825 1535 1 PB PDF
825 1535 1 PB PDF
Suatu Pengantar
ABSTRAK
Perkembangan baru dalam diskursus ilmu sosial, yang dimotori oleh munculnya pemikiran-
pemikiran Neomarxis Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritisnya, menghadirkan penyegaran-
penyegaran dalam menyikapi realitas sosial yang sesungguhnya serba sublim, serba cair.
Salah satu penyegaran ini mengemuka dalam cultural studies yang berupaya mendobrak
dominasi dan arogansi negara-negara yang mentahbiskan diri berperadaban tinggi di tengah
budaya dan peradaban lain. Bertitik tolak dari semangat egaliterian yang tinggi, cultural
studies juga menghadirkan perspektif baru terhadap fenomena komunikasi. Melalui pelbagai
metodologinya, cultural studies berupaya mengkaji komunikasi dari subjektivitasnya, yang
nyata-nyata tampak cair, berkat dialektika di antara setiap pelaku komunikasi, yang tidak lagi
dibatasi dalam kerangka subjek-objek. Lewat cultural studies pula, bisa diungkap bagaimana
produksi tanda yang mewujud dalam setiap bentuk komunikasi sesungguhnya merupakan hasil
kerja entitas tertentu yang berusaha menghegemoni dunia id —ideologi—disadari atau tidak.
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 55
kepentingan masing-masing.2 Manipulasi yang setiap budaya bagaimanapun adalah sumber
umum terjadi dan paling kentara adalah eksploitasi keanekaragaman hayati—aset dunia yang sangat
istilah budaya adiluhung demi kepentingan pihak berharga, dan harus dihormati. Apa jadinya dunia
tertentu. Budaya sendiri dianggap sebagai budaya bila keragamannya hilang dan digantikan oleh
adiluhung, sedangkan budaya lain dianggap budaya seragam? Keindahannya akan hilang, dan
sebagai budaya jelata yang tidak setara, atau kebersamaan manusia menjadi tidak bermakna
bahkan tidak berbudaya sama sekali. Karena itu, dalam segala sesuatu yang dipaksakan harus
ambisinya lantas adalah ‘membudayakan’ atau selalu sama, sewarna, dan sebangun.
‘menggantikan’ budaya pihak lain. Penghormatan terhadap keunikan masing-masing
Menyikapi perbedaan budaya dengan budaya, dan kesetaraan hak menempati dunia bagi
menyeragamkan budaya, sudah cukup setiap budaya, menjadi tesis dasar yang
“mengerikan”. Apalagi, ‘membudayakan’ pihak mensignifikansi eksistensi cultural studies.
lain dengan membuat klaim-klaim tak berdasar Dengan memahami perbedaan antarbudaya dalam
secara sepihak bahwa budayanya sendiri adalah interaksi antarkultural, cultural studies mencoba
yang paling baik, dan karenanya yang paling menyikapi perbedaan budaya secara lebih
berhak menempati sekaligus memimpin dunia. manusiawi.
Setidaknya, begitulah dunia kecil yang dibangun Pada titik ini, cultural studies memang seolah
oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan tak beda dengan etnografi. Namun, bagi cultural
dominasi dan status quo kekuasaan mereka secara studies, persoalannya lebih dari sekadar
tidak bijaksana, dipandang dari sisi kajian budaya. bagaimana menghormati budaya orang lain dan
Dan inilah yang menyebabkan mengapa perbedaan menyajikan narasi ihwal budaya secara romantis.
budaya kerap tidak menghasilkan perilaku yang Berbeda dengan etnografi, cultural studies
tidak manusiawi. berupaya menganalisis praktik budaya guna
Pada titik inilah, cultural studies (CS)3—kajian membongkar praktik kuasa yang terkait dengan
budaya—menjadi sesuatu yang amat penting. produksi makna.
Kajian budaya tidak berpretensi ‘menyeragamkan’ Tulisan berikut ini disusun dengan semangat
atau ‘membudayakan’ pihak lain. Kajian budaya yang kurang lebih sama. Pertama, mengedepankan
justru memandang pihak lain sebagai significant cultural studies sebagai sarana untuk mengatasi
others yang harus dihormati dengan segala kesenjangan komunikasi antarkultural sebagai
keunikannya. Kajian budaya memandang setiap akibat interaksi antarkultural di era globalisasi yang
pihak memiliki kesempatan yang sama untuk tidak terhindarkan. Kedua, menawarkan cultural
menempati dunia dengan budaya dan keunikan studies sebagai alternatif metodologi riset
masing-masing. Perbedaan budaya, karena itu, komunikasi agar semakin berkembang.
haruslah disikapi dengan bijak dan bukannya
dengan cara memaksakan budaya tertentu, yaitu Sejarah Cultural Studies: Gugatan
dengan cara memahami perbedaan yang ada satu demi Gugatan
sama lain. Melalui pengamatan dan penelitian
seputar proses-proses konstruksi makna yang Upaya memahami cultural studies, tidak
terjadi dalam setiap budaya, kajian budaya lengkap bila tidak disertai dengan pemahaman
berkehendak memahami perbedaan tersebut secara mengenai jejak sejarahnya. Paling tidak, melalui
lebih baik. Kajian budaya juga berkehendak sejarahnya, kita bisa memahami semangat dan latar
membongkar praktik-praktik di balik konstruksi belakang macam apa yang sesungguhnya
makna yang dipaksakan atas dasar kepentingan mendasari ‘perlawanan’ cultural studies terhadap
pihak tertentu, serta mencari sebab mengapa dominasi ‘budaya’ penelitian pada umumnya.
perbedaan tersebut tidak disikapi secara “dewasa”. Dengan mempelajari sejarahnya, sekaligus juga
Dalam perspektif cultural studies, keunikan bisa dimengerti letak perbedaan cultural studies
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 57
anggota masyarakat). Sebagian lain, dalam entails recognition that all human beings live in
gagasan budaya sebagai suatu keseluruhan yang a world that is created by human beings, and in
dipaparkan di atas, mencoba untuk lebih tegas dan which they find meaning.” Karena itu, “Culture is
lebih spesifik (Raymond Williams: budaya the complex everyday world we are all encounter
mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, and through which we all move.” Berdasarkan
struktur lembaga, yang mengeskpresikan atau definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya
mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk- mencakup (hampir) segala sesuatu dan cultural
bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat). studies, sebagai konsekuensinya, juga mempelajari
Dalam karyanya Keywords, Raymond Will- (hampir) segala sesuatu!10
iams menyarankan tiga batasan luas tentang Namun, kendatipun cultural studies
budaya. Pertama, budaya bisa dipakai untuk tampaknya merupakan kajian yang paling sukar
menunjuk pada proses umum tertentu dari ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti bahwa
perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika segala sesuatu dapat masuk menjadi bahasan cul-
sebuah masyarakat. Kedua, budaya dimaknai pula tural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci
sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik karakteristik cultural studies (CS) sbb.
oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok 1. CS bertujuan mengkaji pokok persoalan dari
tertentu dalam masyarakat. Ketiga, budaya dapat sudut praktik kebudayaan dan hubungannya
dipakai untuk menunjuk karya-karya dan praktik- dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah
praktik intelektual, terutama aktivitas estetik. mengungkapkan hubungan kekuasaan dan
Dalam karyanya yang lain, Williams juga menyebut mengkaji bagaimana hubungan tersebut
tiga kategori umum dalam pengertian kebudayaan. mempengaruhi dan membentuk praktik
Pertama, definisi ‘ideal’—budaya dianggap kebudayaan.
merupakan satu proses penyempurnaan 2. CS tidak hanya studi tentang budaya, seakan-
kehidupan manusia (human perfection) dalam term akan ia merupakan entitas tersendiri yang
nilai-nilai absolut atau universal tertentu. Kedua, terpisah dari konteks sosial dan politiknya.
definisi bersifat ‘dokumenter’—budaya dipahami Tujuannya adalah memahami budaya dalam
sebagai susunan intelektual dan karya imajinatif segala bentuk kompleksnya dan menganalisis
berisi catatan pemikiran dan pengalaman manusia. konteks sosial dan politik tempat budaya
Ketiga, definisi ‘sosial’—budaya sebagai suatu mengejawantahkan dirinya.
deskripsi dari sebuah jalan hidup partikular, yang 3. Budaya dalam CS selalu menampilkan dua
mengekspresikan makna-makna dan nilai-nilai fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi
tertentu bukan hanya dalam seni dan proses belajar, maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik.
melainkan juga pada institusi-institusi dan perilaku CS bertujuan, baik usaha pragmatis maupun
sehari-hari. Dengan begitu banyaknya pemahaman ideal.
menyangkut budaya, tak heran jika Franz Magnis- 4. CS berupaya membongkar dan mendamaikan
Suseno (1991) menulis, kebudayaan adalah pengotakan pengetahuan, mengatasi
“seluruh hamparan alam semesta sejauh telah perpecahan antara bentuk pengetahuan yang
ditandai oleh eksistensi manusia.”9 tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif
Edgar & Sedgwick (1999) dalam bukunya Key berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif
Concepts on Cultural Theory menulis, istilah “cul- (yang dinamakan universal). CS
ture” memang tidak mudah didefinisikan, karena mengasumsikan suatu identitas bersama dan
memiliki makna yang berbeda-beda dalam beragam kepentingan bersama antara yang mengetahui
konteks. Kendati demikian, konsep tentang dan yang diketahui, antara pengamat dan yang
budaya yang mendasari cultural studies dapat diamati.
ditemukan bermuara pada antropologi kultural, 5. CS melibatkan dirinya dengan evaluasi moral
sebagaimana cultural studies itu sendiri. “... It masyarakat modern dan dengan garis radikal
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 61
kesepakatan atas (1) dunia objektif; (2) dunia sosial makna dinegosiasikan oleh para pemakainya dalam
berkaitan dengan institusi, tradisi, dan nilai-nilai; kebudayaan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu
(3) dunia subjektif masing-masing individu. dijawab adalah bagaimana mekanisme komunikasi
Menurut Habermas kita semua mampu meraih sebagai tindakan produksi dan negosiasi makna
pemahaman dari ketiga dunia yang berkaitan satu- berlangsung di dalam medan budaya.
sama lain ini dikarenakan fakta bahwa sebagai Pada dasarnya, medan budaya merupakan a
manusia kita merupakan bagian dari komunitas marketplace for exchanging ideas and meanings.
linguistik intersubjektif. Bagi Habermas (1981), Dalam perspektif kaum pluralis, medan budaya
fakta bahwa kita semua adalah pengguna bahasa tersebut adalah a free marketplace, di mana
bermakna bahwa kita secara komunikatif mampu tercipta konsensus-konsensus tertentu secara
mencapai pemahaman satu sama lain. Dengan alamiah dalam suatu ekuilibrium. Apa yang
penjelasan Habermas ini, maka jelaslah bahwa dinamakan makna dalam tradisi kelompok pluralis
sebagai sebuah praktik, khususnya praktik (fungsionalisme struktural) merupakan produk
budaya, yang tergolong sebagai komunikasi tindakan komunikasi yang alamiah dan spontan.
hanyalah tindakan terkait dengan bahasa dan Ini berbeda dengan pandangan perspektif
komunitas linguistik intersubjektif. Di luar perkara Paradigma Kritis, yang menganggap bahwa free
itu, tindakan budaya hanya merupakan suatu aksi marketplace itu sekadar gagasan semu atau
instrumental. bagian kesadaran yang dipalsukan. Dalam
Bahasa dan komunitas linguistik intersubjektif pandangan Kritis, konsensus didefinisikan secara
menjadi komponen penting dalam mengandaikan sosial, hasil dari suatu konstruksi sosial. Dengan
konsep komunikasi sebagai suatu praktik budaya. demikian, pemunculan makna tidaklah bersifat
Bahasa dipahami sebagai abstraksi dari fenomena, alamiah. Dikemukakan Stuart Hall,19 “konsensus
mulai dari fenomena konkret sedehana hingga tidak timbul secara alamiah dan spontan, tetapi
fenomena konsep dan gagasan yang luar biasa terbentuk lewat proses yang kompleks yang
rumitnya. Bahasa tidak akan sukses dipertukarkan melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi.”
di antara komunitasnya jika maknanya tidak Karena itu, dalam perspektif Kritis, makna yang
dipahami. Tanpa makna, tanpa bahasa, tidak akan tidak tercipta secara alamiah itu tidak lagi
tercipta komitmen atas nilai budaya tertentu. ditafsirkan sebagaimana adanya secara spontan.
Komunikasi dengan demikian melibatkan tindakan- Makna dan penafsirannya kerapkali dipaksakan
tindakan penciptaan dan penafsiran makna dalam atas dasar kepentingan tertentu. Dengan kata lain,
suatu medan budaya. makna diproduksi melalui intervensi.
Medan budaya sendiri merupakan istilah yang Terlepas dari kedua pandangan yang saling
diperkenalkan Pierre Bourdieu. Bourdieu berlawanan tersebut, satu hal agaknya disepakati
mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, bersama, yaitu bahwa medan budaya menjadi pusat
nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang bertemunya gagasan-gagasan, dan bahwa
menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian komunikasi, ditilik dari sudut ini, menjadi praktik
memproduksi dan memberi “wewenang” pada negosiasi makna yang pada akhirnya mengkristal
berbagai bentuk wacana dan aktivitas. Medan menjadi peraturan, nilai-nilai, atau kepercayaan
budaya juga adalah konflik antarkelompok atau tertentu. Proses ini tak pernah berhenti sepanjang
antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung budaya itu masih ada. Sebuah budaya muncul,
untuk menentukan apa yang dianggap sebagai terlestarikan, atau berubah karena adanya
“modal” dan bagaimana ia harus didistribusikan. dialektika tanpa henti dari gagasan-gagasan dan
Komunikasi sebagai suatu praktik budaya kode-kode makna yang dipertemukan. Begitu
berlangsung dalam wilayah medan budaya. Dalam dialektika itu berhenti, habis pulalah budaya
medan budaya, komunikasi dipahami sebagai tersebut.
tindakan produksi makna dan bagaimana sistem Beranjak dari pemikiran tersebut, maka
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 63
pertandaan yang terjadi dalam setiap fenomena televisi ditempati oleh kursi Ayah selaku kepala
interaksi sosial. Selain itu, dengan memanfaatkan keluarga, atau siapa pun yang punya kuasa dan
konsepsi sign yang tidak terbatas pada teks tertulis menjadi pusat relasi antarkeluarga (di keluarga lain
semata, para periset komunikasi kini mulai meneliti yang memanjakan anaknya, sang anaklah penguasa
aspek-aspek non verbal yang sebelumnya jarang itu). Ayah, atau pusat relasi antarkeluarga itu
tersentuh karena tak terukur secara kuantitatif. pulalah yang punya kuasa memegang remote con-
Yang lebih menarik lagi, penelitian seputar struktur trol untuk menentukan acara TV yang akan
sosial dan fungsi lingkungan kini tidak lagi ditontonnya. Posisi ini secara hierarkis berbeda-
dibakukan sekadar pada pengaruh lingkungan beda dalam sebuah keluarga yang sama-sama
sosial ala DeFleur, tapi diperluas dalam upaya penikmat televisi. Substitusinya pun dilakukan
mencapai suatu keutuhan struktur, tatkala secara hierarkis.
berusaha mengidentifikasi pengaruh ideologi Masih banyak contoh lain, terutama penelitian
dalam produksi makna. yang terpusat pada media massa, karena media
Beberapa contoh bisa disebutkan di sini. Alia dianggap sebagai salah satu sumber produksi
Swastika, dalam penelitian berjudul “Politik Remaja tanda yang potensial. Penelitian Djatmika 25
Membaca Media” (2003)23, meneropong proses terhadap berita tentang kriminalitas yang dilakukan
negosiasi makna yang terjadi di antara remaja putri perempuan memperlihatkan beda perlakuan
pembaca majalah Gadis dalam membentuk konsep terhadap bandit perempuan dan laki-laki. Bila
‘Girl Power’. Di sini ditunjukkan bahwa para pelakunya adalah perempuan, media cenderung
pembaca yang diteliti ternyata menempati posisi- mengeksploitasi dan membesar-besarkannya.
posisi pembacaan yang berbeda. Pada akhirnya, Sementara, bila pelakunya adalah laki-laki, media
Swastika menyimpulkan bahwa bagi remaja putri tidak mengeksploitasinya. Penelitian ini
yang menjadi respondennya, konsep ‘Girl Power’ membuahkan kesimpulan bahwa ideologi patriarkat
lebih bisa diterima ketimbang feminisme. Paling masih mendominasi wajah pers daerah (dalam hal,
tidak, melalui kampanye Girl Power di media massa ia meneliti harian terbesar di Jawa Tengah, yaitu
remaja, secara tidak langsung para remaja putri Suara Merdeka). Masih terkait dengan ideologi
percaya bahwa mereka memiliki potensi yang sama patriarkat yang dominan, Intan Paramaditha26 dalam
dengan laki-laki. Junaidi24, dalam penelitian yang penelitiannya memperlihatkan bahwa majalah-
diangkat dari histeria terhadap F4 dan Meteor Gar- majalah wanita Indonesia masa kini, yang kerap
den, mencoba mendiskusikan bagaimana makna mendengungkan jargon feminisme dan liberalisasi
kultural tontonan itu, dan bagaimana tontonan perempuan, ternyata tak lepas dari dominasi
tersebut dikonsumsi hingga memunculkan reaksi ideologi patriarkat. Studi terhadap representasi
sedemikian. Pembacaan terhadap F4 dan serial perempuan dan posisi mereka dalam majalah
Meteor Garden memperlihatkan beberapa Femina, Female, dan Cosmopolitan memperlihatkan
kemungkinan makna kultural yang muncul dari tiga perbedaan cara merepresentasikan perempuan.
posisi berbeda yang diperlihatkan responden saat Kendati demikian, pada dasarnya, identitas kultural
mengonsumsi F4; perbedaan posisi tersebut yang dibentuknya tetap tidak terlepas dari
didasarkan pada tanggapan-tanggapan responden pengaruh laki-laki sebagai pusatnya.
terhadap ideologi budaya massa yang bermuara Bila dicermati, dua penelitian tadi sama-sama
pada pembentukan identitas kultural responden meneliti produk media, yaitu berita dan majalah.
yang berbeda-beda. Relasi kekuasaan dengan cara Kesimpulan keduanya berpijak pada asumsi
mengkonsumsi media juga tampak dalam studi Kris adanya ideologi tertentu yang maknanya
Budiman (2002), yang dituangkan dalam buku saku diproduksi dalam berbagai tanda yang
berjudul Di Depan Kotak Ajaib: Menonton Televisi direpresentasikan di media. Harus diakui, banyak
Sebagai Praktik Konsumsi. Dalam observasinya, studi tentang cultural studies berpusat pada me-
Budiman mencatat, posisi paling nyaman menonton dia massa. Ini bisa dipahami mengingat media
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 65
yang mencoba menyegarkan Marxisme dan Analisis Teks Media, LKiS, 2001.
menyesuaikannya dengan persoalan kontekstual pada 20 Antariksa, Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa.
zamannya. Karya klasiknya “Encoding/Decoding” Artikel dalam Kunci Cultural Studies, edisi 11, Februari
bisa jadi merupakan buku wajib bagi para peminat cul- 2002.
tural studies. 21 Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah
8 Para pendiri Cultural Studies jelas-jelas memperlihatkan tindakan budaya sangat dipengaruhi oleh pemikiran
tendensi mereka kepada Marxisme, dengan kadar yang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Ini berawal dari
berbeda-beda. Stuart Hall, misalnya, pada tahun 60an pemahamannya bahwa ‘tindakan’ (practice) atau apa
mengedepankan gagasan tentang dominasi budaya yang yang secara actual dilakukan seseorang, merupakan
diilhami hegemoni ala Antonio Gramsci. Raymond bentukan dari (dan sekaligus respon terhadap) aturan-
Williams mengadopsi dua tradisi dalam Marxisme untuk aturan dan konvensi-konvensi budaya (Ibid).
menganalisis perjalanan revolusi yang telah dilalui 22 Kemelekhurufan budaya adalah “perasaan” untuk
masyarakat Inggris. menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang
9 Dikutip dari buku Lubang Hitam Kebudayaan, karya bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan.
Hikmat Budiman, Kanisius 2002, hal. 100. Tindakan adalah performance dari kemelekhurufan
10 Sardar & Van Loon, Cultural Studies for Beginner, hal. budaya (Ibid.)
5 23 Dipresentasikan dalam Indonesia’s International Con-
11 Heryanto, Ariel. Cultural Studies’ Significant Others: ference on Cultural Studies: Global-Local Nexus on
the Case of Indonesia. The paper presented at Cultural Studies, Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari
Indonesia’s International Conference on Cultural Stud- 2003. Alia Swastika adalah peneliti sekaligus penggagas
ies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, East Java jurnal KUNCI, newsletter yang diterbitkan oleh KUNCI
12 “One of the things that distinguishes cultural studies in Cultural Studies Center.
places like Indonesia from those in the ‘West’ is the 24 Ibid. Junaidi berasal dari Universitas Indonesia.
lack of a long and strong consolidated tradition in the Penelitiannya berjudul “F4 and Meteor Garden: Re-
social sciences and humanities (Heryanto, 2002).” ception and Cultural Meanings in Indonesia.” Junaidi
13 Putranti, Sulistini Dwi. Branded Second Hand Shop: berasal dari Universitas Indonesia, Jakarta.
Fulfilling a Lack? The paper presented at Indonesia’s 25 Ibid. Penelitiannya berjudul “Woman Bandits and Their
International Conference on Cultural Studies, Febru- Actions in News Stories: A Stylistic Study”. Djatmika
ary 3th-5 th , 2003, at Trawas, East Java. berasal dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
14 Noorman, Safrina. Being Young, Becoming Adults: 26 Ibid. Penelitiannya berjudul “Cultural Identity and Fe-
Making Meaning of Humor in Young Adult (YA) Fic- male Representation in Indonesian Women;s Maga-
tion “Tangkaplah Daku Kau Kujitak.” The paper also zines.” Intan Paramaditha berasal dari Universitas In-
presented at Indonesia’s International Conference on donesia, Jakarta.
Cultural Studies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, 27 Yang menarik, contoh-contoh penelitian tadi dilakukan
East Java. oleh para peneliti yang tidak berlatar belakang disiplin
15 Anugrajekti, Novi. Resistensi Perempuan Seni Tradisi. komunikasi, melainkan sastra. Di satu sisi ini
The paper presented at Indonesia’s International Con- memperlihatkan batas yang cair antara komunikasi dan
ference on Cultural Studies, February 3th-5th , 2003, at sastra. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan peluang
Trawas, East Java. riset yang sesungguhnya sangat terbuka dan bisa diisi
16 Swastika, Alia. Politik Remaja Membaca Media: oleh para peneliti komunikasi, agar tidak berkutat di
Representasi Konsep Girl Power dalam Kehidupan paradigma yang itu-itu saja.
Sehari-hari Pembaca Majalah Gadis. The paper pre-
sented at Indonesia’s International Conference on Cul-
tural Studies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, East
Java Daftar Pustaka
17 Makalah pengantar dalam pembukaan Indonesia’s In-
ternational Conference on Cultural Studies: Global- Alasuutari, Pertti. 1995. Researching Culture:
Local Nexus on Cultural Studies, 3-5 Februari 2003, Qualitative Method and Cultural Studies. Lon-
Trawas, Jawa Timur. don: SAGE Publications.
18 Dikutip dari “Media, Ethics, and Morality”, Nick
Stevenson. Dalam buku Cultural Methodologies, Jim Antariksa. 2002. “Budaya sebagai Medan
McGuigan (ed.), SAGE Publication, London, 1997, hal. Pertarungan Kuasa.” Artikel dalam KUNCI edisi
66 .
19 Pandangan Hall ini dimuat dalam tulisan klasiknya,
11/02-02/Studi Selebritis.
The Rediscovery of Ideology: The Return of the Re- Anugrajekti, Novi. “Resistensi Perempuan Seni
pressed in Media Studies. Penulis mengutipnya dari
Eriyanto dalam bukunya Analisis Wacana: Pengantar Tradisi.” Penelitian yang dipresentasikan dan
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 67
2003. Semiotik, dan Analisis Framing. Rosda,
Bandung.
Paramaditha, Intan. 2003. “Cultural Identity and
Female Representation in Indonesian Women’s _____. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung:
Magazines.” Penelitian yang dipresentasikan Rosda.
dan dipublikasikan dalam Indonesia’s Interna-
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan
tional Conference on Cultural Studies: Glo-
Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS.
bal-Local Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5
Februari 2003. Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (ed.). 1996.
Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia
Putranti, Sulistini Dwi. “Branded Second Hand
Pustaka Utama.
Shop: Fulfilling a Lack?” Penelitian yang
dipresentasikan dan dipublikasikan dalam Swastika, Alia. 2002. “Politik Remaja Membaca
Indonesia’s International Conference on Cul- Media.” Penelitian yang dipresentasikan dan
tural Studies: Global-Local Nexus di Trawas, dipublikasikan dalam Indonesia’s International
Jawa Timur, 3-5 Februari 2003. Conference on Cultural Studies: Global-Lo-
cal Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari
Sardar, Ziauddin & Boris Van Loon. 2002. Cultural
2003.
Studies for Beginners (penerjemah: Alfathri
Aldin). Bandung: Mizan. Tulloch, John. 1999. Performing Culture: Stories
of Expertise and the Everyday. London: SAGE
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu
Publications.
Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
M M M