Anda di halaman 1dari 7

Krisis Keuangan Global Yang Dipicu Subprime Mortage

Krisis Global pada tahun 2009 dipicu oleh krisis kredit perumahan Amerika
Serikat yang populer dengan sebutan Subprime Mortgage. Istilah Subprime mengacu
kepada kreditur yang tidak memenuhi standar “prime” yang ditetapkan oleh Federal
National Mortgage Association di mana kreditur harus memiliki nilai kredit di atas 620,
rasio hutang terhadap pendapatan tidak lebih dari 75% dan rasio jumlah seluruh
pinjaman terhadap nilai barang sebesar 90%. Kreditur yang masuk dalam Subprime
memiliki resiko lebih tinggi sehingga harus membayar bunga yang lebih tinggi.
Mortgage merupakan instrumen hutang yang dijamin dengan nilai sebuah properti di
mana debitur berhak menarik properti apabila cicilan tidak dapat dilunasi.

Sebelum terjadinya krisis, ada kenaikan jumlah persentase subprime mortgage


dari 8% pada awalnya menjadi sekitar 20% pada tahun 2004 hingga 2006 (Simkovic,
2011). Sebagian besar dari subprime mortgage tersebut merupakan adjustable rate
mortgages yang pada tahun 2006 mencapai proporsi lebih dari 90% (Zandi, 2009).
Terjadi penurunan standar pemberian pinjaman dan naiknya risiko produk mortgage
(Burry, 2011) secara nyata. Rendahnya suku bunga kredit pada tahun 2002-2004 juga
berperan dalam pelonggaran kredit (Krugman, 2009).

Kemudahan kredit dan tren harga perumahan yang terus meningkat


mendorong kreditur berspekulasi akan dapat melakukan refinancing di kemudian hari
untuk memperoleh keuntungan. Spekulasi dalam bidang perumahan ini menjadi faktor
pemicu krisis subprime mortgage (Uchitelle, 1996). Selama 2006, 22% (1,65 juta unit)
rumah yang dibeli dimanfaatkan untuk investasi, sedangkan 14% (1,07 juta unit)
digunakan sebagai rumah berlibur.
Diagram 1.1: Subprime Mortage Crisis (1 dari 2)

Housing Bubble Formation

Lending Decisions by Institutions Borrowing Decisions by Individuals

GSE Bank Capital MBS High Risk Cultural Home Housing


Mortgage Lending Credit Credit Mortgage Pressure Perceived Speculation
Buying Practices Availability Ratings Products For Home A Safe &
Practices (ARM) Ownership Investment Overbuilding

Political Investor Low Interest Outdated Expectation Media, Context Bubble


Influence Demand for Rates & Credit That Hollywood Of Recent Psychology
MBS Tax Cuts Rating Refinancing & Govt. Dot-Com Self-
Policies Available Promotion Bust Reinforcing

Govt. Securitization Dot-com Conflict of Rising Housing Price Trend (Profit/Security Motive)
Objectives And Bust Interest:
Regarding Credit Risk & Foreign The Rated High Household Debt Levels
Low-Income Insurance Investment Fund the
Housing Raters

High Risk Tolerance & Leverage (Borrowing Invest)

Outdated Financial Regulatory Regime

Sumber: www.stat.unc.edu

Pecahnya Bubble yang memicu turunnya harga properti perumahan yang


menyebabkan refinancing menjadi lebih sulit. Dampaknya, 23% harga rumah di
Amerika Serikat lebih rendah daripada nilai pinjaman mortgage-nya. Di sisi lain, terjadi
kenaikan pada suku bunga mortgage yang berakibat naiknya biaya cicilan yang harus
dibayar. Dampak yang terjadi adalah meningkatnya jumlah kredit yang macets
sehingga debitur menyita aset yang dijaminkan (Wells Fargo Economic Research,
2010).
Diagram 1.2: Subprime Mortage Crisis (2 dari 2)

Excess
Causes of Housing
Housing Inventory
Buble-
Housing bubble Poor lending &
burst borrowing decisions
Household Arm adjustments
wealth declines

Downward presure on Negative Liquidity


business Investment Effects on Crunch for Bank
Risk of Increasing Economy Businesses Failures
unemployment
Stock market dedines
further reduce household wealth Harder toget loans Washington Mutual Loss on mortgages retained
Higher interest Wachovia Loss on mortgages - backed securities (MBS)
rates for loans Lehman Brothers High bank debt levels ("leverage")

Central
Bank
Actions
Lower interest rates Economic Hope Now Alliance Fannie & Freddie Emergency Economic
Increased lending Stimulus Act of 2008 Housing & Economic Bear Stearns Stabilization Act ($700 bailout)
Recovery Act of 2008 Northern Rock Bank recapitalizations globally
AIG
Sumber: www.stat.unc.edu

Perubahan pola pemberian pinjaman oleh debitur turut berperan dalam


munculnya krisis (Demyanyk & Van Hemert, 2008). Kualifikasi dalam memperoleh
kredit mulai berubah. Pada awalnya, calon kreditur cukup menyatakan mereka
memiliki pendapatan, kemudian dilakukan verifikasi atas aset yang dimiliki untuk
memperoleh pinjaman. Hal ini kemudian berubah menjadi kreditur cukup
menunjukkan memiliki sejumlah aset tanpa perlu bukti memiliki pekerjaan. Debitur
semakin agresif dalam memberikan kredit rumah kepada kreditur yang memiliki risiko
tinggi (Kirchhoff & Keen, 2007) bahkan kepada imigran gelap (Pasha, 2005). Pada
tahun 2005, rerata uang pangkal bagi pembeli rumah untuk pertama kali
adalah 2%, di mana 43% dari keseluruhan pembeli tidak melakukan pembayaran
uang pangkal. Syarat memperoleh pinjaman semakin diperlonggar, pada akhirnya
kreditur tidak memerlukan bukti pekerjaan ataupun aset yang dimiliki untuk
memperoleh pinjaman, yang diperlukan hanyalah nilai kredit kreditur tersebut (Stock
Market Investor, 2010).

Dampak krisis perumahan ini sendiri sangat besar bagi perekonomian dalam
negeri maupun global. Pada tahun 2008, indeks saham S&P 500 turun hingga 45%
dibandingkan titik tertingginya pada 2007. Harga perumahan turun hingga 20%
dibandingkan pada puncaknya pada 2006 ditambah dengan sinyal bahwa di masa
depan terdapat kemungkinan turun hingga 30-35%. Industri otomotif Amerika Serikat
turun drastis di mana penjualan mobil baru turun dari 17 juta di tahun 2005 menjadi
hanya 12 juta pada 2010 (New York Times, 2011). Berdasarkan data Bloomberg,
tahun 2009, enam juta lapangan pekerjaan hilang semenjak resesi dimulai sejak 2007.

Ketika Lehmann Brothers dan beberapa institusi finansial bangkrut, terjadi


penarikan dana secara masif dari pasar uang Amerika Serikat yang mencapai USD
150 miliar. Untuk mencegah terjadinya kehancuran pada sistem keuangan global,
Bank Sentral Amerika Serikat maupun Bank Sentral Eropa menyuntikkan dana hingga
USD 2,5 triliun dalam bentuk pembelian hutang pemerintah dan aset swasta yang
bermasalah dari bank. Injeksi ini tercatat sebagai suntikan dana terbesar dalam
sejarah dunia. Pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa juga
menaikkan modal yang dimiliki sistem perbankan nasionalnya dengan cara
melakukan pembelian saham yang baru. Hingga Agustus 2008, perusahaan
keuangan di berbagai belahan dunia mencatatkan kerugian senilai USD 501 milyar
dalam investasi yang berkaitan dengan sekuritas subprime (Bloomberg, 2008).

1.1 Kondisi Perdagangan Internasional

Globalisasi ekonomi yang cepat selama periode ini juga merupakan hasil dari
peningkatan pentingnya hubungan perdagangan-investasi. Saat ini lebih banyak
perdagangan terjadi melalui pembagian jaringan produksi global kompleks (yaitu
rantai pasokan) seperti di sektor garmen, produk listrik / elektronik dan mobil.
Perdagangan intra perusahaan sebagai bagian dari arus perdagangan dunia telah
meningkat secara besar-besaran dalam dekade terakhir, khususnya negara-negara
berkembang di Asia. Munculnya rantai pasokan global meningkatkan pertumbuhan
perdagangan bagian Selatan-Selatan, khususnya di Asia Timur, dan melibatkan
negara-negara berkembang seperti Tiongkok dan India yang saat ini dipandang
sebagai tiang pertumbuhan ekonomi baru.

Grafik 1.1: Volume Ekspor Dunia Periode 2000-2013

Sumber: World Trade Organization 2014

Kecepatan pertumbuhan perdagangan dunia sangat cepat pada periode antara


tahun 2000 dan 2008, rata-rata 14% per tahun. Tetapi krisis keuangan di akhir tahun
2008 dan penurunan ekonomi global, menyebabkan pertumbuhan perdagangan dunia
berbalik negatif. Pada tahun 2009, perdagangan dunia diperkirakan berkontraksi 10%
sampai 15%, meskipun pemulihan bertahap tampaknya sudah mulai terlihat dari
kuartal keempat tahun 2009 dan seterusnya (UNCTAD, 2010). Namun terjadinya
krisis keuangan di Eropa di tahun 2011 yang berawal dari Yunani menimbulkan
lesunya perekonomian karena kebijakan pengetatan anggaran Uni Eropa untuk tahun
2012.

Negara Asia pulih lebih cepat dari krisis dibandingkan negara maju.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang saat terjadi krisis keuangan global
merupakan salah satu motor penggerak perekonomian global ketika terjadi kelesuan
ekonomi. Menurut G-20, pertumbuhan ekspor negara berkembang di Asia pada
kuartal keempat (Q4) tahun 2009 adalah 10%, dan pertumbuhan tahunan
adalah 46%. Berbeda dengan pertumbuhan negara maju tahun 2009 yang
besarnya 4% dan tahunan 17% (UNCTAD, 2010). Tidak heran banyak pihak
memprediksi pusat pertumbuhan ekonomi dunia sudah mulai bergeser ke
kawasan Asia Pasifik.

Krisis ini juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ekspor-


impor barang Amerika Serikat. Akibat dari tingginya suku bunga dan sulitnya
memperoleh pinjaman (liquidity crunch), ekspansi bisnis pun ikut mengalami
kesulitan. Hal ini turut diperparah dengan naiknya jumlah pengangguran
akibat banyaknya perusahaan yang gulung tikar. Hal inilah yang
menyebabkan terjadi penurunan jumlah impor maupun ekspor
(Brunnermeier, 2007).

Eropa juga mengalami kerugian besar karena merupakan investor


portofolio terbesar di bursa saham Amerika Serikat. Pada akhir 2007, para
investor Eropa memegang 51% dari seluruh saham yang dipegang oleh
investor luar negeri, diikuti oleh Amerika Latin dengan 28%, sedangkan Asia
Timur hanya memegang 18% (Shiraj, 2009). Disisi lain, walaupun secara
total Jepang dan Tiongkok memegang peringkat satu dan dua dalam jumlah
investasi dalam bentuk surat hutang, kebanyakan investasi yang ditanam
adalah investasi dalam surat hutang jangka panjang US Treasury dan
Agency. Sedangkan Inggris memegang peringkat satu dalam investasi yang
lebih berisiko, yaitu pada surat hutang jangka panjang dalam sektor
korporasi.
Ketika tanda-tanda resesi global pertama kali tampak setelah krisis
keuangan, ada kekhawatiran bahwa sentimen proteksionis pasar akan
merusak aturan perdagangan multilateral yang ditetapkan di bawah WTO.
Namun, negara-negara memilih untuk mematuhi peraturan WTO. Hal ini
dibuktikan oleh fakta bahwa pembatasan perdagangan baru yang
diperkenalkan pada periode antara September 2009 dan Februari 2010
hanya mencakup 0,4% dari impor dunia atau 0,7% dari Impor kelompok G-
20.

Anda mungkin juga menyukai