Anda di halaman 1dari 14

“Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi:

Suatu Pengantar

Santi Indra Astuti

ABSTRAK

Perkembangan baru dalam diskursus ilmu sosial, yang dimotori oleh munculnya pemikiran-
pemikiran Neomarxis Mazhab Frankfurt dengan Teori Kritisnya, menghadirkan penyegaran-
penyegaran dalam menyikapi realitas sosial yang sesungguhnya serba sublim, serba cair.
Salah satu penyegaran ini mengemuka dalam cultural studies yang berupaya mendobrak
dominasi dan arogansi negara-negara yang mentahbiskan diri berperadaban tinggi di tengah
budaya dan peradaban lain. Bertitik tolak dari semangat egaliterian yang tinggi, cultural
studies juga menghadirkan perspektif baru terhadap fenomena komunikasi. Melalui pelbagai
metodologinya, cultural studies berupaya mengkaji komunikasi dari subjektivitasnya, yang
nyata-nyata tampak cair, berkat dialektika di antara setiap pelaku komunikasi, yang tidak lagi
dibatasi dalam kerangka subjek-objek. Lewat cultural studies pula, bisa diungkap bagaimana
produksi tanda yang mewujud dalam setiap bentuk komunikasi sesungguhnya merupakan hasil
kerja entitas tertentu yang berusaha menghegemoni dunia id —ideologi—disadari atau tidak.

Cultural Studies: Memahami mekanistis bahwa beda budaya mengakibatkan


dan Menyikapi Perbedaan distorsi dalam mencapai tujuan-tujuan berinteraksi.
Pemahaman yang tidak bijaksana seperti ini lantas
Era globalisasi ditandai dengan maraknya menimbulkan treatment yang juga tidak bijaksana,
interaksi antarkultural. Ini bisa dipahami, yaitu, ambisi untuk menghapuskan perbedaan
mengingat dalam era globalisasi, setiap sisi dunia budaya dengan cara menyeragamkan budaya.
disatukan dalam sebuah desa global (global vil- Tindakan ini dinilai sangat berbahaya karena
lage)1 seiring dengan pesatnya perkembangan menafikan budaya-budaya minoritas atau budaya
teknologi, khususnya teknologi komunikasi. subordinan, lantas menggantikannya dengan
Dengan terbukanya saluran dan akses komunikasi, seperangkat tata nilai yang dominan atau
terbuka pula kemungkinan interaksi antarkultural dikonstruksi sebagai yang dominan oleh pihak-
yang tak terbatas. Pada gilirannya, hal tersebut pihak tertentu.
berdampak pada urgensi kajian budaya, yang Ambisi penyeragaman budaya ini diperburuk
mencoba memahami perbedaan antarbudaya lebih lagi dengan munculnya konsepsi budaya
baik lagi dan secara lebih manusiawi. adiluhung dan budaya massa (high culture vs.
Mengapa lebih manusiawi? Interaksi mass culture), tanpa memahami apa sesungguhnya
antarkultural kerap memunculkan persoalan- makna budaya adiluhung atau budaya massa, pun
persoalan yang bersumber pada perbedaan tanpa mengkritisi apa, siapa, dan politik macam apa
budaya. Beda budaya acapkali disikapi secara yang mendasari pemunculan istilah dikotomis
tidak bijak, yaitu sebagai ihwal persoalan yang semacam itu, banyak pihak lantas mengadopsinya
harus diminimalisir, bertitik tolak dari anggapan secara sepihak, dan memanipulasinya untuk

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 55
kepentingan masing-masing.2 Manipulasi yang setiap budaya bagaimanapun adalah sumber
umum terjadi dan paling kentara adalah eksploitasi keanekaragaman hayati—aset dunia yang sangat
istilah budaya adiluhung demi kepentingan pihak berharga, dan harus dihormati. Apa jadinya dunia
tertentu. Budaya sendiri dianggap sebagai budaya bila keragamannya hilang dan digantikan oleh
adiluhung, sedangkan budaya lain dianggap budaya seragam? Keindahannya akan hilang, dan
sebagai budaya jelata yang tidak setara, atau kebersamaan manusia menjadi tidak bermakna
bahkan tidak berbudaya sama sekali. Karena itu, dalam segala sesuatu yang dipaksakan harus
ambisinya lantas adalah ‘membudayakan’ atau selalu sama, sewarna, dan sebangun.
‘menggantikan’ budaya pihak lain. Penghormatan terhadap keunikan masing-masing
Menyikapi perbedaan budaya dengan budaya, dan kesetaraan hak menempati dunia bagi
menyeragamkan budaya, sudah cukup setiap budaya, menjadi tesis dasar yang
“mengerikan”. Apalagi, ‘membudayakan’ pihak mensignifikansi eksistensi cultural studies.
lain dengan membuat klaim-klaim tak berdasar Dengan memahami perbedaan antarbudaya dalam
secara sepihak bahwa budayanya sendiri adalah interaksi antarkultural, cultural studies mencoba
yang paling baik, dan karenanya yang paling menyikapi perbedaan budaya secara lebih
berhak menempati sekaligus memimpin dunia. manusiawi.
Setidaknya, begitulah dunia kecil yang dibangun Pada titik ini, cultural studies memang seolah
oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan tak beda dengan etnografi. Namun, bagi cultural
dominasi dan status quo kekuasaan mereka secara studies, persoalannya lebih dari sekadar
tidak bijaksana, dipandang dari sisi kajian budaya. bagaimana menghormati budaya orang lain dan
Dan inilah yang menyebabkan mengapa perbedaan menyajikan narasi ihwal budaya secara romantis.
budaya kerap tidak menghasilkan perilaku yang Berbeda dengan etnografi, cultural studies
tidak manusiawi. berupaya menganalisis praktik budaya guna
Pada titik inilah, cultural studies (CS)3—kajian membongkar praktik kuasa yang terkait dengan
budaya—menjadi sesuatu yang amat penting. produksi makna.
Kajian budaya tidak berpretensi ‘menyeragamkan’ Tulisan berikut ini disusun dengan semangat
atau ‘membudayakan’ pihak lain. Kajian budaya yang kurang lebih sama. Pertama, mengedepankan
justru memandang pihak lain sebagai significant cultural studies sebagai sarana untuk mengatasi
others yang harus dihormati dengan segala kesenjangan komunikasi antarkultural sebagai
keunikannya. Kajian budaya memandang setiap akibat interaksi antarkultural di era globalisasi yang
pihak memiliki kesempatan yang sama untuk tidak terhindarkan. Kedua, menawarkan cultural
menempati dunia dengan budaya dan keunikan studies sebagai alternatif metodologi riset
masing-masing. Perbedaan budaya, karena itu, komunikasi agar semakin berkembang.
haruslah disikapi dengan bijak dan bukannya
dengan cara memaksakan budaya tertentu, yaitu Sejarah Cultural Studies: Gugatan
dengan cara memahami perbedaan yang ada satu demi Gugatan
sama lain. Melalui pengamatan dan penelitian
seputar proses-proses konstruksi makna yang Upaya memahami cultural studies, tidak
terjadi dalam setiap budaya, kajian budaya lengkap bila tidak disertai dengan pemahaman
berkehendak memahami perbedaan tersebut secara mengenai jejak sejarahnya. Paling tidak, melalui
lebih baik. Kajian budaya juga berkehendak sejarahnya, kita bisa memahami semangat dan latar
membongkar praktik-praktik di balik konstruksi belakang macam apa yang sesungguhnya
makna yang dipaksakan atas dasar kepentingan mendasari ‘perlawanan’ cultural studies terhadap
pihak tertentu, serta mencari sebab mengapa dominasi ‘budaya’ penelitian pada umumnya.
perbedaan tersebut tidak disikapi secara “dewasa”. Dengan mempelajari sejarahnya, sekaligus juga
Dalam perspektif cultural studies, keunikan bisa dimengerti letak perbedaan cultural studies

56 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


secara filosofis (ontologis, epistemologis) maupun menjadi alat utama untuk mengekspresikan
praksis (aksiologis dan metodologis) sebagai kehendak dan laku komunikasi ternyata tidak bebas
alternatif riset komunikasi dibandingkan dengan dari struktur sistem dan ideologi yang ada. Maka,
paradigma riset komunikasi lainnya. perhatian para kritikus sastra pun bergeser dari
Cultural studies lahir di tengah-tengah penggunaan bahasa secara praktis menjadi inkuiri
semangat Neo-Marxisme yang berupaya atas wacana ideologi yang mendasari penggunaan
meredefinisikan Marxisme sebagai perlawanan bahasa.
terhadap dominasi dan hegemoni budaya tertentu. Sesungguhnya, bahasa sendiri sebagai satu
Para pendirinya terdiri dari sejumlah pengajar sistem pemikiran logis telah banyak dibahas oleh
perguruan tinggi di Inggris, yang pada pasca para filosof sejak era Yunani Kuno. Namun, diskusi
Perang Dunia Kedua berusaha meredefinisikan seputar bahasa dalam strukturalisme tidak lagi
makna perjuangan kelas di tengah situasi dunia tertarik pada masalah semacam itu. Para ahli
yang tengah berubah. Entah kebetulan atau tidak, strukturalisme justru lebih tertarik untuk
Richard Hoggart (1918 - ...)4, Raymond Williams mengangkat materi mengenai bahasa yang kini
(1921-88)5, E.P. Thompson (1924 – 93)6, dan Stuart dipandang sebagai salah satu representasi
Hall (1932 - ...)7 sama-sama berasal dari latar ideologi. Ideologi sendiri, dalam jagat filsafat mod-
belakang kelas pekerja dan mengajar di institut ern, dipahami kurang lebih sebagai hasil produksi
pendidikan orang dewasa. Dengan latar belakang budaya (produk budaya) atau pemroduksi budaya.
sedemikian rupa, tak heran jika mereka memandang Maka cultural studies lantas mendiskusikan
kritis asal muasal mereka (kelas pekerja)8 yang ideologi dalam konteks semacam itu.
berkiprah di tengah arena yang pada umumnya Kembali pada tujuan cultural studies, yaitu
didominasi oleh budaya elitis (pendidikan tinggi). “mengisi ruang dalam sebuah peta intelektual.”
Agaknya, dari sini pulalah muncul suatu semangat Ruang apa sesungguhnya yang dimaksud oleh
perlawanan terhadap budaya adiluhung yang cultural studies? Untuk menjawabnya, perlu
dikontraskan dengan budaya jelata kalangan kelas dipahami terlebih dahulu makna istilah ‘budaya’
pekerja Inggris, yang saat itu mulai menampakkan yang dimaksud dalam cultural studies.
bentuk sebagai akibat serbuan budaya populer Istilah budaya mencakup banyak hal: mulai
Amerika Serikat. dari produk budaya (representasi budaya dalam
Istilah cultural studies sendiri berasal dari bentuk kode di pelbagai bidang), simbol budaya
Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) (kesepakatan atas kode budaya), perilaku budaya
di Universitas Birmingham, yang didirikan pada (tata cara berperilaku, adat, custom), dan gagasan
tahun 1964. Edisi perdana jurnal mereka terbit pada serta cara pandang yang mendasari perilaku
1972, berjudul Working Papers in Cultural Stud- tertentu (perspektif budaya). Definisi para ahli juga
ies, diterbitkan dengan tujuan khusus sangat beragam, mulai dari yang sangat serius--
“...mendefinisikan dan mengisi sebuah ruang, serta Margaret Mead: Budaya adalah perilaku
meletakkan Cultural Studies pada peta intelektual” pembelajaran sebuah masyarakat atau
(Sardar & Van Loon, 2001:24). Melalui jurnal ini, subkelompok--hingga yang terkesan ‘main-main’,
tulisan para tokoh pendiri cultural studies walau sesungguhnya tak kalah serius--Clifford
dipublikasikan ke seluruh dunia. Tulisan-tulisan Geertz: Budaya hanyalah serangkaian cerita yang
mereka lantas dipandang sebagai teks-teks dasar kita ceritakan pada diri kita mengenai diri kita
cultural studies. sendiri. Sebagian ahli mencoba menjelaskan
Para pendiri cultural studies berlatar belakang budaya sebagai suatu keseluruhan (E.B. Taylor:
pendidikan sastra. Lagi-lagi, ini bisa dirunut dari Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks,
perkembangan paham strukturalisme dalam kritik- termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
kritik sastra yang berkembang pesat di Eropa pada hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta
masa itu. Berdasarkan pandangan ini, bahasa yang kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 57
anggota masyarakat). Sebagian lain, dalam entails recognition that all human beings live in
gagasan budaya sebagai suatu keseluruhan yang a world that is created by human beings, and in
dipaparkan di atas, mencoba untuk lebih tegas dan which they find meaning.” Karena itu, “Culture is
lebih spesifik (Raymond Williams: budaya the complex everyday world we are all encounter
mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, and through which we all move.” Berdasarkan
struktur lembaga, yang mengeskpresikan atau definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya
mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk- mencakup (hampir) segala sesuatu dan cultural
bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat). studies, sebagai konsekuensinya, juga mempelajari
Dalam karyanya Keywords, Raymond Will- (hampir) segala sesuatu!10
iams menyarankan tiga batasan luas tentang Namun, kendatipun cultural studies
budaya. Pertama, budaya bisa dipakai untuk tampaknya merupakan kajian yang paling sukar
menunjuk pada proses umum tertentu dari ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti bahwa
perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika segala sesuatu dapat masuk menjadi bahasan cul-
sebuah masyarakat. Kedua, budaya dimaknai pula tural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci
sebagai suatu jalan hidup spesifik yang dianut baik karakteristik cultural studies (CS) sbb.
oleh orang, periode, maupun oleh sebuah kelompok 1. CS bertujuan mengkaji pokok persoalan dari
tertentu dalam masyarakat. Ketiga, budaya dapat sudut praktik kebudayaan dan hubungannya
dipakai untuk menunjuk karya-karya dan praktik- dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah
praktik intelektual, terutama aktivitas estetik. mengungkapkan hubungan kekuasaan dan
Dalam karyanya yang lain, Williams juga menyebut mengkaji bagaimana hubungan tersebut
tiga kategori umum dalam pengertian kebudayaan. mempengaruhi dan membentuk praktik
Pertama, definisi ‘ideal’—budaya dianggap kebudayaan.
merupakan satu proses penyempurnaan 2. CS tidak hanya studi tentang budaya, seakan-
kehidupan manusia (human perfection) dalam term akan ia merupakan entitas tersendiri yang
nilai-nilai absolut atau universal tertentu. Kedua, terpisah dari konteks sosial dan politiknya.
definisi bersifat ‘dokumenter’—budaya dipahami Tujuannya adalah memahami budaya dalam
sebagai susunan intelektual dan karya imajinatif segala bentuk kompleksnya dan menganalisis
berisi catatan pemikiran dan pengalaman manusia. konteks sosial dan politik tempat budaya
Ketiga, definisi ‘sosial’—budaya sebagai suatu mengejawantahkan dirinya.
deskripsi dari sebuah jalan hidup partikular, yang 3. Budaya dalam CS selalu menampilkan dua
mengekspresikan makna-makna dan nilai-nilai fungsi: ia sekaligus merupakan objek studi
tertentu bukan hanya dalam seni dan proses belajar, maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik.
melainkan juga pada institusi-institusi dan perilaku CS bertujuan, baik usaha pragmatis maupun
sehari-hari. Dengan begitu banyaknya pemahaman ideal.
menyangkut budaya, tak heran jika Franz Magnis- 4. CS berupaya membongkar dan mendamaikan
Suseno (1991) menulis, kebudayaan adalah pengotakan pengetahuan, mengatasi
“seluruh hamparan alam semesta sejauh telah perpecahan antara bentuk pengetahuan yang
ditandai oleh eksistensi manusia.”9 tak tersirat (yaitu pengetahuan intuitif
Edgar & Sedgwick (1999) dalam bukunya Key berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif
Concepts on Cultural Theory menulis, istilah “cul- (yang dinamakan universal). CS
ture” memang tidak mudah didefinisikan, karena mengasumsikan suatu identitas bersama dan
memiliki makna yang berbeda-beda dalam beragam kepentingan bersama antara yang mengetahui
konteks. Kendati demikian, konsep tentang dan yang diketahui, antara pengamat dan yang
budaya yang mendasari cultural studies dapat diamati.
ditemukan bermuara pada antropologi kultural, 5. CS melibatkan dirinya dengan evaluasi moral
sebagaimana cultural studies itu sendiri. “... It masyarakat modern dan dengan garis radikal

58 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


tindakan politik. Tradisi CS bukanlah tradisi Prancis semisal Korsika, dulunya pernah terlepas
kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi dari wilayah Prancis sehingga memperlihatkan
yang punya komitmen bagi rekonstruksi sosial kultur yang unik. Ini belum lagi termasuk gerakan
dengan melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, radikal mahasiswa di tahun 60-an (yang antara lain
CS bertujuan memahami dan mengubah struktur dipimpin Michel Foucault langsung di jalanan)
dominasi di mana-mana, namun secara khusus yang turut mewarnai gejolak revolusi sosial
lagi dalam masyarakat kapitalis industrial. Prancis. CS Prancis kebanyakan berbicara tentang
Istilah kunci yang kerap dipakai oleh CS adalah ‘kesepian’ kaum imigran di negara baru mereka,
membongkar praktik kekuasaan, membongkar dan ‘kebingungan identitas’ di tengah
hegemoni ideologi dan wacana tertentu. Dilihat keberagaman Prancis yang menempatkan budaya
dari akar sejarahnya yang bermula dari semangat Prancis sebagai pusat budaya yang lebih supe-
perlawanan terhadap budaya elit tradisi ilmiah, rior. Kajian CS Kanada kebanyakan berpusat pada
penggunaan terminologi tersebut tidaklah kompetisi kultural yang berlangsung di antara
mengherankan. budaya tiga penutur bahasa dominan: Inggris,
Berdasarkan karakteristik itu pula, CS Prancis, dan bahasa asli Kanada sendiri. Sementara
membedakan diri dengan praktik-praktik analisis CS India, mengangkat semangat perlawanan anak
budaya, baik melalui komparasi budaya atau benua asli menghadapi praktik-praktik kolonialisme
grounded research, seperti dilakukan oleh (lewat studi rekonstruksi sejarah di mana sejarah
antropologi kultural. CS, sekali lagi, tidaklah direinterpretasi dari kacamata ‘korban penjajah’
membicarakan bagaimana ‘wajah’ atau ‘karakter’ yang jelas sangat berbeda dengan bangun sejarah
budaya tertentu. Dalam upaya menggambarkan yang dikonstruksi ‘sang penjajah’) maupun
wajah atau karakter budaya tertentu, CS akan selalu pascakolonialisme (ketika Barat memperlakukan
menghubungkan dengan praktik-praktik budaya Timur sebagai ‘the other’ yang tidak saja
yang menghegemoni. Ada tudingan bahwa CS bertentangan dan berbeda, namun juga
tidak bebas nilai. Ini diakui oleh para peneliti CS memposisikan Barat sebagai pihak Adikuasa dan
sendiri, yang memang sedari awal bukan saja superior berhadapan dengan Timur yang eksotik
mengakui bahwa fakta tidaklah bebas nilai dan namun inferior).
bahwa realitas merupakan hasil konstruksi manusia, Agak sulit menetapkan macam apa bangunan
namun juga secara sadar dan sengaja memilih CS Indonesia. Wajah yang khas tentu akan ada,
berkiprah sebagai cendekiawan yang juga aktivis. mengingat Indonesia punya sejarah dan budaya
Dalam perkembangannya, CS yang digagas yang berbeda dengan wilayah lain. Tapi mesti
sebagai satu disiplin kajian yang khas pada diingat bahwa CS Indonesia merupakan hasil impor
akhirnya memiliki karakter yang berbeda-beda di dari tradisi ilmiah yang sangat berbeda dengan
setiap wilayah. CS Inggris, sebagai cikal bakal CS, keseharian Indonesia, baik dari budaya maupun
dianggap sebagai disiplin yang kini sudah kelewat cara pikir. Budaya impor itu tidak diasimilasikan
formalistik dan kaku, serta menuai kritik karena oleh para culturalist Indonesia ke dalam konteks
terlalu Anglosentris—mengukur segala sesuatu keindonesiaan, namun masih lekat dengan budaya
dari kacamata budaya Anglo-Saxon. Ini berbeda asal importirnya. Contohnya saja dalam
dengan CS Amerika Serikat, yang tampaknya membicarakan cultural studies. Terminologi dan
berpusat pada pemujaan terhadap budaya pop istilah yang dipakai masih merupakan istilah impor,
yang sangat berlebihan. CS Prancis mengalami termasuk istilah cultural studies sendiri. Alih-alih
perkembangan yang sangat menarik di tengah menggunakan istilah ‘kajian atau studi budaya’
pergolakan kelas dan revolusi sosial yang sebagai pengganti cultural studies, para aktivis
disebabkan oleh kehadiran para imigran, di cultural studies tampak lebih menyukai istilah
antaranya dari Aljazair dan Afrika Utara. Dari segi cultural studies yang ditulis dengan italicized
sejarah, perlu diingat pula bahwa beberapa wilayah typography style. Ariel Heryanto11 menilai
fenomena ini menyebabkan CS (baca: cultural stud-
Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 59
ies) Indonesia masih harus berjuang keras untuk budaya militer dalam keseharian masyarakat Indo-
menemukan bentuk orisinalnya. CS Indonesia nesia, hingga tanpa sadar, barangkali, Hilman
juga menurut Ariel berkembang tanpa melalui Hariwijaya sang pengarang Lupus menempatkan
proses sejarah ilmiah sebagaimana dialami para setting kisah Lupus bak berlangsung dalam arena
perintis CS12. “It is cultural studies without any militer, lengkap dengan segala atribut dan kode-
‘significant others.” Akibatnya, jelas Ariel, “... kodenya, justru di tengah semangat perlawanan
could be far reaching.” nan menggebu-gebu terhadap disiplin dan
Bagaimanapun, dari segi materi kajian, Indo- kemapanan ala seragam hijau.
nesia sesungguhnya punya sumber-sumber Sama halnya dengan Prancis, Indonesia juga
budaya, sosial, dan historis yang melimpah pun memiliki komposisi penduduk yang sangat
tak kalah unik dibandingkan kawasan lain yang heterogen. Ratusan etnis menjadi bagian Indone-
sudah lebih dulu mengembangkan CS. Indonesia, sia, dan dalam upaya melanggengkan status quo,
dengan kata lain, memiliki ‘modal budaya’ dan kerap terjadi praktik hegemoni budaya yang
‘modal sejarah’ yang cukup kuat. dilakukan etnis budaya tertentu demi
Dari aspek ‘modal sejarah’, CS dengan kepentingannya semata. Studi CS dalam wilayah
semangat perlawanannya sangat relevan ini membicarakan perebutan kekuasaan dan
diterapkan di Indonesia untuk mengkaji bagaimana dominasi budaya tertentu yang direpresentasikan
praktik kekuasaan mewujud dalam praktik dalam arena-arena khusus. Penelitian Novi
keseharian masyarakat Indonesia—disadari atau Anugrajekti15 dari Desantara Institute for Cultural
(kerap) tidak disadari. Sebagaimana halnya India, Studies membahas kiprah perempuan dalam seni
Indonesia pun sempat mengalami masa tradisi, seperti tayub, jaipong, gandrung,
kolonialisme yang cukup lama hingga mental-men- ronggeng, dombret, yang dibacanya sebagai
tal kolonialisme terlestarikan bahkan sampai saat suatu resistensi kultural atas penindasan dan
ini. Sejumlah penelitian yang pernah dilakukan subordinasi terhadap identitas mereka. Alia Swas-
memperlihatkan minat atas topik tersebut. tika16 dari Kunci Cultural Studies juga melakukan
Misalnya, studi yang dilakukan oleh Sulistini Dwi penelitian yang menarik seputar slogan girl power
Putranti (2002)13 tentang menjamurnya Bursa yang memiliki arti penting bagi remaja perempuan
Komoditi Second Branded menunjukkan untuk “ ... mempertanyakan kembali identitas
keterkaitan fenomena tersebut dengan kuatnya keperempuanannya, melihat kembali perannya
hegemoni produk bermerek luar negeri dalam benak dalam lingkup sosial, dan pada akhirnya
konsumen Indonesia. Penelitian ini menggugat ketimpangan yang mereka rasakan
mengimplikasikan betapa penjajahan kolonialisme dalam masyarakat terhadap peran remaja laki-laki
kini dengan sukses telah digantikan oleh dan remaja perempuan” (Swastika, 2002).
penjajahan kapitalisme internasional. Penelitian Contoh-contoh penelitian tadi memperlihatkan
lain yang dilakukan Safrina Noorman (2002)14 relevansi CS dengan kondisi sosiokultural Indo-
tentang humor yang muncul pada novel serial Lu- nesia yang begitu kaya.
pus memperlihatkan dominasi bahasa militer,
bahkan pada level joke remaja, di tengah semangat Cultural Studies dan Komunikasi
perlawanan dan pemberontakan mereka terhadap
segala macam aturan. Secara jeli, Noorman berhasil Komunikasi merupakan unsur inheren dalam
mengidentifikasi sejumlah istilah dan frase yang kebudayaan. Secara sederhana bisa dipahami
terkait dengan bahasa militer, seperti diseret ke bahwa budaya muncul sebagai hasil interaksi, dan
depan kelas untuk diinterogasi, guru menyerbu interaksi tak mungkin terjadi di antara anggota
ke dalam kelas sambil membawa gunting, guru kelompok budaya tanpa adanya komunikasi. Tidak
galak seperti tekab, dan lain-lain. Ini sulit sesungguhnya memahami persinggungan CS
menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh dengan komunikasi. Seperti diungkapkan Nick

60 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


Couldry17 dalam bukunya Inside Culture: Re-Imag- tujuan.” Harnack dan Fest (1964) mendefinisikan
ining the Method of Cultural Studies (2000), “CS komunikasi sebagai “suatu proses ketika manusia
is an international, multicentered discipline.” berinteraksi untuk mencapai tujuan
Namun, untuk melacak bagaimana dan dalam pengintegrasian, baik antar individu dalam
wacana macam apa komunikasi terkait dengan CS, kelompok tadi maupun di luar kelompok tersebut.”
perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana Atau, sebagaimana dikatakan Edwin Newman
komunikasi didefinisikan, utamanya dalam ranah (1948), “komunikasi adalah suatu proses ketika
disiplin budaya. sejumlah orang diubah menjadi kelompok yang
Buku-buku textbook komunikasi berfungsi.” Definisi Newman memperluas
mendefinisikan komunikasi dalam berbagai aspek. pemahaman komunikasi tidak lagi sekadar masalah
Yang paling sederhana, umpamanya, datang dari penyampaian pesan belaka, tapi menjadi suatu
Berelson dan Steiner yang memfokuskan pada proses ketika terjadi suatu perubahan sosial yang
unsur penyampaian: “Komunikasi adalah distimulir oleh transfer message.
penyampaian informasi, ide, emosi, ketrampilan, Keseluruhan definisi komunikasi di atas dapat
dan seterusnya, melalui penggunaan simbol-kata, ditemukan dalam karya klasik B. Aubrey Fisher
gambar, angka, grafik, dan lain-lain.” Pada 1945, Perspectives on Human Communication (1984),
duet Shannon dan Weaver, yang terkenal dengan yang mengulas teori-teori komunikasi dari
eksperimentasi meninjau komunikasi dari berbagai sudut. Ia menulis, mendefinisikan
perspektif mekanis menambahkan unsur inheren komunikasi merupakan hal yang mudah. Yang sulit
lainnya, yaitu bahwa komunikasi pun “ ... mencakup dan amat sangat kompleks adalah memahami
semua prosedur melalui mana pikiran seseorang komunikasi.
dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.” Dalam kajian budaya, komunikasi merupakan
Perkara bagaimana satu pikiran mempengaruhi sebentuk praktik budaya—suatu tindakan aktual
pikiran lain lantas diangkat Schachter, yang pada terkait dengan performance dan pewarisan nilai-
1961, memperspektif komunikasi dari Tradisi Kritik nilai budaya. Komunikasi karenanya menjadi
dengan mendefinisikan komunikasi sebagai “... komponen penting kebudayaan. Tanpa
mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan.” komunikasi, kebudayaan tak akan muncul, karena
Dance (1967) dari sisi psikologi perilaku manusia tanpa komunikasi tak akan terjalin interaksi dalam
yang luas merinci komunikasi manusia sebagai hubungan makna yang berarti di antara masyarakat
pengungkapan respon melalui simbol-simbol ver- pemilik kebudayaan tersebut. Namun, kendati
bal, di mana komunikasi diposisikan sebagai diakui sebagai suatu praktik budaya, tidak semua
perangsang (stimuli) bagi respons yang tindakan masyarakat lantas serta-merta dapat diakui
terungkapkan. Fotheringham (1966) menarik sebagai komunikasi. Mari kita simak gagasan
komunikasi dalam kutub pragmatis. Menurutnya, sentral Juergen Habermas, yang dituangkan dalam
komunikasi dilaksanakan untuk “menolong si karya klasiknya The Communicative Action.
penerima menangkap arti yang sama sebagaimana Menurut Habermas18, dalam budaya pada
yang ada dalam pikiran si komunikator.” Gode dasarnya terdapat dua tipe tindakan. Pertama,
(1959) menyebutnya dengan istilah “kebersamaan bentuk-bentuk tindakan instrumental. Kedua, apa
arti.” Pada akhirnya, istilah komunikasi kemudian yang disebutnya sebagai communicative action.
diperluas dalam hubungan sosial yang fungsional. Bentuk-bentuk tindakan instrumental bergantung
Colin Cherry, misalnya, mencoba merangkumnya pada bentuk-bentuk egosentrik strategi dan
dalam pendefinisian komunikasi sebagai kalkulasi. Sementara communicative action, di
“pembentukan satuan sosial yang terdiri dari mana para aktor dipersiapkan untuk berkomitmen
individu-individu melalui penggunaan bahasa dan dengan norma-norma, merupakan hasil
tanda. Memiliki kebersamaan dalam peraturan- kesepakatan rasional. Tindakan komunikatif
peraturan, untuk berbagai aktivitas pencapaian berkenaan dengan kemungkinan pencapaian

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 61
kesepakatan atas (1) dunia objektif; (2) dunia sosial makna dinegosiasikan oleh para pemakainya dalam
berkaitan dengan institusi, tradisi, dan nilai-nilai; kebudayaan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu
(3) dunia subjektif masing-masing individu. dijawab adalah bagaimana mekanisme komunikasi
Menurut Habermas kita semua mampu meraih sebagai tindakan produksi dan negosiasi makna
pemahaman dari ketiga dunia yang berkaitan satu- berlangsung di dalam medan budaya.
sama lain ini dikarenakan fakta bahwa sebagai Pada dasarnya, medan budaya merupakan a
manusia kita merupakan bagian dari komunitas marketplace for exchanging ideas and meanings.
linguistik intersubjektif. Bagi Habermas (1981), Dalam perspektif kaum pluralis, medan budaya
fakta bahwa kita semua adalah pengguna bahasa tersebut adalah a free marketplace, di mana
bermakna bahwa kita secara komunikatif mampu tercipta konsensus-konsensus tertentu secara
mencapai pemahaman satu sama lain. Dengan alamiah dalam suatu ekuilibrium. Apa yang
penjelasan Habermas ini, maka jelaslah bahwa dinamakan makna dalam tradisi kelompok pluralis
sebagai sebuah praktik, khususnya praktik (fungsionalisme struktural) merupakan produk
budaya, yang tergolong sebagai komunikasi tindakan komunikasi yang alamiah dan spontan.
hanyalah tindakan terkait dengan bahasa dan Ini berbeda dengan pandangan perspektif
komunitas linguistik intersubjektif. Di luar perkara Paradigma Kritis, yang menganggap bahwa free
itu, tindakan budaya hanya merupakan suatu aksi marketplace itu sekadar gagasan semu atau
instrumental. bagian kesadaran yang dipalsukan. Dalam
Bahasa dan komunitas linguistik intersubjektif pandangan Kritis, konsensus didefinisikan secara
menjadi komponen penting dalam mengandaikan sosial, hasil dari suatu konstruksi sosial. Dengan
konsep komunikasi sebagai suatu praktik budaya. demikian, pemunculan makna tidaklah bersifat
Bahasa dipahami sebagai abstraksi dari fenomena, alamiah. Dikemukakan Stuart Hall,19 “konsensus
mulai dari fenomena konkret sedehana hingga tidak timbul secara alamiah dan spontan, tetapi
fenomena konsep dan gagasan yang luar biasa terbentuk lewat proses yang kompleks yang
rumitnya. Bahasa tidak akan sukses dipertukarkan melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi.”
di antara komunitasnya jika maknanya tidak Karena itu, dalam perspektif Kritis, makna yang
dipahami. Tanpa makna, tanpa bahasa, tidak akan tidak tercipta secara alamiah itu tidak lagi
tercipta komitmen atas nilai budaya tertentu. ditafsirkan sebagaimana adanya secara spontan.
Komunikasi dengan demikian melibatkan tindakan- Makna dan penafsirannya kerapkali dipaksakan
tindakan penciptaan dan penafsiran makna dalam atas dasar kepentingan tertentu. Dengan kata lain,
suatu medan budaya. makna diproduksi melalui intervensi.
Medan budaya sendiri merupakan istilah yang Terlepas dari kedua pandangan yang saling
diperkenalkan Pierre Bourdieu. Bourdieu berlawanan tersebut, satu hal agaknya disepakati
mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, bersama, yaitu bahwa medan budaya menjadi pusat
nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang bertemunya gagasan-gagasan, dan bahwa
menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian komunikasi, ditilik dari sudut ini, menjadi praktik
memproduksi dan memberi “wewenang” pada negosiasi makna yang pada akhirnya mengkristal
berbagai bentuk wacana dan aktivitas. Medan menjadi peraturan, nilai-nilai, atau kepercayaan
budaya juga adalah konflik antarkelompok atau tertentu. Proses ini tak pernah berhenti sepanjang
antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung budaya itu masih ada. Sebuah budaya muncul,
untuk menentukan apa yang dianggap sebagai terlestarikan, atau berubah karena adanya
“modal” dan bagaimana ia harus didistribusikan. dialektika tanpa henti dari gagasan-gagasan dan
Komunikasi sebagai suatu praktik budaya kode-kode makna yang dipertemukan. Begitu
berlangsung dalam wilayah medan budaya. Dalam dialektika itu berhenti, habis pulalah budaya
medan budaya, komunikasi dipahami sebagai tersebut.
tindakan produksi makna dan bagaimana sistem Beranjak dari pemikiran tersebut, maka

62 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


kebudayaan dimaknai pula sebagai totalitas mendekati struktur sosial dengan cara berbeda, di
tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna.20 mana konteks berperan penting dalam setiap ruang
Sebagai konsekuensinya, sejumlah karya CS lantas dan waktu. Konteks sendiri kini dimaknai sebagai
memahami komunikasi sebagai tindakan produksi con-text—yaitu suatu konfigurasi teks yang harus
makna, dan bagaimana sistem makna “dibaca” atau diinterpreatasikan, sebagai hasil
dinegosiasikan oleh pemakainya dalam proses perubahan historis.
kebudayaan.21 Komunikasi merupakan tindakan Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa
budaya, yang memerlukan berbagai bentuk persinggungan antara disiplin komunikasi dengan
kemelek-hurufan budaya (cultural literacy).22 cultural studies sesungguhnya merupakan hal
Persinggungan disiplin komunikasi dengan yang bermanfaat karena menghadirkan inovasi,
cultural studies sendiri tampak jelas dari kontras cara pandang baru, dan terobosan kreatif dalam
antara dua definisi komunikasi dari sudut pandang riset-riset komunikasi. Kendati demikian, tidak
yang berbeda. Dari perspektif social-scientific, semua kajian seputar tindakan komunikasi sebagai
Jensen & Jankowski (1993) mencatat, Carey (1989) praktik produksi makna dalam medan budaya dapat
mendefinisikan komunikasi sebagai “...meaning dikategorikan sebagai cultural studies. Sesuai
production as a social ritual and as a transmis- dengan semangatnya, cultural studies dalam
sion of contents from producers to audiences.” Isi mengkaji komunikasi sebagai praktik produksi
(content), produser (producers), dan khalayak (au- makna akan senantiasa membacanya dalam
dience) adalah konsep khas komunikasi, yang dari kerangka paradigma Kritik. Artinya, komunikasi
perspektif humanistik lantas dikonseptualisasikan dalam ranah CS akan dipandang sebagai praktik
secara berbeda. Content menjadi ekspresi dari yang dihubungkan dengan relasi kekuasaan.
subjektivitas dan estetika tertentu. Sekaligus pula
sebagai representasi dari konteks tertentu. Beberapa Contoh: Girl Power, Meteor
Tiga konstituen proses komunikasi, yaitu Garden, dan Woman Bandit
pesan komunikasi, komunikator, dan struktur sosial
juga menjadi perhatian humanistik, yang Amatan sekilas terhadap riset komunikasi,
membahasakannya secara berbeda. Pesan baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun penelitian-
komunikasi dalam konteks humanistik menjadi penelitian reguler para dosen komunikasi
wacana (discourse), komunikator menjadi subjec- memperlihatkan dominasi paradigma positivistik.
tivity, sedangkan struktur sosial menjadi konteks Penelitian banyak berkisar pada studi tentang efek
(context). Konsep wacana mangacu pada setiap komunikasi dalam berbagai tahapan (kognitif,
upaya pemanfaatan bahasa, atau sistem semiotik afektif, dan konatif) dengan mendasarkan diri pada
lainnya, dalam konteks sosial. Implikasinya, pesan model-model behavioristik yang dipinjam dari
komunikasi yang dahulu kerap diperlakukan disiplin psikologi kognitif. Ini mencakup model S-
sebagai medium beku, kini dimaknai sebagai me- R (Stimulus-Respons), Teori Social Learning
dium social construction of reality—meminjam Albert F. Bandura, hingga pada model-model
istilah terkenal Berger dan Luckmann (1966)— komunikasi yang objektif-positivistik.
suatu medium yang sangat cair, melibatkan interaksi Dengan munculnya cultural studies, terjadi
keseharian dan kategorisasi kesadaran. Konsep perluasan wilayah penelitian komunikasi. Secara
subjectivity juga menempatkan komunikator dalam kreatif, para periset –entah itu yang mengklaim
posisi khusus yang berbeda. Jika dahulu berasal dari disiplin komunikasi maupun bukan—
komunikator dipandang sebagai agen yang penuh memanfaatkan teori-teori linguistik sosial untuk
kuasa dan relatif otonom dari pengaruh eksternal, menelaah produksi wacana secara kritis.
kini, dalam kaitannya dengan munculnya Penggunaan semiotika dalam komunikasi sebagai
strukturalisme, subjek ditempatkan di dalam perangkat riset mulai mendapat perhatian serius.
bahasa. Sementara itu, teori komunikasi humanistik Peneliti komunikasi mulai memperhatikan proses

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 63
pertandaan yang terjadi dalam setiap fenomena televisi ditempati oleh kursi Ayah selaku kepala
interaksi sosial. Selain itu, dengan memanfaatkan keluarga, atau siapa pun yang punya kuasa dan
konsepsi sign yang tidak terbatas pada teks tertulis menjadi pusat relasi antarkeluarga (di keluarga lain
semata, para periset komunikasi kini mulai meneliti yang memanjakan anaknya, sang anaklah penguasa
aspek-aspek non verbal yang sebelumnya jarang itu). Ayah, atau pusat relasi antarkeluarga itu
tersentuh karena tak terukur secara kuantitatif. pulalah yang punya kuasa memegang remote con-
Yang lebih menarik lagi, penelitian seputar struktur trol untuk menentukan acara TV yang akan
sosial dan fungsi lingkungan kini tidak lagi ditontonnya. Posisi ini secara hierarkis berbeda-
dibakukan sekadar pada pengaruh lingkungan beda dalam sebuah keluarga yang sama-sama
sosial ala DeFleur, tapi diperluas dalam upaya penikmat televisi. Substitusinya pun dilakukan
mencapai suatu keutuhan struktur, tatkala secara hierarkis.
berusaha mengidentifikasi pengaruh ideologi Masih banyak contoh lain, terutama penelitian
dalam produksi makna. yang terpusat pada media massa, karena media
Beberapa contoh bisa disebutkan di sini. Alia dianggap sebagai salah satu sumber produksi
Swastika, dalam penelitian berjudul “Politik Remaja tanda yang potensial. Penelitian Djatmika 25
Membaca Media” (2003)23, meneropong proses terhadap berita tentang kriminalitas yang dilakukan
negosiasi makna yang terjadi di antara remaja putri perempuan memperlihatkan beda perlakuan
pembaca majalah Gadis dalam membentuk konsep terhadap bandit perempuan dan laki-laki. Bila
‘Girl Power’. Di sini ditunjukkan bahwa para pelakunya adalah perempuan, media cenderung
pembaca yang diteliti ternyata menempati posisi- mengeksploitasi dan membesar-besarkannya.
posisi pembacaan yang berbeda. Pada akhirnya, Sementara, bila pelakunya adalah laki-laki, media
Swastika menyimpulkan bahwa bagi remaja putri tidak mengeksploitasinya. Penelitian ini
yang menjadi respondennya, konsep ‘Girl Power’ membuahkan kesimpulan bahwa ideologi patriarkat
lebih bisa diterima ketimbang feminisme. Paling masih mendominasi wajah pers daerah (dalam hal,
tidak, melalui kampanye Girl Power di media massa ia meneliti harian terbesar di Jawa Tengah, yaitu
remaja, secara tidak langsung para remaja putri Suara Merdeka). Masih terkait dengan ideologi
percaya bahwa mereka memiliki potensi yang sama patriarkat yang dominan, Intan Paramaditha26 dalam
dengan laki-laki. Junaidi24, dalam penelitian yang penelitiannya memperlihatkan bahwa majalah-
diangkat dari histeria terhadap F4 dan Meteor Gar- majalah wanita Indonesia masa kini, yang kerap
den, mencoba mendiskusikan bagaimana makna mendengungkan jargon feminisme dan liberalisasi
kultural tontonan itu, dan bagaimana tontonan perempuan, ternyata tak lepas dari dominasi
tersebut dikonsumsi hingga memunculkan reaksi ideologi patriarkat. Studi terhadap representasi
sedemikian. Pembacaan terhadap F4 dan serial perempuan dan posisi mereka dalam majalah
Meteor Garden memperlihatkan beberapa Femina, Female, dan Cosmopolitan memperlihatkan
kemungkinan makna kultural yang muncul dari tiga perbedaan cara merepresentasikan perempuan.
posisi berbeda yang diperlihatkan responden saat Kendati demikian, pada dasarnya, identitas kultural
mengonsumsi F4; perbedaan posisi tersebut yang dibentuknya tetap tidak terlepas dari
didasarkan pada tanggapan-tanggapan responden pengaruh laki-laki sebagai pusatnya.
terhadap ideologi budaya massa yang bermuara Bila dicermati, dua penelitian tadi sama-sama
pada pembentukan identitas kultural responden meneliti produk media, yaitu berita dan majalah.
yang berbeda-beda. Relasi kekuasaan dengan cara Kesimpulan keduanya berpijak pada asumsi
mengkonsumsi media juga tampak dalam studi Kris adanya ideologi tertentu yang maknanya
Budiman (2002), yang dituangkan dalam buku saku diproduksi dalam berbagai tanda yang
berjudul Di Depan Kotak Ajaib: Menonton Televisi direpresentasikan di media. Harus diakui, banyak
Sebagai Praktik Konsumsi. Dalam observasinya, studi tentang cultural studies berpusat pada me-
Budiman mencatat, posisi paling nyaman menonton dia massa. Ini bisa dipahami mengingat media

64 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


massa merupakan salah satu wahana produksi cultural studies. Juga, tidak terlepas dari ambisi peneliti
tanda yang sangat potensial, menyentuh khalayak sendiri yang ingin membuat karya penelitiannya lebih
impresif dengan menaburkan berbagai istilah asing. “
dalam jumlah besar (massa), dan karenanya ... Many Indonesians who engaged in cultural studies
memberikan kemungkinan proses negosiasi makna are reluctant to adopt the common Indonesian trans-
yang berbeda-beda dalam jumlah besar pula. lation ‘kajian budaya’ for cultural studies. The many
Kendati demikian, sebenarnya, setiap aspek dan italicized phrases in English that scatter in the body of
articles in Indonesia should come as no surprise ...”
bentuk komunikasi berpotensi untuk ditelaah dari Tulisan ini mencoba mengambil jalan tengah dengan
perspektif cultural studies. Terlebih bila kita menggunakan kedua istilah tersebut—cultural studies
mengadopsi makna tanda (sign) yang tidak dan kajian budaya sebagai terjemahannya—bersama-
disempitkan hanya dalam bentuk teks tertulis sama. Istilah cultural studies masih digunakan bukan
karena ambisi penulis membuat tulisan yang impresif,
semata. melainkan semata-mata untuk mendekati pembaca yang
lebih familiar dengan istilah cultural studies ketimbang
Penutup kajian budaya. Ini, lagi-lagi mengacu pada pendapat
Ariel Heryanto, “Several attemps of Indonesian trans-
Cultural studies, sebagaimana metode lation have been, and their success depends not only
on the crafting skills of the translator and their persis-
kualitatif dalam riset komunikasi, masih merupakan tence, but also on audience’s level of familiarity with
hal baru bagi disiplin komunikasi di Indonesia yang relevant literature in English.” (“Cultural Studies’ Sig-
selama ini didominasi oleh paradigma positivistik. nificant Others: The Case of Indonesia,” makalah Ariel
Isu seputar penutupan The Birmingham Center Heryanto yang dipresentasikan dalam International
Conference on Cultural Studies: Global Local Nexus
on Cultural Studies memang mendukakan dan
on Cultural Studies, Trawas, 3-5 Februari 2003).
menggelisahkan. Tapi tidak sepatutnya membuat 4 Richard Hoggart adalah tutor pendidikan di Universitas
cultural studies kehilangan legitimasinya di ranah Hull, yang kemudian pindah menjadi dosen Sastra Inggris
penelitian komunikasi. Beberapa contoh di Universitas Birmingham. Bukunya, The Uses of Lit-
eracy (1957), memberikan bentuk intelektual yang bisa
penelitian27 yang diperlihatkan tadi menunjukkan,
dikenali sebagai Cultural Studies. Hoggart berpendapat
cultural studies menyegarkan komunikasi dan bahwa hanya seni yang sanggup membawa manusia
memperluas pemahaman tentang komunikasi keluar dari pengalaman keseharian yang terikat waktu.
hingga pada pembacaan tanda-tanda yang Masalahnya, kelas pekerja terjepit di antara elite me-
dia dan elite seni (Sardar&Van Loon, 2001:27).
dihasilkan dari proses produksi makna yang unik
5 Raymond Williams memulai karier akademisnya sebagai
dan berbeda-beda. Pada akhirnya, perluasan dan tutor pendidikan dewasa di Universitas Oxford. Dua
pendalaman pemahaman terhadap proses buku klasiknya, Culture and Society (1958) dan The
komunikasi sebagai fitrah manusia selayaknya Long Revolution (1961) memperlihatkan tendensinya
pada Marxisme.
meningkatkan pula pemahaman akan kemanusiaan
6 E.P. Thompson, dikenal sebagai ilmuwan sekaligus
kita. aktivis—seorang juru kampanye perdamaian untuk
Gerakan Pelucutan Nuklir. Karyanya The Making of
Catatan: the English Working Class (1978) menunjukkan
1 Istilah ‘desa global’ (global village) dilontarkan oleh bagaimana kelas pekerja Inggris muncul periode sejarah
Daniel Lerner. tertentu. Selain pandangannya yang menyegarkan
2 Elite dominan mengekspresikan kekuasaan mereka tentang kelas pekerja (jika dikontraskan dengan
dengan memberi legitimasi dan sorotan pada praktik Marxisme), Thompson juga popular karena
dan bentuk kebudayaan mereka—dengan pertentangan ilmiahnya dengan filosof Marxis lain asal
memproyeksikan “bidang-bidang nilai” mereka. Prancis, Louis Althusser, yang berlangsung hampir
Perjuangan kebudayaan, karena itu, melibatkan perang sepanjang hidupnya.
demi status dan legitimasi kebudayaan (Sardar & Van 7 Stuart Hall, mungkin adalah yang paling popular di antara
Loon, 2001:27 para pendiri cultural studies lainnya, kendati harus
3 Dalam catatan Ariel Heryanto, masih terdapat ditegaskan bahwa ia baru datang belakangan.
kontroversi dalam penggunaan istilah ‘kajian budaya’ Berasal dari keluarga kelas menengah Jamaika yang
sebagai terjemahan dari cultural studies. Ariel antara konservatif, Hall dating ke Inggris setelah memperoleh
lain menduga, ini disebabkan kuatnya pengaruh Inggris, beasiswa Oxford. Sama halnya dengan Thompson, Hall
khususnya the Birmingham Center, sebagai asal muasal dikenal pula sebagai seorang aktivis gerakan New Left

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 65
yang mencoba menyegarkan Marxisme dan Analisis Teks Media, LKiS, 2001.
menyesuaikannya dengan persoalan kontekstual pada 20 Antariksa, Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa.
zamannya. Karya klasiknya “Encoding/Decoding” Artikel dalam Kunci Cultural Studies, edisi 11, Februari
bisa jadi merupakan buku wajib bagi para peminat cul- 2002.
tural studies. 21 Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah
8 Para pendiri Cultural Studies jelas-jelas memperlihatkan tindakan budaya sangat dipengaruhi oleh pemikiran
tendensi mereka kepada Marxisme, dengan kadar yang sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Ini berawal dari
berbeda-beda. Stuart Hall, misalnya, pada tahun 60an pemahamannya bahwa ‘tindakan’ (practice) atau apa
mengedepankan gagasan tentang dominasi budaya yang yang secara actual dilakukan seseorang, merupakan
diilhami hegemoni ala Antonio Gramsci. Raymond bentukan dari (dan sekaligus respon terhadap) aturan-
Williams mengadopsi dua tradisi dalam Marxisme untuk aturan dan konvensi-konvensi budaya (Ibid).
menganalisis perjalanan revolusi yang telah dilalui 22 Kemelekhurufan budaya adalah “perasaan” untuk
masyarakat Inggris. menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang
9 Dikutip dari buku Lubang Hitam Kebudayaan, karya bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan.
Hikmat Budiman, Kanisius 2002, hal. 100. Tindakan adalah performance dari kemelekhurufan
10 Sardar & Van Loon, Cultural Studies for Beginner, hal. budaya (Ibid.)
5 23 Dipresentasikan dalam Indonesia’s International Con-
11 Heryanto, Ariel. Cultural Studies’ Significant Others: ference on Cultural Studies: Global-Local Nexus on
the Case of Indonesia. The paper presented at Cultural Studies, Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari
Indonesia’s International Conference on Cultural Stud- 2003. Alia Swastika adalah peneliti sekaligus penggagas
ies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, East Java jurnal KUNCI, newsletter yang diterbitkan oleh KUNCI
12 “One of the things that distinguishes cultural studies in Cultural Studies Center.
places like Indonesia from those in the ‘West’ is the 24 Ibid. Junaidi berasal dari Universitas Indonesia.
lack of a long and strong consolidated tradition in the Penelitiannya berjudul “F4 and Meteor Garden: Re-
social sciences and humanities (Heryanto, 2002).” ception and Cultural Meanings in Indonesia.” Junaidi
13 Putranti, Sulistini Dwi. Branded Second Hand Shop: berasal dari Universitas Indonesia, Jakarta.
Fulfilling a Lack? The paper presented at Indonesia’s 25 Ibid. Penelitiannya berjudul “Woman Bandits and Their
International Conference on Cultural Studies, Febru- Actions in News Stories: A Stylistic Study”. Djatmika
ary 3th-5 th , 2003, at Trawas, East Java. berasal dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
14 Noorman, Safrina. Being Young, Becoming Adults: 26 Ibid. Penelitiannya berjudul “Cultural Identity and Fe-
Making Meaning of Humor in Young Adult (YA) Fic- male Representation in Indonesian Women;s Maga-
tion “Tangkaplah Daku Kau Kujitak.” The paper also zines.” Intan Paramaditha berasal dari Universitas In-
presented at Indonesia’s International Conference on donesia, Jakarta.
Cultural Studies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, 27 Yang menarik, contoh-contoh penelitian tadi dilakukan
East Java. oleh para peneliti yang tidak berlatar belakang disiplin
15 Anugrajekti, Novi. Resistensi Perempuan Seni Tradisi. komunikasi, melainkan sastra. Di satu sisi ini
The paper presented at Indonesia’s International Con- memperlihatkan batas yang cair antara komunikasi dan
ference on Cultural Studies, February 3th-5th , 2003, at sastra. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan peluang
Trawas, East Java. riset yang sesungguhnya sangat terbuka dan bisa diisi
16 Swastika, Alia. Politik Remaja Membaca Media: oleh para peneliti komunikasi, agar tidak berkutat di
Representasi Konsep Girl Power dalam Kehidupan paradigma yang itu-itu saja.
Sehari-hari Pembaca Majalah Gadis. The paper pre-
sented at Indonesia’s International Conference on Cul-
tural Studies, February 3th-5 th , 2003, at Trawas, East
Java Daftar Pustaka
17 Makalah pengantar dalam pembukaan Indonesia’s In-
ternational Conference on Cultural Studies: Global- Alasuutari, Pertti. 1995. Researching Culture:
Local Nexus on Cultural Studies, 3-5 Februari 2003, Qualitative Method and Cultural Studies. Lon-
Trawas, Jawa Timur. don: SAGE Publications.
18 Dikutip dari “Media, Ethics, and Morality”, Nick
Stevenson. Dalam buku Cultural Methodologies, Jim Antariksa. 2002. “Budaya sebagai Medan
McGuigan (ed.), SAGE Publication, London, 1997, hal. Pertarungan Kuasa.” Artikel dalam KUNCI edisi
66 .
19 Pandangan Hall ini dimuat dalam tulisan klasiknya,
11/02-02/Studi Selebritis.
The Rediscovery of Ideology: The Return of the Re- Anugrajekti, Novi. “Resistensi Perempuan Seni
pressed in Media Studies. Penulis mengutipnya dari
Eriyanto dalam bukunya Analisis Wacana: Pengantar Tradisi.” Penelitian yang dipresentasikan dan

66 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003


dipublikasikan dalam Indonesia’s International Faculty of Letters Petra Christian University.
Conference on Cultural Studies: Global-Lo- Collection of Unedited Conference Paper, 3-5
cal Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari February 2003 Grand Trawas Hotel, Trawas,
2003. Mojokerto, East Java, Indonesia (Vol. 1 & 2).
Appignanesi, Richard & Chris Garrat. 1995. Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communi-
Mengenal Posmodernisme For Beginners cative Action: Reason and the Rationalization
(penerjemah: Alfathri Adlin). Bandung: Mizan. of Society (Volume 1) (Translated by Thomas
McCarthy)., Boston: Beacon Press.
Astuti, Santi Indra. 2000. “Revitalisasi Ilmu
Komunikasi Melalui Riset.” Artikel dalam jurnal _____. 1984. The Theory of Communicative Ac-
komunikasi Mediator volume 1, Th. 1, 2000. tion: Lifeworld and System; A Ctitique of Func-
tionalist Reason. Boston: Beacon Press.
_____. 2002. “Seks, Gender, dan Representasi Me-
dia dalam Karya Ayu Utami.” Artikel dalam Heryanto, Ariel. 2003. Cultural Studies’ Signifi-
jurnal komunikasi Mediator volume 3, No. 1, cant Others: The Case of Indonesia. Makalah
2002. yang dipresentasikan dan dipublikasikan dalam
Indonesia’s International Conference on Cul-
Berger, Arthur Asa. 1998. Media Research Tech-
tural Studies: Global-Local Nexus di Trawas,
niques (2nd Edition). London: SAGE Publica-
Jawa Timur, 3-5 Februari 2003.
tions.
Jensen, Klaus Bruhn & Nicholas W. Jankowski.
Budiman, Kris. 2002. Di Depan Kotak Ajaib:
1991. A Handbook of A Qualitative Method-
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi.
ologies for Mass Communication Research.
Yogyakarta: Galang Press.
Canada: Routledge.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and
Junaidi. 2003. “F4 and Meteor Garden: Reception
Research Design: Choosing Among Five Tra-
and Cultural Meanings in Indonesia.” Penelitian
ditions., London: SAGE Publications.
yang dipresentasikan dan dipublikasikan dalam
Crouteau, David & Willam Hoynes. 2000. Indonesia’s International Conference on Cul-
MediaSociety: Industries, Images, and Audi- tural Studies: Global-Local Nexus di Trawas,
ences (2nd Edition). London: Pine Forge Press. Jawa Timur, 3-5 Februari 2003.
Djatmika. 2003. “Woman Bandits and Their Ac- Mattelart, Armand & Michelle Mattelart. 1998.
tions in News Stories: A Stylistic Study.” Theories of Communication: A Short Introduc-
Penelitian yang dipresentasikan dan tion. London: SAGE Publications.
dipublikasikan dalam Indonesia’s International
McGuigan, Jim. 1997. Cultural Methodologies.,
Conference on Cultural Studies: Global-Lo-
London: SAGE Publications.
cal Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari
2003. Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian
Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
Edgar, Andrew & Peter Sedgwick. 1999. Key Con-
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosda.
cepts in Cultural Theory., London: Routledge.
Noorman, Rd. Safrina. 2002. “Being Young, Becom-
Eriyanto. 2000. Analisis Wacana: Pengantar
ing Adults: Making Meaning of Humor in
Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Young Adult (YA) Fiction Tangkaplah Daku Kau
_____. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Kujitak.” Penelitian yang dipresentasikan dan
Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS. dipublikasikan dalam Indonesia’s International
Faculty of Humanities University of Indonesia & Conference on Cultural Studies: Global-Lo-
cal Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari

Santi Indra Astuti. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu Pengantar 67
2003. Semiotik, dan Analisis Framing. Rosda,
Bandung.
Paramaditha, Intan. 2003. “Cultural Identity and
Female Representation in Indonesian Women’s _____. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung:
Magazines.” Penelitian yang dipresentasikan Rosda.
dan dipublikasikan dalam Indonesia’s Interna-
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan
tional Conference on Cultural Studies: Glo-
Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS.
bal-Local Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5
Februari 2003. Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (ed.). 1996.
Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia
Putranti, Sulistini Dwi. “Branded Second Hand
Pustaka Utama.
Shop: Fulfilling a Lack?” Penelitian yang
dipresentasikan dan dipublikasikan dalam Swastika, Alia. 2002. “Politik Remaja Membaca
Indonesia’s International Conference on Cul- Media.” Penelitian yang dipresentasikan dan
tural Studies: Global-Local Nexus di Trawas, dipublikasikan dalam Indonesia’s International
Jawa Timur, 3-5 Februari 2003. Conference on Cultural Studies: Global-Lo-
cal Nexus di Trawas, Jawa Timur, 3-5 Februari
Sardar, Ziauddin & Boris Van Loon. 2002. Cultural
2003.
Studies for Beginners (penerjemah: Alfathri
Aldin). Bandung: Mizan. Tulloch, John. 1999. Performing Culture: Stories
of Expertise and the Everyday. London: SAGE
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu
Publications.
Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

M M M

68 M EDIATOR, Vol. 4 No.1 2003

Anda mungkin juga menyukai