KONSEP NYERI PADA ANAK-dikonversi
KONSEP NYERI PADA ANAK-dikonversi
Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu sistem yang disebut
sebagai sistem integumen. Sistem integumen adalah sistem organ yang paling luas.
Sistem ini terdiri atas kulit dan aksesorisnya, termasuk kuku, rambut, kelenjar
(keringat dan sebaseous), dan reseptor saraf khusus (untuk stimuli perubahan internal
atau lingkungan eksternal). Berikut ini adalah bagian-bagian dari sistem integument
(Mutaqqin & Kumala, 2011). :
a. Epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kulit luar. Epidermis merupakan lapisan teratas
pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda : 400-600 μm untuk
kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis
(kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel,
epidermis juga tersusun atas lapisan:
1
Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses melanogenesis.
Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit
menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan
hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte
stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis
yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan
rambut, semakin banyak melanin, semakin gelap warnanya. Sebagian besar
orang yang berkulit gelap dan bagian-bagian kulit yang berwarna gelap pada
orang yang berkulit cerah (misal puting susu) mengandung pigmen ini dalam
jumlah yang lebih banyak. Warna kulit yang normal bergantung pada ras dan
bervariasi dari merah muda yang cerah hingga cokelat. Melanin diyakini dapat
menyerap cahaya ultraviolet dan demikian akan melindungi seseorang terhadap
efek pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari yang berbahaya.
• Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans
terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu serangan imun.
Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab mengenal dan menyingkirkan sel-
sel kulit displastik dan neoplastik. Sel Langerhans secara fisik berhubungan
dengan saraf-sarah simpatis , yang mengisyaratkan adanya hubungan antara
sistem saraf dan kemampuan kulit melawan infeksi atau mencegah kanker kulit.
Stres dapat memengaruhi fungsi sel Langerhans dengan meningkatkan rangsang
simpatis. Radiasi ultraviolet dapat merusak sel Langerhans, mengurangi
kemampuannya mencegah kanker.
• Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
• Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam
sebagai berikut:
- Stratum Korneum, terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng, tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin. Lapisan ini merupakan lapisan terluar
dimana eleidin berubah menjadi keratin yang tersusun tidak teratur
sedangkan serabut elastis dan retikulernya lebih sedikit sel-sel saling
melekat erat.
- Stratum Lucidum, tidak jelas terlihat dan bila terlihat berupa lapisan tipis
yang homogen, terang jernih, inti dan batas sel tak terlihat. Stratum lucidum
terdiri dari protein eleidin.
- Stratum Granulosum, terdiri atas 2-4 lapis sel poligonal gepeng yang
sitoplasmanya berisikan granul keratohialin. Pada membran sel terdapat
granula lamela yang mengeluarkan materi perekat antar sel, yang bekerja
sebagai penyaring selektif terhadap masuknya materi asing, serta
menyediakan efek pelindung pada kulit.
- Stratum Spinosum,tersusun dari beberapa lapis sel di atas stratum basale.
Sel pada lapisan ini berbentuk polihedris dengan inti bulat/lonjong. Pada
sajian mikroskop tampak mempunyai tonjolan sehingga tampak seperti duri
yang disebut spina dan terlihat saling berhubungan dan di dalamnya terdapat
fibril sebagai intercellular bridge.Sel-sel spinosum saling terikat dengan
filamen; filamen ini memiliki fungsi untuk mempertahankan kohesivitas
(kerekatan) antar sel dan melawan efek abrasi. Dengan demikian, sel-sel
spinosum ini banyak terdapat di daerah yang berpotensi mengalami gesekan
seperti telapak kaki.
- Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada
epidermis, tersusun dari selapis sel-sel pigmen basal , berbentuk silindris
dan dalam sitoplasmanya terdapat melanin. Pada lapisan basile ini terdapat
sel-sel mitosis.
b. Dermis
Dermis atau cutan (cutaneus), yaitu lapisan kulit di bawah epidermis.
Penyusun utama dari dermis adalah kolagen. Membentuk bagian terbesar kulit
dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit, memiliki ketebalan yang
bervariasi bergantung pada daerah tubuh dan mencapai maksimum 4 mm di daerah
punggung.
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum
papilare dan stratum reticular.
1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag,
dan leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi). Lapisan papila dermis
berada langsung di bawah epidermis tersusun terutama dari sel-sel fibroblas
yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari
jaringan ikat. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah dan limfe, serabut saraf
, kelenjar keringat dan sebasea, serta akar rambut. Suatu bahan mirip gel, asam
hialuronat, disekresikan oleh sel-sel jaringan ikat. Bahan ini mengelilingi
protein dan menyebabkan kulit menjadi elastis dan memiliki turgor (tegangan).
Pada seluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis,
pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringat dan palit.
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas
jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I).
B. Definisi Nyeri
International Association for Study of Pain (IASP), menyatakan bahwa nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan (James & Ashwill, 2007).
Berman, Snyder, Kozier, dan Erb (2009) menyatakan bahwa nyeri adalah sensasi
yang sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan
orang lain.
C. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi (Berman, Snyder,
Kozier, &Erb, 2009), sebagai berikut:
1. Berdasarkan Lama/Durasinya
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan selama periode penyembuhan yang
diharapkan, baik yang awitannya tiba-tiba atau yang lambat dan tanpa
memerhatikan intensitasnya. Nyeri akut pada anak, contohnya: nyeri tindakan
invasive, nyeri pasca operasi, sakit kepala, sakit perut , dan lainnya.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung berkepanjangan, biasanya nyeri
berulang atau menetap sampai enam bulan atau lebih, dan mengganggu fungsi
tubuh. Contoh nyeri akut pada anak antara lain nyeri kanker dan nyeri sedasi
perawatan akhir hidup.
2. Berdasarkan Sumbernya
a. Nyeri Kutaneus/ Superfisial, yaitu nyeri yang berasal dari kulit atau jaringan
subkutan, contohnya: luka akibat teriris kertas yang menimbulkan nyeri tajam
dengan sedikit rasa terbakar.
b. Nyeri Somatik Dalam, yaitu nyeri yang berasal dari ligament, pembuluh darah,
tulang, tendon dan syaraf. Nyeri menyebar dan cenderung berlangsung lebih
lama dibandingkan nyeri kutaneus, contohnya adalah nyeri pergelangan kaki
yang terkilir.
c. Nyeri Viseral, nyeri yang dihasilkan dari stimulasi reseptor nyeri dalam rongga
abdomen, cranium dan thorak. Nyeri viseral seringkali disebabkan karena
spasme otot, iskemia, atau regangan jaringan. Obstruksi usus akan
mengakibatkan nyeri viseral.
3. Berdasarkan Lokasi/Letak
a. Nyeri Radiasi
Nyeri radiasi adalah nyeri yang menyebar, dirasakan pada tempat sumber nyeri
dan menyebar ke jaringan sekitarnya, contohnya nyeri jantung mungkin tidak
hanya dirasakan di bagian dada namun menyebar ke sepanjang bahu kiri dan
turun ke lengan.
b. Nyeri Alih (Referred Pain)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan jauh dari jaringan yang menyebabkan
nyeri. Nyeri alih contohnya yaitu nyeri bagian visera abdomen yang dirasakan
didaerah kulit yang jauh dari organ penyebab nyeri.
c. Nyeri yang Tidak dapat Dilacak (Intractable Pain)
Nyeri yang tidak dapat dilacak adalah nyeri yang sulit diatasi, misalnya nyeri
pada keganasan tingkat lanjut/ kanker maligna.
d. Nyeri Neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf pusat atau tepi. Nyeri
neuropatik berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan
sebagai rasa terbakar, tumpul, dan gatal; nyeri tajam, seperti ditembak dapat
juga dirasakan.
e. Nyeri Phantom
Nyeri phantom adalah sensasi yang sangat menyakitkan yang dirasa pada
bagian tubuh yang hilang (mis. kaki yang diamputasi) atau yang mengalami
paralisis karena cedera medulla spinalis. Nyeri neuropatik dapat dibedakan dari
sensasi phantom yaitu perasaan bahwa bagian tubuh yang hilang masih tetap
ada.
4. Berdasarkan Penyebab/ Etiologi:
a. Nyeri Fisik
Nyeri fisik adalah nyeri yang bisa terjadi karena stimulus fisik (mis. fraktur
femur).
b. Nyeri Psycogenic
Nyeri psycogenic terjadi karena sebab yang kurang jelas/sulit diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari (mis. seseorang yang
marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya).
Nyeri mungkin saja disebabkan oleh perpaduan kedua etiologi.
D. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri adalah memahami tiga komponen
fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri
mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla
spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam
massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-
sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks
cerebral, maka otak menginterprelasikan kualilas nyeri dan memproses informasi
tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya
mempersepsikan nyeri (Potter dan Perry, 2006).
1. Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor
nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer. Berdasarkan letaknya, nosireceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah visceral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda. Impuls saraf yang dihasilkan oleh stimulus nyeri
menyebar di sepanjang saraf perifer aferen (Potter dan Perry, 2006). Ada dua tipe
serabut saraf perifer yang mengonduksi stimulus nyeri yaitu:
a. Serabut A-delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det), bermielinasi, dan mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut ini
menghantarkan cedera akut dengan segera (Potter dan Perry, 2006; Tamsuri,
2007).
b. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) ,
tidak bermielinasi, berukuran kecil, menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk,
viseral, dan terus-menerus, terdapat pada daerah yang lebih dalam serta nyeri
biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik
dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf,
otot, dan jaringan penyangga lainnya, karena struktur reseptornya komplek, nyeri
yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri
jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti
jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi (Potter dan Perry, 2006; Tamsuri, 2007).
E. Teori Nyeri
A. Gate Control Theory (Teori Pengontrolan Nyeri)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang
sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa
substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, thalamus, dan system
limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu,
terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Mekanisme
penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien
dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Apabila
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo
merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter & Perry, 2006).
2. Pengukuran Nyeri
Sejumlah cara penilaian nyeri telah dikembangkan untuk mengukur nyeri
pada anak. Pengukuran nyeri dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: pengukuran objektif
(objective measures) digunakan untuk mengobservasi skor parameter perilaku
(behavioral measures), atau fisiologis (physiologic measures), dan pengukuran
subjektif (subjective measures) yaitu laporan diri (self report measures) yang
digunakan agar anak dapat mengukur nyerinya (Hockenberry & Wilson, 2009;
Potts & Mandleco, 2012).
a. Pengukuran Objektif (Objective Measures)
1) Behavioral Measures
Pengkajian perilaku sangat berguna untuk mengukur nyeri pada bayi dan
anak preverbal yaitu anak yang belum memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan, atau pada anak dengan gangguan
mental yang memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyampaikan
kalimat yang memiliki arti. Pengukuran ini bergantung pada observer
dalam mengamati dan merekam perilaku anak misalnya vokalisasi (suara),
ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Pengukuran nyeri melalui pengamatan perilaku seringkali reliabel dalam
mengukur nyeri akut, nyeri dari prosedur yang tajam seperti injeksi dan
pungsi lumbar, namun kurang reliabel saat mengukur nyeri yang
berkepanjangan (Hockenberry & Wilson, 2009).
Terdapat beberapa skala pengkajian perilaku nyeri yang sering digunakan,
antara lain (James & Ashwill, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009; Potts &
Mandleco, 2012):
a) FLACC Pain Assessment Tool
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak mulai
usia 2 bulan-7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total
0 untuk tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri hebat. Penilaian tersebut
adalah ekspresi muka (0-2), gerakan kaki (0-2), aktivitas (0-2),
menangis (0-2), kemampuan dihibur (0-2). Hasil skor perilakunya
adalah 0: untuk rileks dan nyaman, 1-3; nyeri ringan/ ketidaknyamanan
ringan, 4-6 nyeri sedang, 7-10 nyeri hebat/ ketidaknayamanan berat.
2) Physiologic Measures
Pengukuran fisiologis tidak dapat dipisahkan dari respon tubuh terhadap
nyeri dan bentuk stress lainnya pada tubuh. Perubahan fisiologis secara
mendalam/besar seringkali menyertai pengalaman nyeri. Parameter
fisiologis, antara lain denyut nadi, pernapasan, tekanan darah, telapak
tangan berkeringat, level kortison, oksigen transkutaneus, vagal tone, dan
konsentrasi endorphin. Parameter ini tidak menunjukkan lokasi nyeri, tetapi
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat distress (keadaan
bahaya) anak secara umum yang mengalami nyeri. Penilaian nyeri secara
fisiologis berguba pada infant dan anak yang tidak bisa berkomunikasi
secara verbal (Hockenberry & Wilson, 2009).
1 2 3 4
Caucasian African American Hispanic Asian Boy &
5
Girl Oucher
Sumber: www.oucher.org
3) Word Graphic Rating Scale (Tesler, Savedra, Holzemer, and Others,
1991)
Skala ini digunakan pada anak usia 4-17 tahun.
4) Numeric Scale
Skala ini digunakan pada anak usia 5 tahun dan usia yang lebih tua.
Tidak Nyeri
Nyeri Hebat
G. Penatalaksanaan Nyeri
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Nyeri dapat mempengaruhi psikologis dan perilaku, intervensi
nonfarmakologis penting dalam mengubah persepsi nyeri/perilaku. Intervensi
ini bertujuan untuk mengurangi rasa takut, penderitaan dan meminimalkan rasa
sakit dan meningkatkan pengendalian rasa nyeri pada anak (Ekwueme, 2009).
Intervensi nonfarmakologis harus cocok untuk anak, dan agar efektif teknik
harus sesuai tahap perkembangan, kepribadian, dan keadaan sekitar anak
(James & Ashwill, 2007). Teknik-teknik ini dapat ditetapkan dalam tiga
kategori besar (Ekwueme, 2009), antara lain:
- Metode kognitif yang meliputi pendidikan/persiapan, musik, imagery
guided, distraksi dan hipnosis.
- Metode Perilaku diantaranya adalah teknik relaksasi otot progresif, latihan
biofeedback, kontrol pernapasan, dan hipnosis.
- Metode fisik misalnya kompres hangat atau dingin, pijat dan sentuhan,
transkutan stimulasi saraf listrik (TENS), akupunktur/akupresur, dll.
Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis pada anak antara lain (James
& Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2012):
a. Distraksi
Anak-anak kurang dari 6 tahun merespon dengan baik untuk teknik
distraksi. Prinsip distraksi adalah mengalihkan fokus anak terhadap nyeri
yang dirasakan kepada hal/kegiatan lain yang disenangi. Teknik distraksi
dapat dilakukan melalui meniup gelembung, mendengarkan musik,
bermain, menoton video, dan lainnya.
b. Breathing Techniques
Pola pernapasan tertentu diatur agar dapat meningkatkan relaksasi anak.
Teknik pola pernapasan membutuhkan konsentrasi dan perhatian anak
sehingga mengambil pikiran dari rasa sakit prosedural. Hal ini mengajarkan
anak untuk mengelola stres. Dua jenis teknik pernapasan dapat digunakan:
pernapasan dada berirama dalam dan berpola pernapasan dangkal.
c. Guided Imagery
Imajinasi dipandu adalah proses relaksasi dan fokus konsentrasi pada
membayangkan gambar. Teknik ini menggunakan suara dan gambaran
dalam imajinasi seseorang untuk menghasilkan rasa kesejahteraan. Guided
imagery berguna untuk kecemasan pra operasi dan manajemen nyeri pasca
operasi. Anak didorong untuk membayangkan berada di tempat favorit dan
kemudian membayangkan pemandangan, suara dan bau di tempat favorit
tersebut.
d. Progressive Muscle Relaxation
Anak dapat mencapai relaksasi, mengurangi kecemasan dan nyeri melalui
identifikasi bagian tubuh yang nyeri. Teknik ini mengajarkan anak secara
sistematik progresif, fokus pada tujuan merelaksasi tubuh tahap demi tahap.
Hal ini dirancang untuk membantu anak-anak mengenali dan mengurangi
ketegangan tubuh berhubungan dengan nyeri. Instruksi yang diberikan
kepada kelompok otot yang tegang dan tahan dalam kondisi itu selama 10
detik dan perhatikan cara otot terasa tegang ketika dibandingkan dengan
bagaimana rasanya ketika ketegangan itu santai.
e. Biofeedback
Prinsipnya adalah untuk menerjemahkan keadaan fisik tubuh menjadi sinyal
audio-visual. Teknik ini menggunakan alat, elektroda dipasang secara
eksternal diatas setiap pelipis. Elektroda mengukur ketegangan kulit dalam
microvolt. Anak belajar mencapai relaksasi yang optimal dengan
menggunakan umpan balik dari poligraf sementara ia menurunkan tingkat
ketegangan actual yang sedang dialami. Terapi ini sangat efektif untuk
mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala.
f. Hypnosis
Teknik ini melibatkan perhatian berfokus untuk mencapai tingkat yang lebih
dalam relaksasi. Kecenderungan anak-anak untuk memiliki rentang
perhatian yang pendek memungkinkan teknik hipnosis untuk lebih
menangkap rentang perhatian dan anak tetap fokus jauh dari prosedur yang
menyakitkan. Hipnosis membantu mengubah persepsi nyeri melalui sugesti
positif.
g. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS adalah metode yang menggunakan stimulasi listrik voltase rendah
secara langsung diarea nyeri yang teridentifikasi, pada titik akupresur,
sepanjang area saraf perifer yang mempersarafi area nyeri tersebut, atau
sepanjang kolom spinal. Penggunaan TENS bermanfaat untuk mengurangi
nyeri kronis dan akut, menurunkan kebutuhan opiat dan kemungkinan depresi
fungsi pernapasan karena penggunaan narkotik, dan memfasilitasi keterlibatan
klien dalam pelaksanaan pengendalian nyeri.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Nonsteroidal anti-inflamasi (NSAID)
a) Ibuprofen
Dosis dan rute: melalui mulut: 5-10 mg / kg / dosis setiap jam 6-8 untu
anak yang kurang dari 6 bulan. Jangan melebihi 40 mg/kg/24 jam. Untuk
remaja arthritis: 30-50 mg/kg/24 jam. Obat dalam bentuk cair untuk
anak-anak.
Penyerapan: 80% diserap dari saluran pencernaan (GI) saluran,
maksimum dalam 1-2 jam.
Ekskresi: diekskresikan terutama di urin, beberapa ekskresi bilier.
Kontraindikasi: contarindicated pada anak-anak di antaranya urtikaria,
rinitis parah, bronkospasme, angioedema, hidung polip yang dipicu oleh
NSAID lainnya, ulkus peptikum aktif, kelainan perdarahan.
b) Ketorolac
Dosis dan rute: anak yang lebih tua dari 2 tahun IV: 0,4-1 mg / kg satu
kali, diikuti dengan 0,2-0,5 mg / kg / dosis setiap jam 6, sampai dengan
maksimal 120 mg/24hr.
c) Acetaminophen
Klasifikasi: analgesik, antipiretik.
2) Analgesic Opioid
a) Codeine
Dosis dan rute: melalui mulut, IM,SC: 0,5-1 mg / kg / dosis setiap jam
4-6, dosis maksimum 60 mg / dosis. dosis yang terdaftar untuk pasien
dengan berat badan <50 kg (110 pon) tidak dapat digunakan sebagai
dosis awal pada bayi <6 bulan, dosis opioid awal harus sekitar ¼ sampai
1/3 dari dosis yang dianjurkan untuk bayi yang lebih tua dan anak-anak .
b) Morfin
Klasifikasi: analgesik opioid.
Dosis dan rute: dosis intermiten. Dengan mulut atau dubur: 0,2-0,5 mg /
kg / dosis setiap jam 4-6. IM, IV,SC: 0,1-0,2 mg / kg / dosis setiap jam 2-
4, sampai maksimal 15 mg / dosis. Terus menerus IV infus: 0,01-0,04 mg
/ kg / jam (rata-rata 0,06 mg / kg / jam). Mulailah dengan dosis terendah,
meningkat hingga 2 mg / kg / jam sesuai kebutuhan. Pasien dikontrol:
pemeliharaan: 0,02 mg / kg / jam, meningkat jika anak membutuhkan
lebih dari 2 dosis bolus per jam. Bolus 0,02 mg / kg / dosis pada
c) Fentanil
Klasifikasi: analgesik opioid.
Aksi: agonis narkotika dengan tindakan yang mirip dengan morfin dan
meperidin tetapi tindakan lebih cepat dan lebih lama.
d) Hidromorfon
Klasifikasi: analgesik opioid.
Dosis dan rute: melalui mulut, IM, SC, atau IV, 0,03-0,08 mg / kg setiap
jam 4-6 melalui mulut, maksimum 5 mg / dosis, IV dosis 0,015 mg / kg /
dosis
Penyerapan: onset, 15-20 menit, puncak 0,5-1 jam, durasi 4-5 jam
Ekskresi: diekskresikan dalam urin, paruh 3,5-4,5 jam
e) Oksikodon
Klasifikasi: analgesik opioid.
Dosis dan rute: melalui mulut 0,05-0,15 dosis mg / kg / setiap 4-6 jam,
maksimum 5 mg / dosis
f) Hydrocodone
Klasifikasi: analgesik opioid.
Dosis dan rute: melalui mulut, dosis maksimum 1,25 mg (anak <2
tahun) -5 mg (anak> 2 tahun) setiap 4-6 haours sesuai kebutuhan atau 0,2
mg / kg setiap jam 3-4.
g) Metadon
Klasifikasi: analgesik opioid.
3) Sedasi Sadar
4) Analgesia Epidural
Obat nyeri (biasanya, opioid bius lokal, atau keduanya) dapat
diberikan melalui kateter epidural dimasukkan ke dalam ruang epidural dan
diamankan ke anak kembali dengan oklusif. Karena obat yang diberikan
langsung ke saraf yang mengirimkan rasa sakit, dosis yang lebih kecil yang
diperlukan untuk mengontrol rasa sakit, dengan efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan biasanya berhubungan dengan administrasi opioid
sistemik. Disarankan untuk anak-anak yang menjalani prosedur perut, anal,
atau urogenital, operasi jantung terbuka, dan operasi thoracis, atau operasi
ortopedi dari tungkai bawah. Asuhan keperawatan anak dengan chateter
epidural mirip dengan Taht untuk anak menerima terapi PCA. Anak
dipantau dengan monitor jantung dan oksimetri pulsa. Perawat menilai anak
untuk menghilangkan rasa sakit yang memadai dan adanya efek samping
underesired (respirasi khususnya menurun) dan komplikasi yang mungkin
menyertai penempatan kateter. Hal ini penting untuk menghindari tindakan
yang akan menarik atau menempatkan ketegangan pada kateter. Perawat
menilai tingkat dermatom (tingkat blokade sensorik) setiap 4 jam dan sesuai
kebutuhan. Perawat juga memantau situs kateter sering untuk selip,
hilangnya pendarahan, cairan serebrospinal, atau hematoma di situs
penyisipan komplikasi yang jarang namun serius yang perlu segera
dilaporkan. Efek samping lain termasuk sembelit, mual, muntah, retensi
urin, blok motorik, sensorik dan blok.
Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, G. (2009). Buku ajar praktik keperawatan
klinik kozier dan erb. Jakarta: EGC.
Bowden, V.R., & Greenburg, C.S. (2010). Children and their families. (2nd ed.).
Philadelphia: Wolters Kluwer Health- Lippincott William & Wilkins.
James, S.R., & Ashwill, J.W.(2007). Nursing care of children principles & practice. (3rd
ed.). St.Louis: Saunders Elsevier.
Mutaqqin, Arif dan Sari, Kumala. (2011). Asuhan keperawatan gangguan sistem
integumen. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P.A., & Perry, A. G. (2006). Fundamental keperawatan konsep, proses dan praktik.
Jakarta: EGC.
Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2007). Pediatric nursing caring for children and their
families. (2nd ed.). New York: Thomson Delmar Learning.
Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric nursing caring for children and their
families. (3rd ed.). New York: Delmar Cengage Learning.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Walker, G., & Arnold, R. (2004). Pediatric pain assessment scales. Fast Facts and
Concepts. June 2004; 117. Diperoleh tanggal 24 Maret 2013 dari
http://www.eperc.mcw.edu/fastfact/ff_117.htm.