Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

GAWATDARURAT PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

OLEH :
NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI
NIM. P07120216017
SEMESTER VII / S.Tr.KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
A. Konsep Dasar Teori Kejang Demam
1. Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah
infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden
terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuan. Hal tersebut
disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi,
Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari
sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktifitas motorik atau gangguan fenomena sensori. (Doenges, 2000)
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian
kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan
terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan
segera normal kembali. Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu,
dua, tiga kali atau lebih selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam
dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering dijumpai pada
anak usia di bawah umur 5 tahun.
2. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita,
lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing,
2004).
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam
sederhana antara lain :
1) Berlangsung singkat (< 15 menit)
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
3) Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam
kompleks antara lain :
1) Berlangsung lama (> 15 menit).
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan
salah satu bagian tubuh.
3) Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
4) Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang klonik
yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.

3. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak
dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya
suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah
terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang
tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya
tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi yang dapat
menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial
sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak. Demam
sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut,
otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap
anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang
paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah
terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang
tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah
demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme,
respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009):
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering
berulang
d. Lamanya demam.
e. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
f. Adanya gangguan perkembangan neurologis
g. Kejang demam kompleks
h. Riwayat epilepsi dalam keluarga
i. Lamanya demam
4. Pathway

Infeksi
5. Bakteri, virus Rangsangan mekanik dan
dan parasit biokimia, gangguan
keseimbangan cairan dan
elektrolit
Reaksi inflamasi

Perubahan
konsentrasi ion di Kelainan neurologis
Monosit, makrofag dan sel
ruang ekstrasesluler perinatal/prenatal
kupper untuk melawan
mikroorganisme dan
jaringan yang terinflamasi
Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+
potensial membram ATP dan K+
Pengeluaran pirogen ASE
endogen
Pelepasan muatan listrik
Perubahan beda potensial
semakin meluas ke seluruh sel
membran sel neuron
Pirogen mengalir ke otak maupun membrane sel
dan hipotalamus sekiatranya dengan bantuan
menginstruksikan untuk neurotransmiter Kejang
meningkatkan suhu tubuh

Peningkatan suhu Kurang dari 15 menit (KDS Lebih dari 15 menit (KDK)
tubuh

Kesadaran menurun Kontraksi otot meningkat Perubahan suplai


darah ke otak

Reflek menelan Metabolisme meningkat


menurun Resiko kerusakan
sel neuron otak
Suhu tubuh semakin
Resiko aspirasi meningkat
Resiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
Hipertermia
serebral
6. Tanda Dan Gejala
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam:
a. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
b. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Beberapa
detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat
kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
c. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran)

Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga dapat kita
jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam. Ada 7 kriteria antara
lain:
a. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
d. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
f. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih setelah
suhu normal tidak dijumpai kelainan
g. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun
sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf
(Judha & Rahil, 2011).

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1) Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200mq/dl)
2) BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
3) Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
4) Natrium (N 135-144 meq/dl)
5) Cairan cerebo spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.
6) X Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
7) Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbaik (di
bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala
8) EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
9) CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral oedema,
trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

8. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
2) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena justru
benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
3) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
4) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
5) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat.
6) Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber
demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat, atau anak
terus tampak lemas.
Menurut Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa
penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75
mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3
mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg (per IV ) 10 mg
(Per rektal) pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 5-10 mg (Per IV) 10-15 mg
(per rektal) pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul
kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan
dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian
diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake
dan output cairan selama 24 jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang
beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu
dihindari.
5) Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode konduksi
yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang mempunyai
derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada jaringan
penghantar panas yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha,
serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari
(terbagi dalam 3 kali pemberian).
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan
untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas
dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali
pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
8) Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk
mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok
diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.

b. Setelah Kejang Demam Berhenti


Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan dengan
pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk mencegah terjadinya
kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
1) Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap 6 jam.
Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa hiperhidrosis.
Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
2) Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam untuk
menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam rectal dosis 0,5 mg/kgBB
sebanyak 3 kali per hari.
c. Pencegahan Kejang Demam
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi
terhadap kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa:
a) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk
meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika
status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga
dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.
b) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat
akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak sehingga anak dapat
terhindar dari berbagai penyakit infeksi.
2) Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang anak
mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang
mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang
terdekat dengan anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam. Demam
merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami demam
segera kompres anak dengan air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan
demamnya meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat
mengurangi risiko terjadinya kejang demam.
3) Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami kejang
demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada anak meliputi:
a) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan,
kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan
dengan cara memberikan obat antikejang kepada penderita. Obat yang diberikan
adalah diazepam. Dapat diberikan melalui intravena maupun rektal.
b) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut,
otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Untuk mengobati
penyakit infeksi tersebut diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan
suhubadan yang tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis
atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi)
diindikasikan pada anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2 tahun.
Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan
EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko
untuk mengalami epilepsi.
c) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
(1) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan
pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus
dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa
diazepam, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
(2) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(a) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
(b) Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
(c) Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap. Kejang demam terjadi pada bayi
berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu
episode demam. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama
1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat
mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat diberikan
berupa fenobarbital dan asam valproat.
d) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya
kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam mempunyai
risiko untuk mengalami kematian meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain
itu, jika penderita kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan
yang tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron). Oleh
karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu mendapat penanganan yang
adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah timbulnya kecacatan bahkan
kematian.

9. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain:
a. Kejang Demam Berulang
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode
demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu:
1) Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
2) Riwayat kejang demam dalam keluarga
3) Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
4) Riwayat demam yang sering
5) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
b. Kerusakan Neuron Otak
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin
meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan
metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas
kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.
c. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
d. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu:
1) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
2) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
3) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
e. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah
pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu
timbul spasitas.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Survey Primer
1) A: Airway (jalan nafas) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang dihantarkan
ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh. Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam  Demam yang terlalu tinggi merangsang kerja
syaraf jaringan otak secara berlebihan, sehingga jaringan otak tidak dapat lagi
mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang membiru,
lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya
berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan
keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah
gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau berbalik
arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :

- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi


- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler
2) B: Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya  lebih 15
menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat
untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :

- RR dalam batas normal


- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia
3) C: Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian
hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin  kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :

- Tidak terjadi gangguan peredaran darah


- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari
epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat
kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk mengetahui suhu tubuh
yang mana kejang mungkin disebabkan atau didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:

- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat kejang yang


dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan termoregulasi.
b. Survey sekunder
1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekuensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas,
perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal
terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.

Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang
terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia (baik urine / fekal).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan
aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat
trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan
sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko aspirasi
b. Hipertermi
c. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3. Intervensi

N STANDAR DIAGNOSIS STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI


O KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN KEPERAWATAN
(SDKI) INDONESIA (SLKI) INDONESIA (SIKI)
1. Risiko Aspirasi (D.0006) Setelah dilakukan asuhan Manajemen Jalan Nafas
Definisi : keperawatan selama ...x... jam (I.01011)
Berisiko mengalami masuknya maka Tingkat Aspirasi Observasi
sekresi gastrointestinal, sekresi (L.01006) Menurun dengan  Monitor pola napas (frekuensi,
orofaring, benda cair atau padat ke kriteria hasil: kedalaman, usaha napas).
dalam saluran trakeobronkhial □ Tingkat kesadaran
 Monitor bunyi napas tambahan
akibat disfungsi mekanisme meningkat (5)
(mis. gurgling, mengi,
protektif saluran napas.
□ Kemampuan menelan wheezing, ronkhi kering)
Faktor Risiko :
meningkat (5).
□ Penurunan tingkat kesadaran  Monitor sputurn (jumlah,
□ Kebersihan mulut wama, aroma)
□ Penurunan refleks muntah
meningkat (5).
dan/atau batuk. Terapeutik

□ Dispnea menurun (5)  Pertahankan kepatenan jalan


□ Gangguan menelan.
napas dengan head-tilt dan
□ Disfagia. □ Kelemahan otot menurun chin-lift (jaw-thrust jika curiga
(5) trauma servikal).
□ Kerusakan mobilitas fisik.
□ Akumulasi secret menurun  Posisikan semi-Fowler atau
□ Peningkatan residu lambung.
(5) Fower.
□ Peningkatan tekanan
□ Wheezing menurun (5)  Berikan minum hangat
intragastrik.
□ Batuk menurun (5)  Lakukan fisioterapi dada, jika
□ Penurunan motilitas
perlu.
gastrointestinal. □ Penggunaan otot aksesori
menurun (5)  Lakukan penghisapan lendir
□ Sfingter esofagus bawah
kurang dari 15 detik.
inkompeten. □ Sianosis menurun (5)
□ Perlambatan pegosongan □ Gelisah menurun (5)  Lakukan hiperoksigenasi
lambung. sebelum penghisapan
□ Frekuensi napas membaik
endotrakeal.
□ Terpasang selang nasogastric. (5)
 Keluarkan sumbatan benda
□ Terpasang trakeostomi atau
padat dengan forsep McGill
endotracheal tube.
 Berikan oksigen, jika perlu
□ Trauma/pembedahan leher,
Edukasi
mulut, dan/atau wajah.
 Anjurkan asupan cairan 2000
□ Efek agen farmakologis. ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
□ Ketidakmatangan koordinasi
menghisap, menelan dan  Ajarkan teknik batuk efektif
bernapas
Kolaborasi
Kondisi Klinis Terkait :  Kolaborasi pemberian

□ Cedera kepala. bronkodilator, ekspektoran,


mukolitik, jika perlu.
□ Stroke.

□ Cedera medula spinalis.


Pencegahan Aspirasi (I.01018)
□ Guillain barre syndrome. Observasi
 Monitor tingkat kesadaran,
□ Penyakit Parkinson.
batuk, muntah dan kemampuan

□ Keracunan obat dan alcohol. menelan.

 Monitor status pernapasan.


□ Pembesaran uterus.

 Monitor bunyi napas, terutama


□ Miestenia gravis.
setelah makan/minum.
□ Fistula trakeoesofagus.
 Periksa residu gaster sebelum
□ Striktura esophagus. memberi asupan oral.

□ Sklerosis multiple.  Periksa kepatenan selang


nasogastrik sebelum memberi
□ Labiopalatoskizis.
asupan oral
□ Atresia esophagus.
Terapeutik
□ Laringomalasi  Posisikan semi Fowler (30 - 45
derajat) 30 menit sebelum
□ Prematuritas
memberi asupan oral.

 Pertahankan posisi semi


Fowler (30 - 45 derajat) pada
pasien tidak sadar

 Pertahankan kepatenan jalan


napas (mis. teknik head tilt
chin lift, jaw thrust, in line)

 Pertahankan pengembangan
balon endotracheal tube
(ETT).

 Lakukan penghisapan jalan


napas, jika produksi sekret
meningkat

 Sediakan suction di ruangan

 Hindari memberi makan


melalui selang gastrointestinal,
jika residu banyak

 Berikan makanan dengan


ukuran kecil atau lunak
 Berikan obat oral dalam
bentuk cair

Edukasi
 Anjurkan makan secara
perlahan.

 Ajarkan strategi mencegah


aspirasi.

 Ajarkan teknik mengunyah


atau menelan, jika perlu

2. Hipertermia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia


Definisi: keperawatan selama 1 x 2 jam (I.15506)
Suhu tubuh meningkat di atas maka Termoregulasi Observasi
rentang normal tubuh. (L.14134) Membaik, dengan  Identifikasi penyebab
Penyebab: kriteria hasil: hipertermia
 Dehidrasi  Mengigil menurun (5)  Monitor suhu tubuh
 Terpapar  Kulit merah menurun (5)  Monitor kadar elektrolit
lingkungan panas  Kejang menurun (5)  Monitor haluaran urine
 Prose  Akrosianosis menurun (5)  Monitor komplikasi akibat
penyakit (mis. infeksi, kanker)  Konsumsi menurun (5) hipertermia
 Ketidaksesuai  Piloereksi menurun (5) Terapeutik
an pakaian dengan suhu  Vasokonstriksi perifer  Sediakan lingkungan yang
lingkungan menurun (5) dingin
 Peningkatan  Kutis memorata menurun  Longgarkan atau lepaskan
laju metabolism (5) pakaian
 Respon  Pucat menurun (5)  Basahi dan kipasi permukaan
trauma  Takikardi menurun (5) tubuh
 Aktivitas  Takipnea menurun (5)  Berikan cairan oral
berlebihan  Bradikardi menurun (5)  Ganti linen setiap hari atau
 Penggunaan  Dasar kuku sianolik lebh sering jika mengalami
inkubator menurun (5) hiperhidrosis (keringat
Gejala dan Tanda Mayor  Hipoksia menurun (5) berlebih)
Subjektif: Tidak tersedia  Suhu tubuh membaik (5)  Lakukan pendinginan
Objektif: eksternal (mis. selimut
 Suhu kulit membaik (5)
 Suhu tubuh di atas nilai normal hipotermia atau kompres
 Kadar glukosa darah
Gejala dan Tanda Minor dingin pada dahi, leher, dada,
membaik (5)
Subjektif: tidak tersedia abdomen, aksila)
 Pengisian kapiler membaik
Objektif:  Hindari pemberian antipiretik
(5)
 Kulit merah atau aspirin
 Ventilasi membaik (5)
 Kejang  Berikan oksigen, jika perlu
 Tekanan darah membaik
 Takikardi Edukasi
(5)
 Takipnea  Anjurkan tirah baring
 Kulit terasa hangat Kolaborasi
Kondisi Klinis Terkait  Kolaborasi pemberian cairan
 Proses infeksi dan elektrolit intravena, jika
perlu
 Hipertiroid

 Stroke Manajemen kejang (I.06193)


Observasi
 Dehidrasi
 Monitor terjadinya kejang
 Trauma  Monitor karakteristik
kejang (mis. Aktivitas
 Prameturitas
motoric dan progresi
kejang
 Monitor status nuerologis
 Monitor tanda-tanda vital
Terapiutik
 Baringkan pasien agar
tidak terjatuh
 Berikan alas empuk
dibawah kepala jika perlu
 Pertahankan kepatenan
jalan nafas
 Longggarkan pakaian,
terutama di bagian leher
 Damping selama periode
kejang
 Jauhkan benda-benda
berbahaya terutama bensa
tajam
 Catat durasi kejang
 Reorientasikan setelah
periode kejang
 Dokumentasi periode
kejang
 Pasang akses IV
 Berikan oksigen
Edukasi
 Anjurkan keluarga
menghindari memasukkan
apapun ke dalam mulut
pasien saat periode kejang
 Anjurkan keluarga tidak
menggunakan kekerasan
untuk menahan gerakan
pasien
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
antikonvulsan

3. Risiko Perfusi Serebral Tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen Peningkatan


Efektif (D.0017) keperawatan selama ….x……. Tekanan Intrakranial (I.06194)
Definisi: maka Perfusi Serebral Observasi
Berisiko mengalami penurunan Meningkat (L.02014) dengan  Identifikasi penyebab
sirkulasi daerah otak. kriteria hasil: peningkatan TIK (mis. Lesi,
Faktor Risiko  Tingkat kesadaran gangguan metabolisme, edema
 Keabnormalan masa meningkat (5) serebral)
prothrombin dan/atau masa  Kognitif meningkat (5)  Monitor tanda /gejala
tromboplastin parsial  Sakit kepala menurun (5) peningkatan TIK (mis.
 Penurunan kinerja ventrikel kiri  Gelisah menurun (5) Tekanan darah meningkat,
 Aterosklerosis aorta  Kecemasan menurun (5) tekanan nadi melebar,
 Diseksi arteri  Agitasi menurun (5) bradikardi, pola nafas ireguler,

 Fibrilasi atrium kesadaran menurun)


 Demam menurun (5)
 Tumor otak  Monitor MAP (Mean Arterial
 Tekanan arteri rata-rata
 Stenosis karotis Pressure)
membaik (5)
 Monitor CVP (Central Venous
 Miksoma atrium  Tekanan intra kranial
Pressure), jika perlu
 Aneurisma serebri membaik (5)
 Monitor PAWP, jika perlu
 Koagulopati (mis.anemia sel  Tekanan darah sistolik
membaik (5)  Monitor PAP , jika perlu
sabit)
 Dilatasi kardiomiopati  Tekanan darah diastolit  Monitor ICP (Intra Cranial
membaik (5) Pressure), jika tersedia
 Koagulasi intravaskuler
 Reflex saraf membaik (5)  Monitor CPP (Cerebral
diseminata
Perfusion Pressure)
 Embolisme
 Monitor gelombang ICP
 Cedera kepala
 Monitor setatus pernapasan
 Hiperkolesteronemia  Monitor intake dan ouput
 Hipertensi cairan
 Endocarditis infektif  Monitor cairan serebro-
 Katup prostetik mekanis spinalis (mis. Warna,

 Stenosis mitral konsistensi)

 Neoplasma otak Terapeutik


 Minimalkan stimulus dengan
 Infark miokard akut
menyediakan lingkungan yang
 Sindrom sick sinus
tenang
 Penyalahgunaan zat
 Berikan posisi semi Fowler
 Terapi tombolitik
 Hindari maneuver valsava
 Efek samping tindakan (mis.
 Cegah terjadinya kejang
Tindakan operasi bypass)
 Hindari penggunaan PEEP
Kondisi Klinis Terkait:
 Hindari pemberian cairan IV
 Stroke
hipotonik
 Cedera kepala
 Atur ventilator agar PaCO2
 Aterosklerotik aortic
optimal
 Infark miokard akut
 Pertahankan suhu tubuh
 Diseksi arteri
normal
 Embolisme
Kolaborasi
 Endocarditis infektif
 Kolaborasi pemberian sedasi
 Fibrilasi atrium
dan anti konvulsan, jika perlu
 Hiperkolesterolemia
 Kolaborasi pemberian diuretik
 Hipertensi osmosis, jika perlu
 Dilatasi kardiomiopati  Kolaborasi pemberian pelunak
 Koagulasi intravascular tinja , jika perlu
diseminata
 Miksoma atrium
 Neoplasma otak Pemantauan Tekanan
 Segmen ventrikel kiri akinetic Intrakranial (I.06198)
 Sindrom sick sinus Observasi
 Stenosis karotid  Identifikasi penyebab
 Stenosis mitral peningkatan TIK (mis. Lesi

 Hidrosefalus menempati ruang, gangguan

 Infeksi otak (mis. Meningitis, metabolisme, edema

ensefalitis, abses serebri) serebraltekann vena, obstruksi


aliran cairan serebrospinal,
hipertensi, intracranial
idiopatik)
 Monitor peningkatan TD
 Monitor pelebaran tekanan
nadi (selisih TDS dan TDD)
 Monitor penurunan frekuensi
jantung
 Monitor ireguleritas irama
napas
 Monitor penurunan tingkat
kesadaran
 Monitor perlambatan atau
ketidaksimetrisan respon pupil
 Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
 Monitor tekanan perfusi
serebral
 Monitor jumlah, kecepatan,
dan karakteristik drainase
cairan serebrospinal
 Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
 Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
 Kalibrasi transduser
 Pertahankan sterilitas sistem
pemantauan
 Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
 Bilas sistem pemantauan, jika
perlu
 Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta

Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan,


EGC, Jakarta

Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta

Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from


http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober 2017].

Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy Research, 70S:
S5-S10.

Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-epsy.org/


[Accessed 3 Oktober 2017].

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.

Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media, Jakarta

Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.). Harrison’s:
Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, 222-
245.

Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-122

Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical Neurology. 3rd
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-542.

Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.

Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.

Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC.

Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Yogyakarta :
Graha Ilmu

Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and Epilepsy
Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.

Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 1.

Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.

WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.


LEMBAR PENGESAHAN
Badung, Desember 2019

Mengetahui,

Pembimbing Klinik / CI Mahasiswa

................................................... ..............................................
NIP. NIM.

Clinical Teacher/CT

......................................................
NIP.

Anda mungkin juga menyukai