippincott
Williams and Wilkins,Inc.
20

12. Octiza, Ricki dan Bestari J Budiman. 2011. Ekstirpasi Papiloma Inverted dengan
Pendekatan Endoskopik. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

13. Balasubramanian, T. Rhinotomy Lateral. Available at


http://www.drtbalu.com/lateral_rhino.html[accessed on September, 11]

14. Osborne, J.E., M.Clayton dan D.Fenwick. The Leeds Modified Weber-Fergusson
Incision. The Journal of Laryngology and Otology, Volume 101, pp 465-466.

15. Conley, John, Daniel D., Stanley, et al. Degloving Approach for Total Excision of
Inverted Papilloma.LARYNGOSCOPE, Volume 94, No. 12, December 1984.

16. Fagan, Johan. Open Acces Atlas of Otolaryngology, Head, and Neck Operative
Surgery. Available at https://vula.uct.ac.za/access/content/group/ba5fb1bd-be95-
48e5-81be-586fbaeba29d/Medial%20Maxillectomy.pdf[accessed on September, 11]

Anda mungkin juga menyukai