Anda di halaman 1dari 43

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN

MP-ASI DENGAN KEJADIAN BADUTA STUNTING DI


KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh

Ranindya Putri Cipta Indraswari


NIM 152010101112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
ii

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN


MP-ASI DENGAN KEJADIAN BADUTA STUNTING DI
KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh

Ranindya Putri Cipta Indraswari


NIM 152010101112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

ii
iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal berjudul “Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian MP-ASI


dengan Kejadian Baduta Stunting di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember”
telah disetujui pada:
hari, tanggal :
tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

dr. Dwita Aryadina R., M. Kes dr. Elly Nurus Sakinah, M.Si
NIP 19801027200812 2 002 NIP 19840916200801 2 003

iii
iv

DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1 Stunting 5
2.1.1 Definisi ............................................................................................... 5
2.1.2 Epidemiologi Stunting........................................................................ 6
2.1.3 Indikator Stunting .............................................................................. 6
2.1.4 Faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting ....................... 7
2.2 Pengetahuan Error! Bookmark not defined.
2.3 MP-ASI 13
2.3.1 Definisi MP-ASI ................................................................................ 13
2.3.2 Tujuan Pemberian MP-ASI ............................................................. 13
2.3.3 Persyaratan pemberian MP-ASI .......... Error! Bookmark not defined.
2.4 Kerangka Teori 18
2.5 Kerangka Konsep 19
2.6 Hipotesis Penelitian 20
BAB 3. METODE PENELITIAN ...................................................................... 21
3.1 Jenis Penelitian 21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 21

iv
v

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 21


3.3.1 Populasi ........................................................................................... 21
3.3.2 Sampel ............................................................................................. 21
3.3.3 Besar Sampel ................................................................................... 22
3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ............................................................ 22
3.4 Variabel Penelitian 22
3.4.1 Variabel Bebas ................................................................................. 22
3.4.2 Variabel Terikat ............................................................................... 22
3.5 Definisi Operasional 23
3.6 Instrumen Penelitian 23
3.6.1 Informed Consent ............................................................................ 23
3.6.2 Kuesioner ......................................................................................... 23
3.6.3 Lengthboard .................................................................................... 24
3.7 Prosedur Penelitian 24
3.7.1 Uji Kelayakan ................................................................................... 24
3.7.2 Sumber Data .................................................................................... 24
3.7.3 Pengambilan Data Populasi dan Sampel ......................................... 24
3.7.4 Prosedur Pengukuran Panjang/tinggi Badan Bayi ........................... 25
3.7.5 Pengolahan Data.............................................................................. 25
3.8 Analisis Data 25
3.9 Alur Penelitian 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
LAMPIRAN ......................................................................................................... 30

v
vi

DAFTAR TABEL

2.1 IndikatorStunting WHO……………………………………………………..


3.1 Definisi Operasional 19

vi
vii

DAFTAR GAMBAR

2.1 Skema Kerangka Teori 19


2.2 SkemaKerangkaKonsep…………………………………………………….19
3.2 Alat Ukur Panjang Bayi/(Lengthboard) 24
3.3 Alur Penelitian 27

vii
viii

DAFTAR LAMPIRAN

3.1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden 31


3.2 Inform Consent 33
3.3 Kuesioner Pengetahuan dan Sikap Ibu pada 1000 HPK 34
3.4 Penilaian Kuesioner Pengetahuan dan Sikap Ibu pada 1000 HPK 39

viii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur (PB/U atau TB/U). Kondisi ini
diukur dengan panjang atau tinggi badan yang kurang dari minus dua standar
deviasi (< -2 SD) median standar pertumbuhan anak dari WHO (Pusat Data dan
Informasi, Kemenkes RI, 2018). Stunting disebabkan adanya malnutrisi asupan
zat gizi dalam jangka waktu lama akibat dari pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi balita (Kemendesa PDTT, 2017). Kejadian stunting
pada balita akan menyebabkan ketidakoptimalan dalam perkembangan fisik dan
kognitif di masa mendatang.
Berdasarkan data pada Pemantauan Status Gizi (PSG) dalam tiga tahun
terakhir, stunting di Indonesia memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
masalah gizi yang lain, seperti kurus, gemuk dan gizi kurang. Prevalensi stunting
di Jawa Timur pada tahun 2013 sebesar 35,8% (Kemenkes RI, 2013). Kabupaten
Jember termasuk dalam daftar 100 daerah yang memiliki prevalensi balita
stunting tinggi dan memerlukan intervensi perbaikan gizi. Prevalensi balita
stunting di Jember pada tahun 2018 sebesar 44,1%. Sedangkan Kecamatan
Mayang menempati urutan ketiga setelah Sumberjambe dan Sumberbaru dengan
persentase stunting di Mayang mencapai 37,72% (Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember, 2018)
Menurut Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting (2017), faktor-faktor
yang dapat menyebabkan stunting dapat berupa faktor multi dimensi. Faktor
penyebab stunting tidak hanya karena faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu
hamil ataupun balita. Nutrisi yang didapat oleh bayi pada saat lahir tentunya
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, termasuk risiko terjadinya stunting.
Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu
ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor
terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI
2

(MP-ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan
pangan yang diberikan (Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2018).
Perlakuan intervensi yang dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) balita dapat membantu mengurangi prevalensi stunting. Intervensi gerakan
1000 HPK dimulai dari usia pertama kali dalam kandungan (270 hari) sampai
berusia dua tahun (730 hari) (Hadiat, 2015). Periode baduta (0-24 bulan)
merupakan salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan anak yang
termasuk dalam gerakan 1000 HPK. Periode baduta disebut juga dengan golden
period, karena pada masa ini tumbuh dan kembang anak berlangsung cepat
sehingga apabila tidak dimanfaatkan akan terjadi kerusakan permanen (Achadi,
2014).
Asupan gizi merupakan faktor yang paling penting untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan pada masa baduta. Kekurangan gizi yang terjadi
pada awal kehidupan dapat mengakibatkan terjadinya gagal tumbuh. Asupan gizi
yang baik menjadikan status gizi pada baduta semakin membaik sehingga
kejadian stunting semakin kecil. Asupan gizi pada baduta dapat diperoleh salah
satunya pada saat pemberian MP-ASI. Setelah pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan, bayi harus diberi makanan pendamping ASI. Pemberian MP-ASI dilakukan
karena setelah 6 bulan ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi pada bayi.
Kebutuhan energi dan mikronutrien, terutama zat besi dan seng, harus didapat dari
MP-ASI. Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi balita melalui perbaikan
pengetahuan dan perilaku dalam pemberian MP-ASI merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari upaya perbaikan gizi (Notoatmodjo, 2003).
Tingkat pengetahuan ibu mengenai makanan pendamping ASI berdampak
pada pemberian makanan pendamping ASI yang kurang tepat sehingga
melahirkan status gizi kurang (Deba, 2007). Pengetahuan gizi ibu dipengaruhi
oleh usia, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, dan pendapatan (Puspasari dan
Andriani, 2017). Kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan pangan dan nilai
pangan merupakan faktor penting dalam masalah gizi. Penyebab lain adalah
kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan menerapkan informasi
tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2008). Menurut WHO (2003),
3

MP-ASI harus memenuhi persyaratan, seperti tepat waktu pemberian, adekuat,


aman, dan tepat cara pemberian). Persyaratan tersebut yang harus diketahui oleh
ibu agar pemberian MP-ASI dapat memberikan asupan gizi yang cukup bagi
balita sehingga dapat mencegah terjadinya stunting.
Tingginya prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Kecamatan
Mayang dan belum adanya penelitian yang meneliti antara hubungan pengetahuan
ibu terhadap pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting di Kecamatan Mayang
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan
Pengetahuan Ibu dengan Pemberian MP-ASI dengan Kejadian Baduta Stunting di
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan ibu
tentang pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada baduta di wilayah kerja
Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember?”

1.3 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada
baduta di wilayah kerja Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember.

b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini diantaranya yaitu:
a) Mengetahui angka kejadian stunting di wilayah kerja Kecamatan
Mayang, Kabupaten Jember;
b) Mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang pentingnya pemberian
MP ASI bagi baduta;
c) Mengetahui perbedaan pengetahuan ibu tentang MP-ASI sebelum
dan sesudah penyuluhan.
4

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat menjadi Evidence Based
Medicine (EBM) untuk penelitian selanjutnya;
b. Bagi institusi Puskesmas Mayang, diharapkan penelitian ini dapat menjadi
bahan untuk menentukan langkah strategis dalam upaya pencegahan angka
kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Mayang;
c. Bagi responden, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
tentang stunting dan cara mencegahnya;
d. Bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawakan Pendek (short stature)


2.1.1 Definisi
Perawakan pendek atau terhambatnya pertumbuhan tubuh merupakan
salah satu bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan menurut
umur di bawah standar deviasi (<-2SD) dengan referensi World Health
Organization (WHO) tahun 2006.
2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, perawakan pendek dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu fisiologis dan patologis. Perawakan pendek fisiologis
ditandai dengan adanya riwayat keluarga yang juga memiliki perawakan pendek
(familial short stature). Familial short stature didefinisikan dengan tinggi <2SD
di bawah ketinggian rata-rata yang sesuai dari umur tertentu, jenis kelamin, dan
populasi tanpa kelainan sistemik, endokrin, gizi, atau kromosom, dan stimulasi
Growth Hormone (GH) dalam batas normal.
Sedangkan perawakan pendek patologis dibagi menjadi dua bagian, yaitu
proporsional dan non-proporsional. Perawakan pendek non-proporsional
disebabkan oleh kelainan tulang seperti displasia tulang, kondrodistrofi, kelaian
kromosom yang mengakibatkan sindrom Turner, sindrom Down, sindrom
Klinefelter, dan lain-lain. Perawakan pendek proporsional biasa disebut dengan
stunting.

2.2 Stunting
2.2.1 Definisi
Stunting adalah kondisi tubuh pendek atau sangat pendek yang didasarkan
pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) dengan ambang batas (Z-Score) < -2 SD. Pengertian status gizi pendek
dan sangat pendek didasarkan pada indeks penilaian standar antropometri anak.
Balita pendek adalah balita yang memiliki nilai Z-score < -2 SD sampai ≥ -3 SD.
Balita yang masuk dalam kategori sangat pendek adalah balita yang memiliki nilai
6

Z-score < -3 SD (Kemenkes RI, 2016). Stunting disebabkan adanya malnutrisi


asupan zat gizi dalam jangka waktu lama akibat dari pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi balita. Kekurangan gizi kronis selama 1000
hari pertama kehidupan anak yang dimulai dari hari pertama konsepsi hingga anak
mencapai usia 2 tahun dapat mengakibatkan tinggi badannya lebih pendek
dibandingkan dengan standar tinggi badan anak lain pada populasi yang normal
sesuai usia dan jenis kelamin yang sama (Kemendesa PDTT, 2017). Gangguan
pertumbuhan yang terjadi pada anak mengakibatkan perkembangan otak yang
tidak bisa diubah atau bersifat irreversible (Trihono dan Sudomo,2015).
2.2.2 Epidemiologi Stunting
Prevalensi anak balita stunting pada tahun 2016 di dunia diperkirakan
mencapai 154,8 juta dimana 87 juta anak tersebut hidup di Asia. Asia mengalami
keterlambatan dalam pengurangan kejadian stunting. Pengurangan kejadian
stunting tidak sama dalam semua kelompok populasi. Asia Pasifik, Amerika
Latin, dan Karibia mengalami penurunan kejadian yang lebih banyak di daerah
perkotaan daripada pedesaan sehingga hal ini dimasukkan ke dalam target
pembangunan berkelanjutan yaitu program pengurangan 40% jumlah anak balita
stunting pada target gizi global tahun 2025 (WHO, 2018).
Indonesia mencatat prevalensi anak stunting pada tahun 2013 mencapai
37,2% yang artinya terjadi pertumbuhan tidak maksimal pada 8,9 juta anak atau
satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi data tersebut terdiri dari 18,0% sangat
pendek dan 19,2% pendek (Kemenkes RI, 2013). Kabupaten Jember termasuk
dalam 100 wilayah yang memiliki prevalensi balita stunting tinggi dan
memerlukan intervensi perbaikan gizi. Prevalensi balita stunting di Jember
sebesar 44,1% pada tahun 2013.
2.2.3 Indikator Stunting
Indikator untuk mengetahui balita mengalami stunting adalah dengan
memperhatikan indeks antropometri panjang badan menurut umur (PB/U) atau
tinggi badan menurut umur (TB/U). Dalam keadaan pertumbuhan normal, tinggi
badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Panjang badan dan tinggi badan
merupakan indikator penting untuk menilai keadaan pertumbuhan anak pada masa
7

lampau dan masa sekarang. Ukuran panjang badan digunakan untuk menilai anak
usia 0–24 bulan dengan cara pengukuran terlentang sedangkan pengukuran tinggi
badan digunakan untuk menilai anak usia lebih dari 24 bulan dengan cara
pengukuran berdiri. Pengukuran panjang badan atau tinggi badan pada anak dapat
dilakukan menggunakan alat ukur dengan presisi 0,1 cm (Kemenkes RI, 2011).
Penilaian status gizi dapat diukur secara langsung menggunakan indeks
antropometri. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang bersifat
kronik akibat keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku
hidup bersih dan sehat, pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik sejak
anak lahir sehingga munculnya kondisi anak menjadi pendek atau sangat pendek.
Kategori dan ambang batas status gizi berdasarkan indikator panjang badan
menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) disajikan pada
Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Indikator status gizi berdasarkan panjang badan atau tinggi badan menurut
umur.
Ambang Batas
Indeks Kategori Status Gizi
(Z-score)
Sangat Pendek < -3 SD
Panjang Badan menurut Umur ≥-3 SD sampai
Pendek
(PB/U) atau Tinggi Badan dengan < -2 SD
menurut Umur (TB/U) anak ≥ -2 SD sampai
Normal
umur 0-60 bulan dengan 2 SD
Tinggi > 2 SD
Sumber: Kemenkes R.I (2011)

2.2.4 Faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting


Stunting terjadi akibat banyak faktor termasuk asupan makanan, penyakit
infeksi, status gizi ibu pada masa kehamilan, kekurangan mikronutrien, status
sosial ekonomi dan faktor lingkungan. Kejadian stunting pada anak yang disertai
kekurangan mikronutrien yaitu asupan yodium dan zat besi dapat mengakibatkan
kerusakan otak permanen, terhambatnya perkembangan, tinggi badan yang
pendek saat dewasa, dan rentan terhadap penyakit kronis (WHO, 2018). Balita
yang mengalami stunting memiliki tingkat intelektual yang rendah sehingga di
masa dewasanya berisiko mengalami penurunan tingkat produktivitas yang dapat
8

berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan sosial di


masyarakat (TNP2K, 2017). Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting
dijelaskan sebagai berikut:
a. Asupan Gizi
Asupan gizi merupakan faktor yang paling penting untuk menunjang
pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita. Asupan gizi yang baik
menjadikan status gizi pada balita semakin membaik sehingga kejadian stunting
semakin kecil. Kekurangan gizi dikonsumsi melalui makanan menyebabkan
pertumbuhan anak terhambat dan berpengaruh terhadap perkembangan seluruh
tubuhnya. Penyebab dari kekurangan gizi adalah jumlah asupan gizi yang kurang
akibat tidak seimbangnya masukan gizi dengan kebutuhan dari zat gizi tubuh
(Uliyanti et al., 2017).
Kurangnya akses keluarga terhadap penyediaan asupan gizi menjadi faktor
penghambat ketersediaannya asupan makanan untuk balita. Keluarga dengan
tingkat sosial ekonomi yang kurang disertai jumlah anak yang banyak
mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya kebutuhan makanan keluarga (Ni’mah,
2015).
Asupan gizi yang diperoleh bayi didapat mulai dari 1000 HPK yang
merupakan golden periode dalam menentukan tumbuh dan kembang bayi di masa
selanjutnya. Saat bayi lahir, asupan gizi paling penting adalah pemberian ASI
ekslusif pada usia 0-6 bulan dilanjutkan dengan pemberian ASI dan MP-ASI pada
saat bayi berusia 6 bulan (hari ke-180) (WHO, 2009).
b. Riwayat Penyakit Infeksi
Infeksi dan malnutrisi pada balita saling berkesinambungan di mana infeksi
dapat menyebabkan malnutrisi dan seorang anak yang mengalami malnutrisi
dapat mengakibatkan timbulnya penyakit infeksi. Malnutrisi dapat disebabkan
oleh riwayat penyakit infeksi karena saat seorang anak sakit maka membutuhkan
gizi yang lebih banyak untuk melawan penyakitnya disertai perasaan tidak nafsu
makan. Hal ini menyebabkan pemenuhan asupan gizi kurang dan rentan terhadap
penyakit infeksi (Izzati, 2017).
9

Balita sangat rentan mengalami infeksi dalam masa pertumbuhannya.


Penyakit yang paling sering terjadi pada balita adalah ISPA dan diare. Semakin
sering terjadi penyakit infeksi pada balita maka energi dari asupan gizi dialihkan
dan digunakan melawan penyakit tersebut, sehingga balita cenderung mengalami
masalah gizi di kemudian hari. Penyakit infeksi yang terjadi pada masa
pertumbuhan mengakibatkan energi yang digunakan untuk tumbuh kembang
kurang maksimal sehingga menyebabkan balita stunting (Uliyanti et al., 2017).
c. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum, selama, dan sesudah
masa kehamilan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Pengetahuan seseorang terhadap gizi berpengaruh terhadap
sikap dan perilakunya dalam menentukan asupan yang sesuai dengan kecukupan
gizi dan dapat berpengaruh terhadap terjadinya masalah gizi pada balita.
Pengetahuan gizi ibu dipengaruhi oleh usia ibu, pendidikan, pengetahuan,
pekerjaan, dan pendapatan (Puspasari dan Andriani, 2017). Ibu yang memiliki
tingkat pengetahuan gizi yang tinggi memiliki balita dengan status gizi yang baik
dan terhindar dari kejadian stunting. Rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu
berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu sehingga kesempatan untuk mendapatkan
pengetahuan gizi sangat terbatas (Uliyanti et al., 2017).
d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat terdiri dari 10 indikator yaitu pemberian ASI
eksklusif, menimbang berat badan, pertolongan persalinan menggunakan tenaga
kesehatan, memiliki fasilitas air bersih, membiasakan cuci tangan, memiliki
fasilitas jamban, melakukan pemberantasan jentik nyamuk, mengonsumsi sayur
dan buah, melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari dan menjauhi
kebiasaan merokok. Rendahnya kualitas sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat
memicu timbulnya penyakit pencernaan yang menyebabkan berkurangnya
penyerapan energi untuk pertumbuhan pada anak. Perilaku hidup bersih dan sehat
secara tidak langsung dapat mempengaruhi kejadian stunting melalui riwayat
penyakit infeksi (Uliyanti et al., 2017).
10

Kurangnya akses air bersih dan sanitasi juga menjadi faktor kontribusi
tingginya kejadian stunting di Indonesia. Kondisi sanitasi yang buruk
menunjukkan bahwa satu dari lima rumah tangga di Indonesia masih buang air
besar (BAB) di ruang terbuka, serta satu dari tiga rumah tangga belum memiliki
akses air minum bersih (TNP2K, 2017). Paparan terhadap kotoran manusia dan
binatang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit infeksi sehingga gizi sulit
diserap oleh tubuh. Hal ini juga dapat menimbulkan gangguan saluran pencernaan
yang akan menghambat penyerapan energi untuk digunakan dalam masa
pertumbuhan balita (MCA Indonesia, 2014).
e. Karakteristik Keluarga
Besar keluarga dapat mempengaruhi pola konsumsi zat gizi anggota keluarga
terutama balita. Jumlah keluarga yang banyak dapat menyebabkan perhatian ibu
kepada balita berkurang dan perhatian ibu terhadap anggota keluarga lain
termasuk dirinya sendiri. Makanan yang tersedia untuk keluarga hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan dari sebagian anggota keluarga sehingga gizi yang
terpenuhi berkurang dan mengakibatkan kejadian stunting pada balita (Lusiyana,
2011).
Pendapatan merupakan faktor lain yang menentukan status ekonomi keluarga.
Pendapatan keluarga merupakan unsur yang dapat mempengaruhi pola konsumsi
zat gizi balita. Daya beli yang kurang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
keluarga berdampak pada tidak terpenuhinya makanan yang beragam dan tidak
dapat mencukupi kualitas dan kuantitas dari makanan tersebut (Handini, 2013).
Kemampuan keluarga dalam membeli makanan tidak hanya dipengaruhi oleh
besarnya pendapatan tetapi juga dipengaruhi oleh harga bahan makanan. Harga
bahan makanan yang mahal cenderung tidak dipilih dan dibeli sehingga jarang
disajikan dan mengakibatkan pemenuhan kebutuhan gizi yang kurang (Illahi,
2017).
11

2.3 Baduta
2.3.1 Definisi
Menurut Depkes RI (2006), baduta adalah istilah yang diperuntukkan bagi
anak usia di bawah dua tahun (0-24 bulan). Periode usia ini sering juga disebut
sebagai periode emas (golden period). Pertumbuhan dan perkembangan pada
masa baduta memiliki peranan penting untuk keberhasilan perumbuhan dan
perkembangan anak di periode berikutnya. Asupan gizi yang seimbang pada
periode ini diperlukan untuk menunjang terciptanya kualitas sumber daya manusia
di masa mendatang (Hadi, 2005).
2.3.2 Gerakan 1000 HPK pada Baduta
Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) adalah gerakan yang bertujuan
memutus masalah gizi baik dari penyakit menular maupun tidak menular yang terjadi
pada kelompok rawan gizi seperti ibu hamil dan bayi yang dimulai dari usia pertama
kali dalam kandungan (270 hari) sampai berusia dua tahun (730 hari) (Hadiat, 2015).
Gerakan 1000 HPK merupakan gerakan yang diadopsi dari Scalling Up-Nutrition
(SUN) di bawah PBB yang bertujuan sebagai percepatan perbaikan gizi (Kemenko
Kesra RI, 2013). Gerakan ini dibagi menjadi dua intervensi, yaitu spesifik dan
sensitif. Intervensi spesifik lebih berfokus kepada kelompok rawan yakni ibu hamil
dan bayi hingga usia dua tahun, yang bertujuan untuk membentuk SDM berkualitas.
Sedangkan sasaran dari intervensi sensitif berada di luar sektor kesehatan yang dapat
mendukung kesehatan seperti jaminan kesehatan masyarakat, penyediaan sanitasi dan
air bersih, ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan (Direktorat Bina Gizi,
2014).
Periode baduta (0-24 bulan) merupakan salah satu periode pertumbuhan
dan perkembangan anak yang termasuk dalam gerakan 1000 HPK. Periode
baduta disebut juga dengan golden period, karena pada masa ini tumbuh dan
kembang anak berlangsung cepat sehingga apabila tidak dimanfaatkan akan
terjadi kerusakan permanen (Achadi, 2014). Dalam gerakan 1000 HPK periode
baduta dibagi dalam dua kelompok usia, yakni usia 0-6 bulan dan usia 7-24 bulan.
a) Periode 0-6 bulan (180 hari)
12

Pada periode awal kelahiran bayi hingga usia 6 bulan terdapat dua hal
penting yang harus diperhatikan oleh ibu, yakni inisiasi menyusu dini (IMD) dan
pemberian ASI (ekslusif). Bayi baru lahir harus segera diberikan IMD setidaknya
selama satu jam pertama dari kelahiran sampai proses menyusui pertama selesai
(Roesli dalam Fikawati (2015)). Pemberian ASI ekslusif harus dilakukan hingga
bayi berusia 6 bulan. Air susu ibu merupakan sumber makanan yang terbaik bagi
bayi dan mengandung semua nutrisi yang diperlukan oleh bayi (WHO 2003). Di
samping itu pada periode ini ibu dianjurkan melakukan pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan secara rutin, melakukan imunisasi dasar dan mencegah bayi
jatuh sakit serta menanganinya dengan cepat jika bayi sakit (Kemensos RI, 2015).
Pemberian ASI ekslusif dimulai dari hari pertama kelahiran hingga bayi
berusia 6 bulan. Pada usia tujuh bulan atau hari ke 180 bayi baru diperbolehkan
mengonsumsi makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap melanjutkan
pemberikan ASI hingga usia dua tahun (WHO, 2009). Kebutuhan gizi bayi selama
6 bulan pertama dapat terpenuhi hanya dengan pemberian ASI. Selain itu, di usia
6 bulan pertama organ pencernaan bayi masih belum sempurna, sehingga bayi
membutuhkan asupan makanan yang mudah dicerna. Pemberian ASI eksklusif
juga dapat mengurangi resiko infeksi pada saluran pencernaan bayi karena
higienitas ASI lebih terjamin. Berdasarkan standar pertumbuhan dari WHO, bayi
yang diberi ASI eksklusif memiliki pertumbuhan yang lebih cepat pada usia 6
bulan pertama dari bayi lainnya yang tidak diberi ASI ekslusif (WHO 2003).
b) Periode 7-24 bulan (540 hari)
Pada periode ini ASI tetap menjadi sumber zat gizi utama bagi bayi.
Namun kandungan gizi pada ASI sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi
bayi. Sehingga bayi memerlukan makanan tambahan yang mendampingi ASI
(MP-ASI) (WHO, 2009). Pemberian MP-ASI pada periode ini harus dilakukan
secara bertahap, sedikit demi sedikit dan terus bertambah seiring pertambahan
usia bayi. Begitupula dengan konsistensi makanan bayi yang harus dimulai
dengan makanan cair, saring lembek, hingga makanan padat atau makanan
keluarga (Arisman, 2009).
13

2.4 MP-ASI
2.4.1 Definisi MP-ASI
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman selain
ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi selama periode
penyapihan (complementary feeding) yang diberikan bersama pemberian ASI
(WHO, 2010). Sedangkan menurut Sibagariang (2010), makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yaitu makanan atau minuman yang mengandung gizi dan diberikan
kepada anak usia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
2.4.2 Tujuan Pemberian MP-ASI
Pemberian MP-ASI bertujuan untuk melengkapi zat gizi bayi yang sudah
berkurang. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam
makanan. Dengan berbagai rasa dan bentuk mengembangkan kemampuan bayi
untuk mengunyah dan menelan, mencoba beradaptasi terhadap makanan yang
mengandung kadar energi tinggi (Suhardjo, 2009).
Saat bayi berusia 7 bulan pemberian ASI sudah tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan gizi bayi. Seiring dengan bertambahnya usia, kebutuhan gizi bayi juga
semakin meningkat, sehingga bayi memerlukan makanan tambahan yang
mendampingi ASI (MP-ASI) (WHO, 2009). Kecukupan energi dari ASI untuk
bayi usia 0-23 bulan dapat dilihat dari Diagram 2.1

Diagram 2.1 Kesenjangan Energi yang dihasilkan ASI dan Energi yang dibutuhkan Bayi

Energi dari ASI Energi yang dibutuhkan


1200

1000
Energi Kal/Hari

800

600

400

200

0
0-2 bln 3-5 bln 6-8 bln 9-11 bln 12-23 bln
Usia

Sumber: WHO (2009)


14

2.4.3 Persyaratan pemberian MP-ASI


Pemberian MP-ASI harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Tepat waktu (timely)
Makanan pendamping ASI diberikan saat kebutuhan energi dan zat gizi
melebihi yang didapat dari ASI. Pemberian MP-ASI dimulai saat bayi memasuki
usia 6 bulan atau hari ke 180 dengan jumlah sedikit dan ditambah jumlahnya
seiring bertambahnya usia bayi.
b. Adekuat (adequate)
Makanan pendamping ASI harus kaya akan kandungan gizi. Tujuan
pemberian MP-ASI adalah untuk memenuhi kebutuhan gizinya dalam
pertumbuhan dan perkembangan. Makanan yang berkualitas terbuat dari makanan
yang beraneka ragam dan memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral.
c. Aman (safe)
Dalam hal penyimpanan, penyiapan, dan pemberian MP-ASI harus higienis.
Apabila higienitas MP-ASI tidak dijaga maka bakteri dan virus dapat masuk ke
dalam tubuh bayi. Kontaminasi virus dan bakteri dapat dihindari dengan cara,
yaitu:
1) Jaga kebersihan alat makan dan penjamah makanan
2) Masak MP-ASI dengan menyeluruh dengan matang
3) Pisahkan bahan mentah dan bahan matang yang sudah dimasak
4) Gunakan air dan bahan yang aman
5) Simpan makanan pada temperature yang benar
d. Tepat cara pemberian (properly)
Pemberian MP-ASI harus sesuai dengan tanda lapar dan adanya nafsu
makan yang diperlihatkan oleh bayi. Pemberian MP-ASI yang efektif tidak hanya
bergantung pada makanan yang diberikan, tetapi juga memerhatikan bagaimana,
kapan, di mana, dan siapa yang memberikan makanan kepada bayi. Metode
responsive feeding dapat digunakan sebagai panduan ibu untuk memberikan MP-
ASI. Berikut cara pemberian MP-ASI dengan metode responsive feeding:
15

1) Suapi bayi secara langsung dengan sabar dan bujuk bayi untuk makan tetapi
tidak dipaksakan. Apabila bayi memiliki kakak, sebaiknya ibu menyuapi bayi
sembari ditemani kakaknya yang makan sendiri;
2) Berikan makanan dengan jenis,, rasa, tekstur, yang berbeda bila bayi
menolak;
3) Kurangi gangguan yang membuat bayi tidak tertarik saat makan;
4) Jadikan makan sebagai saat yang menyenangkan bagi bayi sehingga bayi
tidak merasa takut dan trauma
Selain itu, frekuensi dan cara pemberian harus disesuaikan dengan usia bayi.
Semakin bertambah usia bayi maka kebutuhan asupan gizi juga akan
bertambah sehingga frekuensi pemberian MP-ASI juga harus ditingkatkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan frekuensi makan bayi,
diantaranya:
1) Jumlah energi yang diperlukan bayi untuk mengatasi kesenjangan energi
(energy gap).
2) Jumlah makanan yang dapat diasup oleh bayi saat satu kali makan, berkaitan
dengan kapasitas lambung bayi
3) Jumlah energi yang terkandung dalam MP-ASI

(WHO 2003. 2009)

2.5 Pengetahuan
2.5.1 Definisi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang


melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu yang terjadi melalui
pancaindra manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba
(Notoatmodjo, 2012). Perilaku yang didasari pengetahuan bertahan lebih lama
sehingga berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan.
Pengetahuan tentang gizi merupakan landasan penting untuk terjadinya perubahan
sikap dan perilaku gizi pada seseorang (Amelia, 2008).
16

2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor sebagai berikut:
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap
sesuatu. Hal ini sejalan dengan penelitian Fathia et al. (2015) yang
menunjukkan pendidikan ibu mempengaruhi pengetahuan ibu tentang diare
anak.
b. Usia
Semakin meningkat usia seseorang, maka proses-proses perkembangan
mentalnya bertambah baik, namun pada usia tertentu, bertambahnya proses
perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun,
bahkan dapat menurun. Salah satu yang dipengaruhi usia adalah daya ingat.
Dari uraian ini, maka dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur
seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada usia tertentu, kemampuan penerimaan atau
mengingat suatu pengetahuan akan semakin berkurang.
c. Paparan Media Informasi
Semakin banyak informasi yang didapatkan oleh seseorang, maka semakin
meningkat pula pengetahuan orang tersebut. Informasi didapat melalui
berbagai media baik cetak maupun elektronika seperti televisi, radio, majalah,
pamflet, dll.
d. Hubungan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial sehingga pada hakikatnya tidak akan lepas
dari individu yang lain. Hal ini secara alami tertanam dalam diri setiap manusia
dan secara alami pula dilakukan sejak lahir. Interaksi atau hubungan antar
individu merupakan salah satu proses pembelajaran untuk memperoleh
pengetahuan. Individu yang berinteraksi secara batinnya akan lebih terpapar
informasi.
e. Pengalaman
17

Pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran dari


pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang atau tidak mengulang
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu.
2.5.3 Pengukuran pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2012), pengetahuan dapat diukur dengan
melakukan wawancara atau pemberian angket yang menanyakan tentang isi
materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau respoden. Jenis pertanyaan
yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan menurut Arikunto (2010)
terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Pertanyaan subjektif
Pertanyaan subjektif digunakan dengan penilaian yang mengaitkan faktor
subjektif dari penilai. Hasil nilai dari pertanyaan subjektif akan berbeda dari setiap
penilai. Contoh dari pertanyaan subjektif adalah dalam bentuk essay.
b) Pertanyaan objektif
Jenis pertanyaan objektif seperti pilihan ganda, pernyataan benar atau
salah, dan pertanyaan menjodohkan (matching). Hasil dari pertanyaan objektif
adalah pasti.
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) Pengetahuan baik apabila subjek atau responden dapat menjawab pertanyaan
dengan benar sebesar 76-100% dari total pertanyaan;
2) Pengetahuan cukup apabila subjek atau responden dapat menjawab
pertanyaan dengan benar sebesar 56-75% dari total pertanyaan;
3) Pengetahuan kurang apabila subjek atau responden dapat menjawab
pertanyaan dengan benar <56% dari total pertanyaan;
(Arikunto, 2010)
2.5.4 Pengetahuan Ibu tentang MP-ASI
Pengetahuan ibu tentang MP-ASI adalah seorang ibu yang dapat
mengetahui tentang makanan atau minuman pendamping ASI yang diberikan
kepada anak usia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
18

2.6 Kerangka Teori


Kerangka teori penelitian ini terdapat pada Gambar 2.1 berikut.

Perawakan Pendek

Fisiologis Patologis

Familial
Short Stature

Proporsional Non Proporsional

Asupan PHBS Infeksi Pengeta- Kelainan Kelainan


Gizi huan Ibu Tulang Kromosom

Stunting

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Stunting merupakan salah satu jenis dari perawakan pendek. Perawakan
pendek sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu fisiologis dan patologis. Stunting
termasuk dalam perawakan pendek patologis yang bersifat proporsional dan tidak
disertai dengan adanya kelainan tulang maupun kelainan kromosom. Asupan Gizi,
perilaku hidup bersih dan sehta, riwayat infeksi, dan pengetahuan ibu merupakan
faktor yang dapat menyebabkan stunting.
19

2.7 Kerangka Konsep


Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian seperti pada Gambar 2.2
berikut ini.

Asupan Gizi PHBS Infeksi Pengetahuan Ibu

- Usia
ASI - Pendidikan
- Pekerjaan
- Pendapatan
Keluarga
MP-ASI

- Tepat waktu
- Adekuat
- Aman
- Tepat Cara

Stunting

Keterangan:
: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti

: variabel yang diteliti dan memiliki hubungan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


Kerangka konsep di atas disusun berdasarkan kerangka teori dan tujuan
penelitian yang ingin dicapai. Stunting memiliki beberapa faktor seperti asupan
gizi, PHBS keluarga, riwayat penyakit infeksi, serta pengetahuan ibu terhadap
pola asuh. Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui adanya hubungan antara
pengetahuan ibu tentang pemberian MP-ASI dengan kejadian baduta stunting.
20

2.8 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan pendahuluan dan tinjauan pustaka yang telah peneliti tulis
dapat diambil suatu hipotesis yaitu terdapat hubungan pengetahuan ibu tentang
MP-ASI dengan kejadian stunting pada baduta di wilayah Kecamatan Mayang,
Kabupaten Jember.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
analitik observasional dengan rancangan penelitian menggunakan cross sectional
study yang bertujuan untuk melihat hubungan variabel independen terhadap
variabel dependen.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Maret 2020 di wilayah kerja
Puskesmas Mayang, Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoadmojo, 2015). Jumlah baduta di wilayah Puskesmas Mayang dari 7 desa
adalah sebanyak 803 anak.

3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi yang dianggap mewakili keseluruhan populasi (Notoatmodjo,
2012).Sampel diambil sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti yang telah
dianggap mewakili seluruh populasi dengan kriteria sebagai berikut.
Kriteria Inklusi:
1. Tercatat sebagai warga desa di Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember
2. Ibu yang memiliki anak berusia 0-24 bulan
3. Bersedia menjadi responden penelitian (dibuktikan dengan mengisi inform
consent)

Kriteria Eksklusi
1. Mengundurkan diri dari penelitian
22

3.3.3 Besar Sampel


Besar sampel yang diperlukan dihitung menggunakan rumus slovin dengan
adanya non response rate 10% maka didapatkan:
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑 2 )
803
𝑛=
1 + 803(0.102 )
𝑛 = 89,04
𝑛 = 90
Keterangan:
n = jumlah sampel
N= besar populasi (jumlah baduta di Kecamatan Mayang)
d= presisi/ penyimpangan sampel terhadap populasi (10%)

3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah consecutive sampling yaitu pengambilan sampel yang ditentukan oleh
peneliti berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sehingga sampel dinyatakan
mampu mewakili penelitian yang akan dilakukan (Sugiyono, 2015).

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas atau independen adalah variabel yang memengaruhi variabel
terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang
pemberian MP-ASI.

3.4.2 Variabel Terikat


Variabel terikat atau dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh
bariabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah angka kejadian stunting
pada baduta.
23

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional pada penelitian ini dijabarkan dalam Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Kategori Skala
Operasional Pengukur
an
1. Pengetahuan Tingkat Kuesioner Jumlah soal : 30 Skor Ordinal
Pemberian kemampuan ibu tiap item:
MP-ASI dalam menjawab a. Jawaban salah
pertanyaan yang nilai 0
diajukan dalam b. Jawaban benar nilai
kuesioner tentang 1
pemberian MP-ASI Skor
dan dihitung total=benar/30x100%
berdasarkan jumlah
jawaban benar Kategori skor
pengetahuan:
Baik: 76-100%
Cukup:56-75%
Kurang:<56%
(Arikunto, 2010)
2. Stunting Stunting adalah z-score Sangat Pendek: < -3 Ordinal
kategori status gizi WHO SD
balita pendek atau Pendek: ≥-3 SD - < -
sangat pendek. 2 SD
Stunting apabila Normal: ≥ -2 SD - 2
tinggi balita SD
menurut umur Tinggi: > 2 SD
(TB/U) kurang dari (Kemenkes RI, 2011)
-2 SD pada standar
baku Antropometri
WHO

3.6 Instrumen Penelitian


3.6.1 Informed Consent
Informed consent merupakan pernyataan yang berisi tentang kesediaan
sampel untuk menjadi subjek penelitian.

3.6.2 Kuesioner
Kuisioner adalah alat pengumpul data yang terdiri dari kumpulan daftar
pertanyaan yang tersusun dengan baik dan digunakan oleh peneliti untuk
memperoleh data dari sumber data/responden secara langsung melalui proses
komunikasi dan tanya jawab dengan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan di dalam
kuisioner harus jelas dan mudah dimengerti agar responden dapat menjawab tanpa
mengurangi kesalahan interpretasi. Kuisioner dapat digunakan setelah diuji
24

validitas dan reliabilitas (Ristya, 2015). Uji validitas adalah tes untuk menguji
atau memastikan apakah suatu instrumen tepat untuk mengukur atau
mengumpulkan data mengenai suatu variabel. Uji reliabilitas adalah tes untuk
mengukur suatu instrumen dapat dipercaya sebagai alat ukur (Matondang, 2009).

3.6.3 Lengthboard
Instrumen ini merupakan alat yang digunakan untuk mengukur panjang
badan baduta yang dinyatakan dengan satuan sentimeter (cm).Gambaran
lengthboard ditunjukkan dalam Gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Alat Ukur Panjang Bayi/(Lengthboard) (sumber: medi-protech.com)

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1 Uji Kelayakan Etik
Sebelum dilakukan penelitian ini membutuhkan uji kelayakan etik dari
Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Keterangan persetujuan
kelayakan etik terlampir.

3.7.2 Sumber Data


Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
didapatkan langsung dari responden menggunakan kuesioner pada ibu dan
pengukuran tinggi badan pada baduta. Data sekunder berupa jumlah populasi
baduta di Kecamatan Mayang.

3.7.3 Pengambilan Data Populasi dan Sampel


Pengambilan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut.
a) Melakukan perizinan penelitian ke BAKESBANGPOL
25

b) Melakukan pengumpulan data populasi yang berasal dari database baduta di


Puskesmas Mayang Kabupaten Jember
c) Menyiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan
d) Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner

3.7.4 Prosedur Pengukuran Panjang/tinggi Badan Bayi


Pengukuran panjang/tinggi badan bayi dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
a) Meletakkan alat ukur panjang badan bayi/lenghtboard di tempat yang datar
b) Melepaskan sepatu, sandal atau benda-benda lain yang dapat mempengaruhi
pengukuran panjang badan
c) Membaringkan bayi diatas lenghtboard
d) Pastikan kepala bayi menghadap lurus keatas
e) Meluruskan kaki bayi dengan memegang lutut bayi
f) Menggeser indikator pengukur tepat menempel pada telapak kaki bayi
g) Membaca hasil pengukuran sesuai angka yang ditunjuk oleh pengukur
h) Mencatat hasil sesuai dengan pengukuran

3.7.5 Pengolahan Data


Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data yang terdiri
atas editing, coding, entry, dan cleaning. Pertama dilakukan proses editing dengan
memeriksa kebenaran dan kelengkapan data, kemudian coding adalah
pengkategorian dengan memberikan kode tertentu sehingga memudahkan dalam
pengolahan data, lalu tahap entry yaitu memasukan data sesuai kode yang sudah
ditentukan ke dalam komputer, dan yang terakhir cleaning dengan melakukan
pengecekan ulang terhadap kesesuaian data yang sudah dimasukan.

3.8 Analisis Data


Analisis data menggunakan software SPSS 16.0 For Windows. Analisis data
dilakukan secara bertahap menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis
univariat untuk melihat sebaran karakteristik masing-masing variabel penelitian.
Analisis bivariat untuk mengetahui ada hubungan antara variabel-variabel
26

dependen dengan variabel independen. Untuk membuktikan adanya hubungan


tersebut, dilakukan statistik uji spearman.

3.9 Alur Penelitian


Alur penelitian ditunjukkan dalam gambar 3.3 sebagai berikut.

Pembuatan Proposal

Persetujuan izin kelayakan etik

Permohonan izin penelitian di Kecamatan Mayang


Kabupaten Jember

Pengambilan sampel sesuai kriteria inklusi dan ekslusi

Pengumpulan data

Pengolahan dan analisis data

Penyajian data dalam laporan

Gambar 3.3 Alur Penelitian


27

DAFTAR PUSTAKA

Achadi, E.L. 2014. Periode Kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Dampak
Jangka Panjang terhadap Kesehatan dan Fungsinya. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Amelia, F. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktivitas Fisik, dan Status
Gizi pada Remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci Propinsi
Jambi. Skripsi. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga.Institut Pertanian Bogor

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.
Deba, U. 2007. Perbedaan Status Gizi Antara Bayi Yang Diberi ASI Eksklusif
Dengan Bayi Yang Diberi MP-ASI Dini Di Puskesmas Perumnas Kota
Kendari. Jurnal SELAMI IPS. 2007. 02(21): ISSN 1410-2323.

Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta.

Dewey K & Begum K. (2001). Why Stunting Matters. Alive and Thrive Technical
Brief, Issue 2

Dinkes Kabupaten Jember. 2017. Kejadian Stunting dan Gizi buruk di Kabupaten
Jember. Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.

Gibney, dkk. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Alih Bahasa : Andry Hartono.
Jakarta : EGC

Hadi, H. 2005. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan
pembangunan kesehatan nasional. Dalam pidato pengukuhan jabatan guru
besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada; Yogyakarta 5
Februari 2005.

Hadiat, 2015. Stunting di Indonesia dan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan


Gizi (Gerakan 1000 HPK). Jakarta: Kementrian PPN/Bappenas.
Handini, D. 2013. Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kalijambe. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Illahi, R. K . 2017. Hubungan pendapatan keluarga, berat lahir, dan panjang lahir
dengan kejadian stunting balita 24-59 bulan di Bangkalan. Jurnal
Manajemen Kesehatan Yayasan RS Dr. Soetomo 3(1): 3-7.
28

Irianto, K. 2014. Gizi Seimbang dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung : CV


Alfabeta

Izzati, I. S. 2017. Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Riwayat Penyakit Infeksi
dengan Kejadian Stunting. Skripsi. Semarang: Universitas
Muhamadiyah Semarang
Kardina, N. A. 2015. Hubungan Karakteristik Ibu, Keluarga, dan Pelayanan
Kesehatan dengan Status Keluarga Sadar Gizi pada Keluarga Anak Balita
(Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Prajekan, Kabupaten Bondowoso).
Skripsi. Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

Kemendesa PDTT. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Kemenkes RI. 2011. Standard Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta:
Direktorat Bina Gizi
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta:
Balitbang Kementerian Kesehatan RI
Kemenkes RI. 2018. Situasi Balita Pendek. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Kemenko Kesra. 2013. Kerangka kebijakan gerakan nasional percepatan


perbaikan gizi dalam rangka seribu hari pertama kehidupan (1000
HPK). Jakarta: Kementrian perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Direktorat bina gizi 2014

Kementrian Sosial Republik Indonesia. 2015. 1000 Hari Pertama Kehidupan


Penentu Ribuan Hari Berikutnya. Tangerang Selatan: Wahana Visi
Indonesia.

Khotimah, H. dan Kuswandi, K. 2014. Hubungan karakteristik ibu dengan status


gizi balita di Desa Sumur Bandung Kecamatan Cikulur Kabupaten Lebak
tahun 2013. Jurnal Obstretika Scientia 2(1): 147-148.
Lusiyana, N. 2011. Pengetahuan Gizi Ibu dan Perilaku Keluarga Sadar Gizi
Kaitannya dengan Status Gizi Balita di Desa Paberasan Kabupaten
Sumenep. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor

MCA Indonesia. 2014. Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakat untuk
Mengurangi Stunting. Jakarta: Corporation MC

Ni’mah, K. 2015. Hubungan Faktor Karakteristik, Pola Konsumsi, danStatus


Infeksi dengan Kejadian Stunting Balita. Skripsi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
29

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.\

Puspasari, N. dan Andriani, M. 2017. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dan
asupan makanan balita dengan status gizi balita (BB/U) usia 12-24 bulan.
Amerta Nutr. 1(4): 369-378

Sibagariang. 2010. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Trans Info Media

Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara

Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu

TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil


(Stunting). Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Trihono dan Sudomo, M. 2015. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan


Solusinya. Jakarta: Lembaga Penerbit Balitbangkes

Uliyanti, U., Tamtomo, D. G., dan Anantanyu, S. 2017. Faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Jurnal Vokasi
Kesehatan 3(2): 7-11.

WHO. 2003. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Geneva: World
Health Organization

WHO. 2006. Child Growth Standards.Geneva: World Health Organization

WHO. 2009. Infant and Young Children Feeding. France: World Health
Organization

WHO. 2010. The Nutrition Landscape Information System (NLIS): Country


Profile Indicators Interpretation Guide. Geneva: World Health
Organization

WHO. 2018. Reducing Stunting in Children: Equality


Considerations for Achieving The Global Nutrition Targets
2025. Geneva:World Health Organization.
30

LAMPIRAN

Lampiran 3.1Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden


NASKAH PENJELASAN KEPADA CALON SAMPEL
Selamat pagi/siang/sore,
Perkenalkan saya Ranindya Putri C. I. Saat ini saya sedang melakukan penelitian
berjudul “Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Pemberian MP-ASI dengan
Kejadian Baduta Stunting di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember”.
Prosedur pengambilan data
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengukur panjang badan bayi, dan meminta
Ibu/Saudara untuk mengisi kuesioner yang telah saya siapkan. Kuesioner berisi
data diri, pertanyaan tentang pengetahuan ibu tentang MP-ASI. Dalam
pengukuran panjang badan bayi akan saya usahakan dalam keadaan seoptimal
mungkin untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.
Manfaat
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan dan
informasi baik bagi masyarakat maupun instansi terkait sehingga bisa dijadikan
salah satu dasar untuk membentuk kebijakan terkait gizi baik bagi ibu maupun
anak di wilayah Kecamatan Mayang.
Kerahasiaan
Semua data mengenai identitas, hasil kuesioner dan hasil pengukuran berat badan
dan panjang badan akan peneliti rahasiakan.
Partisipasi sukarela
Responden tidak akan dipaksa ikut dalam penelitian ini apabila responden tidak
bersedia dan berhak sewaktu-waktu menolak melanjutkan partisipasi tanpa perlu
memberikan suatu alasan.
Kompensasi
Responden yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini akan mendapatkan
kompensasi berupa botol air minum.
Kontak yang bisa dihubungi jika ada pertanyaan tentang penelitian ini
31

Jika ada pertanyaan tentang penelitian ini, maka ibu/saudara bisa menghubungi
saya, Ranindya Putri (Nindy) melalui telepon 081233847297.
32

Lampiran 3.2 Informed Consent

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Alamat :
Umur :
menyatakan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dari:
Nama : Ranindya Putri Cipta Indraswari
NIM : 152010101112
Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Jember
dengan judul “Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Pemberian MP-ASI dengan
Kejadian Baduta Stunting di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember”.
Semua penjelasan telah disampaikan kepada saya dan saya telah memahami
segala informasi yang terkait dengan penelitian ini, dan diberi hak untuk
mengajukan pertanyaan serta membicarakan penelitian ini dengan peneliti seperti
memahami maksud, risiko, dan prosedur penelitian ini. Demikian pernyataan
persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk
menjadi responden penelitian ini.

Jember, 2019
Saksi, Responden penelitian,

(...............................................) (................................................)
33

Lampiran 3.3 Kuesioner Pengetahuan Ibu tentang MP-ASI

No. Sampel:
KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Pemberian MP-ASI dengan
Kejadian Baduta Stunting di Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

1. Nama Responden :
2. Tanggal Pengambilan :

3. Karakteristik Responden
Usia :
Pendidikan :
Pekerjaan :

4. Karakteristik Keluarga
Pendapatan per kapita :
Jumlah anggota keluarga :
Jumlah balita :

5. Karakteristik Baduta
Usia :
Jenis kelamin :

6. Tinggi/Panjang Badan :

Kuesioner Pengetahuan Ibu MengenaiMP-ASI

Petunjuk Pengisian : Berilah tanda cek (√) pada kolom jawaban yang sesuai

dengan pendapat ibu! (B = Benar dan S = Salah)

NO PERNYATAAN B S
1. Makanan Pendamping ASI adalah makanan selain
susu yang diberikan kepada bayi
2. Peran Makanan Pendamping ASI adalah menggantikan
seluruh manfaat ASI
3. ASI adalah satu-satunya makanan yang diperlukan bayi
sampai usia 24 bulan
34

4. Pemberian Makanan Pendamping ASI merupakan


proses peralihan dari asupan susu menuju makanan
semi padat
5. Makanan Pendamping ASI tidak berpengaruh terhadap
perkembangan fisik maupun kecerdasan anak
6. ASI dapat memenuhi seluruh kebutuhan nutrisi total
yang diperlukan bayi usia di atass 7 bulan
7. Makanan Pendamping ASI yang baik adalah makanan
yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi
8. Bayi harus segera disapih setelah mendapatkan
makanan tambahan selain susu
9. Makanan Pendamping ASI mulai diberikan saat bayi
usia 6 bulan penuh
10. Ibu tidak perlu memberikan makanan tambahan sampai
bayi berusia 12 bulan
11. Makanan selingan seperti biskuit san cake bisa
diperkenalkan bayi usia 12 bulan
12. Air teh boleh diberikan pada bayi usia 4 bulan
13. Bubur instan boleh diberikan pada bayi usia 2 bulan
14. Pemberian Makanan Pendamping ASI terlalu dini dapat
menyebabkan mencret
15. Saat usia 3 bulan ketika bayi lapar sebaiknya
ibumemberikan Makanan Pendamping ASI
16. Pisang boleh diberikan saat bayi berusia 3 bulan
17. Pemberian ASI dihentikan setelah bayi mencapai usia 6
bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian
makanan pendamping
18. Cara pemberian makan bayi akan mempengaruhi
perkembangan emosi
19. Bayi tidak memerlukan protein dalam proses tumbuh
dan berkembangnnya
20. Semakin bertambah umur bayi, kebutuhan zat besi
semakin berkurang
21. ASI memenuhi seluruh kebutuhan zat besi bayi sampai
usia 6 bulan
22. Suplemen zat besi sangat tepat jika diberikan pada bayi
sebelum mencapai usia 6 bulan
23. Sari buah dapat diberikan pada bayi usia 7 bulan
24. Zat besi banyak terdapat pada sayuran warna hijau
25. Makanan yang mengandung vitamin C seperti air jeruk,
boleh diberikan pada bayi usia 4 bulan tanpa
penambahan gula
26. Buah pepaya yang dihaluskan boleh diberikan pada
bayi usia 4 bulan
27. Pada kemasan bubur instan untuk bayi terdapat
informasi nilai gizi
28. Wortel adalah sayuran kaya karoten yang berbahaya
bagi pencernaan bayi
29. Makanan yang diberikan pada bayi tidak boleh bersifat
gurih karena membuat bayi cepat kenyang
30. Air tajin boleh diberikan pada bayi usia 7 bulan

Anda mungkin juga menyukai