Anda di halaman 1dari 31

SEJARAH INDONESIA

ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah IV

Dosen Pengampu
Dr. Nurul Umamah M.Pd.

Oleh :
Ica Sindy Putri Dwihapsari 160210302019
Kelas A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah
Indonesia IV mengenai “Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia” dengan baik
dan lancar. Penyusun menyadari bahwa makalah yang telah disusun ini tidak akan
selesai tanpa adanya dorongan serta bantuan dan bimbingan dari semua pihak.
Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nurul
Umamah M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Indonesia IV.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan


tugas makalah ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa yang akan
datang. Akhir kata, penyusun berharap semoga isi dalam makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca maupun bagi penyusun
sendiri.

Jember, 03 Maret 2018


DAFTAR ISI

PRAKATA...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Awal Kedatangan Jepang di Indonesia..........................................................3
2.2 Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia...............................8
2.2.1 Kebijakan Politik Pemerintah Jepang......................................................9
2.2.2 Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pendudukan Jepang...........................13
2.2.3 Kebijakan Militer Pemerintah Pendudukan Jepang...............................14
2.2.4 Kebijakan Sosial Pemerintah Pendudukan Jepang................................17
2.2.5 Kebijakan Pendidikan Pemerintah Pendudukan Jepang........................19
2.3 Perlawanan Rakyat Terhadap Tentara Jepang..............................................20
2.3.1 Perlawanan Rakyat Indonesia di Sukamanah........................................22
2.3.2 Perlawanan Rakyat di Indramayu..........................................................23
2.3.3 Pemberontakan Tentara PETA di Blitar................................................24
BAB 3. PENUTUP................................................................................................27
3.1 Simpulan..................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peristiwa Restorasi Meiji ternyata mampu mengubah Jepang yang semula
merupakan negara yang menutup diri dari pihak luar menjadi negara terbuka
untuk semua bangsa yang ingin melakukan kerja sama dengan Jepang. Sejalan
dengan Politik Pintu Terbuka, maka Meiji Tenno segera melakukan aspek
perubaha yang meliputi aspek di segala bidang kehidupan. Dari pembaharuan
yang dilakukannya tersebut, skhirnya Jepang mampu meraih kemajuan yang pesat
dan mampu mengejar ketertinggalannya dari bangsa maju. Dari kemajuan
tersebut, disituah letak konsekuensi Jepang yang tidak memikirkan bagaimana
cara Jepang dalam mendapatkan sumber bahan metah untuk keperluan industrinya
tersebut. karena Jepang sendiri tidak memiliki sumber alam yang melimpah. Di
samping itu, Jepang juga membutuhkan tempat memasarkan barang-barang hasil
industrinya tersebut ke negara lain dan mencari tenaga kerja yang murah. Akibat
kondisi tersebut, memaksa Jepang untuk melakukan politik imperialisme sama
halnya yang dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. sebagai realisasi dari dari
kebijakannya tersebut, Jepang berhasil menguasai negara-negara di sekitarnya,
seperti Cina dan Korea.

Pada saat Perang Dunia II (1939-1945) terjadi, Jepang berusaha menguasai


wilayah Asia Tenggara. Namun, dalam kenyataannya itu Jepang harus berhadapan
dengan Sekutu untuk mewujudkan ambisinya tersebut. hal ini dibuktikan dengan
serangan yang dilakukan oleh pihak Jepang terhadap pangkalan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbour (Hawai) pada tanggal 7 Desember 1941. Dari serangan
tersebut, pihak Amerika Serikat mengalami kerugian yang sangat besar. Karena
tujuannya, Jepang ingin melumpuhkan kekuatan Amerika yang menjadi
penghalang dalam ekspansinya. Sehari setelahnya pada tanggal 8 Desember 1941,
Amerika menyatakan perang kepada Jepang. Peristiwa tersebut merupakan awal
dari berkobarnya perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) yang dampaknya
sampai pada kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia.
Kekayaan alam yang dimilki bangsa Indonesia merupakan anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri. Namun, sejak dulu potensi kekayaan
bangsa Indonesia dijadikan alasan bagi bangsa lain untuk menguasai Indonesia.
salah satu alasan Jepang megadakan ekspansi ke Indonesia adalah karena
Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Alam yang melimpah. Dalam Perang
Dunia ke II, Serangan yang dilakukan oleh Jepang ke Indonesia dengan cepat
berhasil menguasai berbagai kota di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana awal kedatangan Jepang di Indonesia?
2. Apa saja kebijakan dalam bidang (pemerintahan, politik, ekonomi, sosial,
pendidikan, dan militer) yang dilakukan pemerintah Jepang di Indonesia ?
3. Bagaimana perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia terhadap Jepang?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui awal kedatangan Jepang di Indonesia.
2. Untuk memahami kebijakan dalam bidang (pemerintahan, politik,
ekonomi, sosial, pendidikan, dan militer) yang dilakukan pemerintah
Jepang di Indonesia.
3. Untuk memahami bentuk perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia
terhadap Jepang

1.4 Manfaat

1. Bagi penulis (mahasiswa) sebagai pendalaman materi mengenai materi


matakuliah “Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia”
2. Bagi pembaca (rekan mahasiswa yang lain) sebagai tambahan
pengetahuan tentang “Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia”
3. yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang.
4. Bagi dosen pengampu, sebagai acuan dan pertimbangan penilaian
mahasiswa yang bersangkutan.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Awal Kedatangan Jepang di Indonesia


Jepang menduduki Indonesia selama 3,5 tahun. Masuknya jepang ke
wilayah Indonesia berlangsung sangat cepat dan berhasil menguasai kota-kota di
Indonesia. Indonesia memang sudah lama menjadi incaran Angkatan Perang
Jepang. Dikarenakan angkatan perang Jepang membutuhkan minyak bumi dan
bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan perangnya. Sumber minyak
bumi dan bahan-bahan mentah yang dibutuhkan itu terdapat banyak di Indonesia.
Maka, dengan segera angkatan perang Jepang menyerang daerah-daerah yang
menjadi sumber minyak bumi di Indonesia (Sagimun,1987:207).

Manado merupakan pangkalan pertama Jepang untuk memasuki wilayah


Indonesia. Di sini, Belanda menempatkan kurang lebih 1 Batalyon infanteri yang
terdiri atas KNIL, milisi, dan korps cadangan guna melindungi pangkalan
penerbangan angkatan laut Tatsuka yang terdapat 5 buah pesawat terbang-air yang
bertugas melakukan pengintaian terhadap kedatangan armada Jepang dari arah
utara. Tetapi sebelum Jepang mendarat, mereka telah terlebih dahulu
menghancurkan pesawat-pesawat itu, sehingga pada saat mendarat, Jepang hanya
menghadapi infanteri saja. Pendaratan dilakukan Jepang dengan menyerang Kema
di pantai timur, Menado di pantai barat dan penurunan tentara payung di
Lapangan Kalawiran, kemudian pendaratan di Laut Amurang. Dengan demikian,
dalam jangka waktu beberapa hari saja pihak Jepang dapat berhasil menguasai
seluruh Minahasa (Nasution, 1977: 79).

Bagi sisa-sisa KNIL mengundurkan diri ke Sulawesi Tengah di mana


bagian-bagian yang terahir menyerah dalam bulan Agustus 1942. Sehingga perang
gerilya di wilayah ini mengalami kegagalan.

Pada tanggal 12 Januari 1942, Tarakan menjadi tempat pertama di


Indonesia yang diduduki Jepang. Penyerbuan dilakukan di Pantai Timur
Kalimantan oleh Jepang dilakukan dengan maksud untuk menguasai minyak
bumi. Tarakan yang menjadi pulau minyak pertama merupakan salah satu yang
dipertahankan oleh satu Batalyoon KNIL yang dibantu dengan angkatan laut dan
udara. Dengan begitu, Belanda menggunakan politik bumihangus pada pulau
tersebut. Begitu pula Balikpapan yang menjadi pusat perminyakan di Kalimantan.
Karena sebelumnya Pulau Tarakan telah dibumihanguskan oleh Belanda, maka
pada tanggal 20 Januari 1942 pihak Jepang mengirimkan ultimatum kepada
KNIL di Balikpapan agar tidak dihancurkan. Jika tidak, maka pihak Jepang akan
melakukan tindakan kejam kepada pihak Belanda. dari ultimatum tersebut,
Belanda merencanakan penghancuran. Belanda tidak menunggu Jepang mendarat
di Balikpapan. Sehingga pada tanggal 23 Januari armada transport Jepang dibom
dari udara oleh pesawat-pesawat KNIL. Dengan begitu KNIL dikejar-kejar oleh
pasukan Jepang hingga mundur ke daerah pedalaman sampai ke lapangan
Samarinda II (yang merupakan pangkalan udara yang penting di Kalimantan
Timur). Sehingga pada tanggal 9 Maret 1942, terjadi kapitulasi pertahanan
(pengakuan kalah perang) di Kalimantan Timur oleh Belanda (Nasution, 1977:
82).

Bumi hangus adalah strategi militer dengan melakukan perusakan segala


yang mungkin berguna kepada musuh (seperti bangunan, barang-barang, sumber
asli dan lain-lain) ketika mengundurkan diri, ketika musuh mara melalui kawasan
tersebut.

Setelah Jepang berhasil menduduki Kalimantan Timur, maka saatnya


Jepang kini bergerak ke Kalimantan Selatan. Di sana, KNIL mempertahankan
pangkalan-pangkalan Udara Ulin dan Kontawaringin dengan masing-masing 9
atau 10 regu. Belanda juga menyegerakan politik bumi hangusnya serta
mengungsikan seluruh pasukannya ke Kotawaringin, sehingga dalam tempo yang
singkat Jepang juga berhasil menduduki Ibukota Banjarmasin dan landasan udara
Ulin.

Setelah Tarakan dan Balikpapan dibumihanguskan, maka Palembang yang


menjadi sumber minyak bagi Sekutu di seluruh Pasifik dan Asia Selatan diserbu
oleh Jepang dengan satu Batalyon pasukan payung. Pada 14 Februari 1942,
Palembang (Sumatera Selatan) jatuh ke tangan Jepang. Belanda tidak mampu
membinasakan pasukan payung Jepang di Palembang dikarenakan kekuatan
Belanda di satu Batalyon hanya terdapat sedikit artileri meskipun dibantu oleh
Batalyon 10 KNIL dari Jakarta. Namun, batalyon 10 dapat dipukul mundur oleh
Jepang sehingga kembali lagi ke Jakata. Sehingga dengan cepat Jepang berhasil
menduduki tempat-tempat strategis di wilayah Indonesia guna melakukan
pengepungan Pulau Jawa (Nasution, 1977: 84).

Artileri secara umum merupakan sebutan untuk kesenjataan (persenjataan),


pengetahuan kesenjataan, pasukan serta persenjataannya sendiri yang berupa
senjata-senjata berat jarak jauh.

Jepang terus memburu sisa pasukan KNIL lainnya. Sampai pada tanggal 26
Februari, 1942 Jepang menyerbu Jambi (Muara Bungo) dan berhasil juga
didudukinya secara keseluruhan. Menjelang akhir Februari 1942, pihak Jepang
telah berhasil pula menduduki Pulau Bali. Pulau Bali yang tak luput dari sasaran
Jepang. Pada pertengahan bulan Februari 1942 di sebelah selatan Pulau Bali
terjadi pertempuran antara sekutu dengan Jepang. Dalam setiap pertempuran
Jepang selalu unggul baik di darat, laut, maupun udara. Dengan demikian, dengan
waktu yang sangat singkat, angkatan perang Jepang telah dapat menduduki dan
menguasai daerah-daerah sumber-sumber minyak di Indonesia untuk mendukung
dalam usaha perang Jepang.

Pada tanggal 27 Februari 1942, terjadi pertempuran laut antara armada


Sekutu dengan armada Jepang. Di dalam pertempuran itu, Angkatan Laut Jepang
dapat mengalahkan dan melumpuhkan Angkatan Laut Sekutu. Sejak saat itu
Angkatan Laut Jepang memusatkan perhatiannya untuk menyerang Pulau Jawa
yang menjadi pusat kekuatan dan menjadi pertahanan terkuat Angkatan Perang
Belanda di Indonesia. Jika Pulau Jawa dapat dikuasai, maka secara otomatis
seluruh wilayah Indonesia jatuh ke tangan Angkatan Perang Jepang
(Sagimun,1987:208).

Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1942, sebelum matahari terbit, Tentara Ke-
16 Angkatan Darat Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jendral Hitosi Imammura
mulai mendarat di Pulau Jawa di tiga tempat, yaitu:
1) Di Teluk Banten, Jawa Barat
2) Di Eretan Wetan, Pantai utara Jawa Barat
3) Di Kragan, sebelah timr Rembang dan Lasem di Jawa Tengah dekat
perbatasan Jawa Timur.

Dengan kekuatan masing-masing kurang lebih satu divisi. Dari Banten


menuju Jakarta, Bogor dan terus ke Bandung. Jakarta secara cepat dapat diduduki
dalam waktu 4 hari setelah pendaratan. Dalam gerakan ini tidak banyak
ditemukan kesulitan, hanya saja dijumpai beberapa kerusakan jembatan yag telah
dibumihanguskan (Nasution, 1977: 84).

Jepang yang bergerak dari Indramayu, dengan cepat merebut pangkalan


udara Kalijati yang telah menjadi incaran Jepang untuk dijadikan pangkalan
pesawat-pesawatnya. Dalam waktu beberapa hari, Jepang telah menghadapi
stelling Ciater sebelum menyerbu pusat pertahanan Hindia Belanda di Bandung.
Demikian juga Jepang yang bergerak dari Bogor terus bergerak ke arah stelling
Ciranjang mengarah ke Bandung, sedangkan anak koloni dari Kalijati melewaati
Purwakarta (Nasution, 1977: 87).

Pendaratan di Rembang juga berhasil dengan baik dan lancar. Dari


Rembang, satu koloni bergerak ke Jawa Tengah sehingga dapat merebut
Semarang, Magelang, Solo, Yogya, dan terus mengejar tenaga induk Divisi II dari
KNIL ke jurusan Priangan. Politik bumi hangus tetap dijalankan di sini dan
dengan cepat pasukan KNIL berhasil mundur. Sedangkan koloni Jepang lainnya
bergerak menuju Jawa Timur. Tanpa banyak hambatan dan rintangan, Malang dan
Surabaya dengan cepat dikuasainya (Nasution, 1977: 87).

Letnan Jendral Imamura kemudian memberikan ultimatum kepada Belanda


agar menyerah. Karena tidak mampu lagi mempertahankan wilayah Indonesia dari
serangan militer Jepang. Belanda akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian
penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.
Penyerahan kedaulatan tersebut di lakukan di daerah Kalijati, Subang, Jawa Barat
dari Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan L. terPoorten (mewakili
Belanda) kepada Jendral Imamura (Mewakili Jepang). Pada tanggal 9 Maret 1942,
jendral terPoorten memerintahakan kepada seluruh tentara Hindia Belanda untuk
menyerahkan diri kepada tentara Jepang. Dengan ditandatanganinya perjanjian
Kalijati tersebut menandakan bahwa wilayah Indonesia secara resmi berada di
bawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang. Sejak itulah mulai zaman
pendudukan Jepang di Indonesia. Jadi, pada tanggal 8 Maret 1942 mulai zaman
pendudukan tentara Jepang di Indonesia. (Nasution, 1977: 90).

Selama menduduki Indonesia, Jepang menyadari bahwa tanpa para


pemimpin bangsa Indonesia dan partisipasi rakyat Indonesia, semua kebutuhan
Jepang tidak akan mungkin diperoleh dengan mudah. Oleh karena itu tentara
Jepang berusaha menarik simpati dari dan memikat hati bangsa Indonesia, yaitu:
1) Mula-mula Tentara Jepang tidak melarang rakyat Indonesia mengibarkan
bendera Merah Putih.
2) Membiarkan lagu “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Supratman
berkumandang di udara, bahkan di radio
3) Jepang melarang keras penggunaan Bahasa Belanda. jika mendapati
orang yang masih menggunakan bahasa Belanda, maka orang tersebut
dituduh mata-mata musuh dan akan dikenakan hukuman mati. Dengan
demikian, Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan dan
banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dipakai dalam
surat menyurat di kantor-kantor, dan dijadikan sebagai bahasa pengantar
di sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi
(Sagimun,1987:213).

Kepercayaan rakyat Indonesia semakin besar terhadap tentara Jpang setelah


2 tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia diajak untuk bekerjasama, yaitu Bung
Karno dan Bung Hatta. Hal in sangat menguntungkan pihak Jepang karena kedua
tokoh tersebut adalah tokoh dan pemimpin pergerakan nasional yang dikenal
sebagai haluan non-koperasi (Artinya, dengan keras menolak bekerjasama dengan
Pemerintah Kolonial Belanda). menurut Jepang tanpa bekerjasama dengan para
pemimpin bangsa Indonesia, Jepang pasti akan menemui banyak kesulitan, seperti
perlawanan keras dari rakyat Indonesia.

Jadi kedua belah pihak ingin berusaha memanfaatkan kerjasama di antara


mereka. Jepang berusaha memanfaatkan pengaruh pemimpin bangsa Indonesia
untuk menyukseskan usaha-usaha perangnya. Sedangkan para pemimpin bangsa
memanfaatkan kerjasama itu untuk mencapa kemerdekaan bangsa Indonesia yang
sangat didambakan oleh seluruh bangsa Indonesia (Sagimun,1987:217).

2.2 Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia


Setelah secara resmi menerima penyerahan kedaulatan dari pemerintah
Belanda, pemberintah Jepang langsung membagi wilayah Indonesia menjadi 3
wilayah pemerintahan militer, yaitu:
1. Wilayah Sumatera yang berpusat di Bukittingi. Dibawahi oleh
Angaktan Darat ke 25. Dimpin oleh Jendral Tanabe.
2. Wilayah Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta di bawah Angkatan
Darat ke-16. Diimpin oleh Jendral Hitoshi Imamura.

3. Wilayah Indonesia Timur (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,


Maluku, Irian Jaya), berpusat di Makassar. Dibawah Angkatan Laut yang
dipimpin oleh Tadashi Maeda.
Dari dua wilayah Sumatera dan Jawa berada di bawah Angkatan Darat
wilayah ke-7 yang bermarkas di Singapura (Ricklefs, 2005: 405).

Kebijakan-kebijakan yang dijalankan Pemerintah Jepang terhadap ke tiga


wilayah tersebut sangat berbeda-beda. Kebijakan di daerah Jawa khsusunya dapat
dengan cepat membangkitkan kesadaran nasional daripada dua wilayah lainnya.
Hal ini dikarenakan Jawa dianggap sebagai wilayah yang maju secara politik,
namun dalam sektor ekonomi masih kurang dianggap penting. Jadi, yang menjadi
cepat berkembangnya wilayah Jawa adalah karena manusianya. Sebagian besar
penduduk Indonesia menempati Pulau Jawa.

Akhir bulan Maret 1942, Pemerintah Jepang di Jawa telah mendirikan


sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu). Pada bulan Agustus 1942, struktur
pemerintahan Jawa tetap berada di bawah pemerintahan sementara, namun
kemudian setiap wilayah pemerintahan pendudukan dipimpin oleh seorang
Gubernur Militer (Gunseikan). Kantornya bernama Gunseikanbu. Banyak orang
Indonesia dan orang Jepang diangkat untuk menggantikan posisi pejabat –pejabat
Belanda. Sebagian besar orang Indonesia yang diangkat adalah seorang mantan
guru sekolah sehingga mengakibatkan mesrosotnya sistem dan standar pendidikan
di Indonesia (Ricklefs, 2005:411).
2.2.1 Kebijakan Politik Pemerintah Jepang
Pada masa awal pendudukan, Jepang melarang segala bentuk kegiatan
organisasi pergerakan yang sudah ada sejak pendudukan Belanda, baik yang
bersifat politik, ekonomi, sosial, dan agama. Pada tanggal 20 Maret 1942,
dikeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1942 oleh Pemerintah Jepang yang isinya untuk
membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan.

Pada tanggal 8 September 1942, dikeluarkan pula UU No. 2 untuk


mengendalikan seluruh organisasi nasional. Dengan begitu, dibentuklah
organisasi bentukan Jepang, seperti:
1. Gerakan 3A
Pada 29 April 1942, Jepang membetuk gerakan rakyat yang diberi
nama “Gerakan Tiga A” yang dimulai di Jawa. Nama tersebut merupakan
slogan Jepang yaitu: Jepang pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya
Asia. Gerakan ini merupakan usaha pertama Jepang dalam menggalang
dukungan rakyat Indonesia dalam menciptakan Negara Asia Timur Raya.
Gerakan ini diketuai oleh Mr. Syamsudin (dari Tokoh Parindra) yang
dibantu oleh K.Sutan Pamuncak dan Muhammad Saleh. Berbagai
propaganda dilakukan dalam gerakan tersebut untuk meyakini rakyat
Indonesia bahwa Jepang adalah bangsa Asia yang memiliki kelebihan dan
dapat membebaskan Indonesia dari penjajahan barat. Namun, secara garis
besar, gerakan ini gagal mencapai tujuannya dikarenakan:
a. Sedikit dukungan yang diberikan Indonesia
b. Tidak ada seorang nasionalis Indonesia yang terlibat di dalamnya.

c. Propaganda tersebut dilancarkan secara keras sehingga tidak ada yang


menanggapinya secara serius. (kekejaman militer dan bentuk
eksploitasi Jepang).

2. PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)

Pada Bulan Maret 1943, dibentuklah organisasi politik di Jawa dan


Gerakan 3A dihapuskan. Organisasi politik tersebut adalah PUTERA.
Organisasi ini sangat diawasi secara ketat oleh Pemerintah Jepang, namun
empat orang Indonesia diangkat untuk menjadi ketuanya, yaitu:

Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H Mas
Mansyur (Tokoh agama Isam dan Pendiri MIAI/Masyumi). Dari sini, dapat
dikatakan bahwa Pemerintah Jepang telah berhasil menggabungkan 2 orang
tokoh nasionalis terkemuka dan 2 orang penting dalam pendidikan. Hal ini
bertujuan untuk memusatkan potensi masyarakat Indonesia dalam
membantuJepang di Perang Asia Timur Raya.

Di dalam PUTERA, kepentingan bangsa Indonesia sejajar dan


searah dengan kepentingan pihak Jepang. Pihak Jepang menanamkan
perasaan anti-Barat ke dalam hati rakyat Indonesia. Jika pihak Jepang
menggunakan PUTERA dalam usaha-usaha perangnya, maka sebaiknya
pemimpin-pemimpin bangsa indonesia menggunakan PUTERA sebagai
tempat sarana untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dan semangat
kemerdekaan serta anti penjajahan terutama pada pemuda-pemudi Indonesia
(Sagimun, 1987: 222).

Kemudian, tentara Jepang mulai menyadari bahwa kegiatan


PUTERA lebih menguntungkan kepada pihak Indonesia dalam persiapan
kemerdekaannya daripada usaha dalam peperangan Jepang. Bahkan tentara
Jepang khawatir apabila organisasi PUTERA malah membawa bumerang
bagi Jepang. Oleh karena itu, Jepang kurang puas terhadap kegiatan-
kegiatan PUTERA dan akhirnya digantikan oleh Jawa Hokokai
(Perhimpunan Kebaktian Jawa)

3. Jawa Hokokai (Perhimpunan Kebaktian Jawa)

Pada tanggal 8 Januari 1944, Pemerintah Jepang mendirikan Jawa


Hokokai sebagai pengganti PUTERA dalam rangka memobilisasi penduduk
Jawa. Jawa Hokokai dengan tegas dinyatakan sebagai organisasi resmi
Pemerintah Pendudukan Tentara Jepang. Jawa Hokokai dipimpin oleh
Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) sebagai ketuanya,
Sumobuco (Kepala Departemen Urusan Umum) sebagai sekretaris pada
umumnya (Sagimun 1987: 222).

Hokokai didirikan bagi setiap orang yang berusia lebih dari 14 tahun ke
atas. Soekarno dan Hasyim Asyari dijadikan penasehat utamanya, sementara
pengelolaannya diserahkan kepada Hatta dan Mansyur. Pihak Jepang tentu
saja memanfaatkan para pemimpin Indonesia untuk mencapai tujuan mereka
sendiri, tetapi para pemimpin Indonesia justru mengambil kesempatan dan
keuntungan dari orang Jepang. Soekarno berhasil memanfaatkan propaganda
bagi Hokokai untuk memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama rakyat,
sehingga para pejabat priyai dapat secara langsung terikat ke dalam organisasi
tersebut dengan diangkat menjadi ketua pada setiap tingkat pemerintahan
(Ricklefs, 2005: 419).

4. MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan Masyumi


Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, pada bulan Maret 1942, segala
bentuk pergerakan, baik yang bersifat politik dilarang dan dibubarkan. Pada
tanggal 4 September 1942, MIAI diaktifkan kembali dengan alasan:
1) Umat Islam merupakan mayoritas penduduk di Indonesia
2) Gerakan MIAI lebih banyak dipengaruhi oleh situasi di Timur Tengah.
Dalam perang dunia ke II, secara jelas Timur Tengah mendukung
sekutu. Apabila hal ini berpengaruh pada MIAI maka dapat
membahayakan eksistensi Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia

3) Dalam rangka mengadu domba dan memecah belah antara golongan


nasionalis religius yang duduk di MIAI dengan nasionalis sekuler yang
berada di PUTERA bentukan Jepang.

Dalam perkembangannya, MIAI dibubarkan dikarenakan tidak sesuai dengan


harapan Jepang, yaitu kegiatan yang sangat terbatas dalam hal Baitul Mal dan
peringatan hari besar Islam terutama di daerah perkotaan. Pada bulan Oktober
1943, pihak Jepang juga membentuk organisasi baru yang bertujuan untuk
mengendalikan umat Islam. MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang memilki cabang di setiap Karesidenan
Jawa. Kepemimpinan Masyumi diserahkan kepada tokoh-tokoh Muhammdaiyah
dan NU. Hasyim Asyari, pendiri NU yang pernah dipenjarakan oleh Jepang pada
awal kependudukannya di Indonesia kemudian dibebasakan pada Agustus 1942
dijadikan sebagai pendiri Masyumi, namun dia tetap tinggal di pesantrennya di
Jombang. Sehingga yang menjadi ketua efektifnya adalah putranya, yaitu K.H
Wahid Hasyim (1913-11953). Wakil dari Muhammadiyah di antaranya yaitu: K.H
Mas Mansyur, K.H Farid Ma’ruf, K.H Mukti, K.H Hasyim, dan Kartosudarmo.
Sedangkan wakil dari NU, yaitu: K.H Nachrowi, Zainul Arifin, K.H Mochtar
(Ricklefs, 2005: 419).

5. Pembentukan Chuo Sangi In

Pembentukan Badan Perimbangan Pusat dimuat dalam Osamu Seirei


No.36/1943. Pembentukan badan ini merupakan badan yang tugasnya
mengajukan usulan pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah terkait
soal-soal politik dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah Militer. Pada tanggal 17 Oktober 1943, Ir.Soekarno secara resmi
dilantik sebagai ketua sedangkan R.M.A.A Kusumo Utojo dan dr. Buntaran
Martoatmojo sebagai wakil ketua (Poesponogoro, 2008: 24).

Pada tanggal 16-20 Oktober 1943, diadakan sidang Chuo Sangi In


diadakan sidang pertama. Dalam sidang tersebut, dibentuk 4 komisi, yang
telah menjawab pertanyaan tentang cara-cara apa yang sebaiknya dilakukan
guna mencapai kemenangan di dalam Perang Asia Timur Raya. Dalam
sidang-sidang berikutnya, parapemimpin Indonesia yang duduk dalam Cho
Sangi In berusaha mengajukan usul yang mengarah kepada perbaikan
keadaan sosial rakyat yang semakin buruk. Akan tetapi, pemerintah Jepang
memanfaatkan sidang-sidang 1 sampai 4 untuk membahas usaha-usaha
pengerahan rakyat bagi kepentingan Perang Asia Timur Raya.

Dalam sidang Chuo Sangi In II pada tanggal 3 Februari 1944, Mr.


Syamsudin mengajukan usul agar pemerintah peduli terhadap nasib petani
dengan mangadakan perbaikan kebutuhannya. Hampir seluruh anggota Chuo
Sangi In mendukung usul ini. Bahkan, Ir.Soekarno membentuk Panitia
Istimewa, yang akhirnya memutuskan agar dicari jalan keluar guna
memudahkan penyerahan dan pembagian padi kepada rakyat dengan
menetapkan berapa jumlah yang harus diserahkan dan berapa jumlah yang
perlu dipertahankan di setiap daerah.

Semakin memburuknya kondisi perang menyebabkan penguasa


berusaha mempertahankan pengaruhnya di kalangan pemimpn-pemimpin
bangsa Indonesia. pada 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso
mengumumkan “Janji Kemerdekaan” di kemudian hari. Berbeda dengan
sidang-sidang sebelumnya. Ada sidang ke 5 sampai ke 8, memicarakan soal
usaha-usaha mencapai kemenangan akhir dan kemenangan Indonesia. namun,
semuanya tidak lepas dari kepentingan Jepang.

Pada sidang ke-8 tidak ada satu masalahpun ditujukan untuk


kepentingan Jepang, tetapi semata-mata ditujukan untuk mempersiapkan
suatu negara merdeka dan berdaulat penuh. Jepang mulai memperlunak
pengawasan atas jalannya sidang, sedangkan para pemimpin bangsa
Indonesia menggunakan kesempatan yang baik pada saat Jepang banyak
mengalami kekalahan dalam pertempuran. Dengan dicapainya wacana
Kemerdekaan Indonesia tanpa camput tangan Jepang, Chuo Sangi In berakhir
tanpa pembubaran resmi (Poesponegoro, 2008:26).

2.2.2 Kebijakan Ekonomi Pemerintah Pendudukan Jepang


Dalam rangka menguasai sumber-sumber ekonomi Indonesia, Jepang
menyusun beberapa rencana, antara lain:
1) Tahap penguasaan: yaitu menguasai seluruh kekayaan alam, termasuk
kekayaan milik Pemerintah Hindia Belanda
2) Tahap penyususan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka
memenuhi kebutuhan perang. Dalam setiap wilayah harus dapat
mencukupi kebutuhan-kebutuhannya sendiri untuk menunjang
kebutuhan perang.

Untuk mengamankan pelaksanaan ekonomi perang, pemerintah militer


Jepang :
1) Merehabilitasi sarana ekonomi, seperti jembatan, alat-alat produki,
transportasi, dan telekomunikasi yang bersifat fisik. Tujuannya untuk
memperlancar pengamanan pelaksanaan ekonomi perang
2) Mengeluarkan beberapa peraturan UU No.32 Tahun 1942 yang
menyatakan bahwa Kepala Pemerintahan Militer mengawasi secara
langsung perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, tembakau, dan teh.
Pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga dan Badan Pengawas
Perkebunan yang bernama Saibai Kigyo Kanrikodan. Kemudian dalam
perkembangannya, Saibai Kigyo Kanrikodan diganti dengan Kigyo
Saibai (Penguasa Perkebunan) yang khusus mengurus tanaman karet
daan kina.
3) Osamu Seirei Nomor 31 Tahun 1944 yang menyatakan bahwa rakyat
dilarang menanam tebu dan membuat gula. Alasannya yaitu untuk
mengurangi jumlah gula yang ada di masayarakat dan juga untuk
menekan produksi (Poesponegor, 2008:76).

Dalam kebijakan moneter, pemerintah pendudukan Jepang berusaha


sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai rupiah. Tujuannya ialah untuk
mempertahankan harga barang sebelum perang dan untuk mengawasi lalu lintas
permodalan dan arus kredit. Uang rupuah dinyatakan berlaku sebagai tanda
pembayaran yang sah. Dalam bidang perpajakan diadakan pemungutan dari
berbagai sumber, termasuk pajak penghasilan terutama yang mempunyai
penghasilan f.30.000 setahun. Dalam bidang perdagangan, barang-barang yang
dibutuhkan rakyat didistribusikan melalui penyalur-penyalur yang ditunjuk.
Osamu Seiri No. 38/1943 menetapkan bahwa semua barang harus dijual dengan
harha yang ditentukan (Poesponegoro, 2008 78-79).

2.2.3 Kebijakan Militer Pemerintah Pendudukan Jepang


Kebijakan pemerintah Jepang di bidang militer pada masa pendudukan
dilakukan dengan membentuk badan-badan-badan semi-militer dan militer
untuk membantu Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu dalam Perang
Pasifik. Memasuki tahun 1943, Jepang semakin intensif mendidik dan melatih
pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer.
2.2.3.1 Semi-militer
1. Seinendan

Pada bulan April dibentuk Korps Pemuda (Seinendan) yang


diperuntukkan bagi pemuda yang berusia antara 14-25 tahun. Tujuannya
adalah untuk melatih dan dan mendidik para pemuda agar mampu menjaga
dan mempertahankan tanah air dengan kekuatan sendiri.

2. Keibodan
Pembentukan barisan pembantu polisi (Keibodan) diperuntukkan
bagi pemuda yang berusia 25-35 tahun. Keibodan berfungsi sebagai
pembantu polisi, kebakaran, dan polusi udara. Oleh karena itu, di setiap
desa yang memiliki pemuda usia tersebut dan berbadan sehat wajib
mengirimkan warganya untuk menjadi Keibodan. Konon, lebih dari 2 juta
pemuda Indonesia berada dalam organisasi-organisasi semacam itu pada
akhir perang, kira-kira 60% di antaranya dalam Keibodan (Ricklefs, 2005:
415).
3. Fujinkai
Bulan Agustus 1943, dibentuk Fujinkai yang merupakan sebuah
perkumpulan atau perhimpunan wanita. Para anggota Fujinkai diberi
latihan-latihan militer oleh tentara Jepang. Latiha-latihan tersebut
diberikan dan disesuaikan dengan sifat dan tugas kewanitaannya. Tugas
Fujinkai adalah ikut memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan
dana wajib berupa perhiasan, hewan ternak, dan bahan makanan untuk
kepentingan perang (Sagimun,1987:229).

2.2.3.2 Militer
1) Heiho (Pasukan Pembatu Prajurit)

Pada pertengan tahun 1943, dibentuklah Heiho (Pasukan


Pembantu) sebagai bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut
Jepang. Pada akhir paerang, sekitar 25.000 pemuda Indonesia berada
dalam Heiho, di mana mereka mendapat latihan dasar yang sama dengan
para serdadu Jepang yang lainnya.
Demikianlah pasukan-pasukan Heiho dipegunakan di beberapa
daerah di Indonesia, bahkan ke luar wilayah Indonesia. heiho juga banyak
dikirim ke bagian timur Indonesia yang terjadi pertempuran-pertempuran,
seperti di Sorong, Manokwari, Halmahera, bahkan Pasifik seperti di
kepulauan Salomon dan lain-lainnya. Diperkirakan jumlah Heiho pada
akhir masa pendudukan Jepang kurang lebih terdapat 42.000 orang. Para
Heiho mempunyai perwira perwira yang semuanya adalah orang Jepang
(Sagimun, 1987: 236).

2) Pembentukan Tentara PETA


Pada tanggal 7 September 1943, Gatot Mangkupraja, seorang
tokoh dan pemimpin gerakan asional Indonesia mengajukan surat
permohonan kepada Saiko Shihikan (Panglima Tentara ke-16) dan
kepada Gunseikan (Kepala Pemerintahan Pendudukan Tentara Jepang)
agar dibentuk pasukan sukarela yang seluruhnya terdiri dari bangsa
Indonesia. mereka yang akan membela tanah air Indonesia secara sukarela.

Pada tanggal 3 Oktober 1943, permohonan telah dikabulkan dan mendapat


jawaban yang positif. Sehingga dikeluarkanlah peraturan yang diberi nama
Osamu Seirei no.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air
(PETA). Adapun isi pokok dari pembetukan Tentara PETA ialah:
1) Semua anggota tentara PETA terdiri dari orang-orang Indonesia dari
golongan atas sampai golongan bawah.
2) Di dalam tentara PETA ditempatkan beberapa tentara Jepang sebagai
pelatih.
3) Tentara PETA berada langsung di bawah Panglima Tentara dan statusnya
tidak terikat pada suatu badan apapun.
4) Tentara PETA adalah tentara teritorial yang tegas dengan mempunyai
kewajiban dalam mempertahankan daerahnya masing-masing yaitu Syu
atau Karesidenan dari serangan tentara musuh.

(Sagimun 1987:238).

Pada tanggal 15 Oktober 1943, kemudian dibuka latihan calon-calon


perwira PETA secara resmi yang terdiri dari orang-orang Indonesia. Tempat
latihan tersebut dinamakan “Jawa Bo Ei Giyugun Kanbu Renseitai”, yang artinya
Latihan Pemimpin-Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa.
Kemudian pada tanggal 18 Januari 1944, tempat tersebut diganti dengan nama
“Jawa Bo Ei Giyugun Kanbu Kyokutai”, yang artinya Pendidikan Pemimpin-
Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa. Tempat latihan untuk
wilayah Jawa dan Madura berada di Bogor (Jawa Barat), sedangkan untuk
pendidikan dan latihan Budanco (Bintara) diselenggarakan di Cimahi dan
Magelang (Sagimun, 1987:239).

Tentara PETA memiliki lima tingkat kepangkatan, yakni:


1) Daidanco sama dengan Batalyon
2) Cudanco sama dengan Kompi
3) Shodanco sama dengan Pleton
4) Bundanco sama dengan regu
5) Giyuhei sama dengan prajurit sukarela

Susunan Daidan atau Batalyon pada umumnya adalah sebagai berikut:


1. Setiap Batalyon terdiri dari 4 kompi
2. Setiap kompi terdiri dari 3 pleton
3. Setiap pleton terdiri dai 4 regu

4. Setiap regu terdiri dari 10 orang anggota prajurit sukarela ditambah seorang
Budanco

Tentara PETA hanya memiliki persenjataan militer yang ringan, seperti


pestol, senapan, granat, senapan mesin ringan dan berat, dan mortir. Mereka juga
diberi truk dan sepeda motor. Karena tentara Jepang khawatir akan tentara PETA
yang dapat menyerang dirinya, maka 69 yang telah dibentuk tadi itu tidak
memiliki markas besar dan panglima sendiri. Jadi, antara Batalyon satu dengan
Batalyon yang lain tidak memilki hubungan apapun. Bahkan di dalam satu
Karesidenan jika terdapat 2 Batalyon, maka hubungan antara 2 Batalyon itupun
harus dicegah. Hal ini bertujuan untuk menghindari pemberotakan antara tentara
PETA dengan tentara Jepang (Sagimun, 1987:240).
2.2.4 Kebijakan Sosial Pemerintah Pendudukan Jepang

2.2.4.1 Pelaksanaan Romusha


Romusha merupakan kerja paksa untuk membangun sarana dan prasarana
militer Jepang dalam rangka memenangkan Perang Asia Timur Raya. Panitia
yang bertugas disebut Romukyai. Romusha dilaksanakan dari tahun 1942-1945.
Kebanyakan pekerja romusha adalah pemuda desa, petani, pengangguran.
Pelaksanaan Romusha merupakan bentuk kekejaman Jepang secara fisik terhadap
rakyat Indonesia, mereka bukan hanya dipekerjakan di wilayah Indonesia tetapi
juga luar negeri seperti Malaysia, Vietnam, Brunei, Myanmar, dll.

Pada mulanya, pengerahan Romusha tidak terlalu sukar untuk dilakukan,


karena sifatnya yang sukarela. Jendral Moichiro Yamamoto bahkan mengatakan
bahwa para pekerja akan digaji. Akan tetapi, ketika beredar kabar bahwa pekerja
romusha mengalami penderitaan yang berat dan diperkerjakan dengan kasar oleh
pihak Jepang, maka orangpun tidak mau menjadi romusha. Pada sisi lain,
kebutuhan akan pekerja romusha semakin meningkat. Oleh karena itu pihak
Jepang melakukan pemaksaan. Para kepala desa diperintahkan untuk
mengumpulkan penduduk di suatu tempat. Kemudian mereka diangkut
menggunakan truk secara paksa. Tindakan tersebut dilakukan di beberapa kota
(Imran, 2012: 56).

Pengerahan Romusha dilakukan pada masa awal pendudukan Jepang.


Namu, pengerahan secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1944. Pengerahan
romusha dilaksanakan oleh tentara ke-16 dengan membentuk sebuah badan yanng
disebut Romukyoku (Kantor Urusan Pekerja). Secara teoritis, pelaksanaan
Romusha dibuat dengan baik, namun dalam praktiknya tidak demikian.

Dalam peraturan yang disusun oleh Romukyoku disebutkan bahwa:


1. Orang atau badan memerlukan pekerja romusha lebih dari 30 orang,
mengajukan permohonan kepada kepala daerah setempat.
2. Orang atau badan harus mempunyai atau pabrik yang berguna untuk
kepentingan Jepang
3. Orang atau badan harus mengisi formulir. Dalam formulir tersebut
dicantumkan: nama tempat romusha yang akan dipekerjakan, jumlah yang
diperlukan, dan waktu yang akan dipekerjakan.

4. Pemerintah daerah harus melapor bulanan pelaksanaan kerja kepada


Romukyoku.

Namun, di dalam prakteknya, peraturan itu tidak dijalankan secara


konsekuen. Apalgi jika pihak militer yang memerlukan pekerja romusha itu
(Imran, 2012: 56).

Selama berada di tempat kerja, sampai pulang ke Kampung halamannya


ternyata pekerja hanya mendapatkan fasilitas yang sangat minim dan banyak yang
tidak diberi upah, namun tidak bisa menuntut dikarenakan tidak ada perjanjian
tertulis. Bahkan banyak di antara petugas pengerahan romusha bersikap curang,
seperti mencoret nama yang sudah terdaftar dan menggantinya dengan nama lain
karena menerima suap uang. Para pekerja Romusha dipekerjakan pada proyek-
proyek pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, dan perbentengan di
sekitar tempat mereka di karesidenan selama 1-3 bulan. Jika lebih dari masa kerja
tersebut, mereka dipekerjakan di proyek-proyek di luar keresidenan mereka
(Imran, 2012: 55).

Sejak pagi buta sampai petang, mereka dipaksa melakukan pekerjaan kasar
tanpa makan dan perawatan cukup. Hanya pada malam hari saja mereka bisa
melepaskan kelelahn mereka. Dalam keadaan demikian, mereka tidak punya daya
tahan lagi terhadap penyakit karena tidak sempat memasak air minum, buang air
besar sembarangan, sehingga mnyebarlah wabah penyakit disentri. Kesehatan
yang tidak dijamin, makanan yang tidak cukup, dan pekerjaan yang terlalu berat
menyebabkan pekerja romusha meninggal (Poesponegoro,2008:65).

3.2.4.2 Tonarigumi
Pembentukan tonarigumi oleh pihak Jepang, ditujukan untuk kepentingan
Jepang dalam usaha pengerahan pangan. Tiap Tonarigumi terdiri dari 10-20
Rumah Tangga. Beberapa Tonarigumi dikelompokkan ke dalam Ku (desa atau
kelurahan). Meskipun diletakkan di bawah pemerintahan desa atau kelurahan,
namun segala konsepsi dan tugasnya diatur sendiri oleh Jepang dan sepenuhnya
menjadi alat militer Jepang (Imran, 2012: 58).

Maksud diadakannnya tonarigumi adalah untuk mengawasi penduduk,


mengendalikan, dan memperlancar kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
Dengan adanya perang yang makin mendesak maka tugas yang dilakukan
Tonarigumi adalah mengadakan latihan tentang pencegahan bahaya udara,
kebakaran, pemberantasan kabar bohong, dan mata-mata musuh.

2.2.5 Kebijakan Pendidikan Pemerintah Pendudukan Jepang


Sistem pendidikan dan struktur kurikulum ditujukan untuk keperluan Perang
Asia Timur Raya, seperti:
1. Mengadakan pelatihan bagi guru-guru di Jakarta untuk mengindoktrinisasi
mereka dalam Hakko I Chiu. Setelah selesai dari pelatihan tersebut,
mereka harus kembali ke daerah masing-masing dan mengadakan
pelatihan untuk meneruskan hasil-hasil yang diperolehnya selama
pelatihan di Jakarta.
2. Sekolah umum, terdiri dari: (1)Sekolah rakyat 6 tahun , masih ada lagi; (2)
sekolah desa atau sekolah pertama; (3) Sekolah menengah pertama 3
tahun; (4) Sekolah menengah tinggi 3 tahun
3. Sekolah guru terdiri dari: (1) Sekolah guru 2 tahun; (2) Sekolah guru 4
tahun; (3) Sekolah guru 6 tahun
4. Bahasa Jepang tidak hanya diajarkan melalui sekolah-sekolah untuk para
murid, tetapi masyarakat umum dapat mempelajarinya melalui kursus-
kursus Bahasa Jepang yang diadakan di Balai Pustaka, Jakarta pada
tanggal 6 Juni 1942.
5. Ciri-ciri pendidikan Pemerintah Militer Jepang ialah disiplin militer.
Murid-murid diharuskan melakukan kerja bakti, seperti mengumpulkan
bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan
asrama, dan memperbaiki jalan-jalan. Murid-murid diajarkan seperti itu
agar mereka bersemangat Jepang.

Sementara pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap siswa


sekolah untuk rutin setiap pagi melakukan beberapa aktivitas berikut:
1. Menyayikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo
2. Mengibarkan bendera Jepang, Hinomaru dan menghormat Kaisar Jepang
Tenno Heika (seikerei)
3. Melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Timur Raya
4. Melakukan latihan-latihan fisik dan militer
5. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan dan
bahasa Jepang sebagai bahasa yang wajib diajarkan.
(Poesponegoro,2008:91-92).

2.3 Perlawanan Rakyat Terhadap Tentara Jepang


Pada awalnya, rakyat Indonesia memang menyambut dengan gembira
kedatangan Jepang ke Indonesia, karena mereka mengira dan menganggap
Tentara Jepang sebagai pembebas rakyat Indonesia dari pengaruh penjajahan
Belanda. Kemudian, baru rakyat Indonesia mengenal sikap dan watak tentara
Jepang yang sebenarnya kasar, kejam, dan serakah. Rakyat Indonesia benar-benar
tertipu oleh propaganda yang bohong, janji-janji yang muluk, dan tipu muslihat
tentara Jepang yang licik dan keji. Rakyat Indonesia semakin sadar bahwa
penjajahan Jepang lebih kasar dan kejam daripada penjajahan Belanda. Seluruh
kekayaan bumi Indonesia, yang meliputi hasil-hasil pertanian, pertambangan,
industri, peternakan, perkebunan, perikanan dan lainnya dikuasai, diawasi, dan
dikuras oleh tentara Jepang (Sagimun,1987:242).

Tentara Jepang membeli dengan paksa hasil bumi dengan harga yang
ditentukan secara sepihak oleh tentara Jepang. Uang kertas Pemerintah tentara
Jepang sangat merosot bahkan hampir tidak bernilai. Toko-toko banyak yang
kosong. Para petani sekalipun banyak yang tidak memilki beras dan bahan pangan
lagi untuk dimakan bersama dengan keluarganya. Bahkan meskipun tanah
Indonesia adalah tanah yang kaya dan subur, namun masih banyak ditemukan
rakyat yang kelaparan. Rakyat Indonesia juga kekurangan sandang (pakaian).
Pakaian yang dikenakan itupun hanya berupa pakaian compang-camping dan juga
berpakaian yang terbuat dari bagor, yaitu bahan kain tenunan kasar yang terbuat
dari daun rumbia. Pada zaman pendudukan Jepang, rakyat Indonesia sungguh
mengalami penderitaan yang luar biasa (Sagimun,1987:243).
Meskipun penjajahan Jepang hanya seumur jagung, namun dampaknya
membawa malapetaka terhadap rakyat Indonesia. karena kekurangan makanan,
rakyat menjadi lemah dan mudah terserang penyakit, seperti beri-beri, malaria,
tipes, kolera dan disentri. Banyak rakyat Indonesia yang mati dalam keadaan yang
menyedihkan, dan banyak di antaranya yang mati dibunuh, dianiaya secara kejam
oleh tentara Jepang. Bagi para pekerja Romusha, mereka mati dalam keadaan
yang jauh dari kampung halamannya dan jauh dari sanak saudara. Begiu juga para
wanita dan gadis-gadis bangsa Indonesia yang dibujuk rayu dengan kata-kata
manisnya, kemudian dirusak dan dihina. Para wanita yang diiming-imingi akan
diberi pekerjaan dengan gaji dan jaminan sosial yang baik ternyata itu hanya
kelicikan. Banyak pula gadis-gadis terpelajar yang tertarik akan mendapatkan
pendidikan dan disekolahkan dengan layak oleh tentara Jepang ternyata juga
dirusak kehormatannya dengan dijadikan wanita penghibur dan menjadi pemuas
nafsu rendah tentara Jepang (Sagimun,1987:243).

Demikianlah, rakyat Indonesia sudah berada pada titik kesabarannya.


Tentara Jepang yang dikenal kejam itu dilawan sehingga terjadi perlawanan
rakyat di berbagai tempat.

2.3.1 Perlawanan Rakyat Indonesia di Sukamanah


Sukamanah merupakan desa yang terletak di Kecamatan Singaparna,
Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat). Di desa Sukamanah tersebut, terkenal
seorang Kiai yang bernam Kyai Haji Zainal Mustafa. Beliau merupakan ulama
yang memilki keimanan dan memgah teguh ajaran islam. Beliau sangat benci
terhadap Tentara Jepang karena dianggapnya mereka termasuk ke dalam golongan
orang kafir. Ketika Kiai Zainal Mustafa ini dikeluarkan dari penjara oleh tentara
Jepang untuk diajak bekerjasama, namun Beliau menolak. Ia tetap memegang
teguh ajaran dan prinsip-prinsip agama Islam dan tidak senang terhadap tentara
Jepang yang kejam dan tidak mengindahkan adat-istiadat bangsa Indonesia.

Sebab utama terjadinya perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang adalah


pada waktu itu Kyai Haji Zainal Mustafa diundang oleh tentara Jepang untuk
menghadiri sebuah upacara yang diadakan di lapangan Kota Singaparna. Pada
upacara tersebut, Kyai Haji Zainal Mustafa menolak untuk melakukan seikerei
(memberi hormat dengan cara membungkukkan badan) kepada Tenno Heika.
Beliau menolak dikarenakan seikerei adalah perbuatan syirik. Dalam ajaran Islam,
seorag muslim dilarang menyembah siapapun selain Allah. Kemudian Kyai Haji
Zainal Mutafa meninggalkan upacara yang sedang berlangsung. Sejak itulah
terjadi ketegangan antara tentara Jepang dan kyai Haji Zainal Mustafa beserta
pengikut-pengikutnya (Sagimun,1987:246).

Kemudian Kyai Haji Zainal Mustafa beserta pengikut-pengikutnya telah


membulatkan tekad untuk berjihad fisabilillah dalam menentang tentara Jepang
yang telah menghina dan hendak merusak keimanan Islam kaum muslimin
Indonesia. Pada akhirnya, bertepatan pada hari Jum’at tanggal 25 Februari 1944
terjadilah pertempuran di Sukamanah. Kekuatan di kedua pihak tidak
seimbang. Polisi dan tentara Jepang mempergunakan senjata-senjata api
sedangkan para pengikut kyai Haji Zainal Mustafa hanya menggunakan senjata
klewang, tombak, golok, dan sebagainya. Beberapa orang yang menggunakan
pistol dan bedil, dirampas oleh mereka dari polisi. Pada pertempuran ini, kurang
lebih 120 orang rakyat yang gugur.

Kyai Haji Zainal Mustafa beserta pengikut-pengikutnya ditangkap lalu


ditawan oleh tentara Jepang di penjara Cipinang daerah Jatinegara (Jakarta). Pada
tanggal 25 Oktober 1944, Kyai Haji Zainal Mustafa beserta pengikutnya
kemudian dibunuh secara kejam leh tentara Jakarta dan dimakamkan di Ancol,
Jakarta. Kemudian, setelah 26 tahun, pemakaman tersebut digali kembali dan
dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Sukamanah. Dengan surat
keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1972 No.
64/TK/Tahun 1972, Kyai Haji Zainal Mustofa dikukuhkan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia (Sagimun, 1987:247).

2.3.2 Perlawanan Rakyat di Indramayu


Pada bulan April tahun 1944, rakyat di Desa Kaplongan, Distrik
Karangampel, Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) bangkit melawan kekuasaan
tentara Jepang. Dengan sangat kasar dan sewenang-wenang, tentara Jepang
memaksa rakyat untuk menyerahkan padi dan bahan-bahan makanan yang
lainnya. Pada tanggal 30 Juli 1944 di desa Cidampet, Kecamatan Lohbener di
daerah Indramayu juga terjadi perlawanan rakyat. Sebab utamanya adalah alat-alat
kekuasaan tentara pendudukan Jepang melakukan tindakan-tindakan mengambil
paksa padi rakyat.

Di Sulawesi selatan juga terjadi perlawanan rakyat. Sebab utamanya yaitu


alat-alat kekuasaan pemerintah pendudukan tentara Jepang dengan kasar memaksa
rakyat untuk menyerahkan padinya. Perlawanan yang dilakukan rakyat ini
dinamakan “Peristiwa Unra” dikarenakan peristiwa ini terjadi di Desa Unra yang
terletak di Kecamatan Awangpone, Distrik Jelling, Kabupaten Bone (Sulawesi
Selatan). Perlawanan ini dipimpin oleh Haji Temmale (Sagimun 1987:248).

Di Kalimantan, baik Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, maupun di


Kalimantan Barat juga terjadi perlawanan-perlawanan rakyat yang menentang
kekuasaan tentara Jepang. Korban yang paling banyak ditemukan ialah dari
Kalimantan Barat, yaitu kurang lebih 21.000 orang yang dibantai dan dibunuh
secara kejam. Di antara korban tersebut, banyak ditemukan tokoh-tokoh
terkemuka di Kalimantan Barat, sepertiSyarif Muhammad Algadri (Sultan
Pontianak), Sultan Sambas Moh. Ibrahim Safiuddin, Panembahan Ngabang Gusti
Abdul Hamid, Panembahan Tayam Gusti Jafar, Panembahan Sintang Raden
Abdul Bahri, dan banyak raja dan tokoh masyarakat lainnya. selain itu juga
banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional dan cenekiawan yang ditangkap
kemudian dibantai hingga sampai dibunuh secara kejam, seperti Dokter Rubini
dan istri, Demang Muslimin Nataprana, R.M Sudiyono dan banyak lagi tokoh
agama, pemuda, dan rakyat biasa. Agar tidak melupakan pengorbanan rakyat
Kalimantan Barat yang dibantai dan dibunuh secara kejam oleh tentara Jepang,
maka di Desa Mandor didirikan sebuah monumen yang dinamakan “Monumen
Mandor”. Monumen ini menjadi bukti sejarah betapa kejamnya tentara Jepang
yang telah membantai dan membunuh 21.000 orang.

Pada tanggal 10 November 1942, di daerah Cot Plieng, Lhok Sheumawe


(Aceh) terjadi perlawanan menentang tentara Jepang. Perlawanan ini dipimpin
oleh seorang ulama muda yang bernama Teungku Abdul Jalil. Pada saat itu,
Beliau beserta dengan pengikutnya sedang melakukan sembahyang. Kemudia
tentara Jepang menyerang dan berhasil menewaskan Teungku Abdul Jalil.
Kemudian disusul pada bulan November 1944 terjadi perlawanan tentara Giyugun
(semacam tentara PETA ntuk daerah Pulau Sumatera) di bawah pimpinan
Teungku Hamid yang terjadi di daerah Jangka Bua (Aceh).

2.3.3 Pemberontakan Tentara PETA di Blitar


Pada tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.30 pagi di Jawa Timur, tepatnya
di Kota Blitar terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh tentara PETA.
Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Shodanco Supriyadi. Ia memberikan aba-
aba untuk memulai pemberontakan, kemudian diteruskan oleh Bhudanco
Sudarmo kepada Giyuhei Katam dan Giyuhei Takiman. Merekapun
melepaskan masing-masing emapat tembakan mortir sebagai tanda untuk memuali
pemberontakan. Pada saat itu, hubungan telepon ke segela jurusan diputuskan.
Kantor Kenpetai Jepang menjadi sasaran tembakan.

Sebelum pasukan-pasukan pemberontak bergerak, Shudanco Muradi


(Komandan Pertempuran) telah membagi-bagikan tugas kepada setiap kelompok
atau Chudan. Pemberontakan dipimpin oleh Shudanco Supriyadi dan Shudanco
Muradi sebagai Komandan Pertempuran. Para pemberontakamterus bergerah ke
seluruh penjuru Kota Blitar. Kemudian meneruskan gerakannya ke luar kota
menuju pos-pos yang telah ditentukan. Setiap bertemu dengan orang Jepang,
mereka membunuhnya. Hal ini menjadi suatu bukti bahwa kaum penjajah Jepang
sangat dibenci oleh rakyat Indonesia, khususnya para anggota tentara PETA di
Blitar. Namun, karena Jepag dilengkapi dengan persenjataan, terutama tipu
muslihatnya yang licik, akhirnya Jepang dapat melokalisasi dan mematahkan
pemberontakan tentara PETA di Blitar.

Daerah hutan Ngancar, masih banyak ditemukan kurang lebih 200 orang
pemberontak tentara PETA di Blitar. Pasukan ini dipimpin oleh Shudanco Muradi
yang dibantu oleh Shudanco Suparyono dan Shudanco S.Jono. pasukan ini telah
mengambil posisi di tempat-tempat pertahanan mereka. Secara militer, jelas
bahwa Jepang dapat mengalahkan pasukan-pasukan Shudanco Muradi. Namun,
Jepang mencari jalan yang lebih aman yaitu dengan mengambil jalan mengadakan
perundingan dengan pihak pemberontak. Perundingan tersebut menghasilkan
pengampunan bagi Shudanco Muradi beserta pasukannya oleh pihak Jepang.
Sebagai tanda bahwa Jepang berkata jujur, maka Kolonel Katagiri menyerahkan
pedang Samurainya. Perundingan tersebut terjadi pada tanggal 21 Februari 1945
malam hari di rumah Purwosudharmo, seorang Mandor besar Perkebunan
Sumberlumbu. Selesai perundingan itu, maka pasukan-pasuka Shudanco Muradi
di tertibkan dan turun dari pertahanan mereka masing-masing dan naik truk yang
tela disediakan. Mereka berangkat menuju Kota Bitar dan langsung menuju ke
asrama Dai Ni Dan. Mereka diminta berkumpul di halaman dan melapokan Dai Ni
Daidanco bahwa 200 orang anggota Dai Ni Daidan telah siap untuk kembali.
Kemudian, secara licik, Jepang melucuti semua senjata mereka.

Setelah menjalani masa pemeriksaan dan penyiksaan para pemberontak


tentara PETA Blitar dipisahkan. Bagi yang mempunyai kesalahan besar dan berat
diangkut dan diadili di Jakarta oleh Pengadilan Militer Jepang di Jakarta. Sidang
tentara PETA Blitar diadakan di Jakarta pada tanggal 13, 14, dan 16 April 1945
yang diketuai oleh Yamamoto Taisa (Kolonel Yamamoto). Sedangkan yang
menjadi jaksa penuntutnya adalah Letnan Kolonel Tanaka. Akhirnya dibacakanlah
hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer Jepang keada para
pemberontak tentara PETA Blitar. Shudanco Supriyadi dinyatakan hilang dan 6
orang, yakni Shudanco Muradi, Dr. Ismangil, Suparyono, Halir Mangkudijaya,
Sunanto, dan Shudanco Sudarmo mendapatkan hukuman mati. Sedangkan yang
lainnya mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, 15 tahun, 10 tahun, 4
tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1 tahun, dan ada yang hanya dipenjara 7 bulan (Sagimun,
1987:255).

Sedangkan para pemberontak yang tidak diangkut dan diadili di Jakarta,


pada tanggal 14 April 1945 secara keseluruhan mendapat hukuman secara
dikucilkan ke daerah Gambyok yang gersang, yaitu Kabupaten Nganjuk (Jawa
Timur).
BAB 3. PENUTUP

3.1 Simpulan
Masa penjajahan Jepang di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1942-
1945 Serangan Jepang ke Indonesia diawali dengan penguasaan atas Tarakan,
Balikpapan, Palembang, dan daerah di Pulau Jawa. Setelah secara resmi menerima
penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda, maka pemerintahan Jepang
langsung membagi wilayah Indonesia menjadi 3 pemerintahan militer. Usaha
pertama yang dilakukan Jepang guna menggalang dukungan rakyat Indonesia
dalam rangka menciptakan Negara Asia Timur Raya adalah Gerakan 3A.
kedudukan Jepang membawa kesengsaraan bagi bangsa Indonesia. di bidang
ekonomi, semua kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang Jepang.
Oleh karena itu, Jepang selalu berusaha menguasai sumber daya alam dan sumber
daya manusia Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Imran, Amrin. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid IV Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve.

Nasution, A, H. 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung:


Angkasa Bandung.

Poesponegoro, Marwati, Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:


Balai Pustaka.

Ricklefs, M, C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi


Ilmu Semesta.

Sagimun, M, D. 1989. Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda Sampai dengan


Proklamasi. Jakarta: PT Melton Putra.

Anda mungkin juga menyukai