Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Bedah plastik adalah suatu cabang Ilmu Kedokteran yang bertujuan untuk merekonstruksi
atau memperbaiki bagian tubuh manusia. Sedangkan kasus bedah onkologi berkembang dengan
meningkatnya kasus keganasan. Dua sub bagian bedah tersebut memiliki perhatian khusus bagi
anesthesia terutama untuk pemilihan teknik anestesi, riwayat penyakit dengan kemoterapi,
hingga kesulitan jalan nafas disebabkan massa yang terletak di daerah kepala dan leher. Kasus
pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak dan atau
teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Sedangkan kasus bedah
plastik berhubungan dengan kasus bedah plastik rekontruksi dan bedah plastik kosmetik.
Anestesi pada kasus bedah onkologi dan bedah plastik dapat dilakukan dengan tehnik anestesi
umum maupun anestesi regional.

Kanker adalah masalah kesehatan terkemuka di seluruh dunia. Menurut data


epidemiologi, sekitar 40% orang memiliki potensi untuk mengalami kanker selama masa
hidupnya. Kemoterapi, radioterapi, dan operasi adalah teknik untuk pengobatan kanker dengan
berbagai efek samping pada tubuh manusia. Untuk mempersiapkan rencana manajemen pra
operasi, intraoperatif dan pasca operasi terbaik untuk pasien dengan riwayat kanker, pengetahuan
tentang efek samping akut dan kronis yang disebabkan oleh metode pengobatan diperlukan oleh
ahli anestesi. Selain itu, ahli anestesi memainkan peran utama dalam manajemen analgesik
penyakit untuk pasien yang mengalami nyeri hebat.

Kemoterapi bisa menjadi neoadjuvant (diberikan sebelum operasi untuk mengurangi


ukuran tumor), adjuvant (diberikan selama atau setelah operasi), dan paliatif (diberikan untuk
meningkatkan kualitas hidup). Banyak obat kemoterapi yqng digunakan sebagai agen anti-
proliferasi yang menargetkan sel kanker yang mengalami mutasi secara cepat. Namun, sel
normal juga dapat terpengaruh. Akibatnya, toksisitas obat menyebabkan efek akut maupun pada
organ normal. Toksisitas yang paling umum termasuk paru, jantung, ginjal, hati, sistem
gastrointestinal, sumsum tulang dan kerusakan neurologis. Pengetahuan tentang efek yang

1
mungkin dari obat anti kanker yang umum digunakan adalah penting bagi ahli anestesi untuk
mempersiapkan pasien dengan riwayat kanker untuk anestesi dan pembedahan

Radioterapi sering digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi. Kemoradiasi untuk


kanker esofagus, paru, kanker cerviks, kepala dan leher, rektum dan kandung kemih dapat
digunakan untuk mencapai respon anti-tumor yang lengkap. Radioterapi dapat menyebabkan
kerusakan jaringan melalui produksi radikal bebas oksigen. Sebagai akibatnya, mereka dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama, stenosis vaskular, miokarditis, pneumonitis, dan
fibrosis pulmonal

Tehnik anestesi umum maupun regional tidak ada kekhususan tertentu. Beberapa masalah
yang dapat dihadapi adalah kesulitan jalan nafas,pardarahan atau karena penyakit sistemik berat
yang dialami pasien.

Kasus-kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya pada tumor besar
pada daerah leher-kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu
dipikirkan rencana tindakan penglelolaan jalan nafas dan anestesi yang dilakukan. Pada keadaan
bahwa kesulitan mempertahankan jalan nafas sudah dapat diprediksi, algoritma difficult airway
sudah harus direncanakan, sehingga alat-alat obat-obatan yang haru digunakan sudah
dipersiapkan lebih dahulu. Apabila sudah dapat diprediksi tidak menemui kesulitan ternyata
menemui kesulitan intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar uapayakan untuk
membangunkan pasien kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi
harus sudah di antisipasi dengan memasang jalur infus tambahan dengan diameter kanula
intravena yang besar.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Seperti diuraikan diatas bedah onkolologi didefinisikan kasus dengan pembesaran yang
tampak dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Sedangkan
kasus bedah plastik adalah pada kasus bedah plastik rekontruksi dan bedah plastik kosmetik,
seperti prosedur flap, abdminoplasty, breast reduction, dan skin grafting.
pembahasan disini adalah untuk pembedahan onkologi dan plastik terutama pada daerah
kepala-leher dan mulut yang dapat mempengaruhi jalan nafas baik karena prosedur pembedahan
maupun perdarahan yang diakibatkannya untuk itu kita harus bertindak hati-hati terkait dengan
pengelolaan anestesi yang direncanakan, terutama pengelolaan airway selain komplikasi-
komplikasi sistemik yang diakibatkan oleh tumor itu sendiri seperti pada pembesaran thyroid,
atau penyakit penyerta yang tidak berhubungan langsung seperti penyakit respirasi, hipertensi,
penyakit arteri koroner, diabetes militus dan penyakit metabolik lainnya, maupun kelainan
anatomi pada jalan nafas yang disebabkan kelainan kongenital pada bedah plastik rekontruksi.
Adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengawasi pergerakan dinding dada dengan secara
konstan dan perlunya waktu yang cukup untuk ekshalasi untuk menghindari terperangkapnya
udara dan barotrauma.

PERSIAPAN PREOPERATIF

Pasien yang mengalami operasi rekonstruksi pada daerah maksilofasial dan pengangkatan
tumor pada daerah leher atau prosedur pembedahan sering menjadi tantangan bagi dokter
anestesiologi dalam hal jalan napas. Jika ada kemungkinan terjadinya masalah dengan ventilasi
sungkup atau intubasi trakea, jalan napas sebaiknya diamankan terlebih dahulu sebelum
induksi.Sangat penting pada anestesi untuk menindentifikasi masalah preoperatif yang umum
maupun yang khusus pada pasien onkologi dan plastik/rekontruksi dan mampu membuat rencana
anestesi yang tepat untuk prosedur bedah mulai dari persiapan yang akan dilakukan sebelum
masuk kamar operasi mulai dari inform consent keluarga, puasa, dan penggunaan obat-obat

3
premedikasi yang diperlukan. Merencanakan dan memilih tehnik anestesi, alat dan obat, sesuai
dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit. Pasien yang akan mengalami
pembedahan daerah kepala leher sering dievaluasi untuk adanya suara parau, stridor atau
hemoptysis. Kemungkinan penyebabnya adalah aspirasi benda asing, trauma di traktus
aerodigestif, papillomatosis, stenosis trakea, tumor obstruktif ataupun disfungsi pita suara. Jadi,
suatu pemeriksaan fisik dan riwayat medis yang teliti dengan memperhatikan kemungkinan
terjadinya masalah jalan napas harus dilakukan sebelum mengambil keputusan mengenai rencana
anestesi. Pada sebagian penderita, flow volume loops atau studi radiografik khusus (misalnya
tomogram, CT scan atau MRI) dapat digunakan sebagai tinjauan.

Pertanyaaan yang paling penting untuk dijawab adalah apakah penderita dapat diventilasi
dengan mudah dan apakah mudah diintubasi dengan laringoskopi direk. Jika ragu, jalan napas
pasien harus diamankan terlebih dahulu sebelum induksi dengan menggunakan teknik alternatif
seperti misalnya penggunaan bronkoskopi fiberoptik atau trakeostomi degan anestesi lokal.
Harus ditekankan bahwa walaupun jalan napas telah diamankan dengan trakeotomi namun hal
tersebut tidak selamanya mencegah obstruksi jalan napas intraoperatif yang disebabkan oleh
manipulasi dan teknik pembedahan.

Premedikasi sedatif merupakan kontra indikasi pada penderita dengan obstruksi jalan
napas dengan derajat signifikan. Glycopyrrolate (0,2 – 0,3 mg IM) 1 jam sebelum pembedahan
terbukti dapat mengurangi sekresi, sehingga memfasilitasi visualisasi jalan napas.

TEKNIK ANESTESI

Pada dasarnya pemilihan tehnik anestesi baik regional maupun umum tidak mempunyai
kekhususan tertentu pada pembedahan daerah leher kepala dengan derajat penyulitnya tehnik
manapun bisa digunakan walaupun tehnik anestesi umum lebih menguntungkan karena
pertimbangan penguasaan jalan nafas yang optimal. Sebaiknya kita harus menguasai kesulitan
pengelolaan jalan nafas yang harus sudah diprediksi dan mampu menguasai algoritmanya,
sebaliknya pada pembedahan abdomen ke bawah bisa digunakan regional anestesi. Tehnik
intubasi yaitu menyisipkan suatu ETT ke dalam trakea sudah menjadi suatu rutinitas yang
dilakukan pada anestesia umum. Intubasi bukan suatu prosedur bebas risiko, bagaimanapun, dan
tidak semua pasien menerima anesthesia umum dan memerlukan ETT, tetapi suatu ETT sering

4
ditempatkan untuk melindungi jalan nafas untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi
diindikasikan untuk pasien-pasien yang resiko untuk terjadi aspirasi dan bagi mereka yang
menjalani prosedur-prosedur yang berhubungan dengan operasi didaerah dan kepala dan leher.
Mask Ventilasi atau ventilasi dengan LMA biasanya merupakan prosedur memuaskan untuk
prosedur minor yang singkat atau jika dibutuhkan karena kesulitan intubasi. Berikut algoritma
pada pengelolaan difficult Airway.

Gambar 1 Algoritma Diffucult Airway

5
Gambar 2 Algoritma Difficult Intubation

6
Gambar 3 Etiology Difficult Intubation

Gambar 4 Perbedaan Anatomi Dan Problem Intubasi Pada Anak

7
Tehnik anestesi umum

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan tehnik khusus pada pasien dewasa maupun anak, hal
utamanya adalah secara cepat dan bijak dalam pengelolalaan jalan nafas dengan menguasai
anatomi jalan nafas, dengan intubasi ETT.

Anestesi Umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler, subkutan, per-
oral, per-ektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan intravena.
Teknik Anatesi Umum inhalasi bisa dilakukan nafas spontan dengan sungkup muka, nafas
spontan dengan laringeal mask, nafas spontan dengan ( Naso/Oropharyngeal Air Way ) atau
nafas kendali di intubasi. Pada anastesi umum terdapat trias anastesi yaitu hipnotik ( hilang
kesadaran ), Analgetik dan Relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental,
analgetik dapat dilakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motoris.
Agen volatil berhubungan dengan modulasi kekebalan dan berpotensi meningkatkan
kemampuan metastasis tumor. Mekanisme yang mungkin adalah penurunan aktivitas sel NK,
interferensi dengan aktivitas antigen limfosit, dan induksi apoptosis pada limfosit-T dan limfosit-
B. Selain itu, agen volatil mungkin memiliki efek langsung pada sel kanker. Zat-zat non-volatile
seperti gas anestetik non-volatil nitrous oxide (N2O) dan agen anestetik intravena (ketamine,
thiopentone, propofol) sedang diselidiki untuk efek modulasi kekebalan dan efek potensial pada
kekambuhan kanker. Ini ditentukan dalam penelitian bahwa ketamin dosis rendah menekan
sitotoksisitas NK dan menghambat produksi sitokin pro-inflamasi (IL-6 dan TNF-a). Sebagai
akibatnya terjadi penekanan kekebalan yang dikaitkan dengan kekambuhan kanker. Namun,
propofol mungkin memiliki efek antikanker. Berbagai penelitian yang dilakukan secara in vitro
menetapkan banyak mekanisme bagaimana propofol bertindak sebagai agen antikanker. Propofol
dapat menghambat pembesaran ukuran tumor, viabilitas sel, menginduksi apoptosis sel, atau
menghambat invasi dan angiogenesis kanker. Opioid memiliki efek yang berbeda pada respon
imun dan alasannya tidak jelas. Jalur opioid endogenus diperkirakan menyebabkan efek
antikanker sedangkan opioid eksogen diyakini memiliki efek pro-kanker. Endorphin
meningkatkan NK-sel sitotoksisitas dan mendukung sitokin anti-inflamasi. Oleh karena itu
endorphin dianggap sebagai agen terapeutik antikanker. Opioid eksogen menekan fungsi

8
kekebalan tubuh. Mereka menghambat fungsi kekebalan humoral dan dimediasi sel dan
meningkatkan laju pertumbuhan tumor.
Indikasi Anatesi umum adalah:

1. Infant dan anak-anak.


2. Operasi yang luas.
3. Pasien dengan kelainan mental.
4. Bila pasien menolak anestesi lokal.
5. Operasi yang lama.
6. Operasi dimana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan.
7. Pasien dalam terapi anti coagulant.
8. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal.
Hal berikut dibawah ini dibahas sedikit tentang metode induksi sebelum intubasi pada pediatri
antara lain;

Inhalasi

Metode ini sering digunakan untuk bayi dan anak sampai usia 5 tahun. Besarnya
konsentrasi zat anestesi volatil dalam jaringan otak, jantung dan otot pediatrik lebih cepat
tercapai dibandingkan orang dewasa, sehingga koefisien partisi lebih cepat tercapai. Volatil yang
sesuai dan sering digunakan adalah halothane dan sevoflurane.

a. Pada bayi usia dibawah 6 bulan induksi dilakukan dengan cara menempelkan sungkup
muka yang sesuai dimuka bayi, kemudian dialirkan gas N2O, O2 dan gas volatil. Mulai
konsentrasi rendah dinaikkan secara bertahap sampai anak tertidur (reflek bulu mata
hilang). Sebelumnya stetoskop sudah ditempelkan didada kiri bayi untuk monitoring
denyut jantung dan pernafasan.
b. Pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi
metode steal induction dengan cara sungkup muka dipegang didepan muka anak dan
kemudian dialirkan N2O dan O2 dosis rendah. Selanjutnya dialirkan gas anestesi volatil
(misal halothane dan sevoflurane) dosis 0,5 % yang dinaikkan secara bertahap setiap 0,5
% sampai maksimal 4 % pada halothane dan 8 % pada sevoflurane bila reflek bulu mata

9
hilang sungkup muka baru dilekatkan secara hati-hati ke muka anak tanpa mengganggu
irama nafas.
c. Pada anak usia diatas 5 tahun dengan atau tanpa pemberian premedikasi dilakukan
induksi metode single breath induction. Sirkuit anestesi yang telah dipersiapkan diisi gas
N2O dan O2 dan gas volatil (misal Halothane dosis tinggi yaitu 4 vol %), Ujung sirkuit
ditutup agar gas tidak keluar. Anak disuruh menarik nafas dalam dan kemudian disusul
ekspirasi maksimal. Pada akhir ekspirasi atau awal inspirasi lagi sungkup muka langsung
diletakkan dimuka anak setelah tutup sirkuit dibuka terlebih dahulu. Biasanya anak akan
tertidur 30-60 detik kemudian.
d. Cara lain induksi pada anak yang kooperatif adalah dapat dipilih metode slow induction.
Kepada anak terlebih dahulu diperlihatkan bagaimana cara bernafas lewat sungkup muka.
Sungkup muka yang dipakai sesuai dengan pilihan anak mengenai warna, bentuk dan
aroma. Sambil mendengarkan cerita anak disuruh mulai bernafas lewat sungkup muka
yang telah dialiri gas anestesi mulai dari dosis rendah kemudian dinaikkan secara
bertahap sampai anak tertidur.
Intramuskuler

Bagi anak yang tidak kooperatif sebaiknya dipilih cara induksi lewat intramuskuler
dengan ketamin dosis 4-10 mg/kgBB. Anak akan mulai tertidur 2-5 menit kemudian. Sebaiknya
bersama ketamin diberikan pula bersama-sama sulfas atropin 0,02 mg/kgBB atau glikopirolat
0,01 mg/kgBB untuk mengurangi salivasi dan midazolam 0,2-0,55 mg/kgBB atau diazepam 0,2
mg/kgBB untuk mengurangi delirium pasca anestesi. Cara ini menimbulkan trauma yang
minimal terhadap anak dan pemisahan dengan orang tuanya lebih nyaman.

Intravena

Anak yang lebih besar dan atau kooperatif dimana pemasangan kateter vena lewat
abocath atau wing needle tidak sulit maka dapat dipilih metode intravena dengan pentotal 2,5-5%
dosis 4-6 mg/kgBB, atau propofol dosis 2,5-3,5mg/kgBB. Keuntungan induksi anestesi intravena
selain berlangsung cepat juga lancar tidak ada ingatan pada anak seperti dicekik dan bau gas
anestesi terutama yang sudah dipasang jalur vena.

10
Tehnik induksi pada dewasa tidak banyak perbedaan akan tetapi karena perbedaan
anatomi dan struktur anatomi yang lebih menguntungkan pada pasien normal dibanding pada
anak yang normal, akan tetapi hal halnya jika memang ada penyulit seperti kelainan pada daerah
kepala dan leher. Pertimbangan kesulitan intubasi intubasi yang dapat diprediksi atau tidak dapat
diprediksi,

Tehnik regional anestesi

Tehnik anestesi regional dengan mempertimbangkan indikasi kontraindikasi serta


pemilihan obat untuk durasi kerja obat serta efek farmakologisnya. Banyak tersedia pilihan obat
untuk menghasilkan anestesi spinal; procaine, (Novocaine), lidocaine (Xylocaine) mevipacaine
(Carbocaine), tetracaine (Pontocaine), ropivacaine (Neuropin), (S)-(—)- levobupivacaine
(Chirocaine), dan bupivacaine (Marcaine atau Sensorcaine). Obat-obat ini menghasilkan anestesi
spinal yang berkisar antara 45 hingga 400 menit dan memberikan dua durasi aksi klinis: lebih
pendek (<90 menit) dan lebih panjang (>90 menit).

Anestesi regional dapat mempengaruhi tingkat kekambuhan kanker. Lidokain dan


bupivakain dapat menghambat jalur transkripsi yang terkait dengan inisiasi dan metastasis
kanker dan dengan penurunan proliferasi sel induk mesenchymal. Anestesi regional dapat
meningkatkan ekspresi beberapa sitokin yang diekspresikan saat perioperatif termasuk IL-4 dan
IL-10 yang dapat secara langsung atau tidak langsung mengurangi respon proinflamasi yang
diinduksi oleh pembedahan dan mengurangi tingkat komplikasi pasca operasi. Alternatif lain,
anestesi lokal dapat secara langsung menstimulasi aktivitas sel pembunuh alami (NK-sel). Sel
NK penting dalam penghancuran sel tumor.
 Indikasi : T4 ke bawah
 Indikasi kontra : - absolut

- relatif

 Komplikasi; Segera : - hipotensi Lanjut: - nyeri kepala

- total spinal - nyeri punggung

- reaksi toksik sistemik - retensi urin

11
- reaksi alergi - infeksi

- hipotermi - cedera saraf

 Pengelolaan : - antisipasi penyebab

- antisipasi patofisiologi

- dukungan ABC

Tabel 1 Dosis Obat Lokal Anestesi

Anestesi spinal bupivacaine sering dilakukan dengan 0.75% dan 0.5% larutan dalam
dextrose dan dengan bentuk-bentuk isobaric obat tersebut, 0.5% dan 0.75% larutan. Perbedaan
klinis antara 0.5% tetracaine dan 0.75% bupivacaine sebagai larutan hyperbaric kecil, meskipun
bupivacaine lebih banyak digunakan daripada tetracaine. Ketika 0.5% “isobaric” dan 0.75%
bupivacaine dibandingkan, massa obat (dosis milligram) yang diinjeksikan lebih penting dalam
menentukan tinggi blok terakhir daripada volume obat isobaric yang diberikan. Bupivacaine
cocok untuk prosedur yang berakhir sampai 2 hingga 2.5 jam.

12
Ropivacaine merupakan obat anestesi local amide yang sering digunakan untuk anestesi
epidural karena bukti eksperimental menunjukkan bahwa obat ini efeknya lebih kecil dari
bupivacaine pada sistem konduksi cardiac. Levobupicaine adalah (S) enantiomer terisolasi dari
bupivacaine dan bisa digunakan sebagai obat anestesi spinal. Data klinis menunjukkan bahwa
obat ini adalah bupivacaine ketika digunakan untuk anestesi spinal, dan untuk dosis yang
berkisar dari 4 hingga 12 mg,

1. PEMBEDAHAN ONKOLOGI/PLASTIK PADA DAERAH KEPALA-LEHER DAN


MULUT

A.Bedah nasal septoplasti dan daerah mulut

Pertimbangan Pre-operative

Pasien yang akan menjalani bedah nasal mungkin mempunyai derajat obstruksi nasal
yang disebabkan oleh polip, deviasi septum, atau kongesti dari jaringan mukosa oleh infeksi.
Begitu juga pada bedah tumor pada mulut, Ini akan menyebabkan kesulitan untuk ventilasi
dengan sungkup muka, yang sebagian akan dikombinasikan dengan kesulitan ventilasi atau
akibat yang lain seperti obesitas ataupun deformitas dari maksilofasial.

Gambar 5 Adamantinoma Pada Os Mandibula

Karena selaput mukosa nasal merupakan jaringan yang kaya akan pembuluh darah,
wawancara preoperative harus lebih diarahkan kepada penggunaan obat seperti penggunaan
aspirin ataupun kelainan pembekuan darah yang lain.

13
Managemen intraoperatif

Banyak prosedur pembedahan pada daerah hidung yang memberikan hasil memuaskan
bila dilakukan dengan anesthesia local dan pemberian sedasi. Nervus etmoid anterior dan Nervus
sphenopalatinum merupakan saraf sensorik untuk septum nasal dan dinding lateral. Keduanya
dapat dihambat dengan meletakkan pak di hidung dengan aplikator yang telah direndam dengan
obat anestesi local. Obat anestesi topical harus tetap diletakkan di tempat sampai paling cepat 10
menit sebelum dilakukan pembedah. Penambahan dengan injeksi submuksa oleh obat anestesi
local seringkali diperlukan terlebih Apabila terdapat jaringan parut dari operasi sebelumnya.
Gunakan larutan yang mengandung epinephrine ataupun kokain (biasanya 4 atau 10% cairan)
yang akan membuat mukosa nasal mengecil dan berpotensi untuk mengurangi kehilangan darah
intraoperatif. Kokain intra nasal (dosis maksimal 3mg/kg) basanya akan cepat diserap ( level
maksimal tercapai dalam 30 menit) dan dapat menyebabkan depresi system kardiovaskular.

Anesthesi umum biasanya dilakukan untuk prosedur operasi ini. Pertimbangan yang
khusus pada induksi anesthesia umum adalah penggunaan jalan nafas secara oral dan nasal untuk
pembedahan pada daerah mulut selama dilakukan ventilasi dengan sungkup muka, untuk
menghindari efek obstruksi dari rongga hidung, lalu penggunaan pipa RAE (right angle
endotracheal ) dan menggunakan tempat lengan ke samping pasien. Karena kedekatan lapangan
bedah dengan mata, maka sangat dianjurkan untuk menutup mata pasien untuk menghindari
abrasi kornea. Pengecualian dilakukan bila melakukan bedah sinus endoskopis, yaitu apabila
operator menginginkan untuk memeriksa pergerakan bola mata secara periodic selama
melakukan diseksi karena kedekatan dari rongga sinus dan tulang orbita. Selain itu NMBAs juga
dianjurkan karena komplikasi neurologis dan ophtalmis juga mungkin muncul apabila pasien
bergerak selama operasi dari sinus.

Terdapat beberapa teknik untuk meminimalisir kehilangan darah intra operatif seperti
penggunaan kokain dan juga obat local anestesi yang mengandung epinephrine, lalu
mempertahankan posisi kepala yang sedikit lebih tinggi, lalu juga menggunakan teknik hipotensi
yang ringan. Selain itu penggunaan pack pada posterior faring juga digunakan untuk
meminimalisir resiko aspirasi obat. Selain resiko-resiko itu, seorang ahli anestesi juga harus siap
untuk kemungkinan kehilangan darah yang besar, biasanya terjadi pada reseksi pada tumor
vascular seperti juvenile nasofaringeal angiofibroma.

14
Secara ideal extubasi harus dilakukan seacara halus, dengan minimalnya terjadi batuk
ataupun spasme jalan nafas. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intravena dan akan
menyebabkan perdarahan pasca operasi. Sayangnya strategi untuk mencapai tujuan itu akan
meningkatkan resiko terjadinya aspirasi.

B.Bedah pada daerah maksilofasial

Rekonstruksi maksilofasial seringkali diperlukan untuk mengkoreksi efek dari trauma


(misal fraktur LeFort) atau malformasi masa perkembangan, untuk operasi kanker radikal (missal
mandiblektomi), atau untuk pembedahan labio-palatoscisis.

Gambar 6 Labiopalatoschisis

Atau bedah lainnya pada mulut seperti haemangioma pada bibir, lidah, serta pada daerah faring.

Gambar 7 Haemangimo dan Angiofibroma.

Prosedur orthognatik (missal osteotomi LeFort, osteotomi mandibular) untuk maloklusi


skeletal memperlihatkan teknik operasi dan tindakan anestesi yang sama.

Pertimbangan pra operatif

Pasien yang akan menjalani operasi rekonstruksi maksilofasial atau prosedur operasi
seringkali memperlihatkan tantangan jalan nafas yang terbesar bagi anestesiologis. Evaluasi jalan
nafas pra operatif harus detail dan menyeluruh. Perhatian utama difokuskan pada bukaan rahang,

15
kecocokan mask, mobilitas leher, mikrognatia, retrognatia, protrusi maksilla (overbite),
makroglossia, kelainan gigi, patensi saluran hidung, dan adanya lesi dan debris intraoral. Jika
terdapat tanda-tanda masalah yang dapat diantisipasi pada ventilasi sungkup atau intubasi trakea,
jalan nafas harus diamankan sebelum dilakukan induksi. Hal ini mungkin akan melibatkan
intubasi nasal dengan fiberoptik, intubasi oral fiberoptik, atau trakheostomi. Intubasi nasal
dengan preformed tube atau ETT yang lurus dengan konektor bersudut fleksibel biasanya
digunakan pada operasi gigi dan mulut. ETT dapat diarahkan cephalad dan berhubungan dengan
pipa nafas yang berada di dekat kepala pasien. Selain itu, intubasi nasal harus hati-hati pada
fraktur LeFort II dan III karena kemungkinan adanya fraktur basis kranii dan rhinorea LCS.

Manajemen Intraoperatif

Operasi rekonstruksi dan orthognatik mungkin berhubungan dengan kehilangan sejumlah


darah yang signifikan. Strategi untuk meminimalisir pendarahan meliputi posisi kepala sedikit
terangkat, hipotensi terkontrol, dan infiltrasi lokal dengan larutan epinefrin. Karena lengan
pasien biasanya berada dekat daerah operasi, maka setidaknya terdapat dua iv – line selama
operasi. Hal ini penting terutama jika satu line digunakan untuk memasukkan obat-obat anestetik
dan agen hipotensif. Jalur arteri sangat membantu pada keadaan/ kasus dengan perdarahan yang
banyak, apalagi operator bersandar di lengan pasien yang mungkin akan mempengaruhi
pengukuran tekanan darah non-invasif. Pack orofaring seringkali ditempatkan untuk
meminimalisir sejumlah darah atau debris memasuki daerah laring dan trakhea.

Karena proksimalitas jalan nafas pada lapangan operasi, posisi anestetis lebih jauh dari
hal ini meningkatkan kecenderungan adanya masalah pada jalan nafas intraoperatif, seperti ETT
menjadi kinking, diskoneksi, atau perforasi oleh instrumen bedah. Monitoring jalan nafas end-
tidal CO2, tekanan inspirasi puncak, dan suara nafas stetoskop esofageal mengansumsikan
peningkatan kepentingan pada beberapa kasus.

Pada akhir operasi, pack orofaring harus diambil kembali dan faring di-suction.
Walaupun tidak jarang terdapat debris campur darah selama suction inisial, usaha berulang harus
dilakukan hingga kurang produktif. Jika terdapat kemungkinan edema paska-operatif yang
melibatkan struktur yang potensial dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas (misal, lidah),
pasien harus diobservasi secara hati-hati dan kemungkinan dapat diintubasi kembali. Selain itu,

16
ekstubasi dapat dilakukan pada pasien yang telah sadar penuh dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan kontinu. Pasien dengan fiksasi intermaksillar (cth, maxillomandibular wiring) harus
tersedia alat-alat pemotong yang tepat pada sisi tempat tidur jika tiba-tiba terjadi gejala muntah
atau kedaruratan jalan nafas.

C.Bedah Keganasan Pada Daerah Leher dan kepala

Bedah dari keganasan pada leher dan kepala mencakup laryngektomi, glossektomi,
pharyngektomi, parotidectomy, hemimandibulectomy, diseksi radikal pada leher, kistik
hygroma. Pemeriksaan endoskopi biasanya akan mengurangi prosedur di atas, selain juga
ketepatan waktu trakeostomi juga bergantung dari toleransi jalan nafas dari pasien. Beberapa
prosedur juga termasuk bedah rekontruksi, seperti transplant dari flap otot mikrovaskuler.

Gambar 8 Kistik Higroma

Pemeliharaan Anesthesi

Operator teradang akan meminta untuk tidak memakai obat pelumpuh otot untuk pada
diseksi darerah leher atau parotidektomy untuk mengidentifikasi nervus dengan stimulasi
langsung dan mempertahankan mereka. Teknik hipotensi ringan juga sangan menolong untuk
mengurangi kehilangan darah. Tekanan perfusi dari otak akan sangat ditoleransi, bila tumor
melibatkan arteri karotis ( yang mengurangi tekanan arteri serebral) atau vena jugularis (
menngkatkan tekanan vena serebral). Kemudian posisi head-up juga akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya emboli udara pada vena. Sebagai akibat reanastomosis dari flap
mikrofaskular, tekanan darah juga harus dipelihara pada baseline tekanan darah pasien. Obat
vasokonstrikisi seperti phenylephrine juga harus dihindari karena walaupun tekanan darah
sistemik meningkat, perfusi dari flap akan berkurang dikarenakan oleh vasokonstriksi dari graft
pembuluh darah. Selain itu, vasodilator seperti sodium nitroprusside atau hydralazine juga harus
dihindari untuk mencegah terjadinya penurunan tekanan perfusi.

17
D.Bedah pada tyroid

Iodine dari makanan diabsorbsi di saluran cerna, diubah menjadi ion iodida, dan secara
aktif ditransport ke kelenjar tiroid. Setelah sampai di kelenjar tiroid, iodida dioksidasi kembali
menjadi iodine, yang berikatan dengan asam amino tirosin. Hasil akhirnya adalah 2 hormon
yaitu Triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) yang berikatan dengan protein dan disimpan di dalam
tiroid. Meskipun kelenjar tiroid lebih banyak melepaskan T4 daripada T3, namun potensi T3
lebih kuat dan kurang terikat protein. Kebanyakan T3 dibentuk di perifer dari T4 yang sebagian
terdeiodinasi. Mekanisme umpan balik mengatur sintesis hormon tiroid dengan melibatkan
hipotalamus (thyrotropin-releasing hormone), hipofisis anterior (thyroid stimulating hormone
atau TSH), dan autoregulasi (konsentrasi iodine tiroid).

Gambar 9 Ca Tiroid

Hormon tiroid meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak dan faktor penting
dalam menentukan laju metabolisme dan pertumbuhan. Peningkatkan laju metabolisme
berhubungan dengan peningkatkan konsumsi oksigen dan produksi CO2, dan peningkatan
ventilasi semenit. Laju jantung dan kontraktilitas juga meningkat, disebabkan perubahan
adrenergic-receptor fisiologi sebagai respons terhadap peningkatan kadar katekolamin.

Manifestasi klinis

Kadar hormon tiroid yang berlebih dapat disebabkan penyakit Graves, toxic multinodular
goiter, tiroiditis, tumor hipofisis yang mensekresi TSH, adenoma tiroid, atau overdosis terapi
hormon tiroid. Manifestasi klinis hormon tiroid yang berlebih antara lain penurunan berat badan,

18
intoleransi terhadap panas, kelemahan otot-otot, diare, refleks hiperaktif, dan nervousness.
Dapat disertai tremor halus, eksoftalmus, atau goiter, terutama jika penyebabnya adalah penyakit
Graves. Gejala kardiak bervariasi mulai dari sinus takikardia sampai atrial fibrilasi dan gagal
jantung kongestif. Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan dengan hasil hormon tiroid yang
abnormal, dapat berupa peningkatan total (terikat dan bentuk bebas) tiroksin serum, kadar T3
serum, dan kadar free (tidak terikat) tiroksin.

Terapi medikamentosa untuk hipertiroidisme adalah obat-obatan yang menginhibisi


sintesis hormon (contoh, propiltiourasil, methimazol), mencegah pelepasan hormon (kalium,
natrium iodida), atau menutupi gejala hipereaktif adrenergik (propanolol). Antagonis ß
adrenergik tidak mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid, namun menurunkan konversi T4 menjadi
T3 di perifer. Iodine radioaktif menghancurkan fungsi sel-sel tiroid, namun pemberiannya tidak
dianjurkan pada pasien hamil karena dapat menimbulkan hipotiroidisme. Tiroidektomi subtotal
sekarang ini jarang menjadi pilihan sebagai terapi alternatif obat-obatan. Pembedahan biasanya
diindikasikan pada pasien dengan kelenjar tiroid multinodular toksik yang besar atau adenoma
toksik soliter. Penyakit Graves biasanya diterapi dengan obat-obatan tiroid atau radioiodine.

Pertimbangan Anestesia

Preoperatif

Semua prosedur pembedahan elektif, termasuk subtotal tiroidektomi, harus ditunda


sampai kondisi pasien eutiroid dengan terapi medikamentosa. Penilaian preoperatif harus
meliputi tes fungsi tiroid yang normal, dan laju jantung 85x/menit pada kondisi istirahat menjadi
patokan yang direkomendasikan. Pilihan utama untuk sedasi preoperatif adalah benzodiazepine.
Obat-obatan antitiroid dan antagonis ß adrenergik diteruskan sampai pagi sebelum operasi. Jika
pembedahan bersifat emergensi, sirkulasi hiperdinamik dapat dikontrol dengan titrasi esmolol.

Intraoperatif

Fungsi kardiovaskular dan temperatur harus dipantau dengan ketat pada pasien dengan
riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi dengan baik, karena eksoftalmus pada
penyakit Graves meningkatkan risiko terjadinya abrasi kornea dan ulserasi. Meja operasi dapat
diposisikan elevasi 15-20 derajat untuk membantu drainase vena dan mengurangi perdarahan,

19
meskipun meningkatkan risiko terjadinya emboli udara ke vena. Penggunaan ETT non kinking
dengan ujung melewati kelenjar tiroid akan mengurangi risiko terjadinya obstruksi jalan napas.

Obat-obat seperti ketamin, pankuronium, indirect-acting adrenergic agonist, dan obat-


obat lain yang menstimulasi sistem simpatis dihindari karena kemungkinan menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan laju jantung yang berlebih. Agen induksi pilihan adalah
thiopental karena memiliki aktivitas antitiroid pada dosis tinggi. Pasien hipertiroid dapat
mengalami hipovolemia kronis dan vasodilatasi dan rentan mengalami respons hipotensi yang
berlebihan saat induksi. Kedalaman anestesia yang cukup sebelum laringoskopi intubasi dan
stimulasi bedah sangat penting, untuk mencegah takikardia, hipertensi, dan ventrikular disritmia.

Pasien hipertiroid mengalami biotransformasi obat yang lebih cepat dan secara teori lebih
rentan mengalami toksisitas hepar akibat halothane atau toksisitas ginjal akibat enflurane.
Penggunaan pelumpuh otot harus berhati-hati karena tirotoksikosis berhubungan dengan insidens
miopati dan myasthenia gravis. Hipertiroidisme tidak meningkatkan kebutuhan anestesia, dalam
hal ini tidak ada perubahan konsentrasi alveolar minimal (MAC).

Komplikasi Pasca Operasi:

Ancaman paling serius pada pasien hipertiroid periode pasca operasi adalah thyroid
storm, yang ditandai dengan hiperpireksia, takikardia, perubahan kesadaran (agitasi, delirium,
koma), dan hipotensi. Hal ini biasanya terjadi 6-24 jam pasca operasi namun dapat juga terjadi
intraoperatif, menyerupai hipertermia maligna. Namun tidak seperti hipertermia maligna,
thyroid storm tidak disertai rigiditas otot rangka, peningkatan kreatin kinase, atau asidosis
respiratorik dan laktat yang bermakna. Terapinya meliputi hidrasi, kompres dingin, infus
esmolol atau propanolol intravena (dengan dosis titrasi 0.5mg sampai tercapai laju jantung di
bawah 100x/menit), PTU/propiltiourasil (250mg tiap 6 jam per oral atau NGT) diikuti dengan
natrium iodida (1gr iv dalam 12 jam), serta koreksi faktor presipitasi lainnya (infeksi, dll).
Pemberian kortisol (100-200mg tiap 8 jam) direkomendasikan untuk mencegah komplikasi
supresi kelenjar adrenal. Thyroid storm adalah kasus emergensi yang membutuhkan manajemen
agresif dan pemantauan ketat.

Tiroidektomi subtotal berhubungan dengan beberapa komplikasi bedah yang serius,


seperti kelumpuhan nervus laringeal rekuren dengan akibat suara serak (unilateral) atau afonia

20
dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi saat akan
dilakukan ekstubasi dalam. Kegagalan salah satu atau kedua pita suara untuk bergerak
membutuhkan intubasi dan eksplorasi lebih lanjut. Terjadinya hematoma dapat menyebabkan
gangguan jalan napas akibat penekanan/ kolapsnya trakea pada pasien dengan trakeomalacia.
Diseksi sampai ke jaringan lunak leher akan menyebabkan kesulitan intubasi. Luka operasi
harus segera dibuka untuk mengevakuasi bekuan darah, dan dilakukan penilaian lebih lanjut
apakah diperlukan reintubasi. Hipoparatiroidisme akibat terangkatnya kelenjar paratiroid secara
tidak sengaja dapat menyebabkan hipocalcemia akut dalam 24-72 jam pasca operasi.
Komplikasi lain yang perlu diwaspadai dari eksplorasi leher adalah pneumothoraks.

Komplikasi saat pembedahan

Paling sering adalah perdarahan dan ketidak stabilan sistem kardiovaskular untuk
persiapan transfusi harus segera di persiapkan.

Transfusi

Kehilangan darah dapat terjadi cepat dan substansial. Keputusan untuk melakukan
trasnfusi harus diseimbangkan dengan problem medis pasien dengan kemungkinan terjadinya
keganasan pasca trafnsfusi sebagai akibat dari supresi imun. Pemakaian Faktor rheologis lebih
disukai karena akan menyebabkan turunnya hematokrit ketika bedah freeflap mikrovaskuler
dilakukan. Obat dieresis sebaiknya dihindari selama bedah free-flap microvasculer untuk
menyediakan perfusi yang adekuat pasca operasi.

Ketidakstabilan Kardiovaskuler

Manipulasi dari sinus karotikus dan ganglion stelata selama bedah diseksi radikal leher
(sebelah kanan lebih daripada kiri) telah diasosiasikan dengan variasi tekanan darah yang lebar,
bradikardia, aritmia, sinus arrest, dan pemanjangan qt interval. Infiltasi dari selaput pelindung
karotis dengan obat anestesi local biasanya akan memperbaiki problem tersebut. Diseksi bilateral
pada leher akan menghasilkan terjadinya hipertensi postoperasi dan juga kehilangan dari
pengaturan hipoksik karena kehilangan persarafan dari sinus karotis dan tubuh.

21
2.PEMBEDAHAN FLAP

Cangkok kulit merupakan prosedur pembedahan di mana kulit atau kulit pengganti
ditempatkan di atas luka bakar atau non-penyembuhan luka.Sebuah cangkok kulit digunakan
untuk secara permanen menggantikan kulit yang rusak atau hilang atau untuk memberikan luka
sementara menutupi. Ini mencakup diperlukan karena kulit melindungi tubuh dari kehilangan
cairan, membantu dalam pengaturan suhu, dan membantu mencegah penyakit yang disebabkan
bakteri atau virus memasuki tubuh. Kulit yang rusak secara ekstensif oleh luka bakar atau non-
penyembuhan luka dapat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan pasien.

Gambar 10 Skin Flap

Prinsip penanganan intra operatif pada flap


- Mempertahankan cardiac output yang tinggi
- Tekanan darah dipertahankan dalam keadaan normal (systole > 100 mmHg)
- Menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik
- Normothermia
- Mempertahankan output urine (> 1 ml/kg/jam)
- Analgetik yang adekuat
- Hematokrit 30-35%
- Monitoring aliran darah pada flap

22
3.BEDAH REKONTRUKSI PAYUDARA

Konsep rekonstruksi payudara secara umum terdiri atas dua langkah utama, yaitu
rekonstruksi payudara dan rekonstruksi areola-puting. Rekonstruksi payudara dapat memakai
bahan implan ataupun jaringan tubuh pasien sendiri. Rekonstruksi areola-puting dilakukan
setelah rekonstruksi payudara dan seluruh terapi adjuvan terhadap kanker selesai. Kadang
diperlukan langkah ketiga, yaitu rekonstruksi payudara kontralateral. Namun langkah ini hanya
untuk kepentingan estetik, yaitu agar kedua payudara tampak simetris.

Gambar 11 Rekonstruksi Payudara dengan Implan atau Tissue Expander

Figure 1 Figure 2 Figure

Segera setelah operasi, implan atau jaringan untuk tissue expander dicangkokkan
submuskular (di bawah m.pectoralis major dan m.serratus anterior gambar1). Jaringan ini
kemudian dipompa dengan larutan NaCl 0.9% sampai 20% dari volume implan yang diharapkan.
Rekonstruksi payudara dengan TRAM flap (menggantung)

TRAM adalah singkatan dari transverse rectus abdominis myocutaneous. Rekonstruksi


payudara dilakukan dengan membuat flap yang berasal dari sebagian serat m.rectus abdominis.
Lalu flap dijahitkan di bawah kulit menuju daerah yang mengalami defek otot pada daerah
sekitar payudara. Lemak m.rectus abdominis diambil sebagian untuk membentuk massa
payudara. Kemudian fascia disatukan (lihat fascial closure pada gambar) untuk meminimalisasi
komplikasi hernia.

23
Di sini fascia m.rectus abdominis dibuka dan serabut otot diambil sebagian pada perut
bagian bawah, untuk membentuk flap. Setelah itu flap dicangkokkan pada daerah payudara.
Karena flap masih mengandung pembuluh darah epigastrika inferior dalam, maka
penyambungan pembuluh darah (anastomosis) perlu dilakukan terhadap pembuluh darah
torakalis interna. Tindakan ini memiliki beberapa risiko; misalnya hernia (akibat pengambilan
serabut otot), risiko anestetik (karena waktu operasi yang lama), dan trombosis (sumbatan
sewaktu menyambung pembuluh darah).

Gambar 12 Rekonstruksi Payudara dengan Flap M.Latissimus Dorsi, Tissue Expander,


dan Implan.

Metode rekonstruksi kombinasi. Flap diambil dari m.latissimus dorsi (nama otot dari
punggung), kemudian dicangkokkan pada otot dada. Selanjutnya dimasukkan tissue expander di
bawah otot dan pompa sampai berukuran 20% dari volume yang ditargetkan.

Ukuran payudara ditentukan oleh gen, hormon, bingkai dan berat badan. Untuk sebagian
besar perempuan, ukuran payudara mereka proporsional untuk kerangka tubuh mereka. Namun,
beberapa wanita memiliki payudara sangat besar, dan ini dapat menyebabkan tekanan psikologis
dan ketidaknyamanan fisik.Mammoplasti adalah prosedur pembedahan di mana kelebihan
lemak, jaringan kelenjar dan kulit akan dihapus untuk mengurangi berat dan volume payudara.

24
Managemen intraoperatif

General Anestesi

Propofol merupakan obat pilihan karena sifatnya cepat pulih sadar dengan kejadian
PONV yang kecil. Intubasi bukan hal yang kontra indikasi. Pemeliharaan anestesi dgn
volatile agent, bolus short acting opioid atau drip anestesi intravena. Pemilihan pelumpuh otot
dapat digunakan Mivacurium (short acting), juga dapat digunakan intermediate acting
(atracurium, vecuronium dan rocuronium).

Drip succinylcholine dapat diberikan utk operasi yg sangat singkat yang membutuhkan
pelumpuh otot. Monitoring intraoperative sama seperti pada inpatient surgery (HR, tensi, SpO2
dan balance cairan).

Regional anestesi

Bisa dipertimbangkan dengan blok paravertebra thorakal jika operasi payudara hanya
dilakukan pada salah satu sisi dengan waktu operasi yang singkat, namun pada kenyataannya
sering kali operasi rekontruksi payudara memerlukan waktu yang lama.

4.BEDAH CRANIOFACIAL

Tipe pembedahan ini bertujuan untuk mengoreksi deformitas yang komplek dari kranium,
orbita, dan wajah. Abnormalitas ini yang memerlukan pembedahan craniofacial dapat bersifat
kongenital atau didapat, yang didapat bisa berasal dari trauma atau akibat bedah ekstensif dari
pengangkatan tumor.

Anomali kongenital mendominasi prosedur craniofacial pada kelompok usia yang lebih
muda. Hal ini termasuk:

- Craniosynostosis: satu atau lebih dari sutura tulang bersatu secara prematur
- Craniofacial synostosis: osifikasi sutura prematur yang berhubungan dengan
abnormalitas dari tulang dasar dan permukaan wajah.

25
Contohnya adalah:

- Celah facial yang melibatkan orbita


- Fronto- atau nasoencephalocele pada garis tengah
- Craniostenosis
- Sindroma Crouzon
- Sindroma Apert
- Sindroma Treacher-Collins
Gejala klinik di bawah ini mungkin dapat muncul:

- Hipertensi intrakranial:
 Gagal penglihatan, juling
 Kelumpuhan syaraf kranial
 Kemunduran mental
- Hipoplasia maksila:
 Abnormalitas jalan nafas
 maloklusi
- Mata:
 Hipertelorisma (peningkatan jarak antara orbita)
 Orbita yang dangkal, ekso orbita
 Ulserasi kornea, keratitis
Pembedahan dilakukan pada pasien untuk mencegah atau mengurangi hipertensi
intrakranial. Pemajuan fronto orbital dikerjakan secepat mungkin untuk meningkatkan volume
intrakranial yang dengan demikian memberi kesempatan bagi pertumbuhan otak dan
menghentikan retardasi mental.

Pengelolaan optimal pada pasien membutuhkan pendekatan multi disiplin termasuk


bedah plastik, bedah syaraf, ophthalmologist, bedah mulut, ahli pediatri dan juga ahli anesthesi.
Ahli anesthesi sebaiknya berpengalaman dan benar-benar mengetahui anesthesi pada pediatri,
anesthesi neuro, dan pengelolaan jalan nafas.

26
Pertimbangan Anestesi

Masalah yang dihadapi oleh ahli anesthesi termasuk hal-hal di bawah ini:

1. Anesthesi pediatri dan masalah-masalahnya


2. Hipertensi intrakranial
3. Kelainan kongenital yang berhubungan
4. Masalah jalan nafas yang potensial:
 Mengamankan jalan nafas selama intubasi
 Mempertahankan patensi jalan nafas dan integritas selama pembedahan
 Obstruksi jalan nafas postoperatif sebagai sekunder dari perdarahan,
pembengkakan atau sekresi
5. Prosedur operasi biasanya lama dan komplek, menyangkut rekonstruksi total dari
mid-face, orbita dan kranium.
6. Kehilangan darah biasanya masif dan sulit untuk dihitung.
Pedoman Praktek

- Si anak dinilai dan masalah yang potensial berhubungan dengan pembedahan


diidentifikasi. Perencanaan dibuat untuk pengelolaan postoperatif di ruang rawat
intensif (ICU). Darah dan plasma dipersiapkan selama prosedur pembedahan.
- Anesthesia diinduksi dengan nitrous oxide, oksigen dan halothane. Pendekatan untuk
pengelolaan jalan nafas sama dengan pembedahan celah bibir/palatum. Endotracheal
tube sebaiknya menempel dengan aman pada tempatnya.
- Akses intravena sangat penting dalam mengantisipasi perdarahan masif. Sebaiknya
terdapat minimal 2 jalur perifer yang bebas: satu untuk cairan, yang lainnya untuk
darah dan plasma.
- Lakukan pengawasan setelah si anak dalam keadaan teranesthesi dan sebelum operasi
dimulai. Pengawasan termasuk :
 Jalur intra arterial
 Jalur vena sentral melalui vena femoralis
 ECG
 Pulse oxymeter

27
 Capnograph
 Suhu
 Stetoskop oesophageal atau prekordial
 Keluaran urin lewat kateter urin indwelling
- Lakukan upaya untuk menjaga panas tubuh dan mengurangi derajat hipotermia pada
anak.
- Pertahankan anesthesi dan pelemas otot. Atur ventilasi untuk memproduksi hipokarbi
ringan pada PaCO2 30-35 mmHg. Pastikan oksigenasi yang baik. Kirim contoh darah
untuk pemeriksaan analisa gas darah, elektrolit dan hematokrit.
- Terapi cairan berpedoman pada tanda klinik, denyut nadi, tekanan darah, tekanan vena
pusat, keluaran urin, pengukuran hematokrit. Kehilangan darah biasanya masif dan
sulit diperkirakan. Persiapkan transfusi sesegera mungkin. Hangatkan darah sebelum
transfusi untuk mengurangi masalah yang disebabkan hipotermia. Bila butuh transfusi
darah segera, sedot darah dengan suntikan dan berikan secara langsung melalui keran
tiga jalur.
- Untuk meminimalkan retraksi otak dan edema serebri postoperatif, bagian terbesar
otak dikurangi dengan hiperventilasi dan furosemid atau mannitol intraoperatif.
- Ventilasi pasien direncanakan di ICU pada postoperatif. Hal ini terutama bila
pembedahan berlarut-larut dan komplek, keadaan intraoperatif yang sulit, dan patensi
jalan nafas pada pasien setelah ekstubasi masih diragukan.
5. PEMBEDAHAN MIKROVASKULAR

Pembedahan mikrovaskular dilakukan untuk menyambungkan kembali jari-jari/tungkai


sama seperti “free flaps” selama rekonstruksi. Hal ini mencakup pembedahan yang lama dan
teliti dengan menggunakan mikroskop. Hasil terbaik dari ketahanan hidup graft bergantung tidak
hanya pada keahlian pembedahan tetapi juga status mikro sirkulasi dari graft.

Ahli anesthesi dapat membantu meningkatkan hasil pembedahan dengan cara:

1. Menghindari hipotermia yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi perifer


2. Memastikan hemodinamik yang stabil. Menghindari hipotensi dan hipertensi ekstrim.
3. Memastikan normokarbi dan oksigenasi adekuat
4. Kedalaman anesthesi yang adekuat untuk mencegah aktifitas simpatik berlebihan
28
5. Melakukan blokade simpatik untuk mencegah vasokonstriksi. Contohnya mencakup
blok pleksus brakhial atau blok ganglion stellate untuk pembedahan tungkai atas;
anesthesi epidural untuk pembedahan tungkai bawah.
6. Pertahankan hematokrit sekitar 30%. Transfusi berlebihan sebenarnya mengganggu
ketahanan hidup graft karena akan meningkatkan viskositas darah dan mengurangi
aliran darah pada pembuluh darah kecil; sementara anemia berat mengurangi
penghantaran oksigen ke jaringan.
7. Gunakan solusio dekstran untuk meningkatkan mikro sirkulasi.
8. Analgesi postoperatif yang adekuat. Hal ini dapat dicapai dengan teknik anesthesi
regional atau opiates secara parenteral.
6. SEDOT LEMAK

Adalah operasi bedah plastik yg paling sering dilakukan. Tindakan ini adalah tindakan
untuk membentuk tubuh yang menarik dan membentukkan tubuh tertentu yang diinginkan
seperti paha dan bokong.

Pada awal tahun 1980, sedot lemak dilakukan secara kering (tanpa cairan pembasah)
dibawah anestesi umum dengan kanul 10 mm untuk dilatasi dan kuretase. Pada suction, canister
kurang lebih 1500 ml lemak dan darah yang disedot dari ruang subcutaneous pasien. Kadang-
kadang pasien menerima tranfusi darah yang sesuai atau larutan isotonic kristaloid untuk
mengganti cairan yang hilang selama dilakukannya sedot lemak kering. Dibawah kondisi sedot
dan lemak kering 20-45% darah akan disedot, sehingga menimbulkan pendarahan intraoperatif
dan postoperative. Secara patofisiologi lipoplasty adalah pembakaran lemak dibawah permukaan
kulit pasien sehingga pasien dapat beresiko timbul dehidrasi intravaskuler dan timbul efek
hipotensi intraoperatif dan postoperative.

Pada pertengahan tahun 1980 Fodor malakukan tehnik sedot lemak superwet (rasio
perbandingan infiltrate yang disedot adalah 1:1) dan Klein memperkenalkan tehnik tumescent
(ratio infiltrat yang disedot 2-7:1) sehingga hanya 1% darah yang diaspirasi lainnya lemak.
Perkembangan tehnik ini membuat volume penyedotan menjadi lebih banyak tanpa
menimbulkan rasa nyeri dan ancaman pendarahan dan pasien dapat langsung dipulangkan tanpa
adanya disorientasi / sedasi dari efek analgetik opioid yang diberikan selama pembedahan.

29
Ada berbagai macam cairan ‘ pembasah’ meskipun semuanya tersebut berisi lidocain 1%
30 ml dari epinefrin 1:1000 dalam 1 lt RL. Tehnik ini dilakukan di instalasi bedah dibawah
pengawasan anestesi , pasien tersedasi dengan dosis fentanil minimal dan biasanya operasi tidak
nyeri selama dilakukannya tindakan karena ada efek anestesi lokal lidocain. Penambahan
epinefrin sebagai vasokonstriktor adalah untuk mengontrol jumlah pendarahan selama
intraoperatif dan postoperatif. Keuntungan tehnik ini adalah mengurangi pemberian cairan
intravena karena penggantian cairan intravaskuler dilakukan dengan menggunakan tehnik
hypodermoclysis, dimana absorpsi pemberian cairan subcutaneous akan mengisi ruang vaskuler.

Lidocain dan epinefrin merupakan komponen yang paling penting untuk tindakan
sibcutaneus wetting infiltrate, epinefrin boleh diberikan lebih dari 10 mg selama tindakan. Saat
diencerkan dengan larutan isotonic RL 1 lt, 1 ml epinefrin (1:1000) mempunyai konsentrasi
(1:1000000) dengan cara ini manifestasi toksisitas epinefrin seperti takikardi.

Penting bagi dokter anestesi untuk mengetahui dosis toksis dari lidocain seperti
tinnitus,pusing dan lidah kebas, tanda-tanda lain : tidak sadar, henti nafas dan saat konsentrasi
lidocain pada plasma mencapai 25 mg/kg dapat terjadi henti jantung.

Umumnya pasien yang akan menjalani operasi plastik akan dilakukan aspirasi sebanyak 2
lt, dalam keadaan tertentu, dosis epinefrin yang diberi tidak mencapai 3 mg dan total dosis
lidocain yang diberikan tidak mencapai lebih dari 25-35 mg/kg BB normal.

Asidosis dan hiperkarbia dapat terjadi akibat dari efek toksik lidocain dimana hal tersebut
akan meningkatkan perfusi cerebral dan munurunkan protein binding lidocain serta
meningkatkan level lidocain pada sentral nervus system. Dilain pihak pemberian lidocain yang
dibarengi dengan pemberian barbiturates dan benzodiazepine saat sedasi dalam ataupun sadar
akan meningkatkan efek ambang dari lidocain. Pemberian epinefrin secara infiltrasi akan
menurunkan absorpsi sistemik dari lidocain. Lidocain akan memblok system konduksi jantung
dengandose independent blok dari channel natrium

Perioperatif pasien harus berhenti minum pil kontrasepsi sebab pil kontrasepsi memiliki
resiko timbulnya DVT. Kebanyakan pasien adalah ASA I dan II, mereka memiliki bentuk tubuh
yang tidak ideal dengan berat badan lebih dari 30% atau memiliki penyakit jantung / paru yang
tidak stabil.

30
Lidocain memiliki batas dosis 7 mg/kg. Lidocain yang diencerkan (0,1%) diinjeksi
subkutan dan selama dosis tidak melebihi 55 mg/kg, artinya level dari plasma tidak melebihi
ambang kardiotoksik 5 mg/ml. Sudah diketahui bahwa penyebab kematian akibat toksisitas
lidocain adalah hasil dari asistole terminal dari depresi konduksi intracardiac dan kontraktilitas
ventrikel. Sudah dapat diestimasi bahwa kapasitas clearance maksimal di hati pada lidocain
adalah 250 mg/jam, sehingga menjadi factor pembatas pada pemberian lidocain. Hati-hati pada
pasien dengan penyakit hati untuk sedot lemak dengan volume besar.

Sedot lemak bukan tehnik pembedahan yang mudah. Angka kematian 19:100000,
penyebab utama dari kematian adalah tromboemboli paru 23%. Kematian dari anestesi 10% dari
seluruh kematian, dari segi kardiorespirasi 5,4%. Pada dasarnya untuk melakukan lipoplasty
membutuhkan latihan dan kemampuan, perforasi di daerah viscus dan abdomen 15%
menyebabkan kematian.

Penggunaan profilaksis dengan pneumatic compression stocking sangat dianjurkan


terutama dilakukan dibawah anestesi umum. Intraoperatif hipotermi menjadi perhatian utama
pada aspirasi dengan volume besar. Cairan ‘wetting’ dihangatkan selain itu cairan intravena juga
dihangatkan agar dapat mempertahankan suhu pasien.

7. ABDOMINOPLASTY

Adalah operasi yang dilakukan didaerah kulit dengan menggunakan anestesi lokal dan
dapat diberi sedasi. Ketika rectus fascia dibuka dan skinflap dibuat infiltrasi diberikan di
sepanjang kulit dan nervus dengan anestesi lokal.

Penanggulangan Nyeri Pasca bedah

Kontrol nyeri pasca bedah umumnya terbaik jika dikelola oleh seorang anestesiologi
karena mereka dapat melakukan intervensi dengan anestesi regional atau farmakologi atau
keduanya.

Modaliti analgesia pasca bedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parentral,
blok saraf, blok neuroaksial, dengan anestetik lokal, opioids intra spinal dan juga teknik adjuvan
seperti TENS dan terapi fisik. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu :
pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap).

31
Pasien rawat inap

Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pasca bedah membutuhkan
analgetik parentral atau blok saraf dengan anestesi lokal lama satu sampai enam hari setelah
pembedahan. Jika pasien dapat memulai dengan intake oral dan intensitas nyeri berkurang,
analgetik oral dapat diteruskan. Analgetik parentral termasuk ketorolak, opioid dan ketamin.

Tabel 2. General Guidelines for Patient-Controlled Analgesia (PCA) Orders for Averange
Adult.

Opioid Bolus Dose Lockout (min) Infusion Rate1

Morphine 1-3 mg 10-20 0-1 mg/h

Merperidine (Demerol) 10-15 mg 5-15 0-20 mg/h

Fentanyl (Sublimaze) 15-25 mg 10-20 0-50 µm/h

Hydromorphone (Dilaudid) 0.1-0.3 mg 10-20 0-0.5 mg/h

1. Blok saraf perifer


Blok pada pleksus interkosta,interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan
analgesia pasca bedah yang baik sekali. Pemasangan kateter memungkinkan pemberian
anestetik lokal secara intermiten atau kontinue (bupivakain 0,125% atau ropivakain 0,125%
yang dapat menghasilkan analgesi selama 3-5 hari pasca bedah.

2. Blokade Neuroaksial sentral & Opioid intrasepinal


Pemberian campuran anestetika lokal – opioid neuroaksial ( terutama epidural)
merupakan teknik yang ekselen untuk pengelolaan nyeri pasca bedah setelah prosedur
abdominal, pelvis, thorak atau orthopedi pada ekstrinitas bawah.

Satu suntikan tunggal neuroaksial (sub araknoid atau epidural) anestetik lokal, opioid
atau kombinasi dapat dipergunakan untuk preemtif analgesia pada hari operasi. Teknik ini
efektif jika mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obat anestesi lokal bisa diberikan
secara interniten atau kontinue.

32
Tabel 3. Epidural Opioids.

Opioid Relative Dose Onset Peak Duration Infusion PCA1 PCA


Lipid (min) (min) (h) Rate Dose Lockout
Solubility (min)

Morphine 1 2-5 15-30 60-90 4-24 0.3-0.9 0.2- 30


mg mg/h 0.3
mg

Fentanyl 600 50- 5-10 10-20 1-3 25-50 20-30 15


100 µg/h µg/h
µg

Hodromorphone 1.5 0.75 10-15 20-30 618 0.1-0.2 0.1- 30


-1.5 mg/h 0.2
mg µg

Morphine intratekal 0,02-0,04 mg dapat memberikan analgesia yang sangat baik untuk
4-24 jam. Morphine epidural 0.3-0.5 mg memberikan efek yang sama dan lebih umum
digunakan. Bupivakain 0.0625-0.125% atau rovipakain 0.1-0,25% dikombinasi dengan morfin
0,1 mg/ml atau fentanil 5µg/ml memberikan analgesia sangat baik dengan dosis lebih kecil dan
sedikit efek samping. Penambahan epinefrin dosis kecil 2µg/ml memperpanjang dan
memperkuat anagesia epidural dan dapat mengurangi absorpsi sistemik opioid lipofilik (misalnya
fentanil). Penambahan klonodin dosis kecil 50-75 µg juga menambah dan memperpanjang
analgesia epidural.

33
BAB III

KESIMPULAN

Pendekatan anestesi pada berbagai operasi bedah onkologi dan plastik sudah
berkembang dan akan terus berkembang sampai tahun-tahun ke depan. Ini adalah tujuan akhir
dokter anestesi untuk dapat memberikan pelayanan anestesi yang kondusif bagi dokter bedah
agar tehnik operasi yang dilakukannya dapat memenuhi kebutuhan pasien. Selama dilakukannya
operasi plastik, dokter anestesi dituntut untuk latihan pada bidangnya dengan suatu keadaan
tertentu dimana seni pada anestesi sama pentingnya dengan ilmu pada teknik bedah.

34
DAFTAR PUSTAKA

Morgan, GE,Jr, 2006, Clinical Anesthesiology, 4th edition, McGraw-Hill, California,USA

Barash, P ,2006, Handbook of Clinical Anesthesia, 5th edition, Lippincot Raven,


Philadelphia, USA

J. Gudaityte, D. Divylys, I. Simeliunaite, Anaesthetic challenges in cancer patients:


current therapies and pain management, 2017; 24(2): 121–127.

Stoelting, R. K. Hiller, S. C, 2006, Pharmacology and Phisiology in Anesthestic Practice,


4th edition, Lippincott Williams & Wilkins
Uppington, J. Goat Va, 1987, Anesthesia for major craniofacial surgery: a report of 23
cases in children under four years of age, Ann Royal Coll Surg Engl
Dougherty, T.B. Nguyen, T,1994, Anesthetic management of the patient scheduled for
head and neck cancer surgery, J Clin Anesth

35
36

Anda mungkin juga menyukai