Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

OLEH :
1. I MADE SEDANA YOGA P07120217006
2. PUTU MAYA OKTAVIANTI P07120217007
3. NI PUTU OLLWAN ANTARI P07120217008
4. . NI WAYAN ARI RAHAYUNI P07120217010
5. KADEK INDAH DWIJAYANTI P07120217011
6. PUTU AYU SUADNYANI P07120217012

SEMESTER VII / S.Tr.KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN KEJANG DEMAM

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan
bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang
demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Kejang
demam lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang
lebih cepat dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam
antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis,
otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak
terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-
tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktifitas motorik atau gangguan
fenomena sensori. (Doenges, 2000)
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa
waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya.
Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang pada
penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama
satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu,
dua, tiga atau lebih serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang
sering dijumpai pada anak usia di bawah umur 5 tahun.
2. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil
dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam,
usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan
lainnya (Lumbantobing, 2004).
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam sederhana antara lain :
1) Berlangsung singkat (< 15 menit)
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
3) Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri
kejang demam kompleks antara lain :
1) Berlangsung lama (> 15 menit).
2) Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
3) Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
4) Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh.
Kejang klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian
anggota tubuh.

3. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan
suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh
naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong
L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil,
2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi
yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada
anak. Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi
saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang
berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu
38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi,
serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat
infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009) :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang
makin sering berulang
d. Lamanya demam.
Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI,
2009)
a. Adanya gangguan perkembangan neurologis
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi dalam keluarga
d. Lamanya demam
4. Pathway

5.
Infeksi Bakteri, virus Rangsangan mekanik dan
dan parasit biokimia, gangguan
keseimbangan cairan dan
elektrolit
Reaksi inflamasi

Perubahan
konsentrasi ion di Kelainan neurologis
Monosit, makrofag dan sel
ruang ekstrasesluler perinatal/prenatal
kupper untuk melawan
mikroorganisme dan
jaringan yang terinflamasi
Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+
potensial membram ATP dan K+
Pengeluaran pirogen ASE
endogen
Pelepasan muatan listrik
Perubahan beda potensial
semakin meluas ke seluruh sel
membran sel neuron
Pirogen mengalir ke otak maupun membrane sel
dan hipotalamus sekiatranya dengan bantuan
menginstruksikan untuk neurotransmiter Kejang
meningkatkan suhu tubuh

Peningkatan suhu Kurang dari 15 menit (KDS) Lebih dari 15 menit (KDK)
tubuh

Kesadaran menurun Kontraksi otot meningkat Perubahan suplai


darah ke otak

Reflek menelan Metabolisme meningkat


menurun Resiko kerusakan
sel neuron otak
Suhu tubuh semakin
meningkat
Resiko aspirasi
Resiko
ketidakefektifan
Hipertermia perfusi jaringan
serebral
6. Tanda Dan Gejala
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul
pada penderita kejang demam :
a. Suhu tubuh (suhu rektal) lebih dari 38°C.
b. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan
persarafan.
c. Saat kejang tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya
(penurunan kesadaran)

Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga


dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam.
Ada 7 kriteria antara lain :
a. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
b. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
c. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
d. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
f. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
g. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,


berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik
atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf (Judha & Rahil, 2011).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi :
1) Glukosa darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200mq/dl)
2) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
3) Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
4) Natrium (N 135-144 meq/dl)
5) Cairan cerebo spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,
pendarahan penyebab kejang.
6) X Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
7) Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
8) EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang
utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
9) CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma, cerebral
oedema, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

8. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
2) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
3) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
4) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
5) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat.
6) Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.

Menurut Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwa


penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara
perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg
dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata
yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan maksimal
dosis pemberian 5 mg (per IV ) 10 mg (Per rektal) pada anak kurang dari
5 tahun dan maksimal 5-10 mg (Per IV) 10-15 mg (per rektal) pada anak
yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg
persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang
15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena
dengan dosis yang sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit
lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama
secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
3) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan
intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jamperlu
dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
5) Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke
benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain kompres).
Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan
pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi
dalam 3 kali pemberian).
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi
tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan craa menaikan
tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih 15° (posisi tubuh
pada garis lurus)
7) Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun,
75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
8) Pengobatan penyebab. Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang
adalah kenaikan suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran
pernapasan, tonsil maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent,
pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme
yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada
pasien anak dengan kejang demam.
b. Setelah Kejang Demam Berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan
dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk
mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa :
1) Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap
6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa
hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
2) Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam
rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.
c. Pencegahan Kejang Demam
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap kasus kejang demam pada seorang anak dimana
belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya
primordial dapat berupa:
a) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya
untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka akan
meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat terhindar dari
berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.
b) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih
dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak
sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi.
2) Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang
anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada
kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini
diharapkan keluarga/orang terdekat dengan anak dapat mencegah
terjadinya serangan kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam.
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak
mengalami demam segera kompres anak dengan air hangat dan berikan
antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak ditemukan bukti
bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya kejang
demam.
3) Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami
kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam
pada anak meliputi:
a) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah
menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi
anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus
kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan
teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan,
kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan
dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan
kejang dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang kepada
penderita. Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan
melalui intravena maupun rektal.
b) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan
lain-lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut diberikan
antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga
dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis.
Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi)
diindikasikan pada anak penderita kejang demam berusia kurang dari 2
tahun. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk
mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah
dan elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam
kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi.
c) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena
menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan
kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
(1) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan
segera diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari
38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak.
Obat yang dapat diberikan berupa diazepam, klonazepam atau
kloralhidrat supositoria.
(2) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(a) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis.
(b) Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
(c) Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang demam
terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam. Antikonvulsan
profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-
2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna
untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak
dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat
yang dapat diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.
d) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah
terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita
kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian
meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita
kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang
tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron). Oleh
karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu mendapat
penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah
timbulnya kecacatan bahkan kematian.

9. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara
lain:
a. Kejang Demam Berulang
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu:
1) Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
2) Riwayat kejang demam dalam keluarga
3) Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
4) Riwayat demam yang sering
5) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
b. Kerusakan Neuron Otak
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur,
serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan dengan meningkatnya
aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas
merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsung kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas
kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.
c. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
d. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor
risiko yang menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari,
yaitu:
1) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
2) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
3) Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
e. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai
serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang
mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan
bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Survey Primer
1) A : Airway (jalan nafas) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang
dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh.
Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam  Demam yang terlalu
tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan, sehingga
jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada
anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak
tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa
detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan
anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah
gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau
berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler
2) B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama
misalnya  lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan
O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia
3) C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi
spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin  kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal
4) D : (Disability) Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan
atau karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa
bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
5) E : (Exposure) Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks,
apakah ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien
untuk mengetahui suhu tubuh yang mana kejang mungkin disebabkan atau
didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.
b. Survey sekunder
1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit:
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekuensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
c) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada
post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.

Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah


sebagai berikut. Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri /
orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia (baik urine /
fekal).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan
dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat,
peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, penurunan
reflex muntah dan/ atau batuk, gangguan menelan, disfagia, kerusakan
mobilitas fisik, peningkatan residu lambung, trauma/ pembedahan leher,
mulut dan/atau wajah, ketidakmatangan koordinasi menghisap, menelan.
b. Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi, terpapar lingkungan panas, proses
penyakit (mis. Infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian dengan suhu
lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon trauma, aktivitas
berlebihan, penggunaan incubator.
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan keabnormalan masa
protombin, penurunan kinerja ventrikel kiri, aterosklerosis aorta, disesksi
arteri, tumor otak, koagulopati, embolisme, cedera kepala, hipertensi,
neoplasma otak, infark miokard akut, penyalahgunaan zat, efek samping
tindakan.
3. INTERVENSI

NO STANDAR DIAGNOSIS STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI


KEPERAWATAN KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI)
INDONESIA (SDKI)
1. Risiko Aspirasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Jalan Nafas
Definisi : selama ...x... jam maka Tingkat Aspirasi Observasi
Berisiko mengalami Menurun dengan kriteria hasil:  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
masuknya sekresi □ Tingkat kesadaran meningkat (5) usaha napas).
gastrointestinal, sekresi
□ Kemampuan menelan meningkat (5).  Monitor bunyi napas tambahan (mis.
orofaring, benda cair atau
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering)
padat ke dalam saluran
□ Kebersihan mulut meningkat (5).
trakeobronkhial akibat  Monitor sputurn (jumlah, wama, aroma)
disfungsi mekanisme □ Dispnea menurun (5)
Terapeutik
protektif saluran napas.
□ Kelemahan otot menurun (5)  Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
Faktor Risiko :
head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
□ Penurunan tingkat □ Akumulasi secret menurun (5)
trauma servikal).
kesadaran
□ Wheezing menurun (5)
 Posisikan semi-Fowler atau Fower.
□ Penurunan refleks
muntah dan/atau batuk. □ Batuk menurun (5)
□ Gangguan menelan. □ Penggunaan otot aksesori menurun (5)  Berikan minum hangat

□ Disfagia. □ Sianosis menurun (5)  Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.

□ Kerusakan mobilitas □ Gelisah menurun (5)  Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15

fisik. detik.
□ Frekuensi napas membaik (5)
□ Peningkatan residu  Lakukan hiperoksigenasi sebelum

lambung. penghisapan endotrakeal.

 Keluarkan sumbatan benda padat dengan


□ Peningkatan tekanan
forsep McGill
intragastrik.

 Berikan oksigen, jika perlu


□ Penurunan motilitas
gastrointestinal. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
□ Sfingter esofagus
tidak kontraindikasi.
bawah inkompeten.
 Ajarkan teknik batuk efektif
□ Perlambatan
pegosongan lambung. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator,
□ Terpasang selang
nasogastric. ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

□ Terpasang trakeostomi
atau endotracheal tube.
Pencegahan Aspirasi

□ Trauma/pembedahan Observasi

leher, mulut, dan/atau  Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah


wajah. dan kemampuan menelan.

□ Efek agen  Monitor status pernapasan.

farmakologis.
 Monitor bunyi napas, terutama setelah

□ Ketidakmatangan makan/minum.

koordinasi menghisap,  Periksa residu gaster sebelum memberi


menelan dan bernapas asupan oral.

Kondisi Klinis Terkait :


 Periksa kepatenan selang nasogastrik
□ Cedera kepala. sebelum memberi asupan oral

□ Stroke. Terapeutik
 Posisikan semi Fowler (30 - 45 derajat) 30
□ Cedera medula
menit sebelum memberi asupan oral.
spinalis.  Pertahankan posisi semi Fowler (30 - 45
derajat) pada pasien tidak sadar
□ Guillain barre
syndrome.  Pertahankan kepatenan jalan napas (mis.
teknik head tilt chin lift, jaw thrust, in line)
□ Penyakit Parkinson.
 Pertahankan pengembangan balon
□ Keracunan obat dan
endotracheal tube (ETT).
alcohol.
 Lakukan penghisapan jalan napas, jika
□ Pembesaran uterus. produksi sekret meningkat

□ Miestenia gravis.  Sediakan suction di ruangan

□ Fistula trakeoesofagus.  Hindari memberi makan melalui selang


gastrointestinal, jika residu banyak
□ Striktura esophagus.
 Berikan makanan dengan ukuran kecil atau
□ Sklerosis multiple.
lunak

□ Labiopalatoskizis.  Berikan obat oral dalam bentuk cair

□ Atresia esophagus. Edukasi


□ Laringomalasi  Anjurkan makan secara perlahan.

□ Prematuritas  Ajarkan strategi mencegah aspirasi.

 Ajarkan teknik mengunyah atau menelan,


jika perlu

2. Hipertermia Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Hipertermia


Definisi: selama 1 x 2 jam maka Termoregulasi Observasi
Suhu tubuh meningkat di Membaik, dengan kriteria hasil:  Identifikasi penyebab hipertermia
atas rentang normal tubuh.  Mengigil menurun (5)  Monitor suhu tubuh
Penyebab:  Kulit merah menurun (5)  Monitor kadar elektrolit
 Dehi  Kejang menurun (5)  Monitor haluaran urine
drasi  Akrosianosis menurun (5)  Monitor komplikasi akibat hipertermia
 Terpa  Konsumsi menurun (5) Terapeutik
par lingkungan panas  Piloereksi menurun (5)  Sediakan lingkungan yang dingin
 Prose
 Vasokonstriksi perifer menurun (5)  Longgarkan atau lepaskan pakaian
penyakit (mis. infeksi,
 Kutis memorata menurun (5)  Basahi dan kipasi permukaan tubuh
kanker)
 Pucat menurun (5)  Berikan cairan oral
 Ketid
 Takikardi menurun (5)  Ganti linen setiap hari atau lebh sering jika
aksesuaian pakaian  Takipnea menurun (5) mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih)
dengan suhu  Bradikardi menurun (5)  Lakukan pendinginan eksternal (mis.
lingkungan  Dasar kuku sianolik menurun (5) selimut hipotermia atau kompres dingin
 Penin  Hipoksia menurun (5) pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
gkatan laju metabolism  Suhu tubuh membaik (5)  Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Resp  Suhu kulit membaik (5)  Berikan oksigen, jika perlu
on trauma Edukasi
 Kadar glukosa darah membaik (5)
 Aktiv  Anjurkan tirah baring
 Pengisian kapiler membaik (5)
itas berlebihan Kolaborasi
 Ventilasi membaik (5)
 Peng  Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
 Tekanan darah membaik (5)
gunaan inkubator intravena, jika perlu
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif: Tidak tersedia
Objektif:
 Suhu tubuh di atas nilai
normal
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif: tidak tersedia
Objektif:
 Kulit merah
 Kejang
 Takikardi
 Takipnea
 Kulit terasa hangat
Kondisi Klinis Terkait
 Proses infeksi

 Hipertiroid

 Stroke

 Dehidrasi

 Trauma

 Prameturitas
3. Risiko Perfusi Serebral Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan
Tidak Efektif selama ….x……. maka Perfusi Serebral Intrakranial
Definisi: Meningkat dengan kriteria hasil: Observasi
Berisiko mengalami  Tingkat kesadaran meningkat (5)  Identifikasi penyebab peningkatan TIK
penurunan sirkulasi daerah  Kognitif meningkat (5) (mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema
otak.  Sakit kepala menurun (5) serebral)
Faktor Risiko  Gelisah menurun (5)  Monitor tanda /gejala peningkatan TIK
 Keabnormalan masa  Kecemasan menurun (5) (mis. Tekanan darah meningkat, tekanan
prothrombin dan/atau  Agitasi menurun (5) nadi melebar, bradikardi, pola nafas
masa tromboplastin  Demam menurun (5) ireguler, kesadaran menurun)
parsial  Tekanan arteri rata-rata membaik (5)  Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
 Penurunan kinerja  Tekanan intra kranial membaik (5)  Monitor CVP (Central Venous Pressure),
ventrikel kiri jika perlu
 Tekanan darah sistolik membaik (5)
 Aterosklerosis aorta  Monitor PAWP, jika perlu
 Tekanan darah diastolit membaik (5)
 Diseksi arteri  Monitor PAP , jika perlu
 Reflex saraf membaik (5)
 Fibrilasi atrium  Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika
 Tumor otak tersedia
 Stenosis karotis  Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
 Miksoma atrium  Monitor gelombang ICP
 Aneurisma serebri  Monitor setatus pernapasan
 Koagulopati  Monitor intake dan ouput cairan
(mis.anemia sel sabit)  Monitor cairan serebro-spinalis (mis.
 Dilatasi kardiomiopati Warna, konsistensi)
 Koagulasi intravaskuler Terapeutik
diseminata  Minimalkan stimulus dengan menyediakan
 Embolisme lingkungan yang tenang
 Cedera kepala  Berikan posisi semi Fowler
 Hiperkolesteronemia  Hindari maneuver valsava
 Hipertensi  Cegah terjadinya kejang
 Endocarditis infektif  Hindari penggunaan PEEP
 Katup prostetik  Hindari pemberian cairan IV hipotonik
mekanis  Atur ventilator agar PaCO2 optimal
 Stenosis mitral  Pertahankan suhu tubuh normal
 Neoplasma otak Kolaborasi
 Infark miokard akut  Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
 Sindrom sick sinus konvulsan, jika perlu

 Penyalahgunaan zat  Kolaborasi pemberian diuretik osmosis,

 Terapi tombolitik jika perlu

 Efek samping tindakan  Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika

(mis. Tindakan operasi perlu

bypass)
Kondisi Klinis Pemantauan Tekanan Intrakranial

Terkait: Observasi

 Stroke  Identifikasi penyebab peningkatan TIK


 Cedera kepala (mis. Lesi menempati ruang, gangguan
 Aterosklerotik aortic metabolisme, edema serebraltekann vena,

 Infark miokard akut obstruksi aliran cairan serebrospinal,

 Diseksi arteri hipertensi, intracranial idiopatik)

 Embolisme  Monitor peningkatan TD

 Endocarditis infektif  Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih


TDS dan TDD)
 Fibrilasi atrium
 Monitor penurunan frekuensi jantung
 Hiperkolesterolemia
 Monitor ireguleritas irama napas
 Hipertensi
 Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Dilatasi kardiomiopati
 Monitor perlambatan atau
 Koagulasi intravascular
ketidaksimetrisan respon pupil
diseminata
 Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam
 Miksoma atrium
rentang yang diindikasikan
 Neoplasma otak
 Monitor tekanan perfusi serebral
 Segmen ventrikel kiri
 Monitor jumlah, kecepatan, dan
akinetic
karakteristik drainase cairan serebrospinal
 Sindrom sick sinus
 Monitor efek stimulus lingkungan terhadap
 Stenosis karotid
TIK
 Stenosis mitral
 Hidrosefalus Terapeutik
 Infeksi otak (mis.  Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
Meningitis, ensefalitis,  Kalibrasi transduser
abses serebri)  Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
 Pertahankan posisi kepala dan leher netral
 Bilas sistem pemantauan, jika perlu
 Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Disesuaikan dengan intervensi

5. EVALUASI KEPERAWATAN
1) Evaluasi Formatif
2) Evaluasi Sumatif
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,


Jakarta

Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.

Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing

Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-122

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta
: EGC.

Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu

Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya


Kusuma, 1.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Kota
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Kota
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Kota
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.


KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN

Alamat : Jl. P MOYO No 33 A , Denpasar Selatan


Telp : (0361) 725273 FAX : (0361) 724568

FORMAT PENGKAJIAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Nama Mahasiswa :
NIM :

Identitas Pasien
Nama : an.R
Umur :3 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Tanggal MRS : 6/8/2020
Alasan Masuk : kejang
Diagnosa Medis : kejang demam

Initial survey:
A (alertness) : -
V (verbal) :
P (pain) :-
U (unserpons) :-

Warna triase : P1 P2 P3 P4 P5
SURVEY PRIMER DAN RESUSITASI

A. AIRWAY DAN KONTROL SERVIKAL

1. Keadaan jalan nafas

Tingkat kesadaran : apatis


Pernafasan : spontan
Upaya bernafas : ada
Benda asing di jalan nafas : tidak ada
Bunyi nafas : vesikuler
Hembusan nafas : teraba
2. Diagnosa Keperawatan : resiko aspirasi
3. Intervensi / Implementasi : mempertahankan jalan nafas dan memberikan
posisi semi fowler
4. Evaluasi :-

B. BREATHING
1. Fungsi pernafasan
Jenis Pernafasan : takipnea
Frekwensi Pernafasan : 35 x/mnt
Retraksi Otot bantu nafas : tidak ada
Kelainan dinding thoraks : tidak ada
Bunyi nafas : vesikuler
Hembusan nafas : teraba
2. Diagnosa Keperawatan :-
3. Intervensi / Implementasi :-
4. Evaluasi :

C. CIRCULATION
1. Keadaan sirkulasi
Tingkat kesadaran : apatis
Perdarahan (internal/eksternal) : tidak ada
Kapilari Refill : <2 detik
Tekanan darah :-
Nadi radial/carotis :120 x/mnt
Akral perifer : hangat
2. Diagnosa Keperawatan :-
3. Intervensi / Implementasi
4. Evaluasi

D. DISABILITY
1. Pemeriksaan Neurologis:
GCS : E3V4M5 : 12
Reflex fisiologis : ++
Reflex patologis : ++
Kekuatan otot : 5555 5555
5555 5555

2. Diagnosa Keperawatan :-
3. Intervensi / Implementasi :-
4. Evaluasi :-
PENGKAJIAN SEKUNDER / SURVEY SEKUNDER
(Dibuat bila pasien lebih dari 2 jam diobservasi di IGD)

1. RIWAYAT KESEHATAN
a. RKD
Pasien mengalami demam terjadi sejak kurang lebih 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam muncul tiba-tiba dan dirasakan terus menerus
tetapi tidak terlalu tinggi. Tetapi pasien tetap membawa anaknya berobat ke
klinik dan diberi obat penurun panas namun tidak ada perbaikan.
Pasien juga batuk sejak kurang lebih 1 hari sebelum masuk RS
bersamaan dengan demam. Batuknya tidak berdahak. batuknya jarang dan
tidak menentu. Tidak ada pilek, sakit telinga maupun cairan yang keluar dari
telinga. Buang air besar dan air kecil tidak ada keluhan.
b. RKS
Px datang ke UGD ditemani orang tuanya dengan keadaan kejang,
suhu tubuh 390C, dengan kedua tangan mengepal dan kedua tungkai bawah
bergetar seperti orang menggigil, mata tida mendelit ke atas, pasien seperti
menyeringai, tidak keluar busa dari mulut dan lidah tidak tergigit. Dan ini
merupakan serangan kejang yang kedua, serangan pertama waktu umur pasien
1 tahun setengah.
c. RKK
Pasien pernah mengalami kejang yang didahului demam pada umur 1
tahun setengah dan pernah sakit campak waktu umur 1 tahun.
2. RIWAYAT DAN MEKANISME TRAUMA
-
3. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)

a. Kepala
Kulit kepala : normocephale
Mata : konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, pupil
isokor simetris, reflek cahaya +/+ , edema palpebral -/-
Telinga : normotia, liang telinga lapang/lapang, serumen -/-,
secret -/-
Hidung : lapang, secret -/-, deviasi septum (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Mulut dan gigi : mukosa kering, sianosis (-)
Wajah : simetris
b. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
c. Dada/ thoraks
Paru-paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris
Palpasi : vocal fremitus kiri dan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler
Jantung
Inspeksi : bunyi jantung I, II normal, murmur (-), gallop (-)
Palpasi : ictus cordis teraba

d. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal : 4x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), turgor kembali
cepat, limpa dan hepar tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-), pekak alih (-)Inspeksi
e. Perineum dan rektum : tidak dikaji
f. Genitalia :-
g. Ekstremitas : Bentuk biasa, deformitas (-),Akral hangat, sianosis
tidak ada, capillary refill < 2 detikInspeksi
h. Neurologis
Fungsi sensorik : +/+
Fungsi motorik : +/+
4. HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium 6 Agustus 2020
Jenis Pemeriksaan Hasil
 Leukosit  5.1
 HB  9.5
 Hematokrit  28.5
 Trombosit  234

5. HASIL PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


-
6. TERAPI DOKTER
 IVFD NaCl 0.9 % 8 tpm
 Paracetamol flash 15 mg/kg tiap 6 jam
 Diazepam 0,3 mg/kgBB
7. Analisa data
DATA ETIOLOGI MASALAH

DS : Kejang Risiko Aspirasi


 Ibu
mengatakan anak Kurang dari 15 menit
mengalami
kejang dan panas Kesadaran menurun
sedikit sesak
nafas
Reflek menelan
 Ibu
menurun
mengatakan anak
panas sejak
beberapa hari
Risiko aspirasi
yang lalu disertai
batuk tidak
berdahak

DO :
 Kesadara
n anak menurun
 Tanda
Vital : Suhu :
390C, RR :
35x/mnt, N:
120x/mnt
 Anak
mengalami
kejang, bibir
menyeringai,
tangan dan
tungkai tampak
tegang dan anak
seperti menggigil

DS : Kejang Hipertermi
 Ibu
mengatakan anak
Kurang dari 15 menit/lebih
mengalami
demam sejak satu Metabolism meningkat
hari yang lalu
terlu tinggi Suhu tubuh meningkat
namun tidak
kunjung sembuh Hipertermi

DO :
 Anak
tampak
menggigil
 Suhu
tubuh anak
meningkat
 Tanda
Vital : S : 390C,
RR : 35x/mnt, N :
120x/mnt

8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko aspirasi dengan factor risiko penurunan reflex muntah dan/atau
batuk
b. Hipertermi b/d peningkatan laju metabolism ditandai dengan suhu
tubuh diatas nilai normal yaitu 380C , takipnea, kulit teraba hangat
4. INTERVENSI

NO STANDAR STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI


DIAGNOSIS KEPERAWATAN KEPERAWATAN
KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI) INDONESIA (SIKI)
INDONESIA (SDKI)
1. Resiko aspirasi dengan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Jalan Nafas
factor risiko penurunan keperawatan selama 1 x 2 Observasi
reflex muntah dan/atau jam maka Tingkat Aspirasi  Monitor pola napas
batuk Menurun dengan kriteria (frekuensi, kedalaman,
hasil: usaha napas).
□ Tingkat kesadaran
 Monitor bunyi napas
meningkat (5) tambahan (mis. gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi
□ Kemampuan menelan
kering)
meningkat (5).
Terapeutik
□ Batuk menurun (5)
 Pertahankan kepatenan

□ Frekuensi napas jalan napas dengan head-tilt

membaik (5) dan chin-lift (jaw-thrust


jika curiga trauma
servikal).

 Posisikan semi-Fowler atau


Fower.

 Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi
 Ajarkan teknik batuk
efektif

Pencegahan Aspirasi
Observasi
 Monitor tingkat kesadaran,
batuk, muntah dan
kemampuan menelan.

 Monitor status pernapasan.

 Monitor bunyi napas,


terutama setelah
makan/minum.
Terapeutik
 Posisikan semi Fowler (30 -
45 derajat) 30 menit
sebelum memberi asupan
oral.

 Pertahankan posisi semi


Fowler (30 - 45 derajat)
pada pasien tidak sadar

 Pertahankan kepatenan
jalan napas (mis. teknik
head tilt chin lift, jaw
thrust, in line)

 Berikan makanan dengan


ukuran kecil atau lunak

 Berikan obat oral dalam


bentuk cair

Edukasi
 Anjurkan makan secara
perlahan.

 Ajarkan teknik mengunyah


atau menelan, jika perlu

2. Hipertermi b/d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia


peningkatan laju keperawatan selama 1 x 2 Observasi
metabolism ditandai jam maka Termoregulasi  Identifikasi penyebab
dengan suhu tubuh Membaik, dengan kriteria hipertermia
diatas nilai normal yaitu hasil:  Monitor suhu tubuh
380C , takipnea, kulit  Mengigil menurun (5)  Monitor haluaran urine
teraba hangat  Kulit merah menurun (5) Terapeutik
 Kejang menurun (5)  Sediakan lingkungan yang
 Kutis memorata dingin
menurun (5)  Longgarkan atau lepaskan
 Pucat menurun (5) pakaian
 Takipnea menurun (5)  Basahi dan kipasi
 Suhu tubuh membaik (5) permukaan tubuh

 Suhu kulit membaik (5)  Berikan cairan oral

 Ventilasi membaik (5)  Lakukan pendinginan

 Tekanan darah membaik eksternal (mis. selimut

(5) hipotermia atau kompres


dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu

5. Implementasi

No Tgl Implementasi Evaluasi


Dx
1, 2 06 Agustus 2020 - Melakukan pengkajian awal S :
dan anamnesa - Ibu mengatakan anak
demam sejak satu hari yang
lalu, tidak kunjung turun dan
anak mulai kejang sejak 5
menit sebelum tiba di rumah
sakit

O:
- RR: 35x/menit
- N : 120x/menit
- Suhu : 39oC
- Anak kejang dan tidak
sadarkan diri
1,2 06 Agustus 2020 - Melakukan penanganan S : -
kejang dengan memberikan O :
diazepam per rectal - Obat masuk per rectal
(stesolid) 5,4 mg - Pasien kooperatif
1 06 Agustus 2020 - Memonitor kejang, dan S : -
tingkat kesadaran pasien O:
- Kejang pasien tampak
berhenti
- Pasien tidak sadar

- Mempertahankan kepatenan
jalan nafas pasien dengan S : -
memberikan pasien posisi O:
tidur dengan kepala - Jalan nafas pasien paten
hiperesktensi miring, - RR : 30x/mnt
pakaian dilonggarkan. - Pasien tampak lebih tenang

2 06 Agustus 2020 - Memberikan obat antiperik S : -


berupa paracetamol untuk O :
menurunkan suhu tubuh - Obat masuk per oral
pasien dan pencegahan
kejang kembali
1,2 06 Agustus 2020 - Memonitor suhu tubuh dan S : -
tingkat kesadaran pasien O:
- Tingkat kesadaran pasien
composmentis
- S : 370C, N : 100 x/mnt,
RR : 28x/mnt
- Pasien tampak lebih nyaman
dan tidak gelisah
6. Evaluasi

No Hari/tanggal Evaluasi TTD

1 06 Agustus 2020 S : Ibu pasien mengatakan pasien nampak lebih nyaman, tidak
kejang, tidak sesak dan kesulitan bernafas
O : - pasien nampak tenang, tidak kejang, tidak kesulitan bernafas
- Kesadaran komposmenstis

Suhu : 370C
Nadi : 100x/menit
RR : 28x/menit
A:
- Risiko Aspirasi
P : Pertahankan kondisi pasien

2 06 Agustus 2020 S: Ibu pasien mengatakan pasien nampak lebih nyaman, suhu
tubuh berangsur normal
O : - pasien nampak tenang, suhu tubuh berangsur normal, pasien
tampak nyaman
Suhu : 370C
Nadi : 100x/menit
RR : 28x/menit
A:
- Ketidakefektifan termoregulasi
P : Pertahankan kondisi pasien, lanjutkan iterfensi

Anda mungkin juga menyukai