Anda di halaman 1dari 328

STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN

DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR-TELUK BONE-


LAUT FLORES-LAUT BANDA
STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN
DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR-TELUK BONE-
LAUT FLORES-LAUT BANDA

Editor:
Prof. Dr. Ali Suman
Prof. Dr. Wudianto
Drs. Bambang Sumiono, M.Si

Kerja Sama

 Balai Penelitian Perikanan Laut 


 Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan 
 Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan 
 Kementerian Kelautan dan Perikanan 
STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN
DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR-TELUK BONE-
LAUT FLORES-LAUT BANDA

Editor:
Prof. Dr. Ali Suman
Prof. Dr. Wudianto
Drs. Bambang Sumiono, M.Si

Copyright © 2012 Balai Penelitian Perikanan Laut


Pencetakan Buku Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan Selat Makassar-Teluk Bone-Laut
Flores-Laut Banda dibiayai dari dana APBN Balai Penelitian Perikanan Laut

Korektor : Yuki HE Frandy


Desainer Sampul : Erry Novriansyah
Penata Isi : Erry Novriansyah, Sani Etyarsah

PT Penerbit IPB Press


Kampus IPB Taman Kencana Bogor

Cetakan Pertama: Desember 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

ISBN: 978-979-493-479-1
KATA PENGANTAR

Kepada Allah Yang Maha Kuasa, diucapkan rasa syukur yang


sedalam-dalamnya, karena atas perkenan-Nya buku dengan judul
Status Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan Selat Makassar-
Teluk Bone-Laut Flores-Laut Banda dapat dirampungkan. Makalah-
makalah ilmiah dalam buku ini merupakan karya para peneliti Balai
Penelitian Perikanan Laut (BPPL), Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI), serta Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Saya menyambut baik atas terbitnya buku ini, buku yang
merupakan hasil kerja keras para peneliti untuk mewujudkan karya
ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja pada masyarakat
perikanan Indonesia. Buku ini merupakan sumbangan ilmiah
yang sangat berharga untuk menguak status pemanfaatan sumber
daya ikan di Selat Makassar dan Laut Banda, yang merupakan
daerah penangkapan ikan yang utama di Indonesia. Buku ini juga
diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi terhadap
pembangunan sektor kelautan dan perikanan terutama sebagai bahan
masukan untuk tujuan mewujudkan ekonomi biru pengelolaan sumber
daya ikan di Indonesia, khususnya di Selat Makassar dan Laut Banda.
Makalah yang dimuat dalam buku ini sudah dipresentasikan dalam
acara Seminar Hasil Riset (SHR) lingkup P4KSI pada bulan Juni 2012
di Bogor dan selanjutnya makalah tersebut dievaluasi dan dikoreksi
oleh para editor, untuk kemudian dilakukan perbaikan oleh penulis
masing-masing. Atas usaha dan kerja keras dari para editor: Prof. Dr.
Wudianto, Prof. Dr. Ali Suman, dan Drs. Bambang Sumiono, M.Si serta
para penulis dalam penyempurnaan makalah-makalah yang termuat
dalam buku ini diucapkan terima kasih.

v
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Sebagai suatu karya ilmiah, saya mengharapkan buku ini dapat


berkontribusi sebagai bahan masukan dalam mewujudkan ekonomi
biru dalam pembangunan perikanan Indonesia. Semoga Allah Yang
Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua serta
semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan nelayan Indonesia khususnya di seputar Selat
Makasar dan Laut Banda.

Jakarta, Desember 2012

Kepala Balai

Prof. Dr. Ali Suman

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................. v
Daftar Isi............................................................................................ vii
Daftar Tabel...................................................................................... xi
Daftar Gambar.................................................................................. xvii

STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI PERAIRAN

• SELAT MAKASSAR-TELUK BONE-LAUT FLORES


1. Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung
(Penaeus merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan
Oleh Duranta Diandria Kembaren, Bambang Sumiono,
dan Suprapto .......................................................................... 1
2. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis)
di Perairan Kota Baru, Kalimantan Selatan
Oleh Adrian Damora dan Wedjatmiko.................................... 15
3. Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makassar
Oleh Suprapto, Pratiwi Lestari dan Nurulludin...................... 29
4. Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal
di Perairan Selat Makassar
Oleh Prihatiningsih, Suprapto dan Wedjatmiko..................... 45
5. Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan
Sekitar Balikpapan dan Kota Baru
Oleh Isa Nagib Edrus, Prihatiningsih dan Suprapto................ 61
6. Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan
Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar
Oleh Achmad Zamroni, Moh. Fauzi, dan Hari Ilhamdi............ 75

vii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

7. Distribusi Ikan PelagisKecil di Selat Makassar


Bagian Selatan
Oleh Rodo Lasniroha, Asep Priatna dan Suwarso................... 89
8. Analisis Kapasitas Penangkapan Perikanan
Udang di Perairan Balikpapan dan Sekitarnya
Oleh Tri Wahyu Budiarti dan Mahiswara............................... 107
9. Estimasi StandingStok Ikan Demersal
di Perairan Pangkep-Selat Makassar
Oleh Asep Priatna dan Bambang Sadhotomo......................... 121
10. Produktivitas Usaha Penangkapan Ikan dengan Pukat
Cincin (Purse Seine) di Watampone, Sulawesi Selatan
Oleh Erfind Nurdin, Hufiadi, dan Mahiswara......................... 137
11. Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat
Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Banda
Oleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan Adi Kuswoyo................ 151
12. Biologi Reproduksi Ikan Layang Biru/Malalugis (Decapterus
macarellus) di Selat Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda
Oleh Moh. Fauzi, Suwarso, dan M. Fadli Yahya....................... 175

STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI PERAIRAN

• LAUT BANDA
13. Kelimpahan dan Sebaran Larva Scombridae di Perairan Laut
Banda
Oleh Karsono Wagiyo, Umi Chodrijah, dan Yoke Hany
Restiangsih.............................................................................. 193
14. Komposisi Ukuran, Tingkat Kematangan Gonad dan
Makanan Ikan Banyar (Rastrelliger kanagurta
CUVIER 1817) di Perairan Kendari
Oleh Tuti Hariati, Suwarso dan M. Taufik................................ 209
15. Perikanan Pelagis Besar yang Berbasis di Pelabuhan
Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara
Oleh Umi Chodrijah, Tegoeh Noegroho dan Enjah Rahmat..... 227

viii
Daftar Isi

16. Aktivitas Penangkapan Pancing Ulur Tuna


di Kepulauan Banda Neira
Oleh Baihaqi dan Helman Nur Yusuf........................................ 243
17. Laju Tangkap Pancing Ulur dan Sebaran Panjang Hasil
Tangkapan Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
di Perairan Kepulauan Band
Oleh Thomas Hidayat, Tegoeh Noegroho
dan Karsono Wagiyo................................................................ 259
18. Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) di Kepulauan Banda
Neira
Oleh Helman Nur Yusuf, Baihaqi, dan Tri Wahyu Budiarti....... 273
19. Struktur Ukuran dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari
Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat, dan
Umi Chodrijah.......................................................................... 287

ix
DAFTAR tabel

BIOLOGI DAN PARAMETER PERTUMBUHAN UDANG JERBUNG


(Penaeus merguiensis) DI PERAIRAN BONE, SULAWESI SELATAN
Oleh Duranta Diandria Kembaren, Bambang Sumiono, Suprapto
Tabel 1. Persentase kematangan gonad udang jerbung
di perairan Bone, 2011................................................... 6

KEANEKARAGAMAN JENIS UDANG DI PERAIRAN SELAT MAKASAR


Oleh Suprapto, Pratiwi Lestari dan Nurulludin
Tabel 1. Jenis udang dan banyaknya individu yang tertangkap
di Selat Makasar, pada bulan Juni dan Oktober 2011..... 34

Tabel 2. Indeks keragaman jenis udang (H’),


kekayaan jenis (R), kelimpahan (N1-N2), kemerataan
jenis (E) dan dominasi jenis (C) di perairan Selat
Makasar, bulan Juni dan Oktober 2011……………………….. 38

KOMPOSISI DAN PENYEBARAN IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN


SELAT MAKASSAR
Oleh Prihatiningsih, Suprapto dan Wedjatmiko
Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap ikan
de­mersal berdasarkan kelompok famili di perairan
Selat Makasar, Juni dan Oktober 2011........................... 50
Tabel 2. Laju tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal
(kg/jam) menurut strata kedalaman di perairan Timur
Kalimantan pada Juni dan Oktober 2011....................... 54

KEANEKARAGAMAN IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SEKITAR


BALIKPAPAN DAN KOTA BARU
Oleh Isa Nagib Edrus, Prihatiningsih dan Suprapto
Tabel 1. Jenis-jenis ikan yang tertangkap jaring lampara dasar
di perairan Balikpapan dan Kota Baru............................ 65
Tabel 2. Hasil analisis data tangkapan lampara dasar ................. 67
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

DISTRIBUSI IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR


BAGIAN SELATAN
Oleh Rodo Lasniroha, Asep Priatna dan Suwarso
Tabel 1. Rata-rata densitas absolut ikan pelagis.......................... 94
Tabel 2. Jumlah target ikan pelagis menurut
strata kedalaman............................................................ 101
Tabel 3. Komposisi target ikan pelagis menurut
strata kedalaman............................................................ 102
Tabel 4. Nilai estimasi biomassa ikan pelagis kecil dari survei
akustik............................................................................ 103

ANALISIS KAPASITAS PENANANGKAPAN PERIKANAN UDANG DI


PERAIRAN BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA
Oleh Tri Wahyu Budiarti dan Mahiswara
Tabel 1. Hasil perhitungan CPUE per kapal per tahun
di Balikpapan tahun 1990-2010...................................... 112
Tabel 2. Hasil perhitungan kapasitas penangkapan dengan
metode PTP, tahun 1990-2010....................................... 113

ESTIMASI STANDING STOK IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKEP-


SELAT MAKASSAR
Oleh Asep Priatna dan Bambang Sadhotomo
Tabel 1. Pengaturan parameter-parameter akustik
pada Biosonics DT-X ....................................................... 125

Tabel 2. Persentase komposisi jumlah individu, biomassa, dan


kepadatan stok pada masing-masing selang ukuran TS,
panjang dan bobot ikan demersal ................................. 130

PRODUKTIVITAS USAHA PENANGKAPAN IKAN DENGAN PUKAT


CINCIN (PURSE SEINE) DI WATAMPONE, SULAWESI SELATAN
Oleh Erfind Nurdin, Hufiadi, dan Mahiswara
Tabel 1. Fluktuasi jumlah produksi, armada dan trip
nelayan pukat cincin (2005-2010).................................. 143
Tabel 2. Faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas
armada pukat cincin (2011)............................................ 147

xii
Daftar Tabel

HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR, TELUK


BONE, LAUT FLORES DAN LAUT BANDA
Oleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan Adi Kuswoyo
Tabel 1. Lokasi sampling dan sumber data hasil
tangkapan yang digunakan................................................155
Tabel 2. Hasil tangkapan purse seine mini (pajala) di
perairan barat Mamuju, tahun 2004–2010.......................157
Tabel 3. Hasil tangkapan payang di perairan Barru
(Sulawesi Selatan), 2011....................................................159
Tabel 4. Hasil tangkapan bagan di perairan Barru
(Sulawesi Selatan), 2011....................................................159
Tabel 5. Hasil tangkapan purse seine dan bagan di Teluk
Bone-Laut Flores yang didaratkan di PPI Lonrae,
Watampone, Januari–Oktober 2011.................................162
Tabel 6. Hasil tangkapan purse seine mini “Bone”
(Sulawesi Selatan) di perairan Teluk Bone dan
Laut Flores, 2006–2011.....................................................165
Tabel 7. Hasil tangkapan total, jumlah hari operasi pukat
cincin mini, dan indek kelimpahan total di perairan
Kendari dari tahun 2006–2011..........................................165

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG BIRU/MALALUGIS (Decapterus


macarellus) DI SELAT MAKASSAR, LAUT FLORES, DAN LAUT BANDA
Oleh Moh. Fauzi, Suwarso, dan M. Fadli Yahya
Tabel 1. Sebaran panjang cagak contoh ikan D. macarellus yang
diperoleh menurut lokasi perairan....................................180
Tabel 2. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan layang biru
di Selat Makassar bagian selatan, Laut Banda,
dan Laut Flores..................................................................181
Tabel 3. Sebaran nilai GSI ikan layang biru betina menurut tingkat
kematangan seksual di perairan Selat Makassar,
Laut Banda, dan Laut Flores..............................................183
Tabel 4. Perbandingan jenis kelamin ikan layang biru dari Selat
Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda.............................184
Tabel 5. Nilai Lm ikan layang biru D. macarellus betina di Selat
Makassar, Laut Banda, dan Laut Flores.............................187
xiii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

KELIMPAHAN DAN SEBARAN LARVA SCOMBRIDAE


DI PERAIRAN LAUT BANDA
Oleh Karsono Wagiyo, Umi Chodrijah, dan Yoke Hany Restiangsih
Tabel 1. Komposisi larva Scombridae............................................198
Tabel 2. Struktur ukuran larva Scombridae...................................200

KOMPOSISI UKURAN, TINGKAT KEMATANGAN GONAD DAN


MAKANAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta CUVIER 1817)
DI PERAIRAN KENDARI
Oleh Tuti Hariati1), Suwarso1) dan M. Taufik1)
Tabel 1. Kriteria tingkat kematangan gonad ikan
pelagis kecil (SEAFDEC)....................................................213
Tabel 2. Jumlah individu ikan betina, panjang ikan, berat
gonad dan Indeks Gonad ikan banyar betina
menurut TKG dari perairan Kendari.................................218
Tabel 3. Kisaran dan modus diameter telur Tingkat
Kematangan Gonad I s/d IV ikan banyar (Rastrelliger
kanagurta) dari perairan Kendari dan sekitarnya............219
Tabel 4. Nilai-nilai indeks gonad ikan banyar betina menurut
musim dalam periode tahun 2007-2011
di perairan Kendari..........................................................221
Tabel 5. Organisme makanan ikan banyar
(Rastrelliger kanagurta) dari perairan Kendari................222

AKTIVITAS PENANGKAPAN PANCING ULUR TUNA


DI KEPULAUAN BANDA NEIRA
Oleh Baihaqi dan Helman Nur Yusuf
Tabel 1. Periode operasional kapal “Warsid”............................... 253
Tabel 2. Periode operasional kapal “Ibrahim”............................. 255

xiv
Daftar Tabel

LAJU TANGKAP PANCING ULUR DAN SEBARAN PANJANG HASIL


TANGKAPAN (IKAN TUNA MADIDIHANG (Thunnus albacares) DI
PERAIRAN KEPULAUAN BANDA
Oleh Thomas Hidayat, Tegoeh Noegroho dan Karsono Wagiyo
Tabel 1. Jumlah perahu penangkapan ikan per desa
di Banda, Tahun 2010.................................................... 263
Tabel 2. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan madidihang
yang tertangkap pancing ulur di perairan Pulau
Banda, Februari – Oktober 2011.................................... 269

STRUKTUR UKURAN DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG


(Katsuwonus pelamis) YANG BERBASIS DI PPS KENDARI
Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat, dan Umi Chodrijah
Tabel 1. Rata-rata panjang ikan cakalang tertangkap
oleh beberapa jenis alat tangkap....................................295
Tabel 2. Hubungan panjang berat ikan cakalang yang didaratkan
di PPS Kendari, pada bulan Januari, Mei, Juni,
Agustus, dan Oktober 2011............................................296

xv
DAFTAR GAMBAR

BIOLOGI DAN PARAMETER PERTUMBUHAN UDANG JERBUNG


(Penaeus merguiensis) DI PERAIRAN BONE, SULAWESI SELATAN
Oleh Duranta Diandria Kembaren, Bambang Sumiono, Suprapto
Gambar 1. Kurva logistik rata-rata panjang karapas pertama kali
udang jerbung tertangkap di perairan Bone, 2011......... 6
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan
frekuensi panjang karapas udang
jerbung di perairan Bone, 2011........................................7
Gambar 3. Kurva pertumbuhan udang jerbung
di perairan Bone, 2011.................................................... 8
Gambar 4. Kurva hasil tangkapan udang jerbung yang
dilinearkan di perairan Bone............................................ 9

DINAMIKA POPULASI UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis)


DI PERAIRAN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
Oleh Adrian Damora dan Wedjatmiko
Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan
Selatan....................................................................... 17
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang karapas udang jerbung
(Penaeus merguiensis) di perairan Kotabaru,
Kalimantan Selatan.................................................... 20
Gambar 3. Hubungan panjang-bobot udang jerbung (Penaeus
merguiensis) betina (a) dan jantan (b) di perairan
Kotabaru, Kalimantan Selatan................................... 21
Gambar 4. Penyebaran frekuensi panjang karapas udang
jerbung (Penaeus merguiensis) betina (a)
dan jantan (b) yang dirunut dengan ELEFAN............. 23
Gambar 5. Nilai Z sebagai slope kurva hasil tangkapan udang
jerbung (Penaeus merguiensis) betina (a)
dan jantan (b) di perairan Kotabaru........................... 24

xvii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

KEANEKARAGAMAN JENIS UDANG DI PERAIRAN SELAT MAKASAR


Oleh Suprapto, Pratiwi Lestari dan Nurulludin
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Selat
Makasar 2011............................................................ 32
Gambar 2. Komposisi jumlah individu udang yang tertangkap
di Selat Makasar pada bulan Juni 2011..................... 36
Gambar 3. Komposisi jumlah individu udang yang tertangkap
di Selat Makasar pada bulan Oktober 2011............... 37

KOMPOSISI DAN PENYEBARAN IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN


SELAT MAKASSAR
Oleh Prihatiningsih1, Suprapto1) dan Wedjatmiko1
Gambar 1. Lokasi dan posisi stasiun penelitian di perairan Selat
Makassar, 2011.......................................................... 47
Gambar 2. Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ikan
demersal di perairan Selat Makassar dan L. Flores
(WPP 713) tahun 2001-2009..................................... 52
Gambar 3. Laju tangkap lampara dasar terhadap spesies ikan
demersal (spesies) di perairan Selat Makassar, Juni
dan Oktober 2011...................................................... 53
Gambar 4. Sebaran spasial laju tangkap ikan demersal
di perairan Selat Makassar, Juni dan Oktober 2011... 55
Gambar 5. Kepadatan stok ikan demersal menurut strata
kedalaman di perairan Selat Makassar, Juni
dan Oktober 2011...................................................... 56

KEANEKARAGAMAN IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SEKITAR


BALIKPAPAN DAN KOTA BARU
Oleh Isa Nagib Edrus, Prihatiningsih dan Suprapto
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan
Selat Makasar 2011................................................... 63

KOMPOSISI UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN IKAN


MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI SELAT MAKASSAR
Oleh Achmad Zamroni, Moh. Fauzi, dan Hari Ilhamdi
Gambar 1. Komposisi ukuran panjang ikan Malalugsi bulan
Februari – Desember 2011....................................... 79
xviii
Daftar Gambar

Gambar 2. Sebaran ukuran panjang bulanan ikan Malalugis


dari bulan Februari – Desember 2011....................... 82
Gambar 3. Kurva pertumbuhan ikan Malalugis D. macarellus
yang tertangkap perairan selat Makassar
tahun 2011................................................................ 84
Gambar 4. Kurva penangkapan dan parameter kematian ikan
Malalugis di perairan Selat Makassar tahun 2011..... 85

DISTRIBUSI IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR


BAGIAN SELATAN
Oleh Rodo Lasniroha, Asep Priatna dan Suwarso
Gambar 1. Trek akustik dan stasiun oseanografi......................... 93
Gambar 2. Distribusi mendatar densitas ikan pelagis pada
Sub area-1 pada strata : (a) 0 – 25 m;
(b) 25 – 50 m; (c) 50 – 75 m; (d) 75 – 100 m;
(e) 100 – 125 m; (f) 125 – 150 m............................... 95
Gambar 3. Sebaran menegak suhu dan salinitas di sub area 1... 96
Gambar 4. Distribusi mendatar densitas ikan pelagis pada
sub area-2 pada strata : (a) 0 – 25 m; (b) 25 – 50 m;
(c) 50 – 75 m; (d) 75 – 100 m; (e) 100 – 125 m;
(f) 125 – 150 m.......................................................... 97
Gambar 5. Sebaran spasial kelimpahan (a) fitoplankton dan (b)
zooplankton di perairan Selat Makassar.................... 98
Gambar 6. Sebaran menegak suhu dan salinitas di sub area 2... 99
Gambar 7. Pola arus permukaan di perairan Selat Makassar
pada bulan Juni.......................................................... 100
Gambar 8. Jumlah target ikan pelagis pada tiap kedalaman....... 101
Gambar 9. Variasi komposisi target pada tiap
strata kedalaman....................................................... 102
Gambar 10. Hubungan panjang berat ikan malalugis
(Decapterus macarellus) di sekitar perairan Selat
Makassar.................................................................... 103
Gambar 11. Persentase nilai biomassa ikan pelagis kecil tiap strata
kedalaman................................................................. 104

xix
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

ANALISIS KAPASITAS PENANANGKAPAN PERIKANAN UDANG DI


PERAIRAN BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA
Oleh Tri Wahyu Budiarti dan Mahiswara
Gambar 1. Fluktuasi jumlah kapal dan hasil tangkapan udang
alat tangkap dogol dan trammel net di perairan
Balikpapan dan sekitarnya, tahun 1990 – 2010........ 111
Gambar 2. Fluktuasi nilai CPUE udang dari perairan Balikpapan
dan Sekitarnya, tahun 1990 – 2010........................... 112
Gambar 3. Hasil tangkapan total (actual catch) dan
kemampuan tangkap (potential catch) udang
di perairan Balikpapan dan sekitarnya pada
kurun waktu 1990 – 2010.......................................... 114
Gambar 4. Fluktuasi nilai CU pada kapasitas penangkapan
udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya............ 114
Gambar 5. Grafik nilai excess fishing capacity di Laut Arafura.... 115
Gambar 6. Nilai tingkat pemanfaatan kapasitas berlebih
(overcapacity) sumberdaya udang perairan
Balikpapan dan sekitarnya tahun 1990 – 2010.......... 116

ESTIMASI STANDING STOK IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKEP-


SELAT MAKASSAR
Oleh Asep Priatna dan Bambang Sadhotomo
Gambar 1. Lokasi pengamatan stok ikan demersal dan
trek akuisisi data akustik di perairan
Pangkep-Selat Makassar, Oktober 2011.................... 124
Gambar 2. Hubungan antara nilai TS dengan ukuran
dugaan (FL) ikan demersal di perairan Pangkep,
Selat Makassar........................................................... 127
Gambar 3. Komposisi ukuran panjang ikan berdasarkan
nilai TS (a) dan hasil tangkapan (b)............................ 128
Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot ikan kakap merah
(Lutjanus malabaricus) di perairan Pangkep, Selat
Makassar.................................................................... 129
Gambar 5. Persentase komposisi jumlah individu dan besaran
biomassa ikan demersal berdasarkan ukuran
panjang dan bobot . .................................................. 131

xx
Daftar Gambar

Gambar 6. Distribusi spasial ikan demersal berdasarkan ukuran


panjang (kiri) dan kepadatan (kanan)........................ 132

PRODUKTIVITAS USAHA PENANGKAPAN IKAN DENGAN PUKAT


CINCIN (PURSE SEINE) DI WATAMPONE, SULAWESI SELATAN
Oleh Erfind Nurdin, Hufiadi, dan Mahiswara
Gambar 1. Posisi pemasangan rumpon oleh nelayan pukat cincin
Watampone............................................................... 141
Gambar 2. Desain alat tangkap pukat cincin nelayan
Watampone............................................................... 142
Gambar 3. Produktivitas usaha pukat cincin Watampone
(2005-2010)............................................................... 145

HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR, TELUK


BONE, LAUT FLORES DAN LAUT BANDA
Oleh Suwarso, Achmad Zamroni, dan Adi Kuswoyo

Gambar 1. Peta daerah penangkapan dan lokasi sampling......... 154
Gambar 2. Tren laju tangkapan (kg/trip) dan jumlah trip purse
seine mini (pajala) asal Mamuju (Sulawesi Barat)
di peraian barat Mamuju, tahun 2004-2010.............. 158
Gambar 3. Komposisi jenis ikan pelagis hasil tangkapan purse
seine mini (pajala) di perairan Mamuju (Sulawesi Barat)
yang didaratkan di Balikpapan, 2004-2010................ 158
Gambar 4. Fluktuasi musiman laju tangkap ikan pelagis kecil
yang tertangkap payang dan bagan di perairan
Barru, Sulawesi Selatan, 2011.................................... 160
Gambar 5. Komposisi jenis hasil tangkapan payang dan
bagan di perairan Barru, Selat Makassar.................... 161
Gambar 6. Fluktuasi laju tangkap (kg/trip) purse seine dan bagan
perahu di Teluk Bone dan Laut Flores, 2011.............. 163
Gambar 7. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine (atas) dan
bagan (bawah) di Teluk Bone-Laut Flores................... 164
Gambar 8. Fluktuasi laju tangkap (kg/trip) dan upaya (jumlah trip)
purse seine di Teluk Bone dan Laut Flores, 2006-2011
(Sumber data: juragan pemilik kapal)........................ 164

xxi
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 9. Hasil tangkapan per trip (CPUE) ikan pelagis yang


tertangkap purse seine mini di perairan Kendari
2006-2010 (kiri) dan perubahan komposisi hasil
tangkapan tahun2009-2010 (kanan) (Keterangan:
IPK= ikan pelagis kecil; IPB= ikan pelagis besar)........ 167

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG BIRU/MALALUGIS (Decapterus
macarellus) DI SELAT MAKASSAR, LAUT FLORES, DAN LAUT BANDA
Oleh Moh. Fauzi, Suwarso, dan M. Fadli Yahya

Gambar 1. Ikan layang biru/malalugis (Decapterus macarellus).... 177


Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel ikan layang biru (D.
macarellus) di Selat Makasar dan Laut Banda, Laut
Flores . ........................................................................ 178
Gambar 3. Diagram scatter yang menunjukkan nilai GSI menurut
panjang cagak FL ikan layang biru (D. macarellus) di
perairan Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Banda
beserta cara memisahkan individu dewasa (GSI≥4) dan
individu muda (GSI<4)................................................. 179
Gambar 4. Gonad dengan kondisi menjelang fully mature.......... 182
Gambar 5. Sebaran tingkat kematangan Gonad Ikan Layang Biru
menurut kelas panjang cagak.................................... 184
Gambar 6. Perbandingan Jenis kelamin ikan layang biru pada tiap
kelas panjang cagak..................................................... 185
Gambar 7. Fluktuasi rata-rata gonado somatic index ikan layang biru
di Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar............ 186

KELIMPAHAN DAN SEBARAN LARVA SCOMBRIDAE


DI PERAIRAN LAUT BANDA
Oleh Karsono Wagiyo, Umi Chodrijah, dan Yoke Hany Restiangsih

Gambar 1. Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel


larva dan oseanografinya.............................................195
Gambar 2. Grafik kelimpahan dan sebaran spasial larvaceanid.....196
Gambar 3. Persentase dan sebaran larvaceanid
berdasarkan kedalaman...............................................197

xxii
Daftar Gambar

Gambar 4. Kelimpahan iktioplankton; a) larva dan b) telur...........197


Gambar 5. Sebaran larva Scombridae berdasarkan
stasiun pengamatan......................................................199
Gambar 6. Sebaran larva Thunnus spp pada masing-masing
stasiun sampling...........................................................199
Gambar 7. Komposisi tingkatan larva Scombridae.........................201
Gambar 8. Nilai suhu pada stasiun sampling larva.........................201
Gambar 9. Nilai salinitas pada stasiun sampling larva....................202
Gambar 10. Nilai turbiditas pada stasiun sampling larva.................203
Gambar 11. Nilai kecepatan arus pada stasiun sampling larva........203
Gambar 12. Nilai oksigen terlarut pada lokasi sampling larva.........204
Gambar 13. Nilai klorofil pada lokasi sampling larva........................205

KOMPOSISI UKURAN, TINGKAT KEMATANGAN GONAD DAN


MAKANAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta CUVIER 1817)
DI PERAIRAN KENDARI
Oleh Tuti Hariati, Suwarso dan M. Taufik
Gambar 1. Peta perairan Kendari dan sekitarnya,
kotak hitam adalah daerah penangkapan
pukat cincin mini (Pajeko).......................................... 211
Gambar 2. Sebaran panjang ikan banyar
(Rastrelliger kanagurta) dari perairan Kendari
yang tertangkap Bagan dan Pukat cincin mini........... 216
Gambar 3. Perbandingan gonad ikan banyar dari perairan
Kendari yang Matang dan yang belum matang......... 218
Gambar 4. Komposisi TKG ikan banyar betina pada musim
Peralihan 1, musim Timur dan musim
Peralihan 2 di perairan Kendari periode
tahun 2007-2011....................................................... 220

xxiii
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

PERIKANAN PELAGIS BESAR YANG BERBASIS DI PELABUHAN


PERIKANAN SAMUDERA KENDARI, SULAWESI TENGGARA
Oleh Umi Chodrijah, Tegoeh Noegroho dan Enjah Rahmat
Gambar 1. Jumlah unit alat penangkap ikan tuna menurut
jenis dan ukuran kapal di PPS Kendari 2010.............. 229
Gambar 2. Fluktuasi produksi tuna yang didaratkan
di PPS Kendari, Tahun 2000-2010............................. 230
Gambar 3. Ikan pelagis besar hasil tangkapan huhate
di Laut Banda yang didaratkan di Kendari (2010)...... 231
Gambar 4. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing tonda
di Laut Banda yang didaratkan di Kendari (2010)...... 231
Gambar 5. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur
di Laut Banda yang didaratkan di Kendari (2010)...... 232
Gambar 6. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pukat cincin
di Laut Banda yang didaratkan di Kendari (2010)...... 232
Gambar 7. Perkembangan catch, effort dan CPUE perikanan
pelagis besar di perairan Laut Banda dan
sekitarnya dalam periode 5 tahun (2006-2010)........ 233
Gambar 8. Desain pancing pole and line..................................... 234
Gambar 9. Desain jaring purse seine tuna . ................................ 235
Gambar 10. Peta rumpon purse seine tuna di Laut Banda............ 236
Gambar 11. Desain troll line di PPS Kendari.................................. 237
Gambar 12. Desain pancing tuna pada kapal hand line
di PPS Kendari............................................................ 237
Gambar 13. Desain pancing taber................................................. 238
Gambar 14. Desain pancing rinta.................................................. 238
Gambar 15. Desain pancing coping............................................... 239

xxiv
Daftar Gambar

AKTIVITAS PENANGKAPAN PANCING ULUR TUNA


DI KEPULAUAN BANDA NEIRA
Oleh Baihaqi dan Helman Nur Yusuf
Gambar 1. Lokasi penelitian di Banda Neira................................ 244
Gambar 2. Perkembangan nelayan di Banda Neira..................... 247
Gambar 3. Jumlah alat tangkap berdasarkan jenis
alat tangkap............................................................... 248
Gambar 4. Produksi tuna di Banda Neira.................................... 249
Gambar 5. Produksi ikan nontuna di Banda Neira....................... 249
Gambar 6. Produksi tuna di Banda Neira.................................... 252
Gambar 7. Laju tangkap pancing tuna di Banda Neira................ 252
Gambar 8. Rata-rata laju tangkap pancing tuna
di Banda Neira........................................................... 253
Gambar 9. Musim penangkapan ikan tuna di Banda Neira......... 256

LAJU TANGKAP PANCING ULUR DAN SEBARAN PANJANG HASIL


TANGKAPAN (IKAN TUNA MADIDIHANG (Thunnus albacares) DI
PERAIRAN KEPULAUAN BANDA
Oleh Thomas Hidayat, Tegoeh Noegroho dan Karsono Wagiyo
Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tuna madidihang di
Bandanaira, Tahun 2000-2010................................ 261
Gambar 2. Perkembangan jenis dan jumlah alat tangkap di
Bandanaira, tahun 2000-2010................................... 262
Gambar 3. Perahu penangkap ikan dengan handline (bodi) (A)
dan jaring bobo (mini purse seine)
di Bandanaira (B)...................................................... 264
Gambar 4. Pancing ulur untuk penangkapan ikan tuna di Banda
Naira.......................................................................... 265
Gambar 5. Pancing Layang-layang di Bandanaira........................ 266
Gambar 6. Persentanse tangkapan hand line per daerah
tangkapan di perairan Banda, tahun 2011 (A) dan
Lokasipenangkapannya (B)........................................ 268

xxv
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 7. Perkembangan panjang rata-rata bulanan ikan


madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur
di Pulau Banda, Februari-Oktober 2011.................... 270
Gambar 8. Rata-rata laju tangkap rata-rata per bulan pancing
ulur di Pulau Banda, Februari - Desember 2011........ 271

PERIKANAN CAKALANG (Katsuwanus pelamis) DI KEPULAUAN


BANDA NEIRA
Oleh Helman Nur Yusuf, Baihaqi, dan Tri Wahyu Budiarti

Gambar 1. Perahu Jaring bobo di Banda Naira...............................275


Gambar 2. Desain jaring bobo di Kepulauan Banda Naira..............275
Gambar 3. Daerah penangkapan jaring bobo
di Kepulauan Banda Naira............................................277
Gambar 4. Perkembangan nelayan di Banda Neira........................278
Gambar 5. Jumlah dan jenis alat tangkap di kepulauan
Banda Naira Tahun 2000-2010.....................................279
Gambar 6. Perkembangan jaring bobo di Banda Neira
Tahun 2000-2011..........................................................279
Gambar 7. Perkembangan Produksi Cakalang di Banda
Neira Tahun 2000-2010................................................281
Gambar 8. Perkembangan Produksi Cakalang di Banda
Neira Tahun 2010-2011................................................281
Gambar 9. Produksi noncakalang di Banda Naira
Tahun 2000-2010..........................................................282
Gambar 10. Laju tangkap jaring bobo di Banda Neira
Tahun 2006-2010..........................................................282
Gambar 11. Rata-rata laju tangkap jaring bobo di Banda
Neira Tahun 2006- 2010...............................................283
Gambar 12. Musim penangkapan ikan cakalang di Banda Neira.... 283

xxvi
Daftar Gambar

STRUKTUR UKURAN DAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG


(Katsuwonus pelamis) YANG BERBASIS DI PPS KENDARI
Oleh Tegoeh Noegroho, Thomas Hidayat, dan Umi Chodrijah
Gambar 1. Perkembangan produksi ikan cakalang di PPS
Kendari tahun 2004-2010.............................................291
Gambar 2. Persentase produksi ikan cakalang berdasarkan
jenis alat tangkap..........................................................291
Gambar 3. Tren produksi bulanan ikan cakalang
di PPS Kendari tahun 2008 - 2010.................................292
Gambar 4. Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang dari
beberapa jenis alat tangkap di PPS Kendari.................294
Gambar 5. Daerah penangkapan ikan cakalang dan posisi rumpon
purse seine tuna di Laut Banda (sumber: PPS Kendari,
nelayan, dan hasil observer).........................................297
Gambar 6. Persentase daerah penangkapan ikan cakalang
di Laut Banda................................................................298

xxvii
1
BIOLOGI DAN PARAMETER PERTUMBUHAN
UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis)
DI PERAIRAN BONE, SULAWESI SELATAN
Oleh
Duranta Diandria Kembaren1), Bambang Sumiono2), Suprapto1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut
2)
Peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
E-mail: dd.kembaren@gmail.com

Abstrak
Penelitian aspek biologi dan parameter pertumbuhan udang
sebagai bahan masukan untuk mengelola perikanan udang yang
bertanggung jawab perlu diketahui. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Maret sampai Desember 2011. Contoh udang diperoleh dari
hasil tangkapan sero yang didaratkan di sentra pendaratan udang di
Desa Lamuru, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Aspek biologi yang
diamati meliputi jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang
karapas, dan berat. Pendugaan parameter pertumbuhan dianalisis
menggunakan alat bantu FISAT II. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa udang jerbung pertama kali tertangkap pada panjang karapas
21,33 mm. Laju pertumbuhan (K) udang jerbung 1,2 per tahun dan
panjang karapas asimtosis (L∞) 39 mm. Persamaan pertumbuhan Von
Bertalanfy udang jerbung di perairan Bone adalah Lt = 39 (1 - e -1.2(t+-0.12)).
Laju kematian total (Z) 7,86 per tahun, laju kematian alami (M) 1,90
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

per tahun, laju kematian karena penangkapan (F) 5,96 per tahun, dan
laju pengusahaan (E) sekitar 0,76. Laju pengusahaan udang jerbung
sudah berada pada kondisi lebih tangkap (growth overfishing). Oleh
karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah pengelolaan yang salah
satunya dengan memindahkan lokasi penangkapan dan pelarangan
pengoperasian sero di muara sungai.
Kata Kunci: udang jerbung, biologi, parameter pertumbuhan

Pendahuluan
Udang jerbung (Penaeus merguiensis) merupakan salah satu jenis
udang penaeid yang secara alamiah memiliki dua fase kehidupan, yaitu
kehidupan di kawasan estuari dan laut lepas, sehingga udang ini juga
disebut dengan spesies amphibiotic (Garcia 1988). Siklus hidup udang
dimulai dari telur yang dihasilkan oleh induk-induk udang dewasa yang
matang telur di daerah pemijahan (spawning ground) yang berada di
laut lepas dengan kadar salinitas yang tinggi. Telur-telur akan menetas
menjadi larva yang bersifat planktonik. Proses perkembangan larva ini
dimulai dari stadia nauplius (N1-N5), zoea (Z1-Z3), mysis (M1-M3), dan
pascalarva. Pascalarva selanjutnya bermigrasi menuju daerah estuari
yang memiliki kadar salinitas lebih rendah, untuk melanjutkan stadia
kehidupannya menjadi yuwana dan setelah menjadi udang dewasa
akan kembali ke laut lepas (Garcia & Reste 1981; Garcia 1988).
Udang jerbung pada umumnya ditangkap dengan menggunakan
jaring insang tiga lapis (trammel net), lampara dasar/pukat hela (trawl),
jaring dogol, belat, apong, dan sero (Subani & Barus 1988; Saputra
& Subiyanto 2007). Di perairan Bone, alat tangkap yang digunakan
untuk menangkap udang jerbung adalah sero. Sero merupakan alat
penangkapan ikan yang dioperasikan di daerah perairan pantai. Alat ini
bersifat menetap (stationary) dan berfungsi sebagai perangkap (trap)
bagi ikan-ikan yang melakukan gerakan ke pantai atau ikan-ikan yang
habitatnya di pantai. Sero dipasang dengan cara ditancap menggunakan
bambu, pada kedalaman antara 1,5 sampai 3 m. Bahan yang digunakan
adalah waring ukuran mata 4 mm. Sero di perairan Bone ini dipasang
di muara sungai yang berdekatan dengan perkampungan nelayan.

2
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

Alat tangkap sero merupakan alat tangkap yang tidak selektif


di muara sungai sehingga perlu dikaji lebih mendalam mengingat
bahwa daerah muara sungai atau estuari merupakan daerah asuhan
bagi udang. Oleh karena itu, berbagai aspek tentang udang jerbung
seharusnya meliputi biologi dan parameter pertumbuhannya sehingga
dapat digunakan sebagai bahan dasar masukan untuk mengelola
sumber daya udang yang bertanggung jawab.

Bahan dan Metode


Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2011.
Contoh udang diperoleh dari hasil tangkapan sero yang didaratkan di
sentra pendaratan udang di Desa Lamuru, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan. Pengamatan biometrik udang yang dilakukan terhadap contoh
meliputi pengukuran panjang karapas, jenis kelamin, dan kematangan
gonad. Panjang karapas diukur dengan menggunakan jangka sorong
(tingkat ketelitian 0,01 mm). Data panjang karapas yang diperoleh
kemudian ditabulasikan dalam tabel distribusi frekuensi panjang
karapas dengan interval 2 mm menggunakan bantuan program
Microsoft Excel. Data frekuensi lebar karapas tersebut selanjutnya
digunakan untuk mengestimasi parameter populasi udang jerbung.
Untuk mengetahui keseimbangan nisbah kelamin dilakukan
pengujian chi-kuadrat pada tingkat kepercayaan 95% (Steel & Torrie
1993). Ukuran panjang pertama kali udang tertangkap (length at first
capture/Lc) diperoleh dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif
udang tertangkap dengan panjang karapas udang, sehingga akan
diperoleh kurva logistik baku, di mana titik potong antara kurva dengan
50% frekuensi kumulatif adalah panjang saat 50% udang tertangkap
(Saputra 2005).
Tingkat kematangan gonad udang jerbung ditentukan secara
morfologik sesuai dengan kriteria tingkat indeks kematangan gonad
udang yaitu (1) dara (quiescent/undeveloped), (2) berkembang
(developed), (3) hampir matang (early mature), (4) matang (ripe), dan
(5) salin (spent) (Naamin 1984). Tingkat kematangan gonad 1 dan 2

3
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dikelompokkan dalam golongan belum matang dan tingkat kematangan


gonad 3 dan 4 sebagai golongan matang.
Pertumbuhan udang dianalisis menggunakan model pertumbuhan
Von Bertalanffy (Sparre & Venema 1999) dengan persamaan sebagai
berikut.
Lt = L∞ (1 – e –K(t-t0)) …………………………………………….…………...................(1)
Penentuan panjang karapas asimtotis/infinitif (CL∞) dan koefisien
pertumbuhan (K) diduga menggunakan program ELEFAN yang dikemas
dalam perangkat lunak FISAT II (Gayalino et.al. 2005). Umur teoretis
(t0) diduga dengan persamaan empiris Pauly (1983) sebagai berikut.
Log – (t0) = -0,3922 – 0,2752 Log CL∞ - 1,038 Log K ……....................(2)
Untuk penentuan kelompok umur (kohort) dilakukan pemisahan
distribusi normal data frekuensi lebar karapas dengan metode gerak
maju modus analisis Battacharya menggunakan paket program FISAT
II (King 1995; Gayalino et.al. 2005).
Laju mortalitas alamiah (M) diduga dengan persamaan empiris
Pauly (1983) menggunakan data rerata suhu permukaan perairan
tahunan (T) sebagai berikut.
Log (M) = -0,0066 – 0,279 Log CL∞ + 0,6543 Log K + 0,4634 Log T…….(3)
Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan dengan metode kurva
konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch
curve) pada paket program FISAT II (Pauly 1983; Gayalino et.al. 2005).
Mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E) dihitung dengan
rumus (Pauly 1983).
Z = F + M dan E = F/Z ………………………………………………….....................(4)
Pola rekrutmen diduga dengan bantuan perangkat lunak
FISAT subprogram recruitment pattern untuk mengetahui konstruksi
rekrutmen suatu runut waktu dari frekuensi panjang dalam
menentukan jumlah puncak per tahun. Pendekatan dilakukan dengan
menggunakan informasi parameter pertumbuhan berupa L∞, K, dan to
yang tersedia (Gayalino et.al. 2005).

4
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

Hasil dan Bahasan


Rasio Kelamin, Panjang Pertama Kali Tertangkap, dan Tingkat
Kematangan Gonad
Secara historis, nisbah kelamin populasi udang digunakan sebagai
indikator kemampuan suatu populasi untuk tetap bertahan melalui
rekrutmen (Kamrani et al. 2010). Nisbah kelamin populasi udang
jerbung jantan betina pada penelitian ini menunjukkan hasil 1 : 1,09,
dengan persentase 47,7% jantan dan 52,3% betina. Untuk melihat
nisbah kelamin berada pada keadaan seimbang atau tidak, dilakukan
pengujian chi-kuadrat (X2). Berdasarkan hasil pengujian diperoleh
bahwa nilai X2 hitung lebih besar daripada nilai X2 tabel pada tingkat
kepercayaan 95% (X2 hitung = 7,48, X2 tabel = 3,84). Pola yang sama
juga ditemukan di perairan Demak dan perairan Mayangan, di mana
nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Suman & Subani
1994; Wedjatmiko & Yulianti 2003). Hal ini menunjukkan bahwa udang
jerbung yang banyak tertangkap di perairan ini adalah udang betina.
Perhitungan ukuran panjang rata-rata pertama kali tertangkap
udang jerbung dengan alat tangkap sero dihitung tanpa
memperhitungkan jenis kelamin. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rata-rata panjang karapas pertama kali tertangkap adalah 21,33 mm
(Gambar 1). Hasil yang serupa juga ditemukan di perairan Laguna Segara
Anakan, di mana rata-rata panjang karapas pertama kali tertangkap
udang jerbung adalah 18 mm (Saputra & Subiyanto 2007). Hasil ini
menunjukkan bahwa udang jerbung yang tertangkap didominasi oleh
udang muda dan juvenile, yang belum memiliki nilai ekonomis tinggi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah penangkapan udang jerbung
dengan alat tangkap sero di perairan Bone merupakan daerah asuhan
(nursery ground) bagi udang jerbung.

5
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 1. Kurva logistik rata-rata penjang karapas pertama kali udang


jerbung tertangkap di perairan Bone, 2011
Berdasarkan hasil analisis tingkat kematang gonad diketahui
bahwa persentase matang gonad udang jerbung sangat rendah
sepanjang waktu penelitian, yang mana rata-rata persentase matang
gonad sebesar 7,22% (Tabel 1). Persentase matang gonad tertinggi
hanya ditemukan pada bulan September, sedangkan pada bulan-bulan
lainnya persentase matang gonad di bawah 10%. Hasil ini juga kembali
menegaskan bahwa daerah penangkapan udang ini merupakan daerah
asuhan udang jerbung.

Tabel 1. Persentase kematangan gonad udang jerbung di perairan


Bone, 2011
Kematangan gonad (%)
Bulan
Belum matang Matang
Mei 73,02 4,762
Juni 88,14 9,322
Juli 90,55 9,453
Agustus 99,09 0,909
September 83,08 16,92
Oktober 98,39 1,613
November 93,88 6,122

6
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

Tabel 1. Persentase kematangan gonad udang jerbung di perairan


Bone, 2011 (lanjutan)
Kematangan gonad (%)
Bulan
Belum matang Matang
Desember 91,33 8,671
Rerata 89,68 7,221

Parameter Pertumbuhan
Laju pertumbuhan
Parameter pertumbuhan udang jerbung di perairan ini
diinterpretasikan dari data sebaran frekuensi panjang karapas dengan
melacak adanya pergeseran modus sebaran frekuensi panjang karapas
dalam suatu urutan waktu yang disesuaikan dengan kurva pertumbuhan
Von Bertalanffy. Selanjutnya kurva yang melalui modus paling banyak
akan menggambarkan pola pertumbuhan (Sparre & Venema 1999).

Gambar 2. Kurva pertumbuhan Von Bertolanffy berdasarkan frekuensi


panjang karapas udang jerbung di perairan Bone, 2011
Pada Gambar 2 disajikan runutan data sebaran frekuensi panjang
karapas udang jerbung. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa
panjang karapas asimtosis (L∞) udang jerbung sebesar 39 mm
dengan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,2 per tahun. Panjang karapas
asimtosis dan laju pertumbuhan udang jerbung di Laguna Segara
Anakan masing-masing sebesar 37,5 dan 1,4 per tahun (Saputra &
Subiyanto 2007). Panjang karapas asimtosis udang jerbung di perairan

7
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Bone lebih besar daripada di Laguna Segara Anakan, sedangkan laju


pertumbuhannya lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran udang
jerbung yang tertangkap di Laguna Segara Anakan lebih kecil daripada
yang tertangkap di perairan Bone. Laju pertumbuhan udang jerbung
pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang
berarti bahwa udang memiliki laju pertumbuhan yang cepat (Sparre
& Venema 1999). Laju pertumbuhan yang cepat ini mengindikasikan
bahwa udang yang tertangkap masih merupakan udang muda (Lc
sebesar 21,33 mm).
Dari nilai panjang karapas asimtosis (L∞) dan laju pertumbuhan
(K) dapat diketahui bahwa persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy
udang jerbung di perairan Bone adalah Lt = 39 (1 - e -1.2(t+0.12)). Dari
persamaan tersebut dapat dibuat suatu kunci hubungan antara
panjang karapas dengan umur udang dengan menggunakan beberapa
variasi nilai umur (t). Kurva pertumbuhan udang di perairan Bone ini
ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kurva pertumbuhan udang jerbung di perairan Bone, 2011


Hasil penelitian Suman & Umar (2010) di perairan Kotabaru dan
sekitarnya menunjukkan bahwa panjang karapas asimtosis (L∞) sebesar
44,3 mm dan laju pertumbuhan (K) sebesar 1,44 per tahun. Sementara
itu di perairan Laguna Segara Anakan diperoleh nilai L∞ sebesar 37,5
mm dan K sebesar 1,4 per tahun (Saputra & Subiyanto 2007). Hasil

8
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

penelitian ini menunjukkan nilai panjang karapas asimtosis udang


jerbung di perairan Bone lebih kecil dari yang ditemukan di perairan
Kotabaru dan lebih besar dari yang diperoleh di perairan Laguna Segara
Anakan. Laju pertumbuhan udang jerbung di perairan Bone lebih
kecil daripada yang ditemukan di kedua perairan lainnya. Perbedaan
panjang karapas asimtosis dan laju pertumbuhan ini dipengaruhi
oleh perbedaan kondisi lingkungan dan tekanan penangkapan di
masing-masing perairan. Ketersediaan pakan alami yang mencukupi di
habitatnya akan menyebabkan pertumbuhan udang relatif lebih cepat,
karena persediaan energi yang dibutuhkan untuk melakukan proses-
proses metabolisme tercukupi, sedangkan tekanan penangkapan yang
tinggi menyebabkan terganggunya proses pertumbuhan udang.
Laju Kematian Total (Z), Alami (M), Penangkapan (F)
Nilai laju kematian total diduga melalui metode kurva konversi
hasil tangkapan dengan panjang karapas yang dikemas dalam program
FISAT II dengan memasukkan nilai L∞, K, dan t0 masing-masing jenis
kelamin ke dalam program dan hasil analisis regresi ditampilkan pada
Gambar 4.

Gambar 4. Kurva hasil tangkapan udang jerbung yang dilinearkan di


perairan Bone, 2011

9
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa nilai laju mortalitas


total (Z) udang jerbung sebesar 7,86 per tahun. Laju kematian alamiah
(M) yang diduga dengan menggunakan rumus Pauly (1983), diperoleh
nilai M sebesar 1,90 per tahun. Laju kematian akibat penangkapan (F)
diperoleh dari persamaan F = Z – M, sehingga nilai F yang diperoleh
sebesar 5,96 per tahun.
Laju kematian total udang jerbung di perairan Kotabaru diperoleh
sebesar 4,52 per tahun, laju kematian alamiah sebesar 1,96 per tahun
dan laju kematian akibat penangkapan sebesar 2,56 per tahun (Suman
& Umar 2010). Di perairan Laguna Segara Anakan, laju kematian total
sebesar 7,02 per tahun, laju kematian alami sebesar 1,96 per tahun, dan
laju kematian karena penangkapan sebesar 5,06 per tahun (Saputra &
Subiyanto 2007). Laju kematian akibat penangkapan udang jerbung di
perairan Bone ini lebih besar dibandingkan dengan kondisi di perairan
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan penangkapan udang
jerbung di perairan Bone ini lebih intensif dibandingkan dengan
perairan lainnya.
Menurut Suman & Umar (2010), laju kematian karena penangkapan
(F) tergantung dan bervariasi menurut keragaman upaya penangkapan
setiap tahunnya. Laju kematian total (Z) banyak dipengaruhi oleh
laju kematian karena penangkapan, mengingat bahwa laju kematian
alamiah tidak terlalu besar variasinya.
Laju Pengusahaan (E)
Laju pengusahaan (E) diperoleh dari nilai Z dan F dengan
persamaan E = F/Z. Berdasarkan kriteria dari Pauly et al. (1984),
nilai laju pengusahaan yang rasional dan lestari di suatu perairan
berada pada nilai E < 0,5 atau paling tinggi pada nilai E = 0,5. Pada
kondisi demikian akan diperoleh hasil tangkapan yang berkelanjutan
(maximum sustainable yield/MSY). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa nilai E udang jerbung sebesar 0,76. Laju pengusahaan udang
jerbung di perairan ini lebih tinggi dibandingkan laju pengusahaan
udang jerbung di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan maupun di
perairan Laguna Segara Anakan, Cilacap yaitu masing-masing sebesar
0,56 dan 0,72 (Suman & Umar 2010; Saputra & Subiyanto 2007).

10
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

Nilai laju pengusahaan udang jerbung di perairan ini sudah melebihi


nilai yang rasional atau potensi lestari, atau dapat dikatakan bahwa
tingkat pemanfaatan udang jerbung di wilayah ini sudah lebih tangkap
(overexploited). Hal utama yang menyebabkan terjadinya lebih tangkap
di perairan adalah ukuran udang jerbung yang tertangkap didominasi
oleh udang muda, sehingga yang terjadi growth overfishing. Untuk itu
diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang tepat agar kelestarian
sumber daya udang jerbung ini dapat terus berlanjut. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah pemindahan lokasi penangkapan dan
pelarangan pengoperasian alat tangkap sero di muara sungai.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang jerbung yang banyak
tertangkap di perairan Bone adalah udang betina dan persentase
matang gonad udang jerbung ini sangat rendah. Hal ini disebabkan
ukuran udang yang tertangkap didominasi oleh udang muda yang
belum mencapai kematangan kelamin. Udang jerbung di perairan
Bone ini memiliki laju pertumbuhan dan laju kematian yang cepat.
Laju pengusahaan udang jerbung di perairan ini berada dalam
keadaan lebih tangkap atau lebih tepatnya growth overfishing. Oleh
karena itu diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang tepat seperti
pemindahan daerah penangkapan dan pelarangan pengoperasian sero
di muara sungai.

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil penelitian
Pengkajian Stok dan Pengusahaan Sumber Daya Udang Penaeid dan
Krustasea Lainnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makasar,
Laut Flores, dan Teluk Bone T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan
Laut, Muara Baru, Jakarta.

Daftar Pustaka
Garcia, S., & L. Le Reste. 1981. Life cycle, dynamic, exploitation and
management of coastal Penaeid shrimp stocks. FAO Fisheries

11
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Technical Paper No. 203. Rome. 215 p.


Garcia, S. 1988. Chapter 9. Tropical Penaeid Prawns. In Fish Population
Dynamic (Second Edition), edited by J.A. Gulland. John Wiley &
Sons Ltd. 30 p.
Gayanlino, F. C. Jr., P. Sparre and D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock
Assessment Tools II (FiSAT II). Revised version. User’s guide.
FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8, Revised
version. FAO Rome. 168p.
Kamrani, E., A.N. Sabili, M. Yahyavi. 2010. Stock assessment and
reproductive biology of the blue swimming crab, Portunus
pelagicus in Badar Abbascoastal waters, northern Persian Gulf.
Journal of Persian Gulf (Marine Science). Vol. 1/No. 2/December
2010, p: 11-22
King, M. 1995. Fisheries Biology: Assessment and Management. Fishing
News Books. Oxford, England: 341p.
Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus
merguiensis De Mann) di perairan Arafura dan alternatif
pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana,
IPB Bogor : 381 hal.
Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical
Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52p.
Pauly, D., J. Ingles & R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of
objective methods for the estimation of growth, mortality, and
recruitment related parameters from length frequency data
(ELEFAN I and II). In: Penaeid shrimp-their biology and management:
220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England.
Saputra, S.W. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus
elegans De Mann 1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara
Anakan Cilacap Jawa Tengah. Desertasi, Sekolah Pascasarjana.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Saputra, S.W., & Subiyanto. 2007. Dinamika populasi udang jerbung
(Penaeus merguiensis De Mann 1907) di Laguna Segara Anakan,
Cilacap, Jawa Tengah. Ilmu Kelautan. Vol 12 (3) : 157-166

12
Biologi dan Parameter Pertumbuhan Udang Jerbung (Penaeus Merguiensis) di Perairan Bone, Sulawesi Selatan

Sparre, P. and Venema, S. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock


Assesment. (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual.
Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438p.
Steel, R.D.G. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika ,
Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Subani, W. & H.P. Barus. 1988. Alat penangkap ikan laut dan udang di
perairan Indonsia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 47 : 21-30.
Suman, A. dan W. Subani, 1994. Penelitian beberapa aspek biologi
udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Demak,
Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 91 : 92 - 104.
Suman, A & C. Umar. 2010. Dinamika populasi udang putih (Penaeus
merguiensis de Mann) di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 16 (1) : 29-33
Wedjatmiko dan Yulianti. 2003. Beberapa aspek biologi udang jerbung
(Penaeus merguiensis) di perairan Mayangan, pantai utara Jawa
Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 9(3): 27-34.

13
2
DINAMIKA POPULASI UDANG JERBUNG
(Penaeus merguiensis) DI PERAIRAN
KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
Oleh
Adrian Damora1) dan Wedjatmiko1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Diindikasikan telah terjadi penurunan stok udang jerbung di
perairan Kotabaru yang disebabkan upaya tangkap yang berlebih.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dinamika populasi
udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan Kotabaru, Kalimantan
Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan April–Desember 2011.
Udang jerbung contoh diambil dengan penarikan contak acak berlapis
dan diolah dengan aplikasi model analitik menggunakan program
ELEFAN 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan udang
jerbung bersifat allometrik negatif, di mana pertambahan panjang
lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Panjang pertama
kali udang jerbung tertangkap adalah 29 mm CL untuk udang betina
dan 27,2 mm CL untuk udang jantan. Parameter pertumbuhan Von
Bertalanffy untuk udang betina, laju pertumbuhan (K) dan panjang
karapas asimptotik (L∞), masing-masing sebesar 1,46/tahun dan 51
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

mm serta udang jantan masing-masing sebesar 1,2/tahun dan 41 mm.


Parameter mortalitas untuk udang betina, laju kematian total (Z), laju
kematian alamiah (M), laju kematian karena penangkapan (F), dan laju
eksploitasi (E), masing-masing sebesar 8,18/tahun, 2,01/tahun, 6,18/
tahun, dan 0,75/tahun serta udang jantan masing-masing sebesar
9,32/tahun, 1,88/tahun, 7,45/tahun, dan 0,8/tahun.
Kata Kunci: dinamika populasi, pertumbuhan, udang jer­bung,
Kotabaru

Pendahuluan
Perairan timur Kalimantan, termasuk di dalamnya perairan
Kotabaru, sejak dahulu merupakan daerah potensial penangkapan
udang. Komoditas utamanya merupakan jenis-jenis udang yang
masuk ke dalam famili Penaeidae dan udang jerbung (Penaeus
merguiensis) merupakan jenis yang paling dominan tertangkap di
wilayah ini. Semenjak digunakannya alat tangkap pukat udang (trawl),
pengusahaan udang jerbung di wilayah ini pun terus mengalami
peningkatan. Meskipun udang merupakan termasuk sumber daya
yang dapat pulih, tetapi upaya penangkapan yang terus meningkat
tanpa adanya pengendalian akan menyebabkan hilangnya sumber
daya tersebut.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru (2010)
menunjukkan sejak tahun 2004 telah terjadi penurunan jumlah hasil
tangkapan udang jerbung dari 11957,6 ton menjadi 6971,8 ton pada
tahun 2009. Sebaliknya, upaya tangkap terus mengalami peningkatan.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi penurunan stok udang jerbung
di perairan Kotabaru yang diduga disebabkan upaya tangkap yang
berlebih.
Untuk mencegah penurunan populasi udang jerbung diperlukan
upaya pengelolaan, di mana informasi tentang dinamika populasi udang
jerbung menjadi bahan masukannya. Tulisan ini bertujuan membahas
dinamika populasi udang jerbung di perairan Kotabaru dan diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengelolaan sumber
daya udang jerbung yang berkelanjutan di perairan Kotabaru.

16
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

Bahan dan Metode


Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan contoh udang
jerbung (P. merguiensis) di perairan Kotabaru pada April-Desember
2011 dengan metode penarikan contoh acak berlapis terhadap 866
ekor contoh udang di lokasi-lokasi pengumpul udang.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan


Selatan
Pengamatan biometrik udang yang dilakukan meliputi pengukuran
panjang karapas (carapace length) dan bobot total (total weight).
Hubungan panjang-bobot dianalisis menggunakan persamaan
eksponensial sebagai berikut (Lagler 1972; Jennings et al. 2001).
W = aLb .............................................................................................. (1)
di mana :
W = bobot total udang (gram)
L = panjang karapas udang (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi

17
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Untuk mempermudah perhitungan, persamaan di atas dikonversi


ke dalam bentuk logaritma sehingga menjadi persamaan linear sebagai
berikut (Jennings et al. 2001).
loge W = loge a + b loge L ................................................................. (2)
Hubungan panjang-bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b
= 3, hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding
dengan pertambahan bobot), jika b ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk
adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan
pertambahan bobot). Apabila b > 3, hubungannya bersifat allometrik
positif dimana pertambahan bobot lebih dominan dari pertambahan
panjangnya, sedangkan jika b < 3, hubungan yang terbentuk bersifat
allometrik negatif di mana pertambahan bobot lebih dominan dari
pertambahan beratnya.
Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan
uji-t, dengan rumus (Walpole 1993).
thit = E  3  .........................................................................................(3)
Sb
hipotesis :
Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik
H1 : b ≠ 3 pola pertumbuhan allometrik
Selanjutnya thityang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada
selang kepercayaan 95%. Jika thit>ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya
jika thit <ttabel, maka terima Ho.
Parameter pertumbuhan (K dan L∞) ditentukan dengan metode
ELEFAN (Gayanilo et al. 1994). Laju kematian total (Z) diduga dengan
metode kurva hasil tangkapan (catch curve) yang menggunakan slope
(b) dan Ln N/t dengan umur relatif sesuai dengan rumus Pauly (1980)
sebagai berikut.
Ln N/t = a – Zt .................................................................................. (4)
di mana:
N = banyaknya ikan pada waktu t
t = waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu kelas panjang
a = hasil tangkapan yang dikonversikan terhadap panjang
18
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

Sementara itu kematian alamiah ikan kadah diduga dengan


menggunakan rumus empiris Pauly (1980) sebagai berikut.
Log M= -0,0066-0,279 Log + 0,654 Log K + 0,4534 Log T ................. (5)
di mana:
M = laju kematian alamiah
L = panjang total maksimum (cm)
K = laju pertumbuhan (cm/tahun)
T = suhu (oC)
Untuk nilai laju kematian karena penangkapan diperoleh dengan
mengurangi laju kematian total (Z) dengan laju kematian alamiah (M)
atau F=Z-M dan laju pengusahaan (E) dihitung sebagai E=F/Z (Sparre
& Venema 1992). Panjang pertama kali udang tertangkap didapatkan
dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang
udang, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, di mana titik
potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah panjang
saat 50% udang tertangkap (Atmaja & Nugroho 2005).

Hasil dan Bahasan


Panjang Pertama Kali Tertangkap dan Hubungan Panjang-Bobot
Pengukuran panjang karapas dan bobot udang jerbung dilakukan
terhadap 866 ekor udang. Ukuran panjang karapas berkisar antara
22,04-49,18 cm, dengan berat berkisar antara 8,8-58,5 gram (Gambar
2).

19
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang karapas udang jerbung


(Penaeus merguiensis) di perairan Kotabaru, Kalimantan
Selatan
Gambar 2 juga menunjukkan bahwa struktur ukuran panjang
udang jerbung yang tertangkap cenderung menyebar normal dengan
modus panjang sebesar 28 mm untuk udang betina dan 30 mm untuk
udang jantan. Penelitian pada jenis udang yang sama di perairan Demak
menunjukkan udang jerbung yang tertangkap berada pada kisaran
panjang karapas 22,9-37,2 mm (Suman & Subani 1994), sedangkan
di perairan Mayangan memiliki kisaran panjang karapas 18-58,3 mm
(Wedjatmiko & Yulianti 2003). Dapat terlihat bahwa udang jerbung
di perairan Mayangan memiliki kisaran panjang karapas yang lebih
lebar. Perbedaan lebar kisaran panjang ini salah satunya dipengaruhi
oleh alat tangkap yang digunakan. Semakin selektif alat tangkap yang
digunakan, ukuran udang-udang yang tertangkap akan semakin besar,
sehingga lebar kisaran panjang karapasnya akan semakin sempit.
Di perairan Kotabaru sendiri alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap udang jerbung adalah jaring dogol.
Panjang udang jerbung pertama kali tertangkap (Lc) yang
didapatkan dari hasil penelitian ini sebesar 29 mm untuk udang betina
dan 27,2 untuk udang jantan. Pengukuran ini merupakan hal yang
penting untuk dipelajari untuk dapat dihubungkan dengan panjang
pertama kali matang gonad. Penelitian pada jenis yang sama di
perairan Laut Arafura menunjukkan nilai Lc sebesar 31,9 mm (Naamin
1984), di perairan Panimbang sebesar 27,02 mm (Suman et al. 1988),

20
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

di perairan utara Jawa Barat sebesar 22,1 mm (Suman et al. 1991),


dan di perairan Mayangan sebesar 28,09 mm (Wedjatmiko & Yulianti
2003). Perbedaan ukuran pertama kali tertangkap di setiap lokasi
disebabkan oleh perbedaan selektivitas alat tangkap yang digunakan.
Semakin besar ukuran mata jaring, semakin besar pula selektivitas
alat tangkap tersebut sehingga mengurangi kemungkinan udang-
udang muda yang berukuran kecil tertangkap. Ukuran pertama kali
tertangkap yang besar menunjukkan kondisi stok sumber daya udang
jerbung di perairan tersebut masih baik.
Hasil analisis hubungan antara panjang dan bobot udang jerbung
menunjukkan bahwa pertumbuhan udang jerbung betina mengikuti
persamaan W=0,004L2.485 (N=282; r=0,928), sedangkan udang jerbung
jantan mengikuti persamaan W=0,003L2.520 (N=585; r=0,857) (Gambar
3). Setelah dilakukan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05),
didapatkan pola pertumbuhan udang jerbung betina dan jantan
bersifat allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang udang
jerbung lebih cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Variasi
nilai b pada hubungan panjang-bobot menunjukkan pertumbuhan
yang bersifat relatif, artinya dapat berubah menurut waktu. Apabila
terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan
diperkirakan nilai ini juga akan berubah.

Gambar 3. Hubungan panjang-bobot udang jerbung (Penaeus


merguiensis) betina (a) dan jantan (b) di perairan Kotabaru,
Kalimantan Selatan
Variasi nilai b dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jumlah
udang contoh yang diukur (semakin banyak contoh akan semakin

21
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

akurat), kondisi perairan, dan musim (Gokhan et al. 2007 dalam


Karna et al. 2011). Meskipun dipengaruhi terutama pada bentuk dan
kegemukan dari masing-masing spesies, variasi nilai b juga disebabkan
berbagai faktor, seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas
dan ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad, dan kelestarian
habitat (Gulland 1983; Sparre & Venema 1992).

Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian


Dengan merunut data frekuensi panjang total dari bulan ke
bulan (Gambar 4), diperoleh laju pertumbuhan (K) udang jerbung di
perairan Kotabaru adalah 1,46/tahun dan panjang karapas maksimum
(L∞) adalah 51 mm untuk udang betina serta 1,2/tahun dan 41 mm
untuk udang jantan. Nilai K udang jerbung yang lebih besar dari satu
menunjukkan bahwa udang ini mempunyai pertumbuhan yang cepat
(Gulland 1983; Naamin 1984). Nilai ini berada dalam kisaran nilai K
yang dilaporkan oleh Pauly et al. (1984) untuk sejumlah spesies udang
penaeid yakni sebesar 0,39-1,6. Pada penelitian periode sebelumnya,
nilai K dan L∞ udang jerbung di perairan Kotabaru masing-masing
sebesar 1,4/tahun dan 44,3 mm (Suman & Umar 2010). Hal ini
mengindikasikan bahwa populasi udang jerbung di perairan Kotabaru
telah mengalami pertumbuhan yang lebih cepat serta berumur makin
pendek sehingga perlu diterapkan pola pemanfaatan yang tepat.
Pertumbuhan yang cepat dan umur yang pendek menunjukkan
bahwa udang jerbung memiliki laju kematian yang tinggi sehingga
perlu memerhatikan waktu yang tepat untuk menangkap udang-udang
tersebut, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya.
Udang-udang yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa
terlebih dahulu sebelum ditangkap agar keberlangsungan populasi
udang jerbung tetap terjaga. Penangkapan udang-udang muda yang
berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan. Hal
ini juga menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru, karena
ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah
tertangkap terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk
penambahan baru (Suman & Umar 2010).

22
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

(a)

(b)
Gambar 4. Penyebaran frekuensi panjang karapas udang jerbung
(Penaeus merguiensis) betina (a) dan jantan (b) yang
dirunut dengan ELEFAN
Selanjutnya dengan menggunakan parameter pertumbuhan
udang jerbung yang telah dihitung dan menjadikannya sebagai bahan
masukan untuk membuat kurva hasil tangkap, diperoleh nilai dugaan
Z untuk udang betina sebesar 8,18/tahun dan 9,32/tahun untuk udang
jantan (Gambar 5). Nilai dugaan laju kematian alamiah (M) untuk udang
betina 2,01/tahun dan 1,88/tahun untuk udang jantan. Nilai dugaan
laju kematian karena penangkapan (F) udang betina sebesar 6,18/
tahun dan 7,45/tahun untuk udang jantan. Dengan menggunakan nilai
laju kematian karena penangkapan (F) dan nilai laju kematian total (Z)

23
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

yang telah dihitung, didapatkan laju pengusahaan (E) udang betina


di perairan Kotabaru sebesar 0,75/tahun dan 0,8/tahun untuk udang
jantan.
Laju kematian karena penangkapan (F) tergantung dan bervariasi
menurut keragaman upaya penangkapan (f) setiap tahunnya.
Nilai F menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan
penangkapan terhadap stok udang di suatu perairan (Suman & Boer
2005). Nilai F pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan
dengan hasil penelitian periode sebelumnya di perairan yang sama
yaitu sebesar 2,56/tahun (Suman & Umar 2010) dan juga di perairan
utara Jawa Barat sebesar 4,01/tahun (Suman et al. 1989). Namun, hasil
penelitian di perairan Panimbang menunjukkan nilai F yang lebih tinggi
yaitu sebesar 7,94/tahun (Suman & Sumiono 1989). Tingginya nilai F
mengindikasikan telah terjadi peningkatan tekanan penangkapan yang
besar terhadap populasi udang jerbung di perairan Kotabaru.
Nilai dugaan M udang jerbung relatif tidak berbeda jauh dengan
nilai M hasil penelitian sebelumnya di perairan Kotabaru yaitu sebesar
1,96/tahun (Suman & Umar 2010). Mengingat laju kematian alamiah
(M) tidak terlalu besar variasinya, biasanya nilainya dianggap tetap dari
tahun ke tahun (Pauly et al. 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian
total (Z) dari tahun ke tahun banyak ditentukan oleh laju kematian
karena penangkapan (F).

Gambar 5. Nilai Z sebagai slope kurva hasil tangkapan udang jerbung


(Penaeus merguiensis) betina (a) dan jantan (b) di perairan
Kotabaru

24
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

Kriteria Pauly et al. (1984) mengatakan bahwa nilai laju


pengusahaan yang rasional dan lestari di suatu perairan berada pada
nilai E<0,5 atau paling tinggi pada nilai E=0,5. Nilai E udang jerbung
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya tersebut tergolong
tinggi dan bahkan sudah mengarah pada tekanan penangkapan yang
berlebih. Apabila kondisi ini terus dibiarkan tanpa dilakukan upaya
penataan pengusahaan udangjerbung, dapat diduga dalam jangka
panjang sumber daya udang jerbung akan terancam kelestariannya.
Hal ini juga memberi informasi pada sumber daya ekonomis penting
lain di perairan Kotabaru, yang diduga memiliki tingkat pemanfaatan
yang lebih tinggi dibandingkan udang jerbung, sehingga harus pula
memperhatikan pengaturan upaya tangkapnya untuk mencapai
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya perikanan di Kotabaru.

Kesimpulan
Pertumbuhan udang jerbung bersifat allometrik negatif, di
mana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan
beratnya.
Udang jerbung di perairan Kotabaru memiliki laju pertumbuhan
dan laju kematian yang cepat sehingga perlu dilakukan upaya penataan
pemanfaatannya agar keberlangsungan populasinya terjamin.
Laju pengusahaan udang jerbung di perairan Pemalang
menunjukkan tingkat pemanfaatan yang tinggi lebih tangkap dan
sudah mengarah pada tekanan penangkapan yang berlebih.

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil penelitian
Pengkajian Stok dan Pengusahaan Sumber Daya Udang Penaeid dan
Krustasea Lainnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makasar,
Laut Flores dan Teluk Bone T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan
Laut, Muara Baru, Jakarta.

25
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Daftar Pustaka
Atmaja, S.B. & Nugroho, D. 2004. Karakteristik parameter populasi
ikan siro (Amblygaster sirm, Clupeidae) dan model terapan
Beverton dan Holt di Laut Natuna dan sekitarnya. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 10 (4): 21-27.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru. 2010. Statistik
Perikanan Kabupaten Kotabaru 2009. Kotabaru.
Gayanilo Jr., F.C., Sparre, P. &Pauly, D. 1994. The FAO-ICLARM
Stock Assessment Tools FISAT User’s Guide. FAO Computerized
Information Series Fisheries. No. 6. Rome. FAO. 186.
Gokhan, G., A. Ilker & M. Cengiz. 2007. Length–weight relationships
of 7 fish species from the North Aegean Sea, Turkey. In Karna,
S.K., S. Panda & B.C. Guru. 2011. Length-weight relationship (Lwr)
and seasonal distribution of Valamugil speigleri (Valancienues)
through size frequency variation and landing assessment in
Chilika Lagoon, India. Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4): 654-662.
Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic
Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 pp.
Jennings S., M. Kaiser,&J.D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries
Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom.
417 pp.
Karna, S. K., S. Panda & B. C. Guru. 2011. Length-weight relationship
(Lwr) and seasonal distribution of Valamugil speigleri
(Valancienues) through size frequency variation and landing
assessment in Chilika Lagoon, India. Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4):
654-662.
Lagler, K.F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown
Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp.
Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus
merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif
pengelolaannya. Disertasi. Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana.
Institut Pertaanian Bogor. Bogor. 381 pp.

26
Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis) di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan

Pauly, D. 1980. A selection of a simple methods for the assessment


of the tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54
pp.
Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of
objective methods for the estimation of growth, mortality,
and recruitment related parameters from length frequency
data (ELEFAN I and II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and
Management. 220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-
Surrey-England.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis. Buku 1: Manual. Organisasi Pangan dan Petanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta. 438 pp.
Suman, A., B. Sumiono, & M. Rizal. 1988. Beberapa aspek biologi
udang jerbung (Penaeus merguiensis) di perairan Panimbang,
Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 45: 69-82.
Suman, A. & B. Sumiono. 1989. Pendugaan beberapa parameter
populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di
perairan Panimbang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut. No. 53: 11-19.
Suman, A., M. Rijal, & B. Sumiono. 1989. Beberapa parameter
populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di
perairan utara Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No.
60: 101-110.
Suman, A. & W. Subani. 1994. Penelitian Beberapa aspek biologi
udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan
Demak, Jawa Tengah. JurnalPenelitian Perikanan Laut. No. 91:
64-71.
Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin,
musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol
(Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74.

27
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Suman, A. & C. Umar. 2010. Dinamika populasi udang putih (Penaeus


merguensis de Man) di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 16 (1): 29-33.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 515 pp.
Wedjatmiko & Yulianti. 2003. Beberapa aspek biologi udang jerbung
(Penaeus merguiensis) di perairan Mayangan, pantai utara Jawa
Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 9 (3): 27-34.

28
3
KEANEKARAGAMAN JENIS UDANG DI
PERAIRAN SELAT MAKASAR
Oleh
Suprapto1), Pratiwi Lestari1) dan Nurulludin1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian telah dilakukan di Selat Makasar, sekitar perairan
pantai Provinsi Kalimantan Timur, pada bulan Juni dan Oktober 2011,
bertepatan dengan musim angin selatan dan musim utara. Tujuannya
mendapatkan informasi indeks keanekaragaman jenis udang yang
diharapkan berguna sebagai baseline study maupun sebagai salah
satu data dukung bagi kebijakan pengelolaan sumber daya udang yang
berkelanjutan. Data dikumpulkan dari hasil sampling penangkapan
(fishing) menggunakan jaring lampara dasar (bottom minitrawl) yang
dioperasikan kapal motor 20GT. Metode yang digunakan adalah sapuan
area dengan rancangan penelitian acak berlapis (stratified random).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekayaan jenis udang sebanyak
22 spesies, yang mewakili 5 suku. Status keanekaragaman jenis udang
di perairan Selat Makasar tergolong tingkat sedang, dengan indeks
keragaman jenis Shannon-Wiener (H’) = 2. Sifat penyebaran spesies
dalam komunitas cenderung cukup merata, tidak banyak spesies
yang mendominasi. Di antara spesies yang mendominasi ditemukan 6
sampai 7 spesies yang paling melimpah
Kata Kunci: udang, keanekaragaman jenis, Selat Makasar.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pendahuluan
Keanekaragaman jenis udang pada suatu perairan merupakan
kekayaan plasma nutfah yang telah memberikan manfaat banyak bagi
masyarakat, baik ditinjau dari segi ekonomi karena termasuk komoditas
ekspor, maupun dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat karena
tingginya kandungan protein. Dengan potensinya tersebut, sumber
daya udang pada beberapa perairan di Indonesia menjadi salah satu
target eksploitasi yang intensif.
Keberadaan keragaman jenis udang tidak merata pada semua
perairan, tergantung ekosistemya. Di Selat Makasar, khususnya
perairan sekitar pantai Provinsi Kalimantan Timur, dikenal sebagai
daerah penangkapan udang yang produktif, karena didukung oleh
biofisik pantai seperti banyaknya muara sungai dan ekosistem hutan
bakau yang tumbuh subur. Eksploitasi sumber daya udang secara
inetnsif di kawasan ini telah dilakukan sejak 1975 (Naamin 1977;
Sumiono & Priyono 1998). Alat tangkap yang digunakan utamanya
jaring trawl dengan jumlah yang padat, berikutnya berkembang
pula alat tangkap sejenis trawl, seperti jaring dogol, lampara dasar,
pukat hela (Barus & Mahiswara 1994; Sumiono & Djamali 2006)
yang jumlahnya terus meningkat hingga saat ini. Indikasi tersebut
menunjukkan bahwa sumber daya udang di perairan ini mendapat
tekanan penangkapan yang berat, komunitasnya diduga tidak mantap
dan status keanekaragaman jenisnya diprediksi telah berubah yang
cenderung berkurang. Makalah bertujuan membahas potensi kekayaan
jenis dan status nilai indeks keanekaragaman hayati udang di perairan
Selat Makassar pada saat ini. Penelitian ini merupakan suatu analisis
kajian yang lebih bersifat baseline study yang diharapkan menjadi
salah satu kontribusi referensi bagi studi lanjutan di perairan yang
sama atau di perairan lainnya, serta dapat dijadikan sebagai salah satu
data dukung dalam menentukan opsi kebijakan pengelolaan sumber
daya udang yang berkelanjutan.

Bahan dan Metode


Penelitian dilakukan pada periode bulan Juni dan Oktober 2011,
bertepatan dengan saat musim angin (moonson) tenggara dan angin

30
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

utara. Data dan informasi pada kedua periode tersebut diharapkan


representatif, karena masing-masing memiliki kuantitas dan kualitas
data yang bervariasi sesuai dengan karakteristik perairan pada periode
tersebut.
Data yang dikumpulkan adalah jumlah individu populasi
udang yang diperoleh dari hasil sampling penangkapan (fishing)
menggunakan alat tangkap jaring lampara dasar (mini bottom
trawl). Alat ini memiliki spesifikasi panjang tali ris atas (head rope)
26 meter, tali ris bawah (ground rope) 28 meter, panjang sayap
jaring 10 meter (diameter mata 3,75cm), panjang badan jaring 5
meter (diameter mata jaring 3,5cm), dan panjang kantong jaring
(codend) 6 meter (diameter mata 1 inchi). Pada bagian tali sayap
jaring (warps) diikatkan sepasang “papan sewakan” (otter boad)
yang terbuat dari papan kayu dikombinasi kerangka besi berukuran
1,5 x 0,8 m yang diharapkan agar posisi mulut jaring tetap terbuka
selama pengoperasian. Sarana kapal yang digunakan adalah kapal
motor berbobot 20 GT. Metode yang digunakan adalah sapuan
area (swept are methode), mengacu pada Sparre & Venema (1992).
Rancangan penelitiannya adalah acak berlapis (stratified random)
dengan variabel perbedaan lokasi stasiun dan kedalaman perairan
(10, 20, dan 30 meter).
Kegiatan penangkapan dilakukan siang hingga sore hari, durasi
menarik jaring (time towing) rata-rata selama satu jam, dan kecepatan
kapal rata-rata 2,5 knot setiap stasion penangkapan. Udang yang
tertangkap disortir dan diidentifikasi berdasarkan kelompok spesies
udang yang mengacu pada Donald (1981), Grey & Dall (1983), dan
Carpenter & Volker (1998), selanjutnya masing-masing kelompok
populasi dihitung jumlah individu tiap spesies untuk dijadikan sebagai
bahan analisis.
Lokasi penelitian berada di Selat Makasar, meliputi perairan
pantai di sekitar Samboja-Kab.Kukar (Provinsi Kaltim) hingga ke arah
selatan sampai dengan Kotabaru (Provinsi Kalsel). Posisi lokasi stasiun
penangkapan seperti tampak pada Gambar 1.

31
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Selat Makassar 2011


(Keterangan : • = posisi stasiun penangkapan)
Analisis data numerik dilakukan secara deskriptif berdasarkan
hasil perhitungan sederhana dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan
grafik persentase jumlah individu, sedangkan analisis keanekaragaman
hayati difokuskan pada tipe kelompok keanekaragaman jenis (species

32
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

diversity), kekayaan jenis (species richness), kemerataan (species


evenness), dan dominansi jenis (species dominant) yang masing-
masing dihitung nilai indeksnya mengikuti model matematis menurut
Odum (1971), Pielou (1978), Ludwig & Reynold (1988), dan Krebs
(1989) dengan persamaan sebagai berikut.
a. Indeks kekayaan jenis “Margalef” dihitung dengan rumus R1 =
(S-1)/Ln(N), di mana “S” = banyaknya spesies dan “N” = jumlah
individu ikan untuk semua spesies. Nilai indeks R merupakan
angka tunggal sebagai gambaran kualitas kekayaan jenis, untuk
memudahkan menginterpretasikan besarnya kekayaan jenis di
perairan ini dengan membandingkan perairan lainnya.
b. Indeks keanekaragaman jenis yang dihitung adalah indeks
Shannon-Wiener seperti dikutip Odum (1971) dengan rumus
H1 = - ∑ [(ni / N) / Ln (ni / N)], di mana N = total individu ikan untuk
semua spesies dan ni = jumlah ikan untuk spesies ke i.
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dikategorikan sebagai
berikut.
H1 < 1 = Keanekaragaman rendah
1 < H1 <3 = Keanekaragaman sedang
H1 > 3 = Keanekaragaman tinggi
c. Indeks kelimpahan (diversity numbers) berdasarkan Hill, dengan
rumus N1 = eH’ dan N2 = 1/ λ, di mana N1 ditafsirkan sebagai
banyaknya spesies yang melimpah; e = bilangan natural (= 2,718);
H1= indeks Shannon-Wiener; N2 ditafsirkan sebagai banyaknya
spesies yang paling melimpah; λ = indeks Simpson =∑ni*(ni-1)/
N(N-1).
d. Indeks kemerataan yang dihitung adalah indeks menurut Pielou
(1977) dengan rumus E = H1/ Ln (s), di mana S = banyaknya spesies,
H1= indeks Shannon- Wiener.
Kriteria kemerataan jenis menurut Pielou (1977) ditetapkan
sebagai berikut.

33
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

a. 0,00 - 0,25 = tidak merata


b. 0,26 - 0,50 = kurang merata
c. 0,51 - 0,75 = cukup merata
d. 0,76 - 0,95 = hampir merata
e. 0,96 - 1,00 = merata 2
ª ni º
Indeks dominansi jenis dengan rumus , di mana ni =
C ¦ «N »
¬ ¼

jumlah ikan untuk spesies ke i; N = jumlah total individu semua


spesies.
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 - 1. Jika indeks dominansi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi.
Jika indeks dominansi mendekati 1 berarti ada salah satu spesies
yang mendominasi.

Hasil dan Bahasan


Jenis Udang Yang Tertangkap
Jenis udang yang tertangkap secara keseluruhan teridentifikasi
22 spesies, yang mewakili 5 suku yakni udang lobster (Panuliruidae),
udang peneid (Penaeidae), udang kipas (Scyllaridae), udang krosok
merah (Solenoceridae), dan udang cakrek (Squillidae) (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis udang dan banyaknya individu yang tertangkap di Selat


Makasar pada bulan Juni dan Oktober 2011
JUMLAH INDIVIDU
SUKU SPESIES (ekor)
JUNI OKTOBER
Panuliruidae Panulirus homarus 1 -
Panulirus ornata 4 -
Penaeidae Metapenaeus brevicornis 28 8
Metapenaeus ensis 360 87
Metapenaeus lysianasa - 42
Metapenaopsis sp1 - 252

34
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

Tabel 1. Jenis udang dan banyaknya individu yang tertangkap di Selat


Makasar, pada bulan Juni dan Oktober 2011 (lanjutan)
JUMLAH INDIVIDU
SUKU SPESIES (ekor)
JUNI OKTOBER
Parapenaopsis sp1. 24 385
Parapeneopsis scuptilis 6 1
Parapenaeus
- 160
coromandalica
Penaeus latisulcatus 2 -
Penaeus esculentus - -
Penaeus merguiensis 374 36
Penaeus monodon 93 2
Penaeus semisulcatus 105 38
Trachipenaeopsis sp 126 -
Trachypenaeus asper 453 27
Trachypenaeus fulvus 90 5
Scyllaridae Thenus orientalis 85 41
Solenoceridae Solenocera crassicornis 2 -
Solenocera australiana - 64
Solenocera sp. 1 -
Squillidae Squilla sp. 496 70
Tampak bahwa jumlah spesies pada bulan Juni (17) relatif banyak
dibandingkan pada bulan Oktober yang berjumlah 15 spesies. Variasi
tersebut diduga erat kaitannya dengan cakupan wilayah perairan
pada saat pengambilan contoh, di mana pada bulan Juni mencapai
36 stasiun, lebih banyak dibandingkan dengan bulan Oktober 27
stasiun. Pada umumnya, jumlah taksa terbanyak didominasi oleh
spesies udang dari suku Penaeidae. Hal tersebut menunjukkan bahwa
di perairan ini masih memiliki potensi jenis sumber daya udang yang
potensial untuk dikembangkan, karena menurut Naamin et al (1982),
beberapa jenis dari kelompok udang tersebut merupakan udang niaga
berkualitas ekspor yang memiliki potensi nilai ekonomi tinggi. Belum

35
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

diperoleh informasi tentang banyaknya kekayaan jenis udang yang


tertangkap trawl di perairan ini pada periode sebelumnya, sehingga
tidak tampak gambaran fluktuasinya. Sebagian besar hasil penelitian
menginformasikan hasil tangkapan nelayan yang diperdagangkan,
seperti diinformasikan Suman et al. (2005) bahwa jumlah jenis udang
di Balikpapan sekitar 11 spesies yang terdiri dari campuran udang niaga
dan udang krosok. Membandingkan di perairan lain, kekayaan jenis
udang di perairan Selat Makassar lebih tinggi dibandingkan bagian
barat Aceh, sekitar 15-20 spesies (Wedjatmiko 2009), di Arafura sekitar
21 spesies (Anonimous 2010).

Komposisi Jenis
Berdasarkan banyaknya jumlah individu udang yang tertangkap,
memperlihatkan bahwa spesies udang yang mendominasi pada bulan
Juni adalah Squilla sp 22%, Trachypenaeus asper 20%, dan Penaeus
merguensis 17%, lainnya mendominasi kurang dari 10%, sedangkan pada
bulan Oktober didominasi Parapenaeopsis sp 32%, Metapenaeopsis sp
21%, dan Parapenaeus coromandalica 13% (Gambar 2 dan 3). Udang-
udang tersebut sebagian besar berukuran kecil dan memiliki nilai
ekonomi relatif rendah, kecuali Penaeus merguiensis.

Gambar 2. Komposisi jumlah individu udang yang tertangkap di Selat


Makassar pada bulan Juni 2011

36
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

Gambar 3. Komposisi jumlah individu udang yang tertangkap di Selat


Makassar pada bulan Oktober 2011

Indeks Keanekaragaman Jenis


Berdasarkan perhitungan indeks struktur komunitas menggunakan
variabel data kelimpahan jenis dan kelimpahan individu (Lampiran 1,
2), diperoleh nilai indeks keanekaragaman hayati udang yang tertera
pada Tabel 2.
Tampak bahwa indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener
(H’) bernilai 2, bila mengacu pada kriteria Krebs (1989) menunjukkan
bahwa tingkat keanekaragaman jenis udang dalam komunitas perairan
Selat Makassar termasuk kategori ”sedang”. Nilai indeks kekayaan
jenis sebesar 2 merupakan gambaran kualitas kekayaan jenis yang
dapat digunakan membandingkan dengan kekayaan jenis di tempat
lain, apakah lebih banyak atau sedikit.
Nilai indeks kemerataan (E) sebesar 0,7 mengindikasikan nilai
cukup tinggi, mendekati angka satu. Bila mengacu pada kriteria
Pielou (1977) menunjukkan bahwa sifat penyebaran di antara spesies
udang di perairan ini termasuk cukup merata pada setiap stasiun. Hal

37
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

tersebut sebagai indikasi bahwa diprediksi tidak banyak spesies yang


mendominasi, sebagaimana diperkuat hasil analisis indeks dominasi
yang bernilai kecil (C = 0,1).

Tabel 2. Indeks keragaman jenis udang (H’), kekayaan jenis (R),


kelimpahan (N1-N2), kemerataan jenis (E) dan dominasi
jenis (C) di perairan Selat Makasar, bulan Juni dan Oktober
2011
Parameter Struktur
Juni 2011 Oktober 2011
Komunitas
S 17 15
n 2250 1218
H’ 2,0 2,0
R1 2,0 2
N1 8 8
N2 6 7
E 0,7 0,7
C 0,15 0,17
Memperhatikan angka indeks N1 = 8, N2 = 6 (bulan Juni), dan
7 untuk bulan Oktober, dapat ditafsirkan bahwa ada sekitar 6 atau 7
spesies yang paling melimpah di antara 8 spesies yang mendominasi
di perairan ini. Spesies-spesies tersebut dapat dilihat pada Tabel 1,
tampak bahwa spesies yang paling melimpah pada bulan Juni terdiri
dari udang cakrek (Squilla sp), udang krosok (Trachypenaeus asper),
udang jerbung (Penaeus merguensis), udang dogol (Metapenaeus
ensis), udang krosok (Trachypenaeopsis sp), dan udang tiger (Penaeus
semisulcatus).
Menurut Badrudin et.al (2003), angka-angka indeks yang
telah diperoleh dari hasil perhitungan dan analisis data hasil suatu
observasi dapat ditabulasi dalam satu daftar indeks keanekaragaman
hayati yang merupakan data dasar (base line data) sangat penting di
perairan tersebut. Perhitungan proposionalitas yang serupa dengan
metode penelitian yang sama pada studi lanjutan di perairan lain,
dapat digunakan sebagai pembandingnya (benchmark). Sejauh ini,

38
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

beberapa pengkajian sumber daya udang dengan metode sapuan area


menggunakan alat tangkap trawl di perairan lain, analisisnya sebagian
banyak berbasisis pada data bobot hasil tangkapan, sedangkan data
jumlah individu bagi studi struktur komunitas jarang diinformasikan,
sehingga dalam penelitian ini belum cukup untuk menginterpretasikan
sebagai pembandingnya.

Kesimpulan
Status keanekaragaman jenis udang di perairan Selat Makassar
tergolong tingkat sedang, dengan indeks keragaman jenis Shannon-
Wiener (H’) = 2. Sifat penyebaran spesies dalam komunitas cenderung
cukup merata, tidak banyak spesies yang mendominasi. Di antara
spesies yang mendominasi ditemukan 6 sampai 7 spesies yang paling
melimpah yakni cakrek (Squilla sp), udang krosok (Trachypenaeus
asper), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang dogol
(Metapenaeus ensis), udang krosok (Trachypenaeopsis sp), dan udang
tiger (Penaeus semisulcatus).

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil penelitian
Pengkajian Stok dan Pengusahaan Sumber Daya Udang Penaeid dan
Krustasea Lainnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Makassar,
Laut Flores, dan Teluk Bone T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan
Laut, Muara Baru, Jakarta.

Daftar Pustaka
Anonimous, 2010. Survey sumber daya kan demersal dan udang
di perairan Laut Timor dan Laut dengan Kapal Baruna Jaya VIII,
Laporan Teknis ATSEA- BalaiRiset Perikanan Laut Jakarta.
Badrudin, Sasanti, R.Suharti, Yahmantoro, dan Imam.S., 2003. Indeks
Kenaekaragaman Hayati Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) di
Perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jur.Penel.Perik.Ind., Edisi

39
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Sumber Daya dan Penangkapan, Vol.9, No.7, hal. 67-73


Barus, H.R & Mahiswara. 1994. Perikanan jaring dogol di Kalimantan
Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 85. Balitkanlu, Jakarta:
54-68.
Carpenter, K. E & H. N. Volker (Eds). 1998. The Living Marine Resources
of the Western. Central Pacific. Vol. 2. Cephalopods, Crustaceans,
Holothurians and Sharks. FAO, Rome, Italy.
Donald, L.L., 1981. A Guide to the shrimps, prawns, lobsters and crabs
of Malaysia and Singapura, Faculty of Fisheries and marine Science,
Univ.Pertanian Malaysia.
Grey, D. L. & W. Dall. 1983. A Guide to the Australian Penaeid Prawn.
Department of Primary Production. Darwin, Northern Territory
Krebs, C.J., 1989. Ecological methodology. Harper Collins Publisher,
New York
Ludwig, J.A & J.F. Reynolds. 1988. Statistical ecology : A primer on
methods and computing. John Wiley & Sons. New York : xii+337
hal
Naamin, N, 1977. Perkembangan perikanan udang di Indonesia.
Prosiding Seminar II Perikanan udang. Maret 1977. LPPL. Jakarta
: 55-65
Naamin,N.,F.Cholik, S.Ilyas, A.Dwiponggo dan J.Widodo.,1982.
Pedoman Teknis pemanfaatan dan pengelolaan Sumber daya
Udang Penaeid bagi Pembangunan Perikanan. Seri Pengembangan
Penelitian Perikanan, Badan penelitian dan pengembangan
Pertanian, 89 hal.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology., W.E.Sounders,
Philadelphia, 567 pp
Pielou, I.C.,1976. The Measurement of Diversity in Different Type of
Biologycal Collection, Jour.Biol. 13: 131-144
Sumiono, B., dan B.E.Priyono., 1998. Sumber daya udang penaeid
dan krustasea lainnya. dalam Widodo, J., K.A.Azis, B.E.Priyono,
GH. Tampubolon, N.Naamin dan A.Djamali (Eds). Potensi dan

40
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

penyebaran Sumber daya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi


Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut – LIPI.
Sumiono, B & A.Djamali, 2006. Pemanfaatan sumberdaya udang
dan ikan demersal di perairan perbatasan Nunukan - Tawau,
Kalimantan Timur. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Ekosistem
Terumbu Karang Sapa Segajah dan Ekosistem Muara Kalimantan
Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UnMul - Bappeda
Pemprov Kalimantan Timur - PRPT,BRKP - P2O LIPI: 130-147
Sumiono, B. & B.E.Priyono., 1998. Sumber daya udang penaeid
dan krustasea lainnya. dalam Widodo, J., K.A.Azis, B.E.Priyono,
GH. Tampubolon, N.Naamin dan A.Djamali
Sparre, P. and S.C.Venema., 1992. Introduction to Tropical Fish Stock
Assessment. FAO Fish. Tech.Paper. No. 361/1.
Suman, A., M.Badruddin, S.T.Hartati , B. Sumiono., I. S. Wahyuni,
S. Nuraini, Awaluddin, , F. Eddrisea dan T. Ernawati, 2005. Riset
Pengkajian Stok, Life history dan Dinamika Populasi Sumber Daya
Ikan demersal dan Udang Penaeid di Laut Cina Selatan, Laut jawa
dan Selat Makasar., Laporan Teknis Intern Balai Riset Perikanan
Laut Jakarta
Wedjatmiko, 2009. Hasil tangkapan dan aspek biologi udang kelong
(Penaeus sp) di perairan Barat Aceh, Juour.Lit.Perikanan Ind.,
vol.15, No.2; 133-140.

41
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Lampiran 1. Perhitungan beberapa indeks keragaman jenis


udang di Selat Makassar, berdasarkan data jumlah individu yang
tertangkap bulan Juni 2011

42
Keanekaragaman Jenis Udang di Perairan Selat Makasar

Lampiran 2. Perhitungan beberapa indeks keragaman jenis


udang di Selat Makassar, berdasarkan data jumlah individu yang
tertangkap bulan Oktober 2011

43
4
KOMPOSISI DAN PENYEBARAN IKAN
DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT
MAKASSAR
Oleh
Prihatiningsih1), Suprapto1), dan Wedjatmiko1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Perairan Selat Makassar merupakan daerah yang potensial untuk
penangkapan ikan demersal. Pemanfaatan sumber daya ikan demersal
sudah berlangsung cukup lama dan saat ini telah mengindikasikan
kondisi lebih tangkap (overfishing). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui komposisi dan penyebaran ikan demersal sebagai bahan
masukan dalam pengembangan pemanfaatan dan perencanaan
kebijakan pengelolaan sumber daya ikan demersal di Selat Makassar.
Penelitian dilakukan menggunakan kapal perikanan komersial lampara
dasar pada bulan Juni dan Oktober 2011. Komposisi hasil tangkapan
ikan demersal didominasi oleh famili Leiognathidae (peperek) dan
Nemipteridae (kurisi) masing-masing sebesar 40,0% dan 13,6% pada
Juni serta 56,9% dan 12,6% pada Oktober. Laju tangkap lampara dasar
pada Juni sebesar 31,49 kg/jam dan Oktober sebesar 23,12 kg/jam
dengan rata-rata sebesar 27,66 kg/jam. Penyebaran ikan demersal
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

secara vertikal terkonsentrasi pada kedalaman 0-20 m, sedangkan


penyebaran ikan demersal secara horizontal pada Juni dominan di
perairan Balikpapan dan Oktober di perairan Tanahgrogot. Kepadatan
stok ikan demersal di perairan Selat Makassar berkisar 0,9 – 1,0 ton/
km2.

Pendahuluan
Sumber daya ikan di Selat Makassar dimanfaatkan oleh nelayan
dan perusahaan penangkapan yang berada di kawasan Provinsi
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Bali, dan Jawa. Perairan Selat Makassar mempunyai sumber
daya ikan yang potensial karena adanya arus dari utara, merupakan
daerah estuari dan adanya daerah up welling yang menyebabkan
tingkat kesuburannya tinggi.
Pemanfaatan sumber daya ikan demersal dan udang di perairan
Selat Makassar sudah berlangsung cukup lama paling tidak sejak
dekade delapan puluhan dan cenderung status pengusahaannya
berada dalam tingkatan yang jenuh (Dwiponggo 1987; Naamin et al.
1992). Sementara itu beberapa wilayah yang berbatasan dengan area
yang tercakup pada penelitian ini telah mengembangkan perikanan
tangkap dengan berbagai bentuk dan skala usaha.
Eksploitasi ikan demersal cenderung meningkat dengan masuknya
bentuk penangkapan baru, yaitu mini trawl dari kelas ukuran di bawah
30 GT yang berpangkalan di berbagai tempat dan beroperasi di daerah
dekat pantai. Informasi dari berbagai kegiatan menunjukkan bahwa
seluruh armada penangkapan telah mencapai jumlah lebih dari 1000
unit yang berpangkalan di pantai timur Kalimantan dengan daerah
penangkapan telah menjangkau seluruh bagian perairan hingga daerah
perairan dangkal (untuk jenis mini trawl) dan terkonsentrasi di lokasi
yang padat kelimpahannya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan guna memperoleh
data dan informasi terbaru tentang komposisi dan penyebaran ikan
demersal sebagai bahan masukan dalam pengembangan pemanfaatan
dan perencanaan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan demersal

46
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

di Selat Makassar sehingga optimalisasi hasil tangkapan yang


berkelanjutan dan lestari dapat tercapai.

Bahan dan Metode


Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Makassar (perairan timur
Kalimantan) yang meliputi perairan Provinsi Kalimantan Timur dan
Provinsi Kalimantan Selatan) pada Juni dan Oktober 2011 (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi dan posisi stasiun penelitian di perairan Selat


Makassar, 2011

47
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Penelitian dilakukan menggunakan kapal komersial (10 GT),


dengan alat tangkap jaring lampara dasar yang lazim digunakan untuk
menangkap ikan demersal. Jaring lampara yang digunakan memiliki
panjang tali ris atas (head rope) 25 m dan tali ris bawah (ground rope)
27 m. Operasional kapal dilakukan pada siang hari, dengan kecepatan
kapal 2 knot dan towing dilakukan selama 1 jam. Hasil sampling
ikan yang diperoleh, disortir, ditimbang, dianalisis, dan diidentifikasi
berdasarkan buku identifikasi Carpenter & Niem (1998 -2001), Kailolla
& Tarp (1984), Allen (1999), dan de Bruin et al. (1994).
Untuk mengetahui laju tangkap lampara dasar yang merupakan
berat tangkapan (kg) dalam satuan waktu tertentu (jam) diperoleh
dengan menggunakan rumus Sparre & Venema (1999) sebagai
berikut.
Cw ·
C/R = §¨ ¸  kg/jam .........................................................................(1)
© t ¹
di mana,
C/R = laju tangkap
Cw = bobot tangkapan (kg)
t = waktu penarikan jaring (jam)
Untuk menghitung kepadatan stok, terlebih dahulu dihitung luas
daerah yang disapu
a = S x E ..............................................................................................(2)
di mana, S = v x t x 1,85 x 10-3
a = luas daerah yang disapu per jam (km2)
E = lebar bukaan mulut jaring (m)
S = jarak sapuan (km)
v = kecepatan kapal waktu menarik jaring (mil/jam)
t = waktu yang diperlukan selama penarikan jaring (knot)
1,85 = konversi dari mil ke km
10-3 = konversi dari meter ke km

48
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

Jarak sapuan (=S) dihitung dari posisi sejak jaring mulai ditarik
sampai pada posisi jaring mulai diangkat. Penentuan posisi dilakukan
dengan menggunakan GPS. Dari persamaan (2) kepadatan stok ikan
dapat dihitung berdasarkan rumus
Cw 1
D = x  kg/km2 ........................................................................(3)
ef a
dengan keterangan:
D = kepadatan stok
Cw = bobot tangkapan (kg)
a = luas daerah sapuan (km2)
ef = faktor daya tangkap, merupakan perbandingan antara jumlah
ikan yang tertangkap dengan jumlah yang ada di perairan.
Menurut Shindo (1973) nilai yang biasa digunakan di perairan
Asia Tenggara adalah 0,5

Hasil dan Bahasan


Komposisi Hasil Tangkapan
Hasil tangkapan lampara dasar di perairan Selat Makassar pada Juni
dan Oktober 2011 menunjukkan komposisi ikan demersal yang mirip
yaitu didominasi oleh famili Leiognathidae (peperek) dan Nemipteridae
(kurisi). Pengamatan pada Juni 2011 diperoleh 54 famili dan terdiri
dari 127 jenis (spesies) yang didominasi oleh famili Leiognathidae
(peperek) sebesar 40,0%, kemudian Nemipteridae (kurisi) sebesar
13,6%, Gerreidae (kapasan) sebesar 9,7%, dan Mullidae (kuniran)
sebesar 8,9%. Pengamatan pada Oktober, hasil tangkapan diperoleh
56 famili dan terdiri dari 128 jenis (spesies) yang juga didominasi famili
Leiognathidae (peperek) sebesar 56,9%, kemudian Nemipteridae
(kurisi) sebesar 12,6%, Synodontidae (beloso) 11,6%, dan Gerreidae
(kapasan) sebesar 10,1%. (Tabel 1).
Dominansi ikan peperek (Leiognathidae) tampak tidak mengalami
perubahan. Penelitian Wedjatmiko et al. (2005) di lokasi yang sama
yaitu di perairan Selat Makassar, menunjukkan hasil tangkapan terdiri
atas sekitar 38% ikan peperek (Leiognathidae). Demikian juga di lokasi

49
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

yang berbeda (perairan Aru) ikan peperek (Leiognathidae) tertangkap


sebesar 26,4% dari total hasil tangkapan (Wedjatmiko et al. 2009). Sama
halnya dengan hasil penelitian Sumiono et al. (2002) di perairan utara
Jawa Tengah, komposisi hasil tangkapan ikan demersal didominasi
oleh ikan peperek (Leiognathidae) dan ikan kurisi (Nemipteridae).
Ikan peperek merupakan ikan demersal yang paling banyak tertangkap
di perairan Laut Jawa yaitu sebesar 60% (Badruddin 1988).

Tabel 1. Komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap ikan demersal


berdasarkan kelompok famili di perairan Selat Makasar, Juni
dan Oktober 2011
Jumlah hasil Laju Tangkap
Tangkapan/Total Persentase (%) /Catch rate (kg/
No Famili
catch (kg) jam/sta)
Juni Oktober Juni Oktober Juni Oktober
1 Leiognathidae 338,8 291,2 40,0 56,9 10,6 10,8
2 Nemipteridae 115,5 64,5 13,6 12,6 3,6 2,4
3 Gerreidae 82,5 51,7 9,7 10,1 2,6 1,9
4 Mullidae 75,5 23,9 8,9 4,7 2,4 0,9
5 Harpadontidae 67,1 - 7,9 - 2,1 -
6 Synodontidae 65,6 59,5 7,7 11,6 2,1 2,2
7 Platycephalidae 31,1 8,6 3,7 1,7 1,0 0,3
8 Gymnuridae 24,0 0,5 2,8 0,1 0,8 0,0
9 Psettodidae 23,8 7,7 2,8 1,5 0,7 0,3
10 Dasyatidae 23,4 3,9 2,8 0,8 0,7 0,1

Laju Tangkap
Laju tangkap merupakan salah satu indeks kelimpahan stok sumber
daya ikan di suatu perairan, yang dalam hal ini adalah hasil tangkapan
per-jam tarikan dari jaring lampara dasar. Menurut waktu pengamatan,
laju tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal di perairan Selat
Makassar pada Juni lebih tinggi daripada Oktober. Laju tangkap ikan
demersal pada Juni 2011 (M. Timur) dari 32 stasiun pengamatan diperoleh
sebesar 31,49 kg/jam atau 89% dari total laju tangkap, sedangkan pada
Oktober 2011 (M. Peralihan II) dari 27 stasiun pengamatan diperoleh

50
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

laju tangkap sebesar 23,12 kg/jam atau 92% dari total laju tangkap
sehingga diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal di perairan
Selat Makassar tahun 2011 sebesar 27,66 kg/jam.
Rata-rata laju tangkap ikan demersal yang diperoleh pada penelitian
ini, dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (tahun 2004-2005)
pada lokasi yang sama ternyata memperlihatkan penurunan yang cukup
tajam hampir sepuluh kali lebih rendah (Anonymous 2005). Perbedaan
yang sangat signifikan diduga karena beberapa faktor antara lain
dinamika oseanografi dan dampak penangkapan yang berbeda.
Faktor pertama adalah kondisi cuaca belum beruntung, dengan
menggunakan kapal kecil diduga arus dan angin yang kencang sangat
berpengaruh terhadap kinerja “opening trawl” tidak sempurna
yang berdampak ikan yang tertangkap sedikit. Faktor kedua diduga
akibat lebih tangkap, dalam kurun waktu sekitar 7 tahun telah terjadi
penangkapan yang sangat intensif dengan alat tangkap dogol dan
lampara dasar yang telah menguras sumber daya ikan demersal.
Ciri-ciri dari perairan yang mengalami lebih tangkap yaitu hasil
tangkapan didominasi oleh ikan berukuran kecil dan berumur pendek
misalnya Leiognathidae, berkurangnya ikan berkuran besar, dan
berumur panjang misalnya ikan kerapu dan kakap merah dari perairan
tersebut. Dilihat dari komposisi hasil tangkapan ikan demersal, ikan
peperek (Leiognathidae) mendominasi hasil tangkapan sebesar 40,0%,
sedangkan ikan kekakapan (Lutjanidae) dan kerapu (Serranidae)
memiliki nilai komposisi jenis sebesar 1,0% dari total hasil tangkapan.
Hasil penelitian menggunakan KM Bawal Putih tahun 2005 di perairan
yang sama yaitu di Selat Makassar menunjukkan komposisi hasil
tangkapan didominasi oleh ikan peperek sebesar 17,42% (urutan
kedua setelah ikan Ariidae), kemudian ikan kekakapan (Lutjanidae)
sebesar 0,81%, dan ikan kerapu (Serranidae) sebesar 2,50% dari total
hasil tangkapan.
Berdasarkan data statistik nasional tahunan periode 2001-2009,
hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ikan demersal di perairan
Selat Makassar dan Laut Flores relatif menurun dari 19,23 ton/unit/
tahun (2001) menjadi 9,55 ton/unit/tahun atau menurun sekitar 50%
(Gambar 2). Di perairan ini telah beroperasi ribuan kapal dogol dan

51
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

lampara dasar (mini trawl) di bawah 30 GT (DJPT, 2011). Dengan adanya


indikator semakin menurunnya CPUE sebagai indeks kelimpahan stok
di perairan ini, yang berarti sudah terjadi penurunan stok (Badrudin
& Karyana 1992), stok sumber daya ikan demersal di perairan ini
perlu mendapat perhatian yang serius sehingga sumber daya yang
ada masih dapat pulih dalam kaitannya dengan pemanfaatan secara
berkelanjutan dan lestari.
Berdasarkan famili ikan yang tertangkap pada Juni 2011, ikan
peperek (Leiognathidae) merupakan ikan demersal dengan laju
tangkap paling tinggi yaitu 10,6 kg/jam dari total hasil tangkapan
yang diikuti oleh ikan kurisi (Nemipteridae) dengan laju tangkap 3,6
kg/jam dan ikan kapasan (Gerreidae) dengan laju tagkap 2,6 kg/jam.
Sama halnya dengan pengamatan pada Oktober 2011, famili ikan yang
dominan tertangkap adalah ikan peperek (Leiognathidae) sebesar 10,8
kg/jam, kurisi (Nemipteridae) sebesar 2,4 kg/jam, dan ikan beloso
(Synodontidae) yaitu sebesar 2,2 kg/jam (Tabel 1).

Gambar 2. Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ikan demersal


di perairan Selat Makassar dan L. Flores (WPP 713) tahun
2001-2009
Tipe substrat di perairan Selat Makassar adalah lumpur berpasir
sehingga tingginya laju tangkap ikan peperek (Leiognathidae) di
perairan Selat Makassar diduga karena ikan tersebut hidup di substrat

52
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

lumpur berpasir. Menurut Longhurst & Daniel (1987) bahwa ikan


peperek hidup bergerombol di daerah berpasir atau pasir berlumpur
pada kedalaman 10 – 50 m. Selain itu, ikan peperek memiliki
pertumbuhan dan rekrutmen tinggi yaitu berumur pendek hanya
sampai 2 tahun (Pauly 1980) dan fekunditas berkisar 9.899 - 180.553
butir telur dengan tipe pemijahan secara bertahap (partial spawner) di
mana waktu pemijahan panjang dan terus menerus (Saadah 2000).
Berdasarkan pada jenis ikan yang tertangkap, ikan dengan laju
tangkap tertinggi adalah Leiognathus splendens yaitu sebesar 9,6 kg/
jam, kemudian ikan kapasan (Pentaprion longimanus) sebesar 1,7
kg/jam, dan ikan beloso dari spesies Saurida micropectoralis yaitu
sebesar 1,6 kg/jam (Juni 2011). Pengamatan pada Oktober 2011, jenis
ikan demersal yang paling tinggi laju tangkapnya adalah ikan dari jenis
Leiognathus splendens yaitu sebesar 5,9 kg/jam kemudian ikan beloso
(Saurida micropectoralis) yaitu sebesar 3,1 kg/jam dan ikan peperek
dari jenis Leiognathus bindus sebesar 2,3 kg/jam (Gambar 3). Menurut
Wedjatmiko et al. (2005), jenis ikan peperek yang mempunyai laju
tangkap paling tinggi di perairan Selat Makassar adalah Leiognathus
bindus sebesar 12,53 kg/jam dan Leiognathus splendens sebesar 6,66
kg/jam.

Gambar 3. Laju tangkap lampara dasar terhadap spesies ikan demersal


(spesies) di perairan Selat Makassar, Juni dan Oktober 2011

53
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Penyebaran Secara Vertikal (Kedalaman)


Tabel 2. Laju tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal (kg/jam)
menurut strata kedalaman di perairan Timur Kalimantan
pada Juni dan Oktober 2011
Juni 2011 Oktober 2011
Kedalaman Jumlah Jumlah
Total Rata-rata Total Rata-rata
stasion stasion

0-10 10 363,56 36,35 7 107,85 15,40


11-20 11 278,71 25,33 9 348,84 38,76
21-30 11 365,62 33,23 11 167,54 15,23

Menurut strata kedalamannya, penyebaran rata-rata laju


tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal pada Juni paling tinggi
terdapat pada kedalaman 0-10 m yaitu 36,35 kg/jam dan terendah
pada kedalaman 11-20 m yaitu 25,33 kg/jam. Berbeda halnya dengan
pengamatan pada Oktober, penyebaran rata-rata laju tangkap lampara
dasar terhadap ikan demersal tertinggi terdapat pada kedalaman
11-20 m yaitu 38,37 kg/jam dan terendah pada kedalaman 21-30 m
yaitu 15,23 kg/jam (Tabel 2). Tingginya laju tangkap pada kedalaman
tersebut disebabkan adanya dominansi ikan peperek (Leiognathidae)
sebesar 25,0 kg/jam dengan persentase 70% dari total laju tangkap.

Penyebaran Secara Horizontal (Spasial)


Sebaran spasial laju tangkap lampara dasar terhadap ikan
demersal hasil pengamatan pada Juni 2011 cenderung tidak merata
pada seluruh stasiun pengamatan. Laju tangkap terendah di stasiun
2 sebesar 1,85 kg/jam dan tertinggi di stasiun 4 sebesar 75,84 kg/jam
dengan rata-rata 31,49 kg/jam (Gambar 4). Tingginya nilai laju tangkap
tersebut merupakan kontribusi dari ikan kapasan, Gerres kapas
(Gerreidae) dengan nilai laju tangkap sebesar 23,2 kg/jam, kemudian
diikuti oleh ikan peperek, Leiognathus bindus (Leiognathidae) sebesar
17,6 kg/jam, dan ikan kuniran Upeneus sulphureus (Muliidae) sebesar
11,8 kg/jam. Secara keseluruhan sebaran spasial sumber daya ikan
demersal, semakin ke arah utara nilai densitasnya cenderung tinggi
dan mengelompok di perairan Balikpapan.

54
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

Berbeda halnya dengan hasil pengamatan pada Juni 2011,


penyebaran laju tangkap ikan demersal pada Oktober 2011 semakin
ke selatan, nilainya semakin tinggi dan mengelompok di perairan
Tanah Grogot. Laju tangkap terendah terdapat di stasiun 22 sebesar
1,84 kg/jam dan tertinggi terdapat di stasiun 16 sebesar 115,64 kg/jam
dengan rata-rata 23,12 kg/jam. Tingginya densitas ikan demersal pada
stasiun 16 disebabkan terdapat spesies ikan yang mendominasi yaitu
ikan peperek (Leiognathus splendens) sebesar 88,0 kg/jam dengan
persentase 76% dari total hasil tangkapan lampara dasar. Rendahnya
nilai densitas ikan pada Oktober diduga dipengaruhi oleh musim di
mana periode Oktober merupakan musim peralihan ke musim barat
dengan intensitas hujan yang cukup tinggi dan dipengaruhi pergerakan
arus. Sebaran densitas ikan demersal disajikan pada Gambar 4.
Perilaku pengelompokan ikan secara spasial dan temporal
merupakan fenomena umum sebagai akibat dari faktor-faktor
oseanografi yang sangat dinamis. Badrudin (1985) menyatakan bahwa
perilaku pengelompokkan ikan demersal pada musim timur di Laut Jawa
terjadi di perairan Tanjung Selatan dan Tanjung Putting, Pantai Selatan
Kalimantan, sedangkan pada periode musim barat kecenderungan
pengelompokan terjadi di pantai timur Lampung/Sumatera Selatan.

Gambar 4. Sebaran spasial laju tangkap ikan demersal di perairan Selat


Makassar, Juni dan Oktober 2011

55
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kepadatan Stok
Pendugaan kepadatan stok ikan demersal pada Juni 2011 dari
32 stasiun pengamatan diperoleh sebesar 1,0 ton/km2 dan pada
Oktober dari 27 stasiun pengamatan sebesar 0,9 ton/km2. Dari 2 kali
pengamatan, nilai kepadatan stok lebih rendah 3-4 kali dari hasil yang
diperoleh tahun 2004-2005 di perairan yang sama (Anynomous 2005)
dan di perairan yang berbeda yaitu di perairan Aru (Wedjatmiko et al.
2009). Hal ini menunjukkan adanya penurunan stok ikan demersal di
perairan Selat Makassar, dibandingkan dengan di perairan utara Jawa
Tengah pada kedalaman lebih dari 20 m nilainya lebih tinggi yaitu
sebesar 0,8 ton/km2 (Sumiono 2002).

Gambar 5. Kepadatan stok ikan demersal menurut strata kedalaman


di perairan Selat Makassar, Juni dan Oktober 2011
Kepadatan stok tertinggi pada Juni terdapat di kedalaman 0-10 m
yaitu sebesar 1,1 ton km-2 dan terendah di kedalaman 10-20 m sebesar
0,8 ton km-2 dengan rata-rata 1,0 ton km-2, sedangkan pengamatan
pada Oktober, kepadatan stok tertinggi di kedalaman 10-20 m sebesar
1,7 ton km-2 dan terendah di kedalaman 20-30 m sebesar 0,5 ton
km-2 (Gambar 5). Secara keseluruhan, semakin dalam suatu perairan,
semakin rendah dugaan kepadatan stok ikan demersal di perairan
Selat Makassar.

56
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

Kesimpulan
Komposisi hasil tangkapan ikan demersal di perairan Selat Makassar
didominasi oleh famili Leiognathidae (peperek) dan Nemipteridae
(kurisi)
Laju tangkap lampara dasar terhadap ikan demersal berkisar 23,12
- 31,49 kg/jam dengan rata-rata sebesar 27,66 kg/jam dan pada saat
ini telah mengalami penurunan yang cukup tajam hampir sepuluh kali
lebih rendah dari tahun 2004-2005.
Penyebaran ikan demersal secara vertikal (kedalaman) di perairan
Selat Makassar terkonsentrasi pada kedalaman 0-20 m dan secara
horizontal (spasial) dominan tertangkap di perairan Balikpapan dan
Tanah Grogot.
Kepadatan stok ikan demersal di perairan Selat Makassar berkisar
0,9 – 1,0 ton/km2, semakin dalam suatu perairan semakin rendah
kepadatan stok ikan demersal.

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian
Pengkajian Stok dan Distribusi Sumber Daya Ikan Demersal dan Biota
Lainnya di Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, T.A. 2011, di
Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-Jakarta.

Daftar Pustaka
Anonymous, 2005. Riset pengkajian stok, life history dan dinamika
populasi sumber daya ikan demersal dan udang penaeid di Laut
Cina Selatan, Utara Jawa dan Selat Makassar. Laporan Hasil Riset.
Balai Riset Perikanan Laut. (Tidak dipublikasikan)
Allen, G. 2000. Marine Fishes of South East Asia. Western Australian
Museum, 1999.
Badruddin, M. 1988. Parameter stok dan potensi penangkapan ikan
petek (Leiognathidae) di perairan pantai utara Jawa Tengah. Jurnal
Penelitian Perikanan laut. No. 47 tahun 1988. Jakarta.

57
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Badrudin & karyana, 1992. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan
demersal di perairan pantai barat Kalimantan. Jurnal Penelitian
Perikanan laut No. 71 : 1-8.
Dwiponggo, A. 1987. Indonesia’s marine fisheries resources. ICLARM-
DGF-MFRI, Philippines.
Naamin et al., 1992. Pedoman teknis pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya udang penaeid bagi pembangunan perikanan. Seri
Pengembangan Penelitian perikanan No. PHP/KAN/PT/22/1992.
Badan Litbang Pertanian.
Saadah, 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus
splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. Skripsi.
FPIK-IPB, Bogor. 34 Hal.
Sumiono, B., Sudjianto, Y. Soselisa, & TS Murtoyo. 2002. Laju tangkap
dan komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap
trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. JPPI Edisi
Sumber Daya dan Penangkapan. Vol 8 No. 4.
Carpenter, K.E. & V.H. Niem, 1999. The living Marine Reources of The
Western Centrak Pacific. Volume 4. Species Identification Guide
For Fishery Purposes. Food And Agriculture Organization Of The
United Nations. Rome 1999.
De Bruin G.H.P., Russell, B.C & Bogusch, A., 1994. FAO Species
Identification Guide For Fishery Purposes. The Marine Fishery
Resources of Sri Lanka. Food And Agriculture Organization Of The
United Nations. Rome 1994
Foote, K., H. Knutsen, G. Vestnes, D. MacLennan & E.J. Simmonds.
1987. Calibration of acoustic instruments for fish density
estimation: a practical guide. Amsterdam: International Council
for the Exploration of the Sea.
Kailola, P.J. and Tarp, T.G. 1984. Trawled fishes of Southern Indonesia
and Northwestern Australia. Australian Development Assistance
Bereau. Directorat General of fisheries – Indonesia. German
Agency for Technical Cooperation.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis.

58
Komposisi dan Penyebaran Ikan Demersal di Perairan Selat Makassar

Terj. dari Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1.


Manual. Pleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Jakarta : xiv+438 hlm.
Wedjatmiko, T. Ernawati, dan Sukarniaty. 2007. Komposisi jenis dan
distribusi ikan petek (Leiognathidae) di perairan Selat Makasar.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol 13 No. 1.
Wedjatmiko, Wijopriono, dan Suprapto. 2009. Populasi ikan demersal
di perairan Aru, Propinsi Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Vol 15. No. 3.
Pauly, D. 1980 The use of pseudo catch-curve for the estimation of
mortality rates in Leiognathus splendens (Pisces: Leiognathidae) in
Western Indonesian Waters. Meeresforschung 28(1):56-60.

59
5
KEANEKARAGAMAN IKAN DEMERSAL DI
PERAIRAN SEKITAR BALIKPAPAN DAN
KOTA BARU
Oleh
Isa Nagib Edrus1), Prihatiningsih1) dan Suprapto1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian dilakukan tahun 2011 di wilayah pesisir zona 4 mil dari
mulai perairan Balikpapan sampai dengan Perairan Kota Baru. Tujuan
penelitian adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman ikan demersal
di wilayah perairan tersebut. Metode pengambilan data dengan metode
survei, menggunakan jaring lampara dasar. Analisis data mengunakan
dua indeks keragaman biologis, yaitu indeks kekayaan jenis Margalef
(R) dan indeks keanekaragaman Shannon Weaver (H). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tangkapan jaring lampara didominasi oleh ikan
demersal (>95 %). Total jenis demersal hasil tangkapan dari 61 lokasi
towing adalah 129 jenis. Variasi jumlah jenis tangkapan antarlokasi
adalah terendah 14 jenis dan tertinggi 58 jenis. Kekayaan jenis memilki
indeks Margalef (R) termasuk rendah dengan modus 5 dan 6. Tingkat
keragaman jenis termasuk kategori sedang dengan nilai indeks Shannon-
Wiener (H1) berkisar 1,2 sampai 2,8.
Kata Kunci: Ikan demersal, keanekaragaman, jaring lampara dasar,
Selat Makassar, Balikpapan, Kota Baru
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pendahuluan
Setiap perairan pantai memiliki properti ekologis tersendiri dalam
hal area pendudukan koloni ikan tertentu yang sangat ditentukan oleh
sifat substrat dasar perairan dan kolom air yang mendapat pengaruh
besar dari muara-muara sungai. Sifat-sifat tersebut membawa
konsekuensi kepada keanekaragaman ikan dan non ikan yang spesifik
dari area tersebut (Mallela et al. 2007).
Perairan pantai Kota Balipapan sampai Kota Baru umumnya
memiliki kekeruhan tinggi hingga 2 mil ke arah laut dengan dasar
perairan berlumpur. Kondisi seperti itu dijumpai mulai dari area pasang
surut sampai kedalaman di bawah 10 meter hingga 30 meter. Menurut
data hasil survei BPPL 2011, kecerahan kolom air bervariasi dari 1
meter sampai 5 meter. Rata-rata oksigen terlarut pada kedalamaan 10
dan 30 meter masing-masing 5,55 ± 0,5 ppt dan 5,35 ± 0,3, salinitas
masing-masing 31,85 ± 1,45 dan 32,8 ± 1,4. Kondisi kimiawi ini masih
dalam ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan (Putra 2011).
Tetapi secara umum kondisi fisik perairan seperti itu tergolong buruk
untuk ikan-ikan karang tertentu dan sebaliknya cocok untuk ikan-
ikan demersal dan udang-udangan yang dapat bertahan pada kondisi
keruh. Oleh alasan itu, usaha perikanan pesisir di Balikpapan banyak
menggunakan alat tangkap lampara dasar untuk usaha udang, di mana
ikan demersal merupakan hasil samping yang justru mendominasi
tangkapan (95%). Penelitian usaha perikanan lampara ini akan sangat
bermanfaat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan keberlangsungan
usaha perikanan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman
jenis ikan demersal di perairan Selat Makassar.

Bahan dan Metode


Kegiatan penelitian dilakukan pada tahun 2011 di sekitar perairan
timur Kalimantan dari mulai Balikpapan sampai Kota Baru (Gambar
1). Penangkapan dilakukan di 28 lokasi pada kedalaman 10 sampai 30
meter.

62
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Selat Makassar 2011


Jaring lampara yang digunakan memiliki panjang tali ris atas (head
rope) 25 m dan tali ris bawah (ground rope) 27 m. Papan pembuka
(otter board) berukuran 1,5 x 0,8 m.
Penangkapan dengan lampara dasar pada setiap stasiun
ditentukan posisinya secara random purposive dengan memperhatikan
keterwakilan masing-masing kedalaman. Lama penarikan jaring (towing
time) 1 jam dengan kecepatan penarikan jaring rata-rata 2 knot. Ikan
hasil tangkapan disortir menurut suku dan jenis serta dihitung jumlah

63
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

individunya. Penentuan suku dan jenis berdasarkan buku petunjuk


identifikasi Kailolla dan Tarp (1984), Allen (2000), dan Mansoor et al.
(1998).
Indeks keanekaragaman sebagai indikator suatu struktur
komunitas digunakan untuk mengkaji variasi kualitas lingkungan dan
sumber daya ikan demersal (Magurran 1988).
Indeks kekayaan jenis mengacu pada
Indeks Margalef R = (S-1)/ln(n)................................................. (1)
Indeks keanekaragaman mengacu pada
Indeks Shannon Weaver H = Σ{(ni/N) ln(ni/N)} ......................(2)
di mana S = banyaknya spesies ; ni= jumlah ikan jenis ke I, dan N =
total individu ikan untuk semua jenis.

Hasil dan Bahasan


Hasil Penelitian
Jumlah jenis ikan demersal yang tertangkap dengan jaring lampara
dasar pada 31 area sapuan di perairan pesisir Balikpapan sampai Kota
Baru adalah 128 jenis ikan demersal, 19 jenis ikan pelagis, 16 jenis
udang-udangan, dan 8 jenis kepiting (Tabel 1). Jumlah jenis tersebut
yang tertangkap pada tiap-tiap area sapuan bervariasi cukup besar,
dengan nilai indeks kekayaan (R) jenis mulai dari yang terkecil 2,72
sampai yang terbesar 8,73 (Tabel 2). Nilai R yang relatif tinggi dijumpai
pada semua kedalaman. Modus indeks R berkisar pada nilai 5 dan 6.
Seperti indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman Shannon
Weaver (H) juga bervariasi cukup besar untuk semua lokasi pada
kedalaman 10, 20, dan 30 meter. Modus indeks H berkisar pada
nilai 2. Indeks H di atas nilai 3 dijumpai pada 4 lokasi, baik kedalaman
perairan 10, 20, maupun 30 meter (Tabel 2).

64
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

Tabel 1. Jenis-jenis ikan yang tertangkap jaring lampara dasar di


perairan Balikpapan dan Kota Baru
No Jenis Demersal No Jenis Demersal No Jenis Demersal
1 Abalistes stelatus 47 Johnius gryphotus 93 Pomadasys
maculatus
2 Abudeduf 48 Lactarius lactarius 94 Priacanthus
macracanthus
3 Aesopia omuta 49 Lactoria 95 Priacanthus tayenus
diaphama
4 Alepes kala 50 Lactoria fomasini 96 Psettodes erumei
5 Alutelus 51 Lagocephalus spp. 97 Pseudorhombus
monoceros argus
6 Anacanthus 52 Lagocephalus 98 Pterois sp.
barbatus innermis
7 Apogon nigripinis 53 Lagocephalus sp. 99 Rhinobathus
8 Apogon 54 Leiognathus 100 Saurida longimanus
poecilepterus splendens
9 Apogon 55 Leiognathus 101 Saurida
septemtriatus berbis micropectoralis
10 Argyrops spinifer 56 Leiognathus 102 Saurida tumbil
bindus
11 Arius thallasinus 57 Leiognathus 103 Saurida
blochi undosquamis
12 Arnoglossus 58 Leiognathus 104 Scarus sp.
decorus
13 Atule mate 59 Leiognathus 105 Scolopsis lineatus
elongathus
14 Carangoides 60 Leiognathus 106 Scolopsis
malabaricus equulus taeniopterus
15 Carangoides spp. 61 Leiognathus 107 Scolopsis vosmeri
smithurztsi
16 Centricus 62 Leiognathus 108 Scorpion sp.
scutatus spiendens
17 Cephalopolis 63 Leiognathus 109 Secutor insidiator
boenack stercorarius
18 Coeciella 64 Lethrinus spp. 110 Secutor ruconeus
crocodila

65
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

No Jenis Demersal No Jenis Demersal No Jenis Demersal


19 Cynanceia sp. 65 Lutjanus madras 111 Siganus
canaliculatus
20 Cynoglossus arel 66 Lutjanus 112 Sphyraena beracuda
malabaricus
21 Dactiloptena sp. 67 Lutjanus sebae 113 Sphyraena jellow
22 Dactiloptena 68 Lutjanus vitta 114 Synodon gracilis
papilio
23 Dasyatis zugei 69 Megalaspis 115 Synodon sp.
cordilla
24 Dasyatis kuhlii 70 Menemculata 116 Synodus macrops
25 Decapterus 71 Monacanthus sp. 117 Synodus oculeus
russeli
26 Dexcillichthys 72 Nemipterus 118 Synodus sp.
muelleri hexodon
27 Diodon hystrix 73 Nemipterus 119 Terapon jarbua
japonicus
28 Drepane 74 Nemipterus 120 Terapon therap
longimana mesoprion
29 Drepane 75 Nemipterus 121 Triacanthus nieuhofi
punctata peroni
30 Echeneis sp. 76 Nibea mitskurii 122 Trichiurus savala
31 Ephinephelus 77 Otolites ruber 123 Upheneus bensasi
aerolatus
32 Ephinephelus 78 Oxyconger sp. 124 Upheneus luzonius
sexfaciatus
33 Fistularia 79 Pampus sinensis 125 Upheneus
commersoni mollucensis
34 Formio niger 80 Parachaetodon 126 Upheneus
ocelatus sulphureus
35 Gazza achlamis 81 Parachaetodon 127 Upheneus tragulla
sp.
36 Gazza minuta 82 Parupenaeus 128 Uranoscopus
pleurospilus cognathus
37 Gerres 83 Parupenaeus sp.
filamentossus
38 Gerres kapas 84 Pentapodus
setosus

66
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

No Jenis Demersal No Jenis Demersal No Jenis Demersal


39 Gymnocranius 85 Pentaprion
elongatus longimanus
40 Gymnuria 86 Platax tiera
australis
41 Halichoeres 87 Platycephalus sp.
hartzfeldii
42 Heniochus 88 Piotusus lineatus
acuminatus
43 Hilsa kelee 89 Polidactylus
sectarius
44 Himantura 90 Polinemus
sextaeius
45 Hypocampus sp. 91 Pomadasys
argireus
46 Illisa elongata 92 Pomadasys
kaakan
Tabel 2. Hasil analisis data tangkapan lampara dasar

Pembahasan
Nilai indeks kekayaan jenis (R) berhubungan langsung dengan
jumlah jenis, di mana semakin tinggi indeks R tersebut di suatu lokasi,
semakin banyak jumlah jenis ikan di lokasi tersebut. Modus indeks R
pada lokasi penelitian antara 5 sampai 6, sedangkan nilai R tertinggi
8,7 pada stasiun 9. Nilai ini masuk pada kategori rendah. Alasannya,

67
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

lokasi-lokasi perairan yang memiliki indeks kekayaan yang tinggi


umumnya adalah area terumbu karang, karena memiliki relung ekologi
dan mikro habitat yang beragam dengan kolom air yang relatif lebih
jernih. Contohnya, perairan karang Manterawu, di wilayah Taman
Laut Nasional Bunaken, dengan kisaran Indeks R terendah 11,98 dan
tertinggi 23,59 (Bakosurtanal 2007a).
Dengan memperhatikan nilai indeks R pembanding tersebut,
perairan pantai Balikpapan sampai Kota Baru memiliki kekayaan jenis
yang rendah karena dasar perairan umumnya berlumpur dengan
kekeruhan yang tinggi. Komposisi jenis demersal yang dijumpai pada
perairan tersebut umumnya adalah yang dapat beradaptasi dengan
kondisi dasar perairan pasir lumpur dan sedikit gelap (Tabel 1), di
antaranya yang mendominasi komunitas ikan adalah jenis-jenis dari
suku Leiognathidae (Leiognathus spp, Gazza spp, dan Secutor ruconius),
Gerreidae (Pentaprion spp), Nemipteridae (Nemipterus spp dan
Scolopsis taeniopterus), Platycephalidae (Platycephalus innermis dan
Cociella crocodila), Haemulidae (Pomadasis spp), Mullidae (Upeneus
spp), Bothidae (Bothus sp), Lactaridae (Lactarius lactarius), Carangidae
(Athropus athropus dan Carangoides malabaricus), Lutjanidae (Lutjanus
vitta, L. sabae), Scianidae (Johnius sp), Synodontidae (Synadus spp),
dan Apogonidae (Apogon septemstriatus). Komposisi ikan demersal
tersebut, khusus didominasi suku Leiognathidae, juga dijumpai pada
hasil penelitian oleh Balai Penelitian Perikanan Laut tahun 2004 di
perairan Selat Makassar dan Flores tahun 2004 (Sadhotomo 2004).
Sebagian besar jenis ikan tersebut di atas umumnya penghuni
area estuaria dan pesisir dekat hutan mangrove dan/atau perairan
dangkal neritik yang berlumpur. Pada perairan terumbu karang yang
jernih, seperti beberapa hasil inventarisasi pada beberapa wilayah
perairan karang di hampir semua perairan karang Indonesia bagian
barat, tengah, dan timur, komposisi jenis ikan seperti itu hampir sulit
ditemukan pada area transek karena perbedaan relung ekologi atau
habitat (Bakosurtanal 2007a,b; 2008; Critic-Coremap II, 2007a,b.,
Edrus et al. 2004; Edrus & Leatemia 2004; Tuti et al. 2012a,b), sehingga
dapat diasumsikan bahwa jenis-jenis tersebut adalah penghuni spesifik
perairan pasir berlumpur dengan kolom air yang sedikit gelap. Jenis-
jenis hasil tangkapan ikan demersal yang masih mungkin ditemukan

68
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

pada perairan terumbu karang yang relatif jernih antara lain kerapu
(Cephalopolis boenack, Ephinephelus aerolatus, E.sexfasciatus),
buntal (Diodon hystrix), kakap (Lutjanus vitta dan Lutjanus sabae),
kepe-kepe (Heniochus acuminatus, Parachaetodon ocelatus), kembel
(Platax tiera), sembilang karang (Plotosus lineatus), swanggi malam
(Priacanthus tayenus), pasir-pasir (Scolopsis spp), baronang (Siganus
canaliculatus), barakuda (Sphyraena baracuda dan S.jellow), serta
biji nangka (Upheneus tragulla). Keberadaan jenis ikan ini dapat
diasumsikan bahwa di perairan Balikpapan dan Kota Baru masih
dijumpai adanya onggokan atau tandes karang dalam (path reefs).
Perairan berlumpur dengan kekeruhan yang tinggi sebagai akibat
pengaruh muara-muara sungai tergolong area yang kurang baik sebagai
habitat bagi ikan-ikan karang pada umumnya, karena terumbu karang
tidak dapat berkembang. Dasar perairan yang berlumpur seperti
itu dapat diadaptasi oleh ikan demersal tertentu dan membentuk
distribusi dan struktur komunitas tersendiri serta umumnya berukuran
kecil, karena bagian dari pertahanan diri pada kolom air yang sedikit
gelap (Mallela et al. 2007), seperti jenis-jenis yang disajikan pada
Tabel 1 yang umumnya berukuran kecil. Pada kondisi berlumpur, jenis
ikan tertentu seperti dari suku Leiognathidae yang bertubuh keperak-
perakan mampu berkembang dengan baik dan mendominasi populasi
yang ada dalam komunitas ikan demersal.
Rendahnya nilai indeks keanekaragaman (H < 3) di hampir semua
lokasi penangkapan adalah indikasi dari kondisi lingkungan yang
ekstrem dengan pengaruh sungai-sungai besar, seperti ditandai oleh
adanya dominasi ikan tertentu yang mampu bertahan pada kondisi
seperti itu. Distribusi dari jumlah individu masing-masing populasi
tidak seimbang karena adanya dominasi tersebut dan jumlah jenis juga
rendah pada masing-masing lokasi penangkapan. Kedua hal tersebut
dianggap sebagai penyebab dari rendahnya nilai indeks H di hampir
semua lokasi penelitian. Secara alamiah, kekeruhan yang tinggi sebagai
akibat dari adanya sedimentasi dapat mengurangi keanekaragaman
ikan (Amesbury 1981). Ikan secara potensial dapat berguna sebagai
indikator awal dari lingkungan yang mengalami tekanan karena sifat
mobilitas ikan memberikan kesempatan kepada ikan untuk melarikan
diri dari area di mana kualitas lingkungan menurun. Lebih jauh Amesbury

69
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

(1981) menyatakan bahwa jenis ikan karang, terutama jenis-jenis yang


bertahan pada teritorialnya atau menyandarkan aktivitasnya pada
ruang yang terbatas, akan terus menempati habitat dengan tingkat
turbiditas air yang tinggi. Pada tempat-tempat di mana sedimentasi
secara signifikan terakumulasi dan coral sebagai substrat terkubur
dapat berdampak sangat buruk dan merugikan kelompok ikan karang.
Dampaknya dapat berupa penurunan kekayaan dan keanekaragaman
jenis, serta penurunan kelimpahan individu ikan karang.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Kekayaan jenis ikan demersal di perairan Balikpapan sampai Kota
Baru tergolong rendah dengan modus nilai R 5 dan 6.
Indeks keanekaragaman jenis ikan tergolong rendah sampai
sedang dengan nilai kurang dari 3.
Komposisi jenis ikan demersal yang tertangkap menunjukkan lebih
banyak jenis-jenis ikan yang mampu beradaptasi pada kondisi ekstrem
perairan dengan dasar lumpur dan kekeruhan yang tinggi.
Tertangkapnya jenis-jenis ikan yang memiliki afinitas tinggi pada
karang menunjukkan bahwa masih terdapat adanya sedikit onggokan
karang atau tandes pada perairan Balipapan dan Kota Baru.
Saran
Sebagian besar (95%) tangkapan lampara dari perikanan udang
adalah ikan demersal yang diperhitungkan sebagai hasil samping, di
mana pada umumnya ikan karang yang tertangkap masih berukuran
kecil dan juga sebagian besar masih memiliki nilai ekonomis tinggi.
Peningkatan kapasitas perikanan udang menyebabkan peningkatan
beberapa kali lipat pada hasil samping berupa ikan demersal, yang
masih juvenil. Oleh karena itu perlu adanya regulasi penangkapan
untuk memberikan kesempatan bagi pengembangan sediaan stok ikan
demersal.

70
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

Ikan-ikan yang dominan tertangkap umumnya koloni dari suku


Leiognathidae yang berukuran kecil tetapi dalam jumlah produksi
yang luar biasa, sehingga perlu pengembangan pascapanen yang
lebih serius dan terbentuknya integrasi antara industri penangkapan
dengan industri pengolahan produk jadi yang bersifat massal dan lebih
memenuhi permintaan pasar, seperti pengolahan tepung ikan.

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian
Pengkajian Stok dan Distribusi Sumber Daya Ikan Demersal dan Biota
Lainnya di Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, T.A. 2011, di
Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-Jakarta.

Daftar Pustaka
Allen, G., 2000. Marine Fishes of South-East Asia, Periplus Editions
(Hk) Ltd, Singapore.
Amesbury, S. S. (1981). Effects of turbidity on shallow-water reef fish
assemblages in Truk, Eastern Caroline Islands. Proceedings of the
Fourth International Coral Reef Symposium, Manilla 1, 155–159.
Bakosurtanal, 2007a. Sumberdaya Alam Pulau Kecil Terluar - Pulau
Manterawu. Publs. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut,
Bakosurtanal, Cibinong.
Bakosurtanal, 2007b. Sumberdaya Alam Pulau Kecil Terluar
Pulau Makalehi. Publs. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut,
Bakosurtanal, Cibinong.
Bakosurtanal, 2008. Pulau Marore, Pulau Kawio Gerbang Utara
Nusantara. Publs. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut,
Bakosurtanal, Cibinong.
Critic-Coremap II, 2007a. Baseline Ekologi Buton, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Critic-Coremap II, 2007. Baseline
Ekologi Wakatobi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.

71
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Critic-Coremap II, 2007b. Baseline Ekologi Natuna. Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Edrus, I.N., Suprapto, & I. Suprihanto. 2004. Komunitas Ikan Karang
di Perairan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dalam : Ekologi
& Potensi Sumber Daya Perikanan Lembata NTT, Pusat Riset
Perikanan Tangkap, DKP
Edrus, I.N. & W.F. Leatemia. 2004. A Study on Coral Reefs and Coral
Fish in Watubela Islands, East Ceram, Molluccas. Indonesian
Fisheries Research Journal Vol. 10 No. 1, 2004.
Kailola PJ, Tarp TG. 1984. Trawled fishes of southern Indonesia and
northwestern Australia. Australian Development Assistance
Beureau. Directorate General of Fisheries – Indonesia. German
Agency for Technical Cooperation.
Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and Its Measurements,
Princeton University Press, p.179.

Mallela, J., Roberts, C., Harrod, C. & Goldspink, C. R. (2007).


Distributional patterns and community structure of Caribbean
coral reef fishes within a river-impacted bay. Journal of Fish
Biology 70, 523-537.
Mansoor.M.I., H. Kohno, Ida, H.T. Nakamura, Z. Asnan & S. Abdullah.
1998. Field guide to important commercial marine fishes of the
South China Sea. SEAFDEC MFRDMD/SP/2
Putra, U.N.S.S. 2011. Manajemen Kualitas Air pada Kegiatan
Perikanan Budidaya. Kertas Kerja Balai Budidaya Air payau
Takalar, disampaikan dalam Apresiasi Pengembangan Kapasitas
Laboratorium, 16 - 18 Maret 2011 di Hotel Ammans Ambon
Manise, Ambon.
Sadhotomo, B. 2004. Bio-ekologi pelagis besar dan demersal di laut
Flores, Selat Makasar dan sekitarnya. Laporan Tahunan, Balai
Penelitian Perikanan Laut Jakarta.
Tuti, Y., S.R. Suharti, dan A.Salatalohi. 2012a. Pemantauan Kesehatan

72
Keanekaragaman Ikan Demersal di Perairan Sekitar Balikpapan dan Kota Baru

Terumbu Karang Kabupaten Buton 2011. Seri Reef Health


Monitoring, CRITC - COREMAP – LIPI, Jakarta.
Tuti, Y., S.R. Suharti, dan A.Salatalohi. 2012b. Pemantauan Kesehatan
Terumbu Karang Kabupaten Wakatobi 2011. Seri Reef Health
Monitoring, CRITC-COREMAP – LIPI, Jakarta.

73
6
KOMPOSISI UKURAN DAN PARAMETER
PERTUMBUHAN IKAN MALALUGIS (Decapterus
macarellus) DI SELAT MAKASSAR
Oleh
Achmad Zamroni1), Moh. Fauzi1) dan Hari Ilhamdi1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Ikan malalugis merupakan salah satu sumber daya ikan pelagis
kecil yang mempunyai tingkat eksploitasi tinggi. Ikan tersebut selain
dikonsumsi juga dimanfaatkan sebagai umpan bagi perikanan tuna
long line. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi ukuran
serta pertumbuhan dari ikan malalugis dari Selat Makassar yang
didaratkan di TPI Paotere, Makassar. Pengambilan data berupa
pengukuran panjang cagak dilakukan setiap bulan dari Februari 2011
sampai Desember 2011. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kisaran
ukuran kelas panjang cagak (fork length) yang diperoleh selama
penelitian adalah dari 5 – 31,5 cm. Nilai panjang maksimum yang
diperoleh adalah 34,25 cm dan koefisien laju pertumbuhan adalah
sebesar 0,75 per tahun. Nilai mortalitas total sebesar 2,27 dengan nilai
mortalitas alami sebesar 1,14 dan nilai mortalitas akibat penangkapan
sebesar 1,13. Untuk nilai tingkat pemanfaatan dari ikan malalugis yang
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

diperoleh yaitu sebesar 0,50. Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) =


5,49 cm.
Kata kunci: ikan malalugis, komposisi ukuran, selat makassar

Pendahuluan
Perairan Selat Makassar termasuk dalam WPP-RI 713 yang
memiliki sumber daya ikan melimpah dan beraneka ragam. Dari data
produksi tahun 1999-2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi
dan jumlah nelayan untuk melakukan penangkapan ikan, baik dari
ikan pelagis besar maupun pealgis kecil. Seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan kebutuhan pangan dan gizi yang lebih baik
sangat memacu tingginya permintaan masyarakat pada kebutuhan
konsumsi ikan. Permintaan ikan yang meningkat tentu berpengaruh
positif bagi peningkatan pendapatan nelayan, tetapi perlu disadari
bahwa peningkatan permintaan sumber daya tersebut selalu diikuti
tekanan untuk melakukan eksploitasi semakin intensif.
Salah satu sumber daya ikan pelagis kecil yang penting dan bersifat
strategis adalah spesies ikan malalugis (Decapterus macarellus).
Disamping dikonsumsi lokal, jenis ikan momar/malalugis (Decapterus
macarellus) telah dimanfaatkan sebagai ikan umpan bagi perikanan
tuna long line sejak tahun 1990-an (Yusuf & Hamzah 1990); produksi
ikan momar tahun 1989 di sekitar Ambon sebesar 6571 ton. Sumber
daya ini telah dimanfaatkan sejak lama oleh perikanan tradisional
(purse seine mini, bagan, payang). Berdasarkan statistik perikanan
wilayah, dugaan hasil tangkapan lestari (MSY) ”stok” ikan layang
(Decapterus) yang tersebar di Laut Banda, sekitar Pulau Buru, Seram,
Halmahera, Ternate, dan Bacan sebesar 5500 ton dengan tingkat
pemanfaatan telah mencapai 98%. Berdasarkan statistik perikanan
Indonesia, estimasi potensi perikanan pelagis Laut Banda sebesar 236
ribu ton/tahun, di mana kelompok ikan pelagis kecil kira-kira sebesar
132 ribu ton/tahun atau sekitar 60% dari total ikan pelagis dengan rata-
rata produksi sebesar 146 ribu ton/tahun; tingkat pemanfaatan saat
itu diperkirakan telah mencapai lebih dari 100% (Anonimous 2001).
Sebelumnya, Dwiponggo (1987) melaporkan ”potential yield” sumber

76
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

daya pelagis kecil sebesar 0,55 ton/km2/a. Di lain pihak, berdasarkan


ecological analogue Dalzell & Pauly (1989) memperoleh nilai ”potential
yield” sebesar 2,10 ton/km2/a, di mana saat itu eksploitasi masih sangat
rendah (unharvestable karena unmarketable). Beberapa kajian biologi
telah dilaporkan oleh Yusuf & Hamzah (1990), Sumadiharga (1993),
Sumadiharga & Hukom (1991), Andamari & Zubaidi (1994), Syahilatua
et al. (1994), dan Syam et al. (2003).
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, diperlukan kajian
mengenai komposisi ukuran dan parameter pertumbuhan dari ikan
malalugis di perairan Selat Makassar. Dengan harapan pemanfaatan
ikan malalugis di Selat Makassar dapat berlangsung dan kelestariannya
dapat terus dipertahankan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji komposisi ukuran serta pertumbuhan dari ikan malalugis
yang didaratkan di TPI Paotere, Makassar.

Bahan dan Metode


Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan malalugis
(Decapterus macarellus), kertas ukur (measuring paper), pensil 2B,
atau jarum (berukuran besar).
Metode
Penelitian dilalukan di TPI Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan
selama bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.
Sampel ikan diperoleh dari armada penangkap ikan (purse seine) yang
beroperasi di perairan Selat Makassar dan mendarat di TPI Paotere,
Makassar. Pengukuran panjang cagak ikan (length frequency) dilakukan
setiap bulan dari bulan Februari hingga Desember 2011.
Kelompok umur ikan diduga dengan menggunakan metode
frekuensi panjang yang dikemukakan oleh Battacharya (1967 dalam
Sparre dan Venema 1999). Kelompok umur yang terbentuk ditandai
oleh puncak-puncak dari diagram distribusi frekuensi panjang beserta
diagram distribusi normalnya. Jumlah puncak dari diagram distribusi
normal yang terbentuk menunjukkan jumlah kelompok umur yang

77
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

ada dalam populasi. Pendugaan kelompok umur dilakukan dengan


bantuan program Fish Stock Assessment Tool (FISAT) II.
Mortalitas dalam penelitian ini meliputi mortalitas alami (M),
mortalitas total (Z) dan mortalitas penangkapan (F). Mortalitas alami
diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984). Mortalitas
total diduga dengan menggunakan rumus Beverton dan Holt (Sparre
dan Venema 1999) sebagai berikut.


Hubungan antara mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas
penangkapan adalah Z = M + F; sedangkan laju eksploitasi diduga
dengan menggunakan rumus Baranov (Sparre dan Venema 1999)
sebagai berikut.


E =


Hasil dan Pembahasan
Komposisi ukuran ikan malalugis yang didaratkan di TPI Paotere
Makassar selama periode Februari 2011 sampai Desember 2011
sangat bervariasi. Kisaran ukuran kelas panjang cagak (fork length)
yang diperoleh adalah dari 5 – 31,5 cm (Gambar 1). Pada Gambar 1
diketahui bahwa dari hasil pengukuran diperoleh tiga modus/puncak
ukuran, yaitu pada kelas ukuran panjang 9,5 – 10 cm, 15,5 – 16 cm
dan 24,5 – 25 cm, dengan modus tertinggi terdapat pada kelas ukuran
panjang 24,5 – 25 cm dengan jumlah individu sebesar 338 ekor. Akan
tetapi, dua modus ukuran yang lain termasuk dalam ukuran ikan
yang masih muda (sub-adult) atau di bawah nilai panjang pertama
kali matang gonad. Menurut Fauzi et al. (2012) panjang pertama kali
matang gonad ikan malalugis yang didaratkan di TPI Paotere adalah
20,39 cm. Bisa dikatakan bahwa ikan malalugis yang didaratkan di TPI
Paotere didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran muda.

78
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

Gambar 1. Komposisi ukuran panjang ikan malalugis bulan Februari –


Desember 2011

79
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

80
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

81
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 2. Sebaran ukuran panjang bulanan ikan malalugis dari bulan


Februari – Desember 2011

82
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

Pada Gambar 2 terlihat kelas panjang ikan malalugis dari hasil


pengamatan pada bulan Februari 2011 hingga Desember 2011 mengalami
pergeseran modus ke arah kanan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan
malalugis mengalami pertumbuhan. Pada waktu pengambilan data
sebagian ikan yang tertangkap masih berumur muda, karena masih
terdapat ikan yang berukuran kecil (kurang dari 17 cm). Ikan akan
mengalami pertumbuhan seiring dengan bertambahnya waktu. Hal
ini disebabkan adanya faktor makanan, kualitas air, umur, dan jenis
kelamin (Effendie 2002). Kecepatan pertumbuhan ikan muda relatif
lebih cepat dibandingkan ikan yang sudah besar. Hal ini disebabkan
ikan besar lebih menggunakan energinya untuk perkembangan
gonadnya dibandingkan untuk pertumbuhan tubuhnya (Brojo dan Sari
2002). Pada bulan-bulan tertentu diperoleh beberapa modus dan juga
ada pergeseran modus ke arah kiri, hal ini diduga karena ikan tersebut
mengalami rekrutmen. Rekrutmen adalah masuknya individu baru
karena ikan-ikan dewasa telah melakukan pemijahan.
Parameter populasi diperoleh dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak Fisat. Dari hasil analisis diperoleh nilai panjang
asimptotik/maksimum (L∞) ikan malalugis adalah 34,25 cm. Nilai L∞
pada penelitian ini masih dalam kisaran nilai L∞ di perairan Teluk Tomini
yaitu sekitar 33 – 36 cm (Anonimus 2005), serta tidak berbeda jauh
dengan nilai L∞ di perairan Kendari yang lokasinya tidak begitu jauh
dari Selat Makassar, yaitu sekitar 35,98 cm (Hariati 2011). Nilai L∞ ikan
malalugis yang lebih tinggi ditemukan pada perairan Samudera Hindia,
yaitu 41,2 cm. Nilai konstanta pertumbuhan (K) yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah sebesar 0,75 pertahun. Nilai K yang diperoleh ini
lebih kecil dari nilai K di perairan Teluk Tomini (1 – 1,1), hal ini diduga
L∞ di perairan Teluk Tomini cenderung lebih pendek.
Gambar 3 merupakan kurva pertumbuhan ikan malalugis dengan
daerah penangkapan perairan Selat Makassar yang didaratkan di
TPI Paotere, Makassar. Dalam gambar tersebut diperoleh petunjuk
bahwa musim pemijahan ikan malalugis diduga berlangsung sekitar
bulan Oktober. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan Hariati
(2011) yang menyebutkan bahwa musim pemijahan ikan malalugis
di perairan Kendari terjadi pada bulan Oktober. Dugaan ini diperkuat
dengan hasil pengamatan gonad yang dilakukan oleh Suwarso et al.

83
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

(2008) bahwa musim pemijahan ikan layang di perairan Laut Cina


Selatan berlangsung dari akhir musim timur (bulan Agustus) berlanjut
hingga musim peralihan 2 (bulan September sampai November).

Gambar 3. Kurva pertumbuhan ikan malalugis D. macarellus yang


tertangkap perairan selat Makassar tahun 2011
Nilai kematian (mortalitas) total (Z) diperoleh dengan menggunakan
metode Elefan, nilai mortalitas total dari ikan malalugis di Paotere,
Makassar sebesar 2,27; nilai mortalitas alami (M) sebesar 1,14; dan
nilai mortalitas akibat penangkapan (F) sebesar 1,13 (Gambar 4). Nilai
mortalitas alami dan nilai mortalitas akibat penangkapan ikan malalugis
tidak berbeda secara signifikan, berarti terjadi keseimbangan antara
nilai kematian alami dengan nilai kematian akibat penangkapan.
Dengan spesies yang sama, nilai Z dalam penelitian ini tidak berbeda
jauh dengan nilai Z diperairan Tomini dan perairan Kendari, bahkan
nilai M dan F cenderung lebih rendah dibandingkan kedua perairan
tersebut. Rendahnya nilai-nilai kematian pada penelitian ini
menyebabkan tingkat pemanfaatan (E) juga rendah, yaitu sekitar
0,50. Nilai E dalam penelitian ini juga sama dengan nilai E di perairan
Teluk Tomini dan Kendari. Rendahnya nilai E ini diduga sampel yang
diperoleh dari penelitian ini tidak mewakili perairan Selat Makassar
secara keseluruhan, tetapi hanya di perairan sekitar TPI Paotere (Selat
Makassar bagian selatan).

84
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

Gambar 4. Kurva penangkapan dan parameter kematian ikan malalugis


di perairan Selat Makassar tahun 2011

Kesimpulan
Kisaran ukuran kelas panjang cagak (fork length) yang diperoleh
selama penelitian adalah dari 5 – 31,5 cm dengan modus yang
tertinggi terdapat pada kelas ukuran panjang 24,5 – 25 cm. Nilai
panjang maksimum yang diperoleh adalah 34,25 cm dan koefisien
laju pertumbuhan adalah sebesar 0,75 per tahun. Nilai mortalitas
total sebesar 2,27 dengan nilai mortalitas alami sebesar 1,14 dan
nilai mortalitas akibat penangkapan sebesar 1,13. Untuk nilai tingkat
pemanfaatan dari ikan Malalugis yang diperoleh yaitu sebesar 0,50.

Persantunan
Penelitian ini merupakan sebagian hasil dari kegiatan penelitian
APBN tahun 2011 berjudul “Penelitian potensi, distribusi-kelimpahan

85
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dan biologi ikan pelagis kecil di WPP 713 (Selat Makassar – Laut Flores
– Teluk Bone) dan WPP 714 (Laut Banda – Teluk Tolo)”.

Daftar Pustaka
Andamari, R. T. Zubaidi. 1994. Some aspect of reproductive biology
of Decapterus macarellus in Banda Island, Maluku. Presented in
the Workshop on Biology, Dynamic and Exploitation of the Small
Pelagic Fishes in the Java Sea. Bogor, 21-22 March 1994. Java Sea
Pelagic Fishery Assessment Project, 12 p.
Anonimus. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Pusat
Riset Perikanan Tangkap, BRKP-DKP dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta
Anonimus. 2005. Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, Profil
Perikanan dan Biologi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting. Balai
Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus
tambuloides Blkr.) yang didaratkan di tempat pelelangan ikan
Labuan, Pandeglang. Jurnal Iktiologi Indonesia 2(1) : 9-13.
Dalzell, P. and D. Pauly. 1989. Assessment of the fish resources of
Southeast Asia, with emphasis on the Banda and Arafura Seas.
Netherlands J. Sea Research, 24(4): 641-650.
Darayatne, P. 1997. Review of small pelagic fishes of Sri Lanka. In
Devaraj, M & P. Martosubroto (Eds.) Small pelagic fishes in Asia-
Pasific region. Proceeding of th APFIC Working Party on Marine
Fishes. 1st Session 13 -15 May 1997. Bangkok. Thailand.
Dwiponggo, A. 1987. Indonesia’s marine fisheries resources. In: C.
Bailey, A. Dwiponggo & F. Marahudin. Indonesian Marine Capture
Fisheries. ICLARM. Studies and Review 10: 10-63.
Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Yogyakarta.
Fauzi, Moh., Suwarso, Yahya, F. 2012. Biologi Reproduksi dan Dugaan

86
Komposisi Ukuran dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar

Musim Pemijahan Ikan Malalugis (D. macarellus) di Selat Makassar,


Laut Flores dan Laut Banda. Bunga Rampai BPPL.
Hariati, Tuti. 2011. Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang Abu-abu
(Decapterus macrosoma) dan Layang Biru (Decapterus macarellus)
dari Perairan Kendari. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.
17. No.1.
Pauly, D., 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters: A
Manual for Use With Progremmable Calculators ICLARM Stud.
Rev., (8):325 p.
Sparre, P. E dan S C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis. Buku I Manual. Badan Penelitian dan Pengembangn
Perikanan. Terjemahan Introduction to Tropical Fish Stock
Assessment. FAO Fish Tech. Paper.
Sumadiharga, K. 1993. Reproduksi dan makanan ikan momar putih
(Decapterus macrosoma) di Teluk Ambon. Seminar Nasional
Biologi XI, Ujung Pandang.
Sumadiharga, K. dan F. D. Hukom. 1991. Penelitian beberapa aspek
biologi ikan kawalinya (Selar crumenophthalmus) di perairan Pulau
Ambon dan sekitarny, perairan Maluku dan sekitarnya. Balitbang
Sumberdaya Laut P3O-LIPI. Ambon. P31-37.
Suwarso, A. Zamroni & Wudianto. 2008. Biologi reproduksi dan
dugaan musim pemijahan ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14(4): 379-390
Syahilatua, A., F. D. Hukom dan A. Suwartana. 1994. Struktur populasi
ikan kawalinya (Selar crumenophthalmus) di Teluk Ambon
berdasarkan parameter morfometrik di perairan Maluku dan
sekitarnya. Balitbang Sumberdaya Laut P3O-LIPI Ambon, 8: 43-
48.
Syam, A. R., R. Andamari dan T. Zubaidi. 2003. Aspek biologi ikan
kawalinya (Selar crumenophthalmus) di perairan sekitar Maluku
Tengah dan Maluku Utara. JPPI, 9(3): 63-72.
Yusuf, S. A. dan M. S. Hamzah. 1990. Pengaruh musim terhadap
produksi ikan momar (Decapterus sp.) dikaitkan dengan kondisi

87
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

hidrologi di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Jurnal Pen.


Perikanan Laut, 79, 40-46. Pross. Simposium Perikanan Indonesia
I. Buku II: Bidang Sumberdaya Perikanan dan Penangkapan.
Puslitbang Perikanan, 93-101.

88
7
DISTRIBUSI IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT
MAKASSAR BAGIAN SELATAN
Oleh
Rodo Lasniroha1), Asep Priatna1) dan Suwarso1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi spasial
kepadatan serta biomassa ikan pelagis dan hubungannya dengan
kondisi fisik perairan pada musim timur di Selat Makassar bagian
selatan berdasarkan sampling akustik pada bulan Juni 2011. Data
target strength menunjukkan bahwa ikan pelagis dengan ukuran kecil
(target strength  < –51 dB) paling banyak didapati pada area survei,
terutama pada strata kedalaman 0–75 m. Hal ini mengindikasikan
bahwa target yang terdeteksi merupakan ikan pelagis kecil yang
rata-rata mempunyai ukuran 5 sampai 15 cm. Sebaran densitas ikan
pelagis kecil Selat Makassar bagian selatan menunjukkan nilai terbesar
terdapat pada strata kedalaman 50-75 m, dengan densitas rata-rata
232 ikan/1000 m³. Sementara densitas terkecil terdapat pada strata
kedalaman 75-100 m dan 100-125 m, dengan densitas rata-rata 5
ikan/1000 m³. Pada seluruh strata kedalaman densitas ikan yang
lebih tinggi dijumpai pada bagian selatan area survei, terutama di
bagian utara Kepulauan Spermonde. Terkonsentrasinya densitas ikan
yang tinggi pada daerah ini diduga karena dekat dengan Kepulauan
Spermonde yang didominasi oleh terumbu karang, sehingga
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

menyebabkan lingkungan perairan ini disukai ikan, karena tersedianya


pasokan makanan yang melimpah. Estimasi biomassa ikan pelagis kecil
memperlihatkan nilai terbesar terdapat pada strata kedalaman 25-50
m, yaitu 15.071 ton, sedangkan biomassa terkecil didapati pada strata
kedalaman 50-75 m, yaitu 8.464 ton. Persentase biomassa ikan pelagis
kecil tertinggi dijumpai pada strata 2 (25-50 m) dan strata 4 (75-100
m), yang total biomassa keduanya mencapai 60% dari total biomassa di
seluruh area survei. Pola sebaran ikan pelagis kecil tersebut cenderung
mengikuti pergerakan arus musim timur serta keberadaan plankton
yang bergerak mengikuti arah arus tersebut.
Kata kunci: akustik, ikan pelagis, densitas, biomassa.

Pendahuluan
Selat Makassar merupakan wilayah yang memiliki karakteristik
habitat yang sangat spesifik dengan kompleksitas masalah yang
relatif tinggi dalam hal pengelolaan sumber daya perikanan. Untuk
itu diperlukan informasi mengenai sumber daya hayati ikan yang
bermanfaat sebagai landasan bagi opsi kebijakan dalam pengelolaan
usaha perikanan. Perairan Selat Makassar bagian selatan yang meliputi
perairan Sulawesi Selatan mempunyai garis pantai sepanjang 2.500
km, dan sebagian besar nelayan di sepanjang pantai Sulawesi Selatan
tersebut memanfaaatkan sumber daya perikanan di wilayah perairan
Selat Makassar dan perairan Laut Flores. Potensi sumber daya
perikanan di perairan Selat Makassar (bagian barat Sulawesi Selatan)
diperkirakan 307.380 ton per tahun (Dinas Perikanan Sulawesi Selatan
2002)
Untuk mendapatkan hasil pendugaan densitas dan ukuran ikan
yang cepat dan relatif akurat, penerapan metode akustik diharapkan
dapat memberikan hasil yang diinginkan. Pengetahuan mengenai
penyebaran atau distribusi ikan sangat berguna untuk menjawab
beberapa pertanyaan sehubungan dengan pencarian ikan dan
pemilihan teknik penangkapan yang sesuai.
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai
kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan

90
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

tersebut. Faktor-faktor lingkungan ini meliputi faktor fisik, kimia, dan


biologi lingkungan (Gunarso 1998). Suhu dan salinitas merupakan
parameter fisika yang penting artinya dalam mempelajari kehidupan
biota laut, perubahan kedua faktor tersebut akan memengaruhi
keadaan organisme di suatu perairan (Laevastu dan Hela 1970).
Penerapan metode akustik yang didukung oleh data lingkungan
perairan diharapkan dapat memberikan hasil pendugaan distribusi
insitu kepadatan dan biomassa ikan.

Bahan dan Metode


Penelitian dilakukan di Selat Makassar bagian tengah dan bagian
selatan pada bulan Juni hingga Juli 2011. Kajian dibagi ke dalam dua
subarea, subarea 1 di lepas pantai Mamuju (pesisir Sulawesi Barat)
dan subarea 2 di lepas pantai Barru hingga Takalar (pesisir Sulawesi
Selatan).
Sarana penelitian adalah kapal nelayan KM. Barru 02. Perangkat
akustik yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIMRAD EY60 yang
beroperasi pada frekuensi 120 KHz. Pengukuran parameter suhu dan
salinitas menggunakan alat CTD-current meter Valeport type 306.

Akuisisi Data
Perekaman data akustik sepanjang alur pelayaran menggunakan
software ER60 yang menghasilkan data dengan format RAW dan
dilakukan pada kolom perairan dengan kedalaman berkisar antara
0-150 meter. Pengambilan data suhu dan salinitas, yaitu pada titik-
titik pengambilan sampel dan disesuaikan dengan kedalaman perairan
menghasilkan 20 stasiun oseanografi seperti tampak pada Gambar 1.

Pengolahan dan Analisis Data


Target yang terdeteksi oleh akustik pada kolom perairan
dinyatakan dalam nilai integrator area back scattering coefficient
(SA) dengan satuan m2/nmi2 dan sebaran nilai target strength (TS)
yang menunjukkan variasi dari ukuran ikan dalam unit dB. Indeks
kelimpahan digambarkan berdasarkan nilai densitas absolut akustik
yang dinyatakan dalam ekor/1000.

91
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Target strength ikan mempunyai hubungan yang setara dengan


backscaterring cross section (σbs). Menurut persamaan Burcynzki &
Johnson (1986), nilai rata-rata target strength dapat diperoleh dengan :
TS = 10 log σbs ..................................................................... (1)
Perhitungan densitas ikan menurut MacLennan & Simmonds
(1992) :
1. Lahan densitas (fish/nmi2)
ρA = SA / σbs ..................................................................... (2)
2. Volume densitas (fish/1000m3) dapat diperoleh :
ρV = ρA (r2 - r1) ..................................................................... (3)
di mana :
1 nmi = 1.852 m
r1 dan r2 = batas strata kedalaman (m)
Guna menghindari bias pada permukaan transducer, pengolahan
data akustik untuk pendugaan ikan pelagis dimulai dari kedalaman 5
meter. Teknik analisis data dengan metode kriging. Hasil ditampilkan
dalam bentuk sebaran horizontal-spasial sehingga dapat dilihat pola
sebarannya secara geografis.
Konversi nilai target dan panjang dugaan menjadi nilai dugaan
biomassa digunakan persamaan hubungan panjang-berat. Dalam hal
ini, untuk ikan pelagis kecil digunakan persamaan hubungan panjang-
berat ikan malalugis (Decapterus macarellus), merupakan jenis yang
dominan tertangkap pukat cincin (kira-kira 70% dari hasil tangkapan).
Persamaan hubungan panjang-berat ikan malalugis (Decapterus
macarellus) adalah
W = 0.006 L3.200 ………………………………………………........………....... (4)
di mana : L adalah panjang cagak (Fork-length, dalam cm),
W adalah berat (dalam gram).

92
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Estimasi biomassa dilakukan dengan metode konversi panjang


berat menurut Mac Lennan & Simmonds (1992), dengan rumus berikut
(untuk hubungan panjang berat W = a Lb).
i
Wt = a { ∑
1
{ ni (Li + ∆L/2)b+1 - (Li - ∆L/2)b+1 } / {(b+1) ∆L}}....... (5)
Kondisi suhu dan salinitas ditampilkan dalam bentuk profil
mendatar per strata kedalaman, sehingga dapat dilihat pola sebarannya.
Analisis meliputi interpretasi visual berbasis pada presentasi grafikal
merupakan dasar bagi penafsiran data dan penyusunan informasi.

Gambar 1. Trek akustik dan stasiun oseanografi

93
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Hasil dan Bahasan


Distribusi Densitas dan Ukuran Ikan Pelagis
Densitas absolut rata-rata ikan pelagis berbeda menurut strata
kedalaman (Tabel 1). Perbedaan strata kedalaman memperlihatkan
nilai rata-rata densitas absolut yang berbeda pula. Densitas absolut
rata-rata terbesar ditemukan pada kedalaman 50-75 m (232 ikan/1000
m³), sedangkan pada kedalaman 75–150 m ditemukan densitas yang
rendah. Hal ini berarti gerombolan ikan terkonsentrasi pada kolom
perairan bagian atas hingga kedalaman 75 m. Karakteristik massa air di
kedalaman 50-75 m yang cocok untuk ikan pelagis kecil, diperkirakan
menjadi penyebab tingginya nilai densitas pada strata kedalaman
tersebut, seperti terlihat pada Gambar 3 dan 6.

Tabel 1. Rata-rata densitas absolut ikan pelagis


Strata Kedalaman (m) Volume Densitas (ikan/1000 m3)
0-25 14
25-50 107
50-75 232
75-100 5
10-125 5
125-150 6
Distribusi Densitas Ikan Pelagis
Kondisi dan sifat perairan Selat Makassar sangat dipengaruhi oleh
angin musim. Pada bulan Juni sampai Agustus bertiup angin muson
timur (Wyrtki 1961). Pergerakan arus terutama arus permukaan
sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim muson (Nontji 1987).
Hal ini memengaruhi penyebaran dan pergerakan ikan pelagis kecil
di wilayah tersebut. Terlebih ukuran ikan yang rata-rata relatif kecil
yang biasanya membentuk suatu gerombolan (schooling), sehingga
cenderung bergerak mengikuti arus.
l Subarea 1

Berdasarkan nilai-nilai densitas yang diperoleh pada Gambar 2,


schooling ikan pelagis kecil yang cukup besar ditemukan terutama

94
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

pada strata kedalaman 0-25 m, terutama pada bagian utara subarea 1.


Sementara pada strata kedalaman di bawahnya, schooling ikan yang
dijumpai relatif kecil. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi lingkungan
pada lokasi tersebut, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 2. Distribusi mendatar densitas ikan pelagis pada subarea 1


pada strata (a) 0 – 25 m; (b) 25 – 50 m; (c) 50 – 75 m; (d)
75 – 100 m; (e) 100 – 125 m; (f) 125 – 150 m
Hasil pengamatan suhu dari survei eksplorasi pada subarea 1
(bagian utara daerah penelitian; pesisir Sulawesi Barat), menunjukkan
bahwa di area tersebut memiliki lapisan termoklin di kedalaman 50 -
150 meter. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan profil menegak suhu
di subarea 1 pada Gambar 3. Suhu permukaan mempunyai nilai yang
lebih rendah di bagian pantai dan cenderung meningkat ke arah luar.

95
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Sebaran menegak (vertikal) salinitas hasil pengukuran insitu pada


subarea 1 menunjukkan pola yang hampir sama dengan sebaran
menegak suhu, di mana pada kedalaman 50-150 m terjadi penurunan
nilai salinitas yang cukup signifikan seiring dengan bertambahnya
kedalaman.

Gambar 3. Sebaran menegak suhu dan salinitas di subarea 1


l Subarea 2

Berdasarkan nilai-nilai densitas yang diperoleh pada Gambar 4,


schooling ikan pelagis kecil yang besar ditemukan terutama pada strata
kedalaman 25 hingga 75 m. Pada seluruh strata kedalaman densitas
ikan yang tinggi dijumpai pada bagian selatan Selat Makassar, terutama
di bagian utara dari Kepulauan Spermonde. Terkonsentrasinya
densitas ikan yang tinggi pada daerah ini diduga karena dekat dengan
Kepulauan Spermonde yang didominasi oleh terumbu karang,
menyebabkan lingkungan perairan ini disukai ikan. Karena tersedianya

96
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

pasokan makanan yang melimpah, densitas ikan menjadi tinggi, yang


diindikasikan dengan tingginya kelimpahan plankton pada daerah
tersebut, seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Distribusi mendatar densitas ikan pelagis pada subarea 2


pada strata (a) 0 – 25 m; (b) 25 – 50 m; (c) 50 – 75 m; (d)
75 – 100 m; (e) 100 – 125 m; (f) 125 – 150 m
Sebaran kelimpahan fitoplankton dan zooplankton seperti
tertera pada Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi kelimpahan
fitoplankton dan zooplankton terbesar berada di sebelah selatan Teluk
Majene, sedangkan terendah ada di bagian utara, tepatnya sebelah
barat Mamuju. Wilayah Selat Makassar bagian selatan ini memiliki
produktivitas yang tinggi, mengingat proses upwelling sering terjadi
di daerah pertemuan arus antara Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut
Flores, terlihat dari produksi perikanan yang cukup tinggi (Sumiono et
al. 2010).

97
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Suhu yang lebih rendah dan terutama salinitas yang lebih tinggi
pada bulan Juli/Agustus karena dalam bulan-bulan tersebut (muson
timur) daerah perairan ini telah dipengaruhi oleh air bersalinitas tinggi
dari timur selain adanya penaikan air upwelling berskala kecil di daerah
perairan ini (Ilahude 1978). Upwelling menyebabkan suatu perairan
kaya akan unsur hara, sehingga ikan akan mengumpul pada daerah
tersebut. Secara umum, distribusi mendatar densitas ikan pelagis
memperlihatkan bahwa pada subarea 2 (pesisir Sulawesi Selatan)
mempunyai nilai densitas yang lebih besar dibandingkan dengan pada
subarea 1 (pesisir Sulawesi Barat). Hal ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh Sadhotomo et.al. (2004), pada penelitian dengan akustik
tahun 2004 yang meliputi 3 kabupaten, yaitu perairan Kabupaten
Pangkep, perairan Kabupaten Maros, dan perairan Kabupaten Takalar.
Pada penelitian tersebut didapati target ikan pelagis terbanyak
terdeteksi di strata kedalaman 30-80 m, dengan kepadatan tertinggi
terdapat di perairan Kabupaten Takalar yaitu 0,39 ton/km2, yang
berada di sebelah selatan area survei.

(a) (b)
Gambar 5. Sebaran spasial kelimpahan (a) fitoplankton dan (b)
zooplankton di perairan Selat Makassar

98
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Suhu yang lebih rendah dan terutama salinitas yang lebih tinggi
juga diperlihatkan pada Gambar 6, karena pada wilayah ini sering
terjadi upwelling kecil. Hasil pengamatan suhu dari survei eksplorasi
menunjukkan bahwa di perairan Selat Makassar memiliki lapisan
termoklin di kedalaman 50 - 150 meter. Penurunan yang cepat dari
salinitas di lapisan haloklin terjadi pada kedalaman 50-150 m, sama
seperti dijumpai pada lapisan termoklin.

Gambar 6. Sebaran menegak suhu dan salinitas di subarea 2


Kondisi yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan pada bulan Juni
(musim timur) arah arus dominan (main stream) ke arah barat daya dan

99
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

terus ke tenggara dan selatan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Wyrtki (1961) bahwa di Selat Makasar arus mengalir secara tetap
sepanjang tahun menuju ke selatan dengan kecepatan yang cukup
tinggi. Arus yang mengalir di area penelitian berkisar antara 0,13 m/
det hingga 0,47 m/det.

Gambar 7. Pola arus permukaan di perairan Selat Makassar pada bulan


Juni
Distribusi Ukuran Ikan Pelagis
Jumlah target menurut strata kedalaman dipresentasikan pada
Tabel 2 dan Gambar 8, sedangkan Tabel 3 dan Gambar 9 menunjukkan
komposisinya (dalam %). Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 8 tersebut,
terlihat target dengan ukuran kecil (target strength  kurang dari –51
dB) paling banyak didapati pada kedalaman 0–75 m, dan nilainya
semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Sementara
untuk target dengan ukuran besar (lebih dari -51 dB) banyak didapati

100
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

pada kedalaman 75-150 m. Ikan pelagis kecil mendominasi target yang


terdeteksi (target strength kurang dari -54 dB).

Tabel 2. Jumlah target ikan pelagis menurut strata kedalaman


Nilai target strength
Strata Total
-60 -57 -54 -51 -48 -45 -42 -39 -36 -33
0-25 10155 3974 1791 914 512 236 116 53 14 3 17770
25-50 89047 46507 16269 4490 1538 737 353 157 75 22 159199
50-75 89817 71095 45460 15590 2637 502 158 92 37 13 225408
75-100 70343 61687 32667 10998 2282 528 200 136 98 61 179047
100-125 28386 38309 25406 8949 2257 722 345 195 76 41 104731
125-150 5495 11019 11743 9414 5181 2137 780 446 256 93 46588

Gambar 8. Jumlah target ikan pelagis pada tiap kedalaman


Secara umum ikan dengan ukuran lebih besar (target strength
lebih besar) lebih banyak terdeteksi pada lapisan massa air yang
lebih dalam, hal ini disebabkan perbedaan swimming layer dari
setiap kelompok ukuran ikan dugaan, ikan dengan ukuran lebih besar
biasanya cenderung berenang di lapisan yang lebih dalam dibanding
ikan ukuran lebih kecil (Tabel 3 dan Gambar 9).

101
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Tabel 3. Komposisi target ikan pelagis menurut strata kedalaman


Nilai Target Strength
Strata
-60 -57 -54 -51 -48 -45 -42 -39 -36 -33
0-25 57,1 22,4 10,1 5,1 2,9 1,3 0,7 0,3 0,1 0,0
25-50 55,9 29,2 10,2 2,8 1,0 0,5 0,2 0,1 0,0 0,0
50-75 39,8 31,5 20,2 6,9 1,2 0,2 0,1 0,0 0,0 0,0
75-100 39,3 34,5 18,2 6,1 1,3 0,3 0,1 0,1 0,1 0,0
100-125 27,1 36,6 24,3 8,5 2,2 0,7 0,3 0,2 0,1 0,0
125-150 11,8 23,7 25,2 20,2 11,1 4,6 1,7 1,0 0,5 0,2

Gambar 9. Variasi komposisi target pada tiap strata kedalaman


Biomassa Ikan Pelagis Kecil
Selama periode tahun 2011 telah dilakukan pengamatan
karakteristik biologi berupa pengamatan panjang dan berat ikan
malalugis (Decapterus macarellus) di Selat Makassar. Berdasarkan
Gambar 10, tampak bahwa di Selat Makassar kecenderungan
pertumbuhannya bersifat allometrik positif artinya pertumbuhan
panjang tidak secepat pertumbuhan beratnya. Hal ini diduga karena
ikan-ikan sampel masih dalam kondisi immature atau premature.

102
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Gambar 10. Hubungan panjang berat ikan malalugis (Decapterus


maca­­rellus) di sekitar perairan Selat Makassar
Selanjutnya estimasi biomassa merupakan biomassa ikan pelagis
kecil yang mewakili area seluas 5575 mil2 atau lebih dari 19.120 km2.
Dengan menganggap populasi ikan pelagis kecil dapat diwakili oleh
ikan malalugis (ukuran -50 - -41 dB atau setara 15-30 cm FL), estimasi
biomassa mulai dari permukaan sampai kedalaman 100 meter yang
merupakan area atau kolom perairan yang biasa ditempati oleh ikan
malalugis (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai estimasi biomassa ikan pelagis kecil dari survei akustik

Strata (m) Biomassa (ton)

0-25 8596
25-50 15071
50-75 8464
75-100 13830
Total 45960
Nilai biomassa tersebut terbagi menurut strata kedalaman yaitu
strata-1 (0-25 m), strata-2 (25-50 m), strata-3 (50-75 m), dan strata-4
(75-100 m). Selama dilakukannya penelitian melalui survei eksplorasi

103
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dengan akustik, biomassa terbesar diperoleh pada strata kedalaman


25-50 m, sementara biomassa terkecil terdapat pada strata kedalaman
50-75 m. Nilai biomassa ikan pelagis kecil memiliki pola yang fluktuatif.
Persentase biomassa tertinggi dijumpai pada strata-2 (25-50 m) dan
strata-4 (75-100 m), yang total biomassa keduanya mencapai sekitar
60% dari total biomassa di seluruh area survei.

Gambar 11. Persentase nilai biomassa ikan pelagis kecil tiap strata
kedalaman

Kesimpulan
Densitas absolut rata-rata ikan pelagis di perairan Selat Makassar
bagian selatan pada musim timur terkonsentrasi pada kedalaman 0-75
m, dengan densitas tertinggi sebesar 232 ikan/1000 m³. Sementara
densitas terkecil terdapat pada strata kedalaman 75-100 m dan 100-
125 m, sebesar 5 ikan/1000 m³.
Pada musim timur, densitas ikan pelagis lebih terkonsentrasi di
bagian selatan, semakin ke arah selatan nilainya semakin tinggi. Kondisi
perairan di bagian selatan (subarea 2) yang kaya akan sumber makanan
(plankton) diduga menyebabkan ikan terkumpul pada wilayah ini. Selain

104
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

itu, upwelling kecil yang sering terjadi di wilayah ini juga menyebabkan
wilayah ini kaya akan unsur hara sebagai makanan ikan.
Ikan pelagis dengan ukuran kecil (target strength < –51 dB) paling
banyak didapati pada area survei, terutama pada strata kedalaman
0–75 m. Hal ini diduga karena ikan-ikan sampel masih dalam kondisi
immature atau premature.
Estimasi biomassa ikan pelagis kecil memperlihatkan nilai terbesar
ter­dapat pada strata kedalaman 25-50 m, yaitu 15.071 ton, sedangkan
biomassa terkecil didapati pada strata kedalaman 50-75 m, yaitu 8.464
ton.

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil Penelitian
Potensi, Distribusi-Kelimpahan dan Biologi Ikan Pelagis Kecil di WPP
713 (Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone) dan WPP 714 (Laut
Banda-Teluk Tolo) T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara
Baru, Jakarta.

Daftar Pustaka
Burcynzki, J.J dan Jhonson, R.L. 1986. Application of dual-beam
acoustic survey techniques to Limnetic Populations of Juvenile
Sockeye Salmon (Oncorhynchus nerka). Can. J. Fish. Aquat.Sci.
Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan, 2002. Laporan Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan.
Gunarso, W. 1998. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan
Alat, Metoda, dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan. IPB.
Bogor.
Ilahude, A. G. 1978. On the occurence of upwelling in Southem
Makassar Strait . Mar. Res. Indonesia 10 : 3 – 33.
Laevastu T. and Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News
(Books) Ltd., London.
Mac Lennan, D. N. and E. J. Simmonds. 1992. Fisheries acoustic.

105
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Chapman and Hall. London. 325p.


Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Priatna, A. & M. Natsir. 2008. Pola Sebaran Ikan Pada Musim Barat
dan Peralihan di Perairan Utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Sadhotomo B, et.al. 2004. Riset Bio-Ekologi Pelagis Besar dan Demersal
di Laut Flores, Selat Makassar dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan
Laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Sumiono, B, Ernawati, T., & Wedjatmiko. 2010. Analisis penangkapan
kakap merah dan kerapu di perairan Barru, Sulawesi Selatan. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. 293-303.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters.
The University of California, Scripps Institution of Oceanography,
La Jolla, California. Naga Rep.2:1-195.

106
8
ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN
PERIKANAN UDANG DI PERAIRAN
BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA
Oleh
Tri Wahyu Budiarti1) dan Mahiswara1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut
Email : diyarty@yahoo.com dan mahiswr@yahoo.com

Abstrak
Terdapat kecenderungan penurunan produksi perikanan udang
(pukat dogol dan trammel net) yang beroperasi di perairan Balikpapan
dan sekitarnya periode antara 1990 - 2010. Penambahan upaya
penangkapan tidak serta merta meningkatkan produksi udang.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari–September 2011 di
perairan Balikpapan dan sekitarnya. Kajian kapasitas penangkapan
perikanan udang dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan
udang yang diperoleh dari hasil tangkapan di perairan Balikpapan
dan sekitarnya. Metode Peak to Peak digunakan untuk menganalisis
data produksi dan upaya penangkapan udang periode 1990 – 2010.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan kapasitas
penangkapan optimal berlangsung dalam 7 periode yaitu tahun 1990,
1991, 1996, 2001, 2005, 2007, dan 2010 (CU=1). Perikanan udang di
Balikpapan mengalami kapasitas berlebih pada tahun 1992 sampai
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

2003. Kondisi ini mengindikasikan pemanfaatan kapasitas penangkapan


perikanan udang di Balikpapan pada periode tersebut tidak optimal.
Nilai MSY sumber daya udang di perairan Balikpapan sebesar 1.941
ton per tahun dengan tingkat upaya 542 unit setara kapal dogol.
Kata kunci: Kapasitas penangkapan, perikanan udang, perairan
Balikpapan

Pendahuluan
Produksi ikan di Provinsi Kalimantan Timur dari penangkapan
di laut tahun 1994 mencapai 63.586,4 ton, sebanyak 6031,1 ton di
antaranya merupakan hasil tangkapan udang (Setiajie dan Kirom
1998). Menurut Setiajie & Kirom (1998), Pemda Kalimantan Timur
telah menetapkan udang sebagai komoditas andalan pada sektor
perikanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
RI No. Kep.45/Men/2011, nilai potensi sumber daya udang di WPP
713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Bali, dan Laut Flores) sebesar
4.800 ton/ tahun. Jenis-jenis udang di perairan timur Kalimantan yang
tertangkap nelayan antara lain udang windu (Penaeus monodon),
udang putih (P.merguensis), udang flower (P. semisulcatus), udang
bintik (Metapenaeus brevicornis), udang api-api (M. Monocores),
dan udang lurik (Parapenaeopsis sculptilis). Wedjatmiko et.al (1999)
menyatakan bahwa di perairan timur Kalimantan terdapat sumber
daya induk udang windu (P. monodon) yang masih dapat memenuhi
kebutuhan panti benih dengan tingkat eksploitasi rendah. Sebagian
besar udang di perairan timur Kalimantan ditangkap dengan
menggunakan trammel net dan jaring dogol. Di antara alat tangkap
udang, trammel net dan jaring dogol merupakan jenis alat tangkap
yang paling produktif di wilayah perairan timur Kalimantan (Anonim
1991). Berdasarkan laporan Lukman et al. (1995) produksi udang di
perairan timur Kalimantan mengalami penurunan pada periode antara
tahun 1990-1995 akibat adanya penangkapan yang intensif.
Aktivitas penangkapan udang yang berlebihan akan mengakibatkan
ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya, lingkungan, dan usaha
penangkapan. Pemanfaatan sumber daya udang perlu mengikuti
kaidah-kaidah yang mampu menjamin keberkelanjutan sumber

108
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

daya dan usaha dengan menjaga keseimbangan antara daya dukung


lingkungan, kondisi sumber daya dan pemanfaatannya. Pemanfaatan
sumber daya perikanan termasuk di dalamnya komoditas udang perlu
mempertimbangkan cara-cara penangkapan yang bertanggung jawab,
bersifat ramah terhadap lingkungan agar tetap lestari. Kapasitas
penangkapan harus disesuaikan dengan kondisi sumber daya agar
diperoleh nilai efesiensi dan efektivitas dalam pengusahaannya.
Menurut Fauzi & Anna (2005), kelebihan kapasitas penangkapan
yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi
yang signifikan. Pengelolaan kapasitas penangkapan ikan berikut
metode pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Organisasi FAO melalui
The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) menghimbau
kepada seluruh negara untuk menghindari overfishing dan kelebihan
kapasitas penangkapan ikan dengan menerapkan metode pengukuran
kapasitas penangkapan, sehingga kelebihan kapasitas penangkapan
dapat dikurangi sampai pada level di mana keberlanjutan kegiatan
penangkapan akan terjamin (FAO 1995).
Tingginya tingkat eksploitasi sumber daya udang dengan
menggunakan alat tangkap trammel net dan jaring dogol di wilayah
perairan timur Kalimantan tidak menutup kemungkinan suatu saat
akan terjadi pemanfaatan berlebih (overcapacity). Ketika terjadi
kapasitas penangkapan berlebih, yang terjadi kemudian adalah tingkat
produksi lebih rendah daripada nilai maximum sustainable yield (MSY).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis tren CPUE
dan kapasitas penangkapan sumber daya udang di perairan Balikpapan
dan sekitarnya, sehingga diketahui tingkat pemanfaatan kapasitas
penangkapan yang optimal di wilayah tersebut.

Bahan dan Metode


Data yang dijadikan bahan analisis merupakan data statistik hasil
tangkapan kapal dogol dan trammel net yang beroperasi di perairan
Balikpapan dan sekitarnya dalam kurun waktu antara tahun 1990
sampai dengan 2010, yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Balikpapan. Perhitungan kapasitas penangkapan

109
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dilakukan dengan menggunakan metode PTP (Peak-To-Peak Analysis).


Zheng & Zhou (2005) menyatakan bahwa analisis PTP merupakan
pengukuran yang didasarkan pada tren melalui pendekatan puncak
yang dianggap mencerminkan output maksimum yang dicapai pada stok
ikan. Data yang digunakan dalam perhitungan kapasitas penangkapan
dengan metode ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan semua
metode untuk perhitungan kapasitas dan Capacity Utilization (CU)
pada penangkapan ikan.
Perhitungan PTP digunakan untuk memperoleh perubahan input
teknologi rata-rata antar puncak-puncak Catch Per Unit Effort (CPUE).
Perhitungan nilai rata-rata perubahan teknologi dilakukan dengan
menggunakan perhitungan:
Average Tech Change (ATC) = (CPUEpn – CPUEpm) / tn – tm...........(1)
di mana CPUEpn adalah nilai CPUE pada puncak periode ke-n, CPUEpm
adalah nilai CPUE pada puncak periode sebelumnya, tn adalah tahun
terjadinya puncak CPUE periode ke n dan tm adalah tahun terjadinya
puncak CPUE sebelumnya.
Selanjutnya setelah didapatkan average technological change
bisa dihitung Capacity rate untuk setiap tahun dengan menambahkan
CPUE tahun sebelumnya dengan nilai rata-rata perubahan teknologi.
Capacity Rate (CRn) = CRn-1 + ATCn....................................... ........(2)
di mana CRn adalah capacity rate pada tahun ke n, CRn-1 adalah capacity
rate tahun sebelumnya. Setelah didapatkan CRn dapat dihitung
Potential Catch dengan menggunakan persamaan:
Potential Catch (PCn) = CRn x Effort (En).......................................(3)
di mana PCn adalah potential catch tahun ke-n, CRn adalah capacity
rate tahun ke-n, dan En adalah effort pada tahun ke-n. Dari nilai PCn
selanjutnya dapat diperoleh nilai Capacity Utilization (CUn) dengan
menggunakan persamaan:
Capacity Utilization (CUn) = Total Catch (TCn)/PCn ......................(4)

110
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

Hasil dan Bahasan


Beberapa indikator yang digunakan dalam penghitungan kapasitas
penangkapan dengan analisis Peak-To-Peak menurut Timothy (2003)
antara lain jumlah nelayan, jumlah kapal, gross tonage kapal, dan
pendaratan ikan per spesies per tahun. Hasil kajiannya menunjukkan
bahwa indikator yang dipakai dapat digunakan sebagai indikator
awal dalam mengestimasi tangkapan potensial dan kecenderungan
Capacity Utilization (CU) sesuai waktu. Indikator yang digunakan
sebagai dasar dalam perhitungan kapasitas penangkapan udang di
perairan Balikpapan dan sekitarnya antara lain jumlah kapal dan hasil
tangkapan udang per tahun pada kurun waktu tahun 1990 – 2010
untuk alat tangkap dogol dan trammel net (Gambar 1).
Dari nilai total catch dan total effort (Tabel 1) diperoleh nilai Catch
Per Unit Effort (CPUE). Nilai CPUE diperoleh melalui standardisasi unit
penangkapan dengan menjadikan kapal dogol sebagai alat tangkap
standar. Nilai CPUE dijadikan sebagai dasar dalam menentukan tahun
puncak (Gambar 2). Tahun puncak hasil perhitungan ini dijadikan
sebagai patokan dalam perhitungan kapasitas penangkapan dan CU
(capacity utilization) dengan menggunakan analisis Peak-To-Peak (PTP).
Sepanjang kurun waktu tahun 1990 - 2010, tahun puncak terjadi dalam
7 kali yaitu tahun 1990, 1991, 1996, 2001, 2005, 2007, dan 2010.

Gambar 1. Fluktuasi jumlah kapal dan hasil tangkapan udang alat tangkap
dogol dan trammel net di perairan Balikpapan dan sekitarnya,
tahun 1990 – 2010

111
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Tabel 1. Hasil perhitungan CPUE per kapal per tahun di Balikpapan


tahun 1990-2010
Total Total Total Total CPUE
Tahun CPUE Tahun
catch effort catch effort
(ton/
  (ton/kapal)  
(ton) (kapal) (ton) (kapal) kapal)

1990 1.451 171 8,5 2001 2.097 463 4,5

1991 1.539 212 7,3 2002 1.101 662 1,7

1992 1.587 462 3,4 2003 1.162 662 1,8

1993 1.676 535 3,1 2004 1.140 538 2,1

1994 1.714 746 2,3 2005 1.350 528 2,6

1995 1.764 800 2,2 2006 1.473 595 2,5

1996 2.348 828 2,8 2007 1.463 517 2,8

1997 1.992 839 2,4 2008 1.453 671 2,2

1998 1.975 965 2,0 2009 1.584 633 2,5

1999 1.971 983 2,0 2010 1.432 584 2,5

2000 1.099 870 1,3        

Gambar 2. Fluktuasi nilai CPUE udang dari perairan Balikpapan dan


sekitarnya, tahun 1990 – 2010

112
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

Hasil perhitungan kapasitas penangkapan udang di perairan


Balikpapan dan sekitarnya dengan analisis PTP ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil perhitungan kapasitas penangkapan dengan metode


PTP, tahun 1990-2010
Avrg tech.
Capacity Potential
CPUE (ton/ changes Capacity
Year rate (ton/ catch
kapal) (ton/ utilisation
kapal) (ton)
kapal)
1990 8,5 8,5 1.451 100%
1991 7,3 -1,2 7,3 1.539 100%
1992 3,4 -0,9 6,4 2.941 54%
1993 3,1 -0,9 5,5 2.932 57%
1994 2,3 -0,9 4,6 3.434 50%
1995 2,2 -0,9 3,7 2.974 59%
1996 2,8 -0,9 2,8 2.348 100%
1997 2,4 0,3 3,2 2.664 75%
1998 2,0 0,3 3,5 3.393 58%
1999 2,0 0,3 3,9 3.787 52%
2000 1,3 0,3 4,2 3.648 30%
2001 4,5 0,3 4,5 2.097 1 00%
2002 1,7 -0,5 4,0 2.675 41%
2003 1,8 -0,5 3,5 2.348 49%
2004 2,1 -0,5 3,1 1.641 69%
2005 2,6 -0,5 2,6 1.350 100%
2006 2,5 0,1 2,7 1.603 92%
2007 2,8 0,1 2,8 1.463 100%
2008 2,2 -0,1 2,7 1.814 80%
2009 2,5 -0,1 2,6 1.633 97%
2010 2,5 -0,1 2,5 1.432 100%

113
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Hasil tangkapan total (actual catch) yang diperoleh pada kurun


waktu tahun 1990 – 2010 jika dibandingkan dengan nilai kemampuan
tangkap (potential catch) yang merupakan hasil dari perhitungan
dengan metode PTP berfluktuatif (Gambar 3). Pada tahun 1999
diperoleh nilai puncak potential catch tertinggi sebesar 3.787 ton. Hal
ini diindikasikan karena terjadinya kenaikan jumlah kapal pada saat
itu, tetapi di lain pihak tidak diikuti oleh kenaikan hasil tangkapan.
Kejadian ini menyebabkan nilai CU terkecil (0,30) pada tahun 2000 jika
dibandingkan tahun yang lainnya (Gambar 4).

Gambar 3. Hasil tangkapan total (actual catch) dan kemampuan


tangkap (potential catch) udang di perairan Balikpapan dan
sekitarnya pada kurun waktu 1990 – 2010

Gambar 4. Fluktuasi nilai CU pada kapasitas penangkapan udang di


perairan Balikpapan dan sekitarnya

114
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

Menurut Pascoe et al. (2003) terdapat dua konsep penting


dalam menganalisis kapasitas penangkapan yaitu excess capacity dan
overcapacity. Excess capacity merupakan perbandingan relatif antara
tingkat tangkapan potensial (maksimal) terhadap hasil tangkapan
aktual berdasarkan pengamatan dalam jangka pendek. Sementara
overcapacity adalah perbedaan output potensial maksimum yang
dapat diproduksi dan tingkat output optimum yang diinginkan misalnya
dalam konsep MSY dan MEY. Berdasarkan hasil perhitungan ini, maka
nilai excess fishing capacity pada penangkapan udang di perairan
Balikpapan dan sekitarnya dapat diketahui seperti disajikan dalam
Gambar 5. Nilai excess fishing capacity terbesar terjadi pada tahun
2000 sebesar 2.529 ton. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi
penangkapan udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya mengalami
kelebihan input yaitu jumlah kapal yang cukup banyak.

Gambar 5. Grafik nilai excess fishing capacity di Laut Arafura


Berdasarkan data yang tersedia diperoleh nilai MSY potensi sumber
daya udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya sebesar 1.941 ton
per tahun dengan nilai effort pada 542 unit setara kapal dogol. Nilai
tingkat pemanfaatan kapasitas berlebih (Gambar 6) diperoleh dari
hasil perbandingan antara nilai potensial hasil tangkapan (potential
catch) dengan nilai MSY.

115
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 6. Nilai tingkat pemanfaatan kapasitas berlebih (overcapacity)


sumber daya udang perairan Balikpapan dan sekitarnya
tahun 1990 - 2010
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai Catch Per Unit
Effort (CPUE) sumber daya udang pada kurun waktu antara tahun
1990-2010 bersifat berfluktuatif. Kondisi ini diduga pengaruh adanya
pergeseran dan durasi musim penangkapan udang di perairan timur
Kalimantan pada tahun-tahun tertentu, sebagai dampak perubahan
iklim (inter annual). Untuk wilayah perairan timur Kalimantan secara
umum mengalami dua musim utama, yaitu musim utara dan musim
selatan. Pada umumnya kegiatan penangkapan tinggi terjadi pada
saat berlangsung musim utara yang ditandai dengan angin yang
lemah, laut tenang, dan curah hujan yang sedikit. Periode musim utara
ini berlangsung sekitar bulan Oktober-Maret yang diawali dengan
munculnya musim pancaroba pada bulan September. Durasi musim
utara dalam periode tahun tertentu akan berpengaruh terhadap
upaya penangkapan. Meningkatnya upaya penangkapan dapat
mengakibatkan kondisi lebih tangkap, yang menjadikan jumlah total
hasil tangkapan melebihi nilai MSY. Sebaliknya musim selatan yang
berlangsung pada bulan April-Agustus, yang diawali musim pancaroba
pada bulan Maret, ditandai dengan munculnya gelombang besar, angin
kencang dan hujan lebat, kegiatan penangkapan relatif menurun.

116
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

Nilai CU yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan


metode PTP bervariasi, puncak CU = 100 % terjadi pada tahun 1990
dan 1991 kemudian terjadi fluktuasi penurunan yang tajam mulai 1992
sampai dengan tahun 1995, dan pada tahun berikutnya berfluktuasi.
Penurunan nilai CU ini disebabkan pada kurun 1992–1995 tingkat
eksploitasi naik dengan hasil tangkapan aktual tidak setara jika
dibandingkan tahun 1990. Kapasitas penangkapan optimal terjadi
pada tahun 1990, 1991, 1996, 2001, 2005, 2007, dan 2010 (CU=1), dan
sebaliknya pada tahun lainnya (1992-1995, 1997-2000, 2002-2004,
2006, dan 2008) belum optimal (CU<1). Perkembangan kapasitas
penangkapan yang terjadi tidak hanya terbatas pada peningkatan
upaya melalui penambahan jumlah unit penangkapan maupun trip
penangkapan. Hufiadi (2008) menyatakan bahwa upaya meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan juga meliputi peningkatan
ukuran kapal dan kekuatan mesin penggerak, teknik, serta taktik
penangkapan. Menurut Pascoe et al. (2003), kapasitas penangkapan
adalah jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal
pada suatu periode tertentu (musim/tahun) pada tingkat biomassa dan
struktur populasi serta teknologi tertentu. Teknologi adalah penyebab
utama terhadap perubahan excess fishing capacity yang berdampak
pada perikanan skala tradisional maupun industri.
Kapasitas berlebih merupakan kondisi di mana kapasitas input
perikanan yang digunakan menghasilkan output pada tingkatan
tertentu. Pada perikanan udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya
terjadi kapasitas berlebih (overcapacity) pada tahun 1992 sampai 2003.
Jika kondisi overcapacity ini dibiarkan terjadi secara terus-menerus,
tidak dapat dipungkiri jika suatu saat akan terjadi overfishing.
Kapasitas berlebih antara lain disebabkan adanya penambahan
input dalam penangkapan, termasuk introduksi teknologi.
Penambahan input penangkapan dapat berupa jumlah trip, jumlah
tarikan jaring, jumlah setting, waktu penarikan jaring, dan penggunaan
alat bantu penangkapan. Agar diperoleh nilai pemanfaatan kapasitas
penangkapan optimal perlu dilakukan kontrol terhadap (perubahan)
upaya secara periodik.

117
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kesimpulan
Nilai CPUE perikanan udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya
pada kurun waktu antara tahun 1990-2010 berfluktuatif, dengan nilai
MSY sebesar 1.941 ton per tahun pada tingkat upaya 542 unit kapal
setara kapal jaring dogol.
Kapasitas penangkapan optimal terjadi pada tahun 1990, 1991,
1996, 2001, 2005, 2007, dan 2010 (CU = 1), dan sebaliknya pada tahun
lainnya (1992-1995, 1997-2000, 2002-2004, 2006, dan 2008) belum
optimal (CU < 1).
Kapasitas berlebih (overcapacity) perikanan udang di perairan
Balikpapan dan sekitarnya terjadi pada tahun 1992 sampai 2003, dan
cenderung mengarah pada kondisi overfishing jika berlangsung secara
terus-menerus.

Saran
Agar diperoleh nilai pemanfaatan kapasitas penangkapan
perikanan udang yang optimal di perairan Balikpapan perlu dilakukan
kontrol terhadap (perubahan) upaya secara periodik.

Persantunan
Penelitian ini merupakan salah satu hasil dari penelitian “Analisis
Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Hela, Pukat Cincin, dan
Pancing Tuna di Selat Makassar dan Laut Banda” dengan sumber dana
dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2011.

Daftar Pustaka
Anonim, 1991. Studi tentang Pemasaran dan Prospek Investasi Udang
di Indonesia. Jakarta
Fauzi, A. & Suzy Anna. 2005. Data Envelopment Analysis (DEA)
kapasitas perikanan di periaran pesisir DKI Jakarta. Permodelan
Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis
Kebijakan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustakan Utama.343 hal.

118
Analisis Kapasitas Pengkapan Perikanan Udang Di Perairan Balikpapan Dan Sekitarnya

Gustina, Lina. 1994, Dampak Beroperasinya Perusahaan Penyimpan


Dingin (Cold Storage) terhadap Pendapatan Nelayan Penangkap
Udang (Studi Kasus di desa Sei Mariam, Kecamatan Anggana,
kabupaten Kutai, Kalimantan Timur). Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. 109 hal.
Hufiadi. 2008. Pengukuran Efisiensi Teknis Perikanan Purse Seine di
Pekalongan [Thesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. 116 hlm.
Hsu, Timothy CT, 2003. Simple Capacity Indicators for Peak-To-Peak
and Data Envelopment Analyses of Fishing Capacity-A Preliminary
Assessment. FAO Fisheries Technical Paper : 445. Hal 233-258
Lukman, Gunawan,T. Chrismadha dan E. Harsono, 1995. Danau
Semayang dan Melintang. Evaluasi Beberapa Permasalahan dan
Alternatif Pemecahannya. Prosiding Seminar Evaluasi Kegiatan
Litbang LIPI di Kabupaten Kutai tahun 1994/1995. Pemda Tk II-
LIPI. http://elib.pdii.lipi.go.id diakses tanggal 9 Oktober 2012.
Pascoe S, JE Kirkley, D. Greboval dan CJ. Morrison. 2003. Mesuring
and Assessing Capacity in Fisheries. FAO Fisheries Tachnical Paper
433/2. 53 hal.
Setiajie I & Kirom MNA, 1997. Potensi dan Peluang Peningkatan
Produksi Udang untuk Ekspor di Wilayah Pertumbuhan Kalimantan
Timur, Makalah Konferensi Dinamika Ekonomi Pedesaan dan
Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian Tahun 1997, Bogor.
http://agris.fao.org diakses tanggal 9 Oktober 2012.
Wedjatmiko, A. Ismail, A. Sudrajat, A. Budiman. 1999. Sumber
daya induk udang windu (Penaeus monodon) di perairan timur
Kalimantan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi
Teknologi Budi daya Laut dan Pantai, Puslitbangkan Jakarta. Hal
104 – 109.
Zheng, Yi dan Qi Zhou, Ying, 2005, Measures of the Fishing Capacity
of Chinese Marine Fleets and Discussion of the Methods, www.
terrapub.co.jp diakses tanggal 10 Mei 2011. Hal 623 – 630.

119
9
ESTIMASI STANDING STOK IKAN DEMERSAL
DI PERAIRAN PANGKEP-SELAT MAKASSAR
Oleh
Asep Priatna1) dan Bambang Sadhotomo1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian yang bertujuan untuk mengestimasi biomassa dan
standing stock ikan demersal di perairan Pangkep-Selat Makassar
bagian Timur pada luasan 1861 km2 dilakukan pada bulan Oktober 2011.
Survei eksplorasi menggunakan metode akustik dengan perangkat
Biosonics DT-X Scientific Digital Echosounder untuk akuisisi datanya.
Komposisi ukuran panjang dan bobot ikan kakap merah (Lutjanus
malabaricus) digunakan untuk verifikasi data akustik. Komposisi ukuran
ikan demersal hasil deteksi akustik terdistribusi pada panjang 14-75
cm dan kisaran bobot 50-5000 gram, dengan modus ukuran panjang
pada kisaran 30-40 cm. Estimasi total biomassa diperoleh 1038 ton
dan kepadatan stok 0,56 ton/km2. Densitas ikan demersal yang relatif
tinggi didapat pada area di luar zona terumbu karang atau di perairan
yang lebih dalam.
Kata kunci: biomassa, hidroakustik, ikan demersal, perairan
Pangkep

Pendahuluan
Perairan laut Pangkajene dan kepulauan (Pangkep) termasuk
dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Makassar. Luas laut
Kabupaten Pangkep sekitar 11.464,44 km2 dengan luas terumbu karang
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

sekitar 36.000  ha. Ekosistem terumbu karang perairan Kabupaten


Pangkep terutama di Perairan Kecamatan Liukang Tupabbiring telah
mengalami kerusakan yang sangat parah yang diindikasikan oleh
menurunnya keanekaragaman jenis ikan karang yang memiliki nilai
ekonomis yang sangat tinggi. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya
kegiatan penangkapan ikan  yang tidak ramah lingkungan.
Rusaknya ekosistem terumbu karang tersebut juga disebabkan
oleh tingginya tingkat aktivitas penangkapan ikan dan biota laut
lainnya melebihi jumlah kuota maksimun lestarinya. Di samping
itu, banyak nelayan yang menggunakan alat, cara, atau bahan yang
terlarang untuk mendapatkan hasil yang banyak tanpa mengindahkan
kelestarian ekosistem terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti
padang lamun, mangrove, dan estuaria (http://dislutkanpangkep
2012).
Perairan terumbu karang mempunyai nilai ekonomis tinggi
karena kaya sumber daya ikan serta merupakan aset daerah untuk
pengembangan usaha perikanan dan ketahanan pangan. Kutzmann
(2004) menyebutkan bahwa di beberapa negara berkembang, terumbu
karang menyediakan 25% dari total sediaan pangan dan 60% dari total
kebutuhan protein hewani.
Salah satu alternatif untuk mendukung daerah dalam usaha
pengelolaan perikanan adalah menyediakan informasi yang tepat
mengenai potensi perikanan yang ada. Pengkajian stok ikan demersal
di perairan Pangkep diharapkan dapat mendukung kebutuhan profil
sumber daya ikan dalam rangka meningkatkan fungsi-fungsi ekologi,
ekonomi, pendidikan, dan riset di lokasi tersebut.
Pendugaan kuantitatif atas ukuran populasi ikan sangat
diperlukan dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya ikan.
Pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara optimal apabila
sediaan (stock) dan sebaran sumber daya ikan tersebut diketahui
secara ilmiah sehingga langkah-langkah kebijakan eksploitasi dapat
dilakukan dengan lebih tepat tanpa membahayakan kelestariannya.
Informasi sumber daya secara kuantitatif yang dapat digunakan
sebagai indikator stok sangat ditentukan oleh tersedianya informasi
dasar dari hasil survei kapal-kapal riset atau informasi yang terkumpul
hasil sistem pemantauan berkala (Balai Riset Perikanan Laut 2007).
122
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

Beberapa metode langsung yang telah banyak dilakukan untuk


pengkajian stok ikan antara lain model dinamika biomassa, dinamika,
Thomson & Bell, VPA, swept area, transek visual, dan hidroakustik
(Widodo 2002). Identifikasi jenis ikan serta verifikasi terhadap echo
dari target yang terdeteksi sangat diperlukan dalam estimasi stok
ikan dengan metode akustik. Verifikasi echo terhadap ikan target di
perairan tropis biasanya menggunakan ukuran ikan target dominan
yang terdapat di perairan tersebut. Hal ini mengingat sumber daya ikan
di perairan tropis bersifat multispesies dan berinteraksi satu sama lain
sehingga sangat sulit untuk menjadikan target pada masing-masing
jenis ikan tersebut (AFAS 2007).
Penerapan metode akustik dalam pendugaan stok ikan mempunyai
beberapa keunggulan yaitu menghasilkan data yang cepat, insitu, relatif
akurat, serta tidak membahayakan sumber daya ikan yang diamati.
Selain untuk pendugaan stok ikan, hasil pengamatan hidroakustik
dapat menggambarkan distribusi kelompok sumber daya ikan yang
berada di suatu perairan.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai dugaan stok serta
sebaran kelimpahan ikan demersal dengan metode akustik. Data
kuantitatif yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi
terkini dari kondisi sumber daya ikan di perairan Pangkep.

Bahan dan Metode


Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 di perairan
Pangkep yang merupakan bagian dari Selat Makassar mulai dari Pantai
Makassar sampai Barru Sulawesi Barat. Wahana penelitian adalah
kapal nelayan setempat.
Akuisisi data akustik dilakukan dengan menggunakan Biosonics
DT-X Scientific Digital Echosounder System dengan transduser yang
bekerja pada frekuensi 201 KHz. Transduser ditempatkan pada wahana
kapal dengan menggunakan sistem side mounted system. Jalur akuisisi
data mencakup luasan area yang memungkinkan analisis secara spasial
yang dibuat dengan bentuk sistematic continuous transect (MacLennan
1992). Panjang tiap transek sekitar 15 nmi dari batas gugusan pulau

123
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

ke arah luar (Gambar 1). Rata-rata kecepatan kapal saat akuisisi data
akustik yaitu 6 knot.

Gambar 1. Lokasi pengamatan stok ikan demersal dan trek akuisisi


data akustik di perairan Pangkep-Selat Makassar, Oktober
2011
Jarak total jalur gerak kapal yaitu sekitar 200 nmi. Akuisisi data
di alur gerak kapal menggunakan software Visual acquisition 5.0.4
dengan program berbasis sistem windows. Pengaturan parameter-
parameter akustik pada Biosonics DT-X selama akuisisi data dapat
dilihat pada Tabel 1. Visual acquisition software menghasilkan data
kasar (raw data) dan direkam pada tiap file yang terdiri dari 4 format
yaitu RTP, HPR, NME, dan Bioplant Document. Selanjutnya secara
otomatis file dengan format RTP, HPR, NME dikonversi ke format dt4
file sehingga dapat diolah lebih lanjut dengan software Visual Analizer.
Pengintegrasian hasil deteksi dilakukan dengan metode echo-counting
dan echo-integration (squared threshold mode) sehingga data target
strength (TS) dan densitas ikan dapat dianalisis.

124
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

Tabel 1. Pengaturan parameter-parameter akustik pada Biosonics


DT-X
Parameter Value
Frequency 201 kHz
Threshold Mode Squared
Threshold Level -50 dB
Pulse Duration 0,5 ms
Ping Period (pps) 10 ms
Absorption Coefficient 0,08472 dB/km
Sound Velocity 1542,43 m/s
Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) sebagai salah satu ikan
target penangkapan nelayan (Efendi 1997) yang mendominasi hasil
tangkapan, diasumsikan menyebar luas di lokasi penelitian, sehingga
dipilih untuk mewakili populasi ikan demersal pada area penelitian
dan digunakan untuk verifikasi data akustik.

Pengolahan dan Analisis Data


Berdasarkan migrasi diurnal ikan karang yang dapat mencapai
kolom permukaan (Suharti 2002), maka analisis data akustik (echogram)
untuk kajian ikan demersal ini dimulai pada ikan di kedalaman 10
meter dari permukaan sampai dasar perairan. Elementary sampling
distance unit (ESDU) secara horizontal adalah ± 1000 ping. Pengolahan
data menggunakan software Visual Analizer, analisis (scrutinize) data
meliputi interpretasi visual, kemudian ekstraksi data menghasilkan
data utama yaitu SA (area backscattering coeficient = m2/nmi2) dan TS
(target strength = dB) ikan tunggal sebagai indeks refleksi ukuran ikan.
Data ditabulasi dan diolah menggunakan spread sheet.
Hubungan TS dan σbs (backscattering cross-section, m2) dihitung ber­
dasarkan MacLennan & Simmonds (1992) yaitu TS = 10 log σbs .... (1)
Persamaan untuk densitas ikan (ρA, individu/nmi2) adalah ρA = sA/σbs.... (2)
Panjang ikan (L) berhubungan dengan σbs yaitu σbs = aLb .......... (3)
Hubungan TS dan L adalah TS = 20 log L + A ................................... (4)

125
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

A adalah nilai TS untuk 1 cm panjang ikan (normalized TS).


Konversi nilai TS menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan demersal
digunakan persamaan TS = 21,8 log L – 74,9 (Anonymous 2002).
Menurut Hile (1936) dalam Effendi (2002), hubungan panjang (L) dan
bobot (W) dari suatu spesies ikan yaitu W = aLb ..................... (5)
Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir, et.al (2005)
persamaan panjang dan bobot untuk mengonversi panjang dugaan
menjadi bobot dugaan adalah
i
Wt =a{ ∑ {ni(Li+ΔL/2)b+1 – (Li-ΔL/2)b+1}/ {(b+1) ΔL}} ..................... (6)
1
di mana: Wt = bobot total (gram)
ΔL = selang kelas panjang (cm)
Li = nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm)
ni = jumlah individu pada kelas ke-i
a, b = konstanta untuk spesies tertentu
Selain nilai hasil estimasi stok ikan didasarkan pada komposisi
ukurannya, hasil analisis juga disajikan dalam bentuk peta sebaran
densitas ikan demersal. Untuk analisis sebaran spasial sumber daya ikan,
kepadatan ikan yang terdeteksi selama akuisisi data akustik dinyatakan
dalam nilai densitas absolut (ekor/luasan area). Sebaran komposisi
berdasarkan ukuran ikan dinyatakan dalam target strength (dB) yang
menunjukkan variasi dari ukuran ikan. Hasil analisis ditampilkan dalam
bentuk grafik dan sebaran horizontal sehingga dapat dilihat hubungan
antara nilai-nilai tersebut berdasarkan posisi geografis. Pembahasan
hasil penelitian dilakukan dengan metode deskriptif analisis.
Analisis data menggambarkan pola distribusi secara mendatar,
baik untuk sebaran ukuran ikan maupun kepadatan ikan. Distribusi TS
dan densitas ikan secara mendatar menggambarkan jumlah, ukuran
dan kepadatan ikan berdasarkan posisi geografis di habitat tersebut.
Pola distribusi ikan secara mendatar digambarkan berdasarkan satu
posisi geografis tiap ESDU, agar informasinya dapat disajikan lebih
rinci, terutama pada area survei yang sempit seperti pada penelitian
ini.

126
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

Hasil dan Pembahasan


Komposisi Ukuran dan Bobot Ikan
Konversi nilai TS terhadap ukuran panjang dugaan (panjang cagak,
Fork length) untuk mendapatkan sebaran komposisi ukuran ikan yang
sebenarnya atau yang terdapat di alam sebagai populasi ikan demersal
ditunjukkan dengan persamaan TS = 21,8 log L – 74,9 (Gambar 2).
Distribusi frekuensi ukuran panjang ikan yang terdeteksi hasil
observasi akustik disajikan pada Gambar 3a, sedangkan distribusi
frekuensi ukuran panjang ikan kakap merah berdasarkan data insitu
hasil tangkapan disajikan pada Gambar 3b. Pada Gambar 3a dan 3b
menunjukkan bahwa ukuran panjang ikan memiliki sebaran normal,
tetapi memiliki wilayah (range) dan modus yang berbeda. Hasil
tangkapan memiliki kisaran ukuran panjang antara 26-68 cm (Gambar
3b), sementara hasil deteksi akustik menghasilkan kisaran yang lebih
luas yaitu pada TS (-50) – (-34) dB atau pada ukuran panjang 14-75 cm
(Gambar 3a). Modus ukuran ikan hasil tangkapan berada pada kisaran
44-61 cm lebih panjang daripada hasil deteksi akustik yang bermodus
pada kisaran panjang 29-40 cm. Perbedaan hasil yang diperoleh
tersebut mengindikasikan bahwa tiap metode memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing.

Gambar 2. Hubungan antara nilai TS dengan ukuran dugaan (FL) ikan


demersal di perairan Pangkep, Selat Makassar

127
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Suatu metode memiliki peringkat di atas metode pengkajian


lainnya. Seperti pada umumnya, masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kekurangan tergantung pada tingkah laku, ketersediaan
alat tangkap, instrumen, serta pola migrasi dari stok ikan yang
bersangkutan (Nakken dan Ulltang 1983). Data hasil tangkapan yang
diperoleh  dari perikanan komersil (Doray dan Reynal 2003) maupun
riset penangkapan (Taquet et al. 2000) telah lama digunakan dalam
estimasi stok untuk menggambarkan  agregasi ikan, tetapi data
tersebut diketahui menjadi bias oleh perbedaan dalam kapasitas hasil
tangkapan (catchability) berdasarkan species dan kelas ukuran (Freon
& Misund 1999). 

Distribusi panjang ikan berdasarkan nilai TS

Distribusi panjang ikan berdasarkan hasil tangkapan


Gambar 3. Komposisi ukuran panjang ikan berdasarkan nilai TS (a) dan
hasil tangkapan (b)

128
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

Metode akustik merupakan metode yang non-intrusif dan dapat


memberikan gambaran yang lengkap  dari agregasi ikan (Doray et
al., 2006).  Namun demikian, verifikasi echo terhadap ikan target
khususnya di perairan tropis masih menggunakan ukuran ikan target
dominan yang terdapat di perairan yang diamati. Dengan demikian,
eksperimen penangkapan (Simmonds dan MacLennan 2005) atau
pengamatan kelompok ikan dengan under water camera (Ermolchev
dan Zaferman 2003) mestinya dilakukan  secara bersamaan untuk
verifikasi nilai target strength akustik. 
Hubungan panjang dan bobot ikan kakap merah untuk verifikasi
data akustik diperoleh dengan persamaan W=0,04*L2,717 (Gambar 4),
selanjutnya konstanta a dan b digunakan untuk konversi estimasi
ukuran panjang (FL) berdasarkan nilai TS menjadi bobot dugaan (W).
Dalam estimasi stok, ukuran ikan demersal yang dihitung
didasarkan pada komposisi panjang dan bobot hasil deteksi akustik
(garis putus-putus pada Gambar 4), yang terdistribusi pada ukuran TS
(-50) – (-34) dB atau pada ukuran panjang 14-75 cm dengan kisaran
bobot dari 50-5000 gram (Tabel 2).

Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot ikan kakap merah (Lutjanus


malabaricus) di perairan Pangkep, Selat Makassar

129
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Estimasi Stok Ikan


Tabel 2. Persentase komposisi jumlah individu, biomassa, dan
kepadatan stok pada masing-masing selang ukuran TS,
panjang, dan bobot ikan demersal
Komposisi
Kepadatan
per Biomassa
Nilai TS (dB) Panjang (cm) Bobot (gram) stok (ton/
ukuran (ton)
km2)
(%)
(-50) – (-49) 13.8 - 15.4 50.7 - 67.6 0.10 0.08 0.00
(-49) – (-48) 15.4 - 17.1 67.6 - 90.1 1.56 1.53 0.00
(-48) – (-47) 17.1 - 19.0 90.1 - 120.0 3.94 5.15 0.00
(-47) – (-46) 19.0 - 21.2 120.0 - 159.9 6.11 10.65 0.01
(-46) - (-45) 21.2 - 23.5 159.9 - 213.1 7.33 17.02 0.01
(-45) - (-44) 23.5 - 26.1 213.1 - 283.9 7.94 24.56 0.01
(-44) - (-43) 26.1 - 29.1 283.9 - 378.3 8.28 34.14 0.02
(-43) - (-42) 29.0 - 32.3 378.3 - 504.1 8.45 46.42 0.02
(-42) - (-41) 32.3 - 35.9 504.1 - 671.6 8.57 62.69 0.03
(-41) - (-40) 35.9 - 39.9 671.6 - 894.8 8.17 79.66 0.04
(-40) - (-39) 39.9 - 44.3 894.8 - 1192.3 7.47 97.08 0.05
(-39) - (-38) 44.3 - 49.3 1192.3 - 1588.6 6.31 109.25 0.06
(-38) - (-37) 49.3 - 54.8 1588.6 - 2116.6 5.24 120.94 0.06
(-37) - (-36) 54.8 - 60.9 2116.6 - 2820.2 4.21 129.28 0.07
(-36) - (-35) 60.9 - 67.7 2820.2 - 3757.7 3.58 146.72 0.08
(-35) - (-34) 67.7 - 75.2 3757.7 - 5006.7 2.80 152.74 0.08
Total 1037.90 0.56

Total luas perairan yang diamati adalah 543 nmi2 atau 1861 km2.
Nilai estimasi total biomassa ikan demersal diperoleh sebesar 1038
ton dengan kepadatan stok adalah 0,56 ton/km2 (Tabel 2). Komposisi
jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing
selang ukuran ikan disajikan pada Tabel 2.
Tren menunjukkan bahwa dengan meningkatnya ukuran panjang
dan bobot sumber daya ikan yang menghuni area tersebut, nilai

130
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

biomassanya semakin besar (Gambar 5). Di samping itu, ukuran


panjang dan bobot ikan yang relatif lebih besar dengan jumlah relatif
sedikit menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dibanding dengan
jumlah ikan yang relatif lebih banyak tetapi komposisi ukurannya
relatif lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor ukuran ikan
lebih signifikan terhadap besarnya biomassa ikan demersal.

Gambar 5. Persentase komposisi jumlah individu dan besaran


biomassa ikan demersal berdasarkan ukuran panjang dan
bobot

Sebaran Spasial Sumber Daya Ikan Demersal


Hasil pengamatan secara spasial menunjukkan bahwa penyebaran
komposisi ukuran ikan demersal hampir tersebar merata pada area
penelitian (Gambar 6-kiri). Walaupun demikian, terdeteksi bahwa ikan
demersal dengan ukuran yang relatif lebih besar dijumpai di bagian
selatan perairan Pangkep.
Hasil deteksi akustik pada saat survei memperlihatkan bahwa
keberadaan ikan demersal dengan kepadatan yang relatif lebih
besar, cenderung dijumpai di area luar dari perairan karang (perairan
Pangkep) (Gambar 6-kanan). Hal ini terjadi diduga akibat adanya faktor
lingkungan dan faktor tekanan penangkapan terhadap ikan demersal
yang tidak diamati pada penelitian ini.

131
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 6. Distribusi spasial ikan demersal berdasarkan ukuran


panjang (kiri) dan kepadatan (kanan)
Nilai kepadatan stok yang diperoleh merupakan jumlah biomassa
dari sumber daya ikan demersal pada luasan area yang diamati.
Perolehan nilai kepadatan stok tersebut belum mencerminkan
kondisi sumber daya ikan yang sebenarnya di alam, karena menurut
sifat hidupnya terdapat ikan yang berkelompok (schoals) dan tidak
berkelompok (soliter) (Efendi 1997). Selain itu, pada kenyataannya
penyebaran ikan juga tidak selalu merata karena beberapa faktor
eksternal yang memengaruhinya, seperti kondisi lingkungan yang
optimum atau ekstrem dan juga faktor besarnya tekanan penangkapan
oleh manusia serta tingkah laku ikan dan pola migrasi.

Kesimpulan
Luas perairan yang dikaji hanya sekitar 20% dari total luas perairan
laut Pangkep. Walaupun demikian, area penelitian telah mencakup
hampir semua zona terumbu karang yang merupakan habitat utama
bagi ikan karang (termasuk ikan demersal). Secara spasial, penelitian
dengan survei eksplorasi ini telah berhasil mengestimasi stok berikut
agregasi ikan demersal.
Terlepas dari bias yang melekat dalam hal konversi nilai akustik
(pantulan echo) menjadi nilai yang umum digunakan (ukuran panjang-
cm dan biomassa-ton), komposisi ukuran ikan hasil observasi akustik

132
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

diasumsikan dapat mewakili komposisi ukuran dan jumlah ikan yang


terdapat di alam, dibandingkan dengan data hasil tangkapan yang
didaratkan, terkait faktor kapasitas tangkap, selektivitas dan musim
pada pengoperasian alat tangkap.
Estimasi stok secara langsung melalui survei eksplorasi hendaknya
dilakukan secara terpadu antara metode akustik aktif, ekperimen
penangkapan, sensus visual, dan kajian habitat untuk menghasilkan
pengkajian stok ikan yang independen.
Diperlukan penelitian lebih lanjut khususnya untuk analisis yang
lebih rinci tentang penyebab dan karakteristik dari fluktuasi musiman
maupun tahunan biomassa ikan yang diamati, dan mengembangkan
metode yang lebih efektif untuk mengidentifikasi spesies yang terdapat
pada biomassa.

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian
Pengkajian Stok dan Distribusi Sumber Daya Ikan Demersal dan Biota
Lainnya di Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, T.A. 2011, di
Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-Jakarta.

Daftar Pustaka
AFAS. 2007. Report of The 1st Asian Fisheries Acoustics Society (AFAS).
6-8 November 2007. DALIAN, CHINA.
Anonymous. 2002. Norwegian Combined Acoustic and Bottom Trawl
Surveys for Demersal fish in the Barents Sea During winter. IMR/
PINRO Joint Report Series, No. 6/2002. ISSN 1502-8828. 63 pp.
Balai Riset Perikanan Laut. 2007. Status dan Tren Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan Laut Arafura. Executive Summary. BRKP. DKP.
2p.
Doray M. and Reynal L., 2003, Catch per trip variability analysis related
to several fishing effort components in the small-scale, large
pelagic fishery in Martinique (FWI): an attempt to define more
accurate fishing effort units function of the different types of fish

133
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

“aggregators”. Proc. Gulf Caribb. Fish. Inst. 54, 41-59.


Doray, M., Josse, E., Gervain, P., Reynal, L., and Chantrel, J. 2006.
Acoustic characterisation of pelagic fish aggregations around
moored fish aggregating devices in Martinique (Lesser Antilles).
Fisheries Research, 82: 162–175.
Efendi, Y. 1997. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Ujung
Pandang, 2-3 Desember. Hal: 142-149.
Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Hal: 163.
Ermolchev V.A., Zaferman M.L., 2003, Results of experiments on the
video-acoustic estimation of fish target strength in situ. ICES J.
Mar. Sci. 60, 544-547.
Fréon P., Misund O.A., 1999, Dynamics of pelagic fish distribution and
behaviour: effects on fisheries and stock assessment. Blackwell
Science, London.
http://dislutkanpangkep.wordpress.com/2012. Diakses tanggal 7
November 2012
Kunzmann, A. 2004. Corals, fishermen, and tourists. NAGA, World Fish
Centre Quarterly, Vol. 27 (1&2): 15 – 19p.
MacLennan, D. N. 1992. Acoustical measurement of fish abundance. J
Acoust. Soc. Am. (62): 1-15p.
Mac Lennan, D. N. & E. J. Simmonds. 1992. Fisheries acoustic. Chapman
and Hall. London. 325p.
Nakken, O. and O.Ulltang. 1983. A comparison of the reliability
of acoustic estimates of fish stock abundances and estimates
obtained by other assessment methods in the northeast Atlantic.
In O.Nakken and S.C.Venema (Eds). Symposium on Fisheries
Acoustics. Bergen. Norway, 21-24 June 1982. Pp.: 249-260. FAO-
UN. Rome.
Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto. 2005. Pendugaan Biomassa Ikan
Pelagis di Perairan Teluk Tomini dengan Metode Akustik Bim Terbagi.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6). Hal: 101-107.

134
Estimasi Standing Stok Ikan Demersal di Perairan Pangkep-Selat Makassar

Simmonds E.J. and MacLennan D.N., 2005, Fisheries acoustics. Theory


and practice. Blackwell, Oxford.
Suharti, S. R. 2002. Ekologi Ikan Karang. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. LIPI. Jakarta. Hal: 31.
Taquet M., Guillou A., Reynal L., Lagin A., 2000, The large pelagic fish
of Martinique: biology and exploitation. Proc. Gulf Caribb. Fish.
Inst. 51, 375-389.
Widodo, J. 2002. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan
Tangkap. BRKP-DKP. Jakarta. Hal:11.

135
10
PRODUKTIVITAS USAHA PENANGKAPAN IKAN
DENGAN PUKAT CINCIN (PURSE SEINE) DI
WATAMPONE, SULAWESI SELATAN
Oleh
Erfind Nurdin1), Hufiadi1), dan Mahiswara1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Pukat cincin merupakan alat tangkap yang banyak digunakan
nelayan Watampone, Sulawesi Selatan. Salah satu indikator kinerja
perikanan tangkap adalah produksi hasil tangkapan, di mana ukuran
upaya penangkapan menentukan hasil produksi. Dinamika perikanan
tangkap dapat digambarkan dari fluktuasi upaya penangkapan,
produksi, dan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat produktivitas usaha penangkapan yang meliputi produktivitas
per trip unit alat tangkap, produktivitas per trip anak buah kapal
(ABK), dan produktivitas per trip upaya penangkapan unit armada.
Pengambilan data sampel dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2012.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang bersifat studi
kasus. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata produktivitas
per unit alat tangkap sebesar 103,35 ton/unit/tahun, produktivitas per
ABK sebesar 0,30 ton/orang/trip, dan rata-rata produktivitas upaya
penangkapan per trip sebesar 4,45 ton/trip/unit. Hasil analisis regresi
berganda diketahui bahwa secara bersama-sama seluruh variabel
bebas mampu memengaruhi variabel tidak bebas secara signifikan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dengan nilai koefisien determinasi (R2) 97,15% dan Fhit > Ftab pada
tingkat kepercayaan 95%.
Kata kunci: produktivitas, pukat cincin, Watampone, Sulawesi
Selatan

Pendahuluan
Para pelaku usaha perikanan pukat cincin di Watampone, Sulawesi
Selatan terus mengembangkan operasional penangkapan ikan,
baik sistem maupun teknik penangkapannya. Dalam melaksanakan
kegiatannya nelayan sangat bergantung pada faktor-faktor produksi
(input) yang terus mengalami kenaikan dengan harapan hasil
tangkapan (output) yang juga akan ikut bertambah. Faktor-faktor
produksi tersebut antara lain lama hari di laut, jumlah tenaga kerja,
bahan bakar, unit alat tangkap dan unit aramada. Meskipun pada
kenyataannya hasil tangkapan ikan di laut cenderung tidak pasti yang
dapat menyebabkan produksi menurun sehingga penghasilan nelayan
pun ikut menurun.
Sumber daya perikanan adalah milik bersama (common property),
di mana pemanfaatan dapat digunakan secara terbuka dalam waktu
yang bersamaan oleh beberapa pelaku perikanan (open access).
Nelayan berlomba untuk menangkap ikan sebanyak mungkin.
Terdapatnya keuntungan ekonomis menyebabkan masuknya
perusahaan-perusahaan baru yang lebih besar untuk ikut bersaing
dalam pengusahaan sumber daya tersebut, sehingga peningkatan
intensitas upaya penangkapan cenderung akan menambah tekanan
terhadap sumber daya yang dapat berpengaruh terhadap hasil
tangkapan.
Hal inilah yang memudahkan keluar masuknya pelaku usaha
pemanfaatan sumber daya ikan. Pada jenis usaha yang memberikan
tingkat keuntungan yang relatif lebih baik, tekanan pemanfaatan
akan semakin kuat. Pemanfaatan sumber daya ini bila tidak diatur
dengan baik mengakibatkan pemanfaatan yang berlebih dan akan
menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu
sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang seksama agar
produksi optimum dapat dicapai dan kelestarian sumber daya ikan
dapat terjamin.
138
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Salah satu tujuan pokok sektor pembangunan perikanan adalah


untuk meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan seiring
dengan peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan, dan sebagai
penyedia lapangan kerja. Akibat dari pemanfaatan sumber daya yang
terus meningkat, diperlukan perhatian dalam pemanfaatan sumber
daya ikan yang ada.
Sismadi (2006) menyatakan bahwa produksi adalah perubahan
dari dua atau lebih input (sumber daya) menjadi satu atau lebih output
(produk) yang merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi
dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan
pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah
mengombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan
output. Tujuan penelitian ini adalah menentukan produktivitas dan
faktor produksi yang berpengaruh dalam usaha perikanan pukat cincin
di Watampone.

Metode
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengukurun secara
langsung di lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data
statistik tahun 2005 – 2010 di Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten
Bone. Data primer meliputi dimensi kapal (panjang, lebar, dan dalam),
dimensi jaring, sedangkan data sekunder adalah produksi perikanan,
jumlah ABK, bahan bakar, upaya (jumlah trip).
Analisis Produktivitas
Pengukuran produktivitas dari alat tangkap ini meliputi produktivitas
per unit alat tangkap, produktivitas per ABK, dan produktivitas per trip
penangkapan. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Produktivitas per unit per tahun =
Σ
= (kg/unit/tahun) ................................................................... (1)
Σ

2. Produktivitas per ABK per trip =


Σ
= (kg/orang/trip)................................................................................ (2)
Σ ABK

3. Produktivitas per trip per unit =


Σ
= (kg/trip/unit)..................................................................... (3)
Σ

139
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah uji regresi berganda untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan
produktivitas pukat cincin Watampone. Analisis ini digunakan untuk
membuat estimasi parameter dari suatu hubungan fungsional antara
satu variabel dependen (produksi hasil tangkapan) dengan lebih dari
satu variabel independen (jumlah hari di laut, jumlah ABK, bahan
bakar, panjang jaring, dan panjang kapal).
Menurut Soekartawi (1990), fungsi produksi adalah hubungan fisik
antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X).
Variabel yang dijelaskan berupa output dan variabel yang menjelaskan
berupa input. Dengan fungsi produksi seperti tersebut di atas,
hubungan Y dan X dapat diketahui. Secara matematis hubungan itu
dapat dituliskan sebagai berikut.
Log Y = Log a0 + a1 LogX1 + a2 LogX2 + a3 LogX3 + a4 LogX4 + a5 LogX5 + e
di mana:
Y = Produksi
X1 = Jumlah hari di laut dalam satu trip (hari)
X2 = ABK (orang)
X3 = Bahan bakar (liter)
X4 = Panjang jaring (meter)
X5 = Panjang kapal (meter)
e = Kesalahan pengganggu
a = Koefisien regresi
Log a0 = Konstanta
Dengan menjumlahkan nilai elastisitas (nilai koefisien regresi a ) pada
fungsi produksi Cobb Douglas, diketahui skala kenaikan hasil, sebagai
berikut.
Jika jumlah a i = 1, dapat dikatakan skala kenaikan hasil yang tetap.
Jika jumlah a i > 1, dikatakan skala kenaikan hasil yang semakin bertambah.

140
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Jika jumlah a i < 1, dikatakan skala kenaikan hasil yang semakin


berkurang.

Hasil dan Bahasan


Aspek Penangkapan Ikan
Pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang aktif untuk menangkap
ikan-ikan pelagis yang umumnya hidup membentuk kawanan atau
bergerombol dalam suatu kelompok besar. Pukat cincin digolongkan
dalam jaring lingkar karena dalam pengoperasiannya jaring akan
membentuk pagar dinding melingkar yang mengelilingi kawanan ikan
yang akan ditangkap.

Gambar 1. Posisi pemasangan rumpon oleh nelayan pukat cincin


Watampone
Kapal pukat cincin dengan nama lokal “gae” di Watampone
melakukan penangkapan ikan di sepanjang tahun. Pukat cincin
Watampone menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon.

141
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Satu unit armada pukat cincin memiliki rumpon lebih dari satu buah
yang tersebar pada beberapa daerah penangkapan. Konsentrasi
rumpon nelayan Wantampone secara umum beroperasi di perairan
Teluk Bone, Laut Flores, dan perairan Sulawesi Tenggara (Gambar 1).
Kapal pukat cincin yang digunakan nelayan Watampone berbahan
dasar kayu dengan dimensi panjang (L) 16 meter, lebar (B) 4 meter,
dan dalam (D) 1,5 meter. Kapal ini menggunakan dua buah mesin yaitu
mesin utama sebagai tenaga penggerak Mitsubishi 6 silinder 120 PK
dan mesin bantu untuk menarik jarring Dongfeng 24 PK. Lama operasi
penangkapan ikan antara 3-8 hari dengan jumlah anak buah kapal
(ABK) sebanyak 15 orang.
Jaring terbuat dari bahan nylon (PA) dengan ukuran mata jaring
1 inci (Gambar 2). Pukat cincin Watampone memiliki kantong yang
terletak di salah satu sisi jaring. Menurut Nomura & Yamazaki (1977),
bentuk dan konstruksi jaring dengan posisi kantong di bagian samping
diklasifikasikan sebagai pukat cincin tipe Amerika. Pelampung yang
digunakan sebanyak 600 buah jenis TF 17A terbuat dari bahan plastik
berdiameter 11 cm dengan jarak antar pelampung 40-60 cm. Pemberat
keseluruhan mencapai 200 kg, terbuat dari bahan timah dengan jarak
15-20 cm. Cincin yang digunakan terbuat dari bahan timah berdiameter
22 cm, berat 1 kg dengan jarak antar cincin 1 meter. Tali kolor yang
digunakan untuk menarik jaring terbuat dari bahan polyester (PE)
berdiameter 20 mm dengan panjang mencapai 650 meter.

Gambar 2. Desain alat tangkap pukat cincin nelayan Watampone

142
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Hasil Tangkapan
Selama enam tahun terakhir hasil tangkapan pukat cincin nelayan
Watampone mengalami penurunan (Tabel 1). Hasil tangkapan pukat
cincin nelayan Watampone pada tahun 2005 sebesar 12.543,1 ton
dengan jumlah hasil tangkapan tertinggi didapatkan pada tahun 2008
sebesar 15.582,2 ton. Sementara jumlah hasil tangkapan terendah
terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.306,7 ton yang merupakan jumlah
hasil tangkapan terendah selama kurun waktu 6 tahun (2005-2010).
Perubahan hasil tangkapan yang terjadi dapat dipengaruhi upaya
pemanfaatan yang dilakukan oleh nelayan yang disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan rumpon sebagai alat bantu pengumpul
ikan dalam operasional penangkapan. Pada Tabel 1, terlihat adanya
tren kenaikan upaya pemanfaatan (jumlah trip) hingga tahun 2008
sebanyak 3804 trip yang kemudian mengalami penurunan drastis
hingga tahun 2010 menjadi 1.295 trip.
Dalam penelitiannya, Zulbainarni (2011) menyatakan bahwa
dalam jangka pendek kenaikan jumlah upaya penangkapan akan
meningkatkan jumlah hasil tangkapan, tetapi dalam jangka panjang
kenaikan upaya penangkapan tidak diikuti oleh kenaikan jumlah
produksi hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan ini juga dapat
disebabkan oleh adanya pengaruh cuaca ekstrem yang tidak menentu
yang menyebabkan nelayan mengurangi aktivitas melaut sehingga
menyebabkan jumlah produksi hasil tangkapan ikan berkurang.
Penurunan hasil tangkapan diikuti dengan menurunnya hasil tangkapan
per satuan upaya seperti tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Fluktuasi jumlah produksi, armada, dan trip nelayan pukat


cincin (2005-2010)
Hasil Hasil Tangkapan/
Jumlah Jumlah
Tahun Tangkapan Trip (CPUE)
Armada Trip
(ton)
2005 12543,10 94 1584 7,92
2006 11103,80 94 1584 7,01
2007 12499,20 94 3158 3,96

143
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Hasil Hasil Tangkapan/


Jumlah Jumlah
Tahun Tangkapan Trip (CPUE)
Armada Trip
(ton)
2008 15582,20 95 3804 4,10
2009 4893,40 95 2552 1,92
2010 2306,70 115 1295 1,78
Rataan 9821,40 97.83 2329.50 4.43
Sumber data: Statistik perikanan Watampone

Produktivitas Pukat Cincin


Produktivitas usaha pukat cincin nelayan Watampone dari tahun
2005 hingga 2010 mengalami fluktuasi dengan kecenderungan
menurun, yang meliputi produktivitas upaya penangkapan (ton/
trip/unit), produktivitas unit alat tangkap (ton/unit/tahun), dan
produktivitas anak buah kapal (ton/orang/trip).
Nilai rata-rata produktivitas upaya penangkapan sebesar 4,45 ton/
trip/unit terus mengalami penurunan dengan nilai tertinggi pada tahun
2005 sebesar 7,92 ton/trip/unit dan terendah pada tahun 2010 sebesar
1,78 ton/trip/unit. Nilai rata-rata produktivitas anak buah kapal (ABK)
sebesar 0,30 ton/orang/trip, dengan nilai tertinggi pada tahun 2005
sebesar 0,53 ton/orang/trip dan terendah pada tahun 2010 sebesar
0,12 ton/orang/trip. Sementara nilai rata-rata produktivitas unit alat
tangkap sebesar 103,35 tom/unit/tahun dengan nilai tertinggi pada
tahun 2008 sebesar 164,02 ton/unit/tahun dan terendah pada tahun
2010 sebesar 20,06 ton/unit/tahun. Pada Gambar 3 tampak bahwa
produktivitas pukat cincin per unit alat tangkap per tahun mengalami
penurunan yang signikan antara tahun 2008 - 2009. Dengan jumlah
unit penangkapan yang sama pada ke dua tahun tersebut, penurunan
jumlah trip penangkapan memengaruhi kinerja produktif per unit
penangkapan.
Alat tangkap pukat cincin yang selama ini mendominasi dalam
upaya penangkapan ikan pelagis oleh nelayan Watampone mengalami
penurunan produktivitas (Gambar 3). Kondisi ini disebabkan oleh
menurunnya jumlah hasil tangkapan, penambahan jumlah unit

144
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

armada, serta jumlah nelayan ataupun perusahaan yang terlibat dalam


upaya pemanfaatan pada lokasi yang sama. Lebih lanjut Zulbainarni
(2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hubungan antara
hasil tangkapan per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan
pukat cincin di Selat Bali menunjukkan hubungan yang negatif di
mana produktivitas armada pukat cincin akan menurun apabila upaya
penangkapan terus meningkat.

Gambar 3. Produktivitas usaha pukat cincin Watampone (2005-2010)


Sebagai dampak dari padatnya upaya pemanfaatan pada lokasi
yang sama, nelayan harus mencari daerah penangkapan (fishing
ground) baru dengan konsekuensi lokasi penangkapan semakin
jauh yang menyebabkan semakin lamanya waktu tempuh ke lokasi
penangkapan dan membengkaknya ongkos produksi yang harus

145
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dikeluarkan. Penggunaan bahan bakar khususnya solar meningkat


hanya untuk perjalanan menuju ke lokasi area penangkapan, selain itu
perbekalan yang lain (keperluan makan) juga meningkat.
Penurunan produktivitas akan berdampak langsung terhadap
pendapatan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Pendapatan
nelayan sangat ditentukan oleh besar kecilnya produksi yang
dihasilkan mengingat pemberian insentif bagi tenaga kerja (ABK) tidak
berdasarkan pada sistem penggajian melainkan dengan sistem bagi
hasil setelah dipotong semua biaya keperluan kapal sebelum melaut.
Dengan demikian apabila produktivitas yang dihasilkan besar, bagi
hasil pendapatan yang diperoleh nelayan juga besar demikian pula
sebaliknya. Setyorini et. al. (2009) menyatakan bahwa produktivitas
perikanan tangkap skala kecil yang masih rendah merupakan salah satu
penyebab pendapatan nelayan tidak seperti apa yang diharapkan.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Hasil Tangkapan


Dalam usaha meningkatkan produktivitas alat tangkap pukat cincin
perlu diketahui faktor yang memengaruhi nilai total hasil tangkapan.
Hasil penelitian Purwanto & Nugroho (2011) tentang pukat cincin di Laut
Jawa menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan memengaruhi
daya tangkap mencakup kekuatan mesin kapal, serta volume pukat
cincin dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan.
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas
yang digunakan dibatasi, yaitu jumlah hari di laut, ABK, BBM, ukuran
panjang jaring, dan ukuran panjang kapal (Tabel 2).
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh hasil
nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,971. Hal ini menunjukkan
bahwa 97,1% variasi dari hasil produksi ikan (variabel dependen) yang
diperoleh dapat dijelaskan atau dipengaruhi oleh kelima variabel
independen (hari di laut, ABK, BBM, panjang jaring dan panjang kapal)
secara bersama-sama dan sisanya 2,9% dijelaskan oleh faktor lain di
luar faktor-faktor yang disajikan dalam tulisan ini.
Hasil uji ANOVA atau Ftest didapat nilai Fhitung sebesar 6,83 dengan
nilai Ftabel sebesar 5,99 pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan
melihat besarnya Fhitung > Ftabel, model regresi dapat digunakan untuk

146
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

memprediksi produksi hasil tangkapan. Hubungan antara variabel


independen terhadap variabel dependen yang ditunjukkan oleh
masing-masing nilai koefisiennya yaitu variabel hari di laut (0,47), ABK
(-0,39), BBM (-2,85), panjang jaring (0,07), dan panjang kapal (-1,24).

Tabel 2. Faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas armada


pukat cincin (2011)
Rata-rata
Jumlah
Hari Panjang
kapal Tangkapan ABK BBM Panjang kapal
Bulan dilaut jaring
(unit) (ton) (orang) (ton) (meter)
(hari) (meter)
y x1 x2 x3 x4 x5
Mei 70 2.14 7.61 14.57 1.08 310.86 16.89
Juni 81 2.25 7.35 14.41 1.01 320.00 17.51
Juli 81 2.24 7.23 14.47 0.96 319.01 17.43
Agustus 86 2.31 7.02 14.66 1.02 313.14 16.80
September 76 2.20 7.16 14.05 1.03 312.89 17.07
Oktober 78 1.83 6.27 13.78 0.94 307.95 17.02
November 81 2.00 6.12 13.93 1.07 312.72 16.77

TOTAL 553 14.97 48.77 99.87 7.11 2196.57 119.50

RATA2 79 2.14 6.97 14.27 1.02 313.80 17.07

Sumber data: Enumerator Watampone

Apabila variabel independen meningkat, variabel dependen


(hasil tangkapan) juga ikut meningkat, sebaliknya apabila variabel
independen menurun variabel dependen pun ikut menurun pula.
Dengan asumsi faktor-faktor yang tidak masuk dalam model dianggap
sama, analisis yang dilakukan diperoleh fungsi produksi adalah Y = 4,9
+ 0,47X1 - 0,39X2 - 2,85X3 + 0,07X4 - 1,24X5.
Pengujian regresi menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh
sangat nyata adalah lama hari di laut dengan nilai elastisitas produksi
sebesar 0,47 yang berarti setiap penambahan hari melaut sebesar 1%
akan menambah hasil produksi sebesar 0,47%.

147
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kesimpulan
Produktivitas usaha pukat cincin nelayan Watampone dari tahun
2005 hingga 2010 menunjukkan kecenderungan menurun, dengan
nilai rata-rata produktivitas upaya penangkapan sebesar 4,45 ton/trip/
unit, produktivitas anak buah kapal (ABK) sebesar 0,30 ton/orang/trip,
dan nilai rata-rata produktivitas unit alat tangkap sebesar 103,35 ton/
unit/tahun.
Faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas
adalah lama hari di laut dengan nilai elastisitas produksi sebesar 0,47.

Persantunan
Penelitian ini merupakan salah satu hasil dari penelitian “Analisis
Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat Hela, Pukat Cincin dan
Pancing Tuna di Selat Makassar dan Laut Banda” dengan sumber dana
dari DIPA BPPL Tahun Anggaran 2011.

Daftar Pustaka
Nomura, M. Dan Yamazaki,T. 1977. Fishing Technique I. Japan
International Cooperation Agency, Tokyo. 206 pp.
Purwanto dan D. Nugroho, 2011. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan
Upaya Penangkapan Pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa,
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 17 No 1. hal 23-30.
Setyorini, Agus Suherman & Imam Triarso, 2009. Analisis Perbandingan
Produktivitas Usaha Penangkapan Ikan Rawai Dasar (Bottom Set
Long Line) dan Cantrang (Boat Seine) di Juwana Kabupaten Pati.
Jurnal Saintek Perikanan vol. 5, no. 1, hal 7-14.
Sismadi, 2006. Analisis Efisiensi Penggunaan Input Alat Tangkap Pukat
cincin di Kota Pekalongan. Tesis magister ilmu ekonomi dan studi
pembangungan Undip, Semarang. 134 hal.
Soekartawi, 1990, Teori Ekonomi Produksi: Dengan Pokok Bahasan
Analisis Fungsi Cobb-Douglass. CV. Rajawali Pers. Jakarta, 252
hal.

148
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Zulbainarni, Nimmi. 2011. Produktivitas Armada Pukat cincin dalam


Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Multi Spesies di Selat Bali. Book II,
New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. FPIK, IPB. hal 61-80.

149
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Lampiran
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.985674
R Square 0.971553
Adjusted R Square 0.829316
Standard Error 0.068955
Observations 7

ANOVA
  df SS MS F Significance F
Regression 5 0.162388 0.0324777 6.830529682 0.282276706
Residual 1 0.004755 0.0047548
Total 6 0.167143      

Standard Lower Upper Lower Upper


  Coefficients Error t Stat P-value 95% 95% 95.0% 95.0%
Intercept 4.904 5.819 0.843 0.554 -69.036 78.845 -69.036 78.845
X Variable
1 0.471 0.205 2.296 0.261 -2.134 3.075 -2.134 3.075
X Variable
2 -0.388 0.306 -1.266 0.426 -4.282 3.506 -4.282 3.506
X Variable
3 -2.847 1.560 -1.825 0.319 -22.667 16.973 -22.667 16.973
X Variable
4 0.075 0.027 2.791 0.219 -0.266 0.416 -0.266 0.416
X Variable
5 -1.236 0.539 -2.292 0.262 -8.088 5.615 -8.088 5.615

150
11
HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL
DI SELAT MAKASSAR, TELUK BONE, LAUT
FLORES, DAN LAUT BANDA
Oleh
Suwarso1), Achmad Zamroni1) dan Adi Kuswoyo1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut
E-mail: swarsorimf@gmail.com

Abstrak
Kajian hasil tangkapan ikan pelagis kecil dilaksanakan di perairan
Selat Makassar, Teluk Bone-Laut Flores dan Laut Banda, untuk
menduga indeks kelimpahan, pola musiman, dan tren hasil tangkapan
per upaya (CPUE). Pengumpulan contoh hasil tangkapan selama tahun
2011 dan dilakukan di beberapa tempat pendaratan, yaitu Kampung
Baru (Balikpapan, Kaltim), Watampone, Barru (Sulawesi Selatan), dan
Kendari (Sulawesi Tenggara), di mana masing-masing mewakili perairan
Selat Makassar bagian tengah, Selat Makassar bagian selatan, Teluk
Bone-Laut Flores, dan Laut Banda. Contoh hasil tangkapan per kapal
pukat cincin mini dan payang diperoleh dari juragan/pemilik kapal
(Kampung Baru dan Watampone) dan pencatatan hasil tangkapan
secara harian di Barru dan Kendari.
Hasil tangkapan per upaya (CPUE) ikan pelagis kecil bervariasi
secara musiman. Puncak musim tangkapan umumnya terjadi sekitar
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

musim peralihan (Agustus-Oktober), puncak yang lebih rendah sekitar


musim peralihan (Maret April). Di perairan Mamuju laju tangkap
ikan pelagis kecil oleh alat purse seine sekitar 1326 kg/trip, lebih
tinggi dibanding laju tangkap alat payang dan bagan di perairan Barru
(masing-masing sekitar 359 kg/hari dan 450 kg/trip/hari); sedangkan
laju tangkap purse seine mini di perairan Teluk Bone-Laut Flores dan
Kendari (Laut Banda bagian barat) masing-masing 950 kg/trip dan
31 ton/trip. Tren kenaikan hasil tangkapan diduga terjadi di perairan
Mamuju dan Teluk Bone-Laut Flores; sedangkan tren penurunan hasil
tangkapan terindikasi terjadi di perairan Kendari.
Ikan malalugis (Decapterus macarellus, Fam. Carangidae) dominan
dalam komposisi ikan pelagis yang tertangkap di hampir semua daerah
penangkapan di perairan oseanik sekitar Sulawesi. Persentase hasil
tangkapan serta puncak musim bervariasi di tiap lokasi. Uraian tentang
kemungkinan pengembangan dan opsi pengelolaan terkait status
pemanfaatan ikan pelagis juga dibahas dalam makalah ini.
Kata Kunci: indek kelimpahan, ikan pelagis kecil, Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda.

Pendahuluan
Ikan pelagis kecil merupakan ikan peruaya dan umumnya tersebar
luas terutama di perairan Indonesia Timur. Sumber daya ini potensial
sebagai sumber pendapatan nelayan skala kecil (purse seine mini)
dengan jenis utama berupa ikan layang (Decapterus spp). Di Provinsi
Sulawesi Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, dan NTT (kabupaten
Sikka) komoditas ikan pelagis kecil memberi kontribusi sekitar 47%
dengan produksi yang tercatat masing-masing 73635 ton, 26400 ton
dan 5000 ton (Statistik Perikanan 2009), di Kendari tercatat sebanyak
6440 ton (Statistik Produksi PPS Kendari 2009). Di Provinsi Sulawesi
Selatan sebagian besar (93%) pendaratan ikan pelagis kecil berasal
dari perairan barat dan selatan Sulawesi Selatan serta Teluk Bone
(laut dalam), sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur (Balikpapan dan
Samarinda) berasal dari Selat Makassar ”laut dangkal” (perairan timur
Kalimantan) yang merupakan fishing ground purse seine ”Jawa”.

152
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Di perairan sekitar Sulawesi dengan topografi ”laut dalam” alat


tangkap utama yang digunakan adalah purse seine mini, payang
(pajala), dan bagan perahu. Jenis utama yang ditangkap adalah ikan
malalugis (Decapterus macarellus); jenis ikan ekonomis lainnya
berupa ikan kembung/banyar (Rastrelliger kanagurta), bentong (Selar
crumenophthalmus), sardin (Amblygaster sirm), dan beberapa jenis
ikan kelompok selar. Jumlah purse seine mini yang tercatat di Sulawesi
Selatan sebanyak 1545 unit di mana aktivitasnya tersebar di perairan
Selat Makassar (870 unit), Teluk Bone (657 unit), dan Laut Flores (18
unit); di Kabupaten Sikka (NTT) tercatat sekitar 164 unit purse seine;
di Kendari tercatat sebanyak 339 unit (Statistik Perikanan Tangkap
Provinsi Sulawesi Selatan 2011). Dimensi dan spesifikasi alat tangkap
bervariasi di tiap lokasi, tetapi secara umum bersifat skala kecil (< 30
GT).
Sejalan dengan kebutuhan akan pangan dan permintaan pasar
yang tinggi, eksploitasi cenderung berlangsung intensif, tetapi
perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan sistem monitoring
yang baik sehingga data pendaratan formal atau produksi perikanan
(statistik perikanan nasional maupun daerah) sering tidak mendukung
dalam hal prediksi produksi perikanan, pendugaan stok, dan bagi
keperluan pengelolaan perikanan secara umum. Kurang optimalnya
data formal tersebut disebabkan lemahnya prosedur pendataan dalam
memanfaatkan catatan pendaratan harian di tempat pendaratan ikan
(TPI), pangkalan pendaratan ikan (PPI), pelabuhan perikanan (PPP,
PPN, PPS), serta beberapa catatan informal yang dimiliki juragan
pemilik kapal dan bakul pengumpul.
Makalah ini menyajikan tentang hasil tangkapan dan komposisi
jenis ikan pelagis terutama dari perikanan skala kecil di beberapa
perairan sekitar Sulawesi (laut dalam) untuk menduga kelimpahan,
variasi musiman, dan kecenderungan perubahannya. Hasil penelitian
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan dalam
prediksi produksi perikanan, penentuan alokasi, dan opsi pengelolaan
perikanan lainnya.

153
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu
Penelitian dilakukan pada tahun 2011 di WPP Selat Makassar, Laut
Flores, Teluk Bone, dan Laut Banda bagian barat mencakup pendataan
periode 2004-2011. Data dikumpulkan di beberapa lokasi pendaratan
terhadap alat tangkap purse seine mini, payang, dan bagan; antara
lain di Kampung Baru Tengah (Balikpapan), Barru (Sulawesi Selatan),
Watampone (Sulawesi Selatan), dan Kendari (Sulawesi Tenggara).
Masing-masing mewakili perairan Mamuju (Selat Makassar bagian
tengah), perairan Barru (Selat Makassar bagian selatan), Teluk Bone-
Laut Flores, dan Laut Banda bagian barat (Gambar 1).

Gambar 1. Peta daerah penangkapan dan lokasi sampling

Jenis Data dan Metode Pengumpulan


Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian ini sebagai berikut.
a. Data hasil tangkapan per kapal menurut jenis alat tangkap. Contoh
hasil tangkapan per kapal diperoleh dari juragan pemilik kapal dan

154
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

penampung ikan (penyambang) di Kampung Baru dan Watampone


(alat payang/pajala), monitoring hasil tangkapan di Barru (oleh
enumerator; alat purse seine mini dan bagan), dan Kendari (PPS;
purse seine mini). Catatan harian PPI Lonrae di Watampone juga
digunakan (alat purse seine mini dan bagan) (Tabel 1).
Contoh hasil tangkapan dikumpulkan melalui pendataan secara
harian (monitoring) oleh enumerator, pemilik kapal, atau PPI.
Pencatatan meliputi tanggal pendaratan, nama kapal, dan hasil
tangkapan per jenis ikan.
b. Data alat tangkap: jumlah dan dimensi kapal/alat tangkap.
c. Data jumlah trip tiap bulan diperoleh dari jumlah kapal yang
beroperasi.
d. Informasi aspek operasional penangkapan (daerah penangkapan,
lama operasi di laut). Khusus untuk daerah penangkapan kapal-
kapal Mamuju diperoleh berdasarkan posisi rumpon yang
dipetakan oleh Navigation Packages Far East Ltd. Data posisi
rumpon ini juga disertai dengan data kedalaman perairan.

Tabel 1. Lokasi sampling dan sumber data hasil tangkapan yang


digunakan
Daerah
Lokasi Jenis Data Alat Tangkap Sumber Data
Penangkapan
Kp. Baru Mamuju, S. Catch per Purse Seine Catatan
Tengah Makassar kapal Mini pemilik
(Balikpapan) bagian tengah kapal dan
penampung
Barru Barru, S. Catch per Payang dan Catch
Makassar kapal bagan monitoring
bagian selatan (Enumerator)
Watampone Tel. Bone dan Catch per Purse Seine Catatan PPI
L. Flores kapal Mini dan dan Pemilik
bagan kapal
Kendari Laut Banda Catch per Purse Seine Catch
bagian barat kapal Mini monitoring
(Enumerator)

155
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kompilasi dan Analisis data


Keseluruhan data yang diperoleh kemudian ditabulasi menurut
waktu dan lokasi. Ringkasan data dan penginterpretasian untuk
melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dilakukan
secara grafis dibantu dengan ”menu Pivot Table” dari program Excel.
Analisis statistik sederhana untuk memperoleh nilai rata-rata juga
dilaksanakan.
Komposisi hasil tangkapan. Komposisi hasil tangkapan didasarkan
pada kontribusi tiap jenis ikan (dalam %) terhadap total hasil tangkapan
menurut waktu (bulan atau tahun).
Indeks kelimpahan (laju tangkap/CPUE) dan dugaan musim.
Dugaan musim hasil tangkapan menurut waktu (musim atau tahun)
didasarkan pada nilai rata-rata hasil tangkapan (laju tangkap, CPUE,
dalam kg/trip) sebagai indek kelimpahan ikan.

Hasil dan Bahasan


Hasil
Aktivitas penangkapan ikan pelagis dengan alat purse seine mini
pada dasarnya bersifat harian. Pendaratan dilakukan di tempat/
pangkalan pendaratan ikan atau di kapal penampung (Kampung Baru,
Balikpapan).
Perairan Barat Mamuju (Sulawesi Barat)
Dari catatan pemilik kapal dan penampung ikan di Kampung
Baru (Balikpapan) antara tahun 2004-2010, tercatat antara 9-40
unit kapal per tahun atau antara 15-116 trip per tahun. Total kapal
contoh sebanyak 66 unit kapal purse seine mini (nama lokal ’pajala’)
asal Mamuju yang melakukan penangkapan di perairan barat Mamuju
(lihat Gambar 1).
Dalam kurun waktu tersebut hasil tangkapan per trip sangat
bervariasi antara < 100 kg sampai > 11 ton per trip per kapal; fluktuasi

156
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

hasil tangkapan terjadi secara tahunan dan musiman; rata-rata laju


tangkap (CPUE) antara 731,5 – 1785,2 kg/trip (Tabel 2 dan Gambar 2).
Dari Tabel 2 dan Gambar 2 dapat terlihat dalam periode 2004-2010
terjadi tren kenaikan laju tangkapan per trip dari tahun ke tahun. Tren
penurunan jumlah trip tidaklah mutlak menunjukkan tren penurunan
dari upaya/effort karena data hanya berasal dari sejumlah kapal
contoh.
Jenis layang biru/malalugis (Decapterus macarellus) dan tongkol (2
species) merupakan jenis paling dominan tertangkap, masing-masing
memberi kontribusi sekitar 65% dan 35% dalam hasil tangkapan. Dari
tahun ke tahun juga terlihat perubahan komposisi jenis; jumlah ikan
layang (%) terlihat semakin banyak sedang tongkol semakin sedikit
(Gambar 3).

Tabel 2. Hasil tangkapan purse seine mini (pajala) di perairan barat


Mamuju, tahun 2004-2010

Hasil Tangkapan (kg/trip)


Kapal
Th. Trip
Sample
Maks Min Rata-rata Stdev.

2004 26 59 5952 15 731.5 1075.0

2005 40 116 6340 28 1234.8 1372.1

2006 18 26 5123 32 1286.6 1285.5

2007 21 72 7246 24 1550.5 1798.0

2008 16 20 4605 40 1166.3 1073.8

2009 9 15 7268 63 1745.4 2200.9

2010 21 55 11388 47 1785.2 2259.2

157
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 2. Tren laju tangkapan (kg/trip) dan jumlah trip purse seine
mini (pajala) asal Mamuju (Sulawesi Barat) di peraian barat
Mamuju, tahun 2004-2010

Gambar 3. Komposisi jenis ikan pelagis hasil tangkapan purse seine


mini (pajala) di perairan Mamuju (Sulawesi Barat) yang
didaratkan di Balikpapan, 2004-2010
Perairan Barru (Sulawesi Selatan)
Di perairan sebelah barat Kabupaten Barru aktivitas penangkapan
ikan pelagis dilakukan dengan menggunakan alat tangkap purse
seine mini (nama lokal ’gae’) dan bagan. Ikan pelagis pada dasarnya
tertangkap sepanjang tahun dan berfluktuasi secara musiman/bulanan.

158
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Dari hasil monitoring secara harian selama Januari sampai November


2011 terhadap alat payang/pajala (n=1240) dan bagan (n=1171) oleh
enumerator lapangan, hasil tangkapan payang bervariasi setiap bulan
berkisar antara 50 kg sampai 7,5 ton; rata-rata hasil tangkapan bulanan
antara 279-491 kg/trip (Tabel 3). Hasil tangkapan bagan antara 15 kg
sampai 10 ton, rata-rata bulanan antara 323-994 kg/trip (Tabel 4).

Tabel 3. Hasil tangkapan payang di perairan Barru (Sulawesi Selatan),


2011

Kapal Hasil Tangkapan (kg/trip)


Bulan Trip
Sample Min Maks Average Stand Dev
Jan 8 79 100 750 290 114
Feb 11 187 100 1250 374 172
Mar 12 158 50 1350 284 141
Apr 9 71 50 1350 304 244
May 9 200 50 750 279 136
Jun 13 288 50 4500 408 574
Jul 11 302 50 3750 364 390
Aug 16 316 100 7500 491 741
Sep 11 423 50 2000 449 397
Oct 17 390 50 1500 312 221
Total 31 1240 50 7500 359 376

Tabel 4. Hasil tangkapan bagan di perairan Barru (Sulawesi Selatan),


2011
Kapal Hasil Tangkapan (kg/trip)
Bulan Trip
Sample Min Maks Average Stand Dev
May 10 83 50 6000 551 862
Jun 13 183 15 1100 323 223
Jul 12 172 0 2000 458 350
Aug 12 182 50 10000 994 1338

159
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kapal Hasil Tangkapan (kg/trip)


Bulan Trip
Sample Min Maks Average Stand Dev
Sep 11 300 0 1600 551 312
Oct 11 254 0 1000 427 173
Total 22 1171 15 10000 545 655
Pola musiman hasil tangkapan payang menunjukkan puncak musim
ikan pelagis berlangsung dua kali, yaitu pada sekitar bulan Februari
dan puncak yang lebih besar terjadi pada bulan Agustus (Gambar 4).
Pada alat tangkap bagan diperkirakan menunjukkan pola musiman
yang bersamaan dengan hasil tangkapan minimum sekitar bulan Juni
(musim timur).

Gambar 4. Fluktuasi musiman laju tangkap ikan pelagis kecil yang


tertangkap payang dan bagan di perairan Barru, Sulawesi
Selatan, 2011
Komposisi jenis hasil tangkapan dari kedua jenis alat tangkap
ternyata berbeda. Hasil tangkapan utama pada alat payang di perairan
Barru berupa cakalang (Katsuwonus pelamis), yellow-fin tuna (Thunnus
albacares) dan selar/katombo (Selar crumenophthalmus) masing-

160
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

masing sekitar 41%, 30% dan 24%; ikan malalugis sedikit tertangkap.
Sedang pada bagan hasil tangkapan utama berupa ikan malalugis
(Decapterus macarellus) dan teri (Stolephorus) masing-masing
sebanyak 32% dan 39% (Gambar 5).

Gambar 5. Komposisi jenis hasil tangkapan payang dan bagan di


perairan Barru, Selat Makassar
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Teluk Bone dan Laut Flores
Terdapat dua jenis alat tangkap utama yang menangkap ikan
pelagis kecil di Teluk Bone-Laut Flores, yaitu purse seine mini dan
bagan perahu; tempat pendaratan di PPI Lonrae, Watampone
(Sulawesi Selatan). Tercatat lebih dari 100 unit alat purse seine dan
sekitar 90 unit bagan perahu di kabupaten Watampone (Bone).
Daerah penangkapan bagan terdapat di pantai Bone, sedang purse
seine menangkap di perairan teluk (Teluk Bone) hingga keluar teluk
(Laut Flores) (lihat Gambar 1).
Dari catatan PPI Lonrae antara Januari sampai Oktober 2011
terhadap 62 unit kapal purse seine (n=184 trip; per bulan 1-38 trip)
dan 90 unit kapal bagan (n=1044 trip; per bulan 6-182 trip), ikan
pelagis tertangkap sepanjang tahun, fluktuasi hasil tangkapan terjadi
secara bulanan (Gambar 6). Hasil tangkapan purse seine dan bagan
berkisar antara kurang dari 100 kg sampai 3,1 ton; namun umumnya
hasil purse seine lebih banyak (rata-rata total sebanyak 960 kg/trip)

161
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dibanding bagan (sekitar 225 kg/trip). Rata-rata hasil tangkapan per


bulan (laju tangkap, kg/trip) dari kedua jenis alat tangkap ditunjukkan
pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil tangkapan purse seine dan bagan di Teluk Bone-Laut


Flores yang didaratkan di PPI Lonrae, Watampone, Januari-
Oktober 2011
Alat
Bulan N Min Average Max Std Dev
Tangkap
Bagan Jan 157 60 233 960 173
  Feb 146   215 1,500 169
  Mar 150 50 247 1,200 183
  Apr 182 45 225 1,519 165
  May 135 17 174 700 113
  Jun 107 15 203 1,166 214
  Jul 76 20 145 525 83
  Aug 27 40 125 300 72
  Sep 48 30 542 3,000 654
  Oct 16 75 183 428 96
Purse
Jan 10 300 808 1,800 427
Seine
  Feb 29 100 580 1,680 408
  Mar 15 180 978 2,600 622
  Apr 34 164 796 2,520 473
  May 38 14 812 1,714 412
  Jun 23 540 1,131 2,040 410
  Jul 12 480 1,548 3,120 879
  Aug 7 1,200 2,057 2,700 559
  Sep 1 1,200 1,200 1,200  
  Oct 15 100 1,260 3,000 833
Musim dan komposisi Jenis Hasil Tangkapan
Pada Gambar 6 diperlihatkan fluktuasi bulanan dari laju tangkap
kedua alat tangkap. Pola musim tangkapan terjadi dua kali, yaitu sekitar

162
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

bulan Maret, puncak utama yang lebih besar berlangsung sekitar bulan
Agustus (purse seine) dan September (bagan).

Gambar 6. Fluktuasi laju tangkap (kg/trip) purse seine dan bagan


perahu di Teluk Bone dan Laut Flores, 2011
Ikan layang biru/malalugis (D. macarellus) menjadi target
penangkapan purse seine, kontribusinya dalam hasil tangkapan sekitar
93%; jenis lainnya antara tongkol (4%), cakalang (2%) dan lainnya 1%.
Sedang pada bagan hasil tangkapan terutama terdiri dari teri (35%),
malalugis (16%), banyar (14%), sardin (6%) dan ikan lainnya sekitar
29% (Gambar 7).

163
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 7. Komposisi jenis hasil tangkapan purse seine (atas) dan


bagan (bawah) di Teluk Bone-Laut Flores
Berdasarkan catatan harian seorang juragan pengumpul terhadap
dua kapal purse seine menunjukkan tren kenaikan laju tangkap (kg/
trip) sejak tahun 2006 hingga 2011, dari 580 kg/trip pada 2006 menjadi
sekitar 1574 kg/trip pada tahun 2011 (Gambar 8). Kenaikan laju tangkap
pada tahun 2010 dan 2011 terlihat tidak diimbangi oleh kenaikan
jumlah trip walaupun jumlah kapal yang beroperasi bertambah (Tabel
6). Dari hal tersebut penurunan jumlah trip pada tahun 2010-2011
diperkirakan terkait dengan penambahan jumlah hari di laut untuk
memperoleh hasil tangkapan lebih meskipun daerah penangkapannya
lebih jauh hingga ke perairan teluk sebelah selatan/tenggara.

Gambar 8. Fluktuasi laju tangkap (kg/trip) dan upaya (jumlah trip)


purse seine di Teluk Bone dan Laut Flores, 2006-2011
(Sumber data: juragan pemilik kapal)

164
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Tabel 6. Hasil tangkapan purse seine mini ’Bone’ (Sulawesi Selatan)


di perairan Teluk Bone dan Laut Flores, 2006-2011

Kapal Hasil Tangkapan


Trip
Sample CPUE Min Max Stand Dev
2006 2 73 580 38 1875 436
2007 2 72 912 75 7500 969
2008 2 100 668 75 4313 633
2009 2 110 788 56 4988 679
2010 3 75 1194 88 4258 868
2011 4 74 1574 105 4095 1008
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Timur Kendari (Laut Banda Bagian
Barat)
Tabel 7 menyajikan hasil tangkapan total (catch), jumlah trip (effort
= upaya), dan catch per trip (indeks kelimpahan) total dari pukat cincin
mini di perairan Kendari selama tahun 2006-2011. Lama trip rata-rata
adalah 3 hari. Gambar 8 memperlihatkan fluktuasi indek kelimpahan
(catch per unit of effort) beberapa jenis ikan yang dominan. Setelah
mencapai CPUE tertinggi pada tahun 2007, CPUE layang kemudian
menurun hingga 2009 tetapi kembali menunjukkan kenaikan CPUE
pada tahun 2010. Jenis ikan terlihat menentukan hasil tangkapan
total ikan pelagis kecil, sedang ikan pelagis besar ditentukan oleh jenis
tongkol.

Tabel 7. Hasil tangkapan total, jumlah hari operasi pukat cincin mini,
dan indek kelimpahan total di perairan Kendari dari tahun
2006-2011
2006 2007 2008 2009 2010 2011*
Hasil tangkapan 6250 8667 9660 6440 11 836 5360
total (kg)
Jumlah trip 2001 2440 2054 2368 3329 1692
Laju tangkap (kg/ 36280 40345 59176 32201 43429 31017
trip)

*sampai Oktober

165
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Komposisi Hasil Tangkapan


Hasil tangkapan purse seine mini di perairan Kendari terdiri atas
jenis-jenis ikan pelagis kecil sebanyak 30-52% (layang biru/malalugis,
banyar, siro, selar) dan ikan pelagis besar sebanyak 55-67% (tongkol,
cakalang). Mengingat perairan Kendari merupakan bagian dari Laut
Banda yang oseanik, maka persentase jenis-jenis ikan pelagis besar
pada umumnya lebih tinggi (62-67%) dari persentase jenis-jenis ikan
pelagis kecil (33-38%). Jenis ikan pelagis kecil yang dominan berupa dua
jenis ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus)
sedangkan ikan pelagis besar didominansi oleh jenis ikan tongkol (Auxis
spp. dan Euthynnus spp.). Jumlah (%) tangkapan jenis ikan pelagis kecil
lainnya (banyar, siro, tembang, selar-selaran) sangat sedikit (antara
0,1-4,3%); jenis pelagis besar lainnya juga sedikit (antara 0,3-4,9 %) dan
terdiri dari ikan cakalang dan tuna. Ikan layang adalah sasaran utama
dalam pengoperasian pajeko di perairan Kendari, karena merupakan
komoditas ekspor.

166
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Gambar 9. Hasil tangkapan per trip (CPUE) ikan pelagis yang tertangkap
purse seine mini di perairan Kendari 2006-2010 (kiri) dan
perubahan komposisi hasil tangkapan tahun 2009-2010
(kanan) (Keterangan: IPK= ikan pelagis kecil; IPB= ikan
pelagis besar)
Ikan tongkol tertangkap setiap bulan, persentase yang rendah
umumnya terjadi antara bulan Mei sampai September; sebaliknya
ketika hasil tangkapan tongkol rendah maka hasil tangkapan ikan
layang menunjukkan lebih besar. Ikan layang tertangkap pada setiap
bulan dengan persentase yang bervariasi. Persentase ikan layang yang
tinggi biasanya terjadi antara bulan April sampai Agustus. Persentase
ikan layang yang rendah di bawah 20% terjadi sekitar bulan Nopember-
Desember (Gambar 9). Selama periode tahun 2006-2008, persentase
ikan pelagis besar naik, sedangkan ikan pelagis kecil turun masing-
masing 5%. Berdasarkan nilai indek kelimpahan (CPUE) diduga stok
ikan layang lebih kecil dibandingkan dengan stok ikan tongkol.

167
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Bahasan
Pola Musiman Hasil Tangkapan
Di perairan laut dalam sekitar Sulawesi jumlah hasil tangkapan
ikan pelagis kecil bervariasi menurut lokasi maupun musim, tapi pola-
pola musiman hasil tangkapan yang hampir bersamaan terlihat dari
data-data yang tersedia meskipun sementara ini dugaan musim untuk
perairan Mamuju didasarkan pada hasil observasi dikarenakan data
belum tersedia. Puncak musim tangkapan umumnya terjadi sekitar
bulan Agustus-September (musim peralihan 2), puncak yang lebih
kecil antara bulan Maret-April (peralihan 1), sedang musim paceklik
biasanya sekitar musim barat (Desember-Januari) dan musim tenggara
(Agustus). Berdasarkan observasi produktivitas (cpue) purse seine
Mamuju pada saat puncak musim dapat mencapai 3-5 ton/tawur.
Pola musiman ikan layang/momar juga telah ditunjukkan oleh Yusuf &
Hamzah (1990) di perairan Maluku.
Di perairan Barru puncak musim berlangsung sekitar Februari
(kecil) dan puncak yang lebih besar pada bulan Agustus. Alat tangkap
payang dioperasikan dengan target penangkapan berupa ikan tongkol
dan cakalang, sedang jenis ikan pelagis kecil (malalugis) tertangkap
oleh alat bagan. Di Teluk Bone-Laut Flores puncak hasil tangkapan juga
terjadi sekitar bulan Agustus, puncak yang lebih kecil pada bulan Maret.
Sedang di perairan Kendari, ikan pelagis kecil (malalugis) merupakan
bagian dari hasil tangkapan purse seine selain ikan-ikan pelagis besar
yang lebih banyak jumlahnya; puncak musim tangkapan ikan pelagis
kecil berlangsung antara akhir musim timur sampai musim peralihan 2
(Juni-Agustus sampai November).
Pola musiman kelimpahan ikan pelagis umumnya berhubungan
dengan kesuburan perairan dan melimpahnya plankton sebagai
makanan ikan yang diketahui berhubungan langsung dengan proses
upwelling (di Sulawesi Selatan dan Laut Banda terjadi pada musim
timur, Juni-Agustus) (Ilahude, 1978). Di perairan Kendari kandungan
klorofil-a tertinggi terjadi pada musim peralihan 2 sebesar 0,47 mg/m3,
sedangkan terendah pada musim peralihan 1 (0,13 mg/m3). Puncak
kandungan klorofil-a pada musim peralihan 2 tersebut berasal dari

168
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

puncak upwelling musim timur yang berpengaruh pada melimpahnya


ikan pelagis pada musim peralihan 2. Keterkaitan kesuburan perairan
dan kondisi oseanografi dengan pola-pola musiman ikan pelagis telah
dikaji untuk ikan layang di perairan Kendari (Hariati et al., 2010) dan
ikan layang di Selat Makassar bagian selatan (Prasetyo & Suwarso,
2010).

Kelimpahan Ikan Pelagis Kecil


Sementara ini diduga kelimpahan ikan pelagis di perairan Mamuju
lebih tinggi dibanding perairan Barru di sebelah selatannya; rata-rata
hasil tangkapan purse seine Mamuju mencapai 1326 kg/trip dengan
kapal tradisionil ukuran 7 GT, sedang di Barru kapal payang dengan
ukuran hampir sama sekitar 400 kg/trip. Meskipun jumlah hari laut kapal
Mamuju dapat mencapai 6-7 hari tapi catatan hasil tangkapan bersifat
harian. Perbedaan jumlah tangkapan (laju tangkapan, CPUE) diduga
selain terkait dengan jumlah sediaan (kelimpahan stok) yang ditentukan
oleh musim, juga bergantung pada kapasitas penangkapannya. Lebih
rendahnya kelimpahan ikan pelagis di perairan Barru (terutama ikan
malalugis pada alat bagan) diperkirakan akibat penggunaan kapal
yang kecil sehingga hanya beroperasi di sekitar pantai, sedang fishing
ground kapal Mamuju berada lebih ketengah. Disamping itu, stok ikan
di perairan barat Mamuju (terutama malalugis) yang menjadi target
penangkapan purse seine Mamuju terindikasi merupakan unit stok
yang cenderung berbeda dengan unit stok (malalugis) di perairan
bagian selatan (Zamroni & Suwarso, 2011).
Berdasarkan survey akustik bulan Juni dan Oktober 2011 di pantai
barat Sulawesi Selatan (selatan Donggala hingga Barru), gerombolan
ikan yang lebih besar ditemukan berada di perairan bagian selatan
Selat Makassar di sekitar kepulauan karang Spermonde; makin ke
arah selatan diduga semakin besar terkait pengaruh pusat kesuburan
(upwelling) di Selat Makassar bagian selatan.

Tren Kelimpahan Ikan Pelagis Kecil


Tren kenaikan hasil tangkapan per trip (CPUE, indek kelimpahan)
ditunjukkan oleh purse seine mini Mamuju dan Bone, sedang tren
penurunan CPUE terlihat pada perikanan purse sene di Kendari.

169
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Tren kenaikan CPUE di Mamuju dan Bone mengindikasikan bahwa


kelimpahan sumberdaya pelagis yang dieksploitasi masih dapat
mendukung kapasitas penangkapan yang berjalan. Armada yang
digunakan ukuran kecil (7-15 GT) di Mamuju dan ukuran antara 7-30
GT di Watampone, dengan kapasitas terbatas, meskipun studi tentang
efisiensi penangkapan menunjukkan bahwa kapasitas perikanan
pukat cincin di Watampone sebagian besar telah memanfaatkan
kapasitas penangkapan secara optimal (Hufiadi & Nurdin, 2012). Alat
bantu penangkapan hanya berupa rumpon; alat batu lampu belum
dimanfaatkan.
Sebaliknya di perairan timur Kendari tingkat eksploitasi ikan
pelagis oleh perikanan purse seine cukup tinggi, ditunjukkan oleh
indek tingkat pemanfaatan (E) terhadap ikan layang abu-abu
(Decapterus macrosoma) dan layang biru (Decapterus macarellus)
yang telah mencapai 0,56 dan 0,50 (Hariati et al., 2011). Selain
menggunakan rumpon, operasi penangkapan purse seine di Kendari
telah memanfaatkan bantuan cahaya lampu. Rumpon yang dimiliki
oleh tiap kapal ditancap di lokasi penangkapan sedangkan lampu
dipasang di bagian atas kapal (30 buah).
Dari hal tersebut di atas pengembangan perikanan pelagis (purse
seine mini) nampaknya dimungkinkan diterapkan di perairan Mamuju
dan Teluk Bone-Laut Flores. Pengembangan perikanan disarankan
berpegang pada prinsip kehati-hatian (ukuran kapal dibawah 30 GT)
dan bertanggung jawab (responsible fisheries) seperti dinyatakan oleh
Martosubroto (2005); sebaliknya pengendalian dini perlu diterapkan
pada perikanan purse seine mini di Kendari.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Hasil tangkapan ikan pelagis kecil di sekitar Sulawesi umumnya
berfluktuasi musiman. Variasi menurut lokasi dimungkinkan karena
armada yang digunakan bervariasi (ukuran, alat bantu, fishing ground
dan lama di laut. Hasil tangkapan per trip (CPUE) di perairan Mamuju

170
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

(1326 kg/trip) lebih tinggi dibanding Barru (sekitar 450 kg/trip). Di


Teluk Bone mencapai 950 kg/trip, sedang di Kendari dapat mencapai
31 ton/trip pada tahun 2011.
Secara umum puncak kelimpahan ikan pelagis terjadi pada sekitar
musim peralihan 2 (Agustus-Oktober), puncak yang lebih rendah pada
musim peraihan 1 (Februari-April). Pada musim tenggara (Juni-Juli) dan
musim barat (Desember-Januari) hasil tangkapan minimal. Perbedaan
musim ikan menurut lokasi hanya berbeda satu bulan.
Ikan malalugis adalah jenis paling dominan dan menjadi target
penangkapan purse seine Mamuju, Watampone (93%) dan Kendari
(31-52%), tetapi juga tertangkap cukup banyak oleh bagan di perairan
Barru (36%). Hasil tangkapan payang di perairan Barru dan purse seine
di Kendari juga didominasi ikan pelagis besar (tongkol, cakalang).
Kenaikan hasil tangkapan per trip (CPUE) terindikasi terjadi di
Mamuju (2004-2010), Teluk Bone-Laut Flores (2006-2011); sedang
penurunan hasil tangkapan terindikasi terjadi di perairan Kendari pada
perikanan pelagis oleh purse seine.
Pengembangan perikanan pelagis (purse seine mini) dimungkinkan
diterapkan di perairan Mamuju dan Teluk Bone-Laut Flores dengan
mengikuti prinsip kehati-hatian (ukuran kapal dibawah 30 GT) dan
bertanggung jawab (responsible fisheries); sebaliknya pengendalian
dini perlu diterapkan pada perikanan purse seine mini di Kendari.

Saran
Kajian lebih mendalam tentang fluktuasi musiman kelimpahan
ikan pelagis di perairan Mamuju diperlukan sebagai validasi data dan
informasi yang telah diperoleh, serta kajian yang lebih terarah tentang
status stok dan eksploitasi ikan pelagis di perairan Kendari. Informasi
tentang karakter biologi sumberdaya sangat penting dipahami sebagai
landasan kuat untuk pengelolaan berkelanjutan.

Persantunan
Penelitian ini merupakan sebagian hasil dari kegiatan penelitian
APBN tahun 2011 berjudul “Penelitian potensi, distribusi-kelimpahan

171
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dan biologi ikan pelagis kecil di WPP 713 (Selat Makassar – Laut Flores
– Teluk Bone) dan WPP 714 (Laut Banda – Teluk Tolo)”.

Daftar Pustaka
Prasetyo, A. P. dan Suwarso. 2010. Hubungan kelimpahan
ikan layang (Decapterus spp.) dengan suhu permukaan laut
dan kesuburan perairan di Selat Makassar bagian selatan.
Semnaskan UGM 2010.
Anonimous. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP-DKP dan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan. 2011.
Statistik Perikanan Tangkap Propinsi Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Statistik Perikanan
Tangkap Indonesia, 2009. Jakarta.
Hariati, T., K. Amri & U. Chodriyah. 2010. Fluktuasi hasil tangkapan
ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Kendari dan sekitarnya
serta kaitannya dengan sebaran suhu permukaan laut, salinitas
dan Klorofil-A permukaan. J. Lit. Perikan Ind. Vol 16.No. 2, Juni
2010 :
Hufiadi dan Erfind Nurdin. 2012. Efisiensi penangkapan pukat
cincin Watampone di beberapa daerah penangkapan. Diajukan
pada Seminar Hasil Riset 2011.
Martosubroto, P. 2005. Menuju pengelolaan Perikanan yang
bertanggung jawab. Forum Pengkajian Stok Ikan Laut, Hotel
Bintang. Jakarta, 27-28 Desember 2005.
Yusuf, S. A. dan M. S. Hamzah. 1990. Pengaruh musim terhadap
produksi ikan momar (Decapterus sp.) dikaitkan dengan kondisi
hidrologi di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Jurnal
Pen. Perikanan Laut, 79, 40-46. Pross. Simposium Perikanan
Indonesia I. Buku II: Bidang Sumberdaya Perikanan dan
Penangkapan. Puslitbang Perikanan, 93-101.

172
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Ilahude, A.G. 1978. On the factors affecting the productivity of the


south Makasar strait. Mar. Res. Indonesia 21 : 100pp.
Zamroni, A. dan Suwarso. 2011. Keragaman genetik dan struktur
populasi ikan malalugis (D. macarellus) di sekitar Sulawesi.
Dipresentasikan pada Seminar Hasil Riset Tahun 2011 dan
diusulkan sebagai penelitian terbaik Tahun 2011.

173
12
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG BIRU/
MALALUGIS (Decapterus macarellus) DI
SELAT MAKASSAR, LAUT FLORES
DAN LAUT BANDA
Oleh
Moh. Fauzi1), Suwarso1) dan M. Fadli Yahya1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi aspek
biologi reproduksi ikan layang biru (Decapterus macarellus) di Selat
Makasar, Laut Flores dan Laut Banda, sebagai bahan masukan dalam
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Selama periode tahun 2010
sampai 2011 spesimen ikan layang biru yang dianalisis sebanyak 3738.
Populasi ikan layang biru didominasi oleh ikan-ikan muda subadult.
Nilai nisbah kelamin betina dan jantan tidak berbeda nyata. Ikan
jantan dengan ukuran panjang lebih besar dari 26 cmFL mendominasi
hasil tangkapan. Musim pemijahan ikan layang biru di Selat Makasar
terjadi yaitu pada awal musim barat (bulan Februari) dan awal musim
timur (bulan Agustus). Panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan
layang biru di Selat Makasar adalah 25,12 cmFL, di Laut Banda sebesar
25,45 cmFL dan di Laut Flores 25,86 cmFL.
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Berdasarkan aspek-aspek biologi ikan layang biru tersebut,


langkah-langkah pengelolaan yang perlu dilakukan adalah pembatasan
musim/waktu penangkapan (closed season), pengendalian ukuran
yang boleh ditangkap, pengaturan ukuran mata jaring dan aspek lain
terkait biologi reproduksinya.
Kata kunci: Biologi reproduksi, layang biru/malalugis (D.
macarellus), Selat Makassar, Banda, Flores.

Pendahuluan
Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Kawasan Timur
Indonesia telah dilakukan secara intensif. Selain dikonsumsi, jenis ikan
ini juga dimanfaatkan sebagai umpan pada perikanan tuna. Untuk
menjaga agar sumberdaya ini tetap lestari maka perlu adanya opsi-
opsi pengelolaan yang tepat. Salah satu aspek yang dapat dijadikan
parameter kondisi suatu sumberdaya di sebuah wilayah perairan adalah
kondisi biologi reproduksinya. Pengetahuan mengenai aspek biologi
reproduksi mencakup sebaran ukuran panjang, kondisi kematangan
seksual, nisbah kelamin, indeks kematangan gonad dan ukuran
pertama kali matang dapat dijadikan dasar bagi pengelolaannya.
Ikan layang biru, D. macarellus (Gambar 1) merupakan jenis ikan
yang bersifat oseanik, menghuni perairan laut dalam dengan kadar
garam minimum 34 permil. Secara morfologis jenis ikan layang biru
yang hidup di laut dalam sama dengan jenis ikan layang yang hidup
di perairan dangkal (paparan) hanya sedikit perbedaan tampak pada
warnanya yang lebih biru (gelap). Daerah penyebarannya meliputi
perairan ZEE Selat Malaka, Samudera Hindia (lepas pantai barat
Sumatera Utara, Kepulauan Mentawai dan di selatan Jawa). Selain
itu ikan layang biru terdapat pula di perairan Indonesia bagian timur
antara lain Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda dan Teluk Tomini
(Hariati, 2005).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan parameter
biologi reproduksi dan dugaan musim pemijahan ikan layang biru D.
macarellus di perairan Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Banda.

176
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Gambar 1. Ikan layang biru/malalugis (Decapterus macarellus)

Bahan dan Metode


Spesimen dan Lokasi Pengambilan Sampel
Selama periode tahun 2010 hingga 2011 telah diukur sebanyak
3738 spesimen ikan layang biru/malalugis, Decapterus macarellus,
yang berasal dari tiga zona perairan yaitu Selat Makasar bagian
selatan (Pangkajene Kepulauan, Makasar, Galesong, Mamuju, Takalar,
Bulukumba, Kajang); Laut Flores bagian utara (Kabaena) dan Teluk
Maumere; dan Laut Banda (Bau-bau, Menui) (Gambar 2).

Prosedur dan Teknik Pengambilan Contoh


Prosedur pengambilan contoh, teknik pengukuran dan analisis
data mengacu pada Suwarso & Wudianto (2002).
Sampling biologi reproduksi dilakukan serial bulanan selama tahun
2010-2011 di tempat-tempat pendaratan ikan dari tiga zona perairan
yaitu Selat Makasar Bagian Selatan (Balikpapan, Makasar dan Pangkep);
Kendari mewakili Laut Banda dan Watampone (Kabaena) mewakili Laut
Flores Bagian Utara dan Teluk Maumere mewakili Laut Flores bagian
selatan. Ikan hasil tangkapan armada purse seine dan mini purse seine
yang telah dibongkar dari palkah diukur secara random dengan jumlah
sample antara 100-200 ekor per bulan per kategori kapal. Minimum
ukuran ikan yang diamati mengacu pada kondisi dimana ikan sudah
dapat dibedakan jenis kelaminnya secara visual dan bagi spesies D.
macarellus didapat pada ukuran 17 cmFL ke atas.

177
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel ikan layang biru (D. macarellus)


di Selat Makasar dan Laut Banda, Laut Flores
Pengamatan biologi reproduksi meliputi ukuran panjang total/
Total Length/TL dan panjang cagak/Fork Length/FL(cm), jenis kelamin,
berat total dan berat gonad (dalam gram), dan kondisi kematangan
seksual. Penentuan tingkat kematangan seksual mengacu pada
Holden & Raitt (1974) yang membagi tingkat kematangan gonad ikan
menjadi 5 kategori yaitu TKG I: dara, belum matang (immature); TKG
II: berkembang (maturing); TKG III: pematangan (ripening); TKG IV:
matang (mature/ripe); TKG V: mijah/salin (spent).

Metode Analisis Data


Dalam melakukan kajian biologi reproduksi terlebih dahulu
dilakukan pemisahan data individu berdasarkan kelompok umur.
Individu dengan nilai GSI ≥4 dikategorikan sebagai individu dewasa
sedangkan individu dengan nilai GSI<4 dianggap sebagai individu
muda/ juvenil. Penentuan nilai GSI dilakukan secara kontinyu terhadap
spesies malalugis dengan mengukur berat gonad dan berat total
individu dengan rumus:

178
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

GSI = (wg/W) x 100%


dimana GSI: Gonado Somatic Index; Wg: berat gonad (gram); W:
berat total individu (gram).
Pada Gambar 3 terlihat diagram scatter yang menunjukkan
pemisahan individu ikan layang biru dewasa dan muda berdasarkan
nilai GSI menurut ukuran panjang cagak (cmFL).

Gambar 3. Diagram scatter yang menunjukkan nilai GSI menurut


panjang cagak FL ikan layang biru (D. macarellus) di perairan
Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Banda beserta cara
memisahkan individu dewasa (GSI≥4) dan individu muda
(GSI<4).
Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) diduga dengan cara
Spearman-Karber seperti yang diusulkan oleh Udupa (1986) sebagai
berikut:
m = Xk + (X/2) – (XΣ pi)
dimana:
m = log panjang ikan pada kematangan gonad pertama
Xk = log nilai tengah kelas panjang dimana semua ikan (100%)
sudah matang gonad
pi = proporsi ikan matang pada kelas I dimana pi = ri/ni apabila ni
= ni + 1

179
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

ri = jumlah ikan matang pada kelas panjang ke i maka panjang


ikan pada waktumencapai kematangan gonad pertama (M) adalah
M = antilog (m)
Jika α = 0,05 maka batas-batas kepercayaan 95% dari (m) adalah :
Antilog[m ± 1.96√(X2 Σ(pi*qi)/(ni-1))]

Hasil dan Bahasan


Sebaran Sampel pada Lokasi Penelitian
Sampel ikan layang biru D. macarellus yang diperoleh memiliki
sebaran ukuran yang bervariasi pada masing-masing perairan.Di Laut
Banda dan Selat Makasar sebaran ukuran panjang lebih luas. Hal
ini terkait dengan periode pengambilan sampel yang lebih panjang.
Ikan dengan panjang cagak diatas 17cm secara visual telah mampu
dibedakan jenis kelaminnya dengan jelas. Pada ukuran ini dikatakan
secara umum ikan telah dianggap dewasa/adult. Pada Tabel 1 terlihat
bahwa proporsi sampel dari perairan Selat Makasar dan Laut Banda
hampir sama dalam hal jumlah dan sebaran panjang cagaknya.

Tabel 1. Sebaran panjang cagak contoh ikan D. macarellus yang


diperoleh menurut lokasi perairan

Perairan
Karakter
Laut Banda Laut Flores Selat Makassar

Range of Fork-length (cm) 16-31 20,5-36,7 16-35,2


Average of Fork-length
(cm) 23 25,8 20,5

Number of samples (n) 1395 303 1829

Adult Female 610 147 812

Adult Male 653 156 763

180
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Komposisi Kematangan Seksual


Hubungan tingkat kematangan gonad dengan waktu bergantung
dengan spesiesnya. Berdasarkankomposisi tingkat kematangan gonad
setiap bulannya di beberapa lokasi perairan terlihat bahwa ikan
malalugis yang berada di perairan Laut Banda, Selat Makasar dan laut
Flores didominasi oleh ikan-ikan muda maupun awal dewasa. Pada
Tabel 2 terlihat bahwa 45,3% ikan masih dalam kondisi immature
(TKG 1 dan 2) dan 44,8% dalam kondisi menjelang matang (TKG 3).
Panjangnya rentang waktu dari kondisi immature menuju kondisi pre
mature menjadikannya sebagai kondisi dominan. Hanya 8,5% ikan
telah matang seksual dan sisanya sebesar 1,5% ikan dalam kondisi
pasca memijah (Tabel 2 dan Lampiran 1).
Kondisi ikan malalugis yang benar-benar matang yang dicirikan
dengan penampakan ukuran visual gonad yang hampir memenuhi
sebagian besar rongga perut, warna transparan dan butiran ovum
terpisah jelas sangat jarang ditemukan. Hal ini terkait dengan perilaku
biologi ikan layang malalugis yang keluar dari zona perikanan ketika
akan memijah (Gambar 4).

Tabel 2. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan layang biru di


Selat Makasar bagian selatan,Laut Banda dan Laut Flores
Perairan %Stage n

TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 TKG 5

Laut Banda 21,9 15,8 44,4 14,5 3,4 1276

Laut Flores 1,0 13,9 77,2 7,6 0,3 303

S. Makassar 36,0 21,1 38,9 3,8 0,2 1593

Total 27,0 18,3 44,8 8,5 1,5 3172

181
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 4. Gonad dengan kondisi menjelang fully mature

Perkembangan Kematangan Seksual


Perkembangan kematangan seksual seiring dengan
perkembangan ukuran tubuh sebagai fungsi dari umur.Tingkat
kematangan gonad akan semakin naik sejalan dengan pertumbuhan
ikan tersebut. Perkembangan gonad ikan dapat dilihat dari nilai indeks
kematangan gonad (GSI). Nilai GSI akan mencapai maksimum ketika
gonad mencapai akhir dari proses reproduksinya yaitu pada saat akan
memijah. Kondisi ini terjadi ketika ikan berada pada tingkat kematangan
gonad 4 (TKG IV). Di lapangan sangat sulit menemukan ikan dalam
kondisi ini karena perilaku ikan yang keluar dari zona penangkapan
ketika akan memijah. Nilai GSI puncak umumnya berada pada TKG 4
dimana volume gonad mencapai 2/3 bahkan hampir memenuhi rongga
tubuh ikan tersebut. Nilai GSI kemudian akan menurun drastis setelah
ikan memijah (TKG 5). Jumlah sampel ikan dengan TKG 5 sangat minim
didapatkan. Hal ini diduga karena singkatnya periode waktu dari
memijah menuju pembentukan kembali sel-sel telur.
Dibandingkan ikan layang di perairan Laut Banda dan Laut Flores,
ikan layang biru di Selat Makasar memiliki angka GSI rata-rata tertinggi
dengan angka GSI maksimal sebesar 7,2 (Tabel 3). Hal ini diduga adanya
upwelling di perairan selat Makasar bagian selatan yang menyebabkan

182
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

ketersediaan nutrisi yang tinggi.Asupan nutrisi yang baik berpengaruh


bagi sistem reproduksi ikan. Menurut Nikolskii (1969) apabila ikan-
ikan muda yang belum matang gonad mengkonsumsi makanan dalam
jumlah banyak maka ikan-ikan tersebut akan lebih cepat tumbuh dan
mencapai kematangangonad pada panjang tertentu. Selain faktor
nutrisi, banyaknya gugusan pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde
menjadi habitat yang disukai oleh jenis ikan ini.

Tabel 3. Sebaran nilai GSI ikan layang biru betina menurut tingkat
kematangan seksual di perairan Selat Makasar, Laut Banda
dan Laut Flores
Tingkat Kematangan Seksual
Perairan Karakter
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 TKG 5
Kisaran GSI 0,07-1,49 0,048-3,49 0,33-5,43 1,5-4,39 0,08-0,63
Laut Rata-rata
0,24 1,58 2,44 2,86 0,21
Banda GSI
n 129 71 288 97 8
1,49-
Kisaran GSI 0,12-0,13 0,58-2,04 1,05-4,51 *
2,62
Laut
Rata-rata
Flores 0,13 1,43 2,79 2,07 *
GSI
n 2 14 116 40 *
2,34-
Kisaran GSI 0,08-0,89 0,43-3,31 0,03-6,96 *
7,21
Selat
Rata-rata
Makassar 0,19 1,38 2,55 3,76 *
GSI
n 242 128 341 40 *

Keterangan: * = tidak ditemukan.

Bila dilihat dari komposisi TKG ikan layang biru betina pada tiap-
tiap kelas panjang cagak terlihat bahwa pada panjang cagak 26 cm
ke atas didominasi oleh ikan-ikan dengan kondisi menjelang matang
(TKG 3) dan matang (TKG 4). Proses pematangan merupakan fase
terpanjang dalam proses reproduksi ikan layang. Ikan dengan TKG 3
memiliki kisaran ukuran panjang cagak terlebar yaitu dari 18-32 cmFL
sedangkan ikan yang telah benar-benar matang (TKG 4) 21-32 cmFL
dengan jumlah yang lebih sedikit (Gambar 5).

183
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Perbandingan Jenis Kelamin


Perbandingan jenis kelamin ikan layang biru yang tertangkap di
perairan Selat Makasar, Laut Banda dan Laut Flores selama periode
2010-2011 menunjukkan bahwa rasio yang seimbang pada masing-
masing perairan (Tabel 4).

Gambar 5. Sebaran tingkat kematangan Gonad Ikan Layang Biru


menurut kelas panjang cagak

Tabel 4. Perbandingan jenis kelamin ikan layang biru dari Selat


Makasar, Laut Flores dan Laut Banda
Perairan Betina : Jantan Jumlah (ekor)
Laut Banda 1 : 1,06 1276
Laut Flores 1 : 1,06 303
Selat Makassar 1 : 0,94 1598

Namun bila dihubungkan dengan sebaran ukuran panjang tubuh


ikan terlihat bahwa mulai panjang 26 cm hingga panjang cagak
maksimum, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan (Gambar 6
dan Lampiran 1). Hal ini terkait dengan aktivitas reproduksi dimana

184
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

pada kelas panjang tersebut ikan layang biru betina menuju waktu
pemijahan. Mereka keluar dari perikanan hingga waktu pasca memijah
dan awal matang gonad berikutnya. Pada kelas panjang tersebut
populasi didominasi oleh ikan dalam kondisi menjelang matang (TKG
3) dan matang (TKG 4).

Gambar 6. Perbandingan Jenis kelamin ikan layang biru pada tiap kelas
panjang cagak

Fluktuasi Gonado Somatic Index dan Dugaan Musim Pemijahan


Berdasarkan fluktuasi nilai rata-rata GSI bulanan di Laut Banda,
Laut Flores dan Selat Makasar pada individu betina dan jantan terlihat
adanya peningkatan nilai rata-rata GSI pada akhir musim barat yaitu
pada bulan Maret sampai dengan April kemudian nilai tersebut
mengalami puncaknya pada akhir musim timur yaitu pada bulan Juli
sampai Agustus. Di Selat Makassar sampai dengan awal musim timur
yaitu bulan Juli masih terdapat ikan-ikan dewasa dengan nilai GSI >4
namun pada akhir musim timur jarang ditemui ikan dewasa dengan
nilai GSI >4. Hal ini terjadi karena kelompok ikan dewasa tersebut keluar
dari zona perikanan menuju lokasi pemijahan. Setelah musim timur
terdapat kecenderungan peningkatan kembali nilai GSI sampai dengan
awal musim barat (bulan Februari). Pada awal musim barat banyak
ditemukan ikan-ikan dewasa (GSI >4 dan TKG 4). Pada periode akhir

185
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

musim barat (Maret hingga Mei) populasi didominasi oleh ikan-ikan


muda dengan nilai GSI<4. Musim pemijahan ikan terjadi dua kali, yaitu
pada awal musim barat dan musim timur. Pola musim pemijahan yang
sama terlihat juga di perairan Laut Flores dan Laut Banda (Gambar 7).
Berdasarkan pengetahuan tentang kapan ikan memijah, perlu
diterapkan adanya pembatasan waktu penangkapan (closed season)
untuk memberi kesempatan bagi induk ikan untuk memijah. Disamping
itu, perlu juga ditelusuri lokasi pemijahannya sehingga daerah tersebut
mendapatkan perlindungan (closed area) dari usaha pemanfaatannya.
Bila kebijakan regulasi ini diterapkan dengan baik maka kelangsungan
stok sumberdaya ikan ini dapat terjaga dengan baik pula.

Gambar 7. Fluktuasi rata-rata gonado somatic index ikan layang biru di


Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makassar

186
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Pendugaan Panjang Pertama Kali Matang Seksual (Lm)


Salah satu indikator ketersediaan stok reproduktif yang sering
digunakan dalam pengelolaan perikanan adalah ukuran ikan pada saat
pertama kali matang gonad. Panjang pertama kali matang (length
at first maturity, Lm) merupakan ukuran panjang dimana diperoleh
sebanyak 50% kumulatif persen frequency ikan matang. Dengan
mengetahui informasi Lm maka dapat dijadikan sebagai suatu dasar
pengelolaan yakni pada ukuran panjang tertentu sejumlah ikan harus
diberi kesempatan untuk melakukan perkembangbiakan sehingga
kelestarian sumberdayanya dapat terjaga. Ukuran ikan yang layak
ditangkap harus lebih besar dari nilai Lm-nya.
Berdasarkan uji dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai
Lm ikan layang biru betina di Selat Makasar 25,12 cmFL, Laut Banda
sebesar 25,45 cmFLdan Laut Flores 25,86 cmFL (Tabel 3). Nilai Lm ini
didapatkan dengan asumsi bahwa kategori matang dimulai ketika
ikan mencapai tingkat kematangan gonad 4. Individu ikan betina yang
berada dalam kondisi fully mature (TKG 4) sangat sedikit didapatkan
terutama di Selat Makasar. Hal ini kemungkinan karena ikan-ikan
(betina dan jantan) pada fase tersebut keluar dari zona penangkapan
menuju tempat pemijahan dimana di Selat Makasar bagian selatan
banyak terdapat gugusan pulau-pulau kecil yang diduga menjadi area
spawning ground ikan ini.

Tabel 5. Nilai Lm ikan layang biru D. macarellus betina di Selat


Makasar, Laut Banda dan Laut Flores
Perairan Lm 95% CL Keterangan
(cmFL) ML MU
Selat Makassar 25,12 25,83 24,43 Mature (start from stage 4)
Laut Banda 25,45 25,99 24,91 Mature (start from stage 4)
Laut Flores 25,86 26,3 25,43 Mature (start from stage 4)
Keterangan: ML: ukuran batas atas nilai Lm; MU: ukuran batas bawah nilai Lm.

Dari hasil analisa terlihat bahwa terdapat kesamaan nilai Lm ini kan
layang biru di Selat Makasar, Laut Banda, danLaut Flores. Berdasarkan
penelitian Zamroni & Suwarso (2011) terhadap ikan layang biru di

187
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Laut Banda pada tahun 2007-2008 didapatkan nilai Lm sebesar 26,6


cmFL. Menurut Udupa (1986) perbedaan ukuran pertama kali matang
gonad antar jenis maupun di dalam jenis itu sendiri merupakan hal
yang bisa terjadi dimana dalam kelas umur yang sama ukuran pertama
kali matang dapat mencapai pada panjang yang berbeda.
Pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek-aspek
biologi perikanan akan mampu menjaga kelestarian suatu sumberdaya
dalam pemanfaatannya. Ikan yang layak tangkap diatur dengan melihat
ukuran pertama kali matangnya. Eksploitasi terhadap ikan-ikan yang
belum matang gonad dapat mengganggu kelangsungan hidupnya.
Untuk itu perlu adanya pengaturan ukuran mata jaring agar hasil
tangkapannya tidak didominasi oleh ikan-ikan yang belum dewasa.

Kesimpulan
Ikan layang biru (malalugis) dewasa pada umumnya memiliki
ukuran tubuh lebih besar dari 17 cmFL dengan nilai GSI lebih dari 4.
Di Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Banda populasi ikan layang biru
didominasi oleh ikan-ikan muda (immature).
Nisbah kelamin jantan dan betina ikan layang biru secara umum
memiliki perbandingan yang seimbang. Individu jantan mendominasi
populasi pada panjang lebih dari 26 cmFL.
Musim pemijahan ikan layang biru di selat Makasar terjadi dua kali
yaitu pada akhir musim barat (bulan Februari) dan akhir musim Timur
(bulan Agustus).
Ikan betina dewasa matang (TKG IV; GSI>4) sangat jarang
tertangkap. Dengan asumsi bahwa individu ikan betina dengan Tingkat
Kematangan Gonad 4 dianggap sebagai individu yang matang (mature),
maka nilai Lm ikan layang biru betina di Selat Makasar sebesar 25,12
cmFL, Laut Banda sebesar 25,45 cmFL dan Laut Flores 25,86 cmFL.

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan hasil riset Kajian
Struktur Genetik Populasi dan Biologi Reproduksi Ikan Malalugis

188
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

(Decapterus macarellus, Fam. Carangidae) di sekitar Sulawesi T.A. 2010


dan Penelitian Potensi, Distribusi-Kelimpahan dan Biologi Ikan Pelagis
Kecil di WPP 713 (Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone) dan WPP
714 (Laut Banda-Teluk Tolo) T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan
Laut, Muara Baru, Jakarta.

Daftar Pustaka
Hariati, T. 2005. Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus), salah satu
spesies ikan pelagis kecil laut dalam di Indonesia. Warta Penelitian
Perikanan Indonesia XI(5): 27 hal.
Holden, M.J. and D.F.S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries science. Part
2. Methods of resources investigation and their application. FAO
Fish. Tech. Pap. (115). Rev. 1. 214p.
Krissunari, D. & T. Hariati. 1994. Pendugaan ukuran pertama kali
matang gonad beberapa ikan pelagis kecil di perairan Utara
Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 85: 48-53
Nikolskii.G.V. 1969. Fish Population Dynamics. Oliver and Boyd.
Edinburg. 323 p.
Suwarso & Wudianto. 2002. Sustainable pelagic fisheries in the
south china sea: Prosedur sampling dan pengukuran. Pedoman
Teknis. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Riset kelautan
dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 6 hal (tidak
diterbitkan).
Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first
maturity in fishes. Fishbyte. ICLARM. Philippines. 4.2.8-10.
Zamroni, A. & Suwarso. 2011. Studi tentang biologi reproduksibeberapa
spesies ikan pelagis kecil di perairan Laut Banda. Bawal. III (5):
337-343.

189
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Lampiran 1. Pola perubahan komposisi kematangan seksual D.


macarellus di Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar.

190
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Lampiran 2. Perubahan sex ratio (F:M) ikan layang biru D. macarellus


menurut ukuran dan waktu di Laut Banda, Laut Flores dan Selat
Makasar.

191
13
KELIMPAHAN DAN SEBARAN LARVA
SCOMBRIDAE DI PERAIRAN LAUT BANDA
Oleh
Karsono Wagio , Umi Chodrijah1) dan Yoke Hany Restiangsih1)
1)

1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Studi larva merupakan aspek dasar yang sangat diperlukan untuk
keberhasilan pengelolaan ikan pelagis besar, yang terkendala karena
sifatnya bermigrasi jauh (highly migratory). Sampling larva dan kondisi
oseanografi dilakukan pada musim peralihan I (April 2011) pada 26
titik lokasi. Deteksi sebaran vertikal larvaceanid digunakan akustik,
sebaran horisontal dengan bonggo net dan akustik. Hasil penelitian
menunjukkan kelimpahan larva dari 10 jenis Scombridae, kelimpahan
larvaceanid tertinggi pada kedalaman 5-25 m dengan rata-rata sebesar
6817 ind/1000 m³, kelimpahan iktioplankton rata-rata 353 ind/1000 m³.
Kelimpahan larva scombridae tertinggi di stasiun 18 (sekitar P. Hatta)
dan stasiun 19 (selatan P. Gunung api) masing-masing 49 ind/1000
m³ dan 37 ind/1000 m³. Komposisi larva scombridae didominasi oleh
Thunnus obesus 33,33 %, T. albacares 25,76 % dan Euthynnus sp. 7,58
%. Komposisi tingkatan larva semua jenis scombridae mempunyai
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

tingkat prefleksion diatas 50 %, kecuali Euthynnus sp.44,44 %. Larva T.


obesus ditemukan pada lokasi dekat daerah neritik dengan perbedaan
kondisi permukaan dan lapisan epipelagik (termoklin) ekstrim dan
T.albacares di lokasi yang lebih oseanik, perbedaan kondisi permukaan
dan lapisan epipelagik kecil. Larva T. albacares ditemukan pada
turbiditas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan khlorofil lebih tinggi
di bandingkan dengan T. obesus. Nilai suhu dan salinitas pada lapisan
homogen di lokasi ditemukannnya larva T. obesus dan T. albacares
lebih rendah dari nilai rata-rata.
Kata kunci; Larva, Scombridae, kelimpahan, sebaran, Laut Banda

Pendahuluan
Laut Banda merupakan perairan yang kaya sumberdaya pelagis
besar (Scombridae). Penerapan pengelolaan sumberdayanya,
terkendala karena sifatnya yang bermigrasi jauh (highly migratory).
Studi larva dan telur merupakan aspek dasar yang sangat diperlukan
untuk keberhasilan pengelolaan perikanan karena sangat diperlukan
untuk kajian stok sumber daya ikan (Vazvuez et. al., 2006), khusus di
daerah tropis karena datanya masih langka,oleh karena itu informasi ini
sangat penting (Soewito, 1987). Menurut Westhaust (2002) studi larva
berguna untuk prediksi stok, melindungi dan memperkaya lingkungan
serta ekploitasi yang optimum. Menurut Unesco (1975 ) studi larva
memberikan informasi mengenai; area dan musim pemijahan,
kelimpahan stok absolut, interaksi yang dapat mempengaruhi stok.
Perairan Laut Banda selain sebagai daerah asuhan dan ruaya, diduga
merupakan daerah pemijahan berbagai ikan pelagis besar. Penemuan
larva Scombridae beserta kelimpahan dan sebarannya diduga Laut
Banda merupakan daerah pemijahan. Khusus untuk penemuan larva
berbagai tuna, genus Thunnus akan memberikan implikasi dalam
pengelolaan share stok. Implikasi dapat berupa kuota pemanfaatan
dan penerapan teknik pengelolaaan yang tepat untuk kelestarian
sumberdaya. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai sebaran
dan kelimpahan larva, struktur ukuran dan tingkatan larva serta kondisi
lingkungannya.

194
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Bahan dan Metode


Penelitian dilakukan mulai tanggal 26 Maret sampai dengan 6
April 2011. Area penelitian di sekitar Kepulauan Lease dan Kepulauan
Bandanaira (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel larva


dan oseanografinya
Penentuan stasiun dilakukan secara sistematik cluster-
random sampling. Kelimpahan larva dideteksi dengan akustik dan
pengambilan contoh dengan bonggo net. Untuk deteksi kelimpahan
larva (larvaceanid) menggunakan akustik yang diatur sesuai ukuran
larvaceanid dengan target-strength -90 s/d -80 dsb per satuan luas
sapuan. Sampling larva dengan menggunakan bonggo net dilakukan
towing horisontal dan vertikal. Towing horisontal pada kedalaman ±15
m dengan waktu tarikan 10-15 menit dan kecepatan 0-3 knots. Bonggo
Net yang digunakan mempunyai ukuran mata 600 µ dan diameter
mulut net 60 cm dan dilengkapi dengan flow meter untuk mengukur
air tersaring. Sampel larva diawetkan dengan formalin 4 %. Volume

195
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

air tersaring didapatkan dari perkalian luas mulut dengan panjang


lintasan towing bonggo net. Larva diidentifikasi dibawah mikroskop
stereo dengan menggunakan buku panduan dari Anonymous (2007),
Leis, J.M. and D.S. Rennis ( 1983), Leis, J.M. and B.M.Carson-Ewart
(2000).

Hasil dan Bahasan


Kelimpahan dan Sebaran Larvaceanid
a. Kelimpahan dan sebaran Spasial Larvaceanid
Hasil pengukuran kelimpahan organisme larvaceanid (seukuran
larva) berdasarkan stasiun pengamatan dengan metode akustik pada
kedalaman 5-85 m disajikan pada Gambar 2. Kelimpahan larvaceanid
cenderung tinggi pada lokasi yang dekat dengan daerah neritik dan
cenderung rendah pada lokasi yang bersifat oseanik. Kelimpahan
tertinggi 62801 ind/4000 m³ di stasiun 7 dan terendah 919 ind/4000
m³ di stasiun 19 dan 24.

Gambar 2. Grafik kelimpahan dan sebaran spasial larvaceanid


b. Kelimpahan dan Sebaran Vertikal Larvaceanid
Sebaran vertikal organisme larvaceanid tertinggi di lapisan
permukaan (5-25 m) dengan rata-rata kelimpahan 6817 ind/100 m³
(Gambar 3). Sebaran larvaceanid menurut strata kedalaman secara
berurutan; kedalaman 25-45 m, 45-65m dan 65-85 m mempunyai

196
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

kelimpahan 2608 ind/100 m³, 971 ind/100 m³ dan 1847 ind/100


m³.

Gambar 3. Persentase dan sebaran larvaceanid berdasarkan


kedalaman

Kelimpahan Iktioplankton

Gambar 4. Kelimpahan iktioplankton: a) larva dan b) telur

197
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Sebaran kelimpahan larva dan kelimpahan telur ikan mempunyai


pola hampir sama seperti disajikan pada Gambar 4. Kelimpahan larva
ikan rata-rata 353 ind/1000 m³, terendah 97 ind/1000 m³ di stasiun
3 dan 5 dan tertinggi 893 ind/1000 m³ di stasiun 9. Kelimpahan telur
rata-rata 496 butir/1000 m³ terendah 21 butir/1000 m³ di stasiun 12
dan tertinggi 2518 butir/1000 m³ di stasiun 16.

Komposisi jenis dan Sebaran Larva Scombridae


Hasil pengamatan ditemukan 10 kelompok larva Scombridae,
dengan jumlah 66 individu larva seperti pada Tabel 1. Komposisi larva
Scombridae didominasi oleh Thunnus obesus 33,33 %, T. albacares
25,76 % dan Euthynnus sp. 7,58 %.

Tabel 1. Komposisi larva Scombridae


Jenis larva Jumlah Persentase
Auxis sp. 1 1,52
Euthynnus sp. 5 7,58
Katsuwonus sp. 1 1,52
Rastrelliger sp. 3 4,55
Scombridae lainnya 3 4,55
Thunnus alalunga 9 13,64
T. albacares 17 25,76
T. obesus 22 33,33
T. thynnus 4 6,06
Thunnus macoyii 1 1,52
Total 66 100
Larva Scombridae di temukan pada 20 stasiun sampling dari
total 26 stasiun yang ditentukan (Gambar 5). Di antara stasiun yang
memiliki kelimpahan larva Scombridae yang tinggi adalah stasiun 18
dan 19 masing-masing mempunyai kelimpahan 49 ind/1000m³ dan
37 ind/1000m³. Larva Scombridae tidak ditemukan pada 6 stasiun
sampling (2,9,12,14,16 dan 17).

198
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Gambar 5. Sebaran larva Scombridae berdasarkan stasiun


pengamatan
Sebaran larva tuna besar (Thunnus spp.) tercantum pada Gambar
6. T. albacares dan T. macoyii dijumpai pada lokasi yang lebih oseanik (
stasiun 8, 18,19, 20 dan 22). Daerah sebaran larva T. obesus lebih luas,
dijumpai pada stasiun mendekati daerah neritik (10,11,19,20,23,25,
26 dan 27). T. macoyii hanya dijumpai pada stasiun yang oseanik (22).

Gambar 6. Sebaran larva Thunnus spp pada masing-masing stasiun


sampling

Struktur Ukuran Larva Scombridae


Larva genus Thunnus mempunyai tubuh lebih panjang dan lebih
lebar dibandingkan genus Euthynnus dan Rastrelliger (Tabel 2). Thunnus

199
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

obesus mempunyai tubuh dengan kisaran panjang minimum 12,2,


rata-rata 15,3 dan maksimum 21,4. Euthynnus sp.mempunyai tubuh
dengan kisaran panjang minimum 9,0, rata-rata 13,4 dan maksimum
21,8.

Tabel 2. Struktur Ukuran Larva Scombridae


Parameter T. alalunga T. albacares T. obesus T. thynnus Euthynnus Rastrelliger Scombridae

38-40 37-40 37-42 38-40 33-40 31-42 34-39


Myomere
(39) (39) (39) (39) (35) (35) (37)

3,0-7,5 3,6-7,2 3,2-8,2 2,8-9,0 2,5-6,0 2,7-3,9 2,2-3,5


Body
depth
(4,8) (5,1) (5,5) (5,2) (4,0) (3,3) (2,9)

11,5-
12,2-21,4 12,5-22,0 11,5-22,7 9,0-21,8 10,2-15,0 9,5-11,0
Body 20,5
length
(15,3) (16,6) (16,3 (13,4) (12,2) (10,3)
(15,8)

1,1-2,4 1,2-3,0 1,1-2,8 1,2-2,0 1,2-2,4 1,2-1,5 1,1-1,3


Eye
diameter
(1,7) (2,0) (1,9) (1,7) (1,6) (1,4) (1,2)

3,8-8,0 4,0-8,0 3,5-9,0 3,2-10,0 2,7-7,2 3,5-4,5 3,5-4,7


Head
length
(5,7) (6,0) (5,9) (6,2) (4,5) (4,0) (4,0)

5,2-10,6 6,0-11,2 5,4-11,4 5,2-12,7 4,3-12,3 5,5-6,3 4,7-5,9


Preanal
length
(7,1) (7,9) (7,8) (8,2) (7,0) (5,8) (5,2)

Pre dorsal 5,0-7,5 5,0-9,0 2,3-10,0 6,5-11,0 7,8-10,8 4,2-6,7 4,3-4,3

fin length (6,5) (7,1) (6,8) (8,3) (9,3) (5,5) (4,3)

1,7-3,2 1,2-3,1 1,3-3,7 1,0-5,0 1,1-2,4 1,0-1,2 1,1-1,7


Snout
length
(2,2) (2,2) (2,3) (2,7) (1,6) (1,1) (1,4)

Komposisi Tingkatan larva


Komposisi tingkatan larva Scombridae disajikan pada Gambar 7.
Larva dari semua jenis ikan yang ditemukan mempunyai komposisi
tingkat prefleksion diatas 50 %, kecuali larva ikan Euthynnus sp (44,44
%). Tingginya komposisi tingkat prefleksion menggambarkan bahwa
larva berasal dari telur yang baru menetas yang dipijahkan di lokasi
adanya larva.

200
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Gambar 7. Komposisi tingkatan larva Scombridae

Kondisi Hidrologis pada Daerah Penyebaran Larva


a. Suhu
Suhu perairan di lapisan homogen rata-rata 29,16⁰C dan di lapisan
termoklin rata-rata 27,63⁰C (Gambar 8). Pada stasiun dijumpai larva T.
albacares suhu permukaan lebih dingin dari yang lainnya rata-rata suhu
pada lapisan homogen 28,69⁰C dan pada lapisan termoklin 27,88⁰C.
Perbedaan antara suhu di lapisan homogen dan termoklin rendah
(0,81⁰C). Pada stasiun dijumpai larva T. obesus suhu permukaan relatif
lebih tinggi 29,06⁰C dan pada lapisan termoklin 27,25⁰C. Perbedaan
antara suhu dilapisan homogen dan termoklin lebar (1,81⁰C).

Gambar 8. Nilai suhu pada stasiun sampling larva

201
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

b. Salinitas
Salinitas perairan di lapisan homogen rata-rata 33,56 ‰ dan
dilapisan termoklin rata-rata 34,02 ‰ (Gambar 9). Pada stasiun
dijumpai larva T. albacares salinitas permukaan lebih rendah dari
yang lainnya rata-rata salinitas pada lapisan homogen 33,29 ‰ dan
pada lapisan termoklin 33,94 ‰. Perbedaan antara salinitas di lapisan
homogen dan termoklin rendah (0,55 ‰). Pada stasiun dijumpai
larva T. obesus salinitas permukaan relatif lebih tinggi 33,24 ‰ dan
pada lapisan termoklin 34,05 ‰. Perbedaan antara salinitas dilapisan
homogen dan termokline lebar (0,81‰).

Gambar 9. Nilai salinitas pada stasiun sampling larva


c. Turbiditas
Turbiditas perairan di lapisan homogen rata-rata 0,26 JTU dan
dilapisan termoklin rata-rata 0,27 JTU (Gambar 10). Pada stasiun
dijumpai larva T. albacares turbiditas permukaan sama dengan
lapisan termoklin rata-rata 0,27 JTU. Pada stasiun dijumpai larva T.
obesus turbiditas permukaan relatif lebih rendah 0,26 JTU dari lapisan
termoklin 0,27 JTU.

202
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Gambar 10. Nilai turbiditas pada stasiun sampling larva


d. Kecepatan Arus
Kecepatan arus perairan di lapisan homogen rata-rata 0,36 m/dt.
dan dilapisan termoklin rata-rata 0,39 m/dt. (Gambar 9). Pada stasiun
dijumpai larva T. albacares kecepatan arus permukaan 0,36 m/dt.
dan pada lapisan termoklin 0,34 m/dt. Perbedaan antara kecepatan
arus di lapisan homogen dan termoklin rendah (0,02). Pada stasiun
dijumpai larva T. obesus kecepatan arus permukaan 0,35 m/dt. dan
pada lapisan termoklin 0,27 m/dt. Perbedaan antara kecepatan arus
dilapisan homogen dan termokline lebar (0,12 m/dt.).

Gambar 11. Nilai kecepatan arus pada stasiun sampling larva

203
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

e. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut perairan di lapisan homogen rata-rata 5,14 ppm
dan dilapisan termoklin rata-rata 4,93 ppm (Gambar 12). Pada stasiun
dijumpai larva T. albacares oksigen terlarut permukaan 5,32 ppm dan
pada lapisan termoklin 5,15 ppm. Perbedaan antara oksigen terlarut
di lapisan homogen dan termoklin rendah (0,17 ppm). Pada stasiun
dijumpai larva T. obesus oksigen terlarut permukaan 5,32 ppm dan
pada lapisan termoklin 5,02 ppm. Perbedaan antara oksigen terlarut
di lapisan homogen dan termokline lebar (0,30).

Gambar 12. Nilai oksigen terlarut pada lokasi sampling larva


f. Klorofil
Kandungan khlorofil perairan di lapisan homogen rata-rata 0,21
mg/m3 dan dilapisan termoklin rata-rata 0,29 mg/m3 (Gambar 13). Pada
stasiun dijumpai larva T. albacares kandungan khlorofil permukaan
0,17 mg/m3 dan pada lapisan termoklin 0,31 mg/m3. Perbedaan antara
kandungan khlorofil di lapisan homogen dan termoklin rendah (0,14).
Pada stasiun dijumpai larva T. obesus khlorofil terlarut permukaan
0,17 mg/m3 dan pada lapisan termoklin 0,33 mg/m3. Perbedaan antara
kandungan khlorofi di lapisan homogen dan termokline lebar (0,16).

204
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Gambar 13. Nilai klorofil pada lokasi sampling larva

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Sebaran kelimpahan larvaceanid secara spasial, lebih tinggi pada
daerah neritik dibandingkan daerah oseanik, tertinggi 62801 ind/1000
m³ di stasiun 7.
Sebaran vertikal kelimpahan larvaceanid tertinggi di kedalaman
5-25 m dengan kelimpahan rata-rata 6817 ind/1000 m³.
Kelimpahan larva Scombridae tertinggi di sekitar P. Hatta (stasiun
18 dan 19) masing-masing 49 ind/1000 m³ dan 37 ind/1000 m³.
Komposisi tingkatan larva semua jenis Scombridae mempunyai
tingkat prefleksion diatas 50 %.
Daerah sebaran larva Thunnus secara luasan dan zonasi laut
(neritik ke oseanik) dapat diurut; T. obesus T. albacares, T. macoyii.
Larva T. obesus ditemukan pada lokasi yang mempunyai perbedaan
antara lapisan homogen dengan lapisan termoklin mempunyai nilai
lebih ekstrim dibandingkan T. albacares.
Larva T. albacares ditemukan pada turbiditas, kecepatan arus,
oksigen terlarut dan khlorofil lebih tinggi di bandingkan dengan

205
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

T. obesus. Nilai suhu dan salinitas pada lapisan homogen di lokasi


ditemukannnya larva T. obesus dan T. albacares lebih rendah dari nilai
rata-rata.
Ditemukannya komposisi tingkat larva prefleksion yang tinggi
untuk semua jenis Scombridae terutama genus Thunnus diduga Laut
Banda merupakan daerah pemijahan.

Saran
Diperlukan adanya kajian lanjutan untuk menetapkan lokasi dan
musim pemijahan ikan tuna di Laut Banda secara tepat karena di
perairan ini ditemukan larva ikan tuna.

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks
Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar dan Oseanografis di WPP
Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-
Jakarta.

Daftar Pustaka
Anonymous.2007. Larval Fish. Identification Guide for the China Sea
and Gulf of Thailand.Southeast Asian Fisheries Development
Center in Collaboration with the UNEF/GEF South China Sea
Project.
Leis, J.M. & D.S. Rennis. 1983. The Larvae of Indo-Pacific Coral Reef
Fishes. New South Wales University Press and University of
Hawaii Press. Sydney.Honolulu.
Leis, J.M. & T. Trnski.1989. The Larvae of Indo-Pacific Shorefishes.
New SouthWales University Press.
Leis, J.M. & B.M.Carson-Ewart.2000. The Larvae of Indo-Pacific
Coastal Fishes. An Identification guide to marine fish larvae.
Fauna Malesiana Handbook 2.Brill.
Roper, D.S.1986. Occurrence and Recruitment of Fish Larvae in a
Northern New Zealand Estuary. Estuarine, Coastal and Shelf

206
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Science. 22, 705-717.


Soewito. 1987. Fish Larvae of the Banda Sea, (Indonesia).I:Scrombidae.
Fellowship Progress Report No.3, June-November 1987.
Development Centre for Fishing Technology (BPPI), Directorate
General of Fisheries, Semarang, Indonesia.
Unesco. 1975. Ichthyoplankton. Unesco technical papers in marine
science 20.Report of the CICAR Ichthyoplankton Workshop.
Mexico City, 17-26 July 1974.

207
14
KOMPOSISI UKURAN, TINGKAT
KEMATANGAN GONAD, DAN MAKANAN IKAN
BANYAR (Rastrelliger kanagurta CUVIER 1817)
DI PERAIRAN KENDARI
Oleh
Tuti Hariati1), Suwarso1) dan Ma. Taufik1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) adalah jenis ikan pelagis kecil
bernilai ekonomis, penting, disukai masyarakat, serta mengandung
omega 3 yang berguna bagi tubuh manusia. Di perairan Kendari dan
sekitarnya, ikan banyar tertangkap dengan pukat cincin mini (105 ton
per tahun) dan bagan, diduga sudah mengalami tekanan penangkapan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi beberapa
aspek biologi ikan banyar seperti sebaran panjang dan Lc, dugaan waktu
pemijahan, Lm serta kebiasaan makanan untuk penyusunan dasar
kebijakan pengelolaan. Pengambilan sampel ikan banyar dilakukan
secara acak dari hasil tangkapan pukat cincin dan bagan di PPI Kendari
beberapa bulan dalam periode tahun 2007-2011. Ikan diukur panjang
dan beratnya, diamati jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad-
nya, terutama ikan betina. Analisis data dilakukan secara tabulasi dan
grafik, pengujian menggunakan uji Chi-kwadrat, Ogive selektivitas dan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Spearrman Karber. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran ikan


banyar yang tertangkap bagan mempunyai sebaran panjang 4-14 cm
dan yang tertangkap dengan pukat cincin 13-27 cm FL. Perbandingan
jumlah ikan betina terhadap jantan masih seimbang. Jumlah ikan betina
yang matang/melebihi jumlah ikan yang belum matang. Pada musim
peralihan 1 dan peralihan 2 terjadi pemijahan, dan pada musim timur
berlangsung proses pematangan gonad. Menjelang pemijahan ikan
bermigrasi ke perairan yang lebih dalam. Nilai Lc ikan banyar (19,7 cm)
lebih kecil dari nilai Lm (19,95 cm). Makanan ikan banyar dari perairan
Kendari terdiri dari fitoplankton, zooplankton hewani dan ikan ukuran
kecil.
Kata kunci: ikan banyar, gonad, pemijahan, makanan pukat
cincin, baganperairan Kendari,.

Pendahuluan
Perairan Kendari dan sekitarnya di tepi barat Laut Banda merupakan
perairan yang kaya akan sumber daya ikan pelagis. Di perairan Kendari,
sumber daya ikan pelagis (pelagis kecil dan pelagis besar) tertangkap
dengan pukat cincin mini atau pajeko (Hariati et al. 2010). Dalam hasil
tangkapan pajeko yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudra
(PPS) Kendari tahun 2006 sampai dengan 2008 yang berkisar antara
6000-9000 ton tiap tahun, jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah
ikan layang (32-36%), sedangkan jenis ikan pelagis besar yang dominan
adalah ikan tongkol (60%).
Salah satu jenis ikan pelagis kecil lainnya adalah ikan banyar
(Rastrelliger kanagurta). Jumlah hasil tangkapan ikan banyar tiap tahun
hanya 0,7 % -2,2% dari total hasil tangkapan pajeko atau rata-rata 105
ton (Hariati et al. 2010) yang menunjukkan kecilnya stok yang tersedia.
Ikan banyar diduga telah mengalami tekanan penangkapan oleh pukat
cincin mini dan bagan. Pengukuran sebaran frekuensi panjang ikan
banyar yang rutin untuk kajian stok terkendala karena jumlah sampel
yang tidak memadai.
Ikan banyar dalam berbagai ukuran sangat disukai masyarakat dan
mengandung Omega 3 yang berguna bagi kesehatan tubuh manusia.

210
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Pentingnya ikan banyar sebagai sumber protein hewani sudah disadari


oleh masyarakat di wilayah Indonesia (Musbir et al. 2006 ).

Gambar 1. Peta perairan Kendari dan sekitarnya, kotak hitam adalah


daerah penangkapan pukat cincin mini (Pajeko)
Ikan banyar bersifat neritik-oseanik, hidup pada perairan dekat
pantai dengan salinitas tidak kurang dari 32 permil (Potier 1995). Di
dalam hidupnya, ikan banyar mendiami 2 jenis perairan: di perairan
paparan pada masa pertumbuhan dan setelah dewasa bermigrasi
ke perairan dalam untuk melakukan pemijahan. Fakta membuktikan
bahwa perairan pantai sekitar Kendari terdiri dari perairan paparan
dan perairan laut dalam (cekungan) (Gambar 1) yang memungkinkan
ikan banyar menjalani daur hidupnya. Dalam periode 2006-2008
salinitas perairan Kendari berkisar antara 32 psu dan 35 psu (Hariati
et al. 2010).
Menurut Nurdin et al. (2012), daerah penangkapan ikan banyar
yang potensial di sekitar Makassar terdapat di perairan pantai, demikian

211
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

juga di pantai timur Semenanjung Malaysia umumnya terletak di area


dekat pantai yang sangat produktif karena kadar nutrien tinggi yang
berasal dari daratan menyebabkan tumbuhnya fitoplankton yang
merupakan produsen makanan yang primer.
Untuk dasar pengelolaan, informasi hasil kajian ikan banyar di
perairan Kendari masih sangat kurang. Pengamatan beberapa aspek
biologi ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dari perairan Kendari yang
dilakukan beberapa bulan pada periode tahun 2007-2011 adalah untuk
memperoleh data dan informasi sebaran ukuran, Lc (panjang rata-rata
pertama kali tertangkap), nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad
(TKG), Lm (panjang rata-rata pertama kali matang gonad), dugaan
musim pemijahan, serta jenis makanan. Kajian biologi reproduksi ikan
banyar telah dilakukan di perairan lain misalnya di Laut Jawa (Nurhakim
1993), Selat Malaka (Hariati et al. 2005), Laut Cina Selatan (Suwarso et
al. 2008) dan perairan utara Aceh (Hariati & Fauzi 2011).

Bahan dan Metode


Lokasi dan Waktu
Sampel ikan banyar diambil secara acak dari hasil tangkapan 2 jenis
alat tangkap, yaitu bagan dan pukat cincin mini (pajeko) yang beroperasi
di perairan Pulau Saponda dekat Teluk Kendari. Pengambilan sampel
dilakukan 9 kali dalam periode Maret 2007 - Desember 2011 yaitu
pada bulan Maret 2009, Maret 2010, Maret 2011 dan Mei 2007 yang
termasuk musim peralihan 1, bulan Juli 2007, Juli 2009, dan Juli 2011
pada musim timur; bulan Oktober 2011 pada musim peralihan 2 dan
pada bulan Januari 2011 mewakili musim barat. Pengambilan sampel
pada musim barat tidak berhasil.

Jenis Data dan Cara Pengumpulan


Data yang dikumpulkan berupa sebaran panjang, tingkat
kematangan gonad (TKG), dan jenis makanan ikan banyar. Data
frekuensi panjang (FL) ikan banyar diukur dengan kertas ukur khusus.
Data sebaran frekuensi panjang tiap bulan disusun menurut nilai
tengah panjang (mid-length) dengan interval 0,5 cm. Setiap individu

212
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

diukur panjangnya dalam cm (FL dan TL) menggunakan papan ukur,


berat individu ditimbang timbangan digital dengan ketelitian 0,1
gram. Jenis kelamin ditentukan dari keberadaan gonad (ovum atau
testes) dalam rongga tubuh. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) tiap
individu diamati berdasarkan SOP (Tabel 1) dari SEAFDEC versi bahasa
Indonesia (Suwarso & Wudianto 2002). Berat gonad (Wg) ditimbang
dalam gram. Sebaran diameter telur ikan betina diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 30 kali.
Pengambilan sampel lambung ikan banyar dilakukan 2 kali, yaitu
pada bulan Juni 2009 dan Oktober 2011 masing-masing dari 50 dan
20 ekor ikan. Isi lambung ikan banyar diidentifikasi untuk mengetahui
jenis makanan ikan banyar mengacu pada buku Kunci Identifikasi
Plankton (Yamaji 1976). Jumlah individu tiap spesies dari seluruh
lambung dinyatakan dalam persen.

Tabel 1. Kriteria tingkat kematangan gonad ikan pelagis kecil


(SEAFDEC)

TKG/
Stadium Deskripsi
Maturity

Ovari dan testis kecil dan menempati 1/3


dari panjang rongga badan. Ovari jernih
I Dara
berwarna kemerahan; testis keputih-
putihan. Butiran telur tidak nampak.
Ovari dan testis sekitar ½ dari panjang rongga
badan. Ovari berwarna merah-jingga, testis
II Dara berkembang
berwarna putih. Butiran telur tidak nampak
dengan mata telanjang
Ovari dan testis menempati sekitar 2/3 dari
panjang rongga badan. Ovari berwarna
kuning-oranye, butiran telur nampak.
III Mulai matang Testis berwarna putih krem Ovari dengan
pembuluh darah di permukaannya. Telur
masih opaque (gelap) dan belum ada telur
yang transparan.

213
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Ovari dan testis kira-kira sampai memenuhi


rongga badan. Ovari berwarna jingga-merah
IV Matang muda dengan pembuluh-pembuluh darah,
telur besar-besar transparan dan matang.
Testis putih-krem dan lunak.
Ovari dan testis menyusut hingga ½ dari
rongga badan, dinding tebal. Di dalam ovari
mungkin masih tersisa telur-telur opaque
V Mijah
dan ripe yang mengalami desintegrasi
akibat penyerapan, gelap atau translucent.
Testis lembek.

Analisis data
Informasi tentang Lc (panjang pertama kali tertangkap) ikan banyar,
sex ratio, komposisi TKG, indeks gonad, komposisi TKG menurut bulan
, dan Lm (panjang pertama kali memijah) dihasilkan dari beberapa
analisis data sebagai berikut.
Lc (panjang rata-rata pertama kali tertangkap): data sebaran
panjang ikan banyar dianalisis untuk memperoleh nilai Lc yang
tertangkap masing-masing oleh bagan dan pukat cincin mini, serta
nilai Lc gabungan kedua jenis alat. Dari akumulasi data sebaran
frekuensi panjang dihitung nilai Lc dengan rumus ogive selektivitas
(Sparre & Venema 1999). Sebelumnya jumlah individu dalam setiap
kelas panjang/mid-length ditransformasi menjadi angka pecahan yang
berjumlah 1. Angka pecahan tersebut diakumulasikan dari mid-length
terkecil sampai yang terbesar sehingga angka pada mid-length yang
terbesar adalah 1, dinamakan lajur SL. Dari nilai-nilai SL dibuat lajur
lainnya dengan nilai Ln (1/SL-1). Hubungan antara Ln (1/SL-1) (sebagai
y) dengan mid-length (sebagai x) dengan menggunakan analisis regresi
diperoleh nilai intercept a dan slope -b. Dalam rumus selektivitas ogive
persamaan no 6.1.1 (Sparre & Venema 1999) yaitu Ln (1/SL-1) = S1-S2
* L nilai-nilai a dan- b yang dihasilkan tersebut adalah nilai-nilai S1 dan
S2. Maka Lc= S1/S2.
Perbandingan jenis kelamin: perbandingan jumlah jantan dan
betina diuji dengan uji Chi-kuadrat (Bal & Rao 1984): X2= ∑ (f0-fh)2/
fn. X2= Chi kuadrat, f0= frekuensi yang diamati, dan fn=frekuensi yang

214
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

diharapkan. Lalu X2 hitung dibandingkan dengan X2 table derajat bebas


1. Jika X2 hitung < X2 tabel, jumlah jantan dan betina seimbang, dan
sebaliknya.
Komposisi TKG: individu betina yang terkumpul pada bulan
Maret dan Mei (musim peralihan 1), bulan Juli (musim timur) dan
bulan Oktober (musim peralihan 2) masing-masing disusun menurut
tingkat kematangan gonad (I s/d V), lalu pada tiap musim dibuat
persentasenya.
Indeks Gonad/Gonad Index (GI) dihitung dari persamaan GSI (%)
=Wg/W x 100, di mana Wg dan W masing-masing adalah berat gonad
dan berat tubuh individu ikan.
Panjang rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) diduga dengan
rumus Spearman-Karber (Udupa 1986): Lm =Ant (m), m=Xk+X/2-
(X*∑pi), di mana Xk= logaritma nilai tengah yang terakhir di mana ikan
telah matang (TKG III dan TKG IV); X = selisih log nilai tengah ; P =
perbandingan antara jumlah ikan yang matang gonad (TKG III, IV & V)
pada kelompok panjang ke-i. Ant = Antilog. Batas kepercayaan 95% =
Ant (m±1,96*(X2*∑((pi*qi)/(ni-1))^0.5, di mana qi=1-pi ni = jumlah contoh
ke i.

Hasil dan Bahasan


Sebaran Panjang dan Panjang Rata-Rata Pertama Kali
Tertangkap (Lc )
Dalam Gambar 1 tertera bahwa di perairan Kendari sebaran
panjang ikan banyar yang tertangkap dengan bagan berkisar 4 cm-
14 cm (FL) dengan modus-modus 5,5 cm Fl dan 11,5 cm. Data FL
dikumpulkan pada bulan Juli 2007, sedangkan dengan pukat cincin
mini adalah 11 cm - 26 cm FL dengan 3 modus yaitu 13,5 cm, 19,5 cm,
dan 23,5 cm FL (Gambar 2).
Ikan banyar yang berukuran kecil dengan modus 5,5 cm tertangkap
dengan bagan yang beroperasi di perairan pantai Kendari pada bulan
Juli 2007. Pada bulan Juli 2009 tertangkap ikan berukuran 6-9 cm
dengan modus 7,5 cm. Pada bulan Juli recruitment ikan banyar diduga

215
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

terjadi di perairan Kendari.. Ikan banyar yang tertangkap di perairan


Kendari meliputi ikan yang berukuran mulai dari kecil (<12 cm), sedang
(13-18 cm), sampai besar (>18). Penangkapan ikan yang berukuran
kecil tersebut membahayakan kelestarian stok.

Gambar 2. Sebaran panjang ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dari


perairan Kendari yang tertangkap Bagan dan Pukat cincin
mini
Nilai-nilai Lc (panjang rata-rata pertama kali tertangkap) dari
bagan dan dari pukat cincin mini masing-masing 8,8 cm FL dan 19,7 cm
FL, sedangkan Lc gabungan adalah 15,7 cm FL. Dari ketiga nilai Lc ikan
banyar tersebut, nilai Lc dari hasil tangkapan pukat cincin mini yaitu
19,7 cm FL akan digunakan untuk pembanding nilai Lm. Di Laut Jawa,
ikan banyar yang berukuran 5,5 cm ditemukan dari hasil tangkapan
bagan di perairan Karimun Jawa (Atmaja & Suwarso 1992 dalam
Atmaja et al. 1995). Dari perairan yang sama, Atmaja et al. (1995)
menemukan jenis ikan banyar yang berukuran 8 cm. Sumber daya ikan
banyar di perairan Kendari diduga mengalami tekanan penangkapan
yang tinggi dari 2 jenis alat tangkap yaitu bagan yang menangkap
ikan banyar muda dan pukat cincin mini. Oleh sebab itu, pengelolaan
sumber daya ikan banyar perlu dilakukan, misalnya dengan pelarangan
operasi bagan pada saat rekrutmen ikan banyar.

216
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Perbandingan Ikan Banyar Jantan dan Betina


Sampel ikan banyar betina berjumlah 179 ekor dan jantan 186
ekor, dengan perbandingan 1,0 :1,04. Menurut hasil uji Chi-kwadrat
perbandingan tersebut seimbang. Di perairan Selat Malaka jumlah
ikan jantan lebih banyak dari betina (Hariati et al. 2005), demikian juga
di perairan Laut Cina Selatan (Suwarso et al. 2008). Menurut Ball &
Rao (1984), segregasi/agregasi jantan dan betina ada hubungannya
dengan tabiat makan, memijah, ataupun migrasi.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Betina


Perkembangan TKG ikan banyar ini didasarkan atas pengamatan
perkembangan gonad ikan betina yang lebih menentukan dibandingkan
dengan ikan jantan. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa (a) jumlah
individu ikan banyar betina TKG I paling tinggi, sedangkan jumlah TKG
2 paling rendah. (b) Dari kisaran panjang ikan banyar betina menurut
TKG dapat diduga bahwa dalam siklus hidupnya terdapat 2 periode
pemijahan ikan banyar, yaitu pemijahan pertama dan pemijahan
kedua. Dalam Tabel 1 panjang ikan TKG V berkisar antara 22-27 cm
FL. Ikan yang berukuran 22 cm-24 cm diduga yang melakukan aktivitas
memijah pertama kali, sedangkan ikan yang berukuran 25-27 cm
FL yang melakukan aktivitas memijah ke dua kali. (c) Kisaran berat
gonad dan indeks gonad (IG) ikan betina dalam tiap individu dari TKG
I sampai dengan TKG IV menunjukkan kenaikan, sedang pada TKG V
menunjukkan penurunan. Berat gonad seluruhnya berkisar antara 0,1
- 18,0 gram dan Indeks gonad berkisar antara 0,1- 8,0. Berat gonad
tertinggi diperoleh dari ikan betina TKG IV.
Di perairan utara Aceh yang merupakan laut dalam ditemukan
gonad ikan banyar maksimum adalah 11,3 gram dari gonad TKG IV
dengan Indeks gonad 5,2 (Hariati & Fauzi 2011). Di perairan Aceh
Timur pada bulan Desember 1995 berat gonad tertinggi adalah 20
gram dengan indeks gonad 10,5 (Hariati & Fauzi 2012). Di perairan
India berat gonad tertinggi 16,8 gram (Rao 1967).

217
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Tabel 2. Jumlah individu ikan betina, panjang ikan, berat gonad dan
indeks gonad ikan banyar betina menurut TKG dari perairan
Kendari
Tingkat Kematangan Gonad (TKG)/Maturity
I II III IV V
∑ individu =N 50 (28%) 17 (9%) 36 (20%) 33 (18%) 43 (24%)
(%)
Kisaran 1 6 - 1 8 1 7 - 2 0 1 8 - 2 0 2 1 - 2 3 22-24 (22,5)
dan Modus (16,5) (17,6) (19,5) (21,5)
Panjang ikan 25-27 (26,5)
(cm Fl) 1 8 - 2 2 2 1 - 2 5 2 1 - 2 6 24-27
(19,5) (22,5) (23,5) (24,5)
Kisaran berat 39,2-117,3 6 9 , 7 - 59-184,7 95,1-262 196-334
ikan (gram) 176,9

Berat gonad 0,1-1,5 1,4-2,9 2,4-5,1 4,8-18,0 0,0-2,3


(gram)

Indeks Gonad 0,1-1,8 2,1-3,8 2,4-4,8 3,3-8,0 0,0-2,3

Jika jumlah TKG I dan TKG II digabung sebagai gonad yang belum
matang dan jumlah TKG III, TKG IV dan TKG V digabung sebagai gonad
yang sudah matang, ditemukan bahwa jumlah ikan betina yang matang
lebih banyak daripada yang belum matang (Gambar 3 ).

Gambar 3. Perbandingan gonad ikan banyar dari perairan Kendari


yang matang dan yang belum matang

218
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Hal ini memperkuat dugaan bahwa letak lokasi pemijahan tidak


jauh dari lokasi tertangkapnya ikan banyar. Di perairan Laut Cina
Selatan ikan banyar hasil tangkapan pukat cincin didominasi ikan yang
belum matang gonad dan lokasi penangkapannya belum diketahui
(Suwarso et al. 2008).

Diameter Telur Ikan Banyar


Diameter telur ikan banyar pada TKG I sampai dengan TKG IV
disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran dan modus diameter telur tingkat kematangan gonad


I s/d IV ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dari perairan
Kendari dan sekitarnya.
Diameter Telur (mikron meter)
Tingkat Kematangan Gonad
Kisaran Modus
I Dara 130-240 185
II Dara berkembang 130-340 185, 285
III Mulai matang 130-390 235-335

IV Matang 180-540 235, 385 & 485

Dalam Tabel 2 tidak tampak diameter ikan TKG V, berhubung


kebanyakan dari gonad TKG V sudah kosong (totally spent). Di perairan
India diameter telur maksimum adalah 570-810 Mikron (Rao 1967);
diduga berat gonad yang tertinggi (TKG IV) yang ditemukan dari
perairan Kendari belum mencapai maksimum yang siap memijah.
Diameter telur ikan banyar TKG V (memijah) dari perairan Aceh
Timur pada tahun 2004 berkisar antara 515-580 Mikron (Hariati et al.
2005). Telur yang berukuran lebih besar (maksimum) diduga sudah
dikeluarkan pada saat mijah.

Komposisi TKG Ikan Banyar Betina Menurut Musim


Gambar 4 menunjukkan komposisi TKG ikan banyar betina pada
musim peralihan 1 yang diwakili oleh bulan Maret dan Mei, musim
timur yang diwakili oleh bulan Juli dan musim peralihan 2 diwakili oleh
bulan Oktober dalam periode tahun 2007-2011.

219
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pada musim peralihan 1 ikan banyar betina didominasi TKG I,


TKG III, dan TKG V, sedangkan TKG II dan TKG IV jumlahnya sedikit.
Keberadaan ikan dengan TKG I dan TKG III menunjukkan bahwa ikan
tersebut masih dalam proses pematangan gonad. Di samping itu,
keberadaan ikan banyar dengan TKG V menunjukkan bahwa aktivitas
pemijahan ikan banyar berlangsung pada musim peralihan 1.

10
00%

8
80%

6
60%

4
40%

2
20%

0%
Peraliihan1 T
Timur P
Peralihan2 Barat
Musim
m

TKGI TKG
GII TKGIII TKGIV TKGV

Gambar 4. Komposisi TKG ikan banyar betina pada musim peralihan
1, musim timur dan musim peralihan 2 di perairan Kendari
periode tahun 2007-2011
Pada musim timur, ikan banyar betina dengan TKG IV mendominasi
persentase tertinggi daripada ikan dengan TKG I, TKG II dan TKG III,
sedangkan ikan dengan TKG V tidak ditemukan. Pada musim timur
terjadi proses pematangan gonad sampai mencapai tingkat matang.
Berdasarkan kisaran dan modus sampel, diameter telur TKG IV yang
diperoleh belum mencapai ukuran maksimum sehingga belum siap
memijah. Karena untuk menjadi ikan yang cukup matang untuk
memijah, ikan dengan TKG IV harus melakukan migrasi ke laut yang
lebih dalam sebagai masa persiapan pemijahan. Pada musim peralihan
2, tertangkap ikan banyar dengan TKG V dalam kondisi sedang memijah
dan yang sudah selesai memijah dengan persentase yang sangat
dominan (Gambar 4) dan sisanya terdiri dari ikan banyar betina dalam
fase Dara (TKG I).

220
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Pada musim peralihan 2 ikan yang tertangkap didominasi TKG V


juga ada TKG I. Proses pemijahan ikan banyar diduga telah berlangsung
sehingga ikan dengan TKG V adalah ikan yang sudah selesai memijah
dan telah mengalami recovery menjadi TKG 1. Nilai-nilai indeks gonad
pada bulan Oktober lebih rendah daripada bulan Juli (Tabel 4). Pada
musim barat yang diwakili bulan Januari tidak diperoleh komposisi TKG
karena tidak ditemukan sampel ikan. Diduga pada musim peralihan 1
dan peralihan 2 terjadi aktivitas pemijahan di perairan Selat Malaka,
masa pemijahan ikan banyar pada tahun 2003-2004 terjadi pada
bulan Februari - Juni dan September-November yang ditandai dengan
turunnya nilai indeks gonad somatik (Hariati et al. 2005).

Nilai Indeks Gonad Menurut Musim


Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada musim peralihan 2, nilai-
nilai indeks gonad rata-rata, indeks gonad maksimum, dan indeks
gonad minimum menunjukkan nilai dibandingkan nilai indeks gonad
pada musim peralihan 1 dan musim timur. Berdasarkan hal tersebut,
pemijahan ikan banyar diduga terjadi pada musim peralihan 2.

Tabel 4. Nilai-nilai indeks gonad ikan banyar betina menurut musim


dalam periode tahun 2007-2011 di perairan Kendari

Indeks Gonad pada Musim

Peralihan 1 Timur Peralihan 2 Barat

Rata-rata 1,71 2,43 0,05 Tidak ada data

Maksimum 6,62 7,97 0,17 Tidak ada data

Minimum 0,00 0,47 0,00 Tidak ada data

Pada musim peralihan 1 nilai indeks gonad minimum adalah 0 (Tabel


3) yang berasal dari gonad ikan yang kosong (spent) dengan panjang
tubuh ikan berkisar antara 22-26 cm FL. Setiap tahun diduga terjadi
pemijahan ikan banyar di perairan Kendari pada musim peralihan 1,
pada musim peralihan 2, dan pada musim timur berlangsung proses
pematangan gonad.

221
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Panjang Rata-rata Pertama Kali Matang Gonad (Lm)


Hasil analisis menunjukkan bahwa panjang pertama kali matang
gonad ikan banyar betina berkisar antara 19-21 cm, dengan rata-rata
19,95 cm FL. Nilai Lm ikan banyar dibandingkan dengan di perairan
Banda Aceh tahun 2009 adalah 19,7 cm dan di Aceh Timur (Selat
Malaka) pada tahun 1995-1997 dan tahun 2003-2004 diperoleh nilai
Lm yang sama, yaitu 17 cm FL (Hariati & Fauzi 2011). Di perairan Laut
China Selatan nilai-nilai Lm ikan banyar yaitu 20,4-22,4 cm TL (Suwarso
et al. 2008). Perbedaan atau persamaan nilai-nilai Lm di beberapa
perairan diduga terkait dengan faktor-faktor lain di antaranya tingkat
pemanfaatan ikan dan kondisi lingkungan terutama kesuburan
perairan.
Jika nilai Lm ikan banyar di perairan Kendari (19-21 cm, dengan
rata-rata 19,95 cm FL) dibandingkan dengan nilai Lc (19,7 cm FL)
maka nilai Lc < Lm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan banyar diduga
pertama kali tertangkap pada panjang rata-rata mulai matang
gonad. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih terinci dan
lebih akurat, diperlukan penelitian dengan selang waktu yang lebih
berkesinambungan (setiap bulan).

Makanan Ikan Banyar di Perairan Kendari


Hasil analisis isi lambung ikan banyar disajikan pada Tabel 5.
Pengamatan isi lambung ikan banyar pada bulan Juni 2009, makanannya
terdiri dari 3 bagian besar yaitu fitoplankton yang didominasi oleh
Chaetoceros spp; zooplankton yang didominasi kelas Copepoda,
Polychaeta, dan Crustacea; dan ikan muda yang sudah lebih dahulu
dicerna bersisakan detritus. Pada pengamatan bulan Oktober 2011, isi
lambung terdiri dari fitoplankton yang didominasi Coscinodiscus spp
dan zooplankton yang didominasi kelas Copepoda.

Tabel 5. Organisme makanan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta)


dari perairan Kendari
Juni 2009 Oktober 2011
NoNO Jenis Organisme
% %

Fitoplankton 5,2 18,9

222
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

Juni 2009 Oktober 2011


NoNO Jenis Organisme
% %

1 Coscinodiscus spp. 1,5 16,7

2 Thallassiosira sp. 0,0 2,2

3 Chaetoceros sp. 3,7 0,0

Zooplankton 5,0 81,1

4 Foraminifera 0,5 11,8

5 Copepoda 1,8 69,3

6 Polychaeta 1,5 0,0

7 Crustacea 1,2 0,0

Detritus: sisik, mata & bagian


89,7 0,0
tubuh ikan

Total (N) 866 1069

Jenis-jenis makanan ikan banyar di perairan Kendari sama dengan


yang ditemukan peneliti lainnya. Longhurst & Pauly (1987) menyatakan
bahwa isi lambung ikan banyar terdiri dari bermacam jenis makanan,
mulai dari mikro alga, zooplankton seperti Copepoda dan lainnya
termasuk medusa ubur-ubur, Crustacea serta juvenile ikan, dengan
proporsi zooplankton yang lebih besar

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Perbandingan jenis ikan banyar betina terhadap jantan (1,00 :
1,04) adalah seimbang. Jumlah ikan betina yang telah matang gonad
lebih banyak dari yang belum matang.
Pemijahan ikan banyar berlangsung pada musim peralihan 1 dan
peralihan 2, yang ditandai oleh rendahnya nilai indeks gonad. Pada
musim timur terjadi proses pematangan gonad ikan banyar sampai

223
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

TKG IV yang belum siap memijah dan masih harus migrasi ke perairan
yang lebih dalam untuk melangsungkan proses pematangan hingga
siap memijah.
Nilai Lc ikan banyar yang tertangkap dengan pukat cincin masih
di bawah nilai Lm sehingga diperlukan tindakan pengelolaan misalnya
dengan cara memperbesar ukuran mata jaring yang sekarang lebih
dari 1 inci.
Jenis makanan ikan banyar dari perairan Kendari terdiri dari 3
bagian besar yaitu fitoplankton, zooplankton, dan ikan muda/kecil.

Saran
Sumber daya ikan banyar di perairan Kendari mengalami tekanan
penangkapan dari alat tangkap bagan yang menangkap ikan banyar
muda dan pukat cincin mini. Oleh sebab itu, pengelolaan sumber daya
ikan banyar perlu dilakukan, misalnya dengan melarang operasi bagan
pada saat berlangsungnya rekrutmen ikan banyar yaitu pada bulan
Juni-Juli.

Persantunan
Penelitian ini merupakan sebagian hasil dari kegiatan penelitian
APBN tahun 2011 berjudul “Penelitian potensi, distribusi-kelimpahan
dan biologi ikan pelagis kecil di WPP 713 (Selat Makassar – Laut Flores
– Teluk Bone) dan WPP 714 (Laut Banda – Teluk Tolo)”.

Daftar Pustaka
Atmaja, S.B. B. Sadhotomo & Suwarso. 1995. Reproduction of the main
small pelagic species. BIODYNEX, Biology, Dynamics, Exploitation
of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. AARD, ORSTOM, EU :
69-84.
Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Part 1 : Methodology
in Fisheries Biology. Tata M. G. Hill Com. Limited, New Delhi. :
1-24.
Hariati, T., M. Taufik & A. Zamroni. 2005. Beberapa aspek reproduksi

224
Komposisi Ukuran Dan Parameter Pertumbuhan Ikan Malalugis (Decapterus macarellus) Di Selat Makassar

ikan layang (Decapterus russelli) dan ikan banyar (Rastrelliger


kanagurta) di perairan Selat Malaka, Indonesia. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia Edisi Sumber Daya dan Penangkapan Vol. 11
No. 2 : 47-56.
Hariati, T., K. Amri & U. Chodriyah. 2010. Fluktuasi hasil tangkapan
ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Kendari dan sekitarnya
serta kaitannya dengan sebaran suhu permukaan laut, salinitas
dan Klorofil-A permukaan. J. Lit. Perikan Ind. Vol 16.No. 2, Juni
2010.
Hariati, T & Moh Fauzi. 2011. Beberapa aspek reproduksi ikan banyar
Rastrelliger kanagurta (Cuv. 1817) dari perairan utara Aceh. Jurnal
Iktiologi Vol. 11 No. 1 Juni 2011. Penerbit : Masyarakat Iktiologi
Indonesia: 47-53.
Linting, M. L., Badruddin, & N. Wirdaningsih. 1994. Indeks kelimpahan
stok sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Sulawesi Tenggara.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 87: 48-55.
Longhurst, A.R., & D. Pauly. 1987. Tropical Oceans. Academic Press,
Inc. ICLARM Contrib. no. 389 : 407p.
Musbir, A. Mallawa, Sudirman & Najamuddin. 2006. Pendugaan
ukuran pertama kali matang gonad ikan kembung (Rastrelliger
kanagurta) di perairan Laut.
Flores, Sulawesi Selatan. Sains & Teknologi, Vol. 6 (1), April 2006 :19-
26.
Potier, M. 1995. Report of Biodynex Workshop 23-25 March 1994.
Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in
the Java Sea. Editors : M. Potier & S. Nurhakim. AARD Indonesia
Ministry of Agriculture, ORSTOM, European Union : 263-272.
Sparre, P & S.C. Venema. 1999. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan di
Perairan Tropis. Buku I. FAO/DANIDA: 438 hal.
Suwarso & Wudianto. 2002. Prosedur sampling dan Pengukuran Ikan.
Pedoman Teknis Balai Penelitian Perikanan Laut. BRKP, DKP : 6
hal.

225
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Suwarso, A. Zamroni & Wudianto. 2008. Biologi reproduksi dan dugaan


musim pemijahan ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan. J. Lit.
Perikan Ind. Vol. 14 (4) Desember 2008: 379-391.
Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size at first
maturity in fishes. Fishbyte 4 (2) : 8-10.
Yamaji, I. 1976. Illustration of Marine Plankton of Japan. Hotkusha
Publishing Co. Ltd. Japan : 538p

226
15
PERIKANAN PELAGIS BESAR YANG
BERBASIS DI PELABUHAN PERIKANAN
SAMUDRA KENDARI, SULAWESI TENGGARA
Oleh
Umi Chodrijah1), Tegoeh Noegroho1) dan Enjah Rahmat1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Perairan Kendari dan sekitarnya merupakan bagian dari Laut
Banda, memiliki berbagai jenis sumber daya ikan pelagis yang telah
dieksploitasi dengan berbagai macam alat tangkap. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh informasi tentang perikanan pelagis
besar yang berbasis di Kendari. Penelitian dilakukan pada bulan
Februari sampai dengan Oktober 2011 di Pelabuhan Perikanan Samudra
Kendari, Sulawesi Tenggara. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan
terkait aspek eksploitasi perikanan huhate (pole and line), pukat cincin
(purse seine), tonda (troll line), dan pancing ulur (hand line). Data lain
yang dikumpulkan adalah produksi ikan tuna yang didaratkan di PPS
Kendari selama 10 tahun terakhir, serta data komposisi hasil tangkap
bulanan masing-masing alat tangkap pada tahun 2010. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada 4 jenis alat tangkap ikan utama pelagis besar
yang berbasis di Kendari yaitu huhate, purse seine, tonda, dan pancing
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

ulur. Jenis ikan pelagis besar yang tertangkap dengan alat tangkap
huhate, purse seine, tonda, dan pancing ulur didominasi oleh ikan
cakalang.
Kata Kunci: perikanan pelagis besar, Kendari, Sulawesi Tenggara

Pendahuluan
Kendari merupakan salah satu basis perikanan tangkap di Kawasan
Timur Indonesia yang letaknya berhadapan langsung dengan Laut
Banda. Di Kendari, terdapat dua pelabuhan perikanan, yaitu Pelabuhan
Perikanan Samudra (PPS) Kendari dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Sodohoa. Kedua pelabuhan ini merupakan basis perikanan tangkap
bagi nelayan skala industri dan tradisional di Kendari.
Sumber daya ikan yang terdapat di perairan Kendari terdiri
atas sumber daya ikan karang (Hartati & Pralampita 1993), pelagis,
demersal dan biota laut lainnya (Linting dkk. 1994). Sumber daya ikan
pelagis terdiri atas kelompok-kelompok ikan pelagis besar dan pelagis
kecil.
Sumber daya ikan pelagis besar yang dominan adalah tuna.
Eksploitasi sumber daya tuna dilakukan oleh berbagai bentuk
penggunaan alat tangkap di antaranya adalah purse seine, huhate
(pole and line), rawai tuna (tuna longline), dan pancing ulur (Diniah
dkk. 2001).
Tulisan ini membahas tentang perikanan pelagis besar di Kendari,
yang terkait dengan aspek operasional penangkapan huhate, pukat
cincin, pancing tonda, dan pancing ulur. Selain itu juga dibahas hasil
tangkapannya berdasarkan data dan informasi yang terkumpul di PPS
Kendari Sulawesi Tenggara. Informasi tersebut diharapkan menjadi
masukan bagi cara-cara pengelolaan sumber daya ikan pelagis besar
agar pemanfaatannya optimum dan berkelanjutan.

Bahan dan Metode


Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei.
Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari sampai

228
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

dengan Oktober 2011 di PPS Kendari, Sulawesi Tenggara. Jenis data


primer yang dikumpulkan terkait dengan aspek perikanan huhate (pole
and line), pukat cincin (purse seine), tonda (troll line), dan pancing ulur
(hand line). Data sekunder berasal dari laporan bulanan PPS Kendari
mencakup data produksi ikan tuna yang didaratkan di PPS Kendari
selama 10 tahun terakhir, serta data komposisi hasil tangkap bulanan
masing-masing alat tangkap pada tahun 2010. Data dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik.

Hasil dan Bahasan


Armada Penangkapan
Di PPS Kendari kapal-kapal nelayan untuk menangkap ikan-ikan
pelagis besar ada beberapa macam, yaitu purse seine tuna, huhate
(pole and line), pancing tonda (troll line), dan pancing ulur (hand line).
Ukuran kapal mulai dari kurang dari 5 GT sampai dengan 100 GT. Kapal
pole and line (24 unit) berukuran 20-30 GT, sedangkan kapal purse
seine (151 unit) berukuran 5-10 GT. Kapal troll line atau pancing tonda
(37 unit) berukuran 5-10 GT, hand line atau pancing ulur (106 unit)
berukuran 5-10 GT (Gambar 1) .

Gambar 1. Jumlah unit alat penangkap ikan tuna menurut jenis dan
ukuran kapal di PPS Kendari 2010

229
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Produksi
Produksi ikan pelagis besar khususnya ikan tuna yang didaratkan
ke PPS Kendari dari tahun 2000 sampai tahun 2010 tercatat dengan
baik. Statistik produksi tuna menunjukkan fluktuasi selama 11 tahun
terakhir (Gambar 2). Produksi tuna tertinggi terjadi pada tahun
2000 dan diikuti pada tahun 2010. Setelah tahun 2000 produksi
terus mengalami penurunan sampai puncaknya, yaitu pada tahun
2006. Pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 diduga banyak
kapal yang tidak mendaratkan hasil tangkapannya ke PPS Kendari
lagi, tetapi mendaratkan hasil tangkapannya ke Ambon setelah usai
pascakerusuhan. Pada tahun 2008 produksi mulai mengalami kenaikan
sampai tahun 2010.

Gambar 2. Fluktuasi produksi tuna yang didaratkan di PPS Kendari,


Tahun 2000-2010

Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Besar


Hasil tangkapan ikan pelagis besar yang tertangkap oleh keempat
jenis alat tangkap yaitu huhate, tonda, pancing ulur, dan purse seine
didominasi oleh jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol. Ikan nontuna
yang tertangkap terdiri dari ikan marlin, lemadang, pari, dan tenggiri.
Produksi ikan ini sedikit dan tertangkap tidak setiap bulan. Komposisi
hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap disajikan pada
Gambar 3-6.

230
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

Gambar 3. Ikan pelagis besar hasil tangkapan huhate di Laut Banda


yang didaratkan di Kendari (2010)
Ikan pelagis besar hasil tangkapan huhate pada periode tahun
2010 hanya terdiri dari tuna, cakalang, dan tongkol, sedangkan jenis
ikan pelagis besar nontuna tidak ada (Gambar 3). Sementara hasil
tangkapan ikan pelagis besar dari pancing tonda disajikan pada Gambar
4.

Gambar 4. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing tonda di Laut


Banda yang didaratkan di Kendari (2010)
Jenis ikan nontuna hasil tangkapan pancing tonda hanya terdiri
dari satu jenis ikan yaitu ikan lemadang yang tertangkap pada bulan
November dengan jumlah produksi sebesar 0,2 ton (Gambar 4).

231
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 5. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Laut


Banda yang didaratkan di Kendari (2010)
Jenis ikan nontuna hasil tangkapan pancing ulur tahun 2010 terdiri
dari lemadang yang tertangkap pada bulan November (0,1 ton), ikan
marlin pada bulan Agustus dan November (0,4 ton dan 0,5 ton), ikan
pari bulan Januari (0,1 ton) dan tenggiri pada bulan Januari (1,5 ton),
Maret (0,8 ton), dan Mei (0,1 ton) (Gambar 5).

Gambar 6. Ikan pelagis besar hasil tangkapan pukat cincin di Laut


Banda yang didaratkan di Kendari (2010)
Jenis ikan nontuna hasil tangkapan pukat cincin tahun 2010 terdiri
dari lemadang yang tertangkap mulai bulan Maret sampai dengan
Desember (1,8 ton), ikan marlin pada bulan Oktober dan November
(0,1 ton dan 0,2 ton), dan ikan tenggiri pada bulan Januari dan April
sampai dengan Agustus (0,1 ton) (Gambar 6).
Ikan yang didaratkan selama tahun 2010 ke PPS Kendari, ikan
cakalang merupakan ikan yang mendominasi hasil tangkapan. Menurut

232
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

Collete& Nauen (1983), ikan cakalang ditemukan berkelompok-


kelompok di perairan lepas pantai, baik di daerah tropis maupun
subtropis di tiga samudra (Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik). Ikan
cakalang bersifat pelagis, oseanik, serta beruaya jauh, cenderung dapat
berkelompok dengan kelompok-kelompok hewan lainnya seperti
burung laut, ikan paus, ikan cucut, serta benda-benda yang terapung.
Di daerah tropis, ikan cakalang memijah sepanjang tahun sehingga
memungkinkan untuk tingkat penangkapan yang tinggi dibandingkan
dengan jenis-jenis tuna lainnya.

Indeks Kelimpahan (CPUE)


Dari jenis-jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan Laut Banda
dan sekitarnya hanya 5 jenis alat tangkap saja (huhate, pancing tonda,
pancing ulur, pancing rawai tuna, dan pukat cincin) yang digunakan
untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar. Semua alat-alat tangkap
tersebut dibakukan setiap tahun menjadi alat tangkap huhate baku
yang langkah-langkah analisisnya disajikan pada Lampiran 1 – 5 untuk
tahun 2006 sampai dengan 2010. Perkembangan catch, effort, dan
CPUE perikanan pelagis besar tahun 2005-2010 disajikan pada Gambar
7.
Kelimpahan sumber daya perikanan pelagis besar di perairan Laut
Banda dan sekitarnya memperlihatkan tren kenaikan dari tahun 2006
sampai dengan 2008 kemudian pada tahun 2009 mengalami menurun
kemudian nilainya hampir sama sampai tahun 2010.

Gambar 7. Perkembangan catch, effort, dan CPUE perikanan pelagis


besar di perairan Laut Banda dan sekitarnya dalam periode
5 tahun (2006-2010)
233
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Jenis Perikanan Utama


Ada empat jenis perikanan yang sangat penting yang
mengeksploitasi sumber daya perikanan pelagis besar yang
mendaratkan hasil tangkapannya ke PPS Kendari. Keempat perikanan
tersebut adalah perikanan huhate (pole and line), pukat cincin (purse
seine), tonda (troll line), dan pancing ulur (handline).

Huhate (Pole and Line)


Cara pengoperasian pancing pole and line yaitu apabila kapal
sudah sampai pada area gerombolan ikan, maka umpan yang berupa
teri dan air segera disemprotkan ke arah gerombolan ikan tersebut.
Sebelumnya para pemancing telah bersiap-siap dengan pancing masing-
masing. Sambil terus dipancing, umpan teri terus dilemparkan dan air
terus disemprotkan ke arah ikan. Bentuk sederhana pancing pole and
line terdiri dari joran bambu, tali pancing dan umpan (Gambar 8).

Gambar 8. Desain pancing pole and line.

Purse Seine
Purse seine tuna dioperasikan dengan menggunakan alat bantu
pengumpul ikan seperti lampu dan rumpon. Pertama lampu di kapal
dinyalakan semua, pada waktu menjelang malam tiba. Bila fishing
ground telah ditetapkan maka di situlah setting alat dilakukan. Setelah
lampu pada kapal dan ”kapal lampu” menyala maka kapal dengan

234
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

perlahan bergerak untuk menggiring ikan supaya agak jauh dari


rumpon. Bila ikan yang mengikuti sinar lampu berlimpah, maka jaring
segera diturunkan. Sambil lampu kapal dimatikan jaring dilingkarkan
dengan kapal ayuda. Ketika lampu kapal mati ikan-ikan akan berkumpul
di sekitar kapal lampu yang masih menyala. Kemudian berturut-turut
kapal lampu mematikan lampunya sampai kapal lampu yang terakhir
tetap menyala sampai bagian kantong benar-benar tertutup. Kapal
penangkap purse seiner tuna dalam operasinya di laut mempunyai trip
yang panjang yaitu selama 1 tahun. Dalam satu kegiatan penangkapan
kapal penangkap biasa dibantu beberapa kapal di antaranya yaitu satu
kapal lampu, 2 kapal survei rumpon (ayuda), dan kapal penampung.
Kapal lampu berfungsi ganda yaitu selain sebagai kapal lampu juga
sebagai kapal yang ikut merapikan/menarik jaring bila lampu sudah
dimatikan, tujuannya adalah supaya jaring tidak kusut. Kapal survei juga
mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai kapal yang mengecek jumlah
ikan dari rumpon ke rumpon dan melaporkan ke kapal penangkap. Bila
jumlah ikan di satu rumpon tidak terlalu banyak maka kapal pindah ke
rumpon yang lain atau beberapa rumpon yang ikannya tidak terlalu
banyak dijadikan satu. Kapal penangkap juga melakukan pengecekan
jumlah ikan di beberapa rumpon yang lain dengan fish finder. Bila kapal
penangkap sedang hauling maka kapal survei berfungsi sebagai kapal
penyeimbang. Sementara kapal penampung berfungsi sebagai kapal
yang menampung hasil tangkapan dari kapal penangkap untuk dibawa
ke pelabuhan terdekat.

Gambar 9. Desain jaring purse seine tuna

235
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Daerah penangkapan kapal purse seine tuna hanya di sekitar


rumpon saja. Rumpon dipasang di laut sebelah selatan Pulau Sanana
dan utara Pulau Buru di Laut Banda dengan kedalaman antara 1000
sampai 3000 m (Gambar 10).
Jaring purse seine tuna pada dasarnya sama dengan purse seine
umumnya yaitu berupa lembaran jaring yang bila dioperasikan akan
seperti dinding yang melingkar. Bagian bawah jaring dapat ditutup
dengan menarik tali kolornya. Di bagian atas jaring dipasang pelampung
dan di bagian bawahnya diberi rantai pemberat. Di bawah pemberat
diberi cincin-cincin tempat untuk tali kolor (purse line). Dimensi jaring
purse seine 800 m x 80 m (Gambar 9).
Ada beberapa hal yang membedakan antara purse seine tuna
dengan purse seine lainnya (pelagis kecil) yaitu besarnya mata jaring,
bahan jaring, ada dan tidaknya kantong, serta cara pengoperasian
menaikkan cincin dan jaring.

Gambar 10. Peta rumpon purse seine tuna di Laut Banda

Pancing Tonda (Troll Line)


Pancing tonda biasanya dioperasikan pagi atau sore hari. Sebagian
pancing tonda biasa dipasang pada tiang tonda di samping kapal dan
sebagian lagi dipegang tangan. Mata pancing yang digunakan adalah
nomer 7/8 sebanyak 3 buah yang dirangkai jadi satu. Panjang senar
antara 5 sampai 10 meter (Gambar 11). Umpan yang digunakan adalah
umpan benang sutra dimensi. Pada saat operasi pemancingan kapal
tetap digerakkan dengan kecepatan antara 4 sampai 6 knot.

236
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

Gambar 11. Desain troll line di PPS Kendari

Pancing Ulur (Hand Line)


Pancing Tuna
Pancing tuna dioperasikan secara vertikal dan pancing dilempar
ke laut serta dibiarkan sampai umpan dimakan ikan. Bila umpan sudah
dimakan ikan(Gambar 12), akan berputar karena tarikan ikan. Umpan
yang digunakan adalah ikan cakalang hidup.

Gambar 12. Desain pancing tuna pada kapal hand line di PPS Kendari
Pancing Taber
Pancing taber dioperasikan dengan arah vertikal. Umpan yang
digunakan adalah kain layar atau sutra. Pancing dioperasikan pada

237
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

waktu subuh sebelum matahari terbit. Mata pancing yang digunakan


adalah nomer 7. Jumlah mata pancing yang digunakan adalah 25-30
mata pancing pada tali pancing (Gambar 13).

Gambar 13. Desain pancing taber


Pancing Rinta
Pancing rinta dioperasikan dengan ditarik dari buritan kapal. Kapal
bergerak dengan kecepatan 3-5 knot. Mata pancing yang digunakan
adalah nomer 7 atau sebanyak 9 buah mata pancing (Gambar 14).
Umpan yang dipakai yaitu umpan palsu dari bulu ayam. Waktu
pengoperasiannya adalah pagi dan sore hari.

Gambar 14. Desain pancing rinta

238
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

Pancing Coping
Pancing coping dioperasikan dari kapal yang tidak bergerak dan
ditempatkan di belakang ponton. Dengan melempar pemberat ke laut
diharapkan umpan/mata pancing akan ikut tenggelam. Senar diulur
antara 15 sampai 25 meter, setelah itu pancing langsung ditarik ke
atas. Dalam keadaan ini sebaiknya pancing ditarik hingga mata pancing
paling bawah untuk menaikkan ikan dan sekaligus mengecek kondisi
senar dan mata pancing kusut atau tidak. Jumlah mata pancing yang
digunakan adalah 1 buah (Gambar 15). Pancing nomor 7/8 digunakan
dengan umpan dari jerigen, botol minuman, atau keping VCD bekas
yang dipotong kecil menyerupai bentuk ikan.

Gambar 15. Desain pancing coping

Kesimpulan
Berdasarkan alat tangkap utama ikan yang digunakan, terdapat 4
jenis perikanan pelagis besar yang bebasis di Kendari yaitu perikanan
huhate, purse seine, tonda, dan pancing ulur.
Jenis-jenis pelagis besar yang tertangkap dengan alat tangkap
huhate, purse seine, tonda, dan pancing ulur didominasi oleh ikan
cakalang.

239
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks
Kelimpahan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar dan Oseanografis di WPP
Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-
Jakarta.

Daftar Pustaka
Collete, B.B. & C.E. Nouen. 1983. Food and Agriculture Organization
species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the Worlds An Annotated
illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, and Bonitos, and
Related Species Known to Date Food and Agriculture Organization
Fish. Synop. 125 (2):137 pp.
Diniah, M. A. Yahya, S. Pujiyati, Parwinia, S. Effendy. M. Hatta, M.
Sabri, Rusyadi, & A. Farhan. 2001. Pemanfaatan sumberdaya tuna-
cakalang secara terpadu. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Hartati, S. T. & W. A. Pralampita, 1993. Potensi dan tingkat pengusahaan
sumber daya perikakanan karang ekonomis penting di perairan
Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
76:59-66.
Linting , M. Badrudin, & N. Wirdaningsih. 1994. Indeks kelimpahan
stok sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Suwesi Tenggara.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 87: 48-55.
Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari. 2010. Statistik Perikanan
Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Tahun 2010. Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan
Perikanan.

240
Perikanan Pelagis Besar Yang Berbasis Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, Sulawesi Tenggara

Lampiran
Standardisasi alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis besar di
perairan Laut Banda dan sekitarnya, tahun 2006
Jumlah
Alat tangkap Catch (Kg) CPUE FPI Alat baku
kapal
Huhate 359 1,254,507 3,494.4 1 359
Pancingtonda 272 234,434 861.9 0.2466454 67
Pancingulur 53 1,814 34.2 0.0097945 1
PukatCincin 2918 3,867,796 1,325.5 0.3793147 1107
Rawaituna 23 25,844 1,123.7 0.3215535 7
Total 5,384,395 1541

Standardisasi alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis besar di


perairan Laut Banda dan sekitarnya, tahun 2007
Jumlah
Alat tangkap Catch (Kg) CPUE FPI Alat baku
kapal
Huhate 343 1,334,455 3,890.5 1 343
Pancing tonda 383 459,598 1,200.0 0.3084392 118
Pancing ulur 121 18,700 154.5 0.0397234 5
Pukat Cincin 3502 4,993,857 1,426.0 0.3665305 1284
Rawai tuna 34 23,027 677.3 0.1740799 6
Total   6,829,637   1755

Standardisasi alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis besar di


perairan Laut Banda dan sekitarnya, tahun 2008
Jumlah
Alat tangkap Catch (Kg) CPUE FPI Alat baku
kapal
Huhate 418 1,685,728 4,032.8 1 418
Pancing tonda 206 246,334 1,195.8 0.2965148 61
Pancing ulur 683 157,653 230.8 0.0572361 39
Pukat Cincin 3671 5,887,555 1,603.8 0.3976851 1460
Rawai tuna 3 2,980 993.3 0.246311 1
Total 7,980,250 1979

241
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Standardisasi alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis besar di


perairan Laut Banda dan sekitarnya, tahun 2009
Jumlah
Alat tangkap Catch (Kg) CPUE FPI Alat baku
kapal
Huhate 899 2,293,750 2,551.4 1 899
Pancing tonda 406 660,721 1,627.4 0.6378311 259
Pancing ulur 677 279,571 413.0 0.1618516 110
Pukat Cincin 4166 4,653,483 1,117.0 0.4377967 1824
Rawai tuna
Total 7,887,933 3091

Standardisasi alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis besar di


perairan Laut Banda dan sekitarnya, tahun 2010
Jumlah
Alat tangkap Catch (Kg) CPUE FPI Alat baku
kapal
Huhate 1147 2,908,652 2,535.9 1 1147
Pancing tonda 271 408,393 1,507.0 0.5942657 161
Pancing ulur 567 198,192 349.5 0.1378398 78
Pukat Cincin 8624 12,750,194 1,478.5 0.583015 5028
Rawai tuna
Grand Total 10624 16,265,431 1,531.0 6414

242
16
AKTIVITAS PENANGKAPAN PANCING ULUR
TUNA DI KEPULAUAN BANDA NEIRA
Oleh
Baihaqi1) dan Helman Nr Yusuf1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian perikanan pancing tuna di kepulauan Banda Neira
Propinsi Maluku Tengah dilaksanakan pada Februari – Desember
2011. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei lapangan
dengan teknik wawancara langsung kepada nelayan pada armada
perikanan pancing tuna dan kapal penampung. Tujuan penulisan
ini adalah untuk mendapatkan informasi berupa produktifitas hasil
tangkapan pancing tuna per trip dan per lokasi penangkapan, laju
tangkap serta indeks musim penangkapan tuna di Banda Neira. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa produktifitas hasil tangkapan ikan
tuna di Banda Neira berkisar antara 123,9 – 162,4 Kg/trip, sedangkan
lokasi penangkapan yang berbeda menunjukkan produktifitas yang
berbeda pula. Diketahui bahwa musim penangkapan tuna di Banda
Neira berada pada Agustus – Desember, dengan puncak musim terjadi
pada bulan Oktober – Desember.
Kata kunci : perikanan pancing tuna, laju tangkap, produktifitas,
laut banda
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pendahuluan
Wilayah Banda Neira merupakan salah satu wilayah kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah dengan luas wilayah 172 Km2 dan memiliki
panjang garis pantai 90,377 Km. Banda Neira terletak antara 050 43’ 00’’
- 060 31’ 00’’ Lintang Selatan dan 1290 44’ 00’’ – 1300 04’ 00’’ Bujur Timur.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Banda Neira


Banda Neira merupakan daerah gugusan kepulauan, dimana
terdapat 6 pulau berpenghuni dan 5 pulau tidak berpenghuni. 6
Pulau berpenghuni antara lain Pulau Neira, Pulau Banda Besar, Pulau
Syahrir, Pulau Rhun, Pulau Ay dan Pulau Hatta, sedangkan Pulau tak
berpenghuni antara lain Pulau manukang, Pulau karaka, Pulau nailaka,
Pulau batu kapal dan Pulau kecil. Kondisi geografis berupa wilayah
kepulauan inilah yang menjadikan wilayah Banda Neira memiliki
potensi perikanan yang sangat baik disamping potensi non perikanan
lainnya. Wilayah pesisir Banda Neira mempunyai permukaan laut yang
landai berkisar antara 25 – 75 m dari surut terendah dan bagian lainnya
merupakan perairan yang curam dengan kedalaman laut pada wilayah
ini antara 38 – 3.125 m.
Perairan laut Banda merupakan tempat penyebaran ikan tuna,
cakalang dan ikan pelagis lainnya. Hal ini dapat dilihat dari statistik
yang menunjukkan bahwa tuna, cakalang maupun pelagis lainnya
merupakan tangkapan dominan di wilayah ini. Dalam mengeksploitasi
sumber daya ikan di wilayah ini, nelayan menggunakan alat tangkap

244
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

yang cukup beragam. Diantaranya pancing untuk menangkap ikan


tuna, jaring bobo (mini purse seine) untuk menangkap ikan cakalang
dan pelagis lainnya, serta alat tangkap jaring dasar yang digunakan
untuk menangkap ikan-ikan karang disekitar pantai.
Tulisan ini membahas perikanan tuna dan perkembangannya di
perairan Banda dan sekitarnya, dengan tujuan memberikan informasi
tentang karakteristik dan kinerja produktifitas alat tangkap pancing
ulur tuna.

Bahan dan Metode


Pengumpulan Data
Penelitian menggunakan metode survei dengan melakukan
observasi lapang, pengukuran dan wawancara. Data hasil tangkapan
dan unitnya serta aspek perikanan lain berupa data sekunder
diperoleh dari data statistik perikanan. Sedangkan data primer hasil
interview dengan nelayan menggunakan questioner dan pencatatan
oleh petugas enumerator.
Data primer aspek penangkapan meliputi : ukuran kapal, dimensi
alat tangkap, ABK dan kekuatan mesin kapal diperoleh melalui
pengukuran secara langsung. Informasi operasional, konsumsi
BBM (liter), jumlah trip per bulan, jumlah hari di laut terhadap hasil
tangkapan utamanya diperoleh melalui wawancara dengan nelayan.
Alat tangkap pancing Ulur yang digunakan dalam penangkapan
ikan tuna ini memiliki ukuran yang sama, terutama pada panjang tali
yang digunakan. Dikarenakan tali yang digunakan dalam pengoperasian
alat tangkap pancing ulur ini merupakan hasil produksi pabrik dengan
spesifikasi yang sama pula. Nelayan biasa membeli tali pancing ini
dari toko alat tangkap. Ada perbedaan dalam mengunakan umpan
untuk teknis penangkapan, alat tangkap pancing ulur mengunakan
umpan hidup berupa ikan layang dan ikan terbang dan umpan tiruan
berupa cumi-cumi dan ikan terbang, sedangkan pada pancing layang-
layang hanya menggunakan umpan tiruan berupa cumi-cumi dan ikan
terbang.

245
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Analisis Data
Analisis hasil tangkapan sederhana terhadap perikanan pancing
tuna dilakukan untuk mengetahui produktifitas per unit penangkapan
(CpUE). Penghitungan menggunakan rumus Sparre and Venema (1999)
sebagai berikut.

Catch
CpUE = ....................................................................... (1)
Effort

Dimana CpUE : Catch per unit Effort


Catch : Jumlah hasil tangkapan (gr, kg, ton)
Effort : Jumlah upaya (hari, trip, unit)

Indeks Musim Penangkapan


Untuk mengetahui pola musim penangkapan ikan analisis
menggunakan Metode Persentase Rata-rata (The Average Percentage
Methods) yang didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series
Analysis) (Spiegel 1961). Prosedurnya ialah sebagai berikut :
1. Hitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch
Per Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE
dalam setahun ( U ) .
1 m
U = ∑ U i …………….....................................….………..............(2)
m i =1
U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)
U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2. Hitung Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen :
U
U p = i x 100 % ………................................................……..….....(3)
U
3. Selanjutnya dihitung :
1 t
IMi = ∑ U p ..……..............................................….…………....... (4)
t i =1
IMi = Indeks Musim ke i
t = Jumlah tahun dari data

246
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Kriteria penentuan musim ikan ialah jika indeks musim lebih dari
1 (lebih dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim jika indeks
musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai
ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan
dalam keadaan normal atau berimbang.

Hasil dan Pembahasan


Perikanan Kepulauan Banda Neira
Perkembang nelayan di Banda Neira dalam segi jumlah mengalami
pasang surut, hal ini disebabkan nelayan – nelayan di luar wilayah ini
banyak yang melakukan migrasi ke Banda Neira begitu juga sebaliknya.
Tercatat, jumlah nelayan di Banda Neira tertinggi berada pada tahun
2000 mencapai 6.266 orang yang banyak dipengaruhi oleh jumlah
pengungsi pasca kerusuhan Ambon tahun 1999. Nelayan di Banda
Neira tersebar di 12 wilayah yang berbeda dari 6 pulau berpenghuni
yang ada, diantaranya Nusantara, Kampung Baru, Rajawali, Merdeka,
Dwiwarna, Tanah Rata, Lonthoir, Selamon, Pulau Hatta, Waer, Pulau
Ay dan Pulau Rhun.

Gambar 2. Perkembangan nelayan di Banda Neira


Nelayan di Banda Neira berasal dari berbagai macam suku
yang didatangkan oleh Belanda ke Banda Neira dimasa penjajahan,

247
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

sedangkan orang asli Banda Neira sendiri sudah tidak ada diwilayah
ini. Hal ini erat hubungannya dengan peristiwa di masa penjajahan
Belanda di masa lalu.
Perkembangan jumlah nelayan di Banda Neira pasca kerusuhan
tahun 1999 mengalami peningkatan hingga 50%, hal ini terjadi akibat
banyaknya gelombang pengungsi yang berasal dari wilayah – wilayah
yang berada disekitar Banda Neira. Dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Gambar 2 bahwasanya pada tahun 2000 jumlah nelayan di Banda
Neira mencapai 6.266 orang dan mengalami pengurangan dari tahun
ke tahun mengikuti keadaan yang terjadi pasca kerusuhan di Ambon.
Dengan semakin kondusifnya keadaan pasca kerusuhan, secara
bertahap nelayan yang melakukan migrasi ke Banda Neira kembali ke
wilayah masing – masing hingga tahun 2005 berjumlah 3.793. Tahun –
tahun berikutnya jumlah nelayan di Banda Neira relatif sama.
Perkembangan produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Banda
Neira dalam 10 tahun terakhir didominasi oleh tangkapan tuna
(thunnus albacores), cakalang (Katsuanus pelamis), layang (Decapterus
sp) serta ikan pelagis lainnya.
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Banda Neira cukup
beragam (Gambar 3), data Dinas Kelautan dan Perikanan menunjukkan
perkembangan sebagai berikut.

Gambar 3. Jumlah alat tangkap berdasarkan jenis alat tangkap

248
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Gambar 4. Produksi tuna di Banda Neira

Gambar 5. Produksi Ikan nontuna di Banda Neira


Tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa alat tangkap yang
digunakan nelayan di Banda Neira terdiri dari 8 (delapan) jenis alat
tangkap, yakni pancing tonda, pancing ulur, jaring hanyut, jaring tetap,
jaring dasar, pukat cincin, huhate, dan bubu. Dalam pengoperasiannya
setiap alat tangkap memiliki target tangkapan yang berbeda-beda.
Diantaranya pancing tonda biasa dioperasikan di wilayah pantai sekitar
kepulauan Banda Neira untuk menangkap ikan tongkol dan cakalang.
Pancing ulur biasa dioperasikan untuk menangkap ikan tuna, jaring
hanyut digunakan untuk menangkat ikan tongkol komo, jaring dasar

249
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dan jaring tetap biasa menangkap ikan-ikan karang disekitar pantai,


pukat cincin umtuk menangkap ikan cakalang dan momar/layang,
huhate untuk menangkap baby tuna dan cakalang, serta bubu yang
digunakan menangkap ikan – ikan karang.
Perkembangan produksi perikanan di Banda Neira dalam 10 tahun
terakhir mengalami fluktuasi, puncak produksi masing – masing jenis
ikan berbeda. Ikan tuna dan cakalang mengalami puncak produksi
pada tahun 2000, produksi tuna di tahun 2000 mencapai 1.300 ton
dan cakalang sebesar 6.845 kg, hal ini terjadi akibat banyaknya nelayan
dari wilayah lain yang migrasi dan menangkap ikan di Banda Neira.
ikan momar/layang mengalami puncak produksi di tahun 2006 hingga
mencapai 41.000 kg, hal ini sangat berbeda dengan tahun – tahun
sebelumnya maupun sesudahnya. Pada tahun 2006 terjadi kelimpahan
ikan – ikan kecil yang menjadi makanan ikan momar/ layang disekitar
kepulauan Banda Neira, hal ini mengundang ikan – ikan momar/ layang
dan memudahkan nelayan

Pancing Tuna
Pancing tuna adalah alat tangkap khusus untuk menangkap ikan
tuna yang panjang talinya sekitar 300 – 500 meter yang terbuat dari
nylon philipine (PA)100 atau 150 dan kili – kili (swivel), kawat (wire)
dan pancing tunggal atau ganda yang terkait terbalik, timah pemberat
sekitar 1 kg dan umpan ikan (layang) atau dengan rapala (umpan tiruan)
dengan nomor pancing 5 atau 7. Pada prinsipnya dalam pengoperasian
pancig tuna hampir dengan pancing ulur yang membedakan adalah
panjang talinya, karena target tangkapan ikan tuna yellow fin dan big
eye yang berada di strata kedalaman sekitar 300 – 500 meter. Dalam
pengoperasiannya setiap kapal terdiri dari 2 – 4 nelayan sesuai dengan
ukuran kapal. Daerah penagkapan pancing tuna di Pulau Banda
relatif aman bagi nelayan, karena seluruh wilayah di kepulan Banda
mempunyai pontesi sebaran ikan tuna relative sama, hanya pada saat
musim selatan saja nelayan beroperasi di wilayah sekitar selatan Pulau
Seram.

Pancing Ulur
Armada penangkapan yang mengoperasikan alat tangkap pancing
ulur rata-rata dalam 1 (satu) kali trip melakukan penangkapan ikan

250
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

selama 1 (satu) hari (one day fishing/ berangkat pagi pulang sore hari).
Armada penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pancing ulur
menggunakan bahan bakar solar, dengan penggunaan 1 (satu) atau 2
(dua) buah mesin dalam sekali trip penangkapan bisa menghabiskan
bahan hingga 50 liter dan 80 – 100 liter yang melakukan penangkapan
di sekitar Pulau seram (pulau Manukang). Selain bahan bakar solar,
operasional lain yang perlu diperhatikan adalah bekal es tetapi es
tersebut para nelayan tidak terbeban biaya operasional karena
setiap nelayan mendapatkan 7 – 15 balok es dari kapal penampung
yang berada di Banda Neira, jumlah es yang digunakan tergantung
pada besar kecilnya palkah ikan dan lokasi fishing ground yang akan
ditempuh.
Wilayah fishing ground nelayan pancing ulur yang berada di
kepulauan Banda Neira berada disekitar pulau – pulau yang ada di
Kepulauan Banda Neira, yakni sekitar pulau Rhun, Pulau Hatta, Pulau
Manukang, Pulau Ay, Pulau Syahrir, Pulau Karaka, Pulau Nailaka, Pulau
Batu Kapal, dan Pulau Kecil.

Pancing Layang-layang
Pancing layang-layang merupakan alat bantu yang hanya digunakan
pada saat tertentu yaitu pada kondisi ikan berada disekitar permukaan
air laut, maka pancing layang-layang siap untuk dioperasikan.
Penggunaan alat pancing layang-layang ini hampir dilakukan oleh
semua nelayan pancing ulur.

Perkembangan Produksi Tuna di Kepulauan Banda Neira


Produksi tuna di Banda Neira selama 10 tahun terakhir berfluktuasi
dengan puncak produksi pada tahun 2000 sebesar 1.300 ton dan
mengalami banyak penurunan hingga tahun 2004 sebesar 240 ton,
banyaknya penurunan terjadi akibat banyaknya nelayan yang kembali
ke Ambon pasca kerusuhan tahun 1999. Tahun 2000 merupakan
puncak jumlah nelayan di Banda Neira sebesar 6.266 orang yang
banyak berasal dari pengungsi Ambon. Sejak tahun 2005 produksi
tuna mengalami peningkatan hingga mencapai 575 ton di tahun 2010.
berikut kami sajikan produksi tuna hasil perikanan tangkap di Banda
Neira tahun 2000 -2010.

251
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 6. Produksi tuna di Banda Neira

Laju Tangkap Alat Tangkap Pancing Tuna


Data statistik kurun waktu 2005 - 2010 di Banda Neira menunjukkan
bahwa laju tangkap pancing tuna mengalami fluktuasi tiap bulannya,
dimana laju tangkap tertinggi terjadi pada bulan November dan
Desember rata – rata sebesar 0.132 ton/unit dan 0.130 ton/unit.
Sedangkan laju tangkap terendah berada pada bulan Januari dan
Februari rata – rata sebesar 0.032 ton/unit dan 0.040 ton/unit (Gambar
7 dan Gambar 8).

Gambar 7. Laju tangkap pancing tuna di Banda Neira


252
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Gambar 8. Rata – rata laju tangkap pancing tuna di Banda Neira


Fluktuasi nilai laju tangkap tuna terjadi akibat musim barat dan
musim timur yang terjadi diwilayah ini. Dimana pada musim barat
kondisi perairan di sekitar kepulauan Banda Neira tidak memungkinkan
nelayan untuk melakukan operasional penangkapan sehingga banyak
nelayan yang urung ke laut. Sedangkan pada musim timur kondisi
perairan di sekitar Kepulauan Banda Neira relatif tenang sehingga
banyak nelayan yang melakukan operasional penangkapan.

Produktivitas Alat Tangkap Pancing Tuna


Tabel 1. Periode operasional kapal “Warsid”

Fishing Total cacth


No Nama Kapal Tanggal jml cacth
Ground  (ekor) (kg)
1 Warsid 16 Februari 2011 P.Rhun 1 42
2 Warsid 26 Februari 2011 P.Rhun 1 32

3 Warsid 03 Maret 2011 P.Rhun 1 44

4 Warsid 06 Maret 2011 Laut Banda 3 101


5 Warsid 11 Maret 2011 Laut Banda 1 80
6 Warsid 14 April 2011 P.Manukang 5 225

253
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Fishing Total cacth


No Nama Kapal Tanggal jml cacth
Ground  (ekor) (kg)
7 Warsid 16 April 2011 P.Manukang 6 261
8 Warsid 24 April 2011 P.Manukang 5 266
9 Warsid 09 Mei 11 Kalapa-kalapa 1 81
10 Warsid 24 Mei 11 P.Manukang 3 120
11 Warsid 26 Mei 11 P.Rhun 7 360,5
12 Warsid 02 Juni 11 P.Manukang 2 115
13 Warsid 11 Juli 2011 Digor 1 50
14 Warsid 25 Oktober 2011 Digor 2 82
15 Warsid 17 Oktober 2011 Digor 2 85
16 Warsid 22 Oktober 2011 P.Manukang 3 115
21 Desember
17 Warsid Digor 2 84
2011
30 Desember
18 Warsid Digor 2 87
2011
Menurut hasil pencatatan selama kurun waktu Februari –
Desember 2011, kapal Warsid melakukan 18 kali operasi penangkapan
dengan fishing ground di 5 lokasi yang berbeda yakni P. Rhun, P.
Manukang, Laut Banda, Digor dan Kalapa – kalapa. Dari 5 lokasi fishing
ground di dapatkan total tangkapan sebanyak 48 ekor dengan berat
total sebesar 2230.5 Kg. Menggunakan persamaan CpUE didapatkan
total produktifitas kapal Warsid sebesar 123.9 Kg/trip. Sedangkan
produktifitas untuk masing – masing fishing ground adalah sebagai
berikut.
1. P. Manukang sebesar 183.6 kg/trip
2. P. Rhun sebesar 119.6 kg/trip
3. Laut Banda sebesar 90.5 kg/trip
4. Digor sebesar 77.6 kg/trip
5. Kalapa - kalapa sebesar 81 kg/trip

254
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Tabel 2. Periode operasional kapal “Ibrahim”


Fishing Total cacth
No Nama Kapal Tanggal Ground jml cacth
  (ekor) (kg)
1 Ibrahim 26 Februari 2011 P.Hatta 4 118
2 Ibrahim 26 Februari 2011 P.Manukang 8 265
3 Ibrahim 02 Maret 2011 Kp. Baru 1 35
4 Ibrahim 08 Maret 2011 Laut Banda 2 54
5 Ibrahim 20 Maret 2011 Laut Banda 4 155
6 Ibrahim 24 Maret 2011 P.Rhun 8 224
7 Ibrahim 30 Maret 2011 Kepala burung 7 241
8 Ibrahim 02 April 2011 P.Manukang 4 170
9 Ibrahim 06 April 2011 Kepala burung 4 157
10 Ibrahim 12 April 2011 Digor 5 225
11 Ibrahim 12 April 2011 P.Manukang 4 177
12 Ibrahim 29 April 2011 P.Manukang 3 105
13 Ibrahim 10 Mei 2011 P.Hatta 3 147
14 Ibrahim 10 Mei 2011 Kalapa-kalapa 2 119
15 Ibrahim 25 Mei 2011 P.Hatta 7 342,5
16 Ibrahim 14 Juni 2011 P.Manukang 3 155
17 Ibrahim 02 Juni 2011 P.Hatta 6 312,5
18 Ibrahim 08 Juni 2011 P.Rhun 5 275,5
19 Ibrahim 17 Juli 2011 P.Manukang 3 187
20 Ibrahim 20 Agustus 2011 P.Manukang 2 79
21 Ibrahim 06 Agustus 2011 P.Manukang 3 142
22 Ibrahim 22 Agustus 2011 P.Manukang 2 95
23 Ibrahim 09 Oktober 2011 P.Manukang 2 113
24 Ibrahim 29 Oktober 2011 P.Manukang 2 155
25 Ibrahim 09 Nopember 2011 P.Manukang 2 87
26 Ibrahim 15 Nopember 2011 P.Manukang 2 88

Berdasarkan hasil pencatatan selama kurun waktu Februari –


Desember 2011, kapal Ibrahim melakukan 26 kali operasi penangkapan

255
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dengan fishing ground di 7 lokasi yang berbeda yakni P. Rhun, P.


Manukang, Laut Banda, P. Hatta, Kp. Baru, Digor dan Kalapa – kalapa.
Dari 7 lokasi fishing ground di dapatkan total tangkapan sebanyak 98
ekor dengan berat total sebesar 4223.5 kg. Menggunakan persamaan
CpUE didapatkan total produktifitas kapal Warsid sebesar 162.4 kg/
trip. Sedangkan produktifitas untuk masing – masing fishing ground
adalah sebagai berikut.
1. P. Manukang sebesar 139.8 kg/trip
2. P. Rhun sebesar 249.8 kg/trip
3. Laut Banda sebesar 104.5 kg/trip
4. Digor sebesar 225 kg/trip
5. Kalapa - kalapa sebesar 119 kg/trip
6. P. Hatta sebesar 230 kg/trip
7. Kp. Baru sebesar 104.5 kg/trip

Indeks Musim Penangkapan


Informasi musim penangkapan ikan di perlukan untuk menentukan
waktu operasi penangkapan ikan yang tepat dan mengurangi resiko
kerugian. Berdasarkan IMP terdapat pola musim perikanan pancing
tuna selama kurun waktu tahun 2000-2010 (Gambar 8). Pola
musim penangkapan ikan tuna dengan pancing tuna secara umum
memperlihatkan bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada bulan
Agustus hingga Desember yaitu dengan nilai IMP di atas nilai 100.
Puncak musim terjadi pada bulan Desember, sedang puncak paceklik
terjadi bulan Januari.

Gambar 9. Musim penangkapan ikan tuna di Banda Neira


256
Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Banda

Persantunan
Kegiatan dari hasil riset Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat
Hela di Selat Makasar dan Pancing Tuna di Laut Banda TA. 2011 di Balai
Riset Perikanan Laut.

Kesimpulan
Perolehan hasil tangkapan pancing tuna per trip dan per unit per
hari berbeda-beda. Perbedaan hasil tangkapan antara lain disebabkan
oleh : a). Jumlah tawur/setting yang berbeda- beda tiap hari nya dalam
setiap trip dan b). Kondisi fishing ground yang berbeda.
Pola musim penangkapan ikan tuna dengan pancing tuna secara
umum memperlihatkan bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada
Agustus hingga Desember yaitu dengan nilai IMP di atas nilai 100.
Puncak musim terjadi pada Desember, sedang puncak paceklik terjadi
pada Januari.

Daftar Pustaka
Brandt, A. V. 1984. Fish catching methods of the world. Third Edition.
Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey England.
Dinas Kelautan dan Perikanan Banda Neira, 2010. Buku Tahunan
Statistik Perikanan Tangkap Kepulauan Banda Neira Tahun 2000
- 2010. Maluku.
Farë R, Grosskopf S, Lovel C.A.K. 1994. Production Frontiers. United
Kingdom: Cambridge University Press. 296p.
Hufiadi dan Nurdin E. 2006. Laju tangkap dan kepadatan stok ikan
demersal di perairan sekiktar P.Berhala, Selat Malaka. Prosiding
Seminar Nasional Perikanan Tangkap. IPB Bogor.
Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and migration. Fishing New
(Books). Ltd. London 76 p.
Subani, W. dan. Barus, H.R. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang
laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No.50 (Special
Edition). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 248 hal

257
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ.


Co., New York. 359 p
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 367
hal.

258
17
LAJU TANGKAP PANCING ULUR DAN
SEBARAN PANJANG HASIL TANGKAPAN
(IKAN TUNA MADIDIHANG (Thunnus
albacares) DI PERAIRAN KEPULAUAN BANDA
Oleh
Thomas Hidayat1), Tegoeh Nugroho1) dan Karsono Wagiyo1)
1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Pancing ulur (hand line) merupakan alat tangkap utama ikan tuna
di perairan Kepulauan Banda. Penelitian di perairan tersebut dilakukan
antara Februari sampai Desember 2011. Metode observasi digunakan
untuk mengetahui teknik penangkapan dan sebaran panjang serta laju
tangkap hasil tangkapan. Pancing ulur dioperasikan tidak jauh di sekitar
gerombolan ikan lumba-lumba. Umpan yang digunakan yaitu umpan
hidup (ikan layang atau selar bentong) dengan panjang tali pancing
100-150 cm. Ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur memiliki
panjang cagak (FL) berkisar antara 88-178 cm dengan rata-rata 130,98
cm. Laju tangkap rata-rata ikan madidihang yang tertangkap pancing
yaitu 133 kg/hari.
Kata Kunci: pancing ulur, madidihang, perairan kepulauan Banda
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pendahuluan
Ikan tuna merupakan sumber daya ikan oseanik yang utama dan
penting di Samudra Hindia, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik.
Secara ekonomi, ikan tuna merupakan sumber daya ikan yang bernilai
tinggi. Permintaan pasar terus meningkat sehingga mendorong
eksploitasi yang semakin intensif, baik oleh perikanan skala kecil
(nelayan setempat) maupun skala besar.
Penangkapan ikan tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung
sejak lama. Sekitar tahun 1975 armada milik PT. Perikanan Samodra
Besar (sekarang PT. Perikanan Nusantara) sudah mengoperasikan
armada kapal rawai tunanya di perairan tersebut, bahkan sebelum
tahun 1975 melalui perjanjian Banda Sea Agreement sekitar 100
armada rawai Jepang sudah beroperasi di perairan Laut Banda.
Penangkapan ikan tuna di perairan Kepulauan Banda mempunyai
ciri yang khas yaitu menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand
line) dengan teknik pengoperasian tanpa rumpon di sekitar areal
gerombolan ikan lumba-lumba.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui operasional penangkapan
ikan madidihang dengan pancing ulur, teknik penangkapan, daerah
penangkapan, serta laju tangkap hasil tangkapan pancing ulur (hand
line) serta ukuran panjang cagak (fork length) ikan madidihang yang
tertangkap di perairan Pulau Banda. Data dan informasi tersebut
merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya tuna
di perairan Laut Banda.

Bahan dan Metode


Penelitian dilakukan di perairan sekitar Pulau Banda (Bandanaira)
antara bulan Februari sampai dengan November 2011. Data yang
dikumpulkan yaitu : teknik penangkapan, daerah penangkapan
pancing ulur, serta ukuran panjang cagak (fork length) ikan madidihang
sebagai hasil tangkapannya. Data daerah penangkapan diambil dari
hasil observasi dengan mengikuti operasi kapal nelayan antara bulan
Agustus dan November 2011. Pengumpulan data frekuensi panjang
cagak ikan madidihang dibantu oleh enumerator di Bandanaira.

260
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Data ukuran panjang ikan (FL) digunakan untuk mengetahui


sebaran panjang ikan tuna yang tertangkap dari perairan Laut Banda
dan dianalisis dengan Microsoft Office Excell.

Hasil dan Bahasan


Perkembangan Produksi
Ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) merupakan ikan hasil
tang­­­­kapan dominan dari perairan sekitar Pulau Banda. Produksi ikan
ma­­­didihang di Bandanaira berfluktuasi dari tahun 2000-2010 (Gambar
1).

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Bandanaira, 2000-2010

Gambar 1. Perkembangan produksi ikan tuna madidihang di


Bandanaira, Tahun 2000-2010
Tren produksi tuna terus mengalami penurunan dari tahun 2000,
produksi terendah pada tahun 2006 yaitu 190 ton. Hal ini terjadi
karena armada kapal penampung hengkang dari Pulau Banda. Produksi
kembali meningkat di tahun 2007 tetapi kembali menurun tahun
2008. Produksi antara tahun 2008 - 2010 cenderung stabil atau ada
peningkatan yang tidak nyata.

261
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Perkembangan Armada dan Alat Tangkap


Alat tangkap yang ada di Banda adalah pancing tonda (troll line),
pancing ulur (handline), jaring insang hanyut (drift gillnet), pukat cincin
(purse seine) dan bubu (trap). Jenis alat tangkap yang dominan adalah
pancing ulur. Berdasarkan data statistik perikanan di Pulau Bandanaira
pada tahun 2000 sampai dengan 2010 terlihat bahwa pancing ulur
sangat mendominasi, kemudian disusul oleh pancing tonda (Gambar
2).

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Bandanaira

Gambar 2. Perkembangan jenis dan jumlah alat tangkap di Bandanaira,


tahun 2000-2010
Jumlah alat tangkat pancing ulur mengalami penurunan pada
tahun 2005 dan 2006 tetapi kembali meningkat di tahun 2007-2008,
dan menurun pada 2009, produksi 2009-2010 cenderung stabil.
Armada penangkapan di Banda didominasi oleh perahu tanpa
motor yang berukuran kecil dengan jumlah 589 unit. Armada kapal

262
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

penangkapan yang menggunakan motor penggerak didominasi oleh


kapal dengan motor tempel sebanyak 400 unit (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah perahu penangkapan ikan per desa di Banda, Tahun


2010
Perahu Tanpa Motor Motor Penggerak
No. Desa Motor Motor
Kecil Sedang Besar Katinting
Tempel Dalam
1 Nusantara 47 3 16 6 7
2 Kamp. Baru 20 2 75 8 10
3 Rajawali 10 1 6 5 7
4 Merdeka 12 1 2 9 5
5 Dwi Warna 7 2 3 3
6 Tanah Rata 25 2 2 1 5
7 Lonthoir 37 1 50 6 7
8 Selamon 45 1 13 22 9
9 Pulau Hatta 58 2 12 4 6
10 Waer 30 1 30 3 5
11 Pulau Ay 220 1 1 17
12 Pulau Rhun 62 1 3 33 7
Jumlah 573 16 0 212 100 88
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Bandanaira, 2010

Alat tangkap di Pulau Banda yang dominan selama 10 tahun terakhir


adalah handline (pancing ulur). Jenis alat tangkap ini dioperasikan
menggunakan armada yang disebut “bodi” (Gambar 3A). Di P. Banda
diperkirakan ada sekitar 400 bodi. Hasil pengukuran dimensi perahu
didapatkan rata-rata panjang 11,28 m, lebar 1,55 m dan dalam 1,03 m.
Perahu berbahan fiber atau kayu, dilengkapi dengan mesin 40 PK dua
buah. Mesin ditempatkan di luar atau di dalam perahu. Selanjutnya
alat tangkap setelah pancing ulur yaitu jaring “bobo/ purse seine” (ada
13 unit) dan jaring hanyut.

263
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

A B
Gambar 3. Perahu penangkap ikan dengan handline (bodi) (A) dan
jaring bobo (mini purse seine) di Bandanaira (B)
Sasaran utama kedua macam jaring ini yaitu ikan momar
(Decapterus macrosoma), selar (Selaroides sp) dan ikan pelagis kecil
lainnya yang dijual sebagai umpan pancing ulur. Hasil tangkapan kedua
jaring tersebut yaitu ikan cakalang dan tuna kecil berukuran < 40 cm.
Jaring bobo mempunyai panjang 300 m dengan lebar 70 m (Gambar 3
B). Hasil tangkapan dimasukkan ke dalam peti berinsulasi yang terbuat
dari kayu dan diberi es curah. Peti dapat menampung ikan tuna 3 – 8
ekor dengan berat antara 60 – 80 kg.

Alat dan Teknik Penangkapan


a. Pancing Ulur (Hand Line)
Cara pengoperasian pancing ulur ini hampir sama dengan pancing
pada umumnya, kecuali target ikan yang ditangkapnya. Target pancing
ulur yaitu ikan tuna. Umpan yang biasa digunakan yaitu ikan layang
hidup, cumi-cumi yang dipotong-potong atau potongan ikan cakalang.
Nelayan biasa mencari umpan layang hidup di sekitar rumpon. Umpan
disimpan pada bak umpan yang ada di perahu. Daerah pengopersian
pancing ulur ini yaitu di sekitar areal gerombolan ikan lumba-lumba.
Beberapa nelayan ada yang menggunakan umpan palsu dari potongan
jeligen, sendok, VCD bekas, dan potongan map plastik. Desain
pancing ulur di Bandanaira terdiri dari umpan, mata pancing dan senar
monofilamen (Gambar 4).

264
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Gambar 4. Pancing ulur untuk penangkapan ikan tuna di Banda Naira


b. Pancing Layang-layang
Layang-layang yang digunakan berbahan plastik, kalau umpan
dimakan ikan layang-layang tidak rusak seperti terjadi pada yang
berbahan kertas. Pada layang-layang terdapat tali kolong yang
berguna untuk membuat simpul hidup dengan tali senar pancing. Jadi
bila umpan dimakan ikan, secara otomatis simpul tersebut akan lepas
dan layang-layang akan jatuh ke bawah. Layang-layang tidak lepas/
hilang karena pada bagian bawah layang-layang diberi swivel dan snap.
Alat tersebut berguna untuk memasukkan senar pancing ke snap, jadi
kalau dapat ikan layang-layang tetap tersangkut pada senar.
Pancing dioperasikan dari buritan kapal dan dipegang salah satu
awak kapal. Kapal dioperasikan dengan kecepatan pelan ke arah
gerombolan ikan lumba-lumba. Nelayan memperkirakan kalau ada
schooling lumba-lumba itu berarti di depannya ada schooling ikan
tuna. Jadi nelayan akan melemparkan umpan di depan gerombolan
lumba-lumba atau memotong di depan arah renang lumba-lumba.
Umpan yang digunakan adalah umpan palsu, tiruan cumi-cumi, layang
atau ikan terbang Ikan yang paling sering tertangkap adalah tuna
madidihang, cakalang, marlin, layaran, dan lemadang.
265
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Layang-layang ini biasanya digunakan bersamaan dengan pancing


ulur atau sebagai selingan. Jika ikan tuna terlihat “naik” ke permukaan
maka nelayan akan membuang pancing ulur, diselingi dengan layang-
layang ini (Gambar 5).

Gambar 5. Pancing Layang-layang di Banda Naira

Cara Pengoperasian Pancing Ulur


Nelayan pancing ulur mulai melaut sekitar jam 03.00 pagi untuk
mencari ikan umpan hidup. Umpan bisa didapat dengan membeli
dari nelayan bobo (purse seine mini). Apabila tidak ada ikan umpan
di nelayan jaring bobo maka mereka harus memancing sendiri. Ikan
umpanyang digunakan biasanya ikan momar (layang) atau kawalinya
(selar bentong) .
Setelah mendapat cukup ikan umpan hidup nelayan pancing ulur
akan menuju daerah penangkapan . Daerah ini adalah perairan yang
ada kawanan lumba-lumba. Hal ini masuk akal karena lumba-lumba
selalu mengejar schooling ikan pelagis yang kecil (seperti layang),
demikian juga ikan tuna selalu mengejar mangsanya yang berupa
ikan-ikan yang lebih kecil. Jadi biasanya apabila ada kawanan lumba-

266
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

lumba di permukaan maka di lapisan yang lebih dalam terdapat ikan


tuna (madidihang).
Di peraiaran yang ada lumba-lumba, nelayan akan membuang
umpan hidup untuk memancing ikan tuna naik ke permukaan air.
Setelah ikan tuna terlihat berlompatan di permukaan air maka nelayan
membuang pancing yang telah diberi umpan hidup. Selama membuang
pancing ini mesin kapal dinaikkan mendekati permukaan, sehingga
deburan ombak yang ditimbulkan oleh baling-baling diharapkan dapat
menghalang penglihatan ikan tuna pada pancing. Teknik pengoperasian
pancing ulur ini mirip dengan huhate (pole and ine) yang menebar
umpan hidup dan menyemprotkan air untuk menghalangi pandangan
ikan cakalang/tuna. Hanya saja untuk menghalangi pandangan ikan
tuna dengan pancing ulur dimodifikasi dengan cara mengangkat
mesin ke permukaan. Pancing ulur ini dipasang tanpa pemberat dan
umpan hidup sehingga pancing cenderung terus berada di permukaan
air. Dengan demikian, hanya mendapat ikan tuna jenis madidihang
yang terkena pancing.
Apabila umpan dimakan tuna maka proses pemancingan baru
dimulai. Biasanya perahu berhenti dan nelayan akan mengulur tali
pancing sampai sekitar 100 sampai 150 m. Bila tuna makan umpan
pancing akan coba ditarik, tetapi apabila ikan masih melawan, akan
diulur lagi sampai ujung tali terakhir. Panjang tali pancing biasanya
sampai 200-250 m. Penarikan tali pancing dilakukan perlahan lahan,
sehingga bisa berlangsung selama 15-20 menit. Setelah ikan dinaikkan
ke atas perahu, ikan dimatikan dengan dipukul kepalanya kemudian
disimpan di box styrofoam dan diberi es curah.

Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground)


Daerah penangkapan adalah suatu perairan tempat dimana
terdapat ikan yang menjadi target penangkapan. Daerah penangkapan
alat tangkap pancing ulur di perairan Banda yaitu perairan Kelapa Uring,
Kalapa-kalapa, P. Rhun, Kalapa burung (Banda besar), P. Manukang, P.
Hatta, Nama, P. Ay, Digor, Belakang Lontor, P. Pisang, Seram/Goppa/
Geser, Noret (P. Rhun), Line kapal (P. Manukang), Kayu Pohong (P.
Pisang), Skaru (P. Hatta), Seram Wernama, Seram Tanjung Haya, dan
Nusa Laut. Secara umum jenis ikan madidihang tersebut ditangkap

267
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

dari perairan Laut Banda dan pulau-pulau sekitar Bandanaira (Gambar


6A).Sedangkan daerah penangkapan ikan tuna hasil observer disajikan
pada Gambar 6B.

Gambar 6. Persentanse tangkapan hand line per daerah tangkapan di


perairan Banda, tahun 2011 (A) dan Lokasipenangkapannya
(B).

268
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Hasil Tangkapan
a. Sebaran Ukuran
Panjang cagak (FL) ikan madidihang (Thunnus albacares) hasil
tangkapan pancing ulur bulan Februari sampai dengan Oktober 2011
berkisar dari 88-178 cm (Tabel 2 dan Gambar 7).

Tabel 2. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan madidihang yang


tertangkap pancing ulur di perairan Pulau Banda, Februari
– Oktober 2011
Mid length
Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Total
(cm)
77.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
82.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
87.5 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
92.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
97.5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
102.5 2 6 0 0 0 0 0 1 0 9
107.5 30 20 0 1 0 2 0 1 1 55
112.5 43 48 13 9 0 0 2 0 3 118
117.5 37 83 8 13 1 0 4 0 2 148
122.5 18 32 9 21 4 1 3 2 2 92
127.5 25 40 9 12 2 0 4 11 18 121
132.5 13 55 9 15 0 1 12 9 30 144
137.5 11 44 2 14 2 0 7 17 23 120
142.5 12 15 2 7 1 0 15 15 29 96
147.5 5 15 3 5 1 0 6 15 23 73
152.5 2 6 1 4 1 2 9 7 7 39
157.5 6 9 0 1 0 0 4 4 3 27
162.5 1 5 0 2 1 0 12 3 1 25
167.5 1 2 0 0 0 0 5 1 2 11
172.5 0 3 0 3 0 1 0 0 0 7
177.5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Panjang
rata-rata (FL, 122.44 127.55 124.77 131.64 134.08 136.00 144.10 141.14 138.78 130.98
cm)
Kisaran FL 105- 100- 108- 117- 109- 114- 105- 109-
88-151 88-178
(cm) 170 178 174 161 171 170 167 168

Dari Gambar 7 tampak bahwa panjang rata-rata ikan madidihang


(Thunnus albacares) relatif naik dari bulan Februari sampai Agustus
kecuali September dan Oktober menurun. Ikan madidihang yang

269
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

tertangkap di Laut Banda memiliki panjang cagak antara 88-178


cm, dengan rata-rata 130,98 cm. Panjang cagak ikan ini hampir sama
dengan ikan hasil tangkapan longline yang didaratkan di Cilacap yaitu
91 – 170 cm dan di Muara Baru 151 – 160 cm (Wudianto dkk., 2010).
Sebagian besar ikan yang tertangkap diduga telah matang gonad.
Menurut penelitian Itano (2004), ukuran pertama kali matang gonad
(Length at first maturity, Lm). Ikan madidihang di perairan Samudera
Pasifik bagian tengah dan barat berukuran 104,6 cm. Dari hasil
penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2010) di perairan Teluk
Tomini diperoleh nilai Lm ikan madidihang sebesar 94,8 cm. Apabila
nilai ini berlaku untuk ikan-ikan madidihang yang tertangkap di Laut
Banda maka ikan-ikan yang tertangkap di Laut Banda hampir semua
panjangnya diatas nilai Lm atau sudah pernah memijah dan sudah
dewasa.

Gambar 7. Perkembangan panjang rata-rata bulanan ikan madidihang


yang tertangkap dengan pancing ulur di Pulau Banda,
Februari - Oktober 2011
b. Laju Tangkap
Rata-rata laju tangkap pancing ulur di Pulau Banda tertinggi pada
bulan Februari yaitu 202.87 kg/hari dan setelah itu bulan Maret 188.33
kg/hari,laju tangkap terendah terjadi pada bulan Juni (62 kg/hari) dan

270
Laju Tangkap Pancing Ulur Dan Sebaran Panjang Hasil Tangkapan (Ikan Tuna Madidihang (Thunnus albacares)
Di Perairan Kepulauan Banda

Juli (65.8 kg/hari) (Gambar 8). Rata-rata laju tangkap dari Februari
sampai Desember yaitu 133 kg/hari.
800
700
LajuTangkap(Kg/hari)

600
500
400
300
200
100
0

Bulan


Gambar 8. Rata-rata laju tangkap rata-rata per bulan pancing ulur di


Pulau Banda, Februari - Desember 2011

Kesimpulan
Alat tangkap ikan tuna yang dominan di perairan Pulau Banda
yaitu pancing ulur (hand line)
Panjang cagak ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di
perairan Pulau Banda berkisar antara 88-178 cm dengan rata-rata
130.98 cm
Rata-rata laju tangkap pancing ulur terhadap ikan madidihang
yaitu 133 kg/hari.

Persantunan
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Indeks
Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar dan Oseanografis di WPP
Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru-
Jakarta.

271
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Bandanaira.
Balai Riset Perikanan Laut. 2010. Riset Sumber Daya Ikan Pelagis Besar
Di Perairan Teluk Tomini. Laporan Akhir Tahun 2010. Balai Riset
Perikanan Laut. Jakarta.
Itano, D.G. 2004. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus
albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pasific
Ocean: Project Summary. SOEST 00-01 JIMAR Contribution 00-
328.
Wudianto, K. Wagiyo & B. Wibowo. 2003. Sebaran daerah penangkapan
ikan tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9(7).

272
18
PERIKANAN CAKALANG (Katsuwanus pelamis)
DI KEPULAUAN BANDA NEIRA
Oleh
Helman Nur Yusuf , Baihaqi1) dan Tri Wahyu Budiarti1)
1)

1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Penelitian perikanan cakalang di kepulauan Banda Neira Propinsi
Maluku Tengah dilaksanakan pada Februari – Desember 2011.
Penelitian dilakukan menggunakan metode survey lapangan dengan
teknik wawancara langsung kepada nelayan pada armada perikanan
jaring bobo (mini purse seine). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi berupa hasil tangkapan jaring bobo per
trip dan per lokasi penangkapan, laju tangkap serta indeks musim
penangkapan cakalang di Banda Neira. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata laju tangkap tertinggi pada bulan Desember sebesar
10,9 kg/trip dan terendah pada bulan Maret sebesar 1,9 kg/trip.
Musim penangkapan cakalang di Banda Neira berada pada Agustus –
Desember, dengan puncak musim terjadi pada bulan Desember.
Kata kunci : perikanan jaring bobo, laju tangkap, laut banda
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Pendahuluan
Wilayah Banda Neira merupakan salah satu wilayah kecamatan di
Kabupaten Maluku Tengah dengan luas wilayah 172 Km2 dan memiliki
panjang garis pantai 90,377 Km. Banda Neira terletak antara 05043’00’’
- 06031’00’’ Lintang Selatan dan 129044’00’’ – 130004’00’’ Bujur Timur.
Kondisi pantai di sebagian besar Kepulauan Banda berbentuk curam,
perairannya lebih dalam yang mempunyai salinitas tinggi yaitu 34,2 ‰
di permukaan dan 33,8‰ -34,2 ‰ pada kedalaman 30 m (Hamzah, et
al., 1992). Kondisi perairan sangat baik untuk usahan perikanan tuna
ataupun jenis ikan pelagis besar lainnya.
Salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi adalah ikan
cakalang (Katsuwanus pelamis) dan musim penangkapan madidihang
yang baik di perairan Laut Banda adalah pada Juli – Desember,
dengan puncak musim terjadi di bulan November – Desember. Untuk
menangkap ikan cakalang nelayan Banda mengunakan alat tangkap
jaring bobo (mini purse seine) dimana perkembangan alat tangkap
relatif tetap dalam 10 tahun terakhir (2000-2010) yaitu rata-rata 6,36 %
pertahun. Perkembangan produksi tuna menunjukan fluktuasi dengan
rata-rata kenaikan 8 % pertahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Banda
Neira, 2010).
Usaha perikanan jaring bobo di Kepulauan Banda tergolong usaha
perikanan kecil yang ditandai dengan modal yang terbatas, managemen
dan teknologi yang sederhana, dimana nelayan mengunakan perahu
sederhana dengan tenaga pengerak sebuah perahu motor tempel,
jumlah alat tangkap yang digunakan hanya 1 unit dan daerah
penangkapan yang tidak jauh dari pantai. Dalam usaha perikanan jaring
bobo yang penting dikembangkan adalah bagaimana mempetinggi
efektivitas alat tangkap yang digunakan untuk dapat menangkap ikan
cakalang sebanyak-banyaknya dan berukuran ekspor(>3 kg) yang
hidup pada kedalaman tertentu dan menghasilkan ikan yang bermutu
baik agar bernilai jual tinggi.
Untuk tujuan meningkatkan efektifitas alat tangkap yang digunakan
dan produktifitas alat tangkap jaring bobo guna mendapatkan hasil
tangkapan yang optimal dan pendapatan nelayan.

274
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Bahan dan Metode


Bahan
a. Perahu
Perahu yang digunakan nelayan Banda dengan alat tangkap jaring
bobo mempunyai ukuran panjang 12 meter, lebar 2 meter dan dalam
1,5 meter ( 7 GT). Di dalam perahu terdapat palkah dengan ukuran
panjang 4 meter, lebar 1,6 meter dan tinggi 1 meter, dalam palkah
terdapat es balok sebanyak 15 balok es Sebagai tenaga penggerak
perahu di lengkapi motor tempel dengan tenaga 45 daya kuda (DK)
dan jumlah abk sebanyak 5 orang.

Gambar 1. Perahu Jaring bobo di Banda Naira


b. Alat Tangkap
Jaring Bobo mempunyai panjang 300 meter dan lebar 70 meter.
Besar mata jaring yang di sayap 1 inch, ¾ inci, dan di kantong 0,8 inci.
Jaring menggunakan pelampung pipih yang jumlahnya antara 60-70
bh. Pemberat yang dipakai adalah timah bulat seberat @ 2 ons (30-50
kg) dan ring/cincin sebanyak 100 bh dengan berat 50 kg.


. Gambar 2. Desain jaring bobo di Kepulauan Banda Naira
275
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Metode
a. Pengumpulan Data
Penelitian menggunakan metode survei dengan melakukan
observasi lapangan, pengukuran dan wawancara. Data hasil tangkapan
dan unitnya serta aspek perikanan lain berupa data sekunder diperoleh
dari data statistik perikanan. Data primer hasil interview dengan
nelayan menggunakan questioner dan pencatatan oleh petugas
enumerator.
Data primer aspek penangkapan meliputi : ukuran kapal, dimensi
alat tangkap, ABK dan kekuatan mesin kapal diperoleh melalui
pengukuran secara langsung. Informasi operasional, konsumsi
BBM (liter), jumlah trip per bulan, jumlah hari di laut terhadap hasil
tangkapan utamanya diperoleh melalui wawancara dengan nelayan.
b. Analisis Data
Analisis hasil tangkapan dilakukan untuk mengetahui produktifitas
per unit penangkapan (CpUE). Penghitungan menggunakan rumus
Sparre and Venema, 1999 sebagai berikut :
Catch
CpUE = ……………….……........................................…......(1)
Effort
Dimana CpUE : Catch per unit Effort
Catch : Jumlah hasil tangkapan (kg)
Effort : Jumlah upaya (hari, trip, unit)
b. Indeks Musim Penangkapan
Pola musim penangkapan ikan dianalisis menggunakan Metode
Persentase Rata-rata (The Average Percentage Methods) yang
didasarkan pada Analisis Runtun Waktu (Times Series Analysis) (Spiegel,
1961). Prosedurnya ialah sebagai berikut :
Hitung nilai hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE = Catch Per
Unit of Effort = U) per bulan (Ui) dan rata-rata bulanan CPUE dalam
setahun ( U ) .
1 m
U = ∑ U i ……………….………...................................................(2)
m i =1

276
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

U = CPUE rata-rata bulanan dalam setahun (ton/trip)


U i = CPUE per bulan (ton/trip)
m = 12 (jumlah bulan dalam setahun)
2. Hitung Up yaitu rasio Ui terhadap U dinyatakan dalam persen :
U
U p = i x 100 % …………..............................................……..…...(3)
U
3. Selanjutnya dihitung :
1 t
IMi = ∑ U p ..…...............................................…….…………......(4)
t i =1
IMi = Indeks Musim ke i
t = Jumlah tahun dari data
Kriteria musim ikan terjadi jika indeks musim lebih dari 1 (lebih
dari 100 %) atau di atas rata-rata, dan bukan musim ikan jika indeks
musim kurang dari 1 (kurang dari 100 %). Apabila IM = 1 (100 %), nilai
ini sama dengan harga rata-rata bulanan sehingga dapat dikatakan
dalam keadaan normal atau berimbang.

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian di laksanakan di Perairan Kepulauan Banda Naira
pada bulan Februari – Desember 2011. Penentuan lokasi daerah
penangkapan didasarkan kebiasaan nelayan setempat dan merupakan
daerah penangkapan.

Gambar 3. Daerah penangkapan jaring bobo di Kepulauan Banda


-4.41 Naira

-4.43 277
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Hasil dan Pembahasan


Perikanan Kepulauan Banda Neira
Perairan Laut Banda merupakan tempat penyebaran ikan
cakalang, tuna dan ikan pelagis lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data
statistik yang menunjukkan bahwa cakalang, tuna maupun pelagis
lainnya merupakan tangkapan dominan di wilayah ini. Eksploitasi
sumberdaya ikan di wilayah ini, nelayan menggunakan alat tangkap
berbagai macam diantaranya jaring bobo (mini purse seine) untuk
menangkap ikan cakalang, pancing ulur untuk menangkap ikan tuna
dan pelagis lainnya, serta alat tangkap jaring dasar yang digunakan
untuk menangkap ikan-ikan karang yang beroperasi disekitar pantai.
Jumlah nelayan di Banda Neira dalam segi jumlah mengalami
pasang surut. Hal ini disebabkan nelayan – nelayan di luar wilayah ini
banyak yang melakukan migrasi ke Banda Neira begitu juga sebaliknya.
Jumlah nelayan di Banda Neira tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang
mencapai 6.266 orang yang banyak dipengaruhi oleh jumlah pengungsi
pasca kerusuhan Ambon tahun 1999. Nelayan di Banda Neira tersebar
di 12 wilayah yang berbeda dari 6 pulau berpenghuni yaitu Nusantara,
Kampung Baru, Rajawali, Merdeka, Dwiwarna, Tanah Rata, Lonthoir,
Selamon, Pulau Hatta, Waer, Pulau Ay dan Pulau Rhun.

Gambar 4. Perkembangan nelayan di Banda Neira

278
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Produksi ikan hasil tangkapan nelayan di Banda Neira dalam 10


tahun terakhir didominasi oleh ikan cakalang (Katsuanus pelamis),
tuna (Thunnus albacores), layang (Decapterus sp) serta ikan pelagis
lainnya.
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Banda Neira cukup
beragam, seperti terlihat pada Gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 5. Jumlah dan jenis alat tangkap di kepulauan Banda Naira


Tahun 2000-2010

Gambar 6. Perkembangan jaring bobo di Banda Neira Tahun 2000-


2011

279
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa alat tangkap yang


digunakan nelayan di Banda Neira terdiri dari 8 (delapan) jenis, yakni
pancing tonda, pancing ulur, jaring hanyut, jaring tetap, jaring dasar,
pukat cincin (jaring bobo), huhate dan bubu. Dalam pengoperasiannya
setiap alat tangkap memiliki target tangkapan yang berbeda-beda.
Jaring bobo biasa dioperasikan di wilayah pantai sekitar kepulauan
Banda Neira untuk menangkap ikan cakalang dan tongkol. Pancing
ulur biasa dioperasikan untuk menangkap ikan tuna, jaring hanyut
digunakan untuk menangkap ikan tongkol komo, jaring dasar dan
jaring tetap untuk menangkap ikan-ikan karang disekitar pantai
untuk huhate untuk menangkap tuna dkecilan cakalang, serta bubu
digunakan menangkap ikan – ikan karang.
Perkembangan produksi perikanan di Banda Neira dalam 10 tahun
terakhir mengalami fluktuasi, puncak produksi masing – masing jenis
ikan berbeda. Puncak produksi ikan cakalang dan tuna terjadi pada
tahun 2000, yakni produksi cakalang sebesar 6.845 kg dan ikan tuna
sebesar 1.300 ton. Hal ini terjadi akibat banyaknya nelayan dari wilayah
lain yang migrasi dan menangkap ikan di Banda Neira. Produksi Ikan
momar/ layang mencapai puncaknya pada tahun 2006 sebesar 41.000
kg, hal ini sangat berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya maupun
sesudahnya. Pada tahun 2006 terjadi kelimpahan ikan – ikan kecil yang
menjadi makanan ikan momar/ layang di sekitar kepulauan Banda
Neira, sehingga menarik ikan – ikan momar/ layang yang akhirnya
memudahkan nelayan untuk menangkapnya.

Alat Tangkap Jaring Bobo


Jaring Bobo adalah alat tangkap mini purse seine yang dioperasikan
di sekitar rumpon. Sebelum dioperasikan dua orang awak kapal
menuju rumpon untuk menyiapkan lampu dan peralatan lainnya. Pada
pengoperasian jaring bobo rumpon dan lampu di lepas dari rumah
rumpon dibawa bergeser pelan menggiring ikan. Kemudian kapal
yang membawa jaring melingkari rumpon dan lampu. Setelah ujung
kedua jaring bertemu maka dengan segera ring/cincin dinaikkan,
yaitu dengan menarik tali kolor sampai ring terkumpul. Kemudian
ring dinaikkan ke atas kapal dilanjutkan dengan menarik bagian jaring
yang lain sampai ikan terkumpul dikantong (bagian tengah jaring). Bila

280
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

ikan telah terkumpul di kantong maka rumah rumpon segera ditarik


mendekati kapal. Kemudian ikan hasil tangkapan dimasukkan ke dalam
palkah, terutama ikan cakalang, yang lain seperti tuna kecil dan layang
dimasukkan ke dalam bak penampung lain.
Dalam 1 malam jaring biasa dioperasikan antara 2 sampai 4 kali.
Target tangkapan dari jaring Bobo adalah cakalang, tongkol dan ikan
pelagis kecil.

Perkembangan Produksi Cakalang di Kepulauan Banda Neira


Produksi cakalang di Banda Neira selama 10 tahun terakhir
berfluktuasi dengan puncak produksi pada tahun 2000 sebesar 6.845
kg dan mengalami penurunan yang tajam hingga tahun 2006 sebesar
2185 kg dan tahun 2010 sebesar 2204 kg (Gambar 5). Produksi non
cakalang dapat di lihat pada Gambar 6.

Gambar 7. Perkembangan produksi cakalang di Banda Neira tahun


2010-2010

Gambar 8. Perkembangan produksi cakalang di Banda Neira tahun


2010-2011
281
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 9. Produksi noncakalang di Banda Naira tahun 2000-2010

Laju Tangkap Jaring Bobo


Berdasarkan data statistik kurun waktu 2006 - 2010 di Banda Neira
diketahui bahwa laju tangkap jaring bobo mengalami fluktuasi tiap
bulannya, dimana laju tangkap tertinggi terjadi pada bulan Desember
masing-masing sebesar 10,9 kg/unit dan Agustus rata – rata sebesar
7,2 kg/unit. Laju tangkap terendah terjadi pada bulan Februari dan
Maret masing-masing sebesar 2,2 kg/unit dan 1,9 kg/unit (gambar 7
dan gambar 8).
Fluktuasi nilai laju tangkap cakalang terjadi akibat musim barat
dan musim timur yang terjadi di wilayah ini. Pada musim barat kondisi
perairan di sekitar kepulauan Banda Neira tidak memungkinkan nelayan
untuk melakukan operasional penangkapan sehingga banyak nelayan
yang urung ke laut, sedangkan pada musim timur kondisi perairan di
sekitar Kepulauan Banda Neira relatif tenang sehingga banyak nelayan
yang melakukan operasional penangkapan

Gambar 10. Laju tangkap jaring bobo di Banda Neira tahun 2006-2010
282
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Gambar 11. Rata – rata laju tangkap jaring bobo di Banda Neira tahun
2006- 2010
Indeks Musim Penangkapan
Informasi musim penangkapan ikan di perlukan untuk menentukan
waktu operasi penangkapan ikan yang tepat dan mengurangi resiko
kerugian. Berdasarkan IMP terjadi pola musim perikanan jaring
bobo selama kurun waktu tahun 2000-2010 (Gambar 10). Pola
musim penangkapan ikan cakalang dengan jaring bobo secara umum
memperlihatkan bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada bulan
Agustus hingga Desember dengan nilai IMP tertinggi, sedang puncak
paceklik terjadi bulan April.

Gambar 12. Musim penangkapan ikan cakalang di Banda Neira

283
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata laju tangkap jarring
bobo tertinggi terjadi pada bulan Desember yakni sebesar 10,9 kg/trip
dan terendah pada bulan Maret sebesar 1,9 kg/trip.
Pola musim penangkapan ikan cakalang secara umum
memperlihatkan bahwa musim penangkapan ikan terjadi pada bulan
Agustus sampai Desember yaitu dengan nilai IMP tertinggi terjadi pada
bulan Desember, sedangkan puncak paceklik terjadi bulan April.

Persantunan
Kegiatan dari hasil riset Kapasitas Penangkapan Perikanan Pukat
Hela di Selat Makasar dan Pancing Tuna di Laut Banda TA. 2011 di Balai
Riset Perikanan Laut.

Daftar Pustaka
Brandt, A. V. 1984. Fish catching methods of the world. Third Edition.
Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey England.
Dinas Kelautan dan Perikanan Banda Neira, 2010. Buku Tahunan
Statistik Perikanan Tangkap Kepulauan Banda Neira Tahun 2000
- 2010. Maluku.
Farë R, Grosskopf S, Lovel C.A.K. 1994. Production Frontiers. United
Kingdom: Cambridge University Press. 296p.
Hufiadi dan Nurdin E. 2006. Laju tangkap dan kepadatan stok ikan
demersal di perairan sekiktar P.Berhala, Selat Malaka. Prosiding
Seminar Nasional Perikanan Tangkap. IPB Bogor.
Subani, W. dan. Barus, H.R. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang
laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No.50 (Special
Edition). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 248 hal
Spiegel, M. R., 1961. Theory and Problems of Statistics. Schaum Publ.
Co., New York. 359 p
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 367
hal.

284
Perikanan Cakalang (Katsuwanus pelamis) Di Kepulauan Banda Neira

Hamzah, M.S.,M. Soamole dan Th.A.W.Wenno, 1992. Kondisi


Oseanografi Perairan Sekitar Kepulauan Banda dan Lusipara.
Laporan Kemajuan Triwulan IV, Tahun Anggaran 1992/1993
LIPI/P3O Balai Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya
Laut.
Sparre & Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Tropis.
Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assement
Manual Oleh Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan
Jakarta, xiv + 438 hlm.

285
19
STRUKTUR UKURAN DAN DAERAH
PENANGKAPAN IKAN CAKALANG
(Katsuwonus pelamis) YANG BERBASIS DI
PPS KENDARI
Oleh
Tegoeh Noegroho , Thomas Hidayat1) dan Umi Chodrijah1)
1)

1)
Peneliti Balai Penelitan Perikanan Laut

Abstrak
Cakalang merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang
memiliki nilai komersial tinggi. Penelitian dilakukan pada bulan
Februari sampai dengan Desember 2011. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui perkembangan produksi, distribusi sebaran panjang
dan daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang
tertangkap dengan alat tangkap purse seine, pole and line, pancing
tonda, pancing ulur.. Produksi ikan cakalang di PPS Kendari dari tahun
2004-2010 mulai terdapat tren naik pada tahun 2009 dan mencapai
puncaknya pada tahun 2010. Hal ini karena pada tahun 2009 kapal
penampung dari purse seine pelagis besar mulai mendaratkan hasil
tangkapannya ke PPS Kendari. Rata-rata produksi cakalang sampai
tahun 2010 adalah 2789.7 ton/tahun. Nilai ini lebih dari 50% dari total
produksi ikan tuna di PPS Kendari. Dari sebaran panjang cagak ikan
cakalang diperoleh kisaran dari 12-73 cmFL. Frekuensi panjang ikan
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

yang tertangkap dengan purse seine, modus berada pada kisaran 44-46
cmFL, yang tertangkap pole and line modus pada kisaran 40-42 cmFL,
yang tertangkap pancing tonda modus pada kisaran 44-46 cmFL, dan
yang tertangkap pancing ulur modus pada kisaran 38-40 cmFL. Panjang
rata-rata tertangkap (Lc) untuk ikan cakalang yang tertangkap purse
seine adalah 40.6 cm, pole and line 40.9 cm, pancing tonda 40.2 cm,
dan pancing ulur 38.4 cm. Terjadi tumpang tindih daerah penangkapan
ikan cakalang dari beberapa jenis alat tangkap.
Kata Kunci: struktur ukuran , daerah penangkapan, ikan cakalang,
PPS Kendari.

Pendahuluan
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis
sumberdaya perikanan terpenting baik sebagai komoditi ekspor
maupun sebagai bahan konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu
peranannya di dalam penambahan devisa negara cukup besar dan
pemenuhan kebutuhan protein domestik.
Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae. Collete
(1983) menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang yaitu tubuh berbentuk
fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gillrakes) berjumlah
53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang
terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari
keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet.
Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal
diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan
(corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung
berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan,
dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada
bagian samping badan.
Pengusahaan ikan cakalang di PPS Kendari dilakukan dengan
menggunakan alat tangkap purse seine, pole and line (huhate), pancing
tonda, pancing ulur, dan berbagai jenis pancing lainnya. Sebagian alat
tangkap tersebut biasa diopersikan di sekitar rumpon. Kapal purse
seine pelagis besar berukuran antara 29-85 GT, sedangkan purse seine

288
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

pelagis kecil mulai dari 5-30 GT. Kapal pole and line berukuran mulai
dari 10-50 GT. Kapal pancing tonda dan pancing ulur paling banyak
berukuran 5-10 GT. Jumlah alat tangkap yang paling dominan adalah
purse seine 56%, kemudian pancing ulur 22%, pancing tonda 15%, dan
pole and line 7%.
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari merupakan salah
satu sentra perikanan di Kawasan Indonesia Timur selain Bitung,
Ambon, Ternate dan Sorong. Tulisan ini menyajikan informasi tentang
perkembangan produksi, struktur ukuran, hubungan panjang berat
dan daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang
tertangkap dengan alat tangkap purse seine, pole and line, pancing
tonda dan pancing ulur.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di PPS. Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun
2011. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder meliputi
data produksi ikan cakalang dari tahun 2004-2010 dan data daerah
penangkapan, serta data primer antara lain data ukuran panjang ikan
(cmFL), dan data hasil observasi langsung dengan mengikuti kapal
nelayan di laut. Data ukuran panjang ikan dikumpulkan mulai bulan
Februari sampai dengan Desember 2011.
Data produksi ikan digunakan untuk melihat perkembangan
produksi ikan cakalang dan perubahan tren yang terjadi, data
daerah penagkapan divalidasi dengan data hasil observasi langsung
saat mengikuti kapal penangkap (purse seine). Dari data sebaran
panjang ikan cakalang pada tiap-tiap alat tangkap dibuat persentase
frekuensinya dengan selang kelas 2 cm. Dari grafik yang terbentuk
dapat ditentukan nilai modus sebaran panjang ikan cakalang pada
tiap-tiap alat tangkap.
Pendugaan ukuran panjang rata-rata tertangkap (Lc) dengan
membuat persentase frekuensi pada tiap kelas panjang (nilai tengah
cm) kemudian dari persentase tiap kelas panjang dicari persen frekuensi
kumulatifnya. Dengan software sigmaplot 10, diplotkan nilai tengah
(sumbu x), dan frekuensi kumulatif (sumbu y) dalam kurva sigmoid,

289
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

kemudian dari hasil kurva sigmoid yang muncul bisa ditentukan nilai
Lc pada posisi 50% (L50). Data hasil perhitungan Lc akan dianalisis
dan dibandingkan dengan Lc/Lm ikan cakalang yang sudah ada dari
beberapa literatur.
Menurut Effendie (1997), hubungan panjang-berat ikan berguna
untuk mengatur pengelolaan perikanan di suatu wilayah, karena dari
hubungan panjang berat diketahui pola pertumbuhan ikan. Kriteria ini
dianalisa dengan melihat nilai b yaitu:
Nilai b = 3, maka pertumbuhan ikan isometrik artinya pertumbuhan
panjang sebanding dengan pertumbuhan berat.
Nilai b< 3, maka perumbuhan ikan alometrik negatif artinya
pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
berat.
Nilai b> 3, maka pertumbuhan ikan alometrik positif artinya
pertumbuhan berat lebih cepat dari pada pertumbuhan panjang.

HASIL DAN BAHASAN


Produksi Ikan Cakalang di PPS Kendari
Produksi ikan cakalang di PPS Kendari lebih besar bila dibandingkan
produksi ikan tuna (madidihang, tuna mata besar). Produksi ikan
cakalang hampir tiga kali lipat dari produksi ikan tuna. Rata-rata hasil
tangkapan ikan cakalang pada kurun waktu 2004-2010 adalah 2789.742
ton/tahun, sedangkan ikan tuna hanya tercatat 826.0491 ton/tahun.
Dari hasil penelusuran data dan hasil wawancara dengan pihak
pelabuhan diperoleh informasi bahwa tahun 2009 kapal-kapal
penampung dari purse seine pelagis besar mulai mendaratkan ikannya
ke PPS Kendari. Dari Gambar 1 terlihat bahwa naiknya tren produksi ikan
cakalang dibarengi dengan naiknya produksi ikan tuna (madidihang,
tuna mata besar). Produksi ikan cakalang berasal dari hasil tangkapan
alat tangkap pole and line, pancing tonda, dan pancing ulur.

290
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

9000
8000
PRODUKSI (TON)

Cakalang
7000
6000 Tuna

5000
4000
3000
2000
1000
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

TAHUN

Gambar 1. Perkembangan produksi ikan cakalang di PPS Kendari tahun
2004- 2010

Produksi Bulanan Ikan Cakalang


Persentase produksi ikan cakalang berdasarkan jenis alat tangkap
menunjukkan dominasi purse seine sebesar 57% dari total produksi,
pole and line sebesar 36%, pancing tonda sebesar 5%, dan pancing
ulur 2% (Gambar 2).

Gambar 2. Persentase produksi ikan cakalang berdasarkan jenis alat


tangkap

291
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Produksi bulanan ikan cakalang pada tahun 2008 mulai bulan


Januari-Juli sangat rendah hanya di bawah 50 ton, sedangkan bulan
Februari dan Maret lebih besar dengan produksi 106 ton. Produksi
tahun 2008 mulai menunjukkan tren naik pada bulan Agustus (114
ton), September (319 ton) dan mencapai puncaknya pada bulan
Oktober (449 ton). Bulan November produksi turun lagi terus sampai
bulan Desember (262 ton-174 ton).
Tahun 2010 produksi ikan cakalang sangat berfluktuasi, puncak
produksi justru terjadi pada bulan Januari dan Februari (891 ton dan
894 ton). Produksi mulai turun lagi pada bulan Maret-Mei. Produksi
mulai menunjukkan tren naik pada bulan Juni-Juli (606 ton dan 761
ton), produksi turun pada bulan Agustus-September. Bulan Oktober
produksi naik menjadi 748 ton dan turun lagi pada bulan November
dan Desember yaitu sebesar 624 ton dan 623 ton (Gambar 3).
Produksi rata-rata tahun 2010 lebih besar dibanding produksi tahun
2008 yaitu 673 ton dibanding 139 ton. Tahun 2010 produksi sudah
lebih besar dikarenakan ada beberapa kapal penampung dari purse
seine tuna yang bongkar di PPS Kendari untuk mensuplai bahan baku
ikan ke perusahaan. Tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terdapat
kesamaan puncak produksi yaitu pada bulan Oktober, dan produksi
rendah pada bulan April dan Mei.

Gambar 3. Tren produksi bulanan ikan cakalang di PPS Kendari tahun


2008 - 2010

292
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

Distribusi Ukuran Panjang (Fork Length)


Distribusi ukuran panjang dipisahkan berdasarkan hasil
pengukuran panjang ikan cakalang yang di daratkan di PPS Kendari
dari beberapa alat tangkap, yaitu purse seine, pole and line, pancing
tonda, dan pancing ulur. Dari purse seine dengan jumlah ikan yang
diukur 12054 ekor diperoleh kisaran panjang dari 22-73 cmFL. Modus
berada pada kisaran 44-46 cmFL. Pada pole and line (huhate) dengan
jumlah sampel 6035 ekor diperoleh kisaran panjang 20-72 cmFL. Nilai
modus berada pada kisaran panjang 40-42 cmFL. Distribusi ukuran
panjang ikan cakalang di Laut Banda menurut Sumadhiharga dan
Hukom (1987) adalah 30-69.9 cmFL dengan modus pada kisaran 45-55
cmFL. Hal ini berbeda dengan hasil tangkapan pole and line sekarang
dimana sebaran yang tertangkap dan nilai modus sudah lebih kecil, hal
ini kemungkinan disebabkan adanya tekanan penangkapan.
Pada pancing tonda dengan jumlah sampel 2665 ekor diperoleh
kisaran antara 22-60 cmFL. Modus berada pada kisaran panjang 44-46
cmFL. Untuk pancing ulur dengan jumlah sampel 2828 ekor diperoleh
kisaran 12-62 cmFL dengan nilai modus berada pada kisaran panjang
38-40 cmFL (Gambar 4).
15,00
Cakalang
Frekuensi(%)

10,00 Purse seine


5,00 n= 12054
0,00

KisaranPanjang(cmFL)

15,00 Cakalang
Frekuensi(%)

10,00 Pole and Line


n= 6035
5,00
0,00

KisaranPanjang(cmFL)

15,00 Cakalang293
ekuensi(%)

Pancing Tonda
10,00
n= 2665
5,00
10,00 Pole and Line

Frekuensi(
n= 6035
5,00
0,00

Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

KisaranPanjang(cmFL)

15,00 Cakalang
Frekuensi(%)

Pancing Tonda
10,00
n= 2665
5,00

0,00
22Ͳ24
24Ͳ26
26Ͳ28
28Ͳ30
30Ͳ32
32Ͳ34
34Ͳ36
36Ͳ38
38Ͳ40
40Ͳ42
42Ͳ44
44Ͳ46
46Ͳ48
48Ͳ50
50Ͳ52
52Ͳ54
54Ͳ56
56Ͳ58
58Ͳ60
KisaranPanjang(cmFL)

15,00 Cakalang
Frekuensi(%)

10,00 Pancing Ulur


5,00 n= 2828
0,00

KisaranPanjang(cmFL)

Gambar 4. Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang dari beberapa


jenis alat tangkap di PPS Kendari
Terdapat perbedaan kisaran panjang dan modus ikan cakalang
yang tertangkap dari beberapa alat tangkap. Perbedaan tersebut
diduga karena selektifitas masing-masing alat tangkap dan daerah
penangkapan. Modus pada purse seine dan pancing tonda sama,
diduga karena daerah penangkapan yang sama yaitu di sekitar rumpon.
Kisaran panjang dan modus ikan cakalang hasil tangkapan pancing
ulur lebih kecil diperkirakan karena daerah penangkapannya hanya
disekitar rumpon dangkal di sekitar Pulau Menui.

Rata-rata Panjang Ikan Tertangkap (Lc)


Dari kurva sigmoid persentase sebaran frekuensi panjang
dan frekuensi kumulatif pada posisi 50% diperoleh panjang rata-rata
tertangkap (Lc) ikan cakalang yang tertangkap dengan purse seine
adalah 40.6 cmFL, pole and line 40.9 cmFL, pancing tonda 40.2 cmFL,
dan pancing ulur 38.4 cmFL (Tabel 1). Nilai Lc yang di dapat lebih kecil

294
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

dari Lc ikan cakalang di Laut Sulawesi dan Laut Maluku, yaitu 49.3 cmFL
(Nugraha & Rahmat, 2008).

Tabel 1. Rata-rata panjang ikan cakalang tertangkap oleh beberapa


jenis alat tangkap
Alat Tangkap Panjang Rata-rata Tertangkap (Lc) (cm)
Purse seine 40.6
Pole and line 40.9
Pancing tonda 40.2
Pancing ulur 38.4
Menurut Sumadhiharga dan Hukom (1987), ikan cakalang di Laut
Banda pertama kali matang gonad untuk betina pada ukuran 41.8
cmFL, dan ikan jantan 42 cmFL. Nilai Lm ikan cakalang betina dan
jantan di Samudera Hindia adalah 41-43 cmFl, dan hasil penelitian
Suhendrata dan Merta (1986) di perairan Sorong untuk ikan cakalang
diperoleh nilai Lm rata-rata jantan dan betina sebesar 48 cmFL.
Bila diasumsikan nilai Lm di atas berlaku untuk ikan-ikan cakalang
yang tertangkap dengan beberapa alat tangkap di Laut Banda maka
ternyata ikan-ikan yang tertangkap panjangnya dibawah nilai Lm.
Dengan demikian, ikan cakalang yang tertangkap didominasi oleh
ikan-ikan muda atau belum pernah mengalami matang gonad atau
belum pernah mengalami pemijahan (spawning). Ikan cakalang yang
tertangkap seharusnya memiliki nilai Lc lebih besar dari nilai Lm agar
rekrutmen berlangsung baik. Nilai Lc yang kecil dari ikan cakalang
yang tertangkap dapat di duga karena penggunaan mata jaring atau
mata pancing yang terlalu kecil. Endralin, et. al, (1990) menyatakan
nilai Lc ikan cakalang akan meningkat seiring dirubahnya ukuran mata
pancing.

Hubungan Panjang dan Bobot


Hubungan panjang cagak dan bobot ikan cakalang ditunjukkan
oleh persamaan seperti disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil
uji t terhadap nilai b pada selang kepercayaan 95% diperoleh thitung <
ttabel yang artinya b=3. Hal ini menunjukkan pola pertumbuhan ikan

295
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

cakalang bersifat isometrik, dimana pertumbuhan panjang seimbang


dengan pertumbuhan beratnya.
Tabel 2. Hubungan panjang berat ikan cakalang yang didaratkan di PPS
Kendari, pada bulan Januari, Mei, Juni, Agustus, dan Oktober 2011

Bulan n a b R²
Januari 48 0,013000 3,098 0,9871
Mei 198 0,005000 3,335 0,9380
Juni 37 0,000004 3,433 0,9820
Agustus 61 0,061000 2, 678 0,8798
Oktober 54 0,006600 3,266 0,7036
Jika memperhatikan Tabel 2 menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan ikan cakalang yang diteliti bersifat alometrik positif,
kecuali pada bulan Agustus memiliki pola pertumbuhan alometrik
negatif karena memiliki nilai b<3.

Daerah Penangkapan Ikan Cakalang di Laut Banda


Daerah penangkapan ikan cakalang di Laut Banda dengan basis
kapal di PPS Kendari, antara lain berada di sekitar Taliabo, Pulau Buru,
dan Pulau Menui. Kapal purse seine, pancing tonda, dan pancing ulur
biasanya dioperasikan di sekitar rumpon, sedangkan pole and line
dioperasikan di luar atau jauh dari rumpon karena mencari gerombolan
ikan (Gambar 5)
Daerah penangkapan purse seine umumnya di sekitar Taliabo (72%),
dan Pulau Buru 28%. Pole and line area penangkapan yang dominan
di sekitar P. Manui (73%), Taliabo 23%, dan di P. Buru 4%. Pancing
Tonda daerah penangkapannya hampir merata di Taliabo, P. Buru, dan
P. Menui (37%, 33%, 31%), sedangkan pancing ulur 100% beroperasi
di sekitar Pulau Menui (Gambar 6). Dari keempat alat tangkap 58%
beroperasi di Taliabo, 16% di P. Buru, dan 26% di P. Menui. Besarnya
intensitas penangkapan di daerah Taliabo bisa diduga menyebabkan

296
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

tumpang tindih penangkapan antara beberapa alat tangkap tersebut


dan hal ini menyebabkan hasil tangkapan ikan cakalang ukurannya
relatif seragam.

Gambar 5. Daerah penangkapan ikan cakalang dan posisi rumpon


purse seine tuna di Laut Banda (sumber: PPS Kendari,
nelayan, dan hasil observer)

297
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Gambar 6. Persentase daerah penangkapan ikan cakalang di Laut


Banda (sumber: data enumerator dan observer tahun 2011)
Dengan adanya tumpang tindih daerah penangkapan cakalang
dengan alat tangkap yang berbeda dikhawatirkan akan muncul konflik
antar nelayan. Sebelum terjadinya konflik horizontal antar nelayan,
maka sabgat diperlukan peraturan daerah tentang zonasi penangkapan
yang mengacu pada peraturan pemerintah pusat.

Kesimpulan
Produksi ikan cakalang di PPS Kendari tahun 2004-2010 mulai
menunjukkan tren meningkat setelah masuknya kapal penampung
purse seine pelagis besar. Puncak produksi terjadi tahun 2010 yaitu
sebesar 7648.3 ton.
Produksi ikan cakalang per jenis alat tangkap menunjukkan bahwa
purse seine tercatat sebesar 57% dari total produksi, pole and line
sebesar 36%, pancing tonda sebesar 5%, dan pancing ulur 2%.
Terdapat perbedaan kisaran panjang dan modus ikan cakalang
yang tertangkap dari beberapa alat tangkap. Perbedaan tersebut dapat
diduga karena perbedaan tingkat selektifitas dari masing-masing alat
tangkap dan beberapa kesamaan daerah penangkapan yang berbeda.

298
Struktur Ukuran Dan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Berbasis di Pps Kendari

Ikan-ikan cakalang yang tertangkap di Laut Banda memiliki nilai


Lc masih dibawah nilai Lm (Lc<Lm). Kondisi yang demikian apabila
berlangsung dalam jangka panjang akan membahayakan kelestarian
sumber daya ikan cakalang di wilayah ini.
Terjadi tumpang tindih daerah pengoperasian dari beberapa jenis
alat tangkap untuk menangkap ikan cakalang, sehingga perlu adanya
pengaturan sebelum terjadinya konflik antar nelayan.

Persantunan
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks
Kelimpahan Sumber daya Ikan Pelagis Besar dan Oseanografis di WPP
Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan laut-Muara Baru-
Jakarta.

Daftar Pustaka
Collete, B. B. & Nauen, C. E, 1983. FAO Species Catalogue. Scombride
of The World. An Annotated and Illustrated Catalogue of tunas,
Mackarels, Bonitos, and related Species Known to Date, FAO Fish,
Synop. vol 2, 137 pp.
Data-data Statistik PPS Kendari Tahun 2004-2011.
Effendie, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama:
163 hal.
Endralin, Tandog. D.D., Zaragoza, Cortez, C. E., Dalzell, P., D. Pauly.
1990. Some Aspect of The Biology of Skipjack (Katsuwonus
pelamis) in Philppine Water. Asian Marine Bilogy, Vol. 7, pg. 15-
29.
Nugraha, B. & E. Rahmat. 2008. Status perikanan huhate (Pole and
Line) di Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, Badan Riset Kelautan dan Perikanan : 639.205, volume
: 14 No : 3 Hal. 311-318.

299
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Selat Makassar-Laut Flores-Teluk Bone

Sparre, P. & S.C.Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan


Tropis Buku 1. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan.
Jakarta.438 hal.
Suhendrata, T. dan S.G.I. Merta. 1986. Hubungan panjang berat, tingkat
kematangan gonad dan fekunditas ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) di perairan sorong. Jur.Pen. Per. Laut. 43:11-19.
Sumadhiharga, K., F.D. Hukom. 1987. Hubungan Panjang Berat,
Makanan, dan Reproduksi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
di Laut Banda., BPPSL, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, LIPI, Ambon.

300

Anda mungkin juga menyukai