Anda di halaman 1dari 24

PANORAMA DIMENSI FILSAFAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Logika dan Filsafat

Oleh :

Kelompok 6.

1. Septy Ayu C ButarButar (1901010311)


2. Evinda Febiola Siahaan (1901010316)
3. Siti Hafsyah Saragih (1901010318)
4. Lili Purnama Sari Lingga (1901010319)
5. Adelina Marta Y Nainggolan (1901010321)
6. Rebecca Panggabean (1901010323)
7. Sari Pita Sitanggang (1901010327)
8. Mega Astria Silalahi (1901010332)
9. Dina Oktafia Sihotang (1901010349)
10. Mifta H Wijaya (1901010352)

DOSEN PENGAMPUH : Pdt. Melvin M. Simanjuntak, S.Th., M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAM GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR

PEMATANGSIANTAR

2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Logika & Filsafat dengan judul “PANORAMA DIMENSI FILSAFAT”, kami mengucapkan
terima kasih kepada bapak Pdt. Melvin M. Simanjuntak S.Th., M.Si. selaku dosen pengampuh
mata kuliah ini karena membimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.

Terlepas dari semua itu kami menyadari masih adanya kekurangan makalah ini baik dari
segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat
menyempurnakan makalah ini di lain waktu.

Akhir kata, semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca.

Pematangsiantar, 04 Juli 2022

Team Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
2.1 Kegiatan Akal Sehat..............................................................................................................2
2.2 Kebenaran Dalam Filsafat......................................................................................................3
1. Teori Korespondensi............................................................................................................5
2. Teori Semantik Tarski..........................................................................................................7
3. Teori Deflasi.........................................................................................................................8
4. Teori Koherensi..................................................................................................................10
5. Teori Pragmatik..................................................................................................................12
2.3 Permasalahan Realitas Pemikiran........................................................................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................21
3.2 Saran....................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat
sekali dengan kehidupan manusia. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang
kurang diminati, karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan membutuhkan pemikiran
yang lebih. Namun keraguan, keengganan, dan kecemasan ini biasanya pelan-pelan memudar
ketika sudah mulai menekuni bidang ini dan bahkan akan lebih terasa menarik ketika sadar
bahwa filsafat adalah bagian yang terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dalam makalah ini, akan ada beberapa hal yang dibahas mengenai Panorama Dimensi
Filsafat yang mencakup Kegiatan Akal Sehat, Kebenaran Dalam Filsafat, dan juga tentang
Permasalahan Realitas Pemikiran.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Kegiatan Akal Sehat?
2. Apa saja yang terdapat dalam Kebenaran Dalam Filsafat itu?
3. Bagaimana Permasalahan Realitas Pemikiran itu?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui apa itu kegiatan akal sehat.
2. Untuk mengetahui apa saja yang terdapat pada kebenaran dalam filsafat.
3. Untuk mengetahui permasalahan realitas pemikiran.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kegiatan Akal Sehat

Banyak pemikir filsafat tampaknya sepakat menegaskan bahwa manusia memiliki pikiran
selain tubuh dan jiwa sekalipun tak perlu terjebak memasuki konsep dikotomi dan trikotomi
dengan menggunakan bahasanya, jalan pikirannya, dan metodenya sendiri. Filsuf Atistoteles
mengembangkan konsepsi pemahaman manusia secara berganda. Di satu sisi dia ungkapkan
bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial atau makhluk politik, yang disebut
zoon politicon, namun si sisi lain dia mengungkapkan bahwa manusia adalah binatang yang
berakal budi, anima rationale. Manusia berada dalam skema alam sebagai “binatang yang lagi
berpikir”. Jiwa dalam diri manusia membedakan manusia sebagai makhluk rasional adalah “tak
dapat dimusnahkan” ini adalah bagian khusus dari psyche (jiwa), yang pada gilirannya
merupakan kekuatan yang menjiwai tubuh. Jiwa adalah tubuh yang “terlatih”, dan bertentangan
dengan semangat Plato, tidak memiliki keberadaan yang terpisah dari tubuh. Di dalam hal ini
Aristoteles mengartikan bahwa manusia hidup dalam suatu yang lebih “polis”. Manusia menjadi
manusia antara lain, hidup dalam masyarakat yang diatur oleh hokum dan adat istiadat. Manusia
mengembangkan potensinya dan menyadari tujuan alamiahnya dalam konteks sosial. Inilah
“kehidupan yang baik”. Ini bukan kehidupan yang mudah, tetapi kehidupan kebajikan tercermin
dalam kebaikan tertinggi (eudaimonia), sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan.

Sejauh ini, klaim paling terkenal dari jenis ini adalah pemikiran dari Aristoteles bahwa
manusia adalah binatang yang rasional. Rasionalitas, menurut Aristoteles, adalah property
esensial umat manusia; itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jelas bahwa manusia
tidak selalu rasional. Ketika orang mabuk atau kelelahan atau dalam cengkeraman amarah yang
tak terkendali, mereka sering alasan sangat buruk memang. Dan, tentu saja, Aristoteles,
mengetahui hal ini. Ketika dia mengatakan itu manusia adalah hewan rasional dia pasti tidak
pernah bermaksud untuk menyangkal bahwa manusia bisa dan terkadang melakukan alasan
secara tidak rasional. Karena ini adalah fakta yang jelas dan tak kontroversial, barangkali ada
orang mempertahankan bahwa, bagaimanapun, manusia adalah hewan rasional? Apa yang bisa
mereka lakukan? Berarti? Satu jawaban yang sangat menarik dapat diberikan. Dalam menguji
teori-teori linguistik, sebuah sumber data adalah “intuisi” atau penilaian tidak reflektif yang
penutur bahasa membuat tentang tata bahasa kalimat, dan tentang berbagai sifat linguistik.
Apakah kalimatnya ambigu? Apakah frasa ini subjek dari kata kerja itu? Untuk menjelaskan ini
intuisi, dan juga untuk menjelaskan bagaimana pembicara menghasilkan dan memahami kalimat
bahasa mereka dalam pidato biasa, Chomsky mengusulkan apa yang telah menjadi salah satu
hipotesis terpenting tentang pikiran dalam sejarah ilmu kognitif.

2
Adalah pemikir Jacques Maritain menyitir konsep pemikiran Aristoteles bahwa manusia
merupakan binatang berakal budi, binatang yang berpikir, yang membuatnya dapat memberi
pemikiran yang mengatasi pergumulan, permasalahan, dan tantangan di dalam kehidupannya
dengan kegiatan akal budinya ke dalam 3 tahap aktivitas berpikir yang saling terkait. Pertama
operasi perdana akal budi tahap pertama (the first operation of the mind). Kedua, operasi kedua
akal sehat tahap kedua (the second operation of the mind), dan yang ketiga, operasi ketiga akal
sehat (the third operation of the mind).

2.2 Kebenaran Dalam Filsafat

Diksi “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun
abstrak (2010 : 112). Dalam bahasa Inggris “Kebenaran” disebut “truth” di dalam bahasa Anglo-
Saxon ternyata berasal dari “Treoworth” (Kesetiaan). Diksi kebenaran dalam bahasa Latin
disebut “varitas”, dan Yunani “eletheid”, dipahami sebagai sudut pandang untuk lawan kata dari
kata “kesalahan”, “kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini” (1996 : 412). Dalam kamus
bahasa Indonesia kata “kebenaran” sendiri menunjukkan kepada keadaan yang cocok.

Manusia sebagai subjek yang mengetahui hakikat kebenaran terhadap suatu objek
berkembang karena kreativitas manusia mencapai puncak pada zaman tertentu. Menurut
Semiawan, dkk (1999 : 76), berpendapat bahwa setiap evolusi ilmu sellau dimulai dengan suatu
bahwa intelektual (intellectual exercise) oleh kelompok ilmuwan tertentu yang menumbuhkan
suatu gagasan baru kemudian berkembang menjadi konsep baru dan kemudian berkembang
menjadi suatu konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada ataupun tidak
diharapkan akan ada, suatu tindakan kreatif yang bersumber dari suatu inovatif, bertolak dari
masukan ilmu yang sudah ada sebagai batu loncatan “transformasi fundamental”. Munculnya
berbagai teori ilmu (sciense) karena manusia dengan demensi kreatifnya mencapai puncak
pembicaraan tentang apa yang disebut kebenaran ilmiah.

Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:

1. Kebenaran berhubungan dengna kualitas pengetahuan


Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang
dimilki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu berupa:
a. Pengetahuan biasa atau disebut Ordinary Knowledge atau Common sense knowledge.
b. Pengetahuan ilmiah
c. Pengetahuan filsafat
d. Pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.

3
2. Kebenaran berhubungan dengan karakteristik
Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat
apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dari penggunaan alat untuk
memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung
oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya.

3. Kebenaran berhubungan atas ketergantungan


Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun
pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek mana yang dominan. Jika
subjek yang berperan maka jenis pengethauna ini mengandung nilai kebenaran yang
bersifat subjektif.

Adapun deskripsi tentang kebenaran yang disimbolkan dengan T1, T2, T3, dan T4
memberikan impresif tentang pemaknaan kebenaran di dalam klasifikasi yang berbeda.
Klasifikasi tentang kebenaran menurut Ford sebagai berikut:

1. Kebenaran pertama (T1)


Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik. Kebenaran metafisik adalah
kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate
truth), karena itu harus diterima apa adanya (given for granted).

2. Kebenaran kedua (T2)


Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran etik yang merujuk kepada perangkat standar
moral atau professional tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik (code
of conduct). Seseorang akan dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan
standar perilaku itu.

3. Kebenaran ketiga (T3)


Kebenaran ketiga (T3) adalah suatu kebenaran logika. Sesuatu dianggap benar apabila
secara logika atau mathematics konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui
sebagai benar, (dalam pengertian T3) atau sesuai dengan apa yang benar menurut
kepercayaan metafisik (T1).

4. Kebenaran keempat (T4)


Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empiric yang lazimnya dipercayai melandasi
pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Dalam konteks ini, teori korespondensi
antara teori dengan fakta antara pengetahuan a priority dengan pengetahuan a posteriori
yang menjadi persoalan utama sebagaimana dipergumulkan filsuf Immanuel Kant.

4
Diantara keempat jenis kebenaran menurut Ford di atas, maka dalam kajian filsafat ilmu kajian
yang difokuskan adalah terhadap kebenaran empirik (T4) yang disebutkan juga kebenaran
ilmiah, tentu saja dengan tidak mengesmpingkan kebenaran pertama, kedua, dan ketiga.
Kebenaran ilmiah yang melibatkan subjek (manusia, knower, observer) dengan objek (fakta,
realitas, dan known). Di dalam kajian selanjutnya, focus perhatian diarahkan pada fakta atau
relaitas social-psikologis pendidikan sebagai suatu objek penelitian ilmiah.

Dalam seratus atau lebih tahun terakhir, kemajuan besar telah dibuat dalam memecahkan
masalah. Lima teori kebenaran kontemporer yang paling diterima dewasa ini secara universal
dan meluas adalah :

1. Teori Korespondensi

2. Teori Semantik Tarski dan Davidson

3. Teori Deflasi Frege dan Ramsey

4. Teori Koherensi

5. Teori Pragmatis.

Kelima teori ini akan diperiksa setelah menjawab pertanyaan berikut :

a. Hal-hal apa yang benar (atau salah)?

b. Kalimat manakah yang mengungkapkan Proposisi?

c. Bisakah Teori Semantik menjelaskan kebenaran yang diperlukan?

1. Correspodence Theory/Teori Korespondensi

Kita kembali ke pertanyaan utama, "Apakah kebenaran itu?" Kebenaran mungkin adalah
apa yang dipertahankan oleh penalaran yang valid. Ini adalah tujuan penyelidikan ilmiah,
penelitian sejarah, dan audit bisnis. Kami memahami banyak tentang apa arti sebuah kalimat
dengan memahami kondisi dimana apa yang diungkapkan nya adalah benar. Namun sifat
sebenarnya dari kebenaran itu sendiri tidak sepenuhnya diungkapkan oleh pernyataan-pernyataan
ini. Secara historis, teori kebenaran yang paling populer adalah Teori Korespondensi. Pertama
kali diusulkan dalam bentuk yang samar oleh Plato dan oleh Aristoteles dalam Metafisikanya,
teori realis ini mengatakan kebenaran adalah apa yang dimiliki proposisi dengan menyesuaikan
dengan cara dunia ini. Teori ini mengatakan bahwa proposisi itu benar asalkan ada fakta yang
sesuai dengan nya. Dengan kata lain, untuk setiap diposisi p,

5
p benar jika dan hanya p sesuatu dengan fakta.

Jawaban teori atas pertanyaan, "Apakah kebenaran itu?" adalah bahwa kebenaran adalah
hubungan tertentu hubungan yang mengikat antara proposisi dan fakta yang bersesuaian
dengannya. Mungkin analisis hubungan akan mengungkapkan kesamaan dari semua kebenaran.

Pertimbangan proposisi bahwa salju itu putih. Menyatakan bahwa kebenaran proposisi itu
sesuatu dengan fakta bahwa salju itu putih membuat para kritikus meminta analisis yang dapat
diterima dari gagasan korespodensi ini. Tentunya korespondensi bukanlah kata demi kata yang
menghubungkan sebuah kalimat dengan referensinya. Ini adalah semacam hubungan eksotis
antara, katakanlah, seluruh proposisi dan fakta. Dalam menyakitkan teorinya tentang atomisme
logis diawal abad kedua puluh, Russell mencoba menunjukan bagaimana proposisi yang benar
dan fakta yang sesuai memiliki struktur yang sama. Terinspirasi oleh gagasan bahwa hieroglif.
Mesir adalah gambar bergaya, muridnya Wittgenstein mengatakan bahwa hubungannya adalah
"pemgambaran" fakta dengan proposisi, tetapi pengembangan pernyataan sugestif ini dalam
Tractatus Logicophilosophicus-nya tidak memuaskan banyak filsuf lain, juga setelah beberapa
saat, bahkan Wittgenstein sendiri.

Dan apa itu fakta? Gagasan tentang fakta sebagai semacam entitas ontologis pertama kali
dinyatakan secara eksplisit pada paruh kedua abad kesembilan belas. Teori Korespondensi
mengizinkan fakta menjadi entitas yang bergantung pada pikiran. McTaggart, dan mungkin
Kant, memegang Teori Korespondensi semacam itu. Teori Korespondensi Russell,Wittgenstein
dan Austin semua menganggap fakta sebagai pikiran-independen.

PembelaTeori Korespondensi telah menanggapi kritik ini dalam berbagai cara. Istilah
"korespondensi" dapat dipahami, kata beberapa orang, karena berbicara tentang proposisi yang
sesuai dengan fakta hanyalah membuat klaim umum yang merangkum pernyataan itu.

(i) Kalimat, "Salju itu Putih", berarti salju itu Putih, dan (ii) Salju sebenarnya Putih,

dan seterusnya untuk semua proposisi lainnya. Oleh karena itu, teori korespondensi harus
mengandung teori "berarti itu" tetapi sebaliknya tidak bersalah. Pembela Teori Korespondensi
lainnya menyerang identifikasi fakta Davidson dengan proposisi yang benar. Salju adalah
konstituen dari fakta bahwa salju itu putih, tetapi salju bukan kondisi konstituen dari entitas
linguistik, jadi fakta dan pernyataan yang benar adalah jenis entitas yang berbeda.

Karya terbaru dalam semantik dunia yang mungkin telah mengidentifikasi fakta dengan
set dunia yang mungkin. Motif untuk identifikasi ini adalah bahwa, jika kumpulan dunia yang
mungkin secara metafisik sah dan dapat dijelaskan dengan tepat, maka fakta juga demikian.

6
2. Tarski's Semantic Theory/Teori Semantik Tarski

Untuk menggambarkan secara lebih teliti apa yang terlibat dalam memahami kebenaran
dan mendefinisikannya, Alfred Tarski menciptakan Teori Kebenaran Semantiknya. Dalam teori
Tarski, bagaimanapun, pembicaraan tentang korespondensi dan fakta dihilangkan. Teori
Semantik adalah penerus Teori Korespondensi. Sebagai ilustrasi teori tersebut, perhatikan
kalimat Jerman "Schnee ist Weiss" yang artinya salju itu putih. Tarski menanyakan kondisi
kebenaran dari proposisi yang diungkapkan oleh kalimat itu.

Kita dapat menulis ulang T-condition Tarski dalam tiga baris :

1) Proposisi yang diungkapkan oleh kalimat Jerman "Schnee ist Weiss" adalah benar

2) Jika dan hanya jika.

3) Salju itu putih.

Baris 1 adalah tentang kebenaran. Baris 3 bukan tentang kebenaran ini menegaskan klaim
tentang sifat dunia. Jadi T membuat klaim substantif. Selain itu, menghindari masalah utama
Teori Korespondensi sebelumnya bahwa istilah "fakta" dan "korespondensi" tidak memainkan
peran apa pun.

Tarski menemukan bahwa untuk menghindari kontradiksi dalam teori kebenaran


semantiknya, iya harus membatasi bahasa objek pada bagian metabahasa yang terbatas. Diantar
batasan-batasan lainnya, hanya bahasa meta yang mengandung predikat kebenaran, "benar" dan
"salah"; bahasa objek tidak mengandung predikat kebenaran.

3. Deflationary Theories/Teori Deflasi

Kesamaan dari semua teori kebenaran yang dibahas sejauh ini adalah asumsi bahwa suatu
proposisi benar jika proposisi tersebut memiliki beberapa properti atau lainnya - korespondensi
dengan fakta, kepuasan, koherensi, utilitas, dll. Teori deflasi menyangkal asumsi ini.

a. Redundancy Theory/Teori Redundansi

Teori deflasi utama adalah Teori Redundansi yang di advokasi oleh Frege, Ramsey dan
Horwich. Frege mengungkapkan idenya seperti ini : Patut diperhatikan bahwa kalimat "Saya
mencium aroma bunga violet" memiliki kandungan yang sama dengan kalimat "Memang benar
saya mencium aroma bunga violet". Jadi, tampaknya tidak ada yang ditambahkan pada
pemikiran dengan menganggapnya sebagai milik kebenaran. (Frege, 1918).

8
Ketika kita menyatakan suatu proposisi secara eksplisit, seperti ketika kita mengatakan "Saya
mencium aroma bunga violet" maka mengatakan "Memang benar saya mencium aroma bunga
violet" akan menjadi mubazir, itu tidak akan menambah apa-apa karena keduanya memiliki arti
yang sama. Pendukung Teori Redundansi yang lebih minimalis saat ini mundur dari pernyataan
tentang makna ini dan hanya mengatakan bahwa keduanya harus setara.

Dimana konsep kebenaran benar-benar terbayar adalah ketika kita tidak, atau tidak bisa,
menegaskan proposisi secara eksplisit, tetapi harus berurusan dengan referensi tidak langsung
padanya. Misalnya, jika kita ingin mengatakan, "Apa yang akan dia katakan besok adalah benar",
kita membutuhkan predikat kebenaran "adalah benar". Singkatnya, Teori Redundansi dapat
bekerja untuk kasus-kasus tertentu, kata para pengkritiknya, tetapi tidak dapat di generalisasikan
untuk semua; masih ada kasus bandel di mana "benar" tidak berlebihan. Pendukung Teori
Redundansi menanggapi bahwa teori mereka mengakui poin penting tentang perlunya konsep
kebenaran untuk referensi tidak langsung. Teorinya mengatakan bahwa hanya inilah konsep
kebenaran yang dibutuhkan, dan jika tidak penggunaannya berlebihan.

b. Performative Theory/Teori Performansi

Teori Performatif adalah teori deflasi yang bukan teori redundansi. Itu dianjurkan oleh
Strawson yang percaya Teori Kebenaran Semantik Tarski pada dasarnya salah. Teori Kebenaran
performatif berpendapat bahwa menganggap kebenaran pada proposisi tidak benar-benar
mencirikan proposisi itu sendiri, juga tidak mengatakan sesuatu yang berlebihan. Sebaliknya, itu
memberitahu kita sesuatu tentang niat pembicara. Pembicara melalui persetujuannya,
mendukungnya, memujinya, menerimanya, atau mungkin mengakuinya sedang meresensikan
adopsi kita atas (keyakinan) proposisi tersebut. Alih-alih mengatakan "Memang benar salju itu
putih", seseorang dapat menggantinya dengan "Saya menganut klaim bahwa salju itu putih". Ide
kuncinya adalah mengatakan beberapa proposisi, P, bahwa itu benar adalah mengatakan dengan
cara terselubung "Saya merekomendasikan P kepada Anda", atau "Saya mendukung P” atau
semacamnya.

Kasusnya mungkin agak mirip dengan yang menjanjikan. Ketika Anda berjanji untuk
membayar saudara perempuan Anda lima dolar, Anda tidak membuat klaim tentang proposisi
yang diungkapkan dengan "Saya akan membayar Anda lima dolar"; alih-alih Anda melakukan
tindakan menjanjikan sesuatu padanya.

Kritik terhadap Teori Performatif menuduh bahwa itu membutuhkan revisi yang terlalu
radikal dalam logika kita. Argumen memiliki premis yang benar atau salah, tetapi kami tidak
menganggap premis sebagai tindakan, kata Geach. Kritikus lain mengeluh bahwa, jika semua
anggapan "benar" yang dilakukan adalah memberi isyarat persetujuan, seperti yang diyakini
Strawson, maka, ketika kita mengatakan

9
"Tolong tutup pintunya" benar,

kami akan menyetujui pintu ditutup. Karena itu tidak masuk akal, kata Huw Price, ada yang
salah dengan Teori Performatif Strawson.

c. Prosentential Theory/Teori Prosentensial

The Prosentential Theory of Truth menunjukkan bahwa predikat gramatikal "adalah


benar" tidak berfungsi secara semantik atau logis sebagai predikat. Semua penggunaan "benar"
adalah penggunaan sementara. Ketika seseorang menyatakan "benar turun salju", orang tersebut
meminta pendengar untuk mempertimbangkan kalimat Ini turun salju" dan mengatakan "Itu
benar” diambil secara holistik sebagai sebuah kalimat, dalam analogi dengan kata ganti. Kata
ganti seperti "dia" adalah pengganti nama orang yang dirujuk. Demikian pula Itu benar” adalah
pengganti proposisi yang sedang dipertimbangkan.

4. Coherence Theories/ Teori Koherensi

Teori Korespondensi dan Teori Semantik menjelaskan kebenaran proposisi sebagai yang
timbul dari hubungan antara proposisi itu dan fitur atau peristiwa di dunia. Teori koherensi
(yang jumlahnya ada), sebaliknya, menjelaskan kebenaran proposisi sebagai yang timbul dari
hubungan antara proposisi itu dan proposisi lainnya.

Teori koherensi berharga karena membantu mengungkapkan bagaimana kita sampai pada
klaim kebenaran kita, pengetahuan kita. Kami terus berupaya menyesuaikan keyakinan kami ke
dalam sistem yang koheren. Misalnya, ketika seorang pengemudi mabuk mengatakan "Ada gajah
merah muda menari di jalan raya di depan kami", kami menilai apakah pernyataannya benar
dengan mempertimbangkan keyakinan lain yang telah kami terima sebagai benar yaitu,

Gajah berwarna abu-abu.

Lokal ini bukan habitat gajah.

Tidak ada kebun binatang atau sirkus di dekat sini.

Orang yang mabuk berat diketahui mengalami halusinasi.

10
Tapi mungkin alasan paling penting untuk menolak klaim si pemabuk adalah : Semua orang di
daerah itu mengaku tidak melihat gajah merah muda. Singkatnya, klaim si pemabuk gagal
berpadu dengan banyak klaim lain yang kami yakini dan punya alasan kuat untuk tidak
mengabaikannya. Kami, kemudian menolak klaim pemabuk itu sebagai palsu (dan mengambil
kunci mobil).

Secara khusus, Teori Kebenaran Koherensi akan mengklaim bahwa suatu proposisi benar
jika dan hanya jika itu koheren dengan misalnya, satu Teori Koherensi mengisi kekosongan ini
dengan "keyakinan mayoritas orang dalam masyarakat". Yang lain mengisi kekosongan dengan
"keyakinan sendiri", dan yang lain mengisinya dengan "keyakinan kaum intelektual dalam
masyarakat". Teori koherensi utama melihat koherensi membutuhkan setidaknya konsistensi
logis. Ahli metafisika rasionalis akan mengklaim proposisi itu benar jika dan hanya jika
"konsisten dengan semua proposisi benar lainnya". Beberapa ahli metafisika rasionalis
melangkah melampaui konsistensi logis dan mengklaim bahwa suatu proposisi itu benar jika dan
hanya jika itu "mengikuti (atau secara logis menyiratkan) semua proposisi benar lainnya".
Leibniz, Spinoza, Hegel, Bradley, Blanshard, Neurath, Hempel, Dummett, dan Putnam telah
menganjurkan teori kebenaran koherensi.

Teori koherensi juga memiliki kritik. Proposisi bahwa bismut memiliki titik leleh lebih
tinggi daripada timah mungkin sesuai dengan keyakinan saya tetapi tidak dengan keyakinan
anda. Ini kemudian, mengarah pada proposisi yang keduanya "benar bagi saya" tetapi "salah
untuk anda". Tetapi jika "benar bagi saya" berarti "benar" dan "salah bagi anda" berarti
"salah"seperti yang disiratkan oleh teori koherensi, maka kita telah melanggar hukum non-
kontradiksi, yang mengacaukan logika. Kebanyakan filsuf lebih suka mempertahankan hukum
non-kontradiksi daripada teori kebenaran apapun yang mengharuskan penolakannya. Akibatnya,
jika seseorang membuat pernyataan yang masuk akal dengan mengatakan "itu benar untuk saya
tetapi tidak untuk anda", maka orang itu harus berarti "saya percaya, tetapi anda tidak.”
Kebenaran tidak relatif dalam arti bahwa sesuatu bisa benar bagi anda tetapi tidak bagi saya.

Kesulitan kedua tangan Teori koherensi adalah bahwa keyakinan satu orang (atau
kelompok manapun) selalu bertentangan dengan diri sendiri. Seseorang mungkin, misalnya,
percaya baik “Ketidakhadiran membuat hati semakin dekat” dan “Tidak terlihat, hilang pikiran”.
Tetapi di bawah interpretasi utama “koheren” tidak ada yang bisa menyatu dengan himpunan
yang tidak konsiste. Jjadi sebagian besar proposisi, karena gagal menyatu, tidak akan memiliki
nilai kebenaran.

11
5. Pragmatic Theoris/Teori Pragmatik

Teori Kebenaran Pragmatis menyatakan (secara kasar) bahwa suatu proposisi adalah
benar jika berguna untuk dipercaya. Pierce dan James adalah pendukung utamanya. Utilitas
adalah tanda penting dari kebenaran. Masalah dengan laporan kebenaran Pragmatis adalah lawan
dari masalah yang terlihat di atas dengan Teori Kebenaran Koherensi.

Pertama, mungkin berguna bagi seseorang untuk mempercayai suatu proposisi tetapi juga
berguna bagi orang lain untuk tidak mempercayainya. Dengan cara ini, Teori Pragmatis
mengarah pada pelanggaran hukum non kontradiksi, kata para pengkritiknya. Kedua, keyakinan
tertentu tidak dapat disangkal berguna, meskipun pada kriteria lain mereka dinilai salah secara
objektif. Misalnya, mungkin berguna bagi beberapa orang untuk percaya bahwa mereka hidup di
dunia yang dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai atau merawat mereka. Menurut kritik ini,
Teori Kebenaran Pragmatis melebih-lebihkan kekuatan hubungan antara kebenaran dan
kegunaan.

Kebenaran adalah apa yang diyakini oleh seorang penyelidik rasional yang ideal dalam
jangka panjang, kata beberapa pragmatis. Kebenaran adalah hasil ideal dari penyelidikan
rasional. Di dalam pemikiran Philip Phenix (1964), kebenaran tersimpul di dalam bermaknaan
(meanningfulness) sesuatu, yang berbeda-beda menurut dunia atau bidangnya atau (realms). Ia
menganut enam jenis dunia makna atau (realm of meaning) yang masing-masing bersifat
distingtif dibandingkan dengan yang lain, yaitu :

1) makna simbolik (bahasa keseharian, matematika, bentuk-bentuk simbolik);

2) makna empirik (ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kehidupan, psikologi, ilmu-ilmu sosial);

3) makna estetik (musik, seni visual, seni gerak, seni sastra);

4) makna sinoetik (filsafat, psikologi, kesusasteraan, agama, dalam aspek-aspek


eksistensialnya);

5) makna etik (hal-hal yang berkenaan dengan norma-norma moral);

6) makna sinoptik (sejarah, agama dan filsafat).

12
2.3 Permasalahan Realitas Pemikiran

“Ilmu” dan “pengetahuan” sesungguhnya memiliki arti yang agak berbeda. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu,
atau pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas.

Ilmu memiliki ciri-ciri dan standar-standar tertentu sebagai hasil konsensus para
ilmuwan. Ada semacam “criteria of demercation”, (meminjam istilah Karl Popper) antara
pengetahuan yang berstatus ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang semata-mata hanya
pengetahuan seperti akal sehat (common sense).

Kriteria demarkasi itu antara lain : (1) objektifitas, (2) ada pokok persoalan tertentu yang
menjadi objek studi (formal dan materiil), (3) memiliki sistematika content dan area of studies,
dan (4) terbuka dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah, (5) ada metodologi atau disciplined
inquiri, dan (6).memiliki terminologi-terminologi yang standar. Dalam suatu bangunan
keilmuan, logika rasional dan empiri (pengalaman) yang menyangkut fakta, memegang peranan
penting. Dapat dipahami bila definisi suatu disiplin ilmu selalu dimulai dengan “a systematic
body of knowledge”.

Pengetahuan biasa disebut Knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge
atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya
subjektif. Artinya sangat terikat pada subjek yang mengenal titik. Dengan demikian, pengetahuan
tahap ini memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat
normal atau tidak ada penyimpangan.

1. Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas dengan
menerapkan hampiran metodologis yang khas pula. Artinya, metodologi yang telah mendapatkan
kesepakatan diantara para ahli yang sejenis.

2. Pengetahuan Filsafat

Pengetahuan filsafat adalah sejenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi


pemikiran filsafat yang bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang
analisis, kritis dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafat
adalah absolute intersubjective. Maksudnya nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan
filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat dari seorang
pemikir filsafat serta selalu mendapat pembenaran dari filsafat kemudian yang menggunakan
metodologi pemikiran yang sama pula.

13
Penting dicatat dalam bagian akhir buku ini adalah mengenai permasalahan realitas
pemikiran. Permasalahan realitas pemikiran dimaksud dengan mencakup pertama tantangan
seputar ;ogika filsafat itu sendiri, kedua tantangan perbedaan batasan antara pemikiran ilmiah
dan pemikiran non-ilmiah yang dikenal sebagai demarkasi, dan terakhir tantangan seputar
pendidikan. Tantangan seputar pendidikan meliputi perspektif 7 materi penting bagi dunia
pendidikan yang disampaikan oleh Edgar Morin, dan tantangan pergumulan di dunia pendidikan
yang berkembang dewasa ini.

a) Tantangan Perkembangan Logika Filsafat

Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan tuntutan internal dari berpikir
filosofis itu sendiri. Menurut Odo Marquard, semula filsafat sangat kompeten untuk segala apa,
lalu filsafat hanya kompeten untuk beberapa hal, yakni hanya pengakuan inkompetensinya.
Artinya ada 3 alasan mengapa filsafat seperti itu?

 Kompetensi soteriologis, dikalahkan teologi sehingga filsafat menjadi pelayan teologi


(ancilla theologiae).

 Adanya kekuatan disiplin ilmu lain menggeser peran filsafat secara universal sehingga
filsafat menjadi pelayan ilmu pengetahuan (ancilla scientiae).

 Filsafat tidak mampu menawarkan tatanan dunia lebih baik sehingga cukup bertahan sekedar
ilmu sejarah kesetaraan manusia (ancilla emancipationis).

Pertama filsafat dianggap mengeksploitasi secara massif, progresif dan suka-suka tentang
dimensi dan sendi-sendi kehidupan dunia ini. Kedua andalan rasionalitas yang disuarakan filsafat
menyebabkan keterlepasan obyek dan subjek. Ketiga konstruksi yang dibangun filsafat ambruk
dengan metode dekonstruksi justru dari filsafat itu sendiri. Keempat serangan dekonstruktif
postmodernisasi menyatakan bahwa filsafat sudah mati.

b) Tantangan Persoalan Ilmu Pengetahuan

Tantangan persoalan ilmu pengetahuan yaitu, perkembangan sejarah filsafat sebagai


induk perkembangan ilmu pengetahuan sedemikian pesat sehingga justru banyak menimbulkan
persoalan yang menjadi tantangan nya sendiri. Tantangan persoalan ilmu pengetahuan yang perlu
diungkapkan disini setidaknya terdapat 2 masalah pokok utama : pertama persoalan apakah suatu
disiplin ilmu benar-benar dapat berdiri sendiri dan bebas nilai atau tidak ada ilmu pengetahuan
yang bebas nilai? Kedua pertama-tama tentu terkait dengan persoalan apakah ilmu pengetahuan
itu ilmiah atau tidak ilmiah sama sekali?

14
Menurut Guston Buchelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran
manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar,
sedangkan opini Daoed Joesoer menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada 3 hal, yakni
produk-produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, artinya pengetahuan
yang telah diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu pengetahuan
sebagai proses, artinya kegiatan masyarakat yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman
dunia alami apa adanya, bukan ada apanya. Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat, artinya dunia
pergaulan yang tindak lanjutnya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur empat ketentuan
yaitu : Universalisme, Komunalisme, tanpa pamrih dan Skeptisisme yang teratur. Mengacu pada
pendapat Van Meslen terdapat beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu
pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren.
Kedua, ilmu penetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggungjawab ilmuan.
Ketiga, ilmu pengetahuan berlaku secara universal. Keempat, muatan ilmu pengetahuan harus
mengandung obyektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif. Kelima, ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua
peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
Keenam, unsur progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila mengandung
pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi. Ketujuh, ilmu
pengetahuan harus bermuatan kritis, tidak ada lagi teori ilmiah yang definitif. Kedelapan, ilmu
pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dengan praktis.

Sementara itu perkembangan filsafat sebagai “philosophy of life” mempelajari sistem


atau tatanan nilai yang ada didalam kehidupan dimana berfungsi sebagai pengendali bagi
keilmuan manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan
manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan
memberi makna terhadap kehidupan ini. Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang
sungguh-sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak
tergantung pada kenyataan-kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan. Ilmu
bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu
dan teknologi adalah bersifat otonom. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan
penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri. Bebas nilai adalah
tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan
tidak memperhatikan nilai-nilai lain diluar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus
dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Asumsinya, selama
ilmu pengetahuan dalam sebuah prosesnya tunduk pada pertimbangan lain diluar ilmu
pengetahuan baik itu peritmbangan politik, religius maupun moral, ilmu pengetahuan tidak akan
dapat berkembang secara otonomi.

15
Wujud dari tuntutan bebas nilai adalah tuntutan agar ilmu pengetahuan tersebut dikembangkan
hanya demi kebenaran saja, dan tidak perlu tunduk dengan nilai atau pertimbangan lain.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan juga memiliki sifat kecenderungan bermakna


ganda. Pertama, kecenderungan puritan elitis, beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu
pengetahuan adalah demi ilmu pengetahuan. Bagi kaum puritan elitis kebenaran ilmiah hanya
dipertahankan demi kebenaran murni. Lebih penting adalah teori-teori besar itu, tanpa
mempersoalkan keterkaitannya dengan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
kaum puritan elitis ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari tujuan kebahagiaan dan keselamatan
manusia karena selama ilmu pengetahuan dikemabangkan demi membantu manusia dan
memecahkan masalah manusia, kebenaran bisa dikalahkan oleh kepentingan tersebut. Kedua
kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan
semata melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup. Ilmu pengetahuan memiliki
kecenderungan pragmatis yang kuat diliputi dengan nilai mau tidak mau ilmu pengetahuan
peduli dengan persoalan keselamatan dan harkat martabat manusia. Dengan sifat makna
berganda dari kecenderungan ilmu pengetahuan itu maka ilmu pengetahuan sudah seharusnya
diletakkan pada 2 konteks penting. Pertama dia harus berada pada context of discovery, ilmu
pengetahuan selalu ditemukan dalam konteks ruaang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial
tertentu. Penelitian dan ilmu pengetahuan merupakan hasil dari berbagai faktor yaitu, keputusan
masing-masing ilmuwan tentang masalah mana yang ingin mereka teliti dan pecahkan,
keputusan dari lembaga penelitian tentang jenis penelitian yang mereka lakukan, keputusan
lembaga penyandang dana dan keputusan kebijakan umum masyarakat yang bersangkutan.
Kedua ilmu pengetahuan juga harus ditempatkan didalam context of justification, merupakan
konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Konteks pembuktian
sebuah hipotesis atau teori hanya ditentukan oleh faktor dan kriteria ilmiah, semua faktor
eksternal harus ditinggalkan satu-satunya yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan
penalaran logis rasional. Pada tahap penemuan ilmu pengetahuan memang tidak otonom seratus
persen. Tetapi ketika sampai pada tahap pengujian ilmu pengetahuan harus otonom mutlak,
karena hanya berada dibawah pertimbangan ilmiah murni. Dari sintesis ini dipahami bahwa
dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context of
justification, ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain diluar ilmu
pengetahuan. Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang menentukan adalah benar
tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa
ditunjukkan.

Dari perkembangan ilmu pengetahuan bebas nilai da tidak bebas nilai kemudian ilmu
pengetahuan berkembang melalui serangkaian diskusi yang terjadi didalam 2 paradigma.
Paradigma yang pertama yaitu menekankan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai yang
dipelopori oleh paradigma rencana terbuka kemajuan ilmu pengetahuan atau proses The

16
Structure of Scientific Revolution, Thomas S. Kuhn. Sedangkan paradigma kedua, yaitu
paradigma evolusi pengetahuan, Karl R. Popper. Dari dua paradigma ini akan disintesiskan
sebagaimana pengembangan ilmu berdasarkan Lakatos’s research programmes. Ilmu
pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti-bukti yang
berlawanan dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang
bersifat gradual dan kumulatif. Tidak ada teori ilmiah yang selalu dapat cocok secara logis
dengan bukti-bukti yang ada. Dengan kata lain, teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu
pengetahuan. Sehingga ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dapat dikaji dengan cara kerja
ilmiah menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Dalam mengkaji ciri dan cara kerjaa ilmu
pengetahuan itu, harus berlandaskan rasionalitas.

c) Tantangan Dunia Pendidikan

Tantangan seputar dunia pendidikan perlu mendapat perhatian saksama para pendidik,
dan nara pendidik, tidak hanya permasalahan di dalam dunia pendidikan itu sendiri namun juga
pemikiran 7 materi penting bagi dunia pendidikan yang dilontarkan oleh Edgar Morin. Apa yang
disampaikan oleh Morin sebenarnya justru merupakan tantangan pemikiran bagi dunia
pendidikan, jika tidak kita sebut sebagai permasalahan. Mari kita teropong tantangan pemikiran
yang disampaikan Edgar Morin kepada dunia pendidikan global dewasa ini. Dihadapan lembaga
pendidikan dunia UNESCO, Morin memaparkan pentingnya 7 materi ini bagi dunia pendidikan
global. Pertama dunia pendidikan harus kompeten mendeteksi kekeliruan dan ilusi. Di dalam
proses pembelajaran dan belajar tentang pengetahuan manusia sangat rentan dari kesalahan-
kesalahan dan angan-angan yang mempengaruhi mentalitas, rasionalitas, dan intelektualitas.
Kedua prinsip pengetahuan yang saling berkaitan. Menurut Morin pendidikan masa depan
diperhadapkan pada permasalahan universal dimana kelangsungan proses belajar hanya
sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak, dan sekelumit saja terpisah-pisah sehingga kurang
memadai untuk menangkap keseluruhan realitas masalah yang sudah semakin global,
transnasional, multidimensional, transbersal, polidisiplin, dan berskala planet.

Menurut Bastien kontekstualisasi adalah syarat esensial bagi efisiensi suatu fungsi
kognitif. Permasalahan yang acapkali terjadi adalah reduksi makna, disjungsi, spesialisasi
tertutup dan rasionalitas palsu. Ketiga urgen mengajarkan kondisi manusiawi. Pendidikan masa
depan tidak boleh dilepaskan dengan cara planeter dimana habitat manusia itu berakar dalam
kosmos alam semesta. Keempat persoalan jati diri bumi. Mengacu pada pendapat pakar geografi
Jacques Levy yang menegaskan bahwa globalisasi sebagai kondisi mutakhir era planeter dapat
diartikan sebagai kelahiran obyek baru, yang disebut “dunia sebagaimana adanya”. adanya jati
diri bumi tidak bisa dilepaskan dari keasadaran bumi. Dalam konteks ini manusia harus belajar
menempatkan “keberadaannya” didalam planet bumi. Belajar berada berarti belajar hidup,
belajar berbagi, belajar berkelompok, belajar berkomunikasi dan belajar tentang pokok-pokok
penting dalam lingkup kecil masyarakat dimana manusia menjadi bagiannya.

17
Kelima menghadapi ketidakpastian. Pada bagian ini Morin menyinggung tentang letidakpastian
sejarah. Misalnya pada tahun 1980 tidak ada satu Negara Uni Soviet bubar pada tahun 1989?
Ketidakpastian sejarah tentu berkaitan erat dengan persoalan dunia realitas yang juga tidak pasti.
Dalam konteks ketidakpastian berganda tersebut maka pendidikan harus melakukan kajian
tentang berbagai ketidakpastian, termasuk beberapa prinsip ketidakpastian pengetahuan itu
sendiri. Keenam memahami satu sama lain. Morin memahami bahwa permasalahan pemahaman
itu sendiri berwajah ganda. Di satu pihak pemahaman diantara umat manusia yang terjadi di
planet bumi meningkatkan hubungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
kebudayaannya serta kebudayaan yang berbeda; sedangkan dilain pihak pemahaman manusia
diantara orang-orang yang berhubungan sangat pribadi dapat berakhir dengan kesalahpahaman.
Selain wajah ganda pemahaman tersebut, tentang pemahaman juga memiliki 2 tipe, yakni
pertama tipe intelektual atau obyektif, dan kedua tipe intersubyektif. Ketujuh etika bagi umat
manusia. Didalam bagian tantangan terakhir ini Morin menawarkan betapa pentingnya etika,
yang disebutnya “antropo-etika”. Menurut Morin antropo-etika mencakup aspek hubungan
diantara 3 unsur penting, yakni individu, masyarakat, dan spesies.

Selanjutnya tentang problem dibidang pendidikan yang dihadapi bangsa dan Negara
Indonesia menyangkut beberapa hal pokok, sebagai berikut :

a. Pemerataan Pendidikan

Saat ini bangsa Indonesia masih mengalami dibidang pemerataan pendidikan. Hal
tersebut dikarenakan pendidikan di Indonesia hanya dapat dirasakan oleh kaum menengah ke
atas.

b. Biaya Pendidikan

Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk berdampak pula pada pendidikan di
Indonesia. Banyak sekali anak yang tidak dapat mengeyam pendidikan karena biaya pendidikan
yang mahal.

c. Kualitas Pendidikan

Selain itu masalah tersebut, permasalahan yang paling mendasar adalah mutu pendidikan.
Karena sekarang ini pendidikan kita masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-
negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya tenaga pendidik yang mengajar namun
tidak sesuai dengan bidangnya. Selain itu, tingkat kejujuran dan kedisiplinan peserta didik masih
rendah. Contohnya, dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan saat mengikuti Ujian
Nasional peserta didik cenderung pilih mendapat jawaban secara instan, misalnya dengan
membeli jawaban soal UN. Oleh karena itu, mutu pendidikan harus diperbaiki, maka pemerintah
membuat kebijakan yang berupa peningkatan mutu pendidik.

18
d) Tantangan Berbahasa

Disini menyajikan beberapa pandangan para ahli mengenai bahasa yang dimaksud.
Pertama pandangan dari John Locke. Menurut John Locke bahasa memainkan peranan penting
didalam kehidupan kognitif manusia. Locke percaya bahwa penyalahgunaan bahasa adalah salah
satu kendala terbesar bagi pengetahuan dan pemikiran yang jelas. Dia menawarkan diagosis
masalah yang disebabkan oleh bahasa dan rekomendasi untuk menghindari masalah ini. Locke
percaya bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Secara khusus,
Locke berpikir bahwa kita ingin berkomunikasi tentang ide-ide kami, isi pikiran kita. Dari sini
itu adalah langkah singkat untuk pandangan bahwa : "Kata-kata dalam Signifikasi primer atau
langsung mereka, berdiri untuk apa-apa, tapi Ide dalam Pikiran dia yang menggunakan mereka".
Ketika agen mengucapkan kata "emas" dia merujuk idenya dari mengkilap, kekuningan,
substansi ditempa dari nilai yang besar. Ketika ia mengucapkan kata "wortel" dia merujuk idenya
dari, kurus, sayuran oranye panjang yang tumbuh di bawah tanah. Locke, tentu saja, menyadari
bahwa nama-nama yang kita pilih untuk ide-ide ini sewenang-wenang dan hanya masalah
konvensi sosial. Meskipun penggunaan utama dari kata-kata yang merujuk pada ide-ide dalam
pikiran pembicara, Locke juga memungkinkan bahwa kata-kata membuat apa yang disebutnya
"referensi rahasia" untuk dua hal lainnya. Pertama, manusia juga ingin kata-kata mereka untuk
merujuk pada ide-ide yang sesuai dalam pikiran manusia lainnya. Ketika Smith mengatakan
"wortel" dalam pendengaran Jones harapannya adalah bahwa Jones juga memiliki ide dari
panjang, sayuran kurus dan yang mengatakan "wortel" akan membawa ide ke dalam pikiran
Jones". Setelah semua, komunikasi tidak mungkin tanpa anggapan bahwa kata-kata kita sesuai
dengan ide-ide dalam pikiran orang lain. Kedua, manusia mengira bahwa kata-kata mereka
berdiri untuk benda-benda di dunia. Ketika Smith mengatakan "wortel" dia ingin untuk merujuk
kepada lebih dari sekedar ide, dia juga ingin merujuk pada benda-benda kurus panjang sendiri.
Tapi Locke curiga dari dua cara ini lain dari pemahaman makna. Dia pikir yang terakhir satu,
khususnya adalah tidak sah.

Setelah membahas fitur dasar bahasa dan referensi Locke melanjutkan dengan membahas
kasus-kasus tertentu dari hubungan antara ide-ide dan kata-kata : kata-kata yang digunakan untuk
ide-ide sederhana, kata-kata yang digunakan untuk mode, kata-kata yang digunakan untuk bahan,
cara dimana satu kata dapat merujuk multiplisitas ide, dan sebagainya.

Langkah pertama dan paling penting adalah untuk hanya menggunakan kata-kata ketika
kita memiliki ide yang jelas yang menyertainya. Kita juga harus berusaha untuk memastikan
bahawa ide-ide yang melekat pada istilah yang selengkap mungkin. Kita harus berusaha untuk
memastikan bahwa kita menggunakan kata-kata secara konsisten dan tidak berdalih; setiap kali
kita mengucapkan kata kita harus menggunakannya untuk menandakan satu dan ide yang sama.
Akhirnya, kita harus berkomunikasi definisi kami kata-kata untuk orang lain.

19
John Stuart Mill bekerja di sekitar kali ini kebangkitan empirisme Inggris dan termasuk
pendekatan bahasa yang ditelusuri makna kata-kata individu dengan objek yang mereka sebut.
Mill empirisme membuatnya berpikir bahwa makna untuk memiliki arti penting bagi pikiran kita
dan pemahaman, kita harus menjelaskannya dalam hal pengalaman kami. Dengan demikian,
makna akhirnya harus dipahami dalam hal kata-kata yang berdiri untuk set tayangan akal. Bagi
kebanyakan ekspresi, filsuf berpikir bahwa untuk memahami makna mereka tahu apa yang
mereka percayakan. Seperti yang kita sering memikirkan nama yang tepat melayani hanya
sebagai label untuk hal-hal yang mereka tunjukkan. Mill juga cenderung menggunakan "makna"
dalam berbicara tentang konotasi, dan mungkin memiliki keberatan dengan mengatakan bahwa
nama yang tepat memiliki "makna”, meskipun ini bukan untuk menyangkal bahwa mereka
menunjukkan hal. Mill membuat contoh kalimat : "Kucing duduk di kulkas". Pengertian dan
artikulasi dari kalimat tersebut harus dipahami sebagai penataan kompleks tanda-tanda. "Kucing"
menunjukkan atau mengacu pada dijinakkan berkaki empat berbulu tertentu, "kulkas"
menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Beberapa penjabaran lebih lanjut akan diperlukan untuk
verba, kosakata logis dan kategori lain dari istilah, tetapi kebanyakan filsuf mengambil tulang
punggung akan makna menjadi denotasi, dan penggunaan bahasa menjadi proses pengelolaan
tanda-tanda.

Frege mengusulkan bahwa kita harus memikirkan ekspresi sebagai memiliki dua aspek
semantik : rasa dan referensi. Informasi yang pada gilirannya akan menentukan rujukan untuk
setiap ekspresi. Hal ini menyebabkan kredo meresap dalam filsafat analitis : akal menentukan
referensi. Ini memecahkan masalah referensi dengan menggeser penekanan terhadap rasa
ekspresi pertama dan untuk referensi mereka kemudian. Kalimat eksistensial negatif dimengerti
karena rasa ekspresi seperti "terbesar bilangan prima" atau "Atlantis" dapat secara logis
dianalisis atau dibuat eksplisit dalam hal deskripsi lain. Hal ini dapat mungkin diberikan bahwa
ekspresi memiliki arti jika terbentuk secara tata bahasa yang benar dan singkatan nama yang
tepat.

Terakhir filsuf yang juga mengedepankan persoalan bahasa adalah Bertrand Russel. Dia
melihat potensi dalam pekerjaan Frege dan melakukan analisis deskripsi yang pasti tunggal. Ini
adalah ekspresi kompleks yang dimaksudkan untuk keluar tunggal rujukan tertentu dengan
memberikan keterangan, misalnya, "Presiden Amerika Serikat ", atau "orang tertinggi di ruangan
ini sekarang. Russell bahkan menyarankan bahwa sebagian besar nama-nama yang tepat yang
disingkat deskripsi. Tegasnya, deskripsi tidak akan merujuk sama sekali; mereka akan dihitung
frase yang memiliki atau tidak memiliki ekstensi. Russell (1905) menganalisis kalimat tersebut
sebagai menyiratkan tiga hal yang secara bersama-sama memberi kami definisi proposisi yang
melibatkan deskripsi.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang diharapkan dapat menjadikan pedoman
bagi manusia untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki, dengan demkian diharapkan manusia
dapat lebih bisa berpikir kritis yang positif serta dapat menjadi manusia yang bijaksana dalam
menghadapi segala permasalahan kehidupan.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
diharapkan kepada semua pembaca agar memberi masukan maupun kritik dan saran demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Melanthon, Melvin Simanjuntak. 2022. Logika Dan Filsafat. Pematangsiantar: Universitas


HKBP Nommensen Pematangsiantar.

22

Anda mungkin juga menyukai