Batupasir merupakan salah satu dari batuan sedimen klastik yang mempunyai porositas
cukup baik dan biasanya berfungsi sebagai reservoir atau akuifer, sedangkan butirannya yang
dominan berukuran pasir. Satuan batupasir tufan terdiri dari perulangan gradasi normal dari breksi
polimik ke batupasir tufan dan laminasi batupasir. Perulangan ini dijumpai sampai di bagian
tengah satuan batupasir, sedangkan di bagian atas perulangannya ditambah dengan lapisan
bergelombang. Tebal satuan ini sekitar 275 m.
Batupasir tufan mempunyai warna abu-abu, dengan warna lapuk merah kecoklatan,
dijumpai adanya retakan-retakan yang relatif tegak lurus perlapisan, yang terisi oleh kalsit. Secara
petrografis batupasir ini mempunyai ukuran butir 0,05 sampai 0,2 mm, sortasi jelek, kemas
terbuka, dan bentuk butir menyudut sampai membulat tanggung. Tersusun oleh fragmen batuan (4
%), mineral opak (12 %), kuarsa (9 %), plagioklas (24 %), hornblende (9 %), piroksen (11 %),
matrik berupa tuf (15 %) dan mineral lempung (16 %). Berdasarkan persentase komposisi ini maka
batupasir tufan dapat diklasifikasikan sebagai feldspatic graywacke (Pettijohn, 1975). Umur dari
satuan ini adalah Miosen Tengah bagian bawah - tengah (N10 - N12) atau setara dengan 12 - 16
juta tahun. Satuan ini diendapkan pada lingkungan laut terbuka dengan kedalaman sekitar 1000 m,
yang diendapkan dengan mekanisme arus turbid.
Batupasir memiliki beberapa kemampuan fisik yang dapat dibedakan dari batuan jenis
lainnya, yaitu struktur, tekstur dan komposisi. Pada tekstur batuan pasir dapat diturunkan menjadi
tiga parameter empiris yaitu ukuran butir, bentuk butir dan sortasi. Porositas batupasir dihasilkan
dari proses- proses geologi yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi. Proses-proses ini
dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu proses pada saat pengendapan dan proses setelah
pengendapan. Kontrol pada saat pengendapan menyangkut tekstur batupasir (ukuran butir dan
sortasi). Proses setelah pengendapan yang berpengaruh terhadap porositas diakibatkan oleh
pengaruh fisika dan kimia, yang merupakan fungsi dari temperatur, tekanan efektif dan waktu.
Jenis porositas yaitu porositas primer dan porositas sekunder. Porositas primer merupakan
porositas yang terjadi bersamaan batuan menjadi sedimen, sedangkan porositas sekunder
merupakan porositas yang terjadi sesudah batuan menjadi sedimen bisa berupa larutan
(dissolution) (Nurdwiyanto, Yustiana, & Widada, 2006).
Pengamatan petrografis secara akurat pada suatu batupasir dapat dilakukan melalui
pendekatan empiris. Beberapa kenampakan fisik pada batupasir dapat dibedakan dari batupasir
jenis yang lainnya, yaitu struktur, tekstur dan komposisi, kemudian dapat dirinci menjadi beberapa
parameter empiris batupasir. Batuan sedimen klastik memiliki parameter yang dapat diamati
berupa tekstur, struktur, kandungan fosil dan komposisi mineral. Boggs (1987) menyatakan bahwa
tekstur batuan klastik dihasilkan oleh proses fisika sedimentasi dan dianggap mencakup ukuran
butir, bentuk butir (bentuk, pembundaran dan tekstur permukaan), dan kemas (orientasi butir dan
hubungan antar butir). Hubungan antar tekstur primer ini menghasilkan parameter-paremeter yang
lain seperti bulk density, porositas dan permeabilitas. Sedangkan Folk (1974) menyebutkan bahwa
ada 2 sifat-sifat batuan sedimen yang besarannya dapat diukur, yaitu ukuran butir (rata-rata,
sortasi, kemencengan/skewness, dan kurtosis) dan morfologi partikel (bentuk butir, pembulatan,
pembundaran, dan tekstur permukaan butiran) (Rahman, 2001).
Batupasir merupakan batuan sedimen klastik yang dominan butirannya berukuran pasir.
Seperti halnya batuan sedimen klastik yang lain, parameter yang dapat diamati pada batupasir
adalah tekstur, struktur dan komposisi mineral. Dari ketiga parameter tersebut dapat diturunkan
beberapa parameter yang dapat diukur, yang nantinya dianggap sebagai parameter empiris
batupasir. Dari tekstur batupasir dapat diturunkan beberapa parameter empiris, yaitu ukuran butir,
bentuk butir (pembundaran dan pembulatan), dan sortasi. Sedangkan dari struktur sedimen dapat
diturunkan parameter-parameter empiris, misalnya arah perlapisan silang siur, arah orientasi butir,
dll. Dan dari komposisi mineral dapat diturunkan beberapa parameter empiris batupasir, yaitu
persen butiran keras (rigid grain), butiran lunak (ductile grain) dan matrik. Di samping beberapa
parameter di atas juga terdapat parameter yang berhubungan dengan parameter-parameter tersebut,
yaitu bulk density, porositas dan permeabilitas (Soerensen & Fabricius, 2015).
Porositas tidak dipengaruhi oleh ukuran butir tetapi merupakan fungsi dari sortasi.
Porositas berkurang secara progresif dari pasir bersortasi sangat baik sampai pasir yang bersortasi
sangat jelek. Selanjutnya Scherer (1987) juga menyatakan bahwa median ukuran butir tidak dapat
dijadikan parameter untuk memprediksi porositas. Hubungan antara porositas dan ukuran butir
pada batupasir arkose dan lithic arkose (Lapangan Yacheng) lemah dengan R = 0,42 (Bloch, 1991).
Dari penelitian tersebut diperoleh persamaan sebagai berikut :
Nilai koefisien regresi dari model ini secara statistik signifikan dengan prob > F = 0,0001 (Scherer,
1987). Model ini juga mempunyai nilai koefisien determinasi relatif tinggi R2 = 0,75).
b. Porositas pada Batuan Karbonat
Batuan karbonat, terdapat dua jenis porositas, yaitu porositas primer dan porositas
sekunder. Porositas primer merupakan jenis porositas yang terbentuk pada saat sedimentasi
berlangsung di suatu lingkungan pengendapan. Porositas sekunder adalah lubang pori yang
terbentuk ketika proses sedimentasi selesai, seperti proses pelarutan, retakan-retakan yang
dibentuk akibat aktivitas organisme, dan juga struktur geologi akibat proses tektonisme.
Menurut Koesoemadinata (1987), terdapat beberapa ciri yang memungkinkan sebagai tempat
lingkungan pengedapan karbonat, berikut adalah ciri-ciri tersebut:
1. Bebas dari material sedimen darat (terrigeneous) atau klastik detritus. Secara tektonik berarti
daerah ini dalam keadaan yang stabil dan tidak mengalami pengangkatan. Di daerah Indonesia
sendiri, biasa terjadi pada zama Oligosen-Miosen. Selain itu, lingkungan pengendapan karbonat
merupakan daerah laut yang airnya cenderung jernih dan terkena sinar matahari yang cukup
intensif.
Pengendapan karbonat memerlukan kondisi yang jenuh dari suatu konsentrasi akibat proses
penguapan yang terjadi terus-menerus. Laut dangkal merupakan daerah yang cocok dengan
kondisi tersebut. Laut yang terlalu dalam akan menyebabkan suatu proses “partial pressure” CO2
yang terlalu tinggi.
Iklim ini sangat membantu dalam proses penguapan. Kondisi yang cukup hangat dapat
merangsang pertumbuhan dari material karbonat (Koesoemadinata, 2018).
Batuan karbonat memiliki beberapa lingkungan pengendapan yang bisa berasal dari
lingkungan darat hingga laut. Scholle (1981) membagi lingkungan pengendapan karbonat menjadi
12 lingkungan yang memiliki karakteristik khusus pada setiap lingkungan pengendapannya.
Lakustrin
Batuan yang terbentuk dari sistem lingkungan pengendapan lakustrin sudah banyak dikenal
di dunia dan menjadi target dan derah yang berpotensi untuk ekplorasi hidrokarbon. Pada
umumnya, batuan karbonat lakustrin mengandung sistem air tawar dan memiliki sifat basa atau
dalam kondisi garam. Fasies lakustrin ini memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda-beda karena
pengaruh dari hidrologi cekungan yang berkembang di tempat tersebut. Kenampakan struktur
sedimen dan penyebaran fossil yang ada akan mencerminkan karakteristiknya, karena keunikan
dari sistem lakustrin ini.
1) Material detrital
2) Silica biogenik
3) Material organic
4) Mineral-mineral karbonat
Dari keempat faktor tersebut ketika suatu komponen melimpah maka tiga lainnya akan berkurang.
Akibat dari peristiwa tersebut, ketika kandungan material orgaik berkurang, lalu diikuti oleh
pengurangan klastika, dan juga silika biogenic, maka kandungan mineral karbonat akan
bertambah, dalam hal ini CaCO3 yang dapat dikandunga bisa mencapai lebih dari 50%. Sumber
utamanya dalam batuan sedimen adalah endapan karbonat anorganik, peningkatan fotosintesis,
karbonat biogenic yang mengandung debris dari suatu tumbuhan calcareous, dan material
allochtonous.
Eolian
Secara umum, banyak material eolian karbonat yang terendapakan pada daerah gumuk
pantai hingga ke arah pantai dengan energi yang cukup tinggi dan memiliki iklim hangat. Hal
tersebut dapat menjadi tempat akumulasi material sedimen karbonatan. Tekstur yang bisa dijumpai
di daerah ini akan memiliki sortasi yang baik,cross-stratified clastic limestone yang
berkomposisikan butiran-butiran karbonat berukuran pasir. Gumuk karbonat dan batugamping
eolian akan sangat mungkin memiliki pola penyebaran yang luas. Namun hal tersebut terbatas
pada daerah yang memiliki iklim hangat dan berada di dekat pantai. Gumuk karbonat ini jarang
dijumpai pada daerah gurun, namun dapat berkembang secara setempat seperti pada kipas alluvial
yang sumbernya merupakan sedimen kaya akan karbonat.
Tidal Flat
Lingkungan pengendapan tidal flat ini merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Semua
sistem tidal flat, kecuali pada daerah yang didominasi oleh pengaruh angin, akan memiliki tiga
dasar lingkungan penegendapan, yaitu: supratidal, intertidal, dan subtidal. Di dalam lingkungan
tersebut, akan terbagi lagi menjadi beberapa sub lingkungan pengendapan. Daerah Supratidal
Berada pada kondisi kontak langsung dengan udara atau dalam kondisi subaerial. Umumnya hanya
terdapat pada beberapa musim tertentu. Lingkungan ini memiliki struktur sedimen seperti
laminasi, mudcrack, struktur ganggang, struktur mata burung, stuktur fenestral, Intraklas, dan
klastika tanah.
Daerah Intertidal
Berada di atas pasang surut normal dan pasang surut rendah. Daerah ini dapat terekspos
sekali hingga dua kali dalam sehari tergantung pada rezim pasang surutnya dan kondisi angin local.
Daerah Subtidal Lingkungan ini jarang sekali ditemui. Jika ada pun pasti terekpos terhadap udara.
Porositas dan permeabilitas pada sistem tidal flat ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan
antara fasies yang satu dengan yang lainnya. Porositas dan permeabilitas akan berkembang dengan
baik pada daerah subtidal hingga ke intertidal.
Pantai
Kebanyakan suatu strata batuan karbonat terendapakan pada suatu keadaan yang hangat,
laut dangkal, paparan laut, dan pada periode regressif dibandingkan dengan sedimentasi pada saat
trasgresi. Daerah panatai merupakan daerah yang didominasi oleh gelombang yang tersusun oleh
sedimen lepas, yang karakter bagian dalamnya akan dipengaruhi oleh aktivitas pasang surutnya air
laut atau longshore current.lingkungan pengendapan pantai akan memiliki energy yang tinggi dan
memiliki kenampakan yang khusus. Struktur sedimen yang dapat ditemui seperti perlapisan akresi
planar yang terekam pada saat pola progradasi. Endapan karbonat pantai akan terdiagenesis ketika
proses pegendapannya telah berakhir. Hasil proses diagenesis pada lingkungan pantai ini akan
memiliki suatu kenampakan khusus yang nantinya akan menjadi penciri lingkungan pantai. Proses
diagenesa tersebut adalah sementasi penecontemporaneus yang berasosiasi dengan lingkungan
foreshore.
Shelf
Lingkungan pengendapan shelf memiliki beberapa ciri seperti energy yang rendah, dan
berada pada laut dangkal, Kenampakan burrow akan banyak dijumpai. Porositas batuan yang akan
terbentuk pada lingkungan ini akan memiliki kualitas yang rendah. Hal tersebut dikarenakan
kandungan lumpur karbonat yang bisa mencapai 65-75% (Enos dan Sawatsky, 1981 dalam Scholle
et al, 1984). (Scholle, 1981)
Middle Shelf
Secara tektonik, daerah ini berkembang pada blok-blok kratonik dan cekungan
intrakratonik. Ada beberapa kriteria yang dimiliki oleh lingkungan pengendapan ini, yaitu:
1. Terdapat biota laut
2. Tekstur batuan karbonat yang ada sangat kaya akan lumpur (mud), umumnya adalah
wackestone hingga packstone
3. Struktur sedimen berlapis akan sangat sering dijumpai dengan lensa-lensa. Lapisan shale
tipis akan bisa terdapat sebagai sisipan
4. Struktur sedimen lainnya yang dapat terbentuk seperti bioturbasi, burrow, perlapisan
nodular, dan flasher.
Terumbu
Nurdwiyanto, M. I., Yustiana, M., & Widada, S. (2006). Permeabilitas Pada Batupasir. Berkala
Fisika, 9(4), 191–195.
Rahman, M. S. (2001). Toward prediction of porosity in foods during drying: A brief review.
Drying Technology, 19(1), 1–13. https://doi.org/10.1081/DRT-100001349
Scholle, P. A. (1981). Porosity Prediction in Shallow Vs. Deepwater Limestones. JPT, Journal of
Petroleum Technology, 33(11), 2236–2242. https://doi.org/10.2118/7554-PA
Soerensen, M. K., & Fabricius, I. L. (2015). Fluid substitution in sandstone: Effective porosity or
total porosity. SEG Technical Program Expanded Abstracts, 34, 3020–3024.
https://doi.org/10.1190/segam2015-5921081.1