Krisis Global pada tahun 2009 dipicu oleh krisis kredit perumahan Amerika
Serikat yang populer dengan sebutan Subprime Mortgage. Istilah Subprime mengacu
kepada kreditur yang tidak memenuhi standar “prime” yang ditetapkan oleh Federal
National Mortgage Association di mana kreditur harus memiliki nilai kredit di atas 620,
rasio hutang terhadap pendapatan tidak lebih dari 75% dan rasio jumlah seluruh
pinjaman terhadap nilai barang sebesar 90%. Kreditur yang masuk dalam Subprime
memiliki resiko lebih tinggi sehingga harus membayar bunga yang lebih tinggi.
Mortgage merupakan instrumen hutang yang dijamin dengan nilai sebuah properti di
mana debitur berhak menarik properti apabila cicilan tidak dapat dilunasi.
Govt. Securitization Dot-com Conflict of Rising Housing Price Trend (Profit/Security Motive)
Objectives And Bust Interest:
Regarding Credit Risk & Foreign The Rated High Household Debt Levels
Low-Income Insurance Investment Fund the
Housing Raters
Sumber: www.stat.unc.edu
Excess
Causes of Housing
Housing Inventory
Buble-
Housing bubble Poor lending &
burst borrowing decisions
Household Arm adjustments
wealth declines
Central
Bank
Actions
Lower interest rates Economic Hope Now Alliance Fannie & Freddie Emergency Economic
Increased lending Stimulus Act of 2008 Housing & Economic Bear Stearns Stabilization Act ($700 bailout)
Recovery Act of 2008 Northern Rock Bank recapitalizations globally
AIG
Sumber: www.stat.unc.edu
Dampak krisis perumahan ini sendiri sangat besar bagi perekonomian dalam
negeri maupun global. Pada tahun 2008, indeks saham S&P 500 turun hingga 45%
dibandingkan titik tertingginya pada 2007. Harga perumahan turun hingga 20%
dibandingkan pada puncaknya pada 2006 ditambah dengan sinyal bahwa di masa
depan terdapat kemungkinan turun hingga 30-35%. Industri otomotif Amerika Serikat
turun drastis di mana penjualan mobil baru turun dari 17 juta di tahun 2005 menjadi
hanya 12 juta pada 2010 (New York Times, 2011). Berdasarkan data Bloomberg,
tahun 2009, enam juta lapangan pekerjaan hilang semenjak resesi dimulai sejak 2007.
Globalisasi ekonomi yang cepat selama periode ini juga merupakan hasil dari
peningkatan pentingnya hubungan perdagangan-investasi. Saat ini lebih banyak
perdagangan terjadi melalui pembagian jaringan produksi global kompleks (yaitu
rantai pasokan) seperti di sektor garmen, produk listrik / elektronik dan mobil.
Perdagangan intra perusahaan sebagai bagian dari arus perdagangan dunia telah
meningkat secara besar-besaran dalam dekade terakhir, khususnya negara-negara
berkembang di Asia. Munculnya rantai pasokan global meningkatkan pertumbuhan
perdagangan bagian Selatan-Selatan, khususnya di Asia Timur, dan melibatkan
negara-negara berkembang seperti Tiongkok dan India yang saat ini dipandang
sebagai tiang pertumbuhan ekonomi baru.
Negara Asia pulih lebih cepat dari krisis dibandingkan negara maju.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang saat terjadi krisis keuangan global
merupakan salah satu motor penggerak perekonomian global ketika terjadi kelesuan
ekonomi. Menurut G-20, pertumbuhan ekspor negara berkembang di Asia pada
kuartal keempat (Q4) tahun 2009 adalah 10%, dan pertumbuhan tahunan
adalah 46%. Berbeda dengan pertumbuhan negara maju tahun 2009 yang
besarnya 4% dan tahunan 17% (UNCTAD, 2010). Tidak heran banyak pihak
memprediksi pusat pertumbuhan ekonomi dunia sudah mulai bergeser ke
kawasan Asia Pasifik.