Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Epistaksis

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang
kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis yang berat
merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani(Mangunkusumo & Wardhani, 2007).

2.2. Anatomi Hidung

2.2.1. Hidung Luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas.
Struktur hidung luar terbagi atas 3 bagian, yaitu (Mangunkusumo & Wardhani,
2007) :

a. Atas : Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan


b. Tengah : Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan
c. Bawah : Lobulus hidung yang mudah digerakkan

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung(Mangunkusumo & Wardani,2007).

Kerangka tulang terdiri atas :

a. Tulang hidung
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan terdiri atas :

a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior(kartilago ala mayor)
c. Tepi anterior kartilago septum

2.2.2. Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum di
sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai 4
dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih kecil lagi
konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter.

Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara
konka media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka
media terdapat meatus superior(Bull, 2002).
Gambar 2.1. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.2. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.3. Anatomi Hidung (Netter, 2011)
Gambar 2.4. Anatomi Hidung (Netter, 2011)

2.3. Anatomi Pembuluh Darah Hidung

Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, diantaranya yaitu
ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian depan hidung
diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis.

Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis anterior,


arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior yang terletak
di anterior rongga hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan tidak
terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90% kasus epistaksis
terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering disebut Little’s area di
septum nasal.

Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga


hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari
arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior(Gifford & Orlandi, 2008).

Gambar 2.5. Anatomi perdarahan hidung (Probst, 2004)


Gambar 2.6. Plexus Kiesselbach dan Plexus Woodruff (Santos & Lepore,
2001)

2.4. Penyebab Epistaksis

Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Epistaksis


dapat disebabkan oleh (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,
atau sebagai akibat dari trauma yang lebih hebat seperti pukulan, jatuh
atau kecelakaan lalu lintas.
Kelainan pembuluh darah
Sering merupakan masalah kongenital. Pembuluh darah lebih tipis,
lebar, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis
jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Pada
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus
dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit
hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, anemia dan hemophilia.
Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter(Osler-Rendu-Weber disease). Juga
dapat di temukan pada Von Willerband disease.
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah(dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat
disertai dengan epistaksis.
Perubahan udara
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan
adanya zat-zat kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya
mukosa hidung.
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
Obat-obatan
Obat topikal hidung seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat
menyebabkan iritasi mukosa, terutama bila diaplikasikan langsung
pada septum nasal.

2.5. Tipe-tipe Epistaksis

Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas (Mangunkusumo &


Wardhani, 2007) :
Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai, terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini
bersumber dari pleksus Kiesselbach (Little’s area). Dapat juga berasal
dari arteri etmoidalis anterior. Daerah ini rentan terhadap kelembapan
udara yang di inspirasi dan trauma. Akibatnya dapat terjadi ulkus,
ruptur, atau kondisi patologik lainnya yang selanjutnya akan
menyebabkan perdarahan.
Gambar 2.7. Epistaksis Anterior (Santos & Lepore, 2001)

Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
dengan sendirinya sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit.
Sering ditemukan pada pasien lebih tua dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.
Gambar 2.8. Epistaksis Posterior (Santos & Lepore, 2001)

2.6. Patofisiologi Epistaksis


Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan
sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi
jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma(Munir et al., 2006).
2.7. Diagnosis Epistaksis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat
mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi.
Sedangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan
darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.
Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain(Adam et al., 1997) :
Riwayat perdarahan sebelumnya
Lokasi perdarahan
Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari
hidung bila pasien duduk tegak?
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Hipertensi
Diabetes mellitus
Penyakit hati
Penggunaan antikoagulan
Trauma hidung yang belum lama
2.8. Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi pendukung pada pasien
epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi,
pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya
dengan memasang infus.
Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan
dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat
Argenti (AgNO3) 25-30%.
Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon
anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep
antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah dimasukkan dan
tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon
dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal
perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk
mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.
Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi akibat
pemasangan tampon(Iskandar, 2006).

Gambar 2.9. Tampon Anterior (Frazee & Hauser, 2000)

Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan
pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini terbuat
dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini
terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon
Bellocg, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.

Gambar 2.10. Tampon Posterior (Durr, 2004)

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan
dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi
arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung :
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis
eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal. Dibuat
insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang
pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma
dielevasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan
diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan
identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal asendens,
terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 3/0 silk atau
linen.
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum,
lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina.
Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus
posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah
terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi
untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak
dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan
hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolarelectrocauter dan
nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi
dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi
antibiotik selama 24 jam.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau
keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen
etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7
mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah
posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem
arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior
jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.

2.9.Komplikasi Epistaksis

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai
akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat
dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner sampai
infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian(Iskandar, 2006).

Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears


(akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan
septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat
menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir melalui tuba
Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari
mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh di
pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan
setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang
tampon baru.

Anda mungkin juga menyukai