Anda di halaman 1dari 80

STRATEGI MUHAMMADIYAH DALAM PROSES PERDAMAIAN

KONFLIK MINDANAO

MUHAMMADIYAH STRATEGY ON MINDANAO CONFLICT


RESOLUTION

SKRIPSI

Oleh
SHEILA MEDINA
20130510163

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang didirikan pada

tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Bergerak dalam bidang dakwah

islam, dengan berdasar pada Anggaran Dasar Muhammadiyah dan hasil

Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta Bab 1 Pasal 1, Muhammadiyah

memiliki prinsip Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang

bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di Indonesia, Muhammadiyah

merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam tertua dan

terbesar yang telah banyak memberikan kontribusi dalam memajukan

kemaslahatan umat.

Dikenal sebagai gerakan Islam modernis atau reformis dan juga

sebagai sebuah gerakan pemabaharuan (tajdid), Muhammadiyah telah

menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi Islam yang berkemajuan,

dinamis, cerdas dan kreatif dalam melihat tanda-tanda zaman. Tajdid sendiri

menurut bahasa (etimologi) adalah “mengembalikan sesuatu kepada kondisi

yang seharusnya.” dan jika merujuk pada pengertian istilah (terminologi) tajdid

berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk

pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik

internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat

(Abdullah, 1995). Dapat diambil kesimpulan bahwa tajdid adalah upaya untuk

1
memperbaharui pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu terhadap ajaran

dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sudah tidak relevan dengan

tuntutan dan perkembangan zaman. Memahami Muhammadiyah bukanlah

memahami organisasi dalam pengertian administratif yang bersifat teknis saja,

namun kita harus memahami Muhammadiyah sebagai gerakan Islam atau

gerakan keagamaan (religious movement) yang terkandung di dalamnya sistem

keyakinan (belief system), pengetahuan (knowledge), organisasi (organization)

dan praktik-praktik aktifitas (practices activity) yang mengarah pada tujuan

(goal) yang dicita-citakan. Tampil sebagai gerakan pembaharu (tajdid),

Muhammadiyah mendapatkan pengikut yang kebanyakan kaum muda dan

kaum akademisi yang menginginkan perubahan dari kekolotan faham agama

yang jumud atau mandeg. Percampuran faham agama dengan dogma Takhayul,

Bid‘ah dan Khurafat (TBC) yang melekat saat itu adalah pekerjaan besar yang

dihadapi Muhammadiyah. Proses revitalisasi dengan jargon kembali kepada

Al-Quran dan Sunnah menjadi alat yang ampuh untuk membangunkan kembali

umat Islam dari tidur panjangnya. Selama 1 abad keberadaanya,

Muhammadiyah telah banyak melakukan pembaharuan di negeri ini. Memberi

sumbangsih berupa pemikiran dan bukti nyata, sebagaimana yang telah

dilakukan oleh Rasulullah Saw pada zamannya, KH. Ahmad Dahlan pada

zamannya pula, dan terus berlanjut sampai sekarang. Muhammadiyah mampu

menunjukkan bahwa organisasi ini mampu merentas zaman. Pembaharuan

yang dilakukan oleh Muhammadiyah dirasakan dalam berbagai bidang seperti

sosial, politik, budaya, pendidikan, serta masih banyak lagi. Muhammadiyah

2
memaknai pembaharuan sebagai suatu proses berkelanjutan yang tidak akan

pernah berkesudahan untuk memperbaiki tatanan kehidupan beragama dan

bernegara pada setiap zaman, sebagaimana yang menjadi cita-cita

Muhammadiyah, yaitu untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan transformasi mental,

transformasi gagasan, transformasi cara kehidupan dan bersikap, serta

transformasi etiket dan etika dalam kehidupan sebuah bangsa. Muhammadiyah

akan terus memberikan kontribusi dan sumbangsihnya untuk menyelesaikan

berbagai persoalan di negara ini, karena sesuai dengan misinya,

Muhammadiyah terlahir untuk mencerahkan bangsa.

Menginjak umurnya yang ke 104 tahun, terdapat setidaknya tiga

alasan mengapa Muhammadiyah masih dapat bertahan hingga saat ini. Kelima

poin tersebut yaitu, pertama, Muhammadiyah memiliki kekuatan prinsip

gerakan yaitu Islam berkemajuan mencerahkan keadaban bangsa, dimana

prinsip gerakan tersebut masuk ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk

dalam membangun keadaban bangsa yang lebih baik. Kedua, Muhammadiyah

tumbuh besar dan bertahan hingga saat ini karena sumber daya manusianya

(SDM), sumber daya insani yang cerdas, dan memiliki nalar dan daya kritis

yang kuat. Ketiga, Muhammadiyah memiliki kekuatan dalam sistem

organisasinya, yaitu Muhammadiyah tumbuh dan berkembang menjadi

organisasi yang mandiri, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai jenis amal

usaha milik Muhammadiyah, di tangan sistem dan pengelolaan yang baik akan

menciptakan organisasi yang baik pula.

3
Dalam muktamar ke-46 seabad Muhammadiyah, Muhammadiyah

memantapkan diri terhadap isu-isu strategi nasional dan internasional.

Muhammadiyah berkomitmen kuat untuk menjadi bagian dari penyelesai

masalah (problem solver) dengan mengambil prakarsa, partisipasi, dan

langkah-langkah yang proaktif dan strategis. Memasuki abad kedua,

Muhammadiyah meneguhkan komitmen gerakannya untuk berperan lebih

proaktif dalam melakukan pencerahan bagi kehidupan umat, bangsa, dan

kemanusiaan universal yang sarat tantangan. Dalam usaha melaksanakan

komitmennya, Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang sangat kuat ke

dalam maupun keluar bagi perumusan politik luar negeri Indonesia. Termasuk

diantaranya adalah peran Ormas ini dalam menangani konflik luar negeri yang

terjadi di beberapa negara di luar Indonesia. Konflik sosial-politik di Filipina

Selatan menjadi bukti adanya peran serta yang sangat strategis bagi

NGO/Ormas di Indonesia dalam hal ini Muhammadiyah dalam memediasi

aktor-aktor penting yang berkonflik sehingga permasalahan yang terjadi bisa

ditemukan titik solusinya.

Konflik yang terjadi di Filipina Selatan tepatnya Mindanao ini

secara historis merupakan sebuah konflik yang terjadi berkepanjangan. Secara

geografis, Mindanao terletak di bagian selatan kawasan Filipina dengan

bentuknya sebagai sebuah kepulauan. Seiring berjalannya waktu, dimulai dari

abad ke – 15, Islam masuk ke dalam Mindanao dan mulai mengubah peta

demografi, budaya, sosial, dan tata nilai dalam masyarakat Mindanao. Islam

pun menjadi sebuah identitas masyarakat lokal Mindanao. Sementara di sisi

4
lain, terdapat kebijakan kontra oleh pemerintah Filipina terhadap sturktur

budaya, hukum dan politik masyarakat muslim Mindanao.

Penyebab konflik ini dimulai jauh sebelum masa kolonialisme

Spanyol di Filipina. Kemudian berlanjut kepada konflik pada masa penjajahan

Amerika sebelum kemerdekaan Filipina. Isu-isu agama dalam konflik

membuat isu semakin memanas. Tindakan pemerintah Filipina kontra terhadap

Islam menyebabkan masyarakat muslim Mindanao menjadi masyarakat yang

termarjinkan. Masyarakat muslim Mindanao merasakan kesenjangan sosial

yang sangat mencolok ditandai dengan perbedaan keadaan ekonomi,

kehidupan sosial, pendidikan, budaya dan perlakuan hak asasi manusia antara

pemerintah Filipina (center) dan masyarakat Mindanao (periphery).

Konflik antara pemerintah Filipina dengan masyarakat Mindanao

kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata (armed conflict) yang telah

menyebabkan lebih dari 120.000 orang terbunuh dan menghabiskan anggaran

militer senilai lebih dari 73 miliar Peso per tahun (Surwandono, 2013). Situasi

tersebut mengakibatkan keadaan negara Filipina mengalami gejolak keamanan

nasional yang tidak stabil di wilayah Mindanao. Di lain sisi, penduduk

Mindanao menginginkan pemisahan diri (separatism) dari pemerintah Filipina

dan ingin mendirikan negara merdeka di Mindanao, wilayah selatan Filipina

untuk mendapatkan hak mengatur tanah dan wilayah mereka sendiri.

Berbagai upaya perdamaian yang dilakukan dalam menangani

konflik yang terjadi di Mindanao sering kali mengalami kegagalan. Proses

perundingan perdamaian yang dilakukan mengalami penyimpangan-

5
peyimpangan dan hanya menjadi prosedur formal. Upaya perdamaian yang

seharusnya mengikat secara keseluruhan tidak mampu diimplementasikan.

Inilah yang menjadi tujuan besar Muhammadiyah dalam mencari solusi

penyelesaian konflik dan menjaga stabilitas keamanan terhadap konflik yang

terjadi. Beberapa pilihan untuk terus berkonflik atau memulai jalan perdamaian

dan negosiasi sangat ditentukan oleh konstruksi dari aktor Internasional dan

aktor nasional yang terlibat dalam konflik Mindanao. Sehingga salah satu

pemecah persoalan yang dapat dilakukan adalah dengan cara adanya pihak

ketiga yang berperan sebagai mediator konflik.

Berhubungan dengan wujud komitmen visi Muhammadiyah 2025

yang ingin memiliki peranan dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan

kemanusiaan universal atau dinamika kemanusian global, Muhammadiyah

memutuskan menjadi mediator dalam proses perdamaian konflik Mindanao

dengan memberi berbagai pilihan fasilitas, yang diharap dapat memberi

dampak menyegarkan bagi perdamaian etnis Mindanao. Hal ini didukung

dengan keputusan International Contact Group (ICG) menunjuk

Muhammadiyah sebagai pihak yang membantu penyelesaikan konflik antara

Moro International Liberal Front (MILF) dengan pemerintah Filipina. Di sisi

lain keaktifan Muhammadiyah dalam forum internasional pun berhasil mencuri

perhatian pemerintah Thailand dan Filipina yang secara khusus meminta

Muhammadiyah membantu proses perdamaian di Thailand Selatan dan pula di

Mindanao.

6
Kontribusi Muhammadiyah diharap mampu membantu

menyelesaikan konflik yang terjadi di Mindanao melalui peran yang dilakukan

oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Salah satu tokoh yang berperan adalah

ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.

Prof. Dr. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA. Beliau merupakan tokoh

Muhammadiyah yang dikenal luas pergaulan internasionalnya, antara lain

seperti menjadi Chairman World Peace Forum (WPF), Presiden Asean

Committee on Religion for Peace (ACRP), Honorary President World

Conference on Religion for Peace (WCRP), dan jabatan lainnya di berbagai

forum dunia. Hubungannya tidak sekadar seremonial, tetapi aktif

mendialogkan berbagai pemikiran Islam dan perdamaian, dalam hal ini serta

turut memprakarsai pemecahan konflik salah satunya konflik di Mindanao,

Filipina Selatan. Tidak hanya itu, Muhammadiyah turut menurunkan dua duta

Muhammadiyah sebagai representatif di International Contact Group. Kedua

delegasi tersebut adalah Dr. Sudibyo Markus dan Dr. Surwandono yang

ditunjuk untuk melakukan komunikasi tingkat elit MILF dengan sejumlah tim

panel perdamaian yang mewakili Mindanao, serta melakukan komunikasi

untuk mendiskusikan rumusan terbaik dalam penyusunan program perdamaian

di Mindanao dengan panel perdamaian dari pemerintah Filipina dan kedutaan

besar Filipina.

Sebagai pelengkap dan pendukung, Muhammadiyah turut

mengirimkan tim scoping mission, yang terdiri dari Dr. Sudibyo Markus, Dr.

Surwandono, Prof. Dr. Imam Robandi, Ahmad Ma’ruf, SE, M. Si., untuk

7
melakukan assesment di tingkat gras-root pada sejumlah lembaga pendidikan,

lembaga ekonomi, lembaga sosial, lembaga amal, yang berafiliasi dengan

MILF. Tim inilah yang kemudian merancang strategi penyelesaian dengan

menyusun program lima tahunan yang diharap dapat merubah pola organisasi

MILF dari organisasi yang dikenal dengan pengunaan senjatanya, menjadi

organisasi yang berdasar pada nilai sosial, agama, pendidikan, dan ekonomi

sehingga cita-cita terciptanya perdamaian Mindanao akan lebih cepat tercapai

(Surwandono, 2015).

Partisipasi Muhammadiyah melalui tim assesment dalam

memperjuangkan perdamaian Mindanao melalui negosiasi diimplementasikan

dengan serangkaian strategi yang telah disusun dalam program lima tahunan.

Strategi ini adalah bentuk kontribusi Muhammadiyah dalam mewujudkan

komitmen Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari penyelesai masalah

(problem solver) di kancah internasional dengan menghadapi berbagai

tantangan yang ada. Di dalam penulisan ini penulis menganalisis bagaimana

bentuk strategi perdamaian konflik Mindanao yang dilakukan oleh

Muhammadiyah berdasar pada konsep mediasi dan multi-track diplomacy.

B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas dapat ditemukan bahwa pokok

permasalahannya adalah “Bagaimana strategi Muhammadiyah dalam proses

perdamaian konflik Mindanao?”

8
C. Kerangka Pemikiran
Di dalam suatu penelitian dibutuhkan konsep maupun teori untuk

memulai suatu penelitian sebagai pijakan untuk menjawab pertanyaan dari

fenomena yang ingin diteliti. Studi Hubungan Internasional itu sendiri

memiliki banyak teori maupun konsep yang dapat mendukung penyelesaian

masalah yang diteliti. Terdapat dua konsep yang digunakan oleh penulis dalam

memuat analisa tentang bentuk strategi yang digunakan oleh Muhammadiyah

dalam perdamaian konflik Mindanao. Berikut kerangka pemikiran yang

digunakan penulis:

1. Konsep Mediasi

Sebagai acuan untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan

konsep mediasi oleh Christoper W. Moore (1982) dalam bukunya “The

Mediation Process: Political Strategies for Resolving Conflict” yang dianggap

relevan dengan permasalahan yang diajukan. Konsep mediasi Christoper W.

Moore adalah sebagai berikut:

“Mediasi adalah intervensi dalam sengketa atau negosiasi oleh pihak


ketiga, yang dapat diterima, tidak memihak, dan netral dimana pihak
ketiga tidak memiliki kekuatan otoritatif untuk membuat keputusan dan
membantu pihak yang bersengketa secara sukarela untuk mencapai
penyelesaian yang dapat diterima bersama terhadap isu-isu yang ada
dalam konflik.” (Moore, 1982)

Dari definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa mediasi

adalah sebuah tindakan intervensi pihak luar untuk menyelesaikan konflik

bersama. Mediasi bekerja untuk menciptakan proses perdamaian terhadap

pihak-pihak yang terlibat dalam konflik melalui dialog politik yang konstruktif,

9
atau untuk mengubah proses dialog menjadi sebuah resolusi konflik dan

pembuatan perdamaian.

Secara esensial mediasi adalah interaksi dari kelanjutan negosiasi yang

awalnya hanya dilakukan oleh pihak yang berkonflik atau bersengketa namun

dalam perjalanan negosiasi terdapat intervensi dari pihak ketiga untuk

membantu jalannya perundingan mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan

isu-isu yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut tidak memiliki kekuatan

otoritatif dalam membuat keputusan, sehingga pihak yang berkonflik

menentukan sendiri penyelesaian yang mereka sepakati. Pada pelaksanaan

mediasi, secara sukarela pihak ketiga membantu para pihak-pihak berkonflik

untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima terhadap isu-isu yang ada

dalam konflik. Pihak ketiga yang melakukan mediasi disebut sebagai mediator.

Mediator dapat dilakukan oleh berbagai aktor, mulai dari tingkatan

aktor individu, negara, Non-Government Organization (NGO), hingga

tingkatan Organisasi Internasional. Dalam proses mediasi khususnya yang

dilakukan oleh suatu organisasi, terdapat hal yang perlu diperhatikan mengenai

bagaimana mediator dapat berperan dengan baik dalam menengahi konflik dan

mencapai kesepakatan damai maupun meredam konflik. Salah satu caranya

dengan melihat bagaimana bentuk strategi yang digunakan oleh mediator

dalam menjalankan mediasi.

Dalam upaya penyelesaian konflik Mindanao, Muhammadiyah sebagai

aktor organisai internasional dirasa telah memenuhi persyaratan umum sebagai

pihak ketiga yang bernegosiasi. Persyaratan yang dijadikan tolak ukur kesiapan

10
mediator dibagi ke dalam tiga kriteria utama yang harus dipenuhi, di antaranya

adalah kriteria Acceptability. Pentingnya persetujuan oleh kedua belah pihak

atas keberadaannya sebagai mediator menjadi syarat utama yang harus

dipenuhi. Apabila terdapat satu pihak yang tidak setuju dengan perannya

sebagai mediator, maka proses mediasi tidak dapat dilaksanakan. Hal ini

dilakukan agar pihak yang berperan sebagai mediator benar-benar merupakan

pihak yang netral, tidak memihak pada pihak manapun, dan dapat diterima

(acceptability) bukan saja seacara fisik melainkan pemikirannya untuk

membantu para pihak berkonflik menjangkau suatu penyelesaian (Moore 1982,

117).

Kriteria kedua adalah Impartiality. Sikap tidak pandang bulu dan

memperlakukan semua pihak berkonflik secara sama tanpa membeda-bedakan

adalah hal yang wajib dimiliki oleh seorang mediator. Tugas Mediator

hanyalah menengahi, mendorong, dan membantu para aktor yang berkonflik

untuk mencari penyelesaian terhadap konflik mereka sendiri (Cook, 1980).

Mediator berperan mengendalikan pertemuan dan menjaga aturan main yang

disepakati bersama antar kedua pihak yang berkonflik agar perasaan saling

percaya dapat tercipta. Saat sikap keterbukaan dapat tercipta, mediator akan

lebih mudah mendampingi pihak yang berkonflik menuju proses negosiasi.

Imparsialitas mediator terlihat dari kesungguhan upayanya dalam membantu

para pihak berkonflik menyelesaikan konflik yang terjadi serta mengontrol

dalam pengimplementasian kebijakan apakah telah sesuai dengan perjanjian

atau tidak.

11
Komponen ketiga yang memegang peranan penting adalah sikap

Neutrality, dimana mediator dituntut untuk tidak memihak pada salah satu

pihak yang berkonflik baik dalam sikap maupun perilaku. Mediator dapat

dikatakan netral dan mandiri jika mampu membuktikan tidak ada hubungan

khusus terhadap satu pihak saja, baik sebelum proses mediasi terjadi, sedang

dalam proses mediasi, maupun setelah proses mediasi (Young, 1972). Sikap

netral ini dibutuhkan dalam upaya perdamaian konflik untuk mencari dan

menawarkan solusi yang objektif dalam proses mediasi sehingga dapat

menghasilkan sebuah kebijakan yang bersifat win-win solution bagi masing-

masing pihak berkonflik (Rachmawati, 2016).

Selanjutnya pihak yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat utama

sebagai mediator dapat memilih pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan

yang diinginkan dalam upaya menyelesaikan konflik melalui pilihan strategi

mediasi yang dijalankan oleh mediator. Karakteristik aktor yang berkonflik

serta kriteria konflik yang sedang ditangani dapat mempengaruhi pilihan

strategi yang diusung oleh mediator. Semakin tinggi kedudukan mediator, akan

semakin fleksibel pula mediator tersebut menjalankan strateginya dari salah

satu rangkaian strategi yang lain, dengan dasar strategi mediasi yang

dibutuhkan sesuai dengan situasi dan konteks politik (Bervitch, 2009). Berikut

adalah beberapa kategori strategi mediasi yang dapat dilakukan oleh mediator

dalam upaya penyelesaian konflik:

12
1. Strategi fasilitasi komunikasi (Communicatiion Facilitation

Strategies)

Strategi fasilitasi komunikasi merupakan strategi mediasi yang

mendiskripsikan perilaku mediator dengan cara menyalurkan

informasi kepada para pihak yang berkonflik, memberikan fasilitas

negosiasi untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak berkonflik

melalui komunikasi dua arah, dan lebih menitikberatkan pada proses

mediasi formal yang menjadi cara penyelesaian konflik melalui

perundingan untuk memperoleh kesepakatan dari pihak berkonflik

dengan dibantu oleh mediator.

2. Strategi Prosedural (Prosedural Strategies)

Mediator dalam menjalankan strategi prosedural dengan cara

menggunakan tekanan atau melakukan suatu desakan untuk

mengontrol jalannya proses mediasi yang lebih formal yang

bertujuan untuk mengikat diri para pihak yang berkonflik dalam

upaya perdamaian yang dilakukan. Mediator dapat menentukan

aspek-aspek struktural dari sebuah pertemuan maupun

perundingan dalam rangka pengendalian terhadap kepentingan-

kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang

berkonflik untuk disatukan dalam mencapai tujuan bersama,

melakukan pemberitaan dan distribusi informasi, serta

13
mengkondisikan kekuatan-kekuatan sumber daya dari pihak yang

terlibat dalam konflik melalui komunikasi yang terus berjalan.

3. Strategi Direktif (Directive Strategies)

Strategi direktif merupakan strategi yang paling kuat dalam

bentuk intervensi dengan cara mengajak para pihak berkonflik

untuk bersedia melakukan sesuatu. Mediator akan mempengaruhi

isi dan substansi dari proses tawar-menawar saat proses mediasi

sedang berlangsung dengan memberikan dorongan atau

rangsanagan bagi pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan

negosiasi dan mengusulkan tuntutan terakhir dengan diberi batas

watu untuk menentukan pilihan dan kebijakan. Hal ini bertujuan

untuk merubah cara-cara dari isu-isu atau tingkah laku yang selama

ini biasa mereka gunakan untuk menjadi lebih efektif.

Melihat ketiga syarat utama seorang mediator yang dituntut untuk

bersifat netral, dapat diterima bersama, berlaku adil dan tidak berpihak pada

siapapun, penulis mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah sebagai

aktor organisasi telah memenuhi kriteria sebagai pihak ketiga atau mediator

dalam upaya perdamaian konflik.

Berkaitan dengan konflik separatisme masyarakat muslim

Mindanao dengan pemerintah Filipina, tahun 2009 merupakan tahun

pertama Muhammadiyah terlibat ke dalam upaya perdamaian konflik

Mindanao. Keikutsertaan Muhammadiyah ini diawali oleh permintaan

14
Malaysia, yang telah terlebih dulu menjadi mediator konflik Mindanao, agar

Muhammadiyah dapat bergabung ke dalam International Contact Group

bersama anggota negara dan non-negara lainnya yang memiliki tujuan

bersama yaitu perdamaian Mindanao. Muhammadiyah dipercaya menjadi

salah satu mediator konflik karena melihat track-record Muhammadiyah

sebelumnya dalam membantu penyelesaian konflik di Pattani, Thailand.

Selain itu keaktifan Muhammadiyah di kancah internasional mampu

menempatkan ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin menjadi

Wakil Sekretaris Jenderal World Islamic People’s Leadership (WIPL) yang

semakin menegaskan kapabilitas Muhammadiyah dalam membantu

perdamaian konflik dunia, khususnya konflik dalam dunia Islam.

Sebagai seorang mediator Muhammadiyah hanya membantu para

pihak yang berkonflik dengan cara memberikan bantuan mediasi. Setelah

melakukan beberapa kali riset di lapangan, Muhammadiyah meyakini

pendekatan terbaik adalah melalui soft power atau perundingan secara

damai tanpa terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan yang selanjutnya

akan diimplementasikan oleh pihak pemerintah Filipina dan MILF. Dari

ketiga definisi strategi di atas, Muhammadiyah menggunakan strategi

fasilitasi komunikasi yang memberikan fasilitas negosiasi untuk mencapai

kesepakatan kedua belah pihak berkonflik melalui dua arah dan

menitikberatkan pada proses mediasi fomal dibuktikan dengan

kesungguhan Muhammadiyah sebagai mediator dalam menyelenggarakan

15
empat perundingan perdamaian yang dilakukan secara berkala dari tahun

2009 hingga tahun 2012.

2. Konsep Multi-track Diplomacy (Track two diplomacy)

Multi-track diplomacy adalah salah satu bentuk diplomasi yang

menggabungkan berbagai aktor diplomasi, yang melibatkan aktor resmi

negara (official) dan diplomat non-negara (un-official). Menurut Diamond

dan McDonald multi-track diplomacy adalah sebagai berikut:

“Diplomasi Multi-track merupakan sebuah kerangka kerja


konseptual sebagai suatu sistem kehidupan dan refleksi dari
beragam aktivitas yang dilakukan dimana hal tersebut berkontribusi
dalam proses perwujudan perdamaian di lingkup internasional”
(Diamond & McDonald, 1996)

Multi-track diplomacy disebut juga sebagai sebuah pendekatan

sistem untuk perdamaian, dimana pada awal istilah multi-track diplomacy

diciptakan pada tahun 1989 dalam sebuah buku yang ditulis Dr. Louis

Kriesberg berjudul “Timing and Deescalation of International Conflicts”,

dimana track one adalah bentuk keterlibatan pemerintah dalam proses

diplomasi, sementara track two diperluas di dalamnya meliputi track three

(keterlibatan sektor swasta), track four (people to people seperti program

pertukaran pendidikan) dan track five (media) (Mcdonald, 2004). Meskipun

di dalam buku tersebut dijelaskan pula sembilan jenis track diplomasi

lainnya, namun secara garis besar multi track diplomacy dikelompokan ke

dalam track one (pemerintah) dan track two (non-negara). Kedua jenis

16
diplomasi tersebut meski saling menguatkan namun terdapat beberapa

perbedaan yang mendasar. Track one diplomacy adalah diplomasi formal

antara negara dan negara atau diplomasi “G to G” (government to

government diplomacy) yang biasanya dilakukan di meja perundingan dan

aktornya adalah para diplomat negara yang resmi dan profesional.

Sementara track two diplomacy adalah diplomasi tidak resmi yang

dilakukan oleh aktor-aktor non pemerintah seperti organisasi, budayawan,

pelajar dan lain-lain, yang biasanya dilakukan melalui forum-forum

seminar, kunjungan, pertukaran pelajar, dan lain lain yang didasari oleh

sikap positif dari kedua belah pihak.

Seperti yang dikatakan oleh John W. Mcdonald (1992, 118) tentang

track two diplomacy:

“Citizen, or track two diplomacy, is the nongovernmental, informal,


and unofficial action by privite citizens in such international issues
as conflict resolution and prevention, and enviromental policies.
Track two diplomacy acts as a supplement to Track one diplomacy,
which includes all the governmental, official, and formal activities
that occur daily in the international diplomatic area.” (McDonald,
1991).

Lebih lanjut Mcdonald juga mengemukakan bahwa track two

diplomacy memiliki dua tujuan yang luas, pertama, untuk mengurangi

konflik antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa dengan

meningkatkan komunikasi dan pemahaman, dengan mencoba menurunkan

kemarahan, ketegangan, ketakutan, dan kesalah pahaman, serta dengan

lebih memanusiakan pihak musuh dan mendorong satu kelompok untuk

bisa lebih memahami cara pandang satu kelompok lain (McDonald, 1991).

17
Kemudian tujuan kedua adalah untuk mengubah cara pandang pihak

pertama (pemerintah) dengan harapan para diplomat akan menjadi lebih

terbuka pada isu tertentu, dan akhirnya dapat menerima ide pemikiran dari

kelompok track dua tentang isu yang digulirkan (McDonald, 1991).

Dalam konteks penelitian ini, Muhammadiyah adalah aktor organisasi

seperti yang disebutkan dalam penjelasan track two diplomacy, yang

tergabung dalam International Contact Group sebagai sebuah multi-track

diplomacy. Tidak hanya itu peran Muhammadiyah sebagai aktor track two

diplomacy terlihat dari gagasan Muhammadiyah untuk melakukan

assesment di tingkat grass-root dengan mengirimkan langsung perwakilan

Muhammadiyah ke Mindanao serta pemberian beasiswa kepada mahasiswa

pasca sarjana Mindanao untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi

Muhammadiyah.

D. Hipotesa
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan di atas, dapat

diambil kesimpulan sementara bahwa strategi Muhammadiyah dalam proses

perdamaian konflik Mindanao berupa:

1. Muhammadiyah melakukan strategi fasilitasi komunikasi dengan

menjadi mediator dalam empat kali diskusi penyelesaian konflik.

2. Kedua, strategi menggunakan multi-track diplomacy seperti

bergabung ke dalam International Contact Group dan megirimkan

18
tim assesment dengan tujuan mengetahui akar permasalahan yang

terjadi.

E. Tujuan Penelitian
Adapun penulisan skripsi ini betujuan untuk mengetahui bentuk strategi

apakah yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam upaya penyelesaian

konflik di Minadano. Selain itu mengetahui tujuan dan motif Muhammadiyah

dalam melaksanakan fungsi mediasi di konflik Mindanao.

F. Jangkauan Penelitian
Pada penelitian ini, penulis memberikan batasan waktu dengan maksud

untuk mempermudah analisa yang akan dilakukan sehingga penulisan ini

menjadi jelas. Adapun batas waktu yang dipilih adalah dalam kurun waktu

tahun 2009 - 2012 yaitu sejak awal dimulainya mediasi Muhammadiyah dalam

penyelesaian konflik hingga perundingan terakhir yang dimediasi oleh

Muhammadiyah, tanpa mengabaikan kejadian-kejadian di waktu lain yang

relevan dan juga data yang menunjang penulisan ini.

G. Metode Pengumpulan Data


Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan

data cara studi pustaka seperti melalui buku-buku perpustakaan, surat kabar dan

majalah. Tidak cukup kemungkinan data juga diperoleh melalui data elektronik

yang akan diusahakan kevalidannya dengan fakta-fakta yang mendukung.

Kemudian data ini diolah dan dianalisa guna membahas permasalahan yang ada.

19
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang

masing-masing bab akan berisikan tentang hal-hal sebagai berikut:

BAB I akan berisi pendahuluan yang tersusun atas latar belakang masalah,

rumusan permasalahan, kerangka konsep, serta metodologi penelitan.

BAB II akan berisi uraian mengenai sejarah dan perkembangan

Muhammadiyah hingga proses internasionalisasi Muhammadiyah.

BAB III akan berisi uraian mengenai konflik Mindanao. Dalam bab ini

akan dijelaskan sejarah awal munculnya konflik Mindanao yang melibatkan

Moro Islamic Liberation Front dengan pemerintah Filipina, dan bentuk-bentuk

resolusi konflik apa saja yang telah dilakukan.

BAB IV akan berisi uraian mengenai strategi Muhammadiyah dalam

membantu proses perdamaian Konflik Mindanao.

BAB V berisi kesimpulan sekaligus jawaban dari pertanyaan

permasalahan.

20
BAB II

SEJARAH INTERNASIONALISASI MUHAMMADIYAH

A. Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan Islam yang didirikan oleh

Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan

pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H / 18 Nopember 1912 bertempat di Kampung

Kauman Yogyakarta. Awal mula berdirinya Muhammadiyah bertujuan untuk

mengajak masyarakat muslim kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya

berdasarkan Qur’an dan Hadist. KHA Dahlan menggunakan rumahnya sebagai

wadah berkumpul bagi masyarakat yang ingin mempelajari Islam meskipun

menghadapi banyak tantangan. Walaupun banyak tantangan yang dihadapi,

seiring berjalannya waktu perkumpulan ini kemudian dapat diterima oleh

banyak pihak hingga ke luar daerah Kauman. Selanjutnya kegiatan ini mulai

terorganisir dan mulai dikenal dengan sebutan Persyarikatan Muhammadiyah.

Di bawah kepempimpinan KHA Dahlan Muhammadiyah menggunakan sistem

pemusyawaratan rapat tahunan selama lebih kurang 10 tahun sejak 1912

hingga 1922. Setelah itu pada tahun 1923 KH Ibrahim menggantikan tonggak

kepemimpinan Muhammadiyah yang dipegang oleh KHA Dahlan sampai

dengan tahun 1934. Bergantinya pemimpin turut merubah sistem

pemusyawaratan menjadi kongres tahunan yang kemudian berubah kembali

menjadi muktamar tiga tahunan dan hingga kini menjadi muktamar lima

tahunan.

22
Sesuai dengan namanya, Muhammadiyah memantapkan diri sebagai

sebuah organisasi Islam pengikut ajaran nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW.

Keresahan KHA Dahlan melihat ajaran Islam yang kala itu dianggap banyak

terpengaruh hal-hal mistik membuat KHA Dahlan berusaha memurnikan

kembali dengan mengikuti ajaran yang bersumber dari Sunah Rasulullah.

Diawali dengan mengadakan pengajian Sidrahul Muntaha untuk wanita dan

kaum muda, hingga merambah ke bidang pendidikan dengan medirikan

sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School

Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School

Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin khusus laki-

laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat

Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta) (Tabligh

Muhammadiyah, 2012).

B. Perkembangan Muhammadiyah
Dalam kurun waktu sebelas tahun di bawah kepemimpinan KHA

Dahlan, pengaruh Muhammadiyah terbatas hanya di beberapa karesidenan

seperti: Yogyakarta, Pekalongan, Pekajangan (sekarang menjadi Pekalongan)

dan Surakarta. Sementara di luar pulau Jawa Muhammadiyah telah sampai ke

daerah Sungai Batang, Agam, Suamtera Barat atas prakarsa dari Abdul Karim

Amrullah pada tahun 1925. Tidak lama berselang dalam tempo yang relatif

singkat gerakan Islam ini perlahan menyebar ke seluruh Sumatera Barat dan

terus bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan hingga

23
puncaknya pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh

Indonesia. Organisasi yang merujuk pada dakwah amar ma’ruf nahi munkar ini

turut membentuk organisasi khusus wanita bernama Aisyiah dimana Istri KH.

A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan Nyi Walidah Ahmad Dahlan ikut serta

berperan aktif. Dalam pendirian dan pengembangan Muhammadiyah, KHA

Dahlan menggunakan teologi al-Ma’un sebagai teologi utama. Dengan

berdasar pada Al-Qur’an (107:1-7), teologi ini banyak diterjemahkan ke tiga

pilar kerja, antara lain: schooling (pendidikan), feeding (pelayanan sosial) dan

healing (pelayanan kesehatan). Tidak bisa dipungkiri teoligi ini berperan

penting dalam 100 tahun berdirinya Muhammadiyah. Di masa dekade awal

abad ke-20 KHA Dahlan menekankan pemahaman surat al-Ma’un kepada

murid-muridnya, dengan mengajarkan pentingnya ibadah ritual yang diiringi

dengan kegiatan amal sosial. Surah ini secara jelas menyebut bahwa mereka

yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari

kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’ (Ahmad Najib Burhani, 2013)

Selama berhari-hari KHA Dahlan mengajarkan materi ini di

berbagai kesempatan dakwah hingga akhirnya teologi al-Ma’un tersebut

diimplementasikan. Murid-murid KHA Dahlan mencari warga paling miskin

yang mereka temui di masyarakat untuk kemudian mereka mandikan dan suapi.

Bentuk nyata inilah pemahaman pertama dari teologi al-Ma’un itu. Tidak

hanya melalui murid-muridnya, Kiai Dahlan ikut pula menerjemahkan teologi

tersebut ke dalam tindakan persuasif. Dengan dukungan dan bantuan dari

kraton Yogyakarta dan Budi Utomo, Kiai Dahlan lantas mendirikan panti

24
asuhan, sekolah, dan rumah sakit untuk segala lapisan masyarakat. Inisiasi Kiai

Dahlan 100 tahun yang lalu berdampak besar hingga sekarang dengan

berdirinya ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan

kesejahteraan sosial lainnya di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi ini telah memiliki 161 perguruan

tinggi, 5.500 sekolahan, lebih dari 300 rumah sakit, dan lebih dari 300 panti

asuhan (Tuhuleley dalam Burhani, 2013).

Berdirinya rumah sakit dan panti asuhan ini di bawah badan

Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah yang dibentuk pada

tahun 1912. Setelah mengalami beberapa kali perubahan nama, pada tahun

2009 FORPAMA (Forum Perlindungan Anak dan Lansia Muhammadiyah-

‘Aisyiyah) ditetapkan menjadi nama yang digunakan hingga saat ini. Sebagai

perserikatan non-politik, Muhammadiyah telah membuktikannya dengan

mengelola institusi pelayanan sosial (panti asuhan) yang tersebar diseluruh

Indonesia sejak tahun 1912, mendirikan Pusat Kesehatan Panti bekerjasama

dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, penyaluran donasi untuk

anak bekerjasma dengan Yayasan Dharmais, dan sebagai pilot Program

Pengembangan Sistim Pengasuhan Anak bekerjasama dengan Unicef (MPSPP

Muhammadiyah, 2013). Seluruh kegiatan ini dipantau langsung oleh

FORPAMA tanpa terikat dengan partai maupun organisasi politik lainnya.

Kesuksesan Kiai Dahlan dalam memimpin Muhammadiyah dengan

penerapan teologi al-Ma’un dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya, KH

Ibrahim yang dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan

25
Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah

Hindia Timur (Soedja` dalam Sangpencerah, 2013). Muhammadiyah

mengalami kemajuan yang pesat semenjak KH Ibrahim diangkat menjadi

pemimpin, salah satunya adalah mulai diselenggarakannya kongres-kongres di

luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,

Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-

17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres

Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di

Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka

Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia (Ahmad Najib

Burhani, 2014)

Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang

bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia

juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan

perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga

Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan

ke luar Jawa. Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak

tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah

(Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok

tanah air, yang kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR

Fachruddin dalam Sangpencerah, 2013).

Melihat perkembangan zaman yang terus bergerak, Muhammadiyah

turut ambil bagian dalam perkembangan media cetak dengan mendirikan

26
Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah

Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka. Selanjutnya

pada tahun 1932 dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar, surat

kabar pertama Muhammadiyah dicanangkan di bawah kendali Pengurus

Muhammadiyah cabang Solo. Melalui kegiatan-kegiatan ini KH. Ibrahim telah

membuktikan kualitas kepemimpinannya sehingga selama sepuluh kali

Kongres Muhammadiyah KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua.

Di lingkup dakwah aktivis muda Muhammadiyah, KH Ibrahim banyak

memberikan kebebasan gerak untuk mengeksepreksikan aktivitasnya. Di sisi

lain KH Ibrahim juga berhasil meningkatkan mutu ketiga organ

Muhammadiyah, di antaranya; gerakan perempuan Aisyiah yang berhasil

semakin maju, tertib, dan kuat, kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-

masjid) yang meningkat, serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya

Koperasi Adz-Dzakirat.

Setelah KH Ibrahim berpulang ke Rahmatullah pada umur yang relatif

muda, 46 tahun, akibat sakit yang diderita, kontribusi KH Ibrahim kemudian

dilanjutkan oleh Kiai Haji Hisyam, seorang murid yang juga memiliki

kedekatan khusus dengan Kiai Dahlan. Kiprah sebagai aktifis semenjak muda

menjadikan Kiai Hisyam dikenal berbagai kalangan Muhammadiyah. Warisan

ilmu agama dan wawasan umum yang dimiliki oleh Kiai Hisyam tidak perlu

diragukan lagi karena sejak kecil telah tumbuh di lingkungan keluarga religius.

Selain menuntut ilmu melalui institusi formal Kiai Hisyam sering menimba

ilmu agama kepada para ulama di sekitar Kauman, salah satunya ialah KH

27
Ahmad Dahlan yang sangat disegani. Terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar

Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun

1934, KH Hisyam terpilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di

Banjarmasin pada tahun 1935 karena dinilai berhasil membawa

Muhammadiyah melaju dengan zaman, dan berikutnya dipilih kembali dalam

Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936 (Sucipto

dalam Suara Muhammadiyah, 2015).

Tiga tahun masa kepemimpinannya, Kiai Hisyam berhasil membuat

perubahan-perubahan baru bagi Muhammadiyah. Kemajuan yang menonjol

adalah ketertiban administrasi dan manajemen organisasi yang kian terstruktur.

Kiai Hisyam meyakini untuk mengelola organisasi yang baik agar kemajuan

dapat segera tercapai harus diterapkan manajemen yang baik pula karena inilah

karakter utama dalam pengelolaan organisasi secara profesional. Berdasarkan

pemikiran ini Kiai Hisyam memberikan perhatian serius di aspek sumber daya

manusia (SDM) khususnya pelatihan kader Muhammadiyah yang andal dan

memahami secara baik Di periode Kiai Hisyam pula Muhammadiyah

memfokuskan diri ke bidang pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan

agama maupun pendidikan umum. Melanjutkan sekolah Muhammadiyah

terdahulu, Muhammadiyah kemudian membuka sekolah dasar tiga tahun

(volkschool atau sekolah desa) yang memiliki kesamaan kurikulum dan

persyaratan selayaknya volkschool gubernemen. Sebagai lanjutannya,

kemudian dibukalah vervolgschool Muhammadiyah yang dengan cepat

bermunculan di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Tidak lama setelah

28
pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool (sekolah dasar enam

tahun), Muhammadiyah pun mendirikan sekolah serupa dan mendirikan pula

Hollands Inlandse School met de Qur’an Muhammadiyah sebagai usaha

menyamai masyarakat Katolik yang mendirikan Hollands Inlandse School met

de Bijbel. Beberapa kebijakan Hasyim dalam memodernisasi standar

pendidikan Muhammadiyah agar selaras dan mempunyai standar mutu yang

setara dengan sekolah pemerintah kolonial membuat sekolah-sekolah

Muhammadiyah berkembang pesat sehingga pada akhir tahun 1932,

Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69

Hollands Inlandse School (HIS) dan 25 Schakelschool untuk murid tamatan

vervolgschool kelas lima.

Atas upaya dan kerja keras KH. Hisyam dan segenap pengurus

Muhammadiyah kala itu, kini dunia pendidikan Muhammadiyah telah

menjamur dan dikenal di berbagai wilayah Nusantara. Sampai saat ini data

terakhir tercatat terdapat 12.000 sekolah (sekolah dasar dan menengah), 166

perguruan tinggi (akademi dan universitas), 50 rumah sakit, serta ratusan amal

usaha lainnya yang dimiliki dan dikelola oleh Muhammadiyah. Angka ini

merupakan jumlah yang cukup besar untuk mewujudkan cita-cita

Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan dan mencerdaskan kehidupan

bangsa. Sumbangsih Muhammadiyah untuk Indonesia memberikan dampak

yang signifikan di berbagai aspek, khususnya sektor pendidikan dan kesehatan.

Sebagai ikhtiar dakwah yang semakin luas, di abad kedua kelahiran

Muhammadiyah pemimpin-pemimpin Muhammadiyah telah mengagendakan

29
gerakan internasionalisasi Muhammadiyah dengan maksud dapat

mengamalkan teologi al-Ma’un untuk seluruh umat beragama, baik di dalam

maupun luar Indonesia. Muktamar ke 45 di Malang merupakan titik awal

gerakan internasionalisasi Muhammadiyah dimana Ketua Umum PP

Muhammadiyah saat itu, Din Syamsuddin, menyatakan dalam 10 tahun

terakhir lahir 13 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di 13 negara dan

telah melangsungkan kerjasama internasional dengan beberapa Sister

Organization yang sepaham dengan Muhammadiyah. Angka ini dapat terus

bertambah seiring dengan semakin tersebarnya kader-kader Muhammadiyah di

berbagai negara.

C. Internasionalisasi Muhammadiyah
Setelah semakin bertambah dewasa, pada Muktamar Muhammadiyah di

Jakarta tahun 2000 muncul gagasan pendirian cabang Muhammadiyah di luar

negeri dengan berbagai alasan sebagai berikut: pertama, perlunya memperluas

dakwah perjuangan Islam yang rahmatan lil alamin dalam perspektif

Muhammadiyah tidak hanya di negara Indonesia tetapi ke berbagai negara.

Kedua, banyaknya kader, anggota dan warga Muhammadiyah yang menyebar

ke berbagai negara baik karena alasan studi maupun kerja dan mereka

memerlukan ruang untuk berorganisasi. Atas dasar alasan dan tujuan di atas

tersebut, pada akhirnya Muhammadiyah di luar negeri dinamakan Pimpinan

Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM). Pimpinan Cabang Istimewa

Muhammadiyah yang terbentuk sejak tahun 2005 dilatar belakangi oleh

30
minimnya rasa percaya diri umat Islam Indonesia dan lemahnya semangat

ekspansi ke luar negeri seperti yang dinyatakan oleh pengamat asing, Martin

van Bruinessen. Martin menyebutkan berbeda halnya dengan organisasi-

organisasi Islam di negara Islam lainnya seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir),

Jamaah Tabligh (Pakistan), Ghulen movement (Turki), dan Hizbut Tahrir

(Palestina), organisasi milik Indonesia belum mempunyai banyak anggota dan

kegiatan di luar negaranya sendiri. Walaupun berumur lebih muda dari

Muhammadiyah, organisasi-organisasi itu telah berkembang pesat di berbagai

negara. Tanpa bantuan pemerintah, mereka telah mampu mengekspor

pemahaman dan gagasan keagamaannya hampir ke setiap sudut dunia.

Barangkali rasa percaya dirilah yang berperan dalam pembentukan pribadi

penggagas tersebut dan faktor ini yang belum dimiliki oleh kader-kader

Muhammadiyah.

Belum adanya tokoh Islam dari Indonesia di kancah Internasional dan

masih kurangnya pengaruh gerakan Islam Indonesia dalam pergaulan global

inilah salah satu penyebab umat Islam Indonesia seringkali dilihat sebelah mata

oleh umat Islam dari negara lain, seperti beberapa kasus yang terjadi di Inggris

dan Amerika Serikat. Beberapa ilmuwan asing menamakan fenomena ini

dengan sebutan minority complex atau memiliki arti masyarakat muslim

Indonesia mayoritas secara angka tetapi masih minoritas dalam hal mental

Islaminya. Kontras dengan pernyataan Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-

modernis Muslim dari Pakistan/Amerika Serikat, pada tahun 1970-an yang

menyebut Indonesia bersama dengan Turki sebagi cikal bakal masa depan

31
peradaban Islam, melihat giatnya pencapaian umat Islam di tingkat global pada

tahun 1950 dan 1960 dengan diwakilkan oleh peran Mohamad Nastsir dan

Sukarno.

Agar Indonesia kembali aktif di lingkup Islam global, Muhammadiyah

secara periodik terus menggerakan PCIM diantaranya yang cukup aktif adalah

PCIM Mesir, PCIM Malaysia, PCIM Rusia dan PCIM Jepang. Di Amerika

Serikat terdapat pula PCIM yang sudah cukup lama dibentuk dan telah

menyelenggarakan muktamar kecil melalui telkonferensi yang bertujuan

membentuk kepengurusan baru dan membicarakan program PCIM Amerika

Serikat beberapa tahun kedepan. Pertemuan online itu dihadiri oleh Ahmad

Syamil, profesor di Arkansas State University; Halbana Tarmizi, profesor di

Bemidji State University; dan Muhamad Ali, profesor di University of

California, Riverside, yang kemudian terpilih menjadi ketua tim formatur.

Selama perjalanannya PCIM terus berkembang baik dari sudut kuantitas

maupun kualitas. Kuantitas bermakna munculnya PCIM, PCIA dan PRIM baru

di beberapa tempat sekalipun terkadang mengalami pasang surut karena

tergantung tersedianya kader dari mahasiswa yang belajar maupun pekerja

yang mencari nafkah. Mereka yang tinggal secara temporer untuk kemudian

pulang kembali ke tanah air. Maka, untuk sustainabilitas organisasi diperlukan

rekrutmen dari permanent residents atau bahkan warga negara setempat.

Kualitas bermakna peran organisasi yang semakin intensif memperkenalkan

Muhammadiyah di kalangan komunitas akademik maupun pusat-pusat

32
kegiatan Islam dan lembaga-lembaga non-government. Dan hingga saat ini

PCIM juga berfungsi sebagai duta persyarikatan di tempat masing-masing.

Sejauh ini hubungan Muhammadiyah dan negara tempat PCIM berada

berjalan harmonis. Muhammadiyah telah cukup dikenal di beberapa kalangan

negara PCIM, sebagai contoh di Taiwan. Lebih dari 7 tahun Chinese Muslim

Association (CMA) mengenal Muhammadiyah sehingga pendirian PCIM di

Taiwan sangat disambut baik oleh lembaga negara yang menangani urusan

Islam di Taiwan itu. Jalan dakwah yang dijalankan oleh PCIM Taiwan

menggunakan pendekatan kultural dan logis, sehingga mampu mengambil

perhatian masyarakat muslim Taiwan, termasuk CMA. Bahkan dalam kurun

waktu 1 tahun terakhir, metode Hisab Wujudul Hilal yang diajarkan oleh

Muhammadiyah telah dijadikan referensi bagi CMA untuk menentukan kapan

1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah bagi masyarakat Islam Taiwan.

Sementara silaturahmi antara PCIM dan Majelis Tarjih serta Tajdid PP

Muhammadiyah yang berlangsung pada Muktamar ke-47 menjadi momentum

tukar pikiran bersama. Dalam muktamar ini topik utama yang dibahas adalah

unifikasi kalender hijriah internasional. Unifikasi ini menjadi penting bagi

PCIM di berbagai negara, karena sebagai sumber informasi pemerintah negara

setempat maupun perwakilan Indonesia di negara tersebut PCIM perlu

mengetahui penetapan hari-hari besar Islam.

Agenda internasionalisasi Muhammadiyah lainnya adalah dengan

merancang program-program yang bertujuan untuk memperkenalkan Islam

Indonesia sembari mencerminkan latar belakang negara PCIM berada.

33
Contohnya program-program yang dicanangkan PCIM Amerika Serikat, salah

satunya adalah program memperkenalkan Muhammadiyah ke kalangan

akademisi di Amerika Serikat melalui AAR (American Academy of Religion)

dan MESA (Middle East Studies Association). Kegiatan lain yang dirancang

adalah membantu orang-orang Muhammadiyah yang berkunjung atau belajar

ke Amerika serta ttransfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari Amerika ke

Indonesia. Berdasarkan program-program ini, Pimpinan Cabang Istimewa

Muhammadiyah memang masih tergolong muda, namun demikian PCIM

menjadi garda terdepan dalam internasionalisasi nilai-nilai Islam melalui

manhaj Muhammadiyah di kalangan Internasional. Muhammadiyah sebagai

gerakan dakwah pencerahan, sesuai dengan tema besar muktamarnya tahun ini,

harus mampu membuat penyempurnaan dan pembaharuan strategi guna

revitalisasi peran PCIM di dunia.

Bukti lain yang menunjukan bahwa Muhammadiyah telah mampu menjadi

organisasi internasional adalah dengan diadakannya Muktamar

Muhammadiyah ke 47 yang dihadiri cabang-cabang istimewa di luar negeri.

Dalam pertemuan internasional yang diselenggarakan satu hari menjelang

muktamar, hadir para utusan dari Malaysia, Singapura, Thailand, Mesir,

Belanda, Kamboja, dan negara-negara lainnya. Berdirinya cabang-cabang

Muhammadiyah di luar negeri merupakan jaringan keagamaan dan gerakan

yang memperkuat Muhammadiyah di Indonesia. Meskipun secara ideologis

mereka memiliki banyak kesamaan, secara struktural cabang-cabang

Muhammadiyah di luar negeri tidak terkait langsung dan memiliki

34
"keistimewaan" dibandingkan dengan Muhammadiyah di Indonesia. Secara

struktural, cabang-cabang Muhammadiyah di luar negeri tersebut langsung di

bawah koordinasi PP Muhammadiyah. Di Indonesia, secara struktural cabang

Muhammadiyah berada di bawah Daerah, Wilayah, dan Pusat. Persyaratan

amal usaha pun memiliki perbedaan. Di Indonesia, cabang Muhammadiyah

dibentuk apabila memiliki sekurang-kurangnya tiga ranting dan memiliki amal

usaha. Hubungan PP Muhammadiyah dengan cabang di luar negeri tidak

bersifat komando, tetapi lebih bersifat afiliatif-koordinatif.

Selain pendirian PCIM terdapat beberapa makna dalam mengartikan

internasionalisasi Muhammadiyah menurut Ahmad Najib Burhani. Di bidang

pendidikan, salah satu gagasannya adalah dengan menjalin hubungan

akademik dengan berbagai universitas di luar negeri. Ini diwujudkan dengan

membangun hubungan kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri,

mengadakan seminar atau konferensi internasional, memperkenalkan

Muhammadiyah ke peneliti-peneliti asing, dan juga penerjemahan buku-buku

berbahasa Indonesia ke bahasa asing. Partisipasi dalam berbagai organisasi

internasional atau aktivitas di luar negeri pun merupakan salah satu bentuk

kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengupayakan internasionalisasi

Muhammadiyah. Partisipasi langsung ini telah dilakukan oleh beberapa

pemimpin Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin, Abdul Mu’ti, dan Syafiq

Mughni. Para pemimpin ini telah terlibat dalam pertemuan agama tingkat dunia

berbicara tentang Islam Indonesia di forum internasional dan terlibat dalam

aksi kemanusiaan serta filantropi dengan berbagai negara di dunia.

35
Dalam kancah forum internasional, Muhammadiyah terlibat aktif di

keanggotaan International Contact Group (ICG), khususnya dalam upaya

penyelesaian konflik di Filipina selatan yang melibatkan Moro Islamic

Liberation Front (MILF), Moro National Liberalism Front (MNLF) dan

Pemerintah Filipina. Selain Muhammadiyah, keanggotaan ICG untuk Filipina

terdiri dari The Asia Foundation Manila, Conciliation Resource (UK), The

Henry Dunant Centre (Geneva) dan perwakilan Negara-negara seperti Jepang,

Turki, dan Saudi Arabia. Pada tahun 2012 pertemuan membahas jalur

perdamaian konflik yang sudah lama terjadi ini telah dilakukan di Kuala

Lumpur dengan Malaysia berlaku sebagai fasilitator. Selanjutnya

Muhamadiyah menggelar pertemuan lanjutan pada tahun 2014 bertempat di

Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) antara Pemerintah Filipina, MILF

dan MNLF dengan tujuan menciptakan perdamaian bagi bangsa Moro di

Filipina. Pertemuan ini selain dihadiri oleh delegasi Moro Filipina juga

menghadirkan wakil pemerintah Filipina, Dubes RI di Filipina serta

Kementerian Luar Negeri RI.

Bersumber dari nilai-nilai agama yang menyerukan perdamaian,

Muhammadiyah meyakini signifikansi stabilitas di kawasan Asia Tenggara

sehingga perdamaian Filipina selatan harus selalu diupayakan. Keterlibatan

Muhammadiyah ini sekaligus sebagai wujud dari amanat semangat Seabad

Muhammadiyah yaitu keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan yang universal.

Dukungan terhadap kemanusiaan universal ini dibuktikan Muhammadiyah

dengan menyerukan hak-hak bangsa Moro sebagaimana hak-hak yang

36
didapatkan bangsa-bangsa lain, serta dengan aktif terlibat baik dalam mediasi

konflik maupun rehabilitasi pascakonflik dan pengembangan pembangunan.

Dalam konteks dunia global, Muhammadiyah sudah seharusnya

melakukan transformasi pemikiran dan dakwah dalam konteks internasional.

Muhammadiyah tidak boleh tinggal diam menyaksikan kesenjangan dan

ketidakadilan global, pemiskinan sistematis, dan intervensi negara adi kuasa

atas negara lainnya. Dengan jaringan internasionalnya, baik sumber daya

manusia maupun organisasi, Muhammadiyah memiliki kemampuan mediasi

dan perekat di antara negara-negara muslim.

37
BAB III

DINAMIKA PERDAMAIAN KONFLIK MINDANAO

Dalam bab III ini berisi tentang dinamika konflik Mindanao antara

masyarakat minoritas muslim Mindanao dengan Pemerintah Filipina, serta

mengemukakan tentang aktor-aktor yang terlibat dalam upaya perdamaian

konflik di Mindanao. Berdasarkan letak geografis, Mindanao terletak di bagian

selatan Filipina. Pada mulanya masyarakat Mindanao terdiri dari kelompok

Kristen Filipino dan mayoritas penduduk beragama Islam yang mulai masuk

sejak abad ke 15. Masuknya Islam ke Mindanao membuat banyak perubahan

terjadi di sekitar kawasan ini seperti perubahan peta demografi, budaya, sosial,

dan tata nilai dalam masyarakat Mindanao. Lambat laun Islam dianggap

sebagai sebuah identitas masyarakat lokal Mindanao karena dinilai dapat

merepresentasikan tata nilai kehidupan masyarakat Mindanao dibandingkan

dengan tata nilai lokal Lumands (agama dan keyakinan lokal Mindanao)

maupun tata nilai Kristen. Inilah salah satu pemicu terjadinya konflik

diskriminasi minoritas muslim Mindanao, Filipina.

Aktor-aktor yang akan dijelaskan dalam bab ini merupakan aktor-aktor

internasional yang berupaya menengahi konflik di wilayah Mindanao, baik dari

aktor negara seperti Libia, Malaysia dan Indonesia hingga aktor-aktor non

negara seperti Organisasi Konferensi Islam dan anggota-anggota International

Contact Group.

38
A. Sejarah Konflik Mindanao
Persebaran Islam di Mindanao dapat dibuktikan dengan peninggalan

berupa tarsilah-tarsilah yang dikenal dengan sebutan Tarsilah Mindanao.

Berdasarkan tarsilah ini dapat diketahui masuknya Islam ke Mindanao terjadi

pada abad ke 15 melalui jalur dagang dan dakwah oleh seorang ulama

keturunan Arab-Melayu bernama Syarif Muhammad Kabungsuan bin Syarif

Ali Zaid al Abidin. Dengan sambutan hangat yang diberikan oleh masyarakat

Mindanao kala itu membuat persebaran Islam menjadi semakin berkembang

dan meluas hingga Syarif Muhammad mendirikan kerajaan Islam di Mindanao

dan diangkat menjadi Raja Maguindanao (Brunei, 1990).

Perjalanan Islam hingga dapat masuk ke Mindanao melalui tiga jalur besar,

antara lain jalur Malaysia melalui Kasultanan Malaka, jalur Borneo melalui

Brunei Darussalam, serta jalur Indonesia melalui kepulauan Sumatera. Jalur

Indonesia dan Brunei cenderug mempengaruhi budaya politik Islam di

Kasultanan Sulu dan sekitarnya. Sedangkan jalur Malaka mempengaruhi

budaya politik Islam di kepulauan Mindanao (Surwandono, 2013). Masing-

masing daerah memiliki daerah kekuasaan masing-masing; daerah kekuasaan

Kasultanan Sulu berada di wilayah Sulu, Basilan, dan Tawi-tawi. Sementara

Kasultanan Maguindanao memiliki kekuasaan di wilayah Mindanao daratan

yaitu, Maguindanao, Maranao, Lana del Sur, Lanao del Norte, Zamboanga del

Sur, Zamboanga del Norte, dan Sultan Kudara.

39
Kemudian pada abad ke-15 Masehi penduduk Mindanao yang mayoritas

beragama Islam dengan kebudayaan Islam yang masih sangat kental sebagai

identitas mereka melakukan perlawanan terhadap kedatangan kekuatan

kolonialisasi pemerintah Spanyol yang ingin memperluas daerah jajahannya ke

tanah mereka, Mindanao. Sejak kedatangan kolonial Spanyol inilah penduduk

Islam di Mindanao dipanggil dengan sebutan “Moro”. Kelompok kolonial ini

memiliki tujuan untuk mendirikan koloni Spanyol di Mindanao dan

memasukkan mayoritas penduduk muslim tersebut ke dalam agama Kristen.

Menggunakan alasan agama, kaum ini berencana menghalangi penyebaran

Islam dengan memaksa Raja Sulaiman of Luzon yang mempertahankan kota

Manila beserta pengikutnya untuk memeluk agama Kristen (Majul dalam

Surwandono, 2013). Semenjak kejadian tersebut ketegangan dan konflik antara

pemeluk agama Kristen dan Islam Mindanao terjadi.

Selanjutnya terjadi pergantian antara rezim Spanyol ke rezim Amerika

Serikat di Filipina. Transisi ini berlangsung menjelang Perang Dunia ke-2

dengan memperlihatkan sikap berkebalikan terhadap masyarakat muslim di

Mindanao. Dalam perjanjian Treaty of Paris yang diresmikan pada 10

Desember 1898 kolonialisasi Amerika berhasil menghentikan rezim Spanyol

dan merebut kekuasaan atas Filipina. Amerika menginginkan masyarakat

muslim Mindanao dan mayoritas Kristen Filipino untuk bersatu dan hal itu

kemudian diresmikan pada tanggal 1 September 1914 (Budiwanti, 2004).

Dengan alasan penyatuan ini selanjutnya di Mindanao umat Kristen diharuskan

tinggal bersama umat muslim Mindanao lainnya.

40
Konflik antar dua kelompok, yaitu Muslim Mindanao dan Pemerintah

Amerika Serikat, mulai menunjukkan gejalanya pada tahun 1926 ketika

Amerika menerapkan kebijakan Bacon Bill. Bacon Bill merupakan kebijakan

pemerintah Amerika Serikat dalam menggabungkan wilayah selatan di

kepulauan Mindanao dan wilayah utara di kepulauan Luzon dengan pusat

pemerintahan di wilayah Luzon. Meskipun masyarakat muslim Mindanao

melakukan penolakan atas kebijakan ini, hasil Bacon Bill telah disepakati.

Praktis dampak secara geografis wilayah Mindanao termasuk dalam wilayah

administratif pemerintah Filipina sementara secara demografik kebijakan ini

berhasil mengurangi kepadatan penduduk di utara dan tengah Filipina. Respon

keras muslim Mindanao tidak dihiraukan meskipun kebijakan tersebut

merubah posisi masyarakat muslim Mindanao menjadi etnik minoritas di tanah

kelahirannya sendiri.

Kemerdekaan Filipina diakui pada tanggal 4 Juli 1946, ditandai dengan

penggabungan wilayah dari ketiga wilayah Selatan (kepulauan Mindanao),

wilayah Tengah (kepulauan Visayas), wilayah Utara (kepulauan Luzon).

Wilayah Mindanao resmi ditunjuk sebagai pusat politik dan administratif dari

negara Filipina. Hal ini membuat semakin buruknya hubungan masyarakat

Mindanao dengan pemerintah Filipina. Di bawah kepemimipinan Manuel

Quezon, Filipina menetapkan kebijakan-kebijakan yang kontra terhadap

struktur budaya, politik asli, dan hukum Islam Mindanao. Manuel berusaha

menghapus hukum-hukum Islam dan sebagai gantinya menerapkan struktur

hukum konvensional. Sebagai masyarakat yang sangat kental dengan nuansa

41
Islami, kebijakan ini mendapat perlawanan dari masyarakat Mindanao karena

dikhawatirkan kebijakan tersebut mengancam identitas Islam Mindanao yang

telah melekat sejak abad ke-15 (Majul dalam Surwandono, 2013).

Perubahan drastis dirasakan oleh masyarakat Muslim Mindanao pada

tahun 1980an. Jika sebelumnya teradapat 13 provinsi dengan penduduk

mayoritas muslim, pada tahun 1980 hanya terdapat lima provinsi yang

bertahan, yakni Basilan, Tawi-Tawi, Sulu, Maguindanao, dan Lano del Sur.

Kelompok Kristen Filipino memiliki kekuatan dari banyaknya penduduk

Kristen Visayas dan Luzon yang bermigrasi akibat kebijakan politik migrasi

pemerintah Filiina pada masa pimpinan Manuel Quezon tahun 1950-1970

(Surwandono 2013, 68). Gejolak keamanan nasional Mindanao mulai tidak

stabil karena adanya ketidaksetaraan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi

antara masyarakat di wilayah Utara dan di wilayah Selatan Filipina.

Masyarakat wilayah selatan Filipina menginginkan separatisme dari

pemerintah Filipina dan mendirikan negara merdeka di Mindanao untuk

mendapatkan hak mengatur tanah dan wilayah mereka sendiri.

Eskalasi konflik Mindanao semakin meningkat saat Filipina berada

di bawah arahan presiden Manuel Quenzon. Dalam merespons tuntutan

masyarakat Mindanao, rezim Manuel Quenzon cenderung tidak peduli dan

justru memutuskan menjadikan Mindanao sebagai salah satu aset penting untuk

menyelesaikan problem pertanahan dan investasi esktraktif ataupun agraris di

Luzon dan Visayas dengan alasan luasnya ketersediaan lahan dan sumber daya

alam yang ada di Mindanao. Pengelolaan Mindanao secara buruk dan

42
merugikan kepentingan masyarakat tidak hanya terjadi di era Manuel Quenzon.

Pada tahun 1968-1972 yang merupakan periode kepemimpinan presiden

Ferdinand Marcos pun masyarakat melakukan protes keras, baik dari elite

politik generasi tua maupun generasi muda. Kebijakan pemerintahan Ferdinand

Marcos yang tidak aspiratif dalam merespons tuntutan masyarakat Moro

mendorong berbagai kalangan menginisiasi politi pemisahan diri Mindanao

dari Filipina. Aktor-aktor yang berperan di antaranya adalah Datu Utdog

Matalam, inisiator organisasi Moro Independent Movement (MIM), yang

berasal dari kalangan generasi tua dan Nur Misuari, seorang akademisi yang

mengorganisir Moro National Liberal Front (MNLF). Kedua gerakan ini

mengakomodir keinginan masyarakat Mindanao yang sebagian besar

mengingikan pemisahan diri dari Filipina dan sebagai bentuk pemberontakan

terhadap gerakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kala itu.

Gerakan represif yang terjadi merupakan kebijakan pemerintah Filipina

dalam merespons keinginan separatisme masyarakat Mindanao dengan

beragam tindakan penyiksaan dan pembunuhan melalui pasukan sipil

(menggunakan etnis Ilaga) terhadap masyarakat muslim Mindanao.

Pemerintah Filipina menetapkan kebijakan tersebut sebagai kebijakan pokok

yang dikenal dengan sebutan Martial Law. Menyikapi serangkaian teror dan

kekerasan ini masyarakat Mindanao semakin menambah lapisan

perlawanannya, sehingga konflik semakin memanas dan sulit menemukan titik

temu. Diskriminasi sebagai dampak dari Martial Law, yang mengarahkan 70%-

80% dari jumlah tentara bersenjata nasional Filipina, telah memakan korban

43
sebanyak 60 ribu jiwa korban meninggal dunia, 54 ribu jiwa terluka, dan 350

jiwa menjadi pengungsi (Ernita, 1996).

Martial Law bukanlah satu-satunya peristiwa yang meninggalkan

kebencian masyarakat Mindanao terhadap kebijakan pemerintah Filipina.

Selang beberapa lama di sebuah Pulau di barat daya Manila, Corregidor, terjadi

peristiwa yang terus dikenang bangsa Moro. Tragedi ini adalah tragedi Jabidah

pada tanggal 18 Maret 1968, dengan asal mula konflik adalah saat sejumlah 60

orang Mindanao ditugaskan oleh pemerintah Filipina untuk melakukan

infiltrasi ke Sabah (Surwandono, 2013). Setelah mengetahui misi yang

diperintahkan kepada mereka ternyata untuk melakukan penyerangan Sabah,

maka 60 orang tersebut menolak melakukan infiltrasi ke Sabah. Pemerintah

Marcos merespon hal tersebut sebagai bentuk pemberontakan masyarakat

Mindanao terhadap kekuasaan masyarakat Filipina. Kemudian dalam tragedi

Jabidah tersebut, pemerintah Filipina membunuh mati 60 pasukan yang

dianggap sebagai pemberontak. (Surwandono dalam Rachmawati, 2016).

Selama bertahun-tahun pemerintah Filipina menjadi aktor pelanggar hak

asasi manusia di negara sendiri. Peristiwa ini menjadi titik balik yang memicu

masyarakat Mindanao untuk bangkit dan kembali melawan. Akumulasi

kebencian terhadap pemerintah Filipina sudah tidak terelakan. Nur Misuari

sebagai elite Mindanao merasa wajib membela nasib masyarakat muslim

Mindanao atas tindakan diskriminasi dan kekerasan dari kekuasaan pemerintah

Filipina. Nur Misuari mengajak komunitas internasional untuk peduli secara

serius terhadap konflik Mindanao. Berdirilah organisasi-organisasi nasional

44
keislaman Mindanao pasca tragedi Jabidah sebagai bentuk kekecewaan

terhadap kebijakan pemerintah yang pada akhirnya melahirkan perlawanan

baru. Maka dibentuklah Muslim National Liberation Front (MNLF) pada tahun

1969 yang didirikan oleh semangat Nur Misuari sebagai kelompok perjuangan

dan pembebasan masyarakat muslim Mindanao atas tindakan diskriminasi dan

kekerasan dari kekuasaan pemerintah Filipina (MNLF 2001). Sebelumnya

telah terbentuk organisasi yang dinamakan Muslim Independent Movement

(MIM) yang merupakan cikal bakal MNLF pada 1 Mei 1968. Organisasi ini

didirikan oleh Dato Udtog Matalam dengan tujuan untuk mencapai

kemerdekaan Mindanao dan Sulu.

Masyarakat muslim Mindanao memiliki semangat untuk memajukan dan

mempertahankan agama Islam meskipun menjadi masyarakat minoritas di

negaranya. Tahun 1970, konflik antara pemerintah Filipina dengan masyarakat

Mindanao kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata (armed conflict)

yang telah menyebabkan lebih dari 120.000 orang terbunuh dan menghabiskan

anggaran militer senilai lebih dari 73 miliar Peso per tahun (Surwandono,

2013). Situasi tersebut mengundang respon serius dari masyarakat

Internasional, khususnya dari Dunia Islam. Beberapa negara kemudian secara

intensif melakukan peran mediasi sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik

Mindanao. Serangkaian perjanjian perdamaian kemudian dilakukan antara

pemerintah Filipina dengan perwakilan masyarakat muslim Mindanao yang

diwakili oleh MNLF dengan mediator dari negara-negara muslim seperti Libia,

Arab Saudi, dan Indonesia.

45
B. Perjanjian Perdamaian Tripoli Agreement 1976
Konflik Mindanao telah sampai ke tingkat internasional akibat kedua

aktor, Pemerintah Filipina dan masyarakat Mindanao, secara konfrontatif terus

berkonflik sehingga menyebabkan kerugian signifikan bagi keduanya. Pada

tahun 1973 OKI menginisiasi pembentukan komisi empat negara

(Quardipatrite Ministerial Commission) dengan Libia, Arab Saudi, Senegal,

dan Somalia sebagai anggotanya, hingga kemudian berganti menjadi

Ministerial Committee of Six dengan tambahan anggota; Indonesia dan

Bangladesh. Tujuan pembentukan komisi ini adalah untuk menyelidiki kasus

tindak kekerasan yang dilakukan pemerintah Filipina terhadap Moro. Desakan-

desakan untuk segera menyelesaikan konflik ini di meja perundingan serta

mulai mengambil jalan damai dan diplomatik dilakukan oleh OKI khususnya

kepada presiden Ferdinand Marcos dan kelompok MNLF yang bertindak

sebagai satu-satunya representasi masyarakat muslim Mindanao.

Kepedulian dunia Islam terhadap konflik ini semakin terlihat pada tahun

1974 dengan menjadikan isu Mindanao sebagai isu utama dalam Islamic

Conference of Foreign Ministers V (ICFM V) yang dilaksanakan di Kuala

Lumpur, Malaysia. ICFM V mengeluarkan beberapa rekomendasi

penyelesaian terhadap kasus ini, di antaranya sebagai berikut: pertama,

mengkritik kebijakan pemerintah Filipina yang pro kekerasan dalam

menyelesaikan pemberontakan muslim Mindanao, dan mengusukan proses

perdamaian melalui jalur negosiasi. Kedua, mengirimkan tim yang

46
beranggotakan lima orang untuk melakukan misi pencarian fakta mengenai

dehumanisasi yang dilakukan peerintah Filipina terhadap bangsa Moro. Ketiga,

menghimbau anggota OIC untuk memberi dukungan moral melalui jalan yang

bersifat politis dan elegan terhadap muslim Mindanao sebagai bentuk bantuan.

Keempat, memberikan ruang atau memfasilitasi perundingan langsung antara

Presiden Ferdinand Marcos dan MNLF dalam kerangka kedaulatam nasional

dan integritas teritorial Filipina (Surwandono, 2013: 28).

Poin keempat ini kemudian diimplementasikan pada ICFM ke enam satu

tahun kemudian. Ministerial Committee of Six mengupayakan terjadinya

perundingan hingga mencapai kesepakatan final antara pemerintah Filipina dan

MNLF. Komite ini bertugas meyakinkan pihak pemerintah dan MNLF,

meskipun di tengah kondisi faksi yang bertikai, serta mempersiapkan proses

negosiasi dengan memilih Tripoli, ibukota Libia, sebagai tempat pelaksanaan

perundingan. Libia dipilih karena merupakan salah satu aktor negara yang

cukup lama (sejak tahun 1972) menjadi pihak ketiga dalam penyelesaian

konflik ini dan memiliki hubungan kedekatan dengan pendiri MNLF.

Kedekatan ini memberi dampak positif dalam proses negosiasi perundingan

damai konflik Mindanao.

Pada tahun 1976 perundingan tersebut dilaksanakan dan dikenal dengan

sebutan Tripoli Agreement 1976. Dihadiri langsung oleh perwakilan MNLF,

Dr. Nur Misuari, perwakilan pemerintah Filipina, Zamello Z. Barbero,

perwakilan dari Menteri Luar Negeri Libia, H. E. Salah Abdalla el-Fadl,

Sekretaris Jenderal OKI dan delegasi dari sekretariat OKI yang terdiri dari Mr.

47
Qasim Zuheri, Assistant Secretary Generalm dan Mr. Aref Ben Musa. Dalam

perjanjian pertama untuk menyelesaikan konflik Mindanao ini menyepakati

tiga hal pokok, yaitu: pertama, masyarakat Muslim Mindanao mendapatkan

status otonominya sehingga memiliki kewenangan untuk mengatur

pemerintahan secara otonom dalam pengawasan pemerintah Filipina. Kedua,

daerah otonom yang dimiliki meliputi 13 wilayah otonomi khusus di wilaya

Mindanao. Ketiga, membentuk kebijakan-kebijakan khusus mengenai tata

pemerintahan, integrasi mantan anggota MNLF dalam militer dan kepolisian

Filipina, pengelolaan sumber daya, pembebasan tawanan, serta otorisasi

persoalan politik luar negeri, yang kemudian diatur lebih rinci dalam kebijakan

spesifik dan menyesuaikan dengan konstitusi Filipina (Rachmawati 2016, 51).

Namun setelah Tripoli Agreement 1976 dilaksanakan, pihak MNLF tidak

terima dengan konsep pembentukan pemerintah otonomi. Dipimpin oleh Nur

Misuari kebijakan ini dirasa merupakan bagaian dari upaya pemerintah

Ferdinand Marcos untuk menggagalkan perjuangan bangsa Moro dalam

melakukan separatisme dan membentuk negara merdeka. Sementara bagi

pemerintah Filipina, pemberian kewenangan wilayah otonomi Mindanao justru

akan memberikan banyak keuntungan, antara lain tidak banyak menimbulkan

masalah politik di Manila maupun Mindanao serta dapat mempertahankan

integritas teritorial dan otoritas untuk bisa mengelola secara penuh sumber

daya sosial, ekonomi, dan politik di Mindanao (Ahmadi 2011, 186). Perbedaan

pandangan ini yang kemudian membuat perjanjian tersebut mengalami

kegagalan.

48
C. Negosiasi Jeddah Accord 1987
Adanya multi tafsir di antara pihak yang berkonflik membuat perjanjian

tripoli 1976 tidak memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan

sebelumnya. Setelah kegagalan ini MNLF kembali menyerang militer Filipina

hingga membuat konflik kembali mengalami eskalasi, dan pada saat bersamaan

MNLF terpecah menjadi dua kubu akibat perbedaan kepentingan, yaitu kubu

MNLF sendiri yang kala itu dipimpin Dimas Pundatu dan kubu Moro Islamic

Liberation Front (MILF) dibawah pimpinan Salamat Hashim (Esposito dalam

Surwandono 2013).

Pada tahun 1981, MNLF bertolak ke Jeddah untuk melakukan kontak

dengan Ministerial Committee of Six dalam rangka mencaru dukungan negara-

negara Islam terhadap keinginan pemembebasan diri Mindanao. Keinginan

mengangkat senjata yang dilakukan oleh MNLF ini mendapat respon

pertentangan tidak hanya dari OKI namun juga dari negara Libia dan Malaysia

yang selama ini memfasilitasi MNLF. Kedua negara ini mengancam akan

mencabut bantuan moril maupun materil berupa bantuan dana untuk

menunjang berbagai kegiatan MNLF jika MNLF keluar dari kesepakatan

Tripoli Agreement 1976. OKI pun tetap berperan dengan meyakinkan dan

mendesak MNLF agar tidak berubah haluan sebagai perwakilan resmi

masyarakat muslim Mindanao dalam perjanjian internasional dan harus

menghilangkan semangat separtismenya. Terdesak dari berbagai sudut, MNLF

akhirnya setuju untuk kembali menggunakan jalur diplomatik dan menurusan

49
proses politik dalam upaya penyelesaian konflik Mindanao dengan pemerintah

Filipina.

MNLF tentu memiliki perbedaan dengan MILF. Gaya politik MILF

yang cenderung konfrontatif membuat gerakan ini dianggap dapat mewakili

aspirasi masyarakat muslim Mindanao untuk memperjuangkan kemerdekaan

dari pemerintah Filipina seperti yang selama ini dicita-citakan. Dengan

berlandaskan syariat Islam, MILF melakukan mobilisasi kekuatan bersenjata

untuk pembentukan negara merdeka dan menyebabkan konflik Mindanao

kembali mengalami eskalasi.

Pada masa-masa itu presiden Marcos melihat kesempatan untuk

memancing kekeruhan pasca perpecahan antara MNLF dan MILF. Marcos

menegaskan bahwa MNLF adalah representasi gerakan komunis Mindanao

dengan tujuan untuk membuat asumsi miring dunia Islam dan khususnya

ASEAN terhadap MNLF. Menanggapi kebijakan Marcos yang tak urun juga

diwujudkan dan justru semakin memperlebar konflik, OKI akhirnya mendesak

pemeritah Filipina untuk serius mengimplementasikan Tripoli Agreement

1976 secara profesional dan proporsional (Surwandono 2013, 136). Di sisi lain

OKI pun mendesak MNLF agar tidak ikut mengail kericuhan dengan

melakukan pemberontakan kembali untuk pembentukan Negara Mindanao

Merdeka yang dirasa OKI tidak realistik. Langkah ini diambil agar kedua belah

pihak dapat lebih fokus dan produktif dalam menciptakan perdamaian dan

kesejahteraan Mindanao.

50
Kemudian pada tahun 1988, setelah jatuhnya kekuasaan presiden

Ferdinand Marcos melalui proses “People Power”, faksi-faksi politik

Mindanao gencar memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan

mobilisasi kekuatan pendeklarasian Negara Mindanao Merdeka. Bukan hanya

MNLF yang melanjutkan perjuangan bersenjatanya namun juga dari kelompok

MILF dengan dasar syariat Islamnya. Mobilisasi kekuatan bersenjata ini

kembali menaikan tingkat konflik di Mindanao. Corazon Aquino, presiden

Filipina setelah Ferdinand Marcos, memilih pendekaan baru terhadap bangsa

Moro. Aquimo mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan Nur Misuari

dengan tujuan membuat Misuari bersedia kembali bernegosiasi dengan

pemerintah Filipina dibawah pimpinan Aquino. Pendekatan ini membuahkan

hasil karena pada akhirnya Presiden Aquino dan Nur Misuari bertemu langsung

di Jolo, Sulu pada tanggal 5 September 1986. Pasca pertemuan, pada tanggal 3

Januari 1987, pemerintah Filipina mengirimkan tim dengan jumlah delegasi

sebanyak tiga orang ke Jeddah, Saudi Arabia dengan tugas utama

mengupayakan kelompok MNLF bersedia melakukan perundingan terkait

perbaikan kualitas kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Moro, tanpa

perbincangan mengenai isu separatisme bangsa Moro.

Tidak berhenti di sini, presiden Aquino kembali melakukan

pendekatan secara informal menggunakan kedekatan hubungan emosional

antara istri Nur Misuari dan Aquino yang pernah menjadi teman akrab selama

pendidikan di UPI, juga melalui pendekatan keagamaan yakni melalui Bunda

Teresa (Abet dalam Surwandono, 2013) agar mengembalikan kepercayaan Nur

51
Misuari terhadap proses negosiasi. Pendekatan ini berhasil sehingga pada 1

Agustus 1989 Jeddah Accord dilangsungkan dengan pembahasan seputar

pemberian otonomi penuh kepada Mindanao, Basilan, Sulu, Tawi-Tawi dan

wilayah Palawan. Dalam negosiasi ini pemerintah Filipina berjanji

memberikan fasilitas dan penghasilan tambahan bagi pemerintah daerah untuk

kebijakan terkait tata kelola pemerintah daerah yang dilembagakan dalam

Autonomus Region of Moro (ARMM).

Namun pada pelaksanaannya kalkulasi politik Aquino dalam

pelaksanaan pemungutan suara untuk menentukan pengelolaan pemerintah

daerah seperti yang diatur dalam ARMM tidak banyak memberikan hak-hak

otoritas yang kuat untuk mengelola politik di Mindanao secara otonom.

Sebaliknya wilayah maupun provinsi yang bersedia menjadi bagian ARMM

perlahan berkurang. Melihat hal ini sebagai wadah untuk menyelesaikan

konflik Mindanao ARMM dirasa tidak banyak memberikan solusi. Faksi-faksi

pergerakan masyarakat muslim Mindanao justru semakin memilih untuk

melakukan konfrontasi politik dalam pembentukan Negara Mindanao

Merdeka.

D. Final Peace Agreement 1996


Penandatanganan perjanjian damai tidak secara otomatis menciptakan

perdamaian di antara pihak-pihak yang berkonflik. Kenyataannya dua

perjanjian sebelumnya, Tripoli Agreement 1976 (dibawah kepemimpinan

Presiden Ferdinand Marcos) dan Jeddah Accord 1987 (dibawah kepemimpinan

52
Presiden Corazon Aquino), tidak mencapai titik perdamaian yang diharapkan.

Sejalan dengan ini, konflik Mindanao mulai mengalami penurunan ketegangan

(de eskalasi) dalam kurun waktu 1982-1990. Intensitas konflik bersenjata

antara masyarakat Mindanao dan pemerintah Filipina menurun ditandai dengan

berkurangnya kapasitas militer MNLF yang sebelumnya pada tahun 1977

terdiri dari 21.000 personil lalu hanya tersisa 14.000 personil pada tahun 1982.

Dukungan aktor di luar negara Filipina pun menurun seperti OKI yang melihat

kinerja MNLF dalam mempresentasikan kepentingan masyarakat muslim

Mindanao tidak benar-benar serius.

Presiden Corazon Aquino belum berhasil menyelesaikan konflik

Mindanao meskipun pilihan otonomi khusus telah dipilih oleh aktor-aktor yang

berkonflik sebagai bentuk resolusi konflik terkait dengan ketidakpuasan

formasi politik otonomi yang diperluas dalam lembaga ARMM tahun 1990 di

Mindanao. Pilihan menggunakan otonomi khusus ini justru menimbulkan

konflik baru antara masyarakat muslim Mindanao dan pemerintah Filipina

karena pada pelaksanaannya tidak ada otoritas yang memadai bagi pemerintah

otonomi masyarakat muslim Mindanao dalam melakukan pengelolaan

ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Mindanao. Tetap saja pemerintah

Filipina lah yang menaungi ARMM dan konflik terus berlanjut.

Menurunnya dukungan dari pihak-pihak di luar konflik Mindanao dalam

upaya penyelesaian konflik Mindanao, baik dari domestik hingga dunia Islam

maupun dunia internasional, mendorong pihak-pihak berkonflik cenderung

menggunakan isu konflik untuk mendapat dukungan kembali. Mengatasi

53
eskalasi konflik yang terjadi, pemerintah Filipina kembali membangun

negosiasi dengan MNLF. Perudingan tersebut difasilitasi oleh Indonesia

karena pemerintah Filipina meyakini Indonesia mampu menjalankan fungsi

sebagai mediator dan fasilitator dalam melakukan terobosan perundingan

damai konflik Mindanao yang selama ini seringkali mengalami kegagalan.

Dalam negosiasi ini MNLF pun cenderung meminta Indonesia yang telah

berperan aktif dalam proses perdamaian konflik Mindanao sejak tahun 1991

agar dapat memberikan dukungan dan khususnya pengakuan terhadap

artikulasi politik MNLF di Mindanao. Selanjutnya perundingan tersebut

dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 14-16 April 1993 dengan membahas

berbagai aksi bersenjata menggunakan kekerasan yang bertujuan untuk

menghalangi proses perundingan perdamaian, baik yang dilakukan oleh

MNLF, MILF, Abu Sayyaf, maupun kelompok Kristen Filipino (Rachmawati,

2016).

Harapan agar tidak ada lagi aksi kekerasan yang terjadi rupanya belum

terwujud. Di penghujung 1993, terjadi aksi pengeboman Masjid di Mindanao

sebagai aksi balas dendam pasca pengeboman gereja Kristen Filipino yang

mengakibatkan 7 korban meninggal dunia dan 151 korban luka-luka (UPI

1993). Aksi pemboman terus berlanjut, kelompok separatism muslim

Mindanao menyasar gedung-gedung di kepulauan Ipil hingga mengakibatkan

45 korban meninggal dunia dan 40 korban luka-luka oleh serangan tersebut.

Aksi kekerasan ini dianggap sebagai serangan dan ancaman terhadap

pemerintah Filipina sehingga pada 23 Juni 1995 Indonesia bersama OKI

54
melakukan serangkaian persiapan negosiasi selanjutnya agar konflik bersenjata

ini tidak semakin meluas.

Perundingan damai yang disepakati oleh pemerintah Filipina di era

kepemimpinan presiden Fidel Ramos dengan masyarakat muslim Mindanao ini

kembali difasilitasi oleh Indonesia dan dilaksanakan pada tanggal 2 September

1996 dengan sebutan Final Peace Agreement 1996. FPA sendiri merupakan

politik pelembagaan dalam upaya menyelesaikan konflik Mindanao dengan

harapan dapat menjadi wadah perundingan secara damai serta mengurangi

penggunaan senjata atas berbagai problematika di Mindanao. Disaksikan oleh

Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas dan Hamid Algabid selaku Sekjen

OKI, negosiasi ini membuahkan sebuah kesepakatan sementara yang

mencakup 81 point consensus (Surwandono, 2013).

Implementasi Final Peace Agreement 1996 dilakukan dalam dua tahap,

pertama yaitu dilakukan di tiga tahun awal perjanjian yang merupakan periode

transisi dengan mulai dibentuknya executive order, The Special Zone of Peace

and Development (SZOPAD), The Southern Philippines Council for Peace and

Development (SPCPD) dan The Consultative Assembly. Pada periode ini pula

proses reintegrasi kombatan MNLF ke dalam militer pemerintah Filipina, The

Armed Forces of The Philippines (AFP) dan The Philippines National Police

(PN), mulai diatur. Kedua yaitu periode transisi lanjutan dimana pada masa ini

Republic Act 6734 yang merupakan konstitusi Filipina terdahulu mengalami

proses amandemen menjadi The Organic Act of Autonomous Region of Moro

55
(ARMM), pada periode ini pula dilaksanakan pemungutan suara bagi setiap

daerah ataupun provinsi yang akan bergabung dengan ARMM atau tidak.

Dalam perjalanannya, FPA telah berhasil mengawali terbentuknya proses

rekonsiliasi terhadap kelompok MNLF meskipun upaya melakukan

amendemen konstitusi akhirnya tidak terpenuhi. Namun keuntungan dari FPA

hanya dirasakan oleh MNLF dan pemerintah Filipina. MILF sebagai kelompok

masyarakat muslim Mindanao lainnya tidak dilibatkan dalam proses

perundingan sehingga selanjutnya MILF menjadi tantangan baru bagi

pemerintah Filipina. Selain itu pemberian otonomi khusus bagi masyarakat

muslim di Mindanao yang diasumsikan dapat menjadi penyelesai konflik

sebaliknya dirasa gagal dan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat

muslim Mindanao yang semakin menurun.

Sumber: Surwandono, Bahan Presentasi untuk PP Muhammadiyah, 2013

56
Di era pemerintahan Joseph Estrada, terjadi pemborbardiran militer

Filipina terhadap Kamp Abu Bakar yang merupakan salah satu markas besar

MILF dengan banyak pemukiman muslim di sekitarnya. Serangan balasan

dilakukan oleh MILF dengan upaya baku tembak di kota Datu Piang,

Maguindanao sehingga menewaskan sembilan belas anggota MILF dan tiga

tentara militer Filipina (Liputan6, 2009). Tragedi all-out-war ini berdampak

terhadap internasionalisasi konflik antara pemerintah Filipina dan MILF.

Manuver yang dilakukan oleh pemerintah Filipina justru membuat MILF

memiliki pijakan baru untuk membangun perjuangan diplomatik dan mencari

bantuan dalam forum internasional, khususnya melalui Organisasi Konferensi

Islam (Syamina, 2013).

Konflik berkepanjangan Mindanao mengundang simpati dan empati

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam internasional untuk dapat membantu

menyelesaikannya. Masuknya Muhammadiyah dalam dinamika politik

Mindanao cenderung memiliki keterdekatan dengan faksi MILF karena pada

mulanya di tahun 2007 Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah kala

itu, terlebih dulu diundang oleh perwakilan Malaysia untuk membahas proses

perdamaian konflik ini lebih lanjut. Sejak 1998, Malaysia sebagai third parties

telah aktif terlibat dalam negosiasi konflik Mindanao antara MILF dan

pemerintah Filipina, terlebih pada tahun itu di mana MILF mulai

dipertimbangkan oleh pemerintahan Estrada sebagai faksi yang representatif di

Mindanao dibandingkan dengan MNLF. Dalam koteks konstalasi politik

Mindanao, hubungan Malaysia dan MILF pun cenderung lebih dekat

57
dibandingkan dengan faksi MNLF karena didukung oleh faktor historis antara

kasultanan Maguindanao yang merupakan basis politik MILF dengan

masyarakat Melayu (Surwandono, 2013).

“Malaysia’s facilitation, aside from being host, usually involved the

following functions: go-between conveying positions of the parties; providing

a conducive atmosphere and facilities; presence in the talks as ‘referee’ and to

witness commitments and understandings; help bridge differences by shuttling

between the parties; administration of the talks; and record and keep minutes,

to detail what had actually been agreed upon.”

Di tahun 2003 di masa kepresidenan Aroyyo, Malaysia bertindak sebagai

fasilitator dalam Final Peace Agreement 2003 meskipun pertemuan itu

menemui jalan buntu dan dilanjutkan ke perundingan antara MILF dan

pemerintah Filipina lainnya di tahun 2008. Walau akhirnya perundingan

tersebut pun belum berhasil tatkala hasil perundingan dibatalkan oleh Supreme

of Court Filipina.

Pemerintah Malaysia kembali terlibat dalam menfasilitasi pembicaraan

damai antara pemerintah Filipina dengan MILF, yang diinisiasi pada 14

November 2009. Untuk menjamin proses pembicaraan damai tidak mengalami

kebuntuan lagi, maka pemerintah Malaysia atas persetujuan dari pemerintah

Filipina dan MILF membentuk International Contact Group (ICG) yang terdiri

dari beberapa Negara seperti Inggris, Kanada, Jepang, dan Turki serta beberapa

58
non governmental organization seperti Muhammadiyah, Human Conciliation,

Asia Foundation dan Henry Dunant Center (Surwandono, 2013).

Fungsi ICG dalam penyelesaian konflik ini adalah untuk menghadiri dan

mengamati proses negosiasi, mengunjungi dan menyarankan pihak yang

bernegosiasi, dan bertemu dengan para pihak yang terlibat untuk

menyelesaikan isu yang beredar (Fitrah dalam Surwandono, 2013). Melalui

kehadiran ICG yang diproyeksikan dapat mendukung percepatan proses

perdamaian Mindanao, Muhammadiyah ikut turun tangan dengan

berpartisipasi dalam perundingan informal antar anggota ICG hingga nota

kesepakatan perdamaian Mindanao berhasil terwujud.

59
BAB IV

STRATEGI MUHAMMADIYAH DALAM PROSES PERDAMAIAN


KONFLIK MINDANAO

Bab IV ini akan membahas tentang strategi-strategi yang dicanangkan

Muhammadiyah dalam menyelesaikan konflik Mindanao yang telah terjadi

berkepanjangan. Sebagai bentuk wujud komitmen pada visi Muhammadiyah

2025 seperti tertuang dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46,

Muhammadiyah selaku aktor organisasi mencanangkan berbagai strategi untuk

mempercepat proses perdamaian konflik Mindanao. Keterlibatan

Muhammadiyah adalah bentuk kepedulian terhadap permasalahan

kemanusiaan khususnya masyarakat muslim dunia. Sebelum konflik

Mindanao, kontribusi berupa pemikiran dan aksi Muhammadiyah telah

teraplikasikan dalam proses pembangunan perdamaian di konflik Thailand

Selatan antara kelompok PULO (Pattani Union of Liberarion Organization),

BRN (Barisan Revolusi Nasional, serta Pemerintah Thailand sendiri. Keaktifan

Muhmmadiyah tersebut kemudian menempatkan Prof. Dr. Din Syamsuddin

selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah menjadi wakil sekretaris jenderal

World Islamic People’s Leadership (WIPL).

Eksistensi Muhammadiyah di WIPL membuka jalur komunikasi

dengan berbagai kalangan di dunia, khususnya masyarakat muslim dunia.

Dalam proses komunikasi yang terjadi, diskursus perdamaian Muhammadiyah

pun berhasil menarik perhatian perwakilan kelompok berkonflik Mindanao

dari faksi MILF yang bernama Ma’kir Iqbal. Di sisi lain Muhammadiyah

60
senantiasa menjaga komunikasi secara berkala dengan Aminah Rasul selaku

senator muslim Filipina. Komunikasi yang baik ini membuat kelompok MILF

meminta keterlibatan Muhammadiyah dalam keanggotaan International

Contact Group sebagai salah satu fasilitator konflik Mindanao. (Humanitarian

Dialogue dalam Surwandono, 2013) Sejak saat inilah Muhammadiyah

tergabung dalam ICG dan memutuskan mendampingi MILF sebagai

partheisnya sebagai perwakilan representasi masyarakat muslim Mindanao.

A. Strategi Fasilitasi Komunikasi Muhammadiyah dengan Menjadi


Mediator dalam Empat Perundingan Perdamaian

Tahun 2009 adalah tahun pertama Muhammadiyah mengawali kiprah

dalam proses perdamaian konflik Mindanao ditandai dengan mulai

bergabungnya Muhammadiyah ke dalam keanggotaan International Contact

Group bersama beberapa negara dan organisasi internasional lainnya seperti

Human Conciliation, Asia Foundation dan Henry Dunant Center. ICG sendiri

resmi menjadi mediator dalam perundingan damai antara pemerintah Filipina

dan MILF setelah adanya penandatanganan persetujuan kerangka kerja dalam

Framework Agreement on The Formation of the International Contact Group.

Dengan semangat ukhuwah Islamiyah (solidaritas antar muslim) yang

dirasakan oleh Muhammadiyah terhadap masyarakat Mindanao serta prinsip

Muhammadiyah sebagai organisasi internasional yang akan turut serta dalam

membantu perdamaian dunia, memicu Muhammadiyah untuk berupaya

menajdi pihak ketiga dalam membangun akuntabilitas dan efektivitas mediasi

menuju perdamaian Mindanao. Keaktifan Muhammadiyah dalam forum

61
internasional ICG sudah terlihat sejak perundingan pada 18 November 2009

yang dilakukan di Kuala Lumpur, Malaysia (GMA, 2009). Panel perdamaian

yang dipimpin oleh Tengku Dato Abdul Gafar sebagai perwakilan Malaysia

selaku negara fasilitator ini merupakan panel pertama yang diselenggarakan

oleh ICG. Dalam perundingan tersebut Muhammadiyah menjadi satu-satunya

aktor yang menggunakan narasi bahasa keagamaan dan solusi praktis

keagamaan dalam membantu penyelesaian konflik ini (Surwandono, 2015).

Selain Muhammadiyah, pada panel tersebut turut hadir ketua panel pemerintah

Filipina, Rafel Serguis, ketua panel pihak MILF, Mohagher Iqbal, duta besar

United Kingdom untuk Filipina, Stephen Lilie, dan perwakilan dari Jepang,

Makoto Katsura. Demikian juga pada pertemuan tersebut hadir perwakilan

anggota Non-governmental Organizations (NGOs) ICG yaitu The Asia

Foundation yang diwakilkan oleh Dr. Steven Rood, Prof. Christine Bell dari

panel Concialiation Resources, David Gorman selaku wakil The Henry Dunat

Centre, serta perwakilan Muhammadiyah sendiri yaitu Dr. Sudibyo Markus,

Prof. Imam Robandi, Dr. Surwandono, Dra. Tri Astuti, dan Drs. Ahmad Ma’ruf

(Syamsuddin, 2014).

Kehadiran ICG di tengah upaya perdamaian ini mendapat sambutan

baik dari pemerintah Filipina maupun MILF. Badan ad-hoc ini diproyeksikan

akan melengkapi dan mendukung pekerjaan Malaysia selaku mediator utama

proses perdamaian. Beberapa fungsi ICG di antaranya adalah untuk menghadiri

dan mengamati proses negosiasi, mengunjungi dan menyarankan pihak yang

bernegosiasi, dan bertemu dengan para pihak yang bernegosiasi untuk

62
menyelesaikan isu yang bereda (Fitrah, 2012). Dalam hal mendukung kinerja,

anggota ICG melakukan perundingan informal untuk menentukan sistem kerja

mereka. Anggota ICG menyepakati penggunaan koordinasi renggang sehingga

dalam tim ini tidak ada ketua maupun sekretariat ICG. Sebagai penyimpan

berkas hasil pertemuan antara pemerintah Filipina dan MILF, ICG hanya

memiliki koordinator Centre for Humanitarian Dialogue (HD Centre) yang

juga memiliki tugas sebagai penghubung utama antara Malaysia sebagai

fasilitator dan ICG. Di samping itu, ICG juga tidak mempunyai sistem hirarki

dalam sistem kerja sehingga setiap anggota dibebaskan untuk melakukan peran

mereka sesuai dengan keahlian yang mereka miliki (Herbolzheimer dalam

Rachmawati, 2016).

Sebagai fasilitator konflik, Muhammadiyah melihat perundingan

damai yang dicanangkan sejak 2008 selalu mengalami kegagalan disebabkan

adanya kesalahan redaksi dalam nota kesepakatan damai. Kesalahan satu kata

saja yang dapat membingungkan, baik pihak Filipina maupun Moro pasti akan

menolak gencatan senjata (Muhammadiyah, 2013). Tidak ingin mengulang

kegagalan seperti sebelumnya, pada pertemuan ini dibuatlah sebuah kerangka

persetujuan atau lebih dikenal dengan sebutan Framework Agreement of

Bangsamoro (FAB), yang selanjutnya ditanda tangani secara resmi pada 15

Oktober 2012 di Manila. Poin kesepakatannya di antara lain meliputi sebuah

rencana pembangunan kawasan otonomi baru yang diberi nama Bangsamoro,

yang akan meliputi lima provinsi termasuk sebagian wilayah Lanao dle Norte

dan Utara Provinsi Cotabato (Agung Sasongko dalam Republika 2012).

63
Pernyataan ini kemudian disampaikan secara resmi ke dunia Internasional oleh

Presiden Filipina Beniqno Aquino (Aquino III) seperti yang dilansir dalam

www.sinarharian.com:

“Kerajaan Filipina dan Barisan Pembebasan Islam Moro (MILF) telah

menandatangani kerangka perjanjian damai secara rasmi di Istana Malacanang

di sini hari ini bagi mengakhiri konflik lebih 40 tahun di wilayah selatan

Filipina. Detik bersejarah bagi memulakan proses penubuhan wilayah otonomi

Bangsamoro itu turut disaksikan oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun

Razak dan Presiden Filipina, Beniqno Aquino III, pada pukul 3 petang waktu

tempatan. Majlis yang turut disaksikan oleh ketua MILF, Murad Ebrahim itu

ditandatangani oleh wakil kerajaan Filipina, Marvic Leonen, dan ketua

perundingan damai MILF, Mohagher Iqbal. Malaysia menjadi pengantara

perundingan damai antara kedua belah pihak itu sejak 2001 sehingga perjanjian

awal untuk perdamaian dicapai di Kuala Lumpur dalam perundingan tanggal

2-7 Oktober 2012.”

Bentuk tindak lanjut dari implementasi Framework Agreement of

Bangsamoro adalah dengan dibentuknya Transitional Committee yang

dipimpin oleh Muhagher Iqbal, Ketua Panel Perunding MILF, yang bertugas

menyusun basic law (draft konstitusi) Bangsamoro sehingga kemudian pada

tahun 2015, setelah konstitusi tersebut disetujui oleh Kongres Filipina,

dibentuklah Pemerintahan Sementara Bangsamoro menggantikan Autonomous

Muslim Region of Mindanao (ARMM) yang sebelumnya telah dibentuk.

64
Setelah perundingan yang dilakukan pada tahun 2009 di Malaysia,

Muhammadiyah mengadakan pertemuan kedua yang kali ini langsung

difasilitasi oleh Pimpinan Pusat Muhamadiyah. Alasan Muhammadiyah

kembali mengadakan pertemuan adalah untuk tetap memantau jalannya

perdamaian di Mindanao sehingga tidak lagi terjadi penyimpangan-

penyimpangan yang membuat proses perdamaian sebelumnya menjadi

prosedur formal semata. Konferensi perdamaian ini dilakukan pada tahun 2012

di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan dihadiri oleh delegasi Moro

Filipina, wakil pemerintah Filipina, Dubes RI di Filipina serta perwakilan

Kementerian Luar Negeri RI (UMS, 2013). Di dalam pertemuan tersebut

membahas kelanjutan proses perdamaian Bangsamoro dan mengevaluasi

roadmap 2020 Muhammadiyah.

Pertemuan ketiga yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah adalah

pertemuan antara perwakilan MILF dengan Ketua Majelis Permusyawaratan

Rakyat RI (MPR RI) yaitu Taufik Kiemas pada tanggal 23 Februari 2012.

Pertemuan ini adalah bentuk permintaan kedua belah pihak kepada

Muhammadiyah yang dianggap dapat membantu memfasilitasi keduanya

meski hanya dalam bentuk bantuan teknis saja. Tujuan dari pertemuan ini

adalah untuk mendengarkan nasehat dan pendapat dari tokoh Indonesia tentang

proses perdamaian yang dilakukan antara pemerintah Filipina dan MILF

(Republika, 2012).

Di akhir November 2012, bertempat di Bogor, Jawa Barat,

Muhammadiyah menyelenggarakan pertemuan informal antara pemimpin inti

65
MNLF dan MILF. Hal ini menjadi penting karena perjanjian MILF-Pemerintah

Filipina ini akan menggantikan ARMM yang telah disepakati oleh pemerintah

Filipina dan MNLF tahun 1996. MNLF dan MILF dianggap satu yaitu sebagai

Bangsamoro (Fisas, 2012). Dalam pelaksanaannya Muhammadiyah

bekerjasama dengan Kemenlu (Kementrian Luar Negeri) Indonesia, CCDC

(Center for Dialogue and Coorporation among Civilizations), dan Ceng Ho

Multi Cultural and Education Trust mengadakan pembicaraan informal sebagai

bagian dari World Peace Forum. Hasil pertemuan yang diawasi oleh Teresia

Dalas selaku ketua OPPAP ini adalah terbentuknya perjanjian pengembangan

Joint Road Map MNLF dan MILF yang sebelumnya telah disetujui dengan

pemerintah Filipina (Syamsuddin, n.d).

Strategi komunikasi ini dilakukan untuk menciptakan kepercayaan

bersama (mutual confidence) dengan memfasilitasi pihak-pihak yang

berkonflik agar duduk bersama di satu meja. Selain itu upaya perundingan

tersebut menciptakan saling pengertian antar pihak yang berkonflik disebabkan

oleh undangan Muhammadiyah untuk senantiasa melakukan dialog antar

pihak. Di antara dialog yang dilakukan Muhammadiyah turut mentransfer

pemikiran kosmopolitan Muhammadiyah sehingga tercipta jembatan untuk

saling mengerti satu sama lain.

B. Strategi menggunakan multi-track diplomacy


Peran Muhammadiyah dalam memediasi konflik Mindanao telah

dibuktikan dengan keaktifan Muhammadiyah mendampingi serta

66
memfasilitasi serangkaian perundingan perdamaian agar cita-cita damai

Bangsamoro dapat tercapai. Untuk mendukung strategi komunikasi yang telah

dilakukan, Muhammadiyah turut melakukan strategi prosedural sebagai

strategi kedua agar proses mediasi konflik berjalan lebih efektif.

Pasca perundingan di Malaysia tahun 2009, Muhammadiyah yang

merupakan satu-satunya islamic faith based organization di ICG memainkan

peran sebagai supporting unit dalam proses rekonstruksi Bangsamoro. Dengan

demikian kontribusi Muhammadiyah tidak hanya selama proses perundingan

formal –baik di dalam maupun di luar perundingan- namun juga pasca

perdamaian. Kesungguhan Muhammadiyah membantu menyelesaikan konflik

ini dibuktikan dengan mengirim tim scoping mission ke Filipina pada tanggal

12-21 Juni 2011, yang terdiri atas Dr. Sudibyo Markus (Lembaga Hublu PP

Muhammadiyah), Prof. Imam Robandi (Majelis Dikdasmen PP

Muhammadiyah), Dr. Surwandono (Dosen Jurusan Hubungan Internasional

UMY), Ahmad Ma’ruf, S.E., M.Si. (Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP

Muhammadiyah), serta Dra Tri Hasturi Nur Rohiman (Lembaga Diklat PP

Aisyiah). Kunjungan tersebut menghasikan sebuah roadmap program

Muhammadiyah di Mindanao dari tahun 2011-2020. (Joglosemar, 2013)

Humanitarian roadmap ini merupakan bentuk pendampingan Muhammadiyah,

seperti yang pernah dilakukan oleh Muhammadiyah pasca konflik Muslim

Pattani Thailand, dengan tujuan membantu capacity building Mindanao di

bidang sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

67
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dalam roadmap 2020

Muhammadiyah mendatangkan tenaga ahli medis dan guru ke Mindanao untuk

berbagi pengalaman mereka dalam mengelola rumah sakit dan sekolah

(Syamsuddin, n.d). Berbagi pengalaman tersebut dilaksanakan secara langsung

dengan melakukan praktek sehingga Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai

enskiller bukan enhancer. Upaya Muhammadiyah mendatangkan tenaga medis

dan guru merupakan rencana awal dari program melancarkan usaha

pembangunan rumah sakit dan sekolah Muhammadiyah di Moro.

Dalam menjalankan perannya sebagai enskiller, Muhammadiyah

mendapat kendala dalam hal biaya. Hal ini dikarenakan jam terbang

Muhammadiyah yang belum selebar anggota ICG lainnya. Terlebih kegiatan

ini dilakukan di luar negara yang membutuhkan banyak biaya untuk

melaksanakan program-program yang telah dicanangkan dalam proses

perdamaian. Kendala ini diubah menjadi sebuah tantangan bagi

Muhammadiyah dan segera dicari penyelesaiannya. Memanfaatkan jaringan

Muhammadiyah yang telah merambah kancah Internasional, Muhammadiyah

kemudian melakukan beberapa promosi kemitraan. Promosi ini dilakukan

dengan donor dan lembaga-lembaga kemanusiaan baik badan bilateral maupun

multilateral di Indonesia maupun luar Indonesia untuk mendapat bantuan dana

(Syamsuddin, n.d).

Upaya Muhammadiyah menghasilkan sebuah kesepakatan kerjasama

dengan Yayasan British Council Inggris dan Australian Agency for

International Development (AusAID). British Council yang merupakan sebuah

68
organisasi internasional Inggris untuk pendidikan dan kebudayaan menyetujui

membantu Muhammadiyah dalam memfasilitasi pendidikan yang layak bagi

Bangsamoro dengan membantu mengembangkan kualitas kemampuan

berbahasa Inggris. Sementara itu dalam merespon kondisi yang terjadi di

Mindanao, AusAID bekerja sama dengan UNICEF meluncurkan sebuah

proyek pendidikan senilai US$ 18 juta untuk membantu sekitar empat juta anak

miskin di enam kota di Filipina. Menurut Sekretaris Departemen Kesejahteraan

Sosial AusAID, Corazon Soliman, proyek ini berfokus pada anak-anak yang

berada dalam kondisi paling rentan, terutama mereka yang terperangkap dalam

konflik di Mindanao. Proyek tersebut juga akan membantu pemerintah

mendirikan pusat-pusat penitipan anak di pulau-pulau terpencil serta tempat-

tempat relokasi bagi anak-anak pengungsi.

Bersamaan dengan itu Muhammadiyah turut pula mengadakan

kerjasama dengan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia dalam pengadaan beasiswa untuk mahasiswa

Moro yang melanjutkan studi di beberapa universitas Muhammadiyah yang

tersebar di Indonesia, di antaranya adalah Universitas Muhammadiyah Malang,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah

Surakarta dan Universitas Ahmad Dahlan. Beasiswa tersebut terdiri dari

beasiswa studi penuh beserta biaya hidup yang mulai diberikan sejak tahun

akademik 2013/2014 seperti keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Di tahun pertama pengadaan beasiswa tersebut, terdapat 30 mahasiswa

Bangsamoro yang menempuh program pascasarjana di sejumlah perguruan

69
tinggi Muhammadiyah. Tindak lanjut kegiatan ini adalah dengan dibentuknya

event bertajuk Multistake Holders Dialogue on Bangsamoro yang merupakan

serangkaian kegiatan garapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Kegiatan ini bertujuan

mempertemukan wakil dari pemerintah Filipina, wakil dari Bangsamoro

Transitional Committee, serta wakil MNLF dan MILF dalam sebuah

konferensi berjudul Dialog Internasional Menuju Persatuan dan Kesatuan

Abadi Bangsamoro untuk membahas lebih lanjut pembangunan wilayah Moro

(UMM, 2013).

Di bidang ekonomi Muhammadiyah turut menyumbangkan ide besar

berupa pelembagaan micro finance berbasiskan shariah Islam, yang lebih

dikenal dengan sebuat Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia. Gagasan

ini muncul ketika tim assesment Muhammadiyah melakukan riset ke sejumlah

perempuan Mindanao tentang manajemen pengelolaan ekonomi keluarga,

dimana para keluarga di Mindanao telah terbiasa menyisihkan uang di tengah

sejumlah keterbatasan sosial ekonomi yang dialami. Masyarakat Mindanao

merasa berkontribusi bagi kelangsungan perjuangan masyarakat Islam

Mindanao secara keseluruhan dengan kebiasaan menabung tersebut. Dalam

sebuah focused group discussion, investasi yang paling penting agar

perdamaian Mindanao dapat tetap terjaga adalah dengan menjaga

kesinambungan peran serta seluruh Muslim Mindanao untuk membiayai

konflik masyarakat muslim itu sendiri. Jika diasumsikan, satu keluarga muslim

Mindanao rata-rata menyisihkan 10 peso setiap minggunya, sehingga secara

70
sederhana disimpulkan setiap keluarga menyumbang sekitar 50 peso setiap

bulan, dan 600 peso untuk setiap tahun (Surwandono, 2015).

Dengan semangat peningkatan kesejahteraan masyarakat Mindanao,

investasi ekonomi di masa konfliktual merupakan hal yang disarankan oleh

Muhammadiyah meskipun beberapa pihak merasa gagasan ini tidak masuk

akal melihat potensi ekonomi sangat rawan dipolitisasi pada masa konflik.

Namun Muhammadiyah meyakini prinsip ekonomi shariah yang berlandaskan

pada konsepsi keadilan bagi investor maupun pengelola memungkinkan proses

pembangunan ekonomi tetap akan berjalan meskipun di saat krisis. Tawaran

Muhammadiyah ini sebenarnya sangat sederhana dan visible melihat

masyarakat muslim Mindanao pada umumnya bermata pencaharian di bidang

pertanian, perikanan dan peternakan sehingga lebih memungkinkan jika

menerapkan BMT yang bersifat dinamis dan mobil, dibandingkan dengan

model ekonomi konvensional yang lebih berorientasi pada profit seeking

(Surwandono, 2015). Muhammadiyah turut mendesain sebuah road

pelembagaan ekonomi ekonomi mikro berbasis shariah seperti yang dijelaskan

pada tabel 4.2.

Tabel 4.2.
Rencana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Muhammadiyah di
Mindanao

71
Sumber: Dokumen Muhammadiyah untuk Mindanao dalam Surwandono,
Jurnal Hubungan Internasional, 2015

Segala usaha yang ditempuh oleh Muhammadiyah ini sejalan dengan

komitmen Muhammadiyah dalam Keputusan Muktamar ke-46 tentang

keberperanan Muhammadiyah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan dan

kemanusiaan universal atau dinamika kemanusiaan global. Muhammadiyah

memastikan sikap netralitas agar terciptanya suatu keadaan yang aman dan

damai, tidak menginginkan permusuhan dan berupaya untuk memberikan

apresiasi yang sangat tinggi terhadap proses penyelesaian konflik secara damai.

Sehingga konsep perdamaian yang telah dirancang sungguh-sungguh tidak

hanya menjadi formalitas semata namun merupakan sebuah proses yang harus

diprioritaskan. Pentingnya perlakuan adil antar pihak yang berkonflik

berdampak terhadap implikasi perdamaian yang adil dalam memelihara hak

asasi umat manusia di dunia.

72
Dengan disepakatinya Framework Agreement of Bangsamoro, yang

merupakan hasil mediasi seluruh aktor yang terlibat dalam proses perdamaian

konflik, memberikan dampak yang signifikan terhadap meredanya konflik

senjata antara militer Filipina dan kombatan MILF. Berdasarkan data dari

International Monitoring Team (IMT) yang didirikan Maret 2014 untuk

memantau pelaksanaan perjanjian gencatan senjata (MOFA, Malaysia

Appreciate Decision To Keep Play Role in GRP-MILF Peace Process, 2009),

pada taun 2002 terjadi 698 kali kontak senjata dan tahun 2003 sebanyak 569

kali. Angka itu mulai menurun setiap tahunnya dimulai pada tahun 2004 yang

menjadi 16 kali, 2005 sebanyak 10 kali, 2006 sebanyak 10 kali, 2007 sebanyak

8 kali, hingga pada 2012 setelah FAB disahkan, IMT tidak melihat sama sekali

adanya kontak senjata antara pasukan pemerintah Filipina dengan MILF (IMT,

2013).

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. HM Din Syamsuddin

mengatakan Muhammadiyah akan serius mendampingi proses perdamaian

Mindanao dibantu oleh anggota-anggota ICG lainnya seperti aktor negara

meliputi United Kingdom, Turki, Arab Saudi, Jepang, serta anggota NGO ICG

yaitu The Asia Foundation, Concialiation Resources, dan The Henry Dunat

Centre (Suara Muhammadiyah, 2014). Muhammadiyah akan terus berupaya

memberikan inisiatif dalam program pembangunan Bangsamoro di berbagai

aspek khususnya pada bidang peningkatan ekonomi, sosial dan pendidikan.

73
BAB V

KESIMPULAN

Konflik Mindanao yang pada mulanya terjadi akibat sentimen masa lalu

ketika Islam pertama kali masuk ke Mindanao ini tidak juga menemukan titik

terang meskipun telah diadakan tiga kali perundingan perdamaian, di antaranya

adalah Tripoli Agreement 1976, Jedah Accord 1987, dan Final Peace

Agreement 1996. Ketiga perundingan ini masing-masing memberikan dampak

implementasinya sendiri meskipun pada akhirnya belum juga menghasilkan

sebuah resolusi konflik yang efektif. Setelah perundingan perdamaian

dilaksanakan, masyarakat muslim Mindanao justru mengalami diskriminasi.

Negara yang awalnya berpenduduk mayoritas muslim tersebut kini hanya

tersisa 5-7 juta jiwa jumlah penduduk yang menganut agama Islam dari 66 juta

jiwa penduduk Filipina (Wa’ie dalam Rachmawati, 2012). Selain itu kehidupan

kaum muslim Mindanao juga mengalami kondisi yang jauh tertinggal

dibanding dengan kehidupan penduduk non-muslim di Filipina lainnya.

Berdasarkan data dari Dinamika Konflik, Perjanjian Damai, dan Kesejahteraan

karangan Surwandono, daerah minoritas muslim Mindanao menjadi wilayah

termiskin di negara Filipina dengan tidak didukung kemajuan pembangunan

wilayah setelah perjanjian perdamaian Tripoli Agreement yang terjadi sejak

empat dekade lalu.

Masyarakat muslim Mindanao merasa masih dijajah karena setelah

perundingan tersebut masyarakat minoritas muslim Mindanao dilarang oleh

75
pemerintah Filipina untuk memerintah dan mengontrol sumber daya kekayaan

Mindanao di wilayahnya sendiri. Tidak heran jika setelahnya masyarakat

minoritas muslim Mindanao mulai melakukan perlawanan terhadap

pemerintah sehingga mengakibatkan situasi kemanan nasional yang tidak stabil

di wilayah Mindanao dengan puncak pemberontakan pada tahun 1970-an.

Kondisi diskriminatif ini membuat masyarakat muslim Mindanao

menginginkan pemisahan diri (separatism) dari pemerintah Filipina dan ingin

mendirikan negara merdeka di Mindanao agar mendapatkan hak mengatur

tanah dan wilayah mereka sendiri.

Isu konflik Mindanao tersebut kemudian menarik dunia Internasional

sehingga konflik ini menjadi masalah bagi dunia. Berkaitan dengan konflik

Mindanao, Muhammadiyah meyakini bahwa konflik ini merupakan konflik

seluruh umat Islam karena ukhuwah Islamiyah (solidaritas antar muslim) yang

sangat melekat dalam diri Muhammandiyah. Sebagai gerakan da’wah Amar

Ma’ruf Nahi Munkar yang telah melebarkan sayapnya di dunia Internasional,

Muhammadiyah berprinsip untuk terus berperan dalam kehidupan keumatan,

kebangsaan dan kemanusiaan universal atau dinamika global sesuai visi

Muhammadiyah 2025 yang tertuang pada Muktamar Muhammadiyah ke-46

sehingga dengan sungguh-sungguh Muhammadiyah mengambil peran sebagai

mediator konflik tersebut dengan ikut bergabung dalam International Contact

Group bersama dengan anggota-anggota negara dan non-negara lainnya.

Bergabungnya Muhammadiyah ke dalam ICG tidak terlepas dari ajakan

Malaysia yang sebelumnya pada tahun 1998 telah terlebih dulu menjadi

76
mediator dalam penyelesaian konfik berkepanjangan ini. Keaktifan

Muhammadiyah dalam penyelesaian konflik di Pattani, Thailand membuat

Malaysia tertarik untuk mengajak Muhammadiyah ikut serta dalam perumusan

perdamaian konflik Mindanao.

Sebagai mediator konflik, Muhammadiyah menerapkan beberapa

strategi untuk mengurangi konflik yang terjadi. Strategi yang digunakan oleh

Muhammadiyah adalah strategi fasilitasi komunikasi, yaitu dengan

memberikan fasilitas perundingan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk

duduk di satu meja dan melakukan dialog bersama agar tercipta pertukaran ide

dan resolusi konflik yang membantu kedua belah pihak. Dalam kurun waktu

2009-2012, Muhammadiyah telah memfasilitasi empat kali perundingan

perdamaian yang memberikan dampak positif terhadap mutual confidence

kedua pihak yang berkonflik. Di sisi lain Muhammadiyah pun turut

menggunakan strategi prosedural melalui multi-track diplomacy dengan

bergabung ke dalam International Contact Group dan melakukan kerjasama

dengan beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah dalam pemberian beasiswa

terhadap mahasiswa Moro, serta kerjasama dengan pihak di luar negara yaitu

British Council dan AUSAid dalam mendukung stabilitas perdamaian di

Mindanao.

77
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Ahmadi, Sidiq dan Surwandono. 2011. Resolusi Konflik di Dunia Islam. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Bervitch, Jacob. 2009. “Mediation and International Conflict Resolution: Analyzing


Structure Behaviour” in Handbook of Conflict Analysis and Resolution, by Dennis
J. D. Sandole. 240. London and New York: Routledge.

Brunei, Tarsilah. 1990. Jabatan Pusat Sejarah Kementerian Kebudayaan Belia dan
Sukan Brunei Darussalam. Bandar Seri Bengawan: Asian Printers.

Budiwanti, Erni. 2004. “Tantangan Pembangunan Negara Bangsa di Filipina Gerakan


Separatisme Moro.” Prosiding Seminar Refleksi Aktur Tahun 2003 Keduptan
Bidang ISPK 81-82

Burhani, Ahmad Najib. 2013. Makna Teologi al-Ma‘un di Dua Generasi Muhammadiyah
dalam http://suaramuhammadiyah.id diakses ada 21 Februari 2017

Ernita, Eduardo. 1996. To Win the Peace, To Build the Nation. Philippines, Juli 23.

Esposito, John L. 1987. Islam in Asia Religion, Politics, and Society. New York: Oxford
University Press.

Fitrah, Donna Isyrina. 2012. Multiply Mediation in the Southern Philippines Conflict.
Lieden University.

Mcdonald, John W. 1991. “Citizen Diplomacy”, Special Issue Proceedings of


Approaches to Creating a Stable World Peace. Maharisti International University.

---. 2004. “Using Multi Track Diplomacy to Deal with Ethnic Conflict,” PEACE in
Action: Policies for International Peace, dalam
http://promotingpeace.org/2004/1/mcdonald.html. Diakses pada 25 April 2017.

78
Moore, Christoper W. 1982. The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving
Conflict. San Fransisco, California: Jossey-Bass Inc. Publishers.
Rachmawati, Anisah Hanif Dwi. 2016. Peran Malaysia dalam Upaya Perdamaian
Konflik Mindanao. Yogyakarta: UMY.

Surwandono. 2016. Dinamika Konflik, Perjanjian Damai, dan Kesejahteraan. Maret 24.
http://surwandono.staff.umy.ac.id/files/2010/07/bBahan-Presentasi-ke-PP-
Muhammadiyah.ppt.

---. 2013. Manajemen Konflik Separatisme: Dinamika Negosiasi dalam Penyelesaian


Konflik Mindanao. Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government.

---. 2015. “Relevansi Pelembagaan Investasi Ekonomi Berbasis Shariah Pada


Masyarakat Muslim Mindanao” dalam Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 4, No.
1, April 2015 diunduh pada
http://journal.umy.ac.id/index.php/jhi/article/view/320/368. Tanggal 6 November
2016.

Young. 1972. “Intermediaries: Additional Thoughts on Third Parties.” Journal of Conflict


Resolution 51-65.

Website

http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-158-det-kh-hisyam.html diakses pada


21 Februari 2017.

http://sinarharapan.com/index diakses pada 20 April 2017

http://www.ums.ac.id/ diakses pada 20 April 2017

http://www.umm.ac.id/ diakses pada 21 April 2017

Muhammadiyah, Tabligh. 2012. Sejarah Muhammadiyah dalam


http://tabligh.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html diakses pada 21
Februari 2017.

News, GMA. 2009. GRP, MILF meet with int’l contact group ‘candidates’ in KL
dalam http://www.diigo.com/item/note/27gb8/6b5m diakses pada
20 Februrari 2017.

News, Liputan6. 2009. Gerilyawan MILF vs Tentara Filipina, 32 Tewas. September 26.
dalam http://news.liputan6.com/read/193519/gerilyawan-milf-vs-tentara-filipina-
32-tewas. Diakses 27 Maret 2017.

Online, Sangpencerah. 2013. http://sangpencerah.id/2013/11/di-bawah-kepemimpinan-


kh-ibrahi.html diakses pada 18 Februari 2017.

79
Republika. 2012. Muhammadiyah Jembatani Pertemuan Muslim Moro dan Ketua MPR
dalam http://www.republika.co.id/muhammadiyah-jembatani-pertemuan-muslim-
moro-dan-ketua-mpr diakses pada 12 Maret 2017.

Syamina. 2013. Perjanjian Damai Akhir Cerita Perjuangan Bangsamoro dalam


http://syamina.org/syamina21-Perjanjian-Damai-Akhir-Cerita-Perjuangan-
Bangsamoro-.html diakses pada 18 Februari 2017.

Syamsuddin, Din. 2014. Dalam http://www.m-dinsyamsuddin.com/index.php/pap


diakses pada 15 April 2017.

80

Anda mungkin juga menyukai