Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

CULTURAL ENCOUNTER THEORIES

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Lintas Budaya

Dosen Pengampu: Silvia Riskha Fabriar, M. S. I

Disusun Oleh :

Lina Hanifati Atika 2101026050

Salwa Khabibah 2101026066

M. Faishol Chibban 2101026082

Maulana Ariq Al Dzarify 2101026172

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Cultural Encounter mengacu pada interaksi antara orang-
orang dari budaya yang berbeda, yang dapat mengarah pada
pertukaran ide, nilai, dan praktik. Interaksi ini dapat terjadi dalam
berbagai setting, termasuk melalui perjalanan, migrasi, atau bahkan
komunikasi virtual. Cultural Encounter telah menjadi bahan kajian
bagi banyak sarjana, dan terdapat beberapa teori yang mencoba
menjelaskan dinamika perjumpaan budaya.
Salah satu teori Cultural Encounter yang paling menonjol
adalah relativisme budaya. Teori ini menunjukkan bahwa budaya
harus dipahami dalam istilah mereka sendiri dan tidak dinilai dengan
standar budaya lain. Teori lain adalah imperialisme budaya, yang
menunjukkan bahwa budaya yang lebih kuat dapat memaksakan
nilai dan praktik mereka ke budaya yang lebih lemah.
Teori penting lainnya adalah akulturasi, yang mengacu pada
proses perubahan budaya yang terjadi ketika dua budaya atau lebih
bersentuhan. Akulturasi dapat mengambil banyak bentuk, dari
asimilasi (di mana satu budaya menyerap yang lain) hingga integrasi
(di mana dua budaya berbaur).
Teori lain termasuk hipotesis kontak, yang menunjukkan
bahwa peningkatan kontak antara anggota budaya yang berbeda
dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi, dan hibriditas, yang
menekankan penciptaan bentuk budaya baru melalui pencampuran
elemen budaya yang berbeda.
Secara keseluruhan, studi tentang perjumpaan budaya
penting untuk memahami kompleksitas interaksi manusia dan cara-
cara di mana budaya yang berbeda dapat saling mempengaruhi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa probabilitas yang muncul dalam peristiwa komunikasi lintas
budaya?
2. Apa sajakah teori-teori komunikasi antar budaya?
3. Apa sajakah teori-teori lintas budaya?
PEMBAHASAN
A. Probabilitas dalam Komunikasi Lintas Budaya

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda karenanya


ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita
yang dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya.
Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu
mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan
selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa kecilpun
perbedaan itu.

Perbedaan-perbedaan ekspetasi dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya


akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau
timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita
temui berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dalam wujud konflik-konflik
yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.

Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-


kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan paling tidak mengatahui
bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas
budaya dan mempraktekannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasa karena
semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya,
disamping kondisi bangsa indonesia yang majemuk dengan berbagai ras, suku, agama,
latar belakang daerah, dan sebagainya.

Kebutuhan manusia dapat terpenuhi jika manusia berkomunikasi dengan orang lain,
jika dia dapat berkomunikasi dengan baik maka dapat mencapai kebutuhannya. Di era
kekinian, optimalisasi teknologi memang terus dilakukan dalam upaya berkomunikasi.
Meski demikian, komunikasi tatap muka tetap urgen dan sangat dibutuhkan dalam
interaksi antar manusia.

Contoh dari komunikasi lintas budaya yang ada disekitar kita adalah seperti
kehidupan di pondok pesantren. Persaingan hidup di kota membuat sebagian para orang
pindahan khususnya para mahasiswa atau mahasiswi lebih memilih tinggal di pesantren,
karena pondok pesantren di samping sebagai lembaga pendidikan dan dakwah Islam
ternyata telah banyak yang berfungsi dan berperan sebagai lembaga pengembangan
msyarakat. Pada umumnya pondok pesantren memiliki potensi untuk maju dan
berkembang memberdayakan diri dan masyarakat lingkunganya. Selain itu kehidupan
di pondok pesantren juga biasanya dapat menjalin ikatan persaudaraan yang kuat
sehingga dapat mengurangi tingkat kekhawatiran hidup di kota orang. Sekelompok
orang yang pindah dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya yang lain
mengalami proses sosial budaya yang dapat menpengaruhi mode adaptasi dan
pembentukan identitasnya.

B. Teori-Teori Komunikasi Antar Budaya

Mempelajari komunikasi antarbudaya antara lain kita mempelajari dan


membandingkan kebudayaan orang lain dalam suatu tatanan masyarakat. Mempelajari
sekurang-kurangnya yang ditunjukan oleh tampilan perilaku sikap mereka. Jika
perilaku antarbudaya merupakan wujud nilai yang di dalamnya mengandung suatu etika
masyarakat maupun komunitas, maka perkenalan terhadap nilai budaya lain diperlukan.
Kita berusaha untuk membentuk suatu masyarakat yang bisa hidup harmonis dan tanpa
ketakutan dengan alasan yang sama adalah etis jika kita mempelajari komunikasi antar
budaya dengan segala teorinya.

1. Anxiety / Uncertainty Management Theory


Anxiety/Uncertainty Management Theory (AUM) adalah teori yang
dikembangkan oleh William Gudykunst melalui penelitiannya pada tahun 1985
dengan menggunakan teori yang ada sebagai titik awal. Teori yang digunakan
secara khusus dalam penelitian Gudykunst adalah Teori Pengurangan
Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory) oleh Charles Berger dan
Richard Calabrese. Gudykunst merupakan profesor komunikasi dari California
University.
AUM merupakan sebuah teori yang berbicara mengenai keefektifan
komunikasi antar budaya. Teori tersebut mengatakan bahwa dasar untuk dapat
mencapai komunikasi secara efektif dengan orang asing (stranger) atau orang
yang berbeda budaya adalah kemampuan untuk mengontrol perasaan
ketidaknyamanan (anxiety) dan ketidakpastian (uncertainty).
Stephan (1985) mendefinisikan anxiety sebagai bentuk rasa tak enak yang di
miliki oleh seorang komunikator antara lain : tegang, gelisah, dan khawatir. Anxiety
merupakan sebuah respon afektif bukan kognitif Anxiety ini dapat menciptakan
motivasi untuk berkomunikasi dan apabila dikelola dengan baik dapat menciptakan
suatu komunikasi yang efektif. Dalam kondisi intergroup communication, anxiety
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi interpersonal communication.
Namun, Anxiety bersifat dinamis dan cenderung menurun apabila kita telah merasa
nyaman dengan orang tersebut.
2. Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese (1975) dan
mengasumsikan pentingnya interaksi karena tujuan dari komunikasi adalah untuk
mengurangi ketidakpastian mengenai lawan bicara kita. Inti dari teori Pengurangan
Ketidakpastian adalah untuk mengurangi ketidakpastian antara orang asing saat
pertama kali bertemu dan melakukan percakapan.
Teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan
pertama yaitu ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian
kognitif adalah tingkatan ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan
sikap. Ketidakpastian perilaku adalah berkenaan dengan luasnya perilaku yang
dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan. Terdapat dua proses dalam
mengurangi ketidakpastian, yaitu proaktif dan retroaktif. Pengurangan
ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir sebelum melakukan
komunikasi dengan orang lain, sedangkan pengurangan ketidakpastian retroaktif
terjadi ketika menjelaskan perilaku setelah perjumpaan.
3. Teori Akulturasi dan Culture Shock
Teori Akulturasi dikemukakan oleh Berry (1987) dan Teori Culture Shock
dikemukakan oleh Oberg (1960). Akulturasi adalah suatu proses dimana kita
mengadopsi budaya baru dengan mengadopsi nilai-nilainya, sikap, dan
kebiasaannya. Akulturasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan apa yang terjadi disaat orang yang berasal dari suatu budaya
masuk ke dalam budaya yang berbeda. Akulturasi selalu ditandai dengan perubahan
secara fisik dan psikologi yang terjadi sebagai hasil dari adaptasi yang
dipersyaratkan untuk memfungsikan dalam konteks budaya yang baru atau budaya
yang berbeda.
Akulturasi bukan hanya mempengaruhi satu pihak saja, namun akulturasi
adalah proses interaktif antara sebuah kebudayaan dan kelompok tertentu. Syarat
terjadinya akulturasi harus ada kontak diantara dua anggota yaitu budaya tuan
rumah dan pendatang.
4. Theory Co-Cultural
Co-cultural Theory (teori ko-kultural) dikemukakan oleh Mark Orbe.
Cocultural merupakan pemikiran teoritik yang menjelaskan tentang perlunya
kesetaraan budaya, istilah co-cultural ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu pun
budaya dalam masyarakat yang lebih unggul terhadap budaya yang lain. Teori Co-
cultural dilandasi oleh pemikiran teoritik Muted Group (Cheris Kramarae) dan
Standpoint. Teori Muted Group (Miller, West & Turner, 2007) menjelaskan bahwa
bahasa memberikan kepada para penciptanya (dan orang yang mempunyai
kelompok yang sama seperti penciptanya) kondisi yang lebih baik daripada orang
dari kelompok lain yang harus mempelajari menggunakan bahasa sebaik yang
mereka bisa. Kelompok yang dibisukan menciptakan bahasa mereka sendiri untuk
mengkompensasikan persoalan-persoalan mereka.
Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan
proposisi-proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi
secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada
penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional
membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian tugas.
Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi
komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi
komunikasi. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu
komunikator lebih berkuasa, maka komunikator lainnya akan memiliki beban untuk
beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator,
maka lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002).

C. Teori-Teori Komunikasi Lintas Budaya

Budaya atau kebudayaan sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia


dalam masyarakat, dimana ada masyarakat disitu pasti ada budaya atau kebudayaaan.
Budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu Buddhayah yang berarti budi atau akal
sehingga dapat diartikan bahwa budaya merupakan hasil budi atau cipta karya manusia.
Budaya dapat pula diartikan sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
sebagai suatu warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Selo sumardjan dan Solaeman Soemardi mengatakan bahwa kebudayaan adalah
sarana hasil karya dan cipta masyarakat. Sehingga dalam hal ini kbudayaan, manusia
dan masyarakat adalah hal yang tak terpisahkan. Perkembangan kebudayaan dan
kehidupan manusia serta hubungan kelompok manusia(masyarakat) dengan kelompok
manusia lain. Hubungan tersebut masing masing membawa kebudayaannya sendiri dan
menimbulkan sebuah interaksi baru diantara keduanya yaitu komunikasi antar budaya.
Komunikasi antar budaya merupakan suatu peristiwa komunikasi dimana mereka yang
terlibat didalamnya berasal dari latar belakang yang berbeda.

Berikut adalah teori-teori komunikasi lintas budaya :

1. Teori Kecemasan dan Ketidakpastian

Teori ini dikembangkan oleh William Gudykunts yang memfokuskan pada


perbedaan budaya antar kelompok dan orang asing. Ia menjelaskan bahwa
teorinya ini dapat digunakan dalam segala situasi dan kondisi berkaitan dengan
terdapatnya perbedaan diantara keraguan danketakutan. Gudykunts berpendapat
bahwa kecemasan dan ketidakpastianlah yang menjadi penyebab kegagalan
komunikasi antar kelompok. lebih lanjut ia menjabarkan bahwa terdapat enam
konsp dasar dalam teorinya ini yaitu :

• Konsep diri, berkaitan dengan meningkatnya harga diri ketika seseorang


berinteraksi dengan orang lain akan menghasilkan kemampuan
meningkatkan kecemasan.
• Motivasi berinteraksi dengan orang asing, berkaitan dengan peningkatan
kebutuhan diri untuk masuk dalam kelompok. Ketika seseorang berinteraksi
dengan orang asing, interaksi tersebut akan meningkatkan kecemasan.
• Reaksi terhadap orang asing, berkaitan dengan peningkatan menerima
informasi, toleransi dan empati terhadap orang asing akan meningkatkan
kemampuan seseorang untuk memprediksi perilaku orang asing tersebut.
• Kategori sosial orang asing, berkaitan dengan peningkatan kesamaan
personal diantara kita dengan orang asing. Tujuannya adalah meningkatkan
kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat serta kemampuan
mengelola kecemasan begitu pulasebaliknya.
• Proses Situasional, berkaitan dengan peningkatan situasi informal dimana
kita berinteraksi dengan orang asing. Dengan tujuan akan meningkatkan
kemampuan kita dalam mengelola kecemasan serta meningkatkan
kepercayaan diri kita terhadap mereka.
• Koneksi dengan orang asing, berkaitan dengan peningkatan ketertarikan,
hubungan dan jalinan kerja dengan orang asing. Dengan tujuan akan
menurunkan kecemasan dan meningkatkan kepercayaan pada diri kita.
2. Teori Negosiasi Wajah

Teori yang di kemukakan oleh Stella Ting-Toomey ini menjelaskan


bagaimana perbedaan-perbedaan dari berbagai budaya dalam merespon berbagai
konflik yang dihadapi. Ia berpendapat bahwa orang-orang dalam setiap budaya
akan selalu mencitrakan dirinya didepan publik, hal tersebut merupakan cara
baginya agar orang lain melihat dan memperlakukannya. Lebih lanjut Ia
menjelaskan bahwa wajah bekerja merujuk pada pesan verbal dan non
verbalyang membantu menyimpan rasa malu, dan menegakkan muka terhormat.

Dalam hal ini, identitas selalu dipertanyakan, kecemasan dan ketidakpastian


yang disebabkan konflik membuatkita tak berdaya dan harus menerima. Terkait
dengan hal tersebut, dalam teori ini juga dijelaskan lima model dalam
pengelolaankonflik yang meliputi :

• Avoiding (penghindaran), yaitu berkaitan dengan upaya untuk menghindari


berbagaimacam konflik yang dimungkinkan terjadi.
• Obliging (keharusan), yaitu berkaitan dengan keharusan untuk menyerahkan
keputusan pada kesepakatan bersama.
• Comproming, berkaitan dengan saling memberi dan menerima segala
sesuatu agar sebuahkompromi dapat tercapai.
• Dominating, berkaitan dengan dominasi salah satu pihak dalam penanganan
suatumasalah.
• Integrating, berkaitan dengan penanganan secara bersama-sama terhadap
suatu masalah.
3. Teori Kode Bicara

Gerry Phillipsen dalam teorinya ini berusaha menjelaskan bagaimana


keberadaan kode bicaradalam suatu budaya. Dan juga bagaimana kekuatan dan
dan substansinya dalam sebuah budaya.Lebih lanjut ia menjelaskan kiranya
terdapat lima proporsi dalam teori ini yaitu :
• Dimanapun ada budaya, disana pasti ada kode bahasa yang menjadi ciri khas.
• Sebuah kode bahasa mencangkup sosiologi budaya, retorika dan psikologi
budaya.
• Pembicaraan yang signifikan bergantung pada kode bicara yang digunakan
pembicaradan pendengar untuk mengkreasikan dan menginterprestasi
komunikasi mereka.
• Berbagai istilah aturan dan premis terkait dalam pembicaraan itu sendiri
• Kegunaan suatu kode bicara adalah untuk menciptakan kondisi yang
memadai. Kondisi yang terkait dengan prediksi, penjelasan dan kontrol guna
menciptakan formula wacana tentang kecerdasan, kebijaksanaan dan
moralitas perilaku dalam berkomunikasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari probabilitas yang muncul dalam komunikasi lintas budaya
adalah bahwa komunikasi lintas budaya dapat menjadi tantangan karena adanya
perbedaan dalam bahasa, nilai-nilai, norma, dan persepsi yang dimiliki oleh individu
dari budaya yang berbeda. Namun, dengan memahami perbedaan ini dan mengambil
tindakan yang tepat, komunikasi lintas budaya dapat berhasil.

Perlu diingat bahwa setiap individu memiliki keunikan budaya dan pengalaman
hidup yang berbeda, sehingga ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kemungkinan keberhasilan komunikasi lintas budaya. Beberapa faktor tersebut
meliputi pengetahuan tentang budaya target, kemampuan beradaptasi dengan
perbedaan, kepekaan terhadap isu-isu budaya yang sensitif, dan kemampuan
membangun hubungan yang saling menghormati.

Dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lintas budaya,


penting untuk mengambil tindakan yang tepat seperti menghindari kehalusan dan
stereotipe, meningkatkan keterampilan bahasa, dan berusaha untuk memahami cara
berpikir dan cara memandang orang dari budaya yang berbeda. Dengan memperhatikan
faktor-faktor ini, maka probabilitas keberhasilan komunikasi lintas budaya dapat
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. (2009). Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka


Belajar.

Departemen Agama RI. 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta.

Mulyana, Deddy. (2005). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rachman, Rio F. Optimalisasi Teknologi Komunikasi Informasi Command Center Bagi


Efektifitas Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Dakwatuna: Jurnal

Dakwah dan Komunikasi Islam 5 (2).

Rejeki, MC Ninik Sri. (2007). “Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antar Budaya dalam Relasi
Kemitraan Inti-Plasma”. Jurnal Ilmu Komunikasi, volume 4, nomor 2. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai