Landasan Teori
Pemanasan global dan permintaan akan kebutuhan energi di dunia yang semakin
meningkat mendorong industri konstruksi untuk membangun bangunan dengan
konsep bangunan hijau green building. Menurut Darmanto & Wiguna (2013)
bangunan hijau merupakan sebuah konsep merancang, membangun dan
mengoperasikan dengan tujuan untuk menciptakan bangunan yang hemat energi
dari segi penggunaan bahan, listrik, air, udara dan penerangan serta meminimalkan
dampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Greenship, salah satu faktor yang
diperhatikan dalam mengklasifikasi bangunan hijau yaitu tingkat efisiensi dan
konservasi energi. Salah satu solusi yang dapat mendukung bangunan hijau dalam
segi efisiensi dan konservasi energi yaitu penerapan penggunaan SPF sebagai bahan
insulasi.
Penerapan insulasi dalam bangunan berperan dalam meredam panas yang masuk ke
dalam bangunan dan ruangan sehingga mampu menghemat penggunaan energi dari
alat pendingin ruangan. Selain itu, insulasi ruangan ini juga mampu menjaga suhu
dalam ruangan sehingga penghuni merasa nyaman. Penghematan energi yang
ditimbulkan dari penerapan insulasi ini tentu akan berdampak pada emisi gas rumah
kaca (SOX, NOX, COX, CFC) yang pada umumnya dihasilkan pada alat pendingin
ruangan. Berkurangnya penggunaan energi akibat penerapan insulasi ini
meyebabkan emisi gas yang dihasilkan dari alat tersebut akan berkurang. Hal ini
menyebabkan berkurangnya emisi gas rumah kaca sehingga mengurangi dampak
dari pemanasan global. Penggunaan insulasi pada bangunan juga mampu
menghemat biaya. Hal tersebut dikarenakan penghematan biaya akibat
penghematan energi akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan
untuk pengaplikasian insulasi tersebut (Aditya, Mahlia, Rismanchi, Ng, &
Metselaar, 2017).
SPF menjadi salah satu jenis insulasi panas yang diterapkan dalam bangunan.
Polyurethane foam juga memiliki bentuk papan prefabrikasi yang digunakan
sebagai bahan untuk ducting AC yang memiliki fungsi yang sama yaitu agar panas
dari luar tidak masuk ke dalam saluran distribusi udara AC sehingga udara AC
dapat terdistribusi dengan suhu yang stabil. SPF mengandung dua senyawa yaitu
polyisocyanate umumnya berupa senyawa methylene diphenyl diisocyanate (MDI)
dan senyawa kedua yaitu senyawa polyhydroxl (Huang & Tsuang, 2014). Bomberg
& Kumaran (1999) menjelaskan proses pembentukan SPF diawali dengan
menyiapkan kedua senyawa dalam keadaan terpisah dan dalam keadaan cair (liquid
form). Senyawa polyisocyanate dengan senyawa polyhydroxl dipompa hingga
kedua senyawa bercampur membentuk senyawa polyurethane yang kemudian
langsung disemprotkan melalui pistol penyemprot pada area yang akan diinsulasi.
Pada saat kedua senyawa bercampur dan akan disemprotkan, larutan dari kedua
senyawa tersebut akan ditambahkan dengan blowing agent yang berfungsi untuk
mengembangkan larutan dari campuran kedua senyawa menjadi busa dan juga
ditambahkan zat aditif stabilisator yang berfungsi untuk mencegah busa membusuk.
Pencampuran kedua senyawa pada saat penyemprotan menyebabkan reaksi yang
melepaskan kalor sehingga meningkatkan suhu dari blowing agent sampai pada
titik didihnya. Pada saat mencapai titik didih, blowing agent akan menguap
menyebabkan gas dari uap akan menyebar dan terperangkap dalam sel-sel struktur
polimer dari larutan polyurethane sehingga membentuk busa yang kemudian
disebut dengan polyurethane foam. Proses terbentuknya busa hingga busa sudah
mengeras disebut dengan proses curing.
SPF pada umumnya diaplikasikan terhadap dinding maupun atap yang keadaaannya
terkena sinar matahari langsung. Pengaplikasian SPF dapat dilakukan pada bagian
luar maupun bagian dalam dari dinding atau atap bangunan. Pada proyek rumah
tinggal Kawasan Pluit Timur Residence, insulasi diterapkan di bawah dak atap
beton yang terkena sinar matahari langsung diilustrasikan seperti pada Gambar
IV.3.1. Dapat dilihat pada Gambar IV.3.1, SPF bekerja dengan menahan panas yang
disalurkan dari atas dak atap beton sulit masuk ke daerah di bawah dak atap beton
yang merupakan ruangan-ruangan untuk aktivitas penghuni rumah tinggal.
Wu, Sung, & Chu (1999) menjelaskan bahwa sebagian besar panas disalurkan
melalui konduksi yang berasal dari gas yang terperangkap di dalam sel-sel struktur
polimer dari SPF. Hal ini dapat terjadi karena pada saat proses pengembangan,
tekanan gas dari blowing agent yang ada di dalam sel struktur polimer berada di
bawah tekanan atmosferik. Keadaan ini menyebabkan udara dari luar terdifusi
secara perlahan ke dalam sel struktur polimer untuk mengembalikan tekanan di
dalam sel menjadi keadaan atmosferik. Udara luar memiliki nilai konduktivitas
setidaknya tiga kali lebih besar dibandingkan konduktivitas gas blowing agent yang
terperangkap dalam sel (Kuhn, Ebert, Schuster, Buttner, & Fricke, 1992). Dengan
masuknya udara ke dalam sel struktur polimer, kadar gas blowing agent yang
terperangkap akan berkurang. Hal ini menyebabkan kemampuan konduktivitas dari
SPF akan semakin tinggi sehingga kemampuan resistansi termal dari SPF akan
berkurang.
Resistivitas termal juga dapat dipengaruhi dari tingkat ketebalan busa. Semakin
tebal SPF yang diaplikasikan maka semakin baik resistansinya terhadap energi
panas. Hal itu dikarenakan ketebalan busa mampu menghambat udara untuk
berdifusi masuk ke dalam sel struktur polimer pada SPF. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, adanya kandungan udara luar akan menurunkan ketahanan
SPF terhadap panas menyebabkan peredaman panas tidak akan optimal.
Tabel IV.4.1.3 Resistivitas termal berdasarkan ketebalan busa
Ketebalan (mm) Resistivitas Termal (mKW-1)
40 39.5
50 39.9
75 42.4
Pekerja yang melakukan proses penyemprotan SPF merupakan orang pertama yang
akan terpapar MDI pada saat pengaplikasian penyemprotan SPF. Crespo & Galan
(1999) menyatakan bahwa pekerja pada umumnya mampu menghabiskan waktu
sekitar 2-5 hari dengan waktu bekerja 3-7 jam per hari dalam pengaplikasian SPF.
Waktu pengerjaan dapat berlangsung lebih lama ataupun lebih cepat bergantung
kepada produktivitas dari pekerja tersebut. Pada saat pengaplikasian SPF pekerja
yang membantu proses penyemprotan ataupun melewati area sekitar penyemprotan
juga akan terpapar MDI pada saat penyemprotan SPF.
Crespo & Galan (1999) melakukan penelitian paparan zat-zat volatile yang terurai
dari MDI terhadap pekerja di beberapa lokasi konstruksi. Berdasarkan standar
ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienists) batas
maksimum untuk paparan MDI yaitu 0,051 mg m-3. Hasil penelitian menunjukkan
pekerja yang melakukan penyemprotan terpapar MDI dengan konsentrasi berkisar
antara 0,010 mg m-3 sampai dengan 0,570 mg m-3 sedangkan pekerja yang
membantu proses penyemprotan ataupun pekerja yang melalui area sekitar
penyemprotan terpapar konsentrasi MDI berkisar antara 0,001 mg m-3 sampai
dengan 0,408 mg m-3 bervariasi bergantung pada daerah yang diinsulasi atau
diaplikasian SPF. Daerah di dalam ruangan (indoor) cenderung memiliki
konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang diaplikasikan pada ruangan
terbuka ataupun pada bagian dinding luar. Pekerja yang hanya membantu proses
penyemprotan SPF ataupun pekerja yang hanya melalui area sekitar penyemprotan
SPF terpapar MDI lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang melakukan
penyemprotan. Hal tersebut dikarenakan pekerja tidak selalu berada di area
penyemprotan dan juga berada jauh dari jangkauan pistol penyemprot sehingga
jumlah zat-zat volatile hasil peruraian MDI yang terpapar pada pekerja cenderung
akan lebih sedikit. Berdasarkan standar yang telah ditentukan MDI dan
membandingkannya dengan hasil penelitian yang diperoleh, besar paparan zat-zat
volatile dari peruraian MDI melewati batas yang telah ditentukan dan menyebabkan
pekerja-pekerja tersebut mengalami gejala iritasi kulit, mata memerah kesulitan
dalam bernafas dan asma.
Penghuni rumah tinggal juga dapat terpapar oleh zat-zat volatile hasil peruraian
MDI meskipun proses penyemprotan telah selesai dilakukan. Pada umumnya waktu
yang dibutuhkan untuk proses curing berkisar antara 7 jam sampai 72 jam (Huang
& Tsuang, 2014). Variasi waktu curing perlu diperhatikan karena waktu curing
akan menentukan lamanya waktu untuk zat-zat volatile tersebar. Hal ini menjadi
perlu menjadi pertimbangan untuk memperhitungkan waktu yang dibutuhkan agar
penghuni dapat masuk untuk menghuni setelah pengaplikasian SPF dilakukan.
Huang & Tsuang (2014) melakukan survei terhadap 10 rumah tinggal yang
menerapkan penggunaan SPF. Dari hasil survei tersebut dicatat bahwa seluruh
penghuni rumah tinggal merasakan bau yang tidak sedap pada saat pengaplikasian
dan juga dalam selang waktu dua hari setelah penyemprotan. Hasil survei juga
mencatat gejala-gejala penyakit yang dialami oleh para penghuni yang dapat dilihat
pada Tabel IV.2.1. Penghuni mengalami gejala penyakit tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu ketidaktahuan dari penghuni ataupun tidak adanya
pemberitahuan kepada penghuni oleh kontraktor untuk meninggalkan area
penyemprotan SPF sampai proses curing telah selesai. Beberapa hal lainnya yaitu
teknik penyemprotan yang tidak baik menyebabkan proses curing tidak sempurna
sehingga zat-zat volatile yang berasal dari MDI pada SPF menjadi terus terurai
dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, sirkulasi udara yang kurang baik
dan pemasangan ventilasi yang terlalu tertutup juga dapat menyebabkan konsentrasi
MDI meningkat. Hal ini dikarenakan, paparan MDI hanya akan tersebar pada area
penyemprotan, menyebabkan partikel zat-zat volatile terakumulasi hanya dalam
satu area sehingga konsentrasi dari paparan MDI pada area tersebut akan meningkat.
Tabel IV.2.1 Gejala Penyakit Akibat Paparan MDI
No Gejala Penyakit
1 Mata merah dan berair
2 Hidung terbakar
No Gejala Penyakit
3 Hidung tersumbat
4 Iritasi tenggorokan
5 Batuk
6 Kesulitan bernafas (dyspnea)
7 Dada sesak
8 Asma
9 Alergi
10 Sakit kepala
11 Pusing
12 Memori melemah
13 Kesulitan berkonsentrasi
14 Nyeri otot
15 Insomnia
16 Mual dan muntah
17 Keram perut
18 Ruam kulit
(Sumber: Huang & Tsuang, 2014)
Untuk mengurangi paparan MDI pada penghuni maka kontraktor atau pekerja yang
mengaplikasikan penyemprotan SPF wajib memberitahu penghuni untuk tidak
mengakses area penyemprotan selama penyemprotan dan 72 jam setelah
penyemprotan selesai. Selain itu, seluruh barang-barang yang ada di area
penyemprotan perlu dipindahkan atau ditutup dengan kain ataupun plastic sehingga
paparan zat-zat volatile tidak mengkontaminasi barang-barang tersebut. SPF juga
perlu diaplikasikan dengan baik sehingga proses curing dapat berlangsung lebih
cepat dan paparan MDI juga akan lebih sedikit. Ventilasi udara dan sirkulasi udara
yang baik juga akan membantu mengurangi akumulasi zat-zat volatile pada ruangan
sehingga menurunkan konsentrasi paparan pada area tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, L., Mahlia, T., Rismanchi, B., Ng, H., Hasan, M., & Metseelar, H. (2017).
A review on insulation materials for energy conservation in buildings.
Renwable and Sustainable Energy Reviews, 73, 1352-1365.
Badan Standarisasi Nasional. (2002). SNI 03-6816-2002 tentang Tata Cara
Penulangan Beton. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. (2011). SNI 03-6389-2011 tentang Konservasi Energi
Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung. Jakarta.
Bomberg, M., & Kumaran, M. (1999). Use of Field-Applied Polyurethane Foams
in Buildings. Construction Technology Update, 1-5.
Crespo, J., & Galan, J. (1999). Exposure to MDI During the Process of Insulating
Buildings with Sprayed Polyurethane Foam. The Annals of Occupational
Hygiene, 43(6), 415-419.
Darmanto, D., & Wiguna, I. P. (2013). Penelitian Kriteria Green Building pada
Gedung Rektorat ITS. Jurnal Teknik Pomits, 2(2), 186-190.
DerSimonian, R., & Laird, N. (1986). Meta-Analysis in Clinical Trials. Controlled
Clinical Trials, 7, 177-186.
Huang, Y.-C. T., & Tsuang, W. (2014). Health effects associated with faulty
application of spray polyurethane foam in residential homes. Environmental
Research, 134, 295-300.
Hunter, E. J., & Schidmt, F. L. (2004). Methods of Meta-Anlaysis. London: Sage
Publications.
Koesalamwardi, A. B., & Rostiyanti, S. F. (2019). Cost Optimum Design of Zero-
Energy Residential Building. Equity, Equality, And Justice In Urban
Housing Development (pp. 96-112). KnE Social Sciences.
Kuhn, J., Ebert, H.-P., Arduini-Schuster, M., Buttner, D., & J.Fricke. (1992).
Thermal transport in polystyrene and polyurethane foam insulations.
International Journal of Heat and Mass Transfer, 35(7), 1795-1801.
Musk, A. W., Peters, J. M., & Wegman, D. H. (1988). Isocyanates and Repiratory
Disease: Current Status. American Journal of Industrial Medicine, 13, 331-
349.
Tseng, C.-j., Yamaguchit, M., & Ohmorit, T. (1997). Thermal conductivity of
polyurethane foams from room temperature 20 K. Cyrogenics, 37, 305-312.
Wu, J.-W., Wen-Fa-Sung, & Chu, H.-S. (1999). Thermal Conductivity of
Polyurethane foams. International Journal of Heat and Mass Transfer, 42,
2211-2217.