Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS KASUS PENCEMARAN PABRIK TEPUNG TAPIOKA DI

KABUPATEN PATI

a. Gambaran Umum Kasus

Kabupaten Pati, dari namanya saja menujukkan bahwa Kabupaten ini merupakan daerah
penghasil “pati” (tepung), dalam hal ini adalah tepung tapioka. Ada tiga kecamatan yang menjadi
andalan dalam produksi tapioka yaitu Kecamatan Margoyoso, Trangkil, dan Tlogowungu.
Kecamatan Margoyoso merupakan yang terbanyak, ada sekitar 530 unit industri rumah tangga
pengolahan tepung tapioka berbahan baku ubi kayu. Kabupaten Pati juga memiliki produksi ketela
pohon sebagai bahan baku ratusan industri tepung tapioka tersebut.
Luas lahan yang biasa ditanami ketela pohon sekitar 18.259 hektar dengan tingkat
produktivitas 217,70 kuintal per hektar, dan total produksi basah dengan kulitnya 397.498 ton.
Daerah terbanyak yang menanam ketela pohon, yakni Kecamatan Margoyoso, Cluwak, Gembong,
Tlogowungu, Sukolilo, Margorejo, dan Tayu.
Meski demikian, masih sering terjadi kekurangan bahan baku (ubi kayu), sehingga harus
mengambil dari daerah lain. Namun, limbah dari industri ini mempunyai dampak negatif yaitu
mencemari lingkungan. Limbah cair yang dihasilkan dibuang langsung ke kali (sungai).
Ada beberapa sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah tapioka antara lain kali
Bango, Suwatu, Pangkalan, dan Pasokan. Limbah yang dihasilkan dari industri tapioka berupa
limbah padat, cair, dan gas. Tentu saja yang berpengaruh terhadap usaha pertambakan adalah
limbah cair.
Limbah cair ini dihasilkan dari proses produksi tepung tapioka, mulai dari pencucian bahan
baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau proses pengendapan. Dalam proses
produksi tapioka diperlukan air relatif banyak, setiap satu ton ketela pohon dibutuhkan 6-9 m3 air.
Air buangan industri tapioka masih mengandung bahan-bahan organik dan padatan
tersuspensi total yang cukup tinggi, diatas batas persyaratan air buangan industri yang diijinkan.
Jika tidak diolah terlebih dahulu, limbah ini akan menyebabkan gas yang berbau tidak sedap dan
mencemari lingkungan perairan.
Limbah cair tepung tapioka yang dibiarkan di perairan terbuka akan menimbulkan
perubahan pada perairan yang dicemarinya (Soeriaatmadja dalam www.indonesian-
publichealth.com), pencemaran tersebut antara lain berupa :
a) Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan limbah padat,
tersuspensi maupun terlarut.
b) Peningkatan kebutuhan oksigen bagi mikroba pembusuk senyawa organik, dinyatakan
dengan BOD.
c) Peningkatan kebutuhan oksigen untuk proses kimia dalam air yang dinyatakan dengan
COD.
d) Peningkatan senyawa-senyawa beracun dalam air dan pembawa bau busuk yang menyebar
keluar dari ekosistem akuatik itu sendiri.
e) Peningkatan derajat keasaman yang dinyatakan dengan pH yang rendah dari air tercemar,
sehingga dapat merusak keseimbangan ekosistem perairan terbuka.

Menurut Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang, kualitas air buangan tapioka yang
tidak diolah adalah sebagai berikut : BOD5 = 2000-5000 mg/L; COD = 4000-30.000 mg/L;
Padatan Tersuspensi Total = 1500-5000 mg/L; CN (Sianida) = 0-15 mg/L; dan pH = 4,0-6,5.
Sedangkan baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri tapioka (Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah), kadar paling tinggi
adalah BOD5 = 150 mg/L; COD = 300 mg/L; Padatan Tersuspensi Total = 100 mg/L; CN
(Sianida) = 0,3 mg/L; dan pH = 6,0-9,0.
Jelaslah bahwa air limbah industri tapioka sangat jauh diatas baku mutu air limbah yang
diperbolehkan, sehingga apabila langsung dibuang ke perairan umum akan menyebabkan
pencemaran berat. Kematian ikan dan udang pada tambak yang tercemar limbah ini, dimungkinkan
karena senyawa toksik, kekurangan oksigen, atau bakteri patogen.
b. Permasalahan dalam kasus
Dengan adanya kegiatan pembangunan yang makin meningkat, mengandung resiko,
makin meningkatnya resiko makin meningkatnya pencemaran dan perusakan lingkungan,
termasuk oleh limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), sehingga struktur dan fungsi
ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup akan menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan
pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Terpeliharanya kualitas fungsi lingkungan secara berkelanjutan menuntut tanggung
jawab, keterbukaan, dan peran serta masyarakat yang menjadi tumpuan pembangunan
berkelanjutan guna menjamin kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa mendatang.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya
harus dikelola dengan baik. Makin meningkatnya kegiatan pembangunan, dalam hal ini
pabrik-pabrik atau indutri-industri menyebabkan meningkatnya dampak kegiatan tersebut
terhadap lingkungan hidup, keadaan ini makin mendorong diperlukannya upaya
pengendalian dampaknya, sehingga resiko terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil
mungkin.
Upaya pengendalian dampak terhadap lingkungan sangat ditentukan oleh
pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
segi-segi lingkungan hidup, sebagai perangkat hukum yang bersifat preventif melalui proses
perizinan untuk melakukan usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu dalam setiap ijin yang
diterbitkan, harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan tersebut.
Pengaturan tentang limbah B3 dimulai sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya
Keputusan Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah
Plastik. Selanjutnya diterbitkan keputusan presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi
Konvensi Basel 1989 yang mencerminkan kesadaran pemerintah Indonesia tentang adanya
pencemaran lingkungan akibat masuknya limbah B3 dari luar wilayah Indonesia.
Dalam perkembangan setelah diundangkan Undang-Undang No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai uapaya untuk mewujudkan pengelolaan
limbah B3, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999
tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Peraturan
Pemerintah Limbah B3), sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 85
Tahun 1999. Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Limbah B3 diharapkan
pengelolaan limbah B3 dapat lebih baik sehingga tidak lagi terjadi pencemaran lingkungan
yang diakibatkan oleh limbah B3. Selain itu diharapkan pula dengan diundangkannya
Peraturan Pemerintah Limbah B3 para pelaku industry dan pelaku kegiataan lainnya tunduk
dan taat terhadap ketentuan tersebut.
Tidak ditaatinya Peraturan Pemerintah Limbah B3 oleh para pelaku industri dan
pelaku kegiatan lainnya dalam hal ini pencemaran yang dilakukan Pabrik-pabrik Tepung di
Kecamatan Margoyoso, Trangkil dan Tlogowungu Kabupaten Pati diduga dikarenakan oleh
faktor penataan dan penegakan hukum lingkungan khususnya yang terdapat dalam Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 tenang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

c. Analisis Pembahasan
1. Pelanggaran yang dilakukan Pabrik-Pabrik Tepung Tapioka di Kabupaten Pati terhadap
ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai