Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AKUNTANSI INTERNASIONAL
“ KASUS SUBPRIME MORTGAGE”
 

 
 
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4 ;
-
-
-
-
-
 
 
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM ENAM
KENDARI
 
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Kasus Subprime
Mortgage”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap makalah yanh kami susun ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Kendari , 20 Oktober 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan kawasan Eropa pada tahun
2008 mengindikasikan akan kegagalan ekonomi kapitalisme. Sistem
kapitalisme gagal menyelesaikan permasalahan ekonomi dan kesenjangan
sosial di negara-negara yang menganutnya. Terjadinya krisis bermula dari
kasus subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat. Subprime
mortgage merupakan instrument kredit untuk sektor properti. AS sudah
sejak lama memiliki perundang-undangan yang mengatur tentang
mortgage. Undang- undang mortgage ini berisikan tentang peraturan yang
berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit pemilikan rumah.

Semua warga AS jika memenuhi persyaratan tertentu bisa mendapatkan


kemudahan kredit kepemilikan properti, seperti Kredit Pemilikan Rumh
(KPR). Namun, kemudahan pemberian kredit dan kegairahan pasar
properti di AS, menyebabkan spekulasi di sektor ini terus meningkat
(Depkominfo, 2008: 4). Kesalahan terbesarnya adalah pemberian subprime
mortgage diberikan ke penduduk yang tidak layak mendapatkan kredit
perumahan tersebut. Tidak layak di sini yaitu, tidak memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan tanggung jawab kreditnya. Hal ini memicu terjadinya
kredit macet yang menyebabkan kolapsnya perusahaan-perusahaan besar
di AS.

Gejolak krisis keuangan 2008 sempat memberikan sentiment buruk pada


perekonomian Indonesia. Melemahnya daya beli masyarakat AS akibat
dari krisis menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia.
Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Hal ini menyebabkan
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menduduki posisi defisit. Krisis juga
menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah.

Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan
September 2008.Hal ini disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang
masih mencatat surplus serta kebijakan ekonomi yang berhati-hati. Namun
sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam
telah memberikan efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs rupiah
melemah menjadi Rp. 11.711,-USD. Tidak sampai di situ saja, krisis juga
menyebabkan tingginya laju inflasi. Tingginya tingkat inflasi disebabkan
oleh naiknya harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya
kebijakan subsidi harga Bahan Baku Minyak.

Krisis global telah menyeret dampak ke semua negara, tak terkecuali Indonesia
meski pada skala yang berbeda-beda. Indikasi krisis global sebenarnya sudah bisa
diendus sejak tahun 2007.Demikian laporan dari "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-
2014" yang dirilis Bank Indonesia,Rabu(15/4/2009). 

Laporan BI tersebut menjelaskan, pada 9 Agustus 2007, BNP Paribas Prancis telah
menyatakan ketidaksanggupannya untuk mencairkan sekuritas yang terkait dengan
subprime mortgage dari AS. Pernyataan BNP Paribas tersebut merupakan bibit-bibit
terjadinya krisis yang selanjutnya meluarndan menjadi krisis likuiditas terburuk di
berbagai belahan dunia.

Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang


diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki
sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi.
Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar
US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ l500 miliar pada 2005.

Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun
sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada
akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang
terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut
ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar
finansial global.

Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime


mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities
(MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan
suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di
AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari
seluruh outstanding kredit perumahan. 

Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain
lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi
ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan
penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang
berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini
sekaligus bertindak sebagai penjamin.

Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui
rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase
jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat.
Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar,
dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.
Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$
150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa
bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan
CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko
dari produk-produk derivatif di atas.

Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi
ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan
terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan
berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang
mengalami gagal bayar. 

Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam
penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang
terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers. 

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud Subprime Mortgage ?


b. Bagaimana kronologi terjadinya Subprime Mortgage ?
c. Faktor apa saja yang menyebabkan pemeringkatan surat utang Subprime
Mortgage ?
d. Bagaimana Pengaruh Krisis Subprime Mortgage Terhadap Indonesia?

1.3 Tujuan

Makalah ini kami susun bertujuan untk memahami terkait bagaimana kasus krisis
Subprime Mortgage dapat terjadi hingga dampaknya bagi Indonesia.

1.4 Manfaat

Kami harap makalah yang kami susun bisa bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi para pembaca terkait Krisi Subprime Mortgage .
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Subprime Mortgage

Hambali (2008) mendefinisikan Subprime Mortgage sebagai kredit yang dikucurkan


oleh perbankan Amerika terhadap sektor perumahan (Di Indonesia dikenal dengan
Kredit Perumahan Rakyat). Kredit ini diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yakni
kelompok Prime Mortgage dan Subprime Mortgage. Prime Mortgage diberikan
kepada peminjam yang memiliki credit history bagus dan memiliki repayment
capacity (kemampuan membayar). Sedangkan Subprime Mortgage diberikan
kepada peminjam yang tidak memenuhi kedua persyaratan di atas. Para pakar
ekonom meyakini bahwa krisis ekonomi dan keuangan AS berawal dari produk
Subprime Mortgage.

Salah satu cara mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara
melihat credit score. Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap
credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang
mengunakan metode FICO. Sebagai informasi, konsumen dapat memiliki FICO
score mulai dari 300 - 850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh
perusahaan penyedia jasa credit score dengan melihat lima kategori utama seperti
dibawah ini:
a. Payment history (35%).
b. Amounts owed (30%).
c. Length of credit history (15%).
d. New kredit (10%)
e. Types of credit used (10%).
Walau berubah secara periodik, pada saat ini rata-rata credit score untuk konsumen
di Amerika berkisar 620. Semakin rendah credit score (FICO<620), semakin kurang
kelayakan dari konsumen tersebut mendapatkan KPR. Subprime Mortgage borrower
diberikan kepada konsumen yang memiliki FICO score < 620.
Selain credit score, Subprime Mortgage loan juga bisa terlihat dari beberapa hal:
a. Tingginya rasio Loan-to Value hingga 100%.
b. Agunan KPR yang tidak memenuhi fundamental perhitungan value-nya.
c. Ketidaklengkapan dokumentasi KPR (low-doc) atau tidak ada verifikasi terhadap
pendapatan (stated income), sumber downpayment & sejarah bekerja.
d. Tingginya Debt-to-Income (DTI) dan Payment to Income (PTI).
Karakteristik di atas secara langsung menaikkan risiko terhadap penyalur KPR.
Dari satu sisi, meningginya risiko dikompensasikan dengan suku bunga tinggi dan
fitur khusus lainnya. Di sisi lain, tingginya suku bunga menyebabkan
ketidakmampuan konsumen untuk mendapatkan KPR.” (Kusuma:2009)

Pertumbuhan subprime mortgage market di Amerika meningkat dengan cepat yang


mencapai 22% dari total originasi KPR dalam jumlah total sisa pinjaman lebih $650
juta pada akhir tahun 2006. Beberapa faktor utama meningkatnya pasar. Dari sisi
demand, sektor perumahan yang baik selama tahun 2002- 2005, rendahnya suku
bunga KPR & apresiasi harga rumah. Dari sisi suplai, dengan yang tinggi demand
dan masih terbukanya peluang usaha, penyalur KPR berbodong-bondong masuk ke
pasar ini untuk menawarkan jasanya.. Dengan meningkatnya kompetisi, penyalur
KPR bersaing untuk mendapat konsumen dengan menawarkan produk KPR yang
cukup bervariasi tanpa mengenal secara mendalam karakterisktik risikonya serta
me-relaxkan ketentuan originasi KPR. Hal ini mengakibatkan banyak KPR dengan
fitur berisiko tinggi yang disetujui untuk konsumen yang tidak layak. Dengan
menurunnya pertumbuhan sektor perumahan semenjak awal 2006 yang ditandai
dengan menurunya peningkatan harga rumah dan meningkatnya suku bunga KPR,
banyak konsumen KPR di pasar ini yang mengalami kesulitan membayar angsuran
dan kemudian dinyatakan gagal bayar. Hasil survei yang dikeluarkan oleh Mortgage
Banker Association (MBA) mengatakan bahwa delinquency rate untuk subprime
mortgage loans untuk Q4-2006 berada di 13,33%. Sebagai perbandingan,
deliequency rate untuk prime mortgage loan berkisar 2,57 %. Sementara itu,
foreclosure rate adalah 2% dibanding 0,24% untuk subprime & prime mortgage loan
per Q4-2006. Dan foreclosure inventory ratea adalah 0,5% dan 5,1% untuk subprime
& prime mortgage loan per Q4-2006Pelajaran untuk Pasar KPR di IndonesiaKredit
perumahaan memiliki karakteristik resiko yang beragam dan dapat dimitigasi dengan
pola originasi sampai dengan servicing yang baik. Dibeberapa negara termasuk di
Amerika, standarisasi dokumen KPR merupakan salah satu upaya agar terciptanya
standarisasi & menurunkan resiko. Manfaat dari standarisasi ini terbukti dengan
perbedaan dari delinquency & foreclosure rate antara conforming (prime) mortgage
loan dan subprime. Di Indonesia, standarisasi dokumen KPR telah dibuat untuk
dapat digunakan oleh penyalur KPR. Standarisasi dokumen KPR yang mencakup 5
topik yaitu Originasi, Underwriting, Quality Control, Servicing & MIS. Beberapa
contoh hal utama didalam standarisasi seperti cara menghitung LTV yang benar dan
batas terbesarnya, jenis dokumentasi yang wajib ada dan verikasi proses yang
harus dilakukan sebelum KPR dapat disetujui, PTI & DTI. Proses underwriting
dimana wawancara dengan konsumen untuk mendapatkan feeling mengenai
dikonsumen adalah penting. Selain itu, memberikan edukasi kepada calon
konsumen agar dapat mengetahui proses KPR serta hak & kewajibannya sangat
diperlukan. Konsumen yang teredukasi dapat membantu agar tidak terkibuli oleh
skema penyaluran KPR yang tidak sehat dan merugikan konsumen. 

2.2 Kronologi dan Latar Belakang Krisis Finansial Global ( Subprime


Mortgage)

Perekonomian Amerika saat ini sedang mengalami resesi, pasar keuangan berada
dalam kekacauan. Beberapa pemain dapat bertahan, sementara yang lainnya harus
kehilangan posisinya. Bank sentral Amerika mengerahkan upaya yang sangat
maksimal untuk menjaga berbagai institusi dari kebangkrutan,jatuhnya nilai
pemmahan di segenap penjum Amerika, semakin banyaknya kredit macet, dan
pemerintahnya hams menyediakan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk
menangani krisis. Ketika mungkin tidak dapat menjadi penyebab tunggal dari
kejadian tersebut, namun jatuhnya pasar kredit sub prime menjadi kontibutor
terbesar dari kejadian tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti
{subprime mortgage), semacam kredit kepemilikan rumah (KPR) di Indonesia.
Hal tersebut diikuti dengan ambruknya lembagalembaga keuangan di Amerika
Serikat. Sebelum krisis bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga
rendah pada kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lem baga keuangan
pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) banyak menyahrkan kredit kepada pcnduduk
yang sebe narnya tidak layak men dapatkan pemtiayaan. Kemu dahan pemberian
kredit terjadi justru ketika harga properti di AS sedang naik. Pasar properti yang
bergairah membuat spekulasi di sektcr ini meningkat. Kredit properti memberi suku
bunga tetap selama tiga tahun yang membuat banyrk orang membeli rumah dan
beriiarap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga di sesuaikan.
Gerardi et all (2008) menyatakan jatuhnya harga pemmahan akan menghasilkan
kemsakan berat di pasar walaupun terdapatsedikit kemungkinan ke anih tersebut.
Perusahaanperusahaan tersebut berani memberikan KPR karena memiliki skema
menyita dan menjual kembali rumah seandainya terjadi gagal bayai. Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak pemilik rumah di Amerika yang gagal memenuhi
kewajiban kredit KPR. Axibatnya, penisahaan perusahaan pemberi KPR
menghadapi kredit macet dan tidak mampu membayar kembali rtangnya. Di sisi lain,
banyak rumah yang disita oleh bank (foreclosed) dan saat dijual ternyata harga
pasar properti sudah turun drastis. Akibatnya, bankoank di Amerika Serikat, Eiopa,
Asia (terutama Jepang), Australia, dan lembaga investasi teratas di dunia yang
memiliki subprime mortgage securities ikut terkena dampaknya. Lembaga tersebut
mengalami kerugian hingga miliaran dolar, sementara bankbank dan lembaga
investasi tersebut tercatat di bursa saham. Kondisi ini menyebabkan jatuhnya pasar
saham diseluruh dunia.

Sementara, untuk memberikan kredit, lembagalembaga itu umumnya meminjam


dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pem
biayaan kredit rumah juga menjual surat utang kepada lembagalembaga investasi
dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan pembiayaan kredit rumah,
contohnya Fannie Mae dan Freddie Mac mendapatkan dana dengan menjual surat
utang ke bank komersial, bank devisa, atau perusahaan asuransi, diantaranya
Lehman Brothers atau AIG. Ketika terjadi kredit macet di sektor properti, surat utang
yang ditopang oleh jaminan debitur berkemampuan pembayaran KPR rendah itu,
mengalami penurunan harga, sehingga mempengaruhi likuiditaskeuangan pasar
modal daninstrumen investasi denvatif bertingkat, maka gelembung likuiditas makin
besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan antar lembaga keuangan di pasar
modal sehingga letusan gelembung likuiditas turut mempengaruhi banyak lem baga
keuangan dari berbagai penjuru dunia.

Sebelum di tawarkan, surat utang hams diperingkat kan oleh suatu lembaga atau
agen pemeringkat surat utang (Rating Agency). Agen peme ringkat surat utang
adalah lembaga independen yang memberikan informasi peme ringkatan skala risiko
, dimana salah satunya adalah sekuritas surat utang sebagai petunjuk sejauh mana
keamanan suatu surat utang bagi investor. Keamanan tersebut ditunjukkan oleh
kemampuan suatu perusahaan dalam membayar bunga dan melunasi pokok
pinjaman. Sehingga pemodal bisa menggunakaa jasa agen pemeringkat obligasi
tersebut untuk mendapatkan informasi mengenai peringkat surat utang. Proses
peringkatan inidilakukan untuk menilai ki nerja peiusahaan, sehingga rating agency
dapat menya takan layak atau tidaknya obligasi tersebut diinves tasikaii. Peringkat
obligasi penting karena memberi^can pemyataan yang informatif dan memberikan
sinyal tentang jirobabilitas default hutang perusahaan. Peringkat huiang juga
berfungsi membantu kebijakan publik untuk membatasi investasi spekulatif para
investor institusional seperti bank, perusahaan asuransi darji dana pensiun. Kualitas
suatu obligasi dapat dimonitor dari informasi peringkatnya.

Dalam kasus krisis subprime mortgage, lembaga pemeringkatan surat utang


mempunyai peran penting dalam memberikan informasi yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan sehingga pecahlah gelembung krisis tersebut, sebagaimana
dikatakan oleh Long ( 2004 ) dalam Hojnacki dan Shick ( 2008 ) bahwa lembaga
pemeringkat surat utang mengerjakan tugasnya untuk memberikan masukan ke
pasar, membeiikan pe ringkat dengan sedildt pe ngalaman terhadap penilaianresiko.
Investor produk Icredit yang kompleks memiliki informasi untuk bahan pertimbangan
yang minim untuk menilai dasar kuaJitas kredit dalam portofolio mereka, sehingga
pada akhirnya, investor akhir sangat tergantung pada penilaian resiko yang
dilakukan oleh lembaga pemeringkat surat utang (Crouhy dan Stuart, 2008).

Lembaga pemeringkat surat utang merupakan pihak yang bersalah karena mem
berikan pemeringkatan yang ber'ebihan terhadap surat utang subprime mortgage
yang sangat beresiko (Sabry et all, 2008). Hal ini memberikan arahan yang keliru
terhadap perhatian investor pada kualitas dan resiko resiko relatif terhadap pilihan
pilihan investasi tersebut (Donald, 2007).

Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang


diberikan kepada debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki
sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi.
Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar
US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005.

Meskipun subprime mortgage inilah yang menjadi awal terciptanya krisis, namun
sebenarnya jumlahnya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kerugian yang pada
akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Kerugian besar yang
terjadi sebenarnya bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage tersebut
ke dalam berbagai bentuk sekuritas lain, yang kemudian diperdagangkan di pasar
finansial global.

Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan terhadap sejumlah subprime


mortgage sehingga menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities
(MBS). Dalam sistem keuangan modern, praktik sekuritisasi MBS ini merupakan
suatu hal yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006 jumlah kredit perumahan di
AS (mortgage) yang disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir 60% dari
seluruh outstanding kredit perumahan. 

Proses sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah (antara lain
lembaga Fannie Mae dan Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses sekuritisasi
ini, pihak ketiga seringkali melakukan pengemasan dengan melakukan
penggabungan sejumlah mortgage, yang selanjutnya dijual kepada investor yang
berminat. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka pihak ketiga ini
sekaligus bertindak sebagai penjamin.
Praktik sekuritisasi mortgage ini ternyata tidak berhenti sampai di sini. Melalui
rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
diresekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt
Obligations (CDOs). Sejalan dengan jumlah MBS yang terus meningkat, persentase
jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs juga mengalami peningkatan pesat.
Dalam skala global, total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi US$ 500 milar,
dengan separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS.

Pada tahun 2004 total penerbitan CDOs global baru berada pada level sekitar US$
150 miliar. Selain dalam bentuk CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa
bentuk sekuritas lain yang sudah sulit dilacak bentuk maupun jumlahnya, di
antaranya sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles). Maraknya perdagangan
CDOs di pasar global juga dipengaruhi hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-
lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung underpricing terhadap risiko
dari produk-produk derivatif di atas.

Dipicu oleh perubahan arah kebijakan moneter AS yang mulai berubah menjadi
ketat memasuki pertengahan 2004, tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan
terus berlangsung sampai dengan 2006. Kondisi ini pada akhirnya memberi pukulan
berat pada pasar perumahan AS, yang ditandai dengan banyaknya debitur yang
mengalami gagal bayar. 

Gelombang gagal bayar yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di
AS, akhirnya menyeret semua investor maupun lembaga yang terlibat dalam
penjaminan ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar. Salah satu yang
terkena dampak buruk dan harus bangkrut diantaranya adalah Lehman Brothers.
Raksasa-raksasa finansial tak ada satupun yang bisa lari dari dampak buruk krisis
ini.

Berikut rentetan kejadian setelah pernyataan tidak sanggup bayar dari BNP Paribas,
yang sekaligus menandai perjalanan krisis terburuk sejak perang dunia II ini.

Tahun2007:
Agustus:  BNP Paribas tidak sanggup mencairkan sekuritas yang terkait dengan
subprime mortgage di AS. The Fed dan ECB memompa likuditas ke pasar masing-
masing US$ 24 miliar dan hampir 95 miliar euro. The Fed menurunkan suku bunga
menjadi 4,75%.

Oktober: Kerugian besar dialami bank maupun lembaga keuangan seperti UBS
Bank (Swiss), Citibank, dan Merryl Lynch. Bank of England (BOE) melakukan injeksi
likuiditas sebesar 10 miliar poundsterling akibat penarikan uang besar-besaran
(bank run). The Fed kembali menurunkan suku bunga 25 bps menjadi 4,5%.

Desember: The Fed mengambil langkah memompa likuiditas melalui kerjasama


dengan lima bank sentral lain, yaitu Bank of Canada, BOE, Bank of Japan, ECB, dan
Swiss National Bank. The Fed memangkas suku bunga 25 bps menjadi 4,25%.

Tahun2008:
Januari-Maret: Pasar saham global berjatuhan, terendah sejak September 2001.
The Fed kembali memangkas suku bunganya dalam 3 bulan sebanyak 200 bps
menjadi 2,25% dan terus melakukan injeksi likuiditas. Bear Stearns, salah satu dari
lima bank investasi terbesar di AS, terpaksa diakuisisi oleh rivalnya JP Morgan
Chase, menyusul kerugian besar yang diderita.

September: Pemerintah AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie Mae dan


Freddie Mac, yang menjadi progam bailout terbesar dalam sejarah AS selama ini.
Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, menjadikannya sebagai bank investasi besar
pertama yang benar-benar mengalami kolaps sejak terjadinya krisis. American
International Group (AIG), perusahaan asuransi terbesar di AS, juga diambang
kebrangkutan. The Fed memutuskan untuk memberikan bailout sebesar US$ 85
miliar. Dampak krisis keuangan telah semakin berimbas ke sektor riil, seperti
tercermin dari turunnya angka penjualan eceran dan meningkatnya pengangguran di
AS dan berbagai negara Eropa.

Oktober: Intensitas krisis ke seluruh dunia semakin meningkat, dipicu oleh


kebangkrutan Lehman Brothers. Flight to quality memicu outflows yang
menyebabkan melemahnya nilai tukar. Pemerintah AS akhirnya mengumumkan
paket penyelamatan sektor finansial sebesar US$ 700 miliar, Inggris mengumumkan
paket penyelamatan perbankan sedikitnya sebesar 50 miliar poundsterling. Jerman
menyediakan bantuan sebesar 50 miliar poundsterling untuk menyelamatkan Hypo
Real Estate Bank. Tindakan tersebut juga ditambah aksi bersama penurunan suku
bunga sebesar 0,5% dengan lima bank sentral lain yaitu ECB, BoE, Bank of
Canada, Swedia, dan Swiss.

November-Desember: Tiga negara yaitu Ukraina, Pakistan, dan Eslandia menerima


bantuan finansial dari IMF, disusul oleh Hongaria dan Belarusia. AS secara resmi
dinyatakan berada dalam kondisi resesi oleh Economic Research National Bureau of
(NBER). The Fed terus menurunkan suku bunga hingga mencapai level 0,25%, yang
merupakan level terendah dalam sejarah.

Tahun2009:
Januari-Februari: Angka pengangguran di AS pada bulan Desember 2008 tercatat
sebesar 7,2%, yang merupakan angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Ekspor
Cina dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Inggris
secara resmi dinyatakan berada dalam kondisi resesi. 

Senat AS akhirnya menyetujui paket penyelamatan ekonomi senilai US$ 838 miliar.
Pada bulan yang sama, US Treasury mengumumkan paket penyelamatan bank
senilai US$ 1,5 triliun. 

2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pemeringkatan surat utang


Subprime Mortgage

Terdapat beberapa pe ringkat hutang menurut Standart And Poor's ( 2005 ) :

1.AAA : merupakan peringkat tertinggi, dan mencerminkan bahwa kondisi


perusahaan amat sangat mampu untuk membayar hutangnya tepat pada waktunya
FaktorFaktor Yang Menyebabkan Kegagalan Pemeringkatan Surat Utang Subprime
Mortgage
2. AA : merupakan peringkat hutrng yang mencerminkan bahwa kondisi perusahaan
sangat mampu untuk mem bayar hutang dan bunga tepat pada waktunya

3. A : merupakan penngkat hutang yang mencerminkan bahwa kondisi perusahaan


mampu untuk membayar hutang dan bunga tepat pada waktunya

4. BBB : merupakan penngkat hutang yang mencerminkan bahwa kondisi


perusahaan mempunyai kapasitas keuangan yang cukup untuk membayar hutang
dan bunga tepat pada waktunya.

5. BB, B, CCC, CC : merupakan peringkat hutang yang mencerminkan bahwa


kondisi porusahaan diragukan untuk membayar hutang dan bunga tepat pada
waktunya

6. C : merupakan peringkat hutang yang mencerminkan bahwa perusahaan hanya


mampu untuk membayar hutang pada waktunya tanpa bunga
7. D : merupakan peringkat hutang yang mencerminkan bahwa perusahaan gagal
membayar hutang dan bunga tepat pada waktunya

Penilaian seringkali ditambahi dengankode(+)dan( ) untuk mencerminkan kategori


penilaian lebih maksimum dari kategori utama.

Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kegaga lan dalam pemeringkatan


obligasi subprime mortgage , yaitu :

- Usaha memaksimumkan laba dari lembaga pemeringkat surat utang Lembaga


pemeringkat utang telah berubahmenjadi institusi ying sangat berorientasi pada
keuntungan, misalnya yang terjadi pada Moody's, ketika lembaga ini menjadi institusi
tersendiri yang berorientasi profit pada tahun 2000, melaporkai bahwa Keuntungan
yang di terima penisahaan melonjak sampai 900 %, oleh karena itu lahan bisnis
yang baru untuk memeringkatkan surat utang terstruktur utang terstruktur) menjadi
lahan bisnis baru dan bahkan lebih menarik dibandingKan dengan bisnis lama
meme ringkat surat utang pemerintah daerah dan perusahaan.

Fee yang diterima oleh lembaga pemeringkat surat utang berasal dari penerbit
Pembayaran yang di lakukan oleh penerbit rnenim bulkan konflik kepentingan
terhadap proses pemenng katan tersebut. Model peni laian seperti ini adalali model
yang keliru karena penilai (pemeringkat) dibayar oleh penerbit, oukan oleh pembeli
(Murthy can Aslhis, 2008 dan Edward, 2007). Model seperti ini membi'at Lemba ga
peme ringkat surat utang ti lak dapat dengan bebas dan leluasa melakukan penilai in
dan terjebak dengan apa yang disebut sebagai " issuer pay conflict " (Madden dan
Katya, 2009). Lembaga pemeringkat menjadi turut bertanggungjawab atas penjualan
surat utang terstruktur tersebut. .

- Adanya opsi saham dan insentif lain yang kemudian diterima oleh manajer, mem
buat peran mereka sebagai analis semakin kabur, karena jurnlah yang akan diterima
tersebut akan menjadi se makin besar sejalan dengan peringkat yang diterima oleh
penerbit. Pada awalnya lem baga pemeringkat kredit memperoleh pendapatan ha
nya dengan penjualan sekuritas secara manual, dan fee atas saran yang dimirita
oleh investor.

-Davis (2009) mengemu l;akan bahwa proses peme ringkatan seperti ini lebih terlihat
seperti negosiasi dari pada pengujian, dan penerbit dapat melakukan " pembeli an
pemeringkatan " diantara tiga lembaga pemeringkat besar (Moody's, Fitch dan
Standart & Poor) tersebut untuk memastikan bahwa salali satu dari tiga lembaga
tersebut dapat memberikan peringkat yang diinginkan oleh penerbit.

-Model pengamanan resiko yang telah dirancang tidak dapat menanggulangi


kebangkrutan seperti yang sudah diperhitungkan Sekitar 75 % dari pin jaman
subprime mortgage di Amerika Serikat telah di sekuritisasi. Dari jnmlah itu, sekitar 80
% telah men dapatkan peringkat investasi yang sangat bagus ( senior) , yaitu AAA,
dan hanya 2 % saja yang peringkat inves tasinya tidak layak ( junior ) yaitu BB+ atau
peringkat dibawahnya, Sebagian besar dari 2 % yang tidak layak tersebut adalah
pinjaman yangdiagunkan secara berlebihan, artinya nilai dari pinjaman tersebut
melebihi total nilai surat utang yang diterbitkan. Sementara sisanya 18 %
mendapatkan peringkat investasi antara AA+ sampai pada BBB ( mezanine ) yang
kemudian didaur ulang lagi.

Proses penanggulangan resiko tergantung perbaikan kredit secara internal, proses


ini meliputi pengagunan kredit secara berlebihan. dan proses subordinasi.
Subordinasi meliputi pentahapan penanganan kerugian pada sekuritas tersebut,
dimulai tingkatan junior, kemudian pada tingkatan mezanine, dan yang terakhir
adalah tingkatan senior. Hanya apabila tingkatan tersebut bankrut kerugian yang
terjadi dibebankan pada tingkatan di atasnya. Oleh karena itu maka peringkat paling
atas ( senior ) adalah yang paling aman dari resiko kerugian.

4.2 Dampak Krisis Subprime Mortgage terhadap Indonesia

Dampak langsung dari krisis keuangan ini bagi Indonesia adalah kerugian beberapa
perusahaan di Indonesia yang berinvestasi di Institusi-institusi keuangan Amerika
Serikat. Perusahaan keuangan ataupun non bank yang mengalokasikan dana pada
sumber pendapatan alternatif, melalui pembelian saham atau obligasi pada
instrument keuangan asing seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, Morgan Stanley,
Lehman Brothers, Fannie Mae, Freddie Mac, American International Group (AIG)
dan lainnya. Sedangkan dampak tidak langsung dari krisis adalah turunnya
likuiditas, melonjaknya tingkat suku bunga, turunnya harga komoditas, melemahnya
nilai tukar rupiah, dan melemahnya pertumbuhan sumber dana. Demikian
juga,menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar terhadap
berbagai institusi keuangan yang menyebabkan melemahnya pasar modal.

Peningkatan resiko likuiditas seperti yang tercermin pada pasar uang antar bank
telah memberikan tekanan kepada kondisi perbankan. Tekanan likuiditas ini muncul
tidak saja karena imbas krisis global, namun juga karena tingginya pertumbuhan
kredit sampai dengan Oktober 2008 yang sebagian besar menggunakan dana
secondary reserves dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari kenaikan
dana pihak ketiga. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga meningkatkan resiko
perbankan. Meskipun mendapat tekanan cukup berat namun kinerja perbankan
sebagai satu industri masih cukup solid. Hal ini tercermin dari rasio permodalan
Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan pada akhir Desember 2008 yang masih
tinggi yaitu 16,2% dengan kualitas aktiva yang masih tetap terjaga sebagaimana
tercermin pada rasio Non Performing Loan (NPL) yang relatif rendah yaitu 3,8 %
(gross) dan 1.5% (netto). Masih cukup solidnya kinerja perbankan tersebut juga
didukung oleh serangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan Bank
Indonesia sebagai respon dari krisis global, diantaranya dengan dinaikkannya
jaminan dana nasabah dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar oleh Lembaga
Penjamin Simpanan serta perubahan dalam ketentuan Giro Wajib Minimum. Respon
kebijakan tersebut berhasil meredam gejolak yang terjadi di pasar keuangan. Hal ini
tercermin dari angka Indeks Stabilitas Keuangan yang semakin menurun hingga
mencapai 2,06 pada Januari 2009. Dengan melihat perkembangan sampai dengan
akhirDesember 2008,21 terlihat bahwa dampak krisis ke Indonesia melalui jalur
finansial secara langsung lebih banyak ditransmisikan melalui faktor risk aversion
yang memicu flight to quality, selain aksi deleveraging dari investor asing terkait
dengan kesulitan likuiditas global. Sementara itu kerugian yang disebabkan dari
eksposur langsung terhadap sekuritas-sekuritas bermasalah dari pasar global
cenderung terbatas. Kondisi ini disebabkan oleh minimalnya eksposur perbankan
dan lembaga-lembaga keuangan Indonesia terhadap sekuritas-sekuritas bermasalah
dari luar negeri tersebut.

Beberapa hal yang terkait dengan struktur ekspor yang berpotensi memperbesar
dampak krisis melalui jalur perdagangan adalah ketergantungan terhadap komoditas
primer, komoditas ekspor yang kurang terdiversifikasi, dan tingginya kandungan
impor pada komoditas ekspor. Kontribusi sektor primer dalam struktur ekspor
Indonesia tercatat cukup besar. Secara rata-rata dari 2005-2008 pangsa komoditas
primer dalam total ekspor mencapai hampir 50%. Komoditas minyak dan gas
merupakan komoditas primer dengan kontribusi terbesar dengan , disusul oleh
kelompok komoditas pertambangan dan pertanian.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Subprime mortgage (SM) merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya


telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin
yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Tingkat bunga The Fed, sepanjang
tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis SM dan
perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman SM (pada saat bunga deposito
rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun,
asuransi) membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan SM.

Ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25
persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya
nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar
karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang
karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah
di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Pasar properti berubah menjadi seller
market akibat banyak yang ingin menjual propertinya sehingga harga properti turun
10 persen.

Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat
utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva
bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar.
DAFTAR PUSTAKA

 "Memahami Subprime Mortgage AS" selengkapnya https://finance.detik.com/bursa-


dan-valas/d-824757/memahami-subprime-mortgage-as.

https://finance.detik.com/moneter/d-1115753/kronologi-dan-latar-belakang-krisis-
finansial-global

https://ejournal.unisnu.ac.id/PED/article/download/350/663

http://journal.univpancasila.ac.id/index.php/jrb/article/download/4/2

Anda mungkin juga menyukai