Anda di halaman 1dari 13

Analisis Resistivitas Termal Bahan Polyurethane dan Dampak

Penggunaannya Terhadap Kesehatan

Tujuan & Ruang Lingkup Penelitian


Tujuan dari penelitian topik ini adalah:
1. Menjelaskan pentingnya konservasi energi pada bangunan dan penggunaan
SPF sebagai insulasi panas pada rumah tinggal;
2. Mengetahui kemampuan konduktivitas termal pada SPF dan faktor-faktor
yang mempengaruhi; dan
3. Mengetahui dampak penggunaan SPF terhadap kesehatan pekerja dan
penghuni rumah tinggal.
Analisis topik menggunakan metode meta-analisis. Meta-analisis merupakan
sebuah metode analisis dengan menggabungkan hasil-hasil analisis penelitian yang
telah dilakukan dari berbagai literatur (DerSimonian & Laird, 1986). Tujuan
dilakukannya meta-analisis adalah untuk memberikan hasil gabungan dari berbagai
studi kasus sehingga dapat menjadi dasar untuk perkembangan sebuah teori (Hunter
& Schmidt, 2004). Beberapa literatur dikumpulkan untuk memberikan data terkait
penggunanan SPF, resistivitas termal bahan dari SPF serta dampak kesehatan yang
disebabkan dari penggunaan SPF terhadap pekerja dan penghuni rumah tinggal.

Landasan Teori
Pemanasan global dan permintaan akan kebutuhan energi di dunia yang semakin
meningkat mendorong industri konstruksi untuk membangun bangunan dengan
konsep bangunan hijau green building. Menurut Darmanto & Wiguna (2013)
bangunan hijau merupakan sebuah konsep merancang, membangun dan
mengoperasikan dengan tujuan untuk menciptakan bangunan yang hemat energi
dari segi penggunaan bahan, listrik, air, udara dan penerangan serta meminimalkan
dampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Greenship, salah satu faktor yang
diperhatikan dalam mengklasifikasi bangunan hijau yaitu tingkat efisiensi dan
konservasi energi. Salah satu solusi yang dapat mendukung bangunan hijau dalam
segi efisiensi dan konservasi energi yaitu penerapan penggunaan SPF sebagai bahan
insulasi.
Penerapan insulasi dalam bangunan berperan dalam meredam panas yang masuk ke
dalam bangunan dan ruangan sehingga mampu menghemat penggunaan energi dari
alat pendingin ruangan. Selain itu, insulasi ruangan ini juga mampu menjaga suhu
dalam ruangan sehingga penghuni merasa nyaman. Penghematan energi yang
ditimbulkan dari penerapan insulasi ini tentu akan berdampak pada emisi gas rumah
kaca (SOX, NOX, COX, CFC) yang pada umumnya dihasilkan pada alat pendingin
ruangan. Berkurangnya penggunaan energi akibat penerapan insulasi ini
meyebabkan emisi gas yang dihasilkan dari alat tersebut akan berkurang. Hal ini
menyebabkan berkurangnya emisi gas rumah kaca sehingga mengurangi dampak
dari pemanasan global. Penggunaan insulasi pada bangunan juga mampu
menghemat biaya. Hal tersebut dikarenakan penghematan biaya akibat
penghematan energi akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan
untuk pengaplikasian insulasi tersebut (Aditya, Mahlia, Rismanchi, Ng, &
Metselaar, 2017).

SPF menjadi salah satu jenis insulasi panas yang diterapkan dalam bangunan.
Polyurethane foam juga memiliki bentuk papan prefabrikasi yang digunakan
sebagai bahan untuk ducting AC yang memiliki fungsi yang sama yaitu agar panas
dari luar tidak masuk ke dalam saluran distribusi udara AC sehingga udara AC
dapat terdistribusi dengan suhu yang stabil. SPF mengandung dua senyawa yaitu
polyisocyanate umumnya berupa senyawa methylene diphenyl diisocyanate (MDI)
dan senyawa kedua yaitu senyawa polyhydroxl (Huang & Tsuang, 2014). Bomberg
& Kumaran (1999) menjelaskan proses pembentukan SPF diawali dengan
menyiapkan kedua senyawa dalam keadaan terpisah dan dalam keadaan cair (liquid
form). Senyawa polyisocyanate dengan senyawa polyhydroxl dipompa hingga
kedua senyawa bercampur membentuk senyawa polyurethane yang kemudian
langsung disemprotkan melalui pistol penyemprot pada area yang akan diinsulasi.
Pada saat kedua senyawa bercampur dan akan disemprotkan, larutan dari kedua
senyawa tersebut akan ditambahkan dengan blowing agent yang berfungsi untuk
mengembangkan larutan dari campuran kedua senyawa menjadi busa dan juga
ditambahkan zat aditif stabilisator yang berfungsi untuk mencegah busa membusuk.
Pencampuran kedua senyawa pada saat penyemprotan menyebabkan reaksi yang
melepaskan kalor sehingga meningkatkan suhu dari blowing agent sampai pada
titik didihnya. Pada saat mencapai titik didih, blowing agent akan menguap
menyebabkan gas dari uap akan menyebar dan terperangkap dalam sel-sel struktur
polimer dari larutan polyurethane sehingga membentuk busa yang kemudian
disebut dengan polyurethane foam. Proses terbentuknya busa hingga busa sudah
mengeras disebut dengan proses curing.

SPF pada umumnya diaplikasikan terhadap dinding maupun atap yang keadaaannya
terkena sinar matahari langsung. Pengaplikasian SPF dapat dilakukan pada bagian
luar maupun bagian dalam dari dinding atau atap bangunan. Pada proyek rumah
tinggal Kawasan Pluit Timur Residence, insulasi diterapkan di bawah dak atap
beton yang terkena sinar matahari langsung diilustrasikan seperti pada Gambar
IV.3.1. Dapat dilihat pada Gambar IV.3.1, SPF bekerja dengan menahan panas yang
disalurkan dari atas dak atap beton sulit masuk ke daerah di bawah dak atap beton
yang merupakan ruangan-ruangan untuk aktivitas penghuni rumah tinggal.

Gambar IV.3.1 Ilustrasi pengaplikasian SPF dan penyerapan serta penyaluran


panas radiasi matahari
IV.1 Analisis Topik
IV.4.1 Dampak Penggunaan SPF dari Segi Resistivitas Termal
Beton memiliki kecenderungan menyimpan energi panas dari radiasi matahari. Hal
tersebut dapat dilihat dari kemampuan beton mengabsorptansi radiasi matahari
berdasarkan SNI 03-6389-2011 yang dapat dilihat pada Tabel IV.4.1.1.
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat kemampuan beton dalam menyerap radiasi
matahari cukup tinggi berkisar antara 0,86-0,91. Oleh karena itu, diperlukan
penggunaan SPF sebagai insulasi untuk meredam panas yang dihantarkan oleh
beton. SPF memiliki resistivitas termal yang cukup tinggi sehingga mampu
meredam panas yang dihantarkan oleh beton.
Tabel IV.4.1.1 Tabel nilai absoprbtans radiasi matahari untuk material
pada dinding dan atap transparan
No. Bahan dinding luar α
1 Beton berat 0,91
2 Bata merah 0,89
3 Bitumunous felt 0,88
4 Batu sabak 0,87
5 Beton ringan 0,86
Tabel IV.4.1.1 Tabel nilai absoprbtans radiasi matahari untuk material
pada dinding dan atap transparan (lanjutan)

No. Bahan dinding luar α


6 Aspal jalan setapak 0,82
7 Kayu permukaan halus 0,78
8 Beton ekspos 0,61
9 Ubin putih 0,58
10 Bata kuning tua 0,56
11 Atap putih 0,50
12 Cat aluminium 0,40
13 Kerikil 0,29
14 Seng putih 0,26
15 Bata gelazur putih 0,25
16 Lembaran aluminium yang dikilapkan 0,12
(Sumber: SNI 03-6389-2011)
Resistivitas termal merupakan kemampuan suatu bahan untuk menahan energi
panas untuk keluar atau masuk. Nilai resistivitas termal dapat diketahui melalui
nilai konduktivitas termal. Konduktivitas termal merupakan kebalikan dari
resistivitas termal yaitu kemampuan suatu bahan dalam menghantarkan energi
panas atau energi kalor. Faktor-faktor yang mempengaruhi konduktivitas termal
pada SPF yaitu gas yang terperangkap di dalam sel pada busa dan ketebalan lapisan
SPF.

Wu, Sung, & Chu (1999) menjelaskan bahwa sebagian besar panas disalurkan
melalui konduksi yang berasal dari gas yang terperangkap di dalam sel-sel struktur
polimer dari SPF. Hal ini dapat terjadi karena pada saat proses pengembangan,
tekanan gas dari blowing agent yang ada di dalam sel struktur polimer berada di
bawah tekanan atmosferik. Keadaan ini menyebabkan udara dari luar terdifusi
secara perlahan ke dalam sel struktur polimer untuk mengembalikan tekanan di
dalam sel menjadi keadaan atmosferik. Udara luar memiliki nilai konduktivitas
setidaknya tiga kali lebih besar dibandingkan konduktivitas gas blowing agent yang
terperangkap dalam sel (Kuhn, Ebert, Schuster, Buttner, & Fricke, 1992). Dengan
masuknya udara ke dalam sel struktur polimer, kadar gas blowing agent yang
terperangkap akan berkurang. Hal ini menyebabkan kemampuan konduktivitas dari
SPF akan semakin tinggi sehingga kemampuan resistansi termal dari SPF akan
berkurang.

Wu et al. (1999) melakukan penelitian dengan menguji 12 spesimen SPF dengan 6


spesimen berada dalam keadaan tekanan dalam sel sebesar 760 torr dan 6 spesimen
lainnya dalam keadaan tekanan dalam sel sebesar 0,014 torr dengan keadaan
lingkungan dalam kondisi vakum (tidak ada udara). Pengujain tersebut dilakukan
untuk mengetahui besar pengaruh konduksi akibat gas terhadap konduktivitas
termal SPF. Setiap 6 spesimen memiliki ukuran sel yang bervariasi antara spesimen
yang satu dengan spesimen lainnya berkisar antara 150-350 µm. Masing-masing
spesimen kemudian dikonduksi dengan suhu rata-rata 286 K. Hasil percobaan dapat
dilihat pada Tabel IV.5.4.2. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada
tekanan lingkungan 760 torr, spesimen SPF memiliki konduktivitas termal efektif
berkisar antara 33,3×10-3 Wm-1K-1 sampai dengan 34,3×10-3 Wm-1K-1. Untuk
spesimen SPF dengan tekanan lingkungan 0,014 torr memiliki konduktivitas termal
efektif sebesar 6,7×10-3 Wm-1K-1 sampai dengan 8,7×10-3 Wm-1K-1.
Tabel IV.4.1.2 Hasil data pengujian 6 spesimen pada keadaan tekanan 760 torr
dan 0,014 torr dengan ketebalan spesimen 10 mm
Parameter/sampel A B C D E F
0.037 0.041 0.043 0.042 0.038 0.029
fv (fraksi volume padat)
330 341 212 147 214 157
Ukuran sel (mm)
Konduktivitas radiasi 1.91 2.12 1.01 0.82 1.22 0.82
(×10-3 Wm-1K-1)
Konduktivitas padat 32.4 32.4 32.5 32.7 32.9 32.5
760 torr
(×10-3 Wm-1K-1)
Konduktivitas efektif 34.3 34.5 33.5 33.5 34.1 33.3
(×10-3 Wm-1K-1)
Konduktivitas radiasi 1.91 2.12 1.01 0.82 1.22 0.82
(×10-3 Wm-1K-1)
Konduktivitas padat 7.04 7.03 6.33 6.4 6.7 5.99
0.014 torr
(×10-3 Wm-1K-1)
Konduktivitas efektif 8.95 9.15 7.34 7.22 7.92 6.81
(×10-3 Wm-1K-1)
(Sumber: Wu et al., 1999)

Terdapat perbedaan yang signifikan antara konduktivitas termal pada spesimen


dalam keadaan 760 torr dengan spesimen dalam keadaan 0,014 torr. Hal ini
dikarenakan pada saat percobaan dalam keadaan tekanan lingkungan 0,014 torr,
difusi udara luar untuk masuk akan terhambat sehingga dapat diasumsikan tidak
ada udara luar yang terdifusi ke dalam sel struktur polimer dari SPF. Hal tersebut
menyebabkan proses konduktivitas energi panas hanya dilakukan oleh gas blowing
agent yang terperangkap di dalam sel. Sedangkan pada keadaan 760 torr yang
merupakan keadaan atmosferik menyebabkan udara luar perlahan terdifusi ke
dalam sel sehingga konduktivitas energi panas akan melibatkan udara luar. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa 70% sampai 80% dari konduktivitas termal,
diakibatkan oleh gas yang terperangkap di dalam sel struktur polimer pada SPF.
Dengan nilai konduktivitas termal sebesar 33,3×10-3 Wm-1K-1 sampai dengan
34,3×10-3 Wm-1K-1 maka didapatkan nilai resistivitas termal sebesar 29,2 mKW-1
sampai dengan 30 mKW-1 dengan ketebalan spesimen SPF 10 mm.

Resistivitas termal juga dapat dipengaruhi dari tingkat ketebalan busa. Semakin
tebal SPF yang diaplikasikan maka semakin baik resistansinya terhadap energi
panas. Hal itu dikarenakan ketebalan busa mampu menghambat udara untuk
berdifusi masuk ke dalam sel struktur polimer pada SPF. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, adanya kandungan udara luar akan menurunkan ketahanan
SPF terhadap panas menyebabkan peredaman panas tidak akan optimal.
Tabel IV.4.1.3 Resistivitas termal berdasarkan ketebalan busa
Ketebalan (mm) Resistivitas Termal (mKW-1)
40 39.5
50 39.9
75 42.4

Menurut Wu et al. (1999) dalam mendukung kemampuan resistivitas termal SPF,


campuran senyawa dari SPF dapat dipanasi terlebih dahulu. Kelebihan dalam
memanaskan campuran senyawa tersebut yaitu dapat mengurangi waktu yang
dibutuhkan untuk curing. Hal tersebut dikarenakan menaikkan suhu dapat
meningkatkan proses tumbukan partikel yang kemudian menyebabkan laju reaksi
semakin cepat sehingga proses curing dapat berlangsung lebih cepat. Hal yang
kedua yaitu peningkatan suhu akan meningkatkan tekanan di dalam sel struktur
polimer pada saat diaplikasikan. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan
perbedaan tekanan di dalam struktur dengan tekanan lingkungan menurun sehingga
udara yang terdifusi masuk akan lebih sedikit. Hal tersebut menyebabkan
kemampuan konduktivitas termal menjadi lebih rendah dan resistivitas termal
bahan semakin tinggi.

IV.4.2 Dampak Penggunaan SPF dari Segi Kesehatan


Penggunaan SPF sebagai insulasi dalam bangunan menjadi salah satu solusi dalam
meningkatkan efisiensi dan konservasi energi. Namun penggunaan SPF juga
membawa dampak negatif dalam segi kesehatan. SPF mengandung senyawa
polyisocyanate yaitu MDI yang merupakan salah satu senyawa yang berbahaya
bagi tubuh. Isocyanate merupakan zat yang reaktif yang mampu mengiritasi selaput
lendir pada mata dan saluran pernafasan (Crespo & Galan, 1999). Proses
penyemprotan SPF yang tidak diaplikasikan dengan baik dapat menimbulkan zat-
zat kimia volatile terurai dari senyawa MDI pada SPF (Huang & Tsuang, 2014).
Zat-zat kimia volatile merupakan zat yang mudah menguap dan berbentuk gas serta
memiliki ukuran yang sangat kecil. Zat-zat volatile ini apabila dihirup dalam waktu
yang lama secara terus menerus dapat mengakibatkan penyakit nausea, sakit kepala,
batuk, iritasi hidung dan tenggorokan serta beberapa penyakit pernafasan lainnya
dan yang terburuk dapat menimbulkan penyakit bronkitis (Crespo & Galan, 1999).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terurainya zat-zat volatile ini adalah teknik
penyemprotan SPF, produk ketebalan SPF yang diaplikasikan serta keadaan
lingkungan seperti kelembapan udara dan suhu lingkungan di sekitar SPF pada saat
selesai disemprotkan dan melalui tahap curing. Crespo & Galan (1999) menyatakan
bahwa penyemprotan tidak disarankan dilakukan pada saat dalam keadaan suhu
ruangan 10˚C atau ketika kelembapan udara di atas 10%.

Pekerja yang melakukan proses penyemprotan SPF merupakan orang pertama yang
akan terpapar MDI pada saat pengaplikasian penyemprotan SPF. Crespo & Galan
(1999) menyatakan bahwa pekerja pada umumnya mampu menghabiskan waktu
sekitar 2-5 hari dengan waktu bekerja 3-7 jam per hari dalam pengaplikasian SPF.
Waktu pengerjaan dapat berlangsung lebih lama ataupun lebih cepat bergantung
kepada produktivitas dari pekerja tersebut. Pada saat pengaplikasian SPF pekerja
yang membantu proses penyemprotan ataupun melewati area sekitar penyemprotan
juga akan terpapar MDI pada saat penyemprotan SPF.

Crespo & Galan (1999) melakukan penelitian paparan zat-zat volatile yang terurai
dari MDI terhadap pekerja di beberapa lokasi konstruksi. Berdasarkan standar
ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienists) batas
maksimum untuk paparan MDI yaitu 0,051 mg m-3. Hasil penelitian menunjukkan
pekerja yang melakukan penyemprotan terpapar MDI dengan konsentrasi berkisar
antara 0,010 mg m-3 sampai dengan 0,570 mg m-3 sedangkan pekerja yang
membantu proses penyemprotan ataupun pekerja yang melalui area sekitar
penyemprotan terpapar konsentrasi MDI berkisar antara 0,001 mg m-3 sampai
dengan 0,408 mg m-3 bervariasi bergantung pada daerah yang diinsulasi atau
diaplikasian SPF. Daerah di dalam ruangan (indoor) cenderung memiliki
konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang diaplikasikan pada ruangan
terbuka ataupun pada bagian dinding luar. Pekerja yang hanya membantu proses
penyemprotan SPF ataupun pekerja yang hanya melalui area sekitar penyemprotan
SPF terpapar MDI lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang melakukan
penyemprotan. Hal tersebut dikarenakan pekerja tidak selalu berada di area
penyemprotan dan juga berada jauh dari jangkauan pistol penyemprot sehingga
jumlah zat-zat volatile hasil peruraian MDI yang terpapar pada pekerja cenderung
akan lebih sedikit. Berdasarkan standar yang telah ditentukan MDI dan
membandingkannya dengan hasil penelitian yang diperoleh, besar paparan zat-zat
volatile dari peruraian MDI melewati batas yang telah ditentukan dan menyebabkan
pekerja-pekerja tersebut mengalami gejala iritasi kulit, mata memerah kesulitan
dalam bernafas dan asma.

Untuk mengurangi paparan yang diterima pekerja yang melakukan penyemprotan


SPF, perlu menggunakan alat-alat pelindung berupa pakaian khusus tertutup,
penutup kepala, masker mulut khusus yang mampu menyaring partikel volatile
serta pelindung mata yang berfungsi mencegah zat-zat volatile masuk ke dalam
mata. Untuk pekerja yang membantu proses penyemprotan perlu memakai alat-alat
pelindung yang digunakan oleh pekerja yang melakukan penyemprotan apabila
berada dekat dengan area penyemprotan. Namun apabila pekerja hanya melalui
daerah di sekitar area penyemprotan perlu menggunakan masker mulut sekali pakai
untuk mengurangi partikel-partikel zat volatile terhirup ke dalam saluran
pernafasan.

Penghuni rumah tinggal juga dapat terpapar oleh zat-zat volatile hasil peruraian
MDI meskipun proses penyemprotan telah selesai dilakukan. Pada umumnya waktu
yang dibutuhkan untuk proses curing berkisar antara 7 jam sampai 72 jam (Huang
& Tsuang, 2014). Variasi waktu curing perlu diperhatikan karena waktu curing
akan menentukan lamanya waktu untuk zat-zat volatile tersebar. Hal ini menjadi
perlu menjadi pertimbangan untuk memperhitungkan waktu yang dibutuhkan agar
penghuni dapat masuk untuk menghuni setelah pengaplikasian SPF dilakukan.

Huang & Tsuang (2014) melakukan survei terhadap 10 rumah tinggal yang
menerapkan penggunaan SPF. Dari hasil survei tersebut dicatat bahwa seluruh
penghuni rumah tinggal merasakan bau yang tidak sedap pada saat pengaplikasian
dan juga dalam selang waktu dua hari setelah penyemprotan. Hasil survei juga
mencatat gejala-gejala penyakit yang dialami oleh para penghuni yang dapat dilihat
pada Tabel IV.2.1. Penghuni mengalami gejala penyakit tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu ketidaktahuan dari penghuni ataupun tidak adanya
pemberitahuan kepada penghuni oleh kontraktor untuk meninggalkan area
penyemprotan SPF sampai proses curing telah selesai. Beberapa hal lainnya yaitu
teknik penyemprotan yang tidak baik menyebabkan proses curing tidak sempurna
sehingga zat-zat volatile yang berasal dari MDI pada SPF menjadi terus terurai
dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, sirkulasi udara yang kurang baik
dan pemasangan ventilasi yang terlalu tertutup juga dapat menyebabkan konsentrasi
MDI meningkat. Hal ini dikarenakan, paparan MDI hanya akan tersebar pada area
penyemprotan, menyebabkan partikel zat-zat volatile terakumulasi hanya dalam
satu area sehingga konsentrasi dari paparan MDI pada area tersebut akan meningkat.
Tabel IV.2.1 Gejala Penyakit Akibat Paparan MDI
No Gejala Penyakit
1 Mata merah dan berair
2 Hidung terbakar

No Gejala Penyakit
3 Hidung tersumbat
4 Iritasi tenggorokan
5 Batuk
6 Kesulitan bernafas (dyspnea)
7 Dada sesak
8 Asma
9 Alergi
10 Sakit kepala
11 Pusing
12 Memori melemah
13 Kesulitan berkonsentrasi
14 Nyeri otot
15 Insomnia
16 Mual dan muntah
17 Keram perut
18 Ruam kulit
(Sumber: Huang & Tsuang, 2014)
Untuk mengurangi paparan MDI pada penghuni maka kontraktor atau pekerja yang
mengaplikasikan penyemprotan SPF wajib memberitahu penghuni untuk tidak
mengakses area penyemprotan selama penyemprotan dan 72 jam setelah
penyemprotan selesai. Selain itu, seluruh barang-barang yang ada di area
penyemprotan perlu dipindahkan atau ditutup dengan kain ataupun plastic sehingga
paparan zat-zat volatile tidak mengkontaminasi barang-barang tersebut. SPF juga
perlu diaplikasikan dengan baik sehingga proses curing dapat berlangsung lebih
cepat dan paparan MDI juga akan lebih sedikit. Ventilasi udara dan sirkulasi udara
yang baik juga akan membantu mengurangi akumulasi zat-zat volatile pada ruangan
sehingga menurunkan konsentrasi paparan pada area tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, L., Mahlia, T., Rismanchi, B., Ng, H., Hasan, M., & Metseelar, H. (2017).
A review on insulation materials for energy conservation in buildings.
Renwable and Sustainable Energy Reviews, 73, 1352-1365.
Badan Standarisasi Nasional. (2002). SNI 03-6816-2002 tentang Tata Cara
Penulangan Beton. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. (2011). SNI 03-6389-2011 tentang Konservasi Energi
Selubung Bangunan pada Bangunan Gedung. Jakarta.
Bomberg, M., & Kumaran, M. (1999). Use of Field-Applied Polyurethane Foams
in Buildings. Construction Technology Update, 1-5.
Crespo, J., & Galan, J. (1999). Exposure to MDI During the Process of Insulating
Buildings with Sprayed Polyurethane Foam. The Annals of Occupational
Hygiene, 43(6), 415-419.
Darmanto, D., & Wiguna, I. P. (2013). Penelitian Kriteria Green Building pada
Gedung Rektorat ITS. Jurnal Teknik Pomits, 2(2), 186-190.
DerSimonian, R., & Laird, N. (1986). Meta-Analysis in Clinical Trials. Controlled
Clinical Trials, 7, 177-186.
Huang, Y.-C. T., & Tsuang, W. (2014). Health effects associated with faulty
application of spray polyurethane foam in residential homes. Environmental
Research, 134, 295-300.
Hunter, E. J., & Schidmt, F. L. (2004). Methods of Meta-Anlaysis. London: Sage
Publications.
Koesalamwardi, A. B., & Rostiyanti, S. F. (2019). Cost Optimum Design of Zero-
Energy Residential Building. Equity, Equality, And Justice In Urban
Housing Development (pp. 96-112). KnE Social Sciences.
Kuhn, J., Ebert, H.-P., Arduini-Schuster, M., Buttner, D., & J.Fricke. (1992).
Thermal transport in polystyrene and polyurethane foam insulations.
International Journal of Heat and Mass Transfer, 35(7), 1795-1801.
Musk, A. W., Peters, J. M., & Wegman, D. H. (1988). Isocyanates and Repiratory
Disease: Current Status. American Journal of Industrial Medicine, 13, 331-
349.
Tseng, C.-j., Yamaguchit, M., & Ohmorit, T. (1997). Thermal conductivity of
polyurethane foams from room temperature 20 K. Cyrogenics, 37, 305-312.
Wu, J.-W., Wen-Fa-Sung, & Chu, H.-S. (1999). Thermal Conductivity of
Polyurethane foams. International Journal of Heat and Mass Transfer, 42,
2211-2217.

Anda mungkin juga menyukai