Adakalanya seorang pria merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan seorang wanita atau
dengan kata lain perbedaan gender seringkali menjadi penghalang dalam melakukan
komunikasi yang efektif. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Deborah Tannen (Stephen P.
Robbins : 2006), yang menjadi penyebab dari hal itu adalah adanya perbedaan antara pria dan
wanita dlam gaya pembicaraan mereka. Biasanya, pria menggunakan pembicaraan untuk
menekankan status sedangkan wanita menggunakannya untuk mendpatkan koneksi.
Menurut Tannen (Stephen P. Robbins : 2006), komunikasi merupakan tindakan
penyeimbangan yang berkesinambungan, yang mengubah kebutuhan kebutuhan yang
berbenturan menjadi keakraban dan independensi. Keakraban menekankan kedekatan dan
kebersamaan. Independensi menekankan keterpisahan dan perbedaan. Masalahnya adalah,
wanita berbcara dan mendengar bahasa untuk menciptakan hubungan dan keakraban
sedangkan pria berbicara dan mendengar bahasa untuk menekankan status kekuasaan dan
independensi.
Jadi untuk bnyak pria, pembicaraan merupakan cara untuk mempertahankan independensi
dan status dalam tertib social hierarkis. Sedangkan bagi banyak wanita, pembicaraan
merupakan negosiasi untuk menciptakan kedekatan dimana mereka mencoba mencari dan
memberikan informasi serta dukungan.
2. Diam sebagai komunikasi
Pengertian diam dalam konteks komunikasi adalah tidak adanya pembicaraan atau suara,
yang umumnya diabaikan sebagai bentuk komunikasi dalam perilaku organisasi (OB) karena
menggambarkan tiadanya tindakan atau perilaku. Tetapi diam kadang bukan berarti tidak ada
tindakan. Diam oleh banyak orang tidak dianggap sebagai gagal komunikasi sebaliknay diam
dapat menjadi bentuk komunikasi yang sangat kuat. Diam dapat berarti seseorang sedang
memikirkan sesuatu, cemas, takut berbicara, serta dapat mengisyaratkan kesepakatan,
menolak,
kecewa,
atau
marah.
Kegagalan dalam memberikan perhatianpada bagian diam dari percakapan dapat berakibat
kehilagan bagian penting dari pesan. Komunikasi yang cerdik memperhatikan kesenjangan,
jeda, dan keragu-raguan. Mereka mendengar dan menginterpretasikan. Kadangkala pesan
yang nyata dalam komunikasi terkubur dalam diam (Stephen P. Robbins : 2006).
3. Komunikasi yang benar secara politis.
Pada tanggal 22 April 2010, ribuan karyawan sebuah perusahaan galangan kapal, PT
Drydocks World Graha yang berlokasi di Tanjung Udang, Batam, turun untuk berdemonstrasi
dan melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Media memberitakan paling
tidak 9 orang terluka dan puluhan mobil dibakar. Konflik bermula dari umpatan seorang
supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia stupid kepada tenaga kerja
Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja, akumulasi dari rasa kesal
terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja
asing merupakan faktor terjadinya konflik.
Selain itu, dalam wawancara dengan beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui bahwa
perusahaan ini tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas perekrutan
tenaga kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang diantaranya
meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No
13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga kerja asing (perusahaan)
wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan
alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini,
tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing
tidak melakukan alih teknologi apa pun. Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU
ketenagakerjaan ini juga menjadi salah satu pemicu konflik di perusahaan ini.
Menurut data dari Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi pada tahun 2009, jumah Tenaga
Kerja Asing di Indonesia kurang lebih 90.000 orang banyak yang berasal dari Cina, Jepang,
Korea, India, dan negara-negara lainnya. Dengan semakin meningkatnya arus tenaga kerja
asing ke Indonesia, maka situasi-situasi multinasional atau multikultural yang rawan terhadap
konflik akan semakin banyak tercipta (Dian, 1998). Karena konflik yang terjadi dalam
organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998) selain dapat memiliki
konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi yang
positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin, semangat kerja, kemampuan adaptasi, dan
hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi.