Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

UVEITIS POSTERIOR OKULI SINISTRA

DISUSUN OLEH

Glory Artauli Silalahi

112016076

PEMBIMBING

dr. Dian Mulyawarman, SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 15 JANUARI 2018 – 17 FEBRUARI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
LEMBAR PENILAIAN

Nama Glory Artauli Silalahi

NIM 11 2016 076

Tanggal

Judul kasus UVEITIS POSTERIOR OKULI SINISTRA

Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5

Pengumpulan data

Analisa masalah

Penguasaan teori

Referensi

Pengambilan keputusan klinis

Cara penyajian

Bentuk laporan

Total

Nilai %= (Total/35)x100%

Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)

Komentar penilai

Nama Penilai Paraf/Stempel

dr. Dian Mulyawarman, SpM

2
Halaman Pengesahan

Nama Mahasiswa : Glory Artauli Silalahi

NIM : 11-2016-076

Bagian : Ilmu Penyakit Mata RS AU dr. Esnawan Antariksa / FK UKRIDA

Judul Kasus : Uveitis Posterior OS

Pembimbing : dr. Dian Mulyawarman, Sp.M

Jakarta, Februari 2018

Pembimbing,

dr. Dian Mulyawarman, Sp.M

3
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


STATUS ILMU MATA
Hari/tanggal presentasi kasus : 8 Februari 2018
RSAU dr. Esnawan Antariksa

Nama : Glory Artauli Silalahi Tanda Tangan

NIM : 11.2016.076 ..............................

Dr. Pembimbing: dr. Dian Mulyawarman, Sp.M

1.1. ANAMNESIS, RIWAYAT PENYAKIT DAN PEMERIKSAAN FISIK


1.1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. BT Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir/Umur : 11-04-1977 / 40 tahun Suku Bangsa : Jawa

Status perkawinan : Sudah Menikah Agama : Islam

Pekerjaan : TNI AU Pendidikan : SLTA

Alamat : Jl. Kamboja VII NO.36 No RM : 11-95-07

1.1.2. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 1 februari 2018 pukul 13.00 di
Poli Mata RSAU dr. Esnawan Antariksa.

4
Keluhan Utama

Penglihatan mata kiri perlahan semakin kabur sejak 1 Bulan yang lalu

Keluhan tambahan

Melihat bayangan berupa garis-garis yang melayang

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 Bulan SMRS, Pasien datang ke polikilinik Mata RSAU dr. Esnawan Antariksa
dengan keluhan, mata kiri perlahan semakin kabur pandangannya disertai seperti bayangan
berupa garis-garis yang melayang. Keluhan timbul secara tiba-tiba. Rasa nyeri pada mata,
silau , dan mata berair dirasakan oleh pasien. Kepala pusing dan melihat pelangi (halo) di
sekitar lampu juga dirasakan oleh pasien. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain
sebelumnya. Pasien mengaku tidak memilliki kebiasaan mengucek-ucek mata dan tidak
pernah memiliki riwayat kecelakaan atau terkena pukulan pada mata.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat merokok disangkal. Riwayat
alergi tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit serupa dengan pasien.

I.1.3 STATUS GENERALIS

i. Status Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis


Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 80 kg

5
ii. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS OPHTALMOLOGI

KETERANGAN OD OS
 Visus
Visus 6/8,5 5/60
Koreksi S + 0.50 6/6f -
Addisi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kacamata lama Tidak ada Tidak ada
 Kedudukan bola mata simetris
Gerakan bola mata Bebas ke segala arah, nyeri gerak (-)
 Palpebra superior
Edema - -
Nyeri tekan - -
 Konjungtiva Superior dan Inferior
Hiperemis - -
Folikel Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
 Konjungtiva Bulbi
Sekret Serous - -
Injeksi siliar - +
Injeksi Konjungtiva - +
 Kornea
Kejernihan Jernih Jernih
Edema Tidak ada Tidak ada
Permukaan Licin Licin
 Bilik mata depan
kedalaman dalam dalam
Kejernihan jernih jernih
hifema Tidak ada Tidak ada
 Iris
Warna Hitam Hitam
Kripte Jelas Jelas
 Pupil
Letak Tengah Samar
Bentuk Bulat Bulat

6
Ukuran 3 mm Sulit dinilai
Refleks Cahaya Langsung + +
Refleks Cahaya Tidak
Langsung + +

 Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Shadow Test - -

 Vitreous Humour Jernih Keruh

 Tonometri 20 18

1.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan

1.3. RESUME

Pasien Tn. BT usia 40 tahun datang ke polikilinik Mata RSAU dr. Esnawan
Antariksa dengan keluhan, mata kiri perlahan semakin kabur pandangannya disertai seperti
bayangan berupa garis-garis yang melayang sejak 1 bulan SMRS. Keluhan timbul secara
tiba-tiba. Rasa nyeri pada mata, silau , dan mata berair dirasakan oleh pasien. Kepala pusing
dan melihat pelangi (halo) di sekitar lampu juga dirasakan oleh pasien. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit lain sebelumnya. Pasien mengaku tidak memilliki kebiasaan mengucek-
ucek mata dan tidak pernah memiliki riwayat kecelakaan atau terkena pukulan pada mata.

Pada PF ditemukan TD 120/80 mmHg. Visus mata OD 6/8,5 S+ 0,50 6/6f dan OS
5/60. Pada pemeriksaan lensa OS ditemukan konjungtiva bulbi injeksi siliar (+), injeksi
konjungtiva (+),letak pupil samar-bulat-sulit dinilai. Tonometri OD 20 sedangkan OS 18.

1.4. DIAGNOSIS
 Uveitis posterior OS

Dasar Diagnosis:

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur sejak 1
bulan yang lalu. Pada awalnya pasien merasakan mata kiri perlahan semakin kabur
pandangannya disertai seperti bayangan berupa garis-garis yang melayang sejak .Keluhan
timbul secara tiba-tiba. Rasa nyeri pada mata, silau, dan mata berair dirasakan. Keluhan

7
seperti ini sesuai dengan keluhan uveitis posterior yang umumnya melihat bayangan benang
hitam yang seperti lalat beterbangan. Dengan keluhan yang unilateral mendukung diagnosis
uveitis dikarenakan uveitis umumnya unilateral. Fotofobia juga bisa tejadi pada uveitis
posterior. Dikarenakan diakui pasien awalnya terdapat penurunan penglihatan maka perlu
dipikirkan diagnosis banding dari mata tenang visus turun perlahan yaitu katarak, glaukoma,
dan retinopati. Visus menurun bisa disebabkan karena lokasi peradangan terletak pada
macula. Gangguan penglihatan tergantung dari letak dan luasnya lesi; apabila lesi central dan
luas maka gangguan penglihatan menjadi keluhan utama. Bila lesi kecil dan tidak sentral,
gangguan penglihatan tidak dirasakan. Pada pemeriksaan slit lamp umumnya segmen anterior
bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga seringkali proses uveitis
posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya kabur.
Dengan menggunakan oftalmoskopi vitreus humor tampak keruh sehingga retina sulit
dinilai. Jika terjadi peradangan, retina dapat tampak suram, pembuluh darah tak nyata karena
tenggelam didalam edema. Pada peradangan dapat juga ditemukan bercak eksudat yang
berupa berwarna kekuning-kuningan yang biasanya tampak sepanjang pembuluh darah atau
di macula. Badan kaca keruh karena masuknya sel-sel radang kedalamnya. Kongesti papil
menyebabkan papil dengan batas tak nyata, suram. Pada pemeriksaan funduskopi dapat
ditemukan kelainan segmen posterior ditemukan kelainan berupa proses peradangan
retinikoroiditis, atau koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang
baru didapatkan tepi lesi yang kabur dan lesi terlihat 3 dimensional dan dapat disertai
perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheating pembuluh darah. Pada lesi lama
didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai hilang atau
mengkerutnya jaringan retina atau koroid.

1.5. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa
- Midriatikum  sulfas atropin 1 % sehari 3 kali tetes, homatropin 2 % sehari 3 kali
tetes, dan scopolamin 0,2 % sehari 3 kali tetes
- Topikal  dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %.
- Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler
dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml), prednisolone succinate 25 mg (1 ml),
triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml) , methylprednisolone acetate 20 mg.
- Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80 mg per hari
sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari
8
- Antibiotik sistemik (cefadroxil) tablet 2x500 mg selama 5 hari
Non medika mentosa
 penggunaan kacamata hitam  bertujuan untuk mengurangi fotofobia
 pasien di edukasi agar menjaga kebersihan salah satunya dengan mencuci tangan

1.6. Prognosis

Ad vitam: Bonam

Ad sanationam: dubia ad malam

Ad fungsionam: ad malam

1.7. Saran

Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dilakukan hematologi lengkap dan tes imunologi.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini adalah pemeriksaan darah lengkap serta pemeriksaan
titer IgG dan IgM Toxoplasma. Alasan dilakukannya pemeriksaan penunjang ini karena
penyebab tersering peradangan koroid dan retina pada pasien kelompok umur 16-50 tahun
adalah toxoplasmosis, retinitis, cytomegalovirus, sifilis, dan tuberkulosis. Toksoplasmosis
adalah penyebab korioretinitis paling umum pada manusia dan merupakan 30-50 % dari
kasus uveitis posterior

9
TINJAUAN PUSTAKA

Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen posterior uvea, yaitu pada
koroid, dan disebut juga koroiditis. Karena dekatnya koroid pada retina, maka penyakit
koroid hampir selalu melibatkan retina ( korioretinitis ). Uveitis posterior biasanya lebih
serius dibandingkan uveitis anterior.1

Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut tapi biasanya


berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut ( akut dan kronik ) dapat menyebabkan
pembuluh darah diretina saling tumpang tindih dengan proses peradangan di uvea posterior.
Penyebab utama uvea posterior tidak berpengaruh pada faktor eksternal dari uvea bagian
posterior. Dengan pemeriksaan oftalmoskopi standar dan lamanya peradangan penyakit
secara lengkap dengan perubahan pada koroid sudah dapat dilihat kelainan. Terjadinya
perubahan elevasi yang memberi warna kuning atau abu – abu yang dapat menutup koroid
sehingga pada pemeriksaan koroid tidak jelas. Perdarahan diretina akan menutup semua area,
pada beberapa kasus terdapat lesi yang kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah
beberapa minggu atau bulan akan ditemukan infiltrat dan edema hilang sehingga
menyebabkan koroid dan retina atrofi dan saling melekat. Daerah yang atrofi akan
memberikan kelainan bermacam – macam dalam bentuk dan ukuran. Perubahan ini akan
menyebabkan perubahan warna koroid menjadi putih, kadang pembuluh darah koroid akan
tampak disertai karakteristik dari deposit irregular yang banyak atau berkurangnya pigmen
hitam terutama pada daerah marginal. Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang
berkurang di koroid dan retina. Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan penglihatan
kabur disertai dengan melihat lalat berterbangan ( floaters). Penurunan tajam penglihatan
dapat dimulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah makula atau
papilomakula.

Kerusakan bisa terjadi perlahan – lahan atau cepat pada humor vitreus yang dapat
dilihat jelas dengan fundus yang mengalami obstruksi. Pada korioretinitis yang lama biasanya
disertai floaters dengan penurunan jumlah produksi air mata pada trabekula anterior yang
dapat ditentukan dengan pemeriksaan fenomena Tyndall. Penyebab floaters adalah
terdapatnya substansi di posterior kornea dan agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea
bagian dalam. Mata merah merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau putih yang
disertai penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini biasanya sudah didapatkan atropi pada

10
koroid, sering kali uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya
kabur.

Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang menurun, floating
spot dan skotoma. Karena terdapat banyak kelainan pada badan vitreus sel yang disebabkan
fokal atau multifokal retina dan koroid gambaran klinis bisa juga secara bersamaan.
Diagnosis banding tergantung dari lama dan penyebab infeksi atau bukan infeksi. Infeksi bisa
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan cacing non infeksi, bisa juga disebabkan
oleh penurunan imunologik atau alergi organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah
timbul endoftalmitis dan neoplasma. Dalam membuat diagnosis uveitis posterior harus akurat
dan lengkap tentang riwayat perjalanan penyakit dan sistem yang mendapat kelainan yang
berhubungan dengan uveitis. Riwayat pemakaian kortikosteroid yang lama, obat – obatan
imunosupresan, terapi antibiotik, obat – obat intravena atau pasien dengan hipereliminasi
bakterial endogen, jamur dan penyakit virus. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan
dengan penyakit sistemik. Pasien dengan penyakit sistemik kolagen vaskular yang
berhubungan dengan dermatologi, jaringan ikat, paru – paru, gastrointenstinal dan saluran
kemih yang dapat mempermudah terjadinya inflamasi. Pertimbangan lain adalah umur pasien
dan apakah timbulnya unilateral atau bilateral. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu
memastikan.2

Tabel 1 . Penyebab Uveitis Posterior

1. Penyakit Virus
 Penyakit Herpes
Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah keratitis. Lesi kulit vesikuler juga
dapat muncul di kulit dan tepi kelopak. Herpes simpleks dapat menyebabkan iridosiklitis.
Virus herpes simpleks tipe I, virus varicela zoster, dan CMV pernah dilaporkan sebagai
penyebab sindrom nekrosis retina akut.3

11
 Sindrom Nekrosis Retina Akut (ARN)
ARN merupakan suatu proses nekrosis pada retina yang disebabkan oleh infeksi.
Penyebab penyakit ini yang paling sering adalah virus varisela zoster, herpes simpleks tipe 2
dan cytomegalovirus. Kadang penyakit ini tanpa gejala sehingga pasien tampak sehat
meskipun mengenai pasien dengan AIDS. ARN merupakan diagnosis dari gejala klinik,
pasien sering datang dengan keluhan penglihatan kabur secara akut. Terdapat inflamasi
segmen anterior yang memberi rongga pada beberapa bagian disertai eksudat pada badan
vitreus. Masa inkubasi 2 minggu sampai terbentuknya sumbatan yang akan menyebabkan
arteriolitis retinal, vitritis dan bercak kuning – putih di posterior retina. 3

 AIDS dan Retinitis Cytomegalovirus


Uveitis sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi human immunodeficiency virus
(HIV), khususnya pada stadium lanjut saat AIDS timbul. Jumlah limfosit T CD4 merupakan
prediktor yang baik untuk risiko infeksi oportunistik, yang kebanyakan terjadi pada jumlah
kurang dari 100 sel/μl. Uveitis paling sering terjadi pada infeksi di segmen posterior mata.
Retinitis cytomegalovirus-retinitis geografik yang sering disertai perdarahan, mengenai 30-
40% pasien HIV-positif pada suatu waktu selama perjalanan penyakitnya sebelum
dimulainya terapi antiretroviral kombinasi. Lesi itu dapat mengancam makula atau lempeng
optik dan biasanya terdapat sedikit inflamasi pada vitreus. Pada umumnya, penegakan
diagnosis memerlukan biopsi vitreus.4,5

Gambar 1. “Pizza Pie Appearance” Pada Pasien Dengan Retinitis Cytomegalovirus


Sumber : www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841371/figure/F0006/

12
2. Penyakit Jamur
 Histoplasmosis
Merupakan kelainan multifaktor korioretinitis, epidemiologinya berhubungan dengan
Histoplasma capsulatum, yang merupakan jamur dimorfik yang dalam perkembangannya
dapat bertahan 2 tahun dalam bentuk filamennya. Spora jamur tersebut dapat menyebabkan
terjadinya penyakit sistemik dan penyakit mata. Beberapa daerah di Amerika Serikat yang
endemis histoplasmosis yaitu Ohio dan lembah sungai Missisippi. Diagnosis koroiditis yang
diduga disebabkan oleh histoplasmosis sering ditegakkan. Infeksi primer pada mata terjadi
setelah kontak spora jamur yang berasal dari paru – paru. Jamur ini dapat menyebar ke limpa,
hati, dan koroid mengikuti infeksi yang berasal dari paru – paru. Histoplasmosis didapat
kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat dari keadaan sakit yang tidak berbahaya dan
biasanya ditemukan pada anak – anak.4,5

Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap histoplasmosis dan


menunjukkan bercak – bercak khas pada perifer fundus. Bercak – bercak ini berbentuk daerah
– daerah kecil, bulat atau lonjong tidak teratur, tanpa pigmen kadang – kadang dengan batas
berpigmen halus. Kadang dapat ditemukan atrofi peripapiler dan hiperpigmentasi. Bercak
histo muncul pertama kali pada mata selama masa remaja, tetapi makulopati baru
berkembang pada usia 20 -50 tahun, rata-rata pada usia 41 tahun. Secara patologi, lesi
pertama muncul dalam bentuk granuloma di koroid. Koroiditis akan menyebabkan
penglihatan menurun dan terbentuk sikatrik disertai pigmentasi pada pigmen epitelium, atau
memberi gambaran rusaknya membran pigmen epitelium yang disebabkan peningkatan kadar
limfosit. Pada daerah pusat koroiditis akan terbentuk pembuluh darah baru subretinal yang
baru, yang akan menyebabkan peningkatan cairan, lipid dan darah yang dapat menyebabkan
kerusakan pada fungsi makular.4,5

Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai pembentukan bercak kecil


yang menyebar, perubahan papil – papil di pigmen dan pembentukan cincin pigmen dimakula
sehingga menyebabkan saraf sensorik retina saling tumpang tindih, kadang disertai
perdarahan. Pada permulaan histo akan terbentuk bercak dimakula dan badan vitreus yang
tidak terlihat pada histoplasmosis, jarang didapat gejala yang menyertai bentuk atrofi. Sel
vitreus tidak terlihat pada OHS, dan gejala sering bersamaan dengan perifer dan atropi bercak
histo. Bercak tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched out yang disebabkan oleh
jumlah yang bervariasi dari luka yang terdapat pada koroid dan yang berlengketan pada retina

13
lapisan luar. Gangguan penglihatan pada pusat penglihatan karena keterlibatan makula
sehingga pasien harus dirujuk ke dokter mata.

Pada daerah koroiditis dapat diobati dengan kortikosteroid oral dan lokal. Pada tahap
awal dari angiogram fluoresein, koroid aktif akan menghambat zat tersebut dan akan tampak
hipofluoresein. Selanjutnya, lesi koroid akan berwarna dan menjadi hiperfluoresein. Dengan
kontras, area pada membran neovaskular subretina aktif akan menjadi hiperfluoresein yang
terjadi awal pada angiogram.

 Kandidiasis ( Candida albicans)


Meskipun tidak umum, insiden penyakit inflamasi bola mata yang disebabkan oleh
Candida albican meningkat khususnya sebagai akibat dari penggunaan imunosupresan dan
obat-obat intravena. Retinitis kandida dapat terlihat pada penderita AIDS akibat penggunaan
obat intravena meskipun hal tersebut jarang terjadi. Candida endoftalmitis terjadi pada 10-
37% pasien dengan kandidemia yang tidak mendapat terapi anti jamur. Pada pasien yang
mendapat terapi anti jamur kemungkinan mengenai mata terjadi penurunan. Organisme
menyebar secara metastasis ke koroid. Replikasi jamur mempengaruhi vitreus dan retina
sekunder. Gejala dari kandidiasis mata adalah penurunan tajam penglihatan atau floaters,
tergantung pada lokasi lesi. Menyerupai koroiditis Toxoplasma lesi pada segmen posterior
tampak putih kuning dengan batas yang halus, dengan ukuran dari spot woll yang kecil
sampai beberapa pertambahan diameter diskus. Lesi mula-mulanya terdapat di retina dan
berakibat eksudasi ke vitreus. Lesi perifer mungkin menyerupai pars planitis.

Diagnosa kandidiasis mata dapat ditegakkan dengan kultur darah positif yang didapat
pada saat terjadi kandidemia. Seorang dokter harus waspada pada kemungkinan diagnosis
kandidiasis pada pasien rawat inap yang menggunakan kateter intavena atau yang mendapat
terapi antibiotik sistemik, steroid dan antimetabolit. Pasien yang dirawat karena kandidemia
harus diperiksa kemungkinan mengenai mata. Pada pasien tersebut pada dua pemeriksaan
akan ditemukan dilatasi fundus yang dilakukan secara terpisah selama 1-2 minggu untuk
mendeteksi metastasis penyakit mata.Pengobatan untuk kandidiasis mata meliputi intravena,
pengobatan anti jamur periokular dan intraokular seperti amphoterisin B dan ketokonazole,
Flusitosin, Fluconazole atau Rifampin oral yang dapat diberi dengan ditambah amphoterisin
B intravena. Bila proses inflamasi mengenai retina dan sampai ke dalam vitreus, anti jamur
intravitreal dan vitrektomi dapat dipertimbangkan. Terapi yang tepat untuk lesi perifer
memiliki prognosis yang baik. 3-5

14
3. Penyakit Protozoa
 Toxoplasmosis okular
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa obligat intraselular yang menyebabkan
nekrosis retina koroiditis. Terdapat 3 bentuk: ookista, atau bentuk tanah (10-12µm), takizoit,
atau bentuk aktif infeksius ( 4-8 µm) dan kista jaringan atau bentuk laten (10-200µm),
mengandung sebanyak 3000 bradizoit. Parasit usus yang ditemukan pada kucing. Ookista
ditemukan pada feses kucing yang kemudian termakan oleh tikus dan burung yang dapat
berperan sebagai reservoir atau host intermediet bagi parasit. Manusia terinfeksi lebih sering
karena memakan daging yang mentah dan kurang matang yang mengandung kista jaringan.
Wanita yang mendapat Toxoplasmosis selama kehamilan dapat mentransmisikan takizoit ke
janin dengan potensial mata yang parah, SSP dan komplikasi sistemik. Wanita hamil nonimun
tanpa bukti serologik terpapar toxoplasmosis harus berhati-hati bila memelihara kucing dan
harus menghindari daging mentah.

Gambar 2. Toksoplasmosis Kongenital


Sumber : www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841371

Pasien retinokoroiditis toksoplasma mengeluhkan floaters dan penglihatan kabur.


Pada kasus-kasus berat, dapat pula disertai nyeri dan fotofobia. Lesi okularnya terdiri atas
sejumlah daerah putih-halus retinokoroiditis nekrotik fokal yang bisa kecil atau besar, tunggal
atau multiple. Lesi edema yang aktif sering didapatkan bersebelahan dengan parut retina yang
telah sembuh. Pada retina, dapat terjadi vaskulitis dan perdarahan. Edema makula kistoid bisa
menyertai lesi pada makula atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien-pasien
dengan infeksi berat dan tekanan intraokularnya bisa meningkat.5,6

15
Gambar 3. retinokoroiditis toksoplasma
Sumber : www.jcor.In.\ Journal Of Clinical Ophthalmology And Research.

Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan pemeriksaan mata baik dengan
pemeriksaan direk maupun indirek. Kuning keputihan, sedikit tinggi letaknya, lesi kabur
dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi sering berada dekat dengan bekas luka korioretinal.
Lesi tersebut tampak pada bagian posterior dibandingkan pada fundus bagian lain dan
kadang-kadang terlihat berdekatan dengan papil nervus optikus. Sering salah dianggap
sebagai papilitis optik. Pembuluh darah retina pada sekitar lesi aktif tampak perivaskulitis
dengan sarung vena dan arterial segmental yang difus. Karakteristik lesi adalah retinitis fokal
eksudatif. Pada lapisan depan retina merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii. Lesi ini
tidak menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal penyakit, dan pasien tidak
menyadari floating spot sampai lapisan depan retina dan membran hialoid posterior terkena.
Retinitis toksoplasma dapat dimanifes oleh lesi retina perifer, kecil, punctata, sering disebut
Punctate Outer Retinal Toxoplasmosis (PORT).

Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan:


1. Observasi dari karakteristik lesi fundus (fokal nekrosis retinokoroiditis)
2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada serum pasien
3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan nekrosis lesi pada
fundus, seperti sifilis, sitomegalovirus dan jamur.
Pemeriksaan toxoplasma Eye Sabin dan Feldman, pemeriksaan hemaglutinasi, atau
pemeriksaan antibody immunofluoresen indirek menyediakan fasilitas yang sama. Namun
ELISA dapat memberi lebih sensitifitas dan spesifisitas. Harus di ingat bahwa titer serum
pada pemeriksaan tersebut dapat sangat rendah pada pasien dengan toksoplasmosis mata dan
tidak terdapat tanda sistemik lain pada penyakit ini. Titer serum antibodi signifikan apabila

16
terdapat lesi fundus yang berhubungan dengan toksoplasmosis mata. Pemeriksaan humor
akous dapat digunakan untuk konfirmasi adanya penyakit toksoplasma pada kasus yang
masih meragukan. Pemeriksaan tersebut lebih signifikan pada saat titer antibodi pada humor
akous lebih tinggi daripada dalam serum. Meskipun diagnosis toksoplasmosis mata didasari
dengan pemeriksaan fisik, antibodi antitoksoplasmosis negatif perlu dipikirkan diagnosis lain.
Para dokter dalam hal menginterpretasikan standar pemeriksaan antibodi IgG harus
mengingat bahwa laboratorium menampilkan pemeriksaan pada dilusi 1 : 8 atau lebih,
meskipun reaksi antibodi positif ditemukan dilusi 1 : 4 atau kurang. Titer antibodi yang
sangat rendah ini tetap mengindikasikan terdapat toksoplasmosis yang sebelumnya tetapi juga
dapat mengarah ke positif palsu sebagai hasil dari reaksi nonspesifik.

4. Penyakit non infeksi

 Autoimun:Vaskulitis retina, penyakit bechet, oftalmia simpatis.

 Keganasan:Leukemia, sarcoma sel reticulum, melanoma maligna, leukemia

 Etiologi tidak diketahui: Sarkoiditis, epitelopati pigmen retina, koroiditis


geografik.

 Yang sering terjadi mengakibatkan uveitis posterior adalah :

1. Sindrom Behcet

Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari wanita.Penyebab diduga
suatu proses imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat disingkirkan. Walaupun
memiliki banyak gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya perubahan
mencolok kadar komplemen serum pada permulaan serangan mengisyaratkan suatu gangguan
kompleks imun. Baru-baru ini pada pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun
berkadar tinggi dalam darah. Sebagian besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-
B51, suatu subtipe HLA-B5. 4-6
Ditandai 4 kelainan yaitu :
o Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada dasarnya didapatkan peri arteritis
dan end arteritis yang menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga dapat terjadi iskemi retina,
perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat hipopion maka hal ini merupakan gejala yang
lebih lanjut.
o Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang dapat mengenai bibir,
lidah, mukosa bukal, palatum durum serta palatum molle.

17
o Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta hipersensitivitas kulit.
o Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria atau wanita. Pengobatan sering
berupa pemberian imunosupresan multipel (mis: steroid,siklosporin, azatioprin), walaupun
demikian hasil akhir penglihatan tetap buruk pada 25% kasus

Gambar 3.’Cold’ hipopion pada Sindrom Behcet


Sumber : Forrester JV, Okada AA, BenEzra D, Ohno S, eds. Posterior segment intraocular
inflammation guidelines. The Hague: Kugler Publications, 1998.

2. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)

Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai oleh
iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini biasanya
diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-kadang vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi kerontokan rambut bebercak atau
timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan
penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka panjang berupa pelepasan
serosa retina dan gangguan penglihatan.

Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe lambat


terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai penyebab belum
dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau cedera, infeksi atau yang lain,
mengubah struktur berpigmen di mata, kulit dan rambut sedemikian rupa sehingga tercetus
hipersentivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan
adanya bahan larut dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang

18
mungkin menjadi autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah
Oriental, yang mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.4-6

Gambar 4.Akut VKH menunjukkan gambaran Ablasio Retina eksudatif


Sumber : Forrester JV, Okada AA, BenEzra D, Ohno S, eds. Posterior segment intraocular
inflammation guidelines. The Hague: Kugler Publications, 1998.

3. Oftalmia Simpatika

Yaitu pan uveitis granulomatosa pada mata yang semula sehat (sympathetic eye) yang
timbul minimal dua minggu setelah terjadinya trauma tembus pada mata yang lain (exciting
eye). Biasanya exciting eye ini tidak pernah senbuh total dan tetap meradang pasca trauma,
baik tauma tembus akibat kecelakaan ataupun trauma karena pembedahan mata. Tanda awal
dari mata yang ber-simpati adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di
belakang lensa. Gejala ini diikuti oleh iridosiklitis sub akut, sebukan sel radang dalam vitreus
dan eksudat putih kekuningan pada jaringan dibawah retina. Penyakit ini dapat disertai
dengan gejala-gejala sistemik lain seperti vitiligo, alopesia dan poliosis (uban) sehingga mirip
sindrom VKH. Bedanya adalah pada sindrom VKH tidak ada riwayat trauma. Penyebab yang
pasti belum diketahui tetapi diduga kuat merupakan suatu reaksi autoimun terhadap jaringan
pigmen uvea atau pigmen epitel retina yang telah berubah sifat menjadi antigen pasca trauma
tembus mata. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid; bila tidak memberikan perbaikan
dapat ditambah pemberian imunosupresan. Yang terpenting adalah hati-hati dan waspada
menghadapi trauma tembus mata yang disertai destruksi jaringan uvea. 7

19
4. Poliarteritis Nodosa

Penyakit kolagen ini mengenai arteri berukuran sedang, terutama pada pria. Terjadi
peradangan hebat pada semua lapisan otot arteri, dengan nekrosis fibrinoid dan eosinofilia
perifer. Gambaran klinis utama adalah nefritis, hipertensi, asma, neuropati perifer, nyeri dan
atrofi otot dan eosinifilia perifer. Sering terjadi kelainan jantung, walaupun kematian
biasanya disebabkan oleh disfungsi ginjal. Kelainan mata dijumpai pada 20% kasus dan
terdiri dari episkleritis dan skleritis yang sering tidak nyeri. Apabila pembuluh-pembuluh
limbus terkena, dapat terjadi pembentukan alur-alur di kornea perifer. Sering terjadi
mikrovaskulopati retina. Hilangnya penglihatan secara mendadak mungkin disebabkan oleh
neuropati optikus iskemik yang mencerminkan keparahan vaskulitis di pembuluh siliaris atau
sumbatan arteri retina sentralis. Dapat terjadi oftalmoplegia akibat arteritis vasa nervorum.
Kortikosteroid sistemik dan siklofosfamid memberi manfaat, tetapi prognosis jangka panjang
tetap buruk.7

5. Granulomatosis Wegener

Proses granulomatosa ini memiliki persamaan gambaran klinis tertentu dengan


poliarteritis nodosa. tiga kriteria diagnosis adalah lesi granulomatosa nekrotikans pada
saluran napas, arteritis nekrotikans generalisata dan kelainan ginjal berupa glomerulitis
nekrotikans. Penyulit pada mata terjadi pada 50% kasus dan terjadi proptosis akibat
pembentukan granuloma orbita disertai keterlibatan otot mata atau saraf optikus. Apabila
vaskulitis mengenai mata dapat terjadi konjungtivitis, ulserasi kornea perifer, skleritis,
episkleritis, uveitis dan vaskulitis retina. Antibodi sitoplasma antineutrofilik ditemukan pada
sebagian besar kasus dan memiliki nilai diagnostik sekaligus prognostik. Kortikosteroid yang
dikombinasikan dengan imunosupresan (terutama siklofosfamid) sering memberi hasil
memuaskan.7

6. Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut (APMPPE)

APMPPE biasanya menyerang individu pada usia remaja dan dewasa muda. Pasien
mengeluh penglihatannya berkurang. Sebagian penderita umumnya merasa sehat, tetapi ada
juga yang mempunyai gejala-gejala prodormal seperti pada penyakit infeksi virus.
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya banyak lesi berupa plak berwarna putih
kekuningan dan homogen, pada retina pigmen epithelium dan koriokapilaris. Setelah 2-6

20
minggu, lesi ini akan menghilang dan meninggalkan depigmentasi pada retina pigmen
epithelium.

Diagnosis APMPPE ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, terutama jika didahului


adanya gejala sistemik seperti gejala infeksi virus. Pada stadium akut, fluorescein angiografi
menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid oleh lesi plakoid dan adanya bekas noda
hiperfluoresein. Pada kebanyakan kasus, pengobatan tidak diperlukan, ketajaman penglihatan
akan kembali normal dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit ini mirip
dengan koroidopati serpiginosa (geografik), tetapi APMPPE adalah penyakit yang bersifat
akut dan biasanya tidak rekuren, sedangkan koroidopati serpiginosa adalah penyakit yang
sangat progresif. 7

Gambar 5. Tampak Lesi Plakoid pada Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut
Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841371/figure/F0008/

7. Retinokoroidopati ”Birdshot” (Korioretinitis Vitiliginosa)

Keadaan yang tidak umum ini biasanya terjadi pada dekade ke-5 sampai dekade ke-7
kehidupan, wanita lebih sering dibandingkan pria. Gejala awalnya berupa berkurangnya
ketajaman penglihatan, nyctalopia dan gangguan penglihatan warna. Mungkin ada sedikit
inflamasi segmen anterior. Didalam vitreus dapat ditemukan sel-sel. Karakteristiknya adalah
ditemukannya banyak bintik putih kekuningan atau depigmentasi pada fundus, seolah-olah
fundus mendapat pukulan ”birdshot from a shotgun”. Bintik-bintik juga muncul pada pigmen
epitelium. Edema diskus, atrofi N. Optikus, edema makula, pembuluh darah retina menipis
dan berkerutnya permukaan retina dapat juga ditemukan. Pada 80-90% pasien dapat
ditemukan HLA-A29 haplotipe, yang mana merupakan faktor predisposisi genetik dalam

21
perkembangan penyakit ini. Penyakit ini adalah penyakit yang kronik, sering mengalami
eksaserbasi dan remisi. 7

8. Koroidopati Serpiginosa

Biasanya penyakit ini menyerang wanita pada dekade ke-4 sampai dekade ke-6
kehidupan. Keluhan utama dari pasien ialah penglihatan menjadi kabur. Pada vitreus tidak
ditemukan sel, tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan sel dalam jumlah yang banyak.
Gambaran sikatriks seperti serpiginosa (pseudopodial) atau geograpik (seperti peta) terdapat
di fundus posterior. Tepi lesi ini mungkin aktif, berwarna kuning abu-abu dan tampak edema.
Daerah yang aktif akan menjadi atrofi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan,
kemudian lesi yang baru dapat muncul di mana saja atau berdekatan dan memberi gambaran
seperti ular. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan karakteristik gambaran klinik.
Angiografi fluorescein menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid, pada daerah
dimana penyakitnya aktif. Pada saat penyakitnya tidak aktif, daerah yang menarik zat warna
dapat menyebarkan fluorescein, tetapi tidak di tahan. Jika penyakit ini mengenai makula,
maka ketajaman penglihatan sentral akan terganggu. 7

Diagnosis

A. Anamnesis3-5
Umur : Pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom samaran”, seperti
retinoblastoma atau leukemia. Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun penyebab uveitis
posterior termasuk Toksoplasmosis, Uveitis intermediate, Sitomegalovirus dan infeksi bakteri
atau fungi. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun yang termasuk diagnosa banding
adalah Toksoplasmosis, Sifilis dan Candida. Pada pasien yang berumur di atas 40 tahun
mungkin menderita sindrom nekrosis retina akut, Toksoplasmosis, Retinits dan Sarkoma sel
reticulum.

B. Gejala 3-5
o Penurunan penglihatan : Penurunan ketajaman penglihatan dapat terjadi pada semua jenis
uveitis posterior dan karenanya tidak berguna untuk diagnosis banding
o Injeksi mata : Kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen posterior yang terkena.
Jadi gejala ini jarang pada Toksoplasmosis dan tidak ada pada histoplasmosis. Biasa
terlihat seperti lalat yang berterbangan (floaters)

22
o Sakit : Rasa sakit terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis retina akut, Sifilis,
Infeksi bakteri endogen, Skleritis posterior dan pada kondisi-kondisi yang megenai N. II.
o Fotofobia.

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Posterior Akut dan Kronik


Sumber : Voughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009. h. 150-68.

Uveitis Posterior Akut Kronik

- Edema retina Menyolok dengan kesuraman Biasanya ringan atau sedang


dan sub retina. pinggir neuroretinal dan retinal dan berada sekitar eksudat.
- Eksudat- vascular bed.
eksudat Eksudat-eksudat besar
Tidak ada eksudat besar,kadang-
khoroid pinggir-pinggir susut akibat
kadang aerah tertentu infiltrasi
- Retina terlibat retina atau edema sub
lebih dalam
retinasekitarnya.
Tidak ada atau terbatas pada epitel
Dekstrusi retina
pigmen kerucut dan batang

C. Pemeriksaan
 Pemeriksaan pada mata
Terdiri dari pemeriksaan visus, pemeriksaan dengan binokuler, pemeriksaan dengan
funduskopi dan pemeriksaan lapangan gelap.

 Pemeriksaan darah
Terdiri dari pemeriksaan darah rutin dan indikator leukosit yang akan diamati.

 Pemeriksaan etiologi
Seperti apabila dicurigai penyebabnya kuman TBC dilakukan Mantoux test (test untuk
Tuberkulosis) dan rontgen (Thorax ).

Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan
sehingga seringkali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai
penglihatannya kabur. Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau koroiditis tanpa
komplikasi. Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinikoroiditis, hal yang

23
sama terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang
baru didapatkan tepi lesi yang kabur dan lesi terlihat 3 dimensional dan dapat disertai
perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheating pembuluh darah. Pada lesi lama
didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai hilang atau
mengkerutnya jaringan retina atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan parut retina
atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.

Terapi

 Konservatif
Biasanya pasien diberikan anti- radang seperti kortikosteroid, immunosuppressive /
cytotoxic agent . Bila penyebabnya infeksi maka akan diberikan antibiotik atau anti virus.
Contohnya Pengobatan standar untuk toksoplasmosis mata terdiri dari pyrimethamine
(daraprim) dan sulfonamide. Dosis awal pyrimethamine 150 mg diikuti 25 mg perhari untuk
6 minggu, dosis awal triplesulfa atau sulfadiazine 4 mg diikuti dengan 1g obat yang sama 4 x
sehari selama 4 atau 6 minggu. Terapi dengan pyrimethamine dan sulfonamide
mengecewakan pada usia tua dan pada lesi yang luas pada fundus yang muncul untuk
beberapa bulan. Efek negatif dari kandungan sulfa meliputi kulit merah, batu ginjal, dan
sindrom Steven Johnson. Banyak ahli mata menggunakan trimethoprim/sulfamethoxazole
(bactrim, septra) sebagai alternatif sulfadiazin. Karena sulfadiazin lebih mahal dan sangat
sulit didapat. Asam folinik secara umum mencegah leukopenia dan trombositopenia yang
diakibatkan terapi pirimetamin. Jumlah leukosit dan trombosit harus dimonitor setiap hari.
Asam folinik sekarang tersedia dalam bentuk preparat oral dan diberikan 5 mg tablet setiap
hari. Namun terapi klindamisin dapat menyebabkan kolitis membranosa. Terapi baru sudah
mulai tersedia untuk toksoplasma. Atovaquone adalah agen untuk bentuk kista yang
berpotensial mengurangi bahkan untuk bentuk bukan kista. Obat tersebut sangat larut lemak,
baik untuk penyakit sistemik dan pada pasien imunocompromise. Kekambuhan telah
diobservasi pada pasien yang diobati dengan obat tersebut, namun hal tersebut belum
dibuktikan untuk mencegah serangan toksoplasma berikutnya. Investigasi yang lebih lanjut
dibutuhkan sebelum ditetapkan sebagai terapi toksoplasmosis mata.8,9

 Tindakan
Kadang-kadang vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk membersihkan cairan
dalam bola mata yang meradang atau untuk diagnosis penyakit. Terapi fotokoagulasi dan
kryotherapi kurang berhasil. Neovaskularisasi retina dapat terjadi pada toksoplasma, dan

24
fotokoagulasi dari lesi neovaskular dapat mencegah kehilangan penglihatan sampai
perdarahan vitreus

Penyulit uveitis posterior :


a) Keratopati pita
Uveitis kronik dalam beberapa tahun khususnya pada anak akan menimbulkan
pengendapan kalsium pada membrane basalis dan lapisan bowman. Endapan kalsium
biasanya ditimbulkan pada daerah intrapalpebra sering meluas ke daerah sumbu penglihatan.
Terapi dilakukan dengan cara epitel kornea sentral dilepaskan dengan 15 bard parker blade
dengan meninggalkan sel – sel stem limbal secara utuh, kemudian ditetesi EDTA 0,35% 5
menit kemudian dicuci dengan BSS. Proses ini diulang hingga beberapa kali sampai deposit
kalsium hilang dan dipasang bandage lensa kontak kemudian diberi antibiotik dan
sikloplegik.6,7,8,9
b) Katarak
Penanganan katarak pada kasus uveitis bisa dilakukan dengan fakoemulsifikasi dengan
implantasi IOL in the bag. Pada kasus JRA terkait uveitis penanganan operasi katarak
dilakukan dengan menunggu ketenangan reaksi dalam 3 bulan, kemudian diberi steroid pre
operasi selama 1 hingga 2 minggu. Dilakukan sinekiolisis dengan viskoelastik diikuti oleh
kapsuloresis dan fakoemulsifikasi serta implantasi IOL in the bag. Steroid diberikan hingga 5
bulan. Dianjurkan menggunakan IOL akrilik hidrofobik. Penggunaan intraoperatif
tiamsinolon asetonid 4 mg intravitreal dapat mencegah terjadinya fibrin pasca bedah katarak
dibandingkan dengan penggunaan steroid intravenus intraoperatif. 6,7,8,9
c) Glaukoma
Dapat berupa hipertensi okular, glaukoma uveitik, glaukoma sekunder sudut sempit,
glaukoma sekunder sudut terbuka, glaukoma induksi kortikosteroid, glaukoma uveitis
mekanisme kombinasi. Pemeriksaan pasien dengan hipertensi okuli dan uveitis dianjurkan
diperiksa foto papil. Evaluasi OCT papil nervus optikus dan pemeriksaan lapangan pandang
secara berkala. Tindakan operasi pada uveitis adam antiades Behcet dengan mitomisin C
intraoperatif pada trabekulotomi dapat mengontrol tekanan bola mata tanpa obat – obatan
pada 83 % pasien pada akhir tahun pertama dan 62 % pada 5 tahun pasca bedah. Beberapa
penyulit dijumpai : katarak, kebocoran bleb, dan efusi koroid. Beberapa kasus khusus
misalnya pada pseudofakik atau afakik membutuhkan alat drainase seperti implan monteno,
implan ahmed, dan implan baerveldt. Untuk mencegah terjadinya glaukoma steroid lebih
aman digunakan fluorometolol, loteprednol atau rimeksolon. 6,7,8,9

25
d) Ablasi retina
Ablasi retina rematogenues terjadi pada 3 % pasien dengan uveitis, panuveitis, infeksi
uveitis, pars planitis dan uveitis posterior paling sering terjadi ablasi retina. Lebih dari 30 %
kasus uveitis dengan ablasi retina terjadi proliferasi vitreoretina (PUR) dalam hal ini maka
sklera buckling dan vitrektomi pars plana perlu dilakukan. Angka keberhasilan operasi
sebesar 60 % dengan visus akhir kurang dari 6 / 60.
e) Endoftalmitis
Dikaitkan dengan inflamasi bola mata yang melibatkan vitreus dan segmen depan namun
kenyataan juga dapat melibatkan koroid dan retina. Pada prinsipnya endoftalmitis dibagi 2
bentuk yaitu infeksi dan noninfeksi. Bentuk endoftalmitis yang paling sering dijumpai adalah
endoftalmitis infeksi yang dapat terjadi secara eksogen maupun endogen. Endoftalmitis
infeksi disebut juga endoftalmitis steril disebabkan oleh stimulus non- infeksi misalnya sisa
massa lensa pasca operasi katarak / atau bahan toksik yang masuk ke dalam bola mata karena
trauma. Gejala klinik yang sering timbul adalah penurunan tajam penglihatan, hipopion,
vitritis. Penurunan tajam penglihatan mendadak dapat berkisar mulai dari ringan hingga
berat, nyeri sering menyertai kasus endoftalmitis, kadang didapat hiperemia maupun kemosis
konjungtiva dan terdapat udem pada kelopak mata dan kornea

Prognosis

Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan


berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya. Tetapi tergantung di mana
letak eksudat dan dapat menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula dapat
menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta:


Erlangga; 2006. hlm. 76-89.
2. Ilyas S, Mailangkay HBB, Taim H. Saman, R. Simarwata, M. Widodo, PS, editors.
Ilmu Penyakit Mata.Jakarta: FKUI; 2010. hlm. 172-3,199.
3. Voughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009. hlm. 150-68.
4. Forrester JV, Okada AA, BenEzra D, Ohno S, eds. Posterior segment intraocular
inflammation guidelines. The Hague: Kugler Publications, 1998.
5. Lodhi S, Sudhakar G. Reddy, Amena Maryam. Pattern Of Posterior Uveitis In A
Tertiary Care Government Eye Hospital In South India Journal Of Clinical
Ophthalmology And Research. Published By Wolters Kluwer –
Medknow.2017.Access : http://www.jcor.In. On Tuesday, February 13, 2018
6. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. Edisi ke-6. Philadelphia:
Butterworth Heinemann Elsevier; 2006. hlm. 242-4.
7. American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea Section 11.San
Fransisco: MD Association; 2006. hlm. 185-7.
8. Khurana A. Community Ophtalmology in comprehensive Ophtalmologu. Edition ke-
4. New Delhi: New Age International Limitid publisher; 2007. hlm. 443-457.
9. F C Stephen, Albert T Vitale. Diagnosis & Treatment Of Uveitis.Jaypee Brothers
Medical Publishers:India.pg.102-23

27

Anda mungkin juga menyukai