Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Rukmana (1995), klasifikasi dari tanaman bugenvil adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Caryophyllales

Famili : Nyctaginaceae

Genus : Bougainvillea

Spesies : Bougainvillea spectabilis Willd.

Bugenvil termasuk tanaman perdu tegak, tinggi tanaman kira – kira 2 -4

meter. Sistem dari perakarannya adalah tunggang. Dengan akar – akar cabang

yang melebar ke semua arah dengan kedalaman 40 – 80 cm. Akar yang terletak

dekat ke permukaan tanah kadang tumbuh terus atau akar bakal tanaman baru

(Hasim, 1995).

Struktur batang merupakan pohon yang berkayu penampangnya bulat,

bercabang dan beranting banyak, sehingga bila tanaman ini dibiarkan tumbuh

alami dapat mencapai ketinggian 15 meter. Pada bagian batang, cabang ataupun

ranting terdapat duri – duri yang bentuknya “kait” sebagai alat pemanjat

(Rukmana, 1995).

Daun – daun tumbuh rimbun secara tunggal, bentuknya mirip jantung hati

yang dasarnya agak bulat (bundar) dengan warna hijau tua namun ada yang pula

Universitas Sumatera Utara


belang – belang (varigata) antara hijau dengan putih atau hijau kekuning –

kuningan (Rukmana,1995).

Bunganya majemuk campuran tersusun dalam malai anak payung yang

bertangkai, terletak di ketiak daun, berjumlah 1 – 7 masing – masing anak payung

terdiri dari tiga bunga atau menggerombol tiga – tiga. Anak payung terkumpul

menjadi malai dengan ujungnya yang berdaun. Anak tangkai bunga pada setiap

bunga melekat dengan tulang daun tengah dari daun pelindung yang besar

(Suryowinoto, 1997).

Bugenvil memiliki buah buni yang masak hitam mengkilat, memiliki

panjang satu sentimeter, berbiji dua atau karena kegagalan berbiji satu dan tidak

memiliki lekukan (Steenis, 1978)

Syarat tumbuh

Iklim
Tanaman Bugenvil dapat hidup dengan baik di tempat – tempat yang

terbuka atau di tempat yang terlalu terlindungi oleh cahaya matahari, baik di

dataran rendah maupun dataran tinggi, yakni pada ketinggian 1 – 1000 m diatas

permukaan laut (Suryowinoto, 1997).

Curah hujan bagi pertumbuhan bunga bugenvil yang baik adalah 1500 –

3000 mm/tahun dan di daerah cukup sinar matahari tanaman ini akan cepat

berbunga serta berbatang kokoh. Sinar matahari pagi lebih baik dari pada sinar

matahari sore, yang dapat menyebabkan kekeringan pada tanaman. Tanaman ini

mempunyai daya adaptasi sangat luas terhadap lingkungan sekitarnya, dapat

ditanam di daerah beriklim dingin/sub-tropis maupun di daerah tropis/panas

(Rismunandar, 1995).

Universitas Sumatera Utara


Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan melalui pengaturan

intensitas naungan. Ruangan untuk penyetekan diusahakan memiliki intensitas

cahaya sekitar 5 – 12 %. Sungkup plastik umum digunakan untuk meningkatkan

kelembaban sehingga meminimumkan perbedaan tekanan uap daun dan udara

(Subiakto et al., 2005).

Kramer dan Kozlowski (1960) menyatakan bahwa, suhu udara yang tepat

untuk merangsang pembentukan akar primordial untuk setiap jenis tanaman

berbeda- beda. Kisaran suhu lingkungan yang baik untuk merangsang

pembentukan akar adalah 21 - 27° C (70 – 80 °F). Pada umumnya suhu yang

optimum digunakan adalah 29°C, sedangkan suhu media sekitar 24°C, karena

pada kisaran suhu tersebut terjadi pembagian sel dalam daerah perakaran yang

distimulir. Suhu rendah mampu membantu terbentuknya jaringan kalus dan suhu

yang tinggi dapat membantu pertumbuhan akar.

Tanah
Menurut Kramer dan Kozlowski (1960), lingkungan perakaran atau media

tumbuh ideal adalah media yang dapat memberikan porositas yang cukup dengan

kemampuan drainase yang baik, serta bebas dari hama penyakit, sedangkan pH

yang baik adalah berkisar antara pH 7 (netral).

Menurut Prastowo et al., (2006), syarat media tumbuh yang baik adalah

ringan, murah, mudah didapat, porus (gembur) dan subur (kaya unsur hara).

Media yang digunakan untuk penyetekan diusahakan lembut, beraerasi baik dan

steril. Media yang baik tersebut antara lain vermikulite, perlite, gambut dan pasir.

Selain itu, media yang berasal dari sabut kelapa dan sekam padi sangat cocok

untuk pertumbuhan stek.

Stek

Universitas Sumatera Utara


Menurut Rochiman dan Haryadi (1973), penyetekan dapat didefinisikan

sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian dari tanaman

seperti akar, batang, daun dan tunas dengan maksud agar bagian – bagian tersebut

membentuk akar.

Cara stek banyak dipilih orang, apalagi bagi pengebun buah – buahan dan

tanaman hias. Alasannya, karena bahan untuk membuat stek ini hanya sedikit,

tetapi dapat diperoleh jumlah bibit tanaman dalam jumlah banyak. Tanaman yang

dihasilkan dari stek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi,

ketahanan terhadap penyakit, dan sifat – sifat lainnya. Selain itu kita juga

memperoleh tanaman yang sempurna yaitu tanaman yang telah memiliki akar,

batang dan daun dalam waktu relatif singkat (Wudianto, 1998)

Stek cabang atau stek kayu meliputi stek cabang yang telah tua dan cabang

yang setengah tua. Pohon buah – buahan yang biasanya dapat distek cabang

tuanya adalah kedondong, jambu air, jambu semarang, beberapa jenis jeruk

(seperti rough lemon, japansche citroen), buah negeri, markisa, delima, ceremai,

adpokat, dan anggur. Sedang tanaman hias yang dapat dikembangbiakkan dengan

stek cabang biasanya memerlukan cabang yang setengah tua, misalnya bugenvil,

melati, mawar, dan klerodendron. Walaupun demikian ada juga tanaman hias

yang dapat diperbanyak dengan stek cabang yang telah tua, misalnya kembang

sepatu (Wudianto, 1998).

Menurut Ashari (1995) proses pertumbuhan akar adventif terdiri dari tiga

tahap, yaitu (1) Diferensiasi sel yang diikuti dengan inisiasi akar (2) Diferensiasi

sel-sel meristematis sampai terbentuk primordia akar dan (3) Munculnya akar -

akar baru.

Universitas Sumatera Utara


Kondisi fisiologis tanaman yang mempengaruhi penyetekan adalah umur

bahan stek, jenis tanaman, adanya tunas dan daun muda pada stek, persediaan

bahan makanan, dan zat pengatur tumbuh (Kramer dan Kozlowzky, 1960)

a. Umur Bahan Stek

Menurut Hartman dan Kester (1983), stek yang berasal dari tanaman muda

akan lebih mudah berakar dari pada yang berasal dari tanaman tua, hal ini

disebabkan apabila umur tanaman semakin tua maka terjadi peningkatan produksi

zat-zat penghambat perakaran dan penurunan senyawa fenolik yang berperan

sebagai auksin kofaktor yang mendukung inisiasi akar pada stek.

b. Jenis Tanaman

Tidak semua jenis tanaman dapat dibiakkan dengan stek. Keberhasilan

dengan cara stek bergantung pada kesanggupan jenis tersebut untuk berakar. Ada

jenis yang mudah berakar dan ada yang sulit. Kandungan lignin yang tinggi dan

kehadiran cincin sklerenkim yang kontinu merupakan penghambat anatomi pada

jenis - jenis tanaman yang sulit berakar, dengan cara menghalangi tempat

munculnya akar adventif (Kramer dan Kozlowski, 1960).

c. Adanya Tunas dan Daun pada Stek

Adanya tunas dan daun pada stek berperan penting bagi perakaran. Bila

seluruh tunas dihilangkan maka pembentukan akar tidak terjadi sebab tunas

berfungsi menghasilkan suatu zat berupa auksin yang berperan dalam mendorong

pembentukan akar yang dinamakan Rhizokalin (Hartman dan Kester, 1983).

d. Persediaan Bahan Makanan dan zat pengatur tumbuh

Menurut Mahlstede dan Haber (1957) persediaan bahan makanan sering

dinyatakan dengan perbandingan antara persediaan karbohidrat dan nitrogen (C/N

Universitas Sumatera Utara


ratio). Ratio C/N yang tinggi sangat diperlukan untuk pembentukan akar stek yang

diambil dari tanaman dengan C/N ratio yang tinggi akan berakar lebih cepat dan

banyak dari pada tanaman dengan C/N ratio rendah.

Stek batang pada umumnya sangat mudah dan sangat menguntungkan,

karena batang mempunyai persedian bahan seperti karbohidrat dan nitrogen yang

cukup dan terdapat mata tunas untuk pertumbuahan tajuk. Pertumbuhan akar akan

diinisiasi oleh jaringan meristem yang aktif oleh adanya hormon seperti auksin.

Pada kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai, stek batang lebih mudah

membentuk bagian-bagian vegetatif yang lain dan tumbuh menjadi individu yang

sempurna (Hartmann dan Kester, 1983)

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang

dalam konsentrasi rendah mendorong, menghambat atau secara kualitatif

mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengaturan pertumbuhan ini

dilakukan dengan cara pembentukan hormon-hormon yang sama, mempengaruhi

sintesis hormon, perusakan translokasi atau dengan cara perubahan tempat

pembentukan hormon (Wattimena, 1992).

Media Tanam

Menurut Danielson (1991), tanaman bugenvil membutuhkan kondisi

kering untuk pembungaan. Oleh karena itu, untuk mencapai kondisi tersebut dapat

dilakukan dengan memanipulasi lingkungan tumbuh bugenvil. Salah satu faktor

lingkungan yang dapat dimanipulasi adalah media tanam bugenvil. Pasir

merupakan salah satu campuran media tanam yang dapat menciptakan kondisi

kering bagi tanaman.

Universitas Sumatera Utara


Media tanam dapat berupa tanah saja atau campuran tanah dengan pasir,

green leaf, atau arang sekam atau bentuk media lainnya. Menurut Harjadi (1989),

apabila media tanam yang digunakan hanya terdiri dari media tanah saja, pada

umumnya kurang memenuhi syarat media tanam yang baik. Media tanah saja

dapat bersifat terlalu liat atau terlalu berpasir sehingga kurang memenuhi syarat

pertumbuhan tanaman yang baik. Oleh karena itu, media tanah perlu dicampur

dengan media lainnya.

Fungsi media tanam sebagai tempat tumbuh tanaman menunjukkan bahwa

tanaman tersebut membentuk akarnya pada media tanam dengan baik, selain itu

akar tanaman pun dapat tumbuh dengan sempurna karena didukung oleh aerase

dan drainase media tanam yang terjamin. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang

memadai sangat dibutuhkan oleh sel – sel akar untuk bernafas. Kekurangan

oksigen menyebabkan root dieback (kematian akar) . pembuangan kelebihan air

(drainase) yang berjalan lancar akan mendukung akar – akar tanaman leluasa

bernafas, member kesempatan yang besar bagi akar untuk menyerap zat – zat

makanan untuk pertumbuhan tanaman dan menghindarkan akar dari serangan

penyakit seperti penyakit busuk akar atau busuk batang (Agoes, 1994).

Zat Pengatur Tumbuh

Hartmann and Kester (1983) meyatakan bahwa zat pengatur tumbuh

adalah salah satu bahan sintesis atau hormon tumbuh yang mempengaruhi proses

fisiologis. Pengaturan pertumbuhan ini dilakukan dengan cara pembentukan

hormon-hormon yang sama, mempengaruhi sintesis hormon internal, perusakan

translokasi atau dengan cara perubahan tempat pembentukan hormon.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Wattimena (1992) beberapa golongan senyawa organik sebagai

zat-zat penggerak atau pemacu ini dikenal sebagai fitohormon, yang mengawali

reaksi-reaksi biokimia mengubah komposisi di dalam tanaman. Sebagai akibat

dari perubahan komposisi kimia, terjadilah pembentukan organ-organ tanaman

seperti tunas, daun, akar, dan lain-lain. Hormon alami yang terdapat di dalam

jaringan stek umumnya kurang memadai dan aktivitasnya relatif lambat sehingga

tidak dapat langsung berfungsi dengan cepat untuk menginduksi pembentukan

akar. Oleh karena itu, diperlukan penambahan hormon yang berasal dari luar

jaringan stek.

Di dalam praktek pemakaian, IBA dan NAA lebih stabil sifat kimianya

dan mobilitasnya di dalam tanaman. Sedangkan IAA dapat tersebar ketunas –

tunas dan menghalangi perkembangan serta pertumbuhan tunas – tunas tersebut.

Kelemahan NAA yaitu kisaran konsentrasi sempit, sehingga penggunaannya

harus hati – hati agar konsentrasi optimum tidak terlampaui. IBA bersifat lebih

baik daripada IAA dan NAA, karena kandungan kimianya lebih stabil serta tidak

bersifat toksik dalam konsentrasi tinggi, dan daya kerjanya lebih lama dan relatif

lebih lambat di translokasikan di dalam tanaman, sehingga memungkinkan

memperoleh respon yang lebih baik terhadap perakaran stek (Kusumo, 1984).

Arteca (2006) menyatakan bahwa auksin terlibat dalam banyak proses

fisiologi tanaman seperti menginduksi pemanjangan sel, fototropisme,

gravitropisme, dominansi apikal, inisiasi akar, produksi etilen, perkembangan

buah, ekspresi seks dan pengendalian gulma.

Fungsi utama sitokinin adalah memacu pembelahan sel. Namun didalam

perkembangannya, sitokinin memiliki beberapa fungsi lainnya seperti (1) memacu

Universitas Sumatera Utara


pembelahan sel dan pembentukan organ, (2) menunda penuaan dan meningkatkan

aktifitas wadah penampung hara, (3) memacu perkembangan kuncup samping

tumbuhan dikotil, (4) memacu pembesaran sel pada kotiledon dan daun tumbuhan

dikotil, dan (5) memacu perkembangan kloroplas dan sintesis klorofil

(Salisbury dan Ross, 1985).

Didalam penelitiannya, para peneliti mendapatkan bahwa jika nisbah

sitokinin terhadap auksin dipertahankan, akan tumbuh sel meristem pada kalus;

sel tersebut membelah dan mempengaruhi sel lainnya untuk berkembang menjadi

kuncup, batang, dan daun. Tapi apabila nisbah sitokinin – auksin diperkecil,

pembentukan akar akan terpacu (Salisbury dan Ross. 1985).

Universitas Sumatera Utara


BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kasa Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

laut, yang dilakukan pada bulan Januari hingga Agustus 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan stek tanaman

bugenvil (Bougainvillea spectabilis Willd.) sebagai objek pengamatan, topsoil,

pasir serta kompos sebagai campuran media tanam, kotak stek sebagai tempat

media tanam, fungisida Dithane – M 45 untuk mengendalikan jamur, zat pengatur

tumbuh Indole Butyric Acid (IBA) dan Benzyl Adenin Purin (BAP) sebagai

perlakuan yang diberikan, plastik polyetilene sebagai sungkup.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul/sekop untuk

memindahkan media tanam ke dalam kotak stek, gembor untuk menyiram

tanaman, meteran untuk mengukur luas lahan dan tinggi tanaman, timbangan

analitik untuk mengukur bobot akar kering/basah, jangka sorong untuk mengukur

diameter batang, termometer untuk mengukur suhu didalam sungkup, ember

sebagai wadah rendam zat pengatur tumbuh, label untuk menandai perlakuan,

oven sebagai alat penurun kadar air tanaman, desikator untuk menjaga kadar air

objek agar tidak terpengaruh dari kelembaban udara luar.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial

dengan 2 faktor perlakuan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


Faktor I : Diameter Batang (D) dengan 3 taraf, yaitu :

D1 = Diameter 6 mm

D2 = Diameter 12 mm

D3 = Diameter 18 mm

Faktor II : Konsentrasi (K) ZPT IBA dan BAP

K0 = 0 (aquades) ppm

K1 = 400 + 400 ppm

K2 = 600 + 600 ppm

K3 = 800 + 800 ppm

Sehinggaa diperoleh 12 kombinasi sebagai berikut:

D1K0 D2K0 D3K0

D1K1 D2K1 D3K1

D1K2 D2K2 D3K2

D1K3 D2K3 D3K3

Jumlah ulangan : 3 ulangan

Jumlah plot : 12

Jumlah plot seluruhnya : 36

Panjang plot : 60 cm

Lebar plot : 40 cm

Jumlah tanaman/plot : 5 tanaman

Jumlah sampel/plot : 3 tanaman

Jumlah sampel seluruhnya : 108 sampel

Jumlah tanaman seluruhnya : 180 tanaman

Universitas Sumatera Utara


Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier

sebagai berikut :

Yijk = μ + ρi + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana :

Yijk = Hasil pengamatan perlakuan ZPT pada taraf ke-i dan diameter batang

pada

taraf ke-j

μ = Nilai tengah

ρi = Efek blok ke-i

αi = Pengaruh ZPT pada taraf ke-i

βj = Pengaruh diameter batang pada taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi ZPT pada taraf ke-i dan diameter batang pada taraf ke-

eijk = Pengaruh galat yang disebabkan perlakuan ZPT pada taraf ke-i dan

diameter batang pada taraf ke-j pada ulangan ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan

dengan uji DMRT dengan taraf 5% (Bangun, 1991).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai