Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

GEA DENGAN ISPA DAN DEMAM DENGUE

Pembimbing :

dr. H. Harmon Mawardi, Sp.A

Disusun oleh:
SONIE SATRIA RAIS
030.14.179

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
28 OKTOBER 2019 – 3 JANUARI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus yang berjudul:

“GEA dengan ISPA dan Demam Dengue”

Yang disusun oleh


Sonie Satria Rais
030.14.179

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. H. Harmon Mawardi, Sp.A

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih

Periode 28 Oktober 2019 – 3 Januari 2019

Jakarta, November 2019


Pembimbing

dr. H. Harmon Mawardi, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga presentasi kasus ini yang berjudul “Tetanus” dapat
diselesaikan. Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik bagian anak di RSUD Budhi Asih.
Presentasi kasus ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
dr. H Harmon Mawardi, Sp.A atas keluangan waktu dan bimbingan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya selaku penulis sangat terbuka untuk menerima berbagai
kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini.

Demikian presentasi kasus ini disusun semoga dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan
pembaca pada umumnya.

Jakarta, 12 Novemver 2019

Sonie Satria Rais

030.14.179

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii

KATA PENGANTAR. .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI. ......................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 5

BAB II. LAPORAN KASUS ................................................................................. 7

BAB III. ANALISA KASUS ................................................................................ 30

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................53

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Gastroenteritis adalah inflamasi pada lapisan mukosa lambung dan usus kecil, penyebab
terbanyak adalah infeksi rotavirus, bermanifestasi umumnya sebagai diare dan muntah, dan bisa
menyebabkan komplikasi dehidrasi berat dan menyebabkan kematian. Diare adalah manifestasi
gastroenteritis yang terbanyak, dan merupakan penyebab kematian tertinggi pada bayi dan balita
usia <5 tahun, baik secara global maupun di Indonesia, karenanya tatalaksana gastroenteritis
bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum penderita, mencegah dan menanggulangi
dehidrasi, serta mengobati penyakitnya sampai tuntas1. Menurut hasil Riskerdas 2007, diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi dan balita, sedangkan pada semua
kelompok umur menempati nomor empat. Kejadian luar biasa diare masih sering terjadi, dengan
case fatality rate yang masih tinggi. Data Riskerdas 2013, menunjukan insiden diare untuk semua
kelompok umur di Indonesia adalah 3,5%, di mana kelompok umur balita adalah yang paling
tinggi menderita diare2,3. ISPA juga masih merupakan penyakit utama penyebab kematian bayi
dan balita di Indonesia. Dari beberapa hasil SKRT diketahui bahwa 80 sampai 90% dari seluruh
kasus kematian ISPA disebabkan Pneumonia4. Sedangkan Demam berdarah dengue (DBD)
merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis,
terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia,
agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus,
terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia5.

v
BAB II
LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS

Nama Mahasiswa : Sonie Satria Rais Pembimbing : dr. Harmon Mawardi,Sp.A


NIM : 030.14.179 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 4 tahun

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 24 November 2014

Suku bangsa : Betawi


Agama : Islam

Pendidikan : Belum sekolah

Alamat : Jl. Kb. Kelapa Tinggi RT 08 RW 06,


Kelurahan Utan Kayu, Kecamatan
Matraman, Jakarta Timur

Identitas Orangtua/wali:
Identitas Ayah/ wali Ibu
Nama Sutisno Dian Kusuma Pratiwi
Umur - -
Suku/bangsa Betawi Betawi
Agama Islam Islam
Alamat Jl. Kebun Kelapa Tinggi Jl. Kebun Kelapa Tinggi
Pekerjaan - Ibu Rumah Tangga
Pendidikan SMA SMA
vi
Penghasilan/bulan Tidak menentu (freelance) -

I. ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ayah, Ibu dan kakak sepupu terdekat
pasien di bangsal Dahlia Timur pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 06.00 WIB.
Keluhan utama : Demam naik turun 7 hari SMRS

Keluhan tambahan : Batuk (+) Pilek (+) BAB cair >3x/hari, Mual (+)

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit Budhi Asih (RSBA) pada tanggal 27
Oktober 2019 Pasien mengeluhkan demam naik turun 7 hari SMRS. Sebelumnya
keluhan ini dimulai pada tanggal 20 Oktober 2019, sebelumnya pasien juga
mengeluhkan ada rasa mual dan muntah 2x dan batuk berdahak dengan sekret
putih bening cair, darah (-) serta pilek (+). Pasien juga mengalami BAB cair
>3x/hari darah (-) lendir (-). Nafsu makan menurun dan hanya mau makan sedikit,
pasien memiliki riwayat TB usia 6 bulan dan tuntas. Ibu memiliki riwayat asma.

vi
i
8
B. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)

(-)
Cacingan (-) Diare Penyakit jantung (-)

DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)

Otitis (-) Varicella (-) TBC (+)

6
bulan

(-) Hipereaktif
Parotitis (-) Operasi bronkus (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien memiliki riwayat TB


pada usia 6 bulan.

9
Riwayat Kehamilan/ Persalinan

Morbiditas kehamilan -

Perawatan antenatal Rutin kontrol ke puskesmas 1


KEHAMILAN bulan sekali dan selalu datang
sesuai anjuran.

Tempat persalinan Rumah Sakit

Penolong persalinan Dokter

SC

KELAHIRAN
Cara persalinan
Penyulit : tidak ada

10
Masa gestasi Cukup bulan (39 minggu)

Berat lahir : 3420 gr

Panjang lahir : 50 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien lupa

Langsung menangis (+)


Kemerahan (+)
Ikterik (-)
Keadaan bayi
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak
tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan :. Tidak terdapat riwayat penyakit selama
kehamilan ibu, pasien lahir dengan cara persalinan normal atau pervaginam, cukup bulan,
berat badan lahir normal.

C. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi I : ibu lupa (Normal: 5-9 bulan)
- Psikomotor :

Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)

Duduk : 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)

Berdiri : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Berjalan : 14 bulan (Normal: 12-18 bulan)

Bicara : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)

11
- Perkembangan pubertas :
Rambut Pubis :-
Payudara :-
Menarche :-

12
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Tidak sesuai usia, pasien
belum mengalami perkembangan pubertas, terdapat keterlambatan perkembangan
pasien.

D. Riwayat Makanan
Usia 0 – 12 bulan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0–1 ASI - - -

1–4 PASI - - -

4–6 PASI - - -

6–8 PASI + + -

8 – 10 PASI + + +

10 - 12 PASI + + +

Usia > 1 tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi/ Pengganti Nasi 3 x / hari ( 2 centong nasi)

Sayur 3 x / minggu

Daging 2 x / hari ( 1 potong daging ayam / daging)

Telur 1 x / hari (1 butir)

Ikan 1 x / minggu (1 ekor)

Tahu 2 x / minggu (2 potong)

Tempe 2 x / hari (2 potong)

13
Susu -

Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapatkan asi eksklusif sampai usia 2

bulan, dilanjutkan dengan pemberian susu formula. Pasien sudah mulai


memakan makanan pengganti asi seperti biskuit bayi dan bubur susu dari umur
7 bulan.

E. Riwayat Imunisasi

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

3 bulan
Hepatitis B Lahir 2 bulan

Polio Lahir

BCG 1 bulan

DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan

Hib - - -

Campak Tidak
dilakukan

Kesimpulan riwayat imunisasi: Imunisasi dasar tidak lengkap.

14
F. Riwayat Keluarga

No. Tgl lahir Jenis Lahir Abortus Mati Kesehatan


Hidup Mati
(umur) kelamin (sebab)
1. 26/11/2014 P + - - - Sehat

Kesimpulan corak reproduksi : Pasien merupakan anak tunggal

G. Riwayat Pernikahan

Keterangan Ayah/wali Ibu/wali


Nama Tn. Sutisno Ny. Dian
Perkawinan ke 1 1
Umur saat menikah - -
Pendidikan terakhir
SMA SMA
(tamat/kelas/tingkat)
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada
Riwayat Keluarga : Ayah dan Ibu pasien dalam kondisi yang sehat

15
I. Riwayat Lingkungan

Pasien tinggal bersama kedua orang tua di rumah milik sendiri yang berkawasan di
Matraman, Jakarta Timur. Rumah pasien berada dalam 1 lantai dengan 4 kamar tidur.
Ventilasi dan sirkulasi udara kurang baik, di rumah memiliki 4 jendela, serta di tempat
tersebut padat penduduk. Toilet dengan kondisi jongkok. Air yang digunakan untuk
mandi bersumber dari air tanah dan air minum menggunakan air isi ulang. Sampah di
kumpulkan didepan rumah setiap pagi kemudian diambil setiap hari oleh petugas
kebersihan.
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Ventilasi dan sirkulasi udara kurang baik.
Rumah pasien berada di lingkungan yang padat penduduk.

16
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Kesan Gizi : Gizi kurang

Data Antropometri

Berat Badan : 12,3 kg

Tinggi Badan : 98 cm

Status Gizi (CDC)

- BB / U = -2sd sampai -3sd = BB kurang

- TB/U = -2sd sampai -3sd = TB kurang

- BB/TB = -2sd sampai -3sd = Gizi kurang

Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas didapatkan
kesan gizi kurang.

Tanda Vital

- Tekanan darah : -

- Nadi : 122x/menit, reguler cepat.

- Napas : 22x/menit

- Suhu : 37C

- SpO2 : 98%

17
Status Generalis
Kepala : Normosefali,

Rambut: Rambut hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut

Wajah: Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka ataupun jaringan parut, Rhisus
Sardonikus.

Mata

Sklera ikterik : -/- Nistagmus : -/-


Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-

Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+


Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Lagoftalmus : -/-

Palpebra oedem : -/- Ptosis : -/-

18
Pupil : 3 mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga

Bentuk : Normotia

Tuli : -/-

Nyeri tarik aurikula : -/-


Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang
Membran timpani : tidak diperiksa
Serumen :+
Refleks cahaya : tidak diperiksa
Cairan :+
Ruam merah : -/-

Hidung

Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-

Sekret : -/- Deviasi septum :-


Mukosa hiperemis : -/- Hipertrofi konka : -/-
Bibir : Kering (+), sianosis (-), pucat (+)

Mulut : Trismus (-)


Lidah : Kepucatan.
Tenggorokan : T1/T1.
Leher : Pembesaran KGB -/-, tidak terdapat deviasi trakea. Kelenjar tiroid
tidak teraba membesar
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Tampak ictus cordis.

19
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III – V linea sternalis dextra
Kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

Inspeksi : Gerak dinding dada simetris, retraksi intercostal (-)

otot bantuan napas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris,


angulus subcosta 90
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- ,

pleural friction rub -/-

Abdomen

Inspeksi : Tidak tampak distensi, ruam (-),

kulit keriput (-), ascites (-) gerak dinding perut saat pernapasan
simetris, gerakan peristaltik (-), ptechie (+), massa menonjol
(-)
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 3x/menit, suara pembuluh darah
(arterial bruit, venous hum) (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), turgor kulit baik, hepar
dan lien tidak teraba membesar. Ballotement ginjal (-), nyeri
ketok ginjal (-).
Kulit : Warna merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak lembab
Genitalia : Jenis kelamin perempuan.
20
Kelenjar getah bening :

Preaurikuler : Tidak teraba membesar


Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraclavicula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar

Ekstremitas :

Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, ikterik


(-), edema tungkai -/-.
Palpasi : Akral hangat pada keempat ekstremitas, capillary refill time

< 3 detik.

21
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

HEMATOLOGI

27 – 10 - 19
Hasil Satuan Nilai normal

Leukosit (WBC) 12,4 ribu/uL 4,5-13,5

Eritrosit (RBC) 4.0 juta/uL 4,4-5,9

Hemoglobin
11,6 g/dL 10,8-15,6
(HGB)
Hematokrit
32 % 33-45
(HCT)

Trombosit (PLT) 148 ribu/uL 156-406

MCV 81,0 fL 80-100

MCH 29,0 Pg 22-34

MCHC 35,8 g/dL 32-36

RDW 14,5 % <14

KIMIA KLINIK

27 – 10– 2019

Elektrolit

Hasil Satuan Nilai normal

Natrium 132 mmol/dL 135-155

Kalium 3,2 mmol/dL 3,6-5,5

Klorida 100 mmol/dL 98-109

22
Metabolisme Karbohidrat

Glukosa Darah CITO 96 mg/dL 60-100

IV. RESUME

Pasien anak perempuan usia 4 tahun dibawa orangtua nya ke IGD RSUD Budhi
Asih dengan keluhan demam 7 hari SMRS, dan disertai batuk dengan sekret putih
bening, pilek, mual, muntah 2x, BAB cair >3x/hari. Demam dikeluhkan naik turun,
nafsu makan juga menurun. Pasien juga memiliki riwayat TB pada usia 6 bulan tuntas.
Dan untuk foto thorax belum dilakukan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Trombosit (PLT) 148 ribu/uL

Natrium 132 mmol/dL

Kalium 3,2 mmol/dL

V. DIAGNOSIS KERJA

- GEA, ISPA, Demam Dengue

VI. DIAGNOSIS BANDING

- Common Cold et causa Faringitis

- Bronkitis

- Pneumonia

23
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa
1) IVFD Asering 4cc/Jam
2) Probiokid 1x1 bungkus
3) Zink 1x10ml
4) Paracetamol 120mg bila demam
5) Salbutamol 0.6mg
6) Ambroxol 5.5mg
7) CTM 0.8mg
8) Pedialit 100cc/diare
9) Hidrokortison 3x/hr
10) Gentamisin 3x/hr

Non – Medikamentosa

1) Diet :

- Asupan cairan sesuai kebutuhan

- Kalori sesuai kebutuhan

2) Edukasi :

- Pantau anak saat bermain

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad Sanactionam : Dubia ad bonam

24
IX. FOLLOW UP

Tanggal Follow Up

28/10/19 30/11/19 31/11/19

S Demam mereda, batuk Demam (-) sudah Demam (-), batuk (-),
(+), pilek (+), BAB terkoreksi, batuk (-), pilek(-), mual(-), muntah
cair 1x, mual (-), pilek (-), BAB lancar, (-), BAB lancar
muntah (-), nafsu nafsu makan membaik, konsistensi padat, nafsu
makan menurun mual (-), muntah (-) makan membaik

25
KU : Sakit sedang KU : Sakit ringan KU : Sakit ringan
Kes: Compos Mentis Kes: Compos Mentis Kes: Compos Mentis
Tanda Vital Tanda Vital Tanda Vital
-TD: - -TD: - -TD: -
-HR: 119x/m -HR: 103x/m -HR: 100x/m
-RR: 24x/m -RR: 24x/m -RR: 22x/m
-S: 37 C -S: 36,5 C -S: 36,5 C

Status Generalis Status Generalis Status Generalis

-Kepala: Normosefali, -Kepala: Normosefali, -Kepala: Normosefali, CA


CA -/- SI-/- CA -/- SI-/- -/- SI-/-

-Hidung: deviasi -Hidung: deviasi septum -Hidung: deviasi septum (-


septum (-) mencret (-) (-) mencret (-) ) mencret (-)

-Bibir: Pucat(+) -Bibir: Pucat(+) -Bibir: Pucat(-) Kering(-)


Kering(+) Kering(+)
-Tenggorok: tidak terlihat
-Tenggorok: tidak -Tenggorok: tidak
terlihat terlihat -Leher:KGB cervical tidak
membesar
-Leher:KGB cervical -Leher:KGB cervical
tidak membesar tidak membesar
O
-Thorax: SNV +/+ Rhonki
-/- Wheezing -/-,BJ I-II
-Thorax: SNV +/+ -Thorax: SNV +/+ reguler, murmur (-) gallop
Rhonki -/- Wheezing - Rhonki -/- Wheezing -/- (-)
/-,BJ I-II reguler, ,BJ I-II reguler, murmur
murmur (-) gallop (-) (-) gallop (-)
-Abdomen: supel, BU (+)
NT (-), Ballotement ginjal
-Abdomen: supel, BU -Abdomen: supel, BU (-), nyeri ketok CVA (-)
(+) NT (-), (+) NT (-), Ballotement
Ballotement ginjal (-), ginjal (-), nyeri ketok
nyeri ketok CVA (-) CVA (-)
-Ekstremitas: CRT <3
dtk,AH (+) ptekie (-)
-Ekstremitas: CRT <3 -Ekstremitas: CRT <3 edema (-)
dtk,AH (+) ptekie (+) dtk,AH (+) ptekie (-)
edema (-) edema (-)

26
Lab Hematologi
(29-11-19):
Leukosit: 10.2 ribu/uL
Eritrosit: 3.4 juta/uL
Hb: 10.1 g/dL
Ht: 28%
Trombosit: 126 ribu/uL

Lab Hematologi
(30-11-19):
Leukosit: 7.3 ribu/uL
Eritrosit: 3.7 juta/uL
Hb: 11.1 g/dL
Ht: 30%
Trombosit: 141 ribu/uL

Lab Urinalisis
(30-11-19)
Warna: Kuning
Kejernihan: Keruh
Darah: +3
Esterase Leukosit: +3

Demam Dengue,
Trombositopenia, GEA, ISPA, Demam
A GEA, ISPA, Demam
Anemia Ringan, Dengue (perbaikan)
Dengue
Susp. ISK

27
IVFD Asering IVFD Asering 4cc/KgBB IVFD Asering 4cc/KgBB
4cc/KgBB Pedialit 100cc/diare Pedialit 100cc/diare
Probiokid 1x1 bks Inj. OMZ 2x15mg/iv Inj. OMZ 2x15mg/iv
Zink 1x10ml Probiokid 1x1 bks Probiokid 1x1 bks
Paracetamol 120mg Paracetamol 120mg bila Paracetamol 120mg bila
bila demam demam demam
Salbutamol 0,6mg Salbutamol 0,6mg Salbutamol 0,6mg
Ambroxol 5,5mg Ambroxol 5,5mg Ambroxol 5,5mg
CTM 0,8mg CTM 0,8mg CTM 0,8mg
Hidrocortison 3x/hr Hidrocortison 3x/hr
Gentamisin 3x/hr Gentamisin 3x/hr

28
BAB III
ANALISIS KASUS

Dilaporkan seorang anak perempuan berusia 4 tahun datang dengan demam naik
turun 7 hari SMRS. Diagnosis ditegakkan melalui alloanamnesis oleh ibu pasien serta
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesa didapatkan demam yang naik turun pada pasien, ditemukan batuk
(+) dengan sekret warna putih bening cair disertai pilek (+) mual (+) dirasakan oleh pasien
dengan muntah (+) 2x, selain itu juga didapatkan BAB dengan konsistensi cair >3x/hari.
Riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami TB pada usia 6 bulan dan pengobatannya
tuntas. Didapatkan pula ada perkembangan pasien dengan delayed developement.
Menurut literatur, diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
dari 200 gram atau 200ml dalam 24 jam. Pada kasus gastroenteritis diare secara umum
terjadi karena adanya peningkatan sekresi air dan elektrolit6. Mekanisme pasti muntah yang
disebabkan oleh gastroenteritis belum sepenuhnya diketahui. Tetapi diperkirakan terjadi
karena adanya peningkatan stimulus perifer dari saluran cerna melalui nervus vagus atau
melalui serotonin yang menstimulasi reseptor 5HT3 pada usus. Pada gastroenteritis akut
iritasi usus dapat merusak mukosa saluran cerna dan mengakibatkan pelepasan serotonin
dari sel-sel chromaffin yang selanjutnya akan ditransmisikan langsung ke pusat muntah atau
melalui chemoreseptor trigger zone. muntah selanjutnya akan mengirimkan impuls ke otot-
otot abdomen, diafragma dan nervus viseral lambung dan esofagus untuk mencetuskan
muntah7. Pada demam diatur pada pusat pengaturan suhu terletak di bagian anterior
hipotalamus. Ketika vascular bed yang mengelilingi hipotalamus terekspos pirogen eksogen
tertentu (bakteri) atau pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF), zat metabolik asam arakidonat
dilepaskan dari sel-sel endotel jaringan pembuluh darah ini. Zat metabolik ini, seperti
prostaglandin E2, melewati blood brain barrier dan menyebar ke daerah termoregulator
hipotalamus, mencetuskan serangkaian peristiwa yang meningkatkan set point hipotalamus.
Dengan adanya set point yang lebih tinggi, hipotalamus mengirim sinyal simpatis ke
pembuluh darah perifer, menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan pembuangan panas
dari kulit8.

29
Penelitian membuktikan bahwa kepadatan hunian mempermudah penularan
penyakit khususnya penyakit saluran napas, karena jumlah penghuni sangat berpengaruh
terhadap jumlah koloni kuman, sebagian besar penelitian mendapatkan prevalensi diare dan
infeksi parasit tinggi di daerah lingkungan dengan fasilitas, perumahan, air dan sanitasi yang
buruk9. Penyebab adanya gastroenteritis dengan penyakit penyerta ISPA dikarenakan
mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella, Vibrio Cholerae dan
Clostridium. Selain itu, dari gologan virus lebih banyak disebabkan oleh golongan
enterovirus, adenovirus, rotavirus, dan hepatitis A. Penyebab utama adalah adanya strain
bakteri yang multi-drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah identifikasi
yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan negatif dalam ruangan10. Manifestasi
klinis demam dengue kebanyakan ringan, namun perlu diwaspadai, karena seringnya
penyakit ini tidak terdiagnosis, maka pasien akan menjadi sumber penularan bagi sekitarnya.
Virus penyebab demam dengue adalah virus dengue. Virus ini merupakan genus dari
Flavivirus dan famili flaviviridae. Virus ini berukuran kecil (50nm), memiliki single
stranded RNA. Virionnya terdiri atas nukleokaspid dengan bentuk kubus simetri yang
terbungkus dalam sampul lipoprotein11.

30
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi

Gastroenteritis adalah penyakit akut dan menular yang menginflamasi membran


mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan muntah-muntah dan diare yang
berakibat kehilangan cairan elektrolit. Penyebab utama gastroenteritis adalah adanya
bakteri, virus, parasit. Pada penelitian ini hewan coba diinduksi dengan bakteri Eschericia
coli. Paparan E. coli patogen memicu terjadinya inflamasi karena kemampuan E. coli
menghasilkan endotoksin dan enterotoksin12.

Sedangkan ISPA adalah suatu penyakit pernafasan akut yang ditandai dengan gejala
batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus atau lendir yang berlangsung sampai
dengan 14 hari13.

Sementara itu demam dengue adalah infeksi virus dengue yang ditandai dengan
demam yang bersifat bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala, nyeri otot, dan timbulnya
ruam pada kulit. Demam dengue dapat dibagi 2, yaitu dengan tanda perdarahan dan tanpa
tanda perdarahan11.

4.2 Epidemiologi
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan
publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia,
dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-
500.000 per tahun. Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang,
dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut.4
Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan ventilator),
membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat berguna dalam
efektivitas penanganan penyakit tetanus. Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006
mengemukakan bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-
53%.5 Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin buruknya
sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan kegagalan pernapasan
akut (45%).20Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam beberapa penelitian
dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh Huynh et al
(2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang bermakna

31
terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus. Angka mortalitas penyakit tetanus di
negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian
akibat penyakit ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan
berperan besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.
4.3 Etiologi

C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran
binatang.2Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran
klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan
bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella,
dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi
neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air
mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama
15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin.

Gambar: Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian


bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk.
(dengan pembesaran mikroskop 3000x).

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati
tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus.

32
Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis
letal minimum adalah 2,5 ng/kg).

33
4.4 Faktor risiko

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Blegur et al (2012) pada kurun waktu
Januari 2007 sampai April 2012 di RSUP Dr. Kariadi Semarang, ada korelasi signifikan
antara sepsis, komplikasi pernapasan & kardiovaskuler dengan angka mortalitas.
Kejadian kematian penderita tetanus pada waktu tersebut di RSUP dr. Kariadi Semarang
adalah 38,1% dengan komplikasi sistem pernapasan dan kardiovaskuler sebagai faktor
utama.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thwaites et al (2006) di Vietnam,


didapatkan faktor-faktor prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi
kematian pada penderita tetanus. Variabel tersebut adalah usia, jalan masuk kuman,
kesulitan bernapas, waktu saat gejala awal sampai masuk RS, co-existing medical
conditions ASA 1963, tekanan darah sistolik, heart rate, dan suhu badan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Phillips pada tahun 1967, didapatkan


faktor-faktor prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada
penderita tetanus. Variabel tersebut adalah masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat
proteksi (imunisasi), dan complicating factors ASA 1963.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vakil et al (1975) didapatkan faktor-faktor


prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada penderita tetanus.
Variabel tersebut adalah masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman, spasme,
adanya demam, dan takikardia.

Berdasarkan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Perhimpunan Dokter Spesialis


Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas
meliputi : Usia lebih dari 70 tahun; periode inkubasi <7 hari; waktu saat gejala awal
muncul sampai penanganan di Rumah Sakit; adanya luka bakar, luka bekas operasi yang
kotor; periode onset < 48 jam; frekuensi jantung > 140x/menit; tekanan darah sistolik >
140 mmHg; spasme yang berat; temperatur badan >38,50 C.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Greco et al (2003), hasil analisis multivariat
menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia > 51 tahun, time
of illness < 48 jam, masa inkubasi < 168 jam, rigiditas leher, spasme, opistotonus, suhu
badan > 37,7 C, denyut nadi >111 bpm, hiperaktivitas simpatis, dan pneumonia.
34
Pada penelitian studi case series oleh Gibson et al (2009) menunjukan kematian
pasien tetanus disebabkan gagal napas, Cardiovascular collapse, dan ketidakstabilan
otonom.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Onwuchekwa et al (2009), hasil analisis


multivariat menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia lebih
dari 40 tahun, masa inkubasi < 7 hari, masa hospitalisasi yang singkat, dan dosis
diazepam di atas rata-rata.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Patel et al (1999), hasil analisis multivariat
menunjukkan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus
adalah trismus, spasme, masa inkubasi <7 hari, interval antara trismus dan spasme <48
jam, suhu rektal > 38 C selama hari pertama di rumah sakit.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Andrade et al (1979), hasil analisis


multivariat menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita
tetanus adalah hipertonia umum.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Miranda-Filho et al (2000), hasil analisis


multivariat menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita
tetanus adalah rigiditas leher.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Hamarstrom et al (1998) di Swedia, hasil


analisis multivariat menunjukan salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada
kematian penderita tetanus adalah keberadaan penyakit hematologi. Hal ini dibuktikan
dengan perbedaan yang signifikan pada tingkat seronegatif terhadap toksin tetanus pada
pasien penyakit hematologi maligna. Hasilnya 36 % pasien Acute Myelogenous
Leukemia (AML), 56% pasien Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL), 54% pasien
limfoma, 31% pasien myeloma, 18% pasien Chronic Myelogenous Leukemia (CML)
tidak terimun dengan baik terhadap kuman penyebab tetanus.

Pada penelitian case report oleh Kasher et al (2007), menunjukan salah satu faktor
risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah riwayat operasi
gastrointestinal, salah satunya adalah tindakan haemorrhoid banding. Praktisi kesehatan
harus sadar manifestasi klinik dari penyakit ini.

Pada penelitian studi retrospektif oleh Parviz et al (1998), menunjukan bahwa salah
satu faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah usia yang
35
semakin tua. Usia tua memperbesar kemungkinan terkena severe tetanus dan komplikasi
tersering penyebab kematian adalah gagal napas akut. Selain itu, penyakit ini lebih
sering mengenai kaum pria di segala umur, dengan hubungan umur dan jenis kelamin
tidak mempunyai efek yang jelas terhadap kematian akibat tetanus.23 Pada penelitian
studi retrospektif oleh Bankole et al (2012), menunjukan bahwa kejadian tetanus
meningkat tiga kali lipat pada kaum pria dibanding kaum wanita. Periode masa inkubasi
11,4 ± 4,8 hari, dan durasi onset adalah 72 ± 45,6 jam. Case Fatality Rate adalah 16,3%.
Sebesar 12% dari CFR tersebut meninggal dengan jangka waktu onset yang panjang,
sedangkan sebesar 43% meninggal dengan jangka waktu onset yang singkat (P = 0,002).
Pasien dengan komplikasi (78%) meninggal sementara hanya 8% meninggal dari
mereka yang tidak komplikasi (P <0,0001).2

Pada penelitian studi retrospektif dan prospektif oleh Siddartha et al (2004) di India,
hasil analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat korelasi linear antara masa
inkubasi, kekakuan umum, tanda disfungsi otonom, keperluan trakeostomi, keperluan
ventilasi mekanis, keperluan pemberian diazepam (batas normal 1500 mg per 24 jam,
diatas pemakaian 4000-5000 mg per 24 jam semakin buruk prognosisnya), dan durasi
tinggal di Intensive Care Unit (ICU) dengan kematian penderita tetanus. Hasil analisis
regresi logistik multivariat menunjukkan pasien di atas usia 50 tahun (P = 0,003) dan
keperluan ventilasi mekanik (P = 0,009) secara bermakna dikaitkan dengan kematian
yang tinggi.24 Pada penelitian studi retrospektif oleh Talan et al (2004) di Amerika
Serikat, hasil analisis multivariat menunjukan bahwa kelompok orang yang berusia
diatas 70 tahun, manusia yang berpendidikan rendah, dan imigran dari luar Amerika
Utara & Eropa Barat dan manusia dengan riwayat imunisasi tidak memadai mempunyai
kadar seroprotection terhadap tetanus lebih rendah. Fakta tersebut dapat menjawab
pertanyaan mengapa orang dengan faktor risiko tertentu dapat menjadi perhatian khusus
bagi insidensi penyakit tetanus.

Pada penelitian studi retrospektif yang dilakukan Moura-Filho et al (2008), hasil


analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat peluang untuk mengalami komplikasi
Acute Renal Failure (ARF) akibat tetanus. Walaupun demikian, hanya 11,8% pasien
tetanus yang ditemukan ARF. Sekitar 8%-nya mengalami kematian (P>0,5). Oleh
karena itu, ARF tidak berhubungan dengan kematian pada pasien tetanus. Selain itu,
peneliti tersebut menemukan fakta bahwa hiperglikemia, hiperkalemia, dan
trombositopenia terlihat dapat menambah angka kematian dari tetanus. Pada penelitian

36
studi prospektif yang dilakukan oleh Korber et al (2008) terhadap 100 pasien tetanus
dengan riwayat ulserasi kaki (luka kronis). Hasilnya penderita tetanus yang berusia ≥70
tahun dengan riwayat ulserasi kaki hampir pasti menderita tetanus. Banyak hal yang
terpengaruh, terutama status imun penderita terhadap toksin tetanus. Oleh karena itu,
status imun pasien tersebut terhadap tetanus harus diperbaiki dengan vaksinasi
kembali.27

Pada penelitian studi retrospektif yang dilakukan oleh Weng et al (2010) di Taiwan
menunjukan bahwa Umur ≥65 tahun secara bermakna dikaitkan dengan trismus,
disfagia, disarthria, dan pneumonia. Generalized tetanus dan pneumonia merupakan
faktor risiko yang signifikan untuk kegagalan pernafasan.
4.5 Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora
ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar,
luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat,
kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.6 Bila keadaan menguntungkan
di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai
terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka spora
berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang.Kuman ini tidak invasif.
Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit.
Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang
mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin masuk ke
susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana anaerobik yang
memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu
setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara
retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja. Toksin
tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara efektif
menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik
menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak
teregulasi dari sistem saraf motorik. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem
saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis
berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan
37
meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah
tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.

38
4.5 Manifestasi klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat
atau dapat lebih lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek
prognosisnya.Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi C. tetani dengan susunan
saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh
tempat invasi maka inkubasi makin panjang. Secara klinis dibagi 4 macam, yaitu
tetanus umum, tetanus local, cephalic tetanus, dan tetanus neonatal. Salah satunya
yaitu spasme otot, trismus, lock jaw, nyeri pada otot, disfagia, opistotonus, lemas dan
pucat.

4.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis


tetanus. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Pemeriksaan
Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus,
walaupun dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan
untuk menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia. Pemeriksaan kadar striknin dalam
darah atau urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila
pada pasien tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida. Kultur
sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak, hasil kultur yang positif
Clostridium Tetani juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita tetanus.

Pemeriksaan Lain Pemeriksaan lain seperti lumbal pungsi tidak diperlukan karena
biasanya hasilnya normal. Pemeriksaan radiologis juga tidak perlu dilakukan.

4.7 Diagnosis
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, hanya merupakan penunjang diagnosis. Adanya
trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat
trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis tetanus dapat membingungkan, dan
kelangsungan hidup tergantung pada kecepatan pengobatan dengan antitoksin dan perawatan
suportif yang memadai.

39
4.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus. namun dijumpai gangguan kesadaran danterdapat kelainan likuor
serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. secara klinis dijumpai adanya spasmekarpopedal.
3..Kercunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan padaanamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis mediasupuratif
kronis dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris

40
4.9 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa tetanus meliputi pemberian antitoksin,
antibiotik, antiepilepsi, dan terapi lain untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan oleh toksin.

Antitoksin

Antitoksin yang dianjurkan adalah human tetanus immunoglobulin


(HTIG) dengan dosis 3000-6000 unit intramuskular dibagi dalam beberapa
kali pemberian dengan dosis yang sama. Dosis bayi adalah 500 unit
intramuskular tunggal. Bila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus
serum (ATS) dengan dosis 100.000-200.000 unit dibagi separuh dimasukkan
intravena dan sisanya dimasukkan intramuskular pada hari pertama. Dosis
untuk bayi adalah 10.000 unit intramuskular. Penggunaan ATS harus diawasi
ketat karena risiko terjadi reaksi anafilaktik yang lebih tinggi.

Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mengeradikasi bakteri. Antibiotik
pilihan adalah metronidazole dengan dosis 500 mg intravena setiap 6 jam
atau 1 gram setiap 12 jam untuk pasien dewasa dan 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam.
Antibiotik lain yang dapat digunakan adalah klindamisin, tetrasiklin,
eritromisin, kloramfenikol, dan penisilin.

Medikamentosa Lainnya

Untuk mengurangi spasme yang terjadi akibat efek toksin, dapat


diberikan benzodiazepin. Diazepam dapat diberikan secara berkelanjutan
dengan dosis 0,5-15 mg/kg/hari atau diberikan intermiten dengan dosis 5 atau
10 mg maksimal 3 dosis setiap jam. Beberapa pasien dapat mentoleransi
dosis diazepam hingga 600 mg per 24 jam. Lorazepam ataupun infus
midazolam juga dapat dipergunakan untuk mengatasi spasme otot. Terapi
lain yang dapat digunakan antara lain propofol, dantrolen, magnesium sulfat,
hingga terapi yang lebih invasif seperti pemberian baclofen yang disuntikkan
secara intratekal. Spasme yang mengganggu fungsi pernapasan ditangani
dengan intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik, diikuti dengan
pemberian muscle relaxant dengan pilihan obat vecuronium. Disfungsi
otonom diatasi dengan pemberian labetalol, morfin, klonidin, ataupun
fentanil tergantung dari kelainan yang muncul.
41
Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis pasien tetanus adalah dengan melakukan
eksplorasi dan debridemen secara menyeluruh pada luka yang dicurigai
sebagai port d’entree. Pasien sebaiknya ditempatkan di ruangan perawatan
terpisah yang sunyi dan sebisa mungkin terhindar dari stimulus cahaya
(ruangan gelap) dan taktil (pengunjung dibatasi). Pada kasus tetanus dengan
gagal napas dan membutuhkan ventilasi mekanik pasien dirawat di ICU.
Tindakan trakeostomi terkadang harus dilakukan apabila intubasi endotrakeal
merangsang terjadinya spasme saluran napas atas. Diet pada pasien tetanus
dianjurkan menggunakan pipa nasogastrik dan diberikan diet tinggi kalori.
Terapi cairan juga harus adekuat akibat metabolisme tubuh yang meningkat.
4.10 Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan
napas sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan
bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus
disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus
menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter,
pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli
paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut.
Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari
tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.27-30 Salah
satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini
meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi
hipotensi dan bradikardi. Walaupun demikian, pemberian magnesium
sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat
dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.

4.11 Prognosis

42
Prognosis tetanus dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan dari
kejadian luka hingga timbulnya tanda klinis, riwayat imunisasi, manajemen
luka yang baik, serta deteksi dan penanganan yang diberikan sedini mungkin

43
4.12 Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang
lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung
terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta
rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Infeksi nosokomial umum sering
terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari
kateter, pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat
bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan
komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus
diotopsi.27-30 Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan
takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi. Walaupun demikian,
pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat
dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.

4.13 Prognosis
Prognosis tetanus dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan dari kejadian luka
hingga timbulnya tanda klinis, riwayat imunisasi, manajemen luka yang baik, serta deteksi
dan penanganan yang diberikan sedini mungkin.

1. CDC. Rotavirus: Clinical Information. August 2016; Available from:


https://www.cdc.gov/rotavirus/clinical.html
2. Kementerian Kesehatan R.I, Riskerdas. 2013
3. Kementerian Kesehatan R.I, 2011, Situasi Diare di Indonesia. Jendela Data dan
Informasi Kesehatan
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2009. Riskesdas Laporan
Nasional Tahun 2007. Jakarta
5. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No.3: hal . 12-29.
6. Monroe, S. S., 2011. Control and Prevention of Viral Gastroenteritis. Emerging
Infectious Disease 17 (8) : 1347-1348
44
7. Bresee, J. S., et al., 2012. The Etiology of Severe Acute Gastroenteritis Among Adults
Visiting Emergency Departments in the United States. The Journal of Infectious
Disease. 205: 1374-1381
8. Dinarello, C. A., Porat, R., 2012. Fever and Hyperthermia. Dalam : Longo, D. L., Fauci,
A.S., Kasper, D. L., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Loscalzo, J. (eds). 2012.
9. Hendarto A, Musa DA. Hubungan Status Gizi dan Kekerapan Sakit Balita Penghuni
Rumah Susun Kemayoran Jakarta-Pusat. Sari Pediatri. 2016 Dec 6;4(2):88-97.
10. Ristiawan D, Rusnoto R, Hartinah D. Hubungan Antara Lama Perawatan dan Penyakit
yang Menyertai dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial di RSI Sultan Hadlirin Jepara.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 2013 Jan 19;4(1).
11. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis
dan Infeksi Di Indonesia (Jilid 1). 2016:23
12. Lorrot, M. and M. Vasseur, How do the rotavirus NSP4 and bacterial enterotoxins lead
differently to diarrhea? Virol J, 2007. 4: p. 31
13. Triska SN, Lilis S. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005;2(1)

45
46
47

Anda mungkin juga menyukai