Anda di halaman 1dari 13

TUGAS I

JARING KONTROL GEODESI


Minggu Ke - 1

“Perkembangan & Permasalahan


Jaring Kontrol Geodesi di Indonesia”

Disusun Oleh :

Rakhadito Edra Fadhil 17/415148/TK/46437


Haifa Embun Berdita 17/410210/TK/45567
Marselia Dora Sanjaya 17/410215/TK/45572
Nindita Shita Devi 17/410217/TK/45574
Yeni Ikawati 17/410228/TK/45585

Kelas B

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Geodesi adalah salah satu ilmu-ilmu kebumian tertua yang sangat terkait erat
dengan lingkungan fisik bumi, yaitu mulai dari masalah banjir Sungai Nil di Mesir kuno
(2000 tahun sebelum Masehi) sampai dengan masalah kini mengenai pemantauan
gerakan kerak bumi. Sejak beradab-adab lamanya, hubungan geodesi dengan survei dan
pemetaan sangat erat sekali, tetapi masih banyak orang yang belum mengetahui dasar
dan sifat ilmiahnya.
Untuk mempelajari ilmu Geodesi, perlu beberapa ilmu dasar yang harus
dipelajari terlebih dahulu. Disiplin ilmu Geodesi terdiri atas Geodesi Geometris,
Geometri Fisis dan Geodesi Dinamis. Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang
Geodesi Geometris dengan bahasan Jaringan Kontrol Geodesi.
I.2. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Jaring Kontrol Geodesi ?
b. Apa saja klasifikasi Jaring Kontrol Geodesi ?
c. Apa permasalahan Jaring Kontrol Geodesi di Indonesia ?
d. Bagaimana perkembangan Jaring Kontrol Geodesi di Indonesia ?
I.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
a. Menjelaskan tentang Jaring Kontrol Geodesi.
b. Menjelaskan klasifikasi Jaring Kontrol Geodesi.
c. Menjelaskan tentang permasalahan Jaring Kontrol Geodesi di Indonesia.
d. Menjelaskan tentang perkembangan Jaring Kontrol Geodesi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Jaring Kontrol Geodesi
Jaring Kontrol Geodesi merupakan objek fisik yang berada di lapangan yang
mewakili model-model fisik bumi di atas. Jaring kontrol geodesi ini berdasarkan pada
UU Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial berupa Jaring Kontrol
Horizontal Nasional (JKHN), Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN), dan Jaring
Kontrol Gayaberat Nasional (JKGN). Bukti fisik di lapangan dari jaring kontrol geodesi
ini berupa pilar titik kontrol, pilar titik gayaberat, dan stasiun pasut. Data-data geodesi
di dalamnya dimanfaatkan oleh pemerintah maupun swasta sebagai referensi untuk
pekerjaan pemetaan dan survey rekayasa dan sebagai landasan pengembangan
Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN).
II.2. Klasifikasi JKG
II.2.1. Jaring Kontrol Horizontal

Jaring kontrol horizontal adalah sekumpulan titik kontrol horizontal yang


satu sama lainnya dikaitkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan
koordinatnya ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam suatu
sistem referensi koordinat horizontal tertentu. (BSN, 2002).

Faktor yang mempengaruhi kualitas dari titik-titik dalam suatu jaring kontrol
horizontal :

• Sistem peralatan yang digunakan untuk pengukuran/pengamatan,


• Geometri jaringan,
• Strategi pengukuran/pengamatan,
• Strategi pengolahan data yang diterapkan

Di Indonesia, pengadaan jaring titik kontrol horizontal sudah dimulai sejak


jaman penjajahan Belanda, yaitu dengan pengukuran triangulasi yang dimulai tahun
1862. Sejak tahun 1974, pengadaan jaring titik kontrol mulai memanfaatkan sistem
satelit navigasi Doppler (Transit) dalam pelaksanaannya. Dan semenjak tahun 1989,
pengadaan jaring titik kontrol horizontal di Indonesia umumnya bertumpu pada
pengamatan satelit GPS seiring berkembangnya sistem satelit ini.
Orde suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang
sumbu-panjang (semi-major axis) dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan
tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang
diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil. Untuk kategorisasi orde
jaring titik kontrol horizontal yang diperoleh dari suatu survei geodetik, seperti pada
Tabel 1.

Tabel 1. Orde Jaring Titik Kontrol Horizontal


II.2.2. Jaring Kontrol Vertikal

Jaring kontrol vertikal adalah serangkaian titik kontrol vertikal yang satu sama
lainnya diikatkan dengan ukuran beda tinggi ortometrik mengacu pada titik datum.
Jaring kontrol vertikal nasional berupa titik-titik kontrol geodesi vertikal, dalam bentuk
Titik Tinggi Geodesi (TTG), yang mengacu pada satu sistem referensi tinggi yang
berlaku secara nasional. Titik tinggi geodesi adalah titik tetap dilapangan yang
berbentuk pilar dengan ukuran tertentu, yang menandai nilai tinggi, sebagai bagian dari
jaring kontrol vertikal, yang berfungsi sebagai titik kontrol vertikal (TKV). Jaring
kontrol vertikal yang meliputi sebagian wilayah nasional dengan datum vertikal lokal
(independen) disebut juga dengan subjaring kontrol vertikal. Pengelompokkan atau
penjenjangan JKV didasarkan pada tingkat presisi dan akurasi hasil survei.
Kelas jaring kontrol vertikal ditentukan oleh faktor-faktor :
• Desain jaringan,
• Pelaksanaan pengukuran,
• Peralatan yang digunakan,
• Teknik reduksi,
• Hasil perataan terkendala minimal (minimally constraint).
Penempatan kelas JKV pada akhirnya didasarkan pada hasil hitung perataan
jaring terkendala minimal. Kriteria untuk penempatan kelas adalah besarnya kesalahan
maksimal r = c √ d, dengan harga c seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Perjenjangan Kelas JKV

Orde JKV ditentukan oleh ketelitian tinggi titik hasil perataan jaring terkendala
penuh (full constraint) terkait dengan faktor-faktor :

• Kelas pengukuran,
• Orde titik kontrol pengikat,
• Ketelitian antar datum transformasi,
• Besar perbedaan antara tinggi baru dengan tinggi titik kontrol pada
pertemuan jaring lama dan baru.

Orde tertinggi yang dapat dicapai oleh suatu hasil survei dengan kelas yang
telah diuji dan ditetapkan dapat dilihat pada Tabel 3. Orde menunjukkan ketepatan
pengukuran terhadap titik kontrol pengikat. Penetapan orde suatu jaring baru dilakukan
dengan membandingkan ketelitian (1σ) hasil perataan jaring terkendala penuh dengan
standar kesalahan maksimum yang diperkenankan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Hubungan Kelas dan Orde


Tabel 4. Penjenjangan Orde

Jadi, penentuan orde suatu jaring kontrol vertikal tertentu harus melalui 2 uji
yaitu :

• Uji kesesuaian kelas pengukuran,


• Uji kesesuaian ketelitian tinggi titik untuk menetapkan orde.
II.2.3. Jaring Kontrol Gayaberat

Jaring kontrol gayaberat adalah sebaran titik-titik gayaberat dengan nilainya


yang saling terikat dengan ketelitian tertentu dan mencakup daerah tertentu.

Jaring kontrol gayaberat terdiri dari tiga macam :

• JKG berskala lokal


Sebaran titik-titik gayaberat hasil perapatan dari JKG regional dengan
satu atau lebih titik pangkal.
• JKG berskala nasional

Sebaran titik-titik pangkal gayaberat secara teratur yang mencakup


wilayah nasional.

• JKG berskala regional


Sebaran titik-titik gayaberat hasil perapatan dari JKG nasional.

Jaring kontrol gayaberat diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketepatan (kelas)


dan tingkat ketelitian survei (orde). Klasifikasi lingkup sebaran JKG berdasarkan kelas
dapat dilihat pada Tabel 5. dan berdasarkan orde pada Tabel 6.
Tabel 5. Klasifikasi lingkup sebaran JKG berdasarkan kelas

Tabel 6. Klasifikasi lingkup sebaran JKG berdasarkan orde

Dalam pengamatan JKG,titik pangkal digunakan sebagai acuan. Kriteria


pemilihan titik pangkal dilakukan sebagai berikut :

• Pilih titik kontrol gayaberat terdekat yang memiliki ketelitian lebih tinggi,
• Jika persyaratan pada butir diatas tidak dapat dipenuhi, digunakan titik pangkal
yang berada di pusat jaring pengukuran.

Tujuan dari jaring kontrol gayaberat adalah untuk monitoring medan gaya berat
bidang acuan tinggi.

II.3. Permasalahan JKG di Indonesia


Keberadaan Jaring Kontrol Horisontal sangat penting untuk mendukung
kegiatan pemetaan nasional. Permasalahannya sekarang adalah sebaran Jaring Kontrol
Horisontal itu belum merata mencakup seluruh pelosok negeri.
Persebaran Jaring Kontrol Horisontal di Indonesia saat ini terbilang masih kurang dari
jumlah idealnya dan bahkan distribusi sebaran pilarnya masih belum bisa merata
mencakup seluruh pelosok negeri. Permasalahan seperti inilah yang menjadi kendala
kegiatan pemetaan di Indonesia. Pemetaan yang dikerjakan baik melalui Badan
Informasi Geospasial yang disini bertugas menyiapkan peta dasar maupun Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/BPN yang bertugas melaksanakan pemetaan kadastral dirasa
masih belum bisa maksimal. Padahal keberadaan Jaring Kontrol Horisontal tersebut
sangat penting untuk mendukung kegiatan-kegiatan pemetaan, yaitu contohnya untuk
penentuan batas wilayah kedaulatan negara maupun batas wilayah daerah, bahkan
sekarang ini yang sangat diperlukan adalah untuk keperluan penataan ruang dan
wilayah Republik Indonesia.
Upaya-upaya untuk mengatasi keterbatasan jumlah Jaring Kontrol Horisontal
di Indonesia sudah gencar dilakukan dengan cara melakukan pembangunan CORS.
CORS diharapkan mampu mengatasi permasalahan sedikitnya sebaran Jaring Kontrol
Geodesi. Jaring Kontrol Geodesi tersebut adalah titik- titik yang digunakan sebagai titik
ikat dalam pengukuran. Sistem CORS dapat digunakan untuk dapat menjangkau dan
meliputi beberapa daerah pada jarak tertentu. CORS juga bisa mampu menjawab
tantangan pemetaan secara real time. Salah satu tujuan dikembangkannya CORS di
Indonesia adalah sebagai titik ikat yang memiliki radius cukup dekat dengan titik
pengukuran untuk memperoleh kualitas data yang baik (Manggala, 2012).
CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi
berbasis GNSS(Global Navigation Satellite System) yang berwujud sebagai suatu
jaring kerangka geodetik dimana setiap titiknya dilengkapi dengan receiver. Receiver
tersebut mampu menangkap sinyal dari satelit-satelit GNSS yang beroperasi secara
penuh dan kontinyu selama 24 jam perhari, 7 hari per minggu. Sistem CORS mampu
melakukan pengumpulan, perekaman, pengiriman data, dan memungkinkan para
pengguna (users) bisa memanfaatkan data untuk penentuan posisi, baik secara
postprocessing maupun secara real time (NOAA, 2013).
Di Indonesia CORS digunakan untuk keperluan praktis dan penelitian.
Keperluan praktis CORS sendiri dimanfaatkan untuk menyediakan pelayanan data
kepada masyarakat umum untuk keperluan pemetaan. Pelayanan data yang dimaksud
adalah mengenai penentuan posisi, baik secara realtime maupun post-processing. Di
BPN RI sendiri penggunaan sistem GNSS CORS (Global Navigation Satellite System
Continuously Operating Reference Stations) yang berwujud sebagai titik kerangka
referensi ini mampu beroperasi secara kontinyu selama dua puluh empat jam dan
digunakan untuk mendukung percepatan sertifikasi bidang tanah (Prasetya dkk, 2012).
Sementara itu di Badan Informasi Geospasial pembangunan CORS bertujuan untuk
kepentingan pemetaan yaitu meningkatkan pelayanan data seperti layanan koreksi
RTK (Real Time Kinematic), menjaga tingkat akurasi dan presisi dari kerangka dasar
geodetik yang telah dibangun oleh BIG, kemudian CORS juga digunakan untuk
monitoring pergerakan lempeng bumi, studi geodinamika, riset meteorologi dan
ionosfer, serta untuk keperluan sensor tsunami early warning system.
Melalui sistem informasi geografis sebaran CORS dapat disajikan dan dianalisis
untuk melihat sebaran dan efisiensi pembangunan stasiun CORS. Di Indonesia terdapat
sekitar 320 stasiun CORS dari Sabang hingga ke Merauke dengan sistem pengelolaan
dilakukan oleh 2 instansi pemerintah yaitu BIG dan BPN. Hasil analisis sebaran SIG
dapat dilihat ada sekitar 38 stasiun milik BIG dan BPN yang memiliki posisi berdekatan
dengan jarak kurang dari 10 Km. Daerah Papua menjadi daerah yang paling sedikit
terdapat stasiun CORS dengan jumlah 9 stasiun dikarenakan daerah tersebut
kebanyakan merupakan daerah dengan tutupan lahan hutan. Pulau Jawa menjadi
konsentrasi pembangunan CORS dengan jumlah terbanyak yaitu 143 stasiun.
Kebutuhan pemetaan yang sangat tinggi dan persebaran penduduk yang padat di Pulau
Jawa menjadi alasan pembangunan CORS berpusat disana. Pembangunan stasiun
CORS harus bisa melayani hingga di seluruh Indonesia sehingga dengan itu bisa
mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan direncakan oleh Pemerintah
termasuk mampu mendukung kebijakan satu peta.
Secara garis besar pemanfaatan CORS di Indonesia digunakan untuk kegiatan
pemetaan. Di kantor pertanahan sendiri CORS digunakan untuk mendukung program-
program pertanahan melalui kegiatan percepatan pendaftaran tanah. Melihat potensi
yang ada dengan adanya stasiun CORS mendorong untuk melakukan pembangunan
stasiun CORS secara merata di seluruh Indonesia. Untuk itu diperlukan sebuah kajian
dalam penentuan posisi stasiun CORS yang ideal sehingga tidak ada lagi stasiun CORS
terletak di lokasi yang berdekatan dengan tujuan dan pemanfaatan yang sama. Sebaran
CORS yang berdekatan antar instansi ini menunjukkan bahwa masih belum adanya
koordinasi antar lembaga tentang pelaksanaan jaring kontrol Geodesi di Indonesia.
Secara teoritis pengembangan jaring kontrol vertikal (JKV) yang paling teliti
adalah dengan menggunakan metode sipatdatar, namun secara praktis dalam kondisi
tertentu seringkali menemui kendala bahkan tidak efektif dan efisien untuk diterapkan.
Daerah dengan kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan),
daerah dengan situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan
akan informasi mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit
diterapkan untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Berkembangnya metode GNSS
secara differensial yang dapat digunakan untuk penentuan tinggi dengan teliti menarik
untuk dikaji dalam pengembangan jaring kontrol vertikal.
II.4. Pengembangan JKG di Indonesia
Pada awal tahun 1970-an penentuan posisi dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi TRANSIT Navy Navigation Satellite System atau lebih dikenal dengan satelit
Doppler, kegiatan pengukuran pertama kali bertujuan untuk keperluan pemetaan
rupabumi pulau Sumatera. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kerangka acuan
geodesi yang baru, maka Indonesia (dalam hal ini Bakosurtanal, sebelum sekarang
berubah menjadi BIG) menetapkan suatu ellipsoid referensi yang mempunyai
parameter sama dengan parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic Reference System 1967),
yang diberi nama SNI (Sferiod Nasional Indonesia).
Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan
memanfaatkan satelit doppler sudah berada dalam satu sistem, akan tetapi belum
homogen dalam hal ketelitian, disebabkan metoda pengukuran (penentuan posisi
absolut, translokasi) dan metoda hitungan (‘multistation mode, short arc mode’) yang
dipakai berbeda. Walaupun demikian koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi
tersebut, secara teknis cukup memenuhi untuk keperluan pemetaan rupabumi pada
skala 1 : 50.000.
Seiring dengan perkembangan teknologi GPS, maka pada tahun 1996
Bakosurtanal mendefinisikan datum baru untuk keperluan survei dan pemetaan
menggantikan ID74, yang disebut dengan Datum Geodesi Nasional 1995 atau disingkat
dengan DGN 95. DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis,
dimana perubahan nilai koordinat terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi, tidak diperhitungkan.
Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa lempeng inilah yang
menyebabkan seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya termasuk titik-titik
kontrol geodesi yang membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga bergerak
akibat pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi.
Teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GNSS (Global Navigation
Satelite System) saat ini telah berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan untuk
digunakan dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional yang
terintegrasi dengan sistem referensi global, serta mampu memberikan ketelitian yang
memadai untuk memantau pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi
yang berpengaruh terhadap nilai-nilai koordinat.
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
• Jaring Kontrol Geodesi merupakan objek fisik yang berada di lapangan yang
mewakili model-model fisik bumi di atas.
• Jaring kontrol geodesi berdasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 2011 Tentang
Informasi Geospasial berupa Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN), Jaring
Kontrol Vertikal Nasional (JKVN), dan Jaring Kontrol Gayaberat Nasional
(JKGN).
• Permasalahan sekarang adalah sebaran Jaring Kontrol Geodesi belum merata
mencakup seluruh pelosok negeri.
• Teknologi penentuan posisi berbasis satelit seperti GNSS (Global Navigation
Satelite System) saat ini telah berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan
untuk digunakan dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional
yang terintegrasi dengan sistem referensi global.
III.2. SARAN
• Sebagai seorang mahasiswa khususnya geodesi, diharuskan mempelajari dan
memahami JKG, JKH, JKV, dan JKGb sesuai dengan SNI, serta mempelajari dan
mengikuti perkembangan teknologi agar tidak tertinggal.
• Pemerintah melalui BIG, harus melakukan pembangunan CORS untuk mengatasi
permasalahan sedikitnya sebaran Jaring Kontrol Geodesi.
DAFTAR PUSTAKA

http://srgi.big.go.id/page/jaring-kontrol-geodesi. Diakses pada 18 Februari 2020


http://www.madesapta.com/2015/04/mengenal-jaring-kontrol-geodesi.html. Diakses pada 18
Februari 2020.
NOAA. 2013. Guidelines for New and Existing Continuously Operating Reference Stations
(CORS) National Geodetic Survey National Ocean Survey. Silver Spring : National
Geodetic Survey. Diakses pada 19 Februari 2020.

Manggala, A. S., et al. 2012. Teknik Pembuatan Sistem Informasi Pertanahan Menggunakan
Teknologi CORS. Prosiding Seminar Nasional Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor
Indonesia. Diakses pada 19 Februari 2020.

https://www.jasaukurtanah.com/sejarah-sistem-referensi-geospasial-di-indonesia.html.
Diakses pada 19 Februari 2020.

Badan Standardisasi Nasional. 2002. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-19-6724-2002.


Jaring Kontrol Horizontal. Jakarta. Diakses pada 19 Februari 2020.

Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-19-6988-2004.


Jaring Kontrol Vertikal dengan Metode Sipatdatar. Jakarta. Diakses pada 19 Februari
2020.

Badan Standardisasi Nasional. 2005. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-19-7149-2005.


Jaring Kontrol Gayaberat. Jakarta. Diakses pada 19 Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai