Anda di halaman 1dari 41

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kemampuan Mobilitas

Kemampuan mobilitas adalah kemampuan pasien untuk melakukan

mobilisasi dalam suatu lingkungan saat melakukan aktivitas sehari-hari.

Kemampuan mobilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan atau

kinerja mobilitas yang terdiri dari kemampuan fungsi keseimbangan dan

kemampuan fungsional berjalan. Kemampuan keseimbangan berkaitan dengan

kemampuan fungsional berjalan. Kemampuan fungsi keseimbangan akan

mendukung kemampuan fungsional berjalan. Kemampuan mobilitas dapat

diukur dengan menggunakan instrumen ukur Performance Oriented Mobility

Assesment (POMA)-Tinetti test.

2.1.1 Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan untuk menjaga posisi tubuh dalam

lingkup stability limit. Fungsi ini meliputi kemampuan mengontrol segmen tubuh

terhadap lingkungan dalam melaksanakan suatu gerakan

(Montgomery dan Connolly, 2002). Keseimbangan merupakan kemampuan

untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan dalam keadaan static

maupun dinamic serta menggunakan otot yang minimal (Susanti, 2010). Semua

aktivitas fungsional yang dilakukan oleh manusia memerlukan fungsi

keseimbangan yang optimal sebagai salah satu komponen gerakan.

8
9

Keseimbangan ini diperlukan baik dalam posisi tubuh yang statis dinamis.

Duduk, berdiri dan berjalan merupakan contoh dari aktivitas yang biasa

dilakukan oleh manusia. Hampir semua aktivitas tersebut tidak terlepas dari

pengaruh gravitasi yang memerlukan reaksi dari tubuh untuk menjaga tetap

tegak dan dapat bergerak dengan mudah dan efisien. Keseimbangan merupakan

dasar dari semua gerakan dinamis (Shumway-cook dan Woollacott, 2007).

Kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan dan postur tubuh tetap stabil

merupakan hal yang penting bagi tubuh utnuk mealkukan gerakan. Saat

keseimbangan terjadi interaksi yang dinamis setiap segmen tubuh antara satu

dengan yang yang lain sangatlah penting (Carr, 2007).

Keseimbangan dibagi menjadi dua, yaitu keseimbangan statis dan

keseimbangan dinamis. Keseimbangan statis adalah keseimbangan saat tubuh

dalam posisi diam, Sedangkan keseimbangan dinamis merupakan kemampuan

tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur secara aktif

dengan COG yang tepat, dengan gerakan (horizontal, vertical dan diagonal)

tanpa ada bantuan. Dalam keseimbangan dinamis, tubuh tetap terjaga dalam

kesetimbangan walaupun COG selalu bergerak (Irdawati, 2012).

Pada saat tubuh berada dalam posisi berdiri yang seimbang, pusat massa

tubuh akan selalu berada dalam batas bidang tumpu. System visual akan

memberikan informasi untuk membedakan pola, bayangan, membedakan jarak

serta prediksi akan datangnya gangguan. Sistem vestibular akan memberikan

informaasi gerakan dan posisi kepala ke susunan saraf pusat. Informasi dari kulit,
10

otot, tendon dan sendi memberikan informasi yang penting bagi respons

keseimbangan. Semua informasi di proses dalam central prosesing untuk

memetakkan lokasi titik gravitasi dan menata respon sikap dan kemudian

mengkoordinasikan dengan fungsi sensorimotor. Lingkup gerak sendi, kekuatan

otot, kelurusan sikap tubuh dan stamina merupakan sistem biomekanik dari

efektor yang akan berfungsi merealisasikan respon yang terprogram sehingga

terbentuk reaksi keseimbangan (Shumway-cook dan Woollacott, 2007).

Gambar 2.1
Proses fisiologi terjadinya keseimbangan
Sumber : Watson, 2016.

A. Komponen pengontrol keseimbangan

Fungsi keseimbangan dapat terkontrol dan terjaga dengan baik karena

adanya beberapa hal sebagai berikut :

1) Sistem informasi sensoris

Input dari sistem sensoris ini memberikan informasi yang sangat

penting dalam mengontrol keseimbangan. Pemeliharaan keseimbangan


11

tergantung pada informasi yang diterima oleh otak dari: mata, otot dan

sendi dan organ vestibular (Watson dan Black, 2008).

a) Input dari mata (visual)

Reseptor sensoris di retina disebut rods dan cones. Mereka

mengirimkan impuls ke otak dan memberikan visual identifikasi

terhadap obyek. Dengan adanya informasi visual maka tubuh akan

bereaksi dan menyesuaikan dengan adanya perubahan bidang pada

lingkungan aktivitas sehingga akerja otot akan sinergis untuk

mempertahankan keseimbangan (Irfan, 2009).

b) Input dari somatosensoris

Informasi propioseptik dari kulit, otot dan sendi termasuk

reseptor sensoris yang peka terhadap regangan atau tekanan. Kemudian

reseptor akan mengirimkan impuls ke otak tentang gerakan tersebut.

Reseptor di kapsul sendi, otot (muscle spindle dan golgy tendon

organ/GTO) akan memberikan informasi tentang gerakan dan posisi

tubuh.

c) Input dari sistem vestibular

Organ vestibular terletak di dalam telinga kanan dan kiri. Yaitu

utricle, saccule dan semicirculair canals. Utricle dan saccule.

Informasi yang diberikan sistem vestibular berkaitan dengan gerakan

dan posisi kepala. Sistem ini digunakan untuk menstabilkan pandangan,


12

postur, dan kesadaran akan posisi tubuh terhadap ruangan. ( Shumway-

cook dan Woollacott, 2007).

2) Respon otot-otot postural yang sinergis

Merupakan aktivitas sekelompok otot yang diperlukan untuk

mengontrol keseimbangan dan postur. Keseimbangan tubuh hanya bisa

terjadi jika otot-otot postural bekerja secara sinergis sebagai reaksi

terhadap adanya perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi dan aligment

tubuh (Irfan, 2009).

3) Kekuatan otot

Merupakan kemampuan otot dalam menahan beban baik dari

beban yang berasal dari dalam maupun dari luar. Kekuatan otot yang

adekuat dapat mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari

luar.

4) Adaptive system

Merupakan kemampuan memodifikasi dan menyesuaikan input

sensoris dan keluaran motorik ketika terjadi perubahan yang berhubungan

dengan tempat sesuai dengan lingkungannya.

5) Lingkup gerak sendi

Merupakan kemampuan sendi untuk menyesuaikan dan

mengarahkan gerak dalam menjaga keseimbangan.


13

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan

Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan, yaitu :

1) Bidang tumpu atau Base Of Support (BOS)

Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan

langsung dengan permukaan bidang tumpuan. Dalam konteks stabilitas

tubuh hubungannya dengan bidang tumpu maka, luas bidang tumpu akan

mempengaruhi stabilitas tubuh. Semakin luas bidang tumpu maka, semakin

tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil

dibandingkan dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat

gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. (Chang, 2009). Ketika garis

gravitasi tepat berada dibidang tumpu maka tubuh akan berada dalam

posisi seimbang. Dalam konteks aktivitas, semakin luas Base of Support

maka kemampuan berjalan akan menurun (Krebs, et al, 2002).

Gambar 2.2
(A,B) Base of Support (BOS) dalam berbagai posisi telapak kaki
Sumber : Khadir, et al. 2011.
14

2) Pusat gravitasi atau Centre Of Gravity (COG)

Pusat gravitasi adalah titik gravitasi di tubuh yang mendistribusikan

massa tubuh secara merata. Setiap terjadi perubahan perubahan postur

tubuh maka titik gravitasi akan ikut berubah. Jika titik pusat gravitasi

terletak didalam dan tepat ditengah maka tubuh akan seimbang, jika berada

diluar tubuh maka akan terjadi posisi yang tidak stabil. Pusat gravitasi

manusia ketika berdiri tegak adalah tepat berada dia atas pinggang diantara

depan dan belakang vertebra sakrum dua. Dalam konteks aktivitas, apabila

Centre Of Gravity mendekati garis tengah tubuh maka, gerakan akan lebih

mudah dilakukan (Peter, McGinnis, 2005).

Gambar 2.3
Centre of gravity. Titik hitam menunjukkan COG yang
berpindah sesuai dengan posisi tubuh
Sumber : Lester, 2014.
15

3) Garis gravitasi atau Line Of Gravity (LOG)

Merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat

gravitasi dengan pusat bumi. Derajat stabilisasi tubuh ditentukan oleh

hubungan atara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu.

Gambar 2.4
Line of Gravity (COG)
Sumber : Miller, 2015.

4) Ground Reaction Force (GRF)

Merupakan gaya reaksi yang diberikan secara khusus oleh

permukaan, hal ini terjadi saat interaksi tubuh dengan permukaan karena

adanya pengaruh gravitasi. Pada saat berdiri terjadi reaksi dari bidang

tumpu yang sama besarnya dan berlawanan dengan arah kekuatan tekanan

tubuh pada permukaan melalui kaki (Peter, McGinnis, 2005).


16

Gambar 2.5
Ground Reaction Force (GRF)
Sumber : Smaley, 2011.

Keseimbangan merupakan interaksi menyeluruh dari beberapa komponen

yang saling berkaitan, yaitu :

1. Kontrol postural

Adalah kemampuan mengontrol posisi tubuh dalam ruangan untuk

tujuan stabilisasi dan orientasi (Shumway-cook dan Wollacoat, 2007).

Orientasi postural adalah kemampuan untuk mempertahankan hubungan

antar segmen tubuh, tubuh dan lingkungan dalam suatu tugas tertentu.

Stabilitas postural adalah kemampuan mempertahankan pusat berat tubuh

dengan ruang batas sebagai acuan untuk stability limit. Sedangkan

stability limit adalah batasan area di dalam ruang dimana tubuh bisa

mempertahankan posisi tanpa mengubah base of support.


17

2. Reaksi tegak

Merupakan reaksi yang sinergis antara segmen tubuh dalam

menjaga keseimbangan. Reaksi tegak akan bekerja secara otomatis dan

volunter dalam menjaga keseimbangan.

3. Protective reaction dan balance strategies

Protective reaction merupakan reaksi proteksi dari tubuh saat

akan terjatuh.

Ada tiga strategi kontrol postural agar keseimbangan kita tetap terjaga,

yaitu (Shumway-cook dan Woollacott, 2007):

a) Ankle strategy

Strategi ini digunakan untuk mengontrol keseimbangan saat

goyangan ketika kita berdiri tidak terlalu besar. Strategi ini hanya

melibatkan otot-otot disekitar sendi pergelangan kaki tanpa melakukan

langkah. Strategi ini akan efektif bila :

1) Lingkup gerak sendi dan kekuatan otot pada sendi ankle optimal.

2) Permukaan tumpuan yang cukup keras.

3) Sensasi yang baik pada kaki dan ankle.

b) Hip strategy

Strategi ini sudah melibatkan aktivasi otot-otot pinggul yang

lebih besar, strategi ini dilakukan saat terjadi goyangan yang lebih

besar. Saat menggunakan hip strategy, tubuh bagian atas bergerak


18

dalam arah berlawanan dengan tubuh bagian bawah. Strategi ini efektif

bila lingkup gerak sendi dan kekuatan otot tarea pinggul optimal.

c) Step strategy

Strategi ini diambil bila pusat gravitasi berpindah melebihi dari

batas maksimum stabilisasi ataupun saat goyangan terlalu cepat

sehingga hip strategi dirasa tidak cukup untuk menjaga keseimbangan.

Maka kaki akan melangkah dan mencari base of support baru agar

tubuh tidak terjatuh. Strategi ini efektif bila :

1) Lingkup gerak sendi dan kekuatan otot tungkai bawah optimal

2) Kemampuan memindahkan tungkai dengan cepat selama

permulaan melangkah.

2.1.2 Keseimbangan pada pasien paska stroke

Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada kondisi stroke adalah

gangguan fungsi keseimbangan. Gangguan fungsi keseimbangan ini dapat

terjadi pada keseimbangan statis maupun keseimbangan dinamis. Gangguan

keseimbangan dapat terjadi pada penderita stroke dan ini dapat mengganggu

proses pemulihan aktivitas fungsional kesehariannya (Tyson, et al, 2006).

Gangguan keseimbangan pada pasien stroke berhubungan dengan adanya

lesi di sistem saraf pusat sebagai sentral prosesing maupun dari Informasi

yang disampaikan oleh sistem visual, vestibular dan somatosensorik yang

kurang optimal. Gangguan keseimbangan ini juga bisa dikarenakan adanya

kelemahan ataupun kekakuan pada otot-otot postural maupun ektremitasnya.


19

Adanya kakakuan pada otot ektremitas juga akan berpengaruh pada luas gerak

sendi yang akan mempengaruhi kemampuan dalam menjaga

keseimbangannya. Menurunnya kekuatan otot, range of motion, tonus otot

yang tidak normal, koordinasi motorik, gangguan pada sistem sensoris dan

sistem integrasi sensorisnya serta adanya gangguan propioseptik ikut

berkontribusi pada gangguan keseimbangan pasien stroke (Barros, et.al,

2008).

Gangguan keseimbangan dalam posisi berdiri pada pasien stroke erat

hubungannya dengan adanya kelemahan otot-otot posturalnya, sehingga

pasien tidak mampu mengontrol posturnya dalam posisi tegak. Adanya

kelemahan pada otot-otot tungkai bawah mengakibatkan penurunan

kemampuan tungkai dalam menyangga, menahan dan menyeimbangkan berat

tubuhnya. Keseimbangan pada kondisi ini juga dipengaruhi oleh besarnya

indeks massa tubuh (IMT) penderita. Penderita dengan IMT diatas normal

cenderung lebih kesulitan dalam mengatur berat badan tubuh dalam menjaga

keseimbangannya. Pasien mengalami kesulitan dalam mengatur perpindahan

berat badan pada sisi kanan dan kiri tubuhnya. Adanya gangguan pada

sensoris terutama pada telapak kaki mengakibatkan pasien tidak dapat

merasakan adanya ground reaction force (GRF) sehingga pasien kesulitan

dalam menstabilkan sendi anklenya dan kesulitan dalam mengaktivasi otot-

otot tungkai bawah guna membentuk dan mempertahankan keseimbangnnya.

Terjadi kecenderungan adanya gerakan kompensasi sebagai upaya untuk


20

mengatasi kelemahan motoriknya dalam melakukan suatu gerakan.

Kompensasi ini tidak selalu manjadi hasil yang optimal. Pasien dengan

gangguan keseimbangan yang moderat hingga berat menggunakan banyak

gerakan tambahan sebagai kompensasi dari defisit motoriknya, sedangkan

untuk pasien dengan gangguan keseimbangan yang ringan, mereka memiliki

kamampuan malakukan gerakan yang hampir sama dengan pola gerak normal.

Gangguan fungsi keseimbangan dinamis pada pasien stroke baik dalam posisi

duduk maupun dalam posisi berdiri merupakan hal yang paling berpengaruh

terhadap kemampuan dalam melakukan aktivitas fungsional kesehariannya.

Karena keseimbangan dinamis menjadi dasar dalam melakukan gerakan yang

bertujuan. Kemampuan fungsional berjalan, tidak mungkin dilakukan kalau

keseimbangan dinamisnya tidak memadai (Irfan, 2010). Keseimbangan

menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk diberikan treatment dan

dikembalikan fungsinya pada pasien pasca stroke.

2.1.3 Fungsional berjalan

Sebagai makhluk bipedal, manusia dianugerahkan kedua tungkai yang

digunakan untuk berjalan dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari.

Berjalan merupakan salah satu teknik ambulasi yang dilakukan manusia.

Fungsional berjalan dapat pula didefinisikan sebagai aktivitas berjalan di bawah

kondisi dan lingkungan yang kompleks (Lord dan Rochester, 2007). Aktivitas

berjalan adalah suatu hal unik yang menunjukkan interaksi spesifik

biomekanikal yang membuatnya mekanis, efisien dan membentuk daya tahan


21

(endurance) (Lovejoy, 2004). Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan

koordinasi tinggi yang dikontrol oleh susunan saraf pusat dan melibatkan

sistem yang sangat kompleks. Gerakan berjalan merupakan interaksi dari

sistem neuromuscular maupun musculoskeletal untuk membentuk gerakan

berjalan. Selain itu berjalan juga memerlukan interaksi kognitif untuk

mengorganisasi berbagai stimulus yang didapatkan dari ligkungan

(Shumway-cook dan Woollacott, 2007). Saat berjalan terjadi pergerakan tubuh

ke arah depan, satu kaki secara khusus menyangga beban tubuh sedangkan kaki

lainnya mengayun maju kedepan dan mempersiapkan untuk menyangga beban

tubuh berikutnya. (Bogey, 2014).

Aktivitas berjalan dikontrol oleh tiga unsur yang saling terkait yaitu,

input supraspinal korteks otak, Central Pattern Generator di spinal circuits

dan umpan balik dari sistem sensoris yang berasal dari kulit dan otot yang

teraktivasi oleh gerakan yang ritmik dari lengan dan tungkai (Raine, 2009).

Menurut Shumway-cook dan Woollacott (2007), di dalam aktivitas berjalan

ditandai dengan tiga hal penting yaitu :

1) Progression

Progression berarti bahwa basic locomotor pattern mampu mengaktivasi

otot dan mengkoordinasikan gerakan yang ritmis untuk menggerakkan tubuh

sesuai dengan arah yang diinginkan.


22

2) Postural control

Postural control yang optimal sangat diperlukan dalam aktivitas berjalan,

tidak hanya dalam mengatasi adanya pengaruh gravitasi tetapi juga adanya

tekanan dari luar tubuh.

3) Adaptasi

Adalah kemampuan untuk mengadaptasikan pola jalan dengan arah tujuan

dengan tantangan yang ada di lingkungan.

A. Siklus Berjalan

Berjalan mempunyai dua fase utama, yaitu fase menapak (stance

phase) dan fase mengayun (swing phase). Ada pula yang menambahkan

dengan satu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung

sangat singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan

jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali

hilang, dan justru terjadi fase di mana ke dua kaki tidak menginjak lantai

(Irfan, 2010) (Shumway-cook dan Woollacott, 2007). Dalam fase berjalan,

periode di mana tubuh ditopang oleh satu kaki lebih dominan dibandingkan

dengan periode menapak pada dua kaki. Dengan demikian, maka

kemampuan berjalan seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan

mempertahankan tubuh pada Base of Support (BOS) yang sempit yaitu pada

area satu buah telapak kaki (Irfan, 2010).


23

1. Fase menapak ( Stance phase )

Fase menapak merupakan 60 % dari seluruh fase berjalan, dimulai

dari heel strike/heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan

toe off adalah fase menumpu, atau fase di mana bagian tubuh (kaki)

bersentuhan dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait

cycle dan penting untuk swing phase yang benar. Pada fase ini terdapat

beberapa tahapan.

Tahapan-tahapan yang terjadi pada stance phase antara lain

(Shumway-cook dan, Woollacott 2007):

a. Initial contact

Fase ini merupakan momen ketika tumit menyentuh lantai.

Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel

rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan

pola loading response. Menyentuhnya tumit dengan lantai membuat

bayangan yang mengindikasikan tungkai yang akan bergerak.

Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari terminal stance.

Fase ini merupakan momen seluruh centre of gravity (COG) berada

pada tingkat terendah dan seseorang pada tingkat yang paling stabil.

Pada periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh lantai

sehingga terjadi posisi double stance.


24

Pada fase ini sendi panggul membentuk sudut aproksimasi 30°

fleksi dengan aktivasi otot gluteus maximus, hamstrings, adductor

magnus. Pada sendi lutut membentuk ekstensi penuh atau relative 2-5ᵒ

fleksi dengan aktivasi otot quadriceps untuk mengontrol sendi lutut.

Pada sendi pergelangan kaki membentuk sudut netral 90° dengan

mengaktivasi otot-otot pretibial (m. tibial anterior, m. ekstensor

hallucis longus dan m. ekstensor digitorum longus) untuk mengontrol

plantar fleksi.

b. Loading response

Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase

dilakukan dengan permulaan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai

kaki yang lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke

depan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai

shock absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki

depan menyentuh dengan lantai. Sedangkan tungkai yang berlawanan

pada posisi fase pre-swing.

c. Midstance

Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai dalam

mendukung interval. Untuk awalan gerakannya, kaki mengangkat dan

dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan

lurus. Saat ankle dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai

bergerak ke depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai


25

yang berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing. Kemudian

akan dilanjutkan dengan fase terminal stance.

d. Terminal Stance

Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini

dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki

menginjak lantai. Keseluruhan dari fase ini brat badan berpindah dari

forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti

sedikit fleksi. Di mana posisi tungkai yang lain berada pada fase

terminal swing. Pada awal fase ini centre of gravity (COG) berada di

depan kaki yang menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan

lingkup dari hip ekstensi dan dorsal fleksi ankle.

e. Pre-swing

Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan ke dua

double stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada

anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota

gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi

diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Di saat

yang sama anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response.

Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan

awal dari terminal double support.


26

2. Fase mengayun ( Swing phase )

Fase mengayun merupakan 40% dari seluruh fase berjalan,

dimulai dari toe off, swing dan diakhiri dengan heel strike (accelerasi,

mid swing, decelerasi). adalah periode waktu di mana tubuh (kaki) tidak

bersentuhan dengan lantai, selama bagian tubuh yang berayun bergerak

di depan bagian tubuh yang menapak sehingga gerakan ke depan dapat

terjadi. Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri dari:

a. Initial swing

Pada fase pertama adalah perkiraan satu sampai tiga dari

periode mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan

diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang

menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee

naik menjadi fleksi dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di

saat yang sama sisi kontralateral bersiap pada mid stance.

b. Mid swing

Pada fase ke dua dari periode swing dimulai, saat mengayun

anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu.

Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal

atau lurus. Saat mid swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi

untuk merespon gravitasi dan diikuti dengan ankle dorsi fleksi menuju

posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase

mid stance.
27

c. Terminal swing

Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri

saat kaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah

dengan posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan posisi fleksi

sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota gerak

bawah yang lain berada pasa fase terminal stance. ( Waerlop, 2006).

Gambar : 2.6
Gait cycle
Sumber : Shumway-cook dan woollacott, 2007.

Gambar 2.2 diatas menjelaskan tentang tahapan satu siklus berjalan

(gait cycle)yang meliputi 2 fase. Fase pertama adalah Stance Phase

yang terdiri dari: Initial Contact, Loading Response, Mid Stance,

Terminal Stance dan Pre swing. Fase kedua adalah Swing Phase

yang terdiri dari Pre-swing, Initial Swing, Mid Swing dan Terminal

Swing.
28

2.1.4 Fungsional berjalan pada pasien paska stroke

Meningkatkan kemampuan fungsional berjalan menjadi salah satu

tujuan utama dari program rehabilitasi pada paska stroke (Eng dan Tang ,

2007). Hal ini sejalan dengan kerangka kerja dari International

Classification of Functioning and Disability ( ICF ) oleh WHO, bahwa

program Fisioterapi pada rehabilitasi paska stroke berorientasi pada

pengembalian kemampuan fungsional yang akan mendukung kemampuan

aktifitas keseharian pasien dan kemampuan berinteraksi sosial dalam

keluarga maupun masyarakat.

Pola jalan pada pasien pada kondisi paska stroke mempunyai

karakteristik lambat, langkah yang yang tidak simetris, kontrol motorik dan

reaksi keseimbangan yang terganggu, serta berkurangnya kemampuan

menumpu pada sisi yang mengalami kelemahan. Kontrol dan koordinasi

yang simetris pada anggota gerak akan berganti dengan pola gerakan

synergies pada sisi yang lemah dan gerakan kompensasi pada sisi yang kuat.

Gerakan kompensasi ini akan membuat energi yang dibutuhkan saat aktivitas

berjalan menjadi meningkat. Pola jalan pada penderita stroke juga

dikarakteristikkan sebagai Stiff-legged gait (berkurangnya gerakan pada

sendi lutut) dan drop foot (kelemahan otot dorsifleksi sendi ankle saat

mengayun) menyebabkan pinggul terangkat tinggi saat berjalan.

Kemampuan menyangga tubuh pada satu tungkai sisi lemah sangat

diperlukan untuk stabilitas tubuh saat tungkai tungkai yang kuat melangkah.
29

Jadi latihan menumpu pada satu sisi tungkai sangat membantu

mensimetriskan pola jalan pada pasien paska stroke(Yavuzer, 2006).

2.2 Stroke

Stroke atau disebut juga Cerebro vaskular Accident (CVA) merupakan

suatu sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO)

akut disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai

akibat tumor, trauma atau infeksi susunan saraf pusat (Dewanto, 2009). World

Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai suatu gangguan

fungsional otak yang mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik lokal

maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan

kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.

Stroke merupakan suatu gangguan yang potensial dan fatal pada suplai

darah ke bagian otak. Fungsi darah sebagai pengangkut oksigen, sangat

dibutuhkan oleh setiap bagian tubuh manusia. Tidak ada satupun bagian tubuh

manusia yang tidak memerlukan darah, termasuk didalamnya adalah otak. Otak

sebagai pusat pengatur fungsi neurologis seluruh tubuh manusia tentu sangat

fatal akibatnya bila mengalami kekurangan suplay darah. Otak tidak akan dapat

berfungsi secara maksimal dan akan mengakibatkan gangguan di bagian tubuh

yang lain. Gangguan pasokan darah ke otak ini dapat diakibatkan oleh adanya

sumbatan dalam pembuluh darah maupun karena ada robekan atau pecahnya

pembuluh darah diotak. Secara klinis akan muncul berbagai macam gangguan
30

yang diakibatkan oleh stroke diantaranya adalah gangguan pada sistem motoris,

sensoris, mental, persepsi, fungsi menelan serta fungsi bicara (Sutrisno, 2007).

2.3 Neuroplasticity

Neuroplasticity atau plastisitas otak adalah kemampuan otak untuk

berubah, membentuk model baru dan mereorganisasi untuk tujuan beradaptasi

terhadap adanya perubahan lingkungan internal maupun eksternal. Dalam proses

pembelajaran fungsi motorik, terjadi dua modifikasi struktural yaitu, neural

plasticity (neuroplasticity) dan muscular plasticity. Keduanya dapat beradaptasi

dan merubah strukturnya untuk merespon adanya informasi dari dalam maupun

luar tubuh. Informasi ini dapat secara langsung berpengaruh pada struktur

organisasi dari sistem saraf pada spatial dan temporal summation dan

memfasilitasi pre dan post synaps inhibisi. Sistem saraf secara terus menerus

melakukan modifikasi dasar selama ada informasi atau pengalaman yang baru.

Modifikasi ini mendukung pencapaian gerakan fungsional yang efektif adan

efisien dalam berbagai lingkunganaktivitas (raine, 2009). Dalam neuroplasticity,

otak akan mereorganisasi dengan menciptakan jalur sinaps baru untuk

beradaptasi sesuai dengan kebutuhan. Dalam faktanya bahwa jaringan saraf

tidaklah menetap, tapi terbentuk dan menghilang secara dinamis sepanjang hidup

manusia dan tergantung dari pengalaman yang diterimanya. Kemampuan sistem

saraf untuk berubah ditunjukkan saat masa anak saat terjadi pertumbuhan sirkuit

saraf, dan pada masa dewasa saat mempelajari keahlian baru. Saat kita
31

melakukan aktifitas yang sama secara berulang-ulang maka jaringan interkoneksi

saraf akan terbentuk sehingga akan mengefisienkan energi yang dipakai saat

melakukan aktivitas tersebut. Neuroplasticity menjadi salah satu dasar recovery

pada cedera otak (Demarin, et al., 2014).

Tipe plastisitas otak :

1. Plastisitas struktural

Plastisitas struktural mengacu pada terjadinya perubahan pada sinaps.

Hal ini secara normal terjadi pada saraf janin selama masa pertumbuhan yang

dinamakan developmen plasticity. Dalam masa ini neuron dapat berpindah

dari tempatnya semula menuju tempat yang baru di kortek dan neuron baru

akan banyak terbentuk.

2. Plastisitas fungsional

Plastisitas fungsional tergantung pada dua proses dasar yaitu

pembelajaran dan memori. selama masa pembelajaran ini terjadi perubahan

pada sinaps antar neuron mengikuti perubahan struktural atau proses biokimia

dalam intraselular. Setelah terjadi kerusakan, otak masih memiliki

kemungkinan untuk remodeling membentuk sinaps baru. Ketika kita belajar

suatu baru, otak pertama kali akan mengenali gerakan motorik dasar yang

kemudian akan disimpan kedalam model yang baru diberikan.

Reorganisasi sistem saraf akan terjadi dalam beberapa bentuk :


32

1. Neural shock

Dalam fase ini terjadi Denervation supersensitivity dan silent synapsis

recruitment. Dalam bentuk ini komunikasi antar neuron akan menghilang

yang bersifat sementara didekat area kerusakan. Hal ini bisa terjadi karena

menurunyya suplay darah pada neuron.

2. Unmasking

Akson dan sinaps yang belum aktif atau belum terlibat menghasil gerak,

akan teraktivasi saat jalurutamanya mengalami kerusakan.

3. Spourting

Dalam fase ini terjadi axonal regeneration dan collateral spourting.

Dalam proses rehabilitasi bagi pasca stroke, sifat plastisitas otak ini

memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang diperoleh dengan

adanya sifat plastisitas adalah dimungkinkannya untuk terus dikembangkan

fungsi geraknya, sehingga dengan metode yang tepat akan menghasilkan

pembentukan plastisitas yang tepat berupa pola gerak normal. Akan tetapi,

dapat merugikan jika metode yang diterapkan tidak tepat karena dengan sifat

plastisitasnya akan terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai dengan

latihan yang diberikan (Irfan, 2010).

2.4 Problematik pada Paska Stroke

Kondisi paska stroke akan menimbulkan beberapa permasalahan yang

berhubungan dengan struktur dan fungsi anggota tubuh, aktifitas dan


33

kemampuan partisipasi social. Hal ini sesuai dengan konsep ICF yang telah

direkomendasikan oleh WHO.

1. Structure and Body Function

Permasalahan pada Structure and Body Function diantaranya adalah

gangguan tonus otot, kelemahan otot, gangguan sensorik, keseimbangan,

koordinasi, keterbatasan gerak. Dari berbagai gangguan tersebut dapat

mengakibatkan gangguan control gerak normal.

2. Activity Limitation

Dari berbagai gangguan pada struktur dan Body Function yang timbul,

maka kemampuan motorik fungsional keseharian penderita stroke juga akan

terganggu atau terjadi penurunan. Penurunan kemampuan ini dapat terjadi

dalam melakukan aktivitas dalam posisi terlentang, duduk, berdiri maupun

berjalan. Dengan penurunan kemampuan aktifitas maka penderita akan sangat

membutuhkan bantuan orang lain dalam kesehariannya.

3. Participation and Retriction

Participation and Retriction adalah terjadi ketidakmampuan dalam

melakukan aktivitas sosial dan berinteraksi dengan lingkungan. Seperti

gangguan dalam melakukan aktivitas bekerja karena gangguan psikis dan fisik

seperti kurang percaya diri, kualitas hidup menurun dan depresi (Stein, 2009).

Maupun gangguan dalam bersosialisasi di dalam keluarga dan masyarakat.

2.5 Active One Leg Standing exercise

2.5.1 Pengertian
34

Hampir seluruh aktivitas fungsional memerlukan kemampuan

mengatur perpindahan berat yang optimal antara tungkai kanan dan kiri.

Kemampuan ini akan menciptakan keseimbangan yang sangat diperlukan

sebagai dasar dari segala aktivitas fungsional.

Pada kondisi pasca stroke kemampuan untuk mengatur perpindahan

berat badan antara tungkai kanan dan kirinya akan terganggu. Hal ini

diakibatkan adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuhnya. Pasien akan

cenderung bertumpu pada sisi tubuh yang kuat untuk menjaga

keseimbangnnya. Pasien akan merasa takut dan mudah jatuh bila memberikan

beban tubuh pada sisi yang lemah. Di tambah lagi dengan adanya gangguan

somatosensoris pada tungkai sisi yang lemah, maka kemampuan untuk

mengatur perpindahan berat badan akan lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini

tentu akan berpengaruh pada kemampuan aktivitasnya terutama dalam posisi

berdiri dan berjalan.

One leg standing atau single leg stance merupakan kemampuan berdiri

dan menumpu dengan satu tungkai atau berdiri dengan beban tubuh yang

disangga oleh satu tungkai saja. Kemampuan ini memerlukan aktivasi otot

yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan. Dengan

kemampuan berdiri dan menumpu satu tungkai yang optimal akan sangat

mendukung kemampuan keseimbangan dinamisnya (Young, 2012).


35

Latihan yang diberikan akan memberikan pembelajaran secara aktif

kepada sistem saraf di otak sehingga akan menstimulasi terjadinya proses

adaptasi atau neuralplascity di otak.

2.5.2 Pengaruh active one leg standing exercise terhadap kemampuan mobilitas

Kemampuan yang optimal dalam weight shifting mutlak diperlukan

dalam menjaga fungsi keseimbangan dan fungsional berjalan. Kemampuan

active weight shifting dapat dibentuk dengan beberapa latihan yang dimulai

pada posisi duduk kemudian dilanjutkan dalam posisi berdiri. Dalam posisi

berdiri kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan active one leg standing

exercise.

Active one leg standing exercise maka akan berpengaruh pada beberapa

hal berikut ini (Raine, 2009):

a) Meningkatnya kemampuan anticipatory postural adjustments pada pada

trunk sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan.

b) Aktivasi otot-otot tungkai yang digunakan untuk menumpu.

c) Meningkatnya kemampuan ankle strategy dan kontrol gerakan dari tibia saat

digunakan untuk menumpu.

d) Meningkatnya kemampuan resiprocal activity dari otot quadriseps dan

hamstrings.

e) Meningkatkan kekuatan otot-otot ekstensor hip dan pelvis sehingga pelvis

akan stabil dan tidak cenderung bergeser kesamping saat digunakan untuk

menumpu.
36

Latihan yang dilakukan adalah :

1) Dalam posisi berdiri, latihan memindahkan beban secara perlahan ke tungkai

affected dengan cara mengangkat tumit pada kaki non affected secara

perlahan (gb 2.7).

Gambar 2.7
Latihan weight transfer
Sumber : dokumen pribadi
Tanggal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016

2) Dalam posisi berdiri, latihan menumpu penuh pada tungkai affected

(gb. 2.8).

Gambar 2.8
Latihan menumpu penuh pada tungkai affected
Sumber : dokumen pribadi
Tanggal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
37

3) Dalam posisi berdiri, latihan mengangkat tungkai ke atas stool, lalu

turun kembali (gb. 2.9).

Gambar 2.9
Latihan naik-turun stool pada tungkai non affected
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
1)

4) Dalam posis berdiri, latihan melangkah melewati guling kecil (gb.

2.10).

Gambar 2.10
Latihan melangkah melewati guling
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
38

5) Dalam posisi berdiri, kaki non affected berada diatas guling. Gerakkan

guling dengan kaki kanan secara perlahan kedepan dan kebelakang (gb

2.11).

Gambar 2.11
Latihan stabilisasi tungkai affected
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016

2.6 Contactual Hand Orientation Response (CHOR) Exercise

2.6.1 Pengertian

Contactual Hand Orientation Response (CHOR) diartikan sebagai

kontak sentuhan ataupun gesekan dari telapak tangan pada suatu bidang

permukaan yang memungkinkan tangan memberikan informasi sensoris untuk

ikut membentuk kemampuan body scheme terhadap midline Orientation,

postural kontrol, keseimbangan dan kemampuan menumpu pada anggota gerak

tubuh. Informasi sensoris yang berasal dari sentuhan pada telapak tangan akan

memberikan kontribusi yang besar untuk ikut membentuk body scheme. Hal ini

sangat penting untuk membentuk kontrol postur yang optimal (Raine, et al,

2009).
39

Informasi sensoris merupakan salah satu unsur yang sangat penting

dalam membentuk kontrol postur, bersama dengan informasi dari visual dan

vestibular, ketiganya akan saling berinteraksi dan di organisasikan oleh tubuh

guna membentuk kontrol postur yang optimal. Sistem saraf pusat akan

mengorganisasi informasi sensoris dari tubuh sehingga kesadaran akan posisi

tubuh terhadap ruang akan terbentuk (Shumway-cook dan Woollacott, 2007).

Informasi sensoris akan dibawa ke level spinal dan akan menstimulasi

central pattern generator (CPG) untuk menghasilkan gerakan reflek sederhana,

sebagai contohnya adalah gerakan lokomosi. Kemudian Informasi sensoris ini

akan diteruskan ke korteks sensoris otak dan cerebellum melewati ascending

pathways guna diproses untuk menghasilkan gerakan yang lebih kompleks

(Shumway-cook dan Woolacott, 2007).

Aktivitas yang melibatkan gerakan tangan akan melibatkan fungsi

diantaranya kognitif, persepsi dan postural kontrol (Raine, 2009). Sebagai

contoh saat kita mengemudikan kendaraan, diperlukan integrasi dari sistem

visual dan somatosensorik agak kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik.

pada kondisi paska stroke, kemampuan untuk menganalisa, membandingkan

dan memilih informasi sensoris yang berguna bagi keseimbangan akan

berkurang (Haral, et al. 2014).


40

2.6.2 Contactual Hand Orientation Response (CHOR) Exercise untuk Meningkatkan

Kemampuan mobilitas

Menurut Raine (2009), pelatihan Contactual Hand Orientation

Response (CHOR) akan menstimulasi dan mengaktivasi :

1) Midline orientation atau orientasi terhadap garis pusat tubuh dan membentuh

body scheme yang optimal..

2) Kontrol dan Stabilisasi postural.

3) Kemampuan menyangga beban pada anggota gerak atas.

Dengan body scheme, Kontrol postural dan Stabilisasi postural yang

optimal, maka kemampuan keseimbangan akan optimal dan hal ini akan

meningkatkan kemampuan fungsional berjalan pasien paska stroke.

Latihan yang dapat dilakukan adalah :

1) Dalam posisi berdiri tegak, kedua telapak tangan diletakkan diatas meja (gb

2.12).

Gambar 2.12
Latihan berdiri tegak , kedua tangan menyentuh permukaaan meja.
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
41

2) Dalam posisi berdiri, kedua telapak tangan diatas meja. Angkat kedua

tumit bersamaan secara perlahan, kemudian turun kembali (gb 2.13)..

Gambar 2.13
Latihan mengangkat kedua tumit bersamaan.
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016

3) Dalam posisi berdiri, tangan non affected memegang bola. Geser bola

secara perlahan kedepan dan kebelakang (gb 2.14).

Gambar 2.14
Latihan aktivasi lengan affected
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
42

4) Dalam posisi berdiri tegak, tangan affected diatas meja. Tangan non

affected meraih benda (gb 2.15).

Gambar 2.15
Latihan meraih benda
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016

5) Dalam posisi berdiri tegak, tangan affected diatas meja. Tangan non

affected melempar bola kedepan (gb 2.16).

Gambar 2.16
Latihan melempar bola.
Sumber : dokumen pribadi
Tanngal pengambilan gambar : 11 Agustus 2016
43

2.7 POMA( Perfomance Oriented Mobility Assesment ) -Tinetti Test

POMA-Tinetti (Perfomance Oriented Mobility Assesment) merupakan

pemeriksaan keseimbangan dan fungsional gait yang dikembangkan oleh Mary

Tinetty, seorang fisioterapis dari Amerika. Test ini terdiri dari section balance

dan section gait, yang masing-masing mempunyai kriteria dan skoring yang

berbeda. POMA-Tinetti merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang

digunakan untuk mengetahui tingkat keseimbangan dan kemampuan fungsional

bagi pasca stroke (Hausdorff dan Alexander, 2005), (Canbek, et al. 2013) .

POMA (Perfomance Oriented Mobility Assesment )- tinetti valid digunakan pada

kondisi paska stroke (Heon, et al, 2014) (Faber, et al, 2006).

Komponen keseimbangan yang diukur meliputi :

1) Sitting balance

2) Rises from chair

3) Attempts to rise

4) Immediate standing balance

5) Standing balance

6) Nudged

7) Eyes closed

8) Turning 360 degrees

9) Sitting down

Dengan nilai maksimal sebanyak 16 poin.

Komponen gait yang diukur meliputi :


44

1) Indication of gait

2) Step length and heigth

3) Foot clearance

4) Step symmetry

5) Step contiunity

6) Path

7) Trunk

8) Walking time

Dengan nilai maksimal 12 poin.

Interpretasi dari nilai total antara balance section dan gait section adalah :

1) ≤18 adalah high risk of falls.

2) 19-23 adalah moderate risk of falls.

3) ≥24 adalah low risk of falls.

2.8 Pemeriksaan National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)

Pemeriksaan National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)

merupakan pemeriksaan neurologis untuk kondisi pasca stroke. Pemeriksaan ini

ditujukan untuk menentukan derajat berat ringannya serangan stroke. NIHSS

merupakan standar pemeriksaan derajat stroke yang menjadi acuan international

(Geyer dan Gomez, 2009).

Pemeriksaan NIHSS meliputi:

a. Level kesadaran

b. Menjawab pertanyaan (level kesadaran)


45

c. Mengikuti perintah (level kesadaran)

d. Pandangan

e. Pengelihatan

f. Kelumpuhan sisi wajah

g. Motorik lengan kiri

h. Motorik lengan kanan

i. Motorik tungkai kiri

j. Motorik tungkai knan

k. Ataxia

l. Sensoris

m. Neglect

n. Dysarthria

o. Bahasa

Nilai hasil pemeriksaan NIHSS mempunyai intepretasi sebagai berikut:

a. Nilai NIHSS 0 : Tidak tanda stroke

b. Nilai NIHSS 1 – 4 : Stroke Ringan

c. Nilai NIHSS 5 – 15 : Stroke Sedang

d. Nilai NIHSS 16 -20 : Stroke Sedang ke Berat

e. Nilai NIHSS 21 – 42 : Stroke Berat

2.9 Pemeriksaan The Mini Mental State Examination (MMSE)

Pemeriksaan The Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan

pemeriksaan standar dalam pemeriksaan kongitif yang sederhana dan praktis.


46

Pemeriksaan ini dapat digunakan memeriksa secara sistimatis tentang status

mental pasien. Komponen yang dapat dinilai melalui MMSE antara lain:

orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memory recall, dan fungsi bahasa.

MMSE merupakan perangkat yang praktis dan efektif yang digunakan sebagai

skrining untuk mengetahui adanya gangguan kognitif pada pasien pasca stroke

(Herndon, 2006).

MMSE menggunakan instrumen pertanyaan, dengan komponen penilaian

sebagai berikut:

a. Penilaian Orientasi (10 poin)

b. Penilaian Registrasi (3 poin)

c. Penilaian Registrasi (3 poin)

d. Perhatian dan Kalkulasi (5 poin)

e. Ingatan (3 poin)

f. Bahasa dan Praktek (9 poin)

Interpetasi dari nilai MMSE adalah sebagai berikut:

a. Nilai MMSE 24 – 30 : Tidak ada kelainan kognitif.

b. Nilai MMSE 18 – 23 : Gangguan kognitif ringan.

c. Nilai MMSE 0 – 17 : Gangguan kognitif berat

2.10 Pemeriksaan Berg Balance Scale

Berg Balance Scale merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk

mengukur tingkat keseimbangan statis maupun dinamis dan untuk mengetahui

tingkat resiko jatuh. Dikembangkan oleh Katherine Berg, Wood-Dauphinee,


47

Williams dan Gayton pada tahun 1989 (Wood-Dauphinee et al. 1997).

Pemeriksaan ini terdiri dari 14 macam perintah pemerikasaan, yaitu :

1) Duduk ke berdiri

2) Berdiri tanpa bantuan

3) Duduk tanpa bantuan

4) Berdiri ke duduk

5) Transfer

6) Berdiri dengan mata tertutup

7) Berdiri dengan kedua kaki sejajar

8) Meraih benda dengan lengan terulur kedepan

9) Mengambil benda dilantai dari posisi berdiri

10) Memutar balik melihat kebelakang

11) Berputar 360 derajat

12) Bertumpu satu kaki pada stool

13) Berdiri dengan salah satu kaki ada di depan

14) Berdiri dengan satu kaki

Interpretasi nilai Berg Balance Scale adalah :

a. 41-56 = resiko jatuh rendah

b. 21-40 = resiko jatuh sedang

c. 0 –20 = resiko jatuh tinggi


48

2.11 Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh

Pemeriksaan indeks massa tubuh (IMT) merupakan pemeriksan

sederhana yang ditujukan untuk memantau berat badan seseorang. Dengan IMT

akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau

gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan

tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.

Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut (Depkes,

2011) :

Berat Badan (Kg)

IMT =

Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Kategori penilaian IMT :

a. < 17,0 = Kurus

b. 18,5 – 25,0 = Normal

c. 25,1 – 27,0 = Gemuk

Anda mungkin juga menyukai