Anda di halaman 1dari 271

Created by Pustaka Thoriqul Izzah

NIDZAM ‗UQUBAT

‗Uqubat disyari‘atkan untuk mencegah manusia dari


tindak kejahatan. Allah Swt. berfirman, artinya
 
―Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.‖ (QS. al-Baqarah
[2]:179),

maksudnya, di dalam pensyari‘atan qishash bagi kalian, yakni


membunuh pembunuh, ada hikmah yang sangat besar, yaitu
menjaga jiwa. Sebab, jika pembunuh mengetahui akan dibunuh,
maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Itu
sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada
ghalibnya, jika orang berakal mengetahui bahwa bila ia
membunuh akan dibunuh, maka ia tidak akan melakukan
pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‗uqubat berfungsi
sebagai zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai
zawajir, sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela (al-qabih).
Tercela (al-qabih) adalah apa yang Allah mencelanya pula. Itu
sebabnya, suatu perbuatan tidak dianggap kejahatan kecuali jika
ditetapkan oleh syara‘ bahwa perbuatan itu tercela. Ketika syara‘
telah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela, maka sudah pasti
perbuatan itu disebut kejahatan. Hal itu tanpa memandang
tingkat tercelanya, yakni tanpa memperhatikan besar kecilnya
kejahatan. Syara‘ telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa
(dzunub) yang harus dikenai sanksi. Demikianlah, dosa itu
substansinya adalah kejahatan.
Kejahatan bukanlah fitrah manusia. Kejahatan bukan pula
―profesi‖ yang diusahakan oleh manusia. Kejahatan bukan pula
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 1
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

penyakit yang menimpa manusia, akan tetapi, kejahatan (jarimah)


adalah tindakan melanggar aturan yang mengatur perbuatan-
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabbnya, dengan
dirinya sendiri, dan hubungannya dengan manusia yang lain.
Allah Swt. telah menciptakan manusia lengkap dengan potensi
kehidupannya, yakni naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Naluri-
naluri dan kebutuhan jasmani adalah potensi hidup manusia yang
mendorong manusia untuk melakukan pemenuhan terhadap
potensi hidupnya. Manusia mengerjakan suatu perbuatan yang
muncul dari potensi hidup tadi adalah sekadar untuk
mendapatkan pemenuhan terhadap potensi hidupnya.
Perlu dipahami, bahwa membiarkan pemenuhan itu tanpa
aturan, maka akan menghantarkan kepada kekacauan dan
kegoncangan, juga akan menghantarkan kepada pemenuhan yang
salah, atau pemenuhan yang tercela. Oleh karena itu, ketika Allah
Swt. mengatur perbuatan-perbuatan manusia, Allah juga telah
mengatur pemenuhan terhadap naluri-naluri dan kebutuhan
jasmani dengan suatu hukum. Syari‘at Islam telah menjelaskan
kepada manusia, hukum atas setiap peristiwa yang terjadi. Itu
sebabnya Allah Swt. mensyari‘atkan halal dan haram. Syara‘
mengandung perintah dan larangan-Nya, dan Allah Swt. meminta
manusia untuk berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan
Allah Swt. dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jika menyalahi
hal tersebut, maka manusia telah melakukan perbuatan tercela,
yakni melakukan kejahatan. Oleh karena itu, orang-orang yang
berdosa harus dikenai sanksi. Dengan demikian, manusia dituntut
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
Perintah dan larangan tersebut tidak akan berarti sama
sekali jika tidak ada sanksi bagi orang yang melanggarnya. Syari‘at
Islam menjelaskan bahwa bagi pelanggar akan dikenai sanksi di
akhirat dan di dunia. Allah Swt. akan memberi sanksi di akhirat
bagi pelanggar, dan Allah pula yang akan mengadzabnya kelak di
hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman:

2 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandanya, lalu dipegang
ubun-ubun dan kaki mereka.‖ (QS. ar-Rahmân [55]: 41)

 

Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam.‖(QS. al-Fâthir


[35]: 36)

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak


menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu". (QS. at-Tawbah [9]: 34-35)

  

―Beginilah (keadaan mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang


durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk, (yaitu)
neraka Jahannam, yang mereka masuk ke dalamnya; maka amat
buruklah Jahannam itu sebagai tempat tinggal.‖ (QS. Shâd [38]: 55-
56)

Walaupun Allah Swt. telah menjanjikan adzab bagi pelaku


dosa, akan tetapi Allah memerintahkan kepada pelaku dosa untuk
berserah diri kepada Allah (bertaubat. pentj.). Karena mungkin
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 3
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

saja Allah berkehendak menjatuhkan sanksi atau mengampuni


mereka. Allah Swt. berfirman:
 
―Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.‖(QS. an-Nisâ [4]: 48)

Dan taubat mereka akan diterima berdasarkan keumuman


dalil ini.
Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam (Khalifah) dan
wakilnya, yakni diselenggarakan oleh negara dengan cara
menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum
jinayat, ta‘zîr dan mukhalafat. Sanksi di dunia bagi pelaku dosa atas
dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapuskan sanksi di
akhirat bagi pelaku dosa tersebut. Demikian itu karena, ‗uqubat
berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah
manusia dari perbuatan dosa dan tindakan pelanggaran.
Keberadaan ‗uqubat sebagai zawabir, dikarenakan ‘uqubat dapat
menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan
gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. Dalilnya
adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari ‗Ubadah bin
Shamit ra berkata, ―Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis
dan beliau bersabda, ―Kalian telah membai‘atku untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina,
kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. ―Barangsiapa
diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan
barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah
kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu
sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau
mengadzab.‖
Hadits ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan
untuk dosa tertentu, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi
pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat. Untuk
meraih itu, Ma‘iz mengakui perzinaannya, kemudian ia dirajam
hingga mati. Demikian pula Ghamidiyyah, ia mengakui
4 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

perzinaannya kemudian dirajam hingga mati. Seorang wanita dari


suku Juhainah mengaku zina, lalu dirajam hingga mati. Rasulullah
saw berkomentar tentang mereka,

―Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk


Madinah, sungguh akan mencakup semuanya.‖

Mereka meminta negara agar menjatuhkan sanksi atas


pelanggaran mereka di dunia, sampai sanksi akhirat bagi mereka
gugur. Oleh karena itu Ghamidiyyah berkata kepada Rasulullah
saw, ―Ya Rasulullah sucikanlah aku!‖ Banyak diantara kaum
muslimin yang bertaubat kepada Rasulullah saw. Mereka
mengakui pelanggaran yang mereka lakukan agar mereka dikenai
had oleh Rasulullah saw sehingga mereka terbebas dari ‗adzab
Allah di hari akhir. Mereka rela menanggung sakitnya had dan
qishash di dunia, karena takut adzab akhirat. Oleh karena itu
‗uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir
(penebus).
Sanksi-sanksi negara yang dijatuhkan atas dosa-dosa dan
kejahatan-kejahatan merupakan satu-satunya metode untuk
melaksanakan perintah dan larangan-Nya. Allah Swt.
mensyari‘atkan hukum-hukum, sekaligus mensyari‘atkan hukum
lain untuk melaksanakannya, yakni hukum-hukum ‗uqubat. Syara‘
juga telah memerintah kaum Muslim untuk menjaga hartanya.
Rasulullah saw bersabda,

―Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.


‖ Juga sabda Rasulullah Saw.
« »
―Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah terjaga (haram).‖

Untuk melaksanakan perintah Allah tersebut, Allah juga


mensyari‘atkan hukum potong tangan. Ketika Allah melarang
perzinaan melalui firman-Nya,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 5


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Janganlah kau dekati zina…‖ (QS. al-Isrâ [17]: 32),

Allah juga mensyari‘atkan jilid dan rajam untuk melaksanakan


hukuman bagi yang melanggar larangan Allah dalam hal itu.
Demikianlah, seluruh perintah dan larangan telah ditetapkan
metode pelaksanaan sanksinya 

TINDAKAN-TINDAKAN
YANG DIJATUHI SANKSI

Tindakan-tindakan yang dikenai sanksi adalah tindakan-


tindakan meninggalkan kewajiban (fardlu), mengerjakan
perbuatan-perbuatan haram, serta menentang perintah dan
melanggar larangan yang pasti yang telah ditetapkan oleh negara.
Selain tiga hal ini, tindakan apapun tidak dikenai sanksi.
Demikian itu karena hukum-hukum syara‘ yang berhubungan
dengan perbuatan seorang hamba ada lima; yakni fardlu atau
wajib, mandub yakni sunnah dan nafilah, mubah, haram yakni al-
Khathr, dan makruh.
Fardlu adalah tuntutan mengerjakan yang tuntutannya
bersifat pasti. Mandub adalah tuntutan mengerjakan yang
tuntutannya tidak bersifat pasti. Mubah adalah tuntutan untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Sementara haram adalah tuntutan meninggalkan yang
tuntutannya bersifat pasti. Sedangkan makruh adalah tuntutan
meninggalkan yang tuntutannya tidak bersifat pasti. Allah Swt.
hanya menjatuhkan sanksi atas pelanggaran terhadap tuntutan
(untuk) mengerjakan yang bersifat pasti, serta pelanggaran
terhadap tuntutan (untuk) meninggalkan yang bersifat pasti, atau
terhadap perintah yang bersifat pasti (jazm), atau larangan yang
bersifat pasti, dan tidak menjatuhkan sanksi pada selain hal ini.
Itu sebabnya, meninggalkan sunnah tidak dijatuhi sanksi,
pun pelaku (perbuatan) makruh tidak dikenai sanksi. Yang
6 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memilih antara mengerjakan atau meninggalkan suatu perintah


jelas sejelas matahari siang hari (dhuhur) tidak dikenai sanksi jika
ia mengerjakan (sesuatu yang mubah), atau bila ia meninggalkan,
sebab ia bisa memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.
Allah Swt. ketika menyiksa kepada orang-orang yang melanggar
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, Dia hanya menyiksa
orang-orang yang bermaksiyat saja. Allah Swt. berfirman:
 
―Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya.‖(QS. al-Jinn [72]: 23)

Allah Swt. berfirman,


―Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan


melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.‖ (QS. an-Nisâ [4]: 14)

Siksa hanya kepada orang-orang yang bermaksiyat. Orang


yang meninggalkan (perbuatan) mandub, dan pelaku (perbuatan)
makruh bukanlah orang-orang yang bermaksiyat, sebab
tuntutannya bukan tuntutan yang bersifat pasti; baik tuntutan
untuk mengerjakan atau tuntutan untuk meninggalkan. Selama
mereka bukan orang-orang yang bermaksiyat mereka tidak dikenai
sanksi atas perbuatan mereka; yakni meninggalkan yang mandub,
mengerjakan yang makruh, meninggalkan atau mengerjakan yang
mubah. Allah Swt. tidak menyiksa mereka karena perbuatan-
perbuatan yang mereka lakukan tersebut. Dan selama Allah tidak
memberi sanksi kepada mereka, lalu bagaimana mungkin negara
akan memberi sanksi kepada mereka?
Sesungguhnya penjatuhan sanksi-sanksi oleh negara yang
telah ditetapkan ukurannya oleh Syâri‘ adalah perkara yang tidak
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 7
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

perlu didiskusikan lagi, yaitu sanksi atas (tindakan) mengerjakan


yang haram, dan meninggalkan yang wajib. Penjatuhan sanksi-
sanksi oleh negara yang tidak ditetapkan ukurannya, maka akan
ditetapkan melalui ta‘zîr. Ta‘zîr adalah sanksi bagi kemaksiyatan
yang tidak ditetapkan ukurannya—tidak ada had dan kifarat di
dalamnya. Ta‘zîr hanya untuk kemaksiyatan, tidak termasuk di
dalamnya hal-hal yang mandub, makruh, atau mubah sebab itu
bukanlah kemaksiyatan. Adapun mukhalafât adalah kemaksiyatan,
sebab Rasulullah Saw. bersabda:
« »
―Barangsiapa bermaksiyat kepada amirku sungguh ia telah bermaksiyat
kepadaku.‖

Maka sanksi hanya bagi kemaksiyatan. Dengan demikian tidak ada


sanksi kecuali bagi kemaksiyatan. Dan selama bukan kemaksiyatan
maka tidak ada sanksi baginya. Atas dasar ini, tidak ada sanksi atas
orang-orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan mandub,
tidak pula yang mengerjakan perbuatan-perbuatan makruh, juga
tidak ada sanksi bagi yang meninggalkan atau mengerjakan
perbuatan mubah, meskipun hal itu diperintahkan oleh Amîrul
Mukminin. Sebab, perintahnya itu tidak membuat pengerjaannya
berubah menjadi fardlu, dan bila meninggalkannya berubah
menjadi haram. Akan tetapi perintahnya adalah tabanni
(mengadopsi) pendapat yang syar‘iy dari berbagai pendapat yang
ada, dan tabanninya itu mengikat seluruh manusia, dan sekaligus
membiarkan yang lainnya. Sebab ia adalah perintah dari syara‘,
bukan perintah dari dirinya sebagai khalifah.
Dengan demikian, perintah tetap merupakan perintah
Allah. Begitupun dengan hukum seperti mandub, mubah, dan
makruh tetap sebagai hukum yang datang dari syara‘. Berdasarkan
hal ini, maka perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi terbatas
pada dua perbuatan saja; yakni meninggalkan semua yang fardlu,
dan mengerjakan semua yang haram. 

JENIS-JENIS „UQUBAT
8 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

‗Uqubat ada empat macam; yakni hudûd, jinâyât, ta‘zîr, dan


mukhâlafât. Hudud adalah sanksi-sanksi kemaksiyatan yang telah
ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allah. Dinamakan hudud
karena pada umumnya, mencegah orang yang berbuat maksiyat
untuk (tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan
hadnya. Had disebutkan untuk kemaksiyatan itu sendiri,
sebagaimana firman Allah swt:
 
―Itulah larangan Allah (hudud), maka janganlah kamu mendekatinya..‖
(QS. al-Baqarah [2]: 187),

had juga disebutkan untuk sanksi bagi kemaksiyatan itu. Kata had
dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kemaksiyatan, tidak
disebutkan kecuali untuk kemaksiyatan yang di dalamnya terdapat
hak Allah Swt., dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam
hudud tidak ada pemaafan, baik dari hâkim maupun terdakwa,
sebab hudud adalah haq Allah, tak seorang manusia pun yang
memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.
Sedangkan jinayat disebutkan untuk penganiayaan atau
penyerangan terhadap badan yang mewajibkan qishash (balasan
setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan itu mencakup
penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari
jinayat di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas
penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‗uqubat terdapat haq
seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq hamba, maka
bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan
menggugurkan haqnya. Allah Swt. berfirman:

 
―Dan barangsiapa mendapatkan suatu pema‘afan dari saudaranya.‖
(QS. al-Baqarah [2]: 178)

setelah firman Nya

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 9


Created by Pustaka Thoriqul Izzah


―Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba,
dan wanita dengan wanita.‖ (QS. al-Baqarah [2]:178);

yakni barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya di dalam


utang, yakni dari ―wali-wali darah‖ (wali dari pihak yang terbunuh)
berupa suatu yang menjadi hak mereka di dalam qishash,
menunjukkan bolehnya shahibul haq untuk memberikan
pemaafan dari haknya dalam jinayat. Telah diriwayatkan banyak
hadits yang menjelaskan bolehnya shâhibul haq memberikan
pemaafan. Dari Abû Syuraih al-Khazâ‘iy berkata, ―Saya mendengar
Rasulullah saw berkata,‖Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau
penganiayaan (al-khubl adalah al-jarâh, yakni penganiayaan badan),
maka ia berhak memilih salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya,
mengambil diyat, atau memaafkan, maka jika berkehendak yang
keempat ambillah dari kedua tangannya.‖

Dari Abû Hurairah dari Nabi Saw. berkata:


« »
―Tidaklah seseorang memaafkan dari suatu kedzaliman, kecuali Allah
akan menambah kemuliaan.‖

Dari Anas berkata: ―Tidaklah sesuatu perkara yang di dalamnya


terdapat qishash diajukan kepada Rasulullah Saw., kecuali beliau Saw.
memerintahkan untuk memberi maaf.‖

Semua ini adalah dalil atas bolehnya pemaafan. Dan


selama di dalamnya tidak ada haq Allah Swt., maka pemaafan dari
shahibul haq telah mewajibkan pengampunan dari hâkim. Hâkim
harus memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan
pemaafan yang sempurna karena adanya pemaafan dari shâhibul
10 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

haq. Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut


terdapat haq kolektif rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa
dikatakan demikian, karena keberadaan haq kolektif bagi rakyat
di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil yang menunjukkan hal
itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu. Sebab, apa
yang dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku
penganiayaan dimaafkan oleh shâhibul haq, maka mereka
menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut.
Dikeluarkan oleh Thabarâniy, ―Bahwa ‗Ali ra didatangi
seorang laki-laki muslim yang telah membunuh seorang ahlu dzimmiy,
dan terbukti (bahwa lelaki itu pelakunya), kemudian beliau ra
memerintahkan untuk membunuhnya, kemudian datanglah saudara
(kafir dzimmiy) tersebut dan berkata, ―Saya maafkan.‖ `Ali ra
bertanya, ―Apakah mereka mengancammu, menakut-nakutimu, atau
menggertakmu? Lelaki itu menjawab, ―Tidak! Akan tetapi
pembunuhannya tidak aku terima, tetapi kemudian mereka menjelaskan
kepadaku kemudian aku ridla. Kemudian Ali ra berkata, ―Kamu lebih
tahu, barangsiapa di bawah perlindungan kami, darahnya seperti darah
kami, diyatnya semisal diyat kami.‖

Ini menunjukkan bahwa pemaafan bagi pelaku penganiayaan dari


shahibul haq mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.
Adapun ta‘zîr adalah sanksi bagi kemaksiyatan yang di
dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan perbuatan
maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah Swt. telah
menetapkan sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia
termasuk ke dalam hudud. Maka pelanggarnya akan dikenai
sanksi had yang telah disyari‘atkan oleh Allâh Swt., bukan ta‘zîr.
Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat tertentu,
maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
Adapun bila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri‘
tidak menetapkan kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam sanksi
ta‘zîr. Sedangkan mengenai penganiayaan terhadap badan tidak
dita‘zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan oleh Syâri‘.
Jenis ‗uqûbât berikutnya adalah ta‘zîr. Ta‘zîr berbeda
dengan hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât sanksi-sanksinya
telah ditetapkan oleh syâri‘ secara spesifik. Dengan demikian
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 11
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh diganti, ditambah, dan


dikurangi. Sedangkan ta‘zîr adalah sanksi yang bentuknya tidak
ditetapkan secara spesifik oleh syâri‘, dan bentuk sanksinya tidak
mengikat. Demikian pula bahwa hudûd dan jinâyât tidak
menerima pemaafan dan pengguguran dari pihak hâkim kecuali
pemaafan dari shâhibul haq dalam jinâyât, dan ini berbeda
dengan ta‘zîr.
Ta‘zîr menerima pemaafan dan pengguguran sanksi
tersebut. Rasulullah Saw. tidak menta‘zîr seseorang yang berkata
kepada beliau:

―Sumpah ini tidak untuk mengharap ridlo Allah, dan baliau


memaafkannya.‖

Padahal orang yang mengucapkan ini telah terjatuh dalam


kemaksiyatan yang ia berhak untuk dikenai sanksi. Hudûd dan
jinâyât tidak berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia
di dalam hudûd dan jinâyât adalah sama berdasarkan keumuman
dalil. Berbeda dengan ta‘zîr, ia boleh berbeda dikarenakan
perbedaan manusia, maka di dalam ta‘zîr diperhatikan apakah
pelaku belum pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, atau
orang yang memiliki perilaku baik, dan lain-lain.
Telah diriwayatkan dari ‗Aisyah ra bahwa Nabi Saw.
bersabda:

―Peringanlah bagi orang yang memiliki perangai terpuji atas pelanggaran


mereka, kecuali hudûd‖.

Maksud dari ‗itsrâtihim di sini adalah penentangan mereka


terhadap perintah dan larangan Allah, dengan bukti sabda
Rasûlullâh Saw, ―kecuali hudûd‖, dan ini sebagai qarînah atas
makna yang dimaksud. Dari Anas bin Mâlik bahwa Rasûlullâh
Saw. bersabda,
»

12 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Penolong adalah perut dan aibku, manusia akan bertambah banyak,


maka terimalah kebaikan mereka, dan maafkan keburukan mereka.‖

Maksud dari al-tajâwuz di sini adalah al-‗afw (pemaafan),


sedangkan keburukan meliputi pelanggaran terhadap maksiyat,
sebab ia adalah keburukan.
Semua ini menunjukkan bahwa kadar sanksi ta‘zîr boleh
berbeda dikarenakan perbedaan kondisi dan tabi‘at manusia.
Seseorang bisa dikenai sanksi penjara atas suatu kemaksiyatan,
dan orang lain bisa dikenai teguran, kecaman, atau dimarahi pada
kemaksiyatan yang sama.
Adapun mukhâlafât adalah ‗uqûbât yang dijatuhkan oleh
penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa; baik
khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu‘awin, para wali,
‗ummal-‗ummal dan lain-lain, dari orang-orang yang aktivitasnya
adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan
untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan
perintah disebut ‗uqûbât mukhâlafat. Mukhâlafat sendiri
disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah
penguasa. Dengan demikian mukhâlafat disebutkan untuk
perbuatan dan sanksi perbuatan. Namun demikian, mukhâlafat
ditetapkan sebagai sanksi dari sanksi-sanksi yang telah ditetapkan
oleh Syâri‘, sebab penentangan terhadap perintah Imam termasuk
salah satu kemaksiyatan dari sekian banyak kemaksiyatan. Allâh
Swt. telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa dengan
sangat jelas di dalam al-Qurân. Allah Swt. berfirman:

 
―Ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu.‖ (QS. an-Nisâ‟ [4]: 59)

Perintah taat kepada ulil amri disebutkan dengan sangat jelas di


dalam hadits-hadits. Dari Hushain al-Ahmasiyyah, ia pernah
mendengar Rasûlullâh Saw. bersabda,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 13


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

«
―Dengarkanlah dan taatilah walau kalian dipimpin oleh budak Habasyi
selama ia menegakkan Kitabullah ‗azza wa jalla.‖

Dari Anas berkata, ―Rasulullah bersabda,


« »
―Dengarkanlah dan taatilah walaupun kalian dipimpin oleh budak
Habasyi yang kepalanya penuh dengan bisul.‖

Ini adalah dalil wajibnya taat kepada amîr, wali, atau


‗ummal. Dari Salamah bin Abd. al-Rahman bahwa ia pernah
mendengar Abû Hurairah ra, bahwa Rasûlullâh Saw. bersabda,
»

«
―Barangsiapa taat kepadaku maka ia taat kepada Allâh, barangsiapa
bermaksiyat kepadaku maka ia bermaksiyat kepada Allâh, barangsiapa
taat kepada amîrku, maka ia taat kepadaku, barangsiapa bermaksiyat
kepada amîrku maka ia telah bermaksiyat kepadaku.‖

Dalam riwayat lain disebutkan,


« »
―Barangsiapa mentaati amîr sungguh ia telah taat kepadaku,
barangsiapa bermaksiyat kepada amîr sungguh ia telah bermaksiyat
kepadaku.‖

Jelaslah, bahwa penentangan terhadap penguasa termasuk


kemaksiyatan. Dengan demikian atas pelanggarannya akan
dikenai sanksi. Namun, syâri‘ tidak menetapkan bagi pelanggaran
ini sanksi tertentu, maka bagi qadli, ia berhak menetapkan sanksi
atas pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, sebagian dari fuqahâ‘
memasukkan mukhâlafat ke dalam bab ta‘zîr, sebab mukhâlafat

14 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

adalah sanksi atas kemaksiyatan yang belum ditetapkan kadarnya


oleh Syâri‘.
Akan tetapi yang benar adalah, mukhâlafat tidak masuk
dalam bab ta‘zîr, sebab mukhâlafat bukanlah pelanggaran
terhadap perintah Allah Swt. Sedangkan ta‘zîr khusus bagi
pelanggaran terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan
Allah Ta‘ala. Mukhâlafat tidaklah seperti ini, akan tetapi
mukhâlafat adalah pelanggaran terhadap perintah Allah Swt.
untuk taat kepada penguasa. Dengan demikian, mukhâlafat
adalah sanksi khusus yang ditetapkan oleh penguasa sesuai
dengan sanksi yang akan dijatuhkan atas pelanggaran terhadap
perintah dan larangannya. Oleh karena itu, mukhâlafat itu khusus
bagi pelanggaran terhadap perintah yang telah dibuat oleh
penguasa, maka penguasa memiliki kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi yang telah diberikan oleh syara‘ kepadanya.
Hendaknya diketahui bahwa perintah yang ditetapkan
oleh penguasa baik bentuk-bentuk perintah dan larangannya
hanya terbatas pada hal yang telah ditetapkan oleh syara‘ bagi
penguasa itu untuk mengatur sesuai dengan pendapat dan
ijtihadnya, seperti pengaturan baitul mâl, pembangunan
pemukiman, pembentukan pasukan, dan lain-lain. Hal-hal inilah
yang telah ditetapkan syâri‘ bagi penguasa agar penguasa
melaksanakannya berdasar pendapat dan ijtihadnya, dan untuk
mengeluarkan suatu perintah dalam hal itu, dan hanya dalam hal
inilah pelanggarannya dianggap sebagai kemaksiyatan.
Mengamalkan hadits,
« »
―barangsiapa bermaksiyat kepada amîrku maka ia telah bermaksiyat
kepadaku.‖,

maka hal ini masuk ke dalam mukhâlafat. Adapun selain hal ini
tidak dianggap bagian dari mukhâlafat, walaupun diperintahkan
oleh amîrul mukminin. Oleh karena itu, khalîfah tidak boleh
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.
Demikian pula tidak halal baginya menjadikan yang
mandûb menjadi wajib, atau menjadikan yang makruh menjadi
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 15
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

haram. Jika khalîfah mengerjakan hal ini ia tidak wajib ditaati,


dan pelanggaran terhadap perintah-perintahnya dalam hal ini
tidak dianggap sebagai kemaksiyatan. Maka, bila ia mewajibkan
manusia dengan suatu yang mubâh, atau mandûb, maka ia telah
mewajibkan kepada mereka, dan jika ia melarang manusia dari
sesuatu yang makruh maka ia telah mengharamkan kepada
mereka. Demikian pula, ia tidak boleh memubahkan yang haram,
atau mengharamkan yang mubah, sebab sama artinya ia telah
mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram.
Padahal hal ini telah dilarang dengan sangat jelas dalam al-
Quran, yang bersifat umum mencakup khalîfah dan bukan
khalîfah. Khalifah hanya memerintah dan melarang dalam hal
yang syara‘ telah menjadikan hak bagi khalîfah untuk melakukan
sesuatu berdasar pendapat dan ijtihadnya. Dengan demikian,
mukhâlafat terbatas hanya pada satu jenis perkara saja, yakni
perkara yang penguasa memiliki hak di dalamnya untuk mengatur
dengan pendapat dan ijtihadnya.
Ini adalah jenis-jenis ‗uqûbât, dan tidak ada jenis lainnya
secara mutlak. Semua perbuatan yang dikerjakan oleh manusia
berhak dikenai sanksi yang tercakup dalam empat jenis ‗uqûbât
ini. Sebab, kadang kala kemaksiyatan tersebut telah ditetapkan
sanksinya oleh syara‘, atau kemaksiyatan tersebut tidak ditetapkan
sanksinya oleh syara‘, kadangkala berupa penganiyaan terhadap
badan. Ini adalah ketiga perbuatan tersebut, sedangkan perbuatan
yang keempat adalah maksiyat kepada penguasa. Empat jenis
‗uqubat ini, perinciannya dibagi menjadi empat bab.

BAB I
HUDUD

Asal dari had adalah sesuatu yang memisahkan dua perkara


dan mencegah percampuran keduanya. Batas rumah adalah
sesuatu yang memisahkan rumah, batas sesuatu adalah sesuatu
yang membatasi, dan yang memisahkannya dari yang lain. Sanksi
tindakan perzinaan dan lain-lainnya dinamakan dengan had, sebab
keberadaan sanksinya telah ditetapkan oleh syara‘. Kadang hal itu
16 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

disebut dengan hudûd, sedangkan yang dimaksud adalah


kemaksiatan itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt.:
 
―Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.‖ (QS al-
Baqarah [2]:187).

Kadang-kadang hudûd disebutkan untuk syari‘at-syari‘at


Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt.

 
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri.‖ (QS ath-Thalâq [65]: 1)

Hudûd Allah adalah larangan Allah. Hudûd secara istilah


adalah sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara‘ bagi
suatu tindak kemaksiyatan untuk mencegah pelanggaran pada
kemaksiyatan yang sama. Kemaksiyatan yang sanksinya termasuk
bagian dari hudûd, yakni yang wajib dikenai sanksi had ada enam
macam; zina , liwath (homo seksual), qadzaf, syarb al-khamr (minum
khamr), pencurian, riddah, hirabah, dan bughât. Terdapat
peringatan untuk semua hudûd ini. Terdapat peringatan untuk
tindak perzinaan dalam al-Quran dan hadis. Allah Swt. berfirman:
 
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.‖ (QS al-Isrâ
[17]: 32)

Dari Abû Hurayrah ra bahwa Rasulullah Saw. bersabda,


»

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 17


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Tidaklah beriman seorang pezina jika sedang berzina, dan tidaklah


beriman peminum khamr ketika sedang minum khamr, dan tidaklah
beriman seorang pencuri ketika ia mencuri...‖.

Untuk yang melakukan praktik liwath (homo seksual) ada


peringatan dalam al-Quran dan hadis. Al-Quran menyatakan
liwath sebagai perbuatan keji. Allah Swt. berfirman:


―Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
(di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS al-A‟râf [7]: 80-
81)

Al-Quran juga menjelaskan sanksi Allah bagi kaum Luth ,


yakni bahwa Allah Swt. memberi sanksi kepada mereka dengan
khasf (dilempar batu hingga mati). Allah Swt. berfirman:


―Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka
dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS Hûd
[11]: 82)

Allah Swt. mengisahkan hal itu kepada kita untuk


mengingatkan kita. Sedangkan sunnah, telah diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ishaq dari ‗Amru bin ‗Amru dan Nabi Saw.
bahwa beliau Saw. bersabda,

18 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Terlaknatlah orang yang mengerjakan perbuatannya kaum Nabi Luth‖.

Dari Ibnu ‗Abbas berkata, ―Rasulullah Saw bersabda,


« »
―Barangsiapa yang kalian dapatkan sedang melakukan perbuatannya
kaum Nabi Luth, bunuhlah kedua pelakunya.‖

Juga ada peringatan bagi pelaku qadzaf di dalam al-Quran


dan hadis. Allah Swt. berfirman:


―Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia
dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,‖ (QS an-Nûr [24]: 23)

Dari Abû Hurayrah ra bahwa Rasulullah Saw. bersabda,


―Jauhilah tujuh hal‖. Para shahabat bertanya, ―Apakah itu Ya
Rasulullah?‖ Rasulullah Saw. menjawab, ―Menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan
riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan,
menuduh (zina) wanita yang terjaga dan mukminat‖.

Peringatan tentang larangan khamr juga ada dalam Quran


dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 19


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).‖ (QS al-
Mâidah [5]: 90-91)

Al-Quran pun telah menegaskan dalam ayat ini tentang


pengharaman khamr dan maisir dengan ta‘kid (penekanan) yang
sangat kuat; salah satunya menggunakan lafadz innama, juga
diindikasikan dengan penyembahan terhadap berhala, dan Allah
juga menyebutnya sebagai rijs (najis/menjijikan). Sebagaimana
firman Allah Swt.:
 
―maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu― (QS al-Hajj
[22]: 30)

Dalam ayat ini juga disebutkan ia termasuk bagian dari


perbuatan setan. Sementara setan (tidak) mendatangkan apa-apa
kecuali keburukan yang pasti; juga ada perintah untuk
menjauhinya, dan menjadikan kemenangan (bagi orang) yang
menjauhinya. Ini semua merupakan indikasi yang menunjukkan
bahwa perintah meninggalkannya, yakni tuntutannya bersifat
pasti. Selain itu, juga disebutkan akibat dari perbuatan tersebut,
yakni keburukan; permusuhan dan emosi dari orang yang
meminum khamr dan penjudi. Dua hal tersebut juga akan
menghalangi dari dzikir kepada Allah, serta menjaga waktu sholat.
Kesemuanya itu ditutup dengan pelarangan yang bersifat
pasti dengan shîghat istifhâm al-inkâriy (pertanyaan pengingkaran)
dengan firman-Nya, ―Fa hal antum muntahuun‖, yakni apakah
kalian tercegah. Ini adalah bentuk pelarangan yang sangat fasih.
Sebagaimana dikatakan, ―Telah datang kepada kalian sesuatu yang di

20 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dalam keduanya ada kesesatan dan keburukan, apakah kalian dengan


kesesatan dan keburukan ini kalian menjadi orang-orang yang tercegah?‖

Dari Ibnu ‗Abbas ra berkata, ―Ada seseorang jujur dari Tsaqif


dan Daud datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia menemui
Rasulullah saw pada hari penaklukan dengan onta atau minuman yang
diharamkan yang ia hadiahkan kepada Rasulullah Saw.‖ Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda, ―Ya fulan! Apakah engkau ketahui bahwa
Allah swt telah mengharamkannya? Kemudian lelaki itu memberikan
minuman itu kepada anaknya dan berkata, ―Pergilah dan juallah!‖
Rasul bersabda, ― Sesungguhnya yang diharamkan Allah meminumnya,
maka Allah mengharamkan menjualnya.‖ Kemudian ia diperintahkan
untuk menumpahkannya ke dalam parit.‖

Kemudian ada juga peringatan untuk pencurian yang


tercantum dalam al-Quran dan hadis. Allah Swt. berfirman:


Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri,‖ (QS
al-Mumtahanah [60]: 12)

Bai‘at kepada Rasul untuk tidak mencuri menjelaskan


keharaman pencurian. Dari Abû Hurayrah ra berkata, ―Rasulullah
Saw. bersabda:
« »
―Allah melaknat pencuri yang mencuri barang (baidlah), maka potonglah
tangannya; Allah melaknat pencuri yang mencuri tali maka potonglah
tangannya.‖

Yang dimaksud dengan baidlah di sini adalah barang dari besi.


Peringatan tentang tindakan riddah (murtad) juga tercantum
dalam al-Quran dan Sunnah. Allah Swt. berfirman:
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 21
Created by Pustaka Thoriqul Izzah


Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.‖ (QS al-Baqarah [2]: 217)

Di dalam hadisnya Mu‘adz, ―Bahwa ketika Rasulullah saw


mengutus Mu‘adz ke Yaman beliau berkata, ―Dari Anas, ―Bahwa
sekelompok orang dari suku ‗Ukail dan ‗Urainah menghadap Rasulullah
saw., dan menyatakan dirinya masuk Islam. Sampai di Madinah mereka
sakit. Kemudian mereka diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk
mencari unta sedekah, mereka diperintahkan untuk keluar dan
meminum air kencing dan susunya (hingga mereka sembuh), kemudian
mereka kembali hingga ketika mereka sampai di pinggir Harrah mereka
kafir setelah masuk Islam. Mereka membunuh penggembala ontanya
Rasulullah saw., dan membawa lari onta sedekah itu. Hal itu kemudian
disampaikan kepada Nabi saw. Kemudian Rasulullah saw.
memerintahkan untuk mencari posisi mereka. Setelah tertangkap, mereka
dicongkel matanya, dipotong tangan dan kakinya, sehingga darahnya
mengucur tidak tertampung, kemudian ketika sampai di Harrah mereka
kehabisan darah, dan akhirnya mereka mati.‖

Terdapat pula peringatan bagi para pelaku tindakan bughât


dan mengangkat pedang di hadapan khalifah. Allah Swt.
berfirman:


Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah..‖ (QS al-Hujurât [49]: 9)

22 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dari Amîrul Mukminîn ‗Alî bin Abî Thâlib ra berkata,


―Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ―Akan datang di akhir
zaman suatu kaum yang berbicara dengan pedang, bodoh akalnya,
mereka berkata sebagai sebaik-baik manusia, padahal imannya tidak
melebihi tenggorokkannya, mereka melepaskan agama ini sebagaimana
lepasnya anak panah dari busurnya. Dimanapun mereka kalian jumpai
bunuhlah mereka. Barangsiapa membunuh mereka baginya pahala
hingga hari kiamat.‖

Dari Nabi saw. bersabda,


« »
―Barangsiapa mengacungkan pedang kepada kami bukanlah golongan
kami.‖

Dalil-dalil dari al-Quran dan sunnah ini menunjukkan


sesungguhnya telah disebutkan peringatan bagi seluruh hudûd.
Oleh karena itu melanggar salah satu dari hudûd itu termasuk
kemaksiatan. Syâri‘ telah menetapkan had bagi kemaksiatan
tersebut, yakni sanksi tertentu (yang telah ditetapkan kadarnya
oleh Syâri‘). Dengan demikian wajib terikat dengan hudûd ini.
Had tidak dijatuhkan kecuali bagi orang yang sudah baligh
dan berakal, mengerti hukum-hukum kaum muslimin baik
muslim maupun dzimmiy. Kaum lelaka dipukul dengan cambuk
yang sedang; tidak baru dan tidak pula lama, orang yang dikenai
hudûd tidak ditelentangkan atau ditelanjangi pakaiannya ketika
had dijatuhkan. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Mas‘ud,
Dalam agama kami tidak ada penelentangan, pengikatan, juga tidak
ada penelanjangan.‖ Tidak diperkeras pemukulannya yakni tidak
memperkeras jilid, sebab yang dimaksudkan adalah mencegahnya
bukan untuk mencederainya. Pemukul juga tidak boleh
mengangkat tangannya hingga terlihat ketiaknya, dan hendaknya
berusaha untuk hanya memukul badannya dan wajib menjaga
kepala, wajah, farji, serta anggota badan yang mematikan (bila
dipukul); seperti jantung, dan buah pelir. Sebab, pemukulan
terhadap organ ini kadang-kadang bisa menyebabkan
kematiannya, atau melenyapkan fungsi organ tersebut.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 23
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Kaum wanita diperlakukan sebagaimana lelaki, akan tetapi


ia dipukul dengan posisi duduk. ‗Alî ra berkata, ―Perempuan
dipukul dengan duduk, lelaki dengan berdiri.‖ Jilid (baca: cambuk)
yang paling keras adalah jilid zina, kemudian qadzaf, lalu jilid bagi
peminum khamr, kemudian jilid ta‘zîr. Sebab, Allah Swt. telah
mengkhususkan zina dengan menambah ta‘kidnya melalui firman-
Nya:
 
Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah.― (QS an-Nûr [24]: 2).

Selain zina, jumlah jilidnya lebih ringan, dan tidak boleh


menambah-nambah sifat baginya 

HAD ZINA

Sebagian ulama menyatakan bahwa had bagi pezina laki-laki


dan perempuan adalah seratus kali jilidan (cambukan); baik bagi
pezina muhshan (sudah menikah) maupun yang ghairu muhshan
(belum menikah), berdasarkan firman Allah Swt.,


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah‖ (QS an-Nûr [24]: 2).

Mereka menyatakan bahwa tidak boleh meninggalkan al-


Quran yang qath‘iy dan yakin disebabkan adanya khabâr ahâd yang
masih mengandung kedustaan. Alasannya, hal ini akan
menyebabkan nasakh kitab dengan sunnah, padahal nasakh
semacam ini tidak diperbolehkan. Mayoritas ahli ilmu dari
kalangan shahabat dan tâbi‘în dan ulama-ulama terpandang di

24 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

setiap masa menyatakan bahwa pezina yang ghairu muhshan dijilid


sebanyak 100 kali jilidan, sedangkan pezina muhshon dirajam
hingga mati. Sebab, Rasulullah saw. telah merajam al-Ma‘iz.
Sebagaimana pula telah diriwayatkan dari Jâbir bin ‗Abdullah,
―Bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi saw
memerintahkan untuk menjilidnya, kemudian ada khabar bahwa ia
adalah muhshan, maka nabi saw memerintahkan untuk merajamnya.‖

Orang yang mengamati dalil akan melihat bahwa firman Allah


Swt.:
 
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS an-Nûr [24]: 2)

bersifat umum. Kata al-zâniyyah dan al-zâniy termasuk lafadz umum


yang mencakup muhshan maupun ghairu muhshan, sebagaimana
sabda Rasulullah saw., ―Ya Unais, temuilah wanita itu, jika ia
mengakui rajamlah dia.‖ Juga didasarkan pada fakta bahwa
Rasulullah saw. telah merajam al-Ma‘iz setelah ditanya tentang ke-
muhshanan-nya. Beliau saw. juga merajam al-Ghâmidiyyah dan
yang lainnya yang tersebut dalam hadis-hadis shahîh. Hadis-hadis
ini telah mengkhususkan ayat tersebut di atas. Dengan demikian
hadis-hadis ini telah mengkhususkan keumuman ayat di atas,
yakni bahwa lafadz ―al-zâniyyah‖ dan ―al-zâniy‖ khusus bagi ghairu
muhshan, dan dikecualikan untuk yang muhshan. Maka, hadis-hadis
itu telah mengkhususkan keumuman ayat di atas, bukan me-
nasakh al-Quran. Pengkhususan al-Quran dengan sunnah
berhukum jâiz (boleh), dan hal ini terjadi pada banyak ayat yang
datang dalam bentuk umum, kemudian ada hadis yang
mengkhususkannya.
Hukum syara‘ yang digali dari dalil-dalil syara‘, yakni al-kitab
dan as-sunnah telah menetapkan bahwa sanksi zina adalah
hukuman jilid bagi pezina ghairu muhshan sebanyak 100 kali
jilidan berdasar Kitabullah. Sedangkan sanksi pengasingan
didasarkan pada sunnah Rasulullah saw. Namun, sanksi

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 25


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

pengasingan hukumnya jâiz, bukan wajib. Sanksi pengasingan


(taghrib) diserahkan kepada khalifah.
Khalifah boleh menjilid dan mengasingkannya selama setahun
atau menjilidnya tapi tidak mengasingkannya. Akan tetapi,
khalifah tidak boleh hanya mengasingkan pezina ghairu muhshan
tapi tidak menjilidnya. Sebab, sanksi bagi pezina ghairu muhshan
adalah jilid. Adapun sanksi bagi pezina muhshan adalah
merajamnya sampai mati berdasarkan sunnah Rasulullah saw.
yang telah mengkhususkan Kitabullah. Dan boleh memberikan
sanksi bagi pezina muhshan, yakni dengan hukuman jilid dan
rajam sekaligus (disatukan). Ia dijilid terlebih dahulu baru
kemudian dirajam. Dan boleh pula dikenai sanksi rajam tanpa
menjilidnya. Akan tetapi tidak boleh hanya dikenai sanksi jilid
saja. Sebab, sanksi yang wajib dijatuhkan adalah rajam.
Adapun dalil sanksi bagi pezina ghairu muhshan adalah ayat
tentang jilid (hukuman cambuk), yakni firman Allah swt.:
 
―Pezina laki dan perempuan jilidlah masing-masing keduanya dengan
seratus kali jilid‖ (QS an-Nûr [24]: 2).

Sedangkan dalil untuk pengasingan selama setahun adalah hadis


yang banyak jumlahnya. Misalnya, dari Abû Hurayrah, ―Bahwa
Rasulullah saw. menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum
menikah diasingkan selama satu tahun, dan dikenai had kepadanya.‖

Dari ‗Ubâdah bin Shâmit berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,


―Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah akan menjadikan
jalan bagi mereka, jejaka dengan perawan jilidlah sebanyak 100 kali dan
diasingkan selama satu tahun.‖

Para shahabat telah mempraktikkan hal ini. Mereka menjilid


pezina ghairu muhshan dan mengasingkannya selama satu tahun.
Akan tetapi ada ketetapan dari Rasulullah saw. bahwa beliau
menjilid kalangan ghairu muhshan, akan tetapi tidak
mengasingkannya.

26 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dari Abû Dâwud dari Sahal bin Sa‘ad, ―Bahwa seorang laki-
laki dari Bakr bin Laits mengaku telah berzina kepada Rasulullah saw.,
sedangkan ia adalah bujangan. Rasulullah saw. kemudian menjilidnya
seratus kali. Dan beliau meminta bukti atas wanita tersebut. Jika wanita
itu mendustakannya dan tidak ada bukti apapun, maka Nabi saw
menjilid pezina laki-laki itu dengan had dusta (qadzaf) sebanyak 80 kali
jilid.‖

Dalam hadis tersebut Rasulullah saw. menjilid pezina laki-laki itu


namun beliau saw. tidak mengasingkannya. Selain itu ada hadis
lain yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ―Jika
budak wanita kalian berzina maka jilidlah ia.‖ Hal ini menunjukkan
bahwa taghrib (pengasingan) hukumnya adalah jaiz (boleh), bukan
wajib. Khalifah boleh menjilid dan mengasingkan, atau menjilid
saja tanpa mengasingkan. Sebab, Rasulullah saw. pernah menjilid
dan mengasingkan pezina ghairu muhshan; beliau juga pernah
menjilid tanpa mengasingkan.
Akan tetapi yang menjadikan had bagi pezina ghairu muhshan
adalah pengasingan selama satu tahun dan hukuman jilid--padahal
hadis-hadis yang menerangkan hal tersebut (seakan) saling
bertentangan; kebanyakan dari hadis-hadis tersebut menyebutkan
bahwa Rasulullah saw. menjilid dan mengasingkan pezina ghairu
muhshan. Dalam hadis yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah
saw. menjilid pezina ghairu muhshan tanpa mengasingkan—adalah
had yang didapatkan dari menggabungkan had yang terdapat
dalam hadis-hadis tersebut di atas. Tidak bisa dikatakan pada
hadis, ―Jika budak wanita di antara kalian berzina‖
Dan pada hadis Sahal bin Sa‘ad, bahwa hadis-hadis ini
ditetapkan sebelum disyari‘atkannya taghrib (pengasingan). Sebab,
tidak ada ketetapan bahwa hadis-hadis tentang taghrib lebih
dahulu muncul daripada hadis-hadis tentangan ketiadaannya
taghrib. Konteks historis semacam ini tertolak. Dengan demikian,
tidak ada satupun hadis yang diketahui diturunkan sebelum hadis
yang lain. Oleh karena itu, ini telah menafikan adanya nasakh
(penghapusan). Selain itu juga tidak ada hadis yang marjuh

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 27


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

(dikuatkan daripada hadis yang lain) dibandingkan dengan yang


lain.
Oleh karena itu keduanya (baik hukuman jilid maupun
taghrib) bisa diamalkan. Akan tetapi beliau saw. pernah
meninggalkan had taghrib sekali. Perbuatan Rasul sekali ini sebagai
qarînah (indikasi) bahwa taghrib berhukum jâiz (boleh), bukan
wajib. Dengan demikian hadis yang menyebutkan lafadz
tambahan, memang matan-nya telah ditambah, akan tetapi lafadz
tambahan (taghrib) yang terdapat pada hadis itu berhukum jâiz,
bukan wajib. Yang wajib adalah apa yang disebutkan pada seluruh
hadis, baik yang ada lafadz tambahannya ataupun yang tidak,
yakni apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah saw. pada setiap
hadis, yaitu bahwa beliau saw. tidak pernah meninggalkan
pelaksanaan hukuman jilid secara mutlak. Khalifah boleh
melaksanakan taghrib atau tidak sebagaimana yang disebutkan
pada sebagian hadis dan yang tidak disebutkan dalam hadis lain,
yakni apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. serta apa
yang pernah beliau saw. tinggalkan, yakni taghrib.
Sanksi taghrib dan jilid dilakukan secara bersamaan
sebagaimana pernah terjadi pada masa shahabat. Para shahabat
adalah orang yang paling tahu tentang sumber-sumber syara‘.
Umar pernah mengasingkan pezina ghairu muhshan dari Madinah
ke Syam. Utsman mengasingkan pezina ghairu muhshan dari
Madinah ke Mesir. Ibnu Umar mengasingkan rakyatnya yang
berzina ke Fidak. Taghrib yang disebutkan di dalam hadis menurut
definisi syara‘ adalah mengeluarkan pezina dari tempat tinggalnya
ke tempat yang sangat jauh jaraknya. Definisi ini telah ma‘ruf di
kalangan shahabat.
Dalil sanksi bagi pezina muhshan terdapat dalam hadis-
hadis yang sangat banyak jumlahnya. Dari Abû Hurayrah dan Zaid
bin Khâlid bahwa keduanya berkata bahwa seorang laki-laki dari
Arab datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, ―Ya Rasulullah,
demi Allah sudikah engkau menghukumku dengan Kitabullah?
Kemudian berkata pula laki-laki yang berperkara dengan lelaki
pertama,‖Benar ya Rasulullah, putuskanlah perkara kami ini
berdasarkan Kitabullah dan perkenankan aku ini‖ Nabi saw

28 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menjawab, ―Katakan (apa masalahnya)‖. Lelaki yang kedua


menjawab,―Anakku adalah pekerja upahannya (lelaki pertama). Lalu
anakku berzina dengan isterinya. Aku diberitahu bahwa terhadap
putraku harus dijatuhkan hukuman rajam. Untuk itu aku telah
menebusnya dengan seratus ekor kambing yang belum punya anak dan
seekor kambing yang sudah beranak. Kemudian aku bertanya kepada
ahli ilmu dan ia memberitahuku bahwa terhadap putraku itu jilid 100
kali dan diasingkan selama satu tahun, dan terhadap wanita itu rajam‖.
Rasulullah saw. bersabda,
»

« 
―Demi Dzat yang aku ada di tangan-Nya, aku akan memutuskan
perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah.‖ Seekor kambing
dan 100 ekor kambing itu harus dikembalikan; dan terhadap anakmu
jilidlah 100 kali dan asingkan selama satu tahun. Ya Unais –shahabat
dari suku Aslam—temuilah wanita itu, jika ia mengaku maka rajamlah
dia. Kemudian keduanya menemui wanita itu dan wanita itu
mengakuinya. Maka Rasulullah saw memerintahkan untuk
merajamnya.‖

Al-‗Asîf adalah al-ajîr (pekerja). Rasulullah saw.


memerintahkan untuk merajam pezina muhshan dan beliau saw.
tidak menjilidnya. Dari Sya‘biy, ―Bahwa ‗Alî ra ketika merajam
seorang wanita, beliau menjilid wanita itu hari Kamis dan merajamnya
pada hari Jum‘at. Dan ‗Ali ra berkata, ―Aku menjilidnya berdasarkan
Kitabullah dan aku merajamnya atas dasar sunnah Rasulullah saw.‖
Dari ‗Ubâdah bin Shâmit berkata, ―Rasulullah saw bersabda,
»

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 29


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah akan menjadikan


jalan bagi mereka. Jejaka dengan perawan jilidlah 100 kali dan
asingkanlah selama satu tahun. Untuk janda dan duda jilidlah 100 kali
dan dirajam.―

Rasulullah saw. menyatakan bahwa sanksi bagi pezina muhshan


adalah hukuman jilid dan rajam. ‗Alî ra menjilid pezina muhshan
dan merajamnya. Dan dari Jâbir bin Samrah bahwa Rasulullah saw.
merajam Mâ‘iz bin Mâlik dan tidak disebutkan sanksi jilid.― Dalam
shahih Bukhâri dari Sulaiman bin Buraidah bahwa Nabi saw.
telah merajam al-Ghâmidiyyah dan tidak disebutkan sanksi jilid.
Dan dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi saw. telah
memerintahkan seorang wanita Juhainah untuk tetap
mengenakan pakaiannya kemudian beliau saw. memerintahkan
merajamnya dan tidak disebutkan jilid. Hal ini menunjukkan
bahwa Rasulullah saw. merajam pezina muhshan tanpa
menjilidnya, dan beliau saw bersabda, ―Duda dengan janda jilid dan
rajamlah.‖ Ini menunjukkan bahwa rajam hukumnya wajib,
sedangkan jilid hukumnya jâiz (boleh). Dan hal ini diserahkan
kepada pendapat Khalifah.
Adapun yang menjadikan had bagi pezina muhshan, jilid
dan rajam, adalah penggabungan diantara hadis-hadis yang ada.
Tidak bisa dikatakan bahwa hadis Samrah yang menyatakan
bahwa Rasulullah saw. tidak menjilid Mâ‘iz akan tetapi beliau
hanya merajam al-Ma‘iz telah menghapus (nasakh) hadis ‗Ubâdah
bin Shâmit yang menyatakan, ―Duda dengan janda jilidlah 100 kali
dan rajamlah.‖ Tidak bisa dikatakan demikian, sebab tidak ada
penetapan yang menunjukkan bahwa hadis Mâ‘iz lebih akhir
daripada hadis ‗Ubadah bin Shamit.
Dengan tidak adanya ketetapan mana hadis yang lebih
terakhir bukan berarti pengabaian penyebutan sanksi jilid
diterima karena kesia-siannya, dan sebagai penghapus hukumnya.
Akan tetapi tidak adanya ketetapan mana hadis yang lebih dahulu
dan mana yang terakhir dari dua hadis itu telah menafikan nasakh.
Selain itu tidak ada salah satu hadis yang marjuh dari kedua hadis
tersebut. Maka tambahan yang terdapat dalam hadis-hadis rajam

30 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dianggap sebagai perkara yang jâiz bukan wajib, sebab yang wajib
adalah rajam. Lebih dari itu, khalifah boleh memilih
menggabungkan diantara hadis-hadis tersebut.
Muhshan adalah seseorang yang menikah dalam suatu
ikatan nikah yang sah, merdeka, baligh, dan berakal. Ini adalah
definisi muhshan pada bab zina. Selain ini tidak dianggap muhshan.
Sanksi jilid dan rajam disyaratkan harus menghindari syubhat
(kekaburan); ia harus mengetahui bahwa zina adalah haram,
pelaku mengerjakan atas pilihannya sendiri, tidak dipaksa dengan
pemaksaan yang dapat membahayakan jiwa atau anggota tubuh
(mulji‘); telah baligh dan berakal. Dengan demikian, tidak ada had
bagi anak kecil; orang gila dan mabuk; dan bukan karena
kehendaknya. Zina ditetapkan dengan saksi zina yang telah
disebutkan di dalam dalil-dalil syara‘. Sebagaimana diriwayatkan
dari Abû Hurayrah berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,
« »

dan dari aisyah berkata, bahwa rasulullah saw bersabda:


»

«
―Hindarilah hudûd dari kaum Muslim semampu kalian, maka jika ada
jalan keluar maka mudahkanlah jalannya. Sesungguhnya imam yang
salah dalam pengampunannya lebih baik daripada imam yang salah
dalam menjatuhkan sanksi (‗uqubat).‖

Dari ‗Alî ra diriwayatkan secara marfu‘, ―Tinggalkan hudûd


karena syubhat.‖ Oleh karena itu orang yang dipaksa dengan
pemaksaan mulji‘an, perbuataannya tidak dijatuhi had,
berdasarkan sabda Rasulullah, ―Diangkat pena dari umatku ketidak-
sengajaan dan kelupaan, dan karena dipaksa.‖ Selain itu juga
didasarkan pada kenyataan bahwa Rasulullah saw. tidak
menjatuhkan sanksi bagi pezina kecuali setelah terbukti bahwa ia
telah berzina.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 31


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dan ketika zina telah terbukti, maka dengan segera had


wajib dilaksanakan dan tidak boleh diundur-undur, serta tidak
boleh ada rasa belas kasihan dalam melaksanakan hukumannya.
Dari Abû Hurayrah dari Nabi saw. berkata,
« »
―Had yang diberlakukan di muka bumi lebih baik bagi penduduk bumi
daripada dijatuhkan hujan kepada mereka selama 40 pagi.‖

Dan dari Ibnu ‗Umar dari Nabi saw. berkata,


« »
―Barangsiapa memberikan pengampunan tanpa menjatuhkan had dari
hudûd Allah, maka ia adalah penentang perintah Allah.‖

Akan tetapi bila orang yang hendak dijatuhi had sakit, maka had
ditunda sampai ia sembuh dari sakit, dengan catatan jika
kesembuhannya bisa diharapkan. Namun jika si sakit
kesembuhannya tidak bisa diharapkan ia dipukul dengan pukulan
ringan yang ia mampu menanggungnya. Dari Abî Um^amah Ibnu
Sahal dari Sa‘id bin Sa‘ad bin ‗Ubâdah berkata, ―Diantara rumah-
rumah kami ada lelaki yang sangat lemah karena sakit dan tidak terurus
hidupnya, kemudian datang seorang jariah kepadanya dan ia memberi
isyarat kepada jariah itu, kemudian ia melakukan kekejian dengan
wanita itu.‖ Hal itu kemudian disampaikan Sa‘ad bin ‗Ubâdah kepada
Rasulullah saw., sedangkan lelaki itu adalah seorang Muslim. Kemudian
Rasulullah saw. bersabda,―Pukullah dia sebagai hadnya‖. Para
shahabat berkata, ―Ya Rasulullah, lelaki itu sangat lemah. Seandainya
kami memukulnya 100 kali tentu ia akan mati.‖ Kemudian Rasulullah
saw bersabda, ―Ambillah pelepah kurma yang di dalamnya terdapat 100
buah tangkai, kemudian pukullah dia sekali pukulan.‖ Rasulullah saw.
bersabda, ‖Laksanakan!‖

Hadis ini menunjukkan bahwa orang lemah yang tidak


mampu menanggung had baik lemah karena sakit yang tidak bisa
diharapkan kesembuhannya, atau lemah karena fitrah, maka ia
dipukul dengan pukulan yang ringan. Dan telah disebutkan dalam
32 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

riwayat lain, ―Seandainya kami melaksanakan perintahmu, sungguh


tulangnya akan berantakan, dan dia hanya tinggal kulit yang menempel
di tulangnya.‖

Orang yang lemah harus dijatuhi had dengan had yang ringan.
Orang sakit termasuk orang yang lemah. Maka mafhum hadis
tersebut adalah jika ia bisa kuat setelah lemah, dan sembuh dari
sakitnya, maka ditunggu, sampai had yang telah ditetapkan bisa
dijatuhkan.
Pelaksaan had untuk wanita hamil ditunggu sampai ia
melahirkan. Demikian pula wanita menyusui ditunggu sampai
menyapih anaknya. Dari ‗Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya
berkata, ―Telah datang kepada Rasulullah saw., al-Ghamidiyyah dan ia
berkata, ―Ya Rasulullah saw., aku telah berzina, sucikanlah aku!‖ Beliau
saw. menolaknya. Besoknya ia berkata, ―Wahai Rasulullah jangan
engkau menolak aku, semoga engkau merehabilitasi aku sebagaimana
engkau merehabilitasi al-Mâ‘iz. Demi Allah saya telah hamil. Rasulullah
saw. bersabda, ―Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.‖

Ketika ia telah melahirkan ia mendatangi Rasulullah saw. dengan


anaknya yang ada di gendongan, dan ia berkata, ―Ini adalah
anakku.‖ Rasulullah saw bersabda,‖Pergi, dan susuilah sampai engkau
menyapihnya!‖ Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi
Rasulullah saw. dengan anaknya yang membawa sepotong roti.

―Ya Nabiyullah, saya telah menyapihnya, dan ia sudah bisa memakan


makanan. Lalu, anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari
kaum Muslim. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan menanam
wanita itu hingga dadanya, kemudian memerintahkan manusia untuk
merajamnya.‖

Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita hamil


ditunggu sampai ia melahirkan, dan wanita yang menyusui
ditunggu hingga ia menyapih anaknya.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 33


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Pembuktian Zina
Zina terbukti dengan salah satu dari tiga perkara di bawah ini;
Pertama, pengakuan, yakni pengakuan dari pezina
sebanyak empat kali dengan pengakuan yang jelas, dan ia tidak
menarik kembali pengakuannya sampai dilaksanakan had
kepadanya. Jika ia menarik pengakuannya atau ia melarikan diri
maka akan dibiarkan. Dalilnya adalah sebagaimana diriwayatkan
dari Abû Hurayrah ra berkata, ―Seorang laki-laki dari Suku Aslamiy
mendatangi Rasulullah saw. yang saat itu ada di masjid. Orang itu
memanggil Rasulullah saw., dan berteriak, ―Ya Rasulullah saya telah
berzina.‖ Rasulullah saw. mengabaikan perkataan orang itu, hingga laki-
laki itu mengulang sampai empat kali. Setelah orang itu bersaksi
sebanyak empat kali, Rasulullah saw. memanggil lelaki itu dan
bertanya, ―Apakah engkau gila?‖ Lelaki itu menjawab,‖Tidak!‖ Rasul
bertanya lagi,‖Apakah engkau pernah kawin?‖ Lelaki itu
menjawab,‖Ya, sudah!‖ Lalu Nabi saw. bersabda,‖Bawalah lelaki ini,
dan rajamlah!‖

Dari ‗Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya bahwa Mâ‘iz


bin M^alik al-Aslamiy mendatangi Rasulullah saw. dan berkata,
―Ya Rasulullah saya telah berzina, dan saya ingin anda mensucikan
saya.‖ Namun Rasulullah saw. menolaknya. Besoknya ia
mendatangi Rasulullah saw. dan berkata,‖Ya Rasulullah saya telah
berzina.‖ Rasulullah saw menolaknya untuk kedua kalinya.
Rasulullah saw kemudian mengirim utusan kepada kaum lelaki itu dan
menanyakan,‖Apakah lelaki itu tidak waras akalnya? Mereka
menjawab,‖Tidaklah kami ketahui tentang dia kecuali sehat akalnya.‖
Kemudian lelaki itu mendatangi Rasulullah saw. untuk yang ketiga
kalinya. Beliau saw. kemudian mengutus kembali seorang utusan untuk
menanyakan kepada kaumnya tentang orang itu. Dan mereka
mengabarkan bahwa orang itu sehat, dan waras akalnya. Ketika lelaki
itu datang yang keempat kalinya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk
menanam orang itu, kemudian beliau memerintahkan untuk merajam
orang tersebut.‖
Dari ‗Abdullâh bin Buraidah dari bapaknya berkata,
―Telah datang kepada Rasulullah saw., al-Ghâmidiyyah dan ia berkata,

34 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Ya Rasulullah saw., aku telah berzina, sucikanlah aku!‖ Beliau saw.
menolaknya. Besoknya ia berkata lagi, ―Wahai Rasulullah mengapa
engkau menolak aku, semoga engkau menolak aku sebagaimana engkau
menolak Ma‘iz. Demi Allah saya telah hamil. Rasulullah saw.
bersabda, ―Jangan, pulanglah sampai engkau melahirkan.‖ Ketika ia
telah melahirkan ia mendatangi Rasulullah saw. dengan anaknya
yang ada di gendongan, dan ia berkata, ―Ini adalah anakku.‖
Rasulullah saw. bersabda, ‖Pergi, dan susuilah sampai engkau
menyapihnya!‖ Ketika ia telah menyapihnya ia mendatangi
Rasulullah saw. sambil membawa anaknya yang sedang
menggenggam sepotong roti. Ia kemudian berkata, ―Ya Nabiyullah,
saya telah menyapihnya, dan ia sudah bisa memakan makanan. Lalu,
anak itu diberikan kepada salah seorang laki-laki dari kaum Muslim.
Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan menanam wanita itu hingga
dadanya, lalu memerintahkan manusia untuk merajamnya.‖
Perkataan beliau saw. di dalam hadis ini, ‖Jangan.
Pulanglah!‖, bermakna, jika kamu enggan menggadaikan jiwamu, maka
bertaubatlah dari perkataanmu; maka pulanglah sampai engkau
melahirkan, dan engkau akan dirajam setelah itu. Imma di sini, huruf
hamzahnya dikasrah dan mimnya ditasydid. Ini sebagai bukti bahwa
rajam ditetapkan berdasarkan pengakuan sebanyak empat kali.
Akan tetapi bila pengaku zina menarik kembali pengakuannya
dan melarikan diri ketika dirajam, maka dibiarkan.
Dari Abû Hurayrah bahwa Mâ‘iz ketika ia merasakan sakit
terkena lemparan batu, dan takut mati, ia melarikan diri, dan
menarik kembali pengakuannya, sampai kemudian ada seorang
laki-laki dengan tulang dagu onta mengejar dan memukulnya
hingga mati. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw., bahwa
Mâ‘iz melarikan diri ketika merasakan sakitnya lemparan batu,
dan takut mati. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‖Mengapa tidak
engkau biarkan saja.‖ Demikianlah, rajam bisa ditetapkan dengan
pengakuan.
Dari Sahal bin Sa‘ad bahwa seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah saw. dan berkata, bahwa ia telah berzina
dengan seorang perempuan tertentu. Mendengar hal itu
Rasulullah saw. mengirimkan utusan kepada wanita itu untuk

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 35


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memanggilnya. Kemudian beliau saw. menanyai wanita itu dan


ternyata wanita itu menyangkal. Beliau saw. kemudian berkata,
‖Wanita itu telah mengingkari, maka jatuhkanlah had kepada lelaki
itu, dan biarkanlah wanita itu.‖
Sebenarnya, pengakuan zina cukup sekali saja, tidak perlu
empat kali. Dalil untuk hal ini adalah apa yang telah disebutkan
dalam hadis ‗Abdullâh bin Buraidah yang telah disebutkan
sebelumnya. Hadis itu menunjukkan bahwa Rasulullah saw.
merajam seorang wanita sebelum pengakuannya yang keempat.
Dan juga pada hadis Jâbir, ‖Bahwa Rasulullah saw. mendapatkan
seorang laki-laki yang mengaku telah berzina dengan seorang perempuan,
kemudian beliau saw. memerintahkan untuk menjilid laki-laki itu sebagai
had, tetapi kemudian (ada yang memberi tahu) bahwa lelaki itu
muhshan, maka kemudian beliau merajamnya.‖

Dan hadis Sahal bin Sa‘ad yang telah disebutkan di muka


menyatakan bahwa seorang laki-laki mengaku sekali dan
Rasulullah saw. menjatuhkan had kepadanya. Hadis-hadis ini
membuktikan bahwa pengakuan sekali sudah cukup untuk
menetapkan zina.
Adapun pengulangan pengakuan sampai empat kali yang
disebutkan dalam hadis-hadis lain, dan juga perkataan Rasulullah
saw., ―Bersaksilah kepada dirimu sendiri empat kali‖, demikian pula
hadis-hadis yang lain, maka hadis-hadis tersebut tidak
menunjukkan bahwa syarat pengakuan zina harus empat kali, hal
itu hanya menunjukkan penegasan pengakuan saja, serta
menunjukkan bolehnya mengakhirkan had zina setelah adanya
pengakuan, dan tidak menunjukkan bahwa syarat pengakuan zina
harus empat kali. Selain itu telah ditetapkan bahwa Rasulullah
saw. menjatuhkan had hanya dengan satu kali pengakuan. Ini
diperkuat dengan apa yang disebutkan dalam hadis Ghâmidiyyah
yang telah disebutkan sebelumnya; sebab, wanita itu berkata,
‖Wahai Rasulullah mengapa engkau menolak aku? Semoga engkau
menolak aku sebagaimana engkau menolak Ma‘iz,‖ dan Rasulullah
saw. tidak mengingkari wanita itu. Seandainya pengulangan empat
kali dalam pengakuan zina sebagai syarat, maka Rasulullah akan

36 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

berkata demkkian kepada wanita itu, ―sesungguhnya aku menolaknya


karena ia tidak mengaku sebanyak empat kali.‖ Ini semua
menunjukkan bahwa pengulangan empat kali dalam pengakuan
bukanlah syarat. Dengan kata lain, pengakuan sekali saja sudah
cukup untuk menjatuhkan had.
Kedua, perzinaan harus disaksikan di tempat yang sama,
secara simultan, oleh empat orang lelaki Muslim yang adil, dan
menyaksikan perzinaan itu dengan jelas. Persyaratan empat saksi
bagi zina tidak ada perbedaan di dalamnya, berdasarkan firman
Allah Swt.:
 
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya).‖ (QS an-Nisâ` [4]: 15)

Serta firman Allah Swt.:



Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (QS an-Nûr [24]:
4)


Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.‖
(QS an-Nûr [24]: 13)

Sa‘ad bin ‗Ubâdah berkata kepada Rasulullah saw., ‖Apa


pendapatmu, seandainya saya mendapati isteriku bersama dengan lelaki,
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 37
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

lalu aku membiarkannya sampai datang empat orang saksi?‖ Rasulullah


saw berkata, ‖Benar.‖ Dalil-dalil ini menunjukkan dengan qath‘iy
bahwa saksi perzinaan harus empat orang laki-laki, dimana mereka
semua menyaksikan dengan jelas, dan melihat dengan rinci
aktivitas perzinaan itu. Jika jumlah saksinya tidak memenuhi
empat orang, maka perzinaan itu tidak terbukti. Jika salah seorang
dari saksi itu tidak melihat dengan rinci perzinaan itu, atau
melihatnya namun tidak jelas, maka perzinaan itu tidak terbukti.
Sebab pembuktian zina disebutkan dengan nash yang sangat jelas,
sehingga harus terikat dengan nash tersebut.
Ketiga, hamil, yakni terjadinya kehamilan. Jika seorang
wanita hamil sementara dia tidak memiliki suami, maka ia harus
dikenai had. Ini berdasarkan perkataan ‗Umar, ‖Rajam wajib
ditegakkan bagi semua orang yang berzina baik laki-laki maupun
perempuan jika mereka muhshan, jika ada bukti, atau terjadi
kehamilan dan pengakuan.‖ Diriwayatkan dari ‗Alî ra bahwa beliau
berkata, ‖Wahai manusia, zina itu ada bermacam-macam, ada zina
sembunyi-sembunyi, dan yang terang-terangan. Zina sembunyi-sembunyi
adalah zina yang disaksikan oleh para saksi, maka orang yang
menyaksikan akan menjadi orang yang pertama kali melemparnya, zina
terang-terangan adalah terjadinya kehamilan, atau pengakuan, maka
khalifah menjadi orang yang pertama kali melemparnya.‖ Dan ini
adalah pendapat dari pemuka shahâbat, dan tidak ada seorangpun
yang menentang hal itu di masa para shahâbat. Padahal perkara
ini bisa mereka ingkari, namun tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya, maka hal ini termasuk ijma‘ (kesepakatan).
Akan tetapi, pada kondisi hamil, had tidak diberlakukan bagi
seorang wanita jika telah terbukti sebab kehamilannya. Karena hal
ini telah menjadikan syubhat, padahal hudûd harus ditinggalkan
bila ada syubhat. Bila seorang wanita mengatakan bahwa ia hamil
karena masuknya sperma ke farjinya tanpa perzinaan, baik karena
perbuatannya maupun perbuatan orang lain; atau bila ia berkata
bahwa ia telah dipaksa untuk zina dengan pemaksaan yang berat,
atau ia menyatakan sebab kehamilan yang lain yang menjadikan
syubhat maka had kepadanya dibatalkan dan tidak
diselenggarakan. Sa‘îd meriwayatkan, telah meriwayatkan kepada

38 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kami Khalaf bin Khalîfah, telah meriwayatkan kepada kami,


Hasyim, ‖Bahwa seorang wanita dilaporkan kepada ‗Umar bin
Khaththab, dimana wanita itu tidak memiliki suami, akan tetapi ia
hamil.‖ ‗Umar bertanya kepada wanita itu, dan wanita itu
menjawab, ‖Waktu itu saya sakit kepala berat, kemudian seorang laki-
laki mendatangi aku sedangkan aku saat itu sedang tidur, dan ketika
aku bangun ia telah pergi. Lalu ‗Umar membatalkan hudûd kepada
wanita itu.‖ Barâ‘ bin Shabrah meriwayatkan dari ‗Umar,
‖Dihadapkan kepada ‗Umar seorang wanita hamil. Wanita itu
menyatakan bahwa ia telah dipaksa. Maka ‗Umar berkata,
―Mudahkanlah jalannya.‖ Dan ‗Umar menulis surat kepada pemimpin
kota untuk tidak membunuh seseorang kecuali dengan ijinnya.‖
Perbuatan ‗Umar ini walaupun bukan dalil, akan tetapi perbuatan
‗Umar itu adalah hukum syara‘, dan boleh mengikuti ‗Umar
dalam masalah ini, yaitu khalifah boleh memerintahkan untuk
tidak menghukum bunuh setelah sempurna sebab hukumnya
kecuali atas ijinnya.
Ini adalah saksi perzinaan, dan zina tidak terbukti dengan
bukti-bukti lain. Sebab, bukti zina tidak termasuk ke dalam nash-
nash tentang persaksian, juga tidak tercakup dalam nash-nash
tentang pembuktian, akan tetapi ia adalah bukti khusus untuk
perkara tertentu. Pembuktian zina dianggap bagian yang tidak
terpisahkan dari hukum-hukum tentang had zina, dan ia adalah
nash yang wajib terikat dengan nash tersebut. Oleh karena itu zina
tidak terbukti dengan persaksian seorang dokter atas keperawanan
seseorang, bahwa ternyata ia adalah janda, atau ia telah berzina,
atau bersetubuh, atau yang semisal dengan itu. Demikian pula
bahwa zina tidak terbukti dengan persaksian seorang bidan. Zina
pun tidak bisa dibuktikan dengan apapun kecuali dengan salah
satu dari tiga pembuktian di atas, walaupun qadliy mensahkan
perzinaan itu.
Sebab yang dimaksud dengan pembuktian zina bukanlah
iqamât al-imârah (adanya tanda/indikasi) atas zina, atau perkara
yang ditetapkan oleh qadliy sebagai kejadian perzinaan, atau
tercapainya penerimaan (qana‘ah) dari qadli bahwa perzinaan itu
telah terjadi. Akan tetapi yang dimaksud dengan pembuktian zina

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 39


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

adalah pembuktian perzinaan dengan bukti yang khusus (al-


bayyinah al-makhshusah), bukan hanya pembuktian terhadap
perzinaan saja, namun pembuktiannya dengan suatu bayyinah yang
khusus. Oleh karena itu kita mendapati bahwa Rasulullah saw.
tidak menjatuhkan had kepada seorang perempuan dikarenakan
tidak adanya bukti.
Dari Ibnu ‗Abbas berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,
»

«
‖Seandainya aku boleh merajam seseorang tanpa adanya bukti, tentu
aku rajam wanita itu, namun ada keraguan pada wanita itu dalam hal
tempat, kejadiannya, dan siapa yang menzinainya.‖

Dari Ibnu ‗Abbas ra, ‖Bahwa Rasulullah saw. menolak menjatuhkan


had antara seorang ‗ijlaniy dan wanitanya. Sadad bin al-Hâdiy berkata
bahwa ia adalah wanita yang Rasulullah saw. bersabda kepadanya,
‖Seandainya aku boleh merajam wanita itu tanpa ada bukti, sungguh
aku akan merajamnya.‖ Beliau bersabda,‖Sungguh wanita itu telah
mengetahui tentang perzinaan di dalam Islam.‖

Dalam lafadz Bukhâri, ‖Ia telah mengetahui bahwa zina


adalah keburukan dalam Islam.‖, yakni bahwa wanita itu telah
mengetahui bahwa zina adalah tindak kekejian namun hal itu
tidak bisa dibuktikan dengan bayyinah zina, atau dengan
pengakuan dari wanita itu. Selain itu, tersebut dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‗Abbas tentang qadzaf-nya (tuduhan zina)
Hilal bin Umayyah kepada isterinya dengan Syarik bin Samhâ‘, dan
turunnya ayat tentang li‘an. Rasulullah saw. kemudian pergi dan
mengutus utusan kepada keduanya. Kemudian datanglah Hilal, dan
bersaksi kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw.
bersabda,‖Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui bahwa salah seorang
diantara kamu pembohong, adakah salah satu dari kalian yang ingin
bertaubat?‖ Kemudian wanita itu berdiri dan bersaksi. Ketika sampai
kelima kalinya kaumnya menghentikannya seraya (kaumnya)
mengatakan bahwa sumpahnya pasti diterima. Lalu isteri Hilal tampak
40 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira ia akan menarik


sumpahnya. Kemudian wanita itu (isteri Hilal) berkata, ―Saya tidak
mau mencoreng kaumku dengan sepanjang masa.‖ Kemudian
Rasulullah saw. bersabda, ‖Perhatikan dia. Jika nanti anaknya hitam
seperti celak matanya, besar...., dan padat kedua pahanya, berarti ia
keturunan Syarik bin Samhâ‘.‖ Dan anak tersebut lahir seperti itu.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‖Jika bukan karena telah ada
ketentuan lebih dulu dalam al-Quran, tentu aku akan selesaikan
urusannya dengannya.‖1
Pada kisah ini tampak imarah (tanda) yang sangat jelas
bahwa wanita itu berzina, dan Rasulullah juga telah menerima
(qana‘ah) bahwa wanita itu adalah pezina, namun beliau tidak
menjatuhkan had kepada wanita itu. Sebab zina tidak sekadar
dibuktikan dengan pembuktian syar‘iyyah yang disebutkan dalam
al-Quran saja, dan hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa
Rasulullah saw. tidak menjatuhkan had kepada seseorang kecuali
jika zina bisa dibuktikan dengan pembuktian zina; yakni
pengakuan, empat orang saksi, dan kehamilan 

HAD LIWÂTH (HOMOSEX)

Sanksi liwâth (homoseksual) berbeda dengan sanksi zina. Sebab


zina berbeda dengan liwâth. Fakta liwâth berbeda dengan fakta
zina. Dengan kata lain, masing-masing antara keduanya berbeda.
Liwâth bukanlah termasuk salah satu jenis dari perzinaan,
sehingga dikatakan bahwa liwâth masuk ke dalam keumuman
dalil-dalil syara‘ yang menyebut tentang perzinaan. Sebab, zina
adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam farjinya perempuan,
sedangkan liwâth adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam
duburnya laki-laki. Masuknya kelamin ke farji berbeda dengan

1
Maksudnya, jika suami penuduh tidak bisa mendatangkan saksi, maka suami
dihukum dera. Namun jika ia mau mula‘anah maka tidak dihukum dengan
dera.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 41
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

masuknya kelamin ke dubur. Oleh karena itu liwâth berbeda


dengan zina.
Liwâth juga tidak bisa diqiyaskan dengan zina, sebab nash
yang menerangkan tentang perzinaan tidak mengandung ‗illat
sehingga qiyas dengan seluruh jenis ‗illat menjadi sah. Selain itu
mendatangi wanita pada duburnya tidak disebut dengan liwâth
dan tidak pula dinamakan dengan liwâth, sebab liwâth bukan
hanya memasukkah kelamin ke dubur akan tetapi liwâth adalah
hubungan kelamin laki-laki dengan laki-laki, yakni masuknya
kelamin laki-laki ke dubur laki-laki. Dengan demikian zina
berbeda dengan liwath, dan tidak bisa diqiyaskan dengan zina.
Adapun hadis, ‖Jika seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang
lain keduanya adalah pezina, jika seorang perempuan mendatangi
perempuan lainnya keduanya adalah pezina.‖

Di dalam isnad hadis ini ada Mohammad bin Abd al-Rahman.


Abû Hâtim mendustakannya. Baihaqi berkomentar, ―Saya tidak
mengetahuinya dan hadisnya mungkar.‖ Seandainya
keshahihannya diakui maka maksud dari hadis tersebut adalah
tasybih (penyerupaan), yakni seperti orang-orang zina. Dengan
bukti, tidak ada ketetapan dari Rasulullah saw. bahwa beliau
merajam pada kasus liwâth dan menghukumi liwâth seperti hukum
zina.
Adapun ketetapan Rasulullah saw menyebutkan,
« »
Bunuhlah kedua pelakunya.

Bila perkataan beliau2 ini bermakna hakiki, tentunya had liwâth


akan sama dengan had zina. Demikian pula bahwa hadis yang
meriwayatkan tentang sanksi rajam bagi pelaku liwâth telah
menetapkan sanksi rajam bagi jejaka atau perawan (al-bikr), yakni

2
Yakni perkataan Rasulullah saw. ,‖ Jika seorang laki-laki mendatangi laki-
laki yang lain keduanya adalah pezina, jika seorang perempuan mendatangi
perempuan lainnya keduanya adalah pezina.‖
42 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

merajam pelaku liwâth baik muhshan maupun ghairu muhshon.3 Ini


berarti bahwa hukum liwâth berbeda dengan hukum zina. Semua
ini menunjukkan bahwa sanksi liwâth berbeda dengan sanksi zina.
Adapun hukum syara‘ dalam sanksi liwâth adalah bunuh;
baik muhshan maupun ghairu muhshan. Setiap orang yang terbukti
telah melakukan liwâth, keduanya dibunuh sebagai had baginya.
Dalil yang demikian itu adalah sunnah dan ijma‘ shahabat.
Adapun sunnah, dari ‗Ikrimah dari Ibnu ‗Abbâs ra berkata,
―Rasulullah saw. bersabda,
« »
‖Barangsiapa yang kalian dapati sedangkan melakukan perbuatannya
kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.‖

Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasa‘iy. Al-Hâfidz


berkomentar, ―Rijalnya tsiqat akan tetapi hadis ini masih
diperselisihkan.‖ Ibnu Thalâ‘ di dalam Ahkam mengatakan, ―Tidak
ada ketetapan dari Rasulullah saw. bahwa beliau merajam kasus liwâth,
beliau juga tidak menjatuhkan hukuman pada kasus liwâth, namun
liwâth ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa beliau saw.
bersabda, ―Bunuhlah kedua pelakunya.‖ Diriwayatkan oleh Ibnu
‗Abbâs dari Abû Hurayrah. Selesai. Ini adalah dalil dari sunnah
bahwa hukum liwâth adalah bunuh.
Adapun apa diriwayatkan dari Sa‘id bin Jabi dan Mujâhid
dari Ibnu ‗Abbâs, ‖Jejaka yang didapati sedang melakukan liwâth
maka rajamlah.‖ Maksud dari hadis di atas adalah bunuhlah
dengan hukuman rajam, bukan bermakna bahwa had liwâth
adalah rajam. Dan yang menunjukkan pengertian ini adalah,
bahwa dalil yang menyebutkan hukum bunuh bagi kedua
pelakunya bersifat mutlak tidak membedakan antara jejaka

3
Sanksi rajam pada kasus perzinaan khusus hanya untuk pezina
muhshan, sedangkan pezina ghairu muhshan dijatuhi sanksi jilid. Ini
berbeda dengan kasus liwâth. Pelaku liwâth baik ghairu muhshan maupun
muhshan dikenai hukum bunuh, yang salah satu wasilah membunuhnya
adalah dengan cara dirajam. Ini menunjukkan bahwa had zina berbeda
dengan had liwâth (homosex).
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 43
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan duda, sedangkan rajam adalah had bagi janda atau duda
saja. Padahal hadis tersebut telah menyebutkan bahwa yang
melakukan perbuatan tersebut itu adalah jejaka. Ini menunjukkan
bahwa had liwâth berbeda dengan had rajam. Oleh karena itu
hadis Ibnu ‗Abbâs dari jalan Sa‘id Ibnu Jarir dan Mujâhid tidak
bertentangan dengan hadis Ibnu ‗Abbâs dari jalan Ikrimah. Kedua
hadis tersebut menunjukkan hukuman mati, sedangkan hadis
tentang rajam menunjukkan hukum mati bagi perbuatan liwâth
dengan uslub tertentu.4 Sedangkan hadis bunuh bagi liwâth
menunjukkan pembunuhan secara mutlak. Dengan demikian
hukum liwâth adalah dengan dibunuh dan boleh membunuh
dengan cara rajam, gantung, ditembak dengan senapan, atau
dengan wasilah yang lain. Karena hukum liwâth adalah hukuman
mati, uslub atau wasilah yang digunakan untuk membunuh boleh
berbeda-beda, karena yang penting adalah menjatuhkan hukuman
mati.
Adapun ijma‘ shahâbat, sesungguhnya para shahâbat
berbeda pendapat dalam menetapkan uslub (cara) untuk
membunuh pelaku liwâth, akan tetapi mereka sepakat untuk
membunuhnya. Baihaqiy mengeluarkan hadis dari ‗Alî ra bahwa
beliau ra merajam pelaku liwâth. Baihaqiy juga mengeluarkan dari
Abû Bakar ra bahwa beliau mengumpulkan para shahâbat untuk
membahas kasus homoseksual. Diantara para shahâbat Rasulullah
itu yang paling keras pendapatnya adalah ‗Alî bin Abi Thâlib ra. Ia
mengatakan, ‖Liwâth adalah perbuatan dosa yang belum pernah
dilakukan oleh umat manusia, kecuali satu umat (yakni umat Luth)
sebagaimana yang telah kalian ketahui. Dengan demikian kami punya
pendapat bahwa pelaku liwâth harus dibakar dengan api.
Diriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad dari bapaknya dari ‗Alî

4
Had liwâth adalah dibunuh. Sedangkan uslub (cara) untuk melakukan
pembunuhan bermacam-macam, bisa dengan rajam, gantung, tembak,
dll. Sedangkan hadis, ‖Jejaka yang didapatkan sedang melakukan liwâth
maka rajamlah,‖ tidak menunjukkan bahwa had liwâth adalah rajam,
akan tetapi hadis ini sekadar menunjukkan uslub untuk menjatuhkan
hukum bunuh bagi pelaku liwâth, yakni dengan rajam.
44 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bin Abi Thâlib selain dari kisah ini berkata, ‖Rajam dan bakarlah
dengan api.‖
Baihaqiy mengeluarkan dari Ibnu ‗Abbâs bahwa beliau
ditanya tentang had pelaku liwâth, beliau ra berkata, ‖Jatuhkanlah
dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah, kemudian
hujanilah dengan lemparan batu.‖ Diriwayatkan dari ‗Alî ra, ‖Bahwa
beliau membunuh pelaku liwâth dengan pedang, kemudian
membakarnya, karena demikian besar dosanya.‖ ‗Umar dan ‗Utsman
berpendapat, ‖Pelaku ditimpuki dengan benda-benda keras sampai
mati.‖ Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had
liwâth adalah dibunuh, walau uslub pembunuhannya berbeda-
beda.
Selain itu telah dikisahkan oleh shâhib al-syifâ‘ (ijma‘
shahâbat untuk menjatuhkan had bunuh bagi pelaku liwath). Hal
ini telah menjadi ijma‘, yakni ijma‘ shahâbat telah menetapkan
bahwa pelaku liwâth hukumnya adalah dibunuh, baik pelaku
maupun yang dikumpulinya, muhshan maupun ghairu muhshan.
Ijma‘ shahâbat sendiri adalah dalil syara‘ sebagaimana sunnah.
Pembuktian liwâth berbeda dengan pembuktian zina, akan
tetapi pembuktian liwâth seperti halnya pembuktian salah satu had
dari hudûd yang ada kecuali zina. Sebab, selama tidak dibenarkan
menyamakan liwâth dengan zina, maka liwâth tidak boleh
ditetapkan berdasar bayyinah (pembuktian) zina. Oleh karena itu,
pembuktian liwâth dikategorikan ke dalam dalil hudûd yang lain.
Dengan demikian, liwâth terbukti dengan adanya pengakuan,
kesaksian dua orang saksi, atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, sebagaimana bayyinah (pembuktian) pencurian, serta
pembuktian pada hudûd yang lain. Had liwâth dapat dijatuhkan
dengan syarat, pelaku liwâth baik pelaku maupun yang
dikumpulinya; baligh, berakal, karena inisiatif sendiri, dan ia
terbukti telah melakukan liwâth dengan bukti syar‘iyyah, yaitu,
kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan. Seandainya pelaku liwâth adalah anak kecil, orang
gila, atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak
dijatuhi had liwâth.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 45


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Hukum “Mendatangi” Isteri


Pada Duburnya

Mendatangi wanita pada duburnya hukumnya haram. Haram


bagi seorang laki-laki mendatangi seorang wanita pada duburnya.
Sebagian ‗ulama menganggapnya sebagai salah satu bentuk
perzinahan. Walaupun ia tidak dinamakan dengan liwâth akan
tetapi perbuatan ini seperti liwâth. Kadang disebut liwâth dengan
wanita, maksudnya adalah mendatangi wanita pada duburnya.
Akan tetapi, (secara umum) bila disebut liwâth, artinya adalah
seorang laki-laki mendatangi laki-laki lainnya, dan ia tidak
memiliki makna lain. Demikianlah, mendatangi wanita pada
duburnya tidak tepat disebut dengan liwâth. Itu sebabnya,
keharaman mendatangi wanita pada duburnya tidak ditetapkan
dari sisi keberadaannya sebagai perzinahan, atau liwâth, sebab
tindakan itu bukan zina dan bukan liwâth, namun ditetapkan
berdasarkan dalil syara‘ yang menunjukkan hal tersebut. Allah
Swt.. berfirman:

 
―Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu.‖ (QS al-Baqarah [2]: 222)

Ini adalah taqyîd mendatangi wanita dari sisi yang


diperintahkan oleh Allah Swt.., yaitu farji. Mafhûm-nya, janganlah
kalian mendatangi wanita selain pada tempat yang telah
diperintahkan Allah kepada kalian. Ini juga didasarkan pada
perintah nikah yang telah ditetapkan Allah Swt.., semisal firman
Allah Swt..:

 
―maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi‖ (QS an-
Nisâ‟ [4]: 3).

46 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dan firman-Nya:

 
―Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,‖(QS an-
Nûr [24]: 32)

Dan juga firman-Nya:

 
―karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka.‖(QS an-Nisâ‘
[4]: 25)

Yakni nikah. Ini adalah nash, agar seorang laki-laki mendatangi


wanita pada tempat yang telah diperintahkan Allah Swt.., yakni
farji. „Alî bin Abî Thalhah berkata dari Ibnu „Abbâs berkenaan
dengan firman Allah Swt..:
 
―Datangilah wanita dari sisi yang telah diperintahkan Allah kepada
kalian.‖ (QS al-Baqarah [2]: 222).

Ibnu ‗Abbâs berkata, farji, dan janganlah kalian menentang-Nya,


barangsiapa melakukan hal itu (sodomi), sungguh ia telah
menentang. Mujahid, berkata (berkenaan dengan firman Allah
Swt..), ―Datangilah wanita dari sisi yang telah diperintahkan Allah
kepada kalian.‖, yakni farji. Tidak benar dikatakan, bahwa
pengertian ayat itu kembali kepada firman Allah Swt.:
 

―…hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh‖ (QS


al-Baqarah [2]: 222)

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 47


Created by Pustaka Thoriqul Izzah


―Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.‖(QS al-Baqarah [2]: 222)

Tidak bisa dikatakan demikian karena mahîdl adalah


waktu, bukan tempat. Seandainya maksudnya adalah haidl, tentu
Allah akan berfirman, ―datangilah wanita pada saat tidak haidl‖.
Akan tetapi, kata ―haitsu‖ dalalah-nya menunjukkan pada tempat,
dan tidak mungkin mengalihkan maknanya pada haid, karena ada
kata ―haitsu”. Padahal kata ―haistu‖ tidak menunjukkan pengertian
kecuali tempat. Oleh karena itu, pengertiannya bukanlah merujuk
pada haid, akan tetapi tempat. Pengertiannya adalah, datangilah
wanita pada tempat yang Allah telah perintahkan kepada kalian.
Pada tempat yang telah diperintahkan Allah kepada kalian adalah
farji. Oleh karena itu, farji adalah tempat yang diperintahkan
untuk didatangi oleh seorang laki-laki pada ayat-ayat tentang
nikah, dan bersuami-isteri. Pengertian ini diperkuat dengan ayat
sesudahnya, yang menjelaskan posisi wanita, bahwa posisinya
adalah untuk melahirkan. Allah Swt.. berfirman, artinya,
―Datangilah (pada tempat) yang bisa mendatangkan kelahiran.
Kelahiran tidak akan terjadi kecuali (mendatangi wanita tersebut)
pada farjinya. Oleh karena itu, Allah Swt.. berfirman:

 
―hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
48 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka


datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.‖ (QS al-Baqarah [2]: 222)

Ayat ini [ ], sebagai penjelas ayat sebelumnya,

yakni firman Allah Swt..: [ ]. Oleh karena


itu, ayat ini menjelaskan tempat yang telah diperintahkan Allah
Swt., yakni farji. Firman Allah, [ ], adalah kinâyah dari
tempat bercocok tanam, dan firman Allah, [inniy] digunakan
dengan makna ―kaifa‖, tidak digunakan dengan makna min aina,
kecuali sangat sedikit. Seandainya ia digunakan dengan dua
makna, maka firman Allah Swt., ―[ ] sebagai qarînah,
bahwa makna kata ―inniy‖, adalah ―kaifah‖, bukan ―min aina‖.
Qarînah ini terdapat dalam dua tempat, yakni firman Allah Swt.,
[ ], ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa
makna keberadaan wanita sebagai lahan bercocok tanam, adalah
mendatangi wanita pada tempat bercocok tanam (farji). Bahkan,
Allah mengulang kata harts tatkala Allah memerintahkan laki-laki
untuk mendatangi (seorang wanita). Allah Swt. berfirman, [

], tidak berfirman, ―datangilah ia (wanita) sesuka


kalian‖, untuk memperkuat dan menafikan semua kemungkinan.
Sehingga Allah Swt. seakan-akan berfirman, ―Tidak dosa
bagi kalian untuk mendatangi isteri kalian pada tempatnya (farji)
dengan cara bagaimanapun yang kalian suka.‖. Oleh karena itu,
firman Allah Swt., [ ], menunjukkan dengan jelas untuk
mendatangi wanita pada farjinya. Selain itu, sebab turun ayat ini—
yakni kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat ini—berkaitan
dengan pertanyaan tentang cara mendatangi wanita. Oleh karena
itu, sebab turun ayat ini mengkhususkan makna ayat tersebut di
atas.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 49


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dari Safyân bin Sa‘îd al-Tsauriy, bahwa Muhammad bin al-


Munkadir, telah menceritakan kepada mereka, bahwa Jâbir bin
‗Abdillah telah mengabarkan kepadanya, ada seorang Yahudi
berkata kepada kaum Muslim, bahwa barangsiapa mendatangi
wanita dari belakang, maka anaknya akan bermata juling.
Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat, [

]. Ibnu Juraij dalam hadis, Rasulullah saw


bersabda, ―Boleh dari muka dan belakang, jika tetap mengarah kepada
farji‖.
Oleh karena itu, firman Allah Swt., [

], menunjukkan haramnya mendatangi wanita pada selain


tempat yang telah diperintahkan Allah Swt., yaitu farji,
sebagaimana juga ditunjukkan oleh ayat tentang nikah dan
bersuami-isteri. Ini adalah dalil tentang keharaman mendatangi
wanita pada duburnya. Selain itu, ada hadis-hadis yang
menunjukkan dengan jelas larangan mendatangi wanita pada
duburnya.
Dari Khuzaimah bin Tsâbit, ―Rasulullah saw. melarang
seorang laki-laki mendatangi istrinya pada duburnya.‖

Dari Ibnu ‗Abbâs berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,


« »
―Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi seorang
laki-laki, dan mendatangi istrinya pada duburnya.‖

Dari Amru bin Syu‘aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi
saw. bersabda,
« »
‖Orang yang mendatangi istrinya pada duburnya, maka itu adalah
perbuatan liwâth kecil.‖

50 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dari ‗Alî bin Thalaq, ”Rasulullah saw. melarang (perbuatan), seorang


wanita didatangi pada duburnya, sesungguhnya Allah tidak malu
menyatakan yang haq.‖

Imam Ahmad mengeluarkan juga sebuah hadis dari Abi


Mu‘âwiyyah, Imam Ahmad berkata, ―Telah meriwayatkan kepada
kami ‗Abd al-Razâq, telah mengabarkan kepada kami Ma‘mar dari
Suhail bin Abî Shâlih dari Hârits dari Makhlad dari Abû
Hurayrah, dari Rasulullah saw.,
« »
―Sesungguhnya orang yang mendatangi istrinya pada duburnya, tidak
akan dilihat oleh Allah Swt.‖

Imam Ahmad juga berkata, ―Telah meriwayatkan kepada


kami‘ Affân, telah meriwayatkan kepada kami Wahib, telah
meriwayatkan kepada kami Suhail dari Hârits bin Makhlad, dari
Abû Hurayrah, marfu‘ (menyambung) kepada Rasulullah saw,
beliau saw. bersabda,
« »
‖Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang berjima‘ dengan istrinya
pada duburnya.‖

Hadis-hadis ini, seluruhnya merupakan dalil tentang


pengharaman mendatangi istrinya pada duburnya. Seorang laki-
laki diharamkan mendatangi istrinya pada duburnya. Akan tetapi
syara‘ tidak menetapkan sanksi tertentu. Oleh karena itu
perbuatan semacam ini tidak termasuk dalam hudûd, akan tetapi
masuk dalam ta‘zîr. Imam atau qadli berkewajiban untuk
menetapkan sanksi kepada pelanggarnya dengan sanksi yang
menyakitkan, sehingga sanksi itu bisa berfungsi sebagai pencegah.
Sebab, sanksi, meskipun bentuk ta‘zîr, harus bisa berfungsi sebagai
pencegah. Oleh karena itu, sanksinya harus berupa sanksi yang
―menyakitkan‖. Sedangkan yang utama, penetapan sanksinya
diserahkan kepada qadliy. 

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 51


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

HAD QADZAF

Qadzaf adalah melempar tuduhan. Menuduh wanita-wanita


yang suci dan terjaga termasuk perbuatan haram, kecuali orang
yang menuduh itu membawa bukti-bukti. Qadzaf merupakan
perbuatan haram. Perbuatan itu diharamkan berdasarkan al-
Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:


―Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah 80 kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya; mereka itulah orang-orang fasiq, kecuali merek
bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya). Maka sesungguhnya
Allah itu Maha Pengampun lahi Maha Penyayang.‖(QS an-Nûr [24]:
4-5)


―Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia
dan akherat, dan bagi mereka adzab yang besar.‖ (QS an-Nûr [24] :23)

Dari Abû Hurayrah, dari Nabi saw., beliau saw. bersabda,


―Jauhilah tujuh macam kejelekan.‖Para shahabat bertanya, ―Wahai,
Rasul, apakah itu? Rasul menjawab, ―Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, makan
riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina).‖

52 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Kata al-muhshanât pada dua ayat dan hadis tersebut di atas


bermakna: al-‗afâif bentuk jama‘ (plural) dari ‗afifah (wanita baik-
baik). Kata al-muhshanât di dalam al-Quran memiliki empat
pengertian. Pertama, al-‗afâif (wanita baik-baik), seperti pada dua
ayat tersebut di atas. Kedua, bermakna seorang wanita yang telah
bersuami. Sebagaimana firman Allah Swt.:
 
―dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu.‖(QS an-Nisâ‟ [4] :24)

Juga firman Allah Swt.:


 
―..sedang merekapun wanita-wanita yang menjaga diri (wanita yang
sudah bersuami), bukan pezina…‖ (QS an-Nisâ‟ [4] :25)

Ketiga, bermakna al-harâir (wanita merdeka) lawan dari al-


imâ‘ (budak). Sebagaimana firman Allah Swt.:
 
―Dan barangsiapa di antara kamu (orang yang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman..‖ (QS an-Nisâ‟[4]:25

Dan juga firman Allah Swt.:



―…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya (maksudnya wanita merdeka) di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita di antara orang-orang yang diberi al-
Kitab sebelum kamu….‖(QS al-Mâidah [5] :5)

Dan juga firman Allah Swt.:

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 53


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―…maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman-hukuman wanita-
wanita merdeka yang bersuami..‖(QS an-Nisâ‟ [4] :25)

Keempat, bermakna Islam, sebagaimana firman Allah


Swt.:
 
―…dan jika mereka telah menjaga diri (Islam)…‖ (QS an-Nisâ‟ [4] :25)

Ibnu Mas‘ûd berpendapat, ihshânuhâ (terjaganya wanita) artinya


adalah islâmuhâ (masuk Islamnya). Demikianlah, kata muhshanât,
termasuk lafadz musytarak (banyak makna), seperti halnya kata
‗ain, yang disebutkan dengan beberapa arti. Sedangkan, yang
dimaksud dengan ―muhshanât‖ di sini, adalah satu makna saja,
yakni makna al-‗afâif (wanita yang baik-baik).
Barangsiapa menuduh wanita mukminat yang baik-baik,
maka dijilid dengan 80 kali cambukan. Dengan syarat, penuduh
telah mukallaf dan (melakukan perbuatan qadzaf) atas pilihannya
(kesadarannya). Sedangkan muhshanât (wanita yang tertuduh), telah
terkumpul syarat-syarat ihshân-nya. Syarat-syarat ihshân, yang
mewajibkan had qadzaf bagi penuduhnya ada lima syarat; berakal,
merdeka, Islam, terjaga dari (tidak pernah) zina, dan terjaga dari
dosa-dosa besar yang derajatnya sama dengan zina.
Setelah sempurna lima syarat tadi, had bisa dijatuhkan bila
satu syarat dasarnya terpenuhi, yakni qadzîf (penuduh) tidak bisa
membuktikan tuduhannya. Ini berdasarkan firman Allah Swt.:
 
―Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (telah
berzina), kemudian mereka tidak bisa mendatangkan empat orang saksi,
maka jilidlah mereka..‖ (QS an-Nûr [24]: 4)

Jilid terhadap mereka (qadzif) karena tidak adanya bukti.


Demikian pula disyaratkan tidak adanya iqrâr (pengakuan) dari
maqdzûf (tertuduh). Sebab, ini termasuk bagian dari pembuktian.
54 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Jika penuduh adalah suaminya, maka ada syarat lain, yaitu


menolak untuk melakukan sumpah li‘an. Jika istrinya tidak mau
li‘an (bersumpah), maka istrinya dirajam. 

Had Peminum Khamr

Dalam surat al-Mâidah, khamr diharamkan, yakni firman Allah


Swt.:

90


―Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).‖ (QS al-
Mâidah [5]: 90-91)

Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. bersabda, artinya,


―Khamr telah diharamkan.‖ Dalam hadis Abî Sa‘id disebutkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr, barangsiapa
membaca ayat ini, sedangkan ia memiliki khamr, janganlah meminum

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 55


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dan menjualnya, Abû Sa‘id berkata, ―Semua orang yang memiliki


khamr menuju jalan-jalan Medinah, kemudian menumpahkannya.‖

Yang dimaksud dengan khamr yang terdapat dalam ayat di atas


adalah semua minuman yang memabukkan, bukan hanya khamr
tertentu yang dibuat dari anggur, akan tetapi semua minuman
memabukkan yang dibuat dari selain anggur. Dari Ibnu ‗Umar
radliyallâhu ‗anhumâ, berkata, ―‘Umar berkhutbah di atas mimbar
Rasulullah saw. ia berkata, ―Sungguh telah diturunkan pengharaman
khamr, yakni dari lima macam; anggur, kurma, jagung, gandum, dan
madu, khamr adalah sesuatu yang menutup akal.‖ ‗Umar menyatakan
bahwa maksud khamr dalam surat al-Mâidah, bukan hanya khamr
yang dibuat dari anggur, akan tetapi mencakup khamr yang dibuat
dari selain anggur. Ini sejalan dengan hadis Anas, Imam Bukhari
meriwayatkan, ―Telah meriwayatkan kepada kami Musaddad, telah
meriwayatkan kepada kami, Mu‘tamar, dari bapaknya, bapaknya
berkata,―

Saya mendengar Anas berkata, ―Saya sedang memberikan minuman


para tamu –saat itu orang paling kecil diantara mereka—dengan
minuman (arak) yang terbuat dari perasan kurma (fadlîkh). Kemudian
diumumkan: ‖Khamr telah diharamkan.‖ Anas berkata,
―Tumpahkanlah!‖ Sayapun menumpahkannya. Saya bertanya
kepada Anas, ―Apa yang mereka minum?‖ Anas menjawab, ―Rathb
(korma kering), dan busr (kurma yang masih muda--maksudnya
minuman yang dibuat dari kurma –pentj).‖ Kemudian Abû Bakar bin
Anas berkata,―Itulah khamr mereka.‖ Sedangkan Anas tidak
mengingkarinya.‖
Ini menunjukkan bahwa para shahabat memahami hukum
pengharaman khamr adalah pengharaman semua yang
memabukkan. Ini diperkuat dengan riwayat yang dikhabarkan
oleh Abû Salamah bin ‗Abd al-Rahman, bahwa ‗Âisyah ra berkata,
―Rasulullah saw. ditanya tentang al-tib‘, yakni minuman yang terbuat
dari madu, dan orang Yaman telah terbiasa meminumnya. Rasulullah
saw. menjawab, ―Semua minuman yang memabukkan adalah haram.‖
Banyak hadis yang menyebutkan, bahwa minuman yang dibuat
56 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dari apapun jika ia memabukkan, disebut dengan khamr. Dari


Nu‘mân bin Basyîr berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Sesungguhnya dari jagung itu adalah khamr, dari gandum adalah
khamr, dari zabib khamr, dan dari kurma adalah khamr, dan dari
madu adalah khamr.‖

Dari Ibnu „Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda,


« »
―Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan
adalah haram.‖

Berdasarkan hadis-hadis di atas, khamr adalah sesuatu yang


bisa menutupi (mengacaukan) akal, dan setiap yang memabukkan
adalah khamr. Oleh karena itu setiap minuman yang
memabukkan, dan bisa mengacaukan akal dianggap sebagai
khamr, sama saja, apakah dibuat dari anggur, jagung, kurma,
gandum, kopi, dan lain-lain. Semua yang memabukkan disebut
khamr. Orang-orang Habasyah membuat khamr dari kopi. Ini
merupakan khamr khusus di kerajaan Habasyah (Ethiopia). Oleh
karena itu spirtus dan kloniy, serta ―minuman jin‖, dan lain-lain
adalah khamr, sebab ia memabukkan. Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Setiap yang memabukkan adalah khamr.‖

Dengan demikian, selain memiliki makna bahasa, khamr


juga memiliki makna syar‘iy. Makna syar‘iy dari khamr sebagaimana
yang dinyatakan Rasulullah saw., dan tercantum dalam hadis.
Sedangkan pengharaman khamr yang termaktub dalam al-Quran,
adalah pengharaman semua minuman yang memabukkan. Sama
saja, apakah terbuat dari anggur, atau dari bahan lain. Sebab,
semuanya adalah khamr.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 57


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Pengharaman khamr tidak mengandung ‗illat. Akan tetapi


pengharaman khamr disebabkan substansinya (zat). Seperti halnya
pengharaman bangkai. Allah Swt. berfirman, ―
" ―Telah diharamkan kepada kalian bangkai.‖ Pengharaman bangkai
tidak mengandung ‗illat. Itu sebabnya, pengharaman bangkai
disebabkan zat bangkainya. Demikian pula Allah Swt. berfirman:
 
―sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji‖ (QS al-Mâidah
[5] : 90)

Sampai firman Allah Swt:


 
tidak menunjukkan bahwa pelarangannya ber‗illat‖, bahkan
perintah untuk menjauhinya, atau keharamannya tidak
didasarkan karena ‗illat. Oleh karena itu, khamr haram karena
khamr itu sendiri (dzatnya), bukan karena ada ‗illat. Lebih-lebih
lagi ada riwayat yang menyebutkan bahwa khamr dilarang karena
zatnya (khamr itu sendiri). Ibnu ‗Abbas meriwayatkan dari nabi
saw, bahwa beliau bersabda,
« »
―Khamr diharamkan karena dzatnya, dan setiap minuman yang
memabukkan.‖

Artinya, khamr diharamkan karena zatnya. Setiap minuman yang


memabukkan diharamkan, karena zat minuman itu sendiri
(muskir). Maka, tidak ada ‗illat dalam pengharaman khamr. Oleh
karena itu, pengharaman khamr tidak boleh di-‘illat-kan.

Kadar sanksi bagi peminum khamr


Sanksi bagi peminum khamr termasuk hudûd. Orang yang
minum khamr; yakni bagi orang yang meminum, atau peminum

58 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

minuman yang memabukkan, wajib dijatuhi had. Diriwayatkan


dari Nabi saw, beliau bersabda,
« »
―Barangsiapa meminum khamr, maka jilidlah!‖

Telah ditetapkan bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.


Hadis tersebut juga mencakup sedikit dan banyaknya. Ijma‘
shahabat telah sepakat, bahwa peminum khamr harus dijatuhi had
jilid. Mereka telah sepakat atas penetapan had (bagi) peminum
khamr, dan sepakat bahwa had bagi peminum khamr tidak boleh
kurang dari 40 kali jilid.
Orang yang meneliti hadis-hadis dari Nabi saw., tentang jilid
bagi peminum khamr, akan mendapatkan bahwa hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa peminum khamr dijilid 40 kali, dan
boleh ditambah lebih dari 40 kali jilid. Adapun hadis-hadis yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menjilid 40 kali; Imam
Muslim mengeluarkan dalam hadis Hudlain bin Mundzir tentang
kisah penjilidan al-Walid, bahwa Alî bin AbîThâlib ra berkata,
―Nabi saw. menjilid 40 kali, Abu Bakar 40 kali, ‗Umar 80 kali, dan
semuanya adalah sunnah.‖

Imam Tirmidzi mengeluarkan dari Abî Sa‟id, ―Bahwa Rasulullah


saw., memukul (para peminum khamr) sebanyak 40 kali dengan pelepah
kurma.‖

Dan dari Abî Sa‘id berkata, ―Pada masa Rasulullah saw. (peminum)
khamr dijilid 40 kali dengan pelepah kurma.‖

Dari Abî Sa‘id berkata, ―Pada masa Rasulullah saw., (peminum)


khamr dijilid 40 kali dengan pelepah kurma, ketika masa ‗Umar,
pelepah kurma diganti dengan cambuk.‖

Hadis-hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa peminum khamr


dijilid 40 kali. Semua hadis menunjukkan dengan jelas 40 kali.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 59


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Cukuplah berpegang pada hadis Alî ra, yakni sabda Rasulullah


saw., ―Nabi saw. menjilid 40 kali.‖
Hal ini diperkuat dengan hadis-hadis yang menunjukkan
bahwa Rasulullah saw. menjilid kurang lebih 40 kali jilid. Imam
Muslim mengeluarkan dari Anas, berkata, ―Nabi saw. diserahi
seorang laki-laki yang telah minum khamr. Kemudian, Rasulullah saw.
menjilid kurang lebih 40 kali dengan dua buah sandal.‖ Imam Nasâ‟iy
mengeluarkan, ―Bahwa Nabi saw memukulnya (yakni peminum
khamr) dengan sandal kurang lebih 40 kali.‖ Imam Ahmad dan
Baihaqiy, “Kemudian beliau saw. memerintah tidak kurang 20 orang
laki-laki, kemudian masing-masing orang tersebut menjilid dua kali jilid
dengan pelepah daun kurma, dan sandal.‖
Maksudnya, Rasulullah saw. memerintah kurang lebih 20
orang (untuk melakukan jilid). Hadis-hadis ini tidak membatasi
jumlah jilid pada jumlah 40 kali, akan tetapi Rasulullah saw.
menetapkan kurang lebih 40 kali. Oleh karena itu boleh lebih
atau kurang dari jumlah itu. Akan tetapi, hadis-hadis yang
membatasi jumlah jilid dengan 40 kali telah menolak jilid kurang
dari 40 kali. Sebab, hadis-hadis tersebut telah menyebut 40 kali
dengan sangat jelas (nash). Sementara tidak ada hadis-hadis lain
yang menyebut dengan sangat jelas (nash) kurang dari 40 kali.
Dengan demikian, hadis-hadis tersebut (yang menyebut jumlah 40
kali dengan sangat jelas) telah menafikan kemungkinan kurang
dari 40 kali. Sedangkan lebih dari 40 kali tetap berlaku. Sebab,
qarînah sabda Rasulullah saw. (40 kali) dengan sabdanya kurang
lebih 40 kali, telah menafikan kemungkinan kurang dari 40 kali.
Dengan demikian, hadis-hadis tersebut telah menguatkan
pendapat, bahwa had jilid adalah 40 kali. Akan tetapi hadis itu
juga memberi pengertian lain, yakni boleh menambah lebih dari
40 kali. Selain itu, ada hadis-hadis yang tidak menerangkan
jumlah tertentu bagi had (minum khamr). Akan tetapi hanya
menyatakan bahwa Rasulullah saw. memerintah agar memukul
peminum khamr, dan tidak menjelaskan jumlah tertentu.
Dari Anas, ―Bahwa Nabi saw. menjilid (peminum) khamr
dengan pelepah daun kurma, dan sandal, sedangkan Abû Bakar
menjilidnya 40 kali.‖ Dari „Uqbah bin Hârits berkata, ‖Seorang

60 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

peminum khamr, datang dengan Nu‘mân atau Ibnu Nu‘mân.


Rasulullah saw. memerintahkan orang yang dalam rumah untuk
memukulnya (peminum khamr), dan saya termasuk orang yang
memukulnya. Kemudian kami memukulnya dengan sandal dan pelepah
daun kurma.‖ Dari Sâib bin Yazîd, berkata, ―Kami mendapati
seorang peminum khamr pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan
‗Umar. Kami memukulnya dengan tangan, pelepah kurma, dan busur-
busur kami…[!!!!]. ????
Dari Zuhri, ―Bahwa Nabi saw. tidak menetapkan had bagi
(peminum) khamr, akan tetapi beliau hanya memerintahkan (bagi)
orang yang meminumnya agar para shahabat memukulnya dengan
tangan, dan pelepah kurma mereka, sampai ia (peminum khamr)
berkata,‖Hentikan!‖ Abû Dâwud mengeluarkan dengan sanad kuat
dari Ibnu „Abbas,‖Bahwa Nabi saw. tidak menetapkan had bagi
(peminum) khamr.‖ Imam Nasâiy mengeluarkan dari Ibnu „Abbas,
― Bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan had bagi peminum
khamr.‖ Kata ―yaqit‖ dari ―al-taiqît‖, yakni tidak menetapkan kadar
tertentu, atau tidak membatasi dengan batas tertentu. Hadis-hadis
ini tidak menyebut had tertentu bagi peminum khamr, sedangkan
hadis-hadis lain jelas menyebutkan bahwa Rasulullah saw. tidak
menetapkan had bagi peminum khamr. Hal ini menunjukkan
bahwa pembatasan jilid dengan jumlah tertentu, yakni 40 kali,
tidak terdapat pada masa Rasulullah saw. Hadis-hadis ini
bertentangan dengan pembatasan had dengan 40 kali jilid. Bahkan
hadis-hadis tersebut, menafikan dengan jelas pembatasan had
dengan jumlah tertentu. Hal ini bertentangan dengan pembatasan
had dengan 40 kali.
Dengan demikian hadis-hadis semacam ini bertentangan
dengan hadis-hadis yang membatasi had 40 kali. Jawaban atas
persoalan ini adalah, hadis-hadis yang tidak menyebutkan jumlah
tertentu, datang dalam bentuk muthlaq, yakni seakan-akan hadis
itu menyatakan bahwa Rasulullah saw. memerintah untuk
memukul (menjilid) peminum khamr, akan tetapi tidak
menetapkan jumlah tertentu. Hadis Anas, menyatakan, ―Peminum
khamr dijilid dengan pelepah daun kurma, dan sandal.‖ Hadis ini
berbentuk muthlaq. Dan hadis ‗Uqbah menyatakan, ―Rasulullah
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 61
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

saw. memerintah agar para shahabat memukul barangsiapa yang


meminum khamr di dalam rumah.‖ Hadis ini juga berbentuk
muthlaq. Jelas, bahwa kedua hadis ini datang dalam bentuk mutlaq.
Akan tetapi jika nash muthlaq dibatasi dengan jumlah atau sifat
tertentu, ada nash-nash muqayyad (yang membatasi) dengan
jumlah atau sifat tertentu, yang muthlaq harus dibawa ke arah
muqayyad, dan mengkompromikannya lebih mudah ke arah
muqayyad-nya. Sedangkan di sini ada nash-nash muthlaq tanpa ada
taqyîd dengan jumlah, kemudian ada nash muqayyad dengan
menyebut jumlah tertentu. Maka tidak ragu lagi bahwa muthlaq
harus dibawa ke arah muqayyad. Oleh karena itu, hadis-hadis yang
tidak menyebut jumlah tertentu harus dibawa ke arah hadis-hadis
yang menyebutkan jumlah tertentu. Adapun hadis Sâ‟ib, yang
menunjukkan bahwa para shahabat memukul peminum khamr
tanpa ada batasan jumlah tertentu, maka hadis ini tidak
berbentuk muthlaq, akan tetapi hanyalah ikhbar (berita), yang
memberitakan tentang tidak adanya batasan tertentu bagi had
peminum khamr.
Hadis ini senada dengan hadis-hadis setelahnya, yakni
hadis yang diriwayatkan oleh Zuhri dan Ibnu ‗Abbas. Hadis-hadis
ini, yakni hadis-hadis yang menyatakan dengan jelas nash bahwa
Rasulullah saw. tidak menetapkan jumlah tertentu untuk
peminum khamr, hanyalah sekadar penafian, bukan itsbat
(penetapan). Oleh karena itu, hadis-hadis semacam ini harus
dibawa ke arah pengertian bahwa, hadis-hadis tersebut mereka
riwayatkan sesuai kadar pengetahuan mereka, mereka tidak
mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah membatasi jilid dengan
jumlah tertentu. Dengan dalil, selain mereka telah meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. telah membatasi jilid dengan jumlah
tertentu. Semisal hadis Abî Sa‘îd, ―Sesungguhnya Rasulullah saw.
memukul peminum khamr 40 kali dengan dua sandal.‖ Juga Imam
Abû Dâwud meriwayatkan dari hadis ‗Abd al-Rahman bin Azhar,
―Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk menjilid peminum
khamr, 40 kali.‖
Oleh karena itu penafian jumlah tertentu, hanyalah
penafian sesuai dengan kadar pengetahuannya, sehingga tidak
62 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bertentangan dengan hadis-hadis shahih yang menetapkan jumlah


tertentu. Karena, hadis-hadis ini berbentuk penafian, sedangkan
hadis-hadis yang menetapkan 40 kali berbentuk itsbat.
Berdasarkan qaidah ushul, ―Jika nafi bertentangan dengan itsbat,
maka itsbat harus didahulukan daripada nafi‖, maka hadis yang
menetapkan jumlah tertentu harus didahulukan daripada hadis-
hadis yang menafikan adanya batasan tertentu. Akan tetapi
mengamalkan dua dalil ini lebih utama. Oleh karena kita harus
membawa pengertian ―penafian‖ dalam hadis-hadis tersebut,
adalah penafian sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Hadis-
hadis ini tidak menafikan bahwa selain mereka mengetahui selain
pengetahuan mereka; atau apa yang tidak mereka ketahui (tentang
jumlah jilid. pent.]. Yakni, mengetahui bahwa had peminum
khamr, adalah had dengan jumlah tertentu yang telah ditetapkan
oleh Rasulullah saw.
Semua ini menjelaskan bahwa peminum khamr dijilid 40 kali
mengamalkan hadis-hadis yang menyebutkan dengan jelas (jilid
sebanyak) 40 kali, dan hadis yang menyebutkan kurang lebih 40
kali. Dengan demikian had peminum khamr adalah had dengan
jumlah tertentu; yakni 40 kali. Adapun dalil yang membolehkan
boleh menjilid lebih dari 40 kali, akan tetapi tidak boleh kurang
dari 40 kali, adalah hadis yang menyebutkan jumlah jilid sebanyak
kurang lebih 40 kali, yaitu hadis Anas, ―Kemudian peminum khamr
itu dijilid dengan dua buah sandal, kurang lebih 40 kali,‖; dan hadis
Nasâiy, ―Kemudian memukulnya dengan sandal kurang lebih 40 kali,‖
dan hadis Baihaqiy, ―Kemudian beliau memerintah kurang lebih 20
laki-laki, kemudian masing-masing menjilid dua kali.‖ Hadis-hadis ini
semuanya menunjukkan boleh menjilid kurang atau lebih dari 40
kali. Akan tetapi tatkala terdapat sabda Rasulullah saw., ―40 kali‖
yang tercantum dalam banyak hadis, maka nash yang menyebut 40
kali, telah menafikan jilid kurang dari 40 kali, sekaligus menolak
kemungkinan menafsirkan kata ―kurang lebih 40 kali‖, dengan
boleh kurang dari 40 kali. Sehingga maknanya tetap dijilid
sebanyak 40 kali atau boleh lebih. Ini memberikan isyarat
bolehnya menambah hukuman jilid lebih dari 40 kali. Ini juga
diperkuat oleh hadis Zuhri, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 63


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

shahabat untuk menjilid peminum khamr, dengan tangan dan sandal-


sandal mereka, sampai ia mengatakan kepada para shahabat
―Hentikan!‖

Jika hadis ini dibandingkan dengan hadis ―40 kali‖, dapat


dipahami bahwa orang yang dijatuhi jilid tidak akan berkata
kepada para shahabat, ―Hentikan‖; sebelum 40 kali. Akan tetapi
boleh bagi orang yang dijatuhi jilid berkata kepada mereka setelah
lebih dari 40 kali. Atas dasar ini boleh menambah jilid lebih dari
40 kali.
Oleh karena itu, para shahabat berbeda pendapat tentang
jumlahnya. Kita mendapatkan bahwa ‗Umar ra bermusyawarah
tentang had bagi peminum khamr. Dari Anas, ―Nabi saw. diserahi
seorang laki-laki yang telah meminum khamr, kemudian beliau saw.
menjilidnya dengan dua sandal kurang lebih 40 kali. Anas berkata, ―Abû
Bakar juga melaksanakan hal serupa. Pada masa ‗Umar ra, para
shahabat bermusyawarah. ‗Abd al-Rahman berpendapat bahwa had
yang paling ringan adalah 80 kali. Kemudian ‗Umar menetapkannya.‖
Ibnu Abî Syaibah mengeluarkan hadis Abî ‗Abd al-Rahman al-
Salamiy dari ‗Alî ra, berkata, ―Sekelompok penduduk Syam telah
minum khamr, kemudian mereka memutarbalikkan ayat-ayat Quran.
Kemudian ‗Umar bermusyawarah dengan para shahabat. Lalu‗Umar
berkata,―Saya perintahkan mereka untuk bertaubat, jika mereka
bertaubat, maka jilidlah 80 kali, jika tidak mau bertobat penggallah
lehernya, karena itu telah mengubah apa yang diharamkan Allah.
Kemudian penduduk Syam bertaubat. Akhirnya mereka dijilid 80 kali.‖
Dua hadis ini menunjukkan bahwa ‗Umar bermusyawarah
dengan para shahabat mengenai kadar had bagi peminum khamr.
Bisa jadi dikatakan bahwa ‗Umar tidak bermusyawarah dengan
para shahabat untuk membahas had jilid bagi peminum-peminum
khamr dari Syam itu, akan tetapi bermusyawarah atas apa yang
dilakukan oleh para peminum khamr, dan atas pe-nakwil-an
mereka terhadap ayat-ayat Quran. Dengan demikian musyawarah
tentang had bagi peminum khamr didasarkan pada pe-nakwil-an
terhadap ayat-ayat al-Quran, bukan didasarkan pada had bagi
peminum khamr. Ini diisyaratkan oleh Alî ra bahwa ‗Umar

64 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memerintahkan mereka untuk bertaubat, sebab mereka telah


menghalalkan yang haram, dan jika mereka tidak bertaubat ‗Umar
akan membunuhnya, akan tetapi jika mereka bertaubat ‗Umar
menjilid mereka 80 kali. Mungkin dikatakan demikian,
berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh ‗Umar dalam hadis
sekelompok penduduk Syam, akan tetapi hadis Anas
menunjukkan dengan jelas musyawarah tentang kadar had untuk
peminum khamr. Ini ditunjukkan dengan perkataan ‗Abd al-
Rahman kepada ‗Umar, ―Had yang paling ringan sebanyak 80 kali‖
Ini adalah nash yang sangat jelas bahwa musyawarah tersebut
berkaitan dengan masalah penetapan had bagi peminum khamr.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa ‗Umar bermusyawarah dalam
hal penetapan had bagi peminum khamr, sedangkan hadis jilid
bagi peminum khamr sebanyak 40 kali dan kurang lebih 40 kali
telah ditetapkan, sedangkan ‗Umar juga telah mengetahuinya?
Oleh karena itu, jika musyawarah mengenai kadar had bagi
peminum khamr dibandingkan dengan hadis-hadis tentang jilid 40
kali dan lebih kurang 40 kali, menunjukkan bahwa ‗Umar
bermusyawarah dalam hal menambah had bagi peminum khamr
lebih dari 40 kali, yakni bermusyawarah dalam rangka menambah
had bagi peminum khamr lebih dari 40 kali. Dan ini diisyaratkan
oleh ‗Abd al-Rahman, bahwa had yang paling ringan sebanyak 80
kali.
Ini menunjukkan dua hal; pertama, shahabat memahami
bahwa boleh menambah had lebih dari 40 kali, kedua, perbedaan
pendapat dikalangan shahabat dalam penetapan had peminum
khamr hanyalah berkenaan dengan tambahan jilid lebih dari 40
kali bukan pada jumlah 40 kali.
Juga diriwayatkan dari Amîrul Mukminîn „Alî bin Abî Thâlib ra,
berkata, ―Tidaklah saya menjatuhkan had kepada seseorang, hingga ia
mati, dan saya sendiri melakukan hal itu, kecuali bagi peminum khamr.
Sesungguhnya bila ia mati, maka aku akan membayar diyatnya. Yang
demikian itu karena Rasulullah saw. tidak menyunahkannya.‖ Abû
Dâwud dan Ibnu Mâjah berkomentar, ―Rasulullah tidak
mensunahkan sesuatu apapun dalam hal itu (peminum khamr), adalah
kami yang menyatakannya.‖ Pengertian tidak mensunahkan pada
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 65
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

hadis itu, yakni Rasulullah tidak menetapkan adanya had dengan


lafadz dan ucapannya. Dalam hadis ini, Alî berkata, bahwa
Rasulullah saw. tidak menetapkan had bagi peminum khamr
dengan jumlah tertentu. Akan tetapi Alî ra sendiri berkata, ―Nabi
saw. menjilid peminum khamr sebanyak 40 kali, Abû Bakar 40 kali,
sedangkan ‗Umar ra 80 kali, dan semuanya adalah sunnah.‖ Lalu,
bagaimana Alî bisa mengatakan, ―Yang demikian itu karena
Rasulullah saw. tidak menetapkannya (kadar had-nya),‖ padahal ia
juga berkata, ―Rasulullah saw. menjilid peminum khamr sebanyak 40
kali.‖ Maksud perkataan ‗Alî, ―Yang demikian itu karena Rasulullah
saw. tidak menetapkannya (kadar had-nya),‖ tidak lain adalah, bahwa
Rasulullah saw. tidak menetapkan kadar tertentu terhadap had
(yang kadarnya) lebih dari 40 kali. Oleh karena itu, topik dalam
hadis ini seakan-akan membahas had tambahan jilid lebih dari 40
kali. Sebab, jilid sebanyak 40 kali telah ditetapkan dengan sangat
jelas dalam hadis-hadis lain.
Dari sini, jelaslah bahwa perbedaan pendapat di kalangan
shahabat mengenai kadar had bagi peminum khamr hanya
perbedaan pada tambahan jilid lebih dari 40 kali, bukan pada had
40 kalinya. Perkataan ‗Alî ra bahwa Rasulullah saw. tidak
menetapkan had peminum khamr dengan jumlah tertentu,
sebagaimana dalam sebuah riwayat dinyatakan, ―Bahwa Rasulullah
saw. tidak menetapkan had tertentu bagi peminum khamr.‖,
maksudnya had lebih dari 40 kali. Dengan dalil, perkataan ‗Alî ra
bahwa Rasulullah saw. telah menjilid sebanyak 40 kali, serta hadis-
hadis yang menyatakan jilid sebanyak 40 kali. Jelaslah, bahwa nash
yang menyatakan jilid sebanyak 40 kali jika diperbandingkan
dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak
menetapkan had pada jumlah tertentu , dan dengan sabda
Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa had itu jumlahnya
―kurang lebih 40 kali‖, menunjukkan bahwa boleh menambah
jilid lebih dari 40 kali. Akan tetapi, penambahan ini tidak
ditetapkan oleh Rasulullah saw. dengan jumlah tertentu.
Rasulullah tidak menetapkan bahwa penambahannya sebanyak 80
kali, tidak kurang dan tidak lebih. Akan tetapi beliau hanya

66 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menetapkan secara muthlaq penambahannya saja, tidak ada makna


lain.
Selain itu, para shahabat ra, meskipun ijtihad mereka tidak
boleh dianggap sebagai dalil syara‘, akan tetapi pendapat mereka
adalah hukum syara‘ yang didapatkan dari proses ijtihad yang
benar. Selain itu, ijtihad mereka boleh diikuti, sebab pendapat
mereka adalah hukum syara‘ yang digali oleh seorang mujtahid.
Perkataan dan pendapat mereka bisa diikuti. Itu sebabnya, para
shahabat telah menetapkan jumlah tertentu sebagai tambahan
dari 40 kali, yakni 80 kali jilid. Dan ada pula yang menetapkan 40
kali. Oleh karena itu khalifah boleh menjilid peminum khamr 80
kali. Rasulullah saw. sendiri telah menjilid peminum khamr
sebanyak 40 kali, sedangkan para shahabat ra ada yang menjilid
peminum khamr sebanyak 40 dan 80 kali. Oleh karena had bagi
peminum khamr 40 dan 80 kali. Adapun dalil yang menunjukkan
bahwa para shahabat telah menjilid peminum khamr sebanyak 40
kali dan 80 kali disebutkan dalam banyak hadis. Imam Ahmad
dan Muslim meriwayatkan dari Anas, ―Rasulullah saw. diserahi
seorang laki-laki yang telah meminum khamr, laki-laki itu kemudian
dijilid dengan dua buah sandal kurang lebih 40 kali. Anas
berkata,‖Demikian pula yang dilakukan oleh Abû Bakar. Pada masa
‗Umar ra beliau bermusyawarah dengan para shahabat. ‗Abd al-Rahman
mengusulkan, ‖Seringan-ringannya hudûd adalah 80 kali. Kemudian
‗Umar mengikutinya.‖
Ibnu Abî Syaibah, mengeluarkan riwayat dari Abî „Abd al-
Rahman as-Salamiy dari ‗Alî ra berkata, ―Sekelompok penduduk
Syam minum khamr kemudian mereka memutarbalikkan ayat-ayat
al-Quran, kemudian ‗Umar bermusyawarah dengan para shahabat,
kemudian ia berkata, ―Saya berpendapat, akan menyuruh mereka
bertaubat, jika mereka bertaubat maka jilidlah mereka sebanyak 80 kali,
jika tidak penggallah lehernya, sebab mereka telah menghalalkan apa
yang diharamkan. Lalu, ‗Umar memerintahkan agar mereka bertaubat.
Kemudian mereka (sekelompok penduduk Syam) bertaubat. ‗Umar
kemudian menjilid mereka 80 kali.‖
Dari Hudlain bin Mundzir berkata, ―Saya melihat ‗Utsmân
bin ‗Affân diserahi al-Walid sedangkan beliau ra sedang sholat Shubuh

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 67


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dua rakaat, kemudian beliau ra berkata, ―Apakah kalian punya saksi.‖


Kemudian dua orang laki-laki bersaksi di hadapan beliau ra. Salah
satunya bernama Humrân, ia bersaksi bahwa Walid telah minum
khamr, sedangkan yang lain bersaksi, bahwa ia melihat al-Walid
memuntahkannya. ‗Utsmân berkata, ―Sesungguhnya ia tidak mungkin
memuntahkan sampai ia meminumnya. Kemudian ‗Utsmân berkata,
―Wahai ‗Alî bangun dan jilidlah. ‗Ali berkata, ―Ya Hasan, bangunlah,
dan jilidlah.‖ Hasan berkata, ―Walli hârrahâ, man tawalla qârrahâ,
Dan seakan-akan mendapati padanya.‖ Kemudian ia berkata, ―Ya
‗Abdullah bin Ja‘far bangun dan jilidlah. Kemudian ia menjilidnya,
sedangkan ‗Ali menghitung sampai 40 kali. Kemudian ‗Ali berkata,
―Hentikan.‖ Kemudian ia berkata, ―Nabi saw. menjilid 40 kali, Abû
Bakar 40 kali, sedangkan ‗Umar 80 kali, dan semuanya adalah sunnah,
dan semuanya aku sukai.‖
Dari Amîrul Mukminîn ‗Alî ra berkata tentang minum
khamr, ―Jika minum ia akan mabuk, jika mabuk ia akan bicara kacau,
jika berbicara kacau, ia akan berbohong, dan bagi orang yang berbohong
80 kali.‖ Hadis-hadis dan atsar-atsar ini menunjukkan dengan jelas
bahwa para shahabat menjilid peminum khamr 40 kali, dan 80
kali. Mereka menetapkan had bagi peminum khamr pada dua
batasan ini. Had sebanyak 40 kali ditetapkan dengan nash hadis.
Oleh karena itu mereka menjilid 40 kali sebagai bentuk
pengamalan dari nash hadis, bukan atas dasar ijtihad mereka.
Dengan bukti, perkataan ‗Alî ra, ―Bahwa Rasulullah saw. menjilid 40
kali, ― Adapun jilid sebanyak 80 kali, mereka menjilid 80 kali bagi
peminum khamr berdasarkan ijtihad mereka. Sebab mereka
memahami bolehnya menjilid lebih dari 40 kali. Juga karena
mereka memandang bahwa hudûd yang paling ringan adalah 80
kali. Ada pula yang beralasan bahwa peminum khamr jika mabuk,
akan berkata melantur, dan jika bicara melantur ia akan
berbohong. Oleh karena itu pembohong dikenai sanksi
berbohong yakni jilid 80 kali. Ini yang telah ditempuh oleh para
shahabat, dan yang telah ditetapkan Rasulullah saw. Oleh karena
jilid 40 kali ditetapkan berdasarkan sunnah, sedangkan jilid
sebanyak 80 kali ditetapkan berdasarkan ijtihad dari shahabat

68 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

besar Rasulullah saw., maka had peminum khamr 40 dan 80 kali


jilid.
Dua batasan had ini merupakan had bagi peminum khamr.
Selain dua batasan had ini tidak dibolehkan secara muthlaq, sebab
tidak ada riwayat dari Nabi saw. maupun shahabat ra yang
menunjukkan bahwa mereka menjilid tidak dengan dua batasan
tersebut. Oleh karena itu tidak boleh menjilid 50, 60, atau yang
lain. Sebab sanksi peminum khamr termasuk bagian dari had
bukan termasuk ta‘zîr. Selain itu, dua batasan tersebut telah
ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Rasulullah saw. dan para
shahabat. Sehingga cukuplan mengambil dua batasan tersebut
bukan yang lain. Akan tetapi seorang khalifah boleh mengambil
salah satu dari dua batasan tersebut. Artinya, boleh bagi khalifah
untuk menetapkan salah satu batasan tersebut, dan
menjadikannya sebagai sebuah kewajiban. Sebab, seandainya
khalifah menetapkan 80 kali, maka jilid 40 kali yang ditetapkan
berdasarkan sunnah juga akan tercakup di dalamnya. Adapun
tambahan yang diperbolehkan berdasarkan taqdîr (ketetapan) yang
telah disepakati oleh para shahabat adalah 80 kali. Seandainya
ditetapkan 40 kali, maka ketetapan itu didasarkan pada sunnah,
dan lebih dari itu dibolehkan bagi imam, akan tetapi tidak wajib
baginya. Oleh karena itu boleh bagi imam untuk menetapkan jilid
40 kali saja.
Orang yang meminum khamr harus dijatuhi had jika ia
mengetahui bahwa kebanyakan khamr memabukkan. Adapun bila
selain khamr maka tidak ada had baginya, sebab ia tidak
mengetahui keharamannya, sehingga ia tidak wajib dikenai had
sampai ada salah satu bukti syara‘ berikut ini, ―pengakuan‖, dan
―bukti‖. Salah seorang saksi cukup bersaksi bahwa ia melihat
seseorang minum khamr, sedangkan yang lain melihatnya muntah.
Ini didasarkan pada hadis Hudlain, ―Kemudian dua orang laki-laki
bersaksi; salah satunya bernama Humrân, ia melihat bahwa Walid
meminum khamr, sedangkan yang lain menyaksikan bahwa Walid
memuntahkannya.‖ 

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 69


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Had Pencurian

Had pencurian adalah potong tangan. Ini didasarkan firman


Allah Swt.:
 
―Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya‖.
(QS al-Mâidah [5]: 38)

Imam Bukhâri meriwayatkan dari ‗Âisyah ra, berkata, ―Rasulullah


saw. bersabda,
« »
―Tangan dipotong karena mencuri ¼ dinar atau lebih.‖

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau saw. bersabda,


»

«
―Kehancuran orang-orang sebelum kalian karena jika pembesar-pembesar
mereka mencuri, mereka biarkan, akan tetapi jika orang yang lemah
mencuri mereka memotongnya.‖

Diriwayatkan dari ‗Âisyah ra, ―Bahwa nabi saw. telah memotong


tangan seorang wanita. ‗Âisyah berkata, setelah itu perempuan tadi
menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah saw. Kemudian perempuan
itu bertaubat, dan taubat perempuan itu diterima.‖
Pencurian adalah mengambil harta dari pemiliknya atau
wakilnya dengan cara sembunyi-sembuyi. Pencurian wajib dikenai
had potong tangan dengan syarat, barang yang dicurinya mencapai
nishâb, harta tersebut diambil dari tempat penyimpanan, dan
harta tersebut bukan harta yang syubhat. Baik itu diambil pada saat
malam ataupun siang; atau pencuri tersebut masuk seorang diri
maupun dengan yang lain. Di tempat pemukiman maupun
tempat umum. Hal itu berlaku juga pada tempat tersembunyi,
maupun tempat terbuka, kemudian membawa senjata atau tidak.
70 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Semua orang yang mengambil harta dari tempat penyimpanan


(tersembunyi) dianggap sebagai pencuri. Akan tetapi, seorang
pencuri tidak akan dipotong tangannya kecuali syarat-syarat
syar‘iyyah yang tercantum dalam nash-nash syara‘ telah terpenuhi.
Dengan demikian tidak wajib diberlakukan hukum potong
tangan kecuali dengan tujuh syarat; pertama; perbuatannya
termasuk dalam defenisi pencurian. Yang dikmaksud dengan
pencurian adalah mengambil barang dengan cara sembunyi, atau
rahasia (tertutup). Jika seseorang merampas, menjambret,
merampok, atau mengkhianati, maka orang tersebut tidak disebut
sebagai pencuri, dan tidak dikenai had potong tangan. Imam Abu
Dawud meriwayatkan dari Jâbir, dari Nabi saw., beliau bersabda,
« »
―Bagi penipu, perampok, dan penjambret tidak dipotong tangannya.‖

Seorang yang mengingkari barang titipan (wadî‘ah) tidak dikenai


potong tangan. Sebab fakta orang yang mengingkari barang titipan
berbeda dengan fakta pencurian. Orang tersebut adalah
pengkhianat bukan pencuri. Sedangkan pengkhianat tidak
dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi saw.,
« »
―Bagi penipu, dan perampas tidak dikenai potong tangan.‖

Sedangkan perampokan adalah sejenis dengan penjambretan dan


perampasan; dan biasanya didahului dengan intimidasi sebelum
melakukan perampasan. Lain halnya bagi pengkhianat, orang yang
meminjam barang kemudian mengingkarinya, maka pengkhianat
semacam ini dikenai saksi potong tangan berdasarkan nash yang
menerangkan masalah itu. Sedangkan pencopet, maka ia dikenai
saksi potong tangan sebab ia terkena definisi pencurian, yakni
mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi.
Syarat kedua, harta yang dicuri mencapai nishab. Sebagian
‗ulama menetapkan potong tangan, baik harta yang dicuri sedikit
maupun banyak. Mereka berdalil dengan keumuman ayat. Kata
pencuri laki-laki (al-sâriq) dan pencuri wanita (sâriqah), adalah isim

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 71


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

jenis dengan tanda huruf ―alif‖ dan ―lâm‖, dan termasuk dari
lafadz yang berfaidah kepada makna umum; sehingga meliputi
seluruh pencuri. Diriwayatkan dari Abû Hurayrah bahwa Nabi
saw. bersabda,
« »
―Allah melaknat pencuri, (orang yang) mencuri tali, tangannya dipotong,
(orang yang) mencuri telur, tangannya dipotong.‖

Lafadz Telur (al-baidlah) nilainya tidak setara dengan ¼ dinar.


Pecahan kalimat di sini menunjukkan pengertian ―sedikit‖, bukan
pada telurnya sendiri. Yakni, harus dipotong tangannya meskipun
ia mencuri sedikit. Akan tetapi ada nash-nash lain yang
menunjukkan wajibnya se-nishab. Dari ‗Âisyah ra, ia berkata,
―Rasulullah saw. memotong tangan pencuri pada ¼ dinar atau lebih.‖
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ―Tangan pencuri tidak dipotong
kecuali (mencuri) ¼ dinar atau lebih.‖ Dalam riwayat lain
disebutkan, Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Potonglah tangan pencuri pada ¼ dinar, dan janganlah kalian
memotong tangan pencuri (karena mencuri) kurang dari itu.‖

Ini adalah riwayat-riwayat sharih yang menunjukkan dengan jelas


adanya syarat nishab. Nash-nash ini telah mengkhususkan
keumuman ayat di atas, sebagaimana pengkhususan zina pada ayat
Quran dengan rajam. Adapun hadis Abû Hurayrah, bila
dikompromikan dengan hadis (yang mensyaratkan adanya) nishab,
dapat disimpulkan bahwa maksud dari ―al-baydlah‖ di sini adalah
topi (helm) perang.
Al-A‘masy berkata mengenai hadis yang berkaitan dengan
―baydlah‖, “Para shahabat mengetahui bahwa baydlah (topi/helm)
besi, dan tali setara dengan satu dirham. Diriwayatkan dari Amîrul
Mukminîn ‗Alî ra, ―Sesungguhnya Rasulullah memotong tangan
pencuri yang mencuri baydlah (topi/helm) dari besi yang nilainya ¼
dinar,‖ dan beliau tidak sekadar menunjukkan jumlahnya saja,
bahkan menunjukkan jumlah tertentu. Beliau menjelaskan
72 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan perumpamaan tali dan topi perang. Oleh karena itu nishab
merupakan syarat had potong tangan, jika tidak mencapai nishab
maka tidak dipotong.
Nishab potong tangan sebesar ¼ dinar emas atau lebih, setara
dengan 1,0625 gram emas. Sebab, 1 dinar emas syar‘iy setara
dengan 4,25 gram emas.
Dalil, bahwa ¼ dinar merupakan nishab pencurian adalah;
sebagaimana diriwayatkan dari ‗Âisyah ra, beliau berkata,
―Rasulullah saw. memotong tangan pencuri pada ¼ dinar atau lebih.‖
Imam Bukhâri meriwayatkan dari Hisyâm dari bapaknya ia
berkata, ―‘Âisyah telah memberitahuku bahwa pada masa Rasulullah
saw. tangan pencuri tidak dipotong kecuali senilai dengan perisai, atau
tameng.‖ Al-Majann dan al-jahhafah adalah tameng. Imam Bukhari
meriwayatkan hadis dari Nafi‘, bahwa ‗Abdullah bin ‗Umar
berkata, ―Nabi saw. memotong tangan pencuri yang mencuri tameng
yang nilainya 3 dirham.‖
Nishab pencurian tidak ditetapkan kecuali dengan emas,
berdasarkan sabda Rasulullah saw., ―Tangan pencuri tidak dipotong
bila tidak senilai dengan satu buah tameng. ‗Âisyah ditanya, berapa nilai
tameng itu? ‗Âisyah menjawab, ― Seperempat (1/4) dinar.‖ Oleh
karena itu, nishab harus ditetapkan dengan emas. Penetapan
nishab pencurian dengan emas ditetapkan berdasarkan nash.
Demikianlah, emas dijadikan standar untuk penetapan had-nya.
Had bisa juga ditetapkan dengan perak. Hal ini pernah dilakukan
pada masa Rasulullah saw., sebagaimana had bisa ditetapkan
dengan uang kertas yang berlaku sekarang. Sebab, emas tetap
digunakan sebagai standar untuk menetapkan nishab pencurian.
Telah diriwayatkan dalam hadis-hadis yang mengkonversikan ¼
dinar dengan 3 dirham pada masa Rasulullah saw. Sedangkan 1
dirham setara dengan 2,985 gram perak dengan standar satu dinar
emas setara dengan kira-kira 12 dirham perak pada masa
Rasulullah saw., meskipun sekarang ini nilai satu dirham emas
naik menjadi setara dengan 20 dirham perak. Oleh karena itu ¼
dinar emas sekarang setara dengan lebih dari kira-kira 15 dirham
perak.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 73


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Telah diriwayatkan dalam sebuah riwayat, ―Seperempat


dinar setara dengan 3 dirham.‖ Disebutkan dalam riwayat Ahmad,
“Seperempat dinar setara dengan 3 dirham.‖ Ibnu Mâjah
mengeluarkan sebuah riwayat, ―Dilaporkan kepada ‗Utsman bin
‗Affan seorang pencuri yang mencuri jeruk yang nilainya 3 dirham, bila
dihitung setara dengan 12 dinar. Pencuri itu lalu dipotong tangannya.‖
Semua itu menunjukkan bahwa bahwa 1 nishab sama dengan ¼
dinar. Kadar itu bisa dikonversikan dalam perak, atau uang kertas.
Oleh karena itu harta yang dicuri ditetapkan berdasarkan standar
tersebut, yakni ¼ dinar.
Syarat ketiga, harta yang dicuri berupa harta yang terjaga, yang
diijinkan oleh Syâri‘ (Allah) untuk dimiliki. Oleh karena itu syarat
harta yang dicuri harus berupa harta yang terjaga, yakni harta yang
diijinkan Syâri‘ untuk dimiliki. Apabila seseorang mencuri bukan
berupa harta, yakni sesuatu yang tidak dianggap sebagai harta,
maka ia tidak dipotong tangannya. Seandainya ia mencuri dengan
sengaja pun, ia tidak dipotong tangannya. Sebab, barang (yang
dicurinya) tidak dianggap sebagai harta. Seandainya seseorang
mencuri harta yang tidak terjaga, atau harta yang tidak diijinkan
Syâri‘ (Allah) untuk dimilikinya, maka ia tidak dipotong
tangannya. Oleh karena itu, pencurian khamr dan daging babi
yang dimiliki seorang muslim, maka pencurinya tidak dipotong
tangannya. Sebab itu bukanlah harta-harta yang terjaga. Adapun
jika seseorang mencurinya dari non-Muslim, maka pencurinya
dikenai potong tangan, sebab Syâri‘ mengijinkan untuk memiliki
khamr dan babi (bagi non-Muslim). Harta-harta tersebut bila
dinisbahkan kepada non-Muslim adalah harta yang terjaga. Itu
sebabnya pencuri yang mencuri wadah khamr, mushhaf, buku-buku
pengetahuan, jika nilainya telah mencapai se-nishab, dipotong
tangannya.
Syarat keempat, ia mencuri, dan mengeluarkannya dari
tempat penyimpanan. Jika seseorang mendapatkan pintu dalam
keadaan terbuka, atau tempat penyimpanannya terkuak, maka ia
tidak dipotong tangannya. Imam Abû Dâwud, meriwayatkan dari
‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya, dari kakeknya berkata, ―Saya
mendengar seorang dari suku Mazinah bertanya kepada Rasulullah saw.

74 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tentang kambing yang dicuri dari tempat gembalaannya. Rasulullah saw.


bersabda, ―Dalam hal itu, diganti dua kali harganya dan dipikul sebagai
balasan (tanggungan) baginya; sedangkan yang dicuri dari kandangnya,
maka pencuri itu dipotong tangannya jika nilai setara dengan sebuah
perisai.‖ Al-harîsah adalah pagar untuk menjaga kambing, dan di
situ ada penjagaan. ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari
kakeknya meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari Mazinah
bertanya kepada Nabi saw. tentang pencurian kurma yang masih
ada di pohon. Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Apa yang diambil (sedangkan pencurinya) tidak bermaksud
menyembunyikannya, (maka ia tidak dikenakan tindakan apapun),
sedangkan pencuri yang membawanya, maka dia berkewajiban
mengembalikan dua kali lipat, adapun yang diambil dari dalam gudang
penyimpanan maka dalam hal ini ia dikenai potong tangan bila yang
dicurinya senilai dengan sebuah tameng.‖

Abû Dâwud dan Nasâiy dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari


bapaknya dari kakeknya berkata, ―Rasulullah saw. ditanya tentang
(pencurian) kurma yang masih menggantung. Kemudian Rasulullah saw.
menjawab, ―Barangsiapa mengambil dengan mulutnya tanpa bermaksud
menyembunyikannya, maka ia tidak dikenai sanksi apa-apa, barangsiapa
membawanya, maka ia harus mengembalikan dua kali lipat (dari nilai
buah yang dicurinya) dan (dipikul) sebagai balasan (sanksi), dan
barangsiapa mencurinya setelah disimpan di gudang, dan kadarnya
setara dengan harga sebuah perisai, maka ia wajib dipotong tangannya.‖
Hadis-hadis ini semuanya menunjukkan bahwa
penyimpanan sebagai salah satu syarat dijatuhkannya hukum
potong tangan. Ternak bila diambil dari tempat penggembalaan,
maka pencurian semacam ini tidak dikenai potong tangan. Sebab,
ternak itu tidak diambil dari tempat penyimpanannya
(penjagaannya). Akan tetapi jika ternak itu diambil dari
kandangnya, atau tempat penjagaan, maka pelakunya dikenai
hukuman potong tangan. Begitupun dengan buah kurma yang

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 75


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

diambil dari pohonnya, maka pencurian semacam ini tidak


dikenai potong tangan. Akan tetapi jika kurma tersebut diambil
dari tempat penyimpanan, yakni tempat penyimpanan (semacam
gudang), maka untuk kasus ini dikenakan hukum potong tangan.
Demikianlah, semua harta yang dicuri dari selain tempat
penyimpanan (gudang) tidak dijatuhi had potong tangan. Akan
tetapi jika harta itu diambil dari tempat penyimpanan, dan
nilainya sudah setara ¼ dinar emas, maka dalam hal ini dikenai
had potong tangan.
Pengertian al-hirz (penyimpanan) dikembalikan pengertian
yang dipahami masyarakat, yakni istilah masyarakat/kebiasaan
masyarakat. Bukan dikembalikan kepada pengertian bahasa, atau
pengertian syara‘. Sebab, ia hanyalah sifat sebagai sebuah fakta,
dan istilah bagi penyebutan suatu fakta. Oleh karena itu
pengetiannya tidak dikembalikan kepada dalil, akan tetapi
dikembalikan kepada pengertian yang dipahami masyarakat. Al-
hirz adalah istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut
tempat penyimpanan, yang berbeda-beda (bentuknya) tergantung
dari harta yang disimpan, dan tempatnya. Penyimpanan uang
berbeda dengan penyimpanan ternak dan penyimpanan baju.
Syarat harta hingga berlaku hukum potong tangan bagi
pencurinya, adalah harus dicuri dari tempat penyimpanannya.
Oleh karena itu, seandainya tidak dicuri dari tempat
penyimpanannya maka tidak dijatuhi had potong tangan.
Namun. syarat penyimpanan dikecualikan pada orang
yang meminjam barang kemudian mengingkarinya. Jika seorang
mengingkari barang yang dipinjamnya maka ia kenai had potong
tangan. Sebab, perempuan Mahzûmiyah yang hendak mengadukan
kasusnya kepada Usâmah, agar Usâmah memintakan
pengampunan dari Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. berkata,
―Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, sungguh akan aku
potong tangannya.‖

Rasulullah saw. akhirnya menjatuhkan had potong tangan kepada


wanita tersebut. Sebab, wanita tersebut meminjam barang
kemudian mengingkari apa yang ia pinjam. Rasulullah saw.

76 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memotong tangan perempuan tersebut dikarena ia mengingkari


barang yang dia pinjam. Dengan demikian pengingkaran terhadap
barang pinjaman merupakan pengecualian terhadap syarat al-hirz
(penyimpanan), berdasarkan nash hadis. Dari ‗Aisyah ra berkata,
―Seorang perempuan Mahzûmiyah meminjam barang, kemudian
mengingkarinya. Rasulullah saw. memerintahkan untuk memotong
tangannya. Kemudian keluarganya mengadukan kepada Usâmah
bin Zaid. Selanjutnya Usâmah bin Zaid menyampaikan
pengaduan itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. bersabda
kepada Usamah,
« »
―Hai Usamah aku melihatmu tidak mampu membebaskan had dari
hudûd-nya Allah Swt.

Lalu, Rasulullah saw. berkhutbah,


»

«
―Sesungguhnya kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah jika orang
yang mulia dari mereka mencuri, mereka membiarkannya, akan tetapi
jika orang rendah dari mereka mencuri, mereka motong tangannya. Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fathimah binti
Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya!

Demikianlah akhirnya tangan perempuan Mahzumiah dipotong.‖


Syarat kelima, harta yang dicuri bukanlah harta yang
syubhat ditinjau dari sisi bahwa seseorang memiliki haq terhadap
barang tersebut; atau ia berhak mengambil barang tersebut. Itu
sebabnya, pencuri tidak akan dikenakan hukum potong tangan
bila ia mencuri harta bapaknya, atau harta anaknya, atau harta
yang ia juga berserikat (memiliki haq. Pentj.) di dalamnya. Ini
didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 77
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Kamu dan hartamu milik bapakmu.‖

Juga sabda Rasulullah saw.,


« »
―Sesungguhnya yang paling baik (thayyib) adalah apa yang dimakan
seorang laki-laki dari usahanya, dan anaknya termasuk usahanya.‖

Demikian juga, pencuri tidak dikenai potong tangan, bila harta


yang ia ambil berasal dari baitul mâl.
Ibnu Mâjah meriwayatkan dengan isnad-nya dari Ibnu
‗Abbâs, ada seorang budak mencuri harta dari al-khumus yang
disimpan di baitul mâl. Peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah
saw., dan Rasulullah saw. tidak memotong tangannya. Kemudian
beliau bersabda,
« »
―Harta Allah dicuri satu dengan yang lain.‖

Ibnu Mas‘ûd bertanya kepada Rasulullah saw. tentang orang yang


mencuri harta baitul mâl. Rasulullah saw. menjawab,
« »
―Biarkanlah ia, tidaklah seorangpun kecuali ia memiliki hak terhadap
harta tersebut (harta baitul mâl).‖

Dari Sya‘biy dari ‗Alî ra bahwa beliau pernah berkata,


« »
―Tidak ada potong tangan bagi orang yang mencuri harta dari baitul
mâl.‖

Harta yang kedudukannya seperti harta baitul mâl, merupakan


harta milik umum. Oleh karena itu dalam harta tersebut terdapat
syubhat kepemilikan, yakni setiap orang memiliki haq terhadap
harta tersebut. Tak berbeda, apakah harta itu sendiri adalah harta
78 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

milik umum seperti minyak tanah, atau harta yang menjadi milik
umum, sebab ia merupakan bagian dari energi (yang sangat
dibutuhkan, pent.), seperti listrik dan air. Jika harta tersebut
dicuri, maka pencurinya tidak dikenakan sanksi potong tangan,
akan tetapi ia hanya dijatuhi ta‘zîr. Sebab, masih ada syubhat
kepemilikan dalam harta tersebut. Selain itu, harta-harta tersebut
kedudukannya seperti harta baitul mâl. Salah satu pihak dari
suami-isteri juga tidak dikenakan hukuman potong tangan bila ia
mencuri harta pihak yang lain. Sebab, salah satu pihak dari suami
isteri berhak mengatur harta pihak yang lain, dengan kematiannya
(salah satu pihak). Oleh karena itu harta semacam ini masih
mengandung syubhat kepemilikan, sehingga tidak dikenakan
hukuman potong tangan. Walhasil, setiap harta yang masih
mengandung syubhat kepemilikan, bila dicuri, maka pencurinya
tidak dikenakan sanksi potong tangan. Sebab hudûd tertolak
dengan adanya syubhat.
Syarat keenam, pencuri telah baligh, berakal, dan terikat
dengan hukum-hukum Islam—baik Muslim maupun ahlu dzimmiy.
Jika pencurinya masih kanak-kanak atau gila, maka tidak dikenai
had potong tangan. Ini didasarkan sabda Rasulullah saw.,
―Diangkat pena dari tiga orang; orang yang tidur sampai ia bangun,
anak hingga baligh, dan orang yang gila sampai ia sembuh.‖

―Pengangkatan pena‖ dari mereka maksudnya adalah mereka


bukanlah mukallaf secara syar‘i.
Syarat ketujuh, ditetapkan berdasarkan pengakuan
pencuri, atau dengan saksi yang adil. Pengakuan harus dinyatakan
dengan pernyataan, artinya pencuri harus mengakui barang yang
telah dicurinya. Disebabkan adanya kemungkinan ia mencuri
barang yang tidak dikenai had potong tangan. Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abî Umayyah al-Makhzûmiy, berkata, ―Bahwa
Rasulullah saw. menerima laporan bahwa seseorang dituduh mencuri,
akan tetapi barang yang dicuri tidak bisa ditemukan. Kemudian
Rasulullah saw. berkata kepada orang tersebut, ―Ah, aku kira dia tidak
mencuri! Namun laki-laki itu (yang dituduh mencuri) berkata, ―Benar! Ia
menjawab hingga tiga kali. Rasulullah saw. bersabda, ―Potong

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 79


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tangannya!‖. Rasulullah saw. ingin memastikan bahwa harta yang


dicuri adalah harta--yang apabila dicuri--wajib dikenai had potong
tangan. Sehingga Rasulullah saw. bertanya, ―Ah, aku kira dia tidak
tidak mencuri! Ketika pencuri itu mengiyakan lebih dari sekali, maka
Rasulullah saw. bersabda, ―Potong tangannya!‖

Disunnahkan bagi qadli meminta pencuri untuk


memberikan pengakuan di depannya, serta mempertegas
pengakuannya. Pengakuan cukup diucapkan sekali saja, seperti
halnya semua pengakuan. Adapun pengulangan yang disebutkan
dalam riwayat di atas hanya menunjukkan istbat (penetapan) saja,
bukan menjadi syarat pengakuan. Mengenai persaksian,
disyaratkan harus disaksikan dua orang laki-laki yang adil, atau
seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Sebab ini termasuk
jenis dari persaksian dalam ‗uqûbât (pidana). Dua orang saksi tadi
harus bisa mendeskripsikan pencurinya jika pencuri itu tidak
hadir, dan mampu mengenali pencurinya bila pencuri itu hadir.
Persaksian keduanya tidak boleh saling bertentangan, sehingga
terjadi kontradiksi di antara keduanya. Jika persaksiannya
bertentangan, semisal salah seorang saksi menyatakan bahwa
pencuri itu mencuri pada hari Kamis, sedang yang lain
menyatakan hari Jum‘at; atau salah satu saksi menyatakan bahwa
pencuri itu mencuri mobil, sedang yang lain menyatakan mencuri
sepeda motor, maka pencuri itu tidak dikenai had potong tangan
karena tidak sempurna batas kesaksiannya.
Ini adalah syarat had potong tangan bagi pencurian. Jika
pencurian telah memenuhi syarat-syarat ini, maka pencurinya
wajib dikenai had potong tangan. Pencuri itu tidak cukup hanya
dipotong tangannya, akan tetapi ia wajib mengembalikan barang
yang dicurinya kepada pemiliknya. Imam Abû Dâwud
mengeluarkan riwayat dari Hasan bin Samrah, bahwa ia berkata,
―Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Barangsiapa menemukan barangnya terdapat pada seorang laki-laki
maka ia yang paling berhak terhadap barang tersebut, dan orang yang
menjualnya harus mengembalikan penjualannya.‖
80 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Ini umum, berlaku bagi pencuri, peminjam, perampas, maupun


penipu. Imam Ahmad mengeluarkan Hasan dari Samrah berkata,
‖Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Jika suatu barang dicuri dari seorang laki-laki, atau hilang dari laki-laki
tersebut, kemudian ia menemukannya di tangan seorang laki-laki, maka
ia adalah orang yang paling berhak atas barangnya. Dan orang yang
membelinya harus mengembalikan kepada penjualnya dengan harga yang
senilai.‖

Ini adalah nash yang menjelaskan bahwa barang yang dicuri harus
dikembalikan kepada pemiliknya. Jika barang tersebut bobrok,
atau rusak kandungannya, maka ia wajib mengembalikan kepada
pemiliknya dengan kadar yang senilai. Jika barangnya berkurang
kandungannya padahal tidak digunakan, semisal baju yang
dimakan ngengat, atau rusaknya onderdil mobil, atau yang lain,
maka ia wajib membayar ganti rugi. Demikian pula bila barang itu
rusak atau berkurang kandungannya dengan adanya pemakaian,
maka jika esensi barang itu bermanfaat, seperti kapal terbang atau
onta, maka pencuri harus mengembalikan pemanfaatan barang
tersebut, selama barang itu ada di tangannya, baik dimanfaatkan
secara langsung maupun tidak langsung.

Pencuri Yang Tidak Dikenai Potong Tangan


Itulah syarat harta dan kondisi yang tidak mewajibkan had
potong tangan bagi pencurinya. Ini didasarkan pada keterangan
hadis-hadis yang menunjukkan bahwa syarat harta dan kondisi
tersebut tidak mewajibkan diberlakukannya had potong tangan.
Sebab, kondisi-kondisi di atas tidak terkategori pencurian yang
wajib dikenai sanksi potong tangan. Diriwayatkan dari Râfi‘ bin
Khudaij ra berkata, ―Rasulullah saw bersabda,
« »

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 81


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) tsamr, dan katsar.”

Al-tsamr adalah sebutan bagi buah kurma yang masih


menggantung di pohon. Sedangkan al-katsar adalah kurma muda
yang dicuri agar ia bisa masak (matang) di tempat lain. Al-Katsar
juga bermakna mayang kurma dan tandannya, atau tandan kurma
yang lebat. Dari Hasan ra ia berkata, ―Rasulullah saw bersabda,
« »
―Tidak ada potong tangan dalam pencurian makanan yang disiapkan
untuk disantap.‖

Tidak ada perbedaan, apakah makanan itu disiapkan untuk


disantap pemilik rumah, atau disiapkan pemiliknya untuk dijual.
Sebab, nash hadis bisa diterapkan untuk semua makanan yang
disiapkan untuk disantap orang.
Adapun makanan yang tetap berujud bebijian atau bulir
yang masih bertangkai, semisal gandum dan lain-lain. Maka
makanan semacam ini bukanlah makanan yang disiapkan untuk
dimakan. Oleh karena itu, jika makanan semacam ini tidak
berada di penyimpanannya, semisal biji gandum di ladang, baik
sudah dipanen atau belum dipanen, maka pencurian pada
makanan semacam ini tidak dikenai potong tangan. Adapun jika
makanan semacam ini berada di tempat penyimpanan, maka
pencurinya dikenai potong tangan. Sebagaimana diriwayatkan,
bahwa Nabi saw. ditanya tentang pencurian kambing dari tempat
gembalaannya, kemudian beliau bersabda,
« »
―Jika kambing itu dicuri dari tempat gembalaannya, maka harus diganti
harganya sebagai hukuman (baginya).‖

Dan dalam hadis Amrû bin Syu‘aib, ia berkata,― Wahai Rasulullah,


bagaimana kurma yang diambil dari mayangnya? Rasulullah saw
bersabda, ―Orang yang mengambil dengan mulutnya (untuk dimakan.
Pentj.), dan ia tidak bermaksud untuk menyembunyikannya, maka ia
tidak diberikan sanksi apa-apa, dan orang yang membawanya maka ia
82 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

wajib mengganti harganya dua kali lipat sebagai hukuman baginya, dan
orang yang mengambil dari penyimpanannya maka ia dikenai potong
tangan jika yang dicurinya telah setara dengan harga sebuah perisai.‖ Ini
semua menunjukkan bahwa pencurian yang terjadi di kebun-
kebun, ladang-ladang, tempat-tempat penggembalaan ternak, dan
lain-lain, tidak dikenai had potong tangan.
Demikian pula tidak diberlakukan sanksi potong tangan
pada masa paceklik, yakni pada saat terjadi kemarau panjang (atau
kelaparan). Sebagaimana diriwayatkan dari Makhûl ra bahwa Nabi
saw. bersabda,
« »
―Tidak ada potong tangan dalam kelaparan.

‖ Diriwayatkan dari Hasan dari seorang laki-laki, ia berkata, ―Saya


melihat dua orang laki-laki yang terikat dan seorang pemiliki daging,
mendatangi kepada ‗Umar bin Khaththab. Pemiliki daging berkata,
―Kami memiliki seekor unta bunting, dan kami menjaganya sebagaimana
kami menjaga kebun, kemudian saya mendapati dua orang ini telah
menyembelihnya.‖ ‗Umar berkata, ―Apakah engkau merelakan untamu
yang bunting itu kepada dua orang ini? Sesungguhnya kami tidak
memotong tangan pada (pencurian) kurma yang ada ditandan, masa
paceklik, yakni musim kemarau (kelaparan). Maksudnya musim
kelaparan, sedangkan mereka mencuri pada saat musim
kelaparan. ><><><(kelewat belum diterjemahkan (satu kalimat).
Hlm. 69, baris ke 5 dari atas) ….><><>< Maknanya adalah tidak
ada potong tangan pada masa peceklik. Semisal dengan hal itu,
pencuri yang kelaparan yang tidak menjumpai apapun untuk
dimakan, jika ia mencuri untuk menghilangkan kelaparannya,
maka tidak ada potong tangan baginya. Sebab, kasus ini terkena
sabda Rasulullah saw.,
« »
―Tidak ada potong tangan dalam kelaparan yang sangat.‖

Atas dasar ini, kurma muda yang dicuri agar ia bisa masak
ditempat lain, atau bibit-bibit yang dicuri untuk ditanam di

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 83


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tempat lain, atau kurma yang masih di mayang dan tandannya,


maka tidak diberlakukan sanksi potong tangan untuk kasus ini.
Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Tidak ada potong tangan pada tsamr dan katsr.

” Sementara itu tidak ada nash yang men-taqyid al-katsr dengan


sesuatu, maka tidak ada potong tangan di dalamnya secara mutlak.
Sama saja diambil dari tempat penyimpanan atau yang lain.
Demikian pula tidak ada potong tangan pada makanan yang
sedang disiapkan untuk disantap, inipun tanpa taqyîd, baik
diambil dari tempat penyimpanan atau bukan. Ini berdasarkan
kemutlakan hadis, ―Tidak ada potong tangan pada makanan yang
disiapkan untuk disantap.‖ Kurma, jagung, dan lain-lain, maka tidak
dikenai hukum potong tangan bagi pencurinya, jika diambil
bukan dari tempat penyimpanannya. Adapun jika diambil dari
tempat penyimpanannya maka dikenai had potong tangan. Ini
didasarkan sabda Rasulullah saw., ―Sedangkan yang diambil dari
kandangnya, dalam hal ini dipotong tangannya.‖

Batas Tangan Yang Dipotong


Ayat potong tangan adalah firman Allah Swt.,
 
―Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya‖.
(QS al-Mâidah [5]: 38)

Ayat ini dengan tegas menjelaskan kewajiban potong tangan.


Sedangkan, penafsiran [ ] harus dikembalikan kepada makna
bahasa. Menurut bahasa, jika disebut kata yad, adalah dari tapak
tangan sampai ujung jari-jari, dan dari tapak tangan sampai akhir
tapak tangan. Maksudnya adalah hingga pergelangan, dan tidak
disebutkan dengan makna lain; kecuali ada qarînah. Sebab Allah
Swt. berfirman pada ayat wudlu‘, ―Dan tangan kalian sampai siku-

84 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

siku.‖ Allah Swt. menjelaskan, ―membasuh tangan hingga siku-siku‖.


Seandainya Allah tidak menyebut kata ―sampai siku-siku‖,
tentunya membasuh (tangan) hanya sampai dua pergelangan
tangan saja; artinya, makna membasuh tangan akan dipahami
dengan makna bahasanya saja. Oleh karena itu, pencuri akan
dipotong sampai pada pergelangan tangannya. Diriwayatkan dari
Abû Bakar ash-Shiddîq dan ‗Umar ra, keduanya berkata, ―Jika
seorang pencuri mencuri, maka potonglah pergelangan tangan
kanannya‖. Para shahabat tidak ada yang menentang.
Ayat di atas menyatakan, ‖aidiyahuma‖, maka
pengertiannya mutlak untuk tangan, dan tidak ada ta‘yîn
(spesifikasi) yang jelas. Oleh karena itu ayat tersebut menunjukkan
bolehnya memotong tangan kanan maupun yang kiri tidak ada
perbedaan. Akan tetapi qirât Ibnu Mas‘ud menyatakan, ―Potonglah
tangan kanan (keduanya).‖ Juga ada ketetapan dari Abû Bakar dan
‗Umar ra, bahwa keduanya berkata, ―Potonglah tangan kanannya.‖
Oleh karena itu, potong tangan adalah potong tangan kanan
sampai pergelangan, yakni sampai pergelangan tangan, yakni
sampai penghabisan jari di akhir pergelangan. Yang disebut
dengan tangan secara bahasa dalam kondisi pengucapan dan
tanpa adanya qarînah, adalah tulang yang terletak antara
pergelangan dan telapak tangan.
Setelah tangan pencuri dipotong, dicelupkan ke dalam minyak
panas. Sebagaimana diriwayatkan dari Abû Hurayrah berkata,
―Sesungguhnya Rasulullah saw. menerima laporan seorang pencuri yang
mencuri mantel. Para shahabat berkata, ―Ya Rasulullah orang ini telah
mencuri. Rasulullah saw. bersabda, ―Ah, aku kira engkau hanya
menduganya saja.‖ Pencuri itu berkata, ―Benar, Ya Rasulullah.‖
Rasulullah saw. bersabda, ―Pergilah kalian, dan potonglah tangannya,
kemudian celupkan ke dalam minyak panas.‖ Al-Hasm adalah minyak
yang mendidih. Oleh karena itu, jika tangannya selesai dipotong
dibenamkan ke dalam minyak panas, untuk menutup pembuluh
darah agar darahnya tidak terus mengucur—yang bisa
mengakibatkan—pencuri itu meninggal. Tidak harus minyak yang
mendidih, hanya dengan dalih karena beliau memerintahkan
untuk mencelup tangan pencuri ke dalam minyak, akan tetapi

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 85


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

keharusan itu memiliki ‗illat, yakni agar tidak membunuh


pencurinya. Itu sebabnya boleh menggunakan selain minyak
untuk menghentikan pendarahan. Boleh juga menggunakan alat-
alat kedokteran sebagai ganti dari minyak panas.
Boleh juga memotong tangan pencuri dengan cara yang
paling mudah. Sebab, tendensinya adalah menjatuhkan sanksi
bukan membunuhnya. Jika tangannya hendak dipotong, akan
tetapi ia tidak memiliki tangan untuk dipotong, atau jika
tangannya dipotong menyebabkan keaniayaan atau kebinasaan,
maka dalam kondisi semacam ini hukuman potong tangan tidak
bisa dilaksanakan. Sebab, Allah Swt. memerintahkan untuk
memotong tangan. Jika ia tidak memiliki tangan, gugurlah
hukuman potong tangan, dan tidak boleh diganti dengan anggota
tubuh yang lain. Dengan dalil, tidak adanya nash yang
menunjukkan had potong pada anggota tubuh selain tangan,
selain nash yang menunjukkan hukuman potong pada tangan.
Hukuman potong tangan juga tidak dilaksanakan kepada
seorang wanita yang sedang hamil, demikian juga setelah selesai
bersalin, agar tidak membahayakan anaknya. Hukuman potong
tangan juga tidak dilaksanakan kepada seseorang yang sedang
sakit, akan tetapi ditunggu hingga sembuh, supaya tidak
membahayakan dirinya. Jika seseorang mencuri baru pertama kali,
maka ia dikenai hukuman potong tangan. Jika tangan pencuri
telah terpotong kemudian ia kembali mencuri setelah tangannya
terpotong, maka ia tidak dipotong lagi, akan tetapi dipenjara.
Adapun mengapa bukan anggota badan lain yang dipotong—
sebagai ganti tangan, sebab ayat Quran hanya memberikan nash
bahwa yang dipotong adalah tangannya, bukan anggota badan
yang lain. Hanya had yang telah ditetapkan Allah Swt. yang harus
dilaksanakan. Adapun mengapa ia dipenjara, sebab, pencuri yang
mencuri kedua kalinya tidak dijelaskan sanksinya. Masalah ini
terkategori dalam ta‘zîr.

Had Pencurian Hanyalah Hak Allah


Had pencurian, sebagaimana hudûd yang lain adalah hak Allah
Swt., meskipun di dalamnya terhadap hak anak Adam. Dalam

86 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

hudûd, barang bukti bisa diterima untuk penetapan had, dan orang
yang dicuri tidak perlu melaporkan hartanya. Had pencuri tidak
bisa digugurkan oleh pengampunan dari pemilik barang. Ayat
tentang sanksi potong tangan bersifat umum sebagaimana ayat
zina. Allah Swt. berfirman:
 
―Pencuri laki-laki dan pencuri wanita potonglah kedua tangannya.‖ (QS
al-Mâidah [5]: 38)

Jika alasan potong tangan telah terbukti, maka had bisa


dijatuhkan tanpa adanya tuntutan, sebagaimana had zina. Dalilnya
adalah hadis Makhzûmiyah, bahwa Rasulullah saw. marah atas
tuntutan pengampunan yang diajukan oleh Usâmah. Rasulullah
saw. bersabda,
»

«
―Sesungguhnya kehancuran umat sebelum kamu, disebabkan bila ada
pemuka mereka mencuri dibiarkan, akan tetapi bila pihak yang lemah
mencuri dipotong tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-
Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku
potong tangannya.‖

Kehancuran mereka disebabkan karena tidak dilaksanakannya


hudûd.
Dari Abû Hurayrah dan Nabi saw. berkata,
« »
―Had yang ditegakkan di muka bumi ini lebih baik bagi penduduk bumi
dari pada diturunkan hujan selama 40 pagi.‖

Dari Ibnu ‗Umar dari Nabi saw., bersabda,


Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 87
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Barangsiapa memberikan pengampunan dengan tidak melaksanakan
had dari had-had-nya Allah, maka ia telah menjadi pembangkang
perintah Allah Swt.‖

Semua dalil ini menjelaskan tidak bolehnya menggugurkan hudûd.


Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt., oleh karena itu tidak perlu
penuntut, dan boleh diterima berdasarkan barang bukti.
Namun, apabila pemilik barang mencabut haknya
(pengaduan) sebelum kasusnya diserahkan ke hakim, gugur atau
tidakkah had-nya? Sebagian ‗ulama berpendapat bahwa sanksi
potong tangan bisa gugur dikarenakan adanya pengampunan
sebelum diserahkan ke pengadilan. Mereka berdalil dengan apa
yang diriwayatkan dari Shafwân bin Umayyah, ia berkata, ‖Saya
sedang tidur di Masjid, dengan membawa baju lurik hitam dan merah
(khamîshah) milikku sendiri, lalu baju itu dicuri. Kami berhasil
menangkap pencuri itu, kemudian kami laporkan kepada Rasulullah
saw., kemudian beliau memerintahkan untuk memotong tangannya. Saya
berkata kepada beliau saw., ―Ya Rasulullah, apakah ia akan dipotong
tangannya hanya gara-gara mencuri baju lurik yang bernilai 3 dirham?
Baiklah akan kuberikan saja baju ini kepadanya, atau kujual
kepadanya. Nabi menjawab, ‖Mengapa tidak sebelum engkau serahkan
dia kemari?‖
Mereka juga berdalil dengan apa yang dikeluarkan oleh
Abû Dâwud dari hadis ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari
kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Saling memafkanlah kalian tentang masalah hudûd yang terjadi
diantara kalian, akan tetapi kalau kasus pelanggaran itu telah sampai
kepadaku, maka hukuman itu pasti akan dilaksanakan.‖

Dâruquthniy mengeluarkan riwayat dari hadis Zubair, bahwa


Rasulullah saw. bersabda,

88 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Saling mengampunilah diantara kalian selama belum dilaporkan
kepada wali, jika ada pengampunan setelah dilaporkan kepada wali,
maka Allah tidak memaafkannya.‖

Akan tetapi, bagi orang yang meneliti nash-nash tentang hal ini,
akan mendapatkan bahwa had potong tangan tidak bisa
digugurkan dengan adanya pengampunan secara mutlak, baik
sebelum, atau setelah dilaporkan kepada penguasa. Dalilnya
adalah keumuman ayat pencurian. Sebab, bila alasan potong
tangan telah terbukti, maka wajib potong tangan meski tanpa ada
laporan.
Ibnu Abd al-Barr telah meriwayatkan tentang ijma‘
shahabat atas wajibnya penguasa menegakkan had, jika had
disampaikan kepadanya. Demikian pula diriwayatkan dalam kitab
al-Bahr tentang ijma‘ atas hal tersebut. Juga karena, hadis-hadis
yang melarang pengampunan datang dalam bentuk umum. Oleh
karena itu, nash-nash tersebut mencakup sebelum dan sesudah
dilaporkan. Alasan yang lain, had pencurian adalah hak Allah,
meskipun di dalamnya ada hak anak Adam. Sedangkan hak Allah,
tidak bisa digugurkan dengan pengampunan. Semua ini
menetapkan bahwa had pencurian tidak bisa digugurkan dengan
pengampunan. Adapun hadis-hadis Shafwân, ‗Amrû bin Syu‘aib,
dan Zubair, tidak menunjukkan adanya pengguguran had, akan
tetapi hanya menunjukkan bolehnya pengampunan dari pemilik
barang saja. Pengampunan dari pemilik barang tidak berarti bisa
menggugurkan had. Demikian pula pengampunan dari penguasa.
Hadis Shafwân menyatakan, ―Baiklah akan kuberikan saja baju ini
kepadanya, atau kujual kepadanya.‖ Nabi menjawab,‖Mengapa tidak
sebelum engkau serahkan dia kemari?‖ Maksud dari hadis ini,
mengapa pengampunanmu tidak sebelum engkau membawanya
kepadaku. Hal ini tidak berarti bahwa jika pemilik barang telah
mengampuni pencuri, sebelum diserahkan kepada penguasa, lalu
ada barang bukti yang bisa mendakwanya bahwa ia telah mencuri,
maka tuntutannya tidak diterima, karena ia mengampuninya.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 89
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Hadis tersebut tidak menunjukkan pengertian semacam itu.


Sebab, pemilik baju lurik hitam dan merah itu berkata kepada
Rasul setelah melihat pencuri itu akan dipotong tangannya gara-
gara baju lurik hitam dan merahnya (khamîshah): ―Baiklah akan
kuberikan saja baju ini kepadanya, atau kujual kepadanya.‖ Ini sebagai
kiasan (kinâyah) atas ―tuntutan dari pemilik barang agar beliau
saw. mengampuni pencuri tersebut.‖ Kemudian Rasulullah saw.
menjawabnya, ―Kamu boleh memberikan atau menjualkan baju lurik
hitam merah itu kepadanya sebelum engkau laporkan kepadaku; artinya
boleh bagimu untuk mengampuninya sebelum engkau laporkan
kepadaku, adapun setelah kamu laporkan maka tidak boleh. Artinya
hakmu hanyalah sebelum dilaporkan kepada penguasa.‖
Hadis ini tidak menunjukkan bahwa pencuri yang telah
dimaafkan pemilik barang sebelum diserahkan kepada penguasa
gugur had potong tangan bagi pencuri tersebut. Hadis ini juga
tidak menunjukkan bahwa jika pencuri itu diserahkan kepada
penguasa tidak oleh pemilik barangnya, maka penguasa tidak
perlu memperhatikannya. Dan hadis ini juga tidak menunjukkan
bahwa penguasa wajib mengampuni pencuri karena adanya
pengampunan dari pemilik barang. Sungguh hadis tersebut tidak
menunjukkan pengertian tersebut secara mutlak. Dalalah hadis
tersebut hanya menunjukkan gugurnya hak pemilik barang
dengan adanya pengampunan setelah pencuri itu dilaporkan
kepada penguasa, serta bolehnya memberi pengampunan sebelum
dilaporkan kepada penguasa; tidak menunjukkan pengertian yang
lain.
Adapun hadis ‗Amrû bin Syu‘aib, menunjukkan bahwa
pengampunan di antara mereka adalah jâiz (boleh). Itu sebabnya
beliau saw. bersabda,
« »
―akan tetapi kalau kasus pelanggaran itu telah sampai kepadaku, maka
hukuman itu pasti akan dilaksanakan.‖

90 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Hadis ini berbentuk umum. Sama saja apakah dilaporkan oleh


pemilik barang, atau yang lain. Sedangkan hadis Zubair,
Rasulullah saw. juga bersabda,
« »
―Saling mengampunilah di antara kalian selama belum dilaporkan
kepada wali‖,

artinya saling memaafkanlah diantara kalian. Oleh karena itu


Rasulullah saw. bersabda,
« »
―jika ada pengampunan setelah dilaporkan kepada wali, maka Allah
tidak memaafkannya.‖

Ini bersifat umum, sama saja dilaporkan kepada wali oleh pemilik
barang, atau orang lain, maka tidak ada pengampunan.
Keumuman hadis ‗Amrû bin Syu‘aib dan hadis Zubair
memperkuat bahwa pengampunan dari pemilik barang sebelum
dilaporkan kepada penguasa tidak menggugurkan had, lebih-lebih
lagi setelah dilaporkan. Seluruh hadis tersebut menunjukkan,
bahwa pemilik barang boleh memberikan pengampunan sebelum
kasusnya dilaporkan kepada penguasa.
Oleh karena itu, had pencurian adalah haq Allah Swt. Had
tidak bisa digugurkan secara mutlak. Sama saja, apakah pemilik
barang memaafkan sebelum atau sesudah dilaporkan kepada
penguasa. Jika seorang penguasa menerima laporan suatu kasus
pencurian, maka ia wajib mendengarkan pelapor. Hal ini sama
saja apakah dilaporkan oleh pemilik barang—berdasarkan barang
bukti—atau dari polisi. Sebab had pencurian tidak memerlukan
seorang penuntut. Penguasa tidak boleh menolak laporan. Jika
pencurian itu telah terbukti, had wajib ditegakkan. Sebab, had
tidak bisa gugur dengan pembatalan. Had juga tidak menerima
pembelaan, dan pengampunan. Rasulullah saw. bersabda,
« »

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 91


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―….akan tetapi kalau kasus pelanggaran itu telah sampai kepadaku,


maka hukuman itu pasti akan dilaksanakan.‖
« »
―…jika ada pengampunan setelah dilaporkan kepada wali, maka Allah
tidak memaafkannya.‖

Had Perompak

Peperangan di antara sesama muslim ada dua bentuk;


memerangi bughat dan memerangi perompak. Bughât ada dua
bentuk dan tidak ada bentuk yang ketiga. Orang yang melakukan
pentakwilan terhadap agama dan jatuh dalam penyimpangan, atau
orang-orang yang melawan Daulah Islamiyah, serta orang-orang
dari kalangan pemuja hawa nafsu penentang kebenaran, yang
melakukan tindakan-tindakan radikal. Mereka semua terkategori
kepada para ahli bughât. Golongan kedua bisa dalam bentuk
orang-orang yang menginginkan dunia, kemudian melawan
pemimpin yang sah, atau orang yang sejalan dengan mereka.
Adapun orang yang menyimpang dalam penakwilan
terhadap agama, maka bagi mereka ada hukum khusus dan
mereka terkategori bughât. Adapun orang yang keluar untuk
menginginkan dunia, jika mereka tidak melakukan teror di jalan
(menyamun), tidak merampas harta benda, tidak menumpahkan
darah, mereka terkategori bughât, dan dikenai hukum bughât.
Namun bila mereka melakukan teror di jalan, merampas harta
benda orang yang lewat, dan bahkan menumpahkan darah, maka
hukuman bagi mereka berubah dari hukum bughât ke hukum
perompak.
Asal dari hukum perompak sebagaimana firman Allah Swt.:

92 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah


dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)‖ (QS al-
Mâidah [5]: 33)

Ayat ini turun berkenaan dengan quthâ‘ ath-thâriq


(perompak), baik dilakukan oleh kaum Muslim maupun non-
Muslim, sebab ayat tersebut bersifat umum tidak ada
pengkhususan bagi kaum Muslim saja. Adapun firman Allah Swt.
di ayat berikutnya:
 
―kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka;‖ (QS al-Mâidah [5]: 34)

Maka ayat ini tidak menunjukkan bahwa ia khusus untuk


kaum Muslim. Sebab, taubat di sini adalah taubat dari quthâ‘ ath-
thâriq, dan ini bisa terjadi pada kaum Muslim dan non-Muslim.
Jadi ayat ini bersifat umum. Ini diperkuat dengan sababun nuzul
ayat ini, yaitu kisah suku ‗Urniyyin. Mereka murtad dari Islam,
membunuh penggembala, dan merampas onta shadaqah,
kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk menangkap
mereka. Kemudian Rasulullah saw. memotong tangan dan kaki
mereka, mencongkel mata mereka, dan melempar mereka ke
dalam api hingga mati.
Anas berkata, ―Kemudian Allah menurunkan ayat ini.‖:
 
―Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah‖
(QS al-Mâidah [5]: 33)

Abû Dâwud dan Nasâiy mengeluarkan dari hadisnya Ibnu


‗Abbâs, ―Bahwa sekelompok orang merampas onta Rasulullah saw.,
kemudian mereka murtad dari Islam, membunuh penggembala ontanya
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 93
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Rasulullah saw. yang mukmin. Rasulullah saw. memerintahkan untuk


mencari mereka dan akhirnya mereka berhasil ditangkap. Kemudian
mereka dipotong tangan dan kakinya, dicongkel matanya. Ibnu ‗Abbas
berkata, ―Kemudian turunlah ayat muhâribah ini.‖ Semua ini
menunjukkan bahwa ayat ini bersifat umum pada quthâ‘ ath-thâriq,
baik pelakunya kaum Muslim maupun orang-orang kafir. Oleh
karena itu yang disebutkan dalam ayat ini adalah had bagi quthâ‘
ath-thâriq. Mengenai tata cara pelaksanaan had sebagaimana yang
tercantum dalam ayat ini, adalah sebagaimana diriwayatkan dari
Ibnu ‗Abbâs, ―Rasulullah saw. berpisah dengan Abû Barzah al-Aslamiy,
kemudian datanglah sekelompok orang ingin masuk Islam, kemudian
mereka membunuh shahabat beliau saw., lalu Jibril turun untuk
menjelaskan had bagi mereka, ―Sesungguhnya barangsiapa yang
membunuh dan merampas harta benda, ia akan dibunuh dan disalib;
barangsiapa membunuh tapi tidak merampas harta benda, maka ia
dibunuh, dan barangsiapa merampas harta benda tapi tidak membunuh,
dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang.‖
Imam Syâfi‟iy meriwayatkan dalam musnad-nya dari Ibnu
‗Abbâs tentang quthâ‘ ath-thâriq, ―Jika mereka membunuh dan
merampas harta benda, mereka akan dibunuh dan disalib, dan jika
mereka membunuh tetapi tidak merampas harta benda, mereka dibunuh
saja namun tidak disalib, jika mereka mengambil harta benda tepi tidak
membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, dan jika
mereka menteror di jalan dan tidak merampas harta benda, usirlah
mereka.‖
Dengan demikian sanksi bagi mereka berbeda-beda sesuai
dengan tindakan yang mereka lakukan. Jika mereka hanya
merampas harta benda saja, maka akan dikenai hukuman dengan
dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya (berislangan). Tangan
dipotong di pergelangannya seperti pemotongan pada kasus
pencurian, sedangkan kaki dipotong pada persendian mata
kakinya. Jika mereka hanya menteror di jalan, maka mereka
dikenai sanksi pengusiran. Maksud dari ―nafîy‖ di sini bukanlah al-
habs (pengasingan). Al-habs berbeda dengan an-nafîy, namun nafîy
di sini adalah mengusir dari negerinya ke negeri yang jauh. Jika
mereka hanya membunuh, mereka dikenai hukum bunuh saja.

94 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dan jika mereka membunuh dan merampas harta benda maka


mereka akan dibunuh dan disalib. Penyaliban dilakukan setelah
pembunuhan, bukan sebelumnya. Sebab ayat tersebut
menyebutkan salib setelah menyebut pembunuhan.
Lebih utama mengikuti tertib penyebutan ayat, sebab salib
sebelum pembunuhan adalah penyiksaan, sedangkan tujuannya
adalah menjatuhkan sanksi bukan menyiksanya, dan juga tujuan
dari penyaliban adalah untuk menakut-nakuti yang lain. Dan hal
ini bisa tercapai bila penyalibannya dilakukan setelah
pembunuhannya, yakni dibunuh kemudian disalib di hadapan
khalayak, hingga mereka menyaksikannya telah tersalib dan ia
telah mati. Adapun berapa lama disalibnya, perkiraannya
ditentukan oleh pendapat imam, akan tetapi pada suatu kondisi,
tidak dibiarkan sampai merusaknya dan menimbulkan bau busuk.
Ini adalah sanksi bagi quthâ‘ ath-thâriq. Sanksinya sesuai dengan
dosa yang dilanggarnya, namun dosa tersebut terbatas pada tiga
hal saja; pembunuhan, merampas harta benda, dan menteror di
jalan. Jika mereka melakukan selain hal tersebut, semisal mereka
hanya menghardik saja, melukai dua tangan atau kaki atau tulang
rusuk atau hidung, atau melakukan tindakan selain pembunuhan,
maka tidak ada had bagi mereka. Sebab had adalah sanksi yang
telah ditetapkan kadarnya, maka harus sesuai dengan nash.
Sedangkan nash hanya menetapkan sanksi pada tiga pelanggaran
ini, dan tidak menetapkan had bagi selain tiga hal tersebut.
Namun demikian, pernyataan bahwa tidak ada had selain
pada tiga hal tersebut bukan berarti tidak ada sanksi sama sekali
bagi mereka, akan tetapi maknanya adalah tidak ada sanksi had
yang termasuk dalam hudûd. Oleh karena itu, ia termasuk ke
dalam jinâyat, dan mereka berhak dikenai hukum-hukum jinâyat,
yakni hukum penyerangan terhadap badan, bukan pada jiwa.
Akan tetapi, had bagi quthâ‘ ath-thâriq akan dijatuhkan bila
telah terpenuhi fakta quthâ‘ ath-thâriq, yakni jika mereka telah
memenuhi syarat quthâ‘ ath-thâriq. Jika belum memenuhi syarat
quthâ‘ ath-thâriq maka tidak ada had bagi mereka. Syarat-syarat
quthâ‘ ath-thâriq ada tiga:

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 95


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Pertama, terjadi di luar kota. Yakni di desa, gunung, dataran


luas, tanas luas, dan lain-lain. Serta terjadi di dalam kereta api,
pesawat terbang, dan mobil di luar kota. Sebab, quthâ‘ ath-tharîq
hanya terjadi di tempat yang jauh dari datangnya pertolongan,
yakni tidak adanya bantuan atau pertolongan yang bisa datang
dengan cepat. Adapun bila terjadi di kota, pertolongan bisa
datang dengan capat. Oleh karena itu, barangsiapa melakukan hal
tersebut di kota tidak termasuk quthâ‘ ath-tharîq, namun hanyalah
perampas. Dan perampas bukanlah quthâ‘ ath-tharîq, sehingga
tidak ada had baginya. Akan tetapi jika mereka menyerang kota,
membunuh, merampas harta benda atau menteror di jalan pada
saat penyerangan mereka terhadap kota, maka mereka dianggap
sebagai quthâ‘ ath-thariq, dan diterapkan had quthâ‘ ath-thariq atas
mereka.
Kedua, mereka membawa persenjataan untuk membunuh;
seperti pedang, senapan, senapan otomatis, golok, atau pisau yang
bisa membunuh, atau alat-alat lain yang bisa dipakai untuk
membunuh. Jika mereka tidak membawa senjata, atau bersenjata
namun tidak mematikan secara langsung; seperti tongkat, cemeti,
dan lain-lain, maka mereka tidak dianggap sebagai quthâ‘ ath-
thariq, sehingga tidak dikenai had.
Ketiga, mereka datang secara terang-terangan, mengambil harta
benda dengan cara paksa, dan menetap di tempat-tempat mereka.
Namun jika mereka mengambil harta benda dengan cara
sembunyi-sembunyi mereka disebut pencuri. Jika mereka
merampas harta benda kemudian melarikan diri, mereka disebut
perampas. Jika satu atau dua kafilah mendatangi suatu kafilah
yang lain, kemudian mereka merampok sesuatu dari kafilah
tersebut tanpa mengeluarkan kekerasan dan kekuatan—sedangkan
quthâ‘ ath-thariq menggunakan kekerasan dan kekuatan—maka
semua ini bukan quthâ‘ ath-thariq sehingga mereka tidak berhak
dikenai had quthâ‘ ath-thariq.
Jika tiga syarat ini terpenuhi, maka mereka disebut quthâ‘ ath-
thariq, dan mereka dikenai had. Namun jika salah satu syarat dari
syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, mereka tidak disebut sebagai
quthâ‘ ath-thariq, dan tidak ada had bagi mereka.

96 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Jika quthâ‘ al-thariq bertaubat sebelum tertangkap oleh Daulah,


maka gugurlah hudûd Allah bagi mereka, namun mereka harus
mengembalikan hak-hak manusia (huqûq âdamiyyîn); baik jiwa,
pelukaan, atau harta benda. Akan tetapi bila mereka dimaafkan,
otomatis itupun had-nya gugur bagi mereka. Hal ini berdasarkan
firman Allah Swt.:
 
―kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‖ (QS al-Mâidah [5]: 34)

Dan jika mereka bertaubat setelah penangkapan atas


mereka maka tidak ada satupun hudûd yang gugur bagi mereka.
Hal ini karena mengamalkan mafhum dari firman Allah Swt:
 
―sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka‖ (QS al-Mâidah
[5]: 34) 

Had Orang Bughât


Orang bughât (pembangkang) adalah orang-orang yang melawan
Daulah Islamiyah dan mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan.
Yakni mereka yang memberontak kepada Daulah dengan
menampakkan perlawanannya melalui persenjataan, dan
mengumumkan perang terhadap Daulah Islamiyyah. Tidak ada
perbedaan dalam hal ini, bagi orang yang melawan khalifah yang
adil atau khalifah yang dzalim. Begitu pula tidak ada perbedaan
bagi mereka yang menyimpang dalam menakwilkan agama atau
menghendaki harta. Sesungguhnya mereka semua adalah bughât
selama menampakkan permusuhan di hadapan penguasa Islam.
Kepada para pembangkan ini, khalifah atau wakil khalifah
di wilayah tersebut harus mengirim utusan dan menanyakan
kepada mereka apa yang mereka tidak setujui dari penguasa, jika
mereka menyebutkan kedzaliman dari penguasa, maka penguasa

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 97


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

harus segera menghentikan kedzaliman itu. Jika mereka menjawab


tidak jelas alasannya, maka utusan tadi harus menjelaskan bukti-
buktinya dengan gamblang. Namun, jika mereka mengalami
kesimpangsiuran pemahaman, maka mereka harus diyakinkan
bahwa tindakan mereka bertentangan dengan kebenaran, dan
seharusnya tidak demikian.
Demikian pula, utusan tersebut harus menjelaskan bukti-
buktinya, dan mengarahkan mereka ke arah kebenaran. Sebab,
Islam memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi penguasa,
jika terlihat kekufuran yang nyata dan ada bukti dari Allah Swt.,
atau jika penguasa tidak menerapkan hukum-hukum Islam.
Mereka boleh memerangi penguasa untuk memenuhi kewajiban
dari syara‘. Dengan demikian utusan tersebut harus menjelaskan
kepada mereka hal-hal yang masih samar bagi mereka. Jika mereka
kembali dari bughât (pembangkangan), maka akan diterima dan
mereka tidak boleh ditangkap karena perlawanan mereka. Namun
jika mereka tidak mau kembali, maka mereka wajib diperangi.
Untuk menumpas mereka bukan dengan penyerangan militer,
namun penyerangan yang bersifat edukatif.
Oleh karena itu, haram menyerang mereka dengan sesuatu
yang dapat menyebabkan kematian massal, kecuali dalam kondisi
mendesak. Mereka tidak boleh diserang dengan serbuan kapal
terbang, bom, meriam, kecuali jika dalam kondisi darurat. Yakni
setelah dengan alat-alat yang mendidik tidak berhasil, namun
tidak dengan menggunakan alat-alat militer. Tidak boleh pula
membunuh keluarga mereka, atau orang yang melarikan diri.
Barangsiapa yang melarikan diri dari peperangan, maka mereka
dibiarkan, dan jika mereka membunuh seseorang, mereka tidak
boleh dibunuh semuanya. Jika salah seorang diantara mereka
menyerah, maka ia ditahan dan diperlakukan sebagaimana
perbuatan orang yang melakukan dosa, bukan diperlakukan
sebagaimana tawanan, sebab ia bukanlah tahanan.
Demikian pula, tidak boleh satupun harta mereka diambil,
sebab mereka adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan
edukatif. Dimana perlakuan edukatif tersebut dengan cara
memerangi mereka. Oleh karena itu penyerangan terhadap
mereka tidak diasumsikan sebagai agresi militer ataupun jihad.
98 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Asal had bughât adalah firman Allah Swt.:



―Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.‖ (QS al-
Hujurât [49]: 9)

Ayat ini menyebut orang-orang bughât sebagai orang-orang


yang beriman. Bughât tidak mengeluarkan mereka dari keimanan.
Ayat tersebut juga menunjukkan dengan jelas wajibnya
memerangi para bughât, dan menghentikan penyerangan terhadap
mereka jika mereka kembali kepada perintah Allah Swt. Mereka
tergugurkan dari kewajiban-kewajiban pada apa yang mereka rusak
ketika memerangi mereka, baik jiwa maupun harta.
Dan firman Allah Swt.:
 
―maka damaikanlah antara keduanya‖ (QS al-Hujurât [49]: 9)

Hal ini menunjukkan wajibnya mengirim utusan kepada


mereka sebelum mereka diperangi. Dan ayat ini telah menetapkan
had bughât serta menjelaskan apa had bughât itu, yakni
memeranginya sampai mereka kembali. Akan tetapi setelah
mengirim utusan kepada mereka dan setelah berusaha
menghilangkan hal-hal yang mendorong mereka untuk melakukan
perlawanan; baik kedzaliman, ketidakjelasan, kesalah-pahaman,
atau sebab yang lainnya.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 99


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Jika orang-orang bughât telah menguasai sebagian dari negeri


Islam, kemudian mengangkat qadli untuk mengadili rakyat,
menerapkan hukum-hukum untuk mengatur masyarakat, dan
menegakkan hukum-hukum Islam, maka hukum ketetapan
mereka harus dilaksanakan sebagaimana hukum orang yang adil,
pengaturan penguasa mereka sebagaimana pengaturan orang yang
adil selama mereka berjalan sesuai dengan hukum syara‘.
Jika khalifah berhasil mengalahkan mereka, atau mereka
kembali ke pangkuan daulah, maka ketetapan-ketetapan mereka
harus dilaksanakan. Sebab ketetapan-ketetapan itu adalah hukum
Islam dari penguasa yang diangkat berdasar kesimpang-siuran
peperangan. Dan selama al-Quran masih menganggap mereka
sebagai orang-orang mukmin, dan selama tidak boleh
menghancurkan mereka— kecuali dengan penyerangan untuk
mendidik mereka saja—maka perlakuan terhadap mereka seperti
perlakuan terhadap seorang Muslim yang taat kepada khalifah dan
di bawah kekuasaan suatu negara.
Oleh karena itu memerangi mereka merupakan had dari
hudûd Allah seperti had pencurian, yang tidak dipengaruhi oleh
predikat-predikat atas mereka ataupun hukum-hukum bagi
mereka, selama mereka tetap sebagai kaum Muslim dan
menegakkan Islam 

Persekongkolan Ahlu Bughât


Dengan Orang Kafir

Ahlu bughât diharamkan—sebagaimana diharamkan bagi


seluruh kaum Muslim—bersekongkol dengan orang kafir untuk
memerangi kaum Muslim, baik secara individu maupun negara.
Sebab, jika seorang Muslim memerangi seorang Muslim lainnya
diharamkan, maka pengharaman isti‘anah dengan orang kafir
untuk memerangi kaum Muslim lebih berat. Allah Swt.
menggambarkan pembunuhan seorang Muslim terhadap Muslim

100 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

yang lain sebagai kekafiran, karena begitu besar dosanya.


Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Mencela seorang Muslim adalah fasiq, sedangkan membunuh seorang
Muslim adalah kekafiran.‖

Itu sebabnya, isti‘anah dengan orang kafir untuk memerangi kaum


Muslim lebih berat (sanksinya). Akan tetapi, walaupun hal ini
diharamkan, namun hal ini tidak mengeluarkan eksistensi
keimanan ahlu bughât. Hukum Allah bagi hak mereka tidak
berubah. Mereka tetap dianggap bughât dan mendapat perlakuan
sebagai ahlu bughât meskipun mereka bersekongkol dengan orang-
orang kafir.
Sedangkan orang-orang kafir yang bersekongkol dengan
mereka maka hukum bagi orang-orang kafir tersebut berbeda-
berbeda tergantung kondisi mere
ka. Jika ahlu bughât bersekongkol dengan orang-orang kafir
harbiy yang mendapat jaminan keamanan dari ahlu bughât, atau
orang-orang kafir harbiy tersebut membuat perjanjian dengan ahlu
bughât untuk menjadi ahlu dzimmah, maka orang-orang kafir
tersebut tetap dianggap sebagai kafir harbiy dalam pandangan
Islam. Orang-orang kafir tersebut tidak dianggap sebagai pihak
yang mendapat jaminan keamanan dari ahlu bughât, atau tidak
pula memiliki perjanjian dengan ahlu bughât untuk menjadi ahlu
dzimmah. Sebab, hal-hal tersebut hanya khusus dimiliki oleh
khalifah yang di-baiat dengan baiat syar‘iyyah. Sedangkan ahlu
bughât tidak memiliki hal itu. Oleh karena itu kaum Muslim
memerangi ahlu bughât dengan pemerangan yang bersifat edukatif.
Adapun para kafir harbiy yang bersama dengan ahlu bughât
harus diperangi dengan pemerangan yang sebenarnya, dan
berjihad melawan mereka dengan jihad yang bersifat syar‘iyyah,
serta memerangi mereka dengan peperangan yang tanpa
kompromi. Bagi mereka diterapkan status kondisi perang dan
memperlakukan mereka yang tertangkap sebagai tawanan, dan
diberlakukan bagi mereka hukum-hukum tawanan. Mereka
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 101
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dikenai seluruh hukum jihad, serta seluruh hukum yang


dikenakan kepada ahlu harbiy. Demikian pula jika orang-orang
kafir tersebut adalah kafir musta‘mîn. Sebab, jika mereka
bersekongkol dengan ahlu bughât, pada dasarnya mereka telah
melepaskan perjanjiannya, sehingga mereka berubah menjadi ahlu
harbiy.
Akan tetapi hal itu bisa dijatuhkan kepada mereka jika
mereka—yakni kafir musta‘mîn—melakukan hal tersebut
berdasarkan pilihan dan ketertundukan mereka. Yaitu, jika
mereka bersekongkol dengan ahlu bughât karena pilihan mereka.
Adapun jika mereka bersekongkol dengan ahlu bughât karena
paksaan, takut siksaan dan ancaman mereka, secara langsung kafir
musta‘mîn diperlakukan sebagai bughât bukan perlakuan muhâribîn,
yakni layaknya kafir harbiy. Adapun jika orang-orang kafir yang
bersekongkol dengan ahlu bughât adalah kafir dzimmiy maka
persekongkolan dengan ahlu bughât tidak mengeluarkan eksistensi
mereka sebagai ahlu dzimmah, baik persekongkolannya atas pilihan
sendiri atau paksaan. Sebab, kafir dzimmiy adalah bagian dari
warga Daulah Islamiyyah. Itu sebabnya, kafir dzimmiy dikenai
hukum bughât. Mereka diperangi dengan pemerangan yang
bersifat edukatif, bukan dengan agresi militer. Tidak bisa
dikatakan bahwa persekongkolan kafir dzimmiy dengan ahlu bughât
untuk melawan Daulah Islamiyyah sama artinya mereka telah
melepaskan perjanjian mereka. Hal ini bisa terjadi bila mereka
bersekongkol dengan orang-orang kafir atau negara kafir untuk
melawan Daulah Islamiyyah.
Maka bila hal itu terjadi, mereka telah melepaskan
perjanjiannya dengan Daulah Islamiyyah. Sedangkan
persekongkolan kafir dzimmiy dengan kaum Muslim untuk
melawan Daulah Islamiyyah, yakni persekongkolan mereka
dengan ahlu bughât tidak menyebabkan ahlu dzimmah telah
melepaskan perjanjiannya dengan Daulah Islamiyyah. Sebab,
perjanjian mereka adalah ‗aqad dzimmah yang berada di pundak
kaum Muslim. Maka dzimmah mereka di pundak kaum Muslim
adalah perjanjian. Dengan demikian, persekongkolan kafir
dzimmiy dengan kaum Muslim ahlu bughât melawan Daulah
102 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Islamiyyah tidak berarti bahwa mereka telah melepaskan


perjanjian mereka dengan Daulah Islamiyyah sebagai dzimmah.
Sebab, perjanjian mereka bukanlah perjanjian yang bersifat
temporal sebagaimana kafir musta‘mîn, akan tetapi perjanjiannya
bersifat langgeng. Sehingga perjanjiannya tidak boleh dilepaskan
karena takut pengkhianatan mereka, juga tidak boleh melepas
perjanjiannya karena persekongkolan mereka dengan kaum
Muslim untuk melawan kaum Muslim.
Adapun, jika ahlu dzimmah melawan dan memerangi Daulah
Islamiyyah sendirian—agar mereka bisa keluar dan melepaskan diri
dari Daulah Islamiyyah—maka secara langsung mereka menjadi
orang yang telah melepaskan perjanjiannya yang langgeng tadi,
sehingga jadilah mereka sebagai ahlu harbiy. Dengan demikian,
perlakukan kepada mereka adalah diperangi dengan pemerangan
yang bersifat agresif—yakni agresi militer. Mereka berhak dikenai
seluruh hukum perang. Jika mereka berhasil dikalahkan dan
ditaklukkan, maka mereka diperlakukan sebagai kafir harbiy. Harta
mereka dijadikan sebagai ghânimah dan tawanan mereka dijadikan
sebagai tawanan perang. Bagi Imam, boleh memperlakukan
mereka sebagaimana ia memperlakukan ahlu harbiy.
Dengan begitu, hukum bagi kafir dzimmiy berbeda-beda
tergantung fakta yang terjadi. Setiap fakta memiliki hukum,
sehingga kafir dzimmiy dikenai ketentuan hukum bagi orang kafir
pada setiap kondisi yang telah dijelaskan oleh Islam 

Had Murtad
Murtad adalah keluar dari agama Islam. Siapapun, baik laki-
laki maupun perempuan bila keluar dari agama Islam sedangkan
mereka telah baligh dan berakal, maka mereka diajak untuk
kembali kepada Islam hingga tiga kali dan diancam. Jika
kemudian ia kembali, maka akan diterima, namun jika menolak,
maka akan dibunuh. Allah Swt. berfirman:

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 103


Created by Pustaka Thoriqul Izzah


―Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya.‖ (QS al-Baqarah [2]:217)

Imam Bukhâri meriwayatkan dari ‗Ikrimah berkata,


―Dihadapkan kepada Amirul Mukminin ‗Alî ra orang-orang zindiq,
kemudian beliau ra membakar mereka. Hal ini kemudian disampaikan
kepada ‗Ibnu ‗Abbâs dan ia berkata, ―Seandainya saya, maka saya tidak
akan membakarnya karena larangan dari Rasulullah saw. Beliau
bersabda, ―Janganlah kalian mengadzab (menghukum) dengan ‗adzabnya
Allah.‖ Dan aku (Ibnu ‗Abbâs) akan membunuhnya, berdasarkan sabda
Rasulullah saw., ―Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka
bunuhlah dia.‖
Membunuh laki-laki yang murtad berdasarkan dzahir hadis
tersebut. Sedangkan membunuh wanita yang murtad berdasarkan
keumuman hadis. Sebab Rasulullah saw. bersabda, ―Barangsiapa
mengganti (agamanya)‖. Sedangkan lafadz ―man‖ termasuk lafadz
umum. Juga diriwayatkan oleh Dâruquthniy dan Baihaqiy dari
Jâbir, ―Bahwa Ummu Marwan telah murtad. Rasulullah saw.
memerintahkan untuk menasihatinya agar ia kembali kepada Islam. Jika
ia bertaubat (maka dibiarkan), bila ia tidak, maka dibunuh.‖ Adapun
bagi seorang anak murtad atau orang gila murtad tidak sah. Sebab,
keduanya bukanlah mukallaf. Sehingga keduanya tidak dikenai had
murtad. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., ―Diangkat pena dari
tiga orang, ―Anak kecil hingga baligh, orang tidur sampai bangun, dan
orang gila sampai ia sembuh.‖
Pembahasan mengenai orang murtad dianjurkan untuk
bertaubat dalam tempo tiga hari, ini berdasar hadis dari Marwan,
bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar menasihati orang
yang murtad. Demikian pula yang dilakukan oleh ‗Umar dari
Muhammad bin ‗Abd al-Allah bin ‗Abd al-Qâriy berkata, ―Seorang

104 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

laki-laki dari sisi Abu Musa menghadap kepada ‗Umar bin Khaththab.
‗Umar bertanya kepada lelaki itu, ―Apakah ada kabar dari (daerah yang)
jauh?‖ Lelaki itu menjawab, ―Ada! Yakni, seorang laki-laki telah kafir
setelah beragama Islam.― ‗Umar berkata, ―Apa yang engkau lakukan?‖
Dia kudekati lalu aku membunuhnya.‖ ‗Umar berujar, ―Mengapa tidak
engkau penjara di rumahnya saja selama tiga hari, kemudian engkau beri
makan roti setiap harinya, dan engkau anjurkan agar bertaubat,
barangkali ia bertaubat, dan kembali ke agama Allah? Ya Allah,
sungguh aku tidak setuju tindakan ini, dan aku tidak ridlo karena ia
menyampaikan kepadaku.‖
Selain ‗Umar, sahabat lain yang melakukan hal ini adalah
Abû Bakar. Dâruquthniy dan Baihaqiy mengeluarkan, ―Bahwa
Abû Bakar menganjurkan wanita yang murtad untuk bertaubat. Wanita
itu bernama Ummu Qurfah, dimana ia kafir setelah masuk Islam.
Wanita itu tidak mau bertaubat, sehingga beliau ra membunuh wanita
itu.‖ Hal ini ditetapkan berdasarkan fakta bahwa Rasulullah saw.
menganjurkan orang yang murtad untuk bertaubat, begitu pula
sahabat-sahabat setelah beliau saw., Abû Bakar, dan Umar,
menganjurkan taubat bagi orang murtad sebelum membunuhnya.
Mengenai anjuran taubat selama tiga hari, bukanlah qayyid
(batasan). Tiga hari hanyalah batas minimal yang umumnya
memungkinkan terjadinya keinsyafan, jika belum juga bertaubat,
maka waktu untuk bertaubat bisa lebih panjang. Sebab, maksud
dari anjuran bertaubat adalah menyadarkan ia tentang Islam, dan
agar ia kembali kepada Islam. Sehingga ia harus diberi waktu yang
cukup untuk kembali kepada Islam. Diriwayatkan bahwa Abû
Mûsa memberi kesempatan taubat seorang yang murtad dimana
kemudian Mu‘adz memerintahkan untuk membunuhnya.
Kemudian Abû Mûsa baru membunuh orang murtad tersebut,
dan Abû Mûsa memberi kesempatan taubat selama dua bulan
sebelum kedatangan Mu‘adz. Diriwayatkan dari ‗Umar bahwa
waktu untuk bertaubat adalah tiga hari, jika ia bertaubat maka
taubatnya diterima, jika tidak maka ia tidak dibunuh.
Akan tetapi taubat dari seorang murtad bisa diterima jika ia
tidak mengulang-ulang kemurtadannya. Jika ternyata ia
mengulang-ulang kemurtadannya, maka taubatnya tidak diterima,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 105


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan demikian ia harus dibunuh. Sama saja ia bertaubat atau


tidak. Sebagaimana firman Allah Swt.:


―Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian
beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya,
maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka,
dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.‖ (QS an-
Nisâ‟ [4]: 137)

Firman Allah Swt.:


 
Maknanya adalah Allah tidak menerima taubat mereka. Oleh
karena itu Daulah tidak boleh menerima taubat mereka.
Diriwayatkan oleh Asyram dari Thibyânâ bin ‗Umârah, ―Bahwa
seorang laki-laki dari Bani Sa‘ad melintas ke masjidnya Bani Hunaifah,
sedangkan mereka sedang mengagungkan Musailamah al-Kadzab.
Kemudian laki-laki itu mendatangi Ibnu Mas‘ud dan menceritakan
kejadian tersebut. Kemudian mereka didatangi dan mereka disuruh
bertaubat. Kemudian mereka bertaubat. Semuanya telah meninggalkan
jalan keyakinan mereka kecuali seorang laki-laki, dimana Ibnu Nuwâhah
berkata kepadanya, ―Sungguh aku melihat engkau satu kali, dan aku
menduga bahwa engkau telah bertaubat, dan aku melihatmu mengulangi
lagi perbuatanmu itu. Maka laki-laki tersebut dibunuh.‖
Sedangkan yang berhak membunuh orang murtad adalah
Daulah dengan ketetapan dari penguasa. Jika seseorang
membunuh salah seorang dari kaum Muslim dengan sengaja,
maka ia wajib dikenai qishâsh, seperti bila seseorang membunuh
orang kafir yang telah menjadi warga negara Daulah Islamiyyah.
Murtad adalah orang yang kafir setelah masuk agama
Islam. Setiap orang yang kafir setelah masuk Islam disebut
murtad. Seorang Muslim bisa menjadi kafir disebabkan empat hal;
i‘tiqad (keyakinan), syak (ragu-ragu), qaul (ucapan), dan fi‘l
(perbuatan). Adapun i‘tiqad, ini ada dua sisi; (1) menyakini
106 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan pasti sesuatu yang berlawanan dengan apa yang


diperintah, atau yang dilarang oleh agama. Semisal menyakini,
bahwa Allah memiliki sekutu. Menyakini bahwa al-Quran
bukanlah Kalamullah; (2) mengingkari sesuatu yang sudah
diketahui dalam masalah agama. Semisal mengingkari jihad,
mengingkari keharaman khamr, mengingkari hukum potong
tangan, dan lain-lain.
Mengani syak (ragu) adalah keraguan dalam berakidah,
dan keraguan dalam semua hal yang dalilnya qath‘iy. Dengan
demikian, barangsiapa ragu bahwa Allah itu satu, Muhammad
saw. adalah Rasulullah, atau ragu tentang sanksi jilid bagi pezina
ghairu muhshân, maka ia telah kafir.
Tentang perkataan, maka yang dimaksud perkataan disini
adalah perkataan yang tidak mengandung penafsiran lagi.
Barangsiapa mengatakan bahwa al-Masih putera Allah, agama
Islam adalah buatan Muhammad, dan lain yang sejenis, maka ia
telah kafir dengan jelas. Sedangkan perkataan yang masih belum
jelas, atau masih perlu ditakwilkan lagi, maka hal ini tidak
memurtadkan pengucapnya, walaupun perkataannya mengandung
99 persen kekafiran, dan 1 persen keimanan. Hal ini harus
dikembalikan kepada yang 1 persen itu, bukan yang 99 persen,
sebab masih mengandung sisi iman. Karena masih ada 1 persen
keimanan itu, maka ucapannya masih mengandung penafsiran,
maka perkataan itu tidak mengkafirkan pengucapnya. Selain itu
perkataan tersebut tidak menjadikan ia sebagai orang kafir,
kecuali jika perkataannya dalam bentuk perkataan kufur yang
pasti.
Adapun mengenai perbuatan, maka yang dimaksud
perbuatan di sini adalah perbuatan yang jelas (pasti) tanpa perlu
takwil lagi bahwa perbuatan itu termasuk kekufuran. Barangsiapa
menyembah berhala, melakukan misa di gereja dengan tata cara
misa ala gereja, maka ia telah kafir dan murtad dari Islam. Sebab,
misanya orang Kristen adalah kekufuran, maka barangsiapa
mengerjakannya maka ia telah melakukan kekufuran, tanpa perlu
takwil lagi. Sedangkan perbuatan yang masih mengandung
penafsiran, maka perbuatan tersebut tidak mengkafirkan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 107


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

pelakunya. Siapapun masuk gereja tidak mengkafirkan pelakunya.


Sebab, masuknya seseorang ke gereja bisa jadi untuk pertunjukkan
saja, bisa jadi ia masuk gereja untuk sholat. Atau siapapun yang
membaca Kitab Injil, tidak mengkafirkannya. Sebab, bisa jadi ia
membaca Injil untuk mempelajarinya secara mendalam untuk
membantah kitab Injil tersebut, atau bisa jadi ia membaca untuk
sekadar wacana saja.
Oleh karena itu setiap perbuatan yang masih mengandung
takwil tidak mengkafirkan pelakunya, dan tidak memurtadkan
pelakunya jika ia mengerjakan perbuatan itu. Had riddah bisa
dijatuhkan sebagaimana telah ditetapkan dalam hudûd, namun
jumlah saksinya berbeda dengan kasus zina, saksi riddah adalah
dua orang saksi laki-laki yang adil, atau seorang laki-laki dan dua
orang wanita, atau dengan pembuktian-pembuktian yang
syar‘iyyah, sebab tidak ada nash yang menyebutkan secara khusus
tentang masalah ini (riddah).

Harta Orang Murtad


Seseorang yang murtad sebelum ia bertaubat, maka ia adalah
pemilik hartanya, dan apa yang ia usahakan. Namun jika ia
diminta kembali kepada Islam menolak, maka ia dijatuhi sanksi
bunuh; atau jika ia meninggal setelah kemurtadannya, maka
hartanya digunakan untuk melunasi utang-utangnya, serta
mengurusi jiwanya, memberi nafkah kepada isteri, dan orang-
orang yang ada di bawah tanggung-jawabnya. Sebab, hak-hak ini
tidak boleh ditelantarkan. Jika hartanya tidak tersisa setelah itu,
maka perkaranya telah berakhir. Namun jika ada sisa, maka harta
sisa ini adalah harta fai‘, dan dimasukkan ke dalam baitul mâl
bersama harta negara, layaknya harta fai‘. Demikian pula bila ia
bergabung dengan dâr harbiy dengan cara melarikan diri dari
Daulah Khilafah menuju salah satu dari negara-negara kafir. Akan
tetapi jika ia melarikan diri ke negara kafir, harta-hartanya
ditempatkan di tempat yang aman (harta-hartanya dibekukan
dengan ketetapan dari negara), dan Daulah Islamiyyah akan
melakukan upaya agar si murtad bertaubat (kembali ke agama
Islam). Namun, jika upaya ini tidak berhasil—dan si murtad tetap

108 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bersikukuh dalam kemurtadannya—maka orang tersebut berhak


untuk dibunuh, atau diperlakukan sebagai orang yang harus
dibunuh (diperangi). Dengan demikian, hartanya menjadi harta
fai‘.
Dalilnya adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abû
Bakar terhadap orang-orang yang murtad. Abû Bakar memerangi
orang-orang yang murtad, dengan cara menghalalkan darah
mereka dan merampas harta mereka dikarenakan kemurtadan
mereka. Harta mereka dijadikan sebagai harta ghanimah. Dan
seluruh sahabat menyetujui tindakan ini. Itu sebabnya, bila
penduduk suatu negeri murtad, maka negeri itu menjadi dâr harb.
Maka harta mereka menjadi ghanimah, mereka akan menjadi
tawanan perang. Demikian pula anak-anak dan wanita-wanita
mereka harus ditawan. Bagi Imam, wajib memerangi mereka
(murtadîn), berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abû
Bakar ra, sebab hal ini telah disepakati oleh para sahabat ra.

Bab II
Jinâyât

Jinâyât adalah bentuk jama‘ (plural) dari jinâyah. Sedangkan


secara bahasa, jinâyât bermakna penganiayaan terhadap badan,
harta, atau jiwa. Sedangkan menurut istilah jinâyât adalah
pelanggaran terhadap badan yang didalamnya mewajibkan qishâsh
atau harta (diyat), juga berarti sanksi-sanksi yang dijatuhkan
terhadap tindak penganiayaan ini. Dengan demikian, tindak
penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas
penganiayaan atas badan disebut dengan jinâyât. Pemecahan
terhadap gigi, begitu pula pembunuhan yang mirip dengan
sengaja disebut pula dengan jinâyât. Masing-masing penganiayaan
itu disebut dengan jinâyât. Begitu pula sanksi bagi masing-masing
penganiayaan itu disebut dengan jinâyât.
Salah satu jinâyât yang paling besar adalah sanksi bagi tindak
pembunuhan. Dan termasuk salah satu hukum yang paling
menonjol yang telah diketahui adalah pengharaman terhadap

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 109


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tindak pembunuhan tanpa hak. Pengharaman pembunuhan telah


ditetapkan berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt.
berfirman:


―Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,‖ (QS al-Isrâ [17]: 33)

Dan juga firman Allah Swt.:


 
―Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja),‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 92)

Demikian pula firman Allah Swt.:



―Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja,
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya.‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 93)

Ayat-ayat ini qath‘iy baik tsubût (sumber) dan dalalah-nya


(dalilnya) di dalam pengharaman tindak pembunuhan. Oleh
karena itu, ia termasuk hukum-hukum yang bersifat qath‘iy (pasti).
Adapun sunnah, dari Ibnu Mas‘ûd berkata, ―Telah bersabda
Rasulullah saw.,
»

110 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Tidaklah halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi tidak ada
Tuhan selain Allah dan Aku (Muhammad) adalah utusan Allah, kecuali
karena salah satu dari tiga hal ini, ―Lelaki yang telah beristeri yang
berzina, jiwa dengan jiwa (qishâsh), murtad dari agamanya sehingga
memisahkan diri dari jamaah.‖

Dari ‗Âisyah ra dari Nabi saw., bahwa beliau saw. pernah


bersabda,
»

«
―Tidak halal membunuh seorang Muslim kecuali karena salah satu dari
tiga hal ini; muhshân yang berzina maka ia dirajam, seorang laki-laki
membunuh seorang Muslim dengan sengaja, dan seorang laki-laki yang
keluar dari Islam (murtad), maka ia diperangi Allah dan Rasul-Nya.‖

Ini adalah nash bagi pengharaman pembunuhan, ―Tidak halal


darah seorang Muslim‖. ―Tidak halal membunuh seorang Muslim‖.
Oleh karena itu, pembunuhan adalah haram. Keharamannya
merupakan perkara yang telah ma‘lûmun min ad-dîni bi adl-
dlarûrah‖. 

Bentuk Pembunuhan
Pembunuhan ada empat bentuk; sengaja, seperti sengaja, tidak
sengaja, dan terjadi tidak dengan kesengajaan. Pembunuhan
―sengaja‖ didasarkan pada firman Allah Swt.
 
―Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja,‖
(QS an-Nisâ‟ [4]: 93)

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 111


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Pembunuhan ―seperti sengaja‖ didasarkan pada riwayat


‗Abd al-Allâh bin ‗Amrû bin ‗Âsh, ―Perhatikan, diyat pembunuhan
seperti sengaja adalah 100 ekor unta, yang 40 ekor adalah unta yang
sedang bunting.‖
Pembunuhan ―tidak sengaja‖, dijelaskan dengan gamblang
dalam firman Allah Swt.:
 
―Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja),‖ (QS an-Nisâ [4]: 92)

Sedangkan pembunuhan yang ―terjadi tidak dengan


kesengajaan‖, maka pembunuhan semacam ini tergolong dalam
pembunuhan tidak sengaja, akan tetapi tidak bisa diterapkan
definisi pembunuhan tidak sengaja. Faktanya berbeda dengan
fakta pembunuhan tidak sengaja. Sebab, pembunuhan tidak
sengaja ada unsur kehendak (niat) dari sisi pelakunya–untuk
melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak sengaja dari sisi
akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Adapun
pembunuhan ―terjadi tidak dengan kesengajaan.‖, perbuatan itu
terjadi bukan karena kehendaknya. Oleh karena itu, fakta
pembunuhan semacam ini berbeda dengan fakta pembunuhan
tidak sengaja.

Pembunuhan Sengaja
Pembunuhan ―sengaja‖, adalah seseorang membunuh orang
lain dengan sesuatu yang pada umumnya sesuatu tersebut dapat
membunuh yang lain; atau seseorang memperlakukan orang lain
yang pada umumnya perlakuan itu dapat membunuh orang lain.
Pembunuhan ―sengaja‖ ada tiga macam;
Pertama, memukul dengan alat yang biasanya dapat
membunuh seseorang. Misalnya pedang, pisau tajam, pistol,
granat tangan, dan sesuatu yang biasanya dapat digunakan untuk
membunuh. Atau memukul orang dengan benda berat dan besar
yang bisa berakibat terbunuhnya orang; semisal benda-benda dari
besi. Contohnya landasan palu dan martil; atau kayu yang berat,

112 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

batu besar, atau kayu yang besar, dan lain-lain. Pembunuhan


semacam ini merupakan jenis pembunuhan sengaja, dan dikenai
hukum-hukum pembunuhan yang disengaja.
Kedua, membunuh seseorang dengan alat yang biasanya tidak
dapat membunuh seseorang, akan tetapi ada indikasi lain yang
umumnya bisa menyebabkan terbunuhnya seseorang. Seperti
tongkat yang didalamnya ada besi yang berat, atau di kepalanya
ada paku yang besar. Atau pemukulannya dilakukan secara
berulang-ulang yang biasanya dapat membunuh seseorang, semisal
batu yang dilemparkan berulang-ulang yang umumnya bisa
membunuh seseorang, atau batu yang pinggirnya dibuat lancip
seperti pisau. Semua ini dianggap bagian dari jenis pembunuhan
yang disengaja. Diriwayatkan dari Anas, ―Seorang Yahudi telah
menjepit kepala seorang perempuan dengan dua buah batu. Kemudian
ditanyakan kepadanya, siapa yang melakukan hal ini? Ia menjawab, ‖Si
fulan atau fulan, hingga menyebut nama seorang Yahudi‖. Rasulullah
saw. bertanya, ‖Apakah engkau telah menjepit kepalanya? Yahudi itu
akhirnya mengakui perbuatannya. Kemudian Rasulullah saw.
memerintahkan untuk menjepit kepala Yahudi itu dengan dua buah
batu.‖
Ketiga, memperlakukan seseorang dengan suatu perbuatan
yang biasanya perbuatan itu dapat membunuh seseorang, seperti
mencekik lehernya, menggantung lehernya dengan tali, atau
melemparkan seseorang dari tempat yang tinggi; semisal puncak
gunung, bangunan-bangunan yang tinggi, dilempar dari pesawat
terbang. Bisa juga dilempar dari mobil yang sedang melaju cepat,
atau menenggelamkan seseorang ke dalam laut, atau melempar
seseorang ke dalam api. Bisa juga dengan cara mengumpulkan
seseorang bersama singa atau macan di tempat yang sempit,
seperti dalam kerangkeng. Perlakuan tersebut bisa juga dengan
cara memenjarakan seseorang di suatu tempat dan tidak diberi
makan dan minum, hingga batas waktu yang seseorang tidak
mungkin bisa bertahan, yang akhirnya ia meninggal. Perbuatan
lainnya adalah seperti memberikan minuman beracun, atau
memberi seseorang makanan mematikan; atau perbuatan-
perbuatan lain yang biasanya bisa menyebabkan terbunuhnya
seseorang. Malah bisa jadi itu diakibatkan oleh seseorang balas
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 113
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dendam terhadap orang lain--karena orang itu telah membunuh


orang lain--kemudian ia membunuh orang tersebut. Akhirnya,
orang itu menjadi pembunuh dari pembunuh langsung.
Semua perbuatan yang umumnya bisa digunakan untuk
pembunuhan, tergolong pembunuhan sengaja. Abû Dâwud
meriwayatkan tentang peristiwa orang Yahudi yang memberi
Rasulullah saw. daging kambing beracun, kemudian Abû Salamah
berkata tentang peristiwa itu, ―Akhirnya terbunuhlah Basyir bin al-
Barâ‘, kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuh
Yahudi tersebut.‖

Sanksi Pembunuhan Sengaja


Hukum pembunuhan disengaja--dengan seluruh jenisnya, maka
pembunuhnya akan dibunuh. Artinya, dalam kasus pembunuhan
sengaja wajib dijatuhkan qishâh bagi pelakunya, yakni membunuh
pembunuhnya sebagai balasan atas perbuatannya membunuh
orang dengan sengaja, jika wali yang dibunuh tidak
memaafkannya. Jika ada pengampunan, maka diyat-nya harus
diserahkan kepada walinya, kecuali jika mereka ingin bersedekah
(tidak menuntut diyat). Dalilnya, firman Allah Swt.:
 
―Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh.‖ (QS al-Isrâ [17]: 33)

firman Allah Swt.:

firman Allah Swt.:

Qishâsh adalah sebanding, yakni membunuh


pembunuhnya. Imam Bukhâri meriwayatkan dari Abû Hurayrah
bahwa Nabi saw. bersabda,

114 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak, bisa meminta
tebusan (diyat), atau membunuh pelakunya.‖

Imam Abû Dâwud meriwayatkan dari Abû Syuraih al-Khazâ‘iy, ia


berkata, ―Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Barangsiapa tertumpah darahnya atau tersakiti, maka ia bisa memilih
salah satu dari tiga pilihan, bisa meng-qishâsh, atau mengambil tebusan,
atau memaafkan, jika ingin yang keempat, maka kuasailah dirinya
(dibuang).‖

Rasulullah saw. bersabda,


« »
―Pembunuhan sengaja wajib kena qishâsh kecuali diampuni wali
terbunuh.‖

Imam Abû Dâwud mengeluarkan riwayat, bahwa Nabi saw.


bersabda,
« »
Dan dikeluarkan dari Ibnu Majah, sesungguhnya Nabi saw.
bersabda:
»

«
―Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia dikenai qishâsh,
barangsiapa satu dengan yang lainnya menghalalkannya, maka ia akan
mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia, dan tidak akan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 115


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

diterima, dan tidak akan diterima amal wajibnya (sharf) dan amal
sunnahnya (‗adl).‖

Diriwayatkan dari Tirmidzi dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari


bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
»

«
‖Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka keputusannya
diserahkan kepada wali-wali pihak terbunuh, mereka berhak membunuh,
atau mengambil diyat, yakni 30 unta dewasa, 30 unta muda (jadza‘ah),
dan 40 unta yang sedang hamil (khalifah), dan mereka juga berhak
memaafkannya.‖

Ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa hukuman bagi


pembunuh sengaja adalah qishâsh, atau pihak wali meminta
tebusan, atau memaafkan.

Al-Qawad (Qishâsh)
Al-Qawad adalah membunuh pembunuh (yang melakukannya
dengan) sengaja. Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia dijatuhi al-qawad‖.

Berdasarkan hadis ini, maka barangsiapa membunuh seseorang


dengan sengaja maka ia harus dibunuh. Pihak yang dibunuh
(dalam hal ini wali korban. pent.) berhak membunuh
pembunuhnya meskipun pembunuhnya menggunakan alat
apapun, tuna netra, miskin, atau sebaliknya. Al-Qawad juga
berlaku meskipun berbeda dalam pengetahuan dan
kedudukannya, kaya dan miskin, sehat dan sakit, kuat dan lemah,

116 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

besar dan kecil, penguasa dan rakyat, dan lain-lain. Tidak ada
bedanya, apakah pembunuhnya merdeka ataupun budak, laki-laki
maupun perempuan, Muslim maupun kafir. Jiwa harus dibalas
dengan jiwa, tanpa memandang seluruh predikat di atas. Ini
didasarkan pada sabda Rasulullah saw., dalam hadis Ibnu Mas‘ûd,
―Jiwa dengan jiwa‖ Hadis ini berbentuk umum. Ini saja sudah
cukup untuk menunjukkan wajibnya qishâsh bagi pembunuh
tanpa memandang predikat-predikat di atas. Sebab, ini adalah
hadis shahih, serta menyebut dengan jelas tentang topik qishâsh.
Kata al-nafs adalah isim jenis yang mencakup seluruh jiwa.
Seorang lelaki harus dibunuh karena membunuh seorang laki-laki
yang lain, atau laki-laki membunuh seorang perempuan, orang
yang merdeka membunuh orang yang merdeka pula, atau orang
yang merdeka membunuh hamba sahaya (budak), Muslim
membunuh orang kafir, orang kafir membunuh Muslim, atau
yang lain. Tidak ada perbedaan antara jiwa-jiwa tersebut. Adapun
seorang laki-laki harus di-qish^ash karena membunuh perempuan,
ini didasarkan pada nash hadis Imam Mâlik yang mengeluarkan
riwayat dari hadis ‗Amrû bin Hazm bahwa Nabi saw. telah
menulis surat kepada penduduk Yaman, ―Seorang laki-laki harus
dibunuh karena membunuh seorang wanita.‖ Bukhâri meriwayatkan
dari Anas, ―Seorang Yahudi telah menjepit kepala seorang perempuan
dengan dua buah batu. Kemudian ditanyakan kepadanya, siapa yang
melakukan hal ini? Ia menjawab, ‖Si fulan atau fulan, hingga menyebut
nama seorang Yahudi‖. Rasulullah saw. bertanya, ‖Apakah engkau telah
menjepit kepalanya? Yahudi itu akhirnya mengakui perbuatannya.
Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk menjepit kepala
Yahudi itu dengan dua buah batu.‖ Dua hadis ini dengan jelas
menunjukkan bahwa seorang laki-laki harus dibunuh karena
membunuh perempuan. Dan cukuplah sabda Rasulullah saw.,
―Seorang laki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang wanita.‖
Adapun orang yang merdeka harus dibunuh karena
membunuh hamba sahaya (budak), Imam Muslim dan Bukhâri
meriwayatkan dari Hasan dari Samrah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
« »
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 117
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya,


barangsiapa memenjarakan budaknya maka kami akan
memenjarakannya.‖

Jika tuan harus dibunuh karena membunuh budaknya, maka


bukan pemilik budak harus dibunuh karena membunuh budak
lebih utama lagi.
Adapun qishâsh terhadap seorang Muslim karena
membunuh orang kafir, maka dalam kasus ini harus dibedakan
antara kafir harbîy—kafir yang tidak diberi jaminan keamanan
maupun hak-hak umum dari negara Islam, dan juga tidak ada
jaminan khusus bagi orang kafir tersebut— dengan kafir dzimmîy,
dan kafir musta‘min. Kafir harbîy yang tidak diberi jaminan
keamanan, maka seorang Muslim maupun kafir dzimmîy, tidak
dibunuh karena membunuh kafir harbîy tersebut, sama saja kafir
harbîy fi‘lan, yakni orang kafir yang memusuhi Daulah Islam secara
langsung; seperti halnya kabilah-kabilah sebelum Rasulullah saw.
mengumumkan perang terhadap mereka. Sebab, bagi al-muhârib bi
al-fi‘l tidak ada khilaf, bahwa seorang Muslim harus memerangi
mereka di manapun mereka berada. Darah mereka tidak terjaga.
Adapun bagi ghair al-muhârib bi al-fi‘l, yakni kafir yang tidak
memerangi Islam, jika ia bukan kafir mu‘âhid, yakni orang kafir
yang berada dalam perjanjian dengan negara Islam. Bila seorang
Muslim membunuhnya, maka seorang Muslim itu tidak dibunuh
karena membunuh kafir tersebut. Akan tetapi ia hanya
menyerahkan diyat yang jumlahnya separuh dari diyat seorang
Muslim. Sebagaimana diriwayatkan dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari
bapaknya dan dari kakeknya, bahwa Nabi saw. bersabda,
« »
―Ðiyat seorang kafir separuh diyat seorang Muslim.‖

Alasannya, kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka,


dan antara kita dengan mereka (kafir harbîy) tidak sedang terjadi
perang langsung.

118 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Oleh karena itu, seorang Muslim secara mutlak tidak


dibunuh karena membunuh kafir harbîy, yang tidak memiliki
perjanjian. Dalilnya, bahwa Rasulullah saw. telah menyebutkan
dengan jelas dalam hadisnya, bahwa seorang Muslim dan kafir
mu‘âhid tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir. Imam
Ahmad meriwayatkan dari ‗Alî ra, bahwa Nabi saw. bersabda,
« »
―Perhatikan, seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh seorang
kafir, demikian pula kafir yang memiliki perjanjian.‖

Disahkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau saw. bersabda,


« »
―Seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir,
demikian pula kafir yang memiliki perjanjian.‖

Makna hadis, ―Seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh


seorang kafir, demikian pula kafir yang memiliki perjanjian‖ adalah
seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir,
demikian pula seorang kafir yang memiliki perjanjian (kafir harbîy
yang terikat dengan perjanjian, baik kafir yang mendapat jaminan
keamanan, maupun kafir dzimmiy. Ini adalah dalil, bahwa seorang
Muslim dan kafir mu‘âhid tidak dibunuh karena membunuh kafir
harbîy.
Kafir bukan harbîy, bisa terkategori kafir dzimmîy, atau kafir
musta‘min. Jika ia seorang kafir dzimmîy, maka ia mendapat
perlakuan sama seperti seorang Muslim dalam hal penjagaan
terhadap darah, harta, dan kehormatannya. Darah mereka haram
atas kaum Muslimin seperti halnya darah seorang Muslim. Imam
Bukhâri meriwayatkan dari ‗Abdullah bin ‗Amrû dari Nabi saw.
bersabda,
»

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 119


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Barangsiapa membunuh kafir mu‘ahid, maka ia tidak akan mencium


bau surga, padahal bau surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.‖

Imam Tirmidzîy meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abû


Hurayrah dari Nabi saw., bahwa beliau saw. bersabda,
»

«
―Perhatikan, barangsiapa membunuh kafir mu‘âhid, maka ia mendapat
celaan dari Allah dan RasulNya. Sungguh saya berlindung dari celaan
Allah, dan ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga bisa
tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.‖

Dua hadis ini menunjukkan keharaman membunuh kafir


mu‘âhid dan dzimmîy, dan memberi ancaman yang keras atas
pembunuhan yang menimpa kafir mu‘âhid dan kafir dzimmîy,
karena ada dalâlah yang menunjukkan bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu, akan kekal di dalam neraka, dan
pengharaman surga baginya. Imam Bayhaqîy mengeluarkan hadis
dari ‗Abd al-Rahman al-Bilmânîy, ―Rasulullah saw. telah membunuh
seorang Muslim yang membunuh kafir mu‘âhid. Kemudian beliau
bersabda, ―Saya telah memuliakan darah orang memohon
perlindungan.‖ Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang
membunuh kafir mu‘âhid, maka ia harus dibunuh. Oleh karena
itu, seorang Muslim harus dibunuh karena membunuh kafir
dzimmîy. Imam Thabarâniy mengeluarkan, ‖‘Alî ra diserahi seorang
laki-laki dari kalangan kaum Muslim yang telah membunuh seorang laki-
laki dari kafir dzimmîy. Ternyata laki-laki tersebut telah terbukti
melakukan pembunuhan. Kemudian beliau ra memerintahkan untuk
membunuh orang tersebut. Kemudian datanglah saudara kafir dzimmîy
itu, dan berkata, ―Saya telah memaafkannya.‖ ‗Alî ra bertanya,
―Apakah mereka telah mengancam, hendak mengusir anda, dan
menggertakmu? Lelaki itu berkata,‖Tidak.‖ Meskipun membunuhnya,
saudaraku juga tidak bisa kembali lagi kepadaku.‖ Dan mereka telah

120 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

meminta kepadaku dan aku telah ridlo. ‗Alî ra berkata, ―Kamu lebih
tahu, barangsiapa mendapat perlindungan dari kami (yakni ahlu
dzimmîy), darahnya seperti darah kami, diyat-nya seperti diyat kami.‖
Atsar ini, meskipun telah menjadi perilaku dan pendapat
para shahabat—sehingga tidak layak dijadikan sebagai dalil, akan
tetapi hadis itu boleh digunakan untuk ber-istidlal. Boleh juga ber-
istidlal dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah
membunuh seorang Muslim karena membunuh kafir mu‘âhid.
Imam Tirmidzîy meriwayatkan dari Abi Jahîfah, ia berkata, ―Saya
bertanya kepada ‗Alî, ‖Apakah kamu memiliki keterangan wahyu yang
tidak disebut dalam al-Quran? ‗Alî berkata, ―Demi Dzat yang
memecahkan bebijian, dan menciptakan binatang, tidak! Kecuali sebuah
keterangan yang diberikan Allah kepada seorang laki-laki di dalam al-
Quran, dan di shahîfah ini. ― Saya bertanya, ―Apa keterangan dalam
shahîfah itu? ‗Alî berkata, ―Diyat, tawanan perang,‖ Tidak dibunuh
seorang mukmin karena membunuh seorang kafir, tidak juga orang yang
memiliki perjanjian.‖
Imam Ahmad dan Abû Dâwud meriwayatkan dari ‗Amrû
bin Syu‘aib dari bapaknya dan dari kakeknya, bahwa Nabi saw.
bersabda,
« »
―Seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir,
demikian pula orang yang memiliki perjanjian dalam perjanjiannya.‖

Kedua hadis mutlak ini harus dibawa ke arah muqayyad. Pecahan


awal hadis itu berbentuk mutlak, yakni ―Seorang Muslim tidak
dibunuh karena membunuh seorang kafir‖, sedangkan pecahan kedua
berbentuk ―muqayyad.‖ yang ditunjukkan dengan dalâlah iqtidla‘,
yakni, ―dan tidak juga orang yang memiliki perjanjian, yakni kafir
mu‘âhid‖. Pengertiannya adalah, seorang kafir yang memiliki
perjanjian tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir.
Kata ―kafir‖ pada pecahan kedua dibuang, dengan tujuan
untuk penyerupaan, karena telah disebutkan pada pecahan
pertama. Perkataan ―Seorang kafir tidak dibunuh karena membunuh
orang kafir‖; Kafir pertama disifati sebagai kafir yang memiliki
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 121
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

perjanjian, sekaligus ini menetapkan bahwa pengertian kafir


kedua adalah kafir harbîy. Artinya, hadis itu telah menetapkan
bahwa kafir kedua itu dibatasi (muqayyad), yakni hanya kafir harbîy
saja. Atas dasar ini, pengertian ―kafir‖ pada pecahan pertama—
yakni mutlak—harus dibawa ke arah pengertian kafir pada pecahan
kedua yakni muqayyad. Pengertian hadis itu menjadi, ―Seorang
Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir harbîy, dan
seorang kafir mu‘âhid tidak dibunuh karena membunuh kafir harbîy.‖
Oleh karena itu, dua hadis ini tidak boleh digunakan dalil untuk
tidak membunuh seorang Muslim karena membunuh kafir
dzimmiy. Sedangkan kafir musta‘min maka ia diperlakukan
sebagaimana kafir dzimmiy. Diharamkan darahnya, sehingga
seorang Muslim akan dibunuh karena ia membunuhnya. Sebab,
hadis ‗Abdullah bin ‗Amr dan Al-Bîlaniy menyebut kafir mu‘âhid.
Kafir musta‘min adalah kafir yang memiliki perjanjian.
Seperti halnya kafir dzimmîy disebut sebagai kafir yang memiliki
perjanjian, demikian pula dengan kafir musta‘min. Jadi sama saja
apakah keamanaan itu bagi dirinya saja, atau keamanan tersebut
bersifat umum yang mencakup pengaturan urusan negaranya.
Dengan begitu, semuanya diperlakukan sebagaimana kafir
dzimmîy, selama ia berada di negara kita. Sebab, dengan
mendapatkan keamanan, maka terjagalah jiwa, harta, dan
kehormatannya. Dan kaum Muslim haram membunuhnya, sebaba
mereka tidak ada bedanya dengan penduduk Islam lainnya. Allah
Swt. berfirman:


―Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya.‖ (QS at-Tawbah [9]: 6)

Jika seorang Muslim membunuhnya, maka Muslim


tersebut akan dibunuh juga, termasuk bila yang dibunuhnya itu

122 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

adalah kafir dzimmîy. Ini diperkuat dengan kenyataan, bahwa


seorang Muslim yang membunuh kafir yang memiliki perjanjian
karena kesalahan (tidak sengaja), maka hukumnya sama dengan ia
membunuh seorang Muslim. Sebagaimana firman Allah Swt.:


―Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 92)

Ayat ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap kafir


mu‘âhid dengan sengaja, hukumnya sama dengan
pembunuhan terhadap seorang Muslim dengan sengaja.
Adapun firman Allah Swt.:
 
―…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita.‖ (QS al-Baqarah [2]: 178)

Ayat ini menunjukkan bahwa, seorang merdeka dibunuh


karena membunuh orang merdeka, seorang hamba dibunuh
karena membunuh seorang hamba, seorang perempuan dibunuh
karena membunuh seorang perempuan. Manthûq ayat ini hanya
menunjukkan pengertian semacam ini, dan tidak menunjukkan
pengertian lain. Akan tetapi mafhûm mukhâlafah ayat tersebut
menunjukkan, orang merdeka tidak dibunuh, bila ia membunuh
budak. Laki-laki tidak dibunuh, jika membunuh perempuan.
Namun demikian, mafhûm mukhâlafah adalah mafhûm sifat, bukan
mafhûm laqab. Oleh karena itu, mafhûm mukhâlafah bisa digunakan
jika tidak ada nash lain yang bertentangan dengannya. Akan
tetapi, jika ada nash yang bertentangan dengannya, penggunaan
mafhûm itu tertolak, dan tidak bisa diamalkan. Nash yang
menghapus mafhûm tidak dianggap sebagai penghapus (nasikh)
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 123
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dari mafhûm. Sebab, nasakh hanya terjadi pada manthûq.


Sedangkan mafhûm, nash hanya menolaknya. Misalnya, firman
Allah Swt.:
 
―Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi.‖ (QS an-Nûr [24]: 33).

Mafhûm mukhâlafah-nya adalah jika budak-budak itu tidak


menginginkan kesucian, maka boleh memaksanya untuk
melakukan pelacuran. Akan tetapi mafhûm ini telah terhapus, dan
ditolak dengan nash yang menunjukkan kontradiksinya, yakni
firman Allah Swt., ―Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu perbuatan keji, dan seburuk-buruk jalan.‖ Juga bertentangan
dengan firman Allah Swt.:
 
―Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,‖ (QS an-Nûr [24]: 2)

Ayat-ayat ini telah menolak mafhûm mukhâlafah ayat:


 
―Janganlah kamu paksa.‖, sekaligus menghapusnya.

Contoh lain, adalah firman Allah Swt.:


 
―Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.‖ (QS Ali
Imrân [3]: 130)

Mafhûm mukhâlafah-nya, boleh memakan riba jika tidak


berlipat ganda. Akan tetapi, mafhûm ini terhapus, tertolak, dan

124 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tidak bisa diamalkan. Sebab, ada nash yang menunjukkan


kontradiksinya, yakni firman Allah Swt.:
 

―Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.‖ (QS al-
Baqarah [2]: 275)

Dan firman Allah Swt.:


 
―Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu;‖ (QS al-Baqarah [2]: 279)

Demikian pula ayat:


 
―orang merdeka dengan orang merdeka,‖ (QS al-Baqarah [2]: 178)

Allah Swt. berfirman:



―diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba
dan wanita dengan wanita.― (QS al-Baqarah [2]: 178)

Mafhûm mukhâlafah ayat ini adalah seorang merdeka tidak


dibunuh karena membunuh budak, laki-laki tidak dibunuh
karena membunuh perempuan. Akan tetapi, mafhûm ayat ini telah
terhapus dan tertolak, serta tidak bisa diamalkan. Sebab, ada nash
yang menunjukkan kontradiksinya, yakni sabda Rasulullah saw.
dalam hadis Samrah, ―Barangsiapa membunuh budaknya, sungguh
kami akan membunuhnya juga.‖ Selain itu, juga bertentangan
dengan sabda Rasulullah saw., dalam suratnya kepada penduduk
Yaman, ―Laki-laki dibunuh karena membunuh seorang perempuan.‖

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 125


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Oleh karena itu, ayat tersebut harus tetap dipahami dari


sisi manthûq-nya saja; dan dalam berdalil harus tetap bersandar
kepada hadis shahîh yang menunjukkan bahwa seorang merdeka
harus dibunuh karena membunuh budak, dan seorang laki-laki
harus dibunuh karena membunuh perempuan.
Itu sebabnya, hadis Ibnu Mas‘ûd, ―Jiwa dengan jiwa,‖ bersifat
umum. Jiwa apapun yang terbunuh, maka pembunuhnya harus
dibunuh. Demikianlah, al-qawad (qishâsh), adalah manusia dengan
manusia, jiwa dengan jiwa. Barangsiapa membunuh jiwa maka ia
harus dibunuh, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau
budak, pun termasuk Muslim maupun kafir.
Nash-nash yang menerangkan qishâsh jiwa dengan jiwa bersifat
umum, dan diterapkan untuk semua jiwa, kecuali ada nash yang
mengecualikannya. Dengan merujuk kembali kepada nash-nash,
jelaslah bahwa tidak ada satupun nash yang mengecualikan
―hukuman bunuh bagi pembunuh sengaja‖, kecuali satu nash saja,
yakni bapak atau ibu jika membunuh anaknya, atau jika
kedudukannya lebih ke bawah. Bapak atau ibu tidak dibunuh
karena membunuh anaknya. Kakek tidak dibunuh karena
membunuh cucunya, dan jika posisinya lebih ke bawah. Dan hal
itu sama saja apakah anak laki-laki maupun perempuan. Demikian
pula, seorang ibu tidak dibunuh karena membunuh anaknya,
nenek tidak dibunuh karena membunuh cucunya, baik laki-laki
maupun perempuan, jika posisinya lebih rendah (ke bawah).
Dalilnya adalah riwayat yang disampaikan oleh ‗Umar bin
al-Khaththab dan Ibnu ‗Abbâs, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Orangtua tidak dibunuh karena membunuh anaknya.‖

Ini adalah hadis masyhur yang menerangkan dengan jelas tidak


dibunuhnya orangtua karena membunuh anaknya. Adapun
pembunuhan anak terhadap bapak atau ibunya, tidak ada nash
shahih yang mengecualikannya. Oleh karena itu, anak tersebur
harus dibunuh karena membunuh bapak atau ibunya. Dalilnya,
mengamalkan keumuman nash-nash di atas. Jika seorang anak
126 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

membunuh bapaknya, dan jika posisinya lebih tinggi (dari sisi


nasab), maka anak itu harus dibunuh. Begitu pun jika seorang
anak membunuh ibunya—dan jika posisinya lebih tinggi—maka
anak itu harus dibunuh. Hal ini didasarkan keumuman firman
Allah Swt.:
 
―Telah diwajibkan kepada kalian qishâsh dalam pembunuhan.‖ (QS
al-Baqarah [2]: 178)

Juga karena tidak adanya nash shahih yang men-takhsish


(mengkhususkan) selain pada anak, seperti halnya takhsish
(pengkhususan) kepada orang tua. Adapun apa yang diriwayatkan
dari Surâqah dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda,
« »
―Seorang bapak tidak dibunuh karena membunuh anaknya, demikian
juga anak tidak dibunuh karena membunuh bapaknya.‖

Hadis ini tidak dicantumkan dalam kitab-kitab Sunan yang


masyhur. Para fuqahâ berpendapat bahwa hadis ini diduga tidak
memiliki asal-usul (sumber). Sebuah hadis selama tidak ditetapkan
ke-shahihan-nya, maka tidak layak digunakan untuk berdalil; dan
juga tidak sah digunakan untuk men-takhsish nash yang umum.
Selain itu, diriwayatkan dari Surâqah sendiri, ia berkata,
―Sesungguhnya Nabi saw. telah membalas orangtua yang dibunuh oleh
anaknya, dan tidak membalas anak yang dibunuh oleh orangtuanya.‖
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Dan hadis ini telah
menolak hadis pertama. Karena sejarah turunnya tidak diketahui,
maka tidak mungkin me-nasakh salah satunya, atau
mengkompromikan keduanya. Sebab dua hadis ini sangat bertolak
belakang (kontradiktif). Karena dua hadis ini saling bertentangan,
maka keduanya harus dibuang, dan harus beramal dengan nash-
nash yang lebih sharîh dan jelas. 

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 127


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Pembunuhan Mirip Sengaja

Pembunuhan mirip sengaja adalah pembunuhan yang sengaja


dilakukan, akan tetapi menggunakan alat yang umumnya tidak
bisa membunuh seseorang. Kadang-kadang maksudnya hanya
untuk menyiksanya, atau untuk memberi pelajaran, akan tetapi
kemudian melampaui batas (lupa diri). Seperti memukul dengan
tongkat, cambuk, kerikil, bogem, tangan, atau dengan sesuatu
yang umumnya tidak mematikan, dan tidak ada indikasi lain yang
pada umumnya juga bisa menyebabkan kematian. Jika, seseorang
terbunuh dengan cara seperti ini, maka pembunuhan ini
terkategori pembunuhan mirip sengaja. Sebab ia sengaja
memukulnya akan tetapi tidak untuk membunuhnya. Disebut
juga ‗amad al-khatha‘ (sengaja tidak sengaja), atau khatha‘ al-‗amad
(tidak sengaja-sengaja), karena ada unsur sengaja dan tidak
sengaja.
Pelakunya sengaja melakukan, dan tidak sengaja pula
melakukan. Abû Hurayrah,‖ Dua orang perempuan dari suku Hudzail
saling membunuh, salah satunya melempar pihak yang lain dengan batu.
Kemudian terbunuhlah seorang di antaranya beserta janin yang ada di
perutnya. Rasulullah saw. menetapkan bahwa diyat janinnya adalah
membebaskan seorang budak laki-laki atau walîdah (budak perempuan),
dan menetapkan diyat bagi perempuan itu karena ketidak-
sengajaannya.‖ Rasulullah saw. mewajibkan diyat bagi
ketidaksengajaan (‗âqilah), sedangkan ‗âqilah tidak termasuk dalam
kesengajaan.

Sanksi Pembunuhan Mirip Sengaja

Hukum pembunuhan mirip sengaja, diyatnya sangat berat,


yakni menyerahkan 100 ekor unta—40 ekor diantaranya sedang
bunting. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Abû

128 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dâwud dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya (dan) dari kakeknya,
bahwa Nabi saw. pernah bersabda,
»

«
―Diyat pembunuhan mirip sengaja sangat berat seperti pembunuhan
sengaja, akan tetapi pelakunya tidak dibunuh. Demikian itu supaya
setan menyingkir dari kalangan manusia, sehingga tidak ada balas
dendam, atau pengangkatan senjata.‖

Imam Bukhâri meriwayatkan dari ‗Abdullah bin ‗Amr


bahwa Rasulullah saw. bersabda,
»

«
―Perhatikan, orang yang terbunuh secara ―mirip kesengajaan.‖, terbunuh
karena cambuk, atau tongkat, maka diyat-nya adalah 100 ekor unta, 40
ekor diantaranya sedang bunting. ― 

Pembunuhan Tidak Sengaja

Pembunuhan tidak sengaja ada dua bentuk. Pertama, pelaku


melakukan suatu tindakan yang ia sendiri tidak bermaksud
menimpakan (perbuatan itu) kepada pihak yang terbunuh, akan
tetapi menimpa orang tersebut, dan akhirnya membunuhnya.
Seperti, tujuannya melempar binatang namun ternyata mengenai
seseorang, kemudian orang itu terbunuh. Atau, seseorang
melakukan tindakan, yang perbuatan itu bila dipikir dapat
menyebabkan terbunuhnya seseorang, akan tetapi ia tidak
bermaksud membunuhnya, atau melakukan perbuatan tersebut.
Dan itu sama saja apakah perbuatan yang boleh dilakukan
maupun yang tidak boleh. Seperti, memundurkan mobil dan
ternyata membunuh seseorang yang ada di belakangnya, atau
ingin membunuh seseorang akan tetapi ternyata mengenai orang

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 129


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

lain, dan akhirnya orang tersebut terbunuh. Pembunuhan


semacam ini termasuk pembunuhan tidak sengaja.
Kedua, pelaku membunuh seseorang di negeri kafir,
seperti di wilayah Eropa atau wilayah Amerika yang ia sangka kafir
harbiy, akan tetapi ternyata orang yang ia bunuh itu Muslim,
namun menyembunyikan keislamannya. Pembunuhan semacam
ini termasuk jenis pembunuhan tidak sengaja.
Ini adalah dua jenis pembunuhan tidak sengaja. Dan semua
hal yang tercakup dalam pembunuhan semacam ini termasuk
dalam pembunuhan tidak sengaja. Hukum pembunuhan tidak
sengaja membutuhkan perincian. Jika pembunuhan itu adalah
pembunuhan model pertama; yakni pelaku melakukan suatu
tindakan yang ia sendiri tidak bermaksud menimpakan
(perbuatan itu) kepada pihak yang terbunuh, akan tetapi
menimpa orang tersebut, dan akhirnya membunuhnya, dalam hal
ini ia harus menyerahkan diyat berupa 100 ekor unta, dan harus
membayar kifarat dengan membebaskan budak. Jika ia tidak
menjumpai budak maka ia harus berpuasa 2 bulan secara
berurutan.
Adapun jika pembunuhannya adalah pembunuhan model
kedua, ia hanya diwajibkan membayar kifarat saja, dan tidak wajib
membayar diyat. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:


―Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
130 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh)


memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah
ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat
kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.‖ (QS an-Nisâ [4]: 92)

Dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:



―dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.‖ (QS an-Nisâ [4]:
92)

Ini adalah dalil, bahwa sanksi pembunuhan tidak sengaja


adalah membayar diyat dan kifarat. Tidak ada bedanya, baik yang
dibunuh Muslim maupun kafir yang memiliki perjanjian.
Dalilnya, firman Allah Swt pada ayat itu sendiri:


―Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut‖ (QS an-Nisâ [4]: 92)

Dan di dalam ayat itu juga, Allah Swt. berfirman:

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 131


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin,
maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
mukmin.‖ (QS an-Nisâ [4]: 92)

Akan tetapi (jika yang terbunuh itu) orang yang memusuhi


kaum Muslim, padahal ia seorang mukmin: maka diyat-nya adalah
membebaskan budak saja, dan tidak disebutkan yang lain. Padahal
ayat sebelumnya menyebutkan diyat beserta pembebasan budak
sebagai kifarat. Maka ayat sesudahnya menunjukkan bahwa
hukum pada masalah ini berbeda. Ayat tersebut menunjukkan
bahwa hukum pada kondisi semacam ini adalah membayar kifarat
saja; yakni membebaskan budak mukminah, atau puasa dua bulan
secara berturut-turut. Ini adalah dalil pada kondisi kedua. Oleh
karena itu, ayat ini seluruhnya sebagai dalil atas pembunuhan
tidak sengaja.

Pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan


Pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan adalah,
seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa ia kehendaki, akan
tetapi perbuatan itu telah menyebabkan terbunuhnya seseorang.
Seperti misalnya, terbaliknya orang yang sedang tidur, yang
menyebabkan terbunuhnya seseorang; seseorang yang jatuh dari
tempat tinggi, kemudian menimpa seseorang dan akhirnya
membunuh orang yang tertimpa; bisa juga ketika seseorang
tergelincir kemudian menimpa orang lain, hingga menyebabkan
terbunuhnya orang tersebut. Keadaan lain adalah ketika ada
seseorang yang sedang bermain-main dengan senjata, namun
kemudian ―lepas‖, dan membunuh orang lain. Mungkin juga
keadaan itu terjadi ketika ada onderdil di dalam mobil yang rusak,
kemudian sopirnya mengalami kecelakaan dan akhirnya
membunuh seseorang. Dan beragam kejadian lain. Semuanya
termasuk pembunuhan ―yang terjadi tanpa kesengajaan,‖ selama
kejadian itu telah ―memaksa‖ pelakunya.

132 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Demikianlah model pembunuhan seperti ini mirip dengan


pembunuhan tidak sengaja jenis pertama. Memundurkan mobil
yang menyebabkan terbunuhnya seseorang adalah pembunuhan
tidak sengaja. Peristiwa ini mirip dengan, rusaknya salah satu
onderdil mobil yang menyebabkan tergelincirnya mobil. Ini
termasuk pembunuhan tidak sengaja. Demikian pula tatkala
seseorang yang bermaksud melempar binatang dengan batu,
namun ternyata malah mengenai seseorang; atau memainkan
senjata yang menyebabkan terbunuhnya seseorang. Itu semua
termasuk pembunuhan tidak sengaja.
Kemiripan dua model pembunuhan ini sangat jelas.
Pembunuhan tidak sengaja, terjadi pada perbuatan yang
dikehendaki oleh pelakunya, akan tetapi apa yang diakibatkan
dari perbuatannya tidak ia kehendaki. Adapun pembunuhan yang
terjadi karena ketidaksengajaan, tidak ada kehendak dari
pelakunya secara mutlak, juga terhadap apa yang diakibatkan dari
perbuatannya, atau dari yang lainnya. Oleh karena itu, ia tidak
dibunuh karena ia melakukan pembunuhan tidak sengaja, akan
tetapi karena melakukan pembunuhan ―yang terjadi karena
ketidaksengajaan.‖
Demikianlah hukum pembunuhan semacam ini seperti
model pembunuhan tidak sengaja ―jenis pertama‖; yakni wajib
membayar diyat 100 ekor unta, dan wajib membayar kifarat
dengan membebaskan budak. Jika ia tidak mendapatkan budak,
wajib berpuasa dua bulan secara berturut-turut. 

Pembuktian Pembunuhan

Pembunuhan bisa dibuktikan dengan pengakuan dan


pembuktian. Adapun terbuktinya pembunuhan dengan
pengakuan, didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhâri dari Anas bin Malik, ―Seorang Yahudi telah menjepit kepala
budak perempuannya dengan dua buah batu. Kemudian ditanyakan
kepada penduduk daerah tersebut, siapa yang melakukan hal ini? Mereka
menjawab, ‖Si fulan atau fulan, hingga mereka menyebut nama seorang
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 133
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Yahudi‖. Rasulullah saw. bertanya, ‖Apakah engkau telah menjepit


kepalanya? Yahudi itu akhirnya mengakui perbuatannya. Kemudian
Rasulullah saw. memerintahkan untuk menjepit kepala Yahudi itu
dengan dua buah batu.‖
Sementara untuk mengetahui pembunuhan lewat
pembuktian, didasarkan pada hadis riwayat Imam Bukhâri dari
Basyir bin Yasâr, ―Ditanyakan kepada Sahal bin Hatamah tentang
seorang laki-laki dari Anshar yang terbunuh, kemudian ia
menceritakannya,‖Bahwa ada sekelompok kaumnya pergi ke Khaibar.
Kemudian mereka saling berpisah. Setelah itu mereka mendapati bahwa
salah seorang di antara mereka terbunuh. Akhirnya mereka bertanya
kepada orang yang mereka jumpai, ―Apakah kalian telah membunuh
shahabat kami?‖ Mereka menjawab, ―Kami tidak membunuhnya, dan
kami juga tidak kenal pihak yang terbunuh.‖ Lalu mereka menghadap
Rasulullah saw., dan mereka berkata, ―Ya Rasulullah, kami pergi ke
Khaibar, kemudian kami mendapati salah seorang diantara kami
terbunuh. Rasulullah saw. bersabda, ―Dosa besar, sungguh dosa besar.‖
Rasulullah bertanya kepada mereka, ―Kalian harus menyerahkan saksi,
atas orang yang membunuhnya!‖ Mereka berkata, ―Kami tidak memiliki
saksi.‖ Maka Rasulullah saw. memerintahkan agar orang-orang Yahudi
yang dituduh membunuh bersumpah. Mereka berkata, ―Kami tidak ridla
dengan sumpahnya orang Yahudi.‖ Rasulullah saw. membiarkan untuk
menangguhkan darahnya, dan menghadiahkan 100 ekor unta shadaqah
kepada mereka (pihak penuduh).‖
Dari Râfi‘ bin Khudaij, berkata, ―Seorang laki-laki dari
Anshar terbunuh di Khaibar. Walinya menghadap Rasulullah saw. dan
menceritakan peristiwa itu kepada beliau saw. Rasulullah saw. bertanya
kepada mereka, ―Kamu harus menghadirkan dua orang saksi yang
menyaksikan pembunuhan atas saudaramu.‖ Mereka berkata, ―Ya
Rasulullah di sana tidak ada seorangpun dari kaum Muslim, akan tetapi
hanya ada orang-orang Yahudi yang kadang-kdang bisa berbuat lebih
kejam daripada ini. Rasulullah saw. bersabda, ―Pilihlah 50 orang dari
mereka (Yahudi), dan suruhlah mereka bersumpah. Kemudian
Rasulullah saw. membayarkan diyat kepada mereka.‖
Dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya (dan) dari
kakeknya, ‖Bahwa anak laki-laki Muhayyishash yang paling kecil
terbunuh di gerbang Khaibar. Rasulullah saw. bersabda, ―Bawalah dua
134 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

orang saksi atas orang yang membunuhnya, maka akan aku serahkan
kepadamu dengan tali yang mengikatnya. Lalu mereka berkata, ―Ya
Rasulullah, dari mana aku memperoleh dua orang saksi, sedang ia
terbunuh di gerbang mereka (Yahudi)? Nabi bersabda, ―Kamu dapat
menyumpah 50 orang dari mereka.‖ Mereka menjawab, ―Ya Rasulullah,
bagaimana mungkin saya menyumpah orang yang saya sendiri tidak
mengetahuinya? Rasulullah bersabda, ―Sumpahlah diantara mereka lima
puluh orang.‖ Mereka bertanya lagi, ―Ya Rasulullah bagaimana saya
menyumpah mereka sedangkan mereka orang Yahudi? Kemudian
Rasulullah saw. membagi (separuhnya) itu dibebankan kepada mereka
(Yahudi) dan beliau membantu yang separuhnya.‖
Tiga hadis ini telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw.
meminta saksi dua orang atas dakwaan pembunuhan. Pada hadis
pertama, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka,
« »
―Kalian harus menyerahkan saksi atas orang yang membunuhnya.‖

Pada hadis kedua Rasulullah saw bersabda


« »

Pada hadis ketiga Rasulullah saw bersabda


« »
Hadis ini menunjukkan dengan jelas, bahwa hukuman bunuh,
harus ditetapkan berdasarkan kesaksian. Dan hadis ini juga
menunjukkan dengan jelas, bahwa kesaksian dalam kasus
pembunuhan adalah dua orang. Artinya, pembunuhan harus
dibuktikan dengan dua orang saksi. Jika ada dua orang saksi,
maka terbuktilah pembunuhan tersebut, jika tidak ada dua orang
saksi, maka tidak terbukti.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Perbedaan pendapat dalam masalah ini, hanyalah dalam hal
apakah kedua saksi itu harus laki-laki semua—kesaksian ini khusus
untuk masalah hudûd dan ‗uqûbât—atau dua orang saksi

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 135


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

sebagaimana kesaksian-kesaksian yang lain, yakni dua orang laki-


laki, atau seorang laki-laki dua orang perempuan?
Auzâ‘iy berpendapat, qishâsh serupa dengan masalah harta.
Dalam masalah ini cukup menghadirkan dua orang saksi laki-laki,
atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Beliau berdalil
dengan firman Allah Swt.:
 
―Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan‖ (QS al-Baqarah [2]: 282)

Keumuman saksi di sini berlaku untuk semua hal. Firman


Allah Swt. tersebut bersifat umum—mencakup semua bentuk
kesaksian. Oleh karena itu, pengecualian terhadap pengertian ayat
ini, diperlukan dalil. Sementara itu, tidak ada nash yang
mengkhususkan ayat tersebut. Maka, ayat tersebut tetap dalam
keumumannya. Madzhab Syâfi‘iy berpendapat bahwa kesaksian
dalam hal ‗uqûbât Allah (sanksi), seperti halnya minum khamr,
perompak, atau yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam,
dan qishash. Untuyk semua kasus itu harus dua orang laki-laki
yang menjadi saksi atas tindak pelanggaran tersebut. Pendapat itu
mereka sandarkan kepada apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dari Zuhrî, bahwa ia berkata, ―Telah ditetapkan oleh sunnah, bahwa
kesaksian wanita tidak diperbolehkan dalam masalah hudûd, nikah,
dan thalaq.‖ Kemudian mereka melakukan qiyas atas tiga hal
tersebut dengan perkara-perkara yang sama.
Namun yang benar, kesaksian pembunuhan telah
ditetapkan dalam sunnah, yakni dua orang saksi. ‖wa lakum
syâhidâni‖, ―aqim syâhidâni‖ Berdasarkan ke-sharih-an nash tersebut,
(kesaksian) tidak boleh ditetapkan dengan selain yang telah
ditetapkan oleh nash-nash tersebut. Oleh karena itu kesaksian
harus menghadirkan dua orang saksi. Adapun pengertian dua
orang saksi harus laki-laki semua, maka tidak ada nash yang
menunjukkan pengertian semacam itu. Sebab, lafadz syâhid yang
tercantum dalam hadis-hadis menunjukkan (bisa) laki-laki dan
bisa juga perempuan. Kesaksian dalam masalah hudûd dan qishâsh
136 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bersifat umum. Untuk masalah ini, bisa diterima kesaksian laki-


laki maupun perempuan. Allah Swt. berfirman:
 
―Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi?‖ (QS an-Nûr [24]: 13)

Lafadz syuhadâ‘ meliputi laki-laki dan perempuan.


Rasulullah saw. bersabda,
« »
―hlm.105‖.

Kata arba‘ah mencakup laki-laki dan wanita. Dalil yang


menunjukkan bolehnya kesaksian perempuan dalam masalah
hudûd dan jinâyât adalah, Allah Swt. berfirman:
 
―Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi‖ (QS al-Baqarah [2]:
282)

Kemudian Allah Swt. juga berfirman:


 
―Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan‖ (QS al-Baqarah [2]: 282)

Diriwayatkan dari ‗Abdullah bin ‗Umar dari Rasulullah


saw, Rasulullah saw. bersabda tentang kesaksian,
« »
―Kesaksian dua orang wanita setara dengan kesaksian seorang laki-laki.‖

Dari Abi Sa‘îd al-Khudriy, bahwa Rasulullah saw. bersabda


tentang kesaksian,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 137


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Bukankah kesaksian seorang wanita setengah dari kesaksian seorang
laki-laki? Para shahabat berkata, ―Benar ya Rasulullah saw.‖

Dalil-dalil ini berlaku umum untuk semua tuntutan, dan


tidak ada nash yang mengkhususkan hanya untuk hudûd dan
jinâyât saja. Oleh karena itu, nash-nash tersebut tetap dalam
keumumannya. Adapun sabda Rasulullah saw., ―Syahidân‖, ―Aqim
syâhidân‖, serupa dengan firman Allah Swt.:
 
―Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi‖ (QS al-Baqarah [2]:
282)

Dan firman Allah Swt.:


 
―Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan‖ (QS al-Baqarah [2]: 282)

―Datang‖ sebagai ta‘qib atas dua orang saksi, oleh karena


nash-nash tersebut berlaku umum untuk dua orang saksi.
Meskipun hadis itu tidak menyebut hal itu dengan jelas, akan
tetapi pemahaman tersebut dapat dipahami dari ayat. Itu
sebabnya, dalil-dalil persaksian berlaku untuk hudûd dan jinâyât.
Dengan begitu, saksi pembunuhan adalah dua orang saksi; dua
orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita. Akan
tetapi, ketetapan Rasulullah saw. mengenai dua orang saksi
tersebut, dapat dipahami, bahwa beliau saw. tidak menerima
kesaksian, kecuali sempurna kesaksiannya, yakni dua orang laki-
laki atau seorang laki-laki dan dua orang wanita, atau empat orang
wanita. Jika persaksian itu tidak sempurna, maka kesaksian itu
jatuh kepada syubhat. Sedangkan Rasulullah saw. telah bersabda,
―Batalkan hudûd karena syubhat.‖

138 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan demikian, kesaksian yang masih mengandung


syubhat tidak diterima dalam masalah hudûd. Sabda Rasulullah
saw. dalam kesaksian pembunuhan, ―Syahidân‖ merupakan
ketetapan atas kesempurnaan kesaksian. Demikian juga, tidak
diterima kesaksian dalam jinayat, kecuali sempurna kesaksiannya.
Maka, kesaksian dalam kasus pembunuhan, merupakan kesaksian
sempurna yang telah ditetapkan dalam nash-nash, maupun hadis-
hadis.
Sekarang akan membahas hadis Malik dari Zuhri yang mereka
gunakan sebagai dalil bahwa kesaksian pembunuhan harus
dengan dua orang laki-laki, yakni hadis, ―Telah ditetapkan oleh
sunnah, bahwa kesaksian wanita tidak diperbolehkan dalam masalah
hudûd, nikah, dan thalaq.‖ Hadis ini seandainya sah, maka hadis
ini bisa menjadi pen-takhshish dalil-dalil umum tentang kesaksian,
dengan demikian benarlah pendapat Madzhab Syafi‘i. Akan tetapi
hadis ini hadis munqathi‘ dari jalan Ismâ‘îl bin ‗Abbâs, sedangkan
hadis ini adalah dla‘if, dan tidak bisa digunakan sebagai dalil.
Imam Syaukânî berkata dalam Kitab Nailul Authâr, ―Ibnu Abi
Syaibah telah mengeluarkan perkataan Zuhri yang telah disebut di awal,
dengan isnadnya al-Hajjah bin Arthah, sedangkan ia adalah dla‘if, lebih-
lebih lagi hadis ini adalah hadis mursal, sehingga tidak bisa digunakan
sebagai hujjah. Oleh karena itu, hadis ini tidak sah untuk men-
takhshish keumuman al-Quran.‖
Hal ini juga menunjukkan kelemahan hadis ini lewat jalur
kedua yang diriwayatkan dari Zuhri. Selama hadis itu dla‘if, maka
tidak sah beristidlal (berdalil) dengan hadis tersebut. Sebab,
berdalil dengan hadis ini tertolak, sehingga dalil-dalil yang
menunjukkan keumuman kesaksian tetap dalam keumumannya.
Dengan demikian, kesaksian wanita bisa diterima dalam kasus
pembunuhan. 

Bersekutu Dan Memberi


Bantuan Kepada Pembunuh

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 139


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Tidak ragu lagi, bahwa sekelompok orang harus dibunuh


karena membunuh orang lain. Sebab, hadis yang berbicara
tentang sanksi bagi pembunuh mencakup seorang, maupun
kelompok. Sabda Rasulullah saw.,
« »
―Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak, bisa meminta
tebusan (diyat), atau membunuh pelakunya.‖

Hadis ini mencakup kasus seseorang atau sekelompok orang


membunuh orang lain. ‗Umar pernah bertanya kepada ‗Ali ra
tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang
terhadap seseorang. ‗Ali bertanya kepada ‗Umar, apa pendapatmu
seandainya ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau
akan memotong tangan mereka? ‗Umar menjawab, ―Ya.‖ Ali
menukas, ―Demikian pula pembunuhan.‖ Jika sekelompok orang
bersekutu; dua orang atau lebih untuk membunuh seseorang,
semuanya dikenai sanksi. Dan semuanya harus dibunuh meskipun
pihak yang terbunuh satu orang.
Makna bersekutu dalam pembunuhan di sini tergantung
keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika seseorang
terlibat dalam pemukulan terhadap pihak yang terbunuh, maka ia
terkategori sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan secara
pasti. Adapun, jika seseorang tidak terlibat dalam pemukulan, hal
ini perlu diteliti kembali; jika ia berposisi sebagai orang yang
memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan
pihak yang hendak dibunuh, lalu orang tersebut dibunuh oleh
pelaku pembunuhan, atau menyerahkan pihak terbunuh kepada
pelaku pembunuhan, ataupun yang lainnya, maka orang tersebut
tidak dianggap sebagai pihak yang turut bersekutu dalam
pembunuhan, akan tetapi hanya disebut sebagai pihak yang turut
membantu pembunuhan. Oleh karena itu, orang semacam ini
tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara saja.
Imam Dâruquthniy mengeluarkan hadis dari Ibnu ‗Umar
dari Nabi saw., beliau bersabda,

140 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

«
―Jika seorang laki-laki menghentikan seorang lelaki lainnya, kemudian
lelaki tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain, maka orang yang
membunuh tadi harus dibunuh, sedangkan laki-laki yang
menghentikannya tadi dipenjara.‖

Hadis ini merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu


dan menolong si pembunuh tidak dibunuh, akan tetapi hanya
dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara dalam waktu yang
sangat lama, bisa sampai 30 tahun. Bahkan ‗Ali bin Thalib
berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai mati.
Diriwayatkan oleh Imam Syafi‘i dari ‗Ali bin Abi Thâlib,
bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman bagi seorang laki-laki
yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang
menghentikan (mencegat pihak yang terbunuh). ‗Ali berkata,
―Pembunuhnya dibunuh, sedangkan yang lain dijebloskan di penjara
sampai mati.‖
Dengan demikian, semua orang yang tidak bersekutu
dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh.
Sedangkan orang yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia
harus dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang
yang bersekutu secara langsung, yakni bersekutu sebagai pihak
yang mendorong terjadinya pembunuhan, dan sebagai pihak yang
mengatur pembunuhan, semuanya dianggap sebagai pihak yang
bersekutu dalam pembunuhan. Sebab, mereka semua terlibat
dalam pembunuhan secara langsung. Dengan begitu, mereka
dianggap sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunuhan. Tak
ada bedanya, apakah bersekutu dalam pemukulan, atau bersekutu
dalam perencanaan pembunuhan. Sebab, semua itu termasuk
bagian dari aktivitas pembunuhan. Dan itu berarti, semua orang
yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan,
hukumnya harus dibunuh, layaknya ―pembunuh langsung‖. Akan
tetapi orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap
sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunugan, baik secara
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 141
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

langsung maupun tidak langsung. Dalil atas semua itu adalah


hadis. 

Cara Membunuh Pelaku Pembunuhan

Benar, pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan alat


apapun yang mempermudah prosesi pembunuhan. Pembunuhan
dengan menggunakan pedang bukanlah syarat. Dengan demikian,
boleh dibunuh dengan pedang, atau digantung dengan tali, atau
dilempar ke dalam api, atau dengan cara yang lain. Tidak ada
syarat di sini kecuali satu syarat saja, yakni ihsân al-qathlu
(pembunuhan yang paling baik), yakni, melakukan pembunuhan
dengan cara yang paling baik sehingga mempermudah kepada
kematian. Imam Muslim mengeluarkan riwayat dari Sadâd bin
Aus, bahwa Nabi saw. bersabda,
« »
―Jika kalian membunuh, maka perbaguslah cara pembunuhannya. Jika
kalian menyembelih, maka perbaguslah sembelihannya.‖

Jadi di dalam hal ini yang diwajibkan adalah ihsân al-qathlu


(pembunuhan yang paling baik), sehingga tidak boleh menetapkan
dengan alat tertentu untuk melakukan pembunuhan. Sedangkan
hadis, ―Tidak ada qawad (qishâsh) kecuali dengan pedang ―, tidak
boleh digunakan sebagai dalil.
Adapun kapan prosesi pembunuhan dilakukan, maka yang
paling afdlal (baik) hukumannya tidak dilakukan dengan tergesa-
gesa. Akan tetapi ditunda sampai beberapa waktu, yang
memungkinkan terjadi pemaafan dari wali (pihak yang terbunuh).
Sebab, mereka diberi pilihan antara membunuh, meminta diyat,
atau memaafkan. Oleh karena itu mereka diberi waktu untuk
memilih dalam masalah ini. Bahkan Syâri‘ juga mendorong agar
wali memberikan pengampunan. Allah Swt. berfirman:

142 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,‖
(QS al-Baqarah [2]: 178)

Orang yang mendapatkan pengampuan dari saudaranya


dalam masalah agama, yakni dari wali darah (pihak terbunuh),
atau dari sebagian haknya untuk menuntut qishâsh. Walaupun
seorang, jika mereka berjumlah banyak, maka harus diikuti, dan
qishâsh bisa digugurkan. Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Barangsiapa yang terbunuh, maka walinya mempunyai dua pilihan;
bisa memaafkan, atau membunuhnya.‖

Dari Anas, berkata, ―Tidaklah apa yang dilaporkan kepada


Rasulullah saw. yang di dalamnya terdapat qishâsh, kecuali Rasulullah
saw. memerintahkan untuk memberikan pemaafan.‖
Ini menjelaskan agar wali pihak terbunuh bisa
memberikan pemaafan. Dengan kata lain, agar mereka hanya
mengambil diyat saja. Dengan begitu, maka lebih utama untuk
mengundurkan pelaksanaan hukuman beberapa waktu sampai
habis batas waktunya untuk menetapkan hukuman pembunuhan,
mengambil diyât, atau memberikan pemaafan.
Adapun orang-orang yang berhak memilih antara menuntut
hukuman pembunuhan, mengambil diyat, atau memberikan
pemaafan adalah ahli waris dari pihak terbunuh. Pihak yang
berhak menuntut darahnya adalah seluruh ahli waris pihak
terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan
kekerabatan, dan nasab menjadikan hak qishâsh menjadi milik
mereka semua, bukan milik ‗âqilah5. Sebab, pembunuhan sengaja,

5
‗Âqilah adalah bentuk jama‘ dari ‗âqil, artinya orang yang meminta
diyat. Bila dikatakan ‗âqilat al-rajul, maknanya adalah saya ‗ashabah-nya,
yakni kekerabatan dari jalur ayah yang bersekutu dalam menuntut diyat-
nya. (Mu‟jam Wasîth, hlm.617). Pembunuh sama sekali tidak mendapat
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 143
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

telah menghijab diyat pada harta pembunuh, akan tetapi tidak atas
‗âqilah. Juga disebabkan, diyat pihak terbunuh adalah milik ahli
warisnya, bukan bagi ‗âqilah. Oleh karena itu, pemaafan adalah
hak ahli warisnya. Dan jika seorang diantara mereka memberikan
pemaafan, maka gugurlah qishâsh. 

Diyat

Diyat ada dua macam. Pertama, diyat berat, yakni 100 ekor
unta, dan 40 ekor unta diantaranya bunting. Diyat semacam ini
diambil dari pembunuhan sengaja, jika walinya memilih untuk
meminta diyat. Diyat ini juga diambil pada kasus pembunuhan
mirip sengaja. Kedua, diyat tanpa pemberatan, yakni 100 ekor
unta saja. Diyat semacam ini diambil dari kasus pembunuhan
tidak sengaja, dan pembunuhan yang terjadi tidak dengan
kesengajaan. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Imam Nasâiy,
bahwa ‗Amrû bin Hazm meriwayatkan dalam kitabnya bahwa
Rasulullah saw. telah menulis surat kepada penduduk Yaman,
―Sesungguhnya di dalam jiwa seorang mukmin itu ada 100 ekor unta.‖
Dari Abû Bakar bin Muhammad bin ‗Amrû bin Hazm
dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. telah menulis
sebuah surat kepada penduduk Yaman, sedangkan dalam suratnya
tertulis, ―Barangsiapa terbukti membunuh jiwa seorang mukminah
maka ia wajib dikenai qishâsh, kecuali jika wali-wali pihak terbunuh
memaafkannya, maka diyat untuk jiwa adalah 100 ekor unta.‖

warisan dari harta peninggalan si terbunuh, baik dari hartanya ataupun


diyatnya, bila pembunuh adalah ahli waris dari si terbunuh. Contohnya,
jika sebagian ahli waris membunuh orang yang akan diwarisinya, maka
ia tidak berhak memperoleh harta warisannya. Pewaris dari si terbunuh
adalah ahli waris yang tidak terlibat pembunuhan. Jika ahli waris yang
lain tidak ada, kecuali si pembunuh, maka harta warisan diserahkan
kepada dzawul arhâm (keluarga terdekat). Bila pembunuh itu memiliki
anak, maka harta warisan diberikan kepada anak pembunuh tersebut.
144 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dari ‗Abdullah bin ‗Amrû bahwa Rasulullah saw.


bersabda,
»

«
―Perhatikan, bahwa orang yang terbunuh karena mirip sengaja, baik
terbunuh dengan cambuk, atau tongkat, diyatnya 100 ekor unta, 40 ekor
di antaranya sedang bunting.‖

Diyat di sini berupa unta, bukan selain unta. Sebab, nash telah
menetapkan diyat berupa unta. Oleh karena itu diyat bukan
berupa sapi, domba, atau hewan-hewan yang lain. Sebab, tidak ada
dalil dari Rasulullah saw. yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun apa yang diriwayatkan dari ‗Atha‘ dari Jabir yang berkata,
‗Rasulullah saw. telah menetapkan bahwa orang yang memiliki unta
menyerahkan diyat sebanyak 100 ekor unta, pemilik sapi sebanyak 200
ekor, pemilik domba jantan sebanyak 1000, dan pemilik domba jantan
sebanyak 200 ekor.‖ Hadis ini adalah dla‘if. Sebab, hadis ini berasal
dari riwayat Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia dla‘if. Dan ia
terkenal suka melakukan tadlis.
Dalam hadis itu disebut ‗Atha‘ dari Jabir bin ‗Abdillah,
akan tetapi tidak disebut hadisnya dari ‗Atha‘, dan riwayat ini
berasal dari orang yang majhul. Oleh karena itu hadis ini tertolak
dan tidak sah berdalil dengan hadis ini. Adapun apa yang
diriwayatkan dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya, dari kakeknya
berkata, ‗Rasulullah telah menetapkan bahwa orang yang memiliki sapi,
diyatnya adalah 200 ekor, sedangkan yang memiliki domba diyatnya
1000 ekor.‖ Hadis ini juga lemah. Di dalam isnad-nya ada
Muhammad bin Râsyid al-Dimasyqiy al-Makhûliy, dan ia adalah
lemah. Itu sebabnya, riwayatnya pun tidak bisa diterima, tertolak
dan tidak layak berdalil dengan hadis ini. Dengan demikian nash-
nash shahih hanya menyebutkan unta, bukan yang lain, dan
memang tidak menyebutkan jenis hewan yang lain.
Sedangkan apa yang tersebut di dalam hadis-hadis dla‘if
tidak bernilai sama sekali dan tidak diperlukan dalam berdalil.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 145


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan begitu, hadis ini tidak boleh digunakan sebagaiu dalil


untuk menetapkan diyat selain unta. Maka, diyat ditetapkan hanya
dengan unta saja. Adapun apa yang diriwayatkan dari ‗Umar
bahwa beliau ra telah menetapkan diyat bagi pemilik sapi sebanyak
200 ekor‖, maka perilaku ‗Umar ini bukanlah hujjah sehingga
tidak boleh digunakan sebagai dalil. Selain itu, hadis yang
diriwayatkan dari ‗Umar bin Khaththab dari jalan Abu Luhai‘ah,
isnad-nya dla‘if dari sisi Abû Luhay‘ah. Selain itu, hadis ini hanya
merupakan atsar yang tidak terkenal, sehingga dengan demikian
tertolak.
Adapun apa yang dikeluarkan oleh Imam Abû Dâwud dari
‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa ‗Umar
pernah berkhutbah, ―Perhatikan, sesungguhnya harga unta sangat
mahal, oleh karena itu konversi orang yang memiliki emas, membayar
diyat sebanyak 1000 dinar. Pemilik daun membayar diyat dengan
12.000 lembar daun, orang yang memiliki sapi, harus membayar diyat
dengan 200 ekor sapi, pemilik domba, membayar diyat dengan 1000
ekor domba, dan pemilik domba jantan, dengan 200 ekor.‖ Riwayat ini
tidak sah dijadikan sebagai dalil. Sebab, ia adalah perkataan
‗Umar. Perkataan shahabat bukanlah dalil syara‘. Selain itu,
riwayat di atas adalah ijtihad ‗Umar untuk mengkonversikan harga
unta dan bukan jumlah dasar diyat. Oleh karena itu, dalam
riwayat itu disebutkan, ―Perhatikan, sesungguhnya harga unta sangat
mahal, oleh karena itu konversi orang yang memiliki emas adalah…‖.
Dengan demikian riwayat ini hanyalah konversi harga untuk unta,
dan ijtihad-ijtihad shahabat bukanlah termasuk dalil syara‘.
Unta di dalam diyat, merupakan dasar diyat. Ia tidak bisa
dikonversikan, dan tidak bisa diganti dengan sapi, domba jantan,
atau hewan-hewan yang lain. Diyat hanya dibayar dengan unta
bukan yang lain, dan tidak bisa dikonversikan dalam bentuk uang.
Sebab, tidak ada dalil yang menyatakan bolehnya
mengkonversikannya dengan yang lain. Selain itu, unta adalah
diyat yang paling asal, dan tidak boleh diganti.
Semua ini adalah diyat unta. Sedangkan diyat uang maka
dikadarkan dengan emas, sebanyak 1000 dinar, dan perak
sebanyak 12.000 dirham. Dalil tentang diyat dibayar dengan emas,

146 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

adalah apa yang diriwayatkan oleh Nasâ‘iy dari Abû Bakar bin
Muhammad bin ‗Amrû bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya,
―Dan bagi orang yang memiliki emas, sebanyak 1000 dinar.‖
Sedangkan dalil, diyat dengan perak, yakni apa yang diriwayatkan
dari ‗Ikrimah dari ‗Ibnu ‗Abbâs, ―Seorang laki-laki telah membunuh,
kemudian Nabi saw. menetapkkan diyatnya sebanyak 12.000.‖ Yakni
sebanyak 12.000 dirham. Diyat orang yang terbunuh dibayar
dengan uang, bisa sebanyak 1000 dinar, atau 12.000 dirham, dan
tidak dibayar dengan selain nilai tersebut. Karena, nash hanya
menyebutkan emas dan perak, maka wajib terikat dengan nash.
Dinar syar‘iy setara dengan 4,25 gram emas. Dan ini adalah
ukuran berat secara syar‘iy. Dirham syar‘iy setara dengan 2,975
gram perak. Atas dasar itu, diyat pihak yang terbunuh bila dibayar
dengan emas setara dengan 4.250 gram emas. Adapun perak,
setara dengan 35.700 gram perak.
Diyat dibayar dengan uang kertas senilai dengan 1000 dinar
emas, yang nilainya setara dengan 4.250 gram emas, dan 12.000
dirham perak yang senilai dengan 35.700 gram perak.
Diyat orang yang merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan,
Muslim dan dzimmiy nilainya sama dan tidak ada bedanya di
antara mereka. Adapun diyat lelaki dan wanita, merdeka dan
budak, adalah sama. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
« »
―Kaum Muslim darahnya sepadan.‖

Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw.,


« »
‖Di dalam jiwa seorang mukminah terdapat 100 ekor unta.‖

Hal ini juga didasarkan sabda Rasulullah saw.,


« »
―Diyat pembunuhan mirip sengaja diperberat.‖

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 147


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Juga sabda Rasulullah saw.,


« »
―Perhatikan, orang yang terbunuh karena pembunuhan mirip
kesengajaan, baik terbunuh dengan cambuk, maupun tongkat, maka
diyatnya adalah 100 ekor unta.‖

Dalil lainnya didasarkan pada surat yang dikirim Nabi saw. kepada
penduduk Yaman, ―Sesungguhnya, di dalam jiwa, diyatnya 100 ekor
unta.‖
Dalil-dalil ini berlaku umum, baik untuk laki-laki maupun
wanita, merdeka maupun hamba sahaya. Sabda Rasulullah saw.,
―Kaum Muslim darahnya sepadan.‖ Menunjukkan bahwa diyat
mereka sepadan. Oleh karena itu, tidak ada bedanya diyat orang
yang merdeka dengan diyatnya hamba sahaya, juga kadar diyat
antara laki-laki dengan perempuan. Sabda Rasulullah saw., ―Mirip
kesengajaan,‖ dan ―Terbunuh karena kesalahan,‖ berlaku umum
untuk semua pembunuhan mirip kesengajaan, dan pembunuhan
karena tidak sengaja. Dan itu mencakup laki-laki dan wanita, serta
yang merdeka dan budak. Sabda Rasulullah saw., ―di dalam jiwa
mukminah‖, dan ―sesungguhnya di dalam jiwa.‖, tercakup di bawah
kata nafs di sini. Berarti jiwa laki-laki dan perempuan, termasuk
yang merdeka dan hamba sahaya.
Dalil-dalil di atas sangat jelas, menunjukkan bahwa diyat
laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dengan budak
adalah sama, tidak ada yang lebih utama di antara mereka.
Adapun apa yang diriwayatkan dari Mu‘âdz bin Jabal, dari nabi
saw, bahwa beliau bersabda,
« »
―Diyat wanita separuh diyatnya laki-laki,‖

adalah hadis dla‘if sehingga tidak dibutuhkan dalam berdalil.


Imam Bayhaqiy berkomentar terhadap hadis ini: isnad-nya tidak
148 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kuat. Adapun apa yang dikeluarkan oleh Imam Bayhaqiy dari ‗Alî
ra bahwa beliau ra pernah berkata, ―Dalam semua hal, diyat
perempuan separuh diyatnya laki-laki.‖ Ini adalah perkataan shahabat
sehingga tidak dianggap sebagai dalil syara‘. Selain itu, hadis ini
diriwayatkan dari Ibrâhim an-Nakha‘iy, dan sanad-nya terputus.
Dengan begitu, hadis ini tertolak. Jadi, orang yang berpendapat
bahwa diyat wanita separuh diyat-nya laki-laki, tidak didapatkan
dari mereka dalil yang shahih. Dengan demikian, tidak ada dalil
yang tersisa kecuali dalil-dalil yang bersifat umum, yang
menunjukkan pengertian umum. Cukuplah sabda Rasulullah
saw., ―Sesungguhnya di dalam jiwa mukminah,‖ dan sabdanya,
―sesungguhnya di dalam jiwa,‖ sebagai dalil bahwa diyat laki-laki
sama dengan diyat perempuan.
Adapun orang yang berpendapat bahwa diyat hamba
sahaya laki-laki dan hamba sahaya perempuan, baik ia telah baligh
maupun belum, tidak setara dengan diyat semua orang yang
merdeka, sesungguhnya mereka tidak memiliki dalil secara
mutlak. Baik itu hadis shahih, maupun dla‘if, riwayat shahih,
maupun yang lemah, atau pendapat yang disandarkan kepada
ijma‘ ahli ‗ilmu, yang mereka sebut dengan ―ijma‘ ahli ‗ilmu‖. Akan
tetapi sudah maklum bahwa ijma‘ ahli ‗ilmu tidak bernilai sama
sekali untuk digunakan sebagai dalil, dan tidak dianggap sebagai
dalil syara‘. Lalu, bagaimana posisi ijma‘ ahli ‗ilmu di hadapan nash-
nash umum. Apalagi jika harus dibandingkan dengan sabdanya,
« »
―Sesungguhnya di dalam jiwa mukminah terdapat 100 ekor unta,‖

dan sabda beliau saw.,


« »
―Sesungguhnya di dalam jiwa diyatnya adalah 100 ekor unta.‖
Dan apakah seseorang di dunia ini mengingkari, bahwa
hamba sahaya laki-laki dan wanita, itu adalah jiwa? Oleh karena
itu, pendapat yang disandarkan kepada ijma‘ ahli ‗ilmu tertolak.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 149


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan demikian diyat budak laki-laki dan wanita setara dengan


diyat laki-laki maupun wanita merdeka.
Adapun, diyat dzimmîy setara dengan diyat seorang Muslim,
didasarkan kepada keumuman hadis-hadis yang menerangkan
tentang diyat. Sabda Rasulullah saw.,
« »
‖Sesungguhnya di dalam jiwa diyatnya 100 ekor unta.‖

Kata nafs mencakup jiwa orang kafir dan Muslim. Akan tetapi
untuk kafir harbiy, telah ada nash-nash lain yang menjelaskan
bahwa darah mereka boleh dialirkan tanpa adanya balasan. Oleh
karena itu, tidak ada diyat bagi kafir harbiy. Dengan demikian,
nash di atas dikecualikan hanya bagi kafir harbiy saja, sedangkan
kafir dzimmiy tetap tercakup dalam keumuman hadis di atas.
Selain itu, ada nash sharih dari al-Quran dan as-Sunnah
yang menunjukkan bahwa diyat dzimmiy setara dengan seorang
Muslim. Allah Swt. telah berfirman:
 
―Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)― (QS an-Nisâ‟
[4]: 92)

Arah istidlal dengan ayat ini, adalah menyebut kata diyat


dalam bentuk muthlaq tanpa ada muqayyad, ―maka diyatnya
diserahkan kepada ahlinya.‖ Penyebutan diyat di sini mengandung
pengertian bahwa diyat yang diserahkan adalah diyatnya seorang
Muslim. Adapun sunnah, Imam Tirmidzi mengeluarkan hadis
dari Ibnu ‗Abbâs, ‖Bahwa Nabi saw. pernah membayar diyat
‗amariyyain (dua penghuni rumah)--yakni dua orang yang dibunuh oleh
‗Amrû bin Umayyah al-Dlamîriy, sedangkan keduanya memiliki
perjanjian dengan Nabi saw. yang tidak diketahui oleh ‗Amrû--
sebagaimana diyat kaum Muslim.‖

150 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Imam Baihaqiy mengeluarkan riwayat dari Zuhri, ―Diyat


seorang Yahudi dan Nashrani pada masa Rasulullah saw. seperti
diyatnya seorang Muslim, demikian pula pada masa Abû Bakar, ‗Umar,
dan ‗Utsman. Sedangkan pada masa Mu‘awiyyah, pelaku pembunuhan
memberi kepada ahli pihak yang terbunuh separuh, dan separuhnya
dibayar dari baitul mal.‖ Zuhri berkata, ―Kemudian ‗Umar bin ‗Abdul
‗Aziz menetapkan separuh, dan memberikan (separuhnya) sebagaimana
yang dilakukan oleh Mu‘awiyyah.‖
Dari ‗Ikrimah, dari Ibnu ‗Abbâs, ia berkata, ―Rasulullah
saw. telah menetapkan diyat ‗âmiriyain sebagaimana diyatnya seorang
Muslim merdeka. Sedangkan keduanya memiliki perjanjian.‖ Baihaqiy
mengeluarkan riwayat, ―Sesungguhnya Rasulullah saw. menetapkan
diyat dua orang kafir mu‘âhid sebagaimana diyatnya seorang Muslim.‖
Dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi
saw. bersabda,
« »
―Diyat Yahudi dan Nashrani sama dengan diyatnya seorang Muslim.‖

Dari Ibnu ‗Umar, ―Bahwa Nabi saw telah membayar diyatnya seorang
dzimmiy setara dengan diyatnya seorang Muslim.‖
Hadis-hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa diyat
dzimmiy dan mu‘âhad, sebagaimana diyatnya seorang Muslim.
Dengan demikian, hadis tersebut telah memperkuat keumuman
dalil-dalil syara‘. Oleh karena itu, diyat kafir dzimmiy dan mu‘âhad
setara dengan diyat seorang Muslim, tanpa ada perbedaan di
antara keduanya.
Adapun dalil-dalil yang menyebutkan bahwa diyat seorang
kafir separuh diyat seorang Muslim, maka hadis tersebut tidak
bertentangan dengan hadis-hadis ini. Sebab, dalil-dalil itu berlaku
bagi orang kafir, sedangkan dalil-dalil ini berlaku bagi mu‘âhad dan
dzimmiy, oleh karena itu keduanya tidak bertentangan. Dari ‗Amrû
bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi saw.
bersabda,
« »

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 151


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Diyat kafir separuh diyatnya seorang Muslim.‖

Imam Ahmad mengeluarkan riwayat bahwa Rasulullah saw.,


»

«
―telah menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyatnya kaum
Muslim, mereka adalah Yahudi dan Nashrani.

‗Ubadah bin Shamit meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,


« »
―Diyat Yahudi dan Nashrani 4000 dan 4000.‖

Dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi
saw., bahwa beliau saw. menetapkan,
« »
―diyatnya kitabaiy (dua orang ahlul kitab; Yahudi dan Nashrani;
separuh diyatnya orang Muslim.‖
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa diyat seorang kafir
separuh diyatnya seorang Muslim. Akan tetapi hadis ini tidak
bertentangan dengan hadis-hadis yang lain, yang menjadikan diyat
dzimmiy dan mu‘âhad sama dengan diyatnya seorang Muslim, sebab
hadis tersebut menyebutkan, ―diyat kitabaiy‖, berlaku umum
mencakup kafir harbiy, mu‘âhad, dan dzimmiy. Tatkala ada hadis-
hadis lain yang menunjukkan bahwa diyat kafir mu‘âhad dan
dzimmiy setara dengan diyat seorang Muslim, maka hadis tersebut
telah mengkhususkan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan kafir ahlul kitabain, yakni Yahudi dan Nashrani,
serta al-kitabaiy adalah kafir-kafir harbiy saja. Dengan dalil, adanya
hadis-hadis lain yang telah mengecualikan bagi kafir mu‘âhad dan
dzimmiy.

152 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan begitu, hadis-hadis yang menetapkan diyat


mu‘âhad dan dzimmiy setara dengan diyat seorang Muslim telah
mengkhususkan hadis-hadis umum yang lain. Atas dasar ini,
hadis-hadis umum tersebut tidak layak digunakan sebagai dalil
bahwa diyat kafir mu‘âhad dan dzimmiy separuh diyatnya seorang
Muslim, akan tetapi dalil bagi kafir harbiy saja.
Di sini ada yang menyatakan bahwa bagi kafir harbiy, kita
diperintahkan untuk membunuhnya di mana saja kita
menjumpainya. Darahnya boleh dialirkan tanpa tebusan. Lalu,
atas dasar apa ditetapkan bagi kaum Muslim untuk membayar
diyatnya separuh diyat seorang Muslim? Jawaban atas pernyataan
itu adalah, sesungguhnya seorang kafir harbiy—dimana kita
diperintahkan untuk membunuhnya di mana saja kita
menjumpainya, dan darahnya boleh dialirkan tanpa ada tebusan—
hanya berlaku bagi kafir yang mengumumkan perang kepada kita.
Yakni, kafir yang antara mereka dan kita sedang berlangsung
kondisi perang secara langsung, sebagaimana kondisi yang terjadi
antara kaum Quraisy dan Rasulullah saw.
Sedangkan kafir harbiy yang kita tidak sedang dalam
kondisi perang secara langsung dengan mereka, kita tidak
diperintahkan untuk membunuhnya di mana saja kita jumpai
mereka. Kita diperintahkan untuk memerangi mereka, dalam
kapasitasnya sebagai sebuah negara atau jama‘ah, yang terlebih
dahulu disyaratkan adanya kelompok yang menyeru agar mereka
mau masuk Islam, kemudian mereka dituntut untuk membayar
jizyah, jika mereka menolak untuk masuk Islam. Terakhir, baru
kemudian kita memerangi mereka. Seperti halnya yang dilakukan
oleh kabilah-kabilah selain Quraisy terhadap Rasulullah saw.
Kabilah-kabilah tersebut bukanlah muhâriban fi‘lan (kafir yang
harus diperangi secara langsung), akan tetapi status mereka hanya
kafir harbiy.
Kaum Muslim tidak memerangi kabilah-kabilah ini di
manapun mereka menjumpainya saat berperang melawan orang-
orang Quraisy. Sebelum turun surat at-Taubah, kaum Muslim
hanya bergaul biasa saja dengan mereka. Orang-orang kafir harbiy
yang tidak mengumumkan perang melawan kita, merekalah orang

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 153


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kafir yang dimaksud oleh hadis-hadis ―diyatnya orang kafir


separuh diyat kaum Muslim.‖ Misalnya, jika terjadi peperangan
secara langsung antara kita dengan Inggris, maka kita
diperintahkan untuk memerangi mereka di manapun kita
menjumpai mereka dan darah mereka boleh dialirkan tanpa
tebusan. Akan tetapi, jika tidak terjadi peperangan antara kita
dengan Jerman, misalnya, dan tidak ada perjanjian antara kita
dengan mereka, maka kita tidak boleh membunuh orang Jerman
di mana saja kita menjumpai mereka. Karena tidak sedang dalam
kondisi perang secara langsung antara kita dengan mereka.
Dengan begitu, maka darah mereka tidak boleh ditumpahkan
tanpa tebusan.
Dengan demikian, jika seorang Muslim membunuh seorang
kafir dari golongan mereka, maka kaum Muslim wajib membayar
diyatnya separuh diyat kaum Muslim, dan ia tidak dibunuh
karena membunuh orang kafir tersebut. Atas dasar ini, hadis-hadis
yang menyebut bahwa diyat orang kafir separuh diyat kaum
Muslim, hanya terjadi pada kaum kafir yang antara kita dengan
mereka tidak sedang terjadi kondisi perang langsung. Sebab, pada
kondisi semacam ini (perang langsung) darah mereka boleh
ditumpahkan tanpa tebusan.
Oleh karena itu, hadis-hadis yang menyebut tentang diyat
kafir mu‘âhad setara dengan diyat seorang Muslim khusus hanya
bagi kafir dzimmiy dan musta‘min. Dengan demikian nampaklah
bahwa diyat kafir dzimmiy dan mu‘ahad setara dengan diyat seorang
Muslim.

Pihak Yang Wajib Membayar Diyat


Adapun orang yang membayar diyat, dalam hal ini perlu
perincian; untuk diyat pembunuhan sengaja, diambil dari harta
pembunuh, bukan dari ‗aqilah-nya. Sebagaimana diriwayatkan dari
‗Amrû bin al-Ahwash, bahwa ia hadir di haji Wada‘ bersama
Rasulullah saw., dan Rasulullah saw. bersabda,
»

154 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »

« »

― (????? Hlm. 119, alinea 1, baris 3 sampai 18 belum


diterjemahkan !!!!!!)

Sedangkan pembunuhan tidak sengaja dan terjadi karena


ketidaksengajaan, telah diriwayatkan dari Jâbir, ―Dua perempuan
Hudzail, salah satu diantaranya keduanya membunuh yang lain, dan
masing-masing telah memiliki suami dan anak. Rasulullah saw.
menetapkan diyat pihak yang terbunuh bagi ‗aqilah orang yang
membunuh. Kemudian suami dan anaknya menolak. Jâbir berkata,
―Kemudian ‗âqilah pihak terbunuh berkata, ―Biarkan harta warisnya
menjadi milik kami. Rasulullah saw. bersabda, ―Tidak!. Harta warisnya
untuk suami dan anaknya.‖ Telah disahkan dari Nabi saw., ―Beliau
menetapkan pembunuhan tidak sengaja kepada ‗âqilah-nya.‖
Nash-nash ini sebagai dalil, bahwa diyat pembunuhan
tidak sengaja dibebankan kepada ‗âqilah-nya. Termasuk pula
pembunuhan yang terjadi tidak dengan kesengajaan. Sebab,
pembunuhan semacam ini termasuk jenis pembunuhan tidak
sengaja.
‗Âqilah adalah pihak ‗ashabah saja. Sedangkan yang lain, yakni
dari saudara perempuan dari ibu, dan seluruh dzawil arhâm,
suami, dan semua pihak selain ‗ashabah, semuanya bukan
termasuk ‗âqilah. Ini disebabkan, bahwa ‗âqilah adalah ‗ashabah
yang tidak mewarisi kecuali sebagian yang diwariskan.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 155


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

‗Amrû bin Syu‘aib telah meriwayatkan dari bapaknya, dari


kakeknya, ia berkata, ―Rasulullah saw. telah menetapkan bahwa diyat
seorang wanita dibebankan diantara ‗ashabah-nya, yaitu orang yang
tidak mewarisi apapun kecuali apa yang disisakan dari ahli warisnya,
dan jika ia membunuh maka diyatnya antara waris-warisnya.‖ Bapak
dan anak-anak mewarisi harta yang diwariskan dengan jalan
ashliyyan, bukan dengan jalan ‗ashabah. Selain itu, Rasulullah telah
menetapkan diyat atas ‗âqilah, dan tidak membebankan diyat
kepada anak.
Dari Jâbir, ia berkata, ―Dua perempuan Hudzail, salah satu
diantaranya keduanya membunuh yang lain, dan masing-masing telah
memiliki suami dan anak. Rasulullah saw. menetapkan diyat pihak yang
terbunuh bagi ‗âqilah orang yang membunuh. Kemudian suami dan
anaknya menolak. Jâbir berkata, ―Kemudian ‗âqilah pihak terbunuh
berkata, ―Biarkan harta warisnya menjadi milik kami. Rasulullah saw.
bersabda, ―Tidak! Harta warisnya untuk suami dan anaknya.‖ Hadis
ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasulullah saw. tidak
menjadikan anak sebagai ‗âqilah, demikian pula bapak. Sebab,
bapak juga tercakup dalam makna tersebut. Selain itu, kedudukan
harta anaknya seperti harta bapaknya. Alasannya adalah,
Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Kamu dan hartamu milik bapakmu.‖

Oleh karena itu, bapak dan anak tidak termasuk ‗aqilah dalam
masalah diyat. Maka, ‗âqilah adalah ‗ashabah, kecuali anak dan
bapak. Barangsiapa tidak memiliki ‗âqilah, maka diyatnya diambil
dari baitul mal.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahal bin Abi
Hasyamah tentang seseorang yang terbunuh di Khaibar,
―Kemudian Rasulullah saw. membayar diyatnya dari apa yang ia punya
(baitul mal).‖ Juga dalam hadis ‗Amrû bin Syu‘aib, ―Kemudian
beliau membayar diyatnya sebanyak 100 ekor unta dari unta shadaqah.‖
Bertanggung jawabnya ‗âqilah atas diyat seakan
bertentangan dengan firman Allah Swt.:
156 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.‖ (QS
al-An‘âm [6]: 164].

Namun demikian, ayat tersebut berbentuk umum.


Kemudian terdapat hadis-hadis yang menjelaskan tentang
bertanggung jawabnya ‗âqilah atas diyat. Dengan demikian, hadis-
hadis ini telah mengkhususkan keumuman ayat tersebut. Jadi,
hadis-hadis itu sebagai pengecualian terhadap keumuman ayat
tersebut. Tidak diragukan lagi, bahwa takhshish al-Quran dengan
Sunnah adalah hal yang diperbolehkan.
Dengan begitu, diyat pembunuhan mirip kesengajaan, tidak
sengaja, dan terjadi karena ketidaksengajaan, hanya diwajibkan
(dibebankan) kepada ‗âqilah-nya saja, dan tidak diwajibkan kepada
ahli warisnya. ‗Âqilah semata yang membayarkan diyatnya. ‗Âqilah
laki-laki adalah keluarga-keluarga dari pihak laki-laki; saudara-
saudaranya, paman-pamanya, anak-anak pamannya, sampai kakek
III (???? Hlm. 120, baris 10 dari atas). Kemudian mulai dengan
sepupunya bawah.
Jika mereka semua tidak mampu, maka diyat dikumpulkan
dari keluarga terdekat. Yaitu, ashabah nasab yang telah mukallaf;
laki-laki dan merdeka, baru kemudian ‗ashabah sabab. Merekalah
pihak yang membayar diyat. Namun jika mereka tidak mampu,
dan tidak didapatkan dari mereka diyat, maka diyatnya dibayar
oleh baitul mal. Diyat diambil dari seluruh ‗âqilah dengan kadar
yang sama. Akan tetapi diyat hanya diambil dari pihak yang
mampu saja, dan tidak dipungut dari pihak yang miskin.
Adapun kepada siapa diyat itu diserahkan, maka diyat
tersebut diserahkan kepada ahli waris pihak yang terbunuh saja,
tidak diberikan kepada ‗aqilah-nya sedikitpun. Ini didasarkan
kepada hadis Jâbir yang telah disebutkan di atas, ―‘Âqilah pihak
yang terbunuh berkata, ―Biarkan harta yang diwariskan menjadi milik
kami. Rasulullah saw. bersabda, ―Harta warisnya untuk suami dan
anaknya.‖

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 157


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Diyat Janin
Jika seorang perempuan hamil dipukul, kemudian janinnya
gugur karena pemukulan tersebut—apakah perempuannya mati
karena pemukulan tersebut, atau tidak—maka pemukul wajib
membayar diyat janin; yakni membebaskan seorang budak laki-
laki atau perempuan. Jika ia tidak mendapatkan budak, diyatnya
10 ekor unta. Kewajiban diyat ditetapkan berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Mughîrah, ―Seorang perempuan dipukul oleh isteri
kedua dengan guntingan kuku. Wanita itu terbunuh, sedangkan ia
sedang hamil. Lalu, wanita itu diserahkan kepada Rasulullah saw., dan
Rasulullah saw. menetapkan agar ‗âqilah pihak pembunuh membayar
diyat janinnya sebesar ghurrah. ‗Ashabah perempuan itu berkata,

?????? (hlm. 121, baris 2 sampai 7 belum


diterjemahkan/kelewat?????)

« »

Hadis-hadis ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya


diyat dalam janin, Sedangkan diyat ghurrah adalah membebaskan
seorang budak laki-laki atau perempuan, sebagaimana
diriwayatkan dari Abû Hurayrah, beliau berkata, ―Rasulullah saw.
menetapkan bagi janin perempuan dari suku Lihyan yang gugur dengan
ghurrah, budak laki-laki atau perempuan.‖ Dalam riwayat lain
disebutkan, ―Mereka berperkara di hadapan Rasulullah saw, kemudian
beliau saw menetapkan diyat janinnya dengan ghurrah; budak laki-laki
atau wanita. Bila tidak mendapatkan budak laki-laki atau
perempuan, ia harus membayar 10 ekor unta, berdasarkan riwayat
Ibnu Abi ‗Âshim, ‖Jika tidak ada budak laki-laki atau perempuan,
Rasulullah saw. bersabda, ―10 ekor unta.‖ Mereka berkata, ―Ia tidak
memiliki apa-apa kecuali kami memberikan kepadanya sebagian sedekah
Bani Lihyan. Maka, ia pun tertolong dengan sedekah itu.‖ 

158 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Jinayat Selain Jiwa

Jinayat selain jiwa adalah jinayat atas salah satu organ dari
anggota tubuh manusia, atau atas tulang dari tulang-tulang tubuh
manusia; atau atas kepalanya, atau atas bagian dari tubuh manusia
dengan sebuah pelukaan. Semua itu tanpa memandang statusnya;
baik laki-laki ataupun wanita, merdeka atau budak, miskin, kafir
dzimmiy ataupun kafir musta‘min. Sebagian fuqaha berpendapat
bahwa qishâsh selain jiwa dari organ-organ tubuh didasarkan pada
firman Allah Swt.:


―Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
(pun) ada kisasnya.‖ (QS al-Mâidah [5]: 45)

Oleh kerena itu, para ahli fiqih menetapkan qishâsh selain


pada jiwa dari organ-organ tubuh, suatu kaidah, ―Jiwa dengan
jiwa.‖ Demikianlah, barangsiapa melepaskan mata seseorang,
maka matanya harus dilepaskan pula. Akan tetapi, ayat ini turun
bagi Bani Israil, yakni ayat yang menceritakan kisah tentang
mereka dan bukan khithab bagi kita. Dengan demikian berlaku
kaidah:

(syari‘at sebelum kita bukanlah syari‘at bagi kita).

Dengan begitu, siapapun tidak dibenarkan berhujjah dengan ayat


ini dan mengambilnya sebagai dalil. Sebab, kita tidak diperintah
dengan ayat tersebut.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 159


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Yang benar adalah, jinayat selain jiwa tidak di-istidlal-kan dari


ayat tersebut, akan tetapi disandarkan dengan riwayat yang
disebutkan dalam hadis-hadis. Sebab, ayat tersebut hanyalah kisah
tentang Bani Israil. Selain itu ayat tersebut menerangkan tentang
syari‘at orang-orang Yahudi. Dan kita memang tidak
diperintahkan untuk mengikuti syari‘at-syari‘at semacam itu.
Dengan demikian, ayat tersebut tidak layak digunakan sebagai
dalil. Bahkan tidak sah dijadikan sebagai dalil, selama kita tidak
diperintahkan dengan ayat tersebut. Malah, tidak ada nash di
dalam al-Quran yang bisa digunakan sebagai dalil untuk
menetapkan jinâyat pada selain jiwa. Sedangkan firman Allah
Swt.:
 

―Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.‖ (QS al-Baqarah [2]: 194)

Ayat ini turun berkaitan dengan perlakuan kaum Muslim


terhadap orang kafir, dan tidak menjelaskan tentang jinâyat pada
selain jiwa. Nash ayat tersebut adalah:


―Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishâsh. Oleh sebab itu barang siapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.‖ (QS al-Baqarah [2]: 194)

Demikianlah, tidak ada perang di bulan haram. Kemudian


Allah menjelaskan di dalam ayat ini, bahwa jika orang-orang
musyrik memerangi kalian di bulan haram, maka perangilah
mereka di bulan haram, dan barangsiapa menyerang kalian maka
160 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

perangilah mereka setara dengan serangan yang mereka lakukan


terhadap kalian. Maksud ayat tersebut adalah seranglah orang
kafir setara dengan serangan yang dilakukan oleh mereka.
Kemudian Allah Swt. berfirman bahwa kaidah untuk berperang
dengan orang-orang musyrik adalah bulan haram dengan bulan
haram. Lalu, Allah swt melarang berperang dalam bulan tersebut.
(?????) Selanjutnya Allah Swt. memperluas kaidah ini, dengan
menyatakan bahwa siapa saja yang memusuhi kaum Muslim maka
balaslah mereka dengan perlakuan yang setimpal.
Dengan begitu, obyek pembahasan ayat ini adalah
peperangan antara kaum Muslim dengan orang kafir, bukan
sanksi selain jiwa. Dalilnya adalah, ayat sebelumnya yang
berhubungan dengan ayat tersebut berbicara tentang peperangan.
Allah Swt. berfirman:


―Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 161
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Bulan
haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati,
berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang
kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.‖
(QS al-Baqarah [2]: 190-194)

Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa obyek


pembahasannya (maudlu‘) adalah peperangan antara kaum Muslim
dengan kafir. Dengan demikian ayat ini pembahasannya khusus
untuk peperangan. Atas dasar ini, ayat tersebut tidak layak
digunakan dalil untuk menetapkan ‗uqûbât (sanksi) selain jiwa.
Sedangkan firman Allah Swt.:
 
―Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.‖ (QS an-Nahl
[16]: 126)

Ayat ini senada dengan firman Allah Swt.:


 
―Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, ― (QS
asy-Syûra [42]: 40)

Yang dimaksud ayat tersebut adalah menghindari dosa


(kejelekan) dari jiwa dan memberi balasan permusuhan dengan
balasan yang setimpal. Ayat ini tidak menjelaskan tentang sanksi
(‗uqâbât) selain jiwa, akan tetapi hanya berkaitan dengan
menghindari dosa (keburukan). Sebab, seseorang tidak boleh
menyakiti orang lain kecuali sekadar dengan apa yang
diterimanya. Dan tidak boleh melebihi apa yang diterimanya.
Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

162 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

 
―Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar.‖(QS an-Nahl [16]: 126)

Dengan demikian, ayat tersebut tidak layak digunakan


sebagai dalil yang menunjukkan ‗uqâbât selain badan (dari sisi
negara??? Hlm. 124). Dari sini jelaslah bahwa tidak ada nash-nash
dalam al-Quran yang menunjukkan ‗uqâbât (sanksi) selain jiwa.
Oleh karena itu, dalil yang menunjukkan sanksi selain jiwa adalah
sunnah, bukan yang lain.
Adapun apa yang tersebut di dalam sunnah tentang ‗uqûbât
selain jiwa, maka orang yang meneliti dalam masalah ini, ia tidak
akan melihat adanya sanksi qishâsh pada organ dari anggota-
anggota badan, maupun tulang dari tulang-tulang yang terdapat
dalam tubuh secara mutlak, kecuali pada gigi. Adapun apa yang
diriwayatkan dari al-Hasan dari Samrah bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
« »
―Barangsiapa membunuh budaknya, kami akan membunuhnya, dan
barangsiapa memotong hidung budaknya, kami akan memotong
hidungnya.

Juga riwayat yang dituturkan oleh Abû Dâwud bahwa Nabi saw.
bersabda,
« »
―Barangsiapa mengebiri budaknya, maka kami akan ganti
mengebirinya.‖

Riwayat-riwayat ini hanya berlaku khusus dalam sanksi


yang dijatuhkan tuan kepada budaknya. Dan tidak berlaku
umum. Topik yang dibahas dalam riwayat-riwayat itu adalah
perlakuan tuan kepada budaknya, bukan topik pembahasan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 163


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

mengenai persanksian. Riwayat-riwayat itu hanyalah sanksi khusus


yang dijatuhkan kepada pemilik budak jika ia melakukan tindak
penganiayaan kepada budaknya. Riwayat tersebut tidak berlaku
umum untuk seluruh manusia, oleh karena sanksi yang
disebutkan dalam riwayat tersebut tidak berlaku umum untuk
seluruh manusia. Sehingga, seandainya seseorang memotong
hidung bukan budaknya, maka ia tidak dikenai hukuman
setimpal, yakni potong hidung.
Demikian juga, seandainya ia mengebiri bukan budaknya,
maka ia tidak dikebiri balik. Sebab, hadis di atas tidak
menunjukkan pengertian semacam ini. Dalam hadis itu
Rasulullah saw. bersabda, ―‘abdahu‖ (budaknya), ―memotong hidung
budaknya‖, dan ―mengebiri budaknya.‖ Beliau saw. tidak
mengatakan, ―‘abdan‖ (manusia), atau ―ahadan‖(seseorang).
Isnadnya adalah pada lafadz ‗‘abdahu‖, sehingga berlaku khusus
untuk budak saja. Dengan demikian, tidak berlaku bagi yang lain.
Maka atas dasar itu, hadis ini tidak bisa digunakan sebagai dalil
wajibnya qishâsh (hukuman setimpal) pada anggota tubuh secara
mutlak.
Ada yang menyatakan bahwa kami berargumentasi dengan
hadis ―Barangsiapa membunuh hambanya, maka kami akan
membunuhnya balik‖, dan kami telah menjadikannya sebagai dalil
bahwa seseorang yang merdeka harus dikenai sanksi bunuh jika ia
membunuh seorang budak, padahal hadis itu topiknya secara
khusus membahas perlakuan tuan kepada budaknuya. Jawabnya
adalah sebagai berikut: Hadis yang menyatakan, ―Barangsiapa
membunuh budaknya maka kami akan membunuhnya balik‖, dari sisi
dalalah manthuq-nya (penunjukkan tekstualnya) tidak
menunjukkan pengertian bahwa orang yang merdeka dibunuh
karena membunuh budak, akan tetapi orang yang merdeka harus
dibunuh karena membunuh budak ditunjukkan oleh dalalah
mafhum-nya (penunjukkan kontekstualnya).
Sabda Rasulullah saw., ―Barangsiapa membunuh budaknya,‖
manthuq-nya menunjukkan pengertian bahwa tuan jika
membunuh budaknya maka ia harus dibunuh balik. Dan tidak
menunjukkan pengertian lain. Sehingga hadis itu tidak

164 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menunjukkan pengertian bahwa seorang tuan dibunuh karena


membunuh budakmnya. Akan tetapi hanya menunjukkan bahwa
tuan harus dibunuh balik jika ia membunuh budaknya saja.
Namun demikian, fahwiy al-khithab (mafhum muwafaqah)
menunjukkan bahwa selain tuan harus dibunuh karena
membunuh budaknya itu lebih utama. Yakni, jika tuan dibunuh
karena membunuh budaknya, padahal ia adalah pemilik
budaknya.

(mulai baris ke-8 dari atas pada halaman 125 sampai halaman
131 belum diterjemahkan!!!!)
« »

« »

« »

« »

« »

Diyat Anggota Tubuh


Dan Tulang Manusia

Diyat setiap anggota tubuh dan tulang manusia, kadarnya


harus sesuai dengan kadar yang telah disebutkan dalam as-
Sunnah. Diyat telah disebutkan dengan sangat jelas di dalam as-
Sunnah. Dari Abû Bakar bin Muhammad bin ‗Amrû bin Hazm
dari bapaknya dari kakeknya, ―Bahwa Rasulullah saw. telah menulis
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 165
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut di tulis,


―Barangsiapa terbukti membunuh seorang wanita mukmin, maka ia
dikenai qawad (qishâsh), kecuali dimaafkan oleh wali pihak yang
terbunuh. Diyat dalam jiwa 100 ekor unta, pada hidung yang terpotong
dikenakan diyat, pada lidah ada diyat, pada dua bibir ada diyat, pada
dua buah pelir dikenakan diyat, pada penis dikenai diyat, pada tulang
punggung dikenakan diyat, pada pada dua biji mata ada diyat, pada
satu kaki ½ diyat, pada ma‘mumah 1/3 diyat, pada jaifah 1/3 diyat,
pada munaqqilah 15 ekor unta, pada setiap jari kaki dan tangan 10
ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, pada muwadldlihah 5 ekor unta, dan
seorang laki-laki harus dibunuh karena membunuh seorang perempuan,
dan bagi pemilik emas, 1000 dinar.‖ (HR an-Nasâ‟iy)
Atas dasar ini, sanksi atas penyerangan anggota badan
adalah diyat, atau irsiy, bukan yang lain.
Perincian ‗uqûbât tersebut adalah sebagai berikut: bagi orang
yang merusak satu organ manusia, dalam masalah ini dikenai
diyat. Jika ia merusak dua organ manusia, maka pada setiap
organnya dikenai ½ diyat. Demikianlah, Rasulullah saw. telah
menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat
kata-kata, ―pada hidung yang dipotong dikenai diyat, pada lidah
dikenakan diyat.‖ Di dalamnya juga disebut, ―pada penis dikenakan
diyat, pada tulang punggung dikenakan diyat.‖ Itu adalah organ-organ
yang berjumlah satu buah di dalam tubuh manusia. Rasulullah
saw. juga menulis di dalam suratnya, ―pada dua buah bibir
dikenakan diyat, pada dua buah pelir dikenakan diyat.‖
Beliau juga menulis di dalam suratnya, ―pada dua biji mata
dikenakan diyat, pada satu buah kaki ½ diyat.‖ Ini adalah organ-
organ yang terdapat sepasang dalam tubuh manusia. Dengan
demikian melukai salah satu organ pasangannya, dikenai ½ diyat.
―al-sulbu‖ dengan dlammah dan tahrik; adalah tulang dari sisi bahu
(tulang dekat leher bagian atas punggung) sampai tulang ekor.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan al-sulbu adalah punggung.
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-sulbu di
sini adalah apa yang ada di dalam organ terdalam di dalam otak,
yang berfungsi untuk mendistribusikan perasaan nikmat

166 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

(meneruskan rangsangan) pada organ-organ lain, bukan punggung


itu sendiri.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir
dari ‗Alî ra, ia berkata, ―Pada al-sulbu dikenakan diyat, jika sampai
tidak bisa jima‘.‖ Akan tetapi nash-nash syara‘ tersebut harus
ditasirkan dengan makna bahasanya, bukan dengan pendapat
sahabat, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa nash-nash
tersebut memiliki makna syara‘ baik di dalam al-Quran maupun
as-Sunnah. Di sini tidak terdapat nash (yang mengindikasikan
makna tersebut), oleh karena itu, makna sulbu harus diartikan
sebagaimana pengertian bahasa.
Adapun organ yang terdiri dari 4 organ, kesemuanya
dikenakan diyat, dan setiap organnya dikenai ¼ diyat. Organ-
organ tersebut adalah dua pelupuk mata yang terletak pada dua
mata, dan kedua bulu matanya. Jika organ tersebut tersusun atas
10 organ, maka seluruhnya dikenai diyat, dan setiap organnya
dikenakan 1/10 diyat. Organ tersebut adalah jari-jari yang
terdapat pada dua tangan dan kaki. Organ-organ yang terdiri dari
3 organ, maka di dalamnya dikenai diyat dan masing-masing
organnya dikenakan 1/3 diyat. Organ-organ tersebut adalah
lubang hidung dan pembatas kedua lubang hidung. Ketentuan
semacam ini berlaku untuk semua organ tubuh. Sebab, hadis-
hadis telah menunjukkan hal tersebut, dan dari hasil penelitian
terhadap seluruh keterangan tentang diyat bagi organ-organ
tubuh. Adapun perinciannya sebagai berikut;

Organ-Organ Di Kepala
Dua biji mata; jika terjadi penyerangan terhadap dua buah biji
mata, maka pada keduanya dikenakan diyat. Untuk satu biji mata
dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Pada dua biji mata dikenakan diyat.‖

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau saw. pernah bersabda,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 167


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta.‖

Dalam hal ini tidak ada bedanya antara dua biji mata yang besar
atau yang kecil, yang cantik atau yang jelek, yang sakit, juling, atau
rusak. Jika, kedua mata masih memiliki putih mata, dan tidak
mengurangi penglihatannya, maka hal tersebut tidak mengurangi
diyatnya. Akan tetapi bila sampai mengurangi penglihatan mata,
maka setiap pengurangannya dikenai diyat menurut kadar
pengurangannya. Maksud dari pengurangan penglihatan di sini
bukanlah mengurangi penglihatan dari kesempurnaannya, semisal
6/6 atau 9/6 , akan tetapi menguranginya dari apa yang
menimpanya sebelum dikenai serangan.
Hilangnya penglihatan wajib dikenai diyat. Sebab, setiap
dua organ wajib dikenai diyat, karena lenyapnya organ tersebut,
dan lenyapnya faal dari organ tersebut. Jika seseorang menyerang
kepala orang lain kemudian menyebabkan lenyapnya penglihatan,
maka orang tersebut wajib dikenai diyat. Sebab, penglihatan orang
yang diserang lenyap disebabkan karena serangannya. Jika
serangan tersebut tidak sampai melenyapkan penglihatan, maka ia
harus mengobatinya. Akan tetapi jika penglihatannya lenyap
karena pengobatan tersebut, maka ia wajib membayar diyat.
Sebab, lenyapnya penglihatan orang tersebut disebabkan karena
perbuatannya. Jika mereka bersengketa dalam menetapkan
―lenyapnya penglihatan‖, hal tersebut dikembalilkan kepada 2 atau
lebih ahli (spesialis mata).
Sebab, jalan untuk mengetahui hal tersebut hanya lewat
kedua ahli mata tersebut. Ini didasarkan pada keahlian kedua ahli
tersebut dalam menetapkan posisi mata, dan pengetahuannya
terhadap kondisi mata. Jika hilangnya penglihatan telah terbukti,
dan ahli mata telah menyatakan tidak ada harapan bisa pulih
seperti semula, maka orang tersebut wajib dikenakan diyat.
Namun jika ahli mata menyatakan bahwa matanya bisa pulih
kembali dalam jangka waktu tertentu, maka ditunggu sampai
batas waktunya. Dengan begitu, diyat tidak diberikan sampai habis

168 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

batas waktunya. Jika penglihatannya kembali pulih, diyatnya


digugurkan dari pelaku penyerangan. Tapi jika ternyata tidak
pulih, maka ia wajib membayar diyat.
Jika korban meninggal, sebelum pulih penglihatannya,
maka ia wajib membayar diyat, baik mati pada saat masa
penungguan atau setelah masa penungguan. Jika ada orang asing
merusak mata si korban sebelum kedua matanya pulih, diyat
diwajibkan kepada penyerang pertama. Sebab, dialah yang
melenyapkan penglihatan dan belum pulih. Bagi orang kedua
dikenakan hukumah yang adil. Sebab, dia telah menghilangkan
penglihatan mata yang tidak bisa diharapkan kepulihannya.
Jika seseorang diserang, kemudian mengurangi pandangan
(sinar) matanya, dalam kasus ini ia dikenai hukumah yang adil.
Pada kasus pembutaan sebelah mata, dikenakan ½ diyat,
berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
« »
―Pada dua biji mata dikenakan diyat.‖

Tidak boleh dinyatakan bahwa ‗Umar, ‗Utsman, dan ‗Alî ra telah


menetapkan pada kasus pembutaan sebelum mata dikenakan
diyat penuh. Sementara para sahabat lain mendiamkan perilaku
tersebut, oleh karena itu perilaku mereka menjadi ijma‘. Tidak
boleh dinyatakan demikian, sebab telah ditetapkan dalam sunnah
bahwa pada kasus pembutaan sebelah mata dikenai ½ diyat.
Seandainya kita wajib mengamalkan perilaku tersebut, berarti
ketetapan itu disandarkan kepada ijma‘ sahabat. Padahal ijma‘
sahabat tidak bisa menghapus sunnah. Oleh karena itu, ijma‘
sahabat tidak bisa diamalkan, dan yang menjadi dalil tetap
sunnah.
Dua daun telinga, pada dua daun telinga dikenakan diyat.
Pada sebuah daun telinga dikenakan ½ diat. Sebagaimana telah
disebutkan dalam surat Nabi saw. yang dikirim kepada ‗Amrû bin
Hazm, ―Pada dua daun telinga dikenakan diyat penuh.‖ Ini berarti,
pada satu daun telinga dikenakan ½ diyat. Dari hadis tersebut
dapat dipahami, jika sebagian dari salah satu daun telinga

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 169


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dipotong, wajib dikenakan diyat setara dengan bagian yang


dipotong. Jika telinga dipotong setengahnya, maka dikenakan ½
diyat. Jika dipotong ¼ dari daun telinganya maka dikenakan ¼
diyat dan seterusnya. Sama saja, dipotong mulai dari atas telinga,
atau dari bawahnya, maupun berbeda dalam keindahan, ataupun
tidak berbeda. Jika seseorang menyerang telinga orang lain,
kemudian menyebabkan kelumpuhan telinga, maka ia dikenai ½
diyat. Jika mengenai dua daun telinga, maka ia dikenai diyat
penuh. Sebab, pelumpuhan sama dengan pemotongan.
Selama diyat dikenakan karena pemotongan, maka diyat
juga diwajibkan karena pelumpuhan. Tidak boleh dinyatakan
bahwa pelumpuhannya tidaklah mengurangi keutuhan
pendengarannya, demikian juga bahwa pemotongan tidaklah
mengurangi keutuhan pendengarannya. Oleh karena itu, jika
kedua telinga tersebut tidak terpotong tapi pendengaran keduanya
hilang, maka dalam hal ini dikenakan diyat. Sebab, lenyapnya
fungsi organ sama dengan lenyapnya organ itu sendiri.
Sebagaimana diriwayatkan dari Mu‘adz, bahwa beliau saw. pernah
bersabda,
« »
―Pada pendengaran dikenakan diyat.‖

Jika salah satu daun telinga hilang fungsinya, maka dikenakan ½


diyat. Jika daun telinga terpotong, dan pendengarannya juga
lenyap, maka ia dikenakan diyat penuh. Ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw.,
« »
―Pada dua daun telinga dikenakan diyat penuh‖,

dan sabdanya,
« »
―pada pendengaran dikenakan diyat.‖

170 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Ini berarti, bagi organ dikenakan diyat dan bagi fungsinya juga
dikenakan diyat berikutnya. Hal ini telah disebutkan dengan
sangat jelas.
Hidung, tidak ragu lagi, hidung terdiri dari tiga bagian, yakni
dua lubang hidung dan pemisah di antara keduanya. Pemisah dua
lubang hidung termasuk bagian dari hidung. Karena hidung
terdiri dari tiga organ, maka jika seluruh hidung dilukai--misalnya
dengan cara memotong dua sisinya—maka dalam akan dikenakan
diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Dan pada hidung, jika dipotong dikenakan diyat.‖

Dalam riwayat lain disebutkan,


« »
‖Pada hidung jika dipotong dua sisinya, maka dikenakan diyat.‖

Jika dipotong hanya salah satu sisinya saja, maka dikenakan ½


diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Jika terpotong salah satu sisinya dikenakan ½ diyat.‖

Jika dipotong salah satu lubang hidungnya, maka dikenakan 1/3


diyat. Jika daging (tulang) pemisah lubang hidung tersebut
dipotong maka dikenakan 1/3 diyat.
Apabila seseorang melukai hidung orang lain, kemudian
menghilangkan seluruh fungsinya, maka akan dikenakan diyat.
Sebab, penghilangan fungsi sama dengan pemotongan yang dapat
melenyapkan kehidupannya. Jika seseorang melumpuhkan salah
satu rongga hidung, maka akan dikenakan 1/3 diyat. Jika ia
melumpuhkan organ pembatas di antara 2 rongga hidung, ia akan
dikenakan 1/3 diyat. Dan jika daya penciumannya lenyap atau
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 171
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

hilang, maka akan dikenakan diyat. Ini didasarkan pada sabda


Rasulullah saw.,
« »
‗Dan pada penciuman dikenakan diyat.‖,

maksudnya adalah penciuman. Jika hidungnya dipotong,


bersamaan dengan itu daya penciumannya juga hilang, maka
orang tersebut harus dikenai ―2 diyat‖ (diyat penuh). Sebab,
penciuman berbeda dengan hidung itu sendiri, oleh karena itu
diyatnya tidak menjadi satu, seperti halnya pendengaran dengan
telinga.
Dua buah bibir, jika dua buah bibir dipotong atau hilang--
atau terjadi pelumpuhan--maka dalam hal ini harus dikenakan
diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Dan pada dua buah bibir dikenakan diyat.‖

Dengan demikian akan dikenakan ½ diyat, jika melukai sebuah


bibir. Jika fungsi keduanya lenyap, seperti meniup, mengeja huruf,
sulit meludah, menutup giginya, dan menyulitkan dalam
menyuap, dalam hal ini perlu dilihat. Jika semua fungsi keduanya
lenyap, maka akan dikenakan diyat. Jika salah satu fungsinya
lenyap, maka diyatnya dikira-kira setara dengan diyat seluruh
manfaatnya. Oleh karena itu, ia harus memberi diyat–sesuai
dengan manfaat yang diketahui--untuk fungsi meniup 1/5 diyat.
Jika ia kesakitan saat menyuap, dikenakan 1/5 diyat dan
seterusnya.
Lidah. Alat pengucap ini, jika dilenyapkan, akan
dikenakan diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Pada lidah dikenai diyat.‖

172 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Sama saja, baik lidahnya berukuran besar maupun kecil, jika


setelah penyerangan tersebut ia tidak bisa berbicara. Jika seseorang
diserang lidahnya, kemudian fungsinya hilang, dalam hal ini
dikenakan diyat. Fungsi lidah adalah untuk berbicara dan
mengecap. Jika fungsi bicaranya saja yang lenyap, maka dalam hal
ini dikenakan diyat. Juga jika pengecapannya saja yang hilang,
tetap dikenakan diyat. Jadi masing-masing ada diyatnya. Sebab,
pengecapan merupakan indera sebagaimana penciuman. Akan
tetapi, bila fungsi tadi hilang secara bersamaan, maka untuk setiap
fungsi tersebut dikenakan diyat. Sebab, dalam hal diyat, fungsi
lidah sama dengan lidah itu sendiri.
Ketika fungsi lidah adalah pengucapan, maka lenyapnya
pengucapan dikenakan diyat. Demikian pula tatkala pengecapan
merupakan indera seperti halnya penciuman, maka di dalamnya
dikenakan diyat. Jika sebagian lidahnya terpotong, maka diyatnya
diperkirakan sebagaimana perkiraan yang telah diberlakukan pada
hidung. Oleh karena itu, diyatnya dihitung dan diberikan sesuai
dengan bagian lidah yang terpotong. Demikian pula bila fungsinya
berkurang, maka diyat yang diberikan setara dengan seberapa
besar bagian fungsi lidah yang berkurang menurut pernyataan
orang yang ahli di bidangnya.
Semua ini pada lidah pengucap. Adapun pada kasus orang
yang bisu—lidahnya tidak berfungsi normal—maka tidak
diwajibkan diyat penuh. Sebab, kasus ini berbeda dengan hidung
dan telinga. Lenyapnya ―lidah bisu‖ tidak berpengaruh terhadap
fungsi lidahnya. Akan tetapi, kasus ini mirip tangan dan kaki jika
mengalami kelumpuhan, maka hal ini berpengaruh pada
fungsinya. Lidah yang bisu, dianggap mirip dengan lisan yang
dilumpuhkan, sehingga mempengaruhi fungsinya. Oleh karena
itu, diyatnya dikurangi sesuai dengan kadar manfaat yang
berkurang pada lisan bisu, dibandingkan dengan lisan pengucap
yang bisa mengucap.
Dua pelupuk mata; Dua pelupuk mata pada tubuh manusia
ada empat buah. Setiap biji mata memiliki dua pelupuk maka,
dan pada dua pelupuk mata terdapat empat diyat. Demikian itu
mengamalkan kaidah yang telah digali dari hadis-hadis Rasulullah
saw. tentang organ-organ tubuh. Bahwa bila organ tersebut
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 173
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

berjumlah satu buah di dalam tubuh, maka dikenakan diyat; dan


bila organ tersebut terdiri dari dua organ, maka dikenakan ½
diyat (untuk masing-masing organnya); dan bila organ tersebut
terdiri dari lebih dua organ, maka diyatnya setara dengan bagian-
bagian organ yang dimiliki.
Atas dasar ini, pada dua pelupuk mata dikenai diyat. Dan
untuk setiap pelupuk mata dikenakan ¼ diyat. Demikian pula
untuk bulu mata yang terdapat pada dua biji mata, yakni rambut
yang terdapat pada pelupuk mata. Bulu mata berbeda dengan
pelupuk mata. Setiap manusia memiliki empat buah pelupuk
mata, dan dikenakan diyat. Dan untuk setiap bulu mata ¼ diyat.
Ini adalah diyat lain yang berbeda dengan diyat bagi dua pelupuk
mata.
Dua alis mata, Dua alis mata dianggap organ yang sepasang,
sebagaimana dua biji mata. Keduanya dikenakan diyat dan untuk
setiap alis mata dikenakan ½ diyat. Fungsi alis mata tidak muncul
dari keduanya. Oleh karena itu, jika keduanya lenyap dan
fungsinya juga lenyap, maka dalam dua kondisi tersebut
dikenakan diyat. Jika fungsi keduanya lenyap, akan tetapi dua alis
matanya tidak lenyap, maka untuk keduanya dikenakan diyat.
Dan jika alisnya hilang, tapi fungsi keduanya tidak hilang, maka
pada keduanya dikenai diyat. Oleh karena itu, status keduanya
sama dengan telinga.
Gigi geligi, gigi geligi semuanya dianggap sebagai organ yang
satu. Setiap gigi termasuk bagian dari organ gigi geligi. Akan tetapi
diyat untuk setiap gigi tidak dihitung berdasarkan jumlah gigi
yang ada pada susunan gigi geligi. Sebab, nash syara‘ telah
menetapkan diyat untuk setiap gigi. Oleh karena itu, nash-lah
harus diikuti. Diyat untuk setiap gigi adalah 5 ekor unta. Dasarnya
adalah sabda Rasulullah saw.,
« »
―Pada gigi diyatnya 5 ekor unta.‖

Dari ‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi
saw., beliau bersabda,

174 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Pada gigi diyatnya 5 ekor unta.‖

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara gigi seri dengan
geraham. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
« »
―Jari-jari sama, gigi taring dengan gigi yang lain adalah sama, ini dan ini
adalah sama.‖

Akan tetapi, harus dibedakan antara gigi yang bisa pulih dengan
gigi yang tidak bisa pulih. Jika gigi dirontokkan, dan tidak bisa
pulih kembali, maka dikenai diyat sebesar 5 ekor unta. Jika
tumbuh pada tempat lain, maka tidak harus dikenai diyat. Akan
tetapi jika gigi tersebut kembali tanggal, atau jelek tumbuhnya,
maka dalam hal ini dikenakan hukumah.
Sebab, dzahirnya, hal ini disebabkan oleh serangan
atasnya. Jika mungkin mengukur kadar pengurangannya dari
kondisi semula (kondisi sebelum diserang), maka diyatnya diambil
setara dengan gigi yang berkurang tersebut. Demikian pula, jika
ada gigi patah yang mungkin bisa diperkirakan, maka diyatnya
setara dengan gigi yang patah. Oleh karena itu, jika gigi tersebut
patah (pecah), diyatnya diperkirakan sesuai dengan gigi yang
hilang.
Rambut; rambut kepala, kumis-cambang, jenggot, dan rambut
di alis mata, pada setiap rambut tersebut dikenakan diyat. Jika
terjadi penyerangan yang menyebabkan botaknya kepala, hal ini
perlu dilihat terlebih dahulu. Jika rambut tersebut tidak bisa
tumbuh lagi, maka dikenakan diyat. Demikian pula jika hal itu
terjadi pada kumis, cambang, dan jenggot, dan tidak bisa tumbuh
lagi, maka dalam hal ini dikenakan diyat. Begitu pula jika
menimpa pada dua alis mata. Satu buah alis mata, yakni pada
rambutnya, dikenakan ½ diyat. Jika salah satu bagian lenyap
sedangkan yang lain tetap, atau salah satu bagian bisa tumbuh
sedangkan yang lain tidak, diyatnya diperkirakan dengan tingkat
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 175
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kerusakannya, sebagaimana kasus dua daun telinga, dan dua sisi


pinggir dari hidung.
Oleh karena itu, diyatnya diberikan setara dengan bagian
yang rusak (berkurang). Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
rambut yang tebal dengan rambut yang tipis, rambut yang indah
dengan yang tidak, maupun rambut yang lebat dengan yang
sedikit. Sebab, semua organ yang ada diyatnya, diyatnya tidak
dibeda-bedakan karena hal-hal tersebut. Pemilik kumis-cambang
yang dipangkas, seperti orang yang sedang terpangkas kumis-
cambangnya. Hal itu sama saja, apakah selama rambut tersebut
tumbuh, kemudian dipangkas, kemudian setelah penyerangan
tidak tumbuh lagi.
Dua Rahang, pada dua rahang dikenakan diyat. Dan untuk
masing-masing rahang dikenakan ½ diyat. Sebab, rahang terdapat
sepasang pada manusia. Pada keduanya dikenakan diyat. Dan
untuk setiap sisi rahang dikenakan ½ diyat. Tidak boleh
dinyatakan bahwa jika salah satu rahang hilang, maka dua rahang
tersebut tidak hilang karena pelenyapan, akan tetapi keduanya
hanya patah karena patahan. Adapun jika keduanya dilukai, maka
dimasukkan ke dalam jenis penganiyayaan. Sedangkan dalam
pelenyapan organ, yang terjadi hanyalah pemecahan saja. Jika
keduanya dipecahkan, maka pada keduanya dikenakan diyat. Jika
salah satu saja yang dipecahkan maka dikenai ½ diyat.
Akal, pada kasus pelenyapan ‗akal dikenakan diyat.
Sebagaimana tercantum dalam surat Rasulullah saw. kepada
‗Amrû bin Syu‘aib bin Hazm, ―Pada akal dikenakan diyat.‖Akal di
sini tidak identik dengan otak semata, akan tetapi keseluruhan
dari penginderaan, otak, dan ma‘lûmât sâbiqah. Namun demikian,
pada kasus ini dikhususkan pada otak. Sebab, otak adalah pusat
dari penginderaan. Setiap penyerangan yang menimpa akal,
sesungguhnya hanya menimpa pada otak. Oleh karena itu akal
dianggap sebagai fungsi dari otak. Jika otak dilenyapkan dan
lenyap pula akalnya, harus dikenakan diyat. Dan jika akalnya
hilang akan tetapi otaknya tidak terlepas--bahkan tetap berada di
dalam batok kepalanya--namun akalnya lenyap, maka (tetap) wajib
dikenakan diyat.

176 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Sesungguhnya asal pembahasannya adalah otak, dengan


asumsi otak sebagai pusat penginderaan, dan pusat berfikir dari
ma‘lûmât sâbiqah, serta pusat pengkaitan informasi-informasi. Jika
salah satu bagian dari akal hilang. Semisal ia menjadi gila, maka
akan dikenakan diyat yang diukur setara dengan apa yang
berkurang dari akalnya. Jika ia hanya kehilangan daya ingatnya
saja, yang menyebabkan ia sulit atau lemah dalam mempersepsi
sesuatu; atau yang disebut dengan pandir (linglung), maka wajib
dikenakan diyat yang di-nisbah-kan kepada fungsi yang berkurang
dari akalnya. Sebab, pada akal, wajib dikenakan diyat. Oleh
karena itu, bagian akal, satu dengan yang lain harus dikenakan
diyat pula.
Al-sha‟r, yakni wajahnya membelok ke samping (miring ke
salah satu sisinya). Asal dari al-sha‘r adalah penyakit yang
menyerang punggung unta yang menyebabkan kebengkokkan
pada tulang punggungnya. Barangsiapa menyerang manusia
dengan sebuah serangan, lalu mengakibatkan bengkok
punggungnya hingga wajahnya menjadi miring, maka akan
dikenakan diyat. Meskipun al-sha‘r bukanlah organ tertentu pada
tubuh manusia, akan tetapi hal ini berdasar dari riwayat Zaid bin
Tsâbit, bahwa beliau berkata, ―Dalam al-sha‘r dikenakan diyat.‖
Untuk kasus ini, tidak ada seorang sahabatpun yang menolaknya.
Oleh karena itu, hal tersebut telah menjadi ijma‘ sahabat. Sebab,
hal ini termasuk perkara yang bisa diingkari oleh para sahabat.
Alasannya, hal tersebut merupakan hukum diyat pada selain
organ, dan tidak diterangkan dalam nash sebagaimana akal.
Diamnya para sahabat atas hal tersebut telah menjadikan perkara
tersebut sebagai ijmâ‘ sukûtiy. Semisal dengan al-sha‘r adalah
adanya pelumpuhan pada separuh wajah. Jika seseorang memukul
seseorang yang lain dan akibatnya adalah pelumpuhan kepada
korban, maka dalam hal ini dikenakan diyat. Adapun jika
seseorang memukulnya, kemudian menyebabkan wajahnya tidak
bisa bergerak, maka dalam hal ini diyatnya adalah hukumah.
Sebab, kasus ini tidak serupa dengan al-sha‘r, dan tidak terkategori
dalam al-sha‘r. Selain itu, tidak ada nash yang menerangkan kasus
semacam ini.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 177


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ORGAN TUBUH SELAIN KEPALA

Dua tangan; yang dimaksud dengan tangan adalah tangan yang


wajib dikenakan diyat, yaitu tangan dari pergelangan tangan (al-
rasgh), seperti pada kasus pencurian. Sebab, inilah makna tangan
secara bahasa pada kondisi pengucapan. Jika yang dimaksudkan
dengan tangan di sini adalah selain makna tersebut (tangan
dengan makna bahasa), berarti harus ada qarînah yang
menunjukkan hal tersebut. Seperti halnya, Allah Swt. telah
berfirman dalam kasus wudlu‘,
 

―Dan tangan kalian sampai ke siku-siku.‖ (QS al-Mâidah [5]: 6)

Akan tetapi, tatkala Allah hendak menyebut ―tangan‖ dengan


pengertian ―tangan‖ (pengertian bahasa), maka Allah Swt
berfirman,
 
―Potonglah kedua tangannya.‖ (QS al-Mâidah [5]: 38)

Dua tangan di sini dikenakan diyat; yaitu dua tangan


sampai dua pergelangan tangan. Adapun jika dua tangan tersebut
dipotong dan terjadi penghilangan di atas pergelangan tangan,
atau terjadi keretakan pada tangan dari atas, atau terjadi pada dua
pergelangan, atau yang lain, maka dalam hal ini diyatnya adalah
hukumah. Yaitu, diperkirakan nilainya dengan tangan yang utuh
(sebelum dilukai). Dan nilai tangan setelah terjadi pematahan atau
pelenyapan, dan perubahan yang terjadi pada keduanya.
Pelenyapan dua tangan dengan berbagai cara pelenyapan, baik

178 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan cara memotong, melumpuhkan, atau meremukkannya,


atau dengan cara lain, wajib dikenakan diyat.
Dua kaki, pada dua kaki wajib dikenakan diyat. Keduanya
adalah organ yang berjumlah sepasang pada tubuh manusia. Hal
ini didasarkan pada hadis Mu‘âdz bin Jabal, ―Pada dua buah kaki
dikenakan diyat.‖ Pada sebuah kaki dikenakan ½ diyat. Yang
dimaksudkan dengan dua kaki di sini adalah, dua kaki hingga dua
mata kaki. Sebab, inilah makna ―kaki‖ tatkala kata tersebut
diucapkan, dan tidak ada pengertian lain. Jika kedua kaki
dihilangkan, maka dalam kasus ini dikenakan diyat. Pada salah
satu kaki dikenakan ½ diyat. Pada al-‗araj (kaki pincang), kasusnya
seperti al-‗asm (tangan pengkor), dan dikenakan diyat. Alasannya,
kata al-‗araj bisa digunakan untuk pengertian pada selain kaki. Al-
‗asm adalah bengkok pada pergelangan tangan, dan ia juga
digunakan untuk pengertian pada selain tangan. Al-‗Araj bukanlah
‗aib (cacat) pada kaki. Demikian pula al-‗asam bukan pula aib pada
pergelangan tangan. Jika terjadi pemecahan pada betis (antara
lutut dan mata kaki), atau pada paha; atau pada lututnya; atau
organ yang lain; maka diyatnya adalah al-hukumah. Tidak wajib
diyat kecuali pada dua kaki yang memiliki makna bahasa, yaitu,
sampai dua mata kaki.
Jari-jemari; pada setiap jari dua tangan dan dua kaki dikenai
diyat 10 ekor unta. Ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan
dari Ibnu ‗Abbâs, ia berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Diyat jari-jari dua tangan dan dua kaki adalah 10 ekor unta untuk
setiap jari-jari.‖

Dari Ibnu ‗Abbâs berkata, Rasulullah saw. bersabda,


« »
‖Ini dan ini adalah sama‖ (yakni ibu jari dan kelingking).

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 179


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dan juga dalam surat Rasulullah saw. yang dikirim kepada ‗Amrû
bin Hazm, ―Untuk setiap jari dari jari-jemari dua tangan dan dua kaki
diyatnya adalah 10 ekor unta.‖ Ini adalah dalil yang sangat jelas yang
menerangkan tentang diyat jari-jemari; untuk setiap jari diyatnya
10 ekor unta. Jika ada jari yang jumlahnya lebih dari lima, baik di
tangan maupun kaki, kemudian dilenyapkan, dalam hal ini
diyatnya adalah al-hukumah. Sebab, hal ini tidak diterangkan
dalam manthuq hadis di atas. Jika ruas jari dilenyapkan, maka
kasus ini perlu dilihat. Jika ruas jari tersebut bukan ibu jari, maka
untuk setiap ruasnya dikenai diyat 1/3 diyat jari-jari (utuh). Sebab,
setiap jari-jari terdiri dari tiga ruas jari. Jika yang lenyap itu adalah
ibu jari, maka tiap ruasnya dikenakan ½ diyat. Sebab, pada ibu
jari terdapat 2 ruas. Nash telah menetapkan bagi setiap jari
dikenakan diyat 10 ekor unta. Oleh karena itu, untuk setiap
bagian jari diyatnya ditetapkan berdasarkan jumlah ruas jari-jari
tersebut.
Dua buah payudara, pada dua buah payudara dikenakan diyat.
Karena, ia merupakan organ yang jumlahnya sepasang, maka
masing-masing dikenakan ½ diyat sebagai bentuk pengamalan dari
nash-nash hadis serta apa yang di-istinbath-kan dari hadis tersebut.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Sebab, ia adalah sepasang organ yang terdapat baik
pada laki-laki dan perempuan. Selain itu, jika fungsi payudara
wanita adalah menghasilkan susu. Kemudian jika fungsi payudara
lenyap karena dilukai, hingga payudara tersebut tidak bisa lagi
menghasilkan susu, maka dikenakan diyat. Artinya, diyat
dikenakan pada payudara, jika payudara tersebut rusak. Karena
manfaat payudara akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya
payudara, maka diyat untuk payudara sudah termasuk pula
manfaatnya. Akan tetapi, jika payudaranya masih utuh akan tetapi
manfaatnya hilang, maka untuk hilangnya manfaat payudara
dikenakan diyat juga.
Hukum memotong dua buah payudara sama dengan
hukum melumpuhkan keduanya. Sebab, pelumpuhan dua buah
payudara sama artinya dengan mematikan keduanya. Adapun, jika
payudara yang bulat pecah, maka dalam hal ini diyatnya adalah al-

180 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

hukumah. Sebab, pada kasus ini tidak terjadi pelenyapan dua buah
payudara. Jika isi dua buah payudara tersebut lenyap, kemudian
jika susunya juga lenyap, maka dalam hal ini dikenakan diyat. Jika
susunya tidak hilang, untuk kasus ini diyatnya ditetapkan berdasar
kadar dari payudara, dan akan dikenai 1/8 diyat.
Al-Sulbu, punggung adalah tulang mulai dari bahu atas hingga
tulang ekor. Di dalamnya terdapat sumsum yang menyambung
dari otak hingga ekor. Punggung tersusun oleh ruas-ruas
punggung yang fungsinya adalah mendistribusikan rangsangan ke
seluruh organ. Jika terjadi pelenyapan pada sumsum tulang
belakang, maka orang tersebut tidak bisa jima‘ lagi (merasakan
kenikmatannya), dan menyebabkan orang tersebut tidak bisa
menegakkan tubuhnya, dan lain-lain. Hilangnya fungsi punggung
(sulb) tidak harus dengan melenyapkan seluruh ruasnya, akan
tetapi jika salah satu ruas hilang (lenyap), maka lenyaplah faal
manusia. Dalam kasus ini, baik laki-laki maupun perempuan sama
saja. Punggung dianggap sebagai satu kesatuan organ yang
terdapat pada tubuh manusia. Ruas punggung merupakan bagian
dari punggung, bukan organ tersendiri.
Sedangkan yang disebut dengan organ adalah punggung
itu sendiri, bukan setiap ruas dari ruas-ruas punggung. Jika
punggung dilenyapkan, maka akan dikenakan diyat. Dan jika
fungsinya hilang, juga akan dikenakan diyat. Kemudian jika satu
atau lebih ruas punggung dilenyapkan, ini harus dilihat dulu; jika
faal punggung hilang, maka akan dikenai diyat. Adapun, jika
sebagian dari faal punggung hilang, maka diyatnya diperkirakan
dengan kadar hilangnya fungsi faalnya, dan dihitung sesuai
dengan kadar diyatnya. Jika ruasnya lenyap, namun dengan
pelenyapan itu tidak menghilangkan manfaatnya, maka diyatnya
dibagi dengan jumlah ruas yang terdapat pada punggung.
Kemudian jika sebagian fungsinya hilang; seperti tidak bisa
jima‘, sedangkan sebagian yang lain tetap, maka diyatnya
diperkirakan dengan kadar manfaat yang terdapat pada punggung.
Demikianlah, hukum pada punggung sama dengan hukum untuk
setiap organ yang tersusun dari satu-kesatuan organ yang terdapat
pada tubuh manusia. Selain itu, hukum tentang punggung telah

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 181


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

disebutkan dalam nash hadis, yakni surat Nabi saw. kepada ‗Amrû
bin Hazm, ―Dan pada punggung dikenai diyat.‖
Rusuk, kumpulan rusuk laki-laki merupakan organ yang satu,
yakni dada. Dada adalah kesatuan organ yang terdapat pada tubuh
manusia. Rusuk adalah bagian dari dada. Dengan begitu, setiap
rusuk bukanlah organ tersendiri. Pada dada, yakni kesatuan dari
rusuk-rusuk, dikenakan diyat. Ini merupakan pengamalan dari apa
yang telah ditunjukkan oleh hadis. Untuk setiap rusuk dikenai
diyat dengan perkiraan.
Dua buah pantat, pada dua buah pantat dikenakan diyat.
Sebab, keduanya adalah sepasang organ yang terdapat pada tubuh
manusia. Pada setiap pantat dikenai ½ diyat. Dan diyat ini wajib
dikenakan pada keduanya. Adapun jika sebagian dari pantat
hilang, maka diyatnya diperkirakan. Sebab, jika pada pantat wajib
dikenakan diyat, maka pada sebagian pantat juga wajib dikenai
diyat sesuai dengan kadarnya. Jika kadarnya sulit diperkirakan,
maka diyatnya adalah al-hukumah. Sebab, pantat tersebut telah
berkurang fungsinya, akan tetapi tidak diketahui kadarnya.
Perut, pada perut dikenakan diyat, jika terpukul dan tidak
mampu lagi menahan kotoran (tinja). Sebab, perut adalah organ
tubuh. Akan tetapi fungsinya dan rincian diyatnya tidak
didiskripsikan secara jelas. Jika perut terpotong, maka ia tidak
akan mampu lagi menahan tinja. Akan tetapi selama ia adalah
organ tubuh yang terdapat pada tubuh manusia yang jumlahnya
hanya sebuah, maka di dalamnya dikenakan diyat. Adapun topik
pembahasan mengenai perut adalah fungsinya. Karena memang
hukum mengenai perut berkaitan dengan fungsinya.
Kandung kemih, pada kandung kemih, jika ia tidak mampu
lagi menahan air kencing (kemih), maka akan dikenakan diyat.
Sebab, ia adalah sebuah organ yang terdapat pada tubuh manusia.
Oleh karena itu, pada kandung kemih dikenakan diyat. Fungsinya
sama dengan perut, dimana tidak bisa dipisahkan antara organ
dan fungsi organnya. Meskipun kandung kemih berbeda dengan
perut, namun tidak boleh dinyatakan bahwa kencing dan tinja
jenisnya sama-sama kotoran. Sebab, selain keberadaan keduanya
bukanlah sejenis, juga masalahnya bukanlah jenis manfaatnya,
akan tetapi jenis organnya. Kandung kemih dan perut adalah dua
182 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

organ yang terpisah (berbeda). Satu dengan yang lain berbeda.


Oleh karena itu, pada kandung kemih ada diyatnya, dan pada
perut juga ada diyatnya. Jadi diyatnya masing-masing.
Penis, pada penis dikenakan diyat. Sebagaimana disebutkan
dalam surat Nabi saw. kepada ‗Amrû bin Syu‘aib, ―Dan pada penis
dikenakan diyat.‖ Karena penis adalah organ yang tidak terdapat
pada tubuh manusia kecuali hanya sebuah saja, maka jika penis
tersebut terpotong, atau terlumpuhkan, atau tidak bisa digunakan
lagi untuk jima‘, maka dalam hal ini dikenakan diyat. Diyat wajib
dikenakan; baik pada penis besar maupun kecil, orang tua
maupun anak muda. Diyatnya juga wajib dikenakan bagi penis
yang telah dikebiri, impoten, maupun normal, mampu digunakan
untuk jima‘ atau tidak. Sebab, penis adalah organ tubuh,
sedangkan fungsinya tidak muncul dari penis itu sendiri.
Maka barangsiapa melenyapkan penis dan fungsinya
hilang, atau hanya fungsinya saja yang hilang, sedangkan penisnya
tetap, dan siapa saja yang melenyapkan penis secara mutlak, maka
wajib dikenakan diyat secara mutlak pula. Sebab, fungsinya telah
lenyap sama sekali. Akan tetapi, siapa saja yang memukul penis
yang mengakibatkan lenyapnya manfaat dari penis tersebut--
sedangkan penisnya tetap utuh--maka ia wajib dikenai diyat pada
fungsi penis. Ini jika fungsi penisnya masih ada tatkala terjadi
pemukulan, kemudian lenyap setelah pemukulan. Akan tetapi jika
fungsinya sudah tidak ada sebelum pemukulan, seperti orang tua
renta yang tidak mampu lagi jima‘ dan memancarkan air mani,
maka tidak ada diyat dalam hal ini.
Adapun jika penis itu masih bisa melakukan jima‘, maka
dalam hal ini diyatnya ditetapkan sesuai dengan kadar manfaat
yang hilang. Begitupun dengan penis yang lemah (impoten), maka
kedudukannya seperti orang yang sehat. Sebab, ia masih mampu
melakukan jima‘. Ini berbeda dengan al-khashiy, sebab ia tidak
mampu melakukan jima‘ dan tidak mampu memancarkan mani.
Oleh karena itu, jika penisnya dipukul dan tidak sampai
terpotong atau terbelah, maka berkurangnya nilai penis tersebut
dikenakan al-hukumah, dan tidak ada diyat di dalamnya. Sebab,
organnya tidak lenyap dan juga fungsinya tidak hilang.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 183


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Skrotum, pada dua biji pelir (skrotum) dikenakan diyat.


Sebagaimana disebutkan di dalam surat Nabi saw. kepada Ibnu
Hazm, ‖Pada dua buah pelir dikenakan diyat.‖ Karena, ia adalah
sepasang organ yang terdapat dalam tubuh manusia, maka pada
keduanya dikenai diyat. Dengan begitu, pada sebuah biji pelir
dikenakan ½ diyat. Seandainya keduanya terpotong dan fungsi
keduanya juga alenyap, maka pada kasus ini dikenakan diyat.
Demikian pula untuk sebuah pelir. Akan tetapi, seandainya
keduanya dipukul, kemudian fungsi keduanya lenyap, akan tetapi
buah pelirnya masih utuh, maka untuk (lenyapnya) fungsi pelir
tersebut dikenakan diyat, sebagaimana organ dari organ-organ
tubuh lain yang memiliki fungsi.
Labio mayora, keduanya adalah daging yang melekat pada farji,
yang pada kedua sisinya melekat mulut kemaluan. Ahli bahasa
menyebut al-istiktain untuk daging yang melekat dengan farji, dan
al-syafrain untuk ujung kemaluan, dan juga tepi pelupuk mata.
Akan tetapi penggunaan dua istilah tersebut berbeda dengan
penggunakan kata al-asyfâr (dua pelupuk mata). Pelupuk mata
adalah al-asyfâr al-‗ain, yang memiliki makna ajfâni (dua ujung
mata). Dan al-ahdâb-nya terdapat rambut yang terletak di atas
pelupuk mata, atau dinamakan dengan al-ramsy.
Pada ihdâb dan pelupuk mata, dikenakan diyat. Sebab,
keduanya adalah dua organ yang berbeda. Keduanya merupakan
organ yang berlainan. Akan tetapi, sebutan al-iskstain, keduanya
adalah daging yang melekat dengan farji. Dan asy-Syafrâni,
ujungnya merupakan bagian dari al-iskatain, bukan organ yang
berlainan. Oleh karena baik al-askatâni dan asy-syafrâni adalah satu
kesatuan organ, bukan dua organ yang terpisah. Karena, keduanya
adalah sepasang organ yang terdapat pada tubuh manusia, maka
pada labio mayora dikenakan diyat sebagai bentuk pengamalan
dari makna yang dipahami dari hadis. Sebab, keduanya adalah
sepasang organ, maka untuk salah satu organnya dikenakan ½
diyat.
Jika keduanya dilukai, kemudian melumpuhkan keduanya,
maka wajib dikenakan diyat untuk keduanya. Begitu pula jika
keduanya terpotong. Sebab, hukum keduanya sama dengan dua

184 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

buah bibir. Sama saja apakah labio mayora yang tebal, tipis,
pendek, atau panjang, milik perawan, ataupun janda, besar
ataupun kecil, telah dikhitan atau belum. Sebab, keduanya adalah
sepasang organ yang pada keduanya wajib dikenakan diyat. Oleh
karena itu, dalam masalah ini sama dengan seluruh organ tubuh
yang telah disebutkan di awal. Tidak ada perbedaaan antara
wanita yang rapat kemaluannya, yang bertanduk, atau yang
normal. Sebab, baik al-ritq (sempit kemaluannya), atau al-qarn
(bertanduk) adalah cacat pada dua bibir kemaluan, seperti halnya
tuli pada telinga.
Dubur, pada dubur dikenakan diyat. Jika dubur dipukul
kemudian terlepas, maka dalam masalah ini dikenakan diyat.
Sebab, fungsi dubur akan hilang seiring dengan lenyapnya dubur.
Akan tetapi jika dubur dipukul namun tidak sampai merusaknya--
dan tetap masih utuh seperti semula--akan tetapi fungsinya lenyap;
seperti buntu, atau menyempit, atau yang lain, maka akan
dikenakan diyat. Sebab, dubur adalah organ yang ada pada tubuh
manusia yang jumlahnya hanya satu. Oleh karena itu, pada dubur
diwajibkan diyat sebagaimana organ-organ tubuh lainnya.
Tulang belulang, tulang belulang bukanlah organ pada
tubuh manusia. Itu sebabnya, hadis-hadis yang menerangkan
tentang organ-organ tubuh tidak bisa diterapkan pada tulang
belulang. Dengan demikian, dua tulang selangka dan dua tulang
lengan, pada masing-masing tulang tersebut dikenakan al-hukumah.
Sebab, keduanya bukanlah organ. Demikian pula dua tulang betis,
dua tulang paha, dua tulang hasta, dua tulang lengan, dan dua
lengan (siku-bahu), dan tulang dada, serta yang lain-lain; semuanya
tidak dikenakan diyat, akan tetapi hanya ganti rugi (al-hukumah)
saja.

Sanksi Atas al-Syijaj


‗Ulama berpendapat, asy-Syijâj adalah luka pada kepala
yang diakibatkan oleh penyerangan seseorang, sedangkan al-jarh
adalah penganiayaan pada badan. Hukum asy-Syijâj berbeda
dengan hukum al-Jarâh. Al-syijâj kadang-kadang terjadi pada muka
dan kepala, atau disebut dengan al-muwadldlihah, yakni luka yang

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 185


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menembus tulang, sehingga tampak putihnya tulang. Pencederaan


lain yang menimpa kepala dan wajah disebut dengan hâsyimah;
yakni pencederaan yang melebihi pencederaan muwadldlihah, yaitu
sampai meremukkan tulang. Penganiayaan lain yang dilakukan
pada kepala dan wajah disebut munaqqilah (dengan huruf qaf di-
tasydid dan di-kasrah); yakni pencederaan yang melebihi
pencederaan hâsyimah, yakni sampai mematahkan tulang, dan
menggeser dari tempatnya. Oleh karena itu perlu memindahkan
tulang untuk mengembalikan pada tempat semula.
Pencederaan lain yang terjadi pada kepala dan wajah
disebut oleh para ‗ulama dengan al-ma‘mumah. Yakni,
pencederaan yang sampai menembus selaput otak. Jika terjadi
terhadap otak disebut dengan ―gegar otak‖. Al-Syijâj ini kadar
diyatnya telah ditetapkan di dalam nash. Pada al-muwadldlihah 5
ekor unta, sebagaimana disebutkan dalam surat Nabi saw. kepada
‗Amrû bin Hazm, ‖Dan pada muwadldlihah 5 ekor unta.‖ Pada
hâsyimah dikenakan diyat seperti diyatnya muwadldlihah dan
dikenakan al-hukumah. Sebab, hâsyimah adalah pencederaan
muwadldlihah, akan tetapi lebih dari muwadldlihah.
Perlu diperhatikan, tidak ada nash yang menyebut secara
spesifik diyat untuk haasyimah. Oleh karena itu, diyatnya
(haasyimah) diambil berdasarkan diyat al-muwadldlihah. Sebab,
hanya ini yang disebutkan dalam nash. Sedangkan pencederaan
selebihnya dikenakan al-hukumah. Sebab, pencederaan selebihnya
ini merupakan pencederaan yang tidak disebutkan diyatnya dalam
nash; dan hal ini telah diketahui. Pada al-munaqqilah dikenakan
diyat 15 ekor unta. Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan oleh
Abû Bakar bin ‗Amrâ bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya dari
Nabi saw., bahwa beliau saw. pernah bersabda, artinya, ―Dan pada
al-munaqqilah dikenakan diyat 15 ekor unta‖. Dan pada pada al-
ma‘mumah dikenakan 1/3 diyat. Sebagaimana telah disebutkan
dalam surat Nabi saw. kepada ‗Amrû bin Hazm, artinya, ―Dan
pada al-ma‘mumah dikenakan 1/3 diyat.‖ Semua ini adalah asy-
Syijâj khusus pada kepada dan wajah yang diyatnya diterangkan
dalam nash. Asy-Syijâj selain asy-Syijaj tersebut di atas atau jarâh

186 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

(pencederaan) pada kepala dan wajah yang diyatnya tidak


diterangkan dalam nash, maka dikenakan al-hukumah.

Sanksi al-Jarâh
al-Jarâh adalah luka yang terjadi pada badan akibat
penganiyayaan, dan sanksinya adalah al-qawad, yakni qishâsh bila
dilakukan dengan sengaja (pada kasus kesengajaan) saja. Adapun
selain dengan kesengajaan, dalam hal ini dikenakan diyat dengan
kadar yang telah ditetapkan di dalam nash, atau akan dikenakan
al-hukumah apabila diyatnya tidak disebutkan dalam nash.
Faktanya, nash hanya menerangkan diyat pada al-jarâh saja.
Dari Abû Bakar Muhammad bin ‗Amr bin Hazm dari
bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw. telah menulis surat
kepada penduduk Yaman, dan di dalamnya disebutkan, ―Dan
pada al-Jâifah dikenakan 1/3 diyat.‖ al-Jâifah adalah pencederaan
yang menembus hingga ke dalam. Disebutkan dalam al-Qamus,
―al-Jâifah adalah pencederaan yang masuk hingga ke dalam, atau
menembusnya, kemudian al-Jâif diartikan dengan perut.‖ Nash-
nash syara‘ telah mengembalikan penafsiran al-Jâif (al-Jauf) kepada
makna bahasa saja, selama tidak terdapat makna istilah (syar‘iy)
yang disebutkan dalam Kitab dan Sunnah.
Hanya saja, tidak ada nash syara‘ yang menafsirkan kata al-
Jâifah, sehingga ia tidak memiliki makna selain makna bahasa saja.
Atas dasar ini, suatu pencederaan tidak disebut dengan al-Jâifah
kecuali menembus ke dalam al-Jauf, yakni perut, sebagaimana al-
Qamus menafsirkannya. Setiap pencederaan yang menembus
perut, atau masuk ke dalam perut, meskipun ditusuk dengan
jarum, maka pencederaan semacam ini disebut dengan al-Jâifah.
Namun demikian, pencederaan yang menembus sampai ke
dalam dada tidak disebut dengan al-Jâifah. Termasuk dalam hal ini
adalah pencederaan yang menembus sampai ke dalam lubang
tenggorokan, atau pangkal paha, atau yang lain. Semua itu tidak
dianggap sebagai al-Jâifah; dan sudah pasti tidak bisa diterapkan
hukum Jâifah atasnya. Sebab, al-Jâifah khusus untuk satu kasus
pencederaan saja, yakni pencederaan yang menembus sampai ke
dalam perut, bukan yang lain. Jika seseorang melukai hingga

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 187


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menembus perut, dengan dua pencederaan (lubang), maka ia


wajib membayar 2/3 diyat.
Termasuk ke dalam kasus al-Jâifah pula, bila melukai kemaluan
isterinya yang masih kecil dengan persetubuhan. Jadi, barangsiapa
menyetubuhi isterinya, sedangkan ia masih kecil, kemudian ia
melukainya, maka ia wajib dikenai 1/3 diyat. Diriwayatkan dari
‗Umar bin Khaththab ra bahwa beliau menetapkan pada kasus
―ifdla‘‖ dengan 1/3 diyat. Dan tidak ada seorangpun shahabat
yang diketahui membantahnya. Oleh karena itu, hal ini
merupakan ijma‘ para shahabat.
Demikian pula, jika seorang suami pezinah melakukan
perzinahan dengan wanita yang masih kecil, lalu melukai wanita
tersebut, maka ia wajib membayar 1/3 diyat, dan mahar mitsli.
Karena telah terjadi persetubuhan pada orang yang belum layak
(bersetubuh), dan belum diijinkan baginya untuk menyetubuhi
wanita tersebut, maka wajib baginya menanggung apa yang telah
ia lenyapkan sebagaimana jinayat-jinayat yang lain.
Ini adalah diyat pada selain jiwa yang kadarnya telah
ditetapkan dalam nash-nash syara‘. Nash-nash syara‘ hanya
menetapkan kadar diyat pada organ-organ tubuh, asy-Syijâj, dan
sebagian kasus al-Jârah. Penetapan ukuran diyat pada sebagian
organ-organ tubuh telah disebutkan oleh nash-nash syara‘.
Sedangkan organ-organ lain tidak diterangkan kadar diyatnya.
Akan tetapi, nash-nash syara‘ telah menerangkan diyat bagi organ-
organ tubuh. Dengan begitu, siapapun yang meneliti nash-nash
syara‘, ia akan mendapatkan bahwa nash-nash syara‘ telah
menetapkan diyat penuh pada organ-organ tubuh manusia yang
jumlahnya hanya satu; misalnya lidah. Selain itu, juga menetapkan
½ diyat atas organ yang terdapat berpasangan pada tubuh
manusia, misalnya tangan. Nash syara‘ juga telah menetapkan
1/10 diyat pada jari-jari yang terletak pada dua tangan dan kaki.
Itu sebabnya, kami meng-istinbath-kan dari nash-nash tersebut--
yakni setelah meneliti kadar diyat pada organ tubuh, baik yang
telah disebutkan kadar diyatnya ataupun tidak—kaidah penetapan
diyat bagi seluruh organ. Dengan tujuan, agar penetapan diyat
bagi seluruh organ tubuh selalu bersandar kepada dalil-dalil syara‘.

188 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Adapun penetapan diyat asy-Syijâj, sebagiannya telah


diterangkan dalam nash-nash syara‘, sebagian lainnya tidak
diterangkan. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa untuk
kasus asy-Syijâj, diyatnya berlaku untuk semua kasus asy-Syijâj,
sebagaimana diyat pada organ-organ tubuh, akan tetapi hanya
berlaku pada asy-Syijâj tertentu; baik nama maupun penjelasannya.
Oleh karena itu, penetapan ukuran diyat untuk asy-Syijâj, tidak
berlaku untuk semua kasus asy-Syijâj. Asy-Syijaj yang telah
ditetapkan kadar diyatnya, seperti halnya al-ma‘mumah dan al-
Jâifah, maka diyatnya sesuai dengan apa yang disebut oleh nash.
Sedangkan yang tidak diterangkan diyatnya dalam nash-
nash syara‘, maka tidak dimasukkan ke dalam asy-Syijâj yang telah
diterangkan dalam nash. Sebab, (asy-Syijâj semacam ini) tidak
diterangkan diyatnya dalam nash. Penetapan kadar diyatnya tidak
boleh diqiyaskan dengan diyat yang telah disebutkan dalam nash,
sebab, tidak ada alasan untuk dilakukan qiyas. Diyatnya (untuk
kasus asy-Syijâj semacam ini) tidak lain kecuali al-hukumah. Oleh
karena itu, semua asy-Syijâj yang tidak termasuk asy-Syijâj yang
telah diterangkan di dalam nash-nash syara‘, dikenakan al-
hukumah. Sedangkan al-Jarâh, maka pada kasus al-Jâifah dan
pencederaan pada kelamin wanita yang masih kecil dengan
persetubuhan, dikenakan 1/3 diyat. Al-Jarah selain itu, dikenakan
al-hukumah.
Al-Hukumah adalah ganti rugi yang ditaksirkan dari nilai
korban sebelum kena serangan dan setelah ia sembuh. Ia berhak
mendapatkan diyat yang sepadan dengan penganiayaan yang
membuat cacat tubuhnya. Ibnu Mundzir berkata, ―Semua pakar
yang kami teliti, telah berpendapat bahwa al-hukumah adalah, ―Jika
seseorang mendapatkan pencederaan yang diyatnya tidak diketahui
berapa nilainya. Seandainya nilai seseorang sebelum terjadi pencederaan
100 dinar, kemudian ditanyakan, berapa nilai orang tersebut setelah
terjadi pencederaan dan setelah ia sembuh? Misalnya dikatakan 95
dinar, maka penganiaya wajib membayar diyat sebanyak 5 dinar. Jika
mereka mengatakan 90 dinar, maka diyatnya 10 dinar. Jika lebih atau
kurang, maka diyatnya ditetapkan sebagaimana contoh tersebut.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 189


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Diyatnya harus ditetapkan seperti itu, sebab nilainya dijamin dengan


diyat. Oleh karena itu, balasannya dijamin dari diyat.‖
Penaksiran tidak boleh dilakukan kecuali setelah sembuh
dari lukanya. Sebab diyat pencederaan hanya boleh ditetapkan
setelah kesembuhannya. Seandainya penyerangan itu tidak
menimbulkan cacat apapun setelah ia sembuh, maka penyerang
tidak dikenai apapun; baik diyat maupun hukumah. Sebab,
hukumah hanya dikenakan karena adanya cacat. 

Bab III
Ta‟zîr

Secara bahasa, ta‘zîr bermakna al-Man‘u (pencegahan). Menurut


istilah, ta‘zîr bermakna, at-Ta`dzib (pendidikan) dan at-Tankîl
(pengekangan). Adapun, definisi ta‘zîr secara syar‘iy yang digali
dari nash-nash yang menerangkan tentang sanksi-sanksi yang
bersifat edukatif, adalah sanksi yang ditetapkan atas ma‘shiyyat
yang di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Rasulullah saw.
pernah melakukan dan memerintahkan ta‘zîr. Dari Anas ra,
―Bahwa Rasulullah saw. pernah menjemur seseorang di terik panas.‖
Dari Hasan ra, ‖Ada dua kaum saling berbunuhan, kemudian di antara
mereka ada yang terbunuh. Lalu kejadian itu dilaporkan kepada
Rasulullah saw., selanjutnya beliau memenjarakan mereka.‖ Dari
‗Amrû bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya, ‖Rasulullah saw.
pernah ditanya tentang pencurian kurma yang masih
menggantung. Kemudian Rasulullah saw. menjawab, ―Barangsiapa
mengambil dengan mulutnya tanpa bermaksud menyembunyikannya,
maka ia tidak dikenai sanksi apa-apa, barangsiapa membawanya, maka
ia harus mengembalikan dua kali lipat (dari nilai buah yang dicurinya)
dan (dipikul) sebagai balasan (sanksi), dan barangsiapa mencurinya
setelah disimpan di gudang, dan kadarnya setara dengan harga sebuah
perisai, maka ia wajib dipotong tangannya.‖

190 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Telah diriwayatkan bahwa beliau saw., ‖Telah menjemur


seorang laki-laki di terik panas matahari selama satu jam, kemudian
melepaskannya. Beliau juga pernah menghukum dengan pukulan dan
penjara.‖ Diriwayatkan pula bahwa ‗Umar telah menetapkan
hukum jilid terhadap orang yang memalsukan surat baitul mal,
yang ia bubuhi dengan cap yang dibuat (dengan menjiplak) seperti
cap baitul mal. Kemudian orang tersebut menyerahkan surat
tersebut kepada penjaga baitul mal, lalu ia mendapatkan harta.
Demikianlah, ta‘zîr telah ditetapkan berdasarkan sunnah, dan
dilakukan oleh para shahabat setelah beliau saw.
Ta‘zîr telah disyari‘atkan bagi setiap (pelanggaran) yang syâri‘
tidak menetapkan ukuran sanksinya. Adapun pelanggaran yang
telah ditetapkan sanksinya oleh Syâri‘, maka pelanggarnya dijatuhi
sanksi, dengan sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh Syâri‘.
Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya oleh Syâri‘, maka
sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis
sanksinya. Sanksi semacam inilah yang disebut dengan ta‘zîr.
Siapa saja yang mencermati kejahatan-kejahatan, yakni
perbuatan-perbuatan tercela yang syara‘ telah mencelanya; yakni
dosa-dosa; serta siapa saja yang mencermati sanksi-sanksi yang
telah ditetapkan kadarnya oleh Syâri‘, jelaslah bahwa pada
pencederaan atas badan, Syâri‘ telah menetapkan bagi kasus
semacam ini sanksi mâliyyah, kecuali kasus pembunuhan sengaja.
Sebab, pada kasus pembunuhan dengan sengaja sanksinya adalah
qishâsh (balasan setimpal), jika tidak dimaafkan oleh wali pihak
yang terbunuh. Sedangkan selain kasus ini (penyerangan pada
selain jiwa. peny.), sanksinya adalah sanksi mâliyyah, kecuali gigi
pada tulang dan al-jarâh.
Adapun jenis-jenis pembunuhan lainnya, sanksinya adalah
sanksi mâliyyah (diyat). Penyerangan pada organ tubuh dan al-syijaj
dikenai sanksi maaliyyah. Penganiayaan pada tulang-belulang
dikenakan sanksi mâliyyah, kecuali pada gigi. Kemudian pada jarâh
dikenai sanksi badan dan mâliyyah. Dalam hal ini, syara‘ telah
menetapkan ukuran sanksi-sanksi mâliyyah bagi kasus-kasus
tersebut. Dan selama syara‘ tidak menetapkan kadar tertentunya
(kadar sanksinya), maka syara‘ telah menetapkan pada kasus ini,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 191


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

al-hukumah. Oleh karena itu, ta‘zîr tidak termasuk dalam


penyerangan atas badan (jinâyât). Dan tidak pada tempatnya
(memasukkan ta‘zîr) ke dalam jinâyât. Dengan begitu, tidak bisa
dinyatakan bahwa penganiayaan atas badan (jinâyât) yang tidak
sampai terjadi pemutusan, pemecahan, pencederaan, pelenyapan,
atau pengoyakan pada organ tersebut; berhak dikenai sanksi ta‘zîr.
Tidak boleh dinyatakan demikian, sebab penganiayaan
atas badan telah dijelaskan hukumnya oleh syara‘. Sedangkan
penganiayaan yang tidak dijelaskan hukum-hukumnya oleh syara‘
bukan berarti bahwa penganiayaan tersebut wajib dikenai sanksi
ta‘zîr, kecuali jika sampai terjadi penelantaran terhadap pekerjaan,
atau terjadi penghinaan.
Maksiat-maksiat adalah (tindakan) tidak melaksanakan
kewajiban dan mengerjakan keharaman. Kami mendapatkan
suatu kenyataan bahwa syâri‘ telah menetapkan sanksi-sanksi
tertentu untuk kemaksiatan-kemaksiatan semacam ini; seperti
mencuri, perompak, riddah (murtad), dan lain-lain yang sanksi-
sanksinya telah ditetapkan oleh syâri‘. Ini adalah hudûd. Dan kami
juga mendapati bahwa syâri‘ tidak menetapkan sanksi-sanksi
tertentu, kecuali bagi 6 (enam) kemaksiatan tersebut; yakni hudûd.
Selain hudûd, syâri‘ tidak menetapkan sanksi-sanksi tertentu bagi
kemaksiatan tersebut. Dengan alasan seperti ini, maka
kemaksiatan yang tidak ditetapkan sanksinya oleh syâri‘ disebut
dengan ta‘zîr. Oleh karena itu, ta‘zîr sejenis dengan hudûd akan
tetapi, ta‘zîr adalah jenis kemaksiatan yang kadar sanksinya tidak
ditetapkan oleh syara‘, dan juga bukan merupakan penganiayaan
terhadap badan (jinâyât).
Sanksi ta‘zîr ditetapkan sekadar dengan tingkat kejahatannya.
Kejahatan yang besar mesti dikenai tingkat sanksi yang besar pula,
sehingga tercapai tujuan sanksi, yakni pencegahan. Begipula
dengan kejahatan kecil, akan dikenai sanksi yang dapat mencegah
orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Dan pelaku
kejahatan kecil tidak boleh dikenai sanksi lebih dari itu, agar tidak
terkategori mendzalimi pelaku dosa tersebut. Kemudian
persoalannya, apakah penetapan sanksi diserahkan secara mutlak
kepada pihak yang berwenang--yakni kepada khalifah atau qadli--

192 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

sehingga ia bisa menetapkan sanksi yang mereka pandang bisa


mencegah tindak kejahatan serupa, ataukah mereka harus terikat
dengan ketetapan (bahwa khalifah atau qadli) tidak boleh
memberi sanksi melebihi hudûd?
Sebagian fuqahâ‘ telah menetapkan bahwa ta‘zîr tidak
boleh melebihi hudûd. Mereka berpendapat, disyaratkan bahwa
ta‘zîr tidak boleh melebihi kadar sanksi had yang dikenakan pada
jenis kemaksiatan. Mereka berdalil dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Bardah dari Nabi saw., bahwa beliau saw.
bersabda,
« »
―Barangsiapa melebihi had pada selain had (hudûd), maka ia termasuk
kaum yang melampaui batas.‖

Mereka juga berpendapat bahwa sanksi harus ditetapkan


berdasarkan kadar kejahatan dan dosanya. Adapun kemaksiatan
yang telah ditetapkan had-nya (sanksinya) lebih tinggi tingkatannya
daripada kemaksiatan yang lain (yang tidak ditetapkan sanksinya).
Oleh karena itu, pada perkara yang lebih ringan, yakni perkara
yang tidak ditetapkan had-nya, sanksinya tidak boleh melebihi
hudûd.
Imam Malik berpendapat bahwa ta‘zîr boleh melebihi
hudûd, jika hal itu telah ditetapkan oleh khalifah. Sebagaimana
telah diriwayatkan bahwa Mu‘an bin Zaidah telah membuat stempel
baitul mâl, kemudian ia mendatangi petugas baitul mâl dengan surat
yang ia stempel (dengan stempel palsu tadi), kemudian ia mendapatkan
harta. Peristiwa ini kemudian disampaikan kepada ‗Umar ra. Lalu,
‗Umar memukulnya sebanyak 100 kali dan memenjarakannya. Setelah
itu, Mu‘an bin Zaidah masih saja melakukan perbuatan tersebut, maka
‗Umar kembali memukulnya. Setelah itu ia masih saja melakukan
perbuatan itu, maka ‗Umar kembali memukulnya sebanyak 100 kali dan
mengasingkannya.‖
Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnad-nya, bahwa ‗Ali
ra pernah diserahi orang Najasyi yang kedapatan telah minum
khamr pada saat bulan Ramadlan. Lalu, ‗Ali ra menjilid orang
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 193
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tersebut sebanyak 80 kali, ditambah 20 kali cambuk karena


berbuka di bulan Ramadlan. Akan tetapi, sebagian fuqahâ‘
berpendapat bahwa ta‘zîr tidak boleh melebihi hudûd.
Akan tetapi dengan pengamatan yang jernih, jelaslah bahwa
syara‘ telah menjadikan penetapan sanksi ta‘zîr sebagai hak bagi
khalifah, amir, ataupun qadliy (hakim) secara mutlak. Dalam
masalah ini, dikembalikan kepada ijtihad khalifah pada hal-hal
yang ia ketahui; baik kondisi seseorang yang akan dijatuhi
hukuman, fakta kejahatan yang wajib ia putuskan, serta lokasi
kejahatan di suatu negara. Dengan begitu, penetapan kadar ta‘zîr
diserahkan kepada ijtihad khalifah. Itu sebabnya, membatasi
ijtihad dengan batas sanksi lebih tinggi (maksimal) ataupun lebih
rendah (minimal), kemudian menjadikannya sebagai batas bagi
penetapan sanksi, justru akan menafikan keberadaan sanksi
tersebut sebagai ta‘zîr, serta akan menafikan pula ijtihadnya
khalifah.
Selain itu, ada beberapa kejahatan yang tidak terkategori
dalam hudûd, adakalanya kejahatan tersebut lebih berat daripada
hudûd; misalnya minum ganja dan opium, lebih berat daripada
minum khamr. Pencurian berat dari baitul mâl lebih berat daripada
pencurian perhiasan yang nilainya ¼ dinar. Ada pula kejahatan-
kejahatan yang memungkinkan bisa menimbulkan terpecah
belahnya kesatuan umat; semisal menyeru kepada nasionalisme,
sukuisme, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pendapat yang
benar tentang ta‘zîr adalah bahwa ta‘zîr tidak ditetapkan
ukurannya berdasarkan batasan maksimal maupun minimal, akan
tetapi kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah, amir,
juga kemudian diserahkan kepada ijtihadnya seorang qadliy
(hakim).
Adapun hadis Nabi saw., ―Barangsiapa melebihi had selain pada
hudûd maka ia termasuk kaum yang melampaui batas.‖ Hadis ini
berhubungan dengan jenis sanksi yang akan dijatuhkan, yang
tidak boleh melebihi kadar sanksi yang telah ditetapkan oleh
syara‘ (hudûd). Sedangkan menambah sanksi, selain sanksi-sanksi
yang disebutkan tidak dilarang oleh hadis tersebut. Sebagai misal,
barangsiapa menjatuhkan sanksi pada kasus ciuman dengan had

194 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

zina, maka ia termasuk orang yang melampui batas. Yakni, bila


pelaku ciuman dijilid sebanyak 100 kali, maka ia termasuk orang-
orang yang melampui batas. Akan tetapi jika pelaku ciuman itu
dijilid 90 kali, dan dipenjara selama 3 tahun, dan diasingkan
selama 1 tahun, maka tambahan sanksi selain hudûd tersebut
bukanlah sanksi yang dilarang oleh hadis tersebut di atas.
Contoh lain, seorang laki-laki mendatangi ibunya, atau
anak perempuannya, atau saudara perempuannya, atau salah satu
mahram-nya layaknya ia mendatangi isterinya; seperti mencium,
bersenda gurau, dan bermain di pahanya, dan lain-lain, akan
tetapi laki-laki tersebut tidak sampai menyetubuhinya. Apakah
kepada lelaki semacam ini, seorang qadliy tidak boleh
memperberat sanksinya melebihi had zina? Ataukah, seorang qadliy
hanya akan menjilidnya saja, namun kadarnya tidak sampai
melebihi had zina, dan kemudian lelaki itu akan dijatuhi dengan
sanksi-sanksi lain; seperti penjara, pengasingan, denda, atau yang
lain? Juga misalnya, apabila seseorang minum candu dan telah
dihukum lebih dari sekali, akan tetapi tidak juga jera, apakah
kepada laki-laki semacam ini, seorang qadliy tidak boleh
memperberat sanksinya melebihi peminum khamr? Ataukah
seorang qadliy hanya akan menjilidnya saja, namun kadarnya
tidak sampai melebihi had peminum khamr, dan kemudian ia akan
dijatuhi dengan sanksi-sanksi lain; seperti dicocok dengan panas
api, penjara, pengasingan, atau dengan sanksi lain?
Hadis di atas hanya melarang tentang pernyataan melebihi
batas hudûd, pada kasus selain hudûd. Hudûd (had) adalah sanksi
tertentu bagi kejahatan tertentu. Oleh karena itu, qadliy tidak
boleh melampaui sanksi tertentu ini, akan tetapi jika ia
menjatuhkan sanksi lain yang berbeda, maka ia tidak terkena
larangan hadis tersebut. Itu sebabnya, sanksi ta‘zîr diserahkan
pada ijtihad seorang qadliy.
Ini adalah pengertian yang dipahami dari hadis di atas, yakni
hadis yang melarang (untuk menjatuhkan sanksi melebihi sanksi)
yang telah ditetapkan kadarnya (had/hudûd). Akan tetapi, larangan
hadis tersebut tidak mencakup ―tidak bolehnya menjatuhkan
sanksi-sanksi yang berbeda‖. Imam Syaukani berpendapat,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 195


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

‖Sebagian ‗ulama mutaakhirin berpendapat bahwa hadis tersebut


harus dipahami sebagai sanksi edukatif (ta‘dib) yang telah
ditetapkan oleh wali; seperti halnya tuan memukul budaknya,
suami memukul isterinya, dan bapak memukul anaknya.‖ Akan
tetapi hadis itu, dengan menggunakan lafadz ―man‖, pada
sabdanya, ‗man balagha haddân‘, termasuk lafadz umum dan tidak
ada satupun riwayat yang mengkhususkannya pada selain wali.
Takwil semacam itu tertolak. Sebab tetapi tafsir hadis ini adalah,
‖Barangsiapa melebihi sanksi had (hudûd) pada selain yang telah
ditetapkan oleh syara‘, maka ia termasuk orang yang melampui
batas. Adapun, bila pada kasus selain hudûd itu dijatuhkan sanksi
yang berbeda dengan sanksi hudûd, maka dalam hal ini semua
sanksi yang dijatuhkan tersebut (yakni sanksi yang berbeda dengan
hudûd tersebut, peny.) bukanlah sanksi yang melebihi had (hudûd).
Sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa orang tersebut termasuk
orang-orang yang melebihi batas.‖
Penetapan kadar sanksi ta‘zîr asalnya merupakan hak bagi
khalifah. Akan tetapi sanksi ta‘zîr boleh ditetapkan berdasarkan
ijtihad seorang qadliy, dan boleh juga khalifah melarang qadliy
untuk menetapkan ukuran sanksi ta‘zîr, akan tetapi khalifah yang
menetapkan ukuran sanksi ta‘zîr-nya kepada qadliy. Sebab qadliy
adalah wakil khalifah, sedangkan peradilan bergantung pada
zaman, tempat, dan kasus yang terjadi. Khalifah boleh memberi
hak khusus kepada qadliy untuk memutuskan persoalan-persoalan
peradilan tertentu. Khalifah juga yang berhak melarang qadliy
untuk menetapkan sanksi ta‘zîr secara mutlak, atau khalifah boleh
melarang qadliy menetapkan ukuran sanksi ta‘zîr pada sebagian
kasus peradilan, dan kemudian memberikan hak kepada qadliy
pada kasus-kasus yang lain.
Meskipun semua perkara ditetapkan oleh khalifah, akan
tetapi tatkala khalifah menetapkan sanksi ta‘zîr, ia tidak boleh
keluar dari hukum syara‘. Hal ini disebabkan karena, suatu
perbuatan adakalanya berhukum fardlu, mandub (sunnah), mubah,
haram, atau makruh. Suatu perbuatan tidak akan pernah keluar
dari salah satu dari hukum yang lima ini. Namun demikian,
mubah adalah pilihan bagi seorang mukallaf untuk mengerjakan
196 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

atau meninggalkan suatu perbuatan. Oleh karena itu, pelakunya


bukanlah orang yang melanggar perintah dan larangan Allah.
Bahkan, pada saat ia mengerjakan atau meninggalkan perbuatan
tersebut, ia telah mengikuti perintah dan larangan Allah, dan ia
berada pada suatu pilihan yang memang syara‘ telah mengijinkan
dirinya untuk memilih dalam hal tersebut. Untuk perbuatan yang
mandub dan makruh, Allah tidak menjatuhkan sanksi atas
keduanya. Allah juga tidak menjatuhkan sanksi bagi orang yang
meninggalkan perbuatan sunnah (mandub), juga perbuatan
makruh. Dengan begitu, daulah tidak boleh menjatuhkan sanksi
pada dua perbuatan tersebut. Sebab, pemberian sanksi (oleh
khalifah pada kedua perbuatan tersebut, yakni perbuatan mandub
dan makruh, peny.) sama artinya dengan mengharuskan untuk
terikat dengan perbuatan mandub. Dan ini berarti telah
menjadikan perbuatan mandub (sunnah) menjadi perbuatan fardlu,
dan juga berarti menjadikan perbuatan makruh menjadi perbuatan
haram. Dengan demikian, khalifah tidak boleh menjatuhkan
sanksi ta‘zîr bagi orang yang meninggalkan perbuatan mandub
(sunnah), dan orang yang mengerjakan perbuatan makruh. Oleh
karena itu, perbuatan-perbuatan mubah, mandub, dan makruh
tidak termasuk dalam pembahasan ‗uqûbât (sanksi).
Topik ‗uqûbât hanya berkisar pada meninggalkan kewajiban
dan mengerjakan perbuatan yang diharamkan. Adapun
meninggalkan fardlu, karena Allah telah memberi sanksi atas
perbuatan tersebut (perbuatan meninggalkan kewajiban, peny.),
maka orang yang meninggalkan sholat, menolak puasa Ramadlan,
atau menolak membayar zakat, atau mangkir dalam menunaikan
hak-hak orang lain (hak-hak manusia), serta perbuatan-perbuatan
lainnya; semua itu terkategori perbuatan meninggalkan kewajiban.
Allah Swt. telah menjanjikan adzab bagi orang yang
meninggalkan kewajiban-kewajiban tersebut. Sedangkan
perbuatan yang diharamkan, maka bagi orang yang menuduh
orang lain berzina, penimbun harta, perampas, mata-mata dan
lain-lain, semuanya terkategori perbuatan yang diharamkan. Allah
telah menjanjikan siksa bagi orang yang mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang diharamkan. Tidak ada keraguan lagi, bahwa

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 197


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dalam hal semacam ini, penguasa boleh menetapkan sanksi-sanksi


ta‘zîr atas perbuatan-perbuatan tersebut. Dengan alasan, semua
perbuatan tersebut termasuk tindak kemaksiatan, karena telah
meninggalkan yang fardlu dan mengerjakan yang diharamkan.
Setiap perbuatan yang termasuk ke dalam dua jenis perbuatan
tersebut merupakan tindak kemaksiatan yang wajib dikenai sanksi.
Dari sini, jelaslah bahwa tatkala khalifah menetapkan
sanksi ta‘zîr tertentu, ia wajib terikat dengan sanksi yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt. atas perbuatan tersebut, dan ia tidak
boleh melampaui ketetapan tersebut. Itu sebabnya, khalifah harus
membatasi sanksi ta‘zîr pada perbuatan yang meninggalkan
kewajiban, dan mengerjakan perbuatan yang diharamkan.
Khalifah tidak boleh melebihi ketetapan itu secara mutlak.
Adapun apa yang diriwayatkan dari para shahabat ra, bahwa di
antara mereka telah menjatuhkan sanksi atas sebagian perbuatan
mandub, dan juga atas sebagian perbuatan makruh, hal ini tidak
boleh dijadikan sebagai dalil, kecuali bila hal tersebut merupakan
ijma‘ dari sahabat. Namun demikian, perbuatan-perbuatan
sahabat tersebut bukan merupakan ijma‘ sahabat.
Sebagaimana khalifah tidak boleh menjatuhkan sanksi ta‘zîr
pada perbuatan mengerjakan yang makruh, dan perbuatan
meninggalkan yang mandub (sunnah), atau mubah. Khalifah juga
tidak boleh menjatuhkan sanksi ta‘zîr dengan dalih untuk
kemashlahatan masyarakat, atau atas nama maslahat.
Sesungguhnya, pengaturan urusan masyarakat hanya dibatasi pada
hal-hal yang di dalamnya imam memiliki hak untuk mengatur
berdasarkan ijtihadnya; seperti perencanaan kota, penertiban
penambangan, dan lain-lain. Selain dari hal tersebut, khalifah
tidak memiliki hak terhadapnya. Selain itu pula, maslahat
bukanlah dalil syara‘. Itu sebabnya pula, sanksi tidak boleh
ditetapkan berdasarkan kemaslahatan. 

Jenis-Jenis Sanksi Ta‟zir

198 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Ta‘zîr adalah sanksi yang hak penetapannya diberikan kepada


khalifah. Akan tetapi hal ini tidak menjadikan dirinya berhak
menjatuhkan sanksi sekehendak hatinya. Dalam hal ini, ada
sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh nash dengan sangat jelas,
untuk tidak dijatuhkan (digunakan) sebagai sanksi. Oleh karena
itu, penguasa tidak boleh menghukum seseorang dengan sanksi
tersebut. Di sisi lain, nash-nash syara‘ dari al-Quran dan as-
Sunnah telah menjelaskan sanksi-sanksi tertentu yang telah
ditetapkan ukurannya, dan juga ada perintah untuk menjatuhkan
hukuman dengan sanksi-sanksi tertentu tersebut. Itu sebabnya,
ijtihad seorang penguasa dalam masalah ta‘zîr dibatasi hanya pada
ukurannya saja, bukan pada sanksi yang hendak ia tetapkan
(sebagai sanksi). Maka, keberadaan syâri‘ yang telah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu, menunjukkan bahwa vonis sanksi-sanksi
dalam masalah ta‘zîr dibatasi dengan sanksi yang telah dijelaskan
oleh syâri‘, dan tidak boleh memvonis dengan sanksi-sanksi yang
lain.
Adapun sanksi-sanksi yang telah disebutkan pelarangannya
dengan sangat jelas untuk digunakan atau dijatuhkan sebagai
sanksi adalah, membakar dengan api. Manjatuhkan vonis dengan
hukuman membakar dengan api tidak diperbolehkan. Imam
Bukhâri telah meriwayatkan sebuah hadis dari Abû Hurayrah,
―Dan api (membakar), tidak mengadzab dengannya, kecuali Allah.‖
Dari Ikrimah, bahwa Nabi saw. bersabda,
« »
‖Janganlah kalian mengadzab dengan adzabnya Allah,‖

yakni membakar dengan api. Dari Ibnu Mas‘ud dari Nabi saw.,
bahwa beliau saw. bersabda,
« »
‖Sesungguhnya tidak diperbolehkan menghukum dengan api kecuali
Tuhannya api.‖

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 199


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Semua hal ini menunjukkan dengan jelas keharaman


menjatuhkan sanksi dengan membakar, termasuk pula hal-hal
yang sejenis dengan api, dimana di dalamnya ada khasiat untuk
membakar. Misalnya listrik dan lain-lain. Sedangkan apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam hadis suku Urniyyun,
bahwa beliau saw. telah memerintahkan untuk diambilkan
beberapa paku, kemudian paku-paku itu dipanaskan, lalu paku-
paku itu digunakan untuk (mencelai???) mereka. Ini adalah
menusuk dengan api. Tidak ada larangan untuk melakukan hal
tersebut. Penggunaan sanksi tersebut oleh Rasulullah saw. untuk
dijatuhkan sebagai sanksi, merupakan dalil kebolehannya. Yang
dilarang hanyalah membakar dengan api. Adapun sanksi-sanksi
yang telah digunakan syâri‘ (sebagai hukuman), maka sanksi-sanksi
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sanksi Bunuh, Khalifah boleh menjatuhkan sanksi


pembunuhan dalam ta‘zîr. Meskipun sanksi pembunuhan
termasuk had (hudûd), yakni sanksi bagi pezina muhshan, liwath
(homosex), dan juga ada hadis yang melarang had dijatuhkan
pada kasus selain had, akan tetapi sanksi pembunuhan itu
sendiri berbeda dengan sanksi jilid (dera) yang ditetapkan
sebagai had. Dimana untuk sanksi jilid masih mungkin untuk
mengurangi had-nya6 (jumlah jilid-nya), sedangkan sanksi
pembunuhan adalah had satu-satunya. Oleh karena itu, tidak

6
Misalnya, bagi pezina ghairu muhshân dikenai hukuman jilid 80 kali.
Bila sanksi jilid dijatuhkan untuk kasus selain hudûd, misalnya, menipu
orang lain, atau perbuatan lain yang termasuk dalam ta‘zîr, maka sanksi
jilid terhadap pelaku penipuan masih bisa diukur, apakah melebihi had
atau tidak. Misalnya, bila untuk kasus penipuan tersebut dikenai
hukuman jilid sebanyak 40 kali, atau 50 kali, maka sanksi semacam ini
tidak melebihi had (80 kali). Oleh karena itu, bisa diukur, apakah sanksi
yang dijatuhkan melebihi atau tidak melebihi had. Sedangkan untuk
sanksi bunuh tidak seperti itu. Sanksi pembunuhan dijatuhkan sekali
saja (satu-satunya), sehingga tidak terukur apakah melebihi had atau
tidak, sehingga larangan hadis tersebut tidak berlaku untuk hukuman
bunuh.
200 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bisa diterapkan pada sanksi bunuh (dalil yang berdasarkan,


peny.) pada hadis, ―Barangsiapa melebihi had pada kasus selain
had.‖ Selain itu, sanksi yang dimaksudkan oleh hadis tersebut
adalah jilid. Sebab, hanya sanksi jilid saja yang bisa dideteksi
adanya kelebihan atau tidak adanya kelebihan had. Sedangkan
untuk sanksi pembunuhan, hal itu tidak bisa dideteksi
(diukur). Ini juga berlaku untuk hukum potong tangan dan
kaki. Oleh karena itu, boleh menjatuhkan sanksi ta‘zîr dengan
taraf yang seimbang (setara dengan pelanggarannya, peny.),
hingga mencapai taraf pembunuhan sekalipun. Hal ini
didasarkan pada hadis--yang mengisahkan tentang--suku
‗Urniyyun. Meskipun hadis tersebut digunakan sebagai dalil
untuk menunjukkan had perompak, akan tetapi fakta yang
ditunjukkan oleh hadis tersebut adalah kasus pengkhianatan,
pembunuhan dan murtad, bukan fakta perompakan.

Dari Qatâdah dari Anas, ―Ada sekelompok orang dari ‗Ukal dan
‗Urainah datang menghadap Rasulullah saw., kemudian mereka
masuk Islam. Akan tetapi kemudian mereka terserang penyakit di
Madinah. Oleh Rasul saw. diperintahkan kepada mereka untuk
dikirim unta dan penggembala. Lalu, Rasulullah saw.
memerintahkan mereka untuk keluar dan meminum kencing dan air
susunya. Sampai akhirnya tatkala mereka berada ke pinggiran
Harrah mereka kembali kufur setelah masuk Islam, dan membunuh
penggembala Rasulullah saw. serta membawa lari unta-untanya.
Peristiwa itu sampai kepada Rasulullah saw. Kemudian Nabi saw.
pun mengirim utusan untuk mencari jejak mereka dan menangkap
mereka. Rasulullah saw. juga memerintahkan untuk memaku kedua
matanya dan memotong tangannya, serta membiarkan mereka di
pinggiran Harrah sampai mereka mati dalam keadaan demikian…‖
Ini adalah fakta dari peristiwa ‗Urniyyun. Walaupun mereka
berkhianat, melakukan pembunuhan, dan murtad, akan tetapi
hakikatnya hal tersebut membahayakan keamanan. Oleh
karena itu, Rasulullah saw. tidak menjatuhkan sanksi kepada
mereka dengan sanksi pengkhianatan, pembunuhan, dan
murtad, akan tetapi memberikan penyiksaan kepada mereka,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 201


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

yakni beliau tidak memerintahkan untuk membunuh mereka,


akan tetapi hanya membiarkan mereka di pinggiran Harrah
sampai mati. Bahkan setelah membiarkan mereka di Harrah
dua mata mereka dicongkel dan dua tangan mereka dipotong.

Ini menunjukkan bahwa kasus ini telah sangat membahayakan


bagi keamanan. Dari hadis ini dapat di-istinbath-kan bahwa
seorang Imam boleh menjatuhkan sanksi ta‘zîr dengan sanksi
pembunuhan. Sebab, ‗Illat ‗uqûbât (sanksi) adalah pencegahan.
Firman Allah Swt.:
 

‖Dan di dalam qishâsh ada kehidupan..‖ (QS al-Baqarah [2]:


179)

Dalam ayat ini sangat jelas diterangkan bahwa keberadaan


qishâsh yang di dalamnya ada kehidupan, merupakan ‗illat
qishâsh. Pencegahan merupakan ‗illat untuk menjatuhkan
sanksi. Akan tetapi seorang Muslim tidak boleh melebihi
dari sanksi-sanksi yang telah ditetapkan dalan al-Quran
dan as-Sunnah. Sebab, Allah Swt. mengetahui bahwa
sanksi tersebut dapat mencegah. Allah Swt. juga yang
mensyari‘atkan sanksi-sanksi semacam ini, dan Dia
mengetahui hal tersebut. Akan tetapi kejahatan-kejahatan
yang penetapan ukuran sanksinya diserahkan kepada
Imam, maka Imam harus menjatuhkan sanksi yang
memenuhi syarat pencegahan. Jika ia menjatuhkan sanksi,
dan ia melihat bahwa sanksi tersebut bukanlah pencegah,
maka ia wajib menjatuhkan sanksi yang lebih berat dari
pada sanksi tersebut, hingga terwujud aspek pencegahan.
Banyak sekali kejahatan yang tidak ditetapkan oleh syâri‘
rincian sanksi tertentu bagi kejahatan-kejahatan tersebut.
Di mana tidak akan terwujud aspek pencegahan pada
kasus-kasus tersebut, kecuali dengan (menjatuhkan) sanksi
bunuh. Pada kondisi semacam ini, imam boleh dan
berhak menetapkan sanksi bunuh atas kejahatan-kejahatan
202 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tersebut. Misalnya, syara‘ telah menetapkan bahwa, jika


dibai‘at dua orang imam, maka yang terakhir harus
dibunuh. Akan tetapi, syara‘ tidak menetapkan sanksi bagi
orang yang menghasut masyarakat dan mengumpulkan
mereka untuk membai‘at imam kedua, setelah terjadi
bai‘at pengangkatan imam. Sementara orang yang
menghasut tadi bukan orang yang diangkat sebagai imam
bagi masyarakat. Oleh karena itu, pengertian hadis
tersebut7 tidak bisa diterapkan pada orang yang
bersangkutan.

Namun demikian, kejahatannya jauh lebih besar dari pada


orang yang dibai‘at (imam kedua, peny.). Oleh karena itu,
imam boleh menetapkan sanksi bunuh bagi orang yang
menyerukan nasionalisme; baik nasionalisme Arab, Turki,
Persia, atau Barbariah, dan lain sebagainya. Imam juga
boleh menjatuhkan sanksi bunuh bagi orang yang
mengorganisir masyarakat kepada nasionalisme. Memang,
dalam hal ini tidak ada nash dari Syâri‘ yang menetapkan
sanksi tertentu bagi kasus-kasus semacam ini. Akan telah
dimaklumi bahwa akibat dari propaganda nasionalisme
adalah terpecahnya kesatuan Daulah Islamiyyah, bahkan
terpecahnya kaum Muslim. Dengan begitu, maka terhadap
orang-orang yang menyerukan ide-ide semacam ini, imam
boleh memvonisnya dengan sanksi bunuh. Demikian pula
bagi orang yang menyerukan pemisahan negeri Islam dari
tubuh Daulah Islamiyyah. Meskipun hal ini bisa dipahami
dari sabda Rasulullah saw.,
»

7
Hadis yang menyatakan, ―Jika dibai‘at dua orang Khalifah maka bunuhlah
yang terakhir‖
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 203
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

‖Barangsiapa mendatangi kalian dan memerintahkan kalian


dengan maksud memecah belah persatuan kalian, atau
memisahkan dari jama‘ah kalian, maka bunuhlah ia.‖

Akan tetapi, ini bukanlah hudûd, namun termasuk dalam


ta‘zîr, di mana untuk mengeksekusinya diserahkan kepada
imam; ataupun memberikan sanksi kepadanya dengan
sanksi selain sanksi bunuh. Ini juga nash hadis yang sangat
jelas, yang di dalamnya menunjukkan bahwa imam boleh
menjatuhkan sanksi dengan sanksi bunuh. Demikianlah,
atas dasar itu, seorang khalifah boleh menjatuhkan sanksi
bunuh dalam kasus ta‘zîr.

2. Jilid. Yakni memukul dengan cambuk, atau dengan alat yang


sejenis. Sanksi jilid telah disebutkan di dalam al-Quran. Allah
Swt. berfirman:


―Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka.‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 34)

Sanksi jilid juga disebutkan di dalam al-Quran. Allah Swt.


berfirman:
 
―Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,‖ (QS
an-Nûr [24]: 2)

Juga terdapat keterangan tentang jilid dengan


menggunakan cambuk atau dengan alat lain. Dari Zaid bin
Aslam, diriwayatkan, ―Ada seorang laki-laki mengakui bahwa
dirinya telah berzina di masa Rasulullah saw. Kemudian
Rasulullah saw. memerintah seseorang untuk membawakan

204 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

cambuk. Orang tersebut kemudian mengambil cambuk yang


telah patah. Lalu, Rasulullah saw. menyuruhnya untuk
mengambilkan cambuk yang lebih baik. Orang tersebut
kemudian mengambil sebuah cambuk baru yang masih ada
buah-buahnya (yakni tepi-tepinya). Kemudian Rasulullah saw,
bersabda, ―Antara kedua ini.‖ Kemudian lelaki itu datang
dengan cambuk yang sudah agak lemas–cambuk yang sudah
sering digunakan untuk mencambuk sehingga sudah menjadi
lemas.― Ini adalah dalil tentang sanksi dengan cambuk.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Imamah bin Sahal


dan Sa‘id bin Sa‘ad bin ‗Ubâdah, ia berkata, ―Di antara
rumah-rumah kami ada seorang laki-laki kecil lemah lagi cebol,
dia tidak merasa takut dengan orang-orang kampung untuk
berbuat cabul dengan seorang budak dari budak-budak
perempuan mereka. Peristiwa ini disampaikan kepada
Rasulullah saw. oleh Sa‘id bin ‗Ubadah, sedangkan laki-laki
tersebut beragama Islam. Rasulullah saw. bersabda, ―Pukullah
dia sebagai hukumannya!‖ Para shahabat menyela, ―Ya
Rasulullah! Sungguh, dia sangat lemah, tidak seperti yang
engkau kira. Seandainya dia itu kami pukul 100 kali, berarti
kami membunuh dia. Maka jawab Rasulullah saw., ―Ambillah
dahan kurma yang bercabang seratus mayang, lalu pukullah
kepadanya dengan sekali pukulan.‖ Sa‘ad berkata, ―Lalu mereka
mengerjakan.‖ Ini adalah dalil tentang sanksi selain
cambuk. Al-Utskul adalah dahan dari kurma yang memiliki
banyak cabang. Dan setiap cabang yang berada pada dahan
disebut dengan al-syimrâkhan.

Atas dasar ini, jilid dengan selain cambuk dan dengan


cambuk, merupakan bagian dari jenis sanksi yang telah
disyari‘atkan. Oleh karena itu, Imam boleh menjatuhkan
sanksi pemukulan dengan batang dahan, tongkat, dan
menjatuhkan sanksi jilid dengan cambuk.

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 205


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Akan tetapi ta‘zîr dengan pemukulan dan jilid tidak boleh


lebih dari 10 kali pukulan atau 10 kali jilid. Hal ini telah
disebutkan dengan jelas dalam nash hadis. Imam Bukhâri
meriwayatkan sebuah hadis dari ‗Abdurrahman bin Jâbir
dan orang yang mendengar dari Nabi saw., bahwa beliau
bersabda,
« »
―Tidak ada sanksi dengan 10 kali pukulan kecuali pada had
dari hudûd Allah.‖

Imam Bukhâri meriwayatkan sebuah riwayat dari Abû


Bardah ra, bahwa ia berkata, ―Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Janganlah menjilid lebih dari 10 kali jilid, kecuali dalam had
dari hudûd Allah.‖

Dalam riwayat Bukhâri ia menyatakan, ‖Saya mendengar


bahwa Rasulullah saw. bersabda,
« »
―Janganlah kalian menjilid di atas 10 kali cambukan, kecuali
dalam had dari hudûd Allah.‖

Imam Ahmad mengeluarkan sebuah riwayat dari Abû


Bardah bin Niyar bahwa ia pernah mendengar Nabi saw.
bersabda,
« »
‖Janganlah menjilid lebih dari 10 kali, kecuali dalam had dari
hudûd Allah.‖

Ini menunjukkan bahwa pemukulan dan jilid tidak boleh


melebihi 10 kali pukulan ataupun cambukan. Hadis

206 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tersebut di atas juga dengan sangat jelas menunjukkan,


bahwa khalifah atau qadliy (hakim) tidak bebas dalam hal
tersebut. Akan tetapi ia wajib terikat dengan apa yang
telah disebutkan dalam nash hadis. Ini juga diperkuat
dengan apa yang diriwayatkan oleh Syalanjiy dengan isnad
dari Nabi saw. bahwa beliau saw. bersabda,
« »
‖Barangsiapa memperberat had pada selain had, maka ia
termasuk orang yang melampui batas.‖

Hadis tersebut hanya mencakup salah satu jenis dari jenis-


jenis had yang ada, yakni untuk sanksi jilid saja. Sebab,
sanksi inilah yang bisa terdeteksi batas paling sedikit dari
had-nya, namun tidak terdeteksi pada sanksi bunuh dan
potong tangan. Dengan demikian, hadis ini memperkuat
hadis 10 kali cambukan. Rasulullah saw. telah melarang
memperberat sanksi dalam kasus ta‘zîr melebihi had. Akan
tetapi, ini tidak terlihat kecuali hanya dalam sanksi jilid
saja. Sebab, hadis tersebut (riwayat Syalanjiy) tidak
menyebut jumlah tertentu. Rasulullah saw. (dalam hadis
lain) telah menetapkan dengan sabdanya, ―Di atas 10
cambukan.‖ Oleh karena itu, hadis, ―Barangsiapa
memperberat had pada selain had,‖ berbentuk mutlak,
mencakup jumlah berapapun tanpa ada batasan (taqyid).

Sedangkan hadis, ‖lebih dari 10 kali cambukan,‖ dibatasi


dengan jumlah tertentu. Mutlaq harus dibawa ke arah
muqayyad. Kompromi dari dua hadis tersebut adalah,
bahwa hadis--10 kali cambukan—telah membatasi hadis,
―Barangsiapa memperberat had pada selain had,‖ dengan
batasan jilid tertentu. Sebab, hadis inilah–10 kali
cambukan—yang telah menjelaskan makna hadis,
―Barangsiapa memperberat had pada selain had.‖ Atas dasar
ini, imam tidak boleh menjatuhkan sanksi jilid dan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 207


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

pemukulan lebih dari 10 kali cambukan atau pemukulan


dalam kasus ta‘zîr.

3. Penjara. Pemenjaraan secara syar‘iy adalah menghalangi atau


melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Sama saja
apakah itu dilakukan di dalam negeri; rumah, masjid, dalam
penjara, atau di tempat-tempat lain. Dalil bahwa pemenjaraan
merupakan bagian dari sanksi syar‘iy, adalah hadis yang
diriwayatkan dari Bahaz bin Hakîm dari bapaknya, dari
kakeknya, ia berkata, ―Rasulullah saw. telah menahan seseorang
karena tuduhan, kemudian melepaskannya.‖ Dari Abû Hurayrah,
ia berkata, ―Rasulullah saw. pernah menahan seseorang sehari
semalam, karena tuduhan.‖

Pemenjaraan di masa Rasulullah saw. dilakukan di dalam


rumah, atau di masjid. Demikian pula pada masa Abû
Bakar. Di masa itu tidak ada penjara bagi pihak yang
berperkara. Ketika masa ‗Umar bin Khaththab, beliau
membeli rumah milik Sofyan bin Umayyah seharga 400
dirham dan menjadikannya sebagai penjara. Bahkan
kemudian ‗Umar pernah memenjara seorang laki-laki
buruk dan pendek karena orang tersebut terlibat kasus
pemfitnahan. Beliau juga pernah memenjara Shabighan,
karena pertanyaannya tentang surat adz-Dzâriyât, al-
Mursalât, Nâzi‘ât, dan lain-lain. Diriwayatkan dari
‗Utsman bin ‗Affan bahwa beliau pernah memenjara
Dlabi‘ bin Harits, salah seorang pencuri dari Bani Tamim,
dan menyiksa mereka di penjara hingga mati.

Diriwayatkan dari ‗Ali ra bahwa beliau membangun


penjara dari kayu (pohon), dan menamakannya Nafi‘an.
Beliau memasukkan pencuri ke dalamnya. Kemudian,
beliau juga membangun penjara dari tanah liat yang keras,
dan menamakannya dengan Makhîsan. Pemenjaraan
merupakan bagian dari sanksi, seperti halnya jilid dan
potong tangan. Oleh karena itu, sanksi tersebut harus

208 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memberikan ―rasa sakit‖ yang sangat kepada pihak yang


dipenjara. Juga harus bisa menjadi sanksi yang bisa
mencegah.

Dengan demikian, sebuah kesalahan bila dinyatakan,


bahwa kita harus menjadikan penjara sebagai sebuah
madrasah (sekolah) untuk pengajaran. Sekolah berbeda
dengan penjara. Sekolah adalah tempat untuk belajar dan
mengajar, sedangkan penjara tempat untuk menjatuhkan
sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Oleh karena
itu, sanksi penjara harus bisa menjadi sanksi yang dapat
mencegah. Dengan alasan ini, maka bangunan, ruangan,
lorong-lorongnya berbeda dengan bangunan, ruangan,
maupun lorong-lorong sekolah, tempat singgah, hotel-
hotel, ataupun tempat-tempat lain. Dan hendaknya bisa
menimbulkan rasa takut dan cemas. Ruang-ruangnya
hendaknya remang-remang, baik saat siang maupun
malam. Di dalam ruangan tidak boleh ada tempat tidur
dan tikar. Bahkan, orang-orang yang dipenjara harus
merasakan perlakuan yang keras dan sebagainya. Ia harus
merasakan kesepian, ketakutan dan lain-lain. Makanannya
harus berupa makanan yang kasar dan sedikit.

Meski demikian, orang yang dipenjara harus diberi makan


yang cukup untuk kebutuhan nutrisi dan kelangsungan
hidupnya. Selain itu, seorangpun tidak boleh
membesuknya, kecuali kerabat dan tetangganya, itupun
tidak diberikan waktu yang banyak. Bagi narapidana yang
sudah berkeluarga, isterinya dibolehkan bermalam
dengannya di penjara. Dengan sayarat, jika kepala penjara
telah melihat dan mempertimbangkan bahwa kondisi
orang yang dipenjara tersebut memang membutuhkan hal
itu. Atau bisa juga bila kepala penjara telah mengetahui
akhlak dan perilakunya baik selama dipenjara.

Bagi para narapidana, dilarang keluar dari penjara kecuali


karena hajat, dan diijinkan oleh kepala penjara. Ia tidak
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 209
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

boleh dipukuli, atau dibiarkan kehausan, diikat, dan


dihinadinakan, kecuali ada ketetapan dari qadliy (hakim)
yang menyatakan hal tersebut. Salah satu siksaan terberat
di penjara adalah di jebloskan di dalam ruangan yang
sempit sendirian (hâsyirah), pintunya dikunci, dan ia
dibiarkan mengurusi dirinya sendiri. Ia diberi makanan
dan air dari lubang pintu. Namun demikian, pemindahan
seseorang yang dipenjara dalam hâsyirah tidak didasarkan
pada pendapat kepala penjara atau sipir, akan tetapi
berdasarkan ketetapan dari qadliy. Sebab, sanksi hâsyirah
adalah sanksi yang lebih berat dari sanksi yang telah
ditetapkan. Itu sebabnya, perlu ketetapan dari qadliy.

Jika diperlukan tindakan memperberat hukuman di


penjara, atau tindakan memperingan hukuman, maka
tindakan itu harus dilaporkan kepada qadliy. Sebab qadliy
adalah pihak yang memberi ketetapan sesuai dengan apa
yang ia ketahui. Pelaku kejahatan tidak akan dipenjara
kecuali di dalam negerinya. Sebab, pemenjaraan dirinya di
negeri lain, dianggap sebagai pengasingan (taghrib), dan ini
butuh ketetapan dari qadliy yang berbeda dengan
ketetapan pemenjaraan. Taghrib adalah sanksi yang kedua--
maksudnya sanksi yang lain.

Pemberian hukuman dengan pemenjaraan banyak pula


ragamnya, yakni disesuaikan dengan kejahatan-kejahatan
yang dilanggar seseorang. Mengenai jenis pemenjaraan, hal
itu telah ditetapkan berdasarkan ketetapan qadliy. Tidak
ada kejahatan politik maupun nonpolitik. Juga tidak ada
perlakuan khusus bagi publik figur, atau orang yang
terkenal, atau yang lainnya. Akan tetapi, setiap perbuatan
tercela dipandang sebagai kejahatan. Penilaian besar-
kecilnya kejahatan dikembalikan kepada ketetapan dari
Imam. Sebab, dialah pihak yang berhak menetapkannya.
Barangsiapa melecehkan kepribadian atau darah seseorang
maka pelakunya harus dijatuhi sanksi atas perbuatannya,

210 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tanpa memandang keberadaannya sebagai orang terkenal


atau tidak. Kemudian, barangsiapa mencela aturan tanpa
ada alasan yang benar, dalam kasus semacam ini harus
dikenakan sanksi, tanpa memandang statusnya sebagai
politikus atau bukan.

Namun, dalam hal penetapan jenis sanksi, seorang qadliy


boleh menjatuhkan sanksi lebih berat kepada individu-
individu tersebut. Ia, misalnya, boleh memenjara
seseorang selama 1 tahun, dan memberi sanksi penjara
pada yang lain selama 1 minggu, untuk kejahatan yang
sama. Atau ia boleh memvonis seseorang dengan
menjebloskannya dalam penjara berat, sedangkan yang
lain dijebloskan dalam penjara ringan. Semua itu
didasarkan pada pengetahuannya pada kedua orang
tersebut; apakah ia termasuk orang-orang yang suka
berbuat dosa (kejahatan), atau termasuk orang-orang yang
bertakwa; atau apakah perbuatan tersebut akibat dari
kekhilafan yang dilakukan karena bujukan setan, atau
yang lainnya.

Orang yang dipenjara kadang berstatus narapidana,


adakalanya berstatus tahanan. Jika seseorang berstatus
narapidana, maka tidak ada yang perlu dikomentari lagi
dalam hal ini. Adapun bagi orang yang berstatus tahanan,
ia harus ditempatkan di tempat yang lebih ringan dari
penjara. Sebab, ia adalah orang yang ditahan karena suatu
tuduhan, bukan karena kejahatan. Oleh karena itu, batas
waktu penahanannya harus dibatasi dengan batas waktu
sependek mungkin. Dan jika harus ada pembaruan masa
penahanan, maka diperlukan ketetapan dari qadliy
(hakim). Namun jika tidak ada pembaruan masa
penahanannya, maka ia dibebaskan tatkala masa
penahanannya telah berakhir, tanpa harus dipersulit lagi.

Jika seorang qadliy (hakim) dipindahkan, atau diganti, atau


diangkat pengganti yang lain, maka qadliy yang baru harus
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 211
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memulai tugasnya dengan memeriksa para tahanan.


Barangsiapa, yang tuduhannya terbukti, maka tentu saja ia
harus dihukum. Akan tetapi bila tidak terbukti, maka ia
harus segera dikeluarkan dari tahanan. Dengan demikian,
seseorang tidak akan dipenjara atau ditahan kecuali
berdasarkan keputusan dari qadliy.

Dan perlu dipahami bahwa sanksi penjara bukanlah had


yang telah ditetapkan oleh syara‘, sehingga tak seorangpun
boleh melebihinya, sebagaimana jilid. Sebab, tidak ada
nash yang menunjukkan bahwa ia adalah had yang
ukurannya telah ditetapkan oleh syara‘, juga tidak ada nash
yang menunjukkan batas waktu tertentu bagi
pemenjaraan. Dengan begitu, penetapan ukuran sanksinya
diserahkan kepada khalifah. Tatkala sanksi memiliki
fungsi sebagai pencegah, maka dalam hal penetapan,
khalifah harus memperhatikan batas waktu pemenjaraan,
agar sanksi pemenjaraan tersebut mampu menjadi
pencegah bagi pelaku dosa dan orang lain (yang
menyaksikannya, peny.). Siapapun yang wajib dikenai
sanksi ta‘zîr, maka ia harus mendapatkan ta‘zîr dengan
sanksi yang dapat mencegah.

Dan pada sanksi penjara tidak ada batas yang paling tinggi
secara mutlak. Telah diriwayatkan dari beliau saw., bahwa
beliau saw. telah menjatuhkan sanksi penjara, namun
beliau tidak menetapkan batas waktu tertentu. Dengan
begitu, hukuman penjara tetap berlaku mutlak. Sebab,
nash-nash yang berbicara tentang pemenjaraan datang
dalam bentuk mutlak. Adapun pendapat yang dilontarkan
sebagian fuqaha bahwa batas waktu terpendek sanksi
penjara adalah 1 tahun, dan tidak boleh lebih dari 1
tahun, dengan meng-qiyas-kan pada kasus taghrib
(pengasingan). Pendapat ini adalah pendapat yang salah.
Sebab, penjara tidak bisa diqiyaskan dengan nafiy. Itu
disebabkan karena fakta keduanya berbeda sama sekali.

212 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Selain itu, keduanya tidak mengandung ‗illat yang sesuai,


sehingga bisa dilakukan qiyas.

Dengan demikian, tidak boleh dikatakan bahwa definisi


penjara bisa diterapkan pada nafiy. Sebab, penjara adalah
penahanan seseorang, serta melarang seseorang untuk
mengurusi dirinya sendiri. Sehingga, definisi semacam ini
bisa diterapkan pada kasus nafiy, sebab definisi nafiy juga
demikian, yaitu penahanan seseorang, dan melarangnya
untuk mengurusi dirinya sendiri. Dengan begitu, definisi
tersebut tidaklah berbeda. Tidak bisa dikatakan seperti itu,
sebab nafiy bukanlah melarang seseorang untuk mengurusi
dirinya sendiri secara mutlak, akan tetapi melarang ia
untuk mengatur urusannya sendiri pada suatu tempat yang
tidak ditentukan. Dan tentu saja ini berbeda dengan
penjara.

Selain itu, nafiy adalah pengasingan (pembuangan)


seseorang dari negaranya, atau tempat ia berada (tinggal)
ke tempat lain. Dengan demikian nafiy adalah taghrib
(pengasingan); sehingga tidak bisa diberlakukan pada
definisi penjara. Oleh karena itu, batas waktu
pemenjaraan tidak dibatasi selama 1 tahun saja, akan
tetapi khalifah boleh menetapkan batas waktu
pemenjaraan--berdasarkan apa yang ia ketahui--pada
seseorang yang melakukan tindakan kejahatan, sebagai
sanksi pencegah bagi pelaku kejahatan dan orang lain.
Qadliy boleh memvonis seseorang dengan batas waktu
yang telah ditetapkan oleh Khalifah, yang ia pandang
dapat menjadi pencegah bagi pelaku kejahatan tersebut.

Adapun riwayat yang menyatakan, bahwa orang yang


berutang (dan tidak mengembalikannya), sedikitnya
dipenjara selama ½ bulan dan paling lama dipenjara
selama 2 bulan atau 4 bulan sesuai dengan jumlah uang
yang berada di tangan pelaku. Akan tetapi, ini bukanlah

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 213


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ketetapan yang bersifat pasti. Sebab, kasus di atas terjadi


pada waktu dan orang tertentu, sehingga tidak bisa
diterapkan pada fakta-fakta yang lain. Atas dasar ini,
masalah penetapan batas waktu pemenjaraan maksimal
bisa diberlakukan untuk menghukum seseorang. Khalifah
boleh menetapkan bagi kejahatan-kejahatan tertentu, batas
masa pemenjaraan maksimal maupun minimalnya. Ia juga
boleh menetapkan batas maksimalnya saja, jika ia ingin
menetapkan ukuran tertentu dalam ta‘zîr. Jika ia tidak
menetapkan batasan tertentunya, maka urusan tersebut
diserahkan kepada qadliy. Dengan demikian, qadliy akan
menetapkan masa hukuman penjara tatkala ia hendak
menjatuhkan suatu sanksi.

Khalifah tidak wajib menetapkan batasan masa


pemenjaraan untuk setiap kasus kejahatan. Sebab, aktivitas
semacam ini termasuk bagian dari hak tabanniy bagi
Khalifah (hak mengadopsi hukum, pentj.). Sedangkan
tabanniy bagi khalifah hukumnya ibahah (mubah), bukan
wajib. Namun demikian, qadliy tatkala menjatuhkan
hukuman penjara kepada seseorang, maka ia harus
menetapkan batas masa pemenjaraan dengan jelas, agar
batas masa pemenjaraannya bisa diketahui, dan tidak
majhul (tidak diketahui). Selain itu, juga agar hukumannya
pasti dan tidak simpang siur. Itu sebabnya, qadliy harus
menetapkan batas masa pemenjaraan dengan batas
tertentu, semisal 1 tahun, 1 bulan, atau hingga suatu
perkara yang diketahui berlangsung. Misalnya, sampai
berakhirnya Ramadlan, atau sampai hari raya Idul Fitri
dan lain-lainnya.

Dengan demikian, harus ada batas masa hukuman penjara


yang dijatuhkan kepada orang yang berbuat dosa, sehingga
sanksi yang ditetapkan oleh qadliy jelas, dan bukan sanksi
yang tidak jelas. Ini disebabkan karena, syarat agar suatu
amal bisa diketahui maka amal tersebut harus ditetapkan

214 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan akad dan perbuatan tertentu yang mengikat di


dalam syara‘. Misalnya, pada jual beli dan perdagangan
disyaratkan adanya akad yang mengikat, agar akadnya jelas.
Begitu pula dalam sholat dan nadzar disyaratkan adanya
perbuatan tertentu yang mengikat agar amalnya jelas.
Vonis sanksi dari qadliy termasuk bagian dari amal, oleh
karena itu amal tersebut harus jelas. Demikian pula sanksi
penjara merupakan sanksi dari qadliy, oleh karena itu
sanksi dari qadliy harus jelas. Sanksi qadliy tidak dikatakan
jelas, jika sanksi yang dijatuhkannya juga tidak jelas. Oleh
karena itu, harus ada penetapan batas masa hukuman
penjara, serta harus ada batasan waktu tertentu, sama saja
apakah sanksi tersebut dijatuhkan karena tindak pidana
ataupun karena tuduhan.

Qadliy tidak boleh menahan seseorang dalam kasus


tuduhan (dengan masa tahanan) sampai ia mampu
menghadirkan bukti. Sebab, batas waktu semacam itu
tidaklah jelas. Dengan demikian, batas waktu tersebut
harus dibatasi sampai ia bisa mengumpulkan bukti-bukti.
Sedangkan batas waktunya ditetapkan sekadar dengan
waktu yang dibutuhkan sampai pembuktiannya jelas dan
diketahui, bukan ditetapkan berdasarkan anggapan dan
perkiraan. Jika seorang qadliy memutuskan hingga
hadirnya dua orang saksi dari suatu negara atau tempat
yang jauh, maka batas waktu penahanannya ditetapkan
seperlunya, kemudian orang tersebut dimasukkan dalam
penjara sesuai dengan waktu yang diperlukannya.

Namun demikian, saksi-saksinya tidak boleh berada di luar


kekuasaan Daulah. Sebab, saksi-saksi yang berada di luar
kekuasaan Daulah kehadirannya tidak bisa dipastikan.
Untuk kasus semacam ini, keputusan diserahkan kepada
qadliy. Jika ia melihat masih adanya kemungkinan bahwa
saksi-saksi tersebut bisa dihadirkan, maka ia boleh
memutuskan batas waktu (penahanan) berdasarkan
pendapatnya. Jika ia melihat masih ada keraguan untuk
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 215
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bisa menghadirkan saksi, maka ia bisa menetapkan batas


waktu penahanan sependek mungkin, itupun dengan
jaminan yang masih memungkinkan hadirnya saksi
menurut adat kebiasaan.

Seorang qadliy tidak boleh memenjarakan seseorang


dengan masa hukuman sampai ia taubat, atau sampai ia
mati. Sebab, hukuman semacam itu hukuman yang
majhul, sehingga tidak sah--karena, itu adalah hukuman
dengan sanksi yang belum jelas. Dan memang tidak bisa
diketahui kapan ia bertaubat dan kapan ia mati. Tidak
bisa pula dinyatakan bahwa batas masa hukuman dengan
kematian merupakan batas waktu yang jelas (diketahui).
Tidak bisa dinyatakan demikian, sebab batas masa
hukuman yang ditetapkan bagi orang yang melakukan
tindak dosa dengan batas kematian merupakan batas masa
hukuman yang tidak diketahui dengan pasti. Batas
hukumannya bukan dengan kematian, akan tetapi dengan
batas waktu hingga datangnya kematian. Dengan begitu,
batas masa hukumannya menjadi tidak jelas. Dan memang
jenis hukuman semacam itu bukanlah hukuman yang
jelas.

Tidak boleh dinyatakan bahwa Allah Swt. telah membatasi


pemenjaraan dengan kematian, dalam firman-Nya:
 
―maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi
jalan yang lain kepadanya.‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 15)

Sebab, ayat ini telah dihapus dengan ayat:


 
―Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah…‖ (QS an-Nûr [24]: 2)

216 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Oleh karena itu, ayat tersebut tidak sah digunakan


sebagian dalil untuk kasus ini. Selain itu, larangan suami
terhadap isterinya untuk keluar dari rumahnya tidak
dianggap sebagai penahanan (al-habs atau pemenjaraan)
secara syar‘iy. Suami berhak melarang isterinya keluar dari
rumah kapanpun yang ia kehendaki. Hal semacam ini
tidak dianggap sebagai pemenjaraan bagi isterinya.
Alasannya, jika hal ini dianggap sebagai pemenjaraan,
tentu hal semacam ini akan mendapatkan sanksi hukum.
Sebab, pemberian sanksi kepada manusia hanyalah hak
khusus penguasa, dan tidak seorangpun selain penguasa
memiliki hak untuk menjatuhkan sanksi.

Ini disebabkan karena, tatkala Allah Swt. memberi hak


kepada suami untuk mendidik isterinya, Allah Swt telah
menjelaskan jenis-jenis pendidikannya. Yakni, mulai dari
peringatan (nasihat), mendiamkan, sampai membolehkan
untuk memukulnya dengan tidak menyakiti. Seperti yang
dijelaskan dalam ayat:
 
―maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka.‖ (QS an-Nisâ‟ [4]: 34)

Adapun pemenjaraan bukanlah termasuk pendidikan


terhadap isteri. Itu sebabnya suami tidak boleh memenjara
isterinya. Atas dasar ini, maka ayat tersebut tidak
menunjukkan atas bolehnya memberi sanksi penjara
sampai mati. Sedangkan apa yang diriwayatkan, bahwa
Nabi saw. bersabda,
« »
―Bunuhlah pembunuh, dan bersabarlah kalian atas orang yang
sabar.‖

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 217


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Makna hadis ini adalah, barangsiapa membunuh, maka ia


harus dibunuh. Barangsiapa membunuh seseorang dengan
cara memenjarakannya dengan pemenjaraan yang bisa
membunuhnya--dengan alasan agar ia terbunuh--bukan
dipenjara sampai mati, maka yang semacam ini termasuk
dalam kategori cara membunuh pembunuh, dan masuk ke
dalam pembahasan jinâyât, bukan ta‘zîr.

Hadis tersebut juga tidak menunjukkan bolehnya


memenjara seseorang sampai mati. Itu sebabnya, hukuman
penjara seumur hidup tidak diperbolehkan secara syar‘iy.
Akan tetapi harus ada pembatasan waktu pemenjaraan
bagi pihak-pihak tertentu.

Harus dipahami pula, bahwa pemenjaraan adalah


menahan seseorang, bukan mempekerjakan seseorang.
Kerja paksa berbeda dengan pemenjaraan. Dengan begitu,
jika seseorang dipenjara, maka ia tidak boleh dipekerjakan
(kerja paksa). Sebab, kata al-habs tidak mencakup al-tasyghil
(mempekerjakan). Akan tetapi, bolehkah bagi qadliy
menghukum seseorang dengan penjara dan kerja? Atau
hanya terbatas pada hukuman penjara saja? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, sesungguhnya
tidak ada nash syara‘ yang menyebut sanksi
mempekerjakan; baik kerja paksa ataupun tidak.

Meski demikian, para fuqahâ berpendapat bahwa orang


yang berutang, namun tidak mengembalikan utangnya,
maka jika ia dihukum penjara maka ia bisa dipekerjakan
dengan mendapatkan gaji untuk membayar utangnya.
Sayangnya, pendapat ini adalah hukum yang didasarkan
pada akal, bukan hukum syara‘. Oleh karena itu, pendapat
semacam ini tidak bernilai sama sekali. Selain itu, jenis
sanksi yang diputuskan oleh seorang qadliy harus terikat
dengan apa yang disebutkan dalam nash. Sementara itu,
sanksi ―kerja keras‖ tidak pernah disebut dalam nash.

218 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan demikian, qadliy tidak boleh menghukum


seseorang dengan sanksi tersebut.

4. Pengasingan. Pengasingan atau membuang seseorang di


tempat yang jauh. Sanksi nafiy (pengasingan) telah disebutkan
dalam al-Quran. Allah Swt. berfirman:
 
―atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).‖ (QS al-
Mâidah [5]: 33)

Sanksi semacam itu juga telah disebutkan dalam hadis.


Imam Ahmad mengeluarkan hadis dari Abu Hurayrah,
―Bahwa Nabi saw. telah menetapkan sanksi pengasingan selama
1 tahun bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia tidak
muhshân, dan juga ditegakkan hukum had baginya.‖
Kemudian Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu
‗Abbas ra, beliau berkata, ―Nabi saw. melaknat wanita yang
berperilaku seperti laki-laki, dan seorang laki-laki yang
berperilaku seperti wanita. Beliau bersabda, ―Usirlah mereka‖—
maksudnya pengasingan. Dan beliau saw. telah mengusir si
fulan dan ‗Umar juga mengusir seseorang.‖ Ini adalah dalil
yang menetapkan bahwa sanksi pengasingan merupakan
jenis sanksi yang telah ditetapkan oleh syara‘. Sebagaimana
pula telah ditetapkan bahwa sanksi tersebut pernah
diberlakukan oleh Rasulullah saw. dalam kasus ta‘zîr.

Para shahabat juga pernah melakukan hal yang sama.


‗Umar pernah mengasingkan Shabigha ke Bashrah setelah
menjilidnya. Demikian pula bahwa ‗Umar pernah
mengasingkan Nashr bin Hijjâj karena takut bisa
menimbulkan fitnah bagi wanita. ‗Utsman juga pernah
mengasingkan Abû Dzar al-Ghifâriy. Nafiy harus berupa
pengasingan yang tidak dilakukan di negerinya sendiri.
Dan hukuman pengasingan ini tidak boleh diperpanjang
waktunya. Sebab tidak ada nash yang menerangkan batas
maksimal bagi sanksi pengasingan. Meski demikian,
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 219
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tatkala menjatuhkan sanksi pengasingan bagi pezina (laki-


laki dan perempuan) yang statusnya ghairu muhshân, syara‘
telah menetapkan selama 1 tahun lamanya. Dan meskipun
nafiy bukanlah had yang wajib (dalam kasus zina), akan
tetapi Imam boleh menyandarkan pengasingan kepada
jilid, meskipun syara‘ tidak menjadikannya lebih dari 1
tahun. Meskipun ini juga tidak menunjukkan batas
hukuman maksimal bagi pengasingan, akan tetapi syara‘
mengijinkan selama 1 tahun.

Selain itu tidak ada nash yang melarang menjatuhkan


sanksi pengasingan lebih dari waktu tersebut. Namun
dengan syarat batas waktu tersebut tidak dianggap mukim
(menetap) menurut kebiasaan. Sebab, hal ini--mukim--akan
melenyapkan makna pengasingan itu sendiri, yakni
(membuang dan mengucilkan, peny.). Dan pengasingan
hanya terjadi di dalam batas Daulah Islamiyyah saja.
Dengan kata lain, pengasingan tidak boleh dilakukan ke
luar batas Daulah Islamiyyah. Sebab, hal ini telah keluar
dari negeri Islam menuju negeri kufur. Lebih baik, negara
menetapkan tempat tertentu untuk pengasingan.

Ada yang mengatakan bahwa, ‖Abu Zinâd telah diasingkan


manusia ke Bâdli‘, salah satu tempat di negeri Habasyah;
dengan demikian, jarak yang paling jauh, Tihamah (Mekah) -
Yaman.‖ Karena pengasingan adalah sanksi , maka yang
tepat adalah, bahwa sanksi pengasingan harus bisa
menjadi sanksi pencegah. Diriwayatkan dari Hasan dari
Zuhri tentang pengasingan para perompak, bahwa mereka
mengasingkan perompak tersebut, yakni mengusir mereka
dari kota, dan dari negeri mereka. Mereka tidak dibiarkan
tinggal di suatu negeri, yakni mereka tidak diperbolehkan
menetap di suatu negeri, dan dipindah-pindahkan dari
satu negeri ke negeri lain. Namun, pendapat semacam ini
telah menjadikan terpidana seperti orang yang sedang
melakukan safar (bepergian).

220 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Dengan demikian, pengasingan yang paling tepat untuk


dijadikan sanksi haruslah berupa pengusiran, yang bisa
mengucilkan seseorang, supaya pengusiran tersebut benar-
benar menyakitkan terpidana, sehingga sanksi tersebut
bisa berfungsi sebagai pencegah.

5. Al-Hijri, pemboikotan; yakni seorang penguasa


menginstruksikan masyarakat untuk tidak berbicara dengan
seseorang dalam batas waktu tertentu. Ini dilakukan
berdasarkan dalil pada peristiwa yang menimpa tiga orang
sahabat yang tidak turut berperang. Ketika mengetahui hal itu,
Rasulullah saw. melarang kaum Muslim untuk berbicara
dengan mereka. Ini merupakan sanksi bagi mereka. ‗Umar
pun pernah menghukum Shabigh dengan menjilidnya,
mengusirnya, dan memerintahkan masyarakat untuk tidak
berbicara dengannya. Namun demikian, sanksi ini
diberlakukan jika sanksi tersebut bisa menjadi pencegah; yakni
bagi mereka yang memiliki perasaan. Substansi al-hijri
(pemboikotan) bisa diterapkan kepada mereka. Sedangkan
orang yang memiliki perasaan lemah, maka sanksi semacam
ini tidak akan ―membuat dirinya jera‖. Oleh karena itu, sanksi
semacam ini tidak akan diterapkan kepada mereka.

6. Salib. Sanksi ini berlaku dalam satu kondisi, yaitu jika sanksi
bagi pelaku kejahatan adalah hukuman bunuh. Maka ia boleh
dijatuhi hukuman salib. Ini berdasarkan firman Allah Swt.:
 
―hanyalah mereka dibunuh atau disalib,‖ (QS al-Mâidah [5]:
33)

Lafadz ―au‖ (atau) di sini bermakna ―wawu‖ (dan), yakni


dibunuh dan disalib, atau dibunuh tetapi tidak dengan
penyaliban. Namun, penyaliban tidak boleh dijadikan
sebagai sanksi yang berdiri sendiri. Sebab, hal itu
merupakan penyiksaan. Nabi saw. telah melarang
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 221
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menyiksa binatang. Oleh karena itu pelarangan (menyiksa)


kepada manusia lebih utama lagi. Adapun pendapat
mereka yang menyatakan, bahwa Nabi saw. pernah
menyalib seseorang sebagai ta‘zîr, namun mereka tidak
menyebutkan sanadnya. Sedangkan ayat yang menjelaskan
tentang salib telah menetapkan salib setelah prosesi
pembunuhan. Dalam hal ini, hukum syara‘ telah
menyatukan sanksi tersebut dengan pembunuhan, atau
adanya pembunuhan dengan cara selain penyaliban.

Tak seorangpun boleh menyatakan bahwa sanksi bagi


perompak (quthaa‘ al-thâriq) hanya disalib saja. Dengan
begitu, hukuman salib (yang berdiri sendiri, pent.) tidak
boleh dijadikan sebagai bagian dari sanksi, akan tetapi
penyaliban diberlakukan bagi orang yang dijatuhi
hukuman bunuh. Dan bagi orang tersebut (yang dijatuhi
hukuman bunuh), boleh dijatuhi dengan hukuman bunuh
dan salib. Dengan demikian, hukum penyaliban selalu
bergandengan dengan hukum bunuh. Maka dalam kondisi
semacam ini (tatkala dijatuhkan hukuman bunuh) maka
sanksi penyaliban bisa diberlakukan.

7. Ghuramah (ganti rugi), yakni hukumam bagi orang yang


berdosa dengan cara membayar harta sebagai sanksi atas
dosanya. Sanksi ini telah ditetapkan dalam sunnah. Nasâ‘iy
telah meriwayatkan dalam hadisnya ‗Amrû bin Syu‘aib dari
bapaknya dari kakeknya, ―Rasulullah saw. ditanya tentang
(pencurian) kurma yang masih menggantung. Kemudian Rasulullah
saw. menjawab, ―Barangsiapa mengambil dengan mulutnya tanpa
bermaksud menyembunyikannya, maka ia tidak dikenai sanksi apa-
apa, barangsiapa membawanya, maka ia harus mengembalikan dua
kali lipat (dari nilai buah yang dicurinya) dan (dipikul) sebagai
balasan (sanksi). Nasâ‘iy menambahkan di akhir hadis, ―dan jika
belum senilai dengan nilai (harga) sebuah perisai, maka ia harus
memberi ganti rugi yang sepadan, sebagai hukuman baginya.‖

222 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Demikian pula, ta‘zîr bagi orang yang tidak mau membayar


zakat, adalah dengan mengambil hartanya. Semua ini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah menjatuhkan
sanksi ganti rugi (ghuramah) pada kasus ta‘zîr. Dan selama
tidak dijelaskan batas ganti ruginya, maka penetapan kadar
ganti ruginya diserahkan kepada Khalifah, atau diserahkan
kepada qadliy jika khalifah tidak menetapkan kadar ganti
ruginya dalam kasus tersebut. Jika pelaku dosa tidak
membayar ganti rugi (ghuramah), apakah ia dipenjara
sesuai dengan tingkat dosanya, ataukah dia dimaafkan?
Jawabnya, jika seseorang telah divonis oleh qadliy dengan
sebuah sanksi tertentu, maka ia tidak boleh dikenakan
juga dengan sanksi yang lain. Sebab, ketetapan qadliy wajib
dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah ia putuskan.
Oleh karena itu, pelaku dosa tersebut tidak akan dipenjara
sebagai ganti atas sanksi ghuramah (ganti rugi), dan ia juga
tidak dimaafkan. Sebab, pemaafan (pengampunan) akan
menghapuskan vonis dari qadliy.

Dan apabila seorang qadliy telah menetapkan sanksi


tertentu, maka ia tidak boleh menganulir ketetapannya.
Dalam kondisi semacam ini, yakni dalam kondisi pelaku
dosa tidak mampu membayar ghuramah (ganti rugi) yang
lebih tepat adalah denda harus diambil dari harta yang ada
padanya, itupun jika ada. Namun jika ternyata tidak ada,
maka ditunggu sampai ia memiliki harta, baru kemudian
ghuramah (ganti rugi) tersebut diserahkan kepada Daulah.

8. Melenyapkan harta. Yakni menghancurkan harta benda


sampai rusak dan habis, agar tidak bisa dimanfaatkan lagi. Hal
ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
terhadap patung-patung yang tergantung di Ka‘bah. Beliau
memerintahkan agar patung-patung tersebut dihancurkan dan
dilenyapkan. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum
Muslim tatkala turun ayat tentang pelarangan khamr. Mereka
menumpahkan khamr yang mereka miliki dari tempayan-

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 223


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tempayan khamr, kemudian mereka menghancurkan


tempayan-tempayan itu. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. telah
memerintahkan untuk menumpahkan khamr dan
menghancurkan wadah-wadahnya. Hal tersebut juga dilakukan
oleh para sahabat. Diriwayatkan bahwa ‗Umar telah
menumpahkan susu palsu (susu yang dicampur dengan air,
peny.).

9. Mengubah bentuk barang; yakni dengan mengubah


bentuknya atau sifatnya. Diriwayatkan dari Nabi saw.,

«
―Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang merusak mata uang yang
diijinkan beredar diantara kaum Muslim, baik dirham maupun
dinar, kecuali jika menimbulkan bencana (kerusuhan). Dan jika
terjadi demikian (kerusuhan), maka mata uang tersebut dirusak.‖

Maksudnya, Rasulullah saw. melarang merusak potongan uang


perak dan emas, kecuali jika dipalsukan. Dan jika kemudian
terjadi pemalsuan, maka secara otomatis, sebagai sanksinya
beliau merusaknya, dan menjatuhkan sanksi kepada
pemalsunya. Rasulullah saw. juga pernah memotong kepala
patung sehingga mirip dengan pohon. Demikian pula, jika
mata uang tersebut bergambar sesuatu yang diharamkan, maka
uang tersebut harus diubah dengan bentuk yang bisa
menghilangkan keharamannya. Adapun orang yang
melakukan perbuatan itu harus dikenai sanksi berdasarkan
pendapat dan keputusan qadliy.

10. Tahdîd ash-Shâdiq; (ancaman yang nyata); yakni pelaku dosa


diancam dengan sanksi jika ia mengerjakan tindak dosa.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa
beliau saw. pernah bersabda,

224 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

« »
―Allah menyayangi seseorang yang menggantungkan cemetinya agar
keluarganya melihatnya..‖

11. Wa‟dh (Nasihat), yakni seorang qadliy menasihati pelaku dosa


dengan menakut-nakutinya dengan adzab Allah Swt. Dalilnya
adalah firman Allah Swt.:
 
―Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka― (QS an-Nisâ‟ [4]: 34)

12. Hurmân, (pencabutan); yakni menghukum pelaku dosa


dengan pencabutan pada sebagian hak yang bersifat mâliyyah.
Semisal, menghentikan nafkah kepada pihak yang
membangkang (nâsyiz), atau mencabut barang rampasan
(pihak yang terbunuh), juga mencabut bagiannya dalam harta
kepemilikan umum, dan sebagainya.

13. Tawbîkh, (pencelaan); yakni mencela pelaku dosa dengan


kata-kata. Tawbîkh telah ditetapkan dalam as-Sunnah. Abû
Dzar pernah meriwayatkan bahwa ia mencela seorang laki-laki,
dengan menyebut ibunya. Kemudian Rasulullah saw.
bersabda,
« »
“Wahai Abu Dzar apakah engkau telah mencela dengan menyebut
ibunya? Sungguh engkau telah melakukan perbuatan jahiliyyah.‖

Ada seorang budak telah melaporkan ‗Abdurrahman bin ‗Auf


kepada Rasulullah saw. Namun kemudian ‗Abdurrahman menjadi
sangat marah, lalu ia mencela laki-laki itu dengan kata-katanya,
―Wahai anaknya Sauda‘ (wanita hitam).‖ Rasulullah saw. sangat
marah terhadap kasus tersebut, kemudian beliau mengangkat
tangannya dan berkata, ―Tidak ada kelebihan bagi anak yang putih
atas anak yang hitam, kecuali pada kebenaran.‖ Merahlah muka
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 225
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

‗Abdurrahman bin ‗Auf, dan ia menjadi sangat takut (dan lemas),


kemudian ia menempelkan telinganya di tanah, dan ia berkata
kepada budak tersebut, ‖Pukullah sampai engkau ridlo.‖

Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw. mencela dua laki-laki


yang melanggar larangan beliau tatkala beliau melarang
minum air sumur hingga beliau datang. Teguran dan
celaan merupakan bagian dari sanksi ta‘zîr. Hal itu juga
pernah dilakukan oleh para sahabat ra. Diriwayatkan dari
‗Umar bahwa beliau pernah mencela ‗Ubadah bin Shamit
dengan mengatakan kepadanya, ―Wahai orang yang paling
bodoh.‖ Atas dasar ini qadliy boleh mencela orang yang
melakukan perbuatan dosa. Namun demikian, hal itu
bukanlah sekadar celaan dari pribadi qadliy, akan tetapi itu
memang dijadikan sanksi yang dijatuhkan qadliy atas
pelaku dosa. Tidak ada kata-kata tertentu untuk sanksi
pencelaan. Akan tetapi semua kata yang dianggap sebagai
bentuk celaan boleh digunakan oleh qadliy atau penguasa,
kecuali kata-kata yang dianggap sebagai tuduhan. Sebab,
kata-kata semacam ini (tuduhan) tidak boleh digunakan.
Itu disebabkan, adanya larangan menuduh yang bersifat
umum, yang mencakup penguasa dan yang lainnya.

14. Tasyhîr; (publikasi); yakni mempublikasikan orang yang


dikenai sanksi untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat
terhadap orang tersebut. Atau, mengumumkan kejahatan
pelaku kriminal kepada masyarakat, memperingatkan
masyarakat terhadap orang tersebut, serta menelanjangi
kejahatan-kejahatannya berdasarkan bukti-bukti yang akurat.
Dasar dari penetapan sanksi tasyhîr ini adalah firman Allah
Swt.:
 
―...dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.‖ (QS an-Nûr
[24]: 2)

226 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Maksud dari ayat tersebut adalah mempublikasikan


keduanya. Oleh karena itu, dengan dihadirinya oleh
khalayak ramai pada saat penjatuhan sanksi keduanya
dengan jilid, akan terjadi pencelaan, teguran, dan
penelanjangan keburukan-keburukannya. Hal-hal yang
menunjukkan sanksi tasyhîr telah disebutkan dalam as-
Sunnah. Imam Bukhâri meriwayatkan dari Abi Humaid al-
Sâ‘idiy, bahwa ia berkata, ―Bahwa Nabi saw. telah
mengangkat seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Ibnu
Luthiyah untuk mengurusi zakat Bani Sulaim, maka tatkala ia
melapor kepada Rasulullah saw., beliau saw. menanyainya.
Laki-laki itu berkata, ―Ini untukmu, sedangkan ini merupakan
hadiah yang dihadiahkan untukku,‖ Rasulullah saw. kemudian
berdiri di atas mimbar. Sofyan berkata, ―Kemudian Rasulullah
saw. berdiri di atas mimbar, memuji Allah, dan memuji atas
dirinya, kemudian beliau bersabda, ―Kami telah mengutus
seorang menjadi amil, kemudian ia datang dan berkata, ―Ini
untuk kamu, dan ini untukku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk
saja di rumah bapak dan ibunya sampai hadiah itu dihadiahkan
kepadanya atau tidak.‖ Demi Dzat yang jiwa Muhammad di
tangan-Nya, tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu—(dengan
cara keji.pentj); kecuali kelak di hari akhir akan menghadap
Allah dan akan memikulnya di atas pundaknya. Jika sesuatu itu
unta, maka ia akan mengeluarkan suaranya, atau sapi, maka ia
akan mengeluarkan lenguh, atau domba yang akan
mengeluarkan embikan.‖ Kemudian beliau mengangkat
tangannya hingga terlihat putih ketiaknya,‖Bukankah telah aku
sampaikan‖ Beliau ucapkan sebanyak 3 kali.‖

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah


mempublikasikan orang yang mengambil bagian harta
kepemilikan umum, dan orang yang mengambil hadiah
karena kedudukannya sebagai wali atau amil, maka Allah
kelak akan menyiksanya di hari kiamat dengan
mengungkap kejelekannya, dan akan datang dengan
membawa harta yang ia ambil; jika unta ia akan bersuara,
jika sapi akan ia akan melenguh, atau jika kambing maka
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 227
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ia akan mengembik. Peristiwa di atas adalah bentuk


penelanjangan kejelekan-kejelekan para wali, dengan
bukti-bukti yang jelas di hadapan pengadilan massal
(besar). Oleh karena itu, tasyhîr termasuk bagian dari
sanksi yang dijatuhkan Allah Swt. Tidak ada nash yang
menunjukkan bahwa tasyhîr adalah sanksi khusus--yang
hanya boleh dijatuhkan--Allah, sebagaimana sanksi dengan
membakar.

Hadis di atas bahkan telah menunjukkan bahwa penguasa


boleh menghukum pelaku dosa dengan tasyhîr. Telah
diriwayatkan dari ‗Umar bin Khaththab bahwa beliau
pernah men-tasyhîr‘ dengan jalan mengarak seseorang--
dengan cara berkeliling--di hadapan banyak orang. Telah
diriwayatkan pula dari qadliy-qadliy terkenal, bahwa mereka
pernah menjatuhkan hukuman dengan tasyhîr. Qadliy
Syuraih telah menghukum dengan tasyhîr. Qadli Syuraih
adalah qadliy yang hidup pada masa ‗Umar bin Khaththab
dan ‗Ali bin Abi Thalib. Dan beliau termasuk salah satu
qadliy yang terkenal.

Ini adalah jenis-jenis sanksi ta‘zîr yang ditetapkan oleh


syara‘, sekaligus sebagai dalil bolehnya seorang penguasa
menjatuhkan hukuman dengan salah satu sanksi-sanksi tersebut di
atas. Selain sanksi-sanksi tersebut penguasa tidak boleh
menjatuhkannya sebagai sanksi, meskipun tidak ada nash dari
syâri‘ yang melarangnya. Itu disebabkan, sanksi adalah perbuatan,
sehingga harus ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Tidak
bisa dinyatakan bahwa, untuk menjatuhkan sanksi dengan sanksi-
sanksi tertentu itu (--sanksi yang tidak disebutkan dalam nash
syara‘) harus ada dalil yang melarangnya. Tidak bisa dinyatakan
demikian, sebab asalnya adalah tidak adanya sanksi. Dengan
begitu, menjatuhkan sanksi dengan sanksi-sanksi tertentu itulah
yang sebenarnya membutuhkan dalil.
Adapun asalnya adalah tidak ada sanksi. Demikian itu karena
dalil-dalil yang bersifat umum telah menunjukkan tentang

228 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kemuliaan manusia dan adanya larangan tidak boleh


menyakitinya. Itu sebabnya, sanksi tertentu yang hendak
dijatuhkan kepada manusia harus ditopang oleh dalil yang
membolehkan menjatuhkan sanksi tersebut kepada manusia.
Dan selama tidak ada dalil yang menunjukkan kebolehan--
menjatuhkan sanksi dengan sanksi tersebut--maka sanksi
tersebut tidak boleh dijatuhkan.
Tidak boleh pula dikatakan bahwa ta‘zîr telah diserahkan
kepada penguasa secara mutlak tanpa ada batas. Penguasa berhak
men-ta‘zîr seseorang dengan sanksi yang sudah diketahuinya
tentang perbuatan pelaku tersebut. Tidak boleh dinyatakan
demikian, sebab yang diserahkan kepada penguasa hanyalah
penetapan ukuran sanksinya, dan tidak diserahkan kepada
penguasa selain hal tersebut. Tatkala syâri‘ telah ikut campur
tangan dalam masalah sanksi-sanksi, Allah telah menetapkan jenis
sanksi-sanksinya, yakni telah menetapkan jenis-jenis sanksi yang
akan digunakan sebagai hukuman. Dengan begitu, qadliy terikat
dengan sanksi-sanksi semacam ini--(yakni sanksi yang telah
ditetapkan jenisnya oleh syâri‘); dimana dengan penetapan syâri‘
terhadap jenis-jenis sanksi ini telah membatasi qadliy dengan jenis-
jenis sanksi ini.
Dengan demikian, qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi
dengan selain sanksi-sanksi tersebut—yakni sanksi yang telah
disebutkan dalam nash. Namun demikian, qadliy boleh memilih
salah satu sanksi yang ia pandang dapat berfungsi sebagai
pencegah. Atas dasar ini, tatkala penguasa menjatuhkan sanksi
ta‘zîr, maka ia wajib terikat dengan hukum syara‘. Ia tidak boleh
menjatuhkan sanksi kecuali sanksi-sanksi tersebut telah
disebutkan oleh syâri‘. Atas dasar ini pula, penguasa tidak boleh
menjatuhkan sanksi mashâdirah (penyitaan). Sebab, tidak ada nash
yang menerangkan bolehnya menjatuhkan sanksi dengan sanksi
tersebut. Demikian pula tidak boleh dinyatakan, bahwa
mashâdirah mirip dengan al-ghuramah. Sebab mashâdirah adalah
sanksi materi dan termasuk jenis dari ghuramah.
Tidak bisa dikatakan demikian, sebab mashâdirah berbeda
dengan ghuramah. Ghuramah adalah menyerahkan harta sebagai

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 229


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

balasan atas perbuatan dosa. Sedangkan mashâdirah adalah


mengambil dzat barang (harta), yang menjadi sebab terjadinya
tindak kejahatan. Jadi memang mashâdirah ini berbeda dengan
ghuramah. Selain itu, nash syâr‘i tidak ada yang menyebut tentang
sanksi materi, sehingga dikatakan bahwa sanksi ini (mashâdirah)
tercakup di bawah nash-nash syara‘. Meski demikian, nash syar‘iy
hanya menyebutkan sanksi ghuramah, taghyîr al-mâl, itlâf al-mâl, dan
tidak menyebutkan sanksi mashâdirah. Oleh karena itu, dalam
menetapkan sanksi harus terikat dengan apa yang disebutkan oleh
nash, dan tidak boleh di-qiyas-kan. Itu disebabkan, bahwa
penetapan sanksi tersebut tidak mengandung ‗illat yang bisa
digunakan untuk meng-qiyas-kan. Namun, mashâdirah yang
dilakukan dengan cara mencabut kepemilikan harta dari
pemiliknya dengan cara paksa, kemudian harta tersebut dimiliki
oleh negara tanpa melalui sebab-sebab syar‘iyyah, maka tindakan
semacam ini tidak diperbolehkan. 

Fakta-Fakta Ta‟zîr
Sanksi-Sanksi Yang Dilegalisasi

Ta‘zîr adalah sanksi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak


ada had dan kifârat, yakni sanksi-sanksi atas berbagai macam
kemaksiatan yang kadar sanksinya tidak ditetapkan oleh syâri‘.
Namun dalam perkara ini, syâri‘ telah menyerahkan sepenuhnya
hak penetapan kadar sanksi kemaksiatan tersebut kepada qadliy.
Atas dasar ini, maka qadliy akan mempertimbangkan kemaksiatan
tersebut--dengan sifatnya sebagai wakil khalifah dalam masalah
peradilan. Ini berarti, sesungguhnya syâri‘ telah menyerahkan hal
itu kepada khalifah, dan lebih utama lagi bahwa syâri‘ telah
menyerahkan urusan tersebut kepada qadliy. Dengan begitu, kita
bisa memahami bahwa para fuqaha telah merinci hukum-hukum
sanksi. Mereka juga berijtihad, dan melembagakan berbagai
pendapat yang ada. Namun demikian, dalam hal ta‘zîr mereka
hanya membahasnya dalam batas yang masih terlalu umum, dan

230 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tidak menjelaskannya secara terperinci. Itu disebabkan karena,


dalam hal menetapkan sanksi untuk memecahkan berbagai kasus
(ta‘zîr) yang dilaporkan kepadanya, semua diserahkan kepada
qadliy. Padahal, kasus-kasus yang hendak dipecahkan oleh qadliy
selalu berkembang (baru), dan beragam macamnya. Meski
demikian, sanksi-sanksi tersebut adakalanya dilegalisasi, lalu
dibuat kaidah-kaidah baku bagi sanksi-sanksi tersebut. Juga,
kadang-kadang tidak dilegalisasi dan tidak dibuat kaidah baku
baginya.
Kenyataan menunjukkan, bahwa penyerahan sanksi ta‘zîr
kepada qadliy biasanya lebih banyak mencakup (menyelesaikan)
kasus-kasus yang terjadi. Sebab, kasus-kasus ta‘zîr akan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi. Juga, agar
qadliy bisa melakukan proses ijtihad untuk menetapkan sanksi
bagi kasus-kasus yang terjadi. Selain itu agar qadliy juga bisa
melakukan penelitian baru untuk mengkaji kasus-kasus baru yang
sedang terjadi. Sebab penyerahan perkara tersebut kepada qadliy
merupakan suatu langkah yang bijak dan tepat. Namun demikian,
hal itu bisa terlaksana tatkala qadliy-qadliy tersebut
memberlakukan hukum-hukum syara‘, dan memang mereka telah
terbiasa menjalankan hukum-hukum tersebut, serta telah
menguasai peradilan, atau meraka telah memiliki penguasaan fiqh
dalam batas minimal.
Adapun bagi qadliy sekarang, di akhir abad ke 14 Hijriyah
(tahun 1385 H), dan pertengahan kedua abad 20 Masehi, kaum
Muslim telah menerapkan hukum-hukum praktis dari Barat
dalam kasus-kasus peradilan hampir lebih dari setengah abad.
Dengan demikian, mereka telah menjauh dari hukum-hukum
syara‘, dan mereka tidak mampu lagi menggambarkan mekanisme
peradilan Islam. Tak terkecuali qadliy-qadliy yang duduk di
Mahkamah Peradilan. Mereka bahkan tidak berupaya
menerapkan hukum-hukum syara‘ dalam peradilan. Selain itu,
mereka malah tidak berusaha mempelajari hukum-hukum syara‘
kecuali sangat sedikit. Sebaliknya mereka hanya mempelajari
hukum-hukum Islam dengan pembelajaran yang hanya bersifat
teoritis--sebatas maklumat saja--bukan sebagai undang-undang dan
hukum.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 231
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Oleh karena tidaklah bijak, menyerahkan urusan ta‘zîr


kepada qadliy-qadliy semacam ini seluruhnya. Sebab, hukum
tersebut diserahkan kepada orang-orang yang tidak memahami
hukum syara‘ dalam masalah pidana-pidana (sanksi-sanksi),
ironinya mereka justru pakar dengan aturan-aturan pidana kufur.
Lebih dari itu, perasaan kaum Muslim--tidak terkecuali pada para
pakar hukum (termasuk di dalamnya para qadliy)--telah dipenuhi
oleh sebuah perasaan yang telah lama mendominasi masyarakat,
yakni perasaan untuk menetapkan baik dan buruk berdasarkan
akal, dan mencampakkan perasaan-perasaan syar‘iy. Akibatnya,
mereka memandang sanksi ―salib‖ dan ―hasyiyah‖, serta hukum
potong tangan bagi pencuri, adalah perilaku yang tidak
manusiawi. Begitupun dengan pelaksanaan hukuman dengan cara
memanggang paku di atas api kemudian ditusukkan (hukum kay)
pada mata adalah perilaku yang biadab. Dengan begitu, maka
tidaklah benar menyerahkan penetapan kadar sanksi kepada
orang-orang yang memiliki perasaaan-perasaan semacam ini.
Selain itu, ada kejahatan-kejahatan keji yang telah terbukti
kekejiaannya, sedangkan kejahatan-kejahatan keji semacam ini
tidak akan bisa dicegah kecuali dengan sanksi yang berat. Dengan
demikian, jika kasus-kasus semacam ini diserahkan kepada qadliy-
qadliy tersebut, sedangkan mereka tidak terbiasa memandang
politik sebagai aktivitas untuk mengoreksi penguasa dan juga
sebagai aktivitas praktis untuk mengatur kekuasaan, maka
peradilan yang diserahkan kepada mereka tidak akan pernah
berdaya. Atas dasar itu, seorang qadliy adakalanya harus
menetapkan sanksi-sanksi yang berat agar tercapai motif
pencegahan (al-zajr). Adakalanya juga seorang qadliy harus
menetapkan hukuman bagi orang yang mempropagandakan
nasionalisme dengan hukuman jilid (dera) dan penjara 10 tahun
lamanya. Bahkan kadang-kadang ia juga harus menetapkan
hukuman bunuh bagi orang yang mendirikan partai yang berdiri
di atas dasar nasionalisme.
Sanksi-sanksi yang diputuskan dan dijatuhkan para qadliy
yang tidak mampu memberikan pencegahan, menjadikan
kejahatan-kejahatan yang sangat besar itu akan semakin
merajalela. Dengan begitu, proteksi terhadap kiyan al-ummah
232 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

(institusi umat), mengharuskan untuk tidak menyerahkan


penetapan ukuran sanksi semacam itu (ta‘zîr) kepada para qadliy
tersebut (qadliy yang tidak memahami peradilan Islam, dan
memiliki perasaan bukan Islam, pentj.). Atas dasar ini, maka
seorang khalifah harus men-tabanni (melegalisasikan) sanksi-sanksi
tertentu bagi kasus-kasus ta‘zîr tertentu--hingga batas waktu
tertentu pula--sampai pemahaman-pemahaman dan perasaan-
perasaan mayoritas kaum Muslim bisa diperbaiki.
Meski demikian, ketika sanksi-sanksi tertentu bagi kasus-kasus
ta‘ziriyyah tertentu telah dilegalisasikan. Harus dipahami bahwa
sanksi-sanksi ta‘ziriyyah berbeda dengan sanksi-sanksi hudûd dan
qishâsh yang tidak dibeda-bedakan karena perbedaan manusia.
Sedangkan sanksi ta‘ziriyyah tabi‘atnya dibedakan karena
perbedaan manusia. Syara‘ telah menetapkan bahwa sanksi-sanksi
ta‘zîr boleh dibeda-bedakan karena perbedaan manusia. Dalilnya,
dari ‗Aisyah ra , bahwa beliau saw. bersabda, ―Peringanlah bagi
orang yang berlakuan baik, kecuali dalam masalah hudûd.‖
Nabi saw. bersabda kepada orang-orang Anshor,
―Maafkanlah orang muhsin diantara mereka, dan bersikap
keraslah terhadap orang-orang yang berperilaku buruk diantara
mereka.‖
Ini berarti, orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya
telah berbuat maksiat, atau orang yang taat dan bertakwa akan
dijatuhi sanksi yang lebih ringan. Dari az-Zuhri dan Qabishah bin
Du‘aib, bahwa Nabi saw bersabda, ―Barangsiapa meminum
khamr, maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi, jilidlah ia, jila ia
mengulangi lagi untuk yang ketiga kalinya, atau keempat kalinya,
maka bunuhlah dia.‖
Abû Hurayrah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau
saw. pernah berkata kepada pencuri, ―Jika ia mencuri, potonglah
tangannya, kemudian jika ia mencuri lagi, maka potonglah
kakinya.‖
Ini berarti, bahwa orang-orang yang mengulang-ulang
perbuatan maksiatnya, yang disebut dengan ashhâb as-sawâbiq
(orang yang suka mengulangi perbuatan maksiatnya), sanksinya
harus diperberat. Dengan demikian, jelaslah bahwa penetapan
ukuran sanksi taz‘îr tidak boleh menjadi sanksi permanen yang
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 233
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

tidak boleh ditambah atau dikurangi bagi kasus-kasus tertentu.


Sebaliknya, seorang qadliy harus menetapkan batas maksimal bagi
sanksi tersebut, di mana seorang qadliy tidak boleh melampaui
batas yang telah ditetapkan. Setelah itu, ia diberi keleluasaan
untuk menetapkan sanksi selain sanksi yang telah ditetapkannya
tadi, sesuai dengan kepribadian seseorang, dan dosanya. Sanksi
paling maksimal harus dijatuhkan bagi orang-orang yang suka
mengulang-ulang kejahatan-kejahatannya, dan juga atas kejahatan-
kejahatan besar. Namun bila yang terjadi sebaliknya (orang yang
tidak menyadari bahwa ia telah berbuat maksiat atau orang yang
takwa, peny.), maka sanksi yang paling ringan yang harus
dijatuhkan kepadanya sesuai dengan apa yang telah ia tetapkan--
sekadar dengan kepribadian yang dimiliki seseorang dan tingkat
kejahatan-kejahatan yang terjadi.
Oleh karena itu, hendaknya penetapan ukuran sanksinya
diserahkan sepenuhnya kepada qadliy, namun ia hanya
memperhatikan batas paling tingginya saja (sanksi maksimalnya).
Kemudian persoalan yang muncul adalah, apakah qadliy harus
memperhatikan batas sanksi terendahnya juga? Jawabnya,
penyebutan batas minimal sanksi bukanlah penyebutan yang
bersifat umum. Sebab, adakalanya juga seorang qadliy telah
menetapkan bahwa sanksi bagi sebuah kejahatan adalah hukuman
penjara selama tiga tahun, sedangkan bagi orang yang bertakwa
dan mulia yang tergelincir melakukan kejahatan yang sama, cukup
dikenai sanksi peringatan saja.
Dengan begitu, yang lebih tepat adalah, seorang qadliy
tidak perlu memperhatikan batasan minimalnya. Selain itu, pada
beberapa kasus ada kejahatan-kejahatan yang tidak boleh
memberikan belas-kasihan kepada pelakunya. Allah Swt. telah
berfirman tentang kasus perzinaan:
 
―..dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah,‖ (QS an-Nûr [24]: 2)

Meski demikian, Allah Swt. tidak menyatakan hal ini


(tidak boleh bersikap iba), untuk sanksi pencurian. Dengan
234 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

begitu, ada kejahatan-kejahatan yang tidak boleh bagi kita untuk


menunjukkan atau memberikan belas-kasihan kepada pelakunya.
Dikhawatirkan bila ternyata ada qadliy yang tidak mengetahui hal
ini, kemudian ia memberikan belas-kasihan dalam kasus semacam
ini--terutama pada orang-orang yang bertakwa dan mulia. Oleh
karena itu, pada sanksi-sanksi bagi beberapa kejahatan, lebih
utama harus ditetapkan batas minimalnya dengan sengaja, supaya
sanksi bagi kejahatan-kejahatan semacam ini secara substantif bisa
mencegah pelaku kejahatan dan juga bagi masyarakat.
Akan tetapi, meskipun ada baiknya dilakukan tabanni
terhadap sanksi-sanksi tertentu untuk kasus-kasus tertentu dalam
kasus ta‘zir, namun sayangnya sanksi-sanksi tersebut tidak
ditetapkan dengan perincian-perinciannya, yakni dengan
menyebutkan kasus-kasusnya beserta cabang-cabangnya. Tetapi
cukup hanya dipaparkan dalam bentuk global saja. Sebab, kasus-
kasus tersebut akan terus berkembang dan kompleks. Oleh karena
itu, jika tidak ada ketetapan yang bersifat global--yang tidak
mencakup kasus-kasus baru dan kompleks tersebut--maka
ketetapan itu akan menjadi lemah, dan otomatis akan
menyulitkan qadliy tatkala ia hendak memutuskan suatu sanksi.
Sebab, adakalanya malah dikhawatirkan akan menjauhkan
qadliy untuk menetapkan sanksi yang bisa berfungsi sebagai
pencegah. Juga, jika kasus-kasus yang dilegalisasikan tidak
berbentuk garis-garis besar, akan menjauhkan qadliy dari ijtihad.
Padahal, ijtihad adalah pencurahan segenap tenaga (kemampuan)
untuk memahami nash. Sedangkan nash yang mudah dalam
memahami dan menerapkannya pada kasus-kasus tertentu, tidak
membutuhkan upaya pencurahan kemampuan. Oleh karena itu,
sanksi-sanksi yang dilegalisasikan harus dituangkan dalam bentuk
garis-garis besar, bukan per kasus beserta cabang-cabangnya. 

Jenis-Jenis Kasus Ta‟zîr

Sesungguhnya, mengklasifikasikan kasus-kasus ta‘zîr dalam


klasifikasi-klasifikasi tertentu sangatlah sulit. Mengingat bahwa
pelanggaran-pelanggaran sangatlah beragam dan banyak. Selain
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 235
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

itu, jika realitas kehidupan berkembang, juga akan berdampak


pada munculnya kejahatan-kejahatan yang semakin kompleks,
yakni munculnya kejahatan-kejahatan yang belum pernah
dijumpai sebelumnya. Dari sini, timbul kesulitan untuk
mengklasifikasi jenis-jenis pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Selain itu, ta‘zîr berbeda dengan hudûd. Artinya, pada umumnya,
ta‘zîr terjadi pada kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran
sanksinya oleh syara‘. Oleh karena itu, penetapan sanksi ta‘zîr
lebih baik didasarkan pada status sanksi atas kasus-kasus sejenis
yang memang telah diklasifikasi jenis kasusnya. Kemudian, kasus-
kasus yang mungkin bisa dimasukkan ke dalamnya dimasukkan,
jika tidak mungkin, maka lebih baik diserahkan kepada kebijakan
qadliy. Atas dasar ini, kasus ta‘ziriyyah yang telah ditetapkan
sanksi-sanksi tertentunya, secara umum dibagi dalam 7 jenis
berikut ini:

1. Pelanggaran terhadap kehormatan (harga diri)


2. Pelanggaran terhadap kemuliaan
3. Perbuatan yang merusak akal
4. Pelanggaran terhadap harta
5. Gangguan keamanan
6. Subversi, dan
7. Perbuatan yang berhubungan dengan agama. 

PELANGGARAN TERHADAP KEHORMATAN


Garis-garis besar mengenai pelanggaran terhadap pelanggaran
adalah sebagai berikut:

Perbuatan-Perbuatan Cabul
1. Setiap orang yang berusaha melakukan zina dengan
perempuan, atau berusaha melakukan homoseksual
dengan laki-laki, namun tidak sampai melakukan dosa
besar (berzina/homoseksual). Dan seandainya tidak
sampai melakukan kejahatan tersebut (zina/homoseksual),
maka ia akan diberi sanksi penjara selama 3 tahun,
ditambah dengan jilid dan pengusiran. Jika korban
236 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

kejahatan (pencabulan itu) adalah orang yang berada di


bawah kendalinya; seperti pembantu perempuan atau
pembantu laki-lakinya, atau pegawai laki-laki atau
perempuan yang ia miliki, atau yang lain, maka bagi
pelaku akan dikenakan sanksi yang paling masksimal. Baik
laki-laki maupun wanita yang melakukan perbuatan
tersebut akan dikenakan sanksi yang sama, jika
melakukannya tanpa ada paksaan.
2. Barangsiapa membujuk dengan harta atau dinjanjikan
akan dinikahi, atau dengan bujukan yang lainnya,
kemudian ia menggauli wanita itu, seperti layaknya
menggauli istrinya, serta melakukan perbuatan seperti
halnya perbuatan yang dilakukan seorang suami terhadap
istrinya--kecuali bersetubuh--maka akan dikenakan sanksi
penjara sampai 4 tahun lamanya. Siapa saja yang
melakukan hal tersebut dengan mahramnya, meskipun
tanpa ada bujukan, maka akan dikenakan sanksi penjara
sampai 10 tahun lamanya, ditambah dengan hukuman
dijilid dan diasingkan. Seorang wanita juga akan diberi
sanksi serupa jika melakukan perbuatan tersebut dengan
mahramnya. Barangsiapa memerintah seorang wanita atau
laki-laki untuk melakukan perkara-perkara yang melanggar
adab, atau memaksa keduanya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan cabul; merayu keduanya dengan kata-
kata cabul, maka akan dikenakan sanksi penjara 6 bulan
sampai 2 tahun. Orang yang diperintah akan dikenakan
sanksi serupa jika ia melakukan perintah tersebut.
3. Barangsiapa mengeluarkan perintah untuk memperdaya
wanita atau laki-laki dengan pekerjaan fiktif, atau dengan
kekerasan, ancaman, atau pemberian uang atau yang
lainnya, maka akan pelakunya akan dikenakan sanksi
penjara hingga 3 tahun dan dijilid. Dan orang yang
memperdaya wanita atau laki-laki tersebut akan dikenakan
sanksi serupa.
4. Siapa saja yang mendorong seseorang atau lebih, baik laki-
laki maupun wanita untuk melakukan dosa dan
kerusakan, atau memudahkan, atau membantunya (untuk
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 237
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

melakukan dosa dan kerusakan), maka akan diberikan


sanksi penjara hingga 2 tahun lamanya. Orang yang
terdorong untuk melakukan dosa dikenai sanksi serupa
jika ia menerima dorongan tersebut.
5. Setiap orang yang memudahkan orang lain untuk berzina
atau melakukan liwath (homoseksual)—dengan sarana
apapun dan dengan cara apapun, baik dengan dirinya
sendiri atau orang lain, tetap akan dikenakan sanksi
penjara sampai 5 tahun dan dijilid. Jika orang tersebut
adalah suami atau mahramnya, maka sanksinya diperberat,
yakni dipenjara hingga 10 tahun.
6. Setiap orang yang menginapkan wanita asing atau seorang
wanita yang menginapkan laki-laki asing di rumahnya,
namun kemudian ia pergi dengan segera, maka akan
dikenakan sanksi hukuman penjara 6 bulan hingga 1
tahun.
7. Jika ada dua orang saling menghina, sementara keduanya
tidak memiliki bukti faktanya, maka keduanya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.
8. Setiap orang yang bercumbu rayu dan bersenda gurau
sambil tidur (berduaan); baik laki-laki maupun
perempuan--tapi tidak sampai melakukan jima‘, maka akan
dikenakan sanksi penjara hingga 4 tahun. Barangsiapa
melakukan perbuatan tersebut dengan mahramnya, maka
akan dikenakan sanksi penjara 10 tahun, ditambah
hukuman jilid, dan akan diasingkan. Jika tidak sampai
terlena dan tidur, maka hanya akan dikenakan sanksi
penjara selama 2 tahun. Dan orang yang dicumbuinya
akan dikenakan sanksi serupa, yakni dipenjara selam 2
tahun jika terbukti melayani ajakan dari tersangka.
9. Jika seorang wanita menari dengan maksud jelek (jahat);
dalam bentuk yang melanggar adab umum, di dalam
tempat yang terbuka, atau mirip terbuka yang mudah
dilihat oleh masyarakat, maka si penari tersebut akan
dikenakan sanksi—jika penari tersebut melakukannya atas
pilihannya (kehendak sendiri), maka akan dipenjara
selama 3 tahun.
238 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

10. Setiap orang yang melakukan tarian atau gerakan-gerakan


erotis (merangsang) yang dapat membangkitkan syahwat di
tempat umum; seperti di jalan, warung, atau kafe dan
sebagainya, maka akan dikenakan sanksi penjara sampai 6
bulan lamanya. Jika ia mengulangi lagi perbuatannya,
maka sanksinya akan ditambah menjadi hukuman penjara
selama 2 tahun dan dijilid.
11. Setiap orang yang bersetubuh dengan hewan, maka akan
dikenakan sanksi penjara sampai 5 tahun, kemudian
dijilid dan diasingkan.
12. Setiap orang yang melakukan aktivitas riba, atau yang
berhubungan dengan riba, atau yang menjadi saksi atas
perbuatan tersebut, atau yang menjadi penulisnya, maka
kepada mereka akan dikenakan sanksi jilid dan dipenjara
hingga 2 tahun lamanya.

Penculikan
1. Setiap orang yang menculik seseorang dengan jalan
muslihat, atau dengan kekerasan (paksaan), baik laki-laki
maupun perempuan dan melarikannya, serta tidak
mengembalikannya selama 3 hari, maka kepada orang
tersebut akan dikenakan sanksi hukuman penjara hingga 5
tahun. Jika yang diculik adalah wanita yang bersuami, atau
jika yang diculik laki-laki yang belum baligh, maka sanksi
yang dikenakan kepada penculik sama saja, apakah hal itu
dilakukan dengan ridlo keduanya, atau dengan paksaan
dari keduanya; maka tetap akan dikenakan sanksi penjara
sampai 3 tahun--jika yang diculik telah baligh, atau seorang
wanita dan belum bersuami. Ini jika tidak terjadi
penyerangan (penyiksaan) dan perkosaan terhadap
kehormatan. Namun jika terjadi penyerangan (penyiksaan)
terhadapnya, dan tidak bisa dibuktikan dengan
pembuktian syar‘iyyah, maka akan ditetapkan berdasarkan
kesaksian seorang dokter atau bidan, kemudian kepada
pelaku akan dikenakan sanksi sampai 15 tahun penjara,
ditambah hukuman jilid, dan pengasingan jika terbukti
melakukan penyerangan. Adapun jika yang diculik
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 239
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dikembalikan dalam tempo tiga hari--dan ia tidak


memperlakukannya dengan buruk--maka pelaku akan
tetap dikenakan sanksi penjara, namun lebih ringan, yakni
selama 1 tahun.
2. Setiap orang yang menculik wanita untuk dijadikan
istrinya, maka pelaku akan dikenakan sanksi penjara
selama 5 tahun, jika hal itu ia lakukan dengan paksaan.
Adapun jika dengan ridlo pihak perempuan akan dilihat
terlebih dahulu; jika ia diperistri dengan akad syar‘iy, maka
pelaku akan dikenakan sanksi 6 bulan penjara, karena
kejahatannya (menculik). Dan jika ia tidak diperistri, akan
dikenakan sanksi penjara sampai 1 tahun. Dengan catatan,
jika pelaku tidak menyetubuhinya. Namun jika kemudian
ia menyetubuhinya, namun tidak bisa dibuktikan dengan
pengakuan atau kesaksian syar‘iyyah, maka hal itu akan
dibuktikan dengan kesaksian dokter atau bidan, dan (bila
terbukti), pelaku akan dikenakan sanksi penjara sampai 15
tahun lamanya.

Perbuatan-Perbuatan Melanggar Kesopanan


1. Barangsiapa mencumbu, atau berbuat tidak sopan
terhadap wanita, maka akan dikenakan sanksi penjara
selama 1 bulan. Dan jika hal itu dilakukan oleh seorang
perempuan terhadap laki-laki, maka ia diberi sanksi
serupa, dan ditambah dengan jilid sebanyak 10 kali.
2. Setiap laki-laki yang menyamar dengan pakaian
perempuan, kemudian masuk ke tempat khusus wanita,
atau ke tempat yang bagi laki-laki dilarang memasukinya--
(saat kerja) selain wanita saja, maka pelaku akan dikenakan
sanksi penjara hingga 6 bulan.
3. Barangsiapa yang mencetak atau menjual, atau
menyimpan dengan maksud untuk dijual atau disebarkan,
atau menawarkan benda-benda perhiasan yang dicetak
atau ditulis dengan tangan, atau foto-foto serta gambar-
gambar ―tendensius‖, atau benda-benda lain yang dapat
menyebabkan kerusakan akhlak, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan.
240 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

4. Barangsiapa melihat wanita yang mandi panas (berjemur)


dengan kondisi tidak sopan di tempat terbuka, atau
terlihat di tempat umum, atau tempat yang diperbolehkan
bagi umum, maka kepadanya akan dikenakan sanksi
penjara sampai 6 bulan. Bagi wanita yang berjemur di
tempat tersebut—yang mudah dilihat oleh laki-laki—akan
dikenakan sanksi serupa.
5. Setiap orang yang melakukan tindakan tidak senonoh di
tempat umum, atau di pertemuan umum, atau dalam
kondisi yang memungkinkan seseorang yang ada di tempat
itu melihatnya, maka pelakunya akan dikenakan sanksi
penjara selama 6 bulan.
6. Setiap wanita yang membuka auratnya--selain wajah dan
kedua telapak tangannya--dikenakan sanksi jilid. Dan jika
ia tidak berhenti (jera), ia akan dikenakan sanksi
pengasingan selama 6 bulan.
7. Setiap laki-laki yang terlihat (memakai) pakaian atau
perhiasan, atau gerakan-gerakan yang tidak wajar, atau
melanggar kesopanan, atau ia mirip perempuan, maka
kepadanya akan dikenakan sanksi jilid. Jika tidak berhenti
dari perbuatan tersebut, maka ia akan diasingkan selama 1
tahun.
8. Setiap orang yang mengintip rumah orang lain melalui
lubang atau celah pintu, atau yang lainnya, maka ia akan
dikenakan sanksi berupa pengasingan hingga 6 bulan dan
dijilid. Jika ia mengintip dari tempat yang lebih tinggi atau
tempat yang lebih rendah, maka ia akan dikenakan sanksi
jilid.

Perbuatan-Perbuatan Yang Berhubungan dengan Suami-Istri


1. Barangsiapa yang memperistri seseorang (menikah), yang
bertentangan dengan syara‘; seperti halnya menikah
dengan perempuan Majusi, atau pernikahan seorang
muslimah dengan seorang kafir, atau menikahi 5 orang
wanita, atau menikah dengan wanita yang ditalaq-nya
dengan thalaq bain, dan lain sebagainya. Sementara ia tahu
dengan apa yang dilakukannya—bahwa itu perbuatan yang
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 241
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

bertentangan dengan syara‘, maka kepadanya akan


dikenakan sanksi penjara hingga 10 tahun. Dan orang
yang terlibat dalam akad nikah tersebut--baik kedua belah
pihak dan juga saksi—akan dikenakan kepada mereka
sanksi serupa—dengan catatan ia sadar bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan syara‘.
2. Setiap orang yang melangsungkan akad nikah palsu,
semisal supaya orang lain menikahi anak perempuannya
secara semu dan palsu, maka pelakunya akan dikenai
sanksi penjara selama 5 tahun.
3. Setiap orang yang men-thalaq istrinya dengan thalaq bain,
namun ternyata ia tetap menggaulinya seperti pergaulan
suami-istri, maka kepadanya akan dikenakan sanksi
penjara sampai 5 tahun.
4. Setiap orang yang menikahi mahram-nya yang muaqqah
(mahram temporer) seperti saudara perempuannya, dari
perempuan istri, paman dan bibi dari istri, sedangkan ia
tahu hal ini, maka kepadanya akan dikenakan sanksi jilid
dan penjara hingga 3 tahun. 

PELANGGARAN TERHADAP HARGA DIRI


Al-dzam, Al-qadh, dan Al-tahqir

Perbedaan antara al-dzam, al-qadh, dan tahqir adalah; al-dzam


adalah penisbahan sebuah perkara tertentu kepada seseorang,
walaupun dalam bentuk sindiran halus (samar) dan pertanyaan
yang esensinya berhubungan dengan reputasi dan harga diri, atau
sesuatu yang menyebabkan kemarahan dan pencelaan manusia.
Sama saja, apakah perbuatan yang dilakukan tersebut termasuk
kejahatan atau tidak. Seperti, seseorang berkata kepada orang lain,
―Kamu ini pembohong.‖ Maka, bohong dinisbahkan kepada orang
tersebut, atau pencuri, atau yang lain-lain. Adapun al-qadh adalah
segela sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan harga diri
seseorang tanpa menisbahkan hal-hal tertentu kepada orang lain.
242 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Sebagaimana seseorang berkata kepada orang lain, ―Wahai si hina


dina.‖ Hai rendah!; ‗Hai orang hina‖; atau yang lain. Sedangkan al-
tahqiir, adalah setiap kata celaan atau tanda-tanda yang
menunjukkan celaan (pecehan). Pada tiga kasus semacam ini,
garis-garis besarnya diringkas hal berikut ini;
1. Setiap orang yang mencela orang lain dengan
menisbahkan perkara-perkara tertentu kepada orang lain,
ia dikenakan sanksi jilid dan penjara sebulan sampai 2
tahun. Akan tetapi, jika terdakwa bisa membuktikan
perkara yang telah ia nisbahkan kepada orang lain tersebut
dengan bukti-bukti yang syar‘iyyah, maka orang tersebut
tidak dikenai sanksi atas celaannya. Ini dianalogkan
dengan kasus qadzaf (tuduhan).
2. Qadh terhadap seseorang dikenai sanksi jilid atau penjara
mulai dari 1 bulan hingga 2 tahun. Bagi pelaku qadh tidak
diperkenankan membenarkan dirinya sendiri dengan
suatu bukti yang jelas, atas apa yang telah ia celakan
kepada orang lain tersebut.
3. Setiap orang yang melecehkan orang lain dengan wasilah
apapun, dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 6
bulan.
4. Al-dzam dan al-qadh harus dikenai sanksi, jika nampak
indikasi-indikasi sebagai berikut;
a. al-dzam dan al-qadh yang terjadi saling berhadap-
hadapan secara langsung . Pada kasus ini
disyaratkan terjadi;
1. Dalam sebuah majelis yang berhadap-hadapan
(bertatap muka secara langsung dengan
korban).
2. Dalam sebuah tempat yang memungkinkan
orang lain mendengarnya, sedikit atau banyak
jumlahnya.
b. al-dzam dan al-qadh yang terjadi tidak secara
langsung (tidak dengan bertatap muka). Syaratnya
harus terjadi dalam bentuk berkumpulnya
individu-individu secara bersama-sama atau
sendirian (rahasia), dan meskipun korban tidak
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 243
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ada dalam majelis pihak yang menyerang (pelaku)


dan orang yang berkumpul dengan pelaku.
c. al-dzam dan al-qadh tidak sengaja.
1. Tersebar dan teropini di tengah-tengah
masyarakat, atau sengaja disebarkan oleh
sekelompok masyarakat, baik dengan surat-
surat, lukisan, gambar yang bernada mengejek,
atau berujud sketsa gambar (kartun).
2. Surat kiriman terbuka (tidak tertutup) atau
telegram yang dikirimkan kepada korban.
d. al-dzam dan al-qadh dengan perantara media massa,
dan syaratnya nampak sebagai berikut;
1. Dengan perantara koran-koran atau surat kabar
harian atau berkala.
2. Dengan jenis media massa apapun; baik buku-
buku, selebaran-selebaran, atau yang lain.
e. Tahqîr harus dikenai sanksi jika nampak bentuk-
bentuk berikut ini;
1. Jika terjadi di tempat umum, atau tempat yang
diperbolehkan untuk umum, atau ruang-ruang
tunggu, atau orang yang tidak terlibat di
dalamnya menyaksikannya karena keteledoran
pelaku.
2. Perkataan atau teriakan keras, atau terdengar
lewat perantara alat, dimana orang yang tidak
masuk secara langsung bisa mendengarkan
keduanya.
3. Surat, karikatur, foto, film, faximile, telegram
dan beragam gambar, jika terpampang dan
tersebar di tempat umum, atau tempat yang
diperbolehkan untuk umum, atau ruang
tunggu, atau dijual, atau dipampang untuk
dijual atau disebarkan kepada seseorang atau
lebih.
4. Jika terjadi dalam telegram, atau percakapan
telepon (penyadapan telepon), dan walaupun
menjual telepon, demikian pula jika terjadi
244 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dalam surat terbuka (tidak tertutup) atau


telegraph.

f. Siaran-siaran dusta yang menyerang pribadi-pribadi


atau masyarakat atau kelompok-kelompok. Atau
bila didengar sebagai al-qadh dan ad-dzam, maka
orang yang membuat siaran-siaran semacam ini
dikenai sanksi mulai 1 minggu sampai 2 tahun
penjara.

g. Pernyataan bahwa seseorang telah mengatakan


sesuatu tertentu atau berbuat sesuatu tertentu,
sedangkan orang tersebut tidak mengatakan atau
berbuat semacam itu, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi ―damprat‖ (peringatan keras),
jilid dan penjara sampai 2 tahun. 

PERBUATAN-PERBUATAN YANG MEMBAHAYAKAN AKAL


Garis-garis besarnya mungkin bisa disingkat sebagai berikut:

1. Setiap orang yang memperdagangkan narkotika; semisal


ganja (hashis), heroin, dan sejenisnya, dianggap sebagai
tindak kejahatan, pelakunya akan dikenakan sanksi jilid
dan penjara sampai 15 tahun, ditambah denda yang akan
ditetapkan oleh qadhiy.
2. Setiap orang yang membeli, menjual, membuat,
mengedarkan, memiliki, atau menyimpan khamr, maka ia
akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 5 tahun.
Dalam hal ini dikecualikan bagi warga negara Islam yang
non-muslim, yang memang dalam agamanya dibolehkan
minum khamr.
3. Setiap orang yang menjual, membeli, meracik,
mengedarkan, menyimpan narkotika, maka ia akan
dikenakan sanksi jilid dan dipenjara sampai 5 tahun,
ditambah dengan denda yang nilainya ringan.
4. Setiap orang yang menjual anggur, gandum, atau apapun
yang darinya bisa dibuat khamr, sementara ia tahu bahwa
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 245
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

menjualnya untuk bahan-bahan membuat khamr; baik


menjualnya secara langsung atau dengan perantara, maka
ia akan dikenakan sanksi jilid dan penjara mulai dari 6
bulan hingga 3 tahun. Dalam hal ini dikecualikan bagi
warga negara Islam yang non-muslim, yang memang dalam
agamanya dibolehkan mengkonsumsi narkotika.
5. Setiap orang yang membuka tempat tersembunyi
(terselubung), atau terang-terangan untuk
memmperdagangkan narkotika (obat-obat bius), maka ia
akan dikenakan sanksi jilid dan penjara hingga 15 tahun.
6. Setiap orang yang membuka tempat untuk menjual
barang-barang yang memabukkan, baik dengan cara
sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, akan dikenakan
sanksi jilid dan penjara sampai 5 tahun lamanya.
7. Tidak diterima pernyataan pembelaan (perkataan) orang
yang menyatakan bahwa ia menjual khamr untuk
pengobatan kecuali jika dibuat dengan cara pembuatan
medis dan menjualnya layaknya apoteker dan lain-lain.
Namun, jika ia bsia membuktikan bahwa aia menjualnya
untuk pengobatan, maka buktinya didengarkan. 

Pelanggaran Terhadap Harta


Benda-benda yang bergerak

1. Siapa saja yang mencuri dengan pencurian yang tidak


memenuhi syarat-syarat diberlakukannya hukum potong
tangan, semisal ia tidak mengeluarkannya dari tempat
penyimpanan, atau mengambilnya tidak untuk disimpan,
atau harta tersebut masih syubhat, semisal mencuri harta
Baitul Mal, dan yang lainnya, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi jilid dan penjara mulai dari 1 bulan
sampai 15 tahun.
2. Siapa saja yang memasuki rumah orang lain dengan niat
mencuri; meski akhirnya jadi mencuri atau tidak jadi
mencuri. Kemudian apakah ia masuk ke dalam rumah
tersebut siang hari atau malam hari, dengan atau tanpa
246 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

melakukan pengrusakan, maka pelakunya akan dikenakan


sanksi penjara dari mulai 3 bulan sampai 2 tahun.
3. Orang yang melakukan pencopetan, penjambretan atau
perampasan, akan dikenakan sanksi penjara sebulan
sampai 5 tahun. Jika ia menggunakan kekerasan dalam
aksinya, maka sanksi yang diberikan kepadanya akan
diperberat.
4. Setiap orang yang membeli barang-barang hasil curian,
penjambretan, pencopetan, perampasan, sedangkan ia
mengetahui hal itu, maka ia akan dikenakan sanksi
penjara mulai 3 bulan sampai 2 tahun. Dan ia harus
mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya dan
menanggung ganti ruginya jika barang tersebut rusak,
penghitungannya ditetapkan berdasarkan manfaatnya
tatkala barang tersebut ada di tangannya, jika memang
barang tersebut memiliki manfaat. Demikian pula siapa
saja yang menginapkan (menyembunyikan) pencuri,
pencopet, atau perampas, sedangkan ia mengetahui hal
itu, maka akan dikenakan sanksi serupa.
5. Ssetiap orang yang menyembunyikan harta hasil curian,
pencopetan, penjambretan, atau perampasan, sedangkan
ia mengetahui dengan tujuan untuk memilikinya,
menyembunyikannya, atau tendensi yang lain, maka ia
akan dikenakan sanksi penjara dari mulai 6 bulan sampai
5 tahun.
6. Ssiapa saja yang merusak harta orang lain dengan sengaja
atau merusak dengan sengaja harta yang bisa
menimbulkan bahaya, maka akan dikenakan sanksi jilid
dan penjara sampai 3 tahun.
7. Setiap orang yang merampas barang milik orang lain, akan
dikenakan sanksi penjara sampai 2 tahun, jika
menggunakan kekerasan atau ancaman sanksinya
diperberat.
8. Setiap orang yang memanfaatkan barang milik orang lain
dengan tanpa hak, dalam bentuk yang bisa menimbulkan
bahaya (kerugian), namun dengan tanpa bermaksud

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 247


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

merampas barang tersebut dikenakan sanksi sampai 6


bulan, dan denda yang ditetapkan oleh qadly.
9. Setiap orang yang menirukan (memalsukan) barang, baik
makanan atau bukan, dikenakan sanksi jilid dan penjara
sampai 3 tahun, dan dipaksa untuk mengeluarkan
barangnya agar untuk dijual.
10. Setiap orang yang memiliki barang dengan salah satu akad
dari akad-akad bathil, sedangkan ia tahu, maka ia akan
dikenakan sanksi jilid dan dipenjara sampai 3 bulan dan
membubarkan akad tersebut.
11. Setiap orang yang melanggar akad-akad syar‘iyyah, seperti
halnya penggadaian, jual beli, perdagangan, syirkah, atau
akad-akad pengelolaan yang bertentangan dengan syara.
Untuk kasus ini, pelakunya dikenakan sanksi penjara
sampai 6 bulan.
12. Setiap orang yang melakukan aktivitas riba, atau sebagai
pihak yang terlibat di dalamnya; saksi atau penulisnya,
maka kepada mereka dikenakan sanksi jilid dan dipenjara
sampai 2 tahun.

Dalam Penipuan dan Jenis-jenis Penipuan


1. Setiap orang yang mendorong atau membujuk orang lain,
agar dirinya menyerahkan harta bergerak maupun yang
tidak bergerak, atau jaminan yang mengandung perjanjian,
atau surat pembebasan (utang), kemudian ia
mendapatkannya dengan jalan penipuan, maka pelakunya
akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 5 tahun,
termasuk harus membayar denda yang besarnya akan
ditetapkan oleh qadly.
2. Setiap orang yang menaikkan kebutuhan seseorang yang
tidak bisa ditanggung—karena diluar batas
kemampuannya, atau ????
3. Setiap orang yang memberikan cek kosong dengan niat
buruk, atau kas neracanya lebih sedikit dari nilai cek, atau
ditarik lagi setelah pemberian cek. Semua kas neracanya
atau sebagiannya, hingga tinggal sisanya yang tidak
mencukupi nilai cek, maka pelakunya akan dikenakan
248 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

sanksi jilid dan penjara sampai 2 tahun, termasuk harus


membayar denda yang akan ditetapkan oleh qadly.
4. Setiap orang yang memalsukan tanda-tangan pada surat
berharga, atau memalsukan surat-surat berharga; baik
surat-surat jaminan, cek-cek dan lain-lain, maka akan
dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 2 tahun.
5. Setiap orang yang memalsukan uang negara atau uang
asing, atau mengedarkan uang palsu, sedangkan ia
mengetahuinya—bahwa itu dilarang, maka ia akan
dikenakan sanksi penjara hingga 15 tahun, termasuk
membayar denda yang jumlahnya akan ditetapkan oleh
qadly.
6. Setiap orang yang membujuk orang lain agar menyerahkan
barang dengan hak memanfaatkan atau untuk waktu
tertentu, sedangkan ia berniat untuk tidak
mengembalikan (nilai) barang tersebut, pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 1 tahun.
7. Siapa saja yang memberi hadiah, atau mempekerjakan,
atau menggadaikan, atau hal-hal yang digunakan untuk
maksud penipuan bagi pengutang-pengutangnya, atau
untuk menjual atau mengambil sebagian hartanya setelah
dibuat kesepakatan atau ketetapan yang menetapkan batas
waktu pengembalian barangnya, maka akan dikenakan
sanksi penjara mulai dari 6 bulan sampai 2 tahun.
8. Setiap orang yang menyembunyikan barang-barang dari
pembeli atau penggadai surat-surat jaminan penting yang
berhubungan dengan kepemilikan penjualan atau barang
yang tergadaikan, atau hak gadai, atau surat gadai lainnya
yang berhubungan. Termasuk memalsukan bukti
penundaan pembayaran, atau berusaha menunda-nunda
kepemilikan barang tersebut, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 1 tahun.

Pengkhianatan Terhadap Amanah Harta


1. Setiap orang yang diberi amanah berupa harta, atau diberi
kepercayaan memegang harta, kemudian ia mengkhianati

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 249


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

amanah harta tersebut, maka pelakunya akan dikenakan


sanksi jilid dan dipenjara sampai 5 tahun.
2. Setiap orang yang mengkhianati harta yang diamanahkan
kepadanya, seperti halnya ia berkedudukan sebagai
pemegang wasiat bagi anak yatim, pengelola wakaf, atau
sebagai wakil, atau sebagai pegawai atau yang lainnya,
maka pelakunya akan dikenakan sanksi jilid dan penjara
sampai 5 tahun. Hal ini termasuk korupsi harta.
3. Setiap orang yang memerintahkan dengan sengaja untuk
menyembunyikan, mencopet, memusnahkan,
melenyapkan, atau merobek (surat) jaminan yang
mengandung perjanjian, atau surat pembebasan utang,
atau surat-surat berharga atau jaminan-jaminan, maka ia
akan dikenakan sanksi penjara sampai 2 tahun.

Penipuan dalam Muamalat


1. Setiap orang yang menggunakan atau memiliki takaran,
timbangan, atau (alat) ukur yang tidak ditetapkan oleh
negara, atau tidak diketahui oleh negara, atau takaran,
timbangan, atau pengukuran yang curang dalam takaran,
timbangan, atau ukurannya, maka akan dikenakan sanksi
penjara hingga 6 bulan.
2. Setiap orang yang menipu orang lain, baik jumlah barang
yang diserahkan, atau substansinya, maka dikenakan
sanksi penjara sampai 1 tahuna dan harus membayar
denda yang jumlahnya akan ditetapkan oleh qadly.
3. Setiap orang yang menipu pihak yang melakukan
perjanjian tertentu mengenai kesepakatan tabiat barang
atau sifat esensial barang, susunan, atau jumlah dari unsur-
unsur bermanfaat yang terkandung di dalam barang,
dikenakan sanksi penjara dari mulai 1 bulan sampai 2
tahun.
4. Setiap orang yang menelantarkan pelelangan yang
berkaitan dengan: penjualan atau pembelian, atau
penyewaan harta bergerak atau tak bergerak, atau
berhubungan dengan perjanjian kontrak kerja atau impor,

250 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

atau pemanfaatan sesuatu, atau yang lainnya, maka


pelakunya akan dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan.
5. Setiap orang yang menggunakan jalan penipuan untuk
menaikkan atau menurunkan harga barang-barang akan
dikenakan sanksi penjara mulai 1 bulan hingga 2 tahun.

Pailit
1. Orang-orang yang menyatakan pailit dengan cara menipu—
padahal sebenarnya tidak pailit, maka kepadanya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 5 tahun.
2. Orang yang dinyatakan pailit dengan kepailitan sebenar-
benarnya, yakni tidak berdusta, namun jika terbukti
bahwa kepailitannya akibat keteledoran, atau karena
menggunakan harta di dalam keharaman, maka ia akan
dikenakan sanksi penjara sampai 2 tahun.
3. Setiap orang yang berhutang yang berupaya dengan tujuan
melenyapkan hak-hak pengutangnya, dengan upaya
apapun yang esensinya bisa melenypakan hak-hak para
pengutang; seperti membuat jaminan palsu, atau
menyembunyikan sebagian hartanya atau melarikannya,
atau perbuatan lainnya, maka akan dikenakan sanksi jilid
dan penjara sampai 2 tahun.

Ghashab (Pinjam Tanpa Ijin)


1. Setiap orang yang melakukan ghasab terhadap harta
bergerak, baik digunakan atau tidak, maka ia akan
dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan. dan jika
merusakkannya ia akan didenda senilai dengan barang
tersebut dan sanksinya diperberat. Jika barang tersebut
berubah bentuknya, perlu dilihat terlebih dahulu; jika
mengurangi nilainya, maka pelakunya akan dipenjara 1
tahun. Namun jika tidak mengurangi nilainya, sanksinya
tetap, yakni dipenjara hingga 6 bulan.
2. Setiap orang yang melakukan ghasab terhadap harta tidak
bergerak; tanah, rumah, kebun-kebun, maka ia dipaksa
untuk mengembalikannya, dan akan dikenakan sanksi
penjara sampai 6 bulan. Dan apabila di dalamnya terjadi
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 251
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

hal-hal yang bisa mendatangkan bahaya baginya (tanah,


rumah, dan kebun tersebut), atau bagi pemiliknya, maka
sanksinya akan diperberat.
3. Setiap orang yang mengambil untuk dirinya sendiri,
sedangkan orang lain tidak; harta dari harta kepemilikan
umum dianggap sebagai tindakan ghasab, dan akan
dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan.

Serba-Serbi
1. Setiap orang yang mengancam orang lain untuk
memperoleh harta, maka ia akan dikenakan sanksi penjara
hingga 5 tahun.
2. Setiap orang yang melakukan perdagangan dengan musuh
secara langsung atau melalui perantara, sedangkan ia tahu
(bahwa hal itu dilarang. peny.), maka ia akan dikenakan
sanksi penjara sampai 10 tahun.
3. Setiap orang yang menjalankan perindustrian yang
diharamkan, seperti memahat patung (dari makhluk yang
bernyawa), seperti juga menggambar makhluk yang
memiliki nyawa, maka kepadanya akan dikenakan sanksi
penjara sampai 6 bulan.
4. Setiap orang yang menyerahkan bukti-bukti keuangan
palsu, atau menyembunyikan harta yang menuntut adanya
bukti; sama saja apakah bukti bank, syirkah, atau sewa
atau yang lainnya, maka ia akan dikenakan sanksi penjara
sampai 15 tahun, dan didenda sampai seberat apa yang
yang dustakan dan sembunyikan. 

Gangguan Keamanan
1. Setiap orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan
jabatan negara, atau memanfaatkan kekuasaan dan jabatan
untuk dirinya sendiri, setelah ada pengampunan atas
perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia akan dikenakan
sanksi penjara mulai 2 tahun hingga 10 tahun.
2. Setiap orang yang melakukan perlawanan dengan motif
melakukan perang sipil, atau membuat fitnah di antara
252 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

masyarakat, maka kepadanya akan dikenakan sanksi


penjara mulai 3 tahun sampai dengan 20 tahun. Dan
sanksi boleh mencapai batas hukum bunuh dan salib.
3. Setiap orang yang melakukan aktivitas teror, dan
mengakibatkan goncangan keamanan, atau instabilitas di
antara masyarakat, atau menyebabkan terhentinya
(terlantarnya) aktivitas masyarakat, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara dari 6 bulan hingga 5 tahun 

Mengganggu Keamanan Negara

Penulis dan Propagandis


1. Setiap penulis atau propagdandis yang melakukan aktivitas
menyebarkan keraguan penguasa terhadap hukum-hukum
syara, atau kelayakan sistem Islam; baik secara menyeluruh
maupun sebagian, maka pelakunya akan dikenai sanksi
penjara mulai dari 2 tahun hingga 15 tahun. Sanksinya
boleh sampai taraf pembunuhan.
2. Setiap penulis atau propagandis yang menyebarkan ide-ide
qaumiyyah, iklimiyyah, atau nasionalisme, maka ia akan
dikenakan sanksi penjara mulai 5 tahun hingga 15 tahun,
dan sanksinya boleh mencapai batas hukuman bunuh.
3. Setiap penulis atau propagandis yang menggoncang
kepercayaan kaum muslimin terhadap daulah Islamiyah,
atau mengguncang kepercayaan Qiyan Ummah (institusi
ummat), atau menghasut kaum Muslim (untuk
memerangi) non-Muslim, atau sebaliknya, maka pelakunya
akan dikenakan sanksi penjara mulai 5 tahun sampai 15
tahun.
4. Setiap orang yang terlambat membayar pajak dari batasa
ketentuan, selama 1 bulan, tanpa ada alasan syar‘i, maka
kepada pelakunya akan dikenakan denda ringan,
kemudian dengan segera pajak dipungut darinya secara
paksaa. Dan setiap orang yang menolak membayar pajak,
akan dilakukan pemaksaan agar ia membayarnya, dan
akan dikenakan sanksi jilid dan penjara sampai 15 tahun.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 253
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Organisasi-Organisasi (Partai-Partai)
1. Setiap partai yang berdiri di atas atas sekularisme, atau atas
dasar materialisme, atau asas apapun yang tidak islami,
maka orang yang mendirikannya, atau yang dianggkatnya
(menjadi pengurus partai. peny.) akan dikenai sanksi
hukuman mati (dibunuh) dan disalib.
2. Setaip partai yang berdiri di atas dasar nasionalisme,
qaumiyyah, iqlimiyyah, walaupun mengadopsi Islam sebagai
sistemnya, maka pelakunya akan dikenai sanksi penjara 15
tahun lamanya, dan hukumannya boleh sampai kepada
tingkat pembunuhan dan penyalibab.
3. Setiap partai yang berdiri dengan tujuan untuk mengganti
(menurunkan) penguasa atau sistem kenegaraan
(pemerintahan) dengan jalan kekerasan, maka pelakunya
akan dikenakan sanksi penjara 15 tahun, dan sanksinya
boleh sampai tingkat pembunuhan dan salib.
4. Setiap organisasi rahasia, yang tidak memiliki asas dan
tujuan apapun (seperti di atas), maka akan dikenakan
sanksi atas kerahasiaannya tadi dengan penjara hingga 2
tahun.
5. Setiap partai yang memiliki hubungan (koneksi) dengan
negara asing; apapun negaranya, maka akan dikenakan
sanksi penjara mulai 2 tahun hingga 15 tahun.

Spionase
1. Setiap orang asing yag mematai-matai negara, akan
dikenakan sanksi hukuman bunuh.
2. Setiap kafir dzimmiy yang melakukan spionase untuk
kepentingan negara asing, maka kepadanya akan
dikenakan sanksi penjara mulai dari 5 tahun sampai 25
tahun. Dan sanksinya boleh ditambah hingga pada tingkat
hukuman bunuh.
3. Setiap muslim yang melakukan spionase untuk
kepentingan negara asing, akan dikenakan sanksi penjara
mulai 5 tahun sampai 25 tahun.

254 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Agen-Agen
1. Setiap orang yang melakukan aktivitas politik untuk
kepentingan negara asing, atau untuk kepentingan
sejumlah negara, maka akan dikenakan sanksi penjara
mulai 5 tahun sampai 25 tahun.
2. Setiap politikus yang berhubungan dengan orang-orang
kepercayaan negara asing, atau salah satu politikusnya,
atau pihak militernya, atau orang yang menjadi rakyatnya
(negara asing), maka akan dikenakan sanksi penjara hingga
10 tahun.
3. Setiap provokasi untuk mendukung pihak asing, atau
untuk menyokong pihak asing, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara sampai 5 tahun.

Makar-Makar
1. Setiap penyamar asing yang dimiliki negara asing yuang
melakukan penyamaran untuk memprovokasi (agar)
mendukung negara atau pemerintah asing, atau untuk
melemahkan kekuatan Daulah Islamiyah, atau untuk
mengawasi melalui posisinya, maka pelakunya akan
dikenakan sanksi penjara hingga 15 tahun, dan sanksinya
boleh sampai pada tingkat hukum bunuh.
2. Setiap orang yang melakukan aktivitas, atau propaganda di
dalam negeri yang dapat mempengaruhi stabilitas negara,
atau negara-negara asing agar melawan atau memerangi
Daulah Islamiyyah, maka kepadanya akan dikenakan
sanksi penjara sampai 5 tahun lamanya.
3. Setiap orang yang membocorkan atau membuka rahasia
dari rahasia-rahasia negara yang (esensinya) bisa
membahayakan negara; baik dengan tulisan, propaganda
(ucapan), atau dengan pemberitaan, maka akan dikenakan
sanksi penjara sampai 15 tahun. 

Perbuatan Yang Berhubungan dengan Agama

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 255


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

1. Setiap orang yang melakukan aktivitas penyebaran ideologi


kufur, atau pemikiran kufur, maka akan dikenakan sanksi
penjara mulai 2 tahun hingga 10 tahun. Hal ini jika orang
tersebut bukan Muslim. Jika pelakunya seorang Muslim,
maka kepadanya ditetapkan hukum murtad, yakni
dibunuh. Dan setiap orang yang melakukan penyebaran
agama kufur di tengah-tengah kaum Muslim, maka ia akan
dikenakan sanksi serupa.
2. Setiap tulisan atau seruan yang mengandung celaan
terhadap salah satu dari akidah kaum Muslim, maka
pelakunya akan dikenakan sanksi penjara mulai dari 5
tahun sampai 15 tahun, jika pelakunya bukan Muslim
atau celaannya tidak sampai mengkafirkan pengucapnya.
Namun jika pelakunya seorang Muslim—dan jika celaan
tersebut dapat mengkafirkan pengucapnya, maka ia akan
dikenakan sanksi murtad (hukuman bunuh).
3. Setiap pembelajaran terhadap pemikiran-pemikiran kufur
yang tidak (dibawakan) oleh ulama, dan setiap
dorongan/pijakan kepada pemikiran; baik dalam bentuk
kitab (buku-buku), selebaran, atau pemikiran-pemikiran
tertentu atau selainnya; maka pelakunya akan dikenakan
sanksi penjara hingga 5 tahun.
4. Setiap orang yang menyerukan kepada aqidah dzanniyyah
atau kepada pemikiran-pemikiran yang esensinya bisa
mempengaruhi perasaan kaum Muslim, maka ia akan
dikenakan sanksi jilid dan penjara hingga 5 tahun.
5. Setiap orang yang meninggalkan shalat, akan dikenakan
sanksi penjara sampai 5 tahun. Dan setiap orang yang
shalat sebagian waktu, dan meninggalkan sebagian waktu
yang lain, maka kepadanya akan dikenakan sanksi penjara
sampai 2 tahun.
6. Setiap orang yang berbuka sehari di bulan Ramadlan
tanpa ada udzur syar‘i, maka kepadanya akan dikenakan
sanksi penjara 2 bulan untuksetiap hari yang ia berbuka
(yang tanpa adanya udzur syar‘i tersebut). Dan jika ia
berbuka di tempat umum yang bisa merusak kesucian
Ramadlan, maka ia akan dikenakan sanksi atas
256 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

pelanggarannya penjara sampai 6 bulan, berdasarkan


sanksi (atas orang yang) berbuka.
7. Setiap orang yang terlambat zakat dari waktu yang telah
ditetapkan jedanya, padahaal ia memungkinkan untuk
bisa membayarnya dalam masa jeda tersebut, maka zakat
harus diambil dari orang tersebut secara paksa, dan
kepadanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan.
Adapun jika ia menolak membayar zakat, maka ia
dikenakan sanksi penjara sampai 15 tahun dan zakat harus
diambil secara paksa darinya. 

Jenis-Jenis Lain dari Ta‟zîr

Dan termasuk dari jenis-jenis ta‘zîr adalah sanksi-sanki untuk


menjaga jiwa dan untuk mencegah kemunkaran sbb:

1. Setiap orang yang melihat seseorang dalam kondisi


melawan bahaya maut, atau minta tolong darinya untuk
menghindar dari seseorang yang hendak membahayakan
jiwanya, atau bahaya-bahaya lain, sedangkan ia tidak
melindunginya, maka orang ini akan dikenakan sanksi
penjara dari mulai 3 bulan sampai 7 tahun. Baik apakah
seseorang melawan bahaya maut dengan sebab tenggelam,
seperti orang berenang di air, atau dengan sebab sakit;
seperti orang butuh pertolongan dokter, atau karena sebab
kelaparan, seperti orang yang kehausan di padang pasir,
atau di suatu tempat yang tidak ada air di situ, atau
dengan sebab kebakaran, atau juga terjatuh, dan sebab-
sebab yang lain. Jika karena tidak adanya pertolongan
tersebut menyebabkan kematian seseorang. Adapun jika
yang menghadapi bahaya tersebut tidak mati, maka orang
yang tidak mau menolong tadi dikenai sanksi jilid dan
denda yang jumlahnya akan ditetapkan oleh qadly.
2. Setiap orang yang dengan kemampuannya mampu
mencegah terjadinya kejahatan pembunuhan, tanpa
membahayakan dirinya (jiwanya), atau tidak
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 257
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

membahayakan orang lain, maka ia akan dikenakan sanksi


jilid dan penjara sampai 3 tahun.
3. Setiap orang yang melihat seseorang melakukan suatu
kemunkaran dari kemunkaran-kemunkaran dengan
terang-terangan di tempat umum, sementara ia mampu
untuk menghentikannya dari kemunkaran tersebut—tanpa
membahayakan jiwanya, atau menyebabkan bahaya bagi
orang lain—namun ia tidak mengehentikan (dengan
aktivitas penghentian) yang cukup untuk mencegah
kemunkaran tersebut, atau membiarkan kemungkaran
tersebut, maka kepadanya akan dikenakan sanksi jilid dan
penjara sampai 6 bulan.

Jenis-jenis Ta‟zîr yang tersisa


Hal-hal tersebut di atas adalah sebagian dari fakta-fakta ta‘zîr
dalam sebagian jenis-jenisnya. Adapun jenis-jenis yang tersisa serta
seluruh jenis-jenis (ta‘zîr yang lain) maka hal tersebut diserahkan
kepada qadly. Misalnya, perjudian dan seluruh jenis-jenisnya, dari
permainan dan mengundi nasib, serta jenis-jenis kejahatan yang
berat. Seorang qadly tidak boleh terlalu menyimpang dari
kebenaran tatkala menetapkan kadar-kadar sanksi keduanya. Supa
termasuk kejahatan paling berat yang dapat berpengaruh terhadap
struktur negara dan kepercayaan terhadap negara. Oleh karena
itu, tidaklah termasuk hal yang dibolehkan adanya rasa belas
kasihan bagi seorang qadly Muslim, dan mempermudah
pembebasannya atau terlalu mengekang kebebasan manusia, atau
perbuatan-perbuatan yang tercela lainnya yang bisa menyebabkan
kemarahan masyarakat atas pelakunya. Qadly tidak boleh
terpengaruh oleh orang yang berkata atau berkomentar kepadanya
agar ia harus bersikap keras dalam memberikan sanksi terhadap
pelaku kejahatan atas kejahatan-kejahatannya.
Demikianlah, ini adalah sebagian realitas-realitas (fakta-
fakta) dari seluruh jenis ta‘zîr. Meski semuanya diserahkan kepada
qadly, akan tetapi penyerahan masalah ta‘zîr kepada qadly yang
berkaitan dengan tabiat kehidupan beserta dengan
perkembangannya dan kompleksitasnya interaksi-interaksi yang

258 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

ada, termasuk suatu hal yang sangat sulit, untuk mengkalsifikasi


fakta-fakta dan jenis-jenisnya. Oleh karena itu menyerahkan hal
tersebut ekpada qadly dalam hal ta‘zîr merupakan perkara tidak
bisa dielakkan lagi. Dengan begitu, cukuplah dengan fakta-fakta
sebelumnya dan dengan jenis-jenis yang berbeda dengan hudûd
dan selain hal tersebut diserahkan kepada qadly untuk
menetapkan sanksinya sesuai dengan pendapatnya. 

Mukhâlafât

Mukhalafat adalah tidak sejalan dengan perintah dan


larangan yang telah ditetapkan negara. Dan sudah diketahui
bahwa khalifah tidak boleh menghalalkan yang haram, dan tidak
boleh pula mengharamkan yang halal. Ia juga tidak boleh
mewajibkan yang mandub atau mubah, dan juga tidak
mengharamkan yang makruh. Demikian pula ia tidak boleh
memubahkan yang haram, atau mewajibkan yang haram. Ia juga
tidak boleh mengharamkan yang wajib, mandub, atau yang
mubah. Akan tetapi, ia hanya melaksanakan aktivitas pengaturan
urusan rakyat, dan mengatur kemaslahatan rakyat, dan ia
mengaturnya sesuai dengan hukum-hukum syara‘. Akan tetapi
syâri (yakni Allah Swt.) tidak memberikan kewenangan kepadanya
untuk mengatur sebagian besar urusan-urusan rakyat dengan
pendapat dan ijtihadnya; semisal pengelolaannya terhadap Baitul
Mal, yakni diserahkan kepada pendapat dan ijtihadnya. Misalnya,
pembentukan pasukan, tidak diserahkan kepadanyaa berdasarkan
pendapatnya dan ijtihadnya. Misalnya pula, pengangkatan para
wali, serta pengaturan urusan rakyat, penataan kota dan
pembuatan jalan-jalan, serta menyelesaikan sengketa di antara
mereka, juga menjaga hak-hak umum dan lain sebagainya.
Perkara-perkara semacam ini dan contoh-contohnya
diserahkan kepada khalifah untuk mengeluarkan instruksi-
instruksi yang ia ketahui; yakni membuat konstitusi-konstitusi
yang mengikat, instruksi-instruksi atau konstitusi-konstitusi
tersebut; pelaksanaannya, wajib atas kaum Muslim. Dengan

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 259


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

begitu, menentangnya atau melanggarnya adalah maksiat. Oleh


karena itu selama apa yang mengikat rakyat tidak dilaksanakan,
dan selama apa yang ia larang baginya masyarakat dilanggar,
dianggap sebagai kejahatan yang harus dikenai sanksi, kegiatan-
kegiatan semacam ini disebut mukhalafat. Dan sanksi-sanksi yang
dikenakan bagi kejahatan-kejahatan tersebut disebut juga
mukhalafat.
Sebagaimana bahwa syâri telah memberikan hak kepada
khalifah untuk memerintah dan melarang manusia, menetapkan
pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan. Syâri juga
memberikan hak kepada khalifah untuk menjatuhkan sanksi bagi
rakyat atas mukhalafat ini, serta hak untuk menetapkan kadar
sanksi yang ia ketahui bagi mukhalafat semacam ini. Itu sebabnya
mukhalafat mirip dengan ta‘zîr yang dari sisi keberadaannya tidak
ditetapjan oleh syâri atas sanksinya; dan dari sisi bahwa ia
diserahkan kepada khalifah atau qadly dengan sifatnya sebagai
wakil dari khalifah. Akan tetapi, mukhalafat berbeda dengan ta‘zîr
dari sisi bahwa ia adalah sanksi (yang dijatuhkan) atas
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan penguasa, atau
mengerjakan perkara yang dilarang oleh penguasa. Berbeda
dengan ta‘zîr, dimana ia adalah meninggalkan perintah Allah Swt.
dan mengerjakan perkara yang dilarang Allah.
Mukhalafat tidak membutuhkan penuduh, oleh karena itu
qadly memiliki legalitas dalam mukhalafat tatkala ia melihatnya
(menjumpainya) di tempat manapun, tanpa memerlukan majelis
pengadilan, akan tetapi ia memutuskan dalam kasus mukhalafat
tatkala kasus tersebut terjadi. ‗Umar bin Khaththab adakalanya
menjatuhkan sanksi atas mukhalafat, dan kadang pula ia memukul
seorang laki-laki yang berhenti di tengah jalan dan menghalangi
orang yang hendak lewat. Beliau adakalanya juga memberi sanksi
kepada orang yang melanggar perintah-perintahnya.

Jenis-Jenis Mukhalafat
Mukhalafat tidaklah memiliki jenis-jenis tertentu. Setiap
yang melanggar konstitusi negara dianggap sebagai mukhalafat.
Khalifah akan menetapkan jenis-jenis sanksi yang ia pahami untuk

260 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

mukhalafat yang terjadi. Misalnya, khlaifah memiliki kewenangan


untuk menetapkan jarak halaman rumah, dan jalan-jalan umum,
serta batas tertentu, dan melarang masyarakat untuk membangun
atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika
seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah akan memberi
sanksi kepadanya dengan denda atau jilid, atau penjara dan lain
sebagainya. Misalnya, khalifah memiliki kewenangan untuk
menetapakan takaran, timbangan, serta pengukuran-pengukuran
khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia
berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar
perintahnya dalam hal tersebut.
Misalnya lagi, ia memiliki kewenangan untuk menetapkan
bagi kafe-kafe, hotel-hotel, dan tempat penyewaan permainan, dan
tempat-tempat umum lainnya dengan aturan tertentu yang
mengatur segala urusannya. Dan khalifah akan memberi sanksi
bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut. Demikianlah.
Termasuk hal yang dimungkinkan menetapkan sanksi-
sanksi tertentu bagi fakta-fakta (kasus-kasus ta‘zîr) tertentu dalam
bentuk garis-garis global sebagai mana yang terjadi pada ta‘zîr.
Akan tetapi kasus-kasus yang terjadi sekarang ini bisa berubah
kepada kasus-kasus yang lain, dan kadang-kadang tidak pada
sebagai kasus perubahan yang sangat radikal. Oleh karena itu
penetapan sanksi-sanksi tertentu tidaklan rinci, dan kadang-
kadang jauh dari kebenaran. Maka,. Sanksi-sanksi yang telah
ditetapkan untuk kasus-kasus yang terjadi bersifat tetap, jika
ditetapkan seperti itu (ketetapan tersebut), akan tetap jika ia
berubah karena perubahan konstitusi baru dan instruki-instruksi
dan larang-larang baru, maka dibuat ketetapan baru sesuai dengan
konstitusi baruy.

Pengampunan (Abolisi)
Kejahatan jika telah terjadi dan tidak dilaporkan kepada
qadly, sementara qadly tidak menjatuhkan sanksi terhadap
kejahatan tersebut, maka secara langsung kasus ini perlu dilihat,
yakni di depan qadly, apakah pihak yang dituduh perlu atau tidak
diberi sanksi. Dan apakah sanksi gugur baginya atau tidak?

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 261


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Apakah qadly berhak memberikan pengampunan atau tidak?


Kasus ini perlu dirinci sebagai berikut:
Adapun sanksi bagi pihak tertuduh yang melakukan
tindak kejahatan maka sanksi-sanksi seluruhnya; baik hudûd,
jinâyat, dan mukhalafat diberlakukan atas semua orang yang berada
di bawah kekuasaan daulah, jika terjadi kejahatan tersebut. Pada
salah satu unsur; baik itu daratan, udara, laut, maupun sungai
yang berada di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah juga
diberlakukan atas semua pihak mengemban tanggung-jawab Islam,
termasuk di dalamnya khalifah, penguasa, dan anggota –anggota
majelis ummat. Sebab tidak ada perlindungan bagi seorangpun
yang memikul (mengemban) tanggung-jawab Islam; tak ada
perbedaan apakah mereka berada di dalam negeri atau di luar
negeri. Atas dasar ini, tidak ada sanksi bagi orang yang melakukan
kejahatan di luar kekuasaan daulah. Dan setiap orang yang
memikul tanggung-jawab Islam dikenakan sanksi, jika ia
melakukan kejahatan; tak ada perbedaan apakah ia melakukannya
di dalam kekuasaan Islam maupun di luar kekuasaan Islam.
Mu‘ahid dan Musta‘min dikenakan sanksi jika ia melakukan
kejahatan di bawah kekuasaan daulah. Dikecualikan dalam
masalah ini adalah para diplomat dari kedutaan dan aturan-aturan
yang lain, maka mereka semua memiliki hak perlindungan.
Selain itu sanksi-sanksi tersebut hanya akan diterapkan
jika pelakunya adalah mukallaf secara syar‘i, yakni telah baligh,
berakal, dan melakukan (kejahatan tersebut) atas dasar pilihannya.
Adapun jika pelakunya masih anak-anak, gila, maka tidak
diberikan sanksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
»

«
―Diangkat pena dari tiga pihak; dari orang tidak sampai ia terbangun,
dari anak-anak sampai ia baligh, dari orang gila sampai ia sembuh.‖

Hadis ini dengan jelas menerangkan tentang tidak adanya sanksi


bagi anak kecil dan orang gila. Dan tidak boleh menempatkan
anak-anak yang belum baligh di penjara khusus anak, yang disebut

262 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

dengan rehabilitasi anak. Sebab, tidak ada dalil yang melegalkan


hal tersebut. Bahkan bertentangan dengan nash hadis. Sedangkan
hadis menyatakan: ―Diangkat pena‖, yakni tidak memberikan
sanksi. Hanya saja, jika anak tersebut melakukan kejahatan, maka
walinya yang bertanggung jawab untuk ditanyai tentang anak
tersebut. Jika tindak kejahatannya, disebabkan karena kelalaian
walinya, maka walinya yang akan dikenai sanksi. Dan jika bukan
karena kelalaian walinya, tentu wali anak tersebut tidak kenai
sanksi. Sedangkan si anak kecil tidak dikenai sanksi secara mutlak.
Demikian pula orang gila. Hukum keduanya sama, berdasarkan
nash hadis. Demikian pula orang yang mabuk bukan atas
kehendaknya sendiri tidak dikenai sanksi. Sebab hukumnya
seperti hukum orang gila.
Adapun orang yang dipaksa, maka perlu dilihat terelbih
dahulu; jika di dipaksa untuk melakukan kejahatan dengan suatu
pemaksaan yang bisa menghantarkan kepada kematian, diancam
akan dibunuh dengan ancaman yang serius; yakni jika ia tidak
melakukan perbuatan tersebut ia akan dibunuh. Dalam keadaan
seperti ini, maka ia tidak akan dikenai sanksi berdasarkan sabda
Rasulullah sw.:
« »
―Diangkat dari ummatku, kesalahan dan lupa; dan orang yang dipaksa.‖

Pemaksaan (al-ikrâh) yang diakui hanyalah pemaksaan yang


dapat menghantarkan kepada kematian (al-ikrâh al-mulji‘), bukan
yang lain. Adapun jika ia dipaksa dengan ancaman akan dipecat
dari kepegawaian, atau dipenjara, atau pemaksaan yang lainnya,
hal itu tidak dianggap sebagai pemaksaan yang dapat
menghindarkan dari sanksi. Sebab, pemaksaan yang dapat
mencegah sanksi hanyalah pemaksaan yang dapat menghantarkan
kepada kematian, bukan yang lain.
Adapun berkaitan dengan gugurnya sanksi dari pelaku
kejahatan, maka orang yang melakukan kejahatan untuk membela
agamanya, dirinya (jiwanya), harta, atau kehormatannya, maka
sanksi gugur baginya. Sebab, membela diri dibolehkan secara

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 263


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

syar‘i untuk melakukan tindak kejahatan, meskipun kejahatan


tersebut adalah pembunuhan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
»

«
―Barangsiapa terbunuh demi membela agamanya, maka ia syahid.
Barangsiapa terbunuh demi membela darahnya, maka ia syahid.
Barangsiapa terbunuh demi membela hartanya, maka ia adalah syahid.‖

Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada sanksi bagi orang


yang membela agamanya, jiwanya, harta dan kehormatannya. Dan
jika ia terbunuh dalam mempertahankan hal-hal tersebut maka ia
adalah syahid. Dan jika ia membunuh, tidak ada sanksi baginya.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. dalam hadis lain:
« »
―Maka jika engkau terbunuh masuk surga, dan jika engkau
membunuhnya, maka ia masuk neraka.‖

Dan juga sabda Rasulullah saw. terhadap orang yang


bertanya kepadanya, ―Ya Rasulullah, jika seorang laki-laki datang
menginginkan hartaku, apa yang aku perbuat? Rasul menjawab,
―Jangan engkau berikan kepadanya hartamu. Lelaki itu bertanya lagi,
―Apa pendapatmu, jika ia hendak membunuhku?‖ Rasulullah
menjawab, ―Bunuhlah dia.‖
Hal ini adalah perintah kepadanya agar membunuh untuk
mempertahankan hartanya. Oleh karena itu, pembelaan yang
diperbolehkan untuk melakukan tindak kejahatan dan
menggugurkan sanksi darinya, jika terbukti bahwa ia melakukan
kejahatan tersebut untuk membela agamanya, jiwa, harta atau
kehormatannya.
Adapun berkaitan dengan pengampunan (abolisi), maka
pengampunan itu berbeda-beda tergantung perbuatan-
perbuatannya. Jika kejahatan tersebut termasuk dalam hudûd,
264 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

maka tidak ada komentar lagi tentang ketidak-bolehan


pengampunan dalam masalah hudûd secara mutlak, berdasarkan
banyak hadis yang berbicara tentang masalah ini. Ibnu Mâjah
meriwayatkan dari Abû Hurayrah dari Nabi saw. bahwa beliau
saw. bersabda,
« »
―Satu buah had (hudûd) yang diterapkan di dunia ini, lebih baik
daripada diturunkan hujan 40 hari (shubuh)‖

Abû Dâwud meriwayatkan dari Ibnu ‗Umar, bahwa Nabi


saw. bersabda, ―
« »

(hlm. 208, alinea 2 baris ke 5-10 belum ditulis artinya).

Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa‘ dari


Rabiah bin Abi ‗Abdurrahman, bahwa Zubai bin Awwam,
menurunkan seseorang yang tengah mencuri, dan ia bermaksud
melaporkannya kepada penguasa, kemudian Zubair memaafkan
lelaki tersebut untuk membebaskannya, laki-laki itu berkata,
―Tidak, sampai aku tiba di hadapan penguasa (sultan)‖ Zubair berkata,
―Jika engkau telah sampai ke sultan, maka Allah melaknat orang yang
mengampuni dan yang diampuni.‖ Hadis-hadis ini sangat jelas
menunjukkan tentang ketidak-bolehan memberikan
pengampunan dalam hudûd secara mutlak, tidak bagi khalifah
maupun shahibul haq, setelah perkaranya sampai ke tangan
penguasa.
Sedangkan jinâyât, anak Adam berhak memberikan
pegampunan sebelum ia melaporkannya kepada qadly dan setelah
ia melaporkan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Abi Syuraih al-Khaza‘iy, ia berkata, ―Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda, ‗Barangsiapa ditumpahkan darah dan dilukai, maka ia berhak

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 265


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

memilih salah satu di antara tiga ini; minta qishah, mengambil diyat,
atau memberi maaf.‖
Hadis ini dengan jelas menyatakan bolehnya seorang anak
Adam memberi pengampunan. Imam Muslim meriwayatkan dari
Abû Hurayrah dari Nabi saw., ia bersabda,
« »
―Tidaklah seorang laki-laki yang memberi pengampunan dari sebuah
kedzaliman kecuali Allah akan menambahkan kepadanya satu
kemuliaan.‖

Imam Turmudzi meriwayatkan dari Abû Darda, berkata,


―Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‗Tidaklah seorang laki-laki
yang tertimpa sesuatu di badannya, kemudian ia bersabar kecuali Allah
akan mengangkat derajatnya, dan mencabut dosa-dosanya,‖
Pengampunan dalam masalah jinâyât telah tersebut di
dalam al-Quran, Allah Swt. berfirman:


―Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.‖ (QS al-Baqarah [2]:
178)

Juga dalam ayat lainnya, Allah Swt. berfirman:


 

266 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

―Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka


barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah.‖ (QS asy-Syûra [42]: 40)

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa anak Adam


berhak memberikan pengampunan dalam masalah jinâyât. Karena
topik pembahasannya adalah jinayat, maka pengampunan hanya
berlaku khusus pada topik yang disebutkan oleh nash. Oleh
karena itu pengampunan dalam jinâyât hanaya dibolehkan dari
pihak shahibul haq.
Sedangkan posisi negara dalam jinâyât, maka jika shahibul
haq mengampuni, sanksi menjadi gugur. Dan Daulah tidak
berhak menjatuhkan sanksi. Oleh karena itu negara bukanlah
pihak yang memberikan pengampunan. Pihak yang memberikan
pengampunan hanyalah shahibul haq. Adapun, jika shahibul haq
tidak memberi pengampunan, demikian pula khalifah. Ini
didasarkan pada firman Allah Swt.:
 
―Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,‖
(QS al-Baqarah [2]: 179)

Yakni keberadaan qishash itu dapat menjaga kehidupan,


dan tidak adanya qishash menyebabkan tidak adanya kehidupan.
Qishash di sini adalah sanksi, sedangkan ―al-hayah‖ (hidup) adalah
‗ilat bagi qishash. Sedangkan ‗ilat ber???? dengan yang di-‗ilati ada
atau tidak adanya.
Dengan demikian, penjagaan daulah terhadap kehidupan
merupakan sebuah kewajiban. Oleh karena itu, pengampunan
(dari negara) akan menyebabkan ditinggalkannya kewajiban. Dan
hal ini tidak diperbolehkan, juga, Allah telah mengharamkan
pengampunan dalam hudûd dengan pelarangan yang sangat jelas.
Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Demikian pula hak Allah
dalam jinâyât, negara tidak memiliki hak untuk menggugurkannya
dan memberikan pengampunan terhadapnya. Itu sebabnya,

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 267


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

penguasa tidak boleh memberikan maaf, akan tetapi ia wajib


menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan oleh syâri‘ demi hak
Allah Swt.
Sedangkan ta‘zîr, penetapan sanksinya diserahkan kepada
khalifah dan kepada qadly dengan asumsi ia adalah wakil dari
khalifah. Khalifah berhak meringkankan sanksi, atau memberikan
pengampunan. Ia tidak wajib menjatuhkan sanksi. Dalilnya
adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu‘âdz bin
Jabal ra, ia berkata, ―Ya Rasulullah, apa pendapat Anda, tentang
seorang laki-laki yang mendatangi seorang wanita yang telah kenal, akan
tetapi ia tidak mendatangi istrinya kecuali setelah ia mendatangi wanita
tersebut, akan tetapi ia tidak menyetubuhi wanita tersebut. Maka Allah
Swt menurunkan ayat,
 
―Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam.‖ (QS Hûd [11]: 114),

kemudian beliau berkata, ‗Berwudlulah dan shalatlah!‖

Laki-laki tersebut telah melakukan perbuatan haram, dan


mengaku di depan Nabi saw., akan tetapi beliau saw tidak
menjatuhkan sanksi kepadanya dan malah memaafkannya. Dan
beliau mencukupkan orang tersebut dalam riwayat tadi dengan
sabdanya, ―Wudhlulah kemudian shalatlah.‖
Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berkata kepada laki-laki
tersebut, ―Apakah engkau mau shalat bersama kami?‖ Laki-laki
tersebut menjawab, ―Mau.‖ Kemudian beliau saw. membacakan
kepada orang tersebut:
 
―Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. ―(QS Hûd [11]: 114).

268 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Juga bahwa Rasulullah saw., telah menjatuhkan sanksi


kepada orang yang berkata kepadanya, ―Sesungguhnya ini adalah
sumpah yang tidak dimaksudkan untuk mendapat ridho Allah,‖
Demikian pula, beliau tidak memberikan sanksi orang yang
berkata kepadanya pada kasus ketetapan yang ia putuskan kepada
Zubair, ―Karena dia adalah anak dari pamanmu,‖ padahal Rasulullah
saw. sangat marah kepada laki-laki tersebut.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa penguasa jika
masalahd ari masalh-masalah ta‘zîr dilaporkan kepadanya, maka ia
berhak mengampuni pelaku kejahatan tersebut.
Demikian pula ia berhak mengemban sanksi bagi pelaku-
pelaku kejahatan, dan menetapkans anksi pada tingkatan yang
paling rendah (ringan). Dari ‗Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah
bersabda:
 
―Maafkanlah orang yang berperilaku baik, kecuali hudûd,

‖Iqaala ‗atsaratahu‖ adalah menolongnya dari kesedihan.


Artinya mungkin dengan memaafkan atau meringankannya. Dari
Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. bersabda: ―hlm. 211…
(tinggal dikopi dari file lain ..???)
Memaafkan dari kesalahan adalah dengan memaafkan,
maka ―al-tajâwazu‖ adalah ―al-shafh‖ (pemaafan). Oleh karena itu,
ta‘zîr dalam masalah ini membolehkan adanya pengampunan, dan
boleh juga memperingan sanksi. Akan tetapi semua ini hanyalan
hak khalifah. Sedangkan qadly, maka ia perlu dilihat; jika khalifah
menetapkan batas sanksi minimal bagi dirinya (qadly), maka qadly
tidak boleh memberinya maaf. Sebab, tidak boleh baginya untuk
menjatuhkan sanksi lebih ringan dari batas minimal yang telah
ditetapkan khalifah. Namun jika khalifah tidak menetapkan
baginya batas minimalnya, maka ia memiliki hak layaknya khalifah
untuk mengampuni dan memperingan sanksi. Mukhalafat sama
seperti ta‘zîr bila dinisbahkan terhadap pemaafan. Dalam
mukhalafat terjadi pula sebagaimana yang terjadi pada ta‘zîr dalam
hal pemaafan, tanpa ada perbedaan.
Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 269
Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Semua ini dalam masalah kejahatan, jika telah dilaporkan


kepada qadly, dan ia tidak menjatuhkan sanksi setelah itu
(pelaporan). Adapun jika ia telah menjatuhkan sanksi atas
kejahatan tersebut, maka ia tidak boleh memberi pemaafan dalam
kasus tersebut, kecuali dalam jinâyât, jika shahibul haq
memaafkannya. Mengenai ketidak-bolehan memberikan pemaafan
setelah adanya keputusan; maka dalam hal hudûd, hal itu nampak
jelas. Sebab, tidak adaa pemaafan dalam hudûd. Dan ini bersifat
umum, baik sebelum ada keputusan maupun sesudah ada
keputusan. Sedangkan dalam jinâyât jika tidak dimaafkan oleh
shahibul haq—maka karena jinâyât seperti hudûd, yakni menjadi hak
Allah—tidak ada perbedaan dalam masalah ini. Baik sebelum atau
sesudah ada keputusan sanksi.
Adapun jika dinisbahkan kepada ta‘zîr dan mukhalafat--
karena keputusan qadly jika tidak ditetapkan, berarti keputusan
tersebut mengikat seluruh kaum Muslim—maka qadly tidak boleh
membatalkannya, menganulirnya, mengubahnya,
memperingannya, dan melakukan apapun secara mutlak, selama
keputusan tersebut mengandung hudûd syar‘iy (sanksi syar‘iy).
Sebab, keputusan, tatkala telah dinyatakan oleh qadly, maka ia
tidak boleh membatalkannya secara mutlak dan memberi
pemaafan yang bertentangan dengan keputusannya. Oleh karena
itu, hal ini tidak diperbolehkan bagi qadly. Kecuali masalah jinâyât,
jika shahibul haq memberikan maaf. Sebab, nash-nash yang
menjelaskan hal tersebut bersifat umum. Allah Swt. berfirman:
 
―maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik‖ (QS asy-Syûra
[42]: 40)

Rasulullah saw. bersabda:


« »
―Tidaklah seorang laki-laki memaafkan dari suatu kedzaliman.‖

270 Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah


Created by Pustaka Thoriqul Izzah

Hadis ini bersifat umum mencakup sebelum dan sesudah ada


keputusan. Dengan begitu, jinâyât dikecualikan berdasarkan nash
yang shahih. Dan selain jinâyât tidak ada pengampunan setelah ada
keputusan, secara mutlak. 

Al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah 271

Anda mungkin juga menyukai