PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
mental anak didik ke arah yang lebih baik sehingga guru dapat menanamkan
nilai-nilai baik dalam diri anak didik.
B. Rumusan masalah
Rumusanmasalahdalampenulisanmakalahiniadalahsebagaiberikut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Nata dalam (Indrawan, 2018) kata guru berasal dalam bahasa
Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris, di jumpai kata
teacher yang berarti pengajar. Guru dalam pengertian sederhana adalah orang
yang memfasilitasi alih ilmu pengetahuan dari sumber belajar kepada peserta
didik. Sementara masyarakat memandang guru sebagai orang yang melaksanakan
pendidikan di sekolah, masjid, mushala, atau tempat lain. Semua pihak sependapat
bila guru memegang peranan amat penting dalam mengembangkan sumber daya
manusia melalui pendidikan.
Guru adalah orang yang dikaruniai ilmu banyak dan beramal serta
mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Seorang guru di pandang lebih
mulia daripada malaikat langit dan bumi. Manusia demikian dapat diibaratkan
matahari yang menyinari dirinya sendiri dan memberikan sinarnya kepada benda
lain serta akan di tinggikan derajatnya beberapa tingkat oleh Allah Swt. Hal
tersebut telah di jelaskan di dalam Al-Qur’an surah Mujadalah ayat 11.
1. AkhlakSeorangGuru
Menurut Alba (2012) guru atau mursyid dalam sistem tasawuf adalah
asyrafunnasi fi at-tariqah, artinya orang yang paling tinggi martabatnya dalam
suatu tarekat. Mursyid mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada
Allah sekaligus memberikan contoh bagaimana ibadah yang benar secara syariat
dan hakikat. Betapa penting keberadaan guru dalam suatu tarekat, sehingga
dinyatakan bahwa tidak benar seseorang mengamalkan suatu tarekat tanpa guru.
3
Guru tidak sekedar mengajarkan materi ajaran tasawuf, tapi melakukan Talqin
atau bai’at yang tidak bisa dilakukan orang lain.
Talqin adalah suatu proses dimana terjadi di dalamnya pemasukan nur
nubuwwah ke dalam hati murid. Sekaligus diajarkan pula bagaimana cara
berdzikir kepada Allah dengan metode yang ada dalam tarekad termaksud.
Menyangkut pentingnya guru dalam mengamalkan tarekat, Al-Gazali
menyatakan: “Begitulah halnya seorang murid membutuhkan seorang Mursyid
atau guru sang petunjuk, yang membimbingnya pada jalan yang lurus. Sebab jalan
keagamaan begitu samar-samar, dan jalan setan begitu beraneka. Barang siapa
tidak punya sang penunjuk (mursyid) yang menjadi panutannya, dia akan
dibimbing setan kearah jalannya. Hendaklah ia berpegang teguh kepada gurunya
bagaikan pegangan seorang buta di pinggir sungai, dimana sepenuhnya dia
menyerahkan dirinya kepada pembimbingnya, serta tida berselisih pendapat
denganya.
Kriteria Mursyid
4
12. Mursyid harus bisa memberi petunjuk tertentu pada situasi tertentu pada
situasi tertentu pada muridnya.
13. Merahasiakan hal-hal yang istimewa dan gerak-gerik dalam kehidupannya.
14. Mursyid selalu mengawasi muridnya dalam kehidupan sehari-hari.
15. Seorang mursyid harus mencegah berlebihan dalam makan dan minum.
16. Seorang musyid harus menyediakan tempat untuk berkhalawat bagi
murid-muridnya.
17. Menutup pergaulan murid dengan mursyid yang lain.
Membahas masalah yang sama, Amin Kurdi dalam bukunya Tanwir al-
Qulub mengutarakan kriteria mursyid sebagai berikut:
1. Seorang mursyid hendaknya mengetahui hukum fikih dan tauhid yang
diperlukan oleh para pengikut jalan ruhani.
2. Mengenal berbagai kesempurnaan hati, etika-etikanya, wabah dan
penyakit-penyakit jiwa serta cara menjaga kesehatan dan kestabilannya.
3. Bermurah hati dan berbelas kasih kepada kaum muslimin, khususnya
kepada murid.
4. Menutup aib para murid yang terlihat olehnya.
5. Bersih hati terhadap harta para murid, serta tidak tamak terhadap sesuatu
yang mereka miliki.
6. Menyebarkan apa yang diperintahkan Allah dan mencegah apa yang
dilarang-Nya.
7. Tidak duduk bersama murid-muridnya kecuali hanya sekedar yang
diperlukan.
8. Ucapannya bersih dari campuran-campuran hawa nafsu, senda gurau
berlebihan, dan sesuatu yang tidak bermakna.
9. Sangat toleran terhadap hak-hak dirinya serta tidak mengharapkan
dimuliakan atau dihormati.
10. Jika melihat salah satu murid di dalam hatinya hilang rasa hormat dan
wibawa karena banyak duduk dan bergaul bersamanya, dia tidak
5
menyuruhnya duduk berkhalawat di tempat yang tidak begitu jauh dan
tidak begitu dekat, tetapi diantara keduanya.
11. Apabila ia tahu penghormatan kepadanya jatuh dari hati seorang murid, ia
mengubahnya dengan penuh kasih sayang.
12. Tidak lalai dalam membimbing murid menuju sesuatu yang dapat
memperbaiki kondisi rohaninya.
13. Memberikan tambahan amalan yang dapat mendorong dan menaikkan
tahapan rohani yang lebih tinggi dan lebih mulia.
14. Mencegah murid-muridnya berbicara dengan orang-orang selain ikhwan
kecuali karena darurat.
15. Selalu berkhalwat (menyendiri) tidak mengizinkan seorang murid pun
menemuinya kecuali orang yang khusus baginya.
16. Sama sekali tidak mengizikan muridnya mengetahui setiap gerakanya
maupun rahasia lainnya.
17. Selamanya tidak toleran terhadap murid yang banyak makan.
18. Melarang sahabat-sahabatnya bergaul dengan sahabat syeikh lain.
19. Menjaga diri dari bolak-balik dari para penguasa agar tidak di contoh
murid-muridnya.
20. Pembicaraan kepada para murid dilakukan dengan cara kasih sayang.
21. Jika diundah oleh salah satu muridnya, ia memenuhinya.
22. Apabila ia duduk dihadapan murid-muridnya, ia duduk dengan tenang dan
wibawa.
23. Jika salah satu murid menemunya, ia tidak bermuka masam.
24. Jika salah satu muridnya tidak hadir maka ia mencari tau alasan ketidak
hadirannya.
6
(3) Berperilaku asketis (zuhud), membiasakan diri hidup sederhana sesuai
dengan kebutuhan hidup layak (KHL) dan selalu merasa berkecukupan
(qanâ‟ah).
(4) Memuliakan ilmu dengan tidak menjadikannya sebagai alat atau media
untuk mencapai tujuan duniawi pragmatis.
(5) Menghindarkan diri dari pekerjaan tercela atau tindakan yang kurang
pantas, baik berdasarkan perspektif agama maupun menurut adat
kebiasaan atau sesuai dengan adab masyarakat yang berlaku secara
umum dan luas, termasuk terhadap hal yang dianggap makruh secara
syar‟i.
(6) Harus mampu mengaktualisasikan ajaran agama, spesifiknya yang
berkaitan dengan amaliah lahiriah yang sangat tampak terlihat.
(7) Selalu menjaga kontinuitas pelbagai amalan sunnah, baik yang terkait
dengan perkataan maupun perbuatan.
(8) Mendasarkan interaksinya (mu‟âmalah) kepada akhlak mulia.
(9) Menjauhkan diri dan menyucikan jiwa dari berbagai akhlak buruk
(akhlâq radîyyah) serta menghiasi dan menumbuhkembangkan
beragam akhlak baik yang terpuji (akhlâq radiyyah) dalam dirinya,
baik lahir maupun batin.
(10) Secara kontinuitas berkewajiban untuk selalu menambah wawasan
ilmu dan memperdalam cakrawala pengetahuannya sepanjang hidup.
(11) Tidak boleh merasa malu untuk mengambil faedah ilmu atau bahkan
untuk belajar dari orang yang lebih yunior, baik dalam jabatan,
genealogi keturunan atau dalam usia, termasuk bisa saja ia belajar dari
para muridnya.
(12) Memiliki perhatian untuk memiliki kemampuan dalam menulis,
menyusun dan mengompilasi karya ilmiah sesuai dengan kompetensi
(tamâm al-fadîlah) dan keahliannya (kamâl al-ahliyyah).
7
b. Akhlak Guru terhadap Murid:
(1) Mengajar dan mendidik harus diniatkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah, menyebarluaskan ilmu (nasyr al-‟ilm),
menghidupkan atau membumikan syariat (ihyâ„ alsyar‟),
mengimplementasikan kebenaran secara kontinuitas (dawâm zuhûr
al-haqq), dan untuk meredam kebatilan (khumûl albâtil).
(2) Walaupun murid memiliki niat yang tidak ikhlash (‟adam khulûsh
alniyyah), tidak boleh berhenti atau menolak untuk mengajarinya.
(3) Dapat memotivasi (targhîb) para muridnya tentang keutamaan ilmu
dan kemuliaan proses pencariannya (talab) pada setiap waktu.
(4) Mencintai muridnya dalam mendapatkan kebaikanatau hal positif
seperti mencintai dirinya sendiri.
(5) Menggunakan metode dan teknik penyampaian yang paling lugas
dan mudah dipahami oleh murid.
(6) Antusias (hirsh) dalam memberikan pembelajaran dengan selalu
mempertimbangkan kemampuan daya serap muridnya.
(7) Ketika telah selesai menjelaskan pelajaran, ada baiknya
memberikankesempatan kepada murid untuk bertanya dan
mengadakan evaluasi (imtihân).
(8) Mampu mengatur waktu untuk mengadakan evaluasi terhadap
kekuatan hafalan murid secara kognitif.
(9) Menasehati murid yang belajar secara berlebihan hingga
melampaui batas kemampuannya dengan lemah lembut.
(10) Mampu menjelaskan prinsipprinsip dasar ilmu dari setiap disiplin
ilmu yang menjadi landasan atau kaidah bagi ilmu lainnya
(qawâ‟id al-fann allatî tankharim) kepada para muridnya dan
dapat menunjukkan kepada mereka referensi utama yang tersedia
dalam kajian tersebut.
(11) Tidak bersikap diskriminatif dengan memberikan perlakuan
istimewa kepada sebagian murid.
8
(12) Berkewajiban untuk dapat mengawasi dan memonitor adab,
perilaku, dan akhlak murid, baik lahir maupun batin.
(13) Hendaknya selalu berusaha untuk membantu murid.
(14) Rendah hati dan lemah lembut.
2. Akhlak Seorang Murid
Menurut Alba (2012) secara etimologis murid artinya orang yang
berkehendak, kemauan dan mempunyai cita-cita. Murid dalam istilah dalam
tarekat adalah orang yang bermaksud menempuh jalan untuk sampai tujuan, yakni
keridhaan Allah. Secara institusional murid adalah pengikut suatu aliran tarekat
yang menghendaki pengetahuan dan pengalaman tarekat yang bersangkutan.
Tahapan-tahapan yang mesti dialami murid adalah; 1)mendengar, 2) memahami,
3) mengetahui, 4) menyaksikan, 5) makrifat.
Kewajiban murid terhadap mursyidnya adalah sebagai berikut:
1. Menyerahkan diri lahir batin.
2. Menurut dan mematuhi perintah gurunya.
3. Tidak boleh menggunjing gurunya
4. Tidak boleh melepaskan ikhtiarnya sendiri.
5. Harus selalu ingat kepada gurnya.
6. Tidak boleh memiliki keinginan untuk bergaul lebih dalam dengan
mursyidnya, baik untuk tujuan dunia maupun akhirat.
7. Harus mempunyai keyakinan dalam hati.
8. Tidakk boleh menyembunyikan rahasia hatinya.
9. Harus memelihara keluarga dan kerabat gurunya.
10. Kesenangan murid tidak sama dengan gurunnya.
11. Tidak memberi saran kepada gurunya.
12. Tidak boleh memandang kekurangan gurunya.
13. Harus rela memberikan sebagian hartanya.
14. Tidak boleh bergaul dengan orang yang dibenci gurunya.
15. Tidak boleh melakukan sesuatu yang dibenci gurunya.
16. Tidak boleh iri kepada murid lainnya.
9
17. Segala sesuatu yang menyangkut pribadinya harus mendapat izin dari
gurunya.
18. Tidak boleh duduk pada tempat yang biasa dipakai duduk oleh gurunya.
10
(2) Harus membenarkan niat dalam belajar (husn al-niyyah fî talab
al‟ilm) dan agar selalu berusaha untuk meluruskannya di setiap
waktu.
(3) Mampu mengeksploitasi masa muda dan mengekplorasi sisa
umurnya untuk belajar dengan optimal.
(4) Dapat menjaga kesederhanaan makanan (pangan) dan pakaian
(sandang) serta dengan selaluberpijak kepada kesabaran ketika
menghadapi kesulitan hidup.
(5) Dapat menyusun rencana kegiatan dan alokasi belajar secara
teratur dan disiplin.
(6) Mengetahui variabel terpenting untuk dapat menghadirkan
konsentrasi belajar yang tinggi, membantu daya serap dan
menghilangkan rasa bosan, yaitu dengan seoptimal mungkin
menghindari kekenyangan atau makan terlalu banyak.
(7) Harus bersikap hati-hati (wara‟) dan mampu menjaga diri agar
setiap kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya selalu diperoleh
dari nafkah yang halal dan bahan material yang baik.
(8) Meminimalisir konsumsi berbagai jenis makanan-minuman yang
dapat menyebabkan kebodohan danmelemahkan indera sertayang
dapat menumpulkan rasionalitas dan menggemukkan badan.
(9) Meminimalisir waktu tidur, selama tidak mengganggu kesehatan
dan tidak melemahkan kinerja otak syarafnya.
(10) Membatasi interaksi pergaulannya, yaitu hanya berinteraksi dengan
orang-orang yang bisa memberikan manfaat dan mengambil
manfaat darinya.
b. Akhlak Murid terhadap Guru:
(1) Memilih calon guru secara cermat dan selektif.
(2) Mematuhi pandangan dan aturan regulasi yang telah ditetapkan
guru.
(3) Mampu memposisikan guru sebagai orang yang mulia dan
memiliki kesempurnaan ilmu.
11
(4) Senantiasa mengingat hak dan kehormatan guru atas dirinya serta
tidak melupakannya sepanjang hayat dan setelah wafatnya
sekalipun.
(5) Sabar terhadap perlakuan kasar (jafwah) atau akhlak buruk (sû„
khuluq) guru.
(6) Menunjukkan rasa terima kasih (syukr) terhadap bimbingan guru.
(7) Tidak mendatangi guru tanpa izin darinya terlebih dulu.
(8) Harus duduk sopan penuh adab (jilsah al-adab) di hadapan guru,
bahkan harus seperti anak kecil yang duduk di hadapan guru baca-
tulis alQur„annya (kamâ yajlis al-shabî baina yadai al-muqri„).
(9) Mampu menjalin komunikasi dan interaksi dengan guru secara
santun dan baik.
(10) Ketika mendengar guru memaparkan satu materi tertentu yang
pernah diketahui dan dihafal, harus tetap mendengarkannya
dengan seksama, antusias dan penuh kegembiraan seolah-olah
belum pernah mendengarnya.
(11) Tidak mendahului guru dalam memaparkan suatu pembahasan,
atau menjawab pertanyaannya atau pertanyaan orang lain.
(12) Harus lebih mengutamakan pemakaian dan penggunaan tangan
kanan dalam berinteraksi dengan guru.
(13) Saat berjalan bersama guru, sebaiknya berada di depannya jika
pada malam hari dan di belakangnya bila di siang hari, atau
disesuaikan dengan keadaan dan atas seizinnya.
12
dahulu dan tidak membebaninya di luar batas kemampuan. Jika satu tahap
terlewat baru beranjak ke yang lebih berat. Dalam hal ini pertama-tama guru bisa
memerintahkanuntukmelawanhawanapsudalamsegalahal.
Gurumestimendidikmuriddenganpenuhkesungguhandanmendoakankebaikan.
Guru harusbiasmenjaditempatmengadubagimurid. Guru
mestimenjagarahasiamurid-muridnya.
Dalammenyampaikannasihattidakhanyaditunjukkankepadasatu per satumurid,
melainkankeseluruhmurid.
13
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jailani, Abdul Qadir. 2015. Buku Saku Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: Penerbit
Zaman.
Indrawan, Prydar Sakti. 2018. Konsep Akhlak Guru Terhadap Murid dalam
Konteks Pendidikan Zaman Modern Menurut Perspektif Imam Al-Ghozali
dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin. Skripsi. Salatiga: IAIN Salatiga.
Maya, Rahendra. 2017. Karakter (Adab) Guru dan Murid Perspektif Ibn Jamâ’ah
Al-Syâfi’î. Jurnal Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam. Vol 6(12): 21-
43.
Iman, Nur Khayat. 2015. Akhlak Siswa Terhadap Guru: Studi Perbandingan
Antara Pemikiran Kh. Hasyim Asy’ari Dan Kh. Bisri Mustofa. Skripsi.
Purwokerto: IAIN Purwokerto.
15