Anda di halaman 1dari 9

EKSISTENSI PONDOK PESANTREN DALAM MENEGUHKAN MODERASI

BERAGAMA DI SULAWESI BARAT


(STUDI KASUS PONPES DDI BARUGA & PONPES SYEKH HASAN YAMANI)

a. Latar Belakang Masalah


Islam masuk di Sulawesi Barat melalui dua tahapan. Pertama, terjadi pada abad XV
yaitu melalui para pedagang muslim yang berdagang di daerah ini. Lewat merekalah, Islam
kemudian diperkenalkan kepada penduduk setempat. Pada tahapan kedua, yaitu abad XVI-
XVII, barulah terjadi kontak antara penyebar agama Islam dengan masyarakat. Pada
tahapan pertama, berdagang menjadi media penyebaran Islam, hanya saja, metode ini
kurang efektif karena tujuan utama para pedagang muslim tersebut adalah ekonomi dan
bukan menyiarkan agama Islam. Namun dari sisi positifnya, para pedagang muslim
menunjukkan sikap menghargai tradisi dan menghormati raja yang pada akhirnya
mendapat simpati dari raja, sehingga pihak kerajaan memberikan perlindungan dan
fasilitas kepada mereka.1
Islam di Sulawesi Barat, dalam perjalanannya mengalami perkembangan cukup
pesat. Sejarah mencatat, beberapa penyiar Islam di tanah Mandar, yakni: Syekh
Abdurahman Kamaluddin (To Salama di Binuang), Syekh Abdul Mannan, Raden Mas
Arya Suryodilogo (I Kapuang Jawa), Sayyid Zakaria Al-Magribi, dan lain sebagainya.2
Syekh Abdurahman Kamaluddin (To Salama di Binuang) merupakan pedagang Arab yang
juga menyebarkan agama Islam dengan membuat pengajian atau biasa disebut halaqah di
rumah para warga dan mendirikan langgar pertama di daerah Balanipa akhir abad XVI. 3
Dari tempat inilah maka mulai bermunculan pengajian-pengajian serta lembaga-lembaga
pendidikan Islam di Sulawesi Barat.
Pada abad XX, di Sulawesi Barat telah berdiri pondok pesantren dengan berbagai
varian ormas yang menjadi induknya, mulai dari Darud Da'wah Wal Irsyad,
Muhammadiyah hingga Wahdah Islamiyah. Kabupaten Majene yang menjadi sentra
pendidikan di propinsi Sulawesi Barat, terdapat Pondok Pesantren (Ponpes) Ihyaul Ulum
DDI Baruga yang berdiri pada tanggal 25 April 1985 M dan menjadi ponpes pertama yang
lahir di Majene dan telah banyak mencetak alumni yang berkiprah di tengah masyarakat.
Sedangkan di Polewali Mandar (Polman), terdapat pondok pesantren (Ponpes) Syekh
Hasan Yamani, yang mana penamaan pesantren ini diambil dari tokoh sentral penyebaran

1
Abd. Shadiq Kawu, Sejarah Masuknya Islam di Majene, dalam Jurnal Al-Qalam Litbang Agama
Makassae, Vol. 17 No. 2 Juli-Desember 2011, h. 151.
2
Idham Khalid Bodi, Tinggalan-tinggalan Islam di Majene Sulawei Barat dalam Jurnal Al-Qalam
Litbang Agama Makassar, Vol. 19 Nomor 1 Juni 2013, h. 30-33.
3
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII (Cet. 2, Jakarta: YOI,
2005), h. 111-113.
agama Islam di Sulawesi Barat. Lembaga pendidikan Islam ini dirintis di era 80-an, yang
awal pembelajarannya menggunakan metode klasikal sorogan di rumah kyai. Namun di
tahun 1986, mengalami perubahan metode pembelajaran ke bentuk formal di kelas yang
berorientasi pada perpaduan kurikulum Pondok Pesantren Modern Gontor dan kurikulum
Madrasah hingga sekarang.
Kedua lembaga pendidikan Islam ini berperan aktif dalam memberikan corak
keberagamaan di Sulawesi Barat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya alumni dari
kedua pesantren tersebut berkiprah dalam berbagai aspek dan lini kehidupan masyarakat
Sulawesi Barat, seperti berperan menjadi guru, pedagang, tokoh politik dan tokoh
masyarakat. Akan tetapi, dalam perkembangannya, telah muncul pondok pesantren yang
diinisiasi oleh ormas Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, As-Sunnah atau mulai
menjamurnya sekolah Islam terpadu yang menawarkan kurikulum yang menarik bagi
masyarakat sekitar. Fenomena ini memungkinkan menjadi bomerang bagi kedua pesantren
tersebut untuk bertahan dalam mengukuhkan moderasi beragama di Sulawesi Barat.
Di Majene, pendirian pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga pada tanggal 1 Januari
1985, kemudian PB DDI mengeluarkan surat keputusan PB DDI nomor PB/B-
II/26/IV1985 tertanggal 25 April 1985 M/05 Sya'ban 1405 H. Ponpes Ihyaul Ulum DDI
Baruga merupakan salah satu dari 13 ponpes di kabupaten Majene. Pesantren Ihyaul Ulum
DDI Baruga berafiliasi ke organisasi sosial-keagamaan yang terbesar di Sulawesi Selatan
dan Barat, yakni Darud Da'wah wal Irsyad. Pesantren ini berawal Madrasah Tsanawiyah
dan Madrasah Aliyah DDI Baruga, yang dalam perjalanannya disatukan di bawah wadah
pondok pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga. Hingga hari ini, pesantren ini telah diasuh
oleh tiga figur kyai kharismastik. Begitu pula, dari tahun ke tahun hingga detik masih terus
mengalami perubahan kurikulum seiring dengan perkembangan zaman.
Sedangkan pesantren Syekh Hasan Yamani dirintis tahun 1980, yang awal
pendiriannya tak bisa dilepaskan dari campur tangan Syekh Arsyad Maddapungan dan
Syekh Hasan Yamani dalam melakukan pengajian kitta' (kitab) di daerah ini. Ponpes
Syekh Hasan Yamani yang saat ini dibina oleh K.H. Muhammad Amin Said al-Mahdaly
sebagai generasi pelanjut dari pendiri sebelumnya, merupakan salah satu pesantren dari 17
pesantren yang terdapat di Polewali Mandar.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pesantren pertama kali didirikan oleh
Syekh Maulana Malik Ibrahim di Jawa pada tahun 1399 M untuk menyebarkan ajaran
Islam.4 Dulunya, pesantren diawali dengan adanya seseorang yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas keilmuan agama, sehingga masyarakat datang menyapa sekaligus bertanya
pelbagai persoalan agama dan sosial-budaya, hingga akhirnya hampir setiap masalah dapat
dicarikan solusinya. Masyarakat pun datang berduyun-duyun dan pesantren mampu
4
Ronald Alan Lukens Bull, A Peacefull Jihad: Javanese Education and Religion Identity
Contruction (Michigan: Arizona State University, 1997), h. 60.
melakukan problem solving atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Begitu pula apa
yang disampaikan oleh Geertz bahwa pesantren memiliki peranan yang cukup penting
sebagai agen perubahan dan pembentukan pola pikir masyarakat. 5 Sedangkan Gus Dur
menekankan bahwa pesantren dan kiai tidak bisa dipisahkan satu sama lain ibarat dua sisi
mata uang yang saling berhubungan peran kiai tidak hanya sebagai mediator hukum dan
doktrin Islam, akan tetapi sebagai agen perubahan sosial dan cultural broker serta tak bisa
dinyana bahwa kiai memiliki kemampuan dan potensi menjelajah banyak ruang di tengah
masyarakat. 6 Dengan demikian, pesantren dan kyai dijadikan oleh masyarakat sekitar
sebagai referensi dalam bertanya dan menyelesaikan persoalan yang melilit kehidupannya,
khususnya masalah sosial-religi (spiritualitas).
Pesantren menjadi referensi bagi masyarakat disebabkan sumber tradisi keilmuan-
pengetahuan pesantren bersumber dari dua gelombang masa, yakni pertama, gelombang
pengetahuan keislaman pesantren yang datang pada abad ke-13 Masehi bersamaan dengan
masuknya Islam ke kawasan ini. Kedua, gelombang ketika para ulama kawasan nusantara
menggali ilmu di Semenanjung Arabia, khususnya di Mekkah dan kembali mendirikan
pesantren-pesantren besar.7 Berdasarkan sejarah gelombang masuknya tradisi keilmuan di
pesantren, maka pesantren banyak bercorak fiqh-sufistik. Corak inilah yang sebagian besar
mewarnai perkembangan dan penyebaran agama Islam di Indonesia, sehingga dengan
perpaduan ini telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan perbuatan para santri
senantiasa berada dalam jalur formulasi normatif-mistis.8
Said Aqil Siradj mengatakan bahwa pesantren tidak bisa dilepaskan dari al-
mas'uliyah al-arba'ah (empat kapabilitas), pertama, al-mas'uliyah ad-diniyah (religious
capability) yang diimplementasikan dalam kiat-kiat pesantren untuk memperjuangkan
dakwah Islamiyah. Kedua, al-mas'uliyah al-tsaqafiyyah (educational capability) yang lebih
meningkatkan kualitas pembelajaran umat. Ketiga, al-mas'uliyah al-'amaliyah (practice
capability) yang lebih mengutamakan pada realisasi hukum Islam dalam kehidupan pribadi
dan masyarakat. Dan keempat, al-mas'uliyah al-khuluqiyah (moral capability) yang lebih
menekankan pada perilaku dan tata krama seorang individu dalam berinteraksi terhadap
masyarakat.9
Pesantren mempunyai identitas tersendiri yang diberi label oleh Gus Dur sebagai
subkultur sebab di dalam pesantren terdapat pola kepemimpinan yang berbeda dengan di
luar pesantren, mempunyai kitab kuning yang dipelihara selama berabad-abad, dan

5
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Dunia,
1983), h.
6
Abdurrahman Wahid. Principle of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in Education
and Community Development in Indonesia. (Berlin: Technical University Berlin, 1987), h.
7
Ibid, h. 127-128.
8
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 183.
9
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), h. 212-213.
mempunyai sistem nilai.10 Secara tidak langsung, pesantren juga mengajarkan para santri
untuk menghargai perbedaan suku, ras, bahasa serta menciptakan pergaulan yang
diistilahkan oleh Gus Dur sebagai "kosmpolitanisme pesantren".11 Hal ini bisa disaksikan
bahwa para santri yang mondok di pesantren berasal dari pelosok negeri yang berbeda
suku, ras, etnis dan bahasa untuk menuntut ilmu.
Dengan melihat latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneropong lebih
jauh eksistensi pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga dan Pesantren Syekh Hasan Yamani
dalam mengukuhkan moderasi beragama hari ini? apakah kurikulum pendidikan kedua
pesantren masih memuat nilai moderasi beragama?
b. Permasalahan Penelitian
Dengan latar belakang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan
penelitian yakni bagaimana eksistensi Ponpes Ihyaul Ulum DDI Baruga dan Hasan
Yamani dalam meneguhkan moderasi beragama di Sulawesi Barat
c. Perumusan Permasalahan
1. Bagaimana figur kyai pesantren dalam meneguhkan moderasi agama di
Sulawesi Barat?
2. Bagaimana kurikulum pesantren dalam meneguhkan moderasi agama di
Sulawesi Barat?
3. Bagaimana kiprah alumni pesantren dalam meneguhkan moderasi beragama di
Sulawesi Barat?
d. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui figur kyai dalam meneguhkan moderasi agama di Pondok
Pesantren Ihya Ulumuddin DDI Baruga dan Pondok Pesantren Syekh Hasan
Yamani.
b. Mengetahui ragam nilai dan kurikulum pondok pesantren Ihya Ulumuddin DDI
Baruga dan pondok pesantren Syekh Hasan Yamani dalam meneguhkan
moderasi beragama di Sulawesi Barat.
c. Mengetahui kiprah alumni pondok pesantren Ihya Ulumuddin DDI Baruga dan
Pondok Pesantren Syekh Hasan Yamani dalam meneguhkan moderasi
beragama di Sulawesi Barat.
e. Kajian Pustaka
Penelitian tentang eksistensi pondok pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga dan
ponpes Syekh Hasan Yamani sejujurnya belum terjamah dalam dunia penelitian. Hal ini
bisa dilihat masih kurangnya tulisan yang terpublikasi dalam jurnal belum akreditasi dan

10
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur dalam buku Menggerakkan Tradisi: Esai-esai
Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 9-10.
11
Said Aqil Siradj, Pesantren, Pendidikan Karakter dan Keutuhan NKRI dalam buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren (Jakarta: Rumah KITAB, Norwegian Centre for Human Rights dan
renebook, 2014), h. xi.
jurnal terakreditasi. Dalam penelusuran peneliti, hanya 1 orang yang telah menulis tesis
tentang Ponpes Ihyaul Ulum DDI Baruga dan 1 orang yang telah menulis skripsi.
Sedangkan di Ponpes Syekh Hasan Yamani belum ada yang menulis dalam bentuk tesis,
tetapi dalam skripsi hanya dua orang. Di samping itu, penulis juga menemukan penelitian
berkaitan sosok ulama yang menjadi arsitek intelektual di wilayah Campalagian dan
jaringan ulama Sulawei Selatan dan Barat. Diantaranya:
1. Najibah BF menulis tesis pada tahun 2014 dengan judul Peningkatan mutu
pembelajaran bidang agama Islam pada MTs DDI Baruga. Penelitian ini hanya
berfokus pada MTs DDI Baruga yang lebih menitikberatkan dalam peningkatan
mutu pembelajaran sehingga menghasilkan santri yang mumpuni. Penilitian di
atas sangat berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, karena peneliti
akan menyoroti eksistensi pondok pesantren, peran kyai, kurikulum yang
diajarkan sehingga melahirkan alumni yang mempunyai berwawasan Islam
moderat.
2. Andini Ardya Lestari menulis skripsi pada tahun 2016 dengan judul Metode
Pembinaan Pengalaman Ajaran Islam Terhadap Santri di PP Ihyaul Ulum DDI
Baruga. Penelitian di atas menyoroti metode pembinaan terhadap santri PP
Ihyaul Ulum DDI Baruga. Penelitian ini mempunyai irisan yang sama dalam
skala kecil dengan penelitian yang akan diteliti yakni berkaitan dengan
kurikulum, tetapi juga memiliki perbedaan sebab peneliti akan menggunakan
teori Imre Lakatos dalam membedah eksistensi dua ponpes tersebut.
3. Budiman menulis skripsi pada tahun 2017 dengan judul eksistensi pondok
pesantren Syekh Hasan Yamani dalam mengaktualkan nilai-nilai Hukum Islam
di Kecamatan Campalagian. Penelitian ini menitikberatkan bagaimana
eksistensi ponpes Syekh Hasan Yamani di tengah-tengah masyarakat
Campalagian. Penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang akan diteliti
karena akan menyoroti kiprah alumni dua ponpes dalam meneguhkan moderasi
agama.
4. Indra menulis melakukan penelitian pada tahun 2014 dengan judul aktivitas
dakwah pada Ponpes Syekh Hasan Yamani (Suatu Tinjauan Manajemen
Dakwah).
f. Landasan Teori dan Kerangka Konseptual
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Imre Lakatos dalam filsafat
ilmu, yang membahas tentang eksistensi paradigma keilmuan. Teori ini membahas sebuah
paradigma yang telah terjadi anomali akan tetap eksis selama memiliki tiga hal, yaitu tetap
progresif dalam program-programnya (progresive research programme), memberikan
banyak hasil (fruit full), dan dilindungi oleh masyarakat (protective belt).12
Peneliti mengelaborasi teori di atas dalam konteks eksistensi pondok pesantren
dalam meneguhkan moderasi beragama di Majene dan Polewali Mandar Prop. Sulawesi
Barat. Dalam mengelaborasi dua pondok pesantren ini, peneliti akan fokus berdasarkan
teori Imre Lakatos, yakni pertama, figur kyai dalam meneguhkan moderasi beragama.
Kedua, ragam nilai dan kurikulum pesantren yang dipakai dalam meneguhkan moderasi
beragama. Ketiga, pengabdian pesantren dan kiprah alumni pesantren dalam meneguhkan
moderasi beragama di Sulawesi Barat.
g. Metodologi penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kualitatif-fenomenologis dengan
menggunakan analisis berdasarkan fakta dan realita-kenyataan di lapangan atau biasa
dikenal dengan sebutan field research. Menurut Suharsimi Arikunto, penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang paling sederhana diantara penelitian-penelitian yang ada,
karena dalam penelitian ini, para peneliti tidak melakukan apa-apa terhadap objek yang
diteliti.13Sedangkan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memberikan stresing
terhadap kualitas suatu barang/jasa. Penelitian kualitatif mendeskripsikan
kejadian/gejala/fenomena sosial dengan cara menggambarkan apa, mengapa dan
bagaimana fenomena sosial tersebut terjadi.14
Penelitian ini menggunakan metode naturalistik yaitu penelitian yang dilakukan
dalam situasi yang wajar atau natural, tanpa adanya pengaruh yang disengaja, serta tidak
mengesampingkan objektivitas yang bebas sama sekali dari subjektivitas, tetapi tetap dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan.15. Selain mengumpulkan data dari telaah pustaka
terkait ponpes secara umum dan pustaka baik buku atau sumber web tentang kedua ponpes
yang dijadikan lokasi (objek) penelitian, peneliti juga mengumpulkan data melalui
pengamatan lapangan, pengamatan terlibat, dan wawancara. Dalam pengamatan lapangan,
peneliti mengamati dan mencatat tiap fenomena di kedua ponpes yang dapat mendukung
penelitian dan dijadikan data. Pengalaman terlibat dilakukan peneliti dengan turut serta
dalam beberapa kegiatan yang dilakukan para santri baik di dalam maupun di luar ponpes.
Adapun wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sesuai kerangka pemikiran yang
telah disusun sebelumnya. Wawancara dilakukan kepada pengasuh ponpes, kepala sekolah
dan beberapa ustadz, serta beberapa alumni pesantren yang telah berkiprah di masyarakat.

12
(Wilardjo, 2010).
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitin Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),
h. 3-4.
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2011),
14

h. 28.
15
(Nasution, 2003; Muhadjir, 2002)
Sedangkan penentuan yang akan diwawancarai dilakukan dengan cara acak dan teknik
snowball.
Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu alur kegiatan yang
meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pengumpulan data
dilakukan pada rentang waktu 1 Maret-30 April 2020. Lokasi atau objek penelitian adalah
dua ponpes di Sulawesi Barat (Pesantren Ihya Ulum DDI Baruga dan pondok pesantren
Syekh Hasan Yamani).

h. Waktu/jadwal penelitian
Adapun jadwal penelitian dan wawancara indepth terhadap kyai, ustaz, kepala
sekolah, dan beberapa alumni pesantren yang akan dilakukan yakni mulai tanggal 02-12
Maret 2020 akan dilakukan di Ponpes Ihyaul Ulum DDI Baruga Majene dan tang’al 17-26
Maret 2020 akan dilakukan di Ponpes Syek Hasan Yamani Polman. Selanjutnya pada
tanggal 28 Maret-14 April 2020 akan dilakukan pengolahan dan analisis data yang telah
didapatkan dilapangan. Dan penulisan dan pelaporan makalah pada tanggal 1 Mei-30 Mei
2020.

i. Daftar pustaka

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.


Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitin Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta,
2010.
Askandar, Noor Shodiq (ed.). Konfigurasi Nalar Nahdlatul Ulama. Malang: Pustaka
Iqtishod, 2010.
Basri, Husen Hasan. Pendidikan dan Paham Keagamaan Pesantren Nurussalam Ciamis,
dalam Jurnal Edukasi Vol. 15 No. 2, 2017.
Bodi, Idham Khalid. Tinggalan-tinggalan Islam di Majene Sulawei Barat dalam Jurnal Al-
Qalam Litbang Agama Makassar, Vol. 19 Nomor 1 Juni 2013.
Bull, Ronald Alan Lukens. A Peacefull Jihad: Javanese Education and Religion Identity
Contruction. Michigan: Arizona State University, 1997.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka
Dunia, 1983.
Komariah, Djam’an Satori dan Aan. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Alfabeta,
2011.
Kawu, Abd. Shadiq. Sejarah Masuknya Islam di Majene, dalam Jurnal Al-Qalam Litbang
Agama Makassar, Vol. 17 No. 2 Juli-Desember 2011
An-Nahidl, Nunu Ahmad. Pendalaman Ilmu Agama dan Pengembangan Keterampilan Di
PP. Att-Thohariyah Pandeglang, dalam jurnal Edukasi Vol. 16 No. 3, 2018.
Saepuddin, Juju. Pendidikan Kecakapan Hidup Di Pesantren Darul Hikam Banjaran
Bandung, dalam Jurnal Edukasi Vol. 14 No. 1, 2016.
Siradj, Said Aqil. Pesantren, Pendidikan Karakter dan Keutuhan NKRI dalam buku
Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Jakarta: Rumah KITAB,
Norwegian Centre for Human Rights dan renebook, 2014.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan, 2016.
Suhartini, Rr. Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, dalam
A. Halim et al., Manajeman Pondok Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2005.
Wagiman, Suprayetno. The Modernization of the Pesantren’s Educational System to Meet
the Needs of Indonesia Communities. Canada: McGill University, 1997
Wahid. Abdurrahman. Principle of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in
Education and Community Development in Indonesia. Berlin: Technical University
Berlin, 1987.
Wahid, Abdurrahman. Pesantren sebagai Subkultur dalam buku Menggerakkan Tradisi:
Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2007.

j. CV Penelitian
1. Nama Lengkap : Muhammad Nur Murdan, S.Th.I.

2. Tempat/Tanggal Lahir : Bonde, 5 Mei 1986


3. Alamat : Jl. Ulama No. 13 Desa Bonde Kec.

Campalagian Kab. Polewali Mandar Prov. Sulawesi

Barat 91353

4. Email : nure1mandary@gmail.com

5. Riwayat Pendidikan
a. TK. Ittihad Bonde Campalagian Polman (Tahun lulus 1992)
b. SDN 036 Inpres Bonde Campalagian Polman (Tahun Lulus 1998)
c. PM Darussalam Gontor Ponorogo (Tahun lulus 2005)
d. Strata Satu (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Institut
Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo (Tahun lulus 2009)
e. Magister pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Konsentrasi
Filsafat dan Pemikiran Islam.
6. Pengalaman
a. Staf Koperasi Pelajar dan Usaha Kesejahteraan Keluarga (UKK) Pondok
Modern Darussalam Gontor (2004-2007)
b. Staf Sekretaris Pondok Modern Gontor 3 Darul Makrifat Kediri (2007-2011)
c. Guru KMI Pondok Modern Gontor 3 Darul Makifat Kediri (2005-2011)
d. Guru KMI Dayah Perbatasan Darul Amin Kutacane Aceh Tenggara (2011-2013)
e. Guru SMP Islam Terpadu Al-Kautsar Komp. BTP Makassar (2014)
f. Guru KMI Pondok Pesantren Syekh Hasan Yamani Ds. Parappe Kec.
Campalagian Kab. Polewali Mandar (2014-sekarang)
g. Staf Sekretaris dan Bendahara Pondok Pesantren Syekh Hasan Yamani Ds.
Parappe Kec. Campalagian Kab. Polewali Mandar (2016-2017)
h. Dosen Tetap Ilmu Kalam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene
(2019-sekarang)
7. Karya Tulis
a. Konsep Ritual Keagamaan di Gereja Antik St. Maria Pohsarang Kediri
b. Kritik Anti-Mazhab Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi

Anda mungkin juga menyukai