Anda di halaman 1dari 6

KEWIRAUSAHAAN, SADAR PAJAK DALAM BUDDHISME

A. Kewirausahaan dalam agama buddha

Entrepreneurship atau kewirausahaan adalah seseorang atau kelompok yang


melakukan kreatifitas dan menciptakan suatu barang dan jasa dengan memanfaatkan peluang
yang ada untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam pandangan buddhis, kita tidak
dilarang dalam berwirausaha selama tidak merugikan dan membuat makhluk hidup
menderita.

Dalam Agama Buddha, manusia harus bekerja sama dengan yang lain, dengan
demikian usaha atau bisnis yang dijalankan dapat membawa hasil tidak hanya untuk dirinya
sendiri tetapi juga untuk yang lain. Inilah perlunya didalam wirausaha memiliki etika atau
aturan-aturan, norma- norma yang harus dimiliki bagi para wirausaha atau pengusaha
didalam menjalankan bisnisnya agar tidak melanggar Dharma Sang Buddha (William et al.,
2019). Wirausaha merupakan salah satu mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup
orang. Didalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja untuk mendapatkan
penghasilan. Penghasilan yang diperoleh tentunya harus dengan cara yang baik dan benar
menurut hukum Agama maupun hukum Negara. Dengan demikian penghasilan tersebut akan
dapat memberikan kebahagiaan dan mendatangkan berkah bagi diri sendiri, keluarga dan
bahkan bagi masyarakat luas. Karena dalam kehidupan ini manusia tidak mungkin dapat
hidup sendiri tanpa melibatkan yang lain.

Sang buddha menganjurkan kita agar tidak berwirausaha atau berdagang yang salah
(anguttara nikaya lll,207) yaitu makhluk hidup, racun, daging, minuman yang dapat
melemahkan kesadaran (minuman keras) dan senjata. Hal tersebut dilarang karena dapat
merugikan orang lain dan diri sendiri. Oleh karena itu, hiduplah dengan mata pencaharian
benar (sammavayama) atau sesuai dengan jalan mulia berfaktor delapan.

Dalam berwirausaha tentu kita harus memiliki modal dalam memulai usaha. Namun
modal tidak hanya kita dapatkan dari materi saja, kita juga memerlukan modal dalam
berwirausaha menurut buddhis untuk mencapai suatu keberhasilan, berikut adalah modal
wirausaha menurut buddhis selain materi.

Hal pertama dalam berwirausaha kita memiliki faktor-faktor dalam mencapai keberhasilan
menurut anguttara nikaya lV 285 yaitu:

1. Uttanasampada, rajin dan bersemangat dalam bekerja artinya agar kita dapat
memperoleh kekayaan kita harus rajin dan tekun tentu dengan semangat agar apa
yang kita cita-citakan tercapai.
2. Arakkhasampada, penuh hati-hati dalam menjaga kekayaan yang diperoleh, artinya
jangan sampai kekayaan tersebut kita gunakan untuk hal yang tidak sewajarnya agar
kesuksesan yang kita dapat tidak hilang karena kelengahan kita dalam
menggunakannya.
3. Kalyanamitta, memiliki teman yang bersusila artinya kita harus memiliki teman yang
baik dalam mencapai keberhasilan yang mana sahabat baik adalah sahabat yang
mampu mengajak kita pada hal yang positif, yang selalu mendukung, membantu dan
menyemangati kita dalam mencapai suatu keberhasilan.
4. Sammajivakata hidup sesuai pendapatan, tidak boros dan tidak kikir. Sesuai dengan
pepatah besar pasak pada tiang mengingatkan kita agar hiduplah sesuai dengan
pendapatan, bukan besar pengeluaran daripada pendapatan karena hal tersebut akan
menimbulkan hutang dimana-mana yang menyebabkan penderitaan.

B. Wirausaha yang benar menurut pandangan sang Buddha

Wirausaha yang benar menurut pandangan sang Buddha adalah meliputi penghidupan
yang menghindari hal-hal yang tidak benar (Micchavanijja 5), antara lain:

1. Sattha- Vanijjâ: Berdagang alat senjata.

Sang Buddha tidak menganjurkan perdagangan alat senjata, dikarenakan alat senjata
dapat menjadi alat pemusnahan dan pembunuhan pada makhluk. Umat buddha yang
berdagang alat senjata berarti mengambil bagian dalam usaha pembunuhan makhluk
sehingga berpengaruh pada karma, yaitu melakukan akusala kamma.

2. Satta- Vanijjâ: Berdagang makhluk hidup.

Sang Buddha tidak menganjurkan perdagangan makhluk hidup. Berwirausaha dengan


memperjualbelikan makhluk hidup berarti melakukan karma buruk. Akibat
memperjualbelikan makhluk hidup berarti telah berperan terjadinya perbudakn,
penganiyayaan dan penyiksaan bahkan pembunuhan suatu makhluk hidup.

3. Mamsa- Vanijjâ: Berdagang daging.

Sang Buddha tidak menganjurkan perdagangan daging. Berdagang daging membuat


peluang bagi dirinya sendiri atau orang lain untuk melakukan penyembelihan dan
pembunuhan.

4. Majja- Vanijjâ: Berdagang minuman yang memabukkan.

Sang Buddha tidak menganjurkan perdagangan minuman yang memabukkan.


Seseorang yang berjualan minuman yang memabukkan berarti ikut bertanggung
jawab atas hancurnya generasi bangsa. Minuman keras ini mencakup narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dalam Sigalovada-Sutta Buddha menjelaskan
bahaya akibat mengkonsumsi bahan yang menimbulkan ketagihan, yaitu: (1)
memboroskan kekayaan; (2) menambah pertengkaran; (3) mudah terkena penyakit;
(4) hilangnya watak yang baik; (5) mengurangi daya pikir dan mengurangi kecerdasan
(D.III, 182-183).

5. Visa- Vanijjâ: Berdagang racun.

Sang Buddha tidak menganjurkan perdagangan racun. Seseorang yang berdagang


racun berarti membunuh makhluk lain. Umat buddha harus dapat menghindari kelima
hal tersebut. Banyak usaha-usaha lain yang dapat dilakukan. Perdagangan yang
dianjurkan Buddha: wirausaha sayur gendong, wirausaha jamu gendong, wirausaha
warung makan vegetarian, wirausaha alat-alat rumah tangga. Menjalani perdagangan
yang tidak merugikan makhluk lain adalah lebih mulia.
C. Ciri wirausahawan yang baik dalam agama Buddha:

Dalam agama Buddha, ada beberapa ciri wirausahawan yang baik yaitu percaya diri,
berorientasi terhadap tugas dan hasil, berani mengambil risiko, memiliki kepemimpinan,
orisinal, berorientasi pada masa depan, jujur dan tekun. Materi yang didapat dari usaha harus
digunakan secara seimbang. Penggunaan materi yang seimbang adalah 50% untuk usaha,
25% untuk kehidupan sehari-hari, dan 25% untuk cadangan dan bakti sosial.

D. Etika yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam berwirausaha atau bermata
pencaharian:

1. Tidak melanggar Pancasila Buddhis


Dalam hidup manusia memiliki berbagai macam aktifitas, dari semenjak
bangun tidur hingga kembali tidur. Manusia pada dasarnya menginginkan
kebahagiaan. Kebahagaiaan yang dapat dirasakan ketika mendapatkan apa yang
diharapkan maupun yang dicita-citakan. Dalam keseharian tingkah laku manusia
melaksanakan pancasila buddhis. Tidak hanya tidak membunuh atau sengaja
merugikan makhluk lain, namun juga menebarkan niat bajik terhadap seluruh
makhluk. Jujur, menahan diri dari penyalahgunaan hak milik makhluk lain.

2. Tidak menyakiti makhluk lain


Manusia dalam menjalankan usaha yang telah didirikan dan dimiliki membutuhkan
suatu usaha dan kerja keras. Suatu usaha tidak akan begitu saja berdiri dan bejalan
dengan mudah, dibutuhkan suatu perjuangan awal yang membutuhkan pengorbanan,
keuletan, semangat dan teman yang baik yang dapat membantu. Bila memiliki
pasangan. Pasangan inilah yang menjadi teman berbagi, berkeluh kesah dan mencari
pemecahan masalah serta solusinya. Dalam menjalankan suatu usaha tidak jarang
terdapat manusia yang memiliki pandangan salah membuat suatu usaha yang
menyakiti makhluk lain. Usaha yang dapat menyakiti makhluk lain seperti usaha
dengan berdagang makhluk hidup, (penjual burung, penjual ular yang dijadikan obat
atau bahkan dengan menjual manusia sebagai budak atau sebagai pelacur).
Dengan bekerja atau bermatapencaharian yang salah yang dapat menyebabkan
penderitaan banyak makhluk akan membuat makhluk menderita ketika buah
karma buruk berbuah. Umat Buddha mempercayai hukum karma atau hukum sebab
akibat. Ketika manusia berbuat kebajikan maka manusia akan menerima buah
kebajikan.

3. Tidak merugikan makhluk lain


Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian atau suatu pekerjaan yang
tidak merugikan makhluk lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Hal ini dapat
diterangkan sebagai berikut :
 Mata pencaharian atau pekerjaan yang tidak mengakibatkan pembunuhan atau
hilangnya atau terpisahanya antara rupa dan nama makhluk.
 Mata pencaharian yang wajar atau halal.
 Mata pencaharian yang tidak berdasarkan penipuan.
 Mata pencaharian yang tidak berdasarkan ilmu yang rendah atau sering dikenal
dengan istilah ilmu perdukunan.
Dalam berbuat sesuatu manusia hendaknya dapat berbuat yang baik jangan sampai
membuat makhluk lain mengalami kerugian, misalnya manusia sebagai pedagang
obat melakukan suatu penipuan barang atau obat yang dijualnya kepada konsumen
dengan cara memanipulasi informasi terkait obat tersebut, sehingga tidak membawa
kesembuhan bagi pembeli. Dan ahirnya penjual tersebut tidak akan dipercaya lagi
oleh orang lain.
C. Manfaat Etika Wirausaha
Setelah menjalankan praktek usaha yang tidak bertentangan dengan Buddha
Dhamma manusia akan dapat langsung merasakan dalam kehidupan sekarang maupun yang
akan datang.Manusia yang menjalankan usaha dengan etika wirausaha menurut Buddhis akan
memperoleh manfaat, antara lain:
1. Dihormati oleh manusia lain
Manusia yang menjalankan suatu usaha dengan baik dan sungguh-sungguh. Tidak
mudah putus asa tidak lalai selalu waspada dan melaksanakan Pancasila Buddhis
dalam hidupnya akan dihormati oleh banyak manusia yang lainnya.
2. Tidak mempunyai musuh
Tidak memiliki musuh adalah suatu hasil atau manfaat yang dapat dirasakan oleh
manusia yang memiliki tingkah laku yang baik. Manusia yang memilki usaha yang
baik tidak dibuat untuk menyakiti makhluk lain akan terbebas dari ketakutan akan
musuh, karena musuh tidak ada ketika manusia dapat menjalankan usaha yang
dimiliki dengan baik dan tidak melanggar aturan yang berlaku dia suatu Negara.
3. Tenang
Manusia yang memiliki usaha yang tidak merugikan makhluk lain yaitu usaha atau
mata pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan atau hilangnya atau
terpisahanya antara rupa dan nama makhluk, yang wajar atau halal, yang tidak
berdasarkan ilmu yang rendah atau sering dikenal dengan istilah ilmu perdukunan,
yang tidak berdasarkan penipuan.

D. Contoh kewirausahaan

Pada masa pandemi Covid-19 saat ini penggunaan hand sanitizer sangatlah diburu
masyarakat Indonesia untuk melindungi tangan kita dari virus dan bakteri.Dari hal tersebut
kita dapat melakukan penelitian apa yang menjadi kelebihan dan apa kekurangan dari hand
sanitizer tersebut. Setelah mengetahui kekurangan dan kelebihan lakukanlah evaluasi apa
yang perlu dibenahi dari prodok tersebut, pada hand sanitizer kelebihannya dapat membunuh
virus yang menempel pada tangan. Namun, hand sanitizer tersebut membuat kulit menjadi
kasar dan kering, dari kelemahan tersebutlah kita mendapat peluang untuk mengubahnya
menjadi hand sanitizer yang lebih berkualitas dan diminati masyarakat luas. Kemudian
perencanaan apa selanjutnya yang akan dibuat setelah melihat dan membuktikan, misalnya
pada hand sanitizer tadi kita perlu merencanakan untuk mencari bahan herbal apa yang dapat
merubah hand sanitizer yang membuat tangan kasar dan kering bisa menjadi lembut dan
lembab tentu tidak menurunkan kadar fungsi dari hand sanitizer tersebut. Langkah terakhir
adalah melakukan perencanaan dengan cara praktek pembuatan sesuai dengan perencanaan
yang dilakukan.

E. Pengertian pajak
Pengertian pajak sendiri sederhananya yaitu pungutan wajib dari rakyat untuk negara.
Fungsi pajak adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran. Manfaat pajak digunakan untuk
melakukan pembangunan hingga membayar gaji pegawai negeri. Pembayar pajak tidak
mendapatkan imbalan secara langsung, di mana uang yang dikumpulkan dari pajak adalah
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran
pajak adalah perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan nasional.

Di agama apapun pajak pada akhirnya digunakan untuk mendistribusikan kekayaan sehingga
tercipta suatu keadilan dan kesejahteraan maka itu hukumnya wajib.

F. Pandangan Agama Buddha terhadap pajak

Dalam Agama Buddha, sabda sang Budha Gotama dalam kitab Anguttara Nikaya
yang pada dasarnya mengatakan bahwa harta dan kekayaan yang dikumpulkan secara sah dan
tanpa kekerasan dapat membuat orang lain bahagia dengan cara membayar pajak dan
memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala.

Kewajiban membayar pajak di dalam agama Buddha termasuk kedalam Veyyavaca


(Berbhakti kepada nusa, bangsa dan agama). Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal
ini adalah turut melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran
demi nusa dan  bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan
bangsa adalah dengan membayar pajak yang sejujurnya. Di dalam kitab suci Anguttara
Nikaya III: 45, sang Buddha menyabdakan:
“Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah
dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuannya, istri dan anak
anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagaia dapat mempertahankan
kekayaan memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan
para dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk
mengumpukan pahala…”

Kesimpulan:
1. Ketika manusia berusaha dengan sepenuh tenaga membuka suatu peluang
kerja bagi dirinya sendiri dibutuhkan suatu kerja keras, keuletan semangat
untuk memperoleh apa yang diinginkan dan dicita-citakan. Usaha yang baik
harus dirancang sedemikian rupa, baik dari modal yang dimiliki dengan segala
lini produksi dan pemasarannya.
2. Manusia membutuhkan bantuan manusia yang lain agar usaha atau mata
pencaharian dengan wirausaha yang dimiliki dapat berjalan lancar. Dibutuhkan
manusia lain sebagai sahabat yang baik, membantu dengan tulus hati,
tempat bertukar pikiran dan mencari pemecahan masalah.
3. Mata pencaharian yang benar sesuai etika wirausaha Buddhis adalah mata
pencaharian atua usaha yang tidak menyakiti makhluk lain maupun
merugikan makhluk lain.

4. Sebagai umat Buddha kita juga harus perlu mengingat bahwa harta kekayaan
yang kita punya tidaklah kekal, karena sejatinya harta yang paling berharga dan
kekal adalah harta karun berupa kebajikan yang tidak dapat lenyap, tidak dapat
dibagi, tidak dapat dirampok yang terdapat pada nidhikanda sutta. Oleh karena
itu, manfaatkan lah materi atapun tenaga kita untuk berdana agar kita dapat
menimbun harta kita berupa kebajikan. Kemudian sesuai dengan digha nikaya
lll, 188 penggunaan materi dari hasil pencaharian kita dapat kita gunakan yaitu
50% untuk usaha, 25% untuk kehidupan sehari-hari, dan 25% untuk cadangan
dan bakti sosial. Tetaplah semangat berwirausaha sesuai dengan ajaran Buddha
agar usaha kita tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
5. Kewajiban membayar pajak di dalam agama Buddha termasuk kedalam
Veyyavaca (Berbhakti kepada nusa, bangsa dan agama).

Anda mungkin juga menyukai