Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT DAN ILMU LOGIKA

BERFIKIR FILSAFAT

Dosen Pengampu:
Hadi Siswanto

Disusun Oleh Kelompok 2


1. Mukti Murwanti 195059012
2. Shandra Ayu Deliva 185059038
3. Badli Parhati 195059011
4. Nopi Putriyani 185059039
5. Nurhamida 195059085
6. Nur Utami Dwi Astuti 195059013
7. Fitriana Kurniawati 195059010
8. Nurhaemi 185059097
9. Immanuela Anggi 185059073
10.Iqbal fahamzah 185059102

PROGRAM STUDI S-1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
Jl. Bambu Apus I No. 3, Cipayung, Jakarta Timur, 13990
Tahun Ajaran 2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayatNya kami dapat menyusun makalah dengan judul “Berfikir Filsafat”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Ilmu Logika,
Program Studi S-1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Respati
Indonesia Tahun Ajaran 2019/2020.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhirnya kami selaku penyusun
mohon maaf kepada semua pihak apabila ada kesalahan dan kekurangan makalah ini.

Jakarta, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I...................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................................3

1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................................3

BAB II..................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..................................................................................................................4

2.1 Pengertian...................................................................................................................4

2.2 Objek berfikir filsafat.................................................................................................5

2.3 Ciri-ciri berfikir filsafat..............................................................................................5

2.4 Karakteristik berfikir filsafat......................................................................................6

2.5 Metode Berfikir secara Filsafat..................................................................................7

BAB III..............................................................................................................................12

KESIMPULAN..................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat atau philosophy dalam bahasa inggris, atau falsafah
dalam bahasa arab merupakan istilah yang diwariskan dari tradisi
pemikiran Yunani Kuno. Filsafat secara harfiah berarti “cinta
kebijaksanaan”. Mendefinisikan filsafat tidaklah mudah, karena
pengertian filsafat yang ada adalah sejumlah pemikiran para filsosof
yang memberikan definisinya masing-masing, sehingga secara
subjektif para filosof memiliki pengertiannya masing-masing.
Dengan demikian, definisi yang mereka buat saling melengkapi.
Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada
usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang
dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles mendefenisikan
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan menurut Descartes,
filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam
dan manusia menjadi pokok penyelidikannya (Konrad Kebung,
2005). Selain pendapat-pendapat para filsuf tersebut, filsafat bisa
diartikan sebagai penjelasan, yaitu menjelaskan semua yang ada
dan yang mungkin ada. Sehingga metode yang digunakan dalam
berfilsafat adalah metode terjemah dan menerjemahkan.
Filsafat bukan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak
karena filsafat tidak hanya berkutat dengan buku-buku sulit. Akan
tetapi filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia
atau berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Dimulai dengan
pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan lalu dilanjutkan
dengan penggalian. Filsafat dapat dicapai oleh makhluk hidup yang
berakal (manusia) yang ingin memahami dirinya sendiri dan
dunianya. Kemudian hasil dari filsafat adalah cara berfikir yang
mendalam dan tepat tentang kehidupan.

1
Sehingga secara singkat filsafat dapat dianggap sebagai
berpikir atau pola pikir. Berfikir yang dimaksud adalah berfikir yang
bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Sehingga orang
yang berfilsafat berarti orang tersebut berupaya melakukan
pemikiran yang mendalam dan sistematis tertang berbagai
permasalahan yang berkembang agar memiliki posisi dan
pandangan yang jelas tentang suatu permasalahan tersebut. Akan
tetapi sebenarnya berfilsafat itu lebih dari sekedar pola pikir, karena
berfilsafat juga merupakan pola rasa atau pola hati dan pola krida.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa berfikir secara
filsafat berbeda dengan berfikir biasa, yang membedakan adalah
metode yang digunakannya. Berfikir biasa adalah berfikirnya orang
awam, yaitu berfikirnya masih tercampur, tidak berpola dan tidak
sistematis. Sedangkan berfikir secara filsafat adalah berfikir secara
ilmiah, logis dan diperkuat oleh efiden.
Berfikir memang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh
semua orang, tidak hanya dari kalangan tertentu saja, tapi semua
kalangan masyarakat. Tetapi tidak semua dari mereka yang berfikir
filsafat dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal berfikir filsafat
sangatlah penting untuk semua orang dalam rangka menjalani
aktivitas sehari-hari, atau untuk mencari solusi bagi sebuah
permasalahan. Jika ditelaah secara mendalam, begitu banyak
manfaat, serta pertanyaan-pertanyaan yang mungkin orang lain
tidak pernah memikirkan jawabannya. Karena filsafat merupakan
induk dari semua ilmu.
Beberapa manfaat berfikir filsafat, yaitu mengajarkan cara
berpikir kritis, sebagai dasar dalam mengambil keputusan,
menggunakan akal secara proporsional, membuka wawasan
berpikir menuju kearah penghayatan, dan masih banyak lagi. Itulah
sebabnya mengapa setiap orang diharapkan untuk selalu berfikir
filsafat kapanpun, dimanapun, dan dalam situasi apapun ia berada.

2
Namun kenyatannya, banyak orang yang masih bingung atau
tidak tahu tentang perbedaan cara berfikir secara filsafat dan
berfikir biasa. Banyak orang yang salah mengartikan, bahwa orang
yang berfikir berarti berfilsafat. Padahal sebenarnya orang berfikir
belum tentu berfilsafat walaupun oarang yang berfilsafat berarti
berfikir. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang
cara berfikir secara filsafat.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian filsafat
2. Apa saja objek berfikir filsafat
3. Apa saja ciri-ciri berfikir filsafat
4. Bagaimana karakteristik berfikir filsafat
5. Apa saja metode berfikir filsafat

1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian filsafat
2. Mengatahui objek berfikir filsafat
3. Mengetahui ciri-ciri berfikir filsafat
4. Mengetahui bagaimana karakteristik berfikir secara filsafat
5. Mengetahui beberapa metode berfikir secara filsafat

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan dari makalah ini yaitu :
1. Sebagai referensi bagi mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas
Respati Indonesia tentang Berfikir secara Filsafat;
2. Menambah wawasan bagi mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat pada
umumnya.

3
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Belajar filsafat berarti belajar tentang “kebijakan”. Atau setidaknya, ketika
Kita belajar Filsafat berarti kita belajar atau menjadi manusia yang mencintai
“kebijakan”. Lebih bagus lagi untuk menjadi orang yang bijak dalam hal apa
pun. Filsafat sebagai induknya ilmu, telah banyak berjasa dalam proses kemajuan
ilmu itu sendiri. Bahkan tidak sedikit diantara para tokoh atau keimuan, juga
disebut filosof, karena ilmunya mumpuni dan cara berpikirnya sudah terpenuhi dalam
kriteria berpikir filsafat.Adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani :
”philosophia”.
Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa,
seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis;
“philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah”
dalam bahasa Arab. Para filsuf memberi batasan yang berbeda -beda mengenai
filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan
filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah
atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia –philien : cinta dan sophia :
kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan
seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan
pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang
dimilikinya.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis, dapat ditegaskan bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara
mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi
tersebut.
Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang
sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan
akhirnya memperoleh kebenaran (A. Susanto, Filsafat Ilmu Suatu kajian dalam dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan aksiologis, 2011: H.1).

5
2.2 Objek berfikir filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek
yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan mungkin ada.
”Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu
meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang
ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran
atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya,
cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan mungkin
ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari
keterangan sedalam-dalamnya.
Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan
menjadi dua, yaitu objek material dan formal. Objek material ini
banyak yang sama dengan objek material sains. Sains memiliki
objek material yang empiris. Filsafat menyelidiki onjek filsafat itu
juga tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang
abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari
keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat
(yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).
Dari uraian diatas maka objek material filsafat ialah sarwa yang
ada yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan
pokok, yakni:
a. Hakekat Tuhan
b. Hakekat Alam, dan
c. Hakekat Manusia.
Sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan
secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek
materi filsafat (sarwa-yang-ada).

2.3 Ciri-ciri berfikir filsafat


Berfikir merupakan hal yang lazim dilakukan oleh semua orang,
tidak hanya dari kalangan tertentu saja, tapi semua kalangan

6
masyarakat. Tapi tidak semua dari mereka yang berfikir filsafat
dalam kehidupan sehari-harinya. Ciri – ciri berfikir filsafat adalah
sebagai berikut :
a. Logis
Adalah masuk akal, yang dimana segala sesuatu dapat dibuktikan
secara ilmiah.
b. Rasional
Sumber penggetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya
adalah rasio (akal), selalu menggunakan nalar ketika berpikir atau
bertindak atau kegiatan yang mempergunakan kemampuan
pikiran untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan
perasaan dan naluri.
c. Koheren
Adalah keruntutan dalam berfilsafat sangatlah diperlukan, karena
apabila kita berfilsafat secara koheren kita akan mendapat hasil
yang sangat maksimal. Dalam berfikir unsur-unsurnya tidak boleh
mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain namun
juga memuat uraian yang logis.
d. Korelasi
Adalah saling berhubungan, dalam berfikir masing-masing unsur
saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu
keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pemikiran yang
filosofis.
e. Holistik / Kompreherensif
Berfikir secara menyeluruh, artinya melihat objek tidak hanya dari
satu sisi sudut pandang, melainkan secara multidimensional
f. Radikal
Berfikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung, artinya
sampai menyentuh akar persoalannya, esensinya.
g. Universal

7
Muatan kebenarannya sampai tingkat umum universal, mengarah
pada pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan realitas
kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

2.4 Karakteristik berfikir filsafat


Menurut Alkhawaritzmi (2009), ada tiga macam karakteristik berfikir
secara filsafat, antara lain:
a. Menyeluruh
Artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan
bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu..
pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan-hubungan
antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, hubungan ilmu
dengan moral, seni dan tujuan hidup.
b. Mendasar
Artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang
fundamentalis atau esensial objek yang dipelajarinya sehingga
dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan.
Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi
tembus sampai ke kedalamannya.
c. Spekulatif
Artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi
pemikiran selanjutnya. Hasil pemikiran selalu dimaksudkan
sebagai dasar untuk menjelajah wilayaha pengetahuan nyang
baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran
kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai
keselesaian.

Selain karakteristik diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5


prinsip penting dalam berfilsafat, yaitu :
 Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri
(congkak).

8
 Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap
kebenaran.
 Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam
mencari jawabannya.
 Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap
intelektual secara tertulis
maupun lisan.
 Bersikap terbuka.

2.5 Metode Berfikir secara Filsafat


Para filsuf dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir
filsafati, dalam proses mencari kebenaran. Mereka mampu
menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk menngungkap misteri
kehidupan manusia. Bahkan tidak hanya manusia yang menjadi
objek pemikiran, tetapi meliputi segala yang ada dan mungkin ada.
(tuhan, alam semesta, manusia). Pola pemikiran dalam metode
berfikir (berfilsafat) berawal dari titik pangkal dan dasar kepastian,
seperti logika konsepsional dan intuisi, seperti penalaran (induktif)
dan penalaran (deduktif).
Beberapa metode dalam berfikir filsafat antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Metode Kritis (Socrates)
Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh
Socrates dan Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini
merupakan metode dasar dalam filsafat. Socrates (470-399 SM)
menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis.
Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek
analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-
menerus.

2. Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)

9
Platinos menggunakan metode intuitif atau mistik dengan
membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi religious
yang dijiwai oleh sikap kontemplatif. Metode filsafat Platinos
disebut metode mistik sebab dimaksudkan untuk menuju
pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan
demikian bisa kita pahami bahwa tujuan Platinos dengan
filsafatnya adalah ingin membawa manusia kedalam hidup
mistis, hidup yang mempertinggi nilai rohani dan persatuan
dengan Yang Maha Esa

3. Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)


Metode ini berkembang pada Abad Pertengahan. Thomas
Aquinas (1225-1247) merupakan salah satu penganjurnya. Pada
masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan sebagai pengguna
metode ini. Sesuai dengan namanya, metode skolastik
menunjukkan kaitan yang erat dengan metode mengajar.
Seseorang (biasanya seorang guru/senior) akan membacakan
atau mengutarakan suatu pokok bahasan filsafat. Kemudian
pokok bahasan tersebut akan diberi penafsiran dan komentar
oleh filsuf lain. Agar topik dipahami, semua istilah, ide dan
kenyataan dirumuskan, dibedakan dan diuji dari segala sisi.
Segala pro dan kontra kemudian dihimpun dan dibandingkan.
Melalui proses ini, yang disebut “lectio” diharapkan tercapai
suatu pemahaman baru yang lebih baik. Namun, jika tidak
berhasil, maka akan dilanjutkan ke tahap “disputatio” atau
perdebatan

4. Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)


Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang berusaha
melepaskan dari pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes
mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari
kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan

10
pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu kehal yang telah
diketahui tetapi akan menghasilkan pengetian baru. Menurut Descartes semua
kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan dikerjakan oleh seorang diri saja.
Koherensi yang tepat harus dating dari seseorang. Orang harus menemukan
kebenaran sendiri. Mencari pemahaman dan keyakinan pribadi tidak harus mulai
dengan kebenaran-kebenaran yang sudah diterima dari orang lain. Descartes ingin
mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau
meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan
segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.

5. Metode Eksperimental (David Hume)


Para penganut empiris sangat dipengaruhi oleh sistem dan
metode Descartes, terutama dalam menekankan data kesadaran
dan pengalaman individual yang tidak dapat diragukan lagi. Bagi
mereka, pengalaman (empeiria) adalah sumber pengetahuan
yang lebih dipercaya ketimbang rasio.
David Hume (1711-1776) adalah penyusun filsafat Empirisme ini
dan menjadi antitesa terhadap Rasionalisme. Perbedaan utama
metode ini dari metode dekrates adalah metode ini juga
membutuhkan eksperimen yang ketat guna mendapatkan bukti
kebenaran empiris yang sejati.

6. Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)


Metode ini juga sering disebut dengan metode neo-skolastik.
Immanuel Kant (1724-1804) merupakan pelopor metode ini.
Pemikiran Kant merupakan titik-tolak periode baru bagi filsafat
Barat. Ia mendamaikan dua aliran yang berseberangan:
rasionalisme dan empirisme.
Dari satu sisi, ia mempertahankan obyektivitas, univesalitas dan
keniscayaan suatu pengertian. Di sisi lain, ia juga menerima
pendapat bahwa pengertian berasal dari fenomena yang tidak
dapat melampaui batas-batasnya. Kant menempatkan

11
kebenaran bukan pada konsep tunggal, tetapi dalam pernyataan
dan kesimpulan lengkap. Ia membedakan dua jenis pengertian :
1.Pengertian analistis yang selalu bersifat apriori, misalnya
dalam ilmu pasti; 2.Pengertian sintesis. Pengertian ini dibagi
menjadi dua yakni aposteriori singular yang dasar kebenarannya
pengalaman subyektif seperti ungkapan ‘saya merasa panas’,
dan apriori yang merupakan pengertian universal dan pasti
seperti ungkapan ‘sekarang hawa panas 100 derajat Celcius”.
Intinya, metode ini menerima nilai obyektif ilmu-ilmu positif,
sebab terbukti telah menghasilkan kemajuan hidup sehari-hari.
Ia juga menerima nilai subyektif agama dan moral sebab
memberikan kemajuan dan kebahagiaan.
Dengan catatan syarat paling minimal yang mutlak harus
dipenuhi dalam subyek supaya obyektifitasnya memungkinan.
Seperti efek placebo obat yang sebetulnya tidak dapat
menyembuhkan, namun membuat seseorang percaya ia akan
sembuh karena telah meminumnya. Di dalam pengertian dan
penilaian metode ini terjadi kesatuan antara subyek dan obyek,
kesatuan antara semua bentuk. Hal ini menuntut adanya
kesatuan kesadaran yang disebut “transcendental unity of
apperception”.

7. Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)


Tokoh terkenal metode ini adalah Hegel, hingga terkadang
metode ini disebut dengan ‘Hegelian Method’. Nama lengkapnya
adalah George Willhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Langkah
awal metode ini ialah pengiyaan dengan mengambil konsep atau
pengertian yang lazim diterima dan jelas. Kemudian membuat
suatu anti tesis atau bantahan dari konsep atau pengertian yang
lazim tersebut. Setelah itu diambil kesimpulan dari keduanya dan
dibentuklah suatu sintesis dari keduanya. Pada akhirnya sintesis
tersebut akan menemui anti tesis lainnya, untuk kemudian

12
disintesiskan kembali untuk mendapatkan hahikat yang lebih
baik lagi.

8. Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)


Fenomena yang dimaksud disini bukanlah fenomena alamiah
yang dapat dicerap dengan observasi empiris seperti fenomena
alam. Fenomena disini merupakan makna aslinya yang berasal
dari bahasa Yunani: phainomai. Artinya adalah “yang terlihat”.
Jadi fenomena adalah data sejauh disadari dan sejauh masuk
dalam pemahaman. Metode fenomenologi dilakukan dengan
melakukan tiga reduksi (ephoc) terhadap obyek, yaitu:
- Mereduksi suatu obyek formal dari berbagai hal tambahan
yang tidak substansial.
- Mereduksi obyek dengan menyisihkan unsur-unsur subyektif
seperti perasaan, keinginan dan pandangan. Pencarian obyek
murni tersebut disebut dengan reduksi eidetis.
- Reduksi ketiga bukan lagi mengenai obyek atau fenomena,
tetapi merupakan wende zum subjekt (mengarah ke subyek),
dan mengenai terjadinya penampakan diri sendiri. Dasar-
dasar dalam kesadaran yang membentuk suatu subyek
disisihkan.
Intinya metode ini melihat sesuatu dengan objektif tanpa melihat
sisi subjektifnya seperti kepentingan, perasaan, atau tekanan
sosial. Bayangkan bagaimana rasa penasaran seorang anak kecil
yang belum mengerti apa-apa ketika menemukan hal baru. Ia
akan mengobservasinya dan melakukan apapun untuk secara
tidak sadar mempelajari dan mengenalnya, termasuk meremas
dan menendang kucing liar yang ia temukan di halaman
belakang rumah. Metode ini dipopulerkan oleh Edmund Husserl
(1859-1938).

9. Metode Non-positivistis

13
Kenyataan yang di pahami menurut hakikatnya dengan jalan
mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu
pengetahuan positif (eksakta).

10. Metode analitika bahasa : Wittgenstein


Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan
sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini di nilai
cukup netral sebab tidak sama sekali mengendalikan salah satu
filsafat. Keistimewaannya adalah semua kesimpulan dan
hasilnya senantiasa di dasarkan kepada penelitian bahasa yang
logis.

BAB III
KESIMPULAN

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan


memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-
sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi
tersebut. Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan
kalbu manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-
sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh
kebenaran. Berfikir secara filsafat adalah berfikir secara ilmiah, logis
dan diperkuat oleh efiden.
Objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan
mungkin ada. Objek filsafat itu bukan main luasnya, yaitu meliputi
segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin
diketahui manusia.
Ciri-ciri berfikir filsafat diantaranya : logis (masuk akal dan dapat
dibuktikan secara ilmiah), rasional (kemampuan penalaran bukan
dengan perasaan), koheren (beruntutan), korelasi (berhubungan),

14
holisitik / komprehenrensif (menyeluruh), radikal (menyelesaikan
sampai pada akar-akarnya) dan universal (mengarah pada pandangan
dunia dan manusia secara menyeluruh).
Ada beberapa metode yang digunakan dalam berfikir filsafat
diantaranya yaitu Metode Kritis, metode intuitif, metode skolastik,
metode geometris, metode eksperimental, metode kritis-transdental,
metode dialektis, metode fenomologis, metode non positivistis, dan
metode analitika bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 52.

Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/


Surajio; editor, Tarmizi.—ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.

Drs. A. Susanto, M.Pd, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epitemologis, dan Aksiologis, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011

15
Barten, K, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta : Kanisius,1975

Magnis Suseno, F. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005

16

Anda mungkin juga menyukai