Tahun 2008 ditandai dengan krisis keuangan yang melanda dunia yang
diakibatkan oleh gagal bayarnya subprime mortgage Amerika Serikat. Krisis tersebut
menyebabkan krisis perbankan, bursa saham dunia turun nilainya (termasuk bursa saham
Indonesia), dan dikhawatirkan bisa memicu resesi dunia. Bagaimana krisis tersebut bisa
terjadi?
Pengaruh variabel ekonomi bisa dijelaskan berikut ini. Pada tahun 2001, terjadi
serangan teroris WTC (World Trade Center) yang memunculkan kekhawatiran terjadinya
resesi ekonomi di Amerika Serikat. The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) menurunkan
tingkat bunga Fed Fund Rate (tingkat bunga pinjaman antar bank satu hari, yang
bunganya ditentukan oleh The Fed), bahkan menjadi 1% pada bulan Juni 2003, dan
bertahan selama satu tahun. Tingkat bunga tersebut sangat rendah. Tingkat bunga yang
rendah tersebut mendorong turunya tingkat bunga kredit perumahan, sehingga lebih
banyak penduduk yang bisa memperoleh pinjaman perumahan. Rata-rata tingkat bunga
untuk kredit perumahan 30 tahun dengan bunga tetap pada tahun 2003 adalah 5,8%,
tingkat bunga terendah sejak tahun 1960-an.
Pengaruh inovasi keuangan bisa dijelaskan sebagai berikut ini. Pada kredit
perumahan tradisional, bank memberikan pinjaman rumah kepada nasabah. Bank
menerima pelunasan dari nasabah sampai selesai. Dengan kata lain, bank menanggung
risiko kredit. Inovasi keuangan yang bernama sekuritisasi merubah pola pinjaman
tradisional tersebut. Pada sekuritisasi, bank memberikan kredit perumahan kepada
nasabah. Kemudian bank tersebut mengumpulkan kredit tersebut (di-pool). Bank
menerbitkan obligasi dengan jaminannya adalah kredit-kredit perumahan tersebut (yang
sudah di-pool). Obligasi tersebut kemudian dijual ke pasar keuangan. Bank memperoleh
dana segar, yang kemudian disalurkan ke dalam kredit perumahan lagi, kemudian
diterbitkan obligasi lagi, dijual ke pasar keuangan. Proses tersebut bisa dilakukan
berulang-ulang sampai dana di pasar keuangan habis. Melalui proses tersebut, risiko
kredit yang selama ini ditanggung oleh bank, dipindahkan ke berbagai pihak lain.
Pengalihan risiko tersebut, pada satu sisi bisa mengurangi risiko kredit bank, tetapi juga
menimbulkan konsekuensi lainnya, yaitu penyebaran risiko dan munculnya risiko lain,
yaitu risiko perubahan harga aset, risiko likuiditas, risiko counterparty, disamping risiko
kreditnya itu sendiri.
Obligasi tersebut dibeli oleh berbagai pihak sebagai instrumen investasi, termasuk
oleh investor dari luar Amerika Serikat. Obligasi tersebut juga bisa dikemas sedemikian
rupa sehingga menjadi semakin menarik bagi investor. Sebagai contoh, aliran kas dari
pembayaran nasabah bisa dipecah-pecah berdasarkan waktu pembayarannya, kemudian
dijual secara terpisah. Misalkan kredit perumahan dengan jangka waktu 10 tahun. Untuk
pembayaran kas tahun pertama, diterbitkan obligasi sendiri dengan jaminannya adalah
pembayaran kas tahun pertama. Biasanya probabilitas pembayaran tahun pertama
dilunasi, cukup tinggi, sehingga risikonya rendah, dan karena itu bisa diberi rating AAA
oleh lembaga perating. Kredit yang risikonya tinggi bisa menjadi lebih menarik, sehinga
bisa lebih laku dijual ke investor.
Pecahan gelembung perumahan (bubble burst) mulai terjadi awal tahun 2006an.
Tingkat bunga mulai meningkat, sehingga nasabah yang mengambil ARM mulai harus
membayar bunga yang lebih tinggi. Gagal bayarpun mulai terjadi. Jumlah penyitaan
properti nasabah yang mengambil ARM meningkat tiga kali lipat menjadi 16% dari total
kredit subprime, dari tahun 2005 ke bulan Oktober 2007, meningkat lagi menjadi 21%
pada Januari 2008, dan menjadi 25% pada bulan Mei 2008. Total gagal bayar dan
penyitaan untuk pasar mortgage di Amerika Serikat mencapai sekitar 9,2%. Dari jumlah
tersebut, 43% diantaranya dikarenakan kredit ARM. Pada tahun 2007, sekitar 1,3 juta
properti dikenai 2,2 juta surat penagihan atau peringatan (satu rumah bisa dikenai
beberapa surat), kenaikan sebesar 79% dan 75% dibandingkan tahun 2006. Harga rumah
mulai turun, sehingga nilai jaminan menjadi semakin rendah. Pada bulan November
2007, rata-rata harga rumah di AS turun sekitar 8% dari nilai tertinggi pada kuartal kedua
tahun 2006, dan pada bulan Mei 2008, harga turun sekitar 18,4%. Penurunan harga
diperkiraka akan berlangsung terus sampai penawaran (supply) rumah kembali ke level
yang normal. Rendahnya nilai jaminan tersebut meningkatkan insentif nasabah untuk
gagal bayar, dan membiarkan bank mengambil alih rumah yang dijadikan jaminan, yang
nilainya lebih rendah dari nilai kredit. Penawaran (supply) rumah yang berlebihan
semakin memperparah situasi. Gagal bayar kredit perumahan (yang dijadikan underlying
asset penerbitan obligasi sekuritisasi) berimbas pada turunnya nilai obligasi, yang
sekarang dipegang oleh banyak pihak. Akibatnya banyak perusahaan atau lembaga
keuangan yang mengalami kerugian yang signifikan.
Pertanyaan berikut adalah kenapa terjadi bubble and burst semacam itu,
bagaimana menghindari kejadian semacam itu di masa mendatang? Penyebab peristiwa
tersebut cukup kompleks. Ada beberapa penyebab yang sering disebutkan: kebijakan
tingkat bunga AS, masuknya dana asing yang cukup kencang, kurangnya pengawasan
atau kompleksnya instrument keuangan di sector perumahan, spekulasi berlebihan, moral
hazard.
Seperti dijelaskan dimuka, kombinasi tingkat bunga yang rendah, aliran dana
yang cukup besar dari investor asing (yang memperoleh keuntungan besar dari kenaikan
harga minyak dan komoditas selama periode sebelumnya), inovasi keuangan sekuritisasi,
menyebabhkan munculnya bubble sektor perumahan. Harga perumahan yang semakin
meningkat mendorong konsumen untuk meminjam lebih banyak lagi. Menurut
perhitungan mereka, kalaupun mereka tidak bisa membayar cicilan hutang dan bunganya,
rumah mereka bisa dijual dengan harga lebih tinggi (dibandingkan dengan harga belinya),
dan mereka bisa melunasi hutang mereka, dan memperoleh keuntungan.
Diminta:
Setelah membaca kasus konteks suprime mortgage secara umum dan kasus Lehman
Brothers secara khusus, identifikasilah risiko yang terjadi dan jelaskanlah pelajaran yang
dapat diambil dari kasus kebangkrutan Lehman Bothers ini.