Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial maupun spiritual.
Prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah
timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri, menghargai
kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal , tidak bertujuan
mempercepat atau menghambat kematian, memberikan dukungan psikologis, sosial
dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, serta menggunakan
pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya.
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien
paliatif yaitu nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba
dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi.
Masalah psikologis yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan.
Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat
pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalahnya yaitu
1. Bagaimana konsep manajemen nyeri?
2. Bagaimana pengkajian fisik dan psikologis?

C. Tujuan
1. Untuk diketahuinya konsep manajemen nyeri.
2. Untuk diketahuinya pengkajian fisik dan psikologis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Manajemen Nyeri


1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai an unpleasant sensory and emotional experience which we primarily
associate with tissue damage or describe in terms of such damage, or both.
Definisi ini menyatakan bahwa nyeri merupakan phenomena kombinasi dari aspek
sensory, emosional, kognitif dan eksistensi dari keadaan pathology fisik tidaklah
mutlak muncul pada pasien yang sedang mengalami nyeri.
Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal dan bersifat individual.
Walaupun demikian nyeri dapat pula diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak
menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan
adanya suatu kerusakan jaringan atau factor lain, sehingga individu merasa
tersiksa, menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis
dan lain-lain.

2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada
tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya serangan.
a. Nyeri berdasarkan tempatnya
- Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya
pada mukosa, kulit.
- Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
- Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah
yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
- Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system
saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.

2
b. Nyeri berdasarkan sifatnya
- Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
- Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
waktu yang lama.
- Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat
sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi.
c. Nyeri berdasarkan berat-ringannya
- Nyeri rendah, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
- Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
- Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan
- Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan
berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka
operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner.
- Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.

3. Jenis-Jenis Skala Nyeri


Skala nyeri secara umum digambarkan dalam bentuk nilai angka, yakni 1-10.
Berikut adalah jenis skala nyeri berdasarkan nilai angka yang perlu Anda ketahui.
a. Skala 0, tidak nyeri

b. Skala 1, nyeri sangat ringan

c. Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit

d. Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi

e. Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)

f. Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam


waktu lama

3
g. Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera
penglihatan

h. Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas

i. Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan terjadi
perubahan perilaku

j. Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara


apapun untuk menyembuhkan nyeri

k. Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan
Anda tak sadarkan diri

4. Cara Menghitung Skala Nyeri


Mengetahui skala nyeri menjadi penting karena metode ini membantu para
tenaga medis untuk mendiagnosis penyakit, menentukan metode pengobatan,
hingga menganalisis efektivitas dari pengobatan tersebut. Dalam dunia medis, ada
banyak metode penghitungan skala nyeri. Berikut ini beberapa cara menghitung
skala nyeri yang paling populer dan sering digunakan.
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri yang paling
banyak digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan skala linier yang
akan memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang diderita oleh pasien.
Pada metode VAS, visualisasinya berupa rentang garis sepanjang kurang
lebih 10 cm, di mana pada ujung garis kiri tidak mengindikasikan nyeri,
sementara ujung satunya lagi mengindikasikan rasa nyeri terparah yang
mungkin terjadi. Selain dua indicator tersebut, VAS bisa diisi dengan
indikator redanya rasa nyeri.
VAS adalah prosedur penghitungan skala nyeri yang mudah untuk
digunakan. Namun, VAS tidak disarankan untuk menganalisis efek nyeri
pada pasien yang baru mengalami pembedahan. Ini karena VAS
membutuhkan koordinasi visual, motorik, dan konsentrasi.

Berikut adalah visualisasi VAS:

4
b. Verbal Rating Scale (VRS)
Verbal Scale (VRS) hampir sama dengan VAS, hanya, pernyataan
verbal dari rasa nyeri yang dialami oleh pasien ini jadi lebih spesifik. VRS
lebih sesuai jika digunakan pada pasien pasca operasi bedah karena
prosedurnya yang tidak begitu bergantung pada koordinasi motorik dan
visual.

Skala nyeri versi VRS:

c. Numeric Rating Scale (NRS)


Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk
menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih
mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis.
NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang
VAS dan VRS.

Skala nyeri dengan menggunakan NRS :

NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pernyataan
spesifik terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan
tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.

5
d. Wong-Baker Pain Rating Scale
Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala
nyeri yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie
Baker. Cara mendeteksi skala nyeri dengan metode ini yaitu dengan melihat
ekspresi wajah yang sudah dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan rasa
nyeri.

Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk memilih
wajah yang kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang sedang mereka
alami.

Seperti terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi:

- Raut wajah 1, tidak ada nyeri yang dirasakan

- Raut wajah 2, sedikit nyeri

- Raut wajah 3, nyeri

- Raut wajah 4, nyeri lumayan parah

- Raut wajah 5, nyeri parah

- Raut wajah 6, nyeri sangat parah

e. McGill Pain Questinonnaire (MPQ)


Metode penghitungan skala nyeri selanjutnya adalah McGill Pain
Questinnaire (MPQ). MPQ adalah cara mengetahui skala nyeri yang
diperkenalkan oleh Torgerson dan Melzack dari Universitas Mcgill pada
tahun 1971. Sesuai dengan namanya, prosedur MPQ berupa pemberian
kuesioner kepada pasien. Kuesioner tersebut berisikan kategori atau
kelompok rasa tidak nyaman yang diderita.

6
f. Oswetry Disability Index (ODI)
Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy Fairbank,
Oswetry Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala nyeri yang
bertujuan untuk mengukut derajat kecacatan, pun indeks kualitas hidup dari
pasien penderita nyeri, khususnya nyeri pinggang.
Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian tes
guna mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik,
kemampuan berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga kehidupan
pribadinya. Dari sini, dokter dapat mengetahui skala nyeri dan memastikan
apa penyebab utama dari nyeri yang dirasakan tersebut.
g. Brief Pain Inventory (BPI)
Awalnya, metode ini digunakan untuk menghitung skala nyeri yang
dirasakan oleh penderita kanker. Namun. Saat ini BPI juga digunakan untuk
menilai derajat nyeri pada penderita nyeri kronik.
h. Memorial Pain Assessment Card
Cara mengukur skala nyeri dengan metode Memorial Pain Assessment
Card ini dinilai cukup efektif, terutama untuk pasien penderita nyeri kronik.
Dalam penerapannya, MPAC akan berfokus pada empat indicator, yakni
intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri, dan mood.

5. Etiologi
Nyeri Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu
penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara
fisik misalnya, penyebab adalah trauma (mekanik, thermal, kimiawi maupun
elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.
a. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka.
b. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas atau dingin.
c. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang
kuat.trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik
yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri.

7
d. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan
jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan
atau metastase.
e. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor
akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan
terganggunya serabut saraf reseptor nyeri.
f. Nyeri yang disebabkan oleh factor psikologis merupakan nyeri yang
dirasakan bukan karena penyebab organic, melainkan akibat trauma
psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena factor ini disebut
pula psychogenic pain.

6. Patofisiologi Nyeri
Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat
kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat
tersebut merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan
tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di
korteks nyeri akan di persiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain
dihantarkan ke hypotalamus nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor
mekanin sensitive pada termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau
mengalami nyeri.

7. Penanganan Nyeri (Pain Management)


Managemen nyeri atau Pain management adalah salah satu bagian dari displin
ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain
relief. Management nyeri ini menggunakan pendekatan multi disiplin yang
didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal (termasuk pain modifiers), non
farmakologikal dan psikologikal. Setiap orang memiliki persepsi yang sangat
berbeda dengan orang lain terhadap nyeri yang mungkin sedang dialami.
Perbedaan inilah yang mendorong perawat untuk meningkatkan kemampuan
dalam menyediakan peningkatan rasa nyaman bagi klien dan mengatasi rasa nyeri.
Hal yang sangat mendasar bagi perawat dalam melaksanakannya adalah
kepercayaan perawat bahwa rasa nyeri yang dialami oleh kliennya adalah sungguh
nyata terjadi, kesediaan perawat untuk terlibat dalam menghadapi pengalaman

8
nyeri yang dialami oleh klien dan kompetensi untuk terus mengembangkan upaya-
upaya mengatasi nyeri atau pain management.
Strategi keperawatan utama yang spesifik dalam meningkatkan rasa nyaman
bagi pasien yang sedang mengalami nyeri, bersifat farmakologi dan non
farmakologi. Tapi Tindakan mengatasi nyeri pain management, yang dapat
dilakukan oleh perawat sebagai penyedia asuhan keperawatan.
a. Managemen Nyeri Farmakologikal
Yaitu terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara
memblokade transmisi stimulan nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan
dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri. Adapun obat yang
digunakan untuk terapi nyeri adalah :
- Analgesik Narkotik
Menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari pengalaman
nyeri (misal : persepsi nyeri).
- Analgesik Lokal Analgesik
Bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung
keserabut saraf.
- Analgesik yang dikontrol klien
Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari impus yang diisi
narotika menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi
intravena.
- Obat obat nonsteroid
Obat-obat non steroid non inflamasi bekerja terutama terhadap
penghambat sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat-obat ini bersifat
analgesik. Pada dosis tinggi obat ini bersifat anti inflamatori,sebagai
tambahan dari khasiat analgesik.
b. Managemen Nyeri Non Farmakologikal
Merupakan upaya-upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan
menggunakan pendekatan non farmakologi. Upaya-upaya tersebut antara lain
dengan distraksi, relaksasi, massage, akupuntur oleh akupunturist, therapy
music, pijatan, dan guided imaginary yang dilakukan oleh seseorang yang ahli
dibidangnya dan disebut sebagai therapist. Setiap individu membutuhkan rasa
nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini dipersepsikan berbeda pada tiap orang.
Dalam konteks asuhan keperawatan, perawat harus memperhatikan dan

9
memenuhi rasa nyaman. Gangguan rasa nyaman yang dialami oleh klien
diatasi oleh perawat melalui intervensi keperawatan.

8. Tujuan Penanganan Nyeri (Pain Management)


Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri. Menurunkan kemungkinan
berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten. Mengurangi
penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri. Meminimalkan reaksi tak
diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri. Meningkatkan kualitas hidup
pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas
sehari-hari.

9. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri


a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin (Tidak terlalu signifikan)
c. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
d. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri
e. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.

10
f. Support keluarga dan social Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan, dll.

B. Pengkajian Fisik dan Psikologis


Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada
saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan
tenang dan damai. Menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase respon terhadap penyakit
a. Fase Prediagnostik : Terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko
penyakit.
b. Fase Akut : Berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada
serangkaian keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun
psikologis.
c. Fase Kronis : Klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya.
Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik,
psikologis, maupun social-spiritual.
2. Indikator yang perlu dikaji
a. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal dihadapkan pada berbagai masalah pada fisik. Gejala
fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penglihatan, pendengaran,
nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi, nyeri. Perawat
harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal karena
hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien
dalam pemeliharaan diri. Hal-hal yang perlu dikaji antara lain :
1) Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah,
tekanan darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
2) Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi,
inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi
penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkontinensia urin terjadi akibat

11
penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya : Trauma medulla
spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi
penyakit mis gagal ginjal.
3) Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah,
lidah kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi
karena asupan cairan menurun.
4) Suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
5) Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran
menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran
berkurang, sensasi menurun.
6) Nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan.
7) Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang
sering.
8) Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya
mengalami banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa
seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada pasien
terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi
produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan
komunikasi atau barrier komunikasi.
9) Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi
akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat
memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan.
Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan
kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai.
Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.

12
b. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat
harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus
bisa mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau
marah. Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan.
c. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung,
tidak ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi.
Perawat harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien
dapat memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga
terdekat untuk selalu menemani klien.
d. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya.
Perawat juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien
mengharapkan kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat
terakhirnya.
3. Diagnosa Keperawatan :
a. Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan
dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat
diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.
b. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang
dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari
orang lain.
c. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
keluarga, takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan
stres ( tempat perawatan ).
d. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari
system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri
dalam menghadapi ancaman kematian.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien
paliatif yaitu nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba
dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Untuk
mengatasi hal tersebut seorang perawat harus bisa dalam memanajemen nyeri yang ada
pada pasien.
Sedangkan masalah psikologis yang paling sering dialami pasien paliatif adalah
kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang
membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga.
Dan untuk mentralisirkan bahkan sampai menghilangkan kecemasan atau gangguan
secara psikologis tentunya mengkaji secera keselurahan baik secara fisik maupun
psikologis sehingga kita sebagai seorang perawat dapat melaksanakan intervensi sesuai
dengan keluhan pasien atau masalah yang muncul dipengkajian.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan kita tentang manajemen nyeri dan pengkajian fisik dan psikologis
perawatan paliatif. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi, Terima Kasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Parrot T Pain Management In Primary-Care Medical Practice. In: Tollison CD,


Satterthwaithe JR, Tollison JW, eds. Practical Pain Management. 3rd ed. Philadelpia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins. Ilmu. Prasetyo Nian Sigit. (2010). Konsep dan
proses Keperawatan Nyeri. Jakarta : Graha
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta : Bumi Aksara 2013

15

Anda mungkin juga menyukai