OLEH :
NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI
NIM. P07120216017
SEMESTER VII / S.Tr.KEPERAWATAN
3. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak
dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya
suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah
terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang
tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya
tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi yang dapat
menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial
sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak. Demam
sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut,
otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap
anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang
paling tinggi. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah
terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang
tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah
demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme,
respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009):
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering
berulang
d. Lamanya demam.
e. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
f. Adanya gangguan perkembangan neurologis
g. Kejang demam kompleks
h. Riwayat epilepsi dalam keluarga
i. Lamanya demam
4. Pathway
Infeksi
5. Bakteri, virus Rangsangan mekanik dan
dan parasit biokimia, gangguan
keseimbangan cairan dan
elektrolit
Reaksi inflamasi
Perubahan
konsentrasi ion di Kelainan neurologis
Monosit, makrofag dan sel
ruang ekstrasesluler perinatal/prenatal
kupper untuk melawan
mikroorganisme dan
jaringan yang terinflamasi
Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+
potensial membram ATP dan K+
Pengeluaran pirogen ASE
endogen
Pelepasan muatan listrik
Perubahan beda potensial
semakin meluas ke seluruh sel
membran sel neuron
Pirogen mengalir ke otak maupun membrane sel
dan hipotalamus sekiatranya dengan bantuan
menginstruksikan untuk neurotransmiter Kejang
meningkatkan suhu tubuh
Peningkatan suhu Kurang dari 15 menit (KDS Lebih dari 15 menit (KDK)
tubuh
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga dapat kita
jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam. Ada 7 kriteria antara
lain:
a. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
d. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
f. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih setelah
suhu normal tidak dijumpai kelainan
g. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun
sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf
(Judha & Rahil, 2011).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1) Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200mq/dl)
2) BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
3) Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
4) Natrium (N 135-144 meq/dl)
5) Cairan cerebo spinal: mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.
6) X Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
7) Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbaik (di
bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala
8) EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
9) CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral oedema,
trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
1) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
2) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena justru
benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
3) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
4) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
5) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat.
6) Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber
demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat, atau anak
terus tampak lemas.
Menurut Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa
penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75
mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3
mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg (per IV ) 10 mg
(Per rektal) pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 5-10 mg (Per IV) 10-15 mg
(per rektal) pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh
melebihi 50 mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul
kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan
dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian
diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring,
pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan
intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake
dan output cairan selama 24 jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang
beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat
memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu
dihindari.
5) Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode konduksi
yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang mempunyai
derajat yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada jaringan
penghantar panas yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha,
serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari
(terbagi dalam 3 kali pemberian).
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan
untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas
dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan
fenobarbital dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali
pemberian) hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
8) Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah
kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka
pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk
mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu
dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok
diberikan pada pasien anak dengan kejang demam.
9. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain:
a. Kejang Demam Berulang
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode
demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu:
1) Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
2) Riwayat kejang demam dalam keluarga
3) Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
4) Riwayat demam yang sering
5) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
b. Kerusakan Neuron Otak
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin
meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan
metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas
kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.
c. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
d. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu:
1) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
2) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
3) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
e. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah
pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu
timbul spasitas.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang
terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia (baik urine / fekal).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan
aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat
trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan
sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko aspirasi
b. Hipertermi
c. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3. Intervensi
Pertahankan pengembangan
balon endotracheal tube
(ETT).
Edukasi
Anjurkan makan secara
perlahan.
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy Research, 70S:
S5-S10.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media, Jakarta
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.). Harrison’s:
Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, 222-
245.
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical Neurology. 3rd
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-542.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.). Neurology
Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 106-125.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Yogyakarta :
Graha Ilmu
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and Epilepsy
Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 1.
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI
Mengetahui,
................................................... ..............................................
NIP. NIM.
Clinical Teacher/CT
......................................................
NIP.