A. Latar Belakang
Pasar finansial dunia dalam beberapa pekan terakhir menggelegak oleh krisis
subprime mortgage. Apa sebenarnya subprime mortgage? Dan bagaimana agar
RI tak ikut-ikutan kena krisis itu? Berikut analisis oleh Sid H. Kusuma yang kini
bergabung dalam SMF dan khusus mendalami pasar mortgage residensial di
bidang sekuritisasi, TI, jasa serta konsultan manajemen risiko. Ia juga pernah
bergabung dengan Citigroup & Bear Stearns Inc di AS dan PT Ernst & Young
Indonesia. Fenomena Subprime Mortgage market meltdown yang terjadi
semenjak pertengahan tahun 2006 telah memberikan dampak sentimen negatif di
pasar modal termasuk Indonesia. Untuk dapat mengerti apa yang terjadi perlu
dimengerti apakah subprime mortgage loan dan karakteristiknya.
Sebagai informasi, konsumen dapar memiliki FICO score mulai dari 300
s/d 850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh perusahaan
penyedia jasa ceridt score dengan melihat 5 katagori utama seperti dibawah ini:
1. Payment history (35%).
2. Amounts owed (30%)
3. Length of credit history (15%)
4. New credit (10%)
5. Types of credit used (10%).
Walau berubah secara periodik, pada saat ini rata-rata credit score untuk
konsumen di Amerika berkisar 620. Semakin rendah credit score (FICO<620),
semakin kurang kelayakan dari konsumen tersebut mendapatkan KPR. Subprime
mortgage borrower diberikan kepada konsumen yang memiliki FICO score <
620. Selain credit score, subprime mortgage loan juga bisa terlihat dari beberapa
hal :
1. Tingginya rasio Loan-to Value hingga 100%.
2. Agunan KPR yang tidak memenuhi fundamental perhitungan value-nya.
3. Ketidak lengkapan dokumentasi KPR (low-doc) atau tidak ada verifikasi
terhadap pendapatan (stated income), sumber downpayment & sejarah
bekerja.
4. Tingginya Debt-to-Income (DTI) dan Payment to Income (PTI) Karakteristik
diatas secara langsung menaikan risiko terhadap penyalur KPR.
Dari satu sisi, meningginya risiko dikompensasikan dengan suku bunga tinggi
dan fitur khusus lainnya. Disisi lain, tingginya suku bunga menyebabkan ketidak
mampuan konsumen untuk mendapatkan KPR. Dalam hal ini, penyalur KPR
membuat produk KPR yang tetap mengkompensasikan tingginya risiko akan
tetapi dapat dijangkau oleh konsumen, paling tidak agar dapat dioriginasi.
Produk subprime mortgage loan yang terkenal adalah 2/28 ARMS. Jenis KPR
ini cukup berkembang dimana mencakup hampir 75% dari adjustable subprime
mortgage loan dioriginasi. Produk ini memiliki fitur dua tahun pertama fix rate
yang bersifat Teaser Rate dan akan berubah pada akhir tahun kedua menjadi
adjustable rate dan setiap tahun berikutnya. Yang menjadi permasalahan adalah
penyalur KPR dalam mengoriginasi KPR mengukur kemampuan membayar
konsumen dengan menggunakan Teaser Rate yang rendah.
Pada saat suku bunga KPR berubah pada akhir tahun kedua menjadi
adjustable rate, pembayaran bulanan konsumen dapat meningkat secara drastis
karena marjin untuk konsumen dengan risiko profil tinggi dapat mencapai 300-
500 basis poin. Hal ini menyebabkan konsumen yang memang kurang layak
kredit mengalami kesusahan membayar cicilan KPR, dan kemudian gagal bayar.
Selain itu, terjadi Predatory Lending practice yang dilakukan oleh penyalur
KPR nakal. Segmen konsumen diatas dikibuli dengan bermacam taktik seperti
secara sengaja memberikan jumlah pinjaman tinggi dengan suku bunga tinggi
kepada kepada konsumen yang jelas tidak mampu membayar. Diharap jika
terjadi gagal bayar maka agunan akan eksekusi dan penyalur KPR mendapat
keuntungan dari penjualan rumahnya.
Rumusan masalah :
Dalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas :
1. Apa yang terjadi dengan Subprime mortgage loan di Amerika?
2. Bagaimana krisis subprime mortgage?
3. Mengapa krisis subprime mortgage tak memukul Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Manfaat dari standarisasi ini terbukti dengan perbedaan dari delinquency &
foreclosure rate antara conforming (prime) mortgage loan dan subprime. Di
Indonesia, standarisasi dokumen KPR telah dibuat untuk dapat digunakan oleh
penyalur KPR. Standarisasi dokumen KPR yang mencakup 5 topik yaitu Originasi,
Underwriting, Quality Control, Servicing & MIS. Beberapa contoh hal utama
didalam standarisasi seperti cara menghitung LTV yang benar dan batas terbesarnya,
jenis dokumentasi yang wajib ada dan verikasi proses yang harus dilakukan sebelum
KPR dapat disetujui, PTI & DTI. Proses underwriting dimana wawancara dengan
konsumen untuk mendapatkan feeling mengenai dikonsumen adalah penting. Selain
itu, memberikan edukasi kepada calon konsumen agar dapat mengetahui proses KPR
serta hak & kewajibannya sangat diperlukan. Konsumen yang teredukasi dapat
membantu agar tidak terkibuli oleh skema penyaluran KPR yang tidak sehat dan
merugikan konsumen.
Berawal dari bank yang akan menjual kredit rumah kepada investor. Bank di
Amerika tidak dapat menjual produk investasi kepada investor berdasarkan
peraturan, akan tetapi dapat menjual kredit rumahnya kepada bank investasi melalui
pasar modal. Bank investasi memasukkan seluruh kredit rumah yang dimilikinya ke
dalam CDO.
CDO ini dianggap sebagai kotak ajaib (magic box). CDO berisikan kredit rumah
yang dapat dikategorikan dalam urutan risiko, yakni safe, okay, dan risky. Artinya,
kredit rumah yang dibelinya dapat memiliki risiko gagal bayar harus melalui
prosesnya secara bertahap. Awalnya mungkin nasabah dapat membayar cicilannya
dengan baik, selanjutnya ia mulai tersendat melakukan pembayaran, dan terakhir ia
tidak dapat membayarnya sama sekali.
CDO yang memiliki jenjang kualitas ini dijual kepada investor yang berminat.
Nyatanya paket ini dapat memberikan keuntungan lebih besar dari bunga bank.
Permintaan CDO meningkat drastis. Namun, bank tidak memiliki kualitas nasabah
yang akan meminjam kredit rumah. Seharusnya bank melakukan analisa terhadap
nasabah dengan ketat terlebih dahulu. Karena permintaan yang berlebih, terpaksalah
bank menerima kredit rumah dari nasabah yang belum dianalisis keadaannya. Bank
tidak mendapatkan uang muka, bank tidak menganalisis kualitas nasabah, bank
mengenyampingkan dokumen sah dan lainnya) sehingga CDO yang dibuat oleh bank
investasi mengandung risiko gagal bayar.
Saat nasabah mengalami gagal bayar, bank terpaksa mengeksekusi rumah yang
menjadi jaminannya. Persediaan (supply) rumah yang dieksekusi bertambah banyak
sehingga bank mengalami kelebihan persediaan (over supply). Harga rumah menurun
drastis. Nasabah akan mengalami keadaan nilai rumah lebih rendah dari nilai kredit
rumah yang harus dibayar. Nasabah mampu yang masih memiliki kredit di bank
sekalipun akan menimbang-nimbang untuk tidak melakukan pembayaran cicilannya
lebih lanjut. Keadaan yang demikian membuat bank seluruh sistem keuangan
menjadi kacau dan menimbulkan krisis subprime mortgage yang terkenal itu.
Bank investasi yang membeli kredit rumah akan menjual kepada bank lain yang
ternyata mereka juga memiliki subprime mortgage. Lalu bank investasi akan menjual
kembali kepada bank asal pembelian kredit rumah. Namun, bank tersebut menolak
karena bank tersebut tidak ingin mengalami kerugian. Walhasil sistem keuangan
mengalami krisis.
Perumahan di AS setelah krisis subprime mortgage Saat itu, pasar mengira bahwa
kondisi itu akan terkoreksi sendiri setelah The Fed menurunkan kembali suku bunga
acuannya. Mereka belum melihat bahwa ada badai besar yang tersimpan di bursa
derivatif yakni subprime mortgage loan (KPR kelas dua).
Lehman Brothers, yang dibangun tiga bersaudara Henry, Mayer, dan Emanuel
Lehman adalah salah satu yang menjual KPR "beracun" tersebut, yang telah dikemas
ulang menjadi efek baru, yakni instrumen derivatif.
Awalnya, efek ini dibuat untuk menjadi alat lindung nilai (hedging) pasar
properti, semacam exchange traded fund (ETF) yang mengumpulkan efek dari berbagai
aset agar risiko satu atau beberapa aset yang berkinerja buruk di dalamnya tertutupi oleh
aset lain yang berkinerja baik.
Namun, ketika semua aset itu memburuk, Lehman pun kesulitan. Ketika angkat
tangan dan dinyatakan pailit pada 15 September 2008, saham perseroan anjlok 93%
menjadi 26 sen dolar AS per unit.
Investor pun cemas karena efek subprime itu telah berpindah tangan melalui
ribuan pihak yang saling tercengang karena aset dasarnya (harga rumah) anjlok, jauh
lebih kecil dibandingkan harga efek dervatif tersebut di bursa. Spekulasi telah
menggelembung melampaui nilai dasarnya.
Secara keseluruhan, Dow Jones ditutup anjlok 4,4% pada hari itu, atau
kehilangan 504 poin. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga
tertekan sebesar 4,7%, hingga terlempar dari level psikologis 1.800 menjadi 1.719,25.
Sumber: Reuters
Sejak krisis Lehman Brothers mewarnai pemberitaan media pada awal September 2008,
IHSG secara akumulatif telah anjlok 33,49%, meninggalkan level psikologis 2.000
(8/9/2008) ke 1.355,41 pada 31 Desember 2018.
Sewindu setelah krisis 2008, yakni pada 2016, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
depan para pengusaha nasonal di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia,
mengungkap strateginya yang diambil sebagai presiden pada masa-masa penuh badai itu
dalam menjaga ekonomi Indonesia.
"Saya dengan teman-teman dulu memilih strategi yang disebut dengan keep
buying strategy (strategi menjaga pembelian). Ini kita debatkan habis dengan teman-
teman saya di ASEAN, G-20, dan forum APEC," ujar SBY pada Kamis (3/3/2016)
sebagaimana dikutip Detik.com.
"Entah beras, apapun yang dibutuhkan. Kalau rakyat masih membeli berarti
demand. Ketika mengambil pilihan keep buying strategy, terus terang saya mendapat
masukan dari dunia bisnis," ujar SBY.
Pada saat krisis subprime merebak, harga minyak dunia melonjak ke US$91 dari
US$64,2 per barel pada 2007. Kurs rupiah pun terlempar ke Rp 12.600/dolar AS,
setelah bertahun-tahun relatif stabil di bawah Rp 10.000/dolar AS.
Selanjutnya pada 2009, ketika harga minyak dunia terpangkas nyaris separuhnya
menjadi US$53 per barel, SBY memutuskan menurunkan harga bahan bakar minyak
(BBM) menjadi Rp 4.500 per liter (dari Rp 6.000 setahun sebelumnya).
Pada 2019, pemerintah mengalokasikan subsidi energi Rp 156 triliun, terdiri dari
subsidi BBM dan gas elpiji senilai Rp 100,1 triliun dan subsidi listrik Rp 56 triliun.
Saat ini, bekal pengalaman Sri Mulyani Indrawati yang juga menjadi Menteri Keuangan
pada saat krisis 2008 semestinya menjadi modal yang cukup bagi pemerintahan Jokowi
untuk menjaga kendali perekonomian nasional.
Namun harap dicatat, berbeda dari 2008 di mana krisis hanya menjalar di
pasar keuangan dunia -- tetapi tidak memukul sektor moneter dan makro negara
emerging market -- tahun ini beberapa negara tertekan secara moneter
sehingga ekonomi mereka terbatuk-batuk seperti Turki, Venezuela, Afrika Selatan.
B. Saran
https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-824757/memahami-subprime-mortgage-as
https://www.cnbcindonesia.com/market/20180916192148-17-33353/mengapa-krisis-
subprime-mortgage-tak-memukul-indonesia
https://www.cnbcindonesia.com/market/20180916192148-17-33353/mengapa-krisis-
subprime-mortgage-tak-memukul-indonesia/2