Anda di halaman 1dari 17

SISTEM NEUROPSIKIATRI

MODUL
“GANGGUAN TIDUR”

Disusun oleh:

Nama : Elpis Husain


No. Stambuk : 12 777 029
Kelompok : IV (Empat)
Pembimbing : 1. dr. Soraya Tenri Uleng. Mkes, SpKJ
2. dr. Mike Indriani

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN

MODUL 3
GANGGUAN TIDUR

A. SKENARIO
Seorang wanita 31 tahun, ibu rumah tangga datang ke poliklinik
dengan keluhan susah tidur. Selain itu juga mengeluh sesak napas,
jantung berdebar-debar, serta leher tegang. Ia juga mengeluhkan
pada banyak hal walaupun sudah berusaha mengontrolnya ini dialami
sejak beberapa tahun terakhir.

B. KATA KUNCI
1. Wanita, 31 tahun
2. Susah tidur
3. Sesak napas, jantung berdebar-debar, dan leher tegang
4. Dialami sejak beberapa tahun terakhir
C. PERTANYAAN
1. Definisi gangguan tidur?
2. Definisi tidur?
3. Bagaimana fisiologi tidur?
4. Klasifikasi gangguan tidur?
5. Penyebab gangguan tidur?
6. Bagaimana mekanisme dari susah tidur, jantung berdebar,
sesak napas & leher tegang?
7. Bagaimana hubungan dari susah tidur dengan gejala yang lain?
8. Bagaimana penanganan secara umum dari gangguan tidur?
D. MIND MAP
BAB II
PEMBAHASAN

GANGGUAN CEMAS

A. DEFINISI GANGGUAN CEMAS


Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan
memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi
ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri
kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada
perut, dan gelisah.
Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah
eksternal umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang
dengan komunitas, teman, atau keluarga. Masalah internal umumnya
terkait dengan pikiran seseorang sendiri
B. TANDA DAN GEJALA GANGGUAN CEMAS
Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen
yakni, kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau
berkeringat ) dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain
dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi
kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut
menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat
menganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan
perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu kemampuan untuk
menghubungkan satu hal dengan lainnya.
Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan
rasa cemas akan melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka
yang dapat membenarkan persepsi mereka mengenai suatu hal yang
menimbulkan rasa cemas.
C. PATOFISIOLOGI GANGGUAN
CEMAS Teori Psikoanalitik
Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “ 1926 Inhibitons,
Symptoms, Anxiety” bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada
ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk
mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal,
kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif
terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan naik di atas tingkatan
rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal, ia akan
timbul sebagai serangan panik.
Teori Perilaku
Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus
lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak laki-laki yang
dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya semena-mena, akan
segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses
generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan
seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.
Teori Eksistensi
Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa
cemas yang bersifat kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang
merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas adalah
respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan arti.
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang
mendasari timbulnya cemas yang patologis antara lain:
 Sistem saraf otonom
 Neurotransmiter
Neurotransmiter
1. Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas
berupa serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal,
merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori
umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah
pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang
buruk terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari
sistem noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada
rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri,
sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada
primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut
menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak
menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien
dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor β-
adrenergik ( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat
mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat.
Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan
gejala cemas.

2. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan
pencarian peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress
dapat menimbulkan peningkatan 5-hydroxytryptamine pada
prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus
lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan
obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga
menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas.
Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan
dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada
korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.
3. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari
efektivitas obat-obatan benzodiazepine, yang meningkatkan
aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A. Walaupun
benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala
gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti
alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan
serangan panic

D. KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS


Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
( DSM-IV), gangguan cemas terdiri dari :
1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia;
2) Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik;
3) Fobia spesifik;
4) Fobia sosial;
5) Gangguan Obsesif-Kompulsif;
6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD );
7) Gangguan Stress Akut;
8) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan
neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan
stress (F40-48).
F40–F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM
DAN GANGGUAN YANG BERKAITAN DENGAN STRES F40
Gangguan Anxieta Fobi
F40.0 Agorafobia
.00 Tanpa gangguan panik
.01 Dengan gangguan panic
F40.1 Fobia sosial
F40.2 Fobia khas (terisolasi)
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya
F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT
F41 Gangguan Anxietas Lainnya
F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)
F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
F41.9 Gangguan anxietas YTT
F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)
F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional
F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT
F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian
(F43.0-F43.9)
F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)
F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)
F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)
GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

A. Definisi Gangguan Cemas Menyeluruh


Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD)
merupakan kekhawatiran yang berlebih dan meresap disertai oleh
berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi
pasien. Beberapa gejala somatik yang dialami adalah ketegangan otot,
iritabilitas, kesulitan tidur, keluhan epigastrik dan kegelisahan sehingga
menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna
dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

B. Epidemiologi Gangguan Cemas Menyeluruh


Prevalensi gangguan cemas menyeluruh antara 3-8% dan rasio
antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Usia onset sukar untuk
ditentukan karena mereka melaporkan mengalami kecemasan selama
yang dapat mereka ingat.

C. Etiologi Gangguan Cemas


Menyeluruh Faktor Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah
lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di
otak. Basal ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga
dihipotesiskan terlibat pada timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga
ditemukan sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter yang
berkaitan adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat, dan
kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission Tomography)
ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih
otak.

Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik
pasien gangguan anxietas menyeluruh dan gangguan depresi mayor
pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama
penderita juga mengalami gangguan yang sama. Sedangkan
penelitian pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada
kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala
dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang
paling primitif anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek
cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi dihubungkan dengan
kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi
berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas superego
merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan
pandangannya sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).
Teori Kognitif Perilaku
Penderita berespon secara salah dan tidak tepat terhadap
ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal
negatif pada lingkungannya, adanya distorsi pada pemrosesan
informasi dan pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan
diri untuk menghadapi ancaman.

D. Tanda dan Gejala Klinis Gangguan Cemas Menyeluruh


Gejala utama adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas
otonom, dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat
berlebihan dan mempengaruhi aspek kehidupan pasien. Ketegangan
motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan dan sakit kepala.
Hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk pernafasan yang pendek,
berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan. Terdapat
juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.
 Pedoman Diagnostik Gangguan Cemas Menyeluruh Menurut
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III)
Penderita harus menunjukkan gejala primer anxietas yang
berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan
biasanya sampai beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya
mencakup hal-hal berikut :
a) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk,
perasaan gelisah seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dan
sebagainya) ;
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai) ;
c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, takikardi,
takipneu, keluhan epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan
sebagainya).
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan serta keluhan somatik berulang-ulang. Adanya gejala-
gejala lain yang bersifat sementara, terutama depresi, tidak
menyingkirkan gangguan anxietas menyeluruh sebagai diagnosis
utama, selama pasien tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif (F32), gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panik (F41.0)
atau gangguan obsesif kompulsif (F42). Termasuk :

 Neurosis anxietas
 Reaksi anxietas
 Keadaan anxietas
 Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV
( DSM-IV-TR)
Kriteria Diagnosis berdasarkan DSM-IV TR :
A. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harapan yang
mengkhawatirkan), terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama
paling kurang 6 bulan, tentang sejumlah peristiwa atau aktivitas
(seperti pekerjaab atau prestasi sekolah).
B. Orang kesulitan untuk mengendalikan kekhawatiran.

C. Kecemasan dan kekhawatiran adalah dihubungkan dengan tiga


(atau lebih) dari enam gejala berikut (dengan paling kurang
beberapa gejala terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama 6
bulan terakhir). Catatan : Hanya satu gejala yang diperlukan pada
anak-anak.

Catatan : Hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak :

1. Gelisah atau perasaan tegang atau cemas


2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (kesulitan untuk memulai atau tetap tertidur,
atau tidur yang gelisah dan tidak memuaskan)

D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran adalah tidak dibatasi pada


gambaran utama gangguan Aksis I, misalnya, kecemasan atau
ketakutan adalah bukan suatu Serangan Panik (seperti pada
Gangguan Panik), merasa malu di depan umum(seperti pada Fobia
Sosial), terkontaminasi (seperti pada Gangguan Obsesif
Kompulsif), merasa jauh dari rumah atau kerabat dekat (seperti
pada Gangguan Cemas Perpisan), pertambahan berat badan
(seperti pada Anoreksia Nervosa), menderita berbagai keluhan fisik
(seperti pada Gangguan Somatisasi), atau menderita penyakit
serius (seperti pada Hipokondriasis), serta kecemasan dan
kekhawatiran tidak terjadi secara eksklusif selama Gangguan Stres
Pascatrauma.
E. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan pada
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat
(misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi
medis umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara
eksklusif selama suatu Gangguan Mood, Ganguan Psikotik, atau
Gangguan Perkembangan Pervasif.
E. Diagnosis Banding Gangguan cemas Menyeluruh
Gangguan anxietas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan
akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan
dengan penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes
kimia darah, EKG dan fungsi tiroid. Gangguan psikiatrik lain yang
merupakan diagnosis banding adalah gangguan panik, fobia,
gangguan obsesfi kompulsif, hipokondriasis, gangguan somatisasi,
gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan
kepribadian.

F. Penatalaksanaan Gangguan Cemas


Menyeluruh a) Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai
dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respon
terapi, Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis
terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu.
Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding
dengan gejala somatik. Tidak menyebabkan withdrawl. Kekurangannya
adalah efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti
bahwa penderita yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan
memberikan respon yang baik dengan buspiron. Dapat dilakukan
penggunaan bersama antara benzodiazepin dengan buspiron
kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat
efek terapi buspiron sudah mencapai maksimal.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik
daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan
anxietas sesaat. SSRI efektif terutama pada pasien gangguan anxietas
menyeluruh dengan riwayat depresi.
b) Psikoterapi
Terapi Kognitif Perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali
distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik,
secara langsung. Teknik utama yang digunakan adalah pada
pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-
potensi yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa
beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri
pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita
sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat
diubah menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal kita
memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
G. Prognosis Gangguan Cemas Menyeluruh
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis
yang mungkin berlangsung seumur hidup. Sebanyak 25% penderita
akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan
depresi mayor.
REFERENSI

1. ADAA (Anxiety And Depressio Asociation of America) . 2013.


http://www.adaa.org/about-adaa/press-room/facts-statistics
2. American Pshyciatryc Association : Anxiety Disorder, Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV), Washington , USA,
1994.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Riset Kesehatan Dasar.
2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia.
4. Carpenito LJ. 2001. Anxiety. In: Carpenito LJ, . diagnosis and application
to clinical practice. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
5. David Y. K., and Selim R. B. 2013. Medscap : Temporal Lobe Epilepsy
http://emedicine.medscape.com/article/1184509-overview
6. Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
7. Harrison, T.R; Resnick, W.R; Wintrobe, M.M; Thorn, G.W; Adams, RD et
al., 2005. Mc Graw Hill: New York.
8. Kaplan, B.J., Sadock, V.A, 2005, Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry :Behavioral. Jakarta: EGC.
9. Kette D. R., and Geraldo B.F . 2012, Depression and temporal lobe
epilepsy represent an epiphenomenon sharing similar neural networks:
clinical and brain structural evidences. Arq Neuropsiquiatr 71(3):183-190.
10. Maslim Rusdi. 2007. Pengguaan Klinis Obat Psikoklinis. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
11. Mudjaddid, E. 2006. Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik
Gangguan Ansietas dan Depresi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Ed 2.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, p:913
12. Price A.S., Wilson M.L. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses prose
penyakit. Jakarta : EGC
13. Stahl S.M. 2002. Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis
and Practical Applications. Cambridge University

Anda mungkin juga menyukai