Anda di halaman 1dari 5

IKHLAS MEMBERI IKHLAS MENERIMA

Ramadhan merupakan bulan istimewa yang kehadirannya dinantikan banyak insan. Tentu, pertemuan
kita dengan bulan Ramadhan perlu kita syukuri. Karena di bulan ini setiap insan berlomba-lomba untuk
mendapatkan memberi. Ya, saya rasa memberi adalah sifat naluriah seorang manusia. Memberi adalah
bukti manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, sekaligus makhluk religius.

Sederhananya di bulan ini kita akan melihat orang-orang memberi bingkisan lebaran untuk sanak-
saudara maupun kolega, memberi santunan untuk anak yatim, bahkan memberi makanan untuk
berbuka dan sahur menjadi pemandangan yang tak asing. Pada hadits riwayat Tirmidzi disebutkan
bahwa siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang
berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga. Tentu kita semua
juga ingin mendapatkan pahala itu, walau hanya dengan seteguk air maupun sebiji kurma.

Memberi tentu bukan hal yang sulit, meski juga tidak mudah. Ikhlas dalam memberi merupakan
tantangan tersendiri bagi para pemberi. Ada satu perasaan ringan dan tenang yang luar biasa jika kita
bisa melakukannya. Sudah banyak kita baca maupun kita dengar nasihat tentang nasehat untuk ikhlas.
Namun, nyatanya kita kerap kesulitan melakukan atau menjaganya. Padahal ikhlas merupakan kunci
diterima atau tidaknya amal kita.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-
terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S Al-Baqarah: 274).

Pada ayat tersebut bisa kita jadikan pegangan bahwa orang yang memberi (dengan ikhlas) tidak akan
khawatir dan merasa bersedih hati. Hal itu bisa jadi tolak ukur kadar keikhlasan kita apakah benar-benar
kita mampu memurnikan segala bentuk amalan kita hanya semata-mata mengharap ridho Allah SWT.
Keihlasan dalam memberi bisa kita latih dengan beberapa cara.

Pertama, tentu semua berawal dari niat. Niat kita saat memberi tentu harus kita bersihkan dari rasa
ingin dipuji maupun ingin dibalas. Artinya kita melepaskan diri dari ikatan bergantung dan menanti
balasan kembali dari si penerima. Niat yang baik ini bukan hanya diucapkan dalam hati tapi harus
dibuktikan. Tak jarang seperti iman yang sering pasang-surut, niat juga seperti itu. Kadang kita merasa
sudah berniat dengan tulus ikhlas tapi ada saja godaan yang mengikis niat itu. Untuk itu segerakan niat
baik kita, tidak perlu menghitung langkah terlalu panjang apabila kita berbagi rezeki hari ini insyaallah
esok Allah beri lagi rezeki untuk kita.

Kedua, niat baik tentu harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Kita harus pastikan memberi dari
sumber yang halal. Kita tidak boleh memberikan sesuatu dari sumber yang kita sendiri tidak yakini
kehalalannya seperti barang temuan. Selanjutnya, masih tentang cara tentunya kita tidak boleh
merendahkan orang yang kita beri baik itu dengan sikap, perkataan, bahkan hanya tatapan mata.
Ketiga, tidak riya’ dan takjub dengan diri sendiri. Bagi saya sendiri ini adalah bagian tersulit dalam
melatih diri untuk ikhlas. Dua hal ini tanpa sadar sering kita lakukan. Di zaman serba maya ini kita harus
pandai-pandai mengendalikan diri agar tidak tergelincir pada riya’. Hal yang perlu lagi kita hindari adalah
takjub pada diri sendiri. Ini adalah perang batin yang harus kita hadapi. Bagaimana kita menghindarkan
diri dari rasa telah melakukan amalan yang luar biasa sehingga berbangga merasa menjadi orang baik.
Kita harus terus bertafakkur dan melatih diri untuk ikhlas. Ikhlas dalam memberi artinya kita menyadari
bahwa Yang Maha Pemberi itu adalah Allah semata, sedangkan kita hanyalah perantara. Kita wajib
bersyukur kepada Allah hanya karena izin Allah kita bisa memberi.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya (pamer)
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah [2]: 264).

Nah, pada bagian akhir ini saya akan sedikit berbagi tentang ‘ikhlas menerima’. Pada bagian
sebelumnya, saya sebut memberi itu bagian dari naluriah manusia, lalu bagaimana dengan menerima?

Seorang fakir yang selalu bersyukur diberi nikmat dari Allah lewat tangan-tangan kita, saya yakin dalam
hati dia juga sangat berkeinginan untuk memberi. Lalu jika suatu sore seorang fakir tersebut datang ke
rumah kita memberi tempe goreng yang sedikit layu di dalam kantong plastik yang kumal, apa reaksi
kita? Serta mertakah kita dengan senyum haru mengucap terima kasih? Bagaimana jika kita diberi oleh
seorang yang kita anggap lebih rendah, tidak pantas memberi? Atau jika pemberiannya kita anggap tak
layak untuk kita, kita pantas dapat pemberian yang lebih baik? Tangan di atas lebih baik daripada tangan
di bawah, sebuah pepatah yang tak hentinya didengungkan turun-temurun. Potensi ‘memberi’ diajarkan
dan dilatih sedemikian rupa tapi kita sering gagap dalam menerima. Dalam menerima tidak luput dari
perlunya keikhlasan hati dan syukur nikmat. Bahwa apapun yang kita terima itu adalah bagian dari
nikmat Allah untuk kita.
KENALKAN PUASA PADA ANAK

Bicara anak akan terkait juga dengan orang dewasa khususnya orang tua, begitu pula sebaliknya.
Setiap orang tua pasti telah mengalami fase 0-12 tahun ini. Jadi setidaknya sedikit banyak
mengenal bagaimana karakteristik anak baik dari segi perkembangan fisiologis maupun
psikologisnya. Secara fisiologis, anak usia 0-12 tahun mengalami pertumbuhan anggota badan
yang penting dan utama untuk menyokong pertumbuhan pada masa selanjutnya. Salah satu hal
yang berpengaruh adalah jumlah asupan makanan tertentu sesuai usianya misalnya, bayi
membutuhkan ASI sekurang-kurangnya 2-3 jam sekali, anak laki-laki membutuhkan asupan
makanan lebih besar dibandingkan perempuan, dan sebagainya. Aspek psikologis perkembangan
anak mencakup di antaranya aspek intelektual, sosial-emosional, dan bahasa. Kemampuan anak
untuk memperoleh informasi dan memahaminya masih bergantung pada indera sensori-motor,
sehingga pengetahuan mengenai hal-hal baru membutuhkan perantara benda yang nyata atau
mengaitkan segala sesuatu dengan membutuhkan ilustrasi. Anak pun memiliki perkembangan
bahasa sendiri yang berada pada tataran bahasa sederhana, belum banyak mengenal konsep.

Jika dikaitkan dengan bagaimana orang tua memperkenalkan puasa kepada anak, beberapa hal
berikut dapat dilakukan oleh orang tua: pertama, sedini mungkin mengulang-ulang kata dan
makna “puasa” kepada anak, bahkan ketika ibu mengandung maupun
menyusui. Kedua, memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana, dengan ditambahkan
ilustrasi jika diperlukan. Misalnya, “Kakak, bangun yuk kita sarapan lebih awal hari ini”,
“Kakak, hari ini makan siang kita tunda ya”, “Kakak, ayah dan bunda tidak makan dan minum
sampai maghrib nanti karena sedang berpuasa”. Ketiga, memberikan teladan dan apresiasi untuk
setiap pencapaian dalam proses berpuasa anak. Apresiasi dapat diberikan dengan menu berbuka
pilihan anak, memberikan pujian atau hadiah yang mendidik dan sebagainya. Keempat, tidak
memaksakan anak untuk segera mampu berpuasa penuh, namun melatih untuk menahan lapar
sesuai kebutuhan asupan makanan anak. Kelima, meskipun berat hati, tetapi orang tua harus bisa
“tega” dalam setiap proses menempa kemampuan anak, khususnya dalam memperkenalkan dan
melatih berpuasa.

Terdapat hal menarik terkait dengan ekspresi keberagamaan yang tumbuh dalam keluarga. Sri
Yatun (2015) menemukan adanya beberapa aspek psikologis khusus yang muncul dan dapat
mempengaruhi religiusitas dalam keluarga Jawa, yaitu unggah-ungguh (sopan santun), tepa
selira (simpati), andhap ashar (rendah hati), serta bancakan dan tahlilan. Beberapa aspek yang
muncul ini tidak terlepas dari budaya, kebiasaan, dan pembiasaan yang dibangun oleh generasi
tua kepada generasi mudanya. Terdapat nilai keteladanan, apresiasi dan empati terhadap orang
lain, serta perwujudan rasa syukur terhadap Allah.

Syaikh Jamal Abdurrahman dalam bukunya Islamic Parenting memformulasikan pandangan


Islam terhadap pendidikan anak dalam dua tahapan usia, yaitu usia 0-3 tahun dan 4-10 tahun.
Pada fase 0-3 tahun, pendidikan anak dilakukan dengan, pertama, berdoa untuk anak ketika
masih dalam sulbi ayahnya atau masa-masa seorang calon ayah mempersiapkan diri dan
generasinya. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim:40.

‫يم اجْ عَ ْلني َرب‬ َّ ‫عاء َوتَقَب َّْل َربَّنَا ۚ ذُريَّتي َوم ْن ال‬
َ ‫ص ََلة ُمق‬ َ ُ‫د‬
“Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya
Tuhan Kami, perkenankanlah doaku”.

Kedua, mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga bayi. Meskipun terdapat beberapa
perbedaan, namun Ibnul Qayyim memaknai kumandang adzan dan iqamah saat anak lahir
sebagai pengenalan tauhid di awal kehadirannya di dunia. Ketiga, tahnik yaitu memberikan atau
mengoleskan kurma yang sudah dikunyah halus ke dinding mulut bayi. Keempat, qiqah yaitu
menyembelih seekor kambing untuk kelahiran anak perempuan dan dua ekor kambing untuk
kelahiran anak laki-laki sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah. Kelima, m,emberi nama yang
baik. Keenam, menanamkan kejujuran dan tidak suka berbohong dan terakhir tidak mengajarkan
kemungkaran pada anak

Selanjutnya, fase pendidikan anak usia 4-10 tahun dapat dilakukan dengan mengajarkan
kewajiban dalam agama Islam khususnya ibadah mahdhah seperti shalat. Kewajiban
memerintahkan anak untuk shalat sebagaimana dalam hadits Rasulullah sudah dilakukan orang
tua saat anak berusia 7 tahun, dan diperbolehkan untuk memukul ketika anak telah berusia 10
tahun namun tidak mematuhi perintah shalat. Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-
anak kalian untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun dan pukullah mereka saat usia sepuluh
tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka”(HR. Abu Daud dan Ahmad).

Selain itu juga dapat dilakukan dengan melatih anak untuk berlemah lembut, sayang dan berbuat
baik kepada anak sebagaimana hadits yang berbunyi, man laa yarham laa yurham (Barangsiapa
tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi. HR. Muslim), mengajarkan akhlaq mulia dan
etika dalam berkehidupan. Jika dikaitkan dengan upaya memperkenalkan puasa kepada anak,
orang tua dapat menghubungkan ibadah puasa dengan dampak sosial dan mencontohkan anak
untuk saling berbagi makanan, memperhatikan teman-teman mereka. Rasulullah bersabda,”Al-
mar u alaa diini khaliilihi fal yandhur ahadukum man yukhaalil” (Seseorang bergantung pada
agama sahabatnya, maka hendaklah engkau perhatikan dengan siapa ia berteman. HR. Abu Daud
dan Tirmidzi). Membangun lingkungan yang kondusif selain dari lingkungan keluarga juga
diperlukan termasuk mengondisikan dengan siapa anak berteman, ataupun mengajarkan kepada
anak untuk mengajak teman sebaya berlatih berpuasa.

Hal yang paling utama yang dibutuhkan dalam pendidikan anak adalah teladan atau figur yang
tampak untuk diimitasi. Oleh karena itu, orang tua hendaknya memberikan contoh bagaimana
berpuasa dan hal-hal yang menyertainya serta mendorong anak untuk melakukan hal serupa.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:44 dijelaskan,

َ‫اس أَت َأ ْ ُم ُرون‬


َ َّ‫س ْونَ ب ْالبر الن‬ َ ‫ت َ ْعقلُونَ أَفَ ََل ۚ ْالكت‬
َ ُ‫َاب تَتْلُونَ َوأ َ ْنت ُ ْم أ َ ْنف‬
َ ‫س ُك ْم َوت َ ْن‬
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?”

Meskipun tidak ada patokan di usia berapa anak harus sadar dan mampu melaksanakan puasa
namun tujuan terpenting adalah memperkenalkan adanya kewajiban dan tata cara puasa sebagai
salah satu wujud menanamkan keaqwaan kepada Allah sejak dini. Wallahu a’lam bish shawab.

Anda mungkin juga menyukai