Anda di halaman 1dari 58

REVISI

PROPOSAL MODIFIKASI FORMULA ENTERAL RUMAH SAKIT GIZI


BURUK PADA ANAK (FASE TRANSISI) “FORIZHA”(FORMULA ENTERAL
BERBASIS Rhizopus sp) DENGAN BAHAN DASAR TEPUNG TEMPE

Dosen pengampu :

Choirun Nissa, S.Gz, M.Gizi

Ayu Rahadiyanti, S.Gz, MPH

Disusun oleh :

Adila Fauziah 22030116120021


Laras Yoga Fitriana 22030116120039
Dyah Oktaviani 22030116120055
Annisa Hana 22030116130079
Pwrmata Laila Kurniastuti 22030116130091
Puji Rahayu 22030116130135

DEPARTMEN ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2019
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Makan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap individu,
karena dari makananlah energi dan zat gizi esensial didapatkan oleh tubuh.
Namun, tidak semua orang dapat mengonsumsi jenis makanan yang sama,
tergantung akan kondisi dan daya terima masing-masing individu. Rute dalam
pemberian makanan ada 3 jenis yaitu melalui oral, enteral, dan parenteral. Untuk
kondisi normal sangat dianjurkan untuk konsumsi secara oral, namun jika ada
gangguan yang tidak memmungkinkan untuk konsumsi secara oral, maka dapat
dilakukan secara enteral (jika saluran pencernaan masih berfungsi) dan
parenteral (jika disfungsi saluran cerna). Bentuk makanan juga ada beberapa
jenis yaitu makanan padat, lunak, saring, dan cair. Prinsip diet yang diberikan
menyesuaikan dengan penyakit dan kebutuhan masing-masing diet. Prinsip
makanan enteral pada umumnya hampir sama dengan prinsip diet biasa atau
diet untuk penyakit khusus, hanya saja dalam bentuk makanan cair dan
menyesuaikan rute yang dipilih. Diet enteral antara lain diet TETP, formula
untuk gizi buruk, formula untuk gangguan hati, formula untuk gangguan ginjal,
sotika, formula gizi seimbang, dan lainnya.
Gizi buruk merupakan kondisi dimana seseorang kekurangan energi dan
zat gizi kronis yang ditandai dengan marasmus, kwashiorkor, atau marasmus
kwashiorkor. Biasanya pada gizi buruk terdapat edema aatau severe wasting
dengan nilai z-score BB per TB/PB <-3 SD.1
Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia sudah mengalami
penurunan dari 19,6%( 2013) menjadi 17,7% (2018), dimana prevalensi
tertinggi pada daerah Nusa Tenggara Timur sebesar 29,5% dan prevalesi
terendah pada Kepulauan Riau yaitu sebesar 13%.2
Prevalensi gizi buruk di indonesia paling besar didapatkan dari provinsi
NTT, Papua, Papua Barat, Kalimantan barat, dan sulawesi Tegah yang masing
masing sebesar 7,4%, 6,8%, 6,6%, 6,5%, dan 6,5%, sementara provinsi dengan
penyumbang gizi buruk paling kecil yaitu Bali, Sumatra Selatan, dan Bengkulu
yang masing masing sebesar 2%, 2,1% dan 2,3%.3
Data dari Global Nutrition Report menunjukan bahwa sekitan 50,5 juta
anak didunia mengalami wasting dan 15,95 juta anak diantaranya juga
mengalami stunting. Stunting dengan wasting berasosiasi dalam peningkatan
resiko kematian. Wasting yang parah juga dapat meniingkatkan resiko kematian.
Dari 50,5 juta anak wasting, 26,9 juta anak tersebut dari Asia Selatan.4
Diperkirakan 19 juta anak usia prasekolah, yang sebagian besar dari
wilayah Afrika dan Asia Tenggara, menderita severe wasting . Kekurangan gizi
pada anak-anak adalah masalah kesehatan global yang utama, berkontribusi
terhadap morbiditas anak, kematian, gangguan perkembangan intelektual,
kapasitas kerja orang dewasa yang kurang optimal, dan peningkatan risiko
penyakit di masa dewasa. Dari 7,6 juta kematian setiap tahun di antara anak-
anak yang berusia di bawah 5 tahun, sekitar 35% disebabkan oleh faktor-faktor
terkait gizi dan 4,4% kematian telah terbukti secara khusus disebabkan oleh
severe wasting. Malnutrisi akut parah tetap menjadi penyebab utama kematian
anak di seluruh dunia. Severe Wasting diperkirakan menyebabkan sekitar
400.000 kematian anak setiap tahun.5
Malnutrisi pada anak-anak biasanya berkembang selama periode dari 6
hingga 18 bulan, ketika kecepatan pertumbuhan dan perkembangan otak sangat
tinggi. Anak-anak kecil sangat rentan terhadap kekurangan gizi jika makanan
pendamping memiliki kepadatan gizi yang rendah dan memiliki zat gizi mikro
yang rendah. Selain itu, status gizi anak-anak akan dikompromikan lebih lanjut
jika makanan pendamping diberikan terlalu dini atau terlalu terlambat, atau
terkontaminasi. Status gizi anak-anak juga dapat dipengaruhi oleh infeksi kronis
seperti HIV. Diperkirakan lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia hidup dengan
HIV, 90% dari mereka di Afrika sub-Sahara. Dalam sebuah laporan yang
menggambarkan anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Afrika selatan,
prevalensi HIV pada anak-anak dengan kekurangan gizi akut adalah 29% dan
beresiko lebih tinggi untuk meninggal daripada anak-anak kurang gizi yang
tidak terinfeksi HIV. Prevalensi HIV yang lebih tinggi, yaitu hingga 50%, telah
dilaporkan di antara anak-anak dengan kekurangan gizi akut. 6
Anak-anak dengan malnutrisi akut yang parah mengalami gangguan
fisiologis dan metabolisme, sehingga jika refeeding intensif dimulai sebelum
metabolisme dan ketidakseimbangan elektrolit diperbaiki, resiko kematian
tinggi. Untuk alasan ini, WHO mengembangkan panduan klinis tentang
manajemen anak dengan kekurangan gizi akut. Panduan ini diperbarui sebagian
melalui publikasi WHO tentang manajemen rawat jalan dan perawatan rawat
inap anak-anak dengan kekurangan gizi akut. Pada pasien gizi buruk juga sering
terjadi penurunan kesadaran sehingga diperlukan makanan khusus. Karena
penurunan kesadaran, sehingga penggunaan makanan oral kurang tepat sehingga
dipilih alternatif lain melalui enteral feeding atau parenteral, tergantung adanya
gangguan GI atau tidak. 7
Formula gizi buruk diberikan sesuai dengan fase gizi buruk. Ada 3 fase
daalam gizi buruk yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.
Formula yang diberikan berupa F-75, F-100, dan F-135. Angka 75, 100, dan 135
dalam formula tersebut menandakan jumlah kalori yang terkandung dalam 100
ml formula.
Pada pasien gizi buruk, tubuh tidak dapat menerima asupan yang terlalu
besar karena penurunan fisiologis dan metabolisme akan menyebabkan
refeeding syndrome dan juga potentian renal solute load (PRSL) dari asupan
nitrogen dalam protein sehingga pada fase stabilisasi diberikan F-75 dengan
protein rendah 0.9 gr/100 ml. S telah kondisi tubuh stabil disebut fase transisi
dimana energi dan protein yang diberikan lebih besar yaitu F-100 dengan protein
2.9 gram. Pada fase transisi pemberian energi dan protein yang lebih besar
bertujuan untuk membangun kembali jaringan yang sebelumnya telah dipecah
pada masa starvasi sebelumnya, sehingga protein diperlukan lebih banyak. Pada
masa stabilisasi, berfokus pada peningkatan berat badan.8
A. Tujuan
a. Mendeskripsikan osmolaritas ‘FORIZHA’
b. Mendeskripsikan viskositas ‘FORIZHA’
c. Menganalisa kandungan zat gizi ‘FORIZHA’.
d. Menganalisa densitas energi ‘FORIZHA’
e. Mendeskripsikan organoleptik (aroma, rasa, bentuk, tekstur) ‘FORIZHA’

B. Manfaat
a. Mampu membuat modifikasi formula gizi buruk dengan memperhatikan
osmolaritas, viskositas, densitas, kandungan zat gizi, organoleptik, dan
mikroorganisme perusak
b. Mampu melakukan intervensi dikemudian hari terkait gizi buruk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Metabolisme
Menurut WHO gizi buruk merupakan masalah gizi yang terjadi akibat
konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta
karena adanya gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat
badannya kurang dari berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes, gizi
buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)
dengan Z-score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus,
kwasiorkor dan marasmus-kwasiorkor). Gizi buruk juga diartikan sebagai
kurangnya pemasukan energi dan protein sehingga mengakibatkan kelainan
yang sulit atau tidak disembuhkan dan menghambat perkembangan
selanjutnya.9,10
Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi
dapat di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan
dan akar masalah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
yaitu: 11,12,13
1. Faktor Langsung
a. Kurangnya asupan makanan.
Asupan makanan merupakan faktor penyebab langsung utama.
Konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat
gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai
kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI
Eksklusif. Gizi buruk banyak terjadi pada anak usia enam bulan
hingga lima tahun, dimana pada usia tersebut anak memerlukan zat
gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak
terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat gizi yang ada
dalam tubuh, yang akibatnya semakin lama cadangan semakin habis
dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang akan
menimbulkan perubahan pada gejala klinis.
b. Penyakit infeksi.
Penyakit Infeksi adalah faktor penyebab langsung kedua.
Penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit
menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut
(ISPA). Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi merupakan
hubungan sebab-akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan
gizi, dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena
penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang umumnya terkait dengan
masalah gizi adalah diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan.
Interaksi sinergistik antara malnutrisi dan penyakit infeksi antara
lain :
c. Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi
Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan adalah
menurunnya berat badan. Keadaan ini disebabkan karena
hilangnya nafsu makan sehingga masukan zat gizi dan energi
kurang dari kebutuhannya. Sedangkan pada penderita penyakit
infeksi memerlukan kebutuhan energi dan zat gizi yang
meningkat karena katabolisme yang berlebihan dan suhu badan
yang tinggi.
d. Dampak Malnutrisi terhadap Penyakit Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas tubuh
terhadap berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam
pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu :
 Melalui sel (imunitas seluler)
 Melalui cairan (imunitas humoral)
 Aktivitas leukosit polimorfonukleus

2. Faktor Tidak Langsung


1. Kurangnya ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh
masyarakat
2. Perilaku, budaya dan pengetahuan dalam pengolahan pangan dan
pengasuhan anak yang tidak baik
3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak
memadai.
4. Status ekonomi yang menyebabkan daya beli keluarga rendah.
5. Hygenitas dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.

Asupan zat gizi yang kurang akan berdampak pada terhambatnya


pertumbuhan anak. Kekurangan energi yang sangat parah menyebabkan
keseimbangan energi tidak dapat dipertahankan dan akan menyebabkan
kehilangan jaringan tubuh, baik lemak (adiposa) maupun protein otot.
Kondisi malnutrisi menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, hati dan
keseimbangan elektrolit. Pada malnutrisi terjadi kekurangan konsentrasi
antioksidan enzimatik dan non-enzimatik bersamaan dengan trace element,
dan terjadinya peningkatan stres oksidatif karena aktivasi kronik nonspesifik
dari sistem kekebalan tubuh karena inflamasi kronik. Pada kondisi malnutrisi
terjadi disfungsi berbagai elemen imun yang lebih disebabkan disregulasi
dibandingkan dengan imunodefisiensi. Pada proses inflamasi, sitokin-sitokin
yang dilepaskan seperti IL-1, TNF-α, IL-6 mengakibatkan penurunan asupan
makan, meningkatkan energi metabolisme basal, glukoneogenesis, oksidasi
glukosa, dan sintesis hepar (asam lemak dan protein fase akut), penurunan
uptake asam lemak oleh sel lemak dan perubahan distribusi zink, besi dan
copper. Produksi yang berkepanjangan dari TNF ini menimbulkan wasting
sel otot dan lemak, yang disebut kakeksia. Hal ini terjadi karena TNF
menginduksi penekanan napsu makan dan mengurangi sintesis lipase
lipoprotein, suatu enzim yang diperlukan untuk melepaskan asam lemak dari
lipoprotein sirkulasi sehingga dapat digunakan oleh jaringan. Jika keadaan
hiperkatabolik ini berlangsung berkepanjangan maka akan menimbulkan hal-
hal yang merugikan.14,15,16
3. Gejala klinis KEP berat/Gizi buruk:17
1. Kwashiorkor
a. Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
(dorsum pedis)
b. Wajah membulat dan sembab
c. Pandangan mata sayu
d. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok
e. Perubahan status mental, apatis, dan rewel
f. Pembesaran hati
g. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk
h. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
i. Sering disertai: penyakit infeksi, umumnya akutanemia dan diare.
2. Marasmus:
a. Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Cengeng, rewel
d. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/”baggy
pants”)
e. Perut cekung
f. Iga gambang
g. Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan
diare
3. Marasmus-Kwashiorkor:
Gambaran klinik Marasmus-Kwashiorkor merupakan campuran dari
beberapa gejala klnik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60%
baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok.
4. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin pada KEP Berat/Gizi Buruk
Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah
penting yaitu:18,19
a. Atasi/cegah hipoglikemia
b. Atasi/cegah hipotermia
c. Atasi/cegah dehidrasi
d. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
e. Obati/cegah infeksi
f. Mulai pemberian makanan
g. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”)
h. Koreksi defisiensi zat gizi mikro
i. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
j. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh

Dalam proses pengobatan Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase


stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Jika pemenuhan kebutuhan gizi
secara oral tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan pemberian makanan
melalui Enteral Nutrition (EN). EN adalah metode pemberian makanan pada
pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya melalui rute oral, dan
diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik tube
(NGT), atau jejunum dapat secara manual maupun dengan bantuan pompa
mesin (gastrostomy dan jejunum percutaneous). Penggunaan formula enteral
ini dapat meningkatkan asupan zat gizi pasien. Makanan enteral tidak hanya
dapat diberikan selama anak dirawat di rumah sakit saja, tetapi pemberian
enteral tersebut dapat juga diberikan selama anak tersebut di rumah.20
B. Prinsip dan Syarat Diet
Zat gizi makro merupakan zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah
besar oleh tubuh dan sebagian besar berperan dalam penyediaan energi.
Tingkat konsumsi zat gizi makro mempengaruhi terhadap status gizi balita.
Asupan energi dan protein yang rendah berdampak pada meningkatnya
resiko masalah gizi seperti kekurangan energi kronis dan kekurangan
energi protein, selain pada balita dapat berdampak pada terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan kognitifnya. Asupan lemak yang rendah
juga menyebabkan terjadinya penurunan massa tubuh dan gangguan pada
penyerapan vitamin larut lemak. Ketidakseimbangan tingkat konsumsi zat
gizi makro seperti energi, karbohidrat lemak dan protein terhadap
kebutuhan tubuh secara berkepanjangan dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan pada jaringan dan massa tubuh yang akan berdampak pada
penurunan berat badan (berat badan kurang).21,22

Tabel 1. Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk.23

Zat Gizi Per 100 ml F 75 F 100 F 135

Energi Kalori 750 1000 1350

Protein g 9 29 33

Lactosa g 13 42 48

Potasium Mmol 36 59 63

Sodium Mmol 6 19 22

Magnesium Mmol 4.3 7.3 8

Seng Mg 20 23 30

Copper Mg 2.5 2.5 3.4

% energi protein - 5 12 10

% energi lemak - 36 53 57

Osmolality Mosm/l 413 419 508


Prinsip tatalaksana gizi buruk dengan pemberian formula enteral yaitu :
1. Fase Stabilisasi
Tujuan fase stabilisasi adalah menyesuaikan kemampuan pasien/anak
dalam menerima makanan sehingga ia mampu menerima diet yang
diberikan. Tahap stabilisasi dapat berlangsung singkat, yaitu selama 1-2
minggu atau dapat lebih lama. Pada fase ini diberikan porsi kecil dan
sering dengan formula rendah laktosa dan hipo/isoosmolar.
Prinsip pemberian yaitu :
a. Energi 80-100 kkal/kg BB/hari
b. Protein 1 –1,5 g/kg BB/hari
c. Cairan 130 ml/kg BB/hari (100 ml/kg BB /hari, bila ada odema)
d. Diberikan formula 75 atau modisco 0,5
2. Fase Transisi
Fase transisi juga disebut sebagai fase penyembuhan. Bila asupan
makan dan toleransi anak bertambah baik, serta kondisinya mulai stabil.
Pemberian formula dilakukan secara bertahap, yaitu ditingkatkan tiap 1-2
hari.
Prinsip pemberian yaitu :
a. Energi: 100-150 kkal/kg BB/hari
b. Protein : 2-3 g/kg BB/hari
c. Cairan: 150 ml/ kg BB/hari
d. Makanan dari formula 75 menjadi formula 100 atau modisco I/II
3. Fase Rehabilitasi
Tujuan fase rehabilitasi adalah untuk mengejar pertumbuhan anak.
Diberikan ketika anak sudah bias makan dengan baik, dan makanan
dalam bentuk padat.24
Prinsip pemberian yaitu :
a. Energi: 150 –220 kkal/kg BB/hari
b. Protein 4 –6 g/kg BB/hari
c. Bila anak masih mendapat ASI teruskan, dan ditambah formula
karena energi dan protein ASI tidak mencukupi untuk tumbuh kejar.
d. Cairan:150 –200 ml/kg BB/hari
e. Diberikan formula 135 atau modisco III

Kenaikan BB pada fase rehabilitasi :


a. Baik : kenaikan BB ≥50 g/kg BB/minggu
b. Kurang : kenaikanBB < 50g/kg BB/mg

C. Rute
Pemberian F-100 pada pasien gizi buruk dapat dilakukan melalui peroral
atau pipa nasogastric (NGT). Frekuensi dalam sehari diberikan sebanyak 6x.
Agar formula lebih homogen, dapat digunakan blender. Namun, pada
pemberian melalui NGT, tidak dianjurkan untuk diblender karena akan
menimbulkan gelembung udara. Jumlah cairan yang diberikan setiap minum
disesuaikan dengan BB masing – masing anak.25
Penggunaan F-100 dengan melalui oral atau melalui mulut dilakukan
selama saluran cerna masih berfungsi dengan baik. Pemberian secara oral
memiliki berbagai kelebihan seperti zat gizi yang diberikan akan melalui
proses fisiologis didalam tubuh seperti digesti, absorbs, dan metabolisme. Cara
ini juga lebih murah dalam segi biaya serta mampu menjaga keseimbangan
mikroorganisme dalam saluran cerna.26
Sedangkan Nasogastric tube (NGT) merupakan metode pemenuhan gizi
dengan menggunakan selang yang dimasukkan lewat hidung lalu esophagus
menuju ke lambung. Beberapa tipe NGT yaitu pipa Levin, pipa Salem sump,
dan pipa Moss. Pipa Levin merupakan pipa yang paling sering digunakan.
Pemasangan NGT lebih dipilih karena lebih sederhana, aman, dan jarang
menyebabkan trauma pada pasien dibanding ororgastrik. Namun, pemasangan
NGT sering menyebabkan komplikasi seperti aspirasi lambung. Hal tersebut
dapat dicegah dngan memposisikan pasien secara benar, persiapan prosedur
dan pelaksanaan sudah tepat, serta kooperatif dari pasien.27
D. Bahan dan jumlah bahan formula
Pada formula enteral untuk pasien gizi buruk, bahan yang digunakan
yaitu :
a. Tepung Tempe
Tempe merupakan produk tradisional yang telah dikenal di Indonesia.
Tempe kedelai merupakan bahan pangan hasil dari fermentasi kedelai
dengan menggunakan kapang Rhizopus sp. Dalam pertumbuhan kapang
tersebut, dihasilkan beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa
kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang menyebabkan tempe
lebih mudah dicerna dan nilai gizi yang lebih tinggi pada tempe
dibandingkan dengan kedelai. Tempe merupakan sumber protein nabati
dengan harga yang murah serta mudah untuk didapat. Dalam 100 g tempe,
mengandung protein sebesar 20,8 g; lemak 8,8 g; serat 1,4 g; kalsium 155
mg; fosfor 326 mg; zat besi 4 mg; vitamin B1 0,19 mgl dan karotein
sebesar 34 mcg.28,29
Tempe mempunyai masa simpan yang rendah yaitu 2 hingga 3 hari
pada suhu ruang. Tempe dapat diawetkan menjadi tepung tempe sehingga
dalam penggunaan dan penyimpanan lebih lama. Tepung tempe diperoleh
dari tempe segar lalu diproses dengan cara pengirisan, pengukusan,
pengeringan, penggilingan, dan penyaringan ukuran 80 mesh. Tempe yang
sudah ditepungkan masih mengandung nilai gizi yang cukup.29
Pada pembuatan formula enteral untuk anak gizi buruk pada fase
transisi ini, digunakan tepung tempe sebesar 4 gram. Dalam 4 gram tepung
tempe mengandung energi sebesar 27,7 kkal; protein sebesar 1,78 gram;
lemak sebesar 1,2 gram; dan karbohidrat sebesar 2,4 gram.
b. Tepung Susu Skim
Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu hewan mamalia betina
sebagai sumber gizi bagi anaknya. Salah satu jenis susu yaitu susu skim.
Susu tanpa lemak atau susu skim merupakan produk susu cair yang
sebagian besar lemak sudah dihilangkan dan dipasteurisasi atau
disterilisasi atau diproses secara UHT (Ultra High Temperature). Susu
jenis ini memiliki kadar lemak tidak lebih dari 1,25% dan protein kurnag
dari 2,7%. Susu skim merupakan sumber kalsium yang paling kaya serta
mengandung riboflavin, fosfor, niacin, dan riboflavin yang diperlukan oleh
tubuh.30
Skim Milk Powder (SMP) merupakan susu skim dalam bentuk bubuk
yang dibuat dengan pengeringan untuk menghilangkan sebagian air dan
lemak. SMP digunakan untuk mencapai kandungan solid non fat pada
produk pangan serta sebagai sumber protein serta memperbaiki tekstur
pada produk akhir. Susu skim memiliki kandungan lakrosa yang lebih
tinggi dibandingkan susu jenis lain yaitu sebesar 51%. Laktosa tersebut
diperlukan pada usus besar untuk mendorong pertumbuhan bakteri asam
laktat yang membantu mengatasi adanya gangguan pencernaan serta
merangsang penyerapan kalsium di usus.31 Namun, kandungan laktosa
yang terdapat pada formula ini menyebabkan formula tersebut tidak dapat
diberikan pada penderita intoleransi laktosa.
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, tepung
susu skim diberikan sebesar 50 gram. Pada 50 gram tepung susu skim
mengandung energi 184 kkal, protein 18 gram, lemak 1 gram, dan
karbohidrat 26 gram.
c. Gula Pasir
Gula merupakan bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai
jenis bahan seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula
termasuk dalam golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi
aktivitas manusia. Ketika tubuh kekurangan energi, maka gula yang
dikonsumsi akan diubah menjadi glukosa yang diserap oleh tubuh dan
menghasilkan energi. Di Indonesia, gula pasir merupakan jenis yang
paling banyak diproduksi. Gula pasir diperoleh dari hasil ekstraksi dan
pemurnian tanaman tebu menjadi butiran gula berwarna putih atau putih
agak kecoklatan.32
Manfaat dari gula yaitu sebagai sumber energi yang ketika dikonsumsi
tubuh akan merubah gula menjadi glukosa secara instan. Glukosa akan
diserap sel tubuh untuk menghasilkan energi. Maka dari itu, gula
merupakan bahan dasar yang cocok untuk pembuatan formula enteral bagi
penderita gizi buruk serta gula pasir mudah didapat. Kandungan zat gizi
dalam 100 gram gula pasir yaitu energi 364 kkal dan karbohidrat 92
gram.33
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, gula pasir
yang diberikan sebesar 32 gram. Dalam 32 gram gula pasir mengandung
energi 124 kkal dan karbohidrat 32 gram.
d. Minyak Kelapa
Minyak kelapa merupakan salah satu produk yang melalui ekstrasi
daging kelapa dengan cara kering dan basah. Perbedaan utama antara
minyak kelapa dan minyak nabati lain yaitu kandungan asam lemak rantai
medium yang terdapat pada minyak kelapa mencapai 61,39%. Keunggulan
dari asam lemak rantai medium dibanding asam lemak tak jenuh yaitu
proses metabolism yang cepat sehinga energi lebih cepat dihasilkan, serta
stabil pada suhu yang sangat rendah maupun sangat tinggi. Selain itu,
lemak rantai medium langsung ke pembuluh darah melalui sistem portal
dan tidak memerlukan jalur cylomicron untuk ditransfer dari darah ke sel.
Asam lemak rantai medium telah banyak digunakan sebagai sumber susu
formula, bahan formulasi makanan pada pasien gangguan penyerapan,
pasien pasca operasi dan orang lanjut usia di Eropa dan Amerika.34
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, minyak
kelapa yang diberikan sebesar 50 gram. Dalam 50 gram minyak kelapa
mengandung energi 431 kkal dan lemak 50 gram.

e. Perbandingan Zat Gizi dengan F100 dari WHO

Tabel 2. Perbandingan Zat Gizi dengan F100 dari WHO

No Zat Gizi F100 Standar Forizha Persentase


1 Energi 1011,7 kkal 1016 kkal 100,4%
2 Protein 30,9 g 35,8 g 115,8%
3 Lemak 59,7 g 63 g 105,5%
4 Karbohidrat 91,2 g 82 g 89,9%
Perbandingan zat gizi Forizha dengan F100 standar tidak memiliki
perbedaan yang jauh.

f. Perbandingan Harga dengan Formal100

Tabel 3. Perbandingan Harga dengan F100

Nama Produk Komposisi Berat Harga


Forizha Tepung tempe 4g Rp 800,00
Tepung susu 5 g Rp 642,85
skim
Gula pasir 3,2 g Rp 41,60
Minyak kelapa 5g Rp 1300,00
Total 17,2 g Rp 2784,45
Formal 100 17 gram Rp 5.000,00
Harga Forizha dibanding dengan formula gizi buruk merek Formal100
lebih murah yaitu Rp 2784,45.

g.
BAB III
METODE

A. Pembuatan Formula Enteral


Untuk membuat formula enteral rumah sakit, diperlukan beberapa alat
dan bahan. Alat harus dipersiapkan dengan baik, harus steril agar tidak
menambah jumlah bakteri di dalam formula enteral. Bahan harus dipilih bahan
yang yang masih baik dan layak konsumsi. Alat dan bahan yang digunakana
adalah sebagai berikut:
1. Alat dan Bahan
Alat :
a. Timbangan makanan 1 buah
b. Mangkuk stainless kecil 2 buah
c. Mangkuk stainless besar 1 buah
d. Mixer 1 buah
e. Blender 1 buah
f. Sendok makan 2 buah

Bahan :

a. Susu skim bubuk 50 g


b. Tepung tempe (tempe segar 100 g yang dibuat menjadi tepung) 40 g
c. Gula pasir 32 g
d. Minyak kelapa 50 g
2. Cara Pembuatan Tepung Tempe
a. Memotong tempe segar menjadi bentuk dadu dengan ketebalan 1 cm
b. Mengukus tempe dengan suhu 80 derajat celcius selama 10 menit
c. Meniriskan tempe sampai dingin
d. Tempe yang telah ditiriskan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60
derajat celcius selama 6 jam
e. Menghaluskan tempe kering
f. Mengayak tempe dengan ayakan 80 mesh
3. Cara Pembuatan Formula
a. Mencampur semua bahan kering yaitu susu skim, tepung tempe, gula
pasir
b. Mengaduk selama 5 menit
c. Menambahkan minyak kelapa ke dalam adonan lalu mengaduk
selama 2 menit
d. Mixer semua adonan selama 8 menit
e. Mengemas formula

B. Pengukuran
1. Osmolaritas
Osmolaritas adalah satuan yang menyatakan jumlah partikel zat
terlarut per liter larutan. Osmolaritas adalah miliosmol zat terlarut pr liter
larutan. Miliosmol adalah satuan yang mencerminkan aktivitas osmosis
suatu zat. Osmolaritas larutan enteral ditentukan oleh konsentrasi gula,
asam amino, dan elektrolit. Nilai yang yang ideal adalah 350-400
mOsmol/kg sesuai dengan osmolalitas cairan ekstraseluler, sedangkan
menurut ketentuan AsDI osmolaritas formula enteral adalah 400 mOsm/L.
Osmolaritas adalah parameter yang penting untuk formula enteral.
Osmolaritas formula enteral akan meningkat jika kandungan asam amino,
monosakarida, disakarida, dan elektrolit bertambah. Peningkatan proporsi
bahan formula dapat meningkatkan osmolaritas formula enteral karena
cenderung meningkatkan asam amino formula.
Untuk mengetahui osmolaritas larutan ada 2 metode yang
digunakan yaitu dengan menggunakan osmometer dan perhitungan dengan
mengalikan asam amino, dextrose, dan elektrolit dengan konstanta masing-
masing.
i. Osmometer
Osmometer adalah alat unutk mengukur kekuatan osmotik larutan.
Ada tiga jenis kekuatan osmotik yatu koloid, senyawa, dan larutan.
Ada tiga jenis osmometer, yaitu osmometer titik beku yang
menentukan kekuatan osmotik larutan dengan memanfaatkan
penurunan titik depresi; osmometer tekanan uap yaitu dengan cara
menentukan konsentrasi partikel osmotik aktif yang mengurangi
tekanan uap larutan; dan membran osmometer dengan mengukur
tekanan osmotik larutan dipisahkan oleh membran semipermiabel.
Perhitungan osmolaritas menggunakan osmometer akan menghasilkan
angka yang lebih akurat.
ii. Perhitungan sederhana
Mengetahui zat penyusun bahan makanan, kemudian menghitung
dengan mengalikan gram asam amino dengan konstanta 10, gram
dextrose dengan konstanta 5, lemak dengan konstanta 1,5 dan mEq
elektrolit dengan konstanta 2. Dan menjumlahkan semuanya. Untuk
elektrolit adalah sebagai berikut:

1 mg mEq
Kalsium 0,05
Klorida 0,028
Magnesium 0,082
Phospat 0,064
Kalium 0,025
Natrium 0,043
Zinc 0,030

2. Viskositas

Viskositas adalah tahanan aliran fluida yang merupakan gesekan


antara molekul-molekul cairan satu dengan yang lain. Viskositas adalah
ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas suatu
zat cair, maka akan semakin kental aliran zatcair tersebut. Suatu zat cair
dengan viskositas tinggi, seperti molase, dalam suhu kamardikatakan
kental. Viskositas zat cair adalah suatu indikasi dari kekuatan gaya-gaya
diantara molekul-molekulnya. Gaya antar molekul yang kuat saling
menarik molekul dantidak akan membiarkan mereka berpindah tempat
dengan mudah.35

Cara menentukan viskositas suatu zat menggunakan alat yang


dinamakan viskometer. Ada beberapa tipe viskometer yang biasa
digunakan antara lain dengan menggunakan Viskometer kapiler /
Ostwald. Viskositas dari cairan yang ditentukan dengan mengukur waktu
yang dibutuhkan bagicairan tersebut untuk lewat antara 2 tanda ketika
mengalir karena gravitasi melaluiviskometer Ostwald. Waktu alir dari
cairan yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu
zat yang viskositasnya sudah diketahui (biasanya air)untuk lewat 2 tanda
tersebut. Berikut adalah proses pengukuran viskositas dengan metode
oswald.
Viskositas merupakan sifat yang perlu diperhatikan pada makanan
enteral karena makanan berpengaruh terhadap kelancaran masuknya
makanan enteral kedalam selang, metode pemberian, dan ukuran selang
yangdigunakan. Faktor yang mempengaruhi viskositas adalah suhu,
konsentrasi, berat molekul, dan tekanan.

b. Analisis Zat Gizi


Perhitungan analisis bahan makanan menggunakan formula excel yang
sudah distandarkan terlebih dahulu. Selain mengggunakan bantuan Excel
kandungan zat gizi pada FERS juga diuji di laboratorium. Beberapa
kandungan gizi yang dianalisis, antara lain protein, lemak, dan karbohidrat.
1. Analisis kandungan protein
Protein merupakan komponen utama dalam sel makhluk hidup, baik
tumbuhan maupun hewan. Struktur protein tersusun dari beberapa asam-
asam alfa amino karboksilat yang satu dengan yang lain terikat melalui
ikatan peptida. Unsur-unsur protein, antara lain Karbon (C),Hidrogen
(H),Oksigen (O), dan Nitrogen (N) disamping juga sering ditemukan
Belerang (S), Fosfor (P), dan logam lainnya. Terdapat beberapa metode
dalam pengukuran kadar protein terlarut, diantaranya adalah metode
pembacaan absorbansi langsung, metode Biuret, metode Lowry, metode
Bradford dan metode BCA. Pada praktikum ini metode pengukuran
kadar protein yang digunakan adalah metode Bradford.36
Metode Bradford merupakan metode pengukuran konsentrasi protein
totol yang melibatkan pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB). CBB
akan berikatan dengan protein pada sampel larutan dalam suasana asam
sehingga menghasilkan warna kebiruan. Dengan demikian absorbansinya
dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang
gelombang 465-595 nm.37
Adapun cara pengujian kadar protein dengan metode Bradford
adalah :
Pengujian Sampel Padat/cair

2. Analisis Kandungan Lemak


Lipid atau lemak berasal dari kata Yunani yang berarti Lipos yang
merupakan penyusun tumbuhan atau hewan yang diberikan oleh sifat
kelarutannya. Terutama lipid tidak bisa larut dalam air tetapi larut dalam
larutan non polar seperti eter. Minyak/ lemak merupakan lipida yang
banyak terdapat di alam, minyak merupakan senyawa turunan ester dari
gliserol dan asam lemak. Lemak merupakan senyawa kimia yang
mengandung unsur Karbohidrat (C),Hidrogen (H) dan Oksigen (O). 38
Minyak atau lemak dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi
jaringan tanaman atau hewan yang mengandung lemak. Ekstraksi dengan
alat soxhlet merupakan cara ekstraksi yang efisien dan efektif untuk
menentukan kadar minyak atau lemak suatu bahan, karena pelarut yang
digunakan dapat diperoleh kembali dan waktu yang digunakan untuk
ekstraksi relatif singkat.38 Ekstraksi soxhlet digunakan untuk
mengekstrak senyawa yang kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut
dan pengotor-pengotornya tidak larut dalam pelarut tersebut. Sampel
yang digunakan dan yang dipisahkan dengan metode ini berbentuk
padatan. Ekstraksi soxhlet ini juga dapat disebut dengan ekstraksi padat-
cair.
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh metode, pelarut, suhu, serta waktu
ekstraksi yang akan berpengaruh terhadap konsentrasi serta kualitas
ekstrak minyak yang dihasilkan. Adapun mekanisme kerja ekstraksi
soxhlet ini yaitu: Pada soxhletasi pelarut pengekstrak yang ada dalam
labu soxhlet dipanaskan sesuai dengan titik didihnya sehingga menguap.
Uap pelarut ini naik melalui pipa pendingin balik sehingga mengembun
dan menetes pada bahan yang diekstraksi. Pelarut ini merendam bahan
dan jika tingginya sudah melampaui tinggi pipa pengalir pelarut maka
ekstrak akan mengalir ke labu soxhlet. Ekstrak yang terkumpul
dipanaskan lagi sehingga pelarutnya akan menguap kembali dan lemak
akan tertinggal pada labu. Dengan demikian maka terjadi daur ulang
pelarut sehingga setiap kali bahan diektraksi dengan pelarut baru. 39 Pada
praktikum kali ini, pelarut yang digunakan adalah n-heksana.

3. Analisis Kandungan Gula


Terdapat beberapa metode untuk menganalisis kandungan gula pada
suatu sampel, antara lain Luff Schoorl, metode enzimatis dan metode
kromatografi. Pada praktikum ini untuk mengukur kandungan gula pada
sampel digunakan metode Luff Schorl. Metode ini digunakan untuk
menentukan kadar karbohidrat sedang dan merupakan metode terbaik
karena memiliki kesalahan sebesar 10% untuk mengukur kadar
karbohidrat, serta lebih praktis dan murah biayanya. Prinsip metode ini
adalah iodometri, dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap
iodium (I2) bebas dalam larutan.
Pereaksi yang digunakan dalam metode Luff-Schoorl adalah
CH3COOH 3%, Luff Schoorl, KI 20%, Na2S2O3 0,1 N, NaOH 30%,
H2SO4 25%, dan HCl 3%. HCl digunakan untuk menghidrolisis pati
menjadi monosakarida, yang akan bereaksi dengan larutan uji Luff
Schoorl dengan mereduksi ion Cu2+ menjadi ion Cu+ . Setelah proses
hidrolisis selesai dilakukan, maka akan ditambahkan NaOH, yang
berfungsi untuk menetralkan larutan sampel ditambahkan HCl. Asam
asetat digunakan setelah proses penetralan dengan NaOH dengan maksud
untuk menciptakan suasana yang sedikit asam. Dalam metode Luff-
Schoorl, pH harus diperhatikan dengan cermat. Suasana yang terlalu
asam akan menimbulkan overestimated pada tahap titrasi sebab akan
terjadi reaksi oksidasi ion iodide menjadi I2. Apabila pH terlalu tinggi
(terlalu basa), maka hasil titrasi akan menjadi lebih rendah daripada
sebenarnya, karena pada pH tinggi akan terjadi resiko kesalahan, yaitu
terjadinya reaksi I2 yang terbentuk dengan air (hidrolisis). H2SO4
ditambahkan untuk mengikat ion tembaga yang terbentuk dari hasil
reduksi monosakarida dengan pereaksi Luff-Schoorl, kemudian
membentuk CuSO4. KI akan bereaksi dengan tembaga sulfat membentuk
buih coklat kehitaman. Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode
Luff Schoorl adalah titrasi dengan natrium tiosulfat.

c. Densitas Energi

Densitas Energi adalah banyaknya energi yang dihitung dengan


menggunakan rumus perhitungan total energi pada makanan dibagi berat
total makanan. Masing-masing makanan atau minuman mempunyai nilai
densitas energi.

Total energi (kkal)


Densitas Energi =
Total jumlah yang diberikan(ml )

Klasifikasi densitas energi terbagi dalam 3 kategori, yaitu rendah


(<1 kkal/gram), sedang (1-2,25 kkal), dan tinggi (>2,25 kkal/gram).
Kandungan air dari formula enteral bergantung pada densitas kalorinya.
Formula yang memiliki densitas kalori terbesar dapat memberikan
jumlah air yang paling sedikit.

d. Organoleptik
Uji organoleptik bertujuan untuk menentukan tingkat penerimaan
konsumen terhadap formula enteral. Uji organoleptik yang akan
dilakukan yaitu uji kesukaan yang terdiri atas uji hedonik. Uji hedonik
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap
karakteristik produk. Penilaian dilakukan terhadap 10 panelis dengan
menilai karakteristik aroma, rasa, bentuk, dan tekstur. Tingkat kesukaan
panelis diuji dengan parameter rasa, warna, aroma, dan tekstur yang
terdiri dari 4 skala kesukaan, yaitu

1 = tidak suka

2 = agak tidak suka

3 = agak suka

4 = suka

e. Total Plate Count (TPC)


Total Plate Count (TPC) merupakan metoda pendugaan jumlah
mikroorganisme secara keseluruhan (kapang, khamir, bakteri) dalam
suatu bahan. Pemeriksaan TPC penting dilakukan karena dapat
memberikan gambaran mengenai kualitas suatu makanan dan kelayakan
konsumsinya. Analisis TPC dapat memberikan gambaran bahan
makanan secara keseluruhan, sehingga bila dalam makanan jumlah TPC
tinggi maka kualitas dari makanan tersebut sangat rendah dan tidak layak
untuk dikonsumsi. Batas maksimal persyaratan TPC formula enteral
yaitu 1,0x104 cfu/gram. 40
Analisis TPC menggunakan media Plate
Count Agar (PCA) dengan menanam satu gram sampel yang telah
diencerkan ke dalam cawan petri, kemudian diinkubasi. Hasil hitung
TPC berupa koloni (cfu)/mL.41
1. Sterilisasi
Melakukan sterilisasi terhadap semua alat gelas yang akan digunakan
menggunakan autoclave dengan suhu 121˚C selama 15 menit dengan
tekanan 1 atm.
2. Homogenisasi sampel
Menimbang masing – masing sebanyak 1 gram sampel di 3 tempat terpisah,
haluskan menggunakan mortar.
3. Pengenceran sampel.
a. Menyiapkan sejumlah tabung reaksi steril yang sudah berisi 9 ml
aquadest steril sebanyak seri pengenceran yang ingin dibuat berjajar pada
rak tabung reaksi dan tulislah tingkat pengenceran mulai 10-1, 10-2, 10-3,
10-4, dan seterusnya sampai yang dikehendaki.
b. Mengisi tabung pertama dengan sampel (bahan cair) sebanyak 1 ml
(sebelumnya sampel diaduk dahulu), homogenkan, maka didapatlah
suspensi sampel dengan pengenceran10-1. (untuk bahan padat lihat
homogenisasi sampel padat).
c. Dari tabung pengenceran 10-1, pipet 1 ml suspensi sampel, masukkan ke
tabung dua, homogenkan, maka didapatlah suspensi sampel dengan
pengenceran 10-2.
d. Dari pengenceran 10-2, pipet 1 ml suspensi sampel, masukkan ke tabung
tiga, homogenkan, maka didapatlah suspensi sampel dengan pengenceran
10-3.
e. Melakukan hal yang sama sampai didapat pengenceran10 -4,10-5,10-6, dan
seterusnya.

4. Penanaman
a. Menyiapkan cawan petri kosong yang telah disterilisasi
b. Memberi tanda pada masing-masing cawan petri dengan tingkat
pengenceran yang dimulai dari kontrol, pengenceran 10-1 sampai
pengenceran yang terakhir
c. Menambahkan 1 ml aquadest untuk cawan petri kontrol
d. Menambahkan 1 ml dari suspensi sampel pengenceran 10-1 untuk cawan
petri 10-1
e. Menambahkan 1 ml dari suspensi sampel pengenceran 10-2 untuk cawan
petri 10-2, dan seterusnya hingga pengenceran terakhir
f. Menuang media PCA/NA (±50oC) sebanyak 15-20 ml (sampai batas
merk cawan petri) ke dalam masing-masing cawan petri (kontrol hingga
pengenceran terakhir) yang telah berisi suspensi sampel
g. Segera memutar atau menggoyang cawan petri sedemikian rupa hingga
suspensi sampel tersebar merata
h. Menunggu hingga media memadat
i. Jika media sudah memadat, merekatkan cawan petri dengan plastic wrap
j. Menginkubasi dalam posisi terbalik selama 24 jam pada suhu 35-37oC
k. Setelah masa inkubasi selesai, mengamati dan menghitung pertumbuhan
koloni yang ada
l. Melakukan perhitungan pada jam pertama, kedua, dan ketiga pasca
penyeduhan
BAB IV
HASIL PERCOBAAN

A. Osmolaritas

Tabel 4. Hasil Percobaan Osmolaritas

Formula Osmolaritas (mOsm/L)


FERS Forizha 444,46
FEK F-100 WHO 419

B. Viskositas
Tabel 5. Viskositas dengan Uji Alir

Formula Kecepatan (cc/detik) Rerata


FERS Forizha 12,47 11,93
11,39
FEK F-100 WHO 12,44 11,47
10,50

Tabel 6. Viskositas dengan Ostwald

Formula Kecepatan (cP) Rerata


FERS Forizha 0,198 0,192
0,185
FEK F-100 WHO 0,139 0,181
0,223

C. Analisis Zat Gizi


1. Penetapan Kadar Protein
Tabel 7. Kadar Protein

No. Konsentrasi Absorbansi Rerata


1. Blangko 1 0,538 0,5415
2. Blangko 2 0,545
3. 1000 ppm 1 1,578 1,568
4. 1000 ppm 2 1,588
5. 800 ppm 1 1,306 1,297
6. 800 ppm 2 1,288
7. 600 ppm 1 1,176 1,1725
8. 600 ppm 2 1,169
9. 400 ppm 1 1,010 1,005
10. 400 ppm 2 1,000
11. 200 ppm 1 0,805 0,8135
12. 200 ppm 2 0,822
13. Sampel 1 1,109 1,131
14 Sampel 2 1,153

A. Penetapan pH FERS
pH FERS = 6,64
Suhu = 46,9oC

2. Penetapan Kadar Lemak

Tabel 8. Hasil Percobaan Kadar Lemak/Minyak

BERAT VOLUME
BOBOT BOBOT
SAMPEL PELARUT
AWAL AKHIR
(gram) (ml)
5,05 260 127,1327 128,9527
3. Penetapan Kadar Karbohidrat

Tabel 9. Penetapan Kadar Gula Pereduksi

JENIS LARUTAN VOLUME TIOSULFAT (mL)


Blangko 19,3

Sampel 17 dan 16,5 Rata-rata : 16,75

Tabel 10. Penetapan Kadar Gula Sukrosa

JENIS LARUTAN VOLUME TIOSULFAT (mL)


Blangko 13,1

Sampel 9,4 dan 8,7 Rata-rata : 9,05

D. Densitas Energi

Tabel 11. Kandungan Energi Formula FORIZHA

Standar Densitas Energi Densitas “FORIZHA”


Formula Enteral
1 – 2 kkal/ml 1,016 kkal/ml = 1 kkal/ml

E. Organoleptik (Aroma, rasa, bentuk, tekstur)

Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik "FORIZHA"

Komponen Tidak Suka Agak Tidak Agak Suka (n) Suka (n)
(n) Suka (n)
Rasa 1 4
Tekstur 3 2
Warna 2 3
Aroma 4 1

Tabel 13. Hasil Uji Organoleptik F100 WHO

Komponen Tidak Suka Agak Tidak Agak Suka (n) Suka (n)
(n) Suka (n)
Rasa 1 4
Tekstur 2 3
Warna 5
Aroma 2 3
F. Nilai TPC
Tabel 14. Angka Lempeng Total Bakteri

Waktu Penyimpanan Pengenceran Jumlah Koloni


Kontrol 1 jam 5
2 jam 6
3 jam 8
1 Jam 10-1 55
-2
10 190
10-7 111
-1
2 Jam 10 201
-3
3 Jam 10 167
10-4 45
Pada sampel dengan penyimpanan 1 jam, jumlah bakteri yang memenuhi
syarat perhitungan (30-300 koloni) pada pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-7. Pada
sampel dengan penyimpanan 2 jam hanya pada sampel dengan pengenceran 10-1
yang memenuhi syarat perhitungan, dan pada penyimpanan 3 jam pada sampel
dengan pengenceran 10-3 dan 10-4.

Dari data jumlah koloni, dihitung nilai hitung bakteri didapat hasil :

Tabel 15. Nilai Hitung Bakteri

Parameter Total Plate Count (TPC)


T1 3,7 x 107
T2 2,0 x 103
T3 3,0 x 105

Dari hasil hitung bakteri, jumlah bakteri terbanyak terdapat pada


penyimpanan 1 jam, dan paling sedikit pada penyimpanan 2 jam. jika
dibandingkan dengan literatur, seharusnya semakin lama waktu penyimpanan
maka akan semakin banyak jumlah hitung bakteri. Namun, pada percobaan
diatas, penyimpanan tersingkat memiliki jumlah hitung bakteri tertinggi. Hal
tersebut dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain human error dan kurang
steril alat dan lingkungan saat melakukan uji coba.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Osmolaritas
Pada pemberian asupan enteral, perlu diperhatikan osmolaritas formula.
Makanan cair dengan osmolaritas yang tinggi atau hipertonik mudah
menyebabkan diare. Hal tersebut karena cairan tubuh akan ditaruk masuk ke
dalam lumen usus. Osmolaritas yang ideal yaitu 350- 400 mOsmol/kg. 42 Pada
praktikum kali ini, perhitungan osmolaritas dilakukan dengan pendekatan
viskositas. Tinggi atau rendahnya osmolaritas berbanding lurus dengan
viskositas.

Berdasarkan hasil praktikum, osmolaritas pada formula enteral F-100 WHO


yaitu 419 mOsm/l sehingga termasuk diatas batas ideal formula enteral.
Sedangkan untuk FERS Forizha dengan pendekatan viskositas FEK didapat
sebesar 444,46 mOsl/L. Osmolaritas tersebut termasuk tinggi dari batas ideal
serta lebih tinggi jika dibandingkan dengan FEK F-100 WHO. Hal tersebut
dikarenakan osmolaritas dari formula enteral akan cenderung meningkat apabila
kandungan asam amino, monosakarida, disakarida, dan elektrolit bertambah. 43
Tepung tempe yang mengandung senyawa lebih sederhana seperti asam amino
dan monosakarida yang dinilai dapat meningkatkan osmolaritas formula enteral.
Namun, perbedaan dari osmolaritas pada FERS Forizha dengan FEK F-100
WHO tidak terlalu jauh.

B. Viskositas
Formula enteral perlu memperhatikan viskositas yang tepat dari larutan
untuk dapat melalui pipa (sonde). Viskositas dapat mengukur kecepatan dari
suatu cairan mengalir melalui pipa gelas.44 Cairan yang mudah mengalir yaitu
cairan dengan viskositas yang rendah, sedangkan cairan yang sulit mengalir
merupakan cairan dengan viskositas yang tinggi.

Pada praktikum kali ini, viskositas diukur dengan cara uji alir dan dengan
cara Ostwald. Masing – masing percobaan tersebut dilakukan sebanyak 2 kali
pada masing – masing formula baik Forizha maupun F-100 WHO. Dari 2 kali
percobaan tersebut, hasilnya dirata – rata sehingga didapat viskositas dari
formula. Pada uji alir, hasil didapatkan dalam cc/detik sedangkan pada Ostwald
didapankan cP (centipoise).

Berdasarkan uji alir dengan menggunakan selang NGT dengan ketinggian


92 cm, viskositas FERS Forizha pada percobaan pertama yaitu 12,47 cc/detik
dan percobaan kedua yaitu 11,39 cc/detik. Rata – rata viskositas FERS Forizha
yaitu 11,93 cc/detik. Sedangkan viskositas FEK F-100 WHO pada percobaan
pertama yaitu 12,55 cc/detik dan percobaan kedua yaitu 10,50 cc/detik. Rata –
rata viskositas FEK F-100 WHO yaitu 11,47 cc/detik. Apabila dibandingkan, F-
100 WHO memiliki viskositas yang lebih rendah dari FERS Forizha. Perbedaan
diantara keduanya tidak jauh yaitu sebesar 0,46 cc/detik. Hal tersebut
menandakan FERS Forizha memiliki viskositas yang sesuai dengan formula
enteral komersil F-100 WHO yang sudah terstandar untuk digunakan pada
pasien gizi buruk.

Berdasarkan uji viskositas dengan Ostwald, didapat pada FERS Forizha


pada percobaan pertama yaitu 0,198 cP dan pada percobaan kedua 0,185 cP.
Rata – rata viskositas dari FERS Forizha yaitu 0,192 cP. Sedangkan pada FEK
F-100 WHO, pengukuran viskositas yang pertama yaitu 0,139 cP dan yang
kedua 0,223 cP. Rata- rata dari viskositas FEK F-100 WHO yaitu 0,181 cP.
Apabila dibandingkan, FEK F-100 WHO memiliki viskositas yang lebih rendah
dari FERS Forizha dengan perbedaan diantara kedua nya tidak jauh yaitu
sebesar 0,011 cP. Formula enteral dengan tekstur cair hingga kental sangat
membantu pasien khususnya untuk anak penderita gizi buruk yang kebanyakan
mengalami gangguan dalam mengunyak, menelan, serta mencerna.45

C. Analisis Zat Gizi


1) Penetapan Kadar Protein

a. Kadar Protein

Bradford merupakan suatu uji dengan tujuan untuk mengukur


konsentrasi protein total secara kolorimetri dalam suatu larutan. Pada uji
Bradford melibatkan pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB) yang akan
berikatan dengan protein dalam suatu larutan. Dari warna yang dihasilkan,
secara kolorimetri maka dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometri (Lambert‐Beer) pada panjang gelombang 465‐595 nm.
pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB) yang berikatan dengan protein
dalam suatu larutan yang bersifat asam sehingga memberikan warna
(kebiruan). Karena menghasilkan warna biru maka absorbansi diukur pada
λ 595 nm. Kadar protein FORIZHA ditentukan dengan membandingkan
absorbansi sampel dengan persamaan kurva standart.46

Metode Bradford digunakan untuk menentukan konsentrasi protein


larutan. Metode ini dipilih untuk mengkonfirmasi terjadinya hidrolisis
protein menjadi asam amino, karena pada metode ini asam amino dan
peptida tidak mampu membentuk komplek dengan CBB (Coomassie
Brillant Blue) sehingga tidak menghasilkan warna biru. Prinsip
pengukuran kadar protein menggunakan metode Bradford adalah
pengikatan pewarna Commassie Brilliant Blue G-250 yang terdapat dalam
pereaksi Bradford yang dapat diukur absorbansinya. Kompleks warna biru
pada larutan yang diberi reagen Bradford sangat cepat terbentuk dan
bersifat stabil.47

Pada penelitian ini persamaan dari kurva standar BSA adalah y= 0,001
x + 0,5841. Persamaan yang diperoleh dari kurva standar BSA, dapat
duigunakan untuk menghitung kadar protein dalam larutan sampel. Pada
penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil kandungan protein pada
sampel FORIZHA adalah 0,09467 gram. Dalam rencana pembuatanya,
formula FORIZHA mengandung 3, 58 gram protein dalam satu porsi.
Perbedaan nilai yang jauh antara yang direncanakan dengan hasil
percobaan menggunakan metode Bradford dikarenakan CBB yang
digunakan dalam reagen Bradford tidak mampu berikatan dengan asam
amino dan peptida untuk mebentuk kompleks warna biru dan hanya bisa
berikatan dengan protein untuk membentu kompleks warna biru. Sehingga
perbedaan jumlah antara yang direncanakan dengan hasil penelitian bisa
disebabkan oleh protein awal saat pembuatan mengalami hidrolisis
menjadi peptida dan asam amino sehingga tidak membentuk kompleks
warna biru dengan reagen bradford. Hidrolisis protein dapat terjadi karena
protein pada FORIZHA dibuat dari tepung tempe. Tempe menggunakan
kapang Rhizopus sp untuk fermentasinya. Kapang ini menghasilkan enzim
proteolitik yang memecah protein menjadi senyawa lebih kecil yaitu asam
amino dan peptida.

b. Penetapan pH FERS

pH adalah indikator untuk menentukan suatu makanan termasuk basa


ataupun asam. Pada formula enteral, komposisi utamanya adalah susu.
susu memiliki pH ideal 6,5-6,7. Pada pH <6, akan terjadi peningkatan
aktivitas laktosa menjadi asam laktat. Selain itu pH juga perlu diukur
karena pada pH < 4,6, formula dapat membuat obstruksi pada kateter.
Sehingga sebaiknya semua formula memiliki pH > 4,6 dengan karena
tidak menyebabkan obstruksi dan cenderung stabil. Pada hasil percobaan
diketahui bahwa pH dari FORIZHA adalah 6,64. pH ini sesuai dengan pH
susu dan juga > dari 4,8 sehingga tidak menyebakan obstruksi pada
kateter.

2) Penetapan Kadar Lemak


Lemak memiliki peran yang sangat penting bagi proses penyembuhan
dan pemulihan pasien gizi buruk. Pasien dengan gizi buruk membutuhkan
formula enteral yang padat energi. Kandungan lemak yang tinggi membuat
formula makanan enteral menjadi padat energi. Kapasitas lambung balita
yang terbatas dan anoreksia yang biasa terjadi pada anak gizi buruk
membuat makanan padat energi diperlukan untuk mengejar masa
pertumbuhan pada pemulihan gizi buruk.48 Selain itu, lemak juga
diperlukan untuk transportasi vitamin larut lemak sehingga asupan lemak
yang rendah dapat menyebabkan defisiensi vitamin larut lemak.49
Pada percobaan ini metode yang digunakan untuk mengetahui kadar
lemak formula FORIZHA adalah dengan metode soxhlet. Soxhlet adalah
suatu metode suatu metode analisis lemak dengan prinsip kerja sebagai
berikut : Pada soxhletasi pelarut pengekstrak yang ada dalam labu soxhlet
dipanaskan sesuai dengan titik didihnya sehingga menguap. Uap pelarut ini
naik melalui pipa pendingin balik sehingga mengembun dan menetes pada
bahan yang diekstraksi. Pelarut ini merendam bahan dan jika tingginya
sudah melampaui tinggi pipa pengalir pelarut maka ekstrak akan mengalir
ke labu soxhlet. Ekstrak yang terkumpul dipanaskan lagi sehingga
pelarutnya akan menguap kembali dan lemak akan tertinggal pada labu.50
Pada percobaan kadar lemak/minyak, didapatkan hasil yaitu kadar
lemak dalam 5,05 gram sampel FORIZHA adalah 36% atau 1,8 gram.
Dengan demikian, jika dihitung dalam 1000 ml FORIZHA, didapatkan
massa lemak total yaitu sebesar 61,3 gram, lebih rendah jika dibandingkan
dengan massa lemak pada perhitungan awal yang dilakukan menggunakan
nutrisurvey (63 gram). Jika dibandingkan dengan Formula F100 standar
yang mengandung 60 gram lemak dalam 1000 ml, FORIZHA memiliki
kandungan lemak yang sedikit lebih tinggi yaitu 61,3 gram dan telah
memenuhi standar formula F100 sebesar 102%. Berdasarkan kriteria
makanan enteral tinggi lemak oleh The European Society of Parenteral and
Enteral Nutrition (ESPEN) dan beberapa penelitian lainnya mensyaratkan
bahwa persentase energi dari lemak sebesar >40% atau 30-50 g/L. 51,52
Sementara itu lemak dalam 1000 ml FORIZHA menyumbang energi
sebesar ±54%. Dengan demikian, jika dilihat dari kandungan lemaknya
FORIZHA sudah mengandung tinggi lemak menurut kriteria ESPEN dan
sudah sesuai dengan standar formula F100 sehingga FORIZHA dapat
dijadikan sebagai formula enteral modifikasi untuk pasien gizi buruk.

3) Penetapan Kadar Karbohidrat

Gula pereduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk


mereduksi. Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang
dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, misalnya glukosa
dan fruktosa. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan
disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida),
termasuk sebagai gula perduksi.
Berdasarkan hasil uji kadar gula pada FERS FORIZHA diperoleh
hasil kandungan gula adalah 17,02 %. Kadar atau kandungan gula dapat
dihitung dari penjumlahan massa gula pereduksi sebelum inversi dengan
massa gula pereduksi setelah inversi.
Selain itu, diperoleh kadar sukrosa dari formula FERS adalah 4,78%.
Kadar sukrosa diperoleh dari pengurangan massa gula pereduksi setelah
inversi dengan massa gula pereduksi sebelum inversi. Faktor yang dapat
mempengarui kadar gula dan sukrosa adalah ketidaktelitian atau sulitnya
untuk menentukan perubahan warna yang tepat dan kurang jelas selama
proses titrasi. Sehingga, kadar gula yang diperoleh menjadi lebih tinggi.

D. Densitas Energi
Pada fase transisi anak mengalami peningkatan kebutuhan. Pada fase
ini pemberian F75 diganti dengan F100 agar anak mendapatkan asupan
energi yang lebih tinggi dibandingkan fase sebelumnya. Kriteria makanan
enteral mensyaratkan densitas energi sebesar 1-2 kkal/ml. Berdasarkan
perhitungan, densitas energi formula enteral berbasis tepung tempe
“FORIZHA” adalah 1 kkal/ml, sehingga dapat disimpulkan bahwa formula
“FORIZHA” sudah memenuhi syarat formula enteral standar dan formula
F100 untuk fase transisi.
Kebutuhan energy anak fase transisi adalah 100-150 kkal. Apabila
anak tersebut mendapatkan F100 dengan kebutuhan minimal 100 kkal,
maka formula enteral berbasis tepung tempe dapat memenuhi 100%
kebutuhannya.

E. Organoleptik (Aroma, rasa, bentuk, tekstur)


Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang didasarkan pada
proses pengindraan dan dilakukan oleh beberapa panelis. Pada praktikum
ini jenis panelis yang digunakan dalam pengujian organoleptik formula
enteral “FORIZHA” adalah termasuk kategori panelis tidak terlatih karena
panelis merupakan sekelompok orang sebanyak 5 orang yang tidak
mendapatkan pelatihan secara khusus/formal untuk melakukan pengujian
organoleptik namun panelis dapat membedakan dan menjelaskan penilaian
organoleptik yang diujikan.

Berdasarkan uji organoleptik oleh panelis, panelis cenderung lebih


suka terhadap formula enteral F-100 dibandingkan formula “FORIZHA”,
hasil penilaian organoleptik FORIZHA adalah :
a. 4 dari 5 panelis suka terhadap rasa formula
b. 3 dari 2 panelis suka terhadap warna formula
c. 2 dari 3 panelis suka terhadap tekstur formula
d. 1 dari 4 panelis suka terhadap aroma formula

Sedangkan penilaian organoleptik F-100 WHO adalah :

a. 4 dari 5 panelis suka terhadap rasa formula


b. 5 dari 5 panelis suka terhadap warna formula
c. 3 dari 2 panelis suka terhadap tekstur formula
d. 3 dari 2 panelis suka terhadap aroma formula

Kurangnya tingkat kesukaan panelis (agak suka) terhadap formula


“FORIZHA” disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Dari segi aroma, formula FORIZHA masih mempunyai bau langu khas
tempe sehingga cenderung memberikan aroma yang kurang disukai
oleh panelis, hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan formula
FORIZHA tidak dilakukan proses untuk menghilangkan bau langu dari
tepung tempe tersebut.

F. Nilai TPC
1. Angka Lempeng Total
Angka Lempeng Total (ALT) menunjukkan jumlah mikroba dalam
suatu produk. Pengujian Total Plate Count (TPC) dimaksudkan untuk
menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan
cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.53
Metode ini dapat memberikan gambaran kualitas dari makanan dan
menentukan layak atau tidaknya bahan makanan untuk dikonsumsi.
Produk formula enteral bayi dan anak aman jika total koloni bakteri (Total
Plate Count/TPC) tidak melebihi 5x103 coloni forming unit/ per ml
(CFU/ml).54
Hasil jumlah TPC pada FERS Forizha dengan berbagai lama
penyimpanan dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 16. Hasil Jumlah TPC FERS FORIZHA

Parameter Total Plate Count (TPC)


T1 3,7 x 107
T2 2,0 x 103
T3 3,0 x 105

Hasil analisis Total Plate Count (TPC) menunjukkan nilai TPC pada
FERS Forizha pada penyimpanan selama 2 jam dan 3 jam berbanding
lurus dengan lama penyimpanan, yaitu semakin lama penyimpanan maka
jumlah TPC akan semakin meningkat. Namun pada lama penyimpanan 1
jam (T1) jumlah bakteri jauh lebih tinggi dibandingkan T2 dan T3. Pada
lama penyimpanan selama 1 jam (T1) jumlah TPC mencapai 3,7 x 10 7
dimana melebihi batas maksimal ALT pada formula yaitu 5,0 x 10 3 cfu/g.55
Namun pada formula T2 nilai ALT 2,0 x 103 masih dibawah batas
maksimal ALT. Nilai tertinggi dari formula gizi buruk berbasis tepung
tempe yaitu sebesar 3,0 x 105 cfu/ml. Berdasarkan batas cemaran
mikrobiologi, FERS forizha dengan lama penyimpanan 1 dan 3 jam tidak
memenuhi syarat dikarenakan kedua lama penyimpanan tersebut sudah
melampaui batas maksimal standar SNI total bakteri formula enteral.
Seharusnya semakin lama waktu penyimpanan formula, akan semakin
tinggi ,namun pada penyimpanan 1 jam nilai ALT lebih besar dibanding
penyimpanan 2 jam. Hal tersebut kemungkinan dikarenanan kondisi saat
penanaman sampel pada media kurang steril sehingga terjadi kontaminasi
mikroorganisme dari lingkungan sekitar. Karena waktu penyimpanan 2
jam masih memenuhi standar, maka hal ini menunjukkan bahwa sampel
FERS Forizha sudah tidak layak dikonsumsi apabila melebihi waktu 2
jam, dikarenakan sudah melebihi batas maksimum cemaran mikroba.
Zat gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya
nilai TPC, karena zat gizi merupakan media tumbuh kembang yang baik
mikroorganisme. Sehingga, semakin lama penyimpanan produk maka akan
semakin banyak zat gizi yang digunakan untuk media tumbuh kembang
bakteri, sehingga menurunkan kualitas FERS.56

2. Hubungan Hasil Kerja dengan Kerja Lapangan


Koloni merupakan sekumpulan mikroorganisme yang memiliki
kesamaan sifat seperti bentuk, susunan, permukaan, dan sebagainya koloni
yang tumbuh pada permukaan media biasanya berwarna putih atau
kekuningan. Sebaran jumlah koloni tiap sampel dan tiap faktor
pengenceran menunjukkan adanya keragaman data yang seragam dan
sesuai prinsip faktor pengenceran, yaitu semakin tinggi faktor pengenceran
maka semakin rendah jumlah koloni mikroba atau faktor pengenceran
berbanding terbalik dengan jumlah koloni mikroba.55 Namun pada
percobaan kami pada sampel yang simpan selama 2 jam memiliki jumlah
koloni yang tidak dapat dihitung pada beberapa pengenceran. Hal tersebut
bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu:
a. Pengaruh suhu, pH, pada ruangan yang berubah ubah mempengaruhi hasil
uji coba dan kebersihan pada lingkungan tempat melakukan uji coba,
serta percakapan yang dilakukan oleh praktikan akan meninngkatkan
cemaran mikroba pada sampel.
b. Terjadinya kotaminasi pada cawan yang kurang steril akibat jeda waktu
yang lama setelah proses sterilisasi dan tempat penyimpanan kurang steril
sehingga memungkinkkan bakteri untuk tumbuh.
c. Kontaminasi karena mikroorganisme pada lingkungan tempat uji tidak
mati akibat tidak selalu dekat dengan api spiritus karena keterbatasan
jumlah spiritus dan banyaknya pengenceran yang digunakan
d. Kontaminasi saat memegang alat praktikum karena sarung tangan kurang
steril
e. Praktikan melakukan pengambilan sampel dengan mikro pipet yang tidak
steril dan pengambilan sampel tidak dilakukan di dasar tabung melainkan
hanya sampai bagian tengahnya. Sehingga jumlah bakteri di dalam
sampel tersebut menjadi tidak representatif atau tidak akurat.
f. Kesalahan saat proses sterilisasi dimana cawan petri dan alat-alat lain
yang digunakan seperti mikro pipet atau pipet volume dan tabung reaksi
belum benar-benar steril sehingga dapat mengontaminasi sampel.
Berdasarkan dengan hasil perhitungan koloni pada penyimpanan 2
jam, maka terdapat kemungkin hasil perhitungan koloni bakteri pada
penyimpanan 1 jam lebih sedikit dari hasil yang diperoleh, hal itu
dikarenakan adanya human error atau kurang sterilnya peralatan yang
digunakan atauu dari lingkungan yang mengontaminasi sampel.
Terlalu Banyak Untuk Dihitung (TBUD) merupakan jumlah hitung
bakteri koloni yang didapatkan yaitu >300 koloni yang ada pada media
sehingga tidak termasuk dalam syarat perhitungan jumlah mikroba.
Kisaran untuk menentukan batas minimum untuk menghitung mikroba
sebanyak 300 CFU/ml.56 Sesuai prinsip faktor pengenceran, yaitu semakin
tinggi faktor pengenceran maka semakin rendah jumlah koloni mikroba
atau faktor pengenceran berbanding terbalik dengan jumlah koloni
mikroba, namun tejadi ketidaksesuaian dengan literatur, kesalahan ini
dimungkinkan karena terjadinya human error dan kurang steril selama
proses uji sehingga terdapat bakteri kontaminan yang tumbuh
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan formula gizi buruk FORIZHA
adalah tepung tempe, susu skim bubuk, gula pasir yang dihaluskan dan
minyak kelapa sawit. Alasan penggunaan tepung tempe adalah karena tempe
merupakan sumber protein nabati dengan harga murah serta mudah untuk
didapat.
Berdasarkan hasil uji ormolaritas diketahui bahwa osmolaritas
FORIZHA termasuk tinggi dari batas ideal serta lebih tinggi jika
dibandingkan dengan FEK F-100 WHO. Dilihat dari viskositasnya FERS
FORIZHA memiliki viskositas yang sesuai dengan formula enteral komersil
F-100 WHO yang sudah terstandar untuk digunakan pada pasien gizi buruk.
Kandungan protein FORIZHA sebesar 3,58 gram/porsi. pH FERS
FORIZHA adalah 6,64 dan sudah dengan pH susu dan juga > 4,8 sehingga
tidak menyebakan obstruksi pada kateter. Kadar lemak FERS FORIZHA
adalah 61,3 gram/1000ml lebih rendah jika dibandingkan dengan massa
lemak pada perhitungan awal yaitu 63 gram. Berdasarkan uji kadar gula,
FERS FORIZHA memiliki kandungan gula 17,02%. Dilihat dari densitas,
formula FORIZHA sudah memenuhi syarat formula enteral. Hasil
organoleptik menunjukkan F-100 WHO lebih disukai dibandingkan formula
FORIZHA. Pada perhitungan bakteri

B. Saran
1) Pada saat pembuatan formula sebaiknya oralit ditambahkan dalam bentuk
bubuk bukan dalam bentuk cair/diseduh agar formula tidak menggumpal.
2) Pada saat menggunakan wadah untuk pembuatan formula atau pada saat
menggunakan pipet/peralatan lainnya untuk mengambil formula
sebaiknya dicek terlebih dahulu agar tidak mempengaruhi formula yang
akan dibuat/diuji.

DAFTAR PUSTAKA
1. Roespandy H, Nurhamzah W. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit. 2016. Diakses pada http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-
anak-di-rumah-sakit )
2. Riskesdas. Hasil utama riskesdas 2018. Kementrian Kesehatan RI. 2018
3. Pusdantin Kemenkes RI. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia. 2017
4. Global Nutrition Report. 2018. Diakses pada
https://globalnutritionreport.org/reports/global-nutrition-report-2018/burden-
malnutrition/
5. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013
6. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013.
7. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013. Dan Roespandy
H, Nurhamzah W. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2016.
Diakses pada http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anak-di-
rumah-sakit
8. WHO. Severe malnutrition : report of a consultation to review current literature.
Geneva. 2004 dan Mother and Child Nutrition. Management of malnutrition in
children under five years. 2017. Diakses pada :
https://motherchildnutrition.org/malnutrition-management/info/feeding-
formulas-f75-f100.html
9. Depkes RI. Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025.
Jakarta: Depkes RI. 2005
10. Suhardjo. 2003. Perencanaan pangan dan gizi. Jakarta; Bumi Aksara
11. Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu gizi klinis pada anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
12. Menko Kesra RI, 2013. Pedoman Perencanaan Program. Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta
13. Engle, Pl. The Initiative Assesment Analysis and Action Improve Care
to Nutrition. Unicef. 1997.

14. Emery, PW. Metabolic Changes in Malnutrition. Cambridge Ophthalmological


Symposium. Nature Publishing Group. 2005

15. Madeddu, C., Mantovani, G. Immunological Parameters of Nutrition. Dalam:


Mantovani, G., Anker, S.D., Inui, A., Morley, J.E., Fanelli, F.R., Scevola, D.,
et.al, editors. Cachexia and Wasting: A Modern Approach. Edisi-1. Italia:
Springer-Verlag. 2006. p. 111-24.

16. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. Systemic and Pathologic Consequences
of the Acute Inflammatory Responses. In: Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai,
S., editors. Cellular and Molecular Immunology. 7th eds. 2012
17. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan
PMT pada Balita, Jakarta 1997.
18. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Hasil Penataran Petugas Kesehatan Dalam
Rangka Pelayanan Gizi Buruk di Puskesmas dan Rumah Sakit, BLK Cimacan,
Oktober 1981.
19. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan
PMT pada Balita, Jakarta 1997.
20. Setianingsih, Anastasia Anna. Perbandingan Enteral dan Parenteral Nutrisi pada
Pasien Kritis. 2014
21. Lutviana, E., Budiono, I. Prevalensi Dan Determinan Kejadian Gizi Kurang
Pada Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2010;5(2):138-144. Available from
http://journal.unnes.ac.id/index.php/ke mas. Diakses pada 5 Agustus 2017].
22. Barasi, M., Nutrition At A Glance. Penerjemah: Hermin. 2009. At A Glance :
Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga. 2007.
23. Depkes RI. Tata laksana kep berat atau gizi buruk. Available from :
gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/ped-tata-kurang-protein-rs-kab-
kodya-1.doc
24. Lastariwati, Badraningsih. Diet untuk anak. Universitas Negeri Yogyakarta.
Available from : http://staffnew.uny.ac.id/upload/131572389/pendidikan/diet-
untuk-anak.pdf
25. Depkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk buku II. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi Masyarakat. 2013
26. Gurnida D. Pemberian dukungan gizi pada anak sakit: enteral dan parenteral.
Bandung : PIKAB VIII. 2013
27. Williams Lippincott dan Wilkins. Nasogastric tube insertion and removal
nursing procedures fourth ed. A Wolters Kluwer Company. 2004
28. Bastian F, Ishak E, Tawali B, dan Bilang M. Daya terima dan kandugnan zat gizi
formula tepung tempe dengan penambahan Semi Refined Carrageenan (SRC)
dan bubuk kakao. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2013
29. Puryatni A. Pengaruh substitusi tepung tempe F100 terhadap saturasi transferrin.
Malang : Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2010
30. Utami I. Hubungan antara pengetahuan gizi ibu mengenai susu dan factor
lainnya dengan riwayat konsumsi susu selama masa usia sekolah dasar pada
siswa kelas I SMP Negeri 102 dan SMP PB Sudirman Jakarta Timur. Depok :
FKM UI. 2009
31. USDEC.Milkpowder.(http://www.usdec.org/Products/content.cfm?
ItemNumber=82658&navltemNumber=82273)
32. Moerdokusumo. Pengawasan kualitas dan teknologi pembuatan gula di
indonesia. Bandung : ITB Press. 1993
33. Philips D. Menikmati gula tanpa rasa takut. Sinar Ilmu. 2013
34. Maten B, Pfruffer M, dan Schrezenmeir J. Medium-chain triglycerides : review.
Int Dairy Journal. 2006

35. Atkins, P. (2007) Chemical Principle: Quest for nsight 4th edition. New York:
W.H Freeman and Company

36. Goretti M, Purwanto M. Perbandingan analisa kadar protein terlarut dengan


berbagai metode spektroskopi uv-visible. Sains Teknol. 2014;7(2):1–71.
37. Carpette. An Introduction to Practical Biochemistry. Great Britany: Mc Graw
Hill Book Company; 2005. 100-101 p.
38. Ariono C. Nutrisi Enteral. Yogyakarta: Universitas Padjajaran; 2015.
39. Poedjiadi A. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI.Press.Syah,A.N.A.R;
40. Penentuan Total Plate Count (angka Lempeng Total): SNI 01-2332.3-2006.
41. Nasional BS. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388. 2009
42. Nelms M, Sucher K, dan Lacey K. Nutrition therapy and phatophysiology 3e.
Boston : Cengage Learning. 2014
43. Palupi F, Kristianto Y, dan Santoso A. Pembuatan formula enteral gagal ginjal
kronik (GGK) menggunakan tepung mocaf, tepung ikan gabus dan konsentrat
protein kecambah kedelai. Malang : Poltekkes Kemenkes Malang. 2016
44. Huda N. Formulasi makanan cair alteratif berbasis tepung ikan lele (Clarias
gariepinus) sebagai sumber protein. Bogor : IPB. 2014
45. Bird T. Penuntun praktikum kimia fisika untuk Universitas. Jakarta : Gramedia.
1987
46. Bradford, M. M.. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding.
Georgia: Anal Biochem University of Georgia
47. Hermiastuti M. 2013. Analisis kadar protein dan identifikasi asam amino pada
ikan patin (Pangasius djambal). [Skripsi]. Jember: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember
48. Parízková J. Nutrition, Physical Activity, and Health in Early Life 2nd edition.
USA: CRC Press. 2010.
49. Melwita, E., Fatmawati, & Oktaviani, S. (2014). Ekstraksi Minyak Biji Kapuk
dengan Metode Ekstraksi Soxhlet. Jurnal Teknik Kimia, 20( 192), 20–27.
50. Walker WA, Watkins JB, Duggan C. Nutrition in Pediatrics. Ed 3. London: BC
Dekker Inc. 2003. 174 p.
51. Meera Kaur. Medical Food from Natural Sources. Canada: Springer. 2009.
52. Lochs H, Allison SP, Meier R, Pirlich M, Kondrup J, Schneider St, et al.
Introductory to the ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: Terminology,
Definitions and General Topics. Clinical Nutrition. 2006;25,180–186.
53. BPOM RI. Pedoman kriteria cemaranpadapangan siap saji dan pangan industri
rumah tangga. 2012
54. Yunita M, Hendrawan Y, Yulianingsih R. Analisis kuantitatif mikrobiologi pada
makanan penerbangan(aerofoodacs) garuda indonesia berdasarkan tpc (total
plate count) dengan metode pour plate. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan
Biosistem. 2015;3(3):237-248
55. Antara S, Gunam IB. Dunia Mikroba (Bahaya mikrobiologis pada makanan).
Pusat Kajian Keamanan Pangan. Denpasar (ID): Universitas Udayana. 2002.
56. Sukmawati. Analisis Total Plate Count (TPC) Mikroba Pada Ikan Asin Kakap
Di Kota Sorong Papua Barat. Jurnal Biodjati, 3 (1) 2018
Lampiran

1. Perhitungan Kadar Protein

y = 0,001 x + 0,5841
1,131 = 0,001 x + 0,5841
0,001 x = 0,5469
X = 546, 9 ppm
% = 546,9/10.000
= 5,469 x 10-2 % dalam 0,1 g sampel
= 5469 x 10-3/100
= 5,460 x 10-5 gr dalam 01 gr sampel
5,460 x 10-5= y
0,1 = 172
y = 940,67 x 10-4
= 0,09467 gram
2. Penetapan pH FERS
pH FERS = 6,64
Suhu = 46,9oC

3. Perhitungan Kadar Lemak

Bobot akhir−bobot awal


Kadar Lemak = ×100 %
berat sampel

128,9527−127,1327
= ×100 %
5,05

= 36%

Massa lemak (dalam 5,05 gram sampel) = 5,05 x 36%

= 1,8 gram

Massa lemak dalam 1000 ml larutan sampel (y) :

1,8 y
=
5,05 172

1,8× 172
y =
175,05

y=61,3 gram

4. Perhitungan Kadar Gula Pereduksi

mg gula = 4,8 + (2,4 x 0,55)


= 6,12
250
6,12× ×100 %
Massa gula pereduksi (sebelum inversi) = 10
2500
= 6,12 %

5. Perhitungan Kadar Gula Sukrosa

mg gula = 9,7 + (2,4 x 0,55)


= 10,99

250
10,9× ×100 %
Massa gula pereduksi (setelah inversi) = 10
2500
= 10,9 %

Massa Sukrosa = 10,9 % - 6,12%


= 4,78 %

6. Perhitungan TPC
 1 Jam
55× 101+ 190× 103 +111×10 7
H =
3
= 36730 x 103
= 3,7 ×107
 2 Jam
1
H = ( A−B ) × ×P
C
1 1
= ( 201−6 ) × × 10
1
= 195 ×101
= 1.950
= 2,0 ×103
 3 Jam
167× 103 +45 × 104
H =
2
= 308,5 ×103
1 3
= ( 308,5−8 ) × ×10
1
= 300,5 ×103
= 3,0 x 105

7. Formulasi Bahan Baku

Tabel 17. Formulasi Bahan Baku

BAHAN PENYUSUN & NILAI GIZI FORMULA ENTERAL RUMAH SAKIT/1000


ml
M
Kelap Gula Tepung
Nilai Gizi Skim a Pasir tempe Oralit
% kal
E 368 862 387 693 0 gula 12.2
Total
P 36 0 0 44 0 KNP 980.4
L 2 100 0 30 0 N : KNP 172.1
KH 52 0 100 61 0
Natrium
(mg) 546 0 1 0 0
Kalium
(mg) 1743 0 2 0 0
Natrium
Klorida 0 0 0 0 13
kalium
klorida 0 0 0 0 7

FERS: % Zat
FORIZHA Ʃ Total Gizi
Berat 50 50 32 40 20 192.0
bahan
(g) :
Energi
(Kkal) : 184.0 431.0 123.8 277.2 0.0 1016.0 l;
Protein (g)
: 18.0 0.0 0.0 17.6 0.0 35.6 14.0
Lemak
(g) : 1.0 50.0 0.0 12.0 0.0 63.0 55.8
Karbihidrat
(g): 26.0 0.0 32.0 24.4 0.0 82.4 32.4
Natrium
(mg) 273.0 0.0 0.3 0.0 0.0 273.3
Kalium
(mg) 871.5 0.0 0.6 0.0 0.0 872.1
Natrium
Klorida 0.0 0.0 0.0 0.0 2.6 2.6
kalium
klorida 0.0 0.0 0.0 0.0 1.4 1.4
Harga
(Rp) : 12500 17500 416 8000 2400 40816  
Kemasan
(g) : 100 cc 100 cc 100 cc 100 cc 100 cc    

8. Dokumentasi

Gambar 2. Pembuatan Formula Gambar 1. Pembuatan Formula


FORIZHA FORIZHA
Gambar 3. Uji Alir FERS
FORIZHA

Gambar 4. FERS FORIZHA

Anda mungkin juga menyukai