Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini terjadi semacam evolusi dalam praktik pelaporan keuangan
yaitu makin banyaknya informasi yang diungkapkan dalam pelaporan keuangan
melalui pengungkapan sukarela. Salah satu aspek sukarela tersebut adalah
informasi tentang aspek sosial dan lingkungan.
Salah satu alasan perusahaan mengikuti fenomena ini adalah keinginan
perusahaan agar terlihat legitimate di mata stakeholders-nya. Maka semakin
berkembangnya informasi yang dibutuhkan serta alasan di atas, memaksa
perusahaan untuk mempelajari pengungkapan informasi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan social and environmental disclosure ?
2. Apa teori yang melandasi perkembangan sosial dan lingkungan prespektif
teoritis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan social and environmental disclosure.
2. Untuk mengetahui teori yang melandasi perkembangan sosial dan lingkungan
prespektif teoritis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Social And Environmental Disclosure


Praktik pengungkapan sukarela berupa pengungkapan sosial dan
lingkungan (PSL) paling meningkat selama beberapa tahun terakhir. Berbagai hasil
studi telah dilakukan di berbagai negara dan dimuat di berbagai jurnal internasional.
Studi tersebut tidak saja dilakukan dengan memggunakan pendekatan positiv tetapi
juga intrepretive dan critical theory (Deegan 2002).

1. Lingkup pengungkapan sosial dan lingkungan


Belum ada definisi tunggal yang digunakan untuk menunjukkan
pengungkapan sosial dan lingkungan. Akibatnya samapai sekarang masih ada
perbedaan pendapat berkaitan dengan isi PSL. Misalnya, perbedaan pandangan
tentang tujuan pengungkapan, kualitas dan jenis informasi yang diungkapkan,
audience-nya, cara pengungkapan yang terbaik dan sebagainnya.
Namun demikian terminologi pengungkapan sosial dan lingkungan dapat
dikaitkan dengan konsep “Social Audit” yang dikemukakan Elkington (1997),
Social Audit adalah proses memungkinkan organisasi untuk menilai kinerjanya
berdasarkan harapan dan persyaratan yang ditentukan masyarakat. Atas dasar
definisi ini pengungkapan social dan lingkungan merupakan proses yang
digunakan oleh perusahaan untuk mengungkapan informasi berkaitan dengan
kegiatan perusahaan dan pengaruhnya terhadap kondisi social masyarakat dan
lingkungan. Sampai saat ini tidak ada konsensus berkaitan dengan informasi apa
saja yang dimasukkan dalam PSL. Konsekuensinya, untuk menentukan apa yang
seharusnya diungkapkan, penyusun laporan keuangan biasanya dihadapkan pada
masalah bagaimana mengukur dan mengklasifikasikan informasi dalam PSL.
Misalnya, comprehensive study yang dilakukan oleh AICPA pada tahun 1977
menyimpulkan beberapa temuan yang berkaitan pengukuran social sebagai
berikut:
a Meskipun ada GAP yang luas, perusahaan memiliki sejumlah informasi
tentang kegiatan perusahaan dan konsekuensi sosialnya, yang kebanyakan

2
dinamakan “social condition” yang dapat mempengaruhi kehidupan
individu.
b Di berbagai area, informasi yang tersedia tidak lengkap dan sering tidak
akurat, biasanya tidak mengukur atau tidak mampu mengukur dengan baik
dampak social yang ditimbulkan.
c Informasi makin lengkap dan akurat ketika informasi tersebut diminta oleh
hokum, peraturan atau perjanjian kontaktual.
d Informasi kebanyakan berkaitan dengan karyawan, informasi tambahan
yang bermanfaat lainnya dapat berupa karakteristik produk, dampak
lingkungan dan bidang lain yang dipandang penting terutama karena adanya
peraturan pemerintah.
e Sebagian perusahaan telah menggunakan informasi social dalam
menentukan kebijakan, praktik, melakukan tindakan dan memonitor
hasilnya. Meskipun demikian, seberapa jauh hal ini dilakukan beravariasi
dengan persyaratan hukum dan dengan gaya serta tujuan manajemen.
f Meningkatnya jumlah perusahaan yang menyajikan laporan berkaitan
dengan aspek social cenderung untuk menarik perhatian publik, laporan ini
mungkin salah karena adanya usaha yang hanya menekankan pada fakta
yang menguntungkan, atau menggunakan bahasa berlebihan. Akan tetapi
beberapa usaha yag sungguh-sungguh dan bermanfaat memang telah
dilakukan. Meskipun tidak ada prinsip umum dalam penyajiaannya, ada
beberapa metode disclosure yang masuk akal.
g Perusahaan tidak meminta atau menerima laporan audit pihak ketiga atas
informasi yang disajikan, meskipun beberapa pendekatan ditemukan dalam
laporan tertentu. Misalnya pernyataan tentang dampak lingkungan,
terutama ketika ahli independen digunakan.
Tidak berapa lama setelah itu, Ernst and Ernst (1978) melakukan survey dan
menemukan bahwa pengungkapan dikatakan berkaitan dengan isu social (dan
lingkungan) jika pengungkapan tersebut berisi informasi yang dapat dikategorikan
kedalam berikut ini (p.22-28):
a. Lingkungan
b. Energi

3
c. Praktik bisnis yang wajar (fair)
d. Sumber daya manusia
e. Keterlibatan masyarakat
f. Produk yang dihasilkan
g. Pengungkapan lainnya

Wiesman (1982) bependapat bahwa pengungkapan sosial dan lingkungan


berisi tentang :
a. Diskusi tentang regulasi dan persyaratan tentang dampak lingkungan
b. Kebijakan lingkungan atau kebijakan perusahaan tentang lingkungan
c. Konservasi sumber alam
d. Penghargaan atas kepedulian terhadap lingkungan
e. Usaha melakukan daur ulang
f. Pengeluaran yang dilakukan perusahaan berkaitan dengan penanganaan
lingkungan
g. Aspek hukum (litigasi) atas kasus berkaitan dengan dampak lingkungan
yang disebabkan perusahaan.
Manfaat yang diperoleh dari praktik PSL seperti menselaraskan nilai-nila
perusahaan dengan nilai-nilai sosial, menghindari tekanan dari kelompok tertentu,
meningkatkan image dan reputasi perusahaan, menunjukkan prinsip-prinsip
manajerial dan menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan (O’Donovan 2002)
Presotn dan Post (1975, p.2) mengatakan, “Karena unit bisnis merupakan
elemen yang penting dan besar dalam masyarakat, unit tersebut diharapkan terus
berinisiatif dan berpartisipasi dan responsif dalam proes pengambilan keputusan
sosial.”
Parker (1986, p.76) menyimpulkan bahwa,
... social disclosure dapat berfungsi sebagai respon dini perusahaan terhadap
tekanan peraturan dan sebagai counter terhadap intevensi pemerintah atau tekanan
dari kelompok eksternal. Oleh karena itu, dari pandangan ini, social disclosure
mungkin digunakan untuk mengantisipasi atau menghindari tekanan sosial. Pada
saat yang sama pengungkapan tersebut digunakan untuk meningkatkan reputasi
pengungkapan tersebut untuk meningkatkan reputasi perusahaan di mata publik.

4
2. Alasan pengungkapan sosial dan lingkungan
Deegan (2002) mengungkapkan alasan mengapa manajer perusahaan secara
sukarela mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan:
a. Keingingan untuk mematuhi persyaratan yang ada dalam undang-undang.
Ini sebenarnya bukanlah alasan utama yang ditemukan di berbagai negara,
karena tidak banyak aturan yang meminta perusahaan mengungkapkan
informasi sosial dan lingkungan (Deegan 2000).
b. Pertimbangan rasionalitas ekonomi (economic rationaly). Ini memberi
keuntungan bisnis, karena perusahaan “melakukan hal yang benar”, dan
alasan ini dipandang sebagai motivasi utama. (Friedmann 1962).
c. Keyakinan dalam proses akuntabilitas untuk melaporkan. Manajer
berkeyakinan bahwa orang memiliki hak yang tidak dapat dihindari untuk
memperoleh informasi yang memuaskan (Hasan 1998; Donaldson dan
Preston 1995; Freeman dan Reed 1983) tidak peduli dengan cost yang
diperlukan untuk menyajikan informasi tersebut.
d. Keinginan untuk mematuhi keinginan peminjaman.
e. Untuk mematuhi harapan masyarakat, baragkali refleksi atas pandangan
bahwa kepatuhan terhadap “ijin yang diberikan masyarakat untuk
beroperasi” (atau “kontrak sosial”) tergantung pada penyediaan informasi
berkaitan dengan kinerja sosial dan lingkungan (Deegan 2002).
f. Sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi perusahaan (Deegan
et al, 2000; 2002; Patten 1992).
g. Untuk me-manage kelompok stakeholder tertentu yang powerfull (Ullman
1985; Roberts 1992; Evan dan Freeman 1988; Neu et al 1998)
h. Untuk menarik dana investasi.
i. Untuk mematuhi persyaratan industri, atau code of conduct tertentu (Deegan
dan Blomquist 2001).
j. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu. Misalnya
penghargaan yang diberikan oleh the Association of Chartered Certified
Acountans (Deegan dan Carol 1993).

5
2.1 Teori Yang Melandasi
Berbagai prespektif teori telah digunakan untuk menjelaskan praktik PSL.
Pengelompokan teori yang bermanfaat yang dibuat oleh Gray, Kouhy dan Lavers
(1995b). Mereka mengklasifikasikan penggelompokan teoritis kedalam decision-
useful theory, ecconomic-based theory (positive accouting theory) dan political
economy theory.

1. Decision-Usefulness
Pendekatan ini berusaha menjelaskan praktik PSL dari sudut pandang
manfaat yang diperoleh dari pengungkapan informasi sosial dan lingkungan. Ini
mempunyai dua aliran utama (Gray, Kouhy dan Lavers 1995b): Aliran pertama,
didasarkan pada studi yang berusaha menjelaskan praktik PSL dengan cara
meminta responden untuk merangking/mengurutkan item atau informasi dalam
PSL dari paling penting atau paling bermanfaat. Misalnya, studi yang meminta
investor untuk merangking tipe informasi yang mereka inginkan utuk dimasukan
dalam laporan keuangan tahunan ( Epsein dan Freedam 1994).
Aliran kedua, didasarkan pada studi yang berusaha untuk menentukan apakah
nformasi pertanggungjawaban sosial memiliki nilai informasi bagi pasar modal atau
pelaku pasar (Gray, Kouhy dan Lavers 1995b)

2. Economic-Based Theory (Positive Accounting Theory)


Teori ini didasarkan pada pendekatan riset positif—yaitu pendekatan yang
menganalisis “apa yang terjadi atau what is” sebagai lawan pendekatan normatif
yang menganalisis “apa yang seharusnya atau what should be” (Deegan 2000).
Positive Accounting Theory (PAT) menganut paham yang mengutamakan
maksiminasi kemakmuran (whealth-maximisation) dan kepentingan pribadi
individu (individual self-interest). Dua faktor ini merupakan yang melandasi teori
ekonomi (Gray, Kouhy dan Lavers 1995b).
Pemakaian economic-based theory untuk menjelaskan praktik PSL banyak
mendapat kritikan (Gray, Kouhy dan Lavers 1995b). Hal ini disebabkan faktor teori
tersebut yang mengutamakan kepentingan pribadi (self-interest) dan maksimisasi

6
kemakmuran pribadi (wealth-maximisation) dianggap tidak tepat dan bertentangan
dengan logika sosial yang dikembangkan dalam praktik PSL.

3. Political Economy Theory


Manfaat Political Economy Theory (PET) terletak pada sudut pandang yang
digunakan yaitu tidak terfokus pada economic self-interest dan wealth-
maximisation yang dilakukan individu atau organisasi. PET justru
mempertimbangkan “kerangka politik, sosial dan institusional di mana kegiatan
ekonomi tersebut dijalankan” (Gray, Kouhy dan Lavers 1995b, p. 52). Beberapa
studi menunjukkan bahwa luasPSL dalam laporan tahunan (annual reports)
perusahaan meningkat seiring dengan periode dimana isu sosial dan lingkungan
dipandang penting baik secara aspek politis maupun aspeksosial. Konsekuensinya,
PET kelihatan lebuh relevan dalam menjelaskan mengapa perusahaan cenderung
merespon setiap tekanan daripeerintahan dan publik agar mengungkapkan
informasi tentang dampak sosial dari praktik bisnis perusahaan.
PET tidak hanya bermanfaat dalam menilai pengungkapan yang dilakukan
perusahaan sebagai reaksi atas permintaan stakeholder, tetapi juga bermanfaat
dalam menjelaskan mengapa laporan akuntansi dipandang sebagai dokumen sosial,
politik dan ekonomi (Guthrie dan Parker 1990). PET juga mengakui pemakaian
PLS dalam annual report sebagai alat strategis dalam mencapai tujuan perusahaan
dan dalam memanipulasi sikap stakeholder (Guthrie dan Parker 1990).
Gray, Owen dan Adams (1996) mengklasifikasikan PET dalam dua
kelompok: aliran klasik dan aliran borjuis (clasical and borgeois streams).
a. PET klasik, dapat dikaitkan dengan ide-ide yang dikembangkan Karl Marx
yaitu: dinamika sosial yang muncul karena adanya perbedaan kepentingan,
perbedaan kelas (kelompok) dan konflik dalam masyarakat.
b. PET borjuis, umumnya mengabaikan kepentingan kelas (kelompok
masyarakat), ketidakadilan struktural, konflik dan peran negara serta
memandang dunia sebagai realitas yang betul-betul pluralistik (Gray,
Kouhy dan Lavers 1995b).

7
4. Stakeholder Theory
Teori ini mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentinganya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah,
masyarakat, analis dan pihak lain). Jadi keberadaan suatu perusahaan sangat
dipengaruhi oleh dukungan dari stakeholder-nya.
Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi pemaikaian sumber- sumber ekonomi yang digunakan
perusahaan. Oleh karena itu power Stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya
power yang mereka miliki atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa
kemempuan untuk membatasi pemaikaian sumber ekonoi yang terbatas ( modal dan
tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampua untuk mengatur
perusahaan, atau kemempuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa
yang dihasilkan perusahaan.
Stakeholder theory umumnya berkaitan dengan cara-cara yang digunakan
perusahaan untuk memanage stakeholder-nya (Gray et al 1997). Sedang cara-cara
untuk me-manage-nya tergantung strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman
1985).
(Gray et al 1997) mengatakan: kelemahan stakeholder theory terletak pada
fokus teori tersebut yang hanya tertuju pada cara-cara yang digunakan perusahaan
diarahkan untuk mengidentifikasi stakeholder yang dianggap penting dan
beerpengaruh dan perhatian perusahaan akan diarahkan pada stakeholder yang
dianggap bermanfaat bagi perusahaan. Mereka yakin bahwa stakeholder theory
mengabaikan pengaruh masyarakat luas (society as a whole) terhadap penyediaan
informasi dalam pelaporan keuangan—termasuk keberadaan hukum dan regulasi
yang menghendaki adanya pengungkapan informasi tertentu.

5. Legitimacy Theory
Dowling dan Pfeffer (1975) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat
bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Mereka mengatakan (p. 131):
Karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yag
ditentukan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan-

8
batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan
memperhatikan lingkungan.

Yang melandasi teori legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara
perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan menggunakan
sumber ekonomi.
Shocker dan Sethi (1974, p. 67) memberikan penjelasan tentang konsep
kontrak sosial sebagai berikut:
Semua institusi sosial tidak terkecuali perusahaan beroperasi di masyarakat melalui
kontrak sosial—baik eksplisit maupun implisit—dimana kelangsungan hidup dan
pertumbuhannya didasarkan pada:
a. Hasil akhir (output) yang secara sosial dapat diberikan kepada masyarakat
luas.
b. Distribusi manfaat ekonommi, sosial atau politik kepada kelompok sesuai
denganpower yang dimiliki.

Legitimacy gap, adalah perbedaan anatara nilai-nilai perusahaan dengan nilai-


nilai sosial masyarakat, ini dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
melanjutkan usahanya. (Dowling dan Pfeffer 1975). Legitimacy gap dapat terjadi
karena tiga alasan (Warticl dan Mahon 1994):
a. Ada perubahan dalam kinerja perusahaan tetapi harapan masyarakat
terhadap kinerja perusahaaan tidak berubah.
b. Kinerja perusahaan tidak berubah tetapi harapan masyarakat terhadap
kinerja perusahaan telah berubah.
c. Kinerja perusahaan dan harapan masyarakat terhadap kinerja perusahaan
berubah ke arah yang berbeda, atau ke arah yang sama tapi waktunya
berbeda.
Namun demikian harus diingat bahwa keberadaan dan besarnya legitimacy
gap bukanlah hal yang mudah untuk ditentukan. Yang peting adalah bagaimana
perusahaan berusaha memonitor nilai-nilai sosaial masyarakat dan
mengidentifikasi kemungkinan munculnya gap tersebut.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Praktik pengungkapan sukarela berupa pengungkapan sosial dan


lingkungan (PSL) paling meningkat selama beberapa tahun terakhir. Berbagai hasil
studi telah dilakukan di berbagai negara dan dimuat di berbagai jurnal internasional.
Studi tersebut tidak saja dilakukan dengan memggunakan pendekatan positiv tetapi
juga intrepretive dan critical theory. Namun belum ada definisi tunggal tentang teori
pengungkapan sosial dan lingungan. Ada berbaai alasan untuk menjelaskan praktik
ini, anatarnya adalah: keinginan perusahaan agar telihat legitimate di mata
stakeolder-nya.
Perspektif teori yang melandasi pengungkapan sosial dan lingkungan oleh
para ahli anataranya: decision-usefulness theory, economic-based theory, political
economi theroy,stakeholder theory, legitimacy theory.

10
DAFTAR PUSTAKA

Deegan, C., 2002, “Introduction: The Legitimising Effect of Social And


Environmental Disclosure – a Theoritical Foundation” Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 15, No. 3, pp. 282-311

Ernst and Ernst, 1997, Social Responsibility Disclosure: 1997 Survey, Cleve; and:
Ernst & Ernst.

Ghozali, Imam. 2014. “ Teori akuntansi”. Semarang: Badan Penerbit Universitas


Diponegoro.

O’Donovan, 2002, “ Environmental Disclosure in the Annual Reports: Extending


the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory”, Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 15, No. 3, pp. 334-371

11

Anda mungkin juga menyukai