RAGIL WIBISONO
H1031181035
Menyetujui,
Pembimbing Pembimbing Lapangan
Mengetahui
Kepala Bagian Produksi
Ardhy Juanda, ST
NIK. 201 012 093
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan laporan kerja praktik ini.
Meskipun banyak hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaannya, tapi
penulis berhasil menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Laporan kegiatan
kerja praktik yang dilakukan di Laboratorium Perusahaan Umum Daerah Air
Minum Tirta Khatulistiwa ini, penulis memberikan judul ialah “Optimalisasi
Kapur Dan Tawas Pada Proses Pengolahan Air Baku Sungai Kapuas”.
Selesainya penulisan laporan kerja praktik ini adalah berkat dukungan dari semua
pihak, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada:
1. Kedua orang tua tercinta penulis atas kasih sayang, motivasi serta do’a tiada
henti yang telah dicurahkan kepada penulis selama menjalani kerja praktik
2. Afghani Jayuska, S.Si., M.Si selaku Dekan FMIPA Universitas
Tanjungpura yang telah memberikan izin untuk mengikuti kerja praktik di
PERUMDA Air Minum Tirta Khatulistiwa Pontianak.
3. Dr. Andi Hairil Alimuddin selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Tanjungpura yang telah mendukung dan memotivasi untuk melakukan kerja
praktik di PERUMDA Air Minum Tirta Khatulistiwa Pontianak.
4. Dr. Anthoni B. Aritonang, S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menulis laporan
kerja praktik ini.
5. Ardhy Juanda, ST., selaku Kepala Bagian Produksi PERUMDA Air Minum
Tirta Khatulistiwa Pontianak, yang telah memberikan kesempatan untuk
melakukan kerja praktik di Laboratorium di PERUMDA Air Minum.
6. Joniar selaku Kepala Seksi Laboratorium PERUMDA Air Minum Tirta
Khatulistiwa Pontianak sekaligus sebagai pembimbing lapangan yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama kerja praktik.
ii
7. Robi Maulana Saputra DS, S.Si. dan Rizki Febriyanti, S.Si serta seluruh
staff maupun karyawan PERUMDA Air Minum Tirta Khatulistiwa
Pontianak yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya selama
kegiatan berlangsung.
8. Segenap pihak yang telah ikut andil dalam proses penyelesaian penulisan
laporan kerja praktik ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Laporan kerja praktik ditulis dan disusun agar dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk dijadikan pembelajaran dan pengetahuan terkhusus bagi penulis sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Penulis menyadari bahwa laporan kerja
praktik ini masih belum sempurna, untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila dalam penulisan laporan kerja praktik ini terdapat kekeliruan dan
kesalahan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan,
semoga isi dan hasil dari penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Pontianak, 23 Oktober 2021
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
2.3 Kapur...............................................................................................................19
BAB III METODOLOGI ....................................................................................21
3.1 Waktu dan Tempat ..........................................................................................21
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................21
3.2.1 Alat ........................................................................................................21
3.2.2 Bahan .....................................................................................................21
3.3 Prosedur Kerja ................................................................................................21
3.3.1 Jar Test Tanpa Penambahan Kapur .......................................................21
3.3.2 Jar Tes dengan Penambahan Kapur .......................................................22
3.3.3 Titrasi Permanganometri .......................................................................22
a. Standarisasi KMnO4 .........................................................................22
b. Titrasi Sampel ...................................................................................22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................23
4.1 Jar Test Tanpa Penambahan Kapur .................................................................23
4.2 Jar Test dengan Penambahan Kapur ...............................................................26
4.3 Penentuan Kadar Organik ...............................................................................30
BAB V SIMPULAN .............................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................36
LAMPIRAN ..........................................................................................................39
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Instalasi Pengolahan Air Bersih PERUMDA Tirta Khatulistiwa ............4
Tabel 2. Data Hasil Jar Tes Tanpa Penambahan Kapur ........................................ 25
Tabel 3. Hasil Jar Test penabahan kapur 2,5 ppm .................................................27
Tabel 4. Hasil Jar Test penambahan Kapur 5 ppm ................................................28
Tabel 5. Hasil Jar Test pnambahan kapur 7,5 ppm..................................................28
Tabel 6. Hasil kadar organik pada Air baku...........................................................32
Tabel 7. Hasil kadar organik pada Sampel….........................................................32
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAGIAN I
INSTANSI KERJA PRAKTIK
1
BAB I
TINJAUAN PERUSAHAAN
2
3
4
5
Gambar 2. Skema Sistem Penyediaan Air Bersih PERUMDA Air Minum Tirta
Khatulistiwa
BAB II
AKTIVITAS KERJA PRAKTIK
Gambar 3 Flokulator
7
8
2.2 Pengukuran Harian Kualitas Air Baku, Air Sendimentasi dan Air Olahan
Pengontrolan yang dilakukan untuk mengetahui beberapa sifat fisika dan kimia
yang terdapat pada air baku (air Sungai Kapuas), air sedimentasi dan air olahan dari
masing-masing IPA yang dilakukan setiap 2 jam sekali. Hal-hal yang dikontrol
meliputi pengukuran warna, kekeruhan, pH dan sisa klor. Selain itu, tujuan lain dari
pengontrolan ini adalah untuk mengetahui perubahan yang terjadi ketika pada suatu
saat terjadi perubahan kondisi air baku akibat perubahan cuaca. Alat yang
digunakan untuk pengukuran ini adalah spektrofotometer UV- Vis, turbidimeter,
pH meter dan untuk mengukur sisa klor digunakan Colorimeter.
a) Pengukuran Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer
HACH/DR 2800, larutan standar yang digunakan adalah aquademineral. Satuan
yang digunakan dalam pengukuran yaitu Unit Pt-Co. Alat dan Bahan yang
digunakan yaitu kuvet 10 mL, spektrofotometer HACH/DR 2800, sampel air (air
baku, air sedimentasi dan air olahan). Spektrofotometer (HACH/DR 2800).
b) Pengukuran Kekeruhan
Pegukuran kekeruhan pada sampel air menggunakan metode nefelometrik yang
pada prinsipnya membandingkan antar intensitas cahaya yang dihamburkan dari
suatu sampel air dengan suatu larutan keruh standar pada kondisi yang sama.
Semakin tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan, maka semakin tinggi pula
tingkat kekeruhannya. Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu kuvet 10 mL,
turbidimeter dan sampel air (air baku, air sedimentasi dan air bersih/olahan).
Berikut ini merupakan Turbidimeter (HACH/2100 Q) yang digunakan untuk
pengukuran kekeruhan :
c) Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan terhadap air baku dan air olahan. Besar kecilnya pH
dipengaruhi oleh sedikit banyaknya tawas yang ditambahkan dan kondisi
keberadaan air gambut pada air baku. Pengukuran pH dilakukan dengan
menggunakan pH meter digital. Adapun pH meter yang digunakan.
10
Gambar 6 pH meter
12
BAB I
PENDAHULUAN
Kebutuhan air minum menjadi hal yang pokok bagi manusia dimana manusia
membutuhkan air untuk berbagai macam keperluan, seperti mandi, memasak dan
yang paling penting untuk konsumsi sehari-hari. Kebanyakan masyarakat selama
ini sering mengkonsumsi air yang banyak diambil dari sumur dan air dari
Perusahaan Air Minum (PDAM). Syarat untuk air yang dikonsumsi manusia sehari-
hari/air minum harus melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan
dan dapat langsung diminum. Pada era sekarang ini kesadaran masyarakat untuk
mendapatkan air yang memenuhi syarat kesehatan semakin meningkat. Seiring
dengan majunya teknologi diiringi dengan semakin sibuknya aktivitas manusia
maka masyarakat cenderung memilih cara yang lebih praktis dengan biaya yang
relatif murah dalam memenuhi kebutuhan air minum (Pradana, dkk, 2013). Kota
Pontianak dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 yaitu 627.021 jiwa, memiliki
fasilitas infrastruktur untuk menunjang PDAM dalam mendistribusikan air kepada
masyarakat, dengan tingkat cakupan pelayanan kebutuhan air bersih sebesar 82,75
%, dan persebaran pelanggan 111.405 pelanggan serta kondisi eksisting sumber air
sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih. Air bersih sangat diperlukan oleh semua
kalangan penduduk untuk kelangsungan hidup. Sebagai contoh kawasan perkotaan
Kota Pontianak, sejalan dengan meningkatnya penduduk serta banyaknya
perumahan maka akan meningkat pula kebutuhan air untuk saat ini dan dimasa yang
akan datang, meningkatnya kebutuhan air bersih harus diperhitungkan dengan baik
begitu pula dengan ketersediaan air (Atik, dkk, 2015). Kota Pontianak untuk saat
ini tidak memiliki air baku yang bersih, sehingga Sungai Kapuas dimanfaatkan
menjadi sumber air baku utama yang dikelola langsung oleh instansi terkait dengan
memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Pontianak. Pertumbuhan penduduk yang
signifikan, berdampak terhadap peningkatan kebutuhan air bersih. Permasalahan
yang terjadi pada sumber air di Kota Pontianak yaitu terjadi musim kemarau dan
13
14
musim penghujan. Pada musim kemarau air PDAM di Kota Pontianak cendrung
terasa payau sehingga hanya bisa digunakan untuk MCK (mandi, cuci, dan kakus),
sedangkan pada saat musim penghujan air bersih menjadi keruh akibat luapan
Sungai dari hulu Kapuas yang mengalir ke hilir. Hal ini menjadikan acuan untuk
mencari solusi dari apa yang dialami saat ini sehingga dapat memberikan
penyelesaian permasalahan air bersih (Wijaya, dkk, 2019).
Beberapa agen koagulasi telah diterapkan dalam air minum pengolahan, serta
dalam pengelolaan air limbah domestik dan industri. Proses-proses ini
menghadirkan implementasi yang sederhana dan operasi, memiliki juga
penghapusan efisien mengenai fosfor, nitrogen, COD, BOD, total padatan
tersuspensi (TSS) dan warna. Di sisi lain, optimalisasi dengan penambahan kapur
telah berhasil digunakan untuk air limbah industri dan pengolahan air tanah yang
terkontaminasi logam. Kapur juga menyajikan sifat yang baik untuk pelunakan dan
pH penyesuaian dan memiliki biaya rendah dibandingkan dengan koagulan
konvensional. Perlu digarisbawahi bahwa pengendapan atau koagulasi-flokulasi
dengan kapur merupakan proses yang efektif untuk organik penghapusan materi (≥
50%), memungkinkan juga penghapusan lebih dari 80% TSS, fosfor, kekeruhan,
minyak dan lemak, warna, dll. Sebuah studi dilakukan oleh Garg et al.
Menunjukkan bahwa presipitasi termokimia (20–95 °C) dengan adanya beragam
bahan kimia menghasilkan COD tinggi dan penghilangan warna saat merawat
pabrik pulp dan kertas encer tembusan. Namun, efisiensi eliminasi dari proses ini
tergantung pada kondisi operasi yang harus disesuaikan dengan jenis air limbah,
meningkatkan biaya pengolahan jika tidak sesuai dipelajari. Jadi, dalam karya ini,
proses fisikokimia yang berbeda dipelajari untuk pengobatan vinasse, yaitu,
pengendapan asam dengan Penambahan H2SO4, pengendapan basa dengan
penambahan Ca(OH)2 atau Na(OH) melalui beberapa pH opera si, pengendapan
termokalsik menggunakan suhu keluar vinasse dalam penyuling dan koagulasi-
flokulasi dengan penambahan FeCl3 setelah pengendapan Ca(OH)2 di bawah
optimal kondisi kerja. Selain itu, volume dan fisikokimia (Prazeresa et al, 2019).
15
Pengolahan air konvensional terdiri dari beberapa atau semua proses utama
berikut: kontrol tangkapan, penyimpanan air baku, penghilangan padatan kasar
dengan penyaringan, sedimentasi, aerasi (juga umum untuk air tanah dengan kadar
besi tinggi), dosis kimia, koagulasi dan flokulasi, klarifikasi, filtrasi pasir lambat,
filtrasi gravitasi cepat, filtrasi tekanan ( juga umum untuk air tanah), klorinasi (juga
umum untuk air tanah), tangki kontak klorin (juga umum untuk air tanah),
penyelesaian dan daur ulang air cuci filter, pembuangan lumpur ke laguna,
pengeringan lumpur. Untuk air tanah, masalah utama cenderung peningkatan kadar
besi dan mangan dan sebagian besar instalasi pengolahan air tanah diperlakukan
untuk parameter ini. Kurang umum, instalasi pengolahan air tanah melunakkan air.
Di masa lalu, inti dari sebagian besar instalasi pengolahan air terdiri dari
pemukiman/klarifikasi baskom dan filter. Ini bisa dibilang tetap proses yang paling
penting, tetapi dengan pengembangan proses berbasis membran penggunaannya
tidak lagi penting. Proses tertentu yang digunakan bervariasi dari bekerja untuk
bekerja dan sering ada perbedaan penting antara bekerja menggunakan proses
serupa. Misalnya, penyaringan gravitasi cepat dapat berupa penyaringan pasir
konvensional, filtrasi media ganda, atau bahkan filter aliran ke atas. Proses-proses
tersebut didominasi meskipun tidak berarti semata-mata, fisik. Untuk banyak
sumber yang relatif tidak tercemar seperti pengolahan menghasilkan air dengan
kualitas yang dapat diterima, mengurangi kekeruhan, warna, tersuspensi padatan,
dan besi dan mangan ke tingkat yang dapat diterima dan diproduksi secara
bakteriologis air yang dapat diterima (Binnie, 2013).
Sebelum air baku dialirkan ke proses pengolahan utama, biasanya ada beberapa
bentuk: pendahuluan atau pra-pengobatan. Proses yang digolongkan sebagai pra-
perawatan termasuk air mentah penyimpanan, penyaringan, aerasi, penyaringan,
17
18
pengendapan awal, dan pra-ozonasi. salah satu dari proses ini mungkin ditemukan
di pabrik tertentu tetapi tidak mungkin semua akan dibutuhkan. Masing-masing
melakukan fungsi tertentu dan, kecuali masalah mereka dirancang untuk
menghilangkan hadir dalam air baku, mereka dapat dihilangkan. Dulu umum untuk
mengklorinasi air sebelum perawatan, untuk mengurangi masalah melekat
pertumbuhan biologis dalam proses pengobatan utama tetapi ini dapat
menghasilkan trihalomethanes (THM) dan standar untuk THM berarti ini sekarang
tidak umum. Sebagai gantinya, semakin umum untuk air pra-ozon, yang
mendisinfeksi, mengoksidasi beberapa dari bahan kimia organik kompleks, dan,
untuk beberapa perairan, juga meningkatkan kinerja proses klarifikasi selanjutnya
(Binnie, 2013).
sangat potensial untuk dikembangkan. Sungai ini sangat besar perannya bagi aspek-
aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya, selain sebagai sumber air baku, juga
digunakan sebagai sumber irigasi serta sangat dominan digunakan untuk sarana
transportasi air yang menghubungkan pemukiman-pemukiman sekitarnya dengan
Kota Pontianak (Barlian, dkk, 2011). Sungai Kapuas merupakan sungai di
Kalimantan Barat yang airnya digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi,
mencuci dan jalur transportasi antar daerah. Peran Sungai Kapuas sebagai jalur
transportasi yang menghubungkan berbagai daerah di Kalimantan Barat dapat
menyebabkan pencemaran timbal pada air sungai. Sumber timbal tersebut dapat
berasal dari pembakaran bahan bakar kapal motor yang banyak digunakan sebagai
sarana transportasi masyarakat (Deri, dkk., 2013).
Sungai Kapuas Kecil membelah dan melewati Kota Pontianak sebelum menuju
muara ke Karimata Selat. Sungai ini melewati kota dengan padat pemukiman
penduduk dan berbagai aktivitas masyarakat seperti perdagangan, jasa, dan industri
besar-kecil. Kota Pontianak memiliki banyak sungai kecil yang terbentuk alami
atau buatan yang berfungsi sebagai drainase dan limbah domestik. Sumber utama
polutan memasuki hilir Sungai Kapuas Kecil berasal dari pemukiman sampah
domestik, kegiatan perdagangan dan jasa, limbah industri besar dan kecil, keramba
ikan dan perkotaan limpasan. Sungai Kapuas Kecil merupakan sumber air baku
bagi IPA Kota Pontianak dan IPA Kota Sei Raya. Beberapa masyarakat di kota
masih menggunakan air sungai secara langsung untuk sehari-hari kegunaan. Sungai
Kapuas Kecil sangat terpengaruh oleh pasang surut, pada musim kemarau intrusi
air permukaan sering menjadi masalah karena menyebabkan perubahan kualitas air
baku yang akan diolah ( Purniani et al. 2018).
2.3 Kapur
Kapur banyak digunakan dalam pengolahan air untuk koreksi pH. Kata kapur
digunakan secara longgar untuk menutupi CaO (kapur kapur) dan Ca(OH)2 (kapur
terhidrasi, atau kapur mati). kapur adalah slaked sebelum digunakan, dengan
mencampur proporsi terkontrol kapur dan air. Ini adalah dilakukan dengan
menggunakan peralatan slaking terus menerus, mungkin mengumpankan ke tangki
20
bubur. Parameter utama dalam slaking adalah kenaikan suhu dan waktu slaking.
Peralatannya relative kompleks dan prosesnya memiliki reputasi tidak dapat
diandalkan. Untuk alasan ini adalah jarang ditemukan instalasi pengolahan air
menggunakan kapur tohor. Kapur biasanya dikirim dalam jumlah besar sebagai
bubuk (Binnie, 2013).
Kapur diberi dosis sebagai bubur biasanya mengandung sekitar 5% CaO.
konsentrasi dari bubur itu penting: perlu dikontrol dengan hati-hati untuk
menghindari masalah dengan saluran umpan diblokir karena deposisi. Tanaman
dosis kapur tidak memiliki reputasi yang baik untuk keandalan dan peralatan siaga
dan saluran dosis selalu disediakan, bersama dengan akses mudah untuk
membersihkan penyumbatan. Karena desinfeksi menggunakan klorin lebih efektif
pada pH di bawah 8, sedangkan air dengan pH sekitar 8 sering kali diinginkan untuk
meminimalkan korosi dan untuk mengontrol pelarutan timbal, cukup umum untuk
mendisinfeksi pada pH sekitar 7, dan kemudian dosis kapur untuk menaikkan pH
ke nilai yang diinginkan untuk air yang diolah. Namun, ini dapat menimbulkan
masalah dalam memenuhi standar kekeruhan pada pekerjaan pengolahan 1 NTU
(satuan kekeruhan nephelometric), karena waktu yang dibutuhkan untuk bubur
kapur untuk sepenuhnya larut. Masalah ini sering dapat diselesaikan dengan
menggunakan solusi bubur eksklusif, seperti 'kapur cair Kalik'. Ini adalah suspensi
kalsium hidroksida di mana kapur partikel hadir sebagai partikel yang sangat halus,
sekitar 1 mikron. Partikel halus seperti itu memiliki luas permukaan spesifik yang
sangat tinggi dan bereaksi sangat cepat (Binnie, 2013).
BAB III
METODOLOGI
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel air INTEK
II, akuades (H2O), asam sulfat (H2SO4), asam oksalat (H2C2O4) Kalium
Permanganat (KMnO4), Kapur (Ca(OH)2, natrium hipoklorit (NaOCl) dan tawas
(Al2(SO4)3.18 H2O).
21
22
Jar test adalah suatu metode pengujian untuk mengetahui kemampuan suatu
koagulan dan menentukan kondisi operasi (dosis) optimum pada proses
penjernihan air dan air limbah. Besaran yang diukur dan dicatat dalam jar test ini
meliputi warna, kekeruhan, pH DHL, Suhu, TDS, salinitas. Selain itu juga
diperhatikan kondisi pasang surut air sungai dan level ketinggian air sungai.
sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan koagulan dalam pengolahan air yang
sebenarnya. Metode jar test mensimulasikan proses koagulasi dan flokulasi untuk
menghilangkan padatan tersuspensi (suspended solid) dan zat-zat organik yang
dapat menyebabkan masalah kekeruhan, bau dan rasa ( Husaini, dkk, 2018).
Kualitas air baku Sungai Kapuas sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
Pada saat curah hujan rendah, intrusi air permukaan sering menjadi masalah bagi
PDAM karena menjadi penyebab berubahnya kualitas air baku yang akan diolah.
Intrusi air permukaan terjadi pada saat arus pasang tinggi tetapi debit aliran dari
hulu sungai kecil pada saat curah hujan rendah(Purniani, dkk, 2018). Air baku
Sungai Kapuas juga menjadi muara dari saluran-saluran drainase yang ada di Kota
23
24
Pontianak. Jadi, kualitas air Sungai Kapuas ini dipengaruhi oleh kualitas air
saluran drainase sedangkan kualitas air saluran drainase berhubungan dengan
aktivitas manusia yang ada di dalamnya seperti membuang limbah rumah tangga
langsung ke saluran drainase dan melakukan kegiatan mandi dan cuci langsung
pada sumber air. Selain itu, perubahan kualitas air juga dipengaruhi oleh
perubahan tata guna lahan yang ada seperti perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di Kota Pontianak yaitu perubahan dari daerah hutan atau lahan pertanian
menjadi kawasan pemukiman. Keadaan ini menyebabkan tingginya jumlah air
buangan yang disebabkan tidak tersedianya Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) di kawasan pemukiman (Ringo, dkk, 2014)
Kualitas air baku yang digunakan pada penelitian ini diketahui bahwa
kekeruhannya 40,9 NTU, warna 493 ptco dan pHnya sebesar 6,08. Penelitian ini
dilakukan dengan melakukan Jar test dengan variasi konsentrasi tawas dengan
dosis 25;30;35;40;45;50 ppm. Variasi konsentrasi ini bertujuan untuk menentukan
dosis optimum suatu tawas untuk penjernihan air pada air baku dan juga . fungsi
penambahan tawas adalah sebagai bahan koagulan. Proses Jar Tes pada larutan
sampel dimana diatur dengan kecepatan pengadukannya sebesar 100 rpm dengan
waktu 1 menit, pada pengadukan cepat ini terjadi proses koagulasi dimana
Koagulasi didefinisikan sebagai proses destabilisasi muatan koloid padatan
tersuspensi dengan suatu koagulan sehingga akan terbentuk flok-flok halus yang
dapat diendapkan. Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan
menyeragamkan penyebaran zat kimia melalui air yang diolah (Tchobanoglous et
al, 1991). Lalu diturunkan kecepatan pengadukan hingga mencapai 40 rpm dalam
waktu 10 menit Pada pengadukan lambat terjadi proses flokuasi dimana flokulasi
merupakan proses pembentukan flok, yang pada dasarnya merupakan
pengelompokan atau aglomerasi antara partikel dengan koagulan. Pada flokulasi
juga terjadi proses penggabungan beberapa partikel menjadi flok yang berukuran
besar. Partikel yang berukuran besar akan mudah diendapkan (Eckenfelder ,
2000). Larutan sampel yang telah didiamkan selama 30 menit kemudian dilakukan
25
pengukuran kekeruhan, warna dan pH untuk mengetahui pengaruh dari dosis yang
diberikan dan hasilnya dapat dilihat pada table berikut:
Tabel di atas menunjukan nilai turbi, warna, pH dari masing – masing dosis
tawas yang diuji. Diketahui bahwa dosis optimum dari uji jar tes tanpa penambahan
kapur adalah 40 ppm. Dapat dilihat turbi atau kekeruhan terus mengalami
penurunan sampai di dosis 40 ppm, hal ini terjadi karena karena ion Al3+ yang
dilepaskan oleh tawas akan menempel pada partikel koloid, menetralisir muatan,
mereduksi gaya tolak menolak antar partikeal dan sebagian lagi akan membentuk
hydroksida (Al(OH)3) yang dapat mengendap (Suprihanto, 1994). Dan juga warna
pada sampel mengalami penurunan juga sampai di dosis 40 ppm, hal tersebut terjadi
karena disebabkan oleh zat organik tersebut diendapkan sebagai flok oleh proses
Koagulasi atau flokulasi dengan adanya tawas. Mekanisme yang kedua yang
mungkin terjadi adalah warna dalam bentuk zat organik yang terlarut tersebut
diserap oleh flok kemudian mengendap. Selain itu presipitat yang mengandung
Al(OH)3 mempunyai daya adsorpsi yang kuat terhadap anion (Suprihanto, 1994).
Hasil yang didapat juga dapat dilihat pada saat dosis diatas 40 ppm mengalami
kenaikan kekeruhan hal ini terjadi karena kloid telah dinetralkan semuanya dan
mengendap dengan konsentrasi koagulan yang optimum, sehingga kelebihan
koagulan akan menyebabkan kekeruhan karena tidak berinteraksi dengan partikel
koloid lain yang berbeda muatan. Dan juga semakin banyak dosis tawas yang
digunakan membuat nilai pH semakin menurun karena sifat dari tawas adalah asam
lemah sehingga penambahan bahan koagulan harus sesuai dosis yang diperlukan,
karena jika penambahan bahan koagulannya terlalu banyak ataupun terlalu sedikit
maka turbiditas air akan kembali naik. pH memiliki hubungan yang negatif
terhadap dosis koagulan. Maksud pH memiliki hubungan yang negatif terhadap
dosis koagulan adalah apabila penambahan koagulan berlebihan dalam air
menyebabkan pH air akan menjadi asam, karena sifat dari tawas adalah asam.
Sehingga dibutuhkan bahan kimia yang dapat berperan sebagai penyangga pH.
(Bancin, dkk, 2020). Adapun reaksi yang terjadi sebagai berikut :
Jar tes dengan penambahan kapur dilakukan dengan variasi dosis kapur 2,5
ppm, 5 ppm dan 7,5 ppm. Penambahan kapur dilakukan pada air baku sebelum
dilakukan jar tes. Tawas ditambahkan dengan dosis 25;30;35;40;45;50 ppm.
27
Diketahui bahwa kualitas air baku yang telah ditambahkan dengan kapur dengan
yang tidak memiliki kekeruhan dan warna yang sedikit lebih tinggi yaitu sebesar
41,9 NTU dan 514 ptco pada dosis 2,5 ppm, 42,8 NTU dan 525 ptco pada dosis 5
ppm, 43,3 NTU dan 534 ptco pada dosis 7,5 ppm dibandingkan dengan yang tidak
ditambahkan kapur yaitu warna dan kekeruhanya sebesar 40,9 NTU dan 493 ptco.
Hal ini terjadi karena kapur yang digunakan terdapat zat pengotor yang membuat
warna dan kekeruhan dari air baku yang digunakan menjadi naik sehingga zat
pengotor yang terdapat pada kapur dapat mempengaruhi warna serta kekeruhan air
baku yang digunakan. Tetapi diketahui bahwa pH air baku yang telah ditambah
kapur mengalami kenaikan yaitu 6,55 pada dosis 2,5 ppm, 6,80 pada dosis 5 ppm,
7,35 pada dosisi 7,5 ppm dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan kapur yaitu
6,08.Hal ini terjadi karena kapur bersifat basa dimana semakin banyak dosis kapur
yang ditambahkan ke dalam air, semakin meningkatkan harga pH. Hal ini
disebabkan larutan kapur yang bersifat basa memiliki ion OH- (Sakti, dkk, 2020).
semakin besar penambahan dosis kapur maka akan makin besar nilai pH yang naik
dan juga warna yang dihasilkan semakin turun kenaikan pH terjadi karena pengaruh
penambahan kapur dengan rumus Ca(OH)2 akan menaikan pH dan bereaksi dengan
bikarbonat membentuk endapan CaCO3 (Indriyanti, dkk, 2011). adapun reaksi
yang terjadi sebagai berikut:
Tabel di atas menunukkan kualitas air olahan yang dihasilkan dari proses jar
tes dengan variasi dosis penambahan kapur. Pada dosis kapur 2,5 ppm diperoleh
dosis optimum tawas sebesar 40 ppm dengan nilai kekeruhan 2,63 NTU, warna 40
dan pH 4,60. Pada dosis 5 ppm diperoleh dosis optimum tawas sebesar 45 ppm
dengan nilai kekeruhan 2,07 NTU, warna 27 dan pH 4,68. Lalu pada dosis kapur
7,5 ppm diperoleh dosis optimum tawas sebesar 45 ppm dengan nilai kekeruhan
1,81 ppm, warna 21 dan pH 7,35. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan dapat
terlihat bahwa penmbahan kapur pada air baku dapat meningkatkan kualitas air
olahan yang ditandai dengan nilai kekeruhan dan warna yang lebih rendah, serta
nilai pH yang lebih tinggi.
29
𝑉1 × 𝑁1
𝑁2 = …………………………………………………………………(1)
𝑉2
Kemudian dilakukan uji nilai permanganat pada larutan dengan dosis tawas 40 ppm
tanpa penambahan kapur dan juga larutan yang telah ditambahkan kapur 2,5 ppm
(dosis tawas 40 ppm), 5 ppm (dosis tawas 45ppm) dan 7,5 ppm (dosis tawas 45
ppm) dan juga hal yang sama dilakukan pada air baku dengan konsentrasi kapur 0;
2,5; 5; 7,5 ppm. Larutan sampel dipindahkan kedalam Erlenmeyer dan ditambahkan
32
batu didih. Penambahan batu didih bertujuan untuk menghindari titik lewat didih
ketika nanti dipanaskan dan juga berfungsi untuk meratakan panas pada larutan
sehingga panasnya menjadi homogen merata keseluruh bagian larutan. Larutan
direaksikan dengan KMnO4 yang mana KMnO4 berfungsi sebagai indikator ketika
telah mencapai titik ekuivalen yang ditandai dengan perubahan warna merah muda
sehingga tidak perlu menggunakan indikator tambahan. dan ditambahakan larutan
asam sulfat 8 N yang berfungsi untuk memberikan suasana asam. Larutan sampel
dipanaskan dengan rentang suhu 105°C ± 2°C. dan direaksikan lagi dengan larutan
KMnO4 0,01 N dan dipanaskan selama 10 menit yang betujuan untuk mempercepat
reaksi. Laju reaksi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya temperature
dimana laju reaksi meningkat dengan naiknya temperature yang mengakibatkan
molekul bergerak lebih cepat ( Atkins, 1990). Direaksikan lagi dengan asam oksalat
0,001 N yang bertujuan ditambahkan asam oksalat ini adalah sebagai pereduksi.
Titrasi dilakukan dengan kalium permanganat 0,01 N sampai warna merah muda
yang menandakan telah mencapai titik ekuivalen titrasi.
Hasil yang diperoleh diketahui bahwa air baku yang tidak ditambahkan
dengan tawas dan hanya ditambahkan dengan kapur menunjukan perubahan yang
signifikat dimana kadar organik tertinggi berada pada larutan air baku dengan
penambahan kapur 7,5 ppm yang kadar organiknya sebesar 62,694 mg/lt. hal ini
terjadi karena pada kapur terdapat zat pengotor sehingga meningkatkan sedikit
kadar organik pada air baku yang digunakan yang mana zat pengotor ini dapat juga
mempengaruhi warna serta kekeruhan dari air baku. lalu pada larutan kapur 7,5 ppm
dengan dosis tawas 45 ppm menunjukan nilai kadar organik yang paing rendah
yaitu sebesar 12,203 mg/lt jika dibandingkan dengan larutan kapur 0 ppm dengan
dosis tawas 40 ppm yaitu sebesar 29,982 mg/lt. Hal ini menunjukkan semakin tinggi
massa atau dosis dari koagulan kapur yang ditambahkan kedalam sampel maka
akan semakin tinggi pengikatan antar flok dan semakin banyak partikel koloid yang
akan menggumpal dan mengendapkan zat-zat organik yang terdapat pada sampel
dan kadar organik akan semakin berkurang (Prihatin, dkk, 2021). Dari hasil yang
diperoleh bahwa kapur dapat menurunkan kadar organik hal ini terjadi karena
dengan penambahan kapur maka akan mengoptimasi pembentukan dari Al(OH)3
didalam sampel sehingga penghilangan senyawa-senyawa organik dalam air baku
juga akan lebih baik. Air baku mengandung senyawa organik yang berantai
panjang, sehingga pada proses koagulasi memerlukan ion Al3+ yang cukup banyak
yang terdapat pada tawas. proses koagulasi untuk menghilangkan warna dan zat
organik di dalam air baku, sangat dipengaruhi oleh pH dan tawas dapat
mempengaruhi penurunan pH. Hal ini terjadi karena pada sampel terdapat ion Al3+
yang secara tidak langsung penyumbang ion H+ melalui reaksi hidrolisis.
Terbentuknya ion H+ mengakibatkan suasana menjadi asam (Suherman, dkk,
2013). Ion Al3+ di dalam air terhidrolisis menjadi Al(OH)3 dalam bentuk koloid. Di
dalam suasana basa dan tawas yang berlebih akan terbentuk Al(OH)3 yang larut
dalam air. Senyawa kompleks alumunium ini memiliki kemampuan untuk
34
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap air baku sungai kapuas maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dosis optimum tawas yang diperoleh pada pengolahan air baku adalah 40 ppm
dan dosis optimum kapur pada pengolahan air baku adalah 2,5 ppm dengan
dosis optimum tawas 40 ppm, dosis kapur 5 ppm dengn dosis optimum tawas 45
ppm dan dosis kapur 7,5 ppm dengan dosis optium tawas sebesar 45 ppm
2. Kadar organik sampel air baku yaitu pada air baku sebesar 59,629 mg/lt, lalu air
baku dengan penambahan kapur 2,5 ppm sebesar 61,161 mg/lt, air baku dengan
penambahan kapur 5 ppm sebesar 62,694 mg/lt dan air baku dengan penambahan
kapur 7,5 ppm sebesar 62,694 mg/lt. Sedangkan kadar organik sampel air hasil
olahan pada dosis optimum tawas 40 ppm sebesar 29,982 mg/lt, air olahan
dengan penambahan kapur 2,5 ppm dan tawas 40 ppm sebesar 20,786 mg/lt, air
olahan dengan penambahan kapur 5 ppm dan tawas 45 ppm sebesar 14,043
mg/ltd an air olahan dengan penambahaan kapur 7,5 ppm dan tawas 45 ppm
sebesar 12,203.
35
DAFTAR PUSTAKA
Atik W, Junianto. 2015. Analisa Kebutuhan Air Bersih Kota Batam Pada Tahun
2025. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Batam, 6(2).
Bancin, J., Nurzila, C., 2020, Pengaruh Penambahan Al2(SO4)3 Dan Na2CO3
Terhadap Turbiditas Dan pH Air Baku Pada Instalasi Pengolahan Air
Bersih, Amina, 1(3).
Barlian, S., Erlanda, P.E., Yunianti, E., 2011, Kajian Sedimentasi Pada Sumber Air
Baku PDAM Kota Pontianak, Jurnal Teknik Sipil Universitas
Tanjungpura, 12(2), ISSN: 1412-3576.
Binnie, C., Kimber, M., 2013, Basic Water Treatment Fifth edition, Published by
ICE Publishing, London.
Deri., Emiyarti., Afu L.O.A., 2013, Kadar Logam Berat Timbal (Pb) pada Akar
Mangrove Avicennia marina di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Mina Laut
Indonesia, 1(1): 38-48.
Eckenfelder Jr, W. Wesley, 2000. Industrial Water Pollution Control 3th ed, Mc
Graw Hill Book Co, Singapore.
Ewerts, H., Barnard, S., Swanepoel, A. Preez, H,.H., Vuuren, V.J.S., 2014.,
Strategies of coagulant optimisation to improve the removal of turbidity
and Ceratium hirundinella cells during conventional drinking water
purification ,Water Science & Technology: Water Supply, 14(5).
Farodilah, I.,Sunarti, N.R.,Intan, P. Y.,Sari, V.R., 2018. Penentuan Konsentrasi
Optimum Aluminium Sulfat dengan Metode Jar Test Pada Instalasi
Pengolahan Air Minum (IPA) Di PDAM Tirta Musi Palembang. Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Terapan, 1(1), ISSN: 2654-4032.
36
37
Pradana, A. Y., Marsono, D.B., 2013., Uji Kualitas Air Minum Isi Ulang Di
Kecamatan Sukodono, Sidoarjo Ditinjau Dari Perilaku Dan Pemeliharaan
Alat. Jurnal Teknik Pomits, 2(2): 2301-9271, ISSN: 2337-3539.
Prazeresa., R. A., Lelisc, J., Ferreiraa, A.J., Carvalhoc, F., 2019, Treatment of
vinasse from sugarcane ethanol industry: H2SO4, NaOH and Ca(OH)2
precipitations, FeCl3 coagulation-flocculation and atmospheric CO2
carbonation, Journal of Environmental Chemical Engineering, 7(1).
Prihatin, S., Sugiharto, A., 2021, Pengaruh Variasi Dosis Kapur Terhadap
Penurunan Kadar COD dan Fosfat Pada Limbah Usaha Laundry,
Indonesian Journal of Chemical Analysis, 4(2): 58-63, ISSN: 2622-7401.
Purnaini, R., Sudarmadji., Purwono, S., 2018., Pengaruh Pasang Surut Terhadap
Sebaran Salinitas Di Sungai Kapuas Kecil, Jurnal Teknologi Lingkungan
Lahan Basah, 1(2): 021 – 029.
Ravina L., 1993, Everyting You Want To Know About Coagulation and Flucolation,
Zeta Meter Inc Staunton, Virginia.
Ringo, S. R., Jhonny., Jati, R. D., 2014, Kajian Beban Pencemaran Beberapa Anak
Sungai Dan Saluran Drainase Yang Bermuara Ke Sungai Kapuas Di Kota
Pontianak( Studi Kasus: Kelurahan Sungai Jawi Luar Dan Kelurahan
38
Sakti, B.A., Rodiah.S., 2020, Penentuan Dosis Penggunaan Kapur (Ca(OH)2) pada
Penentralan Air Minum di Instalasi Pengolahan Air Minum Ogan.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan, 3(1), ISSN:
2654-4032.
Suherman, D., Sumawijaya, N., 2013, Menghilangkan Warna Dan Zat Organik Air
Gambut Dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa, Jurnal Riset
Geologi Dan Pertambangan, 23(2): 127-139, ISSN: 0125-9849.
Suprihanto, 1994, Pengolahan Air Gambut. LPPM ITB dan Direktorat Penyehatan
Air Ditjen PPM & PLP Depkes RI, Jakarta.
Tchobanoglous., George., Franklin L. Burton, 1991, Wastewater Engineering
Treatment Disposal Reuse 3th ed, Mc Graw Hill Book Co, Singapore.
Wijaya, A, T., Mulki, Z. G., Putra, S. F., 2019, Identifikasi Kebutuhan Air Bersih
Guna Memenuhi Ketersediaan Air Bersih Domestik Kota Pontianak,
Jurnal Teknik Sipil Universitas Tanjungpura, 6(2).
LAMPIRAN
➢ Dokumentasi Penelitian
39
40
Dik: V1 H2C2O4= 10 ml
N1 H2C2O4 = 0,01 N
V2 KMnO4= 10,3 ml
Dit: Normalitas larutan baku KMnO4 ?
Jawab:
N1. V1= N2. V2
𝑉1 𝑋𝑁1
N2 = 𝑉2
10 𝑚𝑙𝑥 0,01 𝑁
N2 = 10,3 𝑚𝑙
N2 = 0,0097 N
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
[(10+2,6𝑚𝐿)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x2
100
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
[(10+2,3)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x2
100
Ditanya : N KMnO4 ?
Jawab :
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
[(10+4,2 𝑚𝐿)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x5
100
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
[(10+4,3𝑚𝐿)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x5
100
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
46
[(10+4,4𝑚𝐿)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x5
100
[(10+𝑎)𝑏−(𝑐𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = xe
𝑑
[(10+4,4𝑚𝐿)0,0097−(0,01𝑥10)]1𝑥31,6𝑥1000]
N KMnO4 = x5
100