Dosen pengampu :
Disusun oleh :
2019
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Makan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap individu,
karena dari makananlah energi dan zat gizi esensial didapatkan oleh tubuh.
Namun, tidak semua orang dapat mengonsumsi jenis makanan yang sama,
tergantung akan kondisi dan daya terima masing-masing individu. Rute dalam
pemberian makanan ada 3 jenis yaitu melalui oral, enteral, dan parenteral. Untuk
kondisi normal sangat dianjurkan untuk konsumsi secara oral, namun jika ada
gangguan yang tidak memmungkinkan untuk konsumsi secara oral, maka dapat
dilakukan secara enteral (jika saluran pencernaan masih berfungsi) dan
parenteral (jika disfungsi saluran cerna). Bentuk makanan juga ada beberapa
jenis yaitu makanan padat, lunak, saring, dan cair. Prinsip diet yang diberikan
menyesuaikan dengan penyakit dan kebutuhan masing-masing diet. Prinsip
makanan enteral pada umumnya hampir sama dengan prinsip diet biasa atau
diet untuk penyakit khusus, hanya saja dalam bentuk makanan cair dan
menyesuaikan rute yang dipilih. Diet enteral antara lain diet TETP, formula
untuk gizi buruk, formula untuk gangguan hati, formula untuk gangguan ginjal,
sotika, formula gizi seimbang, dan lainnya.
Gizi buruk merupakan kondisi dimana seseorang kekurangan energi dan
zat gizi kronis yang ditandai dengan marasmus, kwashiorkor, atau marasmus
kwashiorkor. Biasanya pada gizi buruk terdapat edema aatau severe wasting
dengan nilai z-score BB per TB/PB <-3 SD.1
Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia sudah mengalami
penurunan dari 19,6%( 2013) menjadi 17,7% (2018), dimana prevalensi
tertinggi pada daerah Nusa Tenggara Timur sebesar 29,5% dan prevalesi
terendah pada Kepulauan Riau yaitu sebesar 13%.2
Prevalensi gizi buruk di indonesia paling besar didapatkan dari provinsi
NTT, Papua, Papua Barat, Kalimantan barat, dan sulawesi Tegah yang masing
masing sebesar 7,4%, 6,8%, 6,6%, 6,5%, dan 6,5%, sementara provinsi dengan
penyumbang gizi buruk paling kecil yaitu Bali, Sumatra Selatan, dan Bengkulu
yang masing masing sebesar 2%, 2,1% dan 2,3%.3
Data dari Global Nutrition Report menunjukan bahwa sekitan 50,5 juta
anak didunia mengalami wasting dan 15,95 juta anak diantaranya juga
mengalami stunting. Stunting dengan wasting berasosiasi dalam peningkatan
resiko kematian. Wasting yang parah juga dapat meniingkatkan resiko kematian.
Dari 50,5 juta anak wasting, 26,9 juta anak tersebut dari Asia Selatan.4
Diperkirakan 19 juta anak usia prasekolah, yang sebagian besar dari
wilayah Afrika dan Asia Tenggara, menderita severe wasting . Kekurangan gizi
pada anak-anak adalah masalah kesehatan global yang utama, berkontribusi
terhadap morbiditas anak, kematian, gangguan perkembangan intelektual,
kapasitas kerja orang dewasa yang kurang optimal, dan peningkatan risiko
penyakit di masa dewasa. Dari 7,6 juta kematian setiap tahun di antara anak-
anak yang berusia di bawah 5 tahun, sekitar 35% disebabkan oleh faktor-faktor
terkait gizi dan 4,4% kematian telah terbukti secara khusus disebabkan oleh
severe wasting. Malnutrisi akut parah tetap menjadi penyebab utama kematian
anak di seluruh dunia. Severe Wasting diperkirakan menyebabkan sekitar
400.000 kematian anak setiap tahun.5
Malnutrisi pada anak-anak biasanya berkembang selama periode dari 6
hingga 18 bulan, ketika kecepatan pertumbuhan dan perkembangan otak sangat
tinggi. Anak-anak kecil sangat rentan terhadap kekurangan gizi jika makanan
pendamping memiliki kepadatan gizi yang rendah dan memiliki zat gizi mikro
yang rendah. Selain itu, status gizi anak-anak akan dikompromikan lebih lanjut
jika makanan pendamping diberikan terlalu dini atau terlalu terlambat, atau
terkontaminasi. Status gizi anak-anak juga dapat dipengaruhi oleh infeksi kronis
seperti HIV. Diperkirakan lebih dari 2 juta anak di seluruh dunia hidup dengan
HIV, 90% dari mereka di Afrika sub-Sahara. Dalam sebuah laporan yang
menggambarkan anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Afrika selatan,
prevalensi HIV pada anak-anak dengan kekurangan gizi akut adalah 29% dan
beresiko lebih tinggi untuk meninggal daripada anak-anak kurang gizi yang
tidak terinfeksi HIV. Prevalensi HIV yang lebih tinggi, yaitu hingga 50%, telah
dilaporkan di antara anak-anak dengan kekurangan gizi akut. 6
Anak-anak dengan malnutrisi akut yang parah mengalami gangguan
fisiologis dan metabolisme, sehingga jika refeeding intensif dimulai sebelum
metabolisme dan ketidakseimbangan elektrolit diperbaiki, resiko kematian
tinggi. Untuk alasan ini, WHO mengembangkan panduan klinis tentang
manajemen anak dengan kekurangan gizi akut. Panduan ini diperbarui sebagian
melalui publikasi WHO tentang manajemen rawat jalan dan perawatan rawat
inap anak-anak dengan kekurangan gizi akut. Pada pasien gizi buruk juga sering
terjadi penurunan kesadaran sehingga diperlukan makanan khusus. Karena
penurunan kesadaran, sehingga penggunaan makanan oral kurang tepat sehingga
dipilih alternatif lain melalui enteral feeding atau parenteral, tergantung adanya
gangguan GI atau tidak. 7
Formula gizi buruk diberikan sesuai dengan fase gizi buruk. Ada 3 fase
daalam gizi buruk yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.
Formula yang diberikan berupa F-75, F-100, dan F-135. Angka 75, 100, dan 135
dalam formula tersebut menandakan jumlah kalori yang terkandung dalam 100
ml formula.
Pada pasien gizi buruk, tubuh tidak dapat menerima asupan yang terlalu
besar karena penurunan fisiologis dan metabolisme akan menyebabkan
refeeding syndrome dan juga potentian renal solute load (PRSL) dari asupan
nitrogen dalam protein sehingga pada fase stabilisasi diberikan F-75 dengan
protein rendah 0.9 gr/100 ml. S telah kondisi tubuh stabil disebut fase transisi
dimana energi dan protein yang diberikan lebih besar yaitu F-100 dengan protein
2.9 gram. Pada fase transisi pemberian energi dan protein yang lebih besar
bertujuan untuk membangun kembali jaringan yang sebelumnya telah dipecah
pada masa starvasi sebelumnya, sehingga protein diperlukan lebih banyak. Pada
masa stabilisasi, berfokus pada peningkatan berat badan.8
A. Tujuan
a. Mendeskripsikan osmolaritas ‘FORIZHA’
b. Mendeskripsikan viskositas ‘FORIZHA’
c. Menganalisa kandungan zat gizi ‘FORIZHA’.
d. Menganalisa densitas energi ‘FORIZHA’
e. Mendeskripsikan organoleptik (aroma, rasa, bentuk, tekstur) ‘FORIZHA’
B. Manfaat
a. Mampu membuat modifikasi formula gizi buruk dengan memperhatikan
osmolaritas, viskositas, densitas, kandungan zat gizi, organoleptik, dan
mikroorganisme perusak
b. Mampu melakukan intervensi dikemudian hari terkait gizi buruk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Metabolisme
Menurut WHO gizi buruk merupakan masalah gizi yang terjadi akibat
konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta
karena adanya gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat
badannya kurang dari berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes, gizi
buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)
dengan Z-score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus,
kwasiorkor dan marasmus-kwasiorkor). Gizi buruk juga diartikan sebagai
kurangnya pemasukan energi dan protein sehingga mengakibatkan kelainan
yang sulit atau tidak disembuhkan dan menghambat perkembangan
selanjutnya.9,10
Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi
dapat di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan
dan akar masalah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
yaitu: 11,12,13
1. Faktor Langsung
a. Kurangnya asupan makanan.
Asupan makanan merupakan faktor penyebab langsung utama.
Konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat
gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai
kebutuhan, bersih dan aman, misalnya bayi tidak memperoleh ASI
Eksklusif. Gizi buruk banyak terjadi pada anak usia enam bulan
hingga lima tahun, dimana pada usia tersebut anak memerlukan zat
gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila kebutuhan zat gizi tidak
terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat gizi yang ada
dalam tubuh, yang akibatnya semakin lama cadangan semakin habis
dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang akan
menimbulkan perubahan pada gejala klinis.
b. Penyakit infeksi.
Penyakit Infeksi adalah faktor penyebab langsung kedua.
Penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit
menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernafasan akut
(ISPA). Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi merupakan
hubungan sebab-akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan
gizi, dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena
penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang umumnya terkait dengan
masalah gizi adalah diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan.
Interaksi sinergistik antara malnutrisi dan penyakit infeksi antara
lain :
c. Dampak Penyakit Infeksi terhadap Status Gizi
Dampak penyakit infeksi terhadap pertumbuhan adalah
menurunnya berat badan. Keadaan ini disebabkan karena
hilangnya nafsu makan sehingga masukan zat gizi dan energi
kurang dari kebutuhannya. Sedangkan pada penderita penyakit
infeksi memerlukan kebutuhan energi dan zat gizi yang
meningkat karena katabolisme yang berlebihan dan suhu badan
yang tinggi.
d. Dampak Malnutrisi terhadap Penyakit Infeksi
Menurunnya status gizi berakibat menurunya imunitas tubuh
terhadap berbagai infeksi. Tubuh memiliki tiga macam
pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu :
Melalui sel (imunitas seluler)
Melalui cairan (imunitas humoral)
Aktivitas leukosit polimorfonukleus
Protein g 9 29 33
Lactosa g 13 42 48
Potasium Mmol 36 59 63
Sodium Mmol 6 19 22
Seng Mg 20 23 30
% energi protein - 5 12 10
% energi lemak - 36 53 57
C. Rute
Pemberian F-100 pada pasien gizi buruk dapat dilakukan melalui peroral
atau pipa nasogastric (NGT). Frekuensi dalam sehari diberikan sebanyak 6x.
Agar formula lebih homogen, dapat digunakan blender. Namun, pada
pemberian melalui NGT, tidak dianjurkan untuk diblender karena akan
menimbulkan gelembung udara. Jumlah cairan yang diberikan setiap minum
disesuaikan dengan BB masing – masing anak.25
Penggunaan F-100 dengan melalui oral atau melalui mulut dilakukan
selama saluran cerna masih berfungsi dengan baik. Pemberian secara oral
memiliki berbagai kelebihan seperti zat gizi yang diberikan akan melalui
proses fisiologis didalam tubuh seperti digesti, absorbs, dan metabolisme. Cara
ini juga lebih murah dalam segi biaya serta mampu menjaga keseimbangan
mikroorganisme dalam saluran cerna.26
Sedangkan Nasogastric tube (NGT) merupakan metode pemenuhan gizi
dengan menggunakan selang yang dimasukkan lewat hidung lalu esophagus
menuju ke lambung. Beberapa tipe NGT yaitu pipa Levin, pipa Salem sump,
dan pipa Moss. Pipa Levin merupakan pipa yang paling sering digunakan.
Pemasangan NGT lebih dipilih karena lebih sederhana, aman, dan jarang
menyebabkan trauma pada pasien dibanding ororgastrik. Namun, pemasangan
NGT sering menyebabkan komplikasi seperti aspirasi lambung. Hal tersebut
dapat dicegah dngan memposisikan pasien secara benar, persiapan prosedur
dan pelaksanaan sudah tepat, serta kooperatif dari pasien.27
D. Bahan dan jumlah bahan formula
Pada formula enteral untuk pasien gizi buruk, bahan yang digunakan
yaitu :
a. Tepung Tempe
Tempe merupakan produk tradisional yang telah dikenal di Indonesia.
Tempe kedelai merupakan bahan pangan hasil dari fermentasi kedelai
dengan menggunakan kapang Rhizopus sp. Dalam pertumbuhan kapang
tersebut, dihasilkan beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa
kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang menyebabkan tempe
lebih mudah dicerna dan nilai gizi yang lebih tinggi pada tempe
dibandingkan dengan kedelai. Tempe merupakan sumber protein nabati
dengan harga yang murah serta mudah untuk didapat. Dalam 100 g tempe,
mengandung protein sebesar 20,8 g; lemak 8,8 g; serat 1,4 g; kalsium 155
mg; fosfor 326 mg; zat besi 4 mg; vitamin B1 0,19 mgl dan karotein
sebesar 34 mcg.28,29
Tempe mempunyai masa simpan yang rendah yaitu 2 hingga 3 hari
pada suhu ruang. Tempe dapat diawetkan menjadi tepung tempe sehingga
dalam penggunaan dan penyimpanan lebih lama. Tepung tempe diperoleh
dari tempe segar lalu diproses dengan cara pengirisan, pengukusan,
pengeringan, penggilingan, dan penyaringan ukuran 80 mesh. Tempe yang
sudah ditepungkan masih mengandung nilai gizi yang cukup.29
Pada pembuatan formula enteral untuk anak gizi buruk pada fase
transisi ini, digunakan tepung tempe sebesar 4 gram. Dalam 4 gram tepung
tempe mengandung energi sebesar 27,7 kkal; protein sebesar 1,78 gram;
lemak sebesar 1,2 gram; dan karbohidrat sebesar 2,4 gram.
b. Tepung Susu Skim
Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu hewan mamalia betina
sebagai sumber gizi bagi anaknya. Salah satu jenis susu yaitu susu skim.
Susu tanpa lemak atau susu skim merupakan produk susu cair yang
sebagian besar lemak sudah dihilangkan dan dipasteurisasi atau
disterilisasi atau diproses secara UHT (Ultra High Temperature). Susu
jenis ini memiliki kadar lemak tidak lebih dari 1,25% dan protein kurnag
dari 2,7%. Susu skim merupakan sumber kalsium yang paling kaya serta
mengandung riboflavin, fosfor, niacin, dan riboflavin yang diperlukan oleh
tubuh.30
Skim Milk Powder (SMP) merupakan susu skim dalam bentuk bubuk
yang dibuat dengan pengeringan untuk menghilangkan sebagian air dan
lemak. SMP digunakan untuk mencapai kandungan solid non fat pada
produk pangan serta sebagai sumber protein serta memperbaiki tekstur
pada produk akhir. Susu skim memiliki kandungan lakrosa yang lebih
tinggi dibandingkan susu jenis lain yaitu sebesar 51%. Laktosa tersebut
diperlukan pada usus besar untuk mendorong pertumbuhan bakteri asam
laktat yang membantu mengatasi adanya gangguan pencernaan serta
merangsang penyerapan kalsium di usus.31 Namun, kandungan laktosa
yang terdapat pada formula ini menyebabkan formula tersebut tidak dapat
diberikan pada penderita intoleransi laktosa.
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, tepung
susu skim diberikan sebesar 50 gram. Pada 50 gram tepung susu skim
mengandung energi 184 kkal, protein 18 gram, lemak 1 gram, dan
karbohidrat 26 gram.
c. Gula Pasir
Gula merupakan bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai
jenis bahan seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula
termasuk dalam golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi
aktivitas manusia. Ketika tubuh kekurangan energi, maka gula yang
dikonsumsi akan diubah menjadi glukosa yang diserap oleh tubuh dan
menghasilkan energi. Di Indonesia, gula pasir merupakan jenis yang
paling banyak diproduksi. Gula pasir diperoleh dari hasil ekstraksi dan
pemurnian tanaman tebu menjadi butiran gula berwarna putih atau putih
agak kecoklatan.32
Manfaat dari gula yaitu sebagai sumber energi yang ketika dikonsumsi
tubuh akan merubah gula menjadi glukosa secara instan. Glukosa akan
diserap sel tubuh untuk menghasilkan energi. Maka dari itu, gula
merupakan bahan dasar yang cocok untuk pembuatan formula enteral bagi
penderita gizi buruk serta gula pasir mudah didapat. Kandungan zat gizi
dalam 100 gram gula pasir yaitu energi 364 kkal dan karbohidrat 92
gram.33
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, gula pasir
yang diberikan sebesar 32 gram. Dalam 32 gram gula pasir mengandung
energi 124 kkal dan karbohidrat 32 gram.
d. Minyak Kelapa
Minyak kelapa merupakan salah satu produk yang melalui ekstrasi
daging kelapa dengan cara kering dan basah. Perbedaan utama antara
minyak kelapa dan minyak nabati lain yaitu kandungan asam lemak rantai
medium yang terdapat pada minyak kelapa mencapai 61,39%. Keunggulan
dari asam lemak rantai medium dibanding asam lemak tak jenuh yaitu
proses metabolism yang cepat sehinga energi lebih cepat dihasilkan, serta
stabil pada suhu yang sangat rendah maupun sangat tinggi. Selain itu,
lemak rantai medium langsung ke pembuluh darah melalui sistem portal
dan tidak memerlukan jalur cylomicron untuk ditransfer dari darah ke sel.
Asam lemak rantai medium telah banyak digunakan sebagai sumber susu
formula, bahan formulasi makanan pada pasien gangguan penyerapan,
pasien pasca operasi dan orang lanjut usia di Eropa dan Amerika.34
Pada formula enteral untuk anak gizi buruk fase transisi ini, minyak
kelapa yang diberikan sebesar 50 gram. Dalam 50 gram minyak kelapa
mengandung energi 431 kkal dan lemak 50 gram.
g.
BAB III
METODE
Bahan :
B. Pengukuran
1. Osmolaritas
Osmolaritas adalah satuan yang menyatakan jumlah partikel zat
terlarut per liter larutan. Osmolaritas adalah miliosmol zat terlarut pr liter
larutan. Miliosmol adalah satuan yang mencerminkan aktivitas osmosis
suatu zat. Osmolaritas larutan enteral ditentukan oleh konsentrasi gula,
asam amino, dan elektrolit. Nilai yang yang ideal adalah 350-400
mOsmol/kg sesuai dengan osmolalitas cairan ekstraseluler, sedangkan
menurut ketentuan AsDI osmolaritas formula enteral adalah 400 mOsm/L.
Osmolaritas adalah parameter yang penting untuk formula enteral.
Osmolaritas formula enteral akan meningkat jika kandungan asam amino,
monosakarida, disakarida, dan elektrolit bertambah. Peningkatan proporsi
bahan formula dapat meningkatkan osmolaritas formula enteral karena
cenderung meningkatkan asam amino formula.
Untuk mengetahui osmolaritas larutan ada 2 metode yang
digunakan yaitu dengan menggunakan osmometer dan perhitungan dengan
mengalikan asam amino, dextrose, dan elektrolit dengan konstanta masing-
masing.
i. Osmometer
Osmometer adalah alat unutk mengukur kekuatan osmotik larutan.
Ada tiga jenis kekuatan osmotik yatu koloid, senyawa, dan larutan.
Ada tiga jenis osmometer, yaitu osmometer titik beku yang
menentukan kekuatan osmotik larutan dengan memanfaatkan
penurunan titik depresi; osmometer tekanan uap yaitu dengan cara
menentukan konsentrasi partikel osmotik aktif yang mengurangi
tekanan uap larutan; dan membran osmometer dengan mengukur
tekanan osmotik larutan dipisahkan oleh membran semipermiabel.
Perhitungan osmolaritas menggunakan osmometer akan menghasilkan
angka yang lebih akurat.
ii. Perhitungan sederhana
Mengetahui zat penyusun bahan makanan, kemudian menghitung
dengan mengalikan gram asam amino dengan konstanta 10, gram
dextrose dengan konstanta 5, lemak dengan konstanta 1,5 dan mEq
elektrolit dengan konstanta 2. Dan menjumlahkan semuanya. Untuk
elektrolit adalah sebagai berikut:
1 mg mEq
Kalsium 0,05
Klorida 0,028
Magnesium 0,082
Phospat 0,064
Kalium 0,025
Natrium 0,043
Zinc 0,030
2. Viskositas
c. Densitas Energi
d. Organoleptik
Uji organoleptik bertujuan untuk menentukan tingkat penerimaan
konsumen terhadap formula enteral. Uji organoleptik yang akan
dilakukan yaitu uji kesukaan yang terdiri atas uji hedonik. Uji hedonik
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap
karakteristik produk. Penilaian dilakukan terhadap 10 panelis dengan
menilai karakteristik aroma, rasa, bentuk, dan tekstur. Tingkat kesukaan
panelis diuji dengan parameter rasa, warna, aroma, dan tekstur yang
terdiri dari 4 skala kesukaan, yaitu
1 = tidak suka
3 = agak suka
4 = suka
4. Penanaman
a. Menyiapkan cawan petri kosong yang telah disterilisasi
b. Memberi tanda pada masing-masing cawan petri dengan tingkat
pengenceran yang dimulai dari kontrol, pengenceran 10-1 sampai
pengenceran yang terakhir
c. Menambahkan 1 ml aquadest untuk cawan petri kontrol
d. Menambahkan 1 ml dari suspensi sampel pengenceran 10-1 untuk cawan
petri 10-1
e. Menambahkan 1 ml dari suspensi sampel pengenceran 10-2 untuk cawan
petri 10-2, dan seterusnya hingga pengenceran terakhir
f. Menuang media PCA/NA (±50oC) sebanyak 15-20 ml (sampai batas
merk cawan petri) ke dalam masing-masing cawan petri (kontrol hingga
pengenceran terakhir) yang telah berisi suspensi sampel
g. Segera memutar atau menggoyang cawan petri sedemikian rupa hingga
suspensi sampel tersebar merata
h. Menunggu hingga media memadat
i. Jika media sudah memadat, merekatkan cawan petri dengan plastic wrap
j. Menginkubasi dalam posisi terbalik selama 24 jam pada suhu 35-37oC
k. Setelah masa inkubasi selesai, mengamati dan menghitung pertumbuhan
koloni yang ada
l. Melakukan perhitungan pada jam pertama, kedua, dan ketiga pasca
penyeduhan
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
A. Osmolaritas
B. Viskositas
Tabel 5. Viskositas dengan Uji Alir
A. Penetapan pH FERS
pH FERS = 6,64
Suhu = 46,9oC
BERAT VOLUME
BOBOT BOBOT
SAMPEL PELARUT
AWAL AKHIR
(gram) (ml)
5,05 260 127,1327 128,9527
3. Penetapan Kadar Karbohidrat
D. Densitas Energi
Komponen Tidak Suka Agak Tidak Agak Suka (n) Suka (n)
(n) Suka (n)
Rasa 1 4
Tekstur 3 2
Warna 2 3
Aroma 4 1
Komponen Tidak Suka Agak Tidak Agak Suka (n) Suka (n)
(n) Suka (n)
Rasa 1 4
Tekstur 2 3
Warna 5
Aroma 2 3
F. Nilai TPC
Tabel 14. Angka Lempeng Total Bakteri
Dari data jumlah koloni, dihitung nilai hitung bakteri didapat hasil :
A. Osmolaritas
Pada pemberian asupan enteral, perlu diperhatikan osmolaritas formula.
Makanan cair dengan osmolaritas yang tinggi atau hipertonik mudah
menyebabkan diare. Hal tersebut karena cairan tubuh akan ditaruk masuk ke
dalam lumen usus. Osmolaritas yang ideal yaitu 350- 400 mOsmol/kg. 42 Pada
praktikum kali ini, perhitungan osmolaritas dilakukan dengan pendekatan
viskositas. Tinggi atau rendahnya osmolaritas berbanding lurus dengan
viskositas.
B. Viskositas
Formula enteral perlu memperhatikan viskositas yang tepat dari larutan
untuk dapat melalui pipa (sonde). Viskositas dapat mengukur kecepatan dari
suatu cairan mengalir melalui pipa gelas.44 Cairan yang mudah mengalir yaitu
cairan dengan viskositas yang rendah, sedangkan cairan yang sulit mengalir
merupakan cairan dengan viskositas yang tinggi.
Pada praktikum kali ini, viskositas diukur dengan cara uji alir dan dengan
cara Ostwald. Masing – masing percobaan tersebut dilakukan sebanyak 2 kali
pada masing – masing formula baik Forizha maupun F-100 WHO. Dari 2 kali
percobaan tersebut, hasilnya dirata – rata sehingga didapat viskositas dari
formula. Pada uji alir, hasil didapatkan dalam cc/detik sedangkan pada Ostwald
didapankan cP (centipoise).
a. Kadar Protein
Pada penelitian ini persamaan dari kurva standar BSA adalah y= 0,001
x + 0,5841. Persamaan yang diperoleh dari kurva standar BSA, dapat
duigunakan untuk menghitung kadar protein dalam larutan sampel. Pada
penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil kandungan protein pada
sampel FORIZHA adalah 0,09467 gram. Dalam rencana pembuatanya,
formula FORIZHA mengandung 3, 58 gram protein dalam satu porsi.
Perbedaan nilai yang jauh antara yang direncanakan dengan hasil
percobaan menggunakan metode Bradford dikarenakan CBB yang
digunakan dalam reagen Bradford tidak mampu berikatan dengan asam
amino dan peptida untuk mebentuk kompleks warna biru dan hanya bisa
berikatan dengan protein untuk membentu kompleks warna biru. Sehingga
perbedaan jumlah antara yang direncanakan dengan hasil penelitian bisa
disebabkan oleh protein awal saat pembuatan mengalami hidrolisis
menjadi peptida dan asam amino sehingga tidak membentuk kompleks
warna biru dengan reagen bradford. Hidrolisis protein dapat terjadi karena
protein pada FORIZHA dibuat dari tepung tempe. Tempe menggunakan
kapang Rhizopus sp untuk fermentasinya. Kapang ini menghasilkan enzim
proteolitik yang memecah protein menjadi senyawa lebih kecil yaitu asam
amino dan peptida.
b. Penetapan pH FERS
D. Densitas Energi
Pada fase transisi anak mengalami peningkatan kebutuhan. Pada fase
ini pemberian F75 diganti dengan F100 agar anak mendapatkan asupan
energi yang lebih tinggi dibandingkan fase sebelumnya. Kriteria makanan
enteral mensyaratkan densitas energi sebesar 1-2 kkal/ml. Berdasarkan
perhitungan, densitas energi formula enteral berbasis tepung tempe
“FORIZHA” adalah 1 kkal/ml, sehingga dapat disimpulkan bahwa formula
“FORIZHA” sudah memenuhi syarat formula enteral standar dan formula
F100 untuk fase transisi.
Kebutuhan energy anak fase transisi adalah 100-150 kkal. Apabila
anak tersebut mendapatkan F100 dengan kebutuhan minimal 100 kkal,
maka formula enteral berbasis tepung tempe dapat memenuhi 100%
kebutuhannya.
a. Dari segi aroma, formula FORIZHA masih mempunyai bau langu khas
tempe sehingga cenderung memberikan aroma yang kurang disukai
oleh panelis, hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan formula
FORIZHA tidak dilakukan proses untuk menghilangkan bau langu dari
tepung tempe tersebut.
F. Nilai TPC
1. Angka Lempeng Total
Angka Lempeng Total (ALT) menunjukkan jumlah mikroba dalam
suatu produk. Pengujian Total Plate Count (TPC) dimaksudkan untuk
menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan
cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.53
Metode ini dapat memberikan gambaran kualitas dari makanan dan
menentukan layak atau tidaknya bahan makanan untuk dikonsumsi.
Produk formula enteral bayi dan anak aman jika total koloni bakteri (Total
Plate Count/TPC) tidak melebihi 5x103 coloni forming unit/ per ml
(CFU/ml).54
Hasil jumlah TPC pada FERS Forizha dengan berbagai lama
penyimpanan dapat dilihat pada tabel di bawah.
Hasil analisis Total Plate Count (TPC) menunjukkan nilai TPC pada
FERS Forizha pada penyimpanan selama 2 jam dan 3 jam berbanding
lurus dengan lama penyimpanan, yaitu semakin lama penyimpanan maka
jumlah TPC akan semakin meningkat. Namun pada lama penyimpanan 1
jam (T1) jumlah bakteri jauh lebih tinggi dibandingkan T2 dan T3. Pada
lama penyimpanan selama 1 jam (T1) jumlah TPC mencapai 3,7 x 10 7
dimana melebihi batas maksimal ALT pada formula yaitu 5,0 x 10 3 cfu/g.55
Namun pada formula T2 nilai ALT 2,0 x 103 masih dibawah batas
maksimal ALT. Nilai tertinggi dari formula gizi buruk berbasis tepung
tempe yaitu sebesar 3,0 x 105 cfu/ml. Berdasarkan batas cemaran
mikrobiologi, FERS forizha dengan lama penyimpanan 1 dan 3 jam tidak
memenuhi syarat dikarenakan kedua lama penyimpanan tersebut sudah
melampaui batas maksimal standar SNI total bakteri formula enteral.
Seharusnya semakin lama waktu penyimpanan formula, akan semakin
tinggi ,namun pada penyimpanan 1 jam nilai ALT lebih besar dibanding
penyimpanan 2 jam. Hal tersebut kemungkinan dikarenanan kondisi saat
penanaman sampel pada media kurang steril sehingga terjadi kontaminasi
mikroorganisme dari lingkungan sekitar. Karena waktu penyimpanan 2
jam masih memenuhi standar, maka hal ini menunjukkan bahwa sampel
FERS Forizha sudah tidak layak dikonsumsi apabila melebihi waktu 2
jam, dikarenakan sudah melebihi batas maksimum cemaran mikroba.
Zat gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya
nilai TPC, karena zat gizi merupakan media tumbuh kembang yang baik
mikroorganisme. Sehingga, semakin lama penyimpanan produk maka akan
semakin banyak zat gizi yang digunakan untuk media tumbuh kembang
bakteri, sehingga menurunkan kualitas FERS.56
A. Kesimpulan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan formula gizi buruk FORIZHA
adalah tepung tempe, susu skim bubuk, gula pasir yang dihaluskan dan
minyak kelapa sawit. Alasan penggunaan tepung tempe adalah karena tempe
merupakan sumber protein nabati dengan harga murah serta mudah untuk
didapat.
Berdasarkan hasil uji ormolaritas diketahui bahwa osmolaritas
FORIZHA termasuk tinggi dari batas ideal serta lebih tinggi jika
dibandingkan dengan FEK F-100 WHO. Dilihat dari viskositasnya FERS
FORIZHA memiliki viskositas yang sesuai dengan formula enteral komersil
F-100 WHO yang sudah terstandar untuk digunakan pada pasien gizi buruk.
Kandungan protein FORIZHA sebesar 3,58 gram/porsi. pH FERS
FORIZHA adalah 6,64 dan sudah dengan pH susu dan juga > 4,8 sehingga
tidak menyebakan obstruksi pada kateter. Kadar lemak FERS FORIZHA
adalah 61,3 gram/1000ml lebih rendah jika dibandingkan dengan massa
lemak pada perhitungan awal yaitu 63 gram. Berdasarkan uji kadar gula,
FERS FORIZHA memiliki kandungan gula 17,02%. Dilihat dari densitas,
formula FORIZHA sudah memenuhi syarat formula enteral. Hasil
organoleptik menunjukkan F-100 WHO lebih disukai dibandingkan formula
FORIZHA. Pada perhitungan bakteri
B. Saran
1) Pada saat pembuatan formula sebaiknya oralit ditambahkan dalam bentuk
bubuk bukan dalam bentuk cair/diseduh agar formula tidak menggumpal.
2) Pada saat menggunakan wadah untuk pembuatan formula atau pada saat
menggunakan pipet/peralatan lainnya untuk mengambil formula
sebaiknya dicek terlebih dahulu agar tidak mempengaruhi formula yang
akan dibuat/diuji.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roespandy H, Nurhamzah W. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit. 2016. Diakses pada http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-
anak-di-rumah-sakit )
2. Riskesdas. Hasil utama riskesdas 2018. Kementrian Kesehatan RI. 2018
3. Pusdantin Kemenkes RI. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia. 2017
4. Global Nutrition Report. 2018. Diakses pada
https://globalnutritionreport.org/reports/global-nutrition-report-2018/burden-
malnutrition/
5. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013
6. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013.
7. WHO. Guideline: Updates on the management of severe acute malnutrition in
infants and children.Geneva: World Health Organization; 2013. Dan Roespandy
H, Nurhamzah W. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2016.
Diakses pada http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anak-di-
rumah-sakit
8. WHO. Severe malnutrition : report of a consultation to review current literature.
Geneva. 2004 dan Mother and Child Nutrition. Management of malnutrition in
children under five years. 2017. Diakses pada :
https://motherchildnutrition.org/malnutrition-management/info/feeding-
formulas-f75-f100.html
9. Depkes RI. Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025.
Jakarta: Depkes RI. 2005
10. Suhardjo. 2003. Perencanaan pangan dan gizi. Jakarta; Bumi Aksara
11. Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu gizi klinis pada anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
12. Menko Kesra RI, 2013. Pedoman Perencanaan Program. Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta
13. Engle, Pl. The Initiative Assesment Analysis and Action Improve Care
to Nutrition. Unicef. 1997.
16. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. Systemic and Pathologic Consequences
of the Acute Inflammatory Responses. In: Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai,
S., editors. Cellular and Molecular Immunology. 7th eds. 2012
17. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan
PMT pada Balita, Jakarta 1997.
18. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Hasil Penataran Petugas Kesehatan Dalam
Rangka Pelayanan Gizi Buruk di Puskesmas dan Rumah Sakit, BLK Cimacan,
Oktober 1981.
19. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes. Pedoman
Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan
PMT pada Balita, Jakarta 1997.
20. Setianingsih, Anastasia Anna. Perbandingan Enteral dan Parenteral Nutrisi pada
Pasien Kritis. 2014
21. Lutviana, E., Budiono, I. Prevalensi Dan Determinan Kejadian Gizi Kurang
Pada Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2010;5(2):138-144. Available from
http://journal.unnes.ac.id/index.php/ke mas. Diakses pada 5 Agustus 2017].
22. Barasi, M., Nutrition At A Glance. Penerjemah: Hermin. 2009. At A Glance :
Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga. 2007.
23. Depkes RI. Tata laksana kep berat atau gizi buruk. Available from :
gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/ped-tata-kurang-protein-rs-kab-
kodya-1.doc
24. Lastariwati, Badraningsih. Diet untuk anak. Universitas Negeri Yogyakarta.
Available from : http://staffnew.uny.ac.id/upload/131572389/pendidikan/diet-
untuk-anak.pdf
25. Depkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk buku II. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi Masyarakat. 2013
26. Gurnida D. Pemberian dukungan gizi pada anak sakit: enteral dan parenteral.
Bandung : PIKAB VIII. 2013
27. Williams Lippincott dan Wilkins. Nasogastric tube insertion and removal
nursing procedures fourth ed. A Wolters Kluwer Company. 2004
28. Bastian F, Ishak E, Tawali B, dan Bilang M. Daya terima dan kandugnan zat gizi
formula tepung tempe dengan penambahan Semi Refined Carrageenan (SRC)
dan bubuk kakao. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2013
29. Puryatni A. Pengaruh substitusi tepung tempe F100 terhadap saturasi transferrin.
Malang : Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2010
30. Utami I. Hubungan antara pengetahuan gizi ibu mengenai susu dan factor
lainnya dengan riwayat konsumsi susu selama masa usia sekolah dasar pada
siswa kelas I SMP Negeri 102 dan SMP PB Sudirman Jakarta Timur. Depok :
FKM UI. 2009
31. USDEC.Milkpowder.(http://www.usdec.org/Products/content.cfm?
ItemNumber=82658&navltemNumber=82273)
32. Moerdokusumo. Pengawasan kualitas dan teknologi pembuatan gula di
indonesia. Bandung : ITB Press. 1993
33. Philips D. Menikmati gula tanpa rasa takut. Sinar Ilmu. 2013
34. Maten B, Pfruffer M, dan Schrezenmeir J. Medium-chain triglycerides : review.
Int Dairy Journal. 2006
35. Atkins, P. (2007) Chemical Principle: Quest for nsight 4th edition. New York:
W.H Freeman and Company
y = 0,001 x + 0,5841
1,131 = 0,001 x + 0,5841
0,001 x = 0,5469
X = 546, 9 ppm
% = 546,9/10.000
= 5,469 x 10-2 % dalam 0,1 g sampel
= 5469 x 10-3/100
= 5,460 x 10-5 gr dalam 01 gr sampel
5,460 x 10-5= y
0,1 = 172
y = 940,67 x 10-4
= 0,09467 gram
2. Penetapan pH FERS
pH FERS = 6,64
Suhu = 46,9oC
128,9527−127,1327
= ×100 %
5,05
= 36%
= 1,8 gram
1,8 y
=
5,05 172
1,8× 172
y =
175,05
y=61,3 gram
250
10,9× ×100 %
Massa gula pereduksi (setelah inversi) = 10
2500
= 10,9 %
6. Perhitungan TPC
1 Jam
55× 101+ 190× 103 +111×10 7
H =
3
= 36730 x 103
= 3,7 ×107
2 Jam
1
H = ( A−B ) × ×P
C
1 1
= ( 201−6 ) × × 10
1
= 195 ×101
= 1.950
= 2,0 ×103
3 Jam
167× 103 +45 × 104
H =
2
= 308,5 ×103
1 3
= ( 308,5−8 ) × ×10
1
= 300,5 ×103
= 3,0 x 105
FERS: % Zat
FORIZHA Ʃ Total Gizi
Berat 50 50 32 40 20 192.0
bahan
(g) :
Energi
(Kkal) : 184.0 431.0 123.8 277.2 0.0 1016.0 l;
Protein (g)
: 18.0 0.0 0.0 17.6 0.0 35.6 14.0
Lemak
(g) : 1.0 50.0 0.0 12.0 0.0 63.0 55.8
Karbihidrat
(g): 26.0 0.0 32.0 24.4 0.0 82.4 32.4
Natrium
(mg) 273.0 0.0 0.3 0.0 0.0 273.3
Kalium
(mg) 871.5 0.0 0.6 0.0 0.0 872.1
Natrium
Klorida 0.0 0.0 0.0 0.0 2.6 2.6
kalium
klorida 0.0 0.0 0.0 0.0 1.4 1.4
Harga
(Rp) : 12500 17500 416 8000 2400 40816
Kemasan
(g) : 100 cc 100 cc 100 cc 100 cc 100 cc
8. Dokumentasi