AKUNTANSI INTERNASIONAL
“ KASUS SUBPRIME MORTGAGE”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4 ;
-
-
-
-
-
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM ENAM
KENDARI
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Kasus Subprime
Mortgage”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap makalah yanh kami susun ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan kawasan Eropa pada tahun
2008 mengindikasikan akan kegagalan ekonomi kapitalisme. Sistem
kapitalisme gagal menyelesaikan permasalahan ekonomi dan kesenjangan
sosial di negara-negara yang menganutnya. Terjadinya krisis bermula dari
kasus subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat. Subprime
mortgage merupakan instrument kredit untuk sektor properti. AS sudah
sejak lama memiliki perundang-undangan yang mengatur tentang
mortgage. Undang- undang mortgage ini berisikan tentang peraturan yang
berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit pemilikan rumah.
Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan
September 2008.Hal ini disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang
masih mencatat surplus serta kebijakan ekonomi yang berhati-hati. Namun
sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam
telah memberikan efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs rupiah
melemah menjadi Rp. 11.711,-USD. Tidak sampai di situ saja, krisis juga
menyebabkan tingginya laju inflasi. Tingginya tingkat inflasi disebabkan
oleh naiknya harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya
kebijakan subsidi harga Bahan Baku Minyak.
Krisis global telah menyeret dampak ke semua negara, tak terkecuali Indonesia
meski pada skala yang berbeda-beda. Indikasi krisis global sebenarnya sudah bisa
diendus sejak tahun 2007.Demikian laporan dari "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-
2014" yang dirilis Bank Indonesia,Rabu(15/4/2009).
Laporan BI tersebut menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis telah
menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan
subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan bibit-bibit
terjadinya krisis yang selanjutnya meluarndan menjadi krisis likuiditas terburuk di
berbagai belahan dunia.
Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun
sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada
akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang
terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut
ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar
finansial global.
Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain
lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi
ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan
penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang
berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini
sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui
rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase
jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat.
Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar,
dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$
150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa
bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan
CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko
dari produk-produk derivatif di atas.
Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi
ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan
terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan
berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang
mengalami gagal bayar.
Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam
penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang
terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers.
1.3 Tujuan
Makalah ini kami susun bertujuan untk memahami terkait bagaimana kasus krisis
Subprime Mortgage dapat terjadi hingga dampaknya bagi Indonesia.
1.4 Manfaat
Kami harap makalah yang kami susun bisa bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi para pembaca terkait Krisi Subprime Mortgage .
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu cara mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara
melihat credit score. Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap
credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang
mengunakan metode FICO. Sebagai informasi, konsumen dapat memiliki FICO
score mulai dari 300 - 850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh
perusahaan penyedia jasa credit score dengan melihat lima kategori utama seperti
dibawah ini:
a. Payment history (35%).
b. Amounts owed (30%).
c. Length of credit history (15%).
d. New kredit (10%)
e. Types of credit used (10%).
Walau berubah secara periodik, pada saat ini rata-rata credit score untuk konsumen
di Amerika berkisar 620. Semakin rendah credit score (FICO<620), semakin kurang
kelayakan dari konsumen tersebut mendapatkan KPR. Subprime Mortgage borrower
diberikan kepada konsumen yang memiliki FICO score < 620.
Selain credit score, Subprime Mortgage loan juga bisa terlihat dari beberapa hal:
a. Tingginya rasio Loan-to Value hingga 100%.
b. Agunan KPR yang tidak memenuhi fundamental perhitungan value-nya.
c. Ketidaklengkapan dokumentasi KPR (low-doc) atau tidak ada verifikasi terhadap
pendapatan (stated income), sumber downpayment & sejarah bekerja.
d. Tingginya Debt-to-Income (DTI) dan Payment to Income (PTI).
Karakteristik di atas secara langsung menaikkan risiko terhadap penyalur KPR.
Dari satu sisi, meningginya risiko dikompensasikan dengan suku bunga tinggi dan
fitur khusus lainnya. Di sisi lain, tingginya suku bunga menyebabkan
ketidakmampuan konsumen untuk mendapatkan KPR.” (Kusuma:2009)
Perekonomian Amerika saat ini sedang mengalami resesi, pasar keuangan berada
dalam kekacauan. Beberapa pemain dapat bertahan, sementara yang lainnya harus
kehilangan posisinya. Bank sentral Amerika mengerahkan upaya yang sangat
maksimal untuk menjaga berbagai institusi dari kebangkrutan,jatuhnya nilai
pemmahan di segenap penjum Amerika, semakin banyaknya kredit macet, dan
pemerintahnya hams menyediakan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk
menangani krisis. Ketika mungkin tidak dapat menjadi penyebab tunggal dari
kejadian tersebut, namun jatuhnya pasar kredit sub prime menjadi kontibutor
terbesar dari kejadian tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti
{subprime mortgage), semacam kredit kepemilikan rumah (KPR) di Indonesia.
Hal tersebut diikuti dengan ambruknya lembagalembaga keuangan di Amerika
Serikat. Sebelum krisis bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga
rendah pada kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lem baga keuangan
pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) banyak menyahrkan kredit kepada pcnduduk
yang sebe narnya tidak layak men dapatkan pemtiayaan. Kemu dahan pemberian
kredit terjadi justru ketika harga properti di AS sedang naik. Pasar properti yang
bergairah membuat spekulasi di sektcr ini meningkat. Kredit properti memberi suku
bunga tetap selama tiga tahun yang membuat banyrk orang membeli rumah dan
beriiarap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga di sesuaikan.
Gerardi et all (2008) menyatakan jatuhnya harga pemmahan akan menghasilkan
kemsakan berat di pasar walaupun terdapatsedikit kemungkinan ke anih tersebut.
Perusahaanperusahaan tersebut berani memberikan KPR karena memiliki skema
menyita dan menjual kembali rumah seandainya terjadi gagal bayai. Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak pemilik rumah di Amerika yang gagal memenuhi
kewajiban kredit KPR. Axibatnya, penisahaan perusahaan pemberi KPR
menghadapi kredit macet dan tidak mampu membayar kembali rtangnya. Di sisi lain,
banyak rumah yang disita oleh bank (foreclosed) dan saat dijual ternyata harga
pasar properti sudah turun drastis. Akibatnya, bankoank di Amerika Serikat, Eiopa,
Asia (terutama Jepang), Australia, dan lembaga investasi teratas di dunia yang
memiliki subprime mortgage securities ikut terkena dampaknya. Lembaga tersebut
mengalami kerugian hingga miliaran dolar, sementara bankbank dan lembaga
investasi tersebut tercatat di bursa saham. Kondisi ini menyebabkan jatuhnya pasar
saham diseluruh dunia.
Sebelum di tawarkan, surat utang hams diperingkat kan oleh suatu lembaga atau
agen pemeringkat surat utang (Rating Agency). Agen peme ringkat surat utang
adalah lembaga independen yang memberikan informasi peme ringkatan skala risiko
, dimana salah satunya adalah sekuritas surat utang sebagai petunjuk sejauh mana
keamanan suatu surat utang bagi investor. Keamanan tersebut ditunjukkan oleh
kemampuan suatu perusahaan dalam membayar bunga dan melunasi pokok
pinjaman. Sehingga pemodal bisa menggunakaa jasa agen pemeringkat obligasi
tersebut untuk mendapatkan informasi mengenai peringkat surat utang. Proses
peringkatan inidilakukan untuk menilai ki nerja peiusahaan, sehingga rating agency
dapat menya takan layak atau tidaknya obligasi tersebut diinves tasikaii. Peringkat
obligasi penting karena memberi^can pemyataan yang informatif dan memberikan
sinyal tentang jirobabilitas default hutang perusahaan. Peringkat huiang juga
berfungsi membantu kebijakan publik untuk membatasi investasi spekulatif para
investor institusional seperti bank, perusahaan asuransi darji dana pensiun. Kualitas
suatu obligasi dapat dimonitor dari informasi peringkatnya.
Lembaga pemeringkat surat utang merupakan pihak yang bersalah karena mem
berikan pemeringkatan yang ber'ebihan terhadap surat utang subprime mortgage
yang sangat beresiko (Sabry et all, 2008). Hal ini memberikan arahan yang keliru
terhadap perhatian investor pada kualitas dan resiko resiko relatif terhadap pilihan
pilihan investasi tersebut (Donald, 2007).
Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun
sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada
akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang
terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut
ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar
finansial global.
Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain
lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi
ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan
penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang
berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini
sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui
rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase
jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat.
Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar,
dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$
150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa
bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan
CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko
dari produk-produk derivatif di atas.
Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi
ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan
terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan
berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang
mengalami gagal bayar.
Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam
penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang
terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers.
Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis
ini.
Berikut rentetan kejadian setelah pernyataan tidak sanggup bayar dari BNP Paribas,
yang sekaligus menandai perjalanan krisis terburuk sejak perang dunia II ini.
Tahun2007:
Agustus: BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan
subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar masing-
masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euro. The Fed menurunkan suku bunga
menjadi 4,75%.
Oktober: Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS
Bank (Swiss), Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England (BOE) melakukan injeksi
likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-besaran
(bank run). The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi 4,5%.
Tahun2008:
Januari-Maret: Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001.
The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps
menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu dari
lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP Morgan
Chase, menyusul kerugian besar yang diderita.
Tahun2009:
Januari-Februari: Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat
sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor
Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Inggris
secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi.
Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838 miliar.
Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank
senilai US$ 1,5 triliun.
Fee yang diterima oleh lembaga pemeringkat surat utang berasal dari penerbit
Pembayaran yang di lakukan oleh penerbit rnenim bulkan konflik kepentingan
terhadap proses pemenng katan tersebut. Model peni laian seperti ini adalali model
yang keliru karena penilai (pemeringkat) dibayar oleh penerbit, oukan oleh pembeli
(Murthy can Aslhis, 2008 dan Edward, 2007). Model seperti ini membi'at Lemba ga
peme ringkat surat utang ti lak dapat dengan bebas dan leluasa melakukan penilai in
dan terjebak dengan apa yang disebut sebagai " issuer pay conflict " (Madden dan
Katya, 2009). Lembaga pemeringkat menjadi turut bertanggungjawab atas penjualan
surat utang terstruktur tersebut. .
- Adanya opsi saham dan insentif lain yang kemudian diterima oleh manajer, mem
buat peran mereka sebagai analis semakin kabur, karena jurnlah yang akan diterima
tersebut akan menjadi se makin besar sejalan dengan peringkat yang diterima oleh
penerbit. Pada awalnya lem baga pemeringkat kredit memperoleh pendapatan ha
nya dengan penjualan sekuritas secara manual, dan fee atas saran yang dimirita
oleh investor.
-Davis (2009) mengemu l;akan bahwa proses peme ringkatan seperti ini lebih terlihat
seperti negosiasi dari pada pengujian, dan penerbit dapat melakukan " pembeli an
pemeringkatan " diantara tiga lembaga pemeringkat besar (Moody's, Fitch dan
Standart & Poor) tersebut untuk memastikan bahwa salali satu dari tiga lembaga
tersebut dapat memberikan peringkat yang diinginkan oleh penerbit.
Dampak langsung dari krisis keuangan ini bagi Indonesia adalah kerugian beberapa
perusahaan di Indonesia yang berinvestasi di Institusi-institusi keuangan Amerika
Serikat. Perusahaan keuangan ataupun non bank yang mengalokasikan dana pada
sumber pendapatan alternatif, melalui pembelian saham atau obligasi pada
instrument keuangan asing seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, Morgan Stanley,
Lehman Brothers, Fannie Mae, Freddie Mac, American International Group (AIG)
dan lainnya. Sedangkan dampak tidak langsung dari krisis adalah turunnya
likuiditas, melonjaknya tingkat suku bunga, turunnya harga komoditas, melemahnya
nilai tukar rupiah, dan melemahnya pertumbuhan sumber dana. Demikian
juga,menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar terhadap
berbagai institusi keuangan yang menyebabkan melemahnya pasar modal.
Peningkatan resiko likuiditas seperti yang tercermin pada pasar uang antar bank
telah memberikan tekanan kepada kondisi perbankan. Tekanan likuiditas ini muncul
tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan
kredit sampai dengan Oktober 2008 yang sebagian besar menggunakan dana
secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan
dana pihak ketiga. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga meningkatkan resiko
perbankan. Meskipun mendapat tekanan cukup berat namun kinerja perbankan
sebagai satu industri masih cukup solid. Hal ini tercermin dari rasio permodalan
Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan pada akhir Desember 2008 yang masih
tinggi yaitu 16,2% dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana
tercermin pada rasio Non Performing Loan (NPL) yang relatif rendah yaitu 3,8 %
(gross) dan 1.5% (netto). Masih cukup solidnya kinerja perbankan tersebut juga
didukung oleh serangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan Bank
Indonesia sebagai respon dari krisis global, diantaranya dengan dinaikkannya
jaminan dana nasabah dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar oleh Lembaga
Penjamin Simpanan serta perubahan dalam ketentuan Giro Wajib Minimum. Respon
kebijakan tersebut berhasil meredam gejolak yang terjadi di pasar keuangan. Hal ini
tercermin dari angka Indeks Stabilitas Keuangan yang semakin menurun hingga
mencapai 2,06 pada Januari 2009. Dengan melihat perkembangan sampai dengan
akhirDesember 2008,21 terlihat bahwa dampak krisis ke Indonesia melalui jalur
finansial secara langsung lebih banyak ditransmisikan melalui faktor risk aversion
yang memicu flight to quality, selain aksi deleveraging dari investor asing terkait
dengan kesulitan likuiditas global. Sementara itu kerugian yang disebabkan dari
eksposur langsung terhadap sekuritas-sekuritas bermasalah dari pasar global
cenderung terbatas. Kondisi ini disebabkan oleh minimalnya eksposur perbankan
dan lembaga-lembaga keuangan Indonesia terhadap sekuritas-sekuritas bermasalah
dari luar negeri tersebut.
Beberapa hal yang terkait dengan struktur ekspor yang berpotensi memperbesar
dampak krisis melalui jalur perdagangan adalah ketergantungan terhadap komoditas
primer, komoditas ekspor yang kurang terdiversifikasi, dan tingginya kandungan
impor pada komoditas ekspor. Kontribusi sektor primer dalam struktur ekspor
Indonesia tercatat cukup besar. Secara rata-rata dari 2005-2008 pangsa komoditas
primer dalam total ekspor mencapai hampir 50%. Komoditas minyak dan gas
merupakan komoditas primer dengan kontribusi terbesar dengan , disusul oleh
kelompok komoditas pertambangan dan pertanian.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25
persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya
nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar
karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang
karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah
di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Pasar properti berubah menjadi seller
market akibat banyak yang ingin menjual propertinya sehingga harga properti turun
10 persen.
Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat
utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva
bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar.
DAFTAR PUSTAKA
https://finance.detik.com/moneter/d-1115753/kronologi-dan-latar-belakang-krisis-
finansial-global
https://ejournal.unisnu.ac.id/PED/article/download/350/663
http://journal.univpancasila.ac.id/index.php/jrb/article/download/4/2