NAMA KELOMPOK :
Haykal
Ijma Naya
Novrina
Dela puja Yanti
Adrian Saputra
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat dan
petunjuk-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan berupa makalah yang berjudul " Akhir
pendudukan Jepang di Indonesia. “
Sumber dari makalah ini berupa buku-buku sejarah yang ditambah dengan informasi yang
didapat dari hasil browsing di internet referensi buku dan sumber, sumber lainnya.Diantara sumber-
sumber tersebut kami susun, semua informasi dan fakta yang sesuai dengan makalah ini, sehingga
menurut kami data-data di dalam makalah ini sudah cukup akurat.
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kendala yang saya temui namun saya
berhasil menghadapinya dan menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Akhir kata jika ada sesuatu
pada khususnya kata-kata yang tidak berkenan pada hati pembaca mohon dimaklumi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................... 1
Daftar Isi.................................................................................................................... 2
Bab 1. Pendahuluan
A. Latar Belakang...................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. Tujuan................................................................................................... 3
Bab 2. Pembahasan
Bab 3. Penutup
A. Kesimpulan............................................................................................. 19
Daftar Pustaka........................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Indonesia, Jepang mulai
menanamkan system penjajahan menggantikan pemerintah Hindia Belanda. Penyerahan kekuasaan
ini menandakan lemahnya Hindia Belanda yang tidak lebih dari mencari keuntungan saja didaerah
jajahannya sedangkan pertahanannya sama sekali tidak diperhatikan. Sehingga Hindia Belanda
kalah dengan Jepang. Namun kemenangan Jepang itu tidak secara fisik saja karena keunggulan
militer dan teknologinya, tetapi dibalik itu sebenarnya terdapat dorongan bangsa Indonesia sendiri
yang bosan terhadap penjajahan Belanda, apalagi Jepang menggunakan propaganda yang mampu
menembus kebencian terhadap kolonialisme pada umunya.
Pidato penguasa Jepang mengana dihati bangsa Indonesia dan Jepang merasa bakal
menjawab untuk membebsakan bangsa Indonesia dari penjajahan Hindia Be;anda dan ikut
dimasukkan dalam kesemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinan Jepang sehingga
dengan cepatnya bangsa Indonesia menerima Jepang dalam memimpin pemrintahan yang
sebenarnya ingin menjajah Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
a. Apa yang melatarbelakangi pendudukan Jepang di Indonesia ?
b. Bagaimana pergerakan nasional masa pendudukan Jepang ?
c. Apa langkah-langkah yang dilakukan Jepang dalam memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia ?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui latarbelakang pendudukan Jepang di Indonesia
b. Untuk mengetahui pergerakan nasional masa pendudukan Jepang
c. Untuk mengetahui langkah-langkah Jepang dalam memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerang Indonesia dan segera menguasai Sumatra
Selatan. Tanggal 1 Maret dini hari, mereka mendarat di Jawa dan dalam waktu delapan hari, Letnan
Jendral Ter Poorten, Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL), Menyerah atas nama seluruh
angkatan perang Sekutu di Jawa. Pendudukan bangsa Jepang atas wilayah Indonesia sebagai negara
imperialis, tidak jauh berbeda dengan negara-negara imperialisme lainnya. Kedatangan bangsa
Jepang ke Indonesia berlatar belakang masalah ekonomi, yaitu mencari daerah-daerah sebagai
penghasil bahan mentah dan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan mencari
tempat pemasaran untuk hasil-hasil industrinya. Sehingga aktivitas perekonomian bangsa Indonesia
pada zaman Jepang sepenuhnya dipegang oleh pemerintah Jepang.
Kedatangan Jepang pada umumnya diterima dengan penuh semangat. Rakyat percaya
bahwa Jepang datang untuk memerdekakan, dan Jepang makin disenangi karena segera
mengizinkan dikibarkannya bendera nasional Indonesia merah putih, dan dikumandangkannya lagu
kebangsaan Indonesia raya, dua hal penting yang dulu dilarang oleh Belanda.
Alasan penting kenapa penjajahan Jepang justru diterima oleh mayoritas kaum terpelajar
Indonesia adalah karena penguasa baru itu dapat lebih meningkatkan status sosial ekonomi orang
Indonesia, hanya dengan kelayakan saja, tanpa kekerasan. Lebih-lebih lagi, dalam waktu enam
bulan sejak kedatangannya, Jepang memenjarakan semua penduduk Belanda, sebagian besar orang
Indo, dan sejumlah orang Kristen Indonesia yang dicurigai pro-Belanda kedalam kamp-kamp
konsentrasi.
Jumlah personil pemerintah militer Jepang hanya sedikit, oleh karena itu mereka terpaksa
mengambil orang-orang Indonesia untuk mengisi lowongan hampir semua jabatan tingkat
menengah, atasan bidang administrasi dan teknisi yang dulu diduduki orang Belanda atau Indo.
Jadi, hampir semua personil Indonesia dalam bidang pemerintahan, mendapat kenaikan pangkat
satu, dan bahkan sering dua atau tiga tingkat dalam hirarki tempat mereka bekerja. Dari situlah
Jepang mula-mula memenangkan dukungan dari rakyat Indonesia.
Karena alasan ini dan karena mereka diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk, Orang
Jepang tampaknya tidak mendapat tantangan nyata apa pun sebelumnya dari para pemimpin
nasionalis. Mereka dapat dengan mudah mengambil sumber-sumber kekayaan Indonesia demi
tujuan kepentingan perang mereka, tanpa harus mengadakan persetujuan dengan kaum nasionalis
Indonesia. Berdasarkan keyakinan ini, mereka membentuk pergerakan tiga A pada tanggal 29 April
1942. Pada saat itu, Jepang memperkenalkan dan memprogandakan semboyan dan semangat
Jepang, yaitu “Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia”.
Pergerakan itu bertujuan mengumpulkan dukungan untuk tujuan perang Jepang dan kemakmuran
bersama Asia Timur Raya. Jepang terlalu dini untuk percaya bahwa mereka tidak perlu menggarap
nasionalisme Indonesia untuk mencapai tujuan-tujuannya lebih lanjut, karena kenyataannya orang
Indonesia yang mereka pilih untuk memimpin pergerakan tersebut adalah Mr. Raden Samsoedin,
jelas bukan seoang pemimpin nasionalis eselon pertama.
Orang Jepang segera menyadari kekeliruan perkiraan ini. Meskipun propagandanya hebat,
Pergerakan Tiga A sebenarnya sangat melempem (gagal). Ternyata kemakmuran ekonomi
Indonesia dinomorduakan dibawah kepentingan Jepang, tanpa suatu imbalan yang memadai bagi
Indonesia. Nusantara dikuras habis bahkan makanannya, minyak dan kinanya, sementara barang-
barang pokok yang sangat diperlukan seperti barang sandang dan onderdil-onderdil tidak masuk
lagi. Jepang mengawasi kurikulum sekolah secara kasar dengan tangan besi. Mereka memaksakan
bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda di sekolah-sekolah menengah atas, dan sebagai
bahasa resmi dikalangan pemerintah. Ini semua menimbulkan reaksi-reaksi negatif yang tajam.
Yang lebih penting dan lebih meresap dihati hampir seluruh penduduk Indonesia dalah
antagonisme yang tajam yang diciptakan oleh kekerasan yang keterlaluan, serta kekurangajaran
yang sering ditunjukan oleh orang Jepang dalam pergaulan dengan orang Indonesia. Dalam waktu
beberapa bulan saja, Jepang mulai menyadari bahwa mereka tidak lagi mendapat dukungan dari
massa maupun mayoritas orang Indonesia terpelajar. Suatu rasa tidak senang terhadap Jepang terus
tumbuh di kalangan rakyat mulai nyata dan ditunjukkan dengan mendadakan pemberontakan
sebelum tahun 1942 berakhir. Jepang mulai khawatir pada permusuhan yang jelas serta
perlawananan yang kadang oleh pelajar sekolah dan mamhasiswa. Mereka cemas terutama setelah
mengetahui bahwa dibentuk organisasi-oraganisasi bawah tanah yang terdiri dari mahasiswa-
mahasiswa ini maupun para pemimpin politik. Mereka mulai memahami bahwa pergerakan
kebangsaan Indonesia adalah suatu kekuatan yang nyata dan kuat, dengan apa harus dicapai suatu
cara penyelesaian tertentu. Menyadari hal ini, Jepang mengubah kebijakan politiknya secara radikal.
Pertama-tama mereka mengalihkan perhatian kepada para pemimpin nasionalis, yang mereka yakini
bahwa pemimpin tersbut benar-benar disukai rakyat.
Sejarah Indonesia Page 6
Akhir Pendudukan Jepang di Indonesia
Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia.
Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa instansi-instansi
pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-
kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk
mecapai Indonesia merdeka.
Perjuangan bawah tanah ini tersebar di berbagai tempat: Jakarta, Semarang, Bandung,
Surabaya, serta Medan. Di Jakarta terdapat beberapa kelompok yang melakukan perjuangan model
ini. Antara kelompok perjuangan yang satu dengan kelompok perjuangan yang lain, selalu terjadi
kontak hubungan.
Kelompok Sukarni
Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan
Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad
Yamin. Sukarni menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam
Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok
Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan, menghimpun orang-orang yang berjiwa
revolusioner, dan mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
Sebagai pegawai Sendenbu, Sukarni bebas mengunjungi asrama Peta (Pembela Tanah Air)
yang tersebar di seluruh Jawa. Karena itu, Sukarni mengetahui seberapa besar kekuatan
revolusioner yang anti-Jepang. Untuk menutupi gerakannya, kelompok Sukarni mendirikan asrama
politik, yang diberi nama “Angkatan Baru Indonesia” yang didukung Sendenbu. Di dalam asrama
ini terkumpul para tokoh pergerakan antara lain: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo,
dan Sunarya yang bertugas mendidik para pemuda tantang masalah politik dan pengetahuan umum.
Kelompok Pemuda
Kelompok Pemuda pada masa Jepang mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang.
Jepang berusaha memengaruhi para pemuda Indonesia dengan propaganda yang menarik. Dengan
demikian, nantinya para pemuda Indonesia merupakan alat yang ampuh guna menjalankan
kepentingan Jepang. Jepang menanamkan pengaruhnya pada para pemuda Indonesia melalui
kursus-kursus dan lembaga-lembaga yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Jepang mendukung berdirinya kursus-kursus yang diadakan dalam asrama-asrama, misalnya
di Asrama Angkatan Baru Indonesia yang terdapat Sendenbu dan Asrama Indonesia Merdeka yang
didirikan Angkatan Laut Jepang. Namun, pemuda Indonesia baik pelajar maupun mahasiswa tidak
gampang termakan oleh propaganda Jepang. Mereka menyadari bahwa imperialisme yang
dilakukan oleh Jepang pada hakikatnya sama dengan imperialisme bangsa Barat.
Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang
terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang
terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok
terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama persatuan mahasiswa.
posisi kunci yang dapat dipercaya, dan kedua mengirim anggotanya ke arah anti Jepang dan Pro
Sekutu.
Sejak masuknya kekuasaan Jepang di Indonesia, organisasi-organisasi politik tidak dapat
berkembang lagi. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan segala bentuk kegiatan
organisasi-organisasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat sosial, ekonomi, dan agama.
Organisasi-organisasi itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi buatan Jepang, sehingga
kehidupan politik pada masa itu diatur oleh pemerintah Jepang, walaupun masih terdapat beberapa
organisasi politik yang terus berjuang menentang pendudukan Jepang di Indonesia.
Laksaman Tadashi Maeda, panglima Angkatan Laut Jepang dan Jawa dan yang bertanggung
jawab atas Dinas Rahasia Angkatan Laut Jepang untuk Indonesia. Bersama stafnya, dia mendirikan
suatu sekolah di Jakarta untuk pemuda berusia 18 sampai 20 tahun yang disebut Asrama Indonesia
Merdeka, pada bulan Oktober. Maeda menghubungi banyak pemimpin nasionalis terkemuka yang
bukan komunis, minta agar mereka memberi kuliah kepada para mahasiswa tentang nasionalisme,
ekonomi, politik, sosiologi, dan marxisme.
Bagi Sjahrir dan Hatta, ini adalah suatu kesempatan untuk mempengaruhi para mahasiswa bertalian
dengan ide-ide baru mereka dan untuk sementara dapat banyak mempengaruhi para mahasiswa
tersebut. Maeda dan para perwira penyelidik Angkatan Laut yang membantunya mengatur sekolah-
sekolah itu, kemudian segera memberi tekanan utama pada pelajaran komunisme.
Hingga akhir bulan Juli 1945, sekolah-sekolah ini mengadakan kursus dua bulanan, dan
menghasilkan beberpa ratus tamatan. Mulai bulan Mei 1945, tamatan-tamatan itu didekati Subardjo
dan dibawah pimpinannya diminta masuk ke dalam gerakan bawah tanahnya yang seolah-olah anti
Jepang.
Organisasi Subardjo menarik anggota yang jumlahnya makin mengesankan. Organisasi
tersebut ikut memasuki periode Republik, dan selam waktu yang singkat, merupakan suatu
kekuatan yang harus diperhitungkan dengan serius. Sejak itu, kebanyakan anggota organisasi itu
yang dulu mendaftarkan lewat salah satu sekolah yang disponsori Jepang, bergabung dengan salah
satu dari tiga kelompok.
Kenapa Jepang mendirikan sekolah-sekolah itu, dan menjadi sponsor organisasi Subardjo?
Sjahrir misalnya, yakin bahwa tujuan utama Jepang adalah merembesi dan akhirnya mengambil
kendali gerakan-gerakan bawah tanah PKI lewat para pemuda yang dilatih dalam sekolah-sekolah
tersebut. Seorang pemimpin gerakan bawah tanah Sjahrir cabang Surabaya yang juga diminta oleh
Maeda untuk mengajar di sekolah-sekolah, punya pendapat lain. Ia dapat meneriam pendapat bahwa
taktik-taktik Jepang bertujuan untuk merembes ke dalam gerakan bawah tanah PKI melalui sekolah-
sekolah tersebut. Namun demikian, ia yakin, bahwa tujuannya hanya terbatas hingga memecah
belah PKI saja.
Akan tetapi, penjelasan-penjelasan ini menyebabkan sulit untuk dimengerti, mengapa
seorang pemipin gerakan bawah tanah yang bonafide seperti Wikana dipakai oleh Jepang. Di lain
pihak, sejumlah pemimpin nasionalis yang pandai, termasuk seorang dengan keseimbangan kerja
yang baik seperti Hatta, merasa yakin bahwa Maeda dan banyak perwira angkatan laut di bawah
Maeda, dengan setulus hati menginginkan kemerdekaan Indonesia dan mereka menyelesaikan
masalah-masalah sosial dalam negeri maupun dunia dengan suatu “cara yang progresif”.
Beberapa orang Indonesia mengira-ngira tentang kemungkinan hubungan antara perwira
tersebut dengan Tan Malaka. Mungkin dapat diperdebatkan bahwa orang Jepang mungkin dengan
senang hati bekerja bersama Tan Malaka karena bermaksud memecah belah gerakan bawah tanah
PKI dan menarik lebih banyak orang Indonesia ke pihaknya untuk memerangi invasi Sekutu.
Para pemimpin yang relatif paling obyektif, bahkan yang dengan gigih menentang Tan
Malaka, yakin bahwa Tan Malaka tidak pernah akan mengorbankan diri dalam suatu peranan di
mana kepentingan nasional Indonesia dinomorduakan setelah kepentingan bangsa lain manapun,
teramasuk Jepang dan Rusia.
Akan tetapi, ada kenyataan-kenyataan lain yang memberi pandangan agak lain terhadap
kegiatan-kegiatan orang Jepang ini yang membingungkan ini. Mungkin sikap-sikap dan kegiatan-
kegiatan para perwira yang membingungkan ini, merupakan suatu fenomena yang tidak terbatas di
Indonesia saja.
Dengan makin mendekatnya kekuatan Sekutu ke Indonesia, dan meningkatnya perasaan anti
Jepang, para penguasa militer Jepang di Jawa mulai mengambil langkah baru ke arah pembentukan
suatu pemerintah Indonesia merdeka. Pada tanggal 1 Maret 1945 , dibentuklah BPUPKI. Panitia
tersebut menyelenggrakan dua sidang pleno , pada tanggal 28 Mei - 2 Juni dan 10 - 17 Juli , dan
mencapai persetujuan dasar mengenai masalah perundang-undangan dan masalah ekonomi.
Di samping konsensi-konsensi yang dibuat oleh pemerintah Jepang dengan orang-orang
Indonesia di Jawa dan Madura , tuntutan untuk memiliki pemerintahan sendiri dan Jepang makin
didesak untuk memberi kemerdekaan.
Pada tangal 7 Agustus, 1945, diperoleh izin dari markas besar Letjen. Terauchi di Saigon
untuk membentuk suatu panitia yang seluruhnya terdiri dari orang Indonesia, dalam izin tersebut
disebutkan bahwa panitia iti bertugas mengadakan persiapan untuk mengambil alih kekuasaan
pemerintah dari pemerintah militer Jepang.
Karakter hubungan antara pemerintahan Jepang dengan kaum tani secara tidak langsung itu
diganti dengan campur tangan langsung dan keras oleh pemerintah militer Jepang yang hanya
sedikit diperingan oleh sebagian hubungan yang dilakukan lewat Peta dan Djawa Hokokai. Seperti
yang diamati Sjahrir:
Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, sendi-sendi mayarakat di desa diobrak-abrik
dan diruntuhkan dengan kerja paksa, dengan penculikan orang desa dijadikan romusha jauh dari
tempat tinggalnya, dijadikan serdadu, dengan penyerahan hasil bumi secara paksa, dengan
penanaman hsil bumi secara paksa, dengan sewenang-wenang yang tiada batas.
Dibanyak wilayah, masyarakat-masyarat desa sangat direnggut dan dipaksa untuk menyusun
kembali srukturnya karena tuntutan-tuntutan berat untuk menyediakan tenaga kerja oleh Jepang.
Dipaksanya beribu-ribu pekerja desa yang paling terampil untuk masuk HeiHo, Peta dan
sebagainya, berarti bahwa pola-pola kerja tradisional dan pembagian tanah harus diubah.
Kekejaman Jepang, tuntutan-tuntutan mereka yang semena-mena untuk tenaga kerja dan
hasil bumi, dan upah yang diterima begitu tidak berarti sehingga orang-orang hampir tidak dapat
membeli apa-apa untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, seperti baju, alat-alat pertanian dan
sebagainya, membangkitkan kebencian hebat terhadap Jepang dikalangan petani.
Adalah merupakan kenyataan, bahwa inflansi uang besar-besaran yang berkembang selama
dua tahub penduduk Jepang, hutang uang yang meluas dari kaum tani, mengurangi perbandingan
nilai tanah mereka. Akan tetapi, akibat tidak disengaja dari pemerintahan Jepang tidak dapat
dijadikan kesempatan oleh kebanyakan petani karena paksaan Jepang yang keras itu tidak
membiarkan mereka memperbaiki hidupnya kecuali dengan membuat hutang baru kepada sumber
kredit mereka yang lama, yaitu para pengelana Cina yang menjadi lintah darat.
Dengan meningkatnya inflasi, maka menjelang tahun 1944, pada umumnya para lintah darat
tidak mau lagi menerima syarat pembayaran kredit dalam bentuk barang. Sebagai gantinya, mereka
setuju menerima pengembalian kredit semacam itu dengan persentase tertentu dari hasil panenan
petani. Dengan demikian, keuntungan inflasi itu tidak dapat dinikmati kaum petani.
Sebagai reaksi dengan tujuan melawan beratnya tuntutan Jepang, kaum tani menjadi jauh
lebih sadar secara politik dibandingkan sebelumnya. Hal ini, dan perasaan kaum tani terhadap
Jepang dapat dibuktikan dengan pemberontakan-pemberontakan kaum tani setempat yang meluas
dan sering terjadi, terutama selama tahun terakhir pendudukan Jepang.
Indoktrinasi yang diberikan oleh gerakan-gerakan bawah tanah ditambah keahlian para
pemimpin nasionalis dalam Poetra dan Hokokai, khususnya Soekarno dan Hatta, yang oleh Jepang
diperbolehkan mengadakan hubungan tak terbatas dengan kaum tani lewat radio dan tampil secara
pribadi, menyebabkan kebangkitan politik dan keluhan-keluhan di baliknya terungkapkan
kebangkitan dalam suatu kesadaran politik dan keinginan untuk memperoleh kemerdekaan nasional
yang belum pernah dimiliki sebelumnya oleh petani. Secara khusus hal ini disebabkan oleh pidato-
pidato Soekarno yang disiarkan sebagaimana adanya ke seluruh desa besar di Jawa dan Madura.
Kemampuannya untuk mengadakan kontak dengan petani memakai istilah-istilah dan konsep-
konsep yang dapat dipahami mereka, menyebabkan Soekarno dapat membuat hubungan semacam
itu dengan mereka, sehingga ketika revolusi pecah dialah yang pertama dianggap pemimpin oleh
kaum tani.
Propaganda Jepang terus menerus berjuang mengembangkan dukungan populer untuk
tujuan perang mereka dan mengusir Sekutu, jelas meningkatkan kebangkitan politik yang terhasut
oleh aspek material dari pendudukan Jepang. Meskipun propaganda dengan aksi Jepang cukup
efektif untuk meningkatkan perasaan penduduk melawan Belanda, usaha Jepang untuk membuat
rakyat melawan negara Sekutu lainnya, terutama AS, hanya sedikit berhasil. Orang Jepang hampir
sepenuhnya gagal dalam usaha mereka membuat orang Indonesia menyamakan kepentingan
nasional Indonesia dengan kepentingan nasional Jepang.
Usaha gerakan-gerakan bawah tanah Indonesia yang anti-Jepang untung menghalangi
tujuan-tujuan Jepang ini dipermudah dan terangsang oleh kemenangan-kemenangan Amerika atas
Jepang dan sikap anti penjajahan yang tampak menyertai orang Indonesia. Laporan laporan
kemenangan-kemenangan dan sikap ini diterima lewat radio oleh organisasi bawah tanah dan
disampaikan oleh mereka kepada rakyat, terutama kepada unit-unit Peta dan organisasi pemuda.
Tuntutan proklamasi yang ditambahkan oleh Amerika kepada syarat-syarat Piagam Atlantik
dan Piagam PBB dalam siaran-siaran seberang-lautan oleh Amerika Serikat yang diterima di
Indonesia sehubungan dengan janji kemerdekaan yang diberikan kepada Filipina sesudah perang,
memperkuat keyakinan banyak orang Indonesia, bahwa pada umumnya Amerika menentang
Kolonialisme dan bahwa pertentangan ini meluas ke Indonesia.Mungkin kaum muda Indonesia
memperoleh kesan yang paling mendalam, terutama yang berusia antara 15 dan 21 tahun.
Khususnya di kalangan mereka yang dulu memperoleh pendidikan rendah, dan ini merupakan
mayoritas besar, propaganda Jepang yang dipaksakan dan terus menerus itu begitu membekas.
Semua ini mempersempit dan memperbesar perasaan kebangsaan mereka. Sedikit yang
memperkembangkan orientasi pro-Jepang, tetapi banyak mengembangkan nasionalisme yang
sangat militan bercampur dengan prangsangka anti-Barat yang kuat dan emosional yang sering
terwujud dalam kebencian yang mendalam dan sering mengembang menjadi antipati terhadap orang
Indo-Belanda dan orang Tionghoa. Jumlah mereka yang nasionalismenya begitu sempit tidak perlu
dibesar-besarkan. Apa pun masalahnya, kebanyakan mereka membuktikan mau mengikuti
bimbinan dan teladan pemuda terpelajar dan para pemimpin nasionalis yang lebih matang dengan
faham yang jauh lebih terbuka. Namun demikian, masih ada suatu minoritas menyolok yang pada
awalnya revolusi tertarik untuk mendukung para pemimpin yang kurang cerah karirnya.
Karena peranan dominan yang harus dimainkan oleh mereka yang relatif berpendidikan,
terutama pelajar sekolah menengah dan mahasiswa, pada tahap pertama dan paling kritis revolusi
itu, perlu dimengerti secara khusus pengaruh pendidikan Jepang atas mereka. Kebijakan Jepang
memaksakan bahasanya kepada pelajar Indonesia (sangat ditekankan selama tahun pertama
pendudukan Jepang) dibarengi dengan pengelolaan sekolah sekolah secara aristokratis dan keras,
dengan sangat cepat menimbulkan kebencian kaum pelajar itu. Banyak dari mereka yang lebih
bersemangat dipaksa keluar dari sekolah karena terang-terangan melawan pengurus sekolah Jepang
atau keluar dari sekolah sebagai protes. Sejumlah yang lain tetap bersekolah hanya demi lebih
menutupi kegiatan-kegiatan bawah-tanah anti-Jepang yang paling banyak menyita waktu mereka.
Sebagian besar tokoh pelajar datang dari luar kota besar, yang jumlahnya hanya sedikit itu,
dimana terdapat sekolah-sekolah menengah dan perguruan-perguruan tinggi. Kebanyakan terpisah
dari rumah mereka, dan bila mereka tidak menerima beasiswa dari pengusus sekolah Jepang yang
bagi kebanyakan mereka dianggap haram, terpaksa mencari nafkah sendiri. Bagi kebanyakan
mereka, keharusan menyongsong diri sendiri merupakan suatu pengalaman yang sama sekali baru.
Kekurangan tenaga kerja yang relatif berpendidikan di bidang pemerintahan dan perdagangan
sebagai akibat dari dipenjarakannya penduduk Belanda, menyebabkan masalah ini tidak sulit.
Kemampuan menyokong diri sendiri memberikan suatu derajat kepercayaan diri yang belum
pernah mereka miliki sebelumnya. Banyak yang merasa yakin, bahwa tanpa ini, mereka hampir
tidak mampu memainkan peranan-peranan revolusioner yang harus segera mereka tangani. Lebih-
lebih lagi, mereka yang meninggalkan sekolah dan pulang kerumah, harus memanfaatkan waktu
mereka yang bebas itu sebaik-baiknya. Hingga suatu taraf yang lebih rendah, masalah ini juga
dialami oleh mereka yang sudah memperoleh pekerjaan sehingga sore hari mereka tidak perlu
menghabiskan waktunya untuk mengulang pelajaran sekolah.
Banyak pelajar Indonesia mulai menggeluti tulisan para penulis politik Barat selama masa
pengangguran terpaksa itu dan banyak diantara mereka yang sudah pernah membacanya punya
kesempatan besar untuk menekuninya secara lebih mendalam. Dengan dibubarkannya Poetera pada
akhir tahun 1943, kebanyakan pelajar sekolah menengah dan mahasiswa yang mendukungnya,
membina kontak dengan salah satu atau lebih gerakan bawah tanah bila sebelumnya mereka belum
punya kontak dengan gerakan semacam itu. Dalam gerakan-gerakan tersebut -- terutama di bawah
bimbingan Sjahrir dan anggota-anggota kelompoknya seperti Djohan Sjaroezah, Roeslan Abdulani,
Subadio, Dr. Subandrio dan Dr. Sudarsono -- mereka melanjutkan belajar politik dan pada waktu
bersamaan terlibat dalam usaha gerakan bawah tanah itu. Akhirnya harus diperhatikan bekas anti-
Imperialis mendalam dan bekas perasaan anti-komunis tertinggal pada pelajar-pelajar yang masuk
Sekolah-sekolah Asrama.
Dikalangan orang Indonesia terpelajar (sekitar 6-8 persen penduduk) perkembangan dan
penyebaran bahasa Indonesia selama masa pendudukan Jepang berarti memperkuat kesadaran
kebangsaan mereka dan membentuk kecenderungan keagamaan mereka yang mungkin sebaliknya
telang dirangsang karena pembagian indonesia ke dalam tiga suasana pemerintahan itu. Semula,
tujuan jangka panjang Jepang adalah mengganti bahasa Belanda dengan bahasa mereka sendiri
sebagai bahasa di bidang pemerintahan dan bahasa pengantar di sekolah. Namun demikian,
kelayakan jangka-pendek memaksa mereka untuk tergantung pada suatu bahasa yang bukan bahasa
Belanda namun dikuasai oleh sejumlah sangat besar orang Indonesia diseluruh kepulauan itu.
Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia karena dialek yang umum dipakai di
seluruh Indonesia sudah cukup dikenal.
Di bawah Jepang, bahasa tersebut menjadi bahasa resmi dalam bidang pemerintahan dan
semua bidang pendidikan di atas kelas tiga. Orang-orang Indonesia yang menduduki posisinya yang
diizinkan bagi mereka selama pemerintahan Belanda dan yang asal saja omong Belanda, tetapi
sedikit bahasa Indonesia, ditantang untuk mempelajari bahasa Indonesia dalam waktu singkat. Hal
ini juga berlaku bagi guru-guru sekolah yang sarana instruksinya adalah bahasa Belanda atau
mungkin Jawa, Sunda atau Madura. Menurut takdir Alisjahbana:
" Demi menggalang kekuatan seluruh penduduk Indonesia untuk tujuan perangnya,
orang Jepang menyusup masuk ke desa-desa yang terpencil di Nusantara, sambil memakai bahasa
Indonesia. Demikianlah maka bahasa itu berkembang dan bagi kebanyakan penduduk mengihalmi
suatu perasaan baru. Makin mereka belajar memakai bahasa Indonesia dengan bebas, mereka
makin menyadari adanya suatu ikatan umum. Bahasa Indonesia menjadi suatu lambang kesatuan
kebangsaan yang berlawanan dengan usaha-usaha Jepang itu, sepenuhnya menyuburkan bahasa
dan kebudayaan mereka sendiri.
Sejarah Indonesia Page 17
Akhir Pendudukan Jepang di Indonesia
Oleh karena itu, menjelang Jepang menyerah, posisi bahasa indonesia sudah sangat baik, baik
dalam kekuatannya maupun martabatnya tidak hanya jika dibandingkan dengan bahasa Belanda,
tetapi juga dengan berbagai bahasa daerah dikepulauan itu yang tidak punya kesempatan
berkembang selama masa pendudukan Jepang. "
Konsekuensi lain dari zaman pendudukan Jepang yang sangat penting dalam
mengembangkan perasaan kebangsaan di kalangan orang Indonesia dan khususnya kemauan
mereka untuk merdeka secara politik, merupakan akibat peningkatan besar-besaran dalam rasa
percaya pada diri-sendiri orang Indonesia pada umumnya, dan dalam rasa percaya diri-sendiri
masing-masing kebanyakan orang Indonesia terpelajar. Seperti sudah kita lihat, hal ini muncul dari
kebutuhan Jepang mempekerjakan orang-orang Indonesia dalam hampir semua bidang
pemerintahan dan teknis, yang dulunya diduduki orang-orang Eropa yang sudah mereka singkirkan.
Sistem perkeretaapian di bawah pengelolaan orang Indonesia mungkin tidak berjalan seefisien di
bawah Belanda dulu, tetapi tetap berjalan.
Tiba-tiba tampak jelas bahwa apa yang disebut ketrampilan esoterik, hanya dimiliki oleh
orang tertentu saja, dari "orang Belanda yang superior" itu, tidak hanya dapat, tetapi dalam banyak
hal juga sudah dikuasai orang-orang Indonesia. Ini menimbulkan suatu kesan yang hebat pada
setiap orang. Bagi orang-orang Indonesia yang melaksanakan tugas-tugas ini, dan bertalian dengan
sejumlah aktivitas oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan, hal ini sering tampak jika ada
seorang Jepang mengambil alih salah satu pekerjaan dalam bidang pemerintahan atau teknis, maka
tingkat hasil kerjanya jauh lebih rendah daripada yang dicapai oleh orang Indonesia. Menurut
pendapat banyak orang Indonesia, "memang, orang Jepang dengan mudah menindas Belanda, dan
kami dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan itu lebih baik daripada orang Jepang. Oleh karena itu,
jelas kami bukan rakyat yang bermartabat lebih rendah. Kenapa kami harus dikuasai oleh orang lain
dan tidak oleh kami sendiri? "
Akan tetapi, lepas dari ini menimbulkan rasa percaya diri sendiri yang kuat, penempatan
orang-orang Indonesia pada posisi-posisi yang dulunya diduduki orang Eropa, dalam cara lain yang
lebih penting, telah memperkuat kemauan orang Indonesia untuk merdeka. Bagi banyak orang
Indonesia yang sudah merasakan keuntungan dari ini, pergerakan sosial-ekonomi revolusioner yang
meningkat punya cengkeraman yang kuat dalam mempertahankan perubahan-perubahan ini. Bagi
mereka itu berarti membendung kembalinya pendudukan Belanda. Mereka yakin bahwa
kembalinya Belanda dapat berarti mereka akan turun ke pangkatnya yang dulu sebaliknya,
kemerdekaan dibayangkan sebagai suatu harapan kejenjang pangkat yang bahkan lebih tinggi
daripada yang sudah mereka capai.
Pencapaian posisi mereka yang baru belumlah memuaskan, tetapi rasa percaya diri yang
dipertinggi oleh kemampuan mereka menangani pekerjan-pekerjaan ini hanyalah menambah nafsu
untuk mencapai posisi lebih tinggi yang tetap dipegang oleh seorang Jepang atau menduduki
jabatan mereka yang baru itu sepenuhnya tanpa pengawasan seorang "pengawas" bangsa Jepang.
Revolusi sosial yang harus diciptakan Jepang sebagai sesuatu kelayakan, bahwa
menguntungkan orang-orang Indonesia yang dulu lebih diperhatikan oleh Belanda karena termasuk
golongan bangsawan asli kuno dan telah menduduki posisi-posisinya yang relatif tinggi di bawah
pemerintahan Belanda. Dalam hampir semua hal posisi-posisinya ini sudah cukup tinggi untuk
membuat mereka merasa berkepentingan membantu mempertahankan quo penjajah Belanda.
Namun demikiam, di bawah pemerintahan Jepang, banyak orang semacam itu terpaksa menduduki
posisi-posisi yang tidak pernah mereka harapkan pada masa pemerintahan rezim lain. Dalam hal-hal
ini, juga lahir keyakinan bahwa mereka dapat menangani posisi-posisi yang lebih tinggi daripada
yang dibolehkan mendudukinya oleh Belanda dulu, bahwa mereka berhak menduduki posisi-posisi
semacam itu, dan bahwa ada jaminan mereka akan memperolehnya dalam negara Indonesia yang
merdeka. Demkianlah, maka rusaklah beberapa alat pemerintahan Belanda yang paling efektif dan
dapat diandalkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketika jaman pendudukan Jepang, organisasi pergerakan nasional Indonesia mendapat
pembatasan agar mereka tidak mampu melepaskan diri dari Jepang. Baru setelah pemerintah Jepang
memberikan kesempatan para nasionalis diajak bekerjasama maka mereka menggunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya guna menggalang kesatuan dan semangat nasionalis. Pada
pertengahan tahun 1942 Seokarno dibebaskan dari penjara dan sudah barang tentu pemerintah
Jepang akan menggunakan keppuleran dan kepemimpinan Soekarno untuk tujuan propaganda yaitu
agar seluruh bangsa Indonesia dengan mudah dikerahkan untuk membantu perang yang sedang
dihadapi Jepang.
Empat serangkai diberi kepercayaan untuk memimpin gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Putra)
yang dibentuk 9 Maret 1943, atas usul Ir. Soekarno. Tujuan Putra ialah mempersatukan rakyat Jawa
untuk menghadapi serangan Sekutu yang semakin dekat dengan Indonesia (Jawa). Tugas Putra
menggerakan tenaga dan kekuatan rakyat untuk memberi bantuan kepada usaha-usaha untuk
mencapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda “Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-
1946”. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Kahin, George McTurnan. 1995. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik “Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia”. Sebelas Maret University Press : Pustaka Sinar Harapan.
LAMPIRAN