Anda di halaman 1dari 287

1

NOTA PEMBIMBING

Prof. Dr. H. Soetarno, DEA


Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA

Dosen Program Magister Pemikiran Islam


Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nota Dinas
Hal : Tesis Saudara Wawan Kardiyanto
Kepada Yth. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perbaikan-perbaikan seperlunya


terhadap tesis saudara,
Nama : Wawan Kardiyanto
NIM : O 000 060 115
Program : Magister Pemikiran Islam
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Judul : Konsep Kesenian Profetik dan Implementasinya dalam Pendidikan
Islam
Dengan ini kami menilai bahwa tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan dalam sidang ujian
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, September 2010


Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Soetarno, DEA Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA


PENGESAHAN
3

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Wawan Kardiyanto
NIM : O 000 060 0115
NIRM :-
Program Studi : Magister Pemikiran Islam
Konsentrasi : Pemikiran Islam
Judul : Konsep Kesenian Profetik dan Implementasi-
nya dalam Pendidikan Islam

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya serahkan ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, kecuali kutipan-kutipan dan ringkasan-ringkasan yang
semuanya telah saya jelaskan sumbernya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan
bahwa tesis ini hasil jiplakan, maka gelar dan ijazah yang diberikan oleh universitas batal saya
terima.

Surakarta, September 2010


Penulis,

Wawan Kardiyanto
4

MOTTO

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati
supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
5

PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan buat khosanah Ilmu


Pengetahuan dan perkembangan peradaban
manusia
6

ABSTRAK

Penelitian yang bertema konsep kesenian profetik dan implementasinya dalam pendidikan

Islam ini didasarkan atas latar belakang maraknya kreasi seni yang dipengaruhi oleh konsep dan

atau teori seni untuk seni (L’art pour L’art) yang condong menampilkan kreasi seni bebas nilai

yang cenderung menegasikan nilai-nilai etika, estetika dan kebenaran. Penelitian ini mencoba

menggagas konsep seni profetik yang akan lebih memberi manfaat dan tujuan jelas ke mana seni

harus dibawa, yaitu tetap bersinergi dengan kepentingan etika, estetika dan kebenaran.

Kalangan agamawan maupun sosial mencoba mencari pendasaran ontologis,

epistemologis maupun axiologis. Pendasaran ini berangkat dari misi profetis agama-agama yang

juga mempunyai kepedulian terhadap tegaknya etika, estetika dan kebenaran. Misi profetis agama

merupakan gerakan profetis melalui teologi yang menjadi ideologi revolusioner yang selalu

mengusung perubahan peradaban. Disinilah gerakan etika profetik dalam agama-agama membumi

menjadi implementasi sosial termasuk di dalamnya seni. Penelitian ini juga untuk mengetahui dan

memahami praksis seni profetik dalam pendidikan Islam. Islam sebagai rahmatan lil alamin tentu

tidak menutup mata dalam ikut serta ber-fastabiqul khairat mengembangkan kemajuan peradaban

lewat kesenian dan pendidikan.

Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan metode

analisa Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru dengan melakukan pendeskripsian, refleksi

kritik dan penyimpulan terhadap kesenian dan gagasan seni profetik.

Kesimpulan penelitian ini adalah kesenian profetik sebagai sebuah konsep yang positif

terhadap perkembangan paradigma berkesenian terbukti diperlukan untuk dikembangkan sebagai

konsep tujuan dan nilai berkesenian. Penelitian ini juga membuat resep teoritis implementasi seni

profetik dalam pendidikan Islam. Seni profetik dalam pendidikan Islam adalah sesuatu yang mesti

dipentingkan sebagai tawaran kreativitas metode syiar. Seni yang Islami dan profetis akan

membuat kehidupan umat menjadi lebih indah dalam syariat Islam yang telah ditentukan.

Kata Kunci : Seni, Seni Profetik, Seni Islam, Pendidikan Islam,


7

ABSTRAC

The research based on the background of art creation glowing that was influenced by the
art concept for art itself (L’art pour L’art) the art concept for art show free value, aesthetic sense
and truth more. The research tried to think about the prophetic art concept that would give
advantage and clear purpose where the art has been brought, is must proportionally with action
value, aesthetic sense and truth.
The religion and social figure tried to look for the answer in debating of the art value.
This was based on the regions prophetic missions that have attention to maintain action value,
aesthetic sense and truth. The regions prophetic mission is prophetic action via theology that
becomes ideology of revolusioner that always raise the movement of civilization. This is the
prophetic ethic movement, unite to the social implementation, including art.
The research knew and also understands the prophetic art practice in Islam education.
Islam as rahmatan lil alamin that brings love, affection for universe of course care and join in
maintaining truth, goodness, development of culture via art and education.
The research used literature method with Heuristic analysis method approach, is new
understanding by doing description, reflection critic and make conclusion in agreement and
opinion of prophetic art.
In conclusion the research to make prophetic art as a positive concept to moving as goal
concept and art value. Furthermore the research to make receipt of prophetic art implementation
theoretically in Islam education. Prophetic art in Islam education is something that’s very
8

important as the creativity of propagation method. Islam and prophetic art would make our
environment more beautiful as in Moslem law.

Key Word: Art, Prophetic Art, Islamic Art, Islamic Study


9

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan

rahmat dan hidayah penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis berjudul: Konsep Kesenian

Profetik dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam ini. Shalawat dan salam dipersembahkan

kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari kebodohan menuju

kepada nur dan pengetahuan serta membawa umat manusia menuju kesempurnaan akhlak.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak dapat penulis lakukan

sendiri tanpa melibatkan pihak lain yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil untuk

terselesaikannya tugas ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Surakarta, Ketua Program beserta sekretaris dan staf Magister Pemikiran Islam

UMS yang memberikan pelayanan yang dibutuhkan dalam rangka proses akademik maupun

administrasi. Kepala dan Staf Perpustakaan Pusat maupun Perpustakaan Pascasarjana UMS yang

telah banyak memberikan kemudahan dan membantu dalam pencarian literatur yang berhubungan

dengan penelitian penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor ISI Surakarta, Dekan Fakultas Seni

Pertunjukan, Kepala Jurusan Pedalangan beserta stafnya yang telah memberikan ijin belajar dan

membantu kelancaran studi lanjut saya di UMS Surakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Soetarno, DEA dan Dr. H. M.

Muinudinillah Basri, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan

baik yang terkait dengan metodologi maupun materi penelitian, membimbing mengarahkan

penulis dalam proses penyusunan tesis ini beserta seluruh dosen Program Magister Pemikiran

Islam yang telah dengan sabar memberikan khosanah ilmu dan kebijaksanaannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta yang telah berjasa

besar memberikan dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dan
10

Istriku tercinta beserta anak-anakku tersayang yang telah mendampingi dan menjadi motivator

utama dan pertama dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat baik dari pihak

keluarga maupun teman sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini yang

telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi

dan karya ilmiah ini. Semoga segala amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT, dengan balasan

yang lebih baik dan berlipat ganda.

Akhirnya semoga tesis ini dapat menjadi sumbangan bagi perkembangan wacana

keilmuan, dan semoga kita semua memiliki etika sosial yang mulia diridhai oleh Allah SWT. Amin

ya Rabbal ‘Alamin.

Surakarta, September 2010

Penulis,

Wawan Kardiyanto
11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................................ iii

HALAMAN KEASLIAN PERNYATAAN TESIS ................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ............................................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi

ABSTRAK ...........................................................................................................................vii

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ x

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................... 9

C. Tujuan dan Kegunaan …………………………………. ........................... 10

D. Tinjauan Pustaka......................................................................................... 11

E. Kerangka Teori .......................................................................................... 22

F. Metode penelitian ....................................................................................... 34

G. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 36

BAB II FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM

PERSPEKTIF ISLAM....................................................................................... 37

A. Hubungan Filsafat, Seni (Estetika) dan Agama .......................................... 37

B. Seni dalam Perspektif Islam: Skala Normatif-Yuridis................................ 75

C. Refleksi Qur’an dan Hadits tentang Seni dan Estetika……. ...................... 90

D. Pendidikan Islam Profetik dalam Realitas Historis..................................... 126

BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGAI

PIJAKAN SENI PROFETIK ............................................................................. 134

A. Estetika dalam Pandangan Ismail Raji’ al-Faruqi....................................... 134

B. Estetika : Sarana Menuju Tuhan Menurut Rumi ........................................ 156


12

C. Konsepsi Hegel (1770 - 1831) mengenai Keindahan ................................. 163

D. Perspektif Leo Tolstoy (1828-1910) mengenai Seni .................................. 165

E. Pandangan Sayyed Hosein Nasr mengenai Seni Islam ............................... 169

BAB IV KONSEP SENI PROFETIK DAN IMPLEMENTASI DALAM

PENDIDIKAN ISLAM ..................................................................................... 176

A. Pergulatan Nilai dan Fungsi Seni................................................................ 176

B. Persoalan Seni dan Kesenian Islam ............................................................ 183

C. Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan Maklumat Sastra Profetik Kuntowidjojo

……………………………………………................................................. 193

D. Teologi Profetik Suhermanto Ja’far ……………………… ....................... 204

E. Gagasan Seni Profetik, Peluang dan Tantangan ......................................... 218

F. Pendidikan dan Kesenian Islam Berparadigma Profetik............................. 228

G. Implementasi Seni Profetik dalam Pendidikan Islam…….. ....................... 265

BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 268

A. Kesimpulan ................................................................................................ 268

B. Implikasi Penelitian ................................................................................... 270

C. Saran-Saran ................................................................................................ 271

DAFTAR PUSTAKA
13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan masalah pornografi dan rencana akan disahkannya RUU

Pornografi menjadi UU Pornografi di bulan Juni 2006 telah menjadi wacana

yang cukup menarik akhir-akhir ini di negeri Indonesia yang berpenduduk,

berbudaya dan beragama heterogen walaupun mayoritas penduduknya

beragama Islam. Salah satu isu yang mencuat seiring munculnya wacana

RUU Pornografi, adalah dikhawatirkan UU tersebut akan memberangus

naturalitas budaya bangsa yang heterogen dan kreativitas karya seni yang

membentuk warna kebudayaan bangsa.

Persoalan pro-kontra RUU Pornografi ini perlu ditelisik kembali titik

temu dan benang merahnya yang mesti kembali kita bedah dan renungi

bersama, yaitu apakah tujuan sebenarnya RUU Pornografi dan juga apakah

sebenarnya tujuan sebuah karya seni yang dapat membentuk sebuah

kebudayaan yang baik dan adiluhung?

Ridwan Pinat, dalam artikelnya yang berjudul “Men of Ideas” sebuah

resensi buku Brian Magee, 1982, Men of Ideas: Some Creators of

Contemporary Philosophy, Oxford : Oxford paperback, yang mana di

dalamnya membicarakan kupasan-kupasan filsafat yang dilakukan oleh para

filosof dan tokoh penulis buku, salah satunya tentang filsafat kesenian yang

berisi tujuan dan nilai karya seni, penulis gunakan sebagai sumber narasi

1
14

dalam memaparkan latar belakang masalah tulisan ini (R.Pinat@cwcom.net,

apakabar@radix.net).

Pinat memaparkan, Murdoch salah satu filosof yang terlibat dalam

dialog menyatakan bahwa sebenarnya kesenian bisa dianggap satu tehnik

disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi tertentu, termasuk emosi-emosi

yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi fisik. Sebagian besar wajah

kesenian abad ini, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, dengan berbagai

fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik itu

adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-

bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai

yang salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.

Fantasi negatif tersebut membuat sementara filosof berbalik

memusuhi seni, demikian pula agamawan. Bahkan melalui salah satu

bukunya yang berjudul 'The Fire and The Sun', Irish Murdoch secara khusus

berbicara tentang sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri

dalam karya-karyanya justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau

seperti dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam

karya-karya Plato. Lantas kenapa Plato, sebagaimana yang dinilai oleh

Murdoch, bukan hanya bapak filsafat, melainkan juga seorang filosof terbaik,

justru mengambil sikap bermusuhan terhadap seni.

Bertitik tolak dari pertanyaan itulah Murdoch kemudian berangkat

menguraikan teorinya mengenai pandangan filsafat terhadap kesenian.

Sebagai seorang pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap
15

kekuatan emosional yang irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan

berbagai kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif.

Plato menyepakati sensor yang keras serta pembasmian para pengarang lakon

sandiwara. Plato dalam ini lebih sepakat pada agama, dan ia merasa bahwa

seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan suatu

pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato

sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia

sendiri secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat

pertengkaran yang sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan

kita harus ingat, tutur Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul

atau lahir dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang

mengalami kemajuan dengan membatasi dirinya sebagai sesuatu yang

tersendiri. Pada masa Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada

abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu alam. Pada abad kedua puluh

memisahkan diri dari psikologi.

Menurut Murdoch, Plato berpendapat seni adalah usaha meniru, tetapi

peniruan yang buruk. Murdoch berpendapat, memang benar bahwa lebih

banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di sekitar kita. Ironisnya

orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu daripada yang baik. Plato

berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu

bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk

penyelewengan dari hal-hal yang baik.


16

Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha

penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti

penting umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara

keseluruhan berbeda dengan pandangan Sigmund Freud. Freud menilai seni

sebagai fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi

penikmat karya seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk

hiburan pribadi, satu jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak

sempat didapat dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita

bisa menyaksikan bagaimana sebuah cerita menegangkan atau film yang

sentimental dengan mudah bisa merangsang fantasi pribadi para pembaca

atau penonton. Pornografi adalah contoh yang ekstrim dari seni tersebut.

Bryan Maggee dalam dialognya mempertanyakan, apakah kritik

semacam itu hanya berlaku untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan

seni yang baik? Menjawab pertanyaan ini, Irish Murdoch mengatakan bahwa

seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk melayani

tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup menolak tujuan-tujuan

yang tidak baik dengan lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja

mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra (image) yang

pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana barangkali tidak

semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Kemungkinan suatu karya

seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.

Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa pornografi

mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai


17

seni, dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai,

seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.

Karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira,

katanya menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang

mengandung imajinasi, bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu

mematahkan kebiasaan kita untuk berfantasi, dan sekaligus mendorong kita

berusaha untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan

kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat kenyataan dunia yang luas

ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri,

kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita

sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya.

Seni yang bagus, karya seni yang besar, kata filosof wanita itu pula,

adalah karya seni yang bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita

untuk melihat dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu

kepuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra yang baik, tambah Murdoch,

adalah karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin

tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh perhatian kepada orang lain

serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat kita bertenggang rasa dan

lapang dada. (R.Pinat@cwcom.net, apakabar@radix.net).

Beberapa ulasan para filosof tersebut kalau kita mengembalikan

kesenian menuju tujuan dasarnya menurut falsafahnya, yakni kesenian yang

baik selalu menghasilkan estetika yang baik pula, dan puncak estetika

Platonis adalah keindahan mutlak, yaitu keindahan Tuhan. Kecenderungan


18

kesenian mengarah kepada hal yang positif memang sangat terasa

diungkapkan para bapak-bapak filosof kuno di Yunani. Selebihnya kalau ada

estetika Platonis yang menuju keindahan Tuhan, Plato juga menyebut watak

dan hukum yang indah. Aristoteles mengatakan, keindahan itu adalah sesuatu

yang menyenangkan dan baik. Plotinus bicara tentang ilmu dan kebajikan

yang indah. Kemudian orang Yunani membincangkan tentang buah pikiran

dan adat kebiasaan yang indah. Dalam pengertian yang luas, keindahan itu

tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada moral dan

intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan intelek yang

indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat Bagus, Baik dan

Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu bersifat holistik

dalam keharmonisan. (Gazalba, 1988: 118).

Menurut Sidi Gazalba “bagus” merupakan bagian dari aspek kesenian

dan estetika, “baik” dalam ranah etika dan “benar” lebih condong mengarah

kepada Ilmu dan Agama. Tetapi semuanya itu menurut Sidi dalam filsafat

pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi ketiga-tiganya baik itu

bagus, baik dan benar secara holistik dan komprehensif.

Kita perlu menelisik kembali makna-makna kesenian yang positif

tersebut yang saat ini terasa sudah tercerabut dari karya-karya seni dan

bahkan dalam wacana filsafat seni. Selayaknya agama dan juga filsafat yang

mempunyai arah dan tujuannya yang jelas dan pasti, konsep seni dalam

filsafat seni mestinya juga dapat dikuak dan didapati arah dan tujuan

berkesenian yang mencerahkan. Visi dan misi seni perlu dikembalikan


19

kepada jalannya yang “lurus dan benar”. Konsep Kesenian Profetik yang akan

penulis tawarkan tentu akan lebih mewarnai dan menguatkan arah tujuan

kesenian dan filsafat seni yang telah dirumuskan oleh para filosof dan pemikir

seni abad kuno Yunani-Romawi.

Kesenian dalam pendidikan sangat erat hubungannya. Karya seni

sering dijadikan alat untuk mendidik siswa dalam pengenalan tentang

keindahan. Pendidikan Islam yang berlandaskan pada konsep filsafat Islam

mengajarkan bahwa konsep pengetahuan di dalam Islam tidak mengenal

batas-batas parsial ataupun dualisme pengetahuan yang memisahkan ilmu-

ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bagi Islam semua ilmu pengetahuan itu

satu dengan lainnya memiliki hubungan sinergisitas yang sangat erat dan

tidak bisa dipisah-pisahkan secara mutlak. Sehingga apa yang dirumuskan

Sidi Gazalba di atas bahwa Kesenian, Etika, Agama dan Ilmu mempunyai

relasi sinergisitas yang tidak terpisahkan adalah benar adanya bagi konsep

pendidikan Islam.

Pendidikan Islam, adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan

murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan,

keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan,

mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis

Islam (Husain dan Ashraf, 1986 : 2), atau "Pendidikan Islam mengantarkan

manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat

Allah (Nahlawi, 1995 : 26).


20

Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun

"transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di

atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara

langsung dengan Tuhan (Achwan, 1991 : 50). Pendidikan Islam suatu

kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai

atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup

manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir

tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai

alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk

menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya

pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang

signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan

demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu

generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan

tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara

intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari

adanya perkembangan-perkembangan di setiap cabang pengetahuan manusia"

(Conference Book,London,1978 : 15-17).

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan

martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu

berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau

tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut,


21

apabila pendidikan tidak didesain mengikuti irama perubahan, maka

pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu

sendiri.

Filosofi pendidikan Islam searah dengan seni yaitu hasil ungkapan

akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi

jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari

budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki

identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu

keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus

sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara

umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan

tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi.

Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang

kematangan jiwanya terus bertambah. Di sinilah arti penting mengungkapkan

gagasan orisinil konsep Kesenian Profetik ke dalam wacana Filsafat Kesenian

dan implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di muka, ada 3 permasalahan

yang perlu dibahas.

1. Bagaimana paradigma berkesenian kontemporer?

2. Apakah gagasan seni profetik dimungkinkan untuk ikut mewarnai

eksistensi seni dalam peradaban manusia?


22

3. Bagaimana implementasi gagasan kesenian profetik ini di dalam

pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan

Dalam penelitian ini ada 2 tujuan yang ingin dicapai.

1. Melakukan kajian dan analisis falsafati di bidang filsafat kesenian, filsafat

Islam kontemporer dan menggagas kajian baru konsep kesenian profetik

dan implementasinya dalam pendidikan Islam.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa

penerapan wacana konsep kesenian profetik dalam wacana filsafat

kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam dapat

dikembangkan.

Penelitian ini ada 2 kegunaan yang ingin dicapai.

1. Lebih memperkaya dan menghasilkan wawasan baru cara berkesenian, dan

juga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengembangkan

wacana alternatif pengetahuan baru di bidang pendidikan.

2. Secara praktis penelitian ini diniatkan untuk menjawab keingintahuan

peneliti terhadap nuansa baru bagaimana kita dapat berkesenian dengan

bagus, baik dan benar sesuai dengan tujuan dan cita-cita luhur berkesenian

dalam filsafat seni yang telah dirumuskan oleh filosof-filosof pada abad

Yunani dan Romawi kuno.


23

D. Tinjauan Pustaka

Konsep atau gagasan, apalagi teori tentang seni profetik adalah sesuatu

ide yang dapat penulis katakan baru. Sebab, belum penulis dapatkan referensi

konsep maupun teoritisnya di lapangan pustaka. Untuk itu beberapa tinjauan

pustaka yang dapat diketengahkan di sini hanya sumber-sumber second,

maksudnya bukan sumber utama yang penulis gunakan untuk melandasi ide

pemikiran tentang kesenian profetik. Beberapa sumber tersebut adalah sebagai

berikut.

Konsep Kuntowidjojo tentang Ilmu Sosial Profetik dalam

bukunya Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.

1991). Kuntowidjojo dalam buku tersebut mengetengahkan sebuah tawaran

baru berupa gagasan konsep tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Ilmu Sosial

Profetik menurut Kunto tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam

positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar

memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya

berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih

dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan

masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting

sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk

karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.

Beberapa ciri pokok Sosiologi profetik adalah sebagai berikut

(http://agsasman3yk.wordpress.com/2010/05/15/sosiologi-profetik/ ):
24

a. Sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu

humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping

berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian.

b. Secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber

pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini

bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian

dari mitos.

c. Secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang

berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-

klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai

sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik

juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau

memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya

memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan

transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan

metodologi sosiologi kritik (teori kritik). Melalui liberasi dan humanisasi

sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi

kritik. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai

salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi.

d. Sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran

(superstructure) menentukan basis material (structure).


25

Konsep Ilmu Sosial Profetik ini sangat dimungkinkan untuk kemudian

dikembangkan paradigmanya ke seluruh cabang ilmu pengetahuan yang

berwacana profetik, seperti salah satunya gagasan kesenian profetik.

Buku Kuntowidjojo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta:

Grafindo Litera Media. Maklumat sastra profetik adalah kelanjutan aplikasi

konsep Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetiknya. Sebagai penggagas

paradigma sosial profetik Kuntowidjojo secara konsisten mengumumkan

bahwa karya-karya sastranya ia maklumatkan sebagai sebuah karya sastra

profetik.

Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik mempunyai kaidah-

kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap,

mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Kaidah-kaidah Sastra

Profetiknya adalah; strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan

keterkaitan antar kesadaran. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik,

artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian

dan kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik

adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin

menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa

berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak,

karena itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra

membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun

realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah

realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol
26

itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas. Namun, Sastra

Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas

sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya

sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi

sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan

biasa-biasa saja (Kuntowidjojo, 2006 : 1-2).

Kuntowidjojo, ketika memaklumatkan karya-karya sastranya sebagai

sastra profetik secara tidak langsung dia menyatakan bahwa karya seninya

adalah sebuah kesenian profetik, sebab sastra adalah salah satu dari bagian

karya seni. Berdasarkan argumentasi ini, maka penulis ingin mengeneralisasi

gagasan sastra profetiknya menjadi konsep Kesenian Profetik di mana semua

karya seni bisa dibuat dan disebut sebagai karya seni profetik dengan kriteria

tertentu.

Buku Sidi Gazalba, 1988, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan

Seni Budaya Karya Manusia, Pustaka Alhusna, Jakarta. Sidi Gazalba

dalam konsep Filsafat Islam menyatakan bahwa kedudukan seni dalam Islam

adalah dibagian wilayah kebudayaan, sedangkan kebudayaan sendiri bagian

dari Dien Islam. Dien Islam itu sempurna. Yang sempurna mengandung nilai

3B (Benar, Baik dan Bagus). Benar ada di wilayah ilmu dan agama (pen.

Islam), Baik di wilayah etika dan Bagus di wilayah estetika (seni). Sesuatu

yang benar akan sempurna kalau ia juga baik dan bagus. Dan sesuatu yang

bagus akan sempurna, kalau ia juga benar dan baik. Sesuatu dikatakan benar

kalau sesuatu itu sesuai dengan obyeknya. Sesuatu itu baik, kalau ia
27

mengandung nilai etik, dan sesuatu itu bagus, kalau ia mengandung nilai

estetis (Gazalba, 1988: 118). Sayangnya konsep ini masih mengandung hirarki

bahwa 3B ini kedudukan yang tertinggi adalah Benar (di atas) dan Baik

(bawah sebelah kanan) dan Bagus (bawah sebelah kiri) membentuk segitiga.

Bagi penulis konsep 3B ini seharusnya tidak mengandung hirarki, tetapi

bersifat holistik, saling bersinergi dan bertauhid.

Berdasar konsep tersebut, yang penulis sepakati darinya adalah bahwa

seni mesti mempunyai wajah bermakna dan bertujuan yang bagus/indah, baik

dan benar. Seni tidak bebas nilai. Seni Islam syarat dengan nilai, etika atau

moral.

Apa itu seni Islam? Gazalba menyatakan bahwa definisi Seni Islam

adalah ciptaan bentuk yang mengandung nilai estetik yang berpadu dengan

nilai etik Islam. Dengan demikian seni Islam sebagai karya dilahirkan oleh

akhlaq Islamiyah dan dinilai dengan akhlaq Islamiyah juga. Akhlaq adalah

sikap rohaniah yang melahirkan laku perbuatan manusia terhadap Allah,

manusia dengan manusia, terhadap diri sendiri dan makhluk lain yang sesuai

dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Alqur’an dan hadits (Gazalba,

1988 : 122).

Seni Islam adalah seni yang melahirkan karya-karya seni yang bersifat

baik dan positif yang sesuai dengan etika dan akhlaq Islam. Seni Islam tidak

mentolerir seni yang negatif, maksudnya yang mengandung nilai-nilai amoral,

asusila, kekerasan, pornografi, pornoaksi, fitnah, ketidakbenaran,


28

ketidakadilan, dan sebagainya. Demikian pula, seni Islam tidak sepaham

dengan seni untuk seni semata yang menyatakan seni adalah bebas nilai.

Buku A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam,

Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Buku Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam

khususnya dalam bab pemikiran M. Iqbal (1877-1938 M) halaman 299-315,

penulis jadikan salah satu pijakan untuk melandasi gagasan kesenian profetik

yaitu konsep pemikiran Iqbal mengenai seni dan keindahan yang mengikuti

arus konsep seni fungsional.

Teori estetika ekspresi dibagi menjadi dua, yaitu teori estetika

subyektif dan teori estetika obyektif. Teori estetika subyektif diamini oleh

beberapa filosof; Freud, Robert Vischer, Lipps, Volkelt, Schiller, Herbert

Spencer, Karl Groos, Konkad Lange dan Croce. Menurut kelompok ini, meski

dengan sedikit perbedaan sudut pandang, apa yang disebut keindahan sangat

ditentukan oleh pihak penanggap, subyek yang melihat, karena pengaruh

emosi, empati atau yang lain terhadap sebuah obyek. Kebalikannya adalah

teori estetika obyektif yang menyatakan bahwa keindahan terletak pada

kualitas obyek, ada pada tenaga kehidupannya sendiri, lepas dari pengaruh

subyek yang menanggap. Teori ini antara lain diberikan oleh Plotinus.

Menurutnya, dunia ini indah karena merupakan ekspresi kehidupan ruh

universal, dan semua makhluk hidup adalah indah karena ia mengekspresikan

kehidupannya sendiri (Syarif, 1993:101-102, The Liang Gie, 1996:49).

Menurut Syarif (Syarif, 1993:99), teori estetika Iqbal masuk dalam

kategori teori estetika obyektif, sebab bagi Iqbal, keindahan adalah kualitas
29

benda (obyek) yang diciptakan oleh ekspresi “ego-ego” mereka sendiri. Untuk

memperoleh keindahan, ego tidak berhutang pada jiwa penanggap, subyek,

melainkan pada tenaga kehidupannya sendiri. Perbedaannya dengan Plotinus

terletak pada konsep tentang kehidupannya. Menurut Plotinus, hidup pada

dasarnya bersifat rasional, sedang bagi Iqbal, kehidupan bersifat sukarela,

sehingga harus ada kreativitas untuk menjadi bermakna. Karena itu bagi Iqbal,

dunia bukan sesuatu yang hanya dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep

tetapi sesuatu yang harus dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata (Iqbal,

1981:158).

Gagasan Iqbal dalam pemikiran filsafat disebut sebagai estetika

vitalisme, yakni keindahan merupakan ekspresi ego-ego dalam kerangka

prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik

kehidupan, sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan

semangat hidup bagi lingkungannya (Mudhaffir, 1988:100, Bagus, 1996:1159,

Tim Rosda, 1995:365-5). Lebih jauh Iqbal menginginkan bahwa ego-ego

tersebut harus mampu memberikan “hal baru” dalam kehidupan. Dengan

mencontoh sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia

harus mampu menjadi manusia terbaik seperti yang dikehendaki Tuhan. Di

sinilah hakekat pribadi dan kebanggaan manusia di hadapan Tuhan (Iqbal,

1987:8).

Iqbal menolak konsep dan gerakan seni anti-fungsionalisme seperti

konsep atau gerakan “seni untuk seni” (L’art pour L’art) yang dipelopori

kaum romantisme; Flaubert, Gauter, Baudelaire, Walter Peter, Oscar Wilde,


30

Pushkin dan Edgar Allan Poe yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai

tujuan di luar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri (Syarif, 1993:114-

115). Iqbal juga menolak konsep “bentuk untuk bentuk” yang berasal dari

membedakan kandungan dan bentuk seni yang menyatakan bahwa kandungan

seni tidak mempunyai nilai estetika, tetapi hanya sekedar alat untuk

menimbulkan efek artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau

buruk, benar atau salah, sesuai dengan hukum atau tidak, tidak menjadi

masalah dan tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah

bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya (Soleh, 2004:307). Bagi Iqbal,

seni tanpa kandungan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari

api yang telah padam. Sesuai dengan konsep-konsep tentang kepribadian,

kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh

isi seni—sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide, ideal-ideal—harus muncul dari

sumber ini. Seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika

melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan

manusia. Tegasnya, dalam pandangan Iqbal, seni adalah ekspresi-diri sang

seniman (Syarif, 1993:133).

Gagasan seni Iqbal yang mengikuti faham fungsional seni tentunya

juga mempunyai kriteria fungsional seni, beberapa kriteria fungsional seni

Iqbal adalah; Seni harus menciptakan kerinduan pada hidup abadi, seni harus

membina manusia, dan seni harus membuat kemajuan sosial. Disebutkan

dalam fungsi seni Iqbal yang ketiga, yaitu seni harus membuat kemajuan

sosial, Iqbal menyatakan bahwa seorang seniman adalah mata bangsa, bahkan
31

ia adalah nurani terdalam suatu bangsa. Dengan kekuatan kenabian, seniman

dapat meninggikan bangsa dan mengantarkannya ke arah kebesaran demi

kebesaran yang lebih tinggi. Apa nilai karya seni jika tidak dapat

membangkitkan badai emosional dalam masyarakat? (Syarif, 1993:128).

Buku, Muhammad Iqbal, 1966, Pembangunan Kembali Alam

Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought In Islam), alih

bahasa Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang. Etika Profetik Iqbal yang

menjadi landasan konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo wajib penulis

paparkan sebagai pijakan utama gagasan kesenian profetik di samping konsep

Ilmu Sosial Profetiknya Kuntowidjojo.

Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika transformatif.

Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari

Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit yang

setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika

sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak

kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran

sosial. Baginya keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistis adalah

tujuan, sehingga ia tidak hendak kembali dan melihat realitas, menghadapi

kenyataan. Nabi bukanlah seorang mistikus. Nabi adalah seorang manusia

pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya

sang Nabi adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang

dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan

ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial
32

kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformatif. Seorang nabi datang

dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner (Iqbal, 1996

: 145). Inilah yang disebut etika profetik.

Keneth Boulding, seorang filosof dan ekonom besar AS,

mempopulerkan istilah agama profetik dan agama kependetaan. Pada mulanya

agama-agama besar seperti Islam, Yahudi dan Kristen bersifat profetik,

menggerakkan perubahan-perubahan besar. Agama menjadi kekuatan

transformatif. Tapi kemudian, setelah melembaga, agama lalu menjadi rutin,

dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, bersifat kependetaan.

Etika profetik seperti inilah yang mendasari lahirnya Ilmu Sosial

Profetik Kuntowidjojo. Ilmu Sosial Profetik dimunculkan sebagai alternatif

kreatif di tengah konstelasi ilmu-ilmu sosial yang cenderung positivistis dan

hanya berhenti pada usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas untuk

kemudian memaafkannya. Ilmu sosial seyogyanya menjadi kekuatan

intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya

menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu,

melakukan tugas transformasi. Jadi, tujuannya lebih pada usaha untuk proses

transformasi sosial. Ilmu sosial tidak boleh tinggal diam, value neutral, tapi

berpihak. Dengan semangat inilah Ilmu Sosial Profetik digulirkan. Ilmu Sosial

Profetik ingin tampil sebagai ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan

realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk

ke arah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu Sosial

Profetik tidak sekedar merubah demi perubahan itu sendiri tapi merubah
33

berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu (Kuntowidjojo, 1991 : 288-

289). Kesenian yang termasuk bagian dari ilmu sosial tidak kalah pentingnya

untuk mengambil bagian dalam merubah masyarakat dunia ke arah yang

positif; kebenaran, kebaikan, keadilan, kesejahteraan, kebahagiaan dengan

cara-cara yang indah. Seni profetik seperti itulah yang saat ini menjadi

gagasan penulis.

E. Kerangka Teori

Pemakaian teori dalam penelitian kualitatif agak berbeda dengan jenis

penelitian kuantitatif. Kerangka teoretis dalam penelitian kualitatif ini semata-

mata bukan untuk menguji maupun membuktikan teori, tetapi sebagai alat untuk

memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi dan dikaji agar mampu

menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23).

Penulis dengan pendekatan multidisipliner mencoba mengetengahkan

beberapa teori yang diharapkan dapat membangun gagasan (konsep) baru atau

memodifikasi teori berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan dianalisis.

Beberapa kerangka teori yang penulis ketengahkan mencakup: teori induk Parsons

mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori

fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan

lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat

menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons)

sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai

perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-
34

kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu

tindakan aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory).

Kesatuan sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam)

ini menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan sistem

diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat meningkatkan

kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat mempertahankan

keseimbangannya (fungsionalisme struktural).

a. Teori Sistem

Berdasarkan ide yang diketengahkannya dalam The Social System (Parsons,

1951), Parsons menerangkan seluruh pengertian perilaku manusia (sistem

bertindak) merupakan sistem yang hidup, sehingga terdapat sistem-sistem yang

saling tergantung yaitu sistem kebudayaan (cultural system), sistem sosial (social

system), sistem kepribadian (personality), dan sistem organisme perilaku

(behavioural organism). Masing-masing sistim itu mampu memperlakukan

sebagai sistim yang mempunyai prasyarat fungsional sistim bertindak (action

system). Istilah Parsons yang terkenal menggunakan skema AGIL, yaitu empat

fungsi primer yang dapat dirangkaikan dengan seluruh sistem yang hidup. Sistem

organisme perilaku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation),

diberi singkatan A; sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan

(Goal attainment), disingkat G; sistem sosial adalah sumber integrasi (Inter

gration), disingkat I; dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola yang ada

dalam sistem (Latent pattern-maintenance), disingkat L (Ritzer, 1996: 99-100).


35

Berangkat dari teori Parsons yang cukup kompleks ini, maka sebagaimana

sistem yang lain, sistem kebudayaan yang secara konseptual ditegaskan sebagai

sistem simbol, empat kebutuhan fungsional (AGIL) itu harus terpenuhi juga.

Dalam sistem kebudayaan kebutuhan adaptation dipenuhi melalui sub-sistem

simbol kognitif (Cognitive symbolization) yang bentuk kongkritnya berwujud

ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif; goal attainment melalui simbol

ekspresif (expressive symbolization), bentuk kongkritnya berupa perbuatan

ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain; integration

dipenuhi melalui beberapa simbol moral (Moral symbolization), bentuk

kongkritnya berupa ketentuan normatif dalam etika, adat sopan-santun atau tata-

krama pergaulan; dan latent pattern-maintenance diselesaikan melalui simbol

konstitutif (Constitutive symbolization) yang bentuk kongkritnya berupa

kepercayaan atau dasar dan inti perilaku berkesenian. (Waters, 1994: 142-151;

Bachtiar, 1985: 66).

Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut living form dan

expressive oleh Langer (1953: 40-46), merupakan ekspresi pengalaman manusia

berupa bentuk simbolis, berisi perasaan, dan betul-betul komunikatif. Sudiarja

(1983: 69-81) ketika membahas teorinya Langer, mengemukakan bahwa makna

simbol ekspresif (seni) sebagai suatu abstraksi, merupakan bentuk kreasi,

memiliki vitalitas artistik yang utuh. Berbagai macam bentuk simbol seni tidak

hanya menyampaikan "makna" atau meaning untuk dimengerti, tetapi lebih

sebagai suatu "pesan" atau import untuk diresapkan. Pengertian "makna" kadang-

kadang hanya diartikan sebagai suatu persoalan atau masalah yang hanya dapat
36

"dimengerti" atau "tidak dimengerti" saja, seperti misalnya dalam bahasa. Tetapi

pengertian "pesan" harus ditangkap secara lebih dalam dan luas, terutama dalam

memahami "pesan" terhadap simbol ekspresif atau seni, orang biasanya dapat

tersentuh secara mendalam dari hakikat "pesan" itu.

b. Teori Aksi

Fenomena proses inkulturasi yang terjadi di daerah ini adanya hasil tindakan

aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor. Untuk memaknakan

gejala itu, dipahami dengan teori aksi atau tindakan (action theory) yang

dikembangkan oleh Parsons dengan mengikuti karya Weber (Ritzer, 1985: 52-58).

Menurut Parsons dengan mengemukakan konsep voluntarism, yaitu kesukarelaan

individu atau aktor melakukan tindakan (volunteering/or action) dalam arti

menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia, dalam rangka

mencapai tujuan (Waters, 1994: 40-42). Aktor dalam hal ini seniman, adalah

pelaku aktif dan kreatif, serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari

alternatif tindakannya. Seniman yang kebanyakan mempunyai kebebasan, pasti

masih juga dibatasi oleh kondisi, norma, dan nilai-nilai serta situasi penting

lainnya dalam berkarya, seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi,

agama, tetapi dibalik itu aktor adalah manusia aktif, kreatif dan evaluatif.

Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif ini menurut Parsons

(Ritzer, 1980: 92) antara lain:

1. Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek,

dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.


37

2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan.

3. Dalam bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur / metode, serta

instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.

4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat

diubah dengan sendirinya atau circumstances.

5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan,

sedang dan yang telah dilakukannya.

6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul

pada saat pengambilan keputusan.

7. Studi antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang

bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic

reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).

c. Teori Fungsional

Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput

dari pembicaraan kaum fungsionalis. Parsons (1967), termasuk pengikut

fungsionalis, memandang sumbangan agama terhadap kebudayaan

berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang mentransendensikan

pengalaman (referensi transendental); sesuatu yang berada di luar dunia

empiris (O'Dea, 1995: 7). Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena

kesadaran religiusitas dalam realitas sosial ini dipahami dengan konsep

fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural. Teori ini


38

memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari

bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling menyatu

dalam keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan

mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal

ini agama termasuk “ritual” seniman berkarya seni di dalamnya sebagai salah

satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari

keseluruhan sistem sosial/ dan berfungsi bagi masyarakat khususnya sebagai

pengintegrasi. Maka persoalan kesadaran religiusitas yang ada dalam realitas

sosial ini, dari pandangan fungsionalis akan muncul pertanyaan, bagaimana

fungsi lembaga agama dapat meningkatkan kesadaran religiusitas seniman,

sehingga dapat memelihara atau mempertahankan keseimbangan seluruh

sistem sosial? Dengan konsep fungsi yang biasa dipakai dalam teori

fungsionalisme struktural, maka pertanyaan "fungsional" itu jawabannya

adalah, aksioma teori ini ialah segala sesuatu yang tidak berfungsi (disfungsi)

akan lenyap dengan sendirinya. Karena kesadaran religiusitas yang ada sejak

dulu sampai sekarang masih cukup tinggi, maka dapat dikatakan bahwa

agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi.

Berdasarkan ketiga teori yakni; teori sistem, teori aksi dan teori

fungsional, kita dapat memahami bahwa kesenian dengan karya seninya layak

mempunyai nilai-nilai, makna dan tujuan berkesenian. Seni untuk seni yang

bebas nilai ditepis dalam teori-teori tersebut. Di samping beberapa teori

tersebut berpijak dari beberapa konsep seperti Seni untuk masyarakat, konsep

seni Islam Sidi Gazalba, Ilmu Sosial Profetik dan Sastra Profetiknya
39

Kuntowidjojo yang dilandasi etika profetik Iqbal, serta gerakan teologi

profetik, penulis dengan optimis menyatakan bahwa gagasan Seni Profetik

dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini sangat relevan untuk digali

dan dikembangkan.

Karya seni untuk masyarakat dalam kritik seni pada umumnya disebut

tendenszkunst, yaitu “seni berpihak” atau seni bertendensi atau juga l’art

engagee (seni berisi). Seni untuk masyarakat ini sering dipertentangkan atau

berseberangan dengan l’art pour l’art atau “seni untuk seni” (Ratna, 2007 :

360).

Sebagai medium komunikasi, semua bentuk ekspresi jelas

mengandung tujuan. Komunikasi yang bermakna ditunjukkan melalui

relevansinya dalam menghubungkan antara pengirim dan penerima, penulis

dan pembaca, subyek dan obyek. Perbedaannya, seberapa jauh tujuan-tujuan

tersebut dapat dikategorikan sebagai memiliki tendensi tertentu, sehingga

mendominasi nilai-nilai estetikanya. Dengan menunjuk bahasa sebagai

medium komunikasi utama, maka justru dalam bahasalah terkandung tujuan-

tujuan tersebut sebab bahasa telah mewakili jamannya, bukan semata-mata

pengarangnya. Dengan mempertimbangkan bahwa karya seni mesti

bermanfaat, maka pada dasarnya semua karya seni mesti mengandung

tendensi tertentu. Dengan kata lain, tidak ada karya seni yang diciptakan

semata-mata demi kepentingan karya seni itu sendiri (Ratna, 2007 : 361).

Menurut Kutha Ratna, pada dasarnya seni untuk seni tidak berbeda

dengan seni untuk masyarakat, dengan syarat karya seni itu ditujukan untuk
40

keseluruhan individu, yaitu para seniman itu sendiri, termasuk para

partisipannya, bukan pengarang secara individual. Masalah yang dihindarkan

dalam pemahaman seni untuk seni adalah karya yang semata-mata dipahami

oleh pengarangnya. Hasil kreativitas seperti ini jelas tidak berfungsi untuk

menopang perkembangan kebudayaan secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya

aktivitas tersebut cenderung dianggap sebagai suatu kemunduran, sebab sama

sekali tidak memiliki relevansi untuk kepentingan masyarakat. Artinya, seni

sebenarnya tidaklah bebas nilai. (Ratna, 2007 : 363).

Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo, seperti konsep seni untuk

masyarakat, tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi

lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial (termasuk di sini seni) untuk secara

sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik dan juga

seni profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami

realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita

yang diidamkan masyarakatnya. Kongkretnya, Kuntowidjojo seorang

budayawan sekaligus seniman --tepatnya sastrawan—dalam pesan yang

disebutnya “Maklumat Sastra Profetik” menyatakan bahwa karya seninya

yang berbentuk sastra ia nyatakan sebagai Sastra Profetik. Secara tidak

langsung dia mengetengahkan kesenian profetik dalam karya sastranya

walaupun secara langsung dia belum memunculkan konsep kesenian profetik

secara konsepsi dan teoritis. Kuntowidjojo hanya membahas karya seninya

yang berupa sastra, ia sebut sebagai sastra profetik.


41

Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik”


meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan
merasa di-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja
kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua
itu saya kerjakan karena saya terlanjur dikabarkan – terutama lewat
Horison sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan, saya merasa “berdosa”
kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan
segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewat telepon 0274-881-
XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam. (Imron, 2005 : 178-192).

Karya “Maklumat Sastra Propetik” nya, barangkali karya

Kuntowidjojo yang terakhir kepada Redaksi Horison dengan tanggal 1

Februari 2005. Karena tiga minggu kemudian, Kuntowidjojo wafat. Karangan

yang berisi maklumat Kuntowidjojo yang berjudul “Maklumat Sastra

Profetik” itu ternyata dimuat dalam Horison No. 5 terbitan bulan Mei 2005

bersama dengan tulisan-tulisan lain “obituari” tentang Kuntowidjojo. Tulisan

itu dimuat tentu bukan karena penulisnya meninggal, tetapi memang karena

penting agar orang bisa lebih memahami kesastrawanan Kuntowidjojo,

lengkap dengan argumentasinya. Sekali lagi, “Maklumat Sastra Propetik”

Kuntowidjojo secara tidak langsung telah menyumbangkan gagasan dan

konsepsi kesenian profetik.

Selebihnya Kuntowidjojo merumuskan kaidah sastra propetiknya

sebagai berikut:

Sastra Profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar


kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga
memberi arah realitas. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik, artinya
sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan
kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik adalah
sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin menjadi
sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi
sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak, karena
itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa
manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun
42

realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra


adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui
simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.
Namun, Sastra Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik
terhadap realitas sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective
intelligence. Dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi
arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan
sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. (Kuntowidjojo,
2006 : 2)

Rumusan yang lain yaitu mengenai “Etika Profetik” Kuntowidjojo

menyatakan bahwa Sastra Profetik adalah sastra demokratis. la tidak otoriter

dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat

pribadi maupun yang baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh

Komunisme menurutnya sastra memilih realisme sosialis dengan agresif, dan

berusaha memadukan aliran lain, ada bureaucratization of the imaginative.

Keinginan Sastra Profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela,

tidak memaksa.

Etika itu disebut "profetik" karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang

Prophet. Asal-usulnya etika profetik Kuntowidjojo adalah berpijak pada etika

profetiknya Muhammad Iqbal yang terdapat dalam bukunya berjudul

“Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” mengutip ungkapan

seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa Isra'-Mi'raj. Meskipun

Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik,

tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.

Demikianlah, gagasan Kuntowidjojo dalam karya sastranya tersebut

perlu ditindaklanjuti dengan memperluas kasanahnya di dalam konsep


43

berkesenian, yakni konsep Kesenian Profetik, inilah yang penulis coba

ketengahkan.

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia.

Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi

memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan

(Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon

perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik

dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup

setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.

Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu

mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk

dipecahkan (Syed Sajjad Husein & Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu,

Isma’il Raji Al-Faruqi mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam

hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu

dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal

yang terkait dengan kehidupan umat Islam (Faruqi, 1988 : 7).

Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan

Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral

(mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di

era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman dikotomis

keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya difahami

sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran


44

Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial

(social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/

naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal

Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling

terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam

dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia,

demikian juga kebudayaan dan kesenian.

Pendidikan Seni Islam menurut Sidi Gazalba juga memiliki ranah

yang penting di dalam wacana keilmuan, bahkan estetika/seni menjadi salah

satu unsur dari nilai kebijaksanaan universal sejajar dengan ilmu, agama dan

etika (Gazalba, 1988:65). Namun perlu diakui hingga saat ini kebanyakan

ulama masih berpendapat negatif terhadap kesenian ini. Hal ini perlu

diluruskan kebenarannya bagaimana sebenarnya konsep pendidikan seni

dalam Islam.

Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Naquib Al-attas, harus

mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-

Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:

pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi

kepribadian; a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh

kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi

keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang

dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). Maka untuk

menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu


45

keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu

paradigma pendidikan yang terpadu termasuk di dalamnya kesenian dan

implementasinya dalam pendidikan Islam.

F. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan meneliti kelayakan gagasan baru konsep

kesenian prophetik dalam wacana filsafat kesenian, peneliti menggunakan

metode kualitatif dengan lebih banyak melakukan kajian pustaka. Obyek

penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah konsep-konsep tentang ilmu kesenian,

yaitu seni, estetika, filsafat seni, Filsafat Islam, pendidikan Islam dan multi

disiplin ilmu yang melingkupinya.

2. Sumber Data dan metode pengumpulannya

Penelitian ini menggunakan data pustaka yang diklasifikasikan dalam dua

kategori, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber

data primer adalah daftar pustaka yang secara langsung membahas konsep-

konsep ilmu kesenian, ilmu keislaman dan data sekunder adalah daftar

pustaka yang secara tidak langsung melingkupi wacana kesenian dan

keislaman yang bersifat berwujud multi disipliner.


46

3. Teknik Analisis Data

Penulisan tesis ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau

kepustakaan yang bersifat deskriptif komparatif dengan sudut pandang

filsafat kesenian dan filsafat pendidikan Islam. Data yang dipakai

bersumber dari buku-buku, majalah-majalah, artikel-artikel, dan tulisan-

tulisan yang berkaitan dengan tema bahasan.

Metode yang digunakan adalah metode Heuristik, yaitu metode

untuk mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk

menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik

terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk

menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Di

samping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis

terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair,

1990).

G. Sistematika Pembahasan

Untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam penulisan tesis ini

biar terarah perlu penulis kemukakan sistematika penulisan yang didahului

dengan :

1. Bab pertama, pendahuluan sebagai landasan penulisan ilmiah, yang berisi

tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tinjauan pustaka

yang menggambarkan penelitian-penelitian senada yang telah dilakukan,


47

tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan kerangka teori

dan beberapa konsep sebagai dasar dalam pemecahan masalah.

2. Bab kedua, Filsafat, Seni dan Agama serta Pendidikan dalam Perspektif

Islam, yang membahas tentang filsafat, filsafat seni, estetika, pendidikan

Islam beserta wacana hubungan kesenian dengan agama pada umumnya

dan Islam pada khususnya.

3. Bab ketiga, Pandangan mengenai Seni Bertujuan Sebagai Pijakan Seni

Profetik, yang membahas tentang beberapa pemikiran tokoh-tokoh

muslim non muslim tentang konsep seni dan estetika. Mereka antara lain;

Ismail Raji’ al-Faruqi, Rumi, Hegel, Plato dan Sayyed Hosein Nasr.

4. Bab keempat, Konsep Seni Profetik dan Implementasinya dalam

Pendidikan Islam, merupakan pokok pembahasan dan analisis gagasan

kesenian profetik yang meliputi pembahasan pergulatan nilai dan tujuan

seni, persoalan seni dan seni Islam, teologi profetik, Ilmu sosial profetik

dan maklumat sastra profetik kuntowidjojo, Peluang dan Tantangan

Pengembangan Gagasan Seni Profetik dan implentasinya dalam

pendidikan Islam.

5. Bab ke lima tentang kesimpulan-kesimpulan yang telah didapat dari hasil

pembahasan serta beberapa saran yang diharapkan akan terwujud dalam

wacana kesenian yang bermakna dan bernilai tinggi dan luhur yaitu

gagasan atau konsep kesenian profetik ini serta implementasinya dalam

pendidikan Islam.
48

BAB II

FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN

DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Hubungan Filsafat, Seni (Estetika) dan Agama

1. Pengertian Filsafat Seni dan Estetika

Filsafat seni maupun estetika adalah salah satu ilmu bagian dari

filsafat. Apa bedanya filsafat seni estetika? Mengapa harus ada filsafat

seni, tidak cukup estetika saja? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan

pengetahuan sejarah permulaan timbulnya pemikiran seni di belahan dunia

Barat. Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani Purba, sekitar

500-300 tahun SM. Mereka adalah filosof umum, seperti Socrates, Plato,

Aristoteles, Plotinus, St Agustinus (di zaman kemudian). Mereka

membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa

yang disebut 'keindahan'. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan

dengan pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini

disebut filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan

keindahan karya seni (Sumardjo, 1983:24).

Seni atau art aslinya berarti teknik, pertukangan, ketrampilan, yang

dalam bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Arti demikian

juga berlaku dalam budaya Indonesia kuno. Baru pada pertengahan abad

ke-17, di Eropa dibedakan antara keindahan umum (termasuk alam) dan

keindahan karya seni atau benda seni. Inilah sebabnya lalu muncul istilah

36
49

fine arts atau high arts (seni halus dan seni tinggi), yang dibedakan dengan

karya-karya seni pertukangan (craft). Seni, sejak itu, dikategorikan sebagai

artefact atau benda bikinan manusia. Pada dasarnya artefak itu dapat

dikategorikan menjadi tiga golongan, yakni benda-benda yang berguna

tetapi tidak indah, kedua, benda-benda yang berguna dan indah, serta

ketiga benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaan praktisnya. Artefak

jenis ketiga itulah yang dibicarakan dalam estetika (Sumardjo, ibid).

Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh seorang filosof

minor bemama A.G.Baumgarten (1714-1762). Istilah ini dipungut dari

bahasa Yunani kuno, aistheton. yang berarti "kemampuan melihat lewat

"penginderaan". Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk.

pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya

pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan

logika adalah kebenaran (Sumardjo, 1983:25).

Sejak itu istilah 'estetika' dipakai dalam bahasan filsafat mengenai

benda-benda seni. Tetapi karena karya seni tidak selalu 'indah' seperti

dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang khusus yang

benar-benar menjawab tentang apa hakekat seni atau arts itu. Dan lahirlah

apa yang dinamakan 'filsafat seni'. Jadi, perbedaan antara estetika dan

filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan

hakekat keindahan alam dan karya seni, sedang filsafat seni

mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut

seni (Sumardjo, ibid).


50

Menurut Sumardjo, ciri-ciri karya seni adalah; yang pertama,

mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak

mengandung makna ekspresi semacam itu. Kedua, dalam karya seni, orang

dapat bertanya: "apa yang ingin dikatakan karya ini?" atau apa maksud

karya ini?. Tetapi kita tak pernah bertanya serupa ketika menyaksikan

keindahan matahari terbenam di pantai, atau menyaksikan bentuk awan

senja, derasnya air terjun, gemurahnya suara ombak. Jadi, karya seni selalu

membawa makna tertentu dalam dirinya, ada usaha komunikasi seni

dengan orang lain. Dalam keindahan alamiah hal itu tak terjadi.

Kecantikan seorang wanita kita nikmati sebagai indah begitu saja. Tetapi

dalam karya seni, seorang wanita tua atau buruk rupa dapat menjadi indah.

Sedangkan wanita cantik justru tidak indah dalam seni yang gagal, Ketiga,

seni dapat meniru alam, tetapi alam tidak mungkin meniru artefak seni.

Keempat, dalam alam kita dapat menerima keindahannya tanpa

kepentingan praktis-pragmatis dalam hidup ini. Inilah keindahan tanpa

pamrih (disinterestedness), sedang dalam karya seni kita masih dapat

menjumpai karya-karya itu sebagai indah dan berguna sekaligus.

Keindahan alamiah itu gratis, tanpa pamrih kegunaan apa pun. Keindahan

seni, karena punya makna, dapat membawa nilai-nilai lain di samping nilai

keindahan (Sumardjo, 1983:26). Dengan demikian cukuplah dikatakan

bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni.

Sedang filsafat seni hanya merupakan bagian estetika yang khusus

membahas karya seni.


51

Pertanyaan lain yang cukup menarik adalah, apakah setiap karya

seni itu mesti indah? Bukankah banyak karya seni yang merangsang

munculnya perasaan-perasaan tidak indah, seperti mengganggu,

menyakitkan, provokatif, mengecewakan, tidak menenteramkan, persoalan

ini muncul pada para pemikir seni sejak abad 18 di Eropa, dan lebih-lebih

lagi dalam karya-karya seni kontemporer Barat. Pernyataan bahwa saya

menyukai lukisan itu karena sangat membingungkan atau novel itu

sungguh getir, menunjukkan hadirnya ketidakindahan dalam seni.

Kenyataan di atas (bahwa seni tidak harus indah) nampaknya

paradoks, namun bagaimana pun salah satu aspek dari seni selalu

menghadirkan keindahan. Kalau tidak demikian mengapa disukai?

Keindahan seni yang tidak indah terletak pada bentuk ungkapannya yang

artistik. Nilai-nilai kualitas obyeknya mungkin saja getir, tetapi ia harus

diungkapkan dalam bentuk yang mengandung kualitas keindahan. Ada

keteraturan, struktur, kosmos di dalam wujudnya. Ini sesuai dengan

ucapan Melvin Rader, bahwa keindahan itu dihasilkan oleh hakekat yang

diungkapkan atau oleh berhasilnya cara pengungkapan. Cara

pengungkapan itulah yang harus indah, seni (Sumardjo, 1983:26).

Estetika adalah bagian dari filsafat. Dalam studi filsafat, estetika

digolongkan dalam persoalan nilai, atau filsafat tentang nilai, sejajar

dengan nilai etika. Tetapi dalam penggolongan obyeknya, estetika masuk|

dalam bahasan filsafat manusia, yang terdiri dari logika, etika, estetika,

dan antropologis. Studi estetika sebagai filsafat yang bersifat spekulatif,


52

mendasar menyeluruh dan logis ini, pada mulanya merupakan bagian

pemikiran filsafat umum seorang filosof. Seperti diungkapkan di muka,

akhirnya filsafat keindahan ini mengkhususkan diri pada karya-karya seni

saja. Dalam perkembangannya dalam abad 20, filsafat keindahan ini mulai

bergeser ke arah keilmuan. Inilah sebabnya estetika abad 20 juga dinamai

estetika modern atau estetika ilmiah (Sumardjo, ibid).

Sumardjo berpendapat bahwa estetika ilmiah bekerja dengan

bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain-

lain. Dengan demikian dibedakan antara estetika falsafi dan estetika

ilmiah. Filsafat seni merupakan bagian dari studi estetika ilmiah ini.

Dengan demikian sifat spekulatifnya makin bergeser pada kegiatan

empiris keilmuan. Meskipun demikian, ciri spekulatifnya masih

dipertahankan, hanya disertai penguatan empiris.

Aspek-aspek yang dibahas dalam filsafat seni menurut Sumardjo

biasanya meliputi pokok-pokok sebagai berikut: Pertama,. persoalan sikap

estetik, yang di dalamnya dibahas masalah ketidakpamrihan seni dan jarak

estetik. Kedua, persoalan bentuk formal seni yang melahirkan berbagai

konsep seni yang muskil. Ketiga. persoalan pengalaman estetik atau

pengalaman seni. Keempat persoalan nilai-nilai dalam seni. Kelima.

persoalan pengetahuan dalam seni. Dengan kata lain, filsafat seni

membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri,

membahas nilai-nilai seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi

seni, membahas nilai konteks seni dan terakhir mengenai resepsi publik
53

seni. Keberadaan seni ditentukan oleh saling keterkaitan antara lima aspek

tadi (Sumardjo, 1983 : 27).

2. Sejarah Perkembangan Filsafat Seni dan Estetika

Berbicara sejarah perkembangan filsafat seni dan estetika mesti

kita bahas secara bersamaan, sebab keduanya mempunyai hubungan yang

sangat erat dalam perkembangan sejarahnya dan tidak bisa kita pisahkan

begitu saja. Sehingga seakan-akan pembahasan tentang estetika adalah

sama saja dengan membahas filsafat seni. Sejarah perkembangan

keduanya dimulai sejak filsafat yunani kuno.

Secara garis besar ada 8 periodisasi dalam perkembangan sejarah

estetika, yaitu: Periode Klasik, Periode Skolastik, Periode Renaissance,

Periode Aufklarung, Periode Idealis, Periode Romantik, Periode

Positivistik, dan Periode Kontemporer

a. Periode Klasik

Periode ini mempunyai beberapa cirri khas mengenai

pandangan estetikanya, yaitu:

- Bersifat metafisis. Keindahan adalah ide, identik dengan ide

kebenaran, dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai tingkatan

kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.

- Bersifat obyektifitis. Setiap benda yang memiliki keindahan

sesungguhnya berada dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi

indah karena mengambik peranannya atau partisipasinya dalam

keindahan Tuhan.
54

- Bersifat fungsional. Pandangan tentang seni dan keindahan

haruslah berkaitan dengan kesusilaan (etika), kebenaran dan

keadilan.

Pada periode ini para filosof yang membahas estetika di

antaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini

dapat dikatakan bahwa Sokrates sebagai perintis, kemudian Plato

sebagai peletak dasar-dasar estetika dan Aristoteles adalah penerus

ajaran Plato.

1). Sokrates (468 – 399 SM)

Jalan pikiran yang digunakan Sokrates sebagai perintis

fundamen estetika dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan

menggunakan cara dialog. Metode dialognya ia namakan maeutika

tehnic (seni kebidanan) yang berusaha menolong mengeluarkan

pengertian-pengertian atau kebenaran. Sokrates mencoba mencari

pengertian umum dengan jalan dialog (Parmono, 2009 : 10)

Dalam dialog-dialognya Sokrates membuka persoalan dengan

mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut

buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan?

Lantas apakah keindahan itu? Di sini Sokrates mencoba merumuskan

arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.

Menurut Sokrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa

ruh). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan


55

bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda tetapi sesuatu yang

ada dibalik benda itu yang bersifat kejiwaan.

2). Plato (427 – 347 SM)

Menurut Plato keindahan itu bertingkat. Untuk mencapai

keindahan yang tertingi (keindahan absolut) harus melalui fase-fase

tertentu (Anwar, Wajiz. 1980).

Fase pertama, orang akan tertarik pada sesuatu benda/tubuh

yang indah. Di sini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk

keindahan ragawi (inderawi) tidak dapat memberi kepuasan pada jiwa.

Tentunya setelah manusia sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh

itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka ia tidak lagi

terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan

perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada norma-

norma kesusilaan secara kongkrit.

Fase kedua, kecintaan pada norma moral secara kongkrit ini

berkembang menjadi kecintaan akan nora moral secara absolut yang

berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan, bagaimana seharusnya

manusia bertingkah laku yang baik.

Fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan

antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari

keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu bercerita

tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalau
56

manusia sudah sampai pada fase ini maka itu akan mengantarkannya

pada fase keempat yaitu keindahan yang mutlak.

Fase keempat, Di sini orang berhasil melihat keindahan mutlak

yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tinggi. Di

sini segala sesuatu berasal dan segala sesuatu harus kembali kepada

Tuhan.

Dalam persoalan seni dan pendidikan Plato menegaskan

keduanya tidak saling menegasikan, tetapi keduanya saling

menguatkan satu sama lain. Musik, tarian dan nyanyian sangat terpuji

karena mengandung nilai pendidikan yang tinggi, dan tanpa banyak

kesusahan, seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pendapat Plato

yang tajam ini disebabkan oleh adanya hubungan harmonis antara seni

dan kehidupan. Hal ini membuka adanya pintu perhatian akan

kemampuan mendidik pada retorika dan adanya sintesis dalam

instruksi dn kesenangan, yang kemudian mewataki teori paedagogik

seni. Konsekuensinya konsepsi seni mesti mengandung gabungan

antara yang baik, benar dan yang indah (Abdul Kadir, 1974:10).

Dalam bukunya “Republik”, Plato mempunyai pendapat yang

tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat

penghargaan yang lebih tinggi di antara manusia-manusia pencipta

atau seniman, sebab mereka menimbang masyarakat berdasar ide

kebaikan, keadilan, kebenaran dan keindahan. Seniman hanyalah

meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan


57

penjelmaan dari keindahan absolut (Tuhan) yang ada di dunia idea.

Seniman sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam

semesta sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi.

3). Aristoteles (384 – 322 SM)

Keindahan dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang memiliki

berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya

“Poetics”, Aristoteles mengatakan, “untuk menjadi indah, suatu

makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian

harus tidak hanya menyajikan sesuatu ketertiban tertentu dalam

pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu

besaran tertentu yang pasti.” Menurut Aristoteles unsur-unsur

keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah sesuatu

ketertiban dan suatu besaran dalam ukuran tertentu (The Liang Gie,

1996 : 41).

Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan mencitakan

sesuatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam

tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Walaupun seni itu

tiruan dari alam seperti apa adanya tetapi merupakan hasil kreasi (akal)

manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang

sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju pada keindahan

yang mutlak.
58

b. Periode Skolastik

Dalam sejarah Filsafat Barat, Abad Pertengahan adalah masa

timbulnya filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan

oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya

pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat Abad

Pertengahan ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik. Dalam

masa ini masalah teologi mendapat perhatian utama dari para filosof.

Adapun masalah estetika/keindahan, filosof yang terkemuka dan

intens membahasnya adalah St, Agustinus (353-430) dan Thomas

Aquinas (1225–1274).

1). St, Agustinus (353-430)

Pemikiran kesenian Agustinus sering dinamai neo-platonisme.

Pokok pikiran klasik dari Plato mengenai harmoni (keselarasan),

keteraturan, keutuhan, dan keseimbangan dalam karya seni dipakai

oleh Agustinus. Yang indah merupakan kesatuan objek yang sesuai

dengan pengaturan dan perbandingan bagian-bagiannya masing-

masing.

Ide keindahan Plato dikenakan pada Tuhan, sehingga

keindahan seni dan alam berhubungan erat dengan agama. Karya seni

yang indah adalah karya seni yang sesuai dengan 'keteraturan ideal'

yang hanya dapat diperoleh dari Terang Ilahi. Inilah sebabnya filsafat

Agustinus disebut iluminasi, yang berarti segala sesuatunya berkat

anugerah 'cahaya terang' dari Tuhan. Dalam hal ini manusia kurang
59

memadai usahanya untuk mencapai 'terang' itu. Dalam karya seni yang

baik selalu terdapat kecerlangan keteraturan. Inilah sebabnya

Agustinus menolak seni sebagai mimesis. Seni itu transendental. Peran

Terang Ilahi sangat besar. Bentuk dan keindahan yang sebenamya itu

melebihi apa yang tampak. Ia juga tertarik menilai jenis karya fiksi

dalam sastra. Ada duajenis cerita fiksi dalam sastra, yang kedua-

duanya sebenamya adalah 'kebohongan'. Hanya ada cerita yang

'bohong' tetapi tidak bermaksud menipu, dan yang lain 'kebohongan'

yang menipu. Yang lebih dihargai adalah karya fiksi yang meskipun

berisi 'kebohongan' tetapi bermaksud baik secara moral dan agama.

2). Thomas Aquinas (1225–1274).

Thomas Aquinas adalah pengagum Aristoteles. Menurutnya,

keindahan itu terdaat dalam 3 kondisi, yaitu:

1). Integrity or perfection (keutuhan atau kesempurnaan).

2). Proportion or harmony (perimbangan atau keserasian).

3). Brightness or clarity (kecermelangan atau kejelasan).

Menurutnya juga, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak

sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang

atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli

modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.

c. Periode Renaissans

Zaman Renaissans (kebangkitan kembali budaya Graeco-

Roman di Italia dan Eropa) terjadi sekitar tahun 1500, meskipun


60

gejalanya telah muncul satu atau dua abad sebelumnya. Tetapi, sebagai

gerakan budaya, budaya ini baru berkembang meluas pada tahun 1500.

Pokok zaman ini adalah pandangan 'kembali ke bumi' sebagai reaksi

terhadap pandangan Abad Pertengahan yang menekankan 'surgawi'

akibat besarnya pengaruh agama.

Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus

menguasai dunia setelah memahaminya. Begitu pula, manusia harus

memahami siapa dirinya. Semua itu dapat dicapai apabila manusia

mengadakan observasi dan penelitian dengan analisis logis terhadap

berbagai kenyataan duniawi. Inilah sebabnya manusia Renaisans

menjadi kritis terhadap segala hal, dan mempertanyakan kembali

berbagai kebenaran yang terdahulu.

Semangat Renaisans ini muncul dengan terjadinya perkenalan

Italia terhadap warisan budaya klasik mereka, Graeco-Roman, melalui

Perang Salib, dan pelarian orang-orang Yunani di Eropa.. Pandangan

kritis Yunani terhadap lingkungan hidupnya ini sesuai dengan

semangat yang muncul di zaman Renaisans.

Seni keagamaan di zaman Abad Pertengahan berganti menjadi

seni profan (bukan sakral) dan sekuler (bukan religius). Pergantian ini

disebabkan oleh perubahan masyarakat. Di Abad Pertengahan,

masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni penganut

gereja, kaum bangsawan (penganut feodalisme), dan petani.

Kehidupan intelektual terutama dipegang oleh kaum gereja, sehingga


61

seni ritual dan seni religius menduduki tempat utama. Pada zaman

Renaisans terjadi perubahan sosial dan politik. Muncul golongan bani,

yakni kaum borjuis yang hidup dari berdagang dan menjadi golongan

kaya baru. Golongan inilah yang menyadari pentingnya kenyataan

konkret sebagai dasar pandangan hidup. Karena kaum bangsawan di

Italia banyak yang berkembang menjadi pedagang, maka di wilayah

inilah Renaisans pertama kali muncul di Eropa. Di samping itu, Italia

memang merupakan pusat budaya klasik zaman Graeco-Roman.

Renaisans menyebar ke seluruh Eropa dari Italia. Renaisans

inilah awal zaman modern Eropa Semangat memahami dan menguasai

alam, memahami dan menguasai manusia dan kehidupannya, sejak itu '

berkembang terus. Semangat inilah yang mendorong terjadinya

berbagai penjelajahan Eropa ke semua penjuru dunia.

Dalam pandangan estetika kaum Renaisans banyak

mempelajari kembali pandangan estetika Yunani dan Romawi Kuno.

Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi kajian pokok, sehingga

melahirkan berbagai tafsir dan pandangan baru. Berbeda dengan

beberapa zaman sebelumnya, sejak zaman Renaisans muncullah

pandangan estetika dari para senimannya sendiri, di samping para

filosof seni. Antara pandangan estetika dan praktek kesenian terdapat

hubungan. Pada masa-masa sebelumnya, hanya para ahli filsafat saja

yang mengemukakan pandangan estetika yang dengan sendirinya amat

erat kaitannya dengan pandangan filsafat pada umumnya. Dan


62

pandangan-pandangan itu juga tidak khusus atau eksklusif dibicarakan

dalam bidang seni, tetapi terkait dengan pandangan-pandangan lain.

Pada zaman Renaisans terdapat dua kelompok pandangan,

yaitu yang berpijak pada Plato dan pada Aristoteles. Pada dasarnya

kaum Platonis menempatkan keindahan di dalam sukma, sedangkan

penganut Aristotelian menempatkan ide keindahan dalam kualitas fisik

benda seni ( Sumardjo, 1983 : 282).

Penganut Plato di Italia adalah Marsilio Ficino, Picodella

Mirandola, Cattani, Leon Battista Alberti, Castaglione, Nobili, Batussi,

dll. Kaum Platonis ini juga tidak sama pandangan estetikanya. Tokoh

yang menonjol dari kaum Plato ialah Ficino (1433-1499) yang

berpendapat bahwa sifat karakteristik seni adalah kemampuannya

melepaskan diri dari hal-hal Kebendaan. Dalam kontemplasi, jiwa

meninggalkan hal-hal badani dan menyatu dalam ide bentuk, sehingga

terjadi pengalaman keindahan. Pengalaman inilah yang kemudian

diungkapkan dalam wujud benda seni.

Dalam formula lain, Michelangelo boleh dikatakan agak

platonis pula, dengan pernyataannya bahwa gerak dan kemuliaan tubuh

(keindahan) terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan

aritmatika tertentu. Sementara itu, Marato menegaskan adanya simbol

dan makna dalam warna.

Kaum Aristotelian di lain pihak lebih beragam lagi

pandangannya, sehingga menimbulkan debat estetika pada zamannya.


63

Kaum Aristotelian menekankan keindahan jasmani. Tokoh utama

golongan ini ialah Alberti (1409-1472), yang menyatakan bahwa seni

adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam

unsur terkecil dapat merusak seni tersebut.

Kaum Plato bersifat subjektif, maka kaum Aristotelian bersifat

objektif, yakni menekankan objek benda seni yang menimbulkan

keindahan. Alberti melahirkan persoalan sense of beauty sebagai

kemampuan seseorang untuk dapat melihat keindahan benda. Di antara

kaum Aristotelian ini lahirlah pandangan hedonis (kenikmatan).

Agostino Niro, misalnya, menunjukkan keindahan alami pada

keindahan tubuh Joan dari Aragon yang dipujanya. Sementara itu,

Castelvetro menyatakan bahwa seni itu harus memberikan hiburan

berupa kesenangan, kegembiraan, rekreasi (Sumardjo, 1983:283).

Persoalan Aristotelian yang sering diperdebatkan adalah

masalah mimesis (imitasi, peniruan), seni dan sejarah, masalah

universal dan khusus dalam seni, masalah fungsi seni. Tentang 'benda

seni' terdapat pandangan menarik dari Campanella, bahwa materi seni

atau hal-hal eksternal seni itu netral, tidak dengan sendirinya indah

atau tidak indah. Suatu objek mungkin indah bagi seseorang karena

unsur kekejamannya dan pada lain orang karena penderitaan si korban.

Seekor anjing dapat tampak begitu indah bagi pemiliknya, tetapi

menakutkan bagi orang lain. Secangkir urine tampak indah bagi

seorang dokter karena dia bisa melihat gambaran kesehatan sempurna


64

pada pemiliknya. Pada dasarnya Campanella mengisyaratkan

pentingnya suatu analisis untuk 'merebut' keindahan pada sebuah

objek.

Kaum Pedagogi dalam masalah fungsi seni berpendapat bahwa

seni yang baik adalah kalau seni itu mendidik. Seni harus memberikan

kegunaan dalam kehidupan praktis manusia (Sumardjo, 1983:284).

Dalam hal ini seni harus merupakan studi alam yang akan menambah

kekayaan dan meninggikan kemuliaan manusia (pendapat

Piccalomini).

Persoalan sejarah dan seni diungkapkan oleh Fracastaro, yang

menyatakan bahwa seni menekankan ide universal, sedangkan sejarah

terbatas pada hal-hal khusus saja. Beda antara sejarah dan seni bukan

pada objeknya, tetapi pada cara mengungkapkannya. Seni berusaha

menangkap ide universal dari objeknya, yang dituangkan secara

imajiner.

Persoalan terakhir kaum Aristotelian adalah masalah imitasi.

Apakah mimesis atau imitasi dalam seni itu hanya terbatas pada hal-

hal yang 'baik'? Apakah benda 'jelek' atau kenyataan jelek tak dapat

dipandang indah dalam seni? Kejelekan dan keburukan juga objek

imitasi seni, karena seni terletak pada kerja imitasinya, dan bukan pada

apa yang ditirunya.


65

d. Periode Aufklarung

Aufklarung (pencerahan) merupakan gerakan lanjutan dari

renaissans. Dalam periode ini masih terlihat pengaruh rasionalisme

Descartes dan Empirisme Francis Bacon dalam pembahasan estetika.

Pada masa ini Alexander Gotlieb Baumgarten, seorang filosof Jerman

(1714-1762) untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “estetika”

sebagai ilmu tentang seni dan keindahan. Ia membedakan pengetahuan

menjadi 2 macam (The Liang Gie, 1996:41), yaitu:

1). Pengetahuan intelektual (intellectual knowledge).

2). Pengetahuan inderawi (sensory knowledge).

Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas,

sedangkan pengetahuan inderawi dianggap sebagai pengetahuan kabur.

Estetika adalah ilmu tentang pengetahuan inderawi yang tujuannya

adalah keindahan. Tujuan keindahan adalah menyenangkan dan

menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin

pada alam sehingga tujuan utama dari seni adalah mencontoh alam.

Sejalan dengan perkembangan filsafat, Idealisme

mempengaruhi pandangan estetika di Jerman. Immanuel Kant

merupakan filosof pertama yang mengemukakan teori estetika dari

pandangan obyektif. Dari sini penyelidikan estetika berubah dari

penelaahan ontologis beralih ke bidang ilmu jiwa yang sebelumnya

telah dirintis oleh rasionalisme dan empirisme. Filosof- filosof yang


66

termasuk dalam periode ini di antaranya: Immanuel Kant, Schiller,

Schelling dan Hegel.

1). Immanuel Kant (1724-1804)

Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu

mempunyai pengetahuan tentang “nature di luar dirinya” dan “dirinya

di dalam nature”. Pada yang pertama, manusia mencari kebenaran, dan

pada yang kedua, manusia mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan

yang pertama ini merupakan pure reason dan kebaikan yang kedua

merupakan practical reason (free will). Di samping itu, masih ada lagi

yaitu kemampuan untuk memberi keputusan (judgement) yang

membentuk putusan tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa

keinginan. Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan

kemampuan manusia dalam menilai karya seni yang bersangkutan.

Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita rasa” (taste).

Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan,

yaitu keindahan bebas (pulchcritudevoga) dan keindahan bersyarat

yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens) (Abdul Kadir,

1974:37).

Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi tentang

bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan

natural, ada perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga

itu, bagi botani dan bukan botani. Keindahan yang semata-mata

tergantung membuthkan konsep demikian serta penyempurnaan benda


67

itu sesuai dengan konsepnya (keindahan bersyarat), yang tergantung

pada konsep-konsep yang berasal juga dari sebuah konsep yang

mempunyai tujuan tertentu.

Immanuel Kant membagi analisa tentang estetika menjadi dua,

yaitu analisa keindahan dan analisa keagungan.

Pada analisa tentang keindahan, Kant memaparkannya dalam

empat pertimbangan, yaitu berdasarkan pada segi kualitas, kuantitas,

hubungan dan modalitas. Pertimbangan dari segi kualitas, keindahan

adalah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep. Pertimbangan dari

segi kuantitas, keindahan berwujud tanpa konsep, sebagai obyek dari

pemuasan hidup yang mendesak. Keindahan merupakan suatu

kesenangan yang menyeluruh. Pertimbangan segi hubungan, putusan

selera keindahan bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari

daya tarik dan emosi, serta bebas dari konsep kesempurnaan, Hal ini

berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang adanya tujuan pada

obyek tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas. Dan yang terakhir,

pertimbangan dari segi modalitas, putusan selera menurut kesenangan

yang timbul dari obyek tertentu. Kesenangan merupakan keharusan

subyektif tetapi berwujud dalam bentuk obyektif ketika diserap oleh

indera manusia. Keindahan ialah apa yang diakui sebagai obyek

pemuasan darurat yang tidak berkonsep (Wajiz Anwar, 1980:23).

Analisa tentang keagungan terdapat perbedaan antara

keindahan dan keagungan. Keindahan termasuk putusan selera


68

sedangkan keagungan mempunyai akar di dalam kecerdasan

(geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk

(forma), sedangkan keagungan adakalanya bergantung kepada forma

dan non forma yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat. Kant

membedakan antara dua bentuk keagungan, yaitu bentuk matematis

yang statis dan bentuk dinamis (ibid).

Bagi Immanuel Kant, alam merupakan sumber utama bagi

pengalaman estetik (Dick Hartoko, 1984:12-13). Kant membedakan

putusan estetik dari putusan kognitif semata-mata di satu pihak dan

putusan moral di lain pihak. Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin

tahu (bersifat kognitif) tetapi mengikutsertakan daya-daya lain di

dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi,

bahkan seluruh diri kita (Dick Hartoko, 1984:8). Dalam hal

mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan mempertahankan

pengalaman moral. Kita dalam keyakinan moral sanggup

mempertaruhkan nyawa dari suatu perbuatan jahat, lebih baik mati

daripada berbuat serong. Dalam pengalaman estetik walaupun

menyangkut seluruh diri kita, namun untuk mempertaruhkan nyawa

tentu kita tidak akan sanggup mempertaruhkannya (ibid).

2). Hegel (1770-1831)

Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan suatu

moment (unsur dialektis) dalam perkembangan roh (geist, spirit)

menuju kesempurnaan. Kedudukannya diambang antara yang jasmani


69

dan yang rohani (materi menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat

pada saat peralihan yang bermuka ganda itu dialami). Dan bukan itu

saja, karena itu sekaligus merupakan momen atau saat kebenaran

(pengertian) dan kebaikan (penghendakkan) bersentuhan satu sama

lain (maka tidak wajar masalah “arti” atau “nilai etis” dikemukakan

dalam konteks kesenian). Momen itu tidak pernah dialami atau dapat

ditunjukkan dalambentuk yang “sempurna”, tetapi hanya dalam bentuk

“penyimpangan-penyimpanagan yang indah” dari momen

keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu. Dengan demikian

muncullah kategori-kategori estetis, seperti “yang sublim” (roh

“menang” atas materi), “yang lucu” atau “yang humor” (arti “menang”

atas nilai), “yang jelita” atau gracious (nilai “mengalahkan” arti).

Tentu saja semua itu di dalam batas keindahan itu sendiri. Malahan

yang sublim mempunyai unsur tragis. Sedang yang lucu dan yang

jelita, yang pertama dianggap mewakili kepriaan dan yang kedua sifat

kewanitaan (Mudji Sutrino,1993:48).

Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan

memiliki bakat alami, bakat itu harus direnungi dan dikembangkan

lewat kerja praktek dan penguasaan ketrampilan menampilkan sesuatu.

Jika jenius harus dapat menampilkan sesuatu yang original maka

artinya sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar dapat

original dan obyektif, yang bersangkutan harus memiliki kebebasan

dalam mencipta. Kebebasan itu ditunjukkan oleh kemampuannya


70

mengobyektivikasi imajinasinya lewat medium dan teknik yang serasi,

yang akan membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta

karya seni dan menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat

sebagai upaya agar tidak terjadi “pengendapan” perasaan. Yang

inderawi itu harus menjadi wadah obyektivikasi roh. Seni mengacu

kepada perasaan, disamping pada imajinasi (Humar Sahman,

1993:189-190).

Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari

hal yang sama. Kebenaran adalah idea itu sendiri, adanya ada dan pada

idea itu sendiri, serta dapat dipikirkan. Manifestasinya keluar, bukan

hanya kebenaran saja tetapi juga keindahan. Bagi Hegel keindahan

adalah sesuatu yang transendental.

e. Periode Romantik

Aliran Romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang

mendewakan rasio. Kini perasaan menjadi dominan. Kalau

sebelumnya seniman tunduk pada kaidah-kaidah yang ketat, kini

seniman berdaulat dengan merdeka, meluapkan secara spontan dan

otomatis emosi-emosinya. Aliran ini dirintis oleh J.J Rousseau yang

hidup pada pertengahan abad ke-18. Rousseau bertitik tolak pada suatu

pandangan dasar bahwa alam murni itu baik dan indah sehingga segala

sesuatu yang dekat pada alam murni juga baik dan indah (Dick

Hartoko, 1984).
71

Dalam hal seni Rousseau berpendapat bahwa bakat alam

hendaknya dikembangkan secara bebas, jangan sampai diatur oleh

macam-macam teori dan guru. Asalkan emosi yang spontan diluapkan

maka hasilnya pasti indah.

Pada tingkat awal, gerakan Romantik berada pada pemikiran

Schelling dan bentuk-bentuk baru kesusastraan baru di Jerman dan

Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi pusat perhatian

dari penulis-penulis Estetika pada periode ini, yaitu: ekspresi,

imajinasi, organisasi dan simbolisasi.

Salah sesorang filosof besar pada periode ini adalah Athur

Schopenhauer dan Nietzche. Menurut Schonpenhauer, hakekat yang

terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa). Dalam diri manusia,

kehendak yang bersifat itu, tidak dapat dipuaskan. Sebagai akibatnya,

manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi keadaan itu

tersedia dua jalan dalam mengatasinya yaitu: etis dan estetis. Jalan etis

adalah dengan berbuat dan bertingkah laku baik, sedangkan jalan

estetis dengan menikmati kesenian, khususnya musik. Akan tetapi,

musik hanya dapat dinikmati sementara dalam melupakan

kesengsaraan.

Kehendak itu jika memilukan atau kehendak untuk hidup itu

menyedihkan, maka seni adalah hiburan yang terbaik dan merupakan

tempat istirahat yang terjamin. Seni dapat membangkitkan kekuatan


72

dan menghilangkan rasa lelah, serta mendatangkan semangat

keindahan yang menghapuskan krisis dalam hidup.

f. Periode Positivistik

Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah

berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari.

Estetika dibahas dalam hubungannya dengan ilmu lain, misalnya

psikologi dan matematika. Para filosof yang membahas estetika di

antaranya Fechner, George Birkhof, A. Moles dan Edward Bullough.

1). Gustaf T. Fechner (1801-18887)

Fechner berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh

para filosof sebelumnya sebagai estetika “dari atas” (The Liang

Gie,1976). Ia menambahkan bahwa sebaiknya estetika itu dihampiri

“dari bawah” dengan menggunakan pengamatan secara empiris dan

percobaan secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang nyata.

Metode yang dipakainya adalah metode eksperimental. Tujuan yang

ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaedah-kaedah/dalil-

dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu yang indah tertentu, dan

kurang menyukai yang lain.

2). A. Moles

Moles melakukan percobaan-percobaan yang menunjukkan

bahwa proses-proses dalam otak manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat

structural dari pola-pola perangsang, misalnya: sesuatu yang baru,

sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang


73

merangsang ini dapat dipandang sebagai unsur-unsur penyusun dari

bentuk atau struktur seni.

3). Edward Bullough

Bullough menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap

dengan melakukan penyelidikan terhadap apa yang dinamakan

kesadaran estetis (aesthetic consciousness) (ibid). Psikoanalisa dengan

teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana

halnya dengan impian dan mitologi yang merupakan perwujudan dari

keinginan manusia yang paling dalam. Keinginan ini memperoleh

kepuasan lebih besar dalam bentuk seni daripada dalam realitas

kehidupan biasa. Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak (child

psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang

memadai mengenai pertumbuhan dorongan-dorongan batin dalam

menciptakan seni. Dorongan batin ini mencakup semua dinamika

kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk

meniru, kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk

menyenangkan pihak lain, keinginan bermain-main, pemanfaatan

energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada dalam diri

setiap orang. Dalam periode Positivistik ini walaupun pembahasan

estetika sudah bersifat ilmiah, tidak berarti pendekatan secara filsafati

sudah tidak dipergunakan lagi.


74

g. Periode Kontemporer (abad 20-sekarang)

Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam

waktu yang relatif bersamaan dan sampai kini masih banyak

pengikutnya. Pandangan estetika yang banyak ini (multi-isme) tumbuh

pada awal abad 19 dan menjadi lebih semarak lagi pada abad 20.

Berikut ini dibahas 7 pandangan yang menonjol dalam periode ini.

1). Seni untuk Seni (l’art pour l’art)

Semboyan L’art pour L’art yang termasyhur ini pertama kali

dipergunakan oleh seorang filosof Victor Cousin (1792-1867).

Pandangan ini menganggap bahwa seni merupakan deklarasi artistik

yang independen sebagai suatu tanggungjawab profesional. Seniman

ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari

kepentingan masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak

mengabdi kepada kepentingan poitik, ekonomi, sosial dan agama.

Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada waktu itu

untuk mengembalikan kemurnian status seni.

2). Realisme

Realisme menganggap bahwa karya seni harus menampilkan

kenyataan yang sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi

(seperti foto). Salah seorang tokoh dari pandangan ini ialah Nicolay C.

Chernyshevski dengan karyanya The Aesthetic relation or Art to

Reality (1865).
75

3). Sosialisme (tanggungjawab sosial)

Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan

seni untuk seni, bahwa seni merupakan kekuatan sosial dan refleksi

dari kenyataan sosial. Seniman adalah bagian dari masyarakat dan

mempunyai tanggungjawab sosial.

Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan ini adalah

Tolstoy (1882-1910). Di dalam karyanya yang terkenal What is Art

(1898), Tolstoy mengulas persoalan seni dan keindahan secara lebih

luas. Menurutnya, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan keindahan

adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan.

Sedangkan dalam arti obyektif, keindahan adalah suatu yang absolut

dan sempurna karena kita menerima manifestasi dari kesempurnaan

tersebut. Bagi Tolstoy seni adalah seni yang dapat memindahkan

perasan arus hidup manusia secara sama dan seirama. Nilai-nilai

agama dianjurkan dalam ekspresi seni karena persepsi keagamaan

tidak lain adalah gejala pertama dari manusia dengan dunia sekitarnya.

Tolstoy telah membahas estetika dari sudut kekristenan yang penuh

kritik terhadap kepincangan social, negara, gereja dan kebodohan

kaum bangsawan (Hassan Shadily, 1980).

4). Ekspresionisme

Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan

pengaruh besar pada abad ke-20 ini. Pandangannya ditulis dalam

bukunya Aesthetic as Science of Expression and Generale Linguistic


76

(1902). Menurut Croce, estetika adalah ilmu tentang image atau

sebagai pengetahuan intuitif dan bersifat obyektif. Bagi Croce,

keindahan tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu kemampuan

seseorang untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi

dalam bentuknya yang murni. Croce termasuk penganut “seni untuk

seni”. Seni tidak benar kalau dicampuri oleh berbagai kepentingan,

misalnya ilmu pengetahuan, hiiburan ataupun moral.

Croce termasuk filosof seni dalam deretan filsafat idealisme.

Segala sesuatu merupakan aktivitas pikiran, segala sesuatu adalah ideal

belaka. Makna materi tergantung pada makna idealnya. Bagi Croce,

wilayah estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif, bukan wilayah

pengetahuan logis (ilmiah). Intuisi mempakan sebuah imaji yang

berada dalam pikiran subjek. Jadi, oleh Croce, seni dimasukkan dalam

kategori ilmu pengetahuan. Benda seni itu tidak ada. Seni terdapat

dalam pemikiran imajinatif subjek penanggapnya. Benda seni hanyalah

objek fisik belaka, bukan estetika itu sendiri. Benda seni hanyalah titik

tolak subjek seni untuk menumbuhkan kembali estetika pada diri

subjek. Keindahan berada dalam diri subjek masing-masing, bukan

dalam objek seni itu sendiri (Jacob, 1983:305-306).

Croce menyamakan intuisi dengan ekspresi, dalam arti apa

yang diekspresikan seniman adalah intuisi. Jadi, seni adalah perasaan

intuitif, yang harus dibedakan dengan pengetahuan logis. Karya seni

bukan ekspresi kalau dipenuhi muatan pengetahuan logis ilmiah.


77

Pandangan Croce yang penting adalah bahwa benda seni bukanlah

seni. Benda seni menjadi seni hanya dalam tanggapan subjek

penanggapnya masing-masing. Seni terletak dalam diri masing-masing

subjek.

5). Naturalisme

Pandangan estetika naturalisme dari para filosof Amerika lebih

menekankan pada ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya

manusia. Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat

bahwa nilai keindahan terletak pada hasrat alami untuk mengalami

keselarasan sosial dan untuk merenungkan keindahan yang

menciptakan moralitas, seni, dan agama yang ada dalam imajinasi dan

berusaha untuk mewujudkannya secara kongkret dengan tindakan,

kombinasi dari esensi-esensi dan semata-mata ideal. Estetika

berhubungan dengan pencerapan nilai-nilai. Keindahan sebagai nilai

intrinsik dan diobyektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada

suatu benda.

6). Marxisme

Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus

terutama di negara-negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar

estetikanya ialah seni dan semua kegiatan manusia yang tertinggi

merupakan budaya “super struktur” yang ditetapkan oleh kondisi

sejarah masyarakat, terutama kondisi ekonomi. Estetikus Rusia George

V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social Live (1912),


78

mengembangkan estetika materialisme dialektika dan menyerang

doktrin “seni untuk seni” yang telah berkembang di Eropa.

7). Eksistensialisme

Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas

obyektif yang ada dalam dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para

filosof eksistensialisme. J.P. Sartre membedakan antara obyek estetik

dengan benda-benda lainnya di dunia. Perbedaannya terletak pada

“ekspresi dunia”, bahwa setiap benda estetik secara personal adalah

“ada dalam dirinya sendiri” (pour soi). Dalam hal ini Sartre telah

memberikan jalan bagi adanya suatu konsep tentang “kebenaran

otentik” dari eksistensi seni.

3. Hubungan Seni, Agama dan Filsafat

Di sepanjang sejarah perkembangan pemikiran seni, estetika dan

filsafat seni di belahan bumi barat sejak jaman Yunani sampai saat ini

menunjukkan bahwa persoalan seni dan estetika berkembang sangat

dinamis penuh pro dan kontra berkenaan baik definisi hingga tujuan

hakekat seni.

Hubungan Seni, filsafat dan agama dalam wacana sejarah seni

ternyata dibicarakan begitu eratnya. Mayoritas wacana kesenian pada

masa awal sejarah seni hingga akhir abad 20 pun sinergisitas seni, filsafat

dan agama masih tetap menarik dibicarakan oleh para filosof seni dan

seniman itu sendiri. Sejak dari Sokrates, Plato, Aristoteles, Hegel sampai

Tolstoy sinergisitas seni, filsafat dan agama memiliki peran penting untuk
79

mencari makna dan arti penting eksistensi seni itu sendiri. Walaupun telah

berkembang begitu dasyat aliran-aliran seni baru yang mencoba

mempersoalkannya, seperti aliran “seni untuk seni” yang saat ini menjadi

trandmark seniman—tetapi hasanah sinergisitas seni, filsafat dan agama

masih tetap relevan untuk terus digaungkan suaranya untuk dinamika dan

keseimbangan wacana seni dan berkesenian.

Salah seorang contoh filosof yang mengusung ideomatik seni dan

agama melalui falsafahnya di antaranya adalah Hegel, di mana ia

beranggapan bahwa seni adalah fenomena dari yang Absolut. Yang

absolut di sini tiada lain adalah Tuhan itu sendiri, sebagai seorang idealis,

ia selalu menghubungkan analisisnya atas berbagai jenis karya seni dengan

dimensi transenden. Namun sekalipun fungsinya sama seni, agama, dan

filsafat memiliki cara dan bentuk yang berbeda-beda dalam

mempresentasikan yang Absolut. Perbedaan itu terutama terletak pada

bentuk (forms). Dalam seni, yang Absolut tampil dalam bentuk yang

inderawi, terbatas, dan material. Dalam agama, materi itu semakin

berkurang. Agama memang masih membutuhkan medium material, namun

peranan medium tersebut tidaklah sepenting pada seni, karena yang

terpenting pada agama adalah justeru kepercayaan tidak material (yang

ghaib). Dalam filsafat, dimensi material sama sekali tidak berperan.

Namun, tidak berperan bukan berarti tidak berarti apa-apa, sebagai sintesa

filsafat mengandaikan kedua momen tersebut. Itu berarti di dalam filsafat

telah terkandung kedua momen sebelumnya (Aufgehoben). Filsafat


80

memahami yang Absolut semata- mata dalam kategori pikiran murni.

Mengenai aufgehoben filsafat atas seni dan agama itu Hegel menulis

sebagai berikut.

“Filsafat atau sains adalah kesatuan antara seni dan agama.

Sementara metode visi seni, yang bersifat eksternal dalam bentuk adalah

produksi subyektif dan memecah isi subtansial ke dalam bentuk-bentuk

yang terpisah dan sementara agama, yang memisahkanya ke dalam bagian-

bagian, mengangkat isi itu ke dalam gambaran mental (mental picture) dan

memidiasi apa yag diangkat itu; filsafat bukan hanya membuat keduanya

bersama-sama dalam sebuah totalitas, tetapi bahkan menyatukannya ke

dalam visi spiritual yang tunggal, dan kemudian mengangkat keduanya ke

pikiran yang menyadari dirinya sendiri (self conscious thought)”

Kecenderungan adanya sinergisitas seni, filsafat dan agama yang

diarahkan kepada seni putih (positif) memang sangat terasa diungkapkan

para bapak-bapak filosof kuno kita di Yunani. Selebihnya kalau ada

estetika Platonis yang menuju keindahan Tuhan, Plato juga menyebut

watak dan hukum yang indah. Aristoteles mengatakan, keindahan itu

adalah sesuatu yang menyenangkan dan baik. Plotinus bicara tentang ilmu

dan kebajikan yang indah. Dan orang Yunani membicangkan tentang buah

pikiran dan adat kebiasaan yang indah. Dalam pengertian yang luas,

keindahan itu tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada

moral dan intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan

intelek yang indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat
81

Bagus, Baik dan Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu

bersifat holistik dalam keharmonisan. (Sidi Gazalba: 1988:64)

Menurut Sidi Gazalba “bagus” merupakan bagian dari aspek

kesenian dan estetika, “baik” dalam ranah etika dan “benar” lebih condong

mengarah kepada Ilmu dan Agama. Tetapi semuanya itu menurut Sidi

dalam filsafat pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi

ketiganya, baik itu Bagus, Baik dan Benar secara holistik dan

komprehensif.

Gagasan intelektual presiden Bosnia, Alija Ali Izetbegovic tertuang

dalam bukunya yang terkenal, Islam antara Timur dan Barat, Secara

lengkap menjelaskan kedudukan agama, seni, filsafat, dan ilmu. Pada

dasarnya hanya ada dua alam dalam hidup setiap manusia, yakni alam

nyata yang terindera, dan alam sana, alam lain, di luar alam semesta ini.

Kehidupan manusia dapat dipandang dari titik tolak kedua alam ini. Alam

manusia nyata adalah alam material dan alam biologis, sedangkan alam

lain itu adalah alam spiritual, alam roh, alam atas. Boleh juga dianalogkan

dengan alam ide, alam imajinasi, alam ketuhanan.

Alam material manusia dapat dikenali lewat pengalaman hidup

sehari-hari, sejak manusia lahir sampai saat kematiannya. Alam material

ini juga dapat dipahami, dimengerti secara lebih mendalam lewat lembaga

ilmu. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pemahaman manusia atas

dunia material dan pemanfaatan dunia material itu untuk kepentingan

manusia.
82

Sementara itu, dunia spiritual dapat dipahami manusia dan juga

dihayatinya lewat lembaga agama, lembaga filsafat, dan lembaga seni.

Dengan demikian, seni dapat dimasukkan ke dalam lembaga kebenaran

yang bersifat spiritual, sejajar dengan agama dan filsafat Agama, seni, dan

filsafat adalah dunia antara yang memungkinkan manusia yang masih

material itu dapat memasuki alam spiritual atau alam kerohanian. Kegiatan

seni lebih cenderung kepada kegiatan kerohanian daripada kegiatan

material atau keilmuan.

Alam rohani, alam atas, alam spiritual di luar alam semesta ini

memiliki kebenarannya sendiri yang berbeda dengan alam dunia manusia.

Alam rohani adalah alam kekal, alam absolut, alam abstrak, alam

universal, alam tanpa seks, alam kebebasan, alam sempurna, alam tingkat

tertinggi, alam yang tak dikenal manusia. Dalam beberapa hal, alam rohani

ini berbeda dengan dunia material manusia yang serba sementara, terikat

ruang dan waktu, alam relatif, alam konkret, alam kontekstual, alam

dengan seksualitas, alam yang dibatasi oleh aneka struktur, alam serba

cacad dalam kekurang-sempurnaan, alam yang dapat dikenali secara

mendalam oleh manusia.

Alam rohani ini apakah dapat dikenali dan dicapai manusia selama

hidupnya di dunia? Jawabannya jelas: dapat. Bagaimana? Lewat ajaran

dan pengalaman agama, lewat renungan falsafi (pemahaman), dan lewat

kesenian (penghayatan). Ajaran agama menuntun manusia untuk dapat

memasuki alam rohani yang tak terbatas itu, memasuki alam ketuhanan,
83

alam kesempurnaan, alam cinta kasih sempurna. Lewat praktik

pengalaman religius, manusia yang terbatas oleh bawaan kodrat

materialnya ini dapat mengalami kualitas rohani keabadian. Mereka yang

taat beragama tentu sering memasuki pengalaman rohani yang ajaib dan

menakjubkan itu, sehingga semakin memperkuat imannya.

Alam rohani juga dapat dipahami lebih jelas lewat penalaran

manusia yang dikembangkan dalam lembaga filsafat. Apakah hakikat

dunia rohani itu? Siapakah Tuhan itu? Apakah hakikat manusia itu? Alam

rohani juga dapat dimasuki manusia berkat temuan kreativitas artistik para

seniman dengan intuisinya. Dalam sebuah karya musik kita diajak

memasuki suasana perasaan yang tidak pemah kita alami dalam hidup

sehari-hari. Dalam lukisan kita memasuki suatu penghayatan pengalaman

atau perasaan tertentu yang kita rasakan benar, tetapi kita tidak mampu

menjelaskannya. Dalam sastra kita merasakan munculnya kekuatan kata-

kata dan ajaibnya berbagai imaji yang tak pemah kitajumpai dalam hidup

sehari-hari. Semua karya seni besar itu memberikan pengalaman baru dari

dunia yang tak kita kenal sebelumnya. Inilah keajaiban kesenian. Seniman

telah mencuri sesuatu dari alam yang tak kita kenal sebelumnya, alam

asing, alam rohaniah, untuk dibawa ke dunia nyata ini agar penghayatan

manusia atas sesuatu bertambah kaya, baru, dan segar.

Dengan demikian, lembaga agama, filsafat, dan seni adalah media

bagi manusia untuk dapat menjangkau dunia atas yang bersifat spiritual

dan rohaniah itu. Dalam agama, pengalaman adalah pengalaman roh.


84

Dalam filsafat, temuan filosof dari dunia sana itu disebut esensi.

Sementara itu, dalam seni, temuan para seniman disebut imajinasi kreatif.

Dalam ketiga lembaga tersebut dipertemukan dunia atas dan dunia

manusia. Inilah , sebabnya, praktik agama, renungan falsafi di dalam

hangatnya kamar studi, dan tanggapan atas karya seni sering disebut

sebagai pengalaman transendental, kehadiran dunia lain atas dunia konkret

manusia. Dan dalam studi untuk memahami kekayaan lembaga kerohanian

tersebut orang menyebutnya sebagai studi kebudayaan, sedangkan studi

tentang segi-segi materialisme manusia di dunia ini disebut sebagai studi

peradaban.

Semua yang diuraikan di atas hanyalah struktur gagasan tentang

keberadaan manusia di dunia ini. Dalam praktiknya terdapat perbedaan

orientasi kontradiktif. Dalam bidang agama, filsafat, dan seni selalu ada

pandangan yang mengarah kepada materialisme dan kepada spiritualisme.

Ada agama yang orientasinya kepada materialisme, misalnya agama-

agama primitif, yang masih mementingkan kepercayaan demi hidup nyata

di dunia ini. Agama atau kepercayaan adalah untuk keselamatan hidup di

dunia ini. Ingatlah tradisi 'slametan' kita. Tetapi ada juga agama yang

orientasinya spiritual, seperti yang kita jumpai dalam kepercayaan yang

tumbuh di India. Dalam bidang filsafat juga terdapat aliran filsafat yang

orientasinya kepada materialisme dan yang lain pada idealisme. Dalam

seni pun ada aliran seni yang berorientasi pada materialisme-objektif dan

ada yang berorientasi pada idealisme-subjektif (Sumardjo, 1983 : 10).


85

Kebanyakan aliran dalam seni sering sulit dikategorikan

berorientasi ke mana. Pada setiap karya seni selalu ada aspek materialisme

dan aspek spiritualisme atau imajinatif. Inilah tugas para kritikus dan

penyusun sejarah seni untuk membuat kategori orientasi dalam setiap

karya seni yang dijadikan objeknya.

Hidup manusia di dunia ini terdiri atas badan dan roh, dan

keduanya tak terpisahkan. Untuk apa manusia hidup di dunia ini? Untuk

apa kita terlempar atau jatuh ke dunia material ini? Inilah pertanyaan yang

dijawab oleh lembaga agama dan lembaga filsafat. Di sisi lain, seni,

seperti halnya juga ilmu, mendasarkan diri pada kenyataan hidup konkret,

pada material dunia dan manusia. Hanya ilmulah yang bertugas

menjelaskan secara nalar kenyataan material dunia dan kenyataan material

manusia dengan hasil-hasil tingkah lakunya, sedangkan seni merenungkan

dunia material dan manusia ini untuk melihat adanya kenyataan lain yang

belum pernah dilihat oleh manusia. Dalam usahanya ini, para seniman

sering menemukan makna nalar esensial dari kenyataan hidup ini, tetapi

juga menemukan kualitas baru yang tak ada di dunia kenyataan material.

Wama kuning tertentu dalam sebuah lukisan, misalnya, adalah khas

temuan seniman, karena wama kuning seperti itu tak pemah didapatkan

dalam kenyataan hidup konkret ini. Seni memperkaya makna dan

memperkaya kualitas kenyataan hidup ini.

Dunia ide, dunia roh, adalah dunia yang tak pemah kita kenal

selama kita masih hidup di dunia ini, karena badan manusia harus terbatas,
86

terstruktur, dan terkondisi. Manusia sebenarnya tidak pemah bebas di

dunia ini, tetapi memiliki roh yang tidak dapat dikekang dan diatur oleh

siapa pun. Dia memiliki kebebasan rohaniah. Dan dengan kebebasan

rohaniahnya inilah manusia dapat menjangkau hal-hal di luar struktur dan

kondisinya. Manusia dapat memasuki secara spiritual, secara rohani,

secara ide, secara imajinasi, dunia lain yang bersifat abadi, absolut,

abstrak, sempuma. Setiap manusia agama, manusia filsafat, manusia seni,

dapat kreatif dari lubuk rohaninya sendiri untuk menemukan kenyataan

dunia atas itu. Kemungkinan ini tak terbatas sampai kapan pun. Manusia

selalu berusaha menyempurnakan dirinya, memanusiakan dirinya,

memperkaya makna hidupnya dengan banfuan lembaga-lembaga

kebenaran tadi.

Seni adalah dunia medium antara materialisme dunia dan

kerohaniah yang kekal. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang

transendental, sesuatu yang tak kita kenal sebelumnya, dan kini kita kenal

lewat karya seorang seniman.

B. Seni dalam Perspektif Islam: Skala Normatif-Yuridis

Salah satu ormas terbesar di tanah air Indonesia, Muhammadiyah

memunculkan sebuah terminologi dakwah dengan istilah "Dakwah kultural"

yang sempat mengundang pro dan kontra. Persoalan khilafiyah mengenai

dakwah kultural ini berawal dari belum jelasnya batasan-batasan yang


87

digariskan oleh Muhammadiyah menyangkut dakwah kultural yang dimaksud

Muhammadiyah itu seperti apa.

Dalam sebuah acara Milad Muhammadiyah di kota Yogyakarta,

ketika itu ada sebuah fenomena yang cukup mengusik hati sebagian warga

Muhammadiyah, ketika melihat suguhan pentas seni yang ditampilkan dalam

acara tersebut berupa campur sari dengan setting penampilan yang masih jauh

dari kesan Islami, bahkan ada kecenderungan pemerkosaan secara tidak

langsung terhadap nilai-nilai Islam.

Kenyataan yang ada menunjukkan kepada kita bahwa saat ini umat

Islam membutuhkan suatu konsep seni yang sejalan dengan nilai-nilai

Alqur’an dan al-Sunnah dalam berekspresi sehingga seni bukan hanya untuk

seni semata, akan tetapi seni bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Ekspresi seni yang berupaya memadukan konsep seni dan ibadah

mulai berkembang dengan adanya kelompok-kelompok seni suara dengan

nasyid Islami yang sudah cukup populer di mana-mana, seperti Raihan,

Brothers dari Malaysia, Snada, Izzatul Islam, Justice Voice dan Munsyid

Indonesia, bahkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogjakarta baru-baru ini

memunculkan kelompok nasyid "Insani" yang tampilan perdananya pada

penutupan acara Action Mahasiswa.

Pada hari raya Idul Adha 1430 H ketika itu, kita bisa menyaksikan

tampilan perdana sinetron yang cukup sehat berjudul "Cermin" yang

disutradarai oleh sinemais muslim Chairul Umam dan sinetron berjudul "Da'i"
88

yang disutradarai oleh Zak Sorga yang menurut penulis cukup representatif

sebagai media dakwah di layar kaca dengan pesan-pesan yang disampaikan.

Manusia pada fitrahnya sangat membutuhkan kebutuhan akan intuisi

yang dapat mengangkat derajat kemanusiaanya bahkan sebaliknya intuisi itu

dapat menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan, berada di bawah binatang.

Di dalam Alqur’an sebenarnya bukan rahasia lagi tentang keindahan dan

kedalaman kandunganya (memiliki nilai seni yang sangat tinggi). Di dalamnya

pun banyak membicarakan tentang keindahan atau estetika yang menggugah

akal hati nurani manusia yang pada gilirannya manusia dapat menyelami

keindahan di alam semesta ini.

Ruh seni yang menimbulkan cita rasa keindahan dan kenikmatan

dalam jiwa penghayatnya sering ditekankan dalam Alqur’an yang

memusatkan pandangannya dengan kuat kepada unsur kebagusan dan

keindahan yang telah Tuhan hiaskan pada setiap makhluknya bersebelahan

dengan unsur kemanfaatan atau faedah padanya dan Tuhanpun mensyariatkan

kepada manusia untuk menikmati keindahan atau perhiasan sekaligus

kemanfaatannya (Qardhawi, 2002: 30).

Pada sub bahasan ini akan berupaya memberikan gambaran tentang

seni dalam perspektif Islam itu seperti apa, sejauh mana batasan-batasan

kebolehan dalam berekspresi sehingga ekspresi seni dalam Islam tidak lepas

dari visi dan misi kita diciptakan Allah untuk beribadah.


89

1. Ghazwul Fikri dan Pengaruhnya terhadap Seni Umat Islam

Jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924 secara

tidak langsung berdampak terhadap situasi dan kondisi umat Islam di mana

pun berada, karena jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani tidak lepas dari

upaya Yahudi yang berkolaborasi dengan kelompok sekuler Kamal at-

Taturk untuk menghilangkan Islam dari percaturan dunia.

Jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani berakibat peran dunia Barat

untuk meracuni dunia Islam semakin terbuka lebar sehingga tidak

mengherankan bila pengaruh sosial dunia Barat semakin kuat, khususnya

dengan semakin banyaknya channel siaran TV swasta di Indonesia,

kebebasan pers yang tidak terkontrol dengan merebaknya media

pornografi, baik itu media cetak dengan tabloid-tabloid yang sarat dengan

gambar-gambar wanita tanpa busana utuh, maupun media elektronik.

Seorang missionaris yang bernama Zuwaimir pernah menulis

dalam sebuah majalah dengan judul "al-Alam al-Islamy al-yaum"

menyatakan bahwa tidak pernah ada keyakinan yang kuat sebagaimana

dimiliki oleh kaum muslimin, baik itu di Asia maupun di Afrika yang

diyakini oleh jutaan orang, dengan ikatan aqidah dan syari'ah. Oleh karena

itu bagi setiap missionaris untuk berusaha melemahkan, dengan

membangun kecenderungan mereka untuk tertarik dengan hal-hal yang

berbau Barat khususnya di kalangan wanitanya (Ali Ahmad, 1994: 55).

Dengan kondisi seperti ini sudah seharusnya umat Islam

menyadari berbagai usaha musuh-musuh Islam dengan menawarkan


90

berbagai seni yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, baik itu dalam

seni musik, seni peran, seni tari, seni lukis dan sebagainya, dengan

membangun sebuah seni alternatif yang sejalan dengan jiwa Alqur’an dan

as-Sunnah.

2. Sejarah Seni dalam Islam

Seni dalam Islam beriring munculnya dengan diutusnya

Rasulullah SAW. Hal ini bisa kita jumpai di dalam hadis nabawi yang

diriwayatkan di dalam shahih Bukhari dan Muslim: bahwa Abu Bakar

pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW. Ketika itu

ada dua gadis : di sisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar

menghardiknya , seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling syetan di

rumah Rasulullah?". Kemudian Rasulullah SAW menimpali: "Da'huma ya

Aba Bakrin, Fainnaha Ayyamu 'idiri' - biarkanlah mereka wahai Abu

Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya".

Di masa generasi tabi'in, teori musik juga dikenal di kalangan

kaum muslimin. Mereka mempelajari buku-buku musik yang

diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan Hindia. Di antara para ahli musik

yang muncul di kala itu adalah Ibnu Misyah (wafat tahun 705 M), Yusuf

bin Sulaiman al-Khatib (wafat tahun 785 M), Khalil bin Ahmad yang telah

mengarang buku teori musik mengenai note dan irama (Said Ramadhan

Buthi, 1991: 66).

Perhatian cukup besar terhadap seni musik diberikan di masa

akhir Daulah Umayyah, kemudian juga di masa Daulah Abbasiah. Salah


91

satu pendorong didirikannya sekolah musik di masa kekuasaan Daulah

Abbasiyah adalah karena keahlian seni musik dan menyanyi merupakan

salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di Istana

dan di rumah-rumah pejabat negara.

Seni, meskipun telah dikenal sejak awal kemunculan Islam,

namun perdebatan mengenai batasan-batasan yang membolehkan maupun

yang tidak membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang

seiring dengan beragamnya alat-alat musik yang diproduksi. Bahkan,

pembahasan mengenai hukum memperdagangkan alat-alat musik masih

terus menjadi diskusi yang cukup menarik, termasuk mengenai batasan-

batasan yang diperbolehkan secara syar'i dalam mengekspresikan seni.

3. Pandangan Ulama Islam tentang Seni

Perbincangan mengenai hukum seni musik, seni patung, seni

lukis, seni fotografi, puisi, pantomim merupakan perbincangan yang akan

selalu muncul di setiap generasi, karena ekspresi seni muncul pararel

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa

Rasulullah SAW persoalan seni yang berhubungan dengan multi media

belum muncul, namun saat ini, seni dengan menggunakan multi media

dengan berbagai perlengkapannya merupakan persoalan yang

membutuhkan ijtihad.

4. Seni Musik

Jumhur ulama sepakat bahwa bentuk seni musik (nyanyian) yang

memalingkan dari dzikrullah hukumnya haram, namun kemudian berbeda


92

pandangan mengenai seni musik yang tidak melalaikan dari dzikrullah.

Pendapat pertama yang mengharamkan menyatakan bahwa nyanyian dan

seni musik merupakan seruling syaitan "mazamiri al-syaithari" yang

dilarang.

Landasannya adalah:

a. Surah Luqman [31]: 6:

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan


yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh azab yang menghinakan".

b. Surah al-lsra' [17]: 64:

"Dan bujuklah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan


suaramu...".

c. Surah an-Najm [53]: 59-61:


93

"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun
(menjengahkannya)".

Ibnu Abbas menyatakan bahwa makna saamidun dalam ayat ini adalah

ghina (nyanyian).

d. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Anshari:

"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang


menghalalkan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian
segolongan kaum muslimin, akan pergi ke tebing bukit yang tinggi.
Lalu para penggembala dengan ternak kambingnya mengunjungi
golongan tersebut. Lalu mereka didatangi seorang faqir untuk meminta
sesuatu. Ketika itu kemudian mereka berkata, "Datanglah kepada kami
esok hari". Pada malam hari Allah membinasakan ; mereka. Sisa
mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi
monyet dan babi hingga hari qiyamat".

Dalam riwayat Imam Ahmad dinyatakan:

"Sekumpulan dari umatku melewati malam dengan makan, minum,


hiburan dan permainan. Esok harinya mereka ditukar (rupa) dengan
monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan
mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah
memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka
menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk
menyanyi) bagi mereka".

e. Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dari lmran bin Husain: "Pada

umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan.

"Bertanya salah seorang di antara kaum muslimin: "Kapankah yang

demikian itu terjadi, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila


94

muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum

muslim".

Pendapat kedua yang membolehkan nyanyian dan alat musik,

sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Malik, Imam Ja'far, Imam al-

Ghazali dan Imam Abu Daud Azh Zhahiri dengan alasan:

a. Firman Allah dalam surah Luqman [31]: 19:

"... dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara


adatah bunyi keledai".

Imam al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum

mukhalafah. Allah SWT. memuji suara yang baik. Dengan demikian

dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik.

Hadis Bukhari Muslim menyebutkan:

"Bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui


Nabi SAW; ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang
bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah
pantas ada seruling syaitan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah
Saw. menimpali: "da'huma ya Aba Bakrin fainnaha ayyamu 'idin"
(Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah
hari raya).

b. Ibnu al-Arabi berkata:

"Tidak ada satu dalil pun di dalam Alqur’an maupun Sunnah Rasul
yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada hadis shahih yang
menunjukkan bolehnya nyanyian sebagaimana hadis yang diriwayatkan
Bukhari Muslim ketika Abu Bakar pergi ke rumah Rasulullah SAW".

c. Ibnu Hazm memberi komentar:


95

"Jika belum ada perincian dari Allah dan Rasulnya tentang haramnya
sesuatu yang kita perbincangkan (dalam hal ini mengenai masalah
nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa
ia adalah halal atau boleh secara mutlak".

d. Yusuf Qardhawi menyatakan:

Nyanyian dibolehkan dengan syarat: (1) Tema nyanyian harus sesuai

dengan ajaran dan adab Islam yang tercantum di dalam surah an-Nur

[24]: 30 dan 31:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
96

perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau


ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-
putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi: "Wahai Ali, janganlah

engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau

hanya boleh melakukan pandangan yang pertama sedang pandangan

yang kedua adalah resiko bagimu". (2) Penampilan penyanyi harus

dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak kotor,

tetapi penampilan biduanitanya sangat seksi sehingga membangkitkan

syahwat, menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari

tempat yang halal ke tempat yang haram. "... Maka janganlah kamu

tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada

penyakit di dalam hatinya..."(al-Ahzab: 32). (3) Kalau agama

mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu

termasuk dalam ' ibadah, maka sikap berlebih-lebihan dalam permainan

(sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu - meski pada asalnya

perkara itu indah - akan dapat melalaikan manusia dari melakukan

kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur dan

dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat

terbatas (Yusuf Qardlawi, 1993: 78).


97

e. Ahmad As-Syarbasyi (1998, tt: 25) mengatakan:

Hukum mendengarkan musik (nyanyian) bilamana tidak mengarahkan

kepada hal-hal yang haram, syair-syairnya baik, mengarah kepada

keutamaan akhlaq, maka tidak diharamkan. Akan tetapi, bila musik

(nyanyian) itu mengarahkan kepada hal-hal yang menimbulkan

syahwat maupun mengandung sesuatu yang munkar, maka diharamkan

untuk menikmatinya.

f. Abdullah al-Khatib menyatakan:

Islam tidak mengharamkan sesuatu yang baik, dan tidak mematikan

kecenderungan manusia sesuai dengan fitrah insaniyahnya untuk

menikmati keindahan, namun menikmati keindahan itu bukan semata-

mata untuk menikmati, tetapi ada rambu-rambu yang harus dipatuhi

sebagaimana Allah membuat pertanyaan kepada manusia yang Allah

sampaikan di dalam firman surah al-A'raf [7]:32:

“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang


telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah
yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”
98

Kaum muslimin pada generasi awal senang bersenandung, baik ketika

mereka sedang dalam medan peperangan maupun ketika hari raya.

Sedangkan seni yang merusak adalah menikmati hiburan yang

menyebabkan jiwa manusia menjadi terpenuhi oleh gejolak syahwat,

menghabiskan waktu manusia bukan untuk dzikrullah.

Dengan adanya dua pandangan mengenai seni musik dan nyanyian

ini penulis mengambil pendapat yang kedua yang membolehkan dengan

syarat. Landasannya: (1) kembali kepada kaidah ushul fiqh: "AlAsh anna

al-Asya 'ala al-ibahah hatta yutsabbitu at-nahyu, wa hadza kullu syai'

(Segala sesuatu pada prinsipnya boleh, sampai ada dalil yang menetapkan

larangan"); (2) Syari'at Islam adalah Syumul, menyeluruh yang tidak

mungkin menafikan aspek fitrah yang dimiliki oleh manusia, namun di

dalam menyalurkan kecenderungan fitrah manusia berdasarkan ruh

Alqur’an dan as-Sunnah. Ke-syumul-an syari'at Islam ini Allah tegaskan di

dalam firmanNya surah an-Nahl [16]:89:

“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat
seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu
(Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
99

petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.

5. Seni Pahat/Seni Patung/Seni Lukis

Bila kita menyimak apa yang terdapat di dalam sirah nabi tatkala

nabi hendak masuk ke Ka'bah setelah Fathu Makah, namun ketika beliau

menjumpai patung-patung ada di dalamnya, Nabi tidak jadi memasuki

Ka'bah sampai dibersihkannya patung-patung dalam Ka'bah.

Berdasarkan itu para ulama berpendapat bahwa tingkat

pengharaman itu semakin bertambah manakala patung tersebut berbentuk

orang Yang diagungkan seperti al-Masih. Sedang boneka untuk mainan

anak-anak kecil diperbolehkan. Adapun mengenai fotografi ulama Mesir

al-Allammah Syaikh Muhammad Baqith al-Muthi'I dalam kitabnya

Ahlawabut Kaafi fi ibahaatit Tashwiiril Futughrafi berpendapat bahwa

fotoghrafi itu hukumnya mubah, karena aktivitas fotografi tidak termasuk

dalam aktivitas mencipta sebagaimana yang disinyalir dalam ungkapan

hadis "yakhluqu kakhalqi..." (menciptakan seperti ciptaanKu...), karena

foto itu hanya menahan bayangan. Pendapat ini banyak disetujui oleh

banyak ulama termasuk Syaikh Yusuf Qardhawi (1993: 54), dengan

catatan foto wanita telanjang atau setengah telanjang diharamkan.

6. Seni Tari

Seni tari sudah dikenal di masa Rasulullah, seperti tarian Habasyah

yang dipertunjukkan oleh orang-orang Habsyah (Ethopia sekarang) ketika

mereka menari meluapkan kegembiraan menyambut kehadiran Rasulullah


100

SAW di kota Madinah, bahkan suatu saat Rasulullah pernah mengizinkan

Aisyah untuk menonton pertunjukan tarian Habasyah yang sangat

sederhana dengan menjinjitkan kaki.

Kalangan ulama dalam persoalan seni tari ini masih menjadi

perdebatan antara yang membolehkan dengan syarat sesuai dengan adab-

adab Islam, atau pun yang sama sekali tidak membolehkan. Hal ini

berdasarkan fenomena yang ada di masyarakat bahwa seni tari yang

dikenal saat ini cenderung mengarah kepada tindakan "tabarruj"

(memamerkan diri di kalangan yang bukan mahram), maupun "ikhthilath"

(campur baur laki-laki dan wanita dalam satu majlis tanpa mengindahkan

adab-adab Islam).

Ada beberapa hal yang bisa penulis sampaikan sebagai kesimpulan

mengenai konsep seni dalam Islam. Pertama, seni suara/musik dalam

Islam dibolehkan dengan syarat seni yang diekspresikan sejalan dengan

adab-adab Islam, tidak bercampur dengan aneka ragam bentuk

kemunkaran seperti yang biasa terjadi di diskotik-diskotik maupun di klub-

klub.

Kedua, seni patung diharamkan bila berbentuk utuh dan mengarah

kepada pengkultusan individu, yang dikhawatirkan akan mengarah kepada

kemusyrikan. Adapun seni fotografi bersifat mubah, bilamana hal ini

dilakukan dalam konteks yang ma'ruf. Ketiga, adapun menyangkut seni

tari, ulama masih banyak memperdebatkan mengenai kebolehan hal ini,

meskipun ada hadis-hadis yang memberi dasar kebolehan seni tari cukup
101

kuat sehingga perlu pembahasan lebih rinci mengenai batasan

kebolehannya.

C. Refleksi Qur’an dan Hadits tentang Seni dan Estetika

Seni dalam sejarah Islam merupakan fenomena yang sedikit banyak

memiliki keterkaitan dengan kesadaran religius seseorang yang

mengekspresikannya. Ungkapan l’art pour art (seni untuk seni) yang sempat

menggema di dunia Kristen tak memiliki tempat dan preseden dalam sejarah umat

Islam. Justru sejarah seni dalam Islam tak lepas dari nilai-nilai religius yang

membuat aspek spiritualitas sangat nampak.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, seni Islam memang bukan sekadar

berkaitan dengan bahan-bahan material yang dipergunakan, melainkan juga

meliputi unsur kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material

tersebut. Seni suci Islam, menurut Nasr, berhubungan langsung dengan praktik-

praktik utama agama dan kehidupan spiritual. Dalam pandangan Nasr, seni Islam

dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya memiliki

keterkaitan erat dengan pandangan-dunia Islam yang mempengaruhi seni Islam

pada umumnya (Nasr, 1993: 13-14). Dengan kata lain, seni Islam memainkan

fungsi spiritual yang cukup penting.

Fungsi spiritual itu terlihat dari hubungan organis antara seni Islam dan

Ibadah Islam, antara kontemplasi tentang Tuhan dengan sifat kontemplatif dari

seni Islam, antara ingat kepada Allah (dzikrullah) yang merupakan tujuan akhir

ibadah dalam Islam dengan peran yang dimainkan dalam seni Islam. Statemen
102

Innallaha Jamil yuhibbul Jamal (Allah Maha Indah dan Mencintai Keindahan)

seolah menegaskan hal tersebut.

Masih menurut Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein:

Seni Islam merupakan hasil pengejawantahan Keesaan pada bidang


keanekaragaman. Ia merefleksikan kandungan Prinsip Keesaan Ilahi,
kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada yang Esa, kesementaraan
dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos atau makhluk
sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt di dalam al-Quran, Ya Tuhan
Kami! Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia (QS 3: 191). Seni
Islam mewujudkan, dalam taraf fisik yang secara langsung dapat dipahami
oleh pikiran yang sehat, realitas-realitas dasar dan perbuatan-perbuatan,
sebagai tangga bagi pendakian jiwa dari tingkat yang dapat dilihat dan
didengar menuju ke Yang Gaib yang juga merupakan Keheningan di atas
setiap bunyi. (Nasr, 1993: 13-14)
Seni Islam lahir tentunya tidak terlepas dari pengaruh Al-Quran sebagai

kitab induk pedoman dasar ajarannya dan Hadits sebagai pengejawantahan spirit

kenabian (profetik) Muhammad SAW. Al-Quran dan Hadits adalah dua pedoman

utama implementasi sikap dan prilaku muslim, termasuk dalam persoalan seni

atau keindahan (estetis).

Terkait dengan refleksi estetik umat Islam terhadap al-Quran, Navid

Kermani menegaskan bahwa fenomena estetik tersebut harus dilihat sebagai

bagian penting dari praktik religius keislaman, setidaknya di negara-negara yang

menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa kesehariannya. “Tak perlu diragukan

sedikit pun bahwa dalam sejarah penerimaannya, al-Quran memiliki efek estetik

yang tak tertandingi oleh teks sastra dunia mana pun (Kermani, 2002: 255).

Al-Quran tidak hanya indah dalam bidang teks sastranya tetapi juga indah

dalam segala hal bentuk dan isinya. Bahasan ini khusus penulis ketengahkan
103

mengenai refleksi estetik Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konsep seni profetik.

Refleksi Estetik Al-Quran dan Hadits di sini dibatasi hanya untuk

mendiskripsikan bagaimana keduanya berbicara mengenai keindahan. Penulis

tidak akan membahas kontroversi seni dalam ajaran Islam yang hingga saat ini

masih menjadi persoalan kilafiah yang menurut penulis sudah saatnya dihentikan,

sebab perseteruan yang berlarut-larut tidak mengandung manfaat bahkan bisa

memperlemah kemajuan peradaban umat.

Kaidah syariah menetapkan:

Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-

perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-

Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).

Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang

muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan

kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan

sebagainya. Seni adalah karya aktifitas manusia dari kegiatan mendengar,

melihat, meraba, menggerakkan tangan dan kaki, bersuara dan lain sebagainya.

Hasil seni, apa saja bentuknya, baik itu seni lagu, musik, tari, melukis, memahat,

dan lain sebagainya pada dasarnya menurut kaidah syari’ah tersebut hukumnya

boleh (mubah) kecuali ada nash larangan dan alasan kenapa itu dilarang.

Seni yang dilarang pada dasarnya adalah seni yang mengandung hal-hal

dilarang oleh agama, seperti: kekufuran, kemaksiatan, ketidakbaikan, berlebih-

lebihan, tidak mengandung manfaat, pornografi, pornoaksi, anarkisme dan lain


104

sebagainya. Sebaliknya, seni yang mengandung kebaikan, kebenaran dan

keindahan justru sebaiknya kita wajibkan.

1. Cahaya Sumber Keindahan

Wajah Allah Azza Wa Jalla adalah aspek dzahir dari Dia, yang dari sisi

wajah-Nya ini memancar cahaya keindahan-Nya. Sebagaimana makna cahaya

adalah sesuatu yang membuat dzahirnya segala sesuatu dengannya, maka An-

Nuur secara mutlak merupakan isim (nama) dari asma-asma Allah Ta’ala yang

mengibaratkan sesuatu yang sangat dzahir serta dzahir-nya segala sesuatu

disebabkan keberadaannya. Wajah Allah merupakan hijab rahmat bagi semesta

alam yang tanpa itu alam raya akan musnah ditelan Wujud-Nya.

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan,


kemudian dia limpahkan atas mereka secercah cahaya-Nya.” (Hadits
Nabi)

Semesta alam-alam yang Dia ciptakan dalam kegelapan, tanpa cahaya Ar-

Rahmaan tak akan mampu menyadari keberadaan penciptanya, bahkan dirinya

sendiri. Tiupan rahmat dan pemeliharaan-Nya kemudian yang memekarkan setiap

titik ciptaan dari status awalnya yang tanpa nama sehingga terpakaikan kepadanya

pakaian wujud. Setiap wujud yang ditampakan oleh cahaya-Nya merupakan

pernyataan dari himpunan asma-asma Allah, bahkan asma-asma Allah itu sendiri

yang tetap tegak oleh tajali ilahiyyah yang terus menerus.

Himpunan asma-asma Nya yang tak terhitung terdapat asma teragung-

Nya, Ismul Adzham, merupakan cahaya Allah paling terang diantara limpahan
105

cahaya-cahaya yang menunjuk kepada-Nya. Cahaya Allah teragung ini

merupakan cahaya sumber tempat cahaya-cahaya mengambil cahayanya.

“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya


bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita
tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau
dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun
yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang
minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api.
Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa
yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An Nuur:35)

Rabbul ‘Alamin mendzahirkan tujuh petala langit dan bumi dengan

mempergunakan cahaya-Nya. Tanpa cahaya-Nya seluruh ciptaan akan berada

dalam kegelapan. Kehadiran cahaya Allah merupakan syarat utama atau sebab

awal bagi tegaknya kaun (semesta) langit dan bumi. Cahaya Allah adalah juga

syarat utama manusia mampu mengetahui dan merasakan apa itu sesuatu yang

indah.

2. Keindahan Sastra, Lagu dan Kaligrafi Al-Quran

Al-Quran diyakini merupakan sebuah kitab suci yang memiliki bahasa

yang indah, yang bahkan tak seorang pun mampu menandinginya QS. Al-Baqarah

(2): 23-24, QS.Yunus (10): 38, QS. Hud (11): 13, Qs. Al-Isra’ (17): 88, dan QS.

Ath-Thur (52): 33-34. Keindahan bahasa al-Quran ini dianggap sebagai salah satu

bukti kemukjizatan al-Quran (Shihab, 1997: 118-131). Kualitas kesastraan inilah

yang menjadi faktor penting penyebaran Islam di kalangan orang-orang Arab pada

abad ketujuh (Kermani, 2002: 250). Keindahan bahasa al-Quran ini pula yang

kemudian dalam studi al-Quran melahirkan kajian khusus mengenai “keunikan”


106

bahasa al-Quran, yaitu Uslub al-Quran atau Stilistika. Neal Robinson bahkan

membuktikan keterkaitan antara struktur bahasa al-Quran, bunyi dan maknanya

dalam beberapa surat al-Quran (Robinson, 1996: 162-176).

Banyak cerita yang bisa disimak berkaitan dengan keindahan bahasa al-

Quran. Sebuah riwayat dikaitkan dengan Utsman ibn Ma’zun saat Nabi

membacakan kepadanya QS al-Nahl 16 : Sesungguhnya Allah menyuruh kalian

untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dia lantas berkata: “Sungguh,

keimanan telah mengakar dalam hatiku dan aku pun mencintai Muhammad.”

Demikian halnya dengan kisah yang dialami Dimad saat ia mendengar Nabi

membaca beberapa ayat al-Quran. Kata Dimad, “Saya telah mendengar banyak

kalimat dari para ahli sihir, dukun dan penyair, tapi tak satu pun yang sehebat ini.”

Dimad pun kemudian masuk Islam (Kermani, 2002: 258). Dua riwayat di atas

tentu saja merujuk pada aspek “keindahan” al-Quran.

Keindahan bahasa al-Quran ini dalam banyak hal telah mendorong umat

Islam untuk mengekspresikan keindahannya dalam berbagai bentuk: melagukan

dalam pembacaannya, menuliskannya dalam berbagai bentuk mushaf yang cantik,

menuliskan potongan-potongan ayatnya dalam bentuk kaligrafi dan dalam bentuk

seni yang lain. Di Indonesia, HB Jassin menggagas penulisan al-Quran dalam

bentuk puisi (HB Jassin, 1995). Refleksi estetik ini secara nyata menjadi

fenomena yang cukup menarik di masyarakat Islam.

Upaya mengekspresikan al-Quran secara estetik sesungguhnya sudah

muncul sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Salah satu kisah yang cukup populer

adalah tentang kisah keislaman Umar ibn Khattab setelah mendengar pembacaan
107

beberapa ayat Alqur’an oleh adik perempuannya yang bernama Fatimah bersama

suaminya yang bernama Sa’id bin Zayd. Kemudian terjadi debat di antara mereka

bahkan kemudian muncul sikap kasar Umar kepada mereka. Namun, setalah

Umar membaca sendiri beberapa ayat dari surah Thaha, ia kemudian berkomentar

“Alangkah indah dan mulianya firman ini (ma ahsana hadzal kalam wa akrama)”,

dan kemudian menemui Nabi untuk masuk Islam. Kisah ini menunjukkan bahwa

pembacaan al-Quran ternyata telah menjadikan Umar bin Khattab yang saat itu

merupakan musuh utama Nabi justru mengikuti beliau (Kermani, 2002: 261-262).

Navid Kermani memberikan banyak sekali contoh mengenai pengaruh pembacaan

al-Quran terhadap masuknya seseorang ke dalam agama Islam (Kermani, 2002:

261-262).

Belakangan, keindahan pembacaan ayat-ayat al-Quran menjadi fenomena

yang kompleks dalam kehidupan umat Islam. Pembacaan ayat-ayat suci al-Quran

dilantunkan dalam berbagai kesempatan seperti dalam seremoni kenegaraan,

pertemuan-pertemuan, kegiatan ilmiah dan sebagainya. Di Indonesia pelantunan

ayat-ayat al-Quran juga menjadi bagian dari berbagai event seperti perkawinan,

kematian dan ketika seseorang memiliki hajat yang lain. Tradisi “semaan” al-

Quran di Indonesia berkembang pesat dalam masyarakat, mulai dari yang hanya

melibatkan keluarga hingga jamaah yang jumlahnya puluhan ribu orang. Dalam

skala yang berbeda-beda, pun dengan “revolusi” lagu yang terus berkembang,

pembacaan ayat-ayat al-Quran dikonteskan oelah umat Islam baik melalui

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Musabaqah Hifdzil Qur’an (MHQ) dan lain-

lain.
108

Kesusastraan dan seni suara (lagu) Al-quran yang indah akan menjadi

lengkap ketika kita memandang lukisan sebuah Kaligrafi. Kaligrafi

“menyuarakan” pesan spiritual yang begitu dalam. Kaligrafi adalah “geometri

spirit” (Minorsky, 1959: 21). Menurut Seyyed Hossein Nasr, kaligrafi, yang

merupakan cikal-bakal seni plastis (plastic arts), menyuarakan wahyu Islam dan

menggambarkan tanggapan jiwa orang-orang Islam terhadap Pesan Ilahi.

“Kaligrafi Islam adalah pengejawantahan visual dari kristalisasi realitas-realitas

spiritual (al-haqaiq) yang terkandung di dalam wahyu Islam.” (Nasr, 1993:28)

Kaligrafi membantu orang Islam menembus ke dalam dan ditembusi


oleh kehadiran ilahi itu sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang. Seni
suci kaligrafi membantu manusia untuk menembus selubung eksistensi
material sehingga memperoleh jalan masuk ke barakah yang terletak di
dalam firman Ilahi dan untuk “mengenyam” hakikat alam spiritual (Ibid).
Kaligrafi sendiri dalam sejarah Islam berasal dari bahasa Latin kallos,

indah, dan graphein, tulisan atau aksara (Eliade, 1987: 24-25) sering dirujukkan

kepada Ali ibn Abi Thalib yang menyatakan “Keindahan tulisan adalah kefasihan

tangan dan keluwesan pikiran.” Ali bin Abi Thalib sendiri bersama sahabat-

sahabat yang lain seperti Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Thalhah bin

Abdillah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muawiyah bin Abi Sufyan belajar kaligrafi

kepada Bishr dan Harb, dua tokoh pembawa kaligrafi kepada suku Quraisy

(Gusmian, 2003: 115).

Pernyataan-pernyataan tentang keindahan tulisan juga dikemukakan oleh

misalnya Abu Hayyan at-Tauhidi, “Tulisan tangan adalah perhiasan karya jari-

jemari yang digerakkan oleh kecemerlangan emas murni intelektual”(Nasr,

1993:27), Ja’far “Tinta itu merupakan sebgaian dari peradaban yang baik” atau
109

“Gambaran tinta di depan mata hitam pekat, di depan hati putih bagai salju”(

Sirajuddin, 1989: 57) dan lain-lain.

Kaligrafi sebagai seni yang mengekspresikan nilai-nilai spiritual

merupakan fenomena yang sangat unik. Seni kaligrafi yang awalnya lebih

merupakan gagasan untuk menuliskan wahyu al-Quran kemudian berkembang

sangat luas ke dalam masyarakat Islam dengan sangat beragam.

Model khat yang bermacam-macam dalam kaligrafi kemudian menjadi

ornamen bagi masjid atau tempat-tempat suci yang lain dan menjadi bagian dari

seni arsitektur Islam, hiasan-hiasan dinding baik dalam bentuk ukiran, lukisan dan

sebagainya hingga menjadi bagian dekoratif dari berbagai obyek yang

mengandung unsur magis sepertikeris, tombak, pedang, perisai, baju dan lain

sebagainya. Pun bentuk seni kaligrafi sangat beragam hingga mengikuti bentuk

perlambang tertentu seperti pohon, tokoh pewayangan, hewan dan sebagainya.

HB Jassin menyusun ayat-ayat al-Quran dalam bentuk puisi, sehingga

sangat berbeda dengan mushaf pada umumnya yang setiap halamannya terpenuhi

dengan tulisan ayat-ayat tersebut. “Sebenarnya Alqur’an itu puitis seperti puisi,

sehingga rasanya lebih indah kelau disusun berbentuk puisi, dan tentu enak

dibaca,” tulis HB Jassin berkaitan dengan gagasannya tersebut (Jassin,1995 :21).

Karena disusun seperti susunan puisi, mushaf al-Quran versi HB Jassin yang

disebutnya dengan Alqur’an Berwajah Puisi ini menyisakan tempat-tempat

kosong di sisi kanan dan kiri ayat-ayat al-Quran. Tempat-tempat kosong ini

menurut HB Jassin bisa menjadi bagian dari kesempatan proses perenungan si

pembaca (ibid, 45). Menurut HB Jassin, gagasan untuk melakukan dekonstruksi


110

terhadap tipografi teks-teks al-Quran yang kemudian menjadi kontroversi ini

dilakukan tidak lain untuk tujuan menjunjung kemuliaan firman-firman Tuhan

dengan wajah yang lebih indah (ibid, 27,53).

3. Keindahan Alam Semesta, Seni Lukis, Pahat dan Patung dalam Al-Quran

Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah

memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran,

ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama

Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta

Pengajar. Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah menciptakan

alam raya, seperti bunyi satu ungkapan yang dinilai oleh sementara ulama

sebagai hadis qudsi:

Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.

Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain-- kitab

suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain

dari sisi keserasian dan keindahannya.

Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka,


bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS. Qaf, 50: 6)
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah (perhatikan
pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-
Anam, 61: 99).

Allah Swt. tidak hanya menciptakan langit, melainkan juga

memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang

indah). Begitu pernyataan Allah dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan

Fushshilat (41): 12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh
111

darinya bukan sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah

penampilan seseorang.

Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu


dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar (ikan), dan kamu
dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta
kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ... (QS Al-Nahl, 16:
14) .

Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam,

matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang

lain, semua diungkapkan oleh A1-Quran. Bahkan pemandangan ternak

dinyatakannya:

Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu membawanya


kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan (QS Al-Nahl, 16: 6).

Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang

memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan

subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir ketika

menganalisis redaksi ayat itu.

Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan

kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya,

tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian surat

Al-Nahl itu, yakni Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi dari

apa yang mereka persekutukan.

Menang, kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini

telah sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua

hiasannya.
112

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah seperti air


hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya
karena air itu tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, serta pemilik-
pemiliknya merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang
siksa Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-
tanamannya laksana tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum
pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS. Yunus, 10: 24).

Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia

memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri

manusia yang selalu mendambakan keindahan.

Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam

pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa

mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti

mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt., dan mengekspresikannya

dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau

enggan berkata lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran.

Bukankah seperti tulisan Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh

mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa

Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya.

Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud

Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya. Karena itu pula

Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa siapa yang tidak

berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat

musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang

sulit diobati.
113

Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai

dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda,

Berakhlaklah dengan akhlak Allah.

Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah

Mahaindah dan menyenangi keindahan. Bahkan ada hadis Nabi yang memberi

kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk

menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar-

Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw.;

Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya kepada Nabi


Saw., Wahai Rasul, Allah telah menganugerahkan kepadaku keindahan
seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang
melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah
demikian merupakan keangkuhan? Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan
adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan
Abu Dawud).

Rasulullah Saw. sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu

ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas,

lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun.

Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang

dan merabanya, Nabi Saw. bersabda.

Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata, Kami sama


sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini. Nabi bersabda:
Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari
yang kalian lihat.

Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari

sepenuhnya tentang keindahan surgawi. Kalau memang seperti itu pandangan

Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak

dengan jelas pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa
114

atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat

perkembangan kesenian?

Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang

masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman baru berhasil dalam

karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara

sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya dalam

bentuk karya seni. Pada masa Nabi dan sahabat, proses penghayatan nilai-nilai

Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya

membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam

benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari

Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.

Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau

kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti

dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.

Mari kita coba melihat dua macam seni yang seringkali dinyatakan

terlarang, dalam Islam, yaitu; Seni Lukis, Pahat, atau Patung.

Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara

tentang patung pada tiga surat Al-Quran.

1. Surat Al-Anbiya (21): 51-58 menguraikan tentang patung-patung yang

disembah oleh ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Al-Quran

terhadap patung-patung itu, bukan sekadar menolaknya, tetapi merestui

penghancurannya.
115

Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-


potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar
mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya, 21: 58).

Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap

Nabi Ibrahim di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala

kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di antaranya dibenarkan,

karena ketika itu berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai

dengan ajaran tauhid. Melalui berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan

kepada mereka bahwa berhala --betapapun besar dan indahnya-- tidak

wajar untuk disembah.

Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya


(penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah kepada mereka jika
mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran diri
mereka, lalu mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah orang-
orang yang menganiaya (diri sendiri) (QS Al-Anbiya, 21: 63-64)

Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan berhala yang

terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan yang benar.

Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, tetapi sikap

terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya.

2. Surat Saba (34): 12-13 menguraikan tentang nikmat yang dianugerahkan

Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain adalah, (Para jin)

membuat untuknya (Sulaiman) apa yang dikehendakinya seperti gedung-

gedung yang tinggi dan patung-patung ... (QS Saba [34]: 13).

Tafsir Al-Qurthubi menyebutkan bahwa patung-patung itu

terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para
116

ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut ayat

tersebut).

Di sini, patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau

diduga akan disembah-- maka keterampilan membuatnya serta

pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.

3. Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110

menguraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan

patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya,

kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah.

Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti


burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin
Allah (QS Ali Imran, 3: 49).

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau

karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWt

membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan

demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya,

melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.

Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat,

sehingga Allah berfirman,

Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengyanti-


pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan memberikan tempat
bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan
kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-
nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan
(QS Al-Araf, 7: 74).
117

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat

ahli dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat

demikian indah bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi gunung-

gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada

mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan keahliannya itu, yakni

keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang.

Mereka melihat unta itu makan dan minum (QS Al-Araf, 7: 73 dan QS

Al-Syuara, 26: 155-156), bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu

relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding

dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras

kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali

menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam

terhadap mereka (Baca QS Al-Syams, 91: 13-15) .

Yang digarisbawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang

mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah Swt. yang harus disyukuri,

dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan

keesaan Allah Swt. Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam

bidang keahlian mereka itu, pada hakikatnya merupakan Seniman

Agung kalau istilah ini dapat diterima.

Kembali kepada persoalan sikap Islam tentang seni pahat atau

patung, maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui penjelasan

berikut. Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur ketika menafsirkan

ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman


118

menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini

sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang

demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta orang-

orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-

patung, maka Islam mengharamkannya karena alas an tersebut; bukan

karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu

dijadikan sarana bagi kemusyrikan.

D. Perumpamaan Keindahan Syurga dalam Al-Quran

Sudah menjadi fitrah, jiwa manusia cenderung untuk memperoleh

ketenangan, kegembiraan dan kesenangan daripada benda-benda yang indah dan

cantik. Namun, kecenderungan tersebut seharusnya berkembang sesuai dengan

keyakinan agama serta kearifan masing-masing. Meyakini bahawa Allah s.w.t

adalah pencipta segala keindahan, maka manusia beriman akan merasa amat

bahagia memperoleh keindahan tersebut dan berusaha sebaik mungkin untuk

mensyukuri kemahakuasaan dan kecantikan ciptaan-Nya. Kerinduan mereka akan

syurga mendorong untuk menikmati kecantikan dan keindahan. Lebih-lebih lagi,

dengan menekuni dan mengamati apa yang digambarkan di dalam al-Quran

tentang seksaan neraka akan membantu manusia beriman mensyukuri nilai-nilai

estetika, yang memberikan rasa sukacita, bahagia dan gembira pada jiwa mereka.

Ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan syurga juga berperanan sebagai

pembimbing bagi makhluk beriman, kerana ayat-ayat itu menghuraikan nilai-nilai

estetika dan keindahan yang telah dipilih untuk mereka oleh Allah s.w.t. Inilah

bentuk-bentuk kecantikan, keindahan dan estetika yang diciptakan Allah s.w.t.


119

Lebih daripada itu, Dia sudah berjanji untuk menumpahkan rahmat kepada

hamba-hamba-Nya dengan pelbagai keindahan di syurga kelak. Dalam sinar

tanda-tanda inilah, maka orang yang beriman cuba menciptakan satu lingkungan

suasana seperti yang digambarkan terdapat di syurga, untuk mereka nikmati

sendiri di dunia ini, sehingga dengan demikian memperoleh pola hidup yang

ditandai dengan melimpahnya keindahan.

Salah satu anugerah Allah s.w.t kepada orang beriman di dunia ini adalah

barang-barang perhiasan. Allah s.w.t menciptakan emas dan perak untuk dijadikan

perhiasan – mutiara, pakaian indah bernilai, dan banyak benda lainnya yang

disebutkan di dalam al-Quran, semuanya untuk menghibur dan menyenangkan

hati manusia. Keindahan yang akan Allah s.w.t anugerahkan di syurga kepada

hamba-hamba-Nya yang sesungguh-sungguhnya tulus ikhlas digambarkan

sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “Mereka di dalam syurga memakai

pakaian hijau yang diperbuat daripada sutera halus (yang bertekat), serta mereka

dihiasai dengan gelang-gelang daripada perak, dan mereka diberi minum oleh

Tuhan mereka dengan sejenis minuman (yang lain) yang bersih suci.” (Al-Insaan:

21)

Di dalam ayat ini, Allah s.w.t menekankan perhatian kita pada nilai

keindahan sutera dan tenunannya. Sebagaimana ayat yang disebutkan itu,

perhiasan perak adalah salah satu bentuk ‘kegembiraan’ yang Allah s.w.t ciptakan

untuk umat manusia. Gelang-gelang perak banyak disebutkan pada ayat-ayat lain.

Terdapat ayat lain menjelaskan keindahan kalung emas dan mutiara, sebagaimana

firman-Nya yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-


120

orang yang beriman dan beramal soleh ke dalam Syurga yang mengalir padanya

beberapa sungai; mereka dihiaskan di situ dengan gelang-gelang emas dan

mutiara, dan pakaian mereka di situ daripada sutera.” (Al-Hajj: 23)

Allah s.w.t ‘mengibaratkan’ bahawa mutiara adalah barang hiasan

terkenal yang akan dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman penghuni

syurga, sebagai pahala. Imbalan untuk semua keindahan itu, kepada manusia

hanya dituntut sikap mensyukuri kepada Allah s.w.t dan hidup di dunia menurut

perintah-perintah-Nya dan menjauhi apa jua larangan-Nya.

Mereka yang mematuhinya akan dianugerahi syurga dan akan menerima

berkah dan keindahan-keindahan tidak terbatas untuk selama-lamanya. Kalau

tidak, mereka dibolehkan memanfaatkan untuk sementara segala sesuatu yang

tersedia di bumi, yang tidak satu pun daripadanya bakal menolong mereka pada

hari perhitungan, ketika semua manusia perlu menghitung semua perbuatan

mereka selama berada di dunia ini. Di akhir penghitungan, mereka akan

disumbatkan ke dalam neraka, tempat penyeksaan abadi dan tidak tertanggungkan

pedihnya.

Allah s.w.t telah menciptakan manusia dalam bentuk terindah, juga

memberikan ilham kepada mereka agar menikmati kesenangan daripada pelbagai

bentuk kecantikan dan keindahan. Di antara semua makhluk ciptaan-Nya, hanya

manusia saja yang mendapat iradah mengenal konsep ‘kecantikan dan

keindahan’. Manusia tidak saja menikmati barang-barang cantik dan indah, tetapi

juga berusaha menciptanya.


121

Melalui sejumlah tanda di dalam al-Quran, Allah s.w.t memberikan

penghargaan kepada estetika, kecantikan, dan keindahan, dan memberikan

dorongan kepada hamba-hamba-Nya untuk menikmati segala-galanya itu. Di

dalam al-Quran, Dia menyatakan akan anugerah-Nya sebagaimana firman-Nya

yang bermaksud: “Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang (berani)

mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-

hambaNya, dan demikian juga benda-benda yang baik lagi halal dari rezeki yang

dikurniakanNya?” Katakanlah: “Semuanya itu ialah (nikmat-nikmat) untuk

orang-orang yang beriman (dan juga yang tidak beriman) dalam kehidupan

dunia; (nikmat-nikmat itu pula) hanya tertentu (bagi orang-orang yang beriman

sahaja) pada hari kiamat”. Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat keterangan

Kami satu persatu bagi orang-orang yang (mahu) mengetahui.” (Al-A’raaf: 32)

Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut, semua kecantikan dan

apa sahaja berupa barang perhiasan yang mendatangkan rasa bahagia di dunia

disediakan untuk manusia beriman yang mampu mensyukuri nikmat itu.

Sebaliknya, pada hari kemudian, banyak benda lainnya yang tidak terbandingkan

indah dan megahnya akan khusus menjadi milik mereka. Setiap keindahan adalah

‘karya seni’ milik Allah s.w.t semata-mata, pencipta segala sesuatu. Oleh hal yang

demikian itu, semua keindahan menakjubkan orang-orang yang beriman, dan

orang beriman akan mensyukuri anugerah Allah s.w.t itu, dan semakin bertambah

dekat kepada-Nya. Beberapa perincian berkaitan dengan kehidupan Nabi

Sulaiman a.s mengungkap beberapa isyarat tentang perkara tersebut.


122

Di dalam ayat berikut, Nabi Sulaiman a.s menjelaskan mengapa baginda

menyukai kekayaan, kekuasaan, dan kemuliaan. Firman Allah s.w.t yang

bermaksud: “(Kerana lekanya dengan pertunjukan itu) maka Nabi Sulaiman

berkata: “Sesungguhnya aku telah mengutamakan kesukaanku kepada (kuda

pembawa) kebaikan lebih daripada mengingati (ibadatku kepada) Tuhanku,

sehingga (matahari) melindungi dirinya dengan tirai malam.” (Saad: 32)

Seperti diperjelaskan dalam ayat tersebut, harta yang dimiliki, kemuliaan,

dan kekayaan, yang semuanya mungkin menjadi ‘pengiring’ orang kafir dan orang

tidak beriman kepada kesesatan, hanya diperuntukkan kepada orang yang beriman

agar mensyukuri nikmat Allah s.w.t dan memperoleh hidayah-Nya. Semua hasil

karya seni yang dicipta untuk Nabi Sulaiman a.s menunjukkan keinginannya yang

tinggi terhadap seni. Haekal Sulaiman (The Temple of Solomon), yang hanya satu

dindingnya yang masih tersisa hingga ke hari ini di Baitulmaqdis, dahulunya

adalah sebuah istana megah yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama

(Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil), al-Quran, serta banyak dokumen sejarah dan

catatan-catatan.

Sebagaimana yang dikisahkan di dalam al-Quran, tatkala Ratu Saba

masuk ke dalam istana itu, dia menyangka lantai istana itu adalah sebuah kolam

besar. Dia tidak menyedari bahawa lantai itu berlapiskan kaca. Setelah dia

mengetahui akan keagungan istana tersebut, dia ‘tunduk’ pada keindahan dan

ketakjuban karya seni, dan ketinggian ilmu Nabi Sulaiman serta menyatakan diri

masuk ke dalam naungan agama yang sebenar-benarnya (Islam). Kisah riwayat

Nabi Sulaiman a.s itu merupakan salah satu contoh yang amat berbekas di hati
123

orang beriman kerana ia mengungkapkan kemampuan artistik dan estetika umat

Islam. Dalam abad sebelum ini, kita juga dapat menyaksikan peninggalan

daripada pemahaman makna seni yang amat briliant, terutama yang dicipta oleh

kekhalifahan Uthmaniah. Faktor paling penting di sebalik tingginya nilai seni

kekhalifahan Uthmaniah adalah ilham yang diperoleh daripada al-Quran dan

penerapan tanda-tanda tersurat tentang seni yang tersirat di dalam Kitab Suci ini.

Al-Quran menyediakan banyak perincian dan contoh mengenai dekorasi

dan memberikan banyak petunjuk tentang tata rias. Semuanya tersedia, hingga

bagaimana memilih tempat di mana seharusnya sebuah dekorasi dalaman harus

diletakkan. Ayat-ayat yang menjelaskan wujud syurga merujuk pada tanda-tanda

seperti itu dan sebagai tambahan juga memaparkan perhitungan terperinci

berkenaan dengan lingkungan, untuk membimbing manusia agar mereka

memperoleh tempat-tempat bermukim paling membahagiakan di hamparan dunia

ini. Beberapa unsur dekorasi yang tertera di dalam al-Quran berbunyi seperti

berikut (yang bermaksud):

1. Bumbung yang tinggi

“Dan demi Baitul Makmur, dan demi bumbung yang tinggi.” (At-Thuur:

4-5)

Dalam keadaan lapang dan luas, tempat-tempat dengan bumbung yang

tinggi memberikan rasa selesa dan nyaman kepada kalbu manusia. Platform

dengan rekabentuk demikian juga indah pada pandangan mata. Bumbung yang

rendah, sebaliknya, menimbulkan ketidakselesaan. Bahawa inilah salah satu

bentuk seksaan neraka yang membuatkan kita lebih memahami tentang


124

kesengsaraan yang harus dirasakan penghuni neraka kelak. Gambaran Allah s.w.t

ini, bahawa neraka beratap atau berbumbung rendah, penuh sesak, dan terkurung,

hendaklah dapat meyakinkan kita agar tidak memilih tempat seperti itu di alam

dunia ini untuk permukiman kita.

2. Loteng dan tangga-tangga perak

“Dan kalaulah tidak kerana manusia akan menjadi umat yang satu

(dalam kekufuran), nescaya Kami jadikan bagi orang-orang yang kufur ingkar

kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, bumbung rumah-rumah mereka dari perak,

dan tangga-tangga yang mereka naik turun di atasnya (daripada perak juga).

(Az-Zukhruf: 33)

Elemen-elemen dekoratif lainnya yang disebut di dalam al-Quran adalah

loteng-loteng perak dan tangga-tangga tinggi yang diperbuat daripada perak.

Allah s.w.t menganugerahkan semua keindahan ini kepada manusia.

Bagaimanapun, Dia juga mengingatkan kita bahawa kemegahan-kemegahan ini

sesungguhnya perangkap kehidupan di dunia ini dan bahawa rumah kita yang

abadi adalah pada hari kemudian.

3. Pintu-Pintu

“Dan juga pintu-pintu rumah mereka (dari perak juga), dan kerusi-kerusi

panjang yang mereka berbaring di atasnya (daripada perak juga). Serta

berbagai-bagai barang perhiasan (keemasan). Dan (ingatlah), segala yang

tersebut itu tidak lain hanyalah merupakan kesenangan hidup di dunia; dan

(sebaliknya) kesenangan hari akhirat di sisi hukum Tuhanmu adalah khusus bagi

orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 34-35)


125

Maksud ayat tersebut menarik perhatian kita pada nilai estetika dan seni

daripada tanda pintu-pintu dan unsur-unsur perhiasan: ‘pintu-pintu rumah-rumah

mereka.’ Di luar penggunaan secara fungsional, pintu-pintu, yang mungkin dari

emas, perak, atau kayu berukir, ataupun dipercantikkan dengan kaca, mungkin

dapat dijadikan sebagai benda-benda hiasan di pintu gerbang rumah ataupun pada

sebahagian-sebahagian dalam rumah. Sesungguhnya, seni bina dan dekorasi

Uthmaniah banyak mengembangkan pola ini, dengan ciptaan pelbagai reka bentuk

pada pintu gerbang, istana, rumah rehat dan rumah-rumah persendirian.

4. Tiang-tiang tinggi

“Iaitu penduduk “Iram” yang mempunyai bangunan-bangunan yang

tinggi tiangnya, (sesuai dengan penduduknya). Yang belum pernah diciptakan

sepertinya (tentang besar dan kukuhnya) di segala negeri (pada zamannya)?”

(Al-Fajr: 7-8)

Sebagaimana yang dikisahkan di dalam al-Quran, Iram, ibu kota golongan

Aad, amatlah cantik dan indah bangunannya daripada keagungan seni binanya,

terutama yang dimunculkan daripada binaan tiang-tiang besar tinggi menjulang.

5. Kerusi-kerusi bertatahkan permata

Al-Quran kerap menyebut kerusi-kerusi, menghuraikannya sebagai

anugerah Allah s.w.t yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia

senangi sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “Di situ juga ada pelamin-

pelamin (berhias) yang tinggi (tempatnya). Dan piala-piala minuman yang

disediakan (untuk mereka). Dan bantal-bantal yang teratur (untuk mereka


126

berbaring atau bersandar). Serta hamparan-hamparan yang terbentang.” (Al-

Ghaasyiyah 13-16)

Kerusi-kerusi yang cantik dan indah buatannya adalah tempat duduk yang

amat disenangi manusia, sebagaimana firman-Nya lagi yang bermaksud:

“(Mereka duduk di dalam syurga itu) di atas takhta-takhta kebesaran yang

bertatahkan permata; sambil berbaring di atasnya dengan berhadap-hadapan.”

(Al-Waaqi’ah: 15-16)

Rasa terhibur yang diperoleh daripada ‘tanda’ kerusi-kerusi secara khusus

diterterakan di dalam ayat-ayat berikut (yang bermaksud):

“Mereka berehat di dalam syurga sambil berbaring di atas pelamin-

pelamin (yang berhias), mereka tidak Nampak di situ adanya matahari

(usahkan hawa panasnya), dan juga tidak merasai suasana yang terlampau

sejuk.” (Al-Insaan: 13)

“Sesungguhnya penduduk Syurga pada hari itu, berada dalam

keadaan sibuk leka menikmati kesenangan. Mereka dengan pasangan-

pasangan mereka bersuka ria di tempat yang teduh, sambil duduk berbaring

di atas pelamin.” (Yaasin: 55-56)

“Iaitu beberapa buah syurga tempat penginapan yang kekal, yang

terbuka pintu-pintunya untuk mereka. (Mereka akan bersuka ria) di dalam

syurga itu sambil berbaring (di atas pelamin); mereka meminta di situ buah-

buahan dan minuman yang berbagai-bagai jenisnya dan rasa kelazatannya.”

(Saad: 50-51)
127

“Mereka duduk berbaring di atas pelamin-pelamin yang berderet;

dan Kami jadikan kawan teman mereka bidadari-bidadari yang putih

melepak, lagi luas cantik matanya.” (At-Thuur: 20)

6. Kerusi-kerusi tinggi dan tempat tidur berhias sutera

“Dan tempat-tempat tidur yang tertinggi keadaannya.” (Al-Waaqi’ah:

34)

Kerusi-kerusi dan tempat-tempat tidur yang ditinggikan, elemen-elemen

dekoratif di dalam syurga memberikan pemandangan lebih luas dibandingkan

dengan yang rendah-rendah. Dan pada akhirnya memberikan kelegaan, “Mereka

(bersenang-senang di tempat masing-masing dalam syurga itu dengan) berbaring

di atas hamparan-hamparan, yang lapisan-lapisan sebelah dalamnya – daripada

sutera tebal yang bersulam; dan buah-buahan kedua-dua syurga itu dekat

(kepada mereka) untuk dipetik. Maka, yang mana satu di antara nikmat-nikmat

Tuhan kamu, yang kamu hendak dustakan?” (Ar-Rahmaan: 54-55)

7. Bantal-bantal hijau

“Penghuni syurga itu (bersenang-senang di dalamnya dengan) berbaring

di atas (bantal-bantal dan) cadar-cadar yang hijau warnanya serta permaidani-

permaidani yang sangat indah. Maka yang mana satu di antara nikmat-nikmat

Tuhan kamu, yang kamu hendak dustakan?” (Ar-Rahmaan: 76-77)

Bantal-bantal adalah keindahan lain yang disebutkan di dalam al-Quran.

Di samping bantal, ayat ini juga menunjukkan makna hijau, warna lambang

perdamaian.
128

“Diedarkan kepada mereka pinggan-pinggan besar dan piala-piala

daripada emas; dan di dalam syurga itu pula disediakan segala yang diingini

oleh nafsu serta di pandang indah oleh mata; dan (dikatakan kepada mereka):

“Kamu adalah tetap kekal di dalamnya”. Dan (dikatakan lagi kepada mereka):

“Inilah syurga yang diberikan kamu mewarisinya, disebabkan apa yang kamu

telah kerjakan.” (Az-Zukhruf: 71-72)

Allah s.w.t menegaskan kepada kita bahawa barang-barang ‘pecah-belah’

atau terbuang di syurga juga mempunyai nilai artistik dan estetika tinggi.

Sebagaimana ayat itu mengatakan lebih lanjut, barang-barang ini merupakan

anugerah ‘dan di dalam syurga itu pula disediakan segala yang diingini oleh

nafsu serta di pandang indah oleh mata.’

8. Bejana-bejana perak dan piala kristal

Di samping piring emas, kita juga digambarkan bahawa piala-piala

daripada perak dan kristal juga disediakan di syurga. Ayat tentang perkara ini

dapat dilihat daripada firman-Nya yang bermaksud: “Dan (selain itu) diedarkan

kepada mereka (oleh pelayan-pelayannya): bejana daripada perak dan piala-

piala minuman yang keadaannya laksana kaca (nampak jelas isinya).

(Keadaannya laksana) kaca, (sedang ia) daripada perak; pelayan-pelayan itu

menentukan kadar isinya sekadar yang cukup betul dengan kehendak

penggunanya.” (Al-Insaan: 15-16)

Mereka yang hidup mengikut prinsip-prinsip Islam akan diberikan

ganjaran pahala berupa hidup kekal di dalam syurga dan dengan bermacam-

macam anugerah yang bakal menyenangkan jiwa mereka. Sesungguhnya, orang


129

beriman akan menghuni rumah-rumah rehat dengan taman-taman dan dekorasi

hiasan yang belum pernah ada di dunia, dan akan dihidangkan minuman-minuman

yang lazat di dalam cangkir-cangkir emas; minuman-minuman itu diambil dari

sungai yang mengalir di bawah istana-istana mereka di dalam syurga,

sebagaimana firman Allah s.w.t yang bermaksud: “Diedarkan kepada mereka

piala yang berisi khamar (yang diambil) dari sungainya yang mengalir. Minuman

itu putih bersih, lagi lazat rasanya, bagi orang-orang yang meminumnya.” (As-

Shaaffaat: 44-45)

Segala yang disediakan di dalam syurga tentunya tidak boleh

dibandingkan dengan apa yang tersedia di dunia ini. Namun, Allah s.w.t

menyediakan untuk hamba-hamba-Nya pelbagai kesukaan dan kegembiraan

mereka di dunia ini yang dapat menggambarkan sedikit sebanyak secara

perbandingan dan kias ibarat tentang apa yang ada di syurga. Sebagai imbalan

untuk anugerah-anugerah ini, orang beriman hendaknya bersyukur dan menikmati

semua itu, dan berterima kasih kepada Allah s.w.t.

5. Refleksi Seni Musik dan tari dalam Hadits

1. Hadis Buhkari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi' binti

Mu'awwiz 'Afra.

Rubayyi' berkata bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke rumah pada pesta

pernikahannya (Pesta yang dimaksud di sini adalah pesta pernikahan yang

didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi dipisahkan jaraknya. Di dalam

Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta

percampuran). Lalu Nabi s.a.w. duduk di atas.tikar. Tak lama kemudian beberapa
130

orang dari jariah (wanita budak)nya segera memukul rebana sambil memuji-muji

(dengan menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang

Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jariah itu berkata: "Di antara kita ini ada Nabi

s.a.w. yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari." Tetapi

Rasulullah s.a.w. segera bersabda (Lihat SEJARAH AL-KARMANI, Jilid IX, hlm.

108-109; SUNAN AT-TIRMIDZI, Jilid III, hlm. 398-399; dan SUNAN AL-

MUSTAFA, hlm. 586):

(َ‫ﺖ َﺗﻘُﻮِْﻟﯿْﻦ‬
ِ ‫)ﻻَ َﺗﻘُﻮْﻟِﻲ ھﻜَﺬَا َو ﻗُﻮِْﻟﻲْ َﻛﻤَﺎ ﻛُ ْﻨ‬

"Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan)

tadi.

2. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat

SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 949, 952; lihat juga SHAHIH MUSLIM,

Hadis No. 892 dengan lafazh lain):

"Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku

ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang

hari Bu'ats) (Bu'ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya

kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang

dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat

Rasulullah s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah

Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah Nabi ada

seruling setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada

Abu Bakar seraya berkata:

(ٍ‫ﻋ ُﮭﻤَﺎ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ َﺑ ْﻜﺮ‬


ْ َ‫)د‬
131

"Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar."

Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak

perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan

sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di

dalam masjid)."

3. Hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a.

Katanya: "Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang

laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:

(ُ‫ﻦ َﻟﮭْﻮ َﻓِﺈنﱠ اﻷَﻧْﺼَﺎرَ ُﯾ ْﻌﺠِ ُﺒ ُﮭ ُﻢ اﻟﻠﱠﮭْﻮ‬


ْ ‫ﺸﺔُ ﻣَﺎ ﻛَﺎنَ َﻣ َﻌ ُﻜﻢْ ِﻣ‬
َ ‫)ﯾَﺎ ﻋَﺎ ِﺋ‬

"Hai 'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena

sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian)."

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (Lihat

Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI, hlm. 187):

ٌ‫ﻷﻧْﺼَﺎرَ َﻗ ْﻮم‬
َ ‫ﺤﯿﱡﻮْﻧَﺎ ُﻧﺤَﯿﱢﯿْ ُﻜﻢْ َﻓﺈِنﱠ ا‬
َ ‫ أَ َﺗﯿْﻨَﺎ ُﻛﻢْ َأﺗَﯿْﻨَﺎ ُﻛﻢْ َﻓ‬:ُ‫)ﻟَﻮْ َﺑﻌَﺜْ ُﺘﻢْ ﻣَ َﻌﮭَﺎ ﻣَﻦْ ُﯾﻐَﻨﱢﯿْ ِﮭﻢْ وَ ﯾَ ُﻘﻮْل‬

(ٌ‫ﻏﺰَل‬
َ ْ‫ﻓِﯿْ ِﮭﻢ‬

"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk

bernyanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah

kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan

(lagu) tentang wanita."

4. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:

"Suatu hari Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan.

Setelah beliau pulang dari medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam

seraya berkata: "Ya Rasulullah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan
132

Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan."

Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda:

(َ‫ن ﻛُ ْﻨﺖِ ﻧَ َﺬ ْرتِ ﻓَﺎﺿْﺮِ ِﺑﻲْ َو إِﻻﱠ ﻓَﻼ‬


ْ ِ‫)إ‬

"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan

lakukan."

Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masklah Abu

Bakar. Tapi jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian

Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula

halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat

menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu

didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasulullah s.a.w. berkata:

‫ﻞ‬
َ‫ﺧ‬َ ‫ﻀ ِﺮبُ ﻓَ َﺪ‬
ْ َ‫ﻋ َﻤﺮُ إِﱢﻧﻲْ ﻛُ ْﻨﺖُ ﺟَﺎِﻟﺴًﺎ وَ ِھﻲَ ﺗ‬
ُ ‫)إِنﱠ اﻟﺸﱠﯿْﻄَﺎنَ ﻟَ َﯿﺨَﺎفُ ﻣِ ْﻨﻚَ ﯾَﺎ‬

‫ﻲ‬
َ ‫ﻞ ﻋُﺜْﻤَﺎنُ وَ ِھ‬
َ َ‫ب ُﺛﻢﱠ َدﺧ‬
ُ ‫ﻲ ﺗَﻀْ ِﺮ‬
َ ‫ب ُﺛﻢﱠ َدﺧَﻞَ ﻋَِﻠﻲﱞ وَ ِھ‬
ُ ‫أَ ُﺑﻮْ ﺑَ ْﻜﺮٍ وَ ِھﻲَ ﺗَﻀْ ِﺮ‬

(‫ﺖ اﻟﺪﱡفﱠ‬
ِ ‫ﻋﻤَﺮُ َأﻟْ َﻘ‬
ُ ‫ﺖ أَ ْﻧﺖَ ﯾَﺎ‬
َ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ َ‫ﺗَﻀْ ِﺮبُ ﻓََﻠﻤﱠﺎ د‬

"Sesungguhnya syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku

duduk di sini, jariah ini masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar,

Ali, Utsman masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai

Umar, dia buru-buru melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini

SHAHIH tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VII,

hlm. 119).

5. Hadis riwayat An-Nasai (dari???) Qurazhah bin Sa'ad (seorang tabi'i)

yang pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta

pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm. 135):


133

"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka'ab dan Mas'ud Al-Anshari. Tiba-

tiba beberapa perempuan budak (jawari) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya

bertanya:

:َ‫ﺳﻮْلَ اﷲِ )ص( وَ ِﻣﻦْ أَ ْھﻞِ َﺑ ْﺪرٍ وَ ﯾُ ْﻔﻌَﻞُ ھﺬَا ﻋِ ْﻨﺪَ ُﻛﻢْ َﻓﻘَﺎل‬
ُ ‫ﺣﺒَﺎ َر‬
ِ ‫)أَﻧْ ُﺘﻤَﺎ ﺻَﺎ‬

‫ﺧﺺَ َﻟﻨَﺎ ﻓِﻲ اﻟﱠﻠ ْﮭﻮِ ﻋِ ْﻨ َﺪ‬


‫ﺳ َﻤﻊْ ﻣَﻌَﻨَﺎ وَ ِإنْ ﺷِ ْﺌﺖَ اذْ َھﺐْ َﻗﺪْ ُر ﱢ‬
ْ ‫ِاﺟِْﻠﺲْ ِإنْ ﺷِ ْﺌﺖَ ﻓَﺎ‬

(ِ‫اﻟْ ُﻌ ْﺮس‬

"Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah s.a.w. dan pejuang di perang

Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan?" Qurazhah menjawab: "Duduklah,

kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi.

Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan

(nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI,

hlm.127):

6. Hadis Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini

dari datuknya, Abu Hasan yang mengatakan bahwa hadis ini

menceritakan kebencian Rasulullah s.a.w. terhadap pernikahan sirri

(yang rahasia). Karena Itulah rebana ditabuh seraya

didendangkan.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI,

hlm. 187):

(ْ‫ َأﺗَﯿْﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ أَ َﺗﯿْﻨَﺎ ُﻛﻢْ َﻓﺤَﱡﯿﻮْﻧَﺎ ُﻧﺤَﯿﱢﯿْ ُﻜﻢ‬:ُ‫ﻀ َﺮبَ ِﺑ ُﺪفﱟ وَ ﯾُﻘَﺎل‬
ْ ُ‫ﺣﺘّﻰ ﯾ‬
َ ‫ﺴﺮﱢ‬
‫)ﻛَﺎنَ َﯾﻜْ َﺮهُ ِﻧﻜَﺎحَ اﻟ ﱢ‬

"Kami datang kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah

kami. (Sebagai gantinya) kami akan menghormatimu."


134

7. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik.

Anas bin Malik berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. melewati beberapa

tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah yang

sedang memukul rebana sambil menyanyikan: "Kami jariah bani Najjar. Alangkah

bahagianya bertetangga dengan Nabi besar." Mendengar dendang mereka, Nabi

s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN MUSTAFA, hlm. 586):

(ْ‫ﺣﱡﺒ ُﻜﻢ‬
ِ ُ‫)اﷲُ َﯾ ْﻌَﻠﻢُ إِﱢﻧﻲْ ﻷ‬

"Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian."

6. Hadits-hadits mengenai lukisan atau gambar.

Jika gambar itu di jadikan sebagai sarana kemewahan, maka ini termasuk

yang tidak diperbolehkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di

rumahnya.

'Aisyah RA meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dalam

peperangan, maka 'Aisyah pernah memasang kain untuk tutup (gorden) di

pintunya. Ketika Nabi SAW datang, beliau melihat penutup itu, maka Rasulullah

SAW menarik dan merobeknya, kemudian bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak

memerintahkan kita untuk memberi pakaian batu atau tanah liat." 'Aisyah berkata,

"Maka kami memotongnya dari kain itu untuk dua bantal dan kami isi bantal itu

dengan kulit pohon yang tipis kering, maka beliau tidak mencela itu kepadaku ."

(Muttafaqun 'alaih)

Keterangan seperti dalam hadits ini "Sesungguhnya Allah tidak

memerintahkan kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunnah, tetapi lebih

menunjukkan makruh tanzih. Sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi (di


135

dalam syarah Muslim), bahwa rumah Rasulullah SAW haruslah menjadi uswah

dan teladan bagi manusia untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan

kemewahannya.

Ini dikuatkan oleh hadits Aisyah lainnya, beliau mengatakan, "Kami

pernah mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang

mau ke rumah kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah SAW

bersabda kepadaku, "Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke

rumah ini) aku melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (HR. Muslim)

Di dalam hadits lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari

'Aisyah ra, sesungguhnya 'Aisyah pernah mempunyai baju yang ada gambarnya

yang dipasang di pintu, dan Nabi kalau shalat menghadap gambar itu. Maka Nabi

bersabda, "Singkirkan dariku, 'Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku buat

untuk bantal."

Ini semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk

makruh, bukan haram.

G. Bersih dan Suci itu Bagian Keindahan, Refleksi dalam Hadits

1. Sesungguhnya Allah baik dan menyukai kebaikan, bersih dan menyukai


kebersihan, murah hati dan senang kepada kemurahan hati, dermawan dan
senang kepada kedermawanan. Karena itu bersihkanlah halaman rumahmu
dan jangan meniru-niru orang-orang Yahudi. (HR. Tirmidzi).
2. Suatu keharusan atas tiap orang muslim mandi dan memakai wewangian
serta gosok gigi pada hari Jum'at. (HR. Ahmad)
3. Fitrah manusia ada lima yaitu dikhitan (disunat), mencukur rambut
kemaluan, menggunting (merapikan) kumis, memotong kuku (kuku tangan
dan kaki) serta mencabuti bulu ketiak. (HR. Bukhari)
4. Sesungguhnya banyak siksa kubur dikarenakan kencing maka
bersihkanlah dirimu dari (percikan dan bekas) kencing. (HR. Al Bazzaar
dan Ath-Thahawi)
136

5. Barangsiapa tidur dan tangannya masih berbau atau masih ada bekas
makanan dan tidak dicucinya lalu terkena sedikit gangguan penyakit kulit
maka janganlah menyalahkan kecuali dirinya sendiri. (HR. Ibnu Hibban
dan Abu Dawud)
6. Malaikat jibril terus-menerus berpesan agar aku menggosok gigi
(bersiwak) sehingga aku khawatir gigi-gigiku tanggal dan aku ompong
tanpa gigi. (HR. Ath-Thahawi)
7. Wahai Abu Hurairah, potonglah (perpendek) kuku-kukumu.
Sesungguhnya setan mengikat (melalui) kuku-kuku yang panjang. (HR.
Ahmad)
8. Janganlah kamu kencing di air yang tidak mengalir kemudian kamu
berwudhu dari situ. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
9. Apabila seorang bersenggama dengan isterinya dan hendak mengulangi,
hendaklah dia berwudhu lebih dulu agar lebih segar pengulangannya. (HR.
Muslim)
10. Siapa yang mengenakan pakaian hendaklah dengan yang bersih. (HR. Ath-
Thahawi)
11. Apabila seorang bangun tidur jangan langsung memasukkan tangannya ke
dalam ember (bak) air sehingga mencucinya lebih dulu tiga kali.
Sesungguhnya dia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam atau
dimana tangannya melayang. (HR. Abu Dawud)
12. Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia
berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci
adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi
timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit
dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti,
kesabaran itu merupakan sinar, dan Al Quran itu merupakan hujjah yang
akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal
untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya
(dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam
siksa-Nya).” (HR Muslim)

D. Pendidikan Islam Profetik dalam Realitas Historis

Pembahasan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana

yang dilakukan di bagian-bagian lain dunia Islam, sampai dewasa ini

nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini

benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya


137

masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut

terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial

yang bergerak begitu cepat.

Apresiasi pemikiran ulama di tanah air, setidak-tidaknya sampai saat

ini ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna

Barat dan Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu

“perseteruan” yang hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu

sesungguhnya menjadi sah-sah saja, bila itu dijadikan sebagai wahana

dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi menjadi terlalu naif bila ternyata yang

nampak adalah proses pengkafiran satu sama lain. Kelompok Islam hasil

didikan di Baratlah yang kemudian lebih nampak memperoleh tamparan dari

kelompok Islam Timur Tengah yang mengklaim atas segala hujatan dan

tuduhannya itu berdasarkan Islam, dan lebih Islami.

Kendati ranah “perseteruan” itu lebih menunjuk pada discourse

teologis-filosofis sebuah upaya mencari makna keagamaan dengan perangkat-

perangkat filsafat, namun warna perseteruan itu telah cukup menggambarkan

betapa rendahnya apresiasi kefilsafatan dan keilmuan (dalam cakupannya

yang lebih luas) di kalangan sebagian umat Islam. Proses “perseteruan”

semacam ini sesungguhnya telah menyejarah.

Menurut Fazlur Rahman perseteruan semacam itu sangatlah

merugikan, sebab sikap tersebut mempertentangkan secara dikotomik

terhadap tradisi dan modernisasi. Semata-mata mengandalkan pada adekuasi

tradisi, akan menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme,


138

yang akan mengisolasi umat Islam dari proses dinamika zaman lebih dari itu,

sikap yang demikian akan menjadikan Islam kehilangan elan vitalnya dalam

berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan

dalam menerima modernisasi akan mengakibatkan umat Islam tercerabut dari

akar tradisinya (Syamsul Arifin, 1996 : 99).

Para pakar pendidikan (Islam) sampai saat ini masih sering

mempermasalahkan adanya dikotomi dalam pendidikan. Dikotomi ini,

nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan

modern yang sesuai dengan zaman. Sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi,

karena dualisme dikotomi yaitu sistem pendidikan Barat yang

dinasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran agama (Islam)

dan sistem pendidikan Islam yang berasal dari zaman klasik (tradisional) yang

tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau

dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.

Menurut A. Syafi'i Ma'arif, diterimanya prinsip dikotomi ke dalam

sistem pendidikan adalah merupakan suatu indikasi rapuhnya dasar filosofis

pendidikan Islam. Dan realitas menunjukkan suatu gambaran dari implikasi

dikotomi tersebut telah sedemikian jauh merambah hingga membentuk

tipologi keagamaan yang memunculkan sebuah kesan, bahwa Islam ialah

semata-mata sebagai sistem ideologi (Syamsul Arifin, 1996 : 99). Dikotomi

ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan di negeri-negeri muslim:

sistem pesantren dengan segala variasi dan implikasinya dalam pembentukan

wawasan intelektual keislaman umat, dan sistem pendidikan sekular dengan


139

segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan kita. Dualisme

dikotomis ini, menurutnya kemudian diperkuat oleh sistem penjajahan Barat

atas dunia Islam yang berlangsung cukup lama (Syafi’i Ma’arif, 1993 : 144).

Dengan demikian anak- anak umat bukan saja punya persepsi yang

berbeda tentang agama, manusia, dan hidup, tapi persepsi itu berhadapan satu

sama lain secara diametral. Dalam perspektif ini, konflik- konflik internal di

kalangan umat menjadi semakin subur, dan konflik ini akan sulit diselesaikan

bila juga dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan, baik itu politik,

ekonomi, dan pelayanan kemanusiaan. Situasi semacam ini masih belum

lenyap dari seluruh masyarakat Islam di permukaan bumi ini. Bila memang

masih demikian kenyataannya, apakah kita sudah pantas berbicara tentang

pendidikan Islam sebagai paradigma pembebasan, termasuk bebas dari

konflik-konflik internal yang merapuhkan umat lahir-batin.

Persoalan dikotomi sistem pendidikan dimaksud, tidak saja terjadi di

Indonesia tetapi juga melanda seluruh negara muslim atau yang penduduknya

mayoritas Islam. Kondisi yang tidak kondusif ini mengundang para

cendekiawan muslim dari berbagai penjuru dunia, untuk memecahkan

persoalan tersebut, agar supaya membangun peradaban Islam alternatif benar-

benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya berbagai gagasan

baru, termasuk upaya Islamisasi ilmu. Kesemuanya ini bertujuan

menghilangkan dikotomi dalam pendidikan Islam. Tokoh yang dimaksud

adalah Ismail R. Al-Faruqi, Naquib al-Attas, Hasan Bilgrami, Ziauddin

Sardar, merupakan tokoh handal dalam melaksanakan proyek Islamisasi ilmu.


140

Begitu bersemangatnya, Sayyed Hossen Nasr, menganjurkan visinya yang

menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular dan

humanistik (dari sains modern). Nasr mengkritik apa yang disebutnya sebagai

sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Begitu juga

dengan Sardar, mengatakan bahwa pencarian sains yang Islami adalah

kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dewasa ini.

Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja karena

penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologinya secara mendasar

bertentangan dengan pandangan Islam (Pervez 1996 : 132).

Bagi Sardar, pembagian ilmu yang dikotomik tidak sesuai lagi dengan

tradisi intelektual Islam zaman klasik. Disiplin ilmu lahir dari suatu matriks

pandangan dunia yang khusus, bahwa disiplin-disiplin ilmu tidak pernah

memiliki eksistensi otonom bagi dirinya sendiri, tetapi berkembang dalam

lingkungan sejarah dan budaya yang khusus serta hanya memiliki makna

dalam pandangan dunia yang melahirkan dan mengembangkannya.

Pandangan dunia yang dimaksud, sangat universal sifatnya bagi umat Islam

sebagai pusat nilai universitas Islam. Pandangan dunia letaknya di tengah-

tengah lingkungan dengan titik tengah: Tauhid yang dilingkupi dan saling

berhubungan dengan nilai khalifah, ibadah, adl, syari'ah, istislah dan risalah.

Dari pusat lingkaran ini muncullah ilmu-ilmu ideasional, ilmu-ilmu alam,

ilmu-ilmu informasi, ilmu-ilmu organisasional, ilmu-ilmu sosial, ilmu kultural

(termasuk di dalamnya adalah seni) dan ilmu tehnikal. Disiplin-disiplin itulah


141

yang dilembagakan sebagai departemen kajian yang masing-masing berpusat

dan memahami kajian pandangan dunia.

Wacana pendidikan Islam hingga saat ini masih berakar prinsip

dikotomi yang membedakan secara diametral antara ilmu agama dan ilmu

umum, yang kemudian termanifestasikan secara kelembagaan ke dalam dua

model sistem pendidikan. Yakni sistem pendidikan pesantren dengan segala

implikasinya yang membentuk wawasan intelektual keislaman yang

mempunyai ciri khas tersendiri, dan sistem pendidikan sekuler dengan segala

dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan (Ahmad Syafii Ma’arif,

1993: 18).

Sistem pendidikan tradisional hanya sebatas mengajarkan pengetahuan

klasik, sangat tidak memperhatikan cabang-cabang pengetahuan baru yang

lahir di Barat atau metode-metode baru untuk memperoleh pengetahuan

seperti dalam sistem pendidikan Barat. Karena itu sistem pendidikan ini hanya

menghasilkan para teolog yang tidak mempunyai pengetahuan atau metode

intelektual untuk menghadapi tantangan-tantangan peradaban teknologis

modern yang tidak berTuhan. Sedangkan, sistem pendidikan modern yang

diimpor dari Barat, benar-benar dianut dan didukung oleh pemerintahan

negara-negara Islam. Puncak sistem pendidikan ini, menurut Syed Ali Asyraf

berupa universitas modern yang sepenuhnya sekular dan karena itu

pendekatannya terhadap pengetahuan bersifat non-agamis. Dan para alumni-

nya secara umum tidak menyadari warisan klasik dan tradisi mereka sendiri

(Husain, 2000 : 20).


142

Munculnya dualisme pendidikan antara tradisi dan modernisasi mau

tidak mau jelas mengakibatkan adanya kesenjangan yang cukup serius, bahwa

dalam menyikapi masa penjajahan para cerdik pandai muslim terpecah

menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa sekalipun

penjajah, mereka dinilai membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Oleh

karena itu, mengikuti pola pikir Barat dapat dijadikan jalan alternatif. Yaitu

alternatif untuk membangun wacana pendidikannya. Kelompok kedua lebih

bersifat curiga terhadap segala yang berasal dari Barat. Mereka akhirnya

berusaha menjauhkan din dari apa yang ingin diajarkan para penjajah itu.

Sikap alienatif ini didorong oleh anggapan, bahwa pendidikan baru yang

dibawa oleh kekuatan-kekuatan Eropa dimaksudkan untuk menghancurkan

warisan budaya tradisional. Sekalipun sikap kelompok kedua ini lambat laun

berubah, tetapi di lapangan sudah terlanjur muncul dua sistem pendidikan.

Istilah dikotomi sistem pendidikan, sistem pendidikan tradisional dan sistem

pendidikan modern, di seluruh negara Muslim tidak bisa dihindarkan.

Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya

silang pemikiran tersebut. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa

pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik sistem maupun

substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul

gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut

dianggap hanya bersifat tambal sulam. Dengan kata lain, melepaskan diri

sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal yang impossible. Harus

diakui bahwa sebagian besar negara Islam masih merupakan negara Dunia
143

Ketiga (miskin atau masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal

beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh negara-negara Barat, yang

mau tidak mau jalur atau track tersebut harus dilalui oleh negara-negara

Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang

merupakan representasi pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif

cukup jarang dijumpai (Wahid, 227). Sehingga hal yang demikian ini

menyebabkan tumbuh kembangnya pendidikan Islam profetik mengalami

hambatan atau sumbatan yang harus segera dicarikan media alternatif untuk

mempertemukan kesilangsenkarutan tersebut.

Pendidikan Islam profetik tidaklah digali dari Timur ataupun Barat,

keduanya merupakan cerminan kiblat pengetahuan yang sama-sama

memberikan kontribusi tidak kecil di dalam mengembangkan dan membangun

pesona ilmu pengetahuan dan teknologi. Ikon Iptek dan Imtak adalah hasil

kolaborasi saintis Islam yang mencoba memberikan penengah kebuntuan

paradigma keilmuan yang mencerahkan peradaban umat manusia, termasuk di

dalamnya adalah bagaimana seni yang menjadi salah satu cabang ilmu

pengetahuan ini bisa memberikan stigma positif untuk peningkatan SDM.


144

BAB III

PANDANGAN BEBERAPA PEMIKIR

TENTANG SENI BERTUJUAN

SEBAGAI PIJAKAN SENI PROFETIK

A. Estetika dalam Pandangan Ismail Raji’ al-Faruqi

Kata estetika berasal dari kata kerja Yunani yang berarti merasakan (to

sense, or perceive) (Titus, 1984: 125). Dalam kajian filsafat, estetika

merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang prinsip-prinsip

keindahan dan rasa seni, the branch of philosophy dealing with the principles

of beauty and artistic taste (Jonathan, 1995: 9). Masalah utama yang hendak

dijawab oleh estetika adalah apa hakekat keindahan itu. Di samping itu

estetika mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dengan demikian, estetika

merupakan suatu teori yang meliputi (1) penyelidikan mengenai yang indah,

(2)penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni, dan (3)

pengalaman yang berkaitan dengan seni (Louis, 1987: 283).

Persoalan keindahan (seni) telah banyak dibahas oleh para ahli, tetapi

nampaknya mereka memiliki persepsi yang berbeda mengenai keindahan itu

sendiri. Louis Kattsoff mencatat ada empat konsepsi tentang keindahan, yaitu

sebagai berikut. Pertama, Seni (keindahan) merupakan hasil kegiatan intuisi

dan ungkapan perasaan. Pendapat ini diwakili oleh Bernedetto Croce.

Menurutnya, seni (keindahan) adalah kegiatan kejiwaan yang bersifat intuitif

dan mengandalkan perasaan. (Louis, 1987: 383). Oleh karena itu seni

132
145

(keindahan) bersifat subyektif-individual dan bukan objektif-universal. Kedua,

Keindahan sebagai rasa nikmat yang diobjektivikasikan. Tokohnya adalah

Santayana. Menurutnya, keindahan tergantung pada pencerapan kita terhadap

suatu objek, meskipun objek tersebut belum tentu indah. Perasaan indah itu

ditandai dengan adanya perasaan nikmat (Louis, 1987: 386). Ketiga,

Keindahan sebagai objek tangkapan akali. Pandangan ini diwakili oleh

Thomas Aquinas dan Jacques Maritain. Menurutnya, keindahan adalah

sesuatu objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Objek itu

sendiri indah karena ia memiliki unsur-unsur seimbang, tertib dan sempurna

(Louis, 1987: 388 - 390). Keempat, Seni (keindahan) sebagai pengalaman.

Pandangan ini diwakili oleh John Dewey. Menurutnya, keindahan adalah

pengalaman yang memberikan keberhasilan. Dewey beranggapan, bahwa

keindahan bukan merupakan sesuatu yang abstrak, melainkan konkrit dan

empirik dalam realitas kehidupan manusia. (Louis, 1987: 388 - 390). Inilah

teori-teori keindahan yang dibangun berdasarkan pijakan masing-masing.

Definisi estetika Islam atau estetika perspektif Islam setidaknya ada

dua konsep mendasar yang perlu diperjelas lebih dahulu definisinya, yaitu

estetika disatu sisi dan Islam disisi yang lain. Secara sederhana estetika bisa

diartikan sebagai filsafat keindahan, atau pembicaraan filosofis tentang

keindahan beserta aspek-aspeknya. Aspek-aspek keindahan meliputi obyek

yang dinilai indah, proses yang dilakukan seseorang untuk menciptakan

keindahan, serta pengalaman seseorang yang menikmati (mengapresiasi)

keindahan tersebut. Pembahasan keindahan juga meliputi merujuk pada


146

disiplin tradisional filsafat apa hakikat keindahan (ontologi), dengan apa dan

bagaimana pengalaman keindahan tersebut diperoleh (epistemologi), dan

bagaimana seseorang mengekspresikan keindahan tersebut (aksiologi) (Salim,

2002). Semua aspek-aspek tersebut dikaji secara filosofis, atau dikaji dengan

memberdayakan akal pikiran, ditelusuri kejelasan konseptualnya sampai

keakar permasalahan yang paling dalam dan paling tersembunyi (Iqbal, 2001).

Islam merupakan suatu agama yang rujukan dasarnya adalah Alqur’an,

yaitu kitab suci yang merupakan merujuk pada asal usulnya wahyu yang

diturunkan Tuhan untuk dijadikan acuan dasar manusia dalam menjalani

hidup. Kehidupan penganut Islam secara ideal harus mendasarkan diri pada

ajaran yang tertera dalam al- Qur’an, dengan kata lain Alqur’an merupakan

undang-undang dasar bagi muslim untuk menjalani kehidupannya dimuka

bumi. Demikian, dalam tingkatan yang paling prinsipil pandangan dunia

seorang muslim yang integritas kemuslimannya diakui adalah pandangan

dunia Qur’ani. Jika pendefinisian dua konsep di atas disepakati, maka estetika

Islam bisa dipahami sebagai pembahasan filosofis tentang keindahan beserta

aspek-aspeknya yang mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Alqur’an atau

setidaknya mendasarkan diri pada pandangan dunia (world-view) Alqur’an.

Pemahaman ini bisa menjadi rancu secara filosofis, karena selama ini yang

namanya pembahasan filosofis adalah pembahasan yang mengandalkan proses

berpikir yang sesuai nalar tanpa bersandar terhadap satu keyakinan apapun,

sehingga estetika Islam Nampak bukanlah sebagai suatu kajian filosofis murni

karena masih bersandar (dan meyakini) terhadap suatu ajaran, yaitu Alqur’an.
147

Dengan menganut jalan pikiran demikian, maka yang seharusnya adalah

estetika ansich, tanpa embel-embel kata sifat apapun.

Persoalan yang coba penulis kemukakan di sini adalah adanya

keraguan bahwa suatu kajian filsafat bisa dilakukan secara murni filosofis

dengan memakai rujukan suatu ajaran atau doktrin tertentu. Sebenarnya,

dalam lingkup yang lebih luas, keraguan ini bukanlah suatu persoalan yang

baru dalam filsafat, melainkan sudah bersifat klasik. Pernah diperdebatkan

dalam sejarah keabsahan filosofis dari kajian etika Islam, Epistemologi Islam,

Kosmologi Islam atau pembahasan tema-tema filsafat lain yang memakai atau

disifati oleh kata-kata Islam dibelakangnya.

Penulis di sini tidak ingin membuat daftar panjang dari persoalan

tersebut, mengelaborasi, serta mencari pemecahan masalahnya. Penulis hanya

ingin menawarkan jalan pintas, sebagai syarat dilanjutkanya pembahasan

estetika Islam, yang belum tentu memuaskan secara intelektual. Jalan tersebut

adalah pengandalan terhadap integritas seorang filosof. Jika penulis

merupakan seorang filosof, maka penulis akan mengkaji secara filosofis

segala bentuk ajaran, mulai dari produk-produk ilmiah, fatwa orang-orang

yang belum tentu jelas integritasnya sampai ajaran-ajaran yang diklaim datang

dari Tuhan (wahyu). Penulis akan mengevaluasi semua bentuk ajaran tersebut,

kemudian menerima yamg sesuai nalar filosofis dan menolak yang tidak

sesuai. Sejarah membuktikan bahwa ternyata kebenaran ajaran-ajaran

Alqur’an, setelah dikaji secara filosofis, berjalan beriringan dengan kebenaran

nalar intelektual (tidak terdapat kontradiksi di dalamnya). Implikasinya,


148

estetika Islam relevan dikaji bagi pihak awam seperti penulis dengan merujuk

pada proses dan produk intelektual dari seorang filsofof atau suatu mazhab

pemikiran yang integritas ke-muslim-an dan integritas intelektualnya diakui.

Artinya filosof tersebut telah mengkaji secara mendalan ajaran Alqur’an,

menemukan kebenaran didalamnya dan menyatukan ajaran-ajaran tersebut

dalan dirinya sehingga pandangan dunianya adalah pandangan dunia Qur’an.

Dunia Islam, sepanjang sejarah eksistensinya telah menghasilkan

banyak filosof dan beragam pemikiran filosofis yang dalam tingkatan tertentu

terdapat perbedaan. Karya-karya intelektual dari filosof yang datang kemarin

kemudian dikaji, dievaluasi, dikritisi dan direvisi oleh filosof yang datang hari

ini, sehingga produk pemikiran filosofis terus berkembang sesuai konteks

zaman. Sedikitnya rujukan pemikiran tentang estetika di dunia Islam,

membuat penulis hanya bisa menampilkan satu-dua di antara sederet filosof

muslim untuk memulai mengkaji estetika Islam.

1. The Idea of Beauty and the Idea of Beautiful.

Kerangka teoritik yang dibangun oleh Faruqi adalah: bahwa

realitas, kebenaran, ruang dan waktu, dunia dan sejarah umat manusia,

serta estetika bermuara pada tauhid (Ismail, 1995: 74). Dengan demikian

estetika merupakan bagian dari ekspresi tauhid, yaitu pandangan tentang

keindahan (estetika) yang muncul dari pandangan dunia tauhid yang

merupakan inti ajaran Islam, yang membawa kesadaran kepada ide

transenden (Isma’il, 1986: 86).


149

Estetika sebagai ekspresi tauhid memiliki dua ide dasar, yaitu the

idea of beauty dan the idea of beautiful. Yang pertama bersifat objektif,

yaitu Obyek atau sumber keindahan itu sendiri. Ia adalah Tuhan dan

ciptaanNya dan nilai keindahan yang mutlak hanya padaNya, termasuk di

dalamnya adalah keindahan yang diungkapkan oleh alam semesta dan

isinya. Sedangkan yang kedua bersifat subjektif, yaitu pengalaman estetik

yang berkaitan dengan hasil pengamatan terhadap the idea of beauty

(Ismail, 1986: 86). Pengalaman tentang keindahan ini kemudian

diekspresikan dalam bentuk karya seni (art). Karya seni bukan merupakan

hasil tiruan dari realitas alam, melainkan suatu apresiasi dari pengalaman

estetika.

2. Metodologi dan Pendekatan

Berdasarkan kerangka teoritik di atas, Faruqi menyusun metode

pembahasan mengenai estetika sebagai berikut:

Faruqi memulai pembahasannya dengan merumuskan pandangan

dunia (world view), kemudian bagaimana estetika Islam dan seperti apa

seni Islam itu. Pandangan dunia (world view) yang dibangun oleh Faruqi

adalah “pandangan dunia tauhid". Pandangan dunia tauhid ini dijadikan

sebagai prinsip dasar estetika (Isma’il, 1986: 86). Mengenai estetika

Islam, ia berpendapat, bahwa memahami estetika adalah pekerjaan indra

perasa dan intuisi. Sedangkan pengalaman estetika adalah tangkapan indra

terhadap esensi meta-natural yang bersifat apriori, yaitu "sesuatu yang

seharusnya" dari objek tersebut. Dalam kasus alam yang hidup, seperti
150

tanaman, hewan dan manusia, yang indah adalah apa yang tampil sedekat

mungkin dengan esensi aprion tersebut, yaitu objek estetika alam telah

mengungkapkan dirinya dengan mengesankan, sehingga objek yang indah

adalah apa yang diungkapkan oleh alam. Pandangan yang indah seperti ini

jika dihubungkan dengan pandangan dunia tauhid yang merupakan inti

ajaran Islam akan membawa kesadaran kepada ide transendental.

Faruqi lebih lanjut menjelaskan, bahwa seni adalah proses

penemuan di dalam alam akan esensi meta-natural dan penyuguhannya

dalam bentuk yang dapat dilihat. Jadi seni bukanlah tiruan dari alam

ciptaan, bukan pula penggambaran indrawi objek-objek alamiah,

melainkan seni adalah pembacaan dalam alam, suatu esensi yang bukan

alam, menemukan di dalam alam apa yang bukan bagian dari padanya.

Padahal apa yang tidak ada dalam alam adalah transenden, sedangkan

yang memenuhi syarat transenden hanya Ilahi (Faruqi, 1995: 205). Oleh

karena itu, kata Faruqi, keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan

kehendakNya yang diwahyukan atau firman-firmanNya (Faruqi, 1995:

207). Dengan demikian, seni Islam adalah segala produk historis yang

memiliki nilai estetis yang dihasilkan oleh orang Islam, dalam kurun

sejarah Islam, berdasarkan pandangan estetika tauhid dan selaras dengan

semangat keseluruhan peradaban Islam. Di samping itu aspek seni dalam

kebudayaan Islam juga dipandang sebagai ekspresi estetis dari Alqur’an,

sehingga seni Islam tidak lain adalah seni Alqur’an (Faruqi, 1995: 162)

dengan enam ciri yang diambil dari ideal Alqur’an, yaitu:


151

a. Abstraksi. Pola infinit seni Islam adalah, bersifat abstrak; denaturalisasi

dan stilisasi terhadap figur-figur alami yang digunakan.

b. Struktur Modular. Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau

modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan kesatuan

yang lebih besar. Masing-masing modul adalah sebuah entitas yang

memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri yang memungkinkan untuk

diamati sebagai sebuah unit mandiri maupun sebagai bagian penting

dari kompleksitas yang lebih besar.

c. Kombinasi Suksesif. Pola-pola infinit dalam seni Islam menunjukkan

adanya kombinasi berkelanjutan dari modul-modul dasar yang

menyusunnya.

d. Repetisi. Sifat ini diperlukan untuk menciptakan kesan, bahwa infinitas

sebuah objek seni adalah pengulangan dalam intensitas yang tinggi,

yaitu pengulangan terhadap motif, modul, struktural dan kombinasi

suksesif yang terus-menerus.

e. Dinamisme. Desain seni Islam bersifat dinamis, yaitu desain yang harus

dialami melalui waktu. Ini berlaku bagi kategori seni yang (seni rupa

dan arsitektur) dan seni waktu (sastra dan musik) yang dalam seni Islam

selalu dialami secara serial dan kumulatif.

f. Kerumitan. Detail yang rumit merupakan ciri sebuah karya seni Islam.

Pendekatan yang digunakan Faruqi adalah pendekatan intuitif atau

irfani menurut istilah al-Jabiri, karena menurutnya, memahami estetika

adalah pekerjaan indra perasa dan intuisi sepenuhnya, sedangkan


152

pemahaman diskursif hanya memainkan peran sekunder (Ismail, 1995:

200). Di samping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan

bayani, karena Faruqi mendasarkan seni Islam sepenuhnya dari teks

Alqur’an.

3. Seni Tauhid: Ekspresi Estetika Islam.

Sebagaimana disebutkan di atas, menurut Faruqi, seni adalah

merupakan ekspresi estetika yang ditangkap oleh indra perasa dan intuisi

manusia dalam bentuk karya. Faruqi mengklasifikasikan produk estetis

(seni) Islam menjadi: (1) Seni Sastra; (2) Kaligrafi; (3) Ornamentasi; (4)

Seni Ruang; dan (5) Seni suara.

a. Seni Sastra

Menurut Faruqi, seni sastra Islam, banyak dipengaruhi oleh

Alqur’an. Alqur’an sebagai wahyu Ilahi memiliki kelebihan-kelebihan

yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, terutama dalam bidang sastra.

Di dalamnya terkandung rahasia keindahan dan kemu'jizatan yang

disebut awjuh atau dala'il al-ijaz, yaitu aspek-aspek yang

menyebabkan Alqur’an sangat menarik dan tidak bisa disamai (Isma’il,

1999: 36).

Bangsa Arab pra-Islam telah memiliki seni sastra yang amat

tinggi dan sulit ditandingi. Dengan turunnya Alqur’an yang memiliki

nilai sastra tinggi, menyadarkan mereka dari kesombongan itu.

Ternyata syair-syair hasil karya mereka bukan apa-apa dibanding de-

ngan Alqur’an. Setelah mereka masuk Islam, Alqur’an kemudian


153

dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan seni sastra mereka. Hal

ini dapat dipahami, karena menurut Faruqi, turunnya Alqur’an telah

membakukan bahasa arab, serta kategori-kategori logika, pemahaman

dan keindahan bahasa yang terkandung di dalamnya. Di samping itu

dalam waktu yang relatif singkat, bahasa arab Alqur’an menjadi

kriteria dan norma bahasa arab, meliputi kosa kata, sintaksis, tata

bahasa dan kefasihan (balaghah atau fashahah) (Isma’il, 1999: 53-54).

Hal demikian kemudian ditransformasikan ke dalam kesusasteraan

Islam, yaitu sastra baru yang disesuaikan dengan arus intelektual

mereka (Isma’il, 1999: 55).

Jenis kesusasteraan Islam bersifat universal, meliputi khutbah

(orasi), risalah (esai), maqamah (cerita pendek tentang legenda atau

pahlawan), qishsah (.kisah), qasidah (syair), dan maqalah (esai yang

membahas satu tema sebagai sentral). Di antara jenis sastra yang

menonjol adalah prosa dan syair.

Menurut Faruqi prosa Muslim juga mengikuti prosa Arab.

Prosa ini termasuk siyaghah, penggabungan kata-kata terpilih untuk

mengungkapkan makna tertentu; almuqabalah atau tawazun,

pengimbangan, ungkapan atau makna secara simetris; altarassul,

penyajian tema atau bagian atau bab-bab secara berurutan tanpa

keterkaitan organik, ada pembuka dan penutup setiap uraian, yang

menghasilkan momentum menuju penerusan yang tak terbatas; al-ijaz,

menggunakan kata-kata sesedikit mungkin dengan makna yang


154

sebesar-besarnya; al-iqa', menempatkan kata yang tepat pada tempat

yang tepat; al-intiqal, perubahan waktu kalimat, bentuk sapaan secara

tiba-tiba menjadi bentuk lain yang kontras sebagai cara penguatan

penyajian; tamtsil al-ma'ani, penyajian makna abstrak; al-bayan,

kejelasan ekspresi; dan mutabaqah al-'ibarah li muqtada al-hal,

kewajaran ekspresi, pemilihan istilah dan gaya sesuai dengan audien

dan topik yang dibahas (Isma’il, 1999: 56).

Syair Islam, menurut Faruqi, juga mengikuti aturan yang sama

dengan syair Arab. Di antara aturannya adalah, abhur, aturan bersajak,

pembagian bait menjadi dua, tiga, empat dan lima; dan qafiyah,

kebebasan penuh dalam bait atau maqta' (bagian) (Isma’il, 1999: 56).

b. Kaligrafi

Faruqi menyebutkan, bahwa pengaruh Alqur’an telah

menjadikan kaligrafi sebagai sebuah bentuk seni budaya Islam, yang

paling luas tersebar, dinikmati dan dihargai umat Islam. Sebagaimana

diketahui, bangsa Arab pada waktu itu telah memiliki seni menulis.

Seni menulis ini kemudian dikembangkan pada zaman Islam untuk

menulis Alqur’an. Hal ini dilakukan oleh Zayd ibn Tsabit atas perintah

Nabi. Dengan cara ini Alqur’an terdokumentasi (Isma’il, 1999: 93-95).

Seni menulis ini pada mulanya masih sangat sederhana. Baru

kemudian ketika digunakan untuk menulis Alqur’an dalam bentuk

mushaf, telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Pada

perkembangan selanjutnya, seni tulis Arab ini dikembangkan juga gaya


155

tulisannya. Di antara gaya tulisan Arab adalah kufi (populer di daerah

Basrah dan Kufah). Gaya tulisan ini mempunyai ciri berbentuk sudut.

Faruqi membedakan ada tiga varian kufi, yaitu (1) kufi berbunga, garis

vertikal diberi bentuk daun dan bunga; (2) kufi jalin atau anyaman,

garis vertikal dibuat bagaikan anyaman; dan (3) kufi hidup, huruf-

hurufnya diakhiri dengan gambar stilisasi binatang atau manusia. Gaya

kufi ini untuk beberapa abad digunakan untuk menulis Alqur’an. Di

samping itu digunakan juga untuk membuat hiasan pada tekstil,

keramik, mata uang, alat-alat makan, batu nisan dan bangunan

arsitektur (Isma’il, 1999: 110-111).

Gaya yang lain adalah gaya naskhi (diciptakan oleh Ibnu Muqlah

dan disempurnakan oleh Ibn al-Bawwah (w. 423 H/1032 M); gaya

sittah, bentuk tulisan kursif "enam" (diciptakan oleh Yaqut ibn Abd

Allah al-Mu'tasimi (w. 698 H/1298 M); gaya tsuluts, tulisan dekaratif

yang dipakai untuk dekorasi arsitektur, benda-benda kecil, judul

dekoratif, dan solofon (emblem) untuk Alqur’an dan naskah lainnya

(Isma’il, 1999: 100-101).

Varian kufi, naskhi, dan tsuluts meskipun dipakai di semua

wilayah Muslim, namun terdapat juga gaya khas daerah, diantaranya

adalah maghribi (di Spanyol Islam dan Afrika Utara), Qaryawani,

Sudani, dan di kalangan kaligrafer Iran dikenal pula gaya ta'liq,

Nasta'liq dan Syikastah. Gaya Syikastah terutama dipakai untuk surat-

menyurat pribadi dan bisnis atau resmi dalam bahasa Parsi dan Urdu.
156

Tulisan lain yang banyak dipakai secara luas di dunia Islam adalah

tulisan Diwani. Gaya tulisan ini terutama dipakai untuk dokumen-

dokumen resmi (Isma’il, 1999: 105).

Faruqi mengkategorikan kaligrafi kontemporer menjadi lima

kategori, (1) Kaligrafi "tradisional". Menekankan pada tradisi abstrak,

pesan diskursif dan huruf-huruf yang indah, bukan pada penggambaran

benda-benda alam. Kaligrafi jenis ini sudah ada sejak abad ke-7 H/13

M. Tokoh-tokohnya adalah 'Adil al-Saghir, Muhammad Sa'id as-

Saggar, Muhammad Ali Shakir dan Isam al-Sa'id. (2) Kaligrafi figural.

Kaligrafi jenis ini mengkombinasikan motif-motif figural dengan

unsur-unsur kaligrafi dalam berbagai gaya. Unsur-unsur figural

terbatas pada motif daun dan bunga yang distilisasi menyesuaikan

dengan sifat abstrak dari seni Islam. Bentuk binatang dan manusia

tidak didapatkan pada naskah Alqur’an, dekorasi Masjid, madrasah

atau mebeler, tetapi terdapat pada mangkuk, alat-alat makan dan alat

rumah tangga. Tokohnya adalah Sayyid Naquib al-'Attas (Isma’il,

1999: 109-110). (3) Kaligrafi ekspresionis. Gaya ini merupakan hasil

akulturasi antara seni Muslim dengan seni Barat. Kaligrafi jenis ini

lebih menampilkan unsur-unsur emotif, yaitu menyampaikan emosi--

emosi subyektif kepada audiens mengenai penggambaran

tanggapannya terhadap personal, visual, dan emosional benda, orang

atau kejadian. Gaya ini dipandang oleh Faruqi sebagai gaya yang tidak

sesuai bahkan berlawanan dengan sifat abstrak dan universal seni


157

Islami. (4) Kaligrafi simbolik. Jenis kaligrafi ini, orientasi dan proses

artistiknya dipengaruhi oleh Barat. Simbolisme literal sendiri, dalam

Islam hampir tidak mungkin, namun kaligrafer Muslim telah

mencobanya. Desain kaligrafer simbolik menggunakan huruf atau kata

tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau kelompok gagasan (Isma’il,

1999: 112).

Kaligrafi semu atau Abstrak murni. Istilah abstrak murni adalah

istilah gerakan seni Barat abad kedua yang digunakan untuk

menamakan karya estetika Muslim. Kaligrafer Muslim tipe ini

menjadikan huruf, bentuk geometris atau motif-motif lain, sebagai

bentuk murni, yang terpisah dari makna tradisionalnya. Pandangan ini

nampaknya dipengaruhi oleh Piet Mondrian, seorang abstraksionis

Belanda. Melihat bentuknya yang demikian, gaya ini nampak

mengingkari esensi dan fungsi kaligrafi Islami, yaitu menyampaikan

pesan dialogis dalam bentuk visual yang indah dari pola

ketakterhinggaan, sehingga Faruqi menolak gaya ini untuk dimasukkan

dalam seni Islami (Isma’il, 1999: 114-116).

c. Ornamentasi

Ornamentasi adalah motif-motif dan tema-tema yang dipakai

pada benda seni yang ditimbulkan pada komponen hasil seni.

Ornamentasi dalam pandangan seniman Barat hanya digunakan

sebagai pelengkap saja dan tidak ada hubungannya dengan sebuah

karya seni. Menurut Faruqi, ornamentasi dalam seni Islam tidak hanya
158

pengisi ruang kosong, melainkan memiliki fungsi yang khusus.

Menurutnya, ornamentasi memiliki empat fungsi, (1) Mengingatkan

kepada tauhid. Ornamentasi merupakan tambahan penting dalam karya

seni Islam, karena mengingatkan kepada ajaran tauhid. Oleh karena

itu, ornamentasi dapat ditemukan di setiap tempat, seperti lingkungan,

tempat kerja, rumah dan masjid. (2) Transfigurasi bahan. Hal ini

dilakukan untuk menstilisasi, mendenaturalisasi dan memperindah

bahan-bahan yang dipakai dalam karya seni mereka (Isma’il, 1999:

130). Hal itu dilakukan dengan metode: (a) Overlay, menutup

permukaan bahan dasar suatu benda dengan hiasan dekoratif dengan

pola infinitif; (b) Menyembunyikan sifat-sifat bawaan bahan; (c)

Kurang memperhatikan pada nilai bahan yang digunakan; (d)

Transfigurasi struktur; dan (e) Pengindahan (Isma’il, 1999: 130-135).

Bentuk ornamen diantaranya adalah arabesk. Arabesk

merupakan pola infinit dari sejumlah kategori struktural yang memiliki

berbagai variasi. Arabesk ini banyak dipakai dalam dekorasi naskah

Alqur’an, desain permadani, improvisasi pada lut (sejenis gitar

bunting), dan ornamentasi keramik pada bangunan (Isma’il, 1999:

143).

Faruqi membagi arabesk ke dalam empat pola yang disusun

secara disjungtif (terputus, munfashilah) dan konjungtif (kontinyu,

muttasilah). Keempat pola tersebut adalah (1) Struktur multiunit.

Struktur ini terdiri dari berbagai bagian atau modul yang berbeda, yang
159

digabungkan dengan cara penambahan atau pengulangan. Struktur ini

termasuk struktur disjungtif (munfashilah). Struktur ini didapati pada

dekorasi wadah keramik atau logam, senjata atau baju besi prajurit,

halaman dekoratif Alqur’an atau buku lain, desain mebelair,

permadani, kain dan lapisan hias penutup pada bangunan arsitektural.

Model arabesk ini berupa susunan simetris unit-unit ke arah kiri dan

kanan atau atas dan bawah, dari suatu titik tengah, atau membentuk

kombinasi modul dengan struktur cincin atau rantai; (Isma’il, 1999:

146-147), (2) Struktur saling-mengunci (mutadakhilah, interlocking).

Struktur ini digambarkan adanya unsur-unsur desain yang saling

menganyam (kunci-mengunci). (3) Struktur berbelok. Struktur ini

termasuk struktur konjungtif (muttasilah) yang paling tidak rumit.

Bentuk-bentuk kaligrafi, daun, bunga, sulur-suluran, dan/atau bentuk-

bentuk abstrak digambarkan berurutan hampir tidak berhenti, yang satu

mengikuti yang lain dan seterusnya (Isma’il, 1999: 149), (4) Struktur

mengembang. Jenis struktur ini memberi kesan suatu desain bagaikan

sinar yang merekah. Pola semacam ini didapati pada bidang pembatas

halaman buku, tepi piring, tepi panel dinding, permukaan dinding,

yang diakhiri tanpa kesan telah selesai atau berakhir. Kesan tanpa akhir

ini merupakan esensi pola Islam (Isma’il, 1999: 150).

Demikian Faruqi menerangkan ornamentasi dalam seni Islam.

Menurutnya ornamentasi bukan sekedar tambahan yang diberikan pada

benda seni, sebagaimana pendapat seniman Barat. Melainkan,


160

ornamentasi adalah esensi seni Islam, yang menentukan penggunaan

bahan, mengolah persepsi atas bentuk dan menimbulkan serangkaian

struktur yang bisa dikenali sebagai produk artistik.

d. Seni Ruang

Satu hal lagi yang dapat diambil dari seni Islam adalah "seni

ruang" (spatial art). Faruqi dengan kemampuan yang luas dan

mendalam telah mendeskripsikan bagaimana seni ruang Islam itu. Seni

ruang menurutnya memiliki empat kategori, yaitu: (1) unit-unit isi,

bangunan-bangunan yang berdiri sendiri atau setengah menempel

tanpa ruang interior; (2) arsitektur, struktur dengan ruang interior; (3)

lanskaping, hortikultura dan akuakultura; dan (4) desain perkotaan dan

pedesaan (urban and rural design).56 Keempat kategori dalam seni

ruang itu merupakan ekepresi dari ajaran Islam dan ideologinya, sama

seperti seni Islam yang lain, sehingga ruang menunjukkan inspirasi

dari pandangan Islam tentang dunia dan Tuhan, yaitu tauhid.

Seni ruang yang demikian, menurut Faruqi, memiliki ciri-ciri

utama, yaitu (1) Abstraksi. Abstraksi dilakukan dengan metode: hiasan

penutup (overlay), transfigurasi bahan, transfigurasi struktur,

transfigurasi ruang tertutup, dan transfigurasi fungsi. (2) Unit/modul;

(3) Kombinasi suksesif; (4) Pengulangan; (5) Dinamisme; dan (6)

Kerumitan.57 Di samping itu, penggunaan arabesk ikut mewarnai dan

melengkapi dalam seni ruang Islam.


161

e. Seni suara

Seni suara dalam seni Warn disebut Handasah al-Shawt. Ini

berbeda dengan seni musik pada umumnya sebagaimana dikenal di

Barat. Sehubungan dengan seni suara, Faruqi membahas tiga hal, yaitu

(1) Seni suara dalam masyarakat Islam, (2) Model kreativitas: Lagu

Alqur’an, dan (3) Ciri pokok handasah al-Shawt.

1) Seni suara dalam masyarakat Islam memiliki kategori jenis musik

yang khusus, yaitu menunjukkan adanya "kesatuan luas" yang

menjembatani berbagai tipe dan kategori jenis. Karl Signell

menyebutnya sebagai "musik masjid", sebagai "sub jenis musik

klasik". Sedang Amnon Shiloah menengarai adanya "kaitan-kaitan

erat" dan "interaksi" antara musik religius dan musik seni (art

music) dalam bangsa-bangsa Muslim.58 Dalam konteks

pertunjukan, handasah al-shawt dapat ditemukan dalam konteks

religius maupun non-religius. Lagu Alqur’an atau qira'at dapat

ditemukan dalam peristiwa religius, seperti dalam pelaksanaan

shalat, upacara pemakaman, pada dua hari raya Islam. Sedangkan

dalam konteks non-religius dapat ditemukan dalam pertemuan

umum, pertemuan sosial, pesta, acara radio dan televisi. Jenis

shawti lainnya adalah syair yang dinyanyikan, improvisasi vokal

dan instrumen, dan pantun-pantun yang dimainkan dalam berbagai

konteks. (Isma’il, 1999: 188-189). Dalam budaya Islam, pemain

sering memainkan atau menyanyikan berbagai jenis musik yang


162

berbeda dalam fungsi yang berbeda pula. Karena dalam budaya

Islam, musisi profesional tidak dapat diterima (Isma’il, 1999: 190).

Aspek partisipasi hadirin juga memperlihatkan adanya

homogenitas dalam seni suara masyarakat Islam. Tidak ada

penikmatan yang dipaksakan atau pendidikan khusus untuk dapat

mengapresiasinya. Handasah al-Shawt juga memiliki ekstensi

historis. Ciri-ciri dan bahan-bahan Handasah al-Shawt pada abad

ini telah dimainkan pada abad terdahulu. Sebagaimana

dikemukakan oleh Baron d'Erlanger, bahwa baik melodi maupun

ritme, ciri musik Arab zaman sekarang dianggap sebagai "gema"

musik periode pra-Islam. George Sawa mencatat adanya

kesinambungan antara abad pertengahan dan sekarang. Begitu juga

Amnon Shiloah, menunjukkan adanya sistem modal (penggunaan

nada) yang sudah ada sejak zaman Safi al-Din (abad 7 H/13 M) dan

Abd al-Qadir (w. 8391- 1435 H) digunakan sebagai dasar yang

masih dipakai sampai sekarang (Isma’il, 1999: 191-192).

Hal lain yang tidak lepas dari perhatian Faruqi adalah

bahwa shawti dalam masyarakat Islam menunjukkan adanya

homogenitas interregional. Terdapat beberapa perbedaan mengenai

teori musik, instrumen, jenis dan dalam praktek, namun tetap

memiliki sifat yang menyatukan budaya musik bangsa Muslim.

Perbedaan tersebut karena adanya adaptasi terhadap selera regional

dan ketersediaan bahan (Isma’il, 1999: 193).


163

Sepanjang berkaitan dengan handasah al-shawt, lagu

Alqur’an sangat penting bagi umat Islam. Qira’ah adalah jenis

suara artistik yang paling banyak diapresiasi dalam kehidupan umat

Islam, tanpa memandang latar belakang mereka.

2) Model kreativitas: Lagu Alqur’an. Meskipun umat Islam tidak

pernah menganggapnya sebagai musiqa, lagu Alqur’an adalah jenis

handasah al-shawt yang dapat didengar hampir dalam setiap

konteks, karena lagu Alqur’an merupakan jenis handasah al-shawt

yang paling menyebar dalam budaya Islam. Dengan demikian

Alqur’an merupakan prototipe ekspresi artistik dalam handasah al-

shawt (Isma’il, 1999: 194-195). Sebagai prototip handasah al-

shawt, lagu Alqur’an menjadi pusat silinder konsentris yang

mempengaruhi jenis/model seni handasah al-shawt yang lain,

kemudian memiliki bentuk tersendiri setelah mengalami adaptasi

regional tanpa harus kehilangan ciri aslinya sebagai seni Islam.

Model handasah al-shawt yang muncul kemudian adalah seperti

lagu-lagu yang terkait dengan panggilan shalat (adzan) atau haji

dan bacaan syair (berbentuk tahmid atau pujian untuk Nabi

Muhammad S.A.W) yang berirama. Di samping itu dapat

ditemukan juga na'tiyah (Afganistan); marhaban, barzanji,

rebanah (kompang, hadrah), dan rodat (Malaysia); marsiya dan

soz (Pakistan); dan naat, miraciye, dan mevlit (Turki) (Isma’il,

1999: 190). Bentuk-bentuk tersebut setelah diadakan improvisasi


164

instrumen dan vokal dapat ditemukan, misalnya taqasim, layali,

dan qasidah (Turki dan Masyriq); avaz (Iran); syakl (Afganistan);

dairah dan istikhbar (Maghrib); sayil atau baqat (musik vokal di

Asia Tenggara); dan rakwan Allah dan jinjin (Hausa, Afrika Barat)

(Isma’il, 1999: 198).

Perkembangan selanjutnya, dinilai Faruqi semakin kurang

sesuai dengan ciri utama yang terdapat dalam lagu Alqur’an,

meskipun tema-tema religius ada di dalamnya. Jenis ini adalah

qasidah (Malaysia); ghazal (Iran-Asia Tengah dan India); ilahi,

nefes dan suhul (Turki); muwasysyah dini (Masyriq); nasyid (Asia

Tenggara); dan wak'a ad dini (Husna, Afrika Barat) (Isma’il, 1999 :

198). Jenis ini merupakan komposisi panjang yang sudah memiliki

aturan yang dimainkan oleh kelompok pemain laki-laki dan/atau

perempuan, yang menyanyi bersama, baik dengan iringan

instrumen atau tidak. Liriknya kadang berbahasa arab, tetapi bahasa

setempat juga dipakai.

Perkembangan terakhir handasah al-shawt adalah adanya

ciri kebebasan dan tema-tema sekuler. Seni jenis ini jika

dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan tercela, seperti pengguna

alkohol, obat bius, campur laki-laki dan perempuan yang rawan

susila, menyebabkan Faruqi menolak dan mengecamnya sebagai

hiburan dan ekspresi estetik.


165

3) Ciri pokok handasah al-Shawt.

Handasah al-shawt Islam memiliki ciri-ciri yang sama

dengan ciri-ciri jenis seni Islam yang lain, yaitu enam ciri utama.

Enam ciri utama itu pada pokoknya adalah berusaha untuk

mengadakan stilisasi, abstraksi, dan denaturalisasi, agar ekspresi

estetika Islam dan para penikmat seni Islam akan diantarkan

kesadarannya pada ide transenden.

Pemikiran al Faruqi tentang estetikanya dapat dijadikan titik

awal bagi usaha perumusan dan pengembangan "seni Islam".

Sebagaimana diketahui, bahwa umat Islam belum memiliki lembaga

yang secara formal dan sistematis merumuskan dan melakukan kajian

tentang seni secara utuh, sehingga umat Islam belum memiliki konsep

yang mapan dan applicable, baik secara filosofis (estetika atau filsafat

seni Islam, yang merumuskan nilai keindahan sesuai ajaran Islam),

teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam atau

seni Muslim), praktis (kajian tentang teknik-teknik perbidang) dan

apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam

hubungannya dengan perkembangan masyarakat Muslim).

Faruqi, dalam karya monumentalnya The Cultural Atlas of

Islam, telah melakukan pembahasan yang sangat mendasar dan

merumuskan secara komprehensif tentang "bagaimana estetika Islam

itu" dan "apa seni Islam itu". Pengklasifikasiannya terhadap produk

estetis dilakukan secara konsisten dengan dasar pandangan tauhid


166

yang ia ajukan. Di samping itu Faruqi juga mengadvokasi satu jenis

seni tertentu dan menolak jenis seni yang lain yang ada dalam sejarah

Islam. Bagi Faruqi, seni bukan untuk seni. Seni merupakan ekspresi

estetis yang akan mengantarkan kesadaran penikmat seni kepada ide

transenden.

B. Estetika : Sarana Menuju Tuhan Menurut Rumi

Keindahan merupakan aspek menyatu dalam pengalaman kehidupan

manusia, pengalaman terhadap keindahan, secara fenomenologis merupakan

estetis terhadap keindahan, dan juga fenomenologis merupakan pengalaman

estetis terhadap sesuatu, sedangkan sesuatu tersebut dengan cara tertentu

mampu mengembangkan pengalaman keindahan dalam diri manusia

(Sutrisno, 1993: 13). Keindahan diekspresikan dari setiap manusia dan

mampu menjadi hasil yang menjadi sumber keindahan bagi manusia pecinta

keindahan, oleh karena itu dalam keindahan yang diciptakan pun harus

didukung oleh kebebasan berkreasi.

Bagi Rumi, keindahan diekspresikannya melalui karya seni dalam

bentuk puisi yang merupakan hasil dari kontemplasi dan kesufiannya. Di

mana muatan-muatan yang terkandung sarat akan nilai tasawuf sehingga

mampu menjadikan Rumi sebagai tokoh estetika yang mampu

mengekspresikan nilai seni yang sangat indah dengan jalan spiritualnya.

Hampir tidak ada persoalan religius dan spiritual yang penting, baik yang
167

bersifat doktrinal maupun yang tidak diuraikan Rumi melalui berbagai cara

dalam tulisan-tulisannya.

Ekspresi universal kehidupan dan juga (dimungkinkan) oleh tingginya

tingkatan spiritual (maqam) Rumi yang digabungkan dengan pengetahuannya

yang mendalam tentang semua tradisi Islam, terutama aspek-aspek

religiusitas dan metafisiknya.

Jalaluddin Rumi merupakan tokoh sufi yang mengekspresikan

keindahan lewat sastra dengan makna pengalaman kesufiannya, oleh

karenanya tulisan ini hendak mengkaji konsep keindahan estetika Jalaludin

Rumi melalui karya-karya sastranya dengan pandangan-pandangan

kesufiannya. Sebagaimana puisi-puisinya berikut ini :

Akhirnya, kau kibaskan sayap-sayapmu


Dan kau hancurkan kandang itu, dan
Terbang tinggi ke dunia gaib Engkaulah elang piaraan kesayangan
Yang dijaga oleh wanita-bumi yang tua
Lalu kau dengar gendering raja
Untuk melesat ke angkasa yang terbentang luas
Engkaulah burung bul-bul yang sakit rindu
Yang disatukan dengan kawanan burung hantu
Lalu datanglah keharuman taman-mawar Musim Semi
Dan kau pergi, Engkau
Dengan sisa-sisa paling menyedihkan dari
Kepahitan yang telah terbunuh ini, memasuki kedai minum
Yang baru ini, sahabat ekstase kekal,
Yang minum ketiadaan
Seperti kesulitan untuk berbicara yang lenyap
Dalam kesunyian, bukan tidur
Engkau mencari perlindungan dalam diri sang kawan
(Rumi, Diwan-I Sayms-1 Tabrizi : 1725)

Puisi Rumi lebih secara khusus menyampaikan makna pada

berbagai tingkatan, selain itu puisi (menurutnya) merupakan salah satu

sarana yang biasa digunakan oleh para sufi dalam mengungkapkan


168

keadaan serta perasaan ruhaniah mereka, sejak masa Rabi'ah al-Adawiyah

sampai pada masa al-Hallaj (Siregar, 2000).

Bagi Rumi, puisi merupakan salah satu sarana paling tepat untuk

mengungkapkan hakikat realitas secara sentimental. Hal ini dikarenakan

antara tasawuf dan sastra memiliki hubungan yang sangat erat yaitu

mengungkapkan pengalaman bathin.

Puisi bagi Rumi, merupakan bagian dari seni dan menjadi

manifestasi dari kepekaan terhadap alam dan kehidupan, selain itu sebagai

alat untuk berkomunikasi dengan orang lain secara bathiniah. Oleh karena

itu, puisi merupakan bagian dari seni yang mampu menghias syair-syair

dan mempunyai nilai estetika yang sangat tinggi. Tasawuf pada dasarnya

mempersoalkan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan

juga hubungannya dengan penciptanya atas dasar cinta. Sedangkan sastra

juga ingin mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang menembus dunia

abstrak. Begitu Rumi dalam menyampaikan pesan ajarannya didasarkan

pada intuisi melalui lambang-lambang, hal inilah yang menyebabkan

persamaan mendasar antara kesufian dan penyair, yaitu

mengungkapkannya dengan lambang-lambang. Bagi Rumi ajaran

tasawufnya dapat mempresentasikan ajaran-ajaran yang sebagian besar

ditulis dalam bentuk puisi, yang berfokus pada cinta.

Tatkala jiwa jiwa yang dahaga meminum


Dari gelas piala, semua melihat Tuhan
Di dalammya, Mereka yang tidak mabuk oleh cinta
Tuhan hanya akan melihat wajah mereka sendiri
Seseorang pencinta tidak pernah mencari
Tanpa pernah dicari kekasihnya
169

Ketika kilatan cahaya cinta telah menembus hati ini


Pastikan tidak ada cinta di dalam hati itu
Ketika cinta Tuhan tumbuh dalam hatimu
Janganlah ragu Tuhan mencintaimu
(Rumi, Matsnawi III : 4393)

Cinta menurut Rumi merupakan ajaran penting dalam tasawuf,

yaitu cinta kepada Allah. Dalam mengungkapkan makna cinta, Rumi

mempergunakan simbol-simbol duniawi, walaupun hal yang dituju adalah

sesuatu yang abstrak. Simbol-simbol yang dipergunakan Rumi untuk

melambangkan cinta tidak terbatas merupakan simbol-simbol yang terjadi

dan ada pada sekitar manusia.

Cinta tidak dapat ditemukan


Melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan
Buku-buku, dan tulisan-tulisan
Apapun yang dikatakan orang (tentang cinta)
Bukanlah jalan para pecinta
Ketahuilah bahwa ujung dari cinta
Berada dalam keabadian tanpa permulaan
Dan akarnya menancap di keabadian yang tanpa akhir
Mengertilah, pohon ini tidak ditopang oleh singgasana Tuhan bumi
Ataupun sebuah batang
(Rumi, Diwan-1 Syams-I : 39)

Nilai estetika dan tingkatannya dalam karya-karya syair Rumi

sangat tinggi dan berpengaruh pada pola penulisan puisi-puisi Rumi. Hal

ini dapat dilihat dalam pemahaman Rumi tentang puisi, bagi Rumi puisi

memberikan sesuatu kepada manusia, sesuatu yang kompleks yang tidak

dapat dirumuskan secara singkat, karena puisi lebih bersifat ruhaniah.

Rumi juga berpendapat bahwa dengan bahasa puisi, manusia dapat

merasakan kehidupan bukan semata sebuah beban, dan hubungan antara

manusia dengan Tuhannya, bukan semata sesuatu kewajiban, namun bagi


170

Rumi lebih dari itu, hidup dapat dirasakan sebagai suatu nikmat dan

hubungan manusia dengan TuhanNya dapat ditingkatkan derajatnya

sehingga mencapai suatu tingkat mengasyikkan, tingkat hubungan itu

adalah tingkat hubungan cinta.

Jalaluddin Rumi merupakan seorang sufi besar ketika

mengekspresikan rasa cinta dalam kesufiannya melalui syair dan puisi, dan

mampu menciptakan nilai estetika yang begitu tinggi. Bagi Rumi, cinta

yang mendasari etika sufi merupakan prinsip tertinggi dan tujuan utama

dalam kehidupan sufi, sehingga cinta adalah satu-satunya cara dalam

mendekatkan diri kepada Allah (Siregar, 2000). Cinta yang terkandung

dalam etika sufi mempunyai tiga tahap perkembangan, Pertama, cinta

yang memuja segala hal yang bersifat duniawi. Kedua, cinta yang memuja

Allah. Ketiga, cinta mistis, yaitu seseorang tidak mengatakan ia mencintai

Allah atau tidak. Rumi berpendapat bahwa cinta ibarat air yang

membutuhkan perantara untuk menjadi panas, cinta yang dimaksud Rumi

adalah cinta yang akan lenyapnya ketiadaan diri, yang menjadi hakikat

dari cinta kesufian adalah merupakan terjemahan mistis dan kreatif dari

hadits Nabi yang berbunyi : "Hidupkanlah daku dalam kemiskinan dan

wafatkanlah daku dalam kemiskinan pula".

Cinta-cinta Rumi merupakan simbolisasi dari unsur agama, Rumi

menjelaskan bahwa cinta manusia sesungguhnya hanya efek dari cinta

Tuhan dengan satu apologia (Nicholsin, 1987: 102).

Ketika luka cinta meningkatkan keriangan spritualmu


Mawar dan lili memenuhi taman jiwamu
171

(Rumi, Matsnawi, II: 1379)

Tuhan benar-benar dekat denganmu


Apapun yang kau pikirkan dan ide yang kau simpan, Dia mengetahui
Karena Dia-lah yang memberi wujud pada pikiran dan ide
Serta menempatkannya di dalam dirimu

Dia begitu dekat denganmu, tapi kau tidak dapat melihatNya


Benar-benar aneh bukan?
Apapun yang kita lakukan, akal bersamamu, menyertai perbuatan
Namun kau tak dapat melihat akal
Mesti kau dapat melihat akibat-akibat
Kau tak dapat melihat hakikat
(Rumi, Fihi ma Fihi: 127)

Demikian cinta yang di agung-agungkan Rumi adalah cinta kepada

Sang Kekasih, Yang Tunggal, cinta yang demikian akan menimbulkan

hasrat kerinduan untuk kembali padaNya, karena cinta adalah hakiki, di

mana cinta yang hakiki haruslah ditujukan pada sesuatu yang fana bagi

Rumi bukanlah cinta, karena ia akan musnah. Cinta adalah sesuatu

kenyataan yang hidup, tidak akan mati dan senantiasa melimpahkan

kehidupan yang ada.

Kau harus hidup dalam cinta


Sebab manusia yang mati tidak dapat
Melakukan apapun. Siapa yang hidup?
Dia yang dilahirkan oleh cinta
(Rumi, Diwa-1 syams-1: 143)

Nilai-nilai yang terkandung dalam syair-syair Rumi merupakan

hasil ekspresinya yang penuh dengan muatan estetika yang begitu tinggi,

karena estetika bagi Rumi merupakan hasil dari ekspresi manusia yang

berbentuk puisi dan syair yang dilaluinya melalui pengalaman spiritual

rohaniah Rumi, maka nilai seni yang terkandung di dalamnya menjadi

nilai keindahan yang abadi.


172

Bersenang-senanglah bersama Tuhan


Tidak bersama Tuhan yang lainnya.
Dia adalah musim semi, sedang yang lainnya Januari
Segala yang selain Tuhan hanya akan membawamu menuju kesesatan,
jadilah ia Singgasana, kerajaan dan mahkotamu
(Rumi, Matsnawi II : 507-508)

Beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rumi

merupakan seorang penyair yang memiliki sistem pemikiran kental dengan

pengaruh tasawufnya. Di mana tasawuf merupakan bentuk simbolisasi

kecintaan manusia kepada Tuhan, dalam perjalanan spritual rumi itulah ia

mampu mengekspresikan cinta yang begitu luas, baik cintanya kepada

Allah, cinta terhadap gurunya dan cinta terhadap orangorang yang banyak

memberikan ruang dan waktu bagi mengungkapkan rasa cintanya yang

begitu tinggi terhadap gurunya.

Kreasi dan apresiasi keindahan dalam suatu karya seni ikut

mengantarkan Rumi mengalami pengembaraan dalam alam spiritual,

dimana keluar dari alam bentuk dan masuk ke dalam alam tanpa bentuk

dan sarat dengan makna. Kondisi ini membawa pencerahan pada manusia

dan kembali ke pusat sistemnya, kemudian mengalami kehidupan sebagai

keseluruhan di mana manusia menjadi satu bagiannya.

Dalam syairnya Rumi berkata tentang Tuhan :

"Engkau adalah langitku, dan


akulah bumi yang terpana: Apa yang membuatMu selalu membuncah
dalam hatiku? Akulah tanah dengan bibir terpanggang Bawalah
setangkap air segar Yang akan mengubah tanah menjadi taman bunga
Bagaimana tahu apa yang engkau taburkan dalam hatiku? Engkau telah
menghamilinya dan engkau tahu apa yang dikandungnya!
(Rumi, Diwan-1 Syams-I : 3048)
173

Rumi dengan ekspresi keindahan merupakan bentuk apresiasi dari

pengalaman spiritualnya dan mampu memasuki konsep keindahan

manapun. Tulisan Rumi didomisasi rasa cinta pada Yang Maha Pengasih

dan Maha Karya, dan cinta kepada seluruh makhluk semestinya yang

bersumber dan bermuara pada kecintaan terhadap Allah SWT serta

menjadikannya sebagai sarana menuju Tuhan.

C. Konsepsi Hegel (1770 - 1831) mengenai Keindahan

Dalam halaman-halaman awal aesthetics-nya Hegel telah menegaskan

bahwa filsafai keindahan (estetika) hanya berkaitan denagn keindahan karya

seni yang dihasilkan manusia. Namun itu bukan berarti bahwa keindahan alam

tidak perlu diperhatikan. Hegel tidak menampik bahwa keindahan terdapat

dalam alam, dan alam juga adalah hasil negasi diri roh, sebagaimana karya

seni. Namun Hegel melihat perbedaan mendasar antara keindahan pada alam

dan karya seni.Alam itu, katanya, tidak sadar diri dan tidak bebas, sementara

roh atau yang Absolut itu sadar, aktif dan produktif. Dalam filsafat hukum,

Hegel juga mengatakan alam itu sebagai” roh yang tidur” (shlafender

geist)(Hegel, 1968 : 258). Karena itu keindahan alam adalah: keindahan yang

tidak lengkap dan tidak sempurna (Hegel, 1975 : 3)

Roh yang sadar, aktif dan produktif itu bersemayam dalam diri

manusia. Dengan menggunakaan terminologi yang mendasar filosofisnya

diuraikan Hegel secara panjang lebar dalam ilmu logikannya, roh demikian

disebut universalitas. Universalitas atau yang Absolut, yang serba mencakup,

dan yang telah mengatasi subyektifitas dan obyektivitas itu disebut ide. Ide
174

adalah kesatuan dari unsur-unsur yang beroposisi subyektivitas-obyektivitas,

universalitas,-partikularitas, abstrak-kongkrit, roh-materi, dan seterusnya. Seni

tidak lain dari kesatuan unsur-unsur yang beroposisi itu. Karena itu bisa

dikatakan bahwa seni adalah presentasi sekaligus partikularisasi ide. Isi seni

adalah ide. Presentasi ide dalam bentuk inderawi itu disebut yang ideal. Bila

ide menjadi relitas kongkrit, sesuai dengan konsep ide itu (yakni sebagai

kesatuan harmons antara unsur-unsur yang beroposisi), maka itulah yang

disebut ideal. Yang disebut ideal adalah yang indah dan keindahan, yang ideal

itu indah, atau sebaliknya. Keindahan adalah bila unsur-unsur yang beroposisi

itu berfungsi secara harmonis dalam sebuah karya individual. Keindahan

adalah penampakan murni dari ide secara inderawi (das sinnliche scheinen der

idée) kata Hegel (Hegel, 1975 : 111).

Hegel mengatakan bahwa setiap karya seni selalu merupakan kesatuan

dari dua unsur, yakni universalitas-partikularitas, dan kesatuan keduanya

membentuk individualitas yakni karya seni tertentu. Bisa juga disebut bahwa

setiap karya seni individual adalah kesatuan dari unsure spiritual-material,

subyektif-obyektif, konsep-kenyataan. Unsur universalitas (spiritualitas atau

subyektif) dalam karya seni tidak lain dari ide itu sendiri, sementara unsur

partikularitas (material-obyektif) adalah medium material dari mana karya

seni dibuat. Kedua unsur inilah yang menyatu dalam setiap karya seni

(Sutrisno, 2005 : 21).

Menurut Hegel, fusi paling hamonis antara universalitas dan

partikularitas itu terdapat dalam seni klasik, etrutama seni patung Yunani yang
175

menggambarkan manusia atau Dewa-Dewa dalam proporsi fisik yang ideal

dan sempurna. Dalam patung tersebut, gagasan yang mau disampaikan lewat

patung itu (universalitas), misalnya tentang heorisme-sungguh harmonis

dengan bentuk dan materi patung itu sendiri (partikularitas). Seni klasik adalah

puncak seni sebagai karya seni. Namun, menurut Hegel tidak melihat seni

semata-mata sebagai karya seni, melainkan sebagai manifestasi roh dalam

bentuk inderawi. Oleh karena iu puncak karya seni menurut Hegel bukanlah

seni klasik, melainkan seni romatik. Dalam seni romantik, universalitas tidak

berfusi secara harmonis dan partikularitas, melainkan universalitas dominan.

Ini sesuai dengan hakikat yang Absolut yang bersifat spiritual dan tidak

terbatas (Sutrisno, 2005: 22).

D. Perspektif Leo Tolstoy (1828-1910) mengenai Seni

Leo Tolstoy (1828-1910) adalah sastrawan Rusia terkemuka yang telah

menulis beberapa novel besar, baik dalam bentuk maupun permasalahan umat

manusia. Pengarang ini mengemukakan pandangannya mengenai arti seni

dalam esainya yang terkenal, Apakah Seni? (What is art?)

Seni, menurut kaum terpelajar yang menggemari karya seni tetapi

tidak mendalami lebih jauh makna seni, diartikan sederhana saja, yakni

aktivitas manusia yang menghasilkan sesuatu yang indah. Yang disebut indah

itu adalah sesuatu yang amat sempurna dalam dirinya, yang dapat memberikan

semacam kesenangan khusus kepada penerimanya

(http//www.anakmami.co.tv.htm.).
176

Tolstoy tidak menyetujui pendapat kaum terpelajar awam ini. Seni

tidak dapat dilihat hanya pada segi memberikan kesenangan berupa

keindahan. Setiap orang mempunyai selera sendiri terhadap sesuatu yang

disebut indah dan memberikan kepuasan serta kesenangan pada dirinya. Ibarat

orang menyukai jenis masakan tertentu. Dia boleh menyebutnya enak dan

memuaskan hatinya, tetapi orang lain boleh jadi akan mual dengan hanya

membayangkannya saja. Masakan yang enak tidak menuntun orang pada

pengertian apa hakikat masakan dan makanan bagi manusia. Makanan yang

baik adalah makanan yang berguna bagi pertumbuhan jasmani kita, dan itu

bisa enak dan bias juga 'tidak enak'. Maka, faham keindahan dalam seni harus

disingkirkan untuk dapat memahami hakikat seni.

Seni adalah semacam 'persetubuhan' antara satu manusia dengan

manusia lain. Ada tindak memberi dan tindak menerima. Apa yang diberikan?

Seniman memberikan perasaan atas pengalaman hidupnya kepada manusia

lain lewat benda seni. Seni adalah ungkapan perasaan seniman yang

disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang

dirasakannya. Dengan seni, seniman memberikan, menyalurkan,

memindahkan perasaannya kepada orang lain sehingga orang itu merasakan

apa yang dirasakan sang seniman. Lebih dari itu, orang itu pun dapat

menerima perasaan seniman dengan kondisi yang sama. Dengan sendirinya,

kalau karya seni seorang seniman hanya dapat diterima oleh satu orang

tertentu saja, dan tidak bisa diterima orang-orang lain, maka karya itu bukan
177

karya seni. Makin luas jangkauan penerimanya, makin besar makna karya seni

itu (Sumardjo, 1983 : 62).

Menurut Tolstoy, jenis perasaan yang diekspresikan seniman itu

beragam, yakni dapat berupa perasaan yang kuat atau perasaan yang lemah,

perasaan yang penting dan perasaan yang tak berarti, perasaan baik dan

perasaan buruk, Ini dapat meliputi perasaan kagum, perasaan cinta tanah air,

perasaan gembira, perasaan bangga dan megah, perasaan humor, perasaan

tentram, dan banyak lagijenisnya. Semua jenis perasaan diterima lewat indera

manusia yang memberikannya suatu pengalaman (seni).

Dipandang dari segi sang seniman, yakni bagaimana mengekspresikan

perasaan atas pengalamannya, Tolstoi memberikan tiga syarat utama. Syarat

pertama, nilai ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kepribadian sang

seniman. Tolstoi mempergunakan istilah 'individualitas' seniman. Makin

menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya.

Individualitas ini menekankan bobot sikap jiwanya. Syarat kedua, nilai

ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kejelasan, kejemihan perasaan yang

diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal manusia,

sehingga penerima seni dapat 'menemukan' kembali perasaan yang sebenamya

juga telah dikenalnya, tapi mungkin jarang dirasakannya. Syarat ketiga, nilai

seni bergantung pada besar-kecilnya kejujuran seniman. Syarat ketiga inilah

yang terpenting (Sumardjo, 1983 : 63). Tingkat gradasi dari ketiga syarat

tersebut pada tiap seniman berbeda-beda. Ada yang dominan

individualitasnya, tapi.kurang kuat dalam kejelasan dan kejujurannya. Atau


178

tingkat kejujurannya justru tinggi, tetapi agak lemah dalam kejernihan dan

individualitasnya.

Semua persyaratan tadi menentukan apa yang disebut seni atau bukan

seni, terlepas dari apakah perasaan yang diekspresikan itu baik atau buruk,

'indah' yang menyenangkan atau 'tidak menyenangkan'. Tujuan seni yang

pokok adalah ikut berperan dalam menyempurnakan hidup manusia. Seni

dapat membantu membentuk manusia sempurna, baik secara jasmani,

spiritual, psikologi, sosial. Seperti halnya ilmu pengetahuan dan agama

menuntun manusia ke arah kemajuannya sebagai manusia, begitu jugalah seni

(Sumardjo, 1983 : 64).

Tolstoy menekankan besarnya peranan agama dalam menuntun ke arah

kemajuan menuju manusia sempurna. Setiap zaman memang memiliki makna

hidupnya sendiri sesuai dengan kondisi dan persoalan zaman itu. Tetapi,

tujuan akhir tetap pada kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan ini terdapat

dalam persepsi agama yang ditafsirkan berdasarkan kondisi zamannya.

Religiositas agama inilah yang penting dan bukan sekadar ritual-formal

agama. Karya seni yang berdasarkan persepsi agama semacam itu akan

disambut oleh para penerimanya. Yang bertentangan dengan persepsi

religiositas agama tentu akan ditolak oleh para penerima seni. Persepsi agama

sezaman inilah yang perlu dikenal baik oleh setiap senimannya.

Tolstoy karena akrab dengan gereja Ortodoks Rusia, dasar seninya

adalah perasaan yang dapat menyatukan manusia dengan Tuhan, dan

menyatukan perasaan antara manusia dengan manusia lainnya. Seni yang baik
179

itu selalu universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat

manusia dan mendekatkan manusia pada Tuhan.

Menurut Sumardjo, Tolstoy .nemandang seni lebih dari segi seniman,

yakni ekspresi perasaan seniman. Maka, apa yang disebut seni dipandang dari

'isi jiwa' senimannya, yang terlihat dari persyaratan seni yang baik tadi.

Tentang persyaratan benda seninya sendiri kurang dikupas, meskipun di situ

dikatakan perlunya teknik ungkap yang cerdas. Begitu pula segi penerima

seni, lebih banyak disorot sebagai pelaku pasif dalam penerimaan nilai seni.

Tentang nilai seni sendiri lebih ditonjolkan nilai moralnya yang dihubungkan

dengan religiositas agama. Persoalan yang tak disinggung Leo Tolstoy ini,

dalam abad ke-20 dibahas oleh banyak pemikir seni lainnya. Seni bukan yang

memberikan keindahan sempurna, yang menyenangkan, dan memuaskan

manusia, tetapi seni membuat manusia menjadi sempurna sebagai manusia

(Sumardjo, 1983 : 65).

E. Pandangan Sayyed Hosein Nasr mengenai Seni Islam

Seni Islam menurut Nasr bersumber dan berkaitan dengan aspek spiritual

atau aspek batin wahyu. Nasr mengklasifikasikan seni dalam 3 bagian. Pertama,

seni suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama

agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profan. Kedua, seni

tradisional, seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi

dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Perbedaan

antara seni suci dan seni tradisional ini bias dilihat pada contoh sebuah pedang.
180

Pedang yang dibuat abad pertengahan, baik Islam maupun Kristen, tidak pernah

digunakan secara langsung dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan

prinsip dan ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, sebuah pedang pada waktu itu

masuk kriteria seni tradisional. Inii berbeda dengan pedang Shinto di kuil I Se di

Jepang. Pedang Shinto dikaitkan langsung dengan ajaran agama tersebut dan

merupakan objek ritual yang bermakna tnggi dalam agama Shinto, sehingga

diimasukkan sebagai seni suci. Ketiga, seni religius, seni yang subjek atau

fungsinya bertema keagamaan, namun bentuk dan tata pelaksanaannya tidak

bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religius dan

arsitektur Barat sejak renaissance dan beberapa lukisan religius di dunia timur

selama seabad atau dua abad lalu di bawah pengaruh seni Eropa (Nasr, 1993 : 75).

Menurut Nasr, untuk memahami seni suci, seseorang mesti memahami

dulu pandangan –masyarakat—Islam tentang realitas kosmik maupun

metakosmik. Dalam pandangan filsafat Islam, realitas adalah multi struktur, yakn

mempunyai berbagai tingkat eksistensi. Realitas berasal dari Yang Esa dan terdiri

dari berbagai tingkat yang sesuai dengan kosmologi Islam, dapat diringkas

sebagai alam malaikat, alam psikhis, dan alam material (fisik). Manusia hidup

dalam material, namun sekaligus dikelilingi oleh seluruh tingkat eksistensi yang

lebih tinggi. Yang suci menandai suatu pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam

hal eksistensi psikhis dan material, keabadian dunia temporal. Semua yang dating

dari dunia spiritual adalah suci karena berperan sebagai sarana untuk kembalinya

manusia menuju dunia spiritual. Namun kemungkinan kembali ke dunia yang

lebih tinggi, tidak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, sebab
181

pada dasarnya hanya yang dating dari dunia spiritual itulah yang dapat bertindak

sebagai sarana untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi.Yang suci, menandakan

adanya “keajaiban” nilai spiritual dalam dunia material. Ia merupakan gema dari

surga untuk mengingatkan manusia di bumi akan tempat asalnya, surga (Nasr,

1993 : 76).

Seni suci dengan demikian mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip

tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah atau dimensi spiritual Islam.

Pertama, mengikuti prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada di balik semesta

dengan kesatuan prinsip Ketuhanan (Nasr, 1993 : 72). Kosmolog Islam didasarkan

pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu, yang

mengatur dan menghubungkan eksistensi-eksistensi yang ada di bawahnya;

menghubungkan dunia material dengan dunia ghaib, dunia ghaib dengan alam

malaikat, alam malaikat dengan alam malaikat muqarrabin, alam malaikat

muqarrabin dengan al-ruh dan ruh dengan karya kreatif primordial Tuhan. Semua

bergerak dinamis dalam pola dasar yang selaras dan seimbang (Nasr, 1993 : 57).

Masjid adalah contoh riil bentuk seni arsitektur suci Islam sesuai dengan

prinsip di atas. Kekosongan, kesederhanaan dan kemiskinan bentuk serta pola

menunjukkan status ontologis dunia sebagai yang papa dan miskin di hadapan

Tuhan Yang Maha Kaya. Ikhwal ruang-ruang yang sunyi merefleksikan

kedamaian, sedang lengkungan dan kolom-kolom ruang adalah ritme yang

mengimbangi eksistensi kosmiik yang menjelaskan fase-fase kehidupan manusia

dan juga kosmos yang dating dari-Nya maupun yang kembali kepada-Nya (Nasr,

1993 : 58).
182

Kedua, mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan masyarakat yang

diatur hokum Ilahi (al-syari’ah). Masjid di sebuah kota Islam tradisional, misalnya

bukan hanya sebagai pusat kegiatan religius melainkan juga seluruh kehidupan

masyarakat, bak cultural, social, politik, juga –pada tahap tertentu—kegiatan

ekonomi. Secara organisatoris, masjid senantiasa berhubungan dengan pasar

sebagai pusat ekonomi, istana sebagai pusat kekuasaan politik, sekolah sebagai

pusat kegiatan intelektual, dan seterusnya. Siapa yang memperhatikan kota Islam

tradisional pasti melihat kesatuan dan keterpaduan seperti itu. Di pusat kota past

ada masjid, berdekatan dengan istana dan pasar (Nasr, 1993 : 73).

Fungsi Spiritual Seni Islam

Tidak berbeda dengan seni-seni lain yang mengandung banyak fungsi

(Liang Gie, 1996 : 47-52), seni Islam juga mengandung fungsi-fungsi khusus.

Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi

spiritual. Pertama, mengalirkan barokah sebagai akibat hubungan batin dengan

dimensi spiritual Islam. Tidak bisa dipungkiri, seorang muslm yang paling

modern sekalipun, akan mengalami rasa kedamaian dan kegembiraan dalam lubuk

hatinya, semacam ketenangan psikologis, ketika memandang kaligrafi, duduk di

karpet tradisional, mendengarkan dengan khusyuk bacaan tilawah Alqur’an atau

beribadah di salah satu karya arsitektur masjid Islam (Nasr, 1993 : 214).

Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan di manapun manusia berada. Bagi

seseorang yang senantiasa ingat kepada Tuhan, seni Islam selalu menjadi

pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk

merenungkan realitas Tuhan (al-Haqaiq). Bahkan, seni Islam yang pada dasarnya
183

dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk ke ruang batin

wahyu Ilahi, menjadi tangga bagi pendakian jiwa untuk menuju pada Yang Tak

Terhingga, dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai Yang Maha Benar (al-

Haqq) lagi Maha Mulia (al-Jalal) dan Maha Indah (al-Jamal), sumber segala seni

dan keindahan (Nasr, 1993 : 17-18).

Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam. Kaligrafi

misalnya, merupakan seni perangkaian titk-titik dan garis-garis pada pelbagai

bentuk dan irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindak primordial

dari pena Tuhan. Ia merupakan refleksi duniawi atas firman Tuhan yang ada di

Lauful Mahfuzh, yang menyuarakan sekaligus menggambarkan tanggapan jiwa

manusia terhadap pesan Ilahi dan merupakan visualisasi atas realitas-realitas

spiritual yang terkandung dala wahyu Islam (Nasr, 1993 : 27-29). Begitu pula

dengan seni liturgy, tilawah Alqur’an, mengiingatkan manusia akan keagungan

Tuhan. Hal senada juga terjadi dalam syair-syair, musik dan karya-karya sastra

lainnya yang notabene lahir dari model teks suci Alqur’an. Keselarasan bait-bait

syair dan irama musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme

universal kosmik (Nasr, 1993 : 102-170).

Ketiga, menjadi krteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan social,

cultural dan bahkan politik benar-benar otentik Islami atau hanya menggunakan

siimbol Islam sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah

dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi otentiknya, mulai dari arsitektur

sampa senii busana, seni slam senantiasa menekankan keindahan dan

ketakterpisahan dari-Nya (Nasr, 1993 : 218). Apakah mereka yang mengklaim


184

berbicara atas nama Islam juga telah menciptakan bentuk-bentuk keindahan dan

kedamaian? Apakah ada kualitas ketenangan, keselarasan, kedamaian dan

keseimbangan yang menjadi cirri khas Islam maupun manifestasi artistic dan

kulturalnya, dalam sikap dan perilaku gerakan-gerakan dan organisasi Islam?

Keempat, sebagai criteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual

dan religius masyarakat muslim. Saat ini banyak tokoh berbicara tentang

islamisasi pengetahuan, penddikan, system ekonomi, maupun system masyarakat

Islam sendiri disamping banyak yang melakukan berbagai usaha kongkret untuk

mencapai tujuan tersebut. Semua itu bukan usaha yang mudah dan pasti

menghadapi kendala dan tantangan yang berat. Apakah mereka yang melakukan

usaha-usaha tersebut menyadari bentuk keislaman di luar ketentuan syari’ah yang

bersifat eksoterik? Seni Islam dalam pengertian universalnya dapat dijadikan

kriteria untuk menilai sifat proses pencapaian beserta hasil-hasilnya, karena tidak

ada yang otentik Islam tanpa memiliki kualitas yang lahir dari spiritual dan

menjelmakan dirinya di sepanjang sejarah seni tradisional Islam, mulai dari

tembikar hingga sastra dan musik (Nasr, 1993 : ibid). Artinya, tingkat

keberhasilan yang dicapai yang bias diukur lewat data-data empiris berkaitan dan

sekaligus menunjukkan tingkat kualitas spiritual yang menyertainya.

Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada istilah L’art pour l’art. Karya-

karya seni, bagi Nasr harus digali dan mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual,

merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan

menuntun manusia kembali kepada Tuhan. Inilah cirri khas pemikiran Nasr yang

perennial. Gagasan ini hampir sama dengan teori seni dan keindahan Iqbal.
185

Bedanya, seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual sedang Iqbal adalah

ekspresi kreatifitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara pandang

Nasr ini adalah sesuatu yang sangat positif, bisa digunakan sebagai jalan alternatif

atas dampak negatif modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari

spiritual, sehingga menimbulkan kekeriingan jiwa dan menimbulkan kerusakkan

(Nasr, 1983 : 32-34; lihat juga Nasr, 1994 : 221-232).


186

BAB IV

KONSEP SENI PROFETIK DAN

IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pergulatan Nilai dan Fungsi Seni

Melalui seorang filosof Jerman, Alexander Baumgarten, istilah

"estetika" muncul pertama kali pada pertengahan abad ke-18. Sang filosof

menyatakan estetika sebagai ranah pengetahuan sensoris, pengetahuan rasa

yang berbeda dari pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada

penggunaan istilah tersebut dalam kaitan dengan persepsi atas rasa keindahan,

khususnya keindahan karya seni. Estetika berasal dari kata aistheton atau

aisthetikos, Yunani Kuno, yang berarti persepsi atau kemampuan mencerap

sesuatu secara indrawi. Emmanuel Kant melanjutkan penggunaan istilah

tersebut dengan menerapkannya untuk menilai keindahan baik yang terdapat

dalam karya seni maupun dalam alam (Sumardjo, 1982 : 25).

Estetika dari kasanah itu, banyak diyakini sebagai filsafat tentang

nilai-nilai keindahan, sebagaimana diyakini para pendahulu di lapangan

pemikiran seni sejak Yunani Kuno (500-300 SM) seperti Sokrates, Plato,

Aristoteles, Plotinus, hingga pemikir di zaman kemudian seperti St.

Agustinus. Pada abad 19, para penyair Romatik dan Victorian, atau pun kaum

Transendentalis, mengusung keindahan sebagai nilai tertinggi yang diyakini

setaraf dengan nilai-nilai keilahian. Bahkan, Michelangelo di zaman

174
187

Renessans pernah mengatakan: "Karya seni sejati tidak lain dari bayang-

bayang kesempurnaan Ilahi".

Seiring perjalanan waktu, konsep estetika kemudian berkembang lebih

luas. Estetika bukan melulu kualifikasi atas penilaian-penilaian atau evaluasi-

evaluasi belaka, melainkan pula menyangkut penelusuran sifat-sifat dan

manfaat/kegunaan, ragam penyikapan, pengalaman-pengalaman, dan

penikmatan atas nilai-nilai keindahan tersebut. Bahkan kemudian

penerapannya tidak lagi dibatasi oleh bingkai konsepsi keindahan semata-

mata. Domain estetika menjadi jauh lebih luas ketimbang sekadar penikmatan

karya-karya seni secara estetik sekalipun.

Menurut Fathul A. Husein, 2000, dalam artikelnya berjudul: Estetika,

Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur, pada permulaan abad ke-20,

estetikus Italia, Benedetto Croce diyakini banyak kalangan sebagai pemula

yang memudarkan nilai-nilai keindahan sebagai topik sentral dalam teori

estetika sejak zaman Yunani hingga Idealisme Eropa abad ke-19. Croce

menggeser konsepsi keindahan dengan konsep ekspresi dan

mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan pengalaman

estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf dengan

ekspresi dan juga setaraf dengan intuisi, dan bahwa keindahan tak lebih dari

ekspresi yang berhasil, karena ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. Atau

menurut Melvin Rader, keindahan tiada lain dari essensi yang berhasil

diungkapkan. "Ekspresi dan keindahan bukanlah dua konsep berbeda,

melainkan sebuah konsep tunggal", cetus Croce. Pemikiran Croce setidaknya


188

telah sangat dominan mempengaruhi pemikiran-pemikiran estetika sepanjang

tiga dekade. Baru kemudian orang menangkap semacam adanya paradoks:

jika seni identik dengan ekspresi, dan keindahan juga identik dengan ekspresi,

maka bukankah keindahan itu merupakan esensi dari seni? Namun Croce

tetap kukuh pada pendirian bahwa ekspresi dan intuisi merupakan konsepsi

dasar dari mana estetika bisa dipahami.

Pemikiran estetika yang kontras terhadap konsepsi keindahan selain

Croce setidaknya muncul dari dua pemikir seni amat penting di abad ke-20,

yaitu Clive Bell dan Roger Fry. Pada dekade kedua abad tersebut,

keduanyalah yang menggeser konsepsi keindahan dengan manifestasi bentuk

signifikan (significant form), yang terkesan Platonik dan terpengaruh kuat

oleh filsafat moral G.E. Moore.

Fathul lebih jauh dalam artikelnya tersebut menyatakan bahwa abad

ke-20 ditengarai sebagai abad pertama yang menyangkal eksistensi keindahan

secara kategoris, dan juga kuatnya penolakan keras seniman-seniman kreatif

atas konsepsi keindahan; bukan saja dari kaum Dadais, black theatre, theatre

of cruelty, bahkan kemudian kaum Pop Art dan gerakan-gerakan sejenis yang

lebih kecil, melainkan juga dari kalangan seniman yang jauh lebih serius

seperti pelukis-pelukis ekspresionis dan penulis-penulis drama ideologis yang

merasa pencapaian keindahan bukan tujuan yang utama dari seni. Mereka

lebih memilih menceburkan diri ke dalam intensifikasi pengalaman dan

radikalisasi perasaan ketimbang terbuai oleh keindahan.


189

Pelopor awal manifesto pergerakan filsafat linguistik modern pada

awal tahun 20-an, seperti C.K. Ogden dan I.A. Richards, bahkan

menggunakan istilah keindahan dalam forum-forum diskusi demi

menunjukkan kualitas emotif dari pergolakan batin. Dan di tahun 40-an, para

penerusnya secara olok-olok mempermainkan kata beauty (keindahan)

dengan booty (barang rampasan), sekadar untuk menunjukkan bahwa

pernyataan apapun yang terkait dengan keindahan atau apapun yang dianggap

indah sebagai nir-makna (meaningless). Sebuah pertentangan sengit yang

sebetulnya mula pertama mencuat kuat dari kaum Realis dan Naturalis

Prancis abad ke-19 seperti Flaubert dan Zola, tentu dalam cara yang berbeda,

yang karya-karyanya dipersiapkan justru untuk membuang aspek-aspek

keindahan agar visi-visi kebenaran mereka tertemukan (Fathul, 2000).

Bagi Fathul, pembahasan tentang konsepsi keindahan dalam karya

seni kini semakin terasa problematis. Seni tampaknya telah semakin tidak

memerlukan lagi menara gading yang malah berpretensi menyembunyikan

mutiara hakikat di belantara realitas. Seni cenderung mau membetot

kebenaran eksistensial dan eksperiensial dengan melepas topeng-topeng

kepalsuan berwajah keindahan. Bahwa "keindahan" masih banyak dipakai, itu

bukan melulu tujuan utama melainkan hanya sebuah cara.

Seni-seni mutakhir kata Fathul, tampaknya akan semakin

mengganggu, mengusik, menyakiti, memprovokasi bahkan memancing

gundah hati. Karena realitas sesungguhnya memang lebih banyak

menawarkan warna-warna kelam kehidupan setelah puncak penghambaan


190

manusia atas rasionalitas modern yang hanya menghasilkan mesin-mesin

perang yang memicu perseteruan tidak berujung-pangkal di tengah

bergelimpangannya bangkai-bangkai dehumanistik manusia. Perang Dunia I

dan II menjadi salah-satu bukti terbesar yang memompa frustrasi dan depresi

di tengah dekadensi.

Tonggak-tonggak peradaban dan sandaran nilai-nilai telah menjadi

seperti sebongkah kepala babi busuk yang dipamerkan seorang seniman

instalasi. Atau seperti semburat orgasme seorang aktor di atas panggung

Dadais pada tahun 20-an di Eropa. Atau seperti bongkahan tubuh-tubuh

binatang yang disembelih di atas pentas teater kaum Naturalis. Atau seperti

lukisan surealis Salvador Dali, Wajah Peperangan, berupa gambar-gambar

tengkorak penuh tengkorak. Atau seperti jerit hampa dan geliat tubuh mistik

dari sejarah kekelaman estetika Butoh (dance of darkness) para seniman

kontemporer Jepang yang meresistensi stagnasi tradisi dengan seabrek citra

keindahan estetik yang membokong realitas. Seni menjadi refleksi yang

mengumandangkan suara parau dari lapis-lapis kekelaman nihilistik di tengah

kekosongan ontologis (ontological void) setelah sandaran-sandaran horizontal

bahkan vertikal manusia “diruntuhkan”. Konsep-konsep estetik diberangus

oleh kepalan-kepalan anti-estetik seperti Monalisa yang dikasih kumis dalam

karya Dadais berjudul Shaved (bercukur) Marcel Duchamp. Manusia menjadi

kembara absurditas yang tak menemukan jawab apapun setelah terbetot

lubang kelam irrasionalitas (Kardiyanto, 2006 : 362).


191

Situasi-situasi nirmakna atas ketiadaan tatanan nilai apapun kemudian

seolah-olah memaksa estetika/filsafat seni mutakhir untuk ditelaah dalam

sudut pandang suram, "seperti anak terbelakang yang lahir dari sepasang

orang tua glamor, yakni pokok persoalan dan disiplin estetikanya itu sendiri",

seperti dikemukakan filosof seni kontemporer Arthur C. Danto. Filsafat abad

ke-20 bahkan telah menjadi bidang keahlian yang terlalu teknis untuk mampu

menggerus dan menemukan kembali struktur-struktur paling fundamental dari

pengembaraan pemikiran, bahasa, logika, dan ilmu-pengetahuan. Bahkan

"pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang seni sangat tidak jelas dan tidak

kena sasaran, sementara jawaban-jawabannya sangat kabur", cetus Danto.

Filosof seni kontemporer yang lain, John Passmore, menyebut situasi

kemerosotan peran estetika secara akurat dengan mengedepankan istilah The

Dreariness of Aesthetics (Kekeringan Estetika) (Kardiyanto, 2006 : 362).

Di sudut lain, kaum Estetika Relasional (relational aesthetics/arts),

seperti Michel Serres, terus menggusur esensialisme seni kepada salah-satu

trend terpenting pemikiran kontemporer yang menegaskan bahwa keterikatan

satu dengan lain hal adalah jauh lebih penting ketimbang hakikat makna dari

sebuah obyek (karya seni) yang tinggal sendirian. "Kita tidak lagi

memerlukan ontologi melainkan desmologi (desmos = link)," kata Serres. Ia

ingin menekankan bahwa upaya pengkajian makna adalah hampa dan sia-sia,

dan harus digantikan oleh pengkajian atas proses itu sendiri. Nilai seni tidak

lagi ditentukan oleh makna-makna yang terkandung di dalamnya, melainkan

oleh apa yang bisa dilakukannya, perbedaan-perbedaan apa yang bisa


192

dirangkulnya, cetus Gilles Deleuze, karena obyek seni tidak lagi ditentukan

secara material maupun konseptual melainkan secara relasional, cetus

Nicholas Bourriaud.

Pemikiran-pemikiran estetik yang tumpang tindih itu, maka memang

tidak berlebihan jika pelukis Barnett Newman mencetuskan kata-kata parodi,

seperti dikutip di atas, bahwa estetika (baca: filsafat seni) bagi para seniman

laksana ilmu burung bagi burung-burung. Burung-burung akan selalu terbang

dalam cara dan gayanya sendiri tanpa pernah perlu tahu bagaimana sih ilmu

terbang untuk burung-burung? Begitu pun para seniman, mereka akan terus

berkarya untuk menggali makna-makna terdalam dari realitas kehidupan

dalam cara dan gayanya sendiri-sendiri. Tidak lain untuk menyuarakan

gejolak-gejolak esoteris atas apa yang diyakininya sebagai kebenaran sejati,

walaupun kerap terasa aneh dan konyol, tanpa harus terlalu terpengaruh oleh

tumpang-tindih pemikiran-pemikiran 'orang pintar' yang menyeret seni terlalu

ke wilayah diskursivitas-intelektual ketimbang intensifikasi perasaan, insight

philosophy ketimbang insight aesthetic, begitu menurut Sussanne K. Langer

(Kardiyanto, 2006 : 363)..

Kegalauan arah tujuan kesenian di abad ke-20 yang tergambar begitu

memilukan tersebut tentu memerlukan keryit dahi untuk mencoba kita

mengembalikan kesenian dengan filsafat estetikanya kepada tujuan dasarnya

(return to basic). Going to nature, dan kembali menengok ke belakang adalah

kata bijak yang sangat bertuah. Kesenian dan estetikanya wajib kembali back

to basic mengarah ke tujuan utamanya yang tertinggi, yaitu menggapai


193

kebenaran, kebaikan, keadilan dan keindahan Ilahi. Untuk menguatkan dan

membantu mengembalikan kesenian pada Khitohnya tersebut, konsep

kesenian profetik yang penulis tawarkan tentu akan lebih memperkaya nilai-

nilai keindahan, kebenaran dan wacana konsep kesenian yang bersifat positif,

dengan harapan kesenian dapat mengembalikan eksistensinya mencapai tujuan

estetikanya yang selama ini terseok-seok tanpa makna di jalan yang terjal.

B. Persoalan Seni dan Kesenian Islam

Media pencapaian kesadaran manusia dalam konsep keagamaan

sangatlah beragam. Media tersebut bisa dicapai lewat pengembangan ilmu

pengetahuan, teknologi, sistem ekonomi, sistem politik, kesenian, dan

kebudayaan. Dari beragamnya media yang ada, media kesenian dapatlah

diletakkan sebagai media yang erat sekali kaitannya dengan persoalan

kesadaran. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa kesenian selalu

berhubungan dengan emosi, perasaan, jiwa, dan batin seseorang karena seni

juga merupakan ekspresi jiwa, ekspresi estetis ekspresi kompleksitas

kehidupan manusia. Karena itu, kesenian pastilah membawa pesan, baik

secara implisit maupun eksplisit. Pesan inilah yang secara emosional

diharapkan mampu menyentuh kesadaran seseorang.

Kesenian, keindahan, estetika, mewujud nilai rasa dalam arti luas dan

wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kedwisatuan manusia yang terdiri

dari atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara

memadai dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap

kenyataan yang tidak ditemukan oleh akal. Percobaan untuk memahami


194

persoalan hidup manusia dalam segala dimensinya tidak membawa hasil yang

memuaskan, selama itu terbatas pada pembentangan konsep-konsep.

Ungkapan artistik yang keluar dari intuisi bukan (konseptual) lebih mampu.

Itulah tidak berarti bahwa karya kesenian bersifat irrasional, melainkan

bahwa di dalamnya direalisasikan nilai yang tidak mungkin diliputi oleh

fungsi akal.

Kesenian selalu melukiskan sebuah unsur atau aspek alam kodrat

ditambah tanggapan atau pengolahan manusia. Tamasya alam akan menjadi

indah oleh tanggapan rasa estetika. Bahan alam dihias bergaya indah oleh

penciptaan indah budi dan rasa sampai memuaskan daya tangkap manusia.

Yang indah diidentifikasi sebagai apa yang ketika “dilihat, didengar, dinilai”

sebagai baik. Keindahan membawa serta rasa hidup dan kesadaran diri

sebagai bagian dalam keseluruhan. Sifat sosial dari kesenian meratakan

pengalaman dan perasaan dari seorang seniman kepada orang lain yang

berkat kesenian memanusiakan diri lebih sempurna. Sejak dahulu para ahli

pikir bergumul untuk memahami khasiat keindahan. Plato melihat dalam

kesenian indah tidak lebih dari tiruan alam secara subyektif dan individual.

Hasilnya begitu dicurigainya sampai-sampai dalam Negara idealnya para

seniman diasingkan. Aristoteles melihat dalam kesenian indah suatu daya

manusia yang spesifik. Fungsinya yaitu untuk mengedealisasikan dan

menguniversalkan kebenaran, sehingga kebenaran itu menghibur, meriangkan

hati dan mencamkan citi-cita mulia lebih dalam dari pada keyakinan rasional

belaka. Keindahan menegaskan nilai-nilai menurut cara khusus.


195

Banyak kecenderungan insani dapat menerima nilai indah.

Sedemikian itu dibedakan antara seni rupa (plastic arts) sebagai seni lukis,

seni pahat, seni bangun dan seni grafis (seni gambar cetak, kaligrafi), seni

suara dan seni tari, seni sastra dan dramatik. Kriteria filsafat untuk apresiasi

seni secara umum dirumuskan sebagai kesesuaian setepat mungkin antara

unsur ideo-plastik dan fisio-plastik, artinya obyek kesenian semakin indah

sanggup mengekspresikan secara serupa (fisioplastik) visi atau pandangan

orisinal mengenai suatu nilai atau ideoplastik (Bakker, 2001 :47).

Dalam Islam, hubungan kesenian dengan moralitas dan spiritualitas

ternyata telah berlangsung sejak berabad-abad. Kesenian Islam tidak hanya

sekedar berkaitan dengan bahan material atau bentuk yang ditampilkan,

melainkan juga didasari kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-

bahan material alat bentuknya (Hussein Nasr, 1993: 14). Hanya saja

permasalahan yang muncul antara umat Islam dengan produk kesenian adalah

beragamnya interpretasi sehingga tidak jarang produk kesenian malah divonis

dengan mendasarkan putusannya dengan hukum agama (Ali Audah, 1993:

19). Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa fungsi dan kedudukan

kesenian dalam Islam belum digali sebagai salah satu potensi untuk

mengembangkan arus kesadaran umat. Bagaimanakah sebenarnya kedudukan

kesenian dalam Islam dan sejauh mana peluang kesenian tersebut dalam

mengantisipasi transformasi budaya modern.

Para pemikir Islam setuju bahwa karya seni pada dasarnya adalah

produk kebudayaan. Karena itu, hadirnya sebuah karya seni dapatlah disebut
196

sebagai potret budaya masyarakat di mana dan kapan seni tersebut diciptakan.

Potret budaya yang terefleksi dalam karya seni bisa menyangkut berbagai

macam matra kehidupan seperti pandangan hidup, moral, perilaku, tradisi

sosial, dan kepercayaan.

Secara teoritik penciptaan karya seni selalu terkait dengan tiga aspek

utama yaitu (i) theory of play, (ii) theory of utility dan (iii) theory, magic and

religi. Dilihat dari kerangka ini, penciptaan seni selalu didasari tujuan yang

mencakup estetik, kepentingan praktis, dan kegunaan yang bersifat

substansial. Dilihat dari keberagaman bentuk, refleksi tujuan penciptaan

karya seni akhirnya juga sangat beragam. Ada karya seni yang lebih

mementingkan estetika bentuk seperti seni patung, arsitektur, dan seni lukis.

Namun ada juga karya seni yang menonjolkan semua aspek seperti seni

sastra, seni tari, musik, opera, film, dan drama. Berdasarkan konteks itulah,

seni dapat dikaji dari dua aspek yaitu identitas dan fungsi (Dananjaya,1983:

80).

Persoalan identitas karya seni Barangkali sudah banyak dibicarakan.

Di Indonesia, beberapa bentuk seni rakyat seperti lenong, ludruk, wayang,

randai, ketoprak, seudati, secara langsung dapat dikaitkan dengan identitas

dan tradisi daerah. Namun secara fungsional, peran kesenian jarang

diungkapkan. Padahal secara fungsional seni mempunyai kekuatan yang

cukup besar dalam membentuk kesadaran masyarakatnya. Seni bisa dipakai

sebagai media pendidikan, media kritik atau sosial kontrol, propaganda,

bahkan sebagai media keagamaan. Barangkali kekuatan media seni dibanding


197

media yang lain adalah kemampuannya untuk memberikan pesan tanpa harus

ada pihak yang merasa digurui. Dengan menyandarkan pada aspek estetika,

secara emosional penikmat seni bisa memperoleh kepuasan batin dan secara

substansial mampu menggugah arus kesadaran, meskipun kemampuan

penerimaan tersebut didasarkan pada tingkat kemampuan apresiasinya.

Karena besarnya fungsi inilah kemudian muncul karya seni yang dipakai

sebagai media keagamaan.

Seni sebagai media keagamaan secara historis sebenarnya sudah

dikenal sejak lama. Pada masa Yunani Kuno, masyarakat sudah meletakkan

seni sebagai bagian dari ritualitas keagamaan. Bentuk pemujaan kepada para

dewa misalnya dilakukan dengan model tarian dan nyanyian. Bentuk-bentuk

seni seperti itu ternyata terus berlangsung dan berkembang pada agama-

agama lain seperti Budha, Hindu, dan Kristen.

Pada agama Hindu dan Kristen, dapat disebutkan bahwa antara seni

dengan prosesi ritual merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Setiap

prosesi keagamaan selalu diiringi musik, nyanyi, dan tari. Bahkan lukisan

naturalistik mengenai Kristus dalam agama Kristen dikategorikan sebagai

seni keagamaan (Ali Audah, 1993: 21). Dari kenyataan tersebut menjelaskan

bahwa keberadaan seni sebagai media dalam membentuk arus kesadaran

keagamaan cukup Besar.

Pada era modernisasi, kesenian dengan dimensi tersebut merupakan

seni yang bersifat statis. Berubahnya pandangan masyarakat yang lebih meni-

tikberatkan pada kepentingan individualistis, hedonistik, dan material


198

menyebabkan mereka meletakkan seni lebih banyak pada persoalan hiburan

dan kepentingan komersial atau seni hanya dilihat dari theory of play.

Fenomena tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk kesenian yang semula

bersifat sakral, kemudian diubah menjadi seni profan. Bagi masyarakat

modern seni hanyalah sebuah pertunjukan, hiburan, rekreasi, atau

entertainment.

Pada seni modern seperti film, situasi tersebut terlihat semakin nyata.

Film-film Indonesia yang hadir pada periode 90-an umumnya hanyalah film

yang banyak menonjolkan tubuh wanita atau eksploitasi seks. Film-film jenis

tersebut dibuat karena memang itulah film yang laku di pasaran dan

menguntungkan, sedangkan film-film yang dibuat secara serius yang penuh

dengan ajaran moral secara finansial sering mendatangkan kerugian. Sebut

misalnya, film Cut Nyak Dien, Wali Sanga, Atheis. Karena itu, persoalan

keberhasilan sebuah produk seni pada dasarnya tidak hanya dapat dilihat dari

bentuk seni itu sendiri, melainkan ditentukan pula oleh tingkat apresiasi

masyarakatnya.

Dalam tradisi Islam, persoalan seni sebenarnya bukan merupakan

sesuatu yang asing atau tabu untuk dikembangkan. Meskipun secara dogmatis

Islam tidak pernah menjadikan produk seni sebagai alat ritual, secara implisit

persoalan seni dalam Islam telah terefleksi dalam bahasa dan isi Qur'an.

Qur'an memang Bukan produk seni, namun menurut para pengamat seni,

Qur'an justru merupakan Bentuk seni yang luar biasa. Hal tersebut misalnya

dapat dilihat dari komentar Ismail al-Faruqi, that the Qur'an is the first work
199

of Islamic art and the protype of all subsequent art produce in every medium

and everycatagory of production (Sulaiman Esa,1993: 49).

Penegasan bahwa Qur'an dipandang sebagai sebuah seni, kiranya tidak

berlebihan. Unsur kata dan struktur kalimat Qur'an banyak yang bersifat multi

interpretasi. Artinya, kata dan kalimat Qur'an memuat makna yang perlu

direinterprestasi atau reijtihad. Persoalan ini pula yang melahirkan konsep

reduksi Qur'an yang diumpamakan sebagai makro dan mikrokosmos. Semua

huruf dalam Qur'an sebanyak 28 oleh Ibn Al-Arabi dinyatakan masing-

masing sesuai dengan salah satu Asma Allah. Asma itu pun disamakan pula

dengan peringkat ontologis atau kosmologis tertentu (lih. Brakinsky, 1993:

8). Contoh reduksi yang Berkaitan dengan interpretasi ditegaskan F. Schoun

sebagai Berikut.

Fatihah dikatakan menampung hakikat segenap Alqur’an, maka


seluruh fatihah itupun dirangkum seluruh basmalah, sedangkan
basmalah terkandung di dalam hurufnya yang pertama “ba”, dan
huruf “ba” itu pun di dalam noktah di bawahnya, adapun noktah itu
sesuai dengan titik pertama dari midad (tinta) Ilahi yang jatuh dari
Kalam Terala. Inilah ar-Ruh atau prototype jagat raya. (Schoun,
1981: 61).

Adanya interpretasi dan reduksi tersebut memang menegaskan bahwa

Qur'an terlahir sudah dalam bentuk karya seni. Kata dan struktur kalimat-

kalimat Qur'an tidak saja mengandung makna eksplisit, tetapi juga implisit.

Dengan kata lain, makna Qur'an adalah makna yang hidup. Persoalannya,

apakah bentuk Qur'an dapat diletakkan sebagai bentuk kesenian Islam?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut ternyata masih diperdebatkan.

Sebagian kritikus seni menegaskan bahwa persoalan kesenian adalah


200

persoalan kebudayaan. Dengan demikian, ia berada di luar agama. Pandangan

tersebut misalnya ditegaskan Hussein Nasr dalam bukunya Islamic Art and

Spirituality (1993) bahwa tidak seorang pun dapat menemukan cikal bakal

seni Islam di dalam ilmu pengetahuan yuridis dan teologi, baik keduanya

berhubungan erat dengan hukum IIahi maupun masalah penegasan dan

pembelaan prinsip-prinsip keimanan Islam. Beberapa penulis yang ahli

tentang ilmu hukum (fiqh) seperti Baha Al-Din Al-Amili yang dikenal

sebagai orang yang cinta akan keindahan dan seni, dalam risalahnya tentang

teologi (kalam) atau ilmu hukum (fiqh) menjelaskan bahwa masalah seni dan

estetika Islam tidaklah dikenal. Karena itu, jika Qur'an dianggap bernilai seni,

hal tersebut tidak bisa disebut sebagai bentuk kesenian Islam. Qur'an ada

berasal dari tidak ada dan ia adalah ciptaan Tuhan (QS: 2:117,6:101-102).

Dalam surat tersebut Allah menegaskan bahwa Ia (Allah) menciptakan

segalanya dari tidak ada menjadi ada, dan manusia menciptakan dari ciptaan

Allah, dari yang sudah ada (lihat pula uraian Ali Audah,1993:14). Jika Qur'an

penuh dengan muatan estetik, hal tersebut hanyalah isyarat bahwa Qur'an

dapat dipakai sebagai inspirasi produk sebuah kebudayaan atau tradisi Islam,

termasuk di dalamnya produk kesenian.

Produk seni juga mempunyai dua dimensi makna yaitu dimensi lahir

(surface structure) dan dimensi batin (deep structure). Dimensi lahir adalah

dimensi struktur atau bentuk seni yang secara langsung memancarkan nilai

estetiknya, sedangkan dimensi batin adalah dimensi yang secara implisit


201

berada di balik dimensi lahir. Dimensi batin inilah yang merupakan nilai

substansial dari produk kesenian.

Secara teologis, tidak ada penegasan terhadap kesenian Islam, para

ahli sepakat bahwa sebuah karya seni dapat dikategorikan sebagai seni Islam

apabila karya seni tersebut bersumber pada realitas batin (haqa'iq) Qur'an

yang juga merupakan realitas dasar kosmos dan realitas substansi Nabawi.

Secara ekstrim Hussein Nasr (1993: 17) mendefinisikan bahwa karya seni

dapat dikategorikan sebagai seni Islam bukan hanya karena diciptakan oleh

seorang muslim, tetapi juga karena dilandasi wahyu Ilahi. Seni Islam

melarutkan realitas-realitas batin wahyu Islam dalam dunia bentuk, dan

karena ia keluar dari batin Islam, menuntun manusia masuk ke ruang batin

Ilahi. Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam dilihat dari sudut

pandang asal kejadiannya dan sebagai sebuah bantuan, yang melengkapi dan

membantu kehidupan spiritual dari titik realisasi yang menguntungkan atau

kembali ke sumber. Contoh seni Islam menurut Hussein Nasr adalah karya

Jalal Al-Din Rumi (sebagaimana yang sudah dibahas di depan) yang

disebutnya sebagai penyair dan sufi agung Persia. Tradisi sufi dalam karya-

karya Rumi dianggap sebagai jalan mencapai kesadaran menuju sumber

keesaan, yaitu Tuhan. Bentuk- bentuk bahasa yang bersifat simbolistis tidak

hanya indah dalam realitas sastra, secara batin juga memberikan satu

kekuatan spiritual. Hal tersebut bisa dilihat dari contoh puisinya berikut.

Anggur dalam peragian ibarat


Pengemis yang meminta ragi kita,
Langit dalam revolusi ibarat
Pengemis yang mengusik kesadaran kita,
202

Anggur mabuk karena kita,


Bukan kita yang mabuk karenanya;
Tubuh menjadi ada karena kita, bukan sebaliknya
(dikutip dari matsnawi I, 1.811)

Secara simbolis, karya di atas menegaskan bahwa eksistensi manusia

di hadapan Allah ditentukan atas kesadaran dan usaha manusia sendiri.

Sumber inspirasi spiritual dari puisi di atas diyakini dari firman Allah yang

menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang

tersebut tidak mau merubah nasibnya sendiri. Barangkali karena adanya

pandangan bahwa sumber seni Islam adalah Qur'an, maka berkembang

pengertian bahwa seni Islam adalah seni yang mengadopsi ayat-ayat Qur'an

sebagai medianya. Hal inilah yang oleh para tokoh tradisional seni Islam

disebutnya sebagai nilai spiritual, hikmah, dan kearifan (T. Burckhardt, dalam

Hussein Nasr, 1993:18). Semuanya merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan. Dengan kata lain, bentuk seni Islam, seperti yang diulas Hussein

Nasr (1993:18) bukan hasil dari semacam rasionalisasi, empirisisme, atau

penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dunia teresterial, melainkan

penglihatan yang mendasarkan spiritualitas atau scientia sacra yang hanya

dapat dicapai berdasarkan cara-cara yang disediakan oleh tradisi. Dominasi

seni Islam dengan terminologi tersebut kemudian melahirkan bentuk-bentuk

seni kaligrafi, lukis, sastra, dan musik.

Di Indonesia, bentuk seni Islam dengan terminologi itu berkembang

dalam model-model seni berjanji (pujian kepada Rasulullah), salawatan,

dziba', tarebangan, samroh, tanjidor, orkes gambus, irama padang pasir, dan
203

sebagainya. Namun dilihat dari perspektif seni kontemporer, adanya batasan

pengertian tersebut menyebabkan seni Islam terkotak dalam tradisinya

sendiri. Persoalan terminologi ini barangkali yang menyebabkan seni Islam

tidak berkembang dalam segala bentuk kesenian.

Melihat kenyataan tersebut kiranya perlu dipertanyakan apakah seni

Islam secara eksplisit harus mengekspresikan Qur'an. Sumber ajaran Islam

memang Qur'an, tetapi bukan berarti bahwa kalimat-kalimat Qur'an harus

dihadirkan secara eksplisit. Sebagai sebuah sistem, nilai-nilai Islam pada

dasarnya dapat dikemas dalam berbagai bentuk tanpa harus mengekspresikan

sumber nilai-nilai tersebut secara langsung. Puisi Rumi di atas barangkali

dapat dijadikan contoh bahwa nilai spiritualitas, yang dihadirkan justru ada di

balik simbolisme makna dan sumber makna tersebut adalah Qur'an. Yang

terpenting adalah bagaimana mengemas nilai-nilai Islam dalam terminologi

profetik tersebut mampu diletakkan sebagai ruh dalam setiap produk kesenian

seperti seni musik, teater, film, tari. Inilah hakekat seni profetik Islam.

C. Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan Maklumat Sastra Profetik Kuntowidjojo

Bagi August Comte, sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah

puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu

ini berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Sebenarnya Comte

tidak sedang mengarahkan sosiologi untuk menjadi positivistik, ia hanya

menyuarakan kecenderungan zaman. Di masanya, positivisme menjadi ukuran

sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Ilmu alam menjadi model bagi orientasi
204

ilmu tentang masyarakat yang sebelum Comte disebut sebagai “fisika sosial”,

atau ilmu pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak

lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu

peristiwa alam (Laeyendecker, 1983 : 137.)

Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis.

Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung

diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat

dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam.

Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan

pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai Giddens

(Ed.), 1975 : 3-4.)

Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena

sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu

alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah termasuk dalam

pengkajian Seni. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana

klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana

teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial dan seni

ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap

nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi

intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial,

baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.

Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial dan seni hanya

berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan


205

pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya.

Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu,

ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak

memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan

ke masa depan (Hardiman, 1990 : 58). Karena itu teori yang mengklaim

dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.

Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari

para penganut teori kritis. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan

aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis,

terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran

yang terkandung di dalamnya tidak netral.

Kuntowidjojo, dengan semangat yang sama melontarkan ide tentang

Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menolak klaim bebas

nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk

secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik

tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa

adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang

diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga

nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan

membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan

transendensi (Kuntowidjojo, 2001: 364-365).

Beberapa Gagasan Pokok (Pilar) Ilmu Sosial Profetik (lihat di

http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi_Profetik) adalah sebagai berikut :


206

a. Humanisasi

Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan

manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan

kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme

Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir

dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme

Kuntowidjojo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi

tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi

yang menjadi dasarnya.

Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan

Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan

antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan

tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang

dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan

manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai

manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting

pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan

manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia,

karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris

merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun

bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya

pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin

tak terkendali.
207

Rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah

kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan

panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak

terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang

metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh

Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang

Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap

alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi

alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa

senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah

masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan

proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kuntowidjojo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai

ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat

manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan,

tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.

Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas

tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang

berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi

teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif

dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).


208

b. Liberasi

Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip

sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi

pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan

liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu

Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai

luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan

dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam

Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial

yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari

kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang

menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme

dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya

konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat

liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah

ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.

Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat

peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena

kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting

dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan

moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris,

bersifat kongkrit. Kuntowidjojo bahkan menganggap sikap menghindar


209

dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir

berdasarkan mitos.

Kuntowidjojo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem

pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang

membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya

sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.

c. Transendensi

Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain.

Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan)

sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi

menempatkan agama (nilai-nilai Islam, dll) pada kedudukan yang sangat

sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong

terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang

ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan

kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris

yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui

proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa

diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio

menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk

menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani

kehidupannya tanpa makna.


210

Transendensi dengan demikian dapat berperan penting dalam

memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam

dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat

atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat

yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan

inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur

kemanusiaan.

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi.

Transendensi memberi arah ke mana dan untuk tujuan apa humanisasi dan

liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping

berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga

berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik

dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan

kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi,

masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi

ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran

transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan

kemunduran manusia.

Asal Usul Intelektual Ilmu Sosial Profetik (ISP)

Signifikansi agama dalam ISP juga tampak dari pemaknaan

Kuntowidjojo terhadap istilah profetik itu sendiri. Kunto memaknainya dalam

dua pengertian yang diinspirasikan oleh tulisan Roger Garaudy dan


211

Muhammad Iqbal. Asal-usul intelektual Ilmu Sosial Profetik dapat dilacak

dari dua pemaknaan ini.

Kuntowidjojo mengambil filsafat profetiknya dari Garaudy.

Menurutnya, filsafat Barat tidak mampu memberikan tawaran yang

memuaskan karena hanya terombang-ambing dalam dua kutub, idealis dan

materialis, tanpa berkesudahan. Filsafat Barat itu lahir dari pertanyaan

bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Garaudy menyarankan untuk

mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana kenabian (wahyu) itu

dimungkinkan?. Filsafat Barat telah membunuh Tuhan dan manusia, karena

itu ia mengajukan filsafat kenabian dengan mengakui wahyu (Garaudy, 1982 :

139-168). Dalam konteks ini, Kuntowidjojo, dengan proyek ISP-nya hendak

membawa kembali wahyu sebagai bagian penting dari epistemologi ilmu

sosial.

Kuntowidjojo juga meminjam etika profetiknya Muhammad Iqbal.

Dalam tulisannya, The Reconstruction of Religious Thought In Islam (Iqbal,

1966 : 145). Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika

transformatif. Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus

Islam dari Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit

yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika

sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak

kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran

sosial. Baginya keasyikan dan keterlenaan dalam pengalaman mistis adalah

tujuan, sehingga ia tidak hendak kembali dan melihat realitas, menghadapi


212

kenyataan. Nabi bukanlah seorang mistikus. Nabi adalah seorang manusia

pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab sosial. Kembalinya

sang Nabi adalah kreatif. Sehebat apapun pengalaman spiritual yang

dijalaninya, seorang nabi tidak pernah terlena. Ia kembali memasuki lintasan

ruang dan waktu sejarah, hidup dan berhadapan dengan realitas sosial

kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformatif. Seorang nabi datang

dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner (Ibid, 145).

Inilah yang disebut etika profetik.

Keneth Boulding, seorang filosof dan ekonom besar AS,

mempopulerkan istilah agama profetik dan agama kependetaan. Pada mulanya

agama-agama besar seperti Islam, Yahudi dan Kristen bersifat profetik,

menggerakkan perubahan-perubahan besar. Agama menjadi kekuatan

transformatif. Tapi kemudian, setelah melembaga, agama lalu menjadi rutin,

dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, bersifat kependetaan.

Etika profetik seperti inilah yang mendasari lahirnya Ilmu Sosial

Profetik. Ilmu Sosial Profetik dimunculkan sebagai alternatif kreatif di tengah

konstelasi ilmu-ilmu sosial yang cenderung positivistis dan hanya berhenti

pada usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas untuk kemudian

memaafkannya. Ilmu sosial seyogyanya menjadi kekuatan intelektual dan

moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan

realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu, melakukan

tugas transformasi. Jadi, tujuannya lebih pada usaha untuk proses transformasi

sosial. Ilmu sosial tidak boleh tinggal diam, value neutral, tapi berpihak.
213

Dengan semangat inilah Ilmu Sosial Profetik digulirkan. Ilmu Sosial Profetik

ingin tampil sebagai ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan realitas sosial

dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk ke arah mana

transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu Sosial Profetik tidak

sekedar merubah demi perubahan itu sendiri tapi merubah berdasarkan cita-

cita etik dan profetik tertentu (Kuntowidjojo, 1991 : 288-289).

Maklumat Sastra Profetik adalah kelanjutan aplikasi konsep

Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetiknya. Sebagai penggagas paradigma

sosial profetik Kuntowidjojo secara konsisten mengumumkan bahwa karya-

karya sastranya ia maklumatkan sebagai sebuah karya sastra profetik.

Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik mempunyai kaidah-

kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap,

mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Kaidah-kaidah Sastra

Profetiknya adalah; strukturalisme transsendental, sastra sebagai ibadah, dan

keterkaitan antar kesadaran. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik,

artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian

dan kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik

adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin

menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa

berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak,

karena itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra

membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun

realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah


214

realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol

itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas. Namun, Sastra

Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas

sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya

sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi

sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan

biasa-biasa saja (Kuntowidjojo, 2006 : 1-2).

Kuntowidjojo, ketika memaklumatkan karya-karya sastranya sebagai

sastra profetik secara tidak langsung dia menyatakan bahwa karya seninya

adalah sebuah kesenian profetik, sebab sastra adalah salah satu dari bagian

karya seni. Berdasarkan argumentasi ini, maka penulis ingin mengeneralisasi

gagasan sastra profetiknya menjadi konsep Kesenian Profetik di mana semua

karya seni bisa dibuat dan disebut sebagai karya seni profetik dengan kriteria

tertentu.

D. Teologi Profetik Suhermanto Ja’far

Teologia Religionom merupakan teologi agama-agama yang

mengajarkan bagi para pemeluknya konsep keimanan, ritual dan sosial. yang

dikenal dengan istilah Prisca teologia atau prisca Philosophia. Teologia

Religionom adalah prisca Teologia dan Philosophia. Konsep ini sudah ada

jauh sejak jaman Hermes atau Nabi Idris dalam tradisi Islam. Teologi dan

Filsafat merupakan misi profetik dari para nabi dan para filosof untuk

memberikan jawaban dan membebaskan manusia dari semua


215

problematikanya. Ini berbeda dengan teologia Religionom yang digagas Th.

Sumarthana. Gagasan Th. Sumarthana berpijak pada pengalaman Kristen

Protestan terhadap kemajemukan. Konsep awal dari prisca theologia dan

philosophia dari Hermes. Konsep ini sama dengan misi profetik nabi-nabi atau

konsep Nubuwah dalam Islam. Salah satunya adalah bagaimana orang

beriman atau beragama berhadapan dengan kehidupan sosialnya termasuk

hubungan antar agama, kepercayaan dan iman. Tetapi misi kenabian atau

Nubuwah tidak hanya itu, tetapi juga bagaiman memberikan pembebasan

terhadap ketertindasan, keterasingan dan diskriminasi melalui pintu teologi.

Jadi pemakaian istilah ini berangkat dari istilah yang dikembangkan oleh

Hermes dengan prisca teologia dan Philosophia. Dulu antara agama dan

filsafat merupakan satu kesatuan. Agama dengan filsafat mempunyai misi

kenabian (Ja’far, 2009).

Pada abad modern ini, termarjinalnya paradigma (shifting paradigm)

teologia religoonom menyebabkan adanya mata rantai yang terputus peran dan

fungsi teologi agama-agama yang dibawa para nabinya. Peran dan fungsi

teologia religoonom agama-agama adalah membawa para pemeluknya pada

kedamaian, kesejahteraan, keadilan dan egalitarianisme. Bergesernya

paradigma ini membuat teologi religoonom agama-agama menjadi kehilangan

élan vital ajarannya yang menyebabkan mandul dalam berkreasi dan

menciptakan dialog-dialog dengan situasi social, ekonomi, politik maupun

budaya masyarakat pemeluknya.


216

Teologi sebagai pintu masuk dalam melakukan pembebasan umat

justru telah kering dari pemaknaan pembebasannya, sehingga teologi dibatasi

pada pemaknaan ilmu atau wacana tentang tuhan secara klasik dan tradisional

saja. Teologi dipahami sebagai pembicaraan tentang perbuatan-perbuatan

Tuhan, relevansinya dengan makhluk, sifat-sifat dan Zat Tuhan yang dibahas

secara onatologis-metafisis, sehingga teologi tidak membumi mampu

menjawab tantangan dan problema umat manusia. Peran élan vital teologia

religoonom pada akhirnya diambil oleh ideologi-ideologi kiri yang dalam hal

ini adalah sosialisme. Akhirnya para pemeluk agama melirik pada ideologi

sosialisme sebagai ideologi perjuangannya (Suseno, 1999 : 13-17).

Sosialisme-Marxis merupakan doktrin sosialisme yang paling dominan

dan dijadikan pijakan fundamental dalam menganalisa suatu perubahan dunia

menuju masyarakat egalitarianisme, hilangnya segala eksploitasi dan

penindasan atas manusia. Perjuangan untuk mencapai tatanan masyarakat

yang adil dan tanpa kelas oleh sosialisme hampir sepenuhnya dijalankan

Marxisme. Kesadaran emansipatoris ini merupakan suatu kekuatan Sosialisme

dan Marxisme dalam melihat realitas masyarakat. Kesadaran sosial

masyarakat merupakan pengaruh sosialisme yang sangat urgen dalam gerakan

pembebasan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya

“Teologi Pembebasan” di Amerika Latin yang dipelopori oleh Guiterez,

(Nitiprawiro, 1985 : 55) seorang pendeta dalam dunia Kristen yang selalu

gelisah melihat realitas umatnya yang tertindas oleh kekuasan negara maupun

kapitalisme dan gerakan pembebasan dalam semangat Islam yang di pelopori


217

Hasan Hanafi dengan jargon “Kiri Islamnya” dan Asghar Ali Engineer dengan

paradigma pemikirannya yang progresif dengan semangat teologi

pembebasannya. (Hanafi, 1994 ; lihat juga Engineer, 1995).

Praksis pembebasan dalam agama-agama merupakan gerakan misi

baru Perjuangan kaum beriman melalui teologia religionom dalam

membebaskan masyarakat tertindas dan Egalitarianisme. Dalam sejarah,

gerakan profetis (kenabian) merupakan gerakan revolusi dalam

memperjuangkan tatanan sosial kemasyarakatan yang satu tanpa adanya

pertentangan klas, adil dan tidak eksplotatif, sebagaimana pada masyarakat

kapitalis yang oligarki dan oligopoli.

Ini dapat kita saksikan dalam sejarah bahwa para nabi dan rosul

merupakan mujaddid revolusioner sejati. Nabi Musa mampu merefleksikan

revolusi pembebasan kaun Bani Israil yang tertindas melawan otoritasme dan

bentuk kediktatoran Fir’aun. Para Nabi dan Rasul memperjuangkan bentuk

sosialisme religius dengan penekanan pada moral, spiritual. Disamping itu, di

sini perjuangan keadilan yang humanis tanpa kekerasan atau lebih dikenal

dengan konsep “al-adl wa al-ihsan” (keadilan dan kebajikan) sebagaimana

dilaksanakan oleh para Nabi.

Fenomena di atas, tidaklah mungkin akan terselesaikan jika kaum

beragama (beriman) hanya memandang teologi yang semula dipahami secara

klasik sebagai ilmu yang membicarakan tentang Tuhan kaitannya dengan

persoalan-persoalan eskatologis dan melangit. Teologi harus dirubah peran

dan fungsinya sesuai dengan dinamika social menjadi teologi kontekstual,


218

sebuah teologi yang dipahami dan didialogkan secara dialektis sesuai dengan

konteks problematika umatnya dalam berhadapan dengan dinamika sosial,

ekonomi, budaya maupun politik. Teologi kontekstual merupakan

perkembangan teologi yang lebih bersifat praksis, dimana kaum beriman

melakukan sebuah tindakan yang tidak semata bersifat ukhrowi, tetapi juga

bagaimana kaum beriman dengan teologinya membangun kedamaian,

keadilan, egalitarianisme didunia ini. Dengan kata lain, kaum beriman

diharapkan dengan teologinya membangun kerajaan Tuhan dibumi ini, agar

bumi ini penuh dengan kehidupan surga.

Saat ini bermunculan keinginan para agamawan (khususnya Islam)

untuk memecahkan problematika sosial memakai pendekatan teologi

religoonom kembali yang dikenal dengan istilah baru teologi profetik. Teologi

Profetik, baik dari penggunaan istilah maupun sejarah, metode dan praksisnya

masih mengundang perdebatan. Penulis tidak akan menguraikan lebih jauh

mengenai perdebatan penggunaan istilah ini, karena pada intinya, segala

macam sebutan atau penamaan tersebut akan kembali pada usaha untuk

membebaskan umat manusia dari ketertindasan, baik itu kemiskinan,

kebodohan maupun diskriminasi (Ja’far, 2009).

Menurut Ja’far kata, “θεος, theos, berarti “Allah, Tuhan“, dan λογια,

logia yang berarti “kata-kata,” “ucapan,” atau “wacana”. Teologi berarti

wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan.

Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang

berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang


219

berhubungan dengan Tuhan. Karena itu, seorang teolog berupaya

menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan,

menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama

(Ja’far, 2009).

Teologi, dalam arti yang praktis dan simple (bukan filosofis, bukan

naturalis, bukan mitologis, dan bukan pula metafisis), pada dasarnya adalah

usaha sadar untuk mendengarkan bisikan wahyu atau sabda yang dinyatakan

oleh Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan

menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksi tuntutan-

tuntutan langkahnya pada tindakan (Rahner dan Vorgrimler, 1965 : 456-458)

Dalam rumusan Segundo (1974), pernyataan wahyu atau sabda dalam sejarah

dimengerti sebagai dampak dari sabda dan dogma yang diimani, dalam praksis

sejarah.

Asghar Ali Engineer, seorang pemikir radikal yang mengembangkan

pemikiran-pemikiran Islam dengan karakter yang kuat, berpendapat bahwa,

teologi adalah kumpulan ajaran-ajaran yang disusun secara koheren untuk

memahami hubungan-hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta.

Sementara itu, ia juga sejalan dengan pandangan Hassan Hanafi, seorang

pemikir radikal lainnya yang mengungkapkan bahwa teologi mestinya

dipahami sebagai suatu refleksi atas iman dalam situasi majemuk, dimana

seharusnya tidak ada kesenjangan antara suatu yang sifatnya transenden

dengan persoalan sosial kemasyarakatan (Shimogaki, 1993). Menurutnya ada

dua alasan yang menerangkan tujuan kehadiran agama. Yang pertama adalah,
220

adanya pengakuan terhadap Tuhan yang tunggal dan kedua adalah,

membebaskan manusia dari keterikatan paganisme budaya dan dari struktur

masyarakat yang tidak adil (Engineer, 1987 : 74-98).

Sebelum berbicara teologi Profetik secara mendetail, kita perlu

memahami apa yang dimaksud Kuntowidjojo sebagai penggagas Ilmu Sosial

Profetik dalam karya-karyanya mengenai ilmu Sosial Profetik. Gagasan ini

oleh Kuntowidjojo pertama-tama dimaksudkan sebagai ‘alternatif’ terhadap

gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman, mengenai pentingnya

merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai Teologi Transformatif.

Teologi Transformatif muncul berangkat dari analisis Moeslim Abdurrahman

dimulai dari bidikannya terhadap realitas ketimpangan sosial yang dihadapi

umat Islam yang diakibatkan oleh proses modernisasi. Perubahan ini

dilakukan karena istilah teologi dalam masyarakat kita dipahami sebagai

istilah yang masih ontologis, yaitu sebagai ilmu yang membahas persoalan

ketuhanan (tawhid) yang tidak boleh diperbincangkan secara mendalam.

Kuntowidjojo menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih

arah, sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Ilmu sosial tidak

hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi

petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa.

Sebagai contoh, Kuntowidjojo sendiri menetapkan bahwa bagi masyarakat

Islam, transformasi sosial dilaksanakan berdasarkan cita-cita etik dan Profetik

yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam

Alqur’an Surat Ali-Imran ayat 110, yang berbunyi :


221

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,

dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih

baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan

mereka adalah orang-orang yang fasik.

Beranjak dari sifat keilmuan dan transformasinya yang sarat nilai

profetis (transenden) seperti disebutkan di atas, meminjam gagasan Ja’far,

penulis ingin menghadapkan gagasan Ilmu Sosial Profetik ini dengan bentuk-

bentuk pengetahuan lain yang hampir serupa. Penghadapan ini penting untuk

menindaklanjuti pendekatan terhadap proyek Ilmu Sosial Profetik, terutama

yang menyangkut pertanyaan: bagaimanakah kita menerjemahkan Ilmu Sosial

Profetik tersebut secara lebih praktis? Karena sikap eksklusif baginya

merupakan sikap yang a-historis dan tidak realistis. Semua peradaban, bahkan

agama menurutnya mengalami proses meminjam dan memberi satu sama lain

dalam interaksinya. Sehingga Ilmu Sosial Profetik sendiri dalam elaborasi

praktisnya tidak perlu ditutup dari kemungkinan meminjam bentuk

pengetahuan atau praxis lain yang telah ada (Ja’far, 2009).


222

Pemikiran Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetik ini berangkat dari

pemikiran Iqbal dan Garaudy. Yang ingin diambil oleh Kunto dari kedua

pemikir itu (Iqbal dan Garaudy) adalah sisi “realitas keNabian” (prophetic

reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat

manusia. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada

kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia (Iqbal, 1981 : 123).

Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan

seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah

Nabi-Nabi itu memiliki kadar kedalaman ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana

cara kerja, pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi

melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan

penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat

dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam

realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari

kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi,

dan transendensi. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji

dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi

yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as

a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan

sosial.

Ja’far berbeda dengan Kuntowidjojo, dia lebih setuju menggunakan

istilah “teologi profetik” karena diilhami gerakan-gerakan keNabian yang

selalu hadir ditengah-tengah umat sebagai seorang mujaddid revolusioner


223

sejati. Penggunaan kata teologi ini didasarkan upaya revolusioner para Nabi

atas panggilan iman kepada Tuhan untuk mengajak masyarakat bermoral dan

pencerahan, sehingga kata teologi sebagaimana dijelaskan di atas makna dan

pengertiannya, menurut penulis terasa sangat relevan daripada kata Sosial.

Penggunaan kata teologi pada gerakan profetik menjadi Teologi Profetik

menurut penulis relevan sekali. Ini karena kata teologi menjadi penekanan

ontologis, epistemologis maupun axiologis terhadap gerakan profetik baik

yang dilakukan para Nabi maupun para penerusnya (Ja’far, 2009).

Menurut Ja’far, pendasaran Ontologis disini dimaksudkan bahwa

gerakan profetik yang dilandasi iman merupakan hakikat perjuangan para

Nabi sebagaimana dijelaskan Alqur’an. Sementara pendasaran

epistemologisnya bahwa gerakan profetik merupakan panggilan iman yang

bersumberkan pada perintah Allah yang tidak terbatas pada Nabi-Nabi yang

diturunkan Allah semata, tetapi juga harus diteruskan sampai saat ini.

Sedangkan penekanan axiologis didasarkan atas bahwa misi gerakan profetik

adalah mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dari segala bentuk

penindasan, diskriminasi dan memperjuangkan keadilan menuju

egalitarianisme sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi. Gerakan Profetik

merupakan gerakan moral menuju pencerahan umat manusia, sebagaimana

dapat kita saksikan dalam sejarah peradaban manusia. Allah akan mengutus

para Nabinya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

Teologi Profetik merupakan panggilan iman seseorang yang diangkat

Nabi oleh Allah untuk melakukan perubahan-perubahan, baik struktur


224

kebudayaan masyarakat, moralitas kehidupan masyarakat maupun tata cara

berpikir yang sangat realistis. Relevan sekali jika para Nabi hadir untuk

melakukan hal tersebut. Para Nabi hadir ditengah-tengah kehidupan

masyarakat didasarkan atas iman yang kuat kepada Allah, sehingga rasa

keimanan dan atas perintah Allah tersebut, maka gerakan profetik merupakan

misi teologis yang dilakukan para Nabi. Misi teologis ini merupakan misi suci

Ilahi dalam menghilangkan praktek-praktek penindasan. Karena itu,

penggunaan istilah teologi Profetik bagi Ja’far sangat relevan dalam misi suci

dalam sosial kemasyarakatan (Ja’far, 2009).

Gagasan teologi profetik diilhami oleh misi keNabian yang disinggung

dalam Alqur’an surat al-A’raf : 157 yang berbunyi :

Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang ummi


yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
225

menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya


(Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Berdasarkan teks ayat di atas, maka teologi profetik merupakan sebuah

panggilan iman dalam membebaskan masyarakat dan problema sosial. Ayat di

atas jelas bahwa sseorang Nabi mempunyai misi suci yaitu, Amar Ma’aruf,

Nahi Mungkar (konseling); mengatakan yang Halal dan Haram (Muadib);

Pembebasan dan pencerahan (Revolusioner).

Misi suci para Nabi, pertama: sebagai seorang konseling adalah

mengajak manusia untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Misi suci

ini merupakan gerakan profetik yang membawa manusia pada kedamaian dan

ketentraman umat manusia dalam kehidupan masyarakat. Kedua, sebagai

seorang muadib adalah mengajarkan kepada umat manusia untuk melakukan

pekerjaan yang halal dan meninggalkan yang haram. Misi suci ini merupakan

tugas para Nabi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ketiga, sebagai

seorang revolusioner adalah berjuang membebaskan masyarakat dari segala

bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa. Misi

suci merupakan perjuangan para Nabi yang terpenting karena hampir semua

Nabi berjuang melakukan pembebasan masyarakat dari ketertindasan menuju

pencerahan. Nabi Ibrahim melakukan perjuangan revolusioner dalam

membebaskan masyarakat dari bentuk paganisme raja Namrud, Nabi Musa

melakukan perjuangan Revolusi dalam membebaskan bani Israil dari

hegemoni tiran yang dictator fir’aun, Nabi Isa melakukan gerakan Revolusi

spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat Romawi dan rosulullah


226

Muhammad melakukan gerakan revolusi moral atas kejahilan masyarakat

Quraisy (Ja’far, 2009).

Gerakan profetik para Nabi ini didasarkan atas panggilan iman yang

tinggi, sehingga gerakan profetik para Nabi mendapat pendasaran teologi yang

kuat. Keberhasilan perjuangan para Nabi karena adanya penekanan teologis

dalam memperjuangkan harkat dan martabat manusia. Untuk itu, Teologi

Profetik merupakan sebuah keniscayaan yang harus diperjuangan oleh para

penerus Nabi di era sekarang dengan memperjuangkan hak-hak masyarakat

yang terampas oleh kekuasaan; memperjuangkan egalitarianisme dan keadilan

serta berjuang melakukan pembebasan melalui pintu teologi sebagai gerakan

Profetik. Ini adalah pendasaran ontologis, epistemologis dan axiologis dari

teologi profetik.

Teologi Profetiknya Ja’far ini bagi penulis juga relevan digunakan

sebagai landasan dasar teologis untuk mendesain gagasan Seni Profetik

disamping landasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo.

F. Gagasan Seni Profetik, Peluang dan Tantangan

Peradaban manusia yang maju tidak hanya melahirkan bentuk-bentuk

karya seni yang semakin beragam dan kompleks, tapi media yang dipakai

juga sangat beragam pula. Semua bentuk seni berkembang sesuai dengan

dimensi peradabannya. Seni musik, cinematografi, teater, sastra, arsitektur,

sudah demikian majunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam setiap

masa, karya seni merupakan satu kebutuhan.


227

Dalam peradaban modern, karya seni juga terwarnai oleh budaya

modern yang bersifat sekuler. Warna tersebut bisa berupa bentuk, isi, atau

aplikasinya dengan kemajuan teknologi. Karena itu, sejalan dengan

transformasi budaya, seni pun tidak terlepas dari proses transformasi itu

sendiri. Pada kondisi inilah kreativitas seniman dipertanyakan.

Peradaban yang maju demikian pesat, membuat masyarakat sudah

mulai jenuh terhadap perkembangan dunia modern. Peradaban modern oleh

banyak pihak dianggap tidak lagi mampu memberikan visi baru dalam

tatanan kehidupan. Dogmatisme modern yang selalu menekankan pada

'kebenaran yang dilandasi "progress, rasionalitas, dan teknologi" ternyata

banyak dipandang sebagai satu ideologi dan menjebak manusia dalam

kerangka pikir sekuler. Manusia lebih menonjolkan aspek struktur (basis

material) dibanding suprastruktur (basis kesadaran). Inilah budaya Barat yang

bertolak dari pemikiran Marxis. Masyarakat akhirnya tidak puas dengan

pemikiran itu karena hanya terombang-ambing antara materialis dan ideologi

tanpa berkesudahan (Kuntowidjojo, 1997). Persoalan itu oleh Gede Parma

dianggap sebagai pangkal tumbuhnya konflik-konflik di dunia, termasuk di

Indonesia (Gede Parma, 1993: 4). Dilihat dari sisi ini, dapat disebutkan

bahwa masyarakat mulai jenuh terhadap modernisasi. Mereka mulai menuntut

kerangka peradaban baru dengan tata nilai yang lebih terbuka. Transformasi

budaya tersebut oleh para pemikir diprediksi sebagai era post-modernisme.

Tuntutan keterbukaan, secara tidak langsung sebenarnya membuka pe-

luang bagi sosialisasi nilai-nilai profetik. Dengan nilai-nilai tersebut, pada


228

hakikatnya Islam mempunyai kemampuan untuk membalik rumusan dari

struktur (material) ke suprastruktur (kesadaran) menjadi suprastruktur (kesa-

daran) ke struktur (material). Basis pengembangan yang dapat dipakai dalam

mengubah pandangan tersebut bisa berbagai macam seperti melalui ilmu

pengetahuan, teknologi, sosial, dan seni budaya atau melalui aktivitas IPTEK

profetik.

Dalam konteks seni budaya, pengembangan nilai-nilai profetik

sebagai dasar kreativitas tampaknya belum digarap secara maksimal. Latar

belakang ditulisnya tema mengagas kesenian profetik dalam wacana filsafat

seni ini adalah berkembangnya konsep-konsep dan teori-teori seni dimana

sekarang telah terjadi arus besar kesenian diarahkan menuju “seni hanya

untuk seni”, seni adalah bebas nilai, seni bukan untuk kepentingan

masyarakat dan kemanusiaan, seni adalah sekedar ekspresi. Arus besar teori

“seni hanya untuk seni” secara langsung maupun tidak langsung telah

membuka para seniman menjadi seniman-seniman yang liberal dalam artian

yang tanpa batas. Tanpa batas ini menyebabkan karya seni menjadi semaunya

sendiri, berkembang melanggar nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan

keindahannya sendiri. Seni tidak lagi dinilai mempunyai manfaat atau tidak

bagi masyarakat, positif atau negatif, baik atau buruk dan benar atau tidak

benar. Padahal seni senyatanya adalah salah satu dari kasanah nilai-nilai

kebijaksanaan universal, Seni, Agama, filsafat dan ilmu mesti bersinergi

berjihad memihak kepada sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang

positif; kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan dan kebahagiaan manusia.


229

Mayoritas konsep dan teori seni di awal hingga akhir sejarah

perkembangan seni dan estetika telah membuktikan bahwa konsep dan teori

seni dan estetika tidak lepas dari wacana sinergisitas seni, filsafat, agama dan

ilmu. Konsep-konsep seni atas, seni tinggi, seni bermasyarakat, seni sosial,

seni bermanfaat, seni adalah keindahan Tuhan, seni bertujuan, seni

berkeadilan, dan lain sebagainya adalah wujud nyata bahwa seni mengandung

nilai-nilai profetik. Nilai-nilai profetik yang ada di dalam seni ini adalah

sebuah bukti bahwa setidaknya seni sebagai ekspresi jiwa mempunyai tujuan

yang sangat mulia.

Seni bagi penulis adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia

dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekpresi jiwa seseorang. Hasil

ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni

identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran.

Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Nilai-nilai keabadian

sejati senantiasa mengarah kepada Tuhan. Dengan demikian kesenian juga

sebuah wacana dan media untuk mengabdi kepada Tuhan. Kesenian yang

demikian sebutan yang lebih tepat baginya adalah Kesenian Profetik.

Konsep kesenian profetik memang belum penulis temui dalam wacana

kesenian dan filsafat seni, baik dalam wacana konsep barat maupun timur.

Yang dapat ditemui dan sering disebut-sebut ada konsep kesenian religius

(seni agama), tetapi konsep kesenian profetik berbeda dengan konsep

kesenian religius. Konsep kesenian profetik yang penulis gagas di sini

dihasilkan dari perasan setelah menganalisis dari konsep-konsep dan teori-


230

teori yang secara tidak langsung membahas dan setidaknya mengarah pada

tema Seni Profetik. Konsep-konsep dan teori-teori tersebut adalah;

1. Konsep Seni Islam Sidi Gazalba yang menempatkan seni (Indah/Bagus)

sejajar dengan “Benar” (Agama dan Ilmu), dan “Baik” (etika) sebagai

bagian dari nilai-nilai keabadian universal (sejagad).

2. Konsep Teologi Profetik Suhermanto Ja’far yang melandasi bahwa agama-

agama dengan kreatifitas kenabiannya menghendaki terjadinya

keseimbangan di setiap lini eksistensi manifes kreatifitas manusia.

Kebekuan-kebekuan atau tembok-tembok pengetahuan yang tertutup satu

sama lain senyatanya memiliki sinergisitas yang saling melengkapi

kebenaran Tuhan, demikian pula di wilayah seni.

3. Konsep Etika Profetik Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa nabi

adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan tanggung

jawab sosial. Kembalinya sang Nabi dari langit adalah kreatif. Sehebat

apapun pengalaman spiritual yang dijalaninya, seorang nabi tidak pernah

terlena. Ia kembali memasuki lintasan ruang dan waktu sejarah, hidup dan

berhadapan dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja

transformatif. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan

dan semangat revolusioner. Etika profetik Iqbal ini dapat digunakan

seorang seniman untuk menghasilkan karya-karya seni profetik yang

revolusioner yang dapat merubah kebudayaan masyarakat.

4. Konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan Sastra Profetik Kuntowidjojo

secara nyata secara tidak langsung telah mengetengahkan gagasan seni


231

profetik. ISP maupun sastra profetik Kuntowidjojo dilandasi tiga pilar;

humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya memanusiakan

manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan

kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme

Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir

dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme

Kuntowidjojo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi

tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi

yang menjadi dasarnya. Liberasi artinya dalam konteks ilmu, ilmu yang

didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam

teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-

nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam

konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk

membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan

kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran

palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya justru

menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik

justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik

transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang

obyektif-faktual. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang

lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan)

sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi


232

menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat

sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

5. Beberapa Teori untuk menjelaskan eksistensi seni dalam masyarakat.

Teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi

(action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan

pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau

menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan

sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi

seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang

telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi

manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu tindakan

aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory). Kesatuan

sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam) ini

menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan

sistem diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat

meningkatkan kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat

mempertahankan keseimbangannya (fungsionalisme struktural).

6. Beberapa konsep seni para pemikir dan pelaku seni, seperti konsep seni

ekspresi ego Iqbal beserta fungsi seninya, Konsep seni tauhid Ismail Raji’

al-Faruqi, konsep seni Islam spiritualnya Sayyed Hosein Nasr, konsep

estetika sufistik Rumi, konsep seni kesatuan universalitas-partikularitas

Hegel, konsep seni ekspresi dan fungsi seni Tolstoy dan banyak yang lain,

pada kenyataannya mengetengahkan bahwa seni bertujuan (seni untuk


233

masyarakat) adalah senyatanya sangat penting selalu didengungkan untuk

tujuan mulia kemanusiaan.

Beberapa konsep dan teori di atas mendasari rumusan kaidah gagasan

seni profetik penulis, sebagai berikut:

Seni sebenarnya tidak jauh berbeda dengan agama, dan ilmu yang

sama-sama mengemban wacana-wacana kearifan universal seperti keindahan,

kebaikan dan kebenaran. Seni yang dihasilkan oleh kesadaran kearifan

universal akan menjadi lebih bermakna dan lebih berharga daripada seni yang

dihasilkan hanya sekedar untuk seni, ia hanya akan menjadi seonggok sampah

tak berguna yang hanya mampu memuaskan nafsu sesaat manusia. Seni yang

menyuarakan nilai-nilai ketuhanan itu laksana seruan mulut para nabi dan

rasul yang membawa manusia ke jalan keindahan hidup, keadilan, kebenaran,

kedamaian, keselamatan dan kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil

alamin: Islam). Kesenian yang mampu berbuat demikian dapat kita sebut

kesenian profetik. Dengan demikian kesenian profetik bisa melengkapi nama-

nama atau jenis-jenis seni yang telah ada, seperti kesenian religi, kesenian

agama, Seni Islam, seni Kristen, seni Hindu, kesenian lokal, seni suci, seni

atas, seni bertujuan, seni untuk masyarakat dan lain sebagainya.

Dalam kasanah Islam khususnya, karena penulis adalah muslim,

patronase seni Islam sudah saatnya harus disesuaikan dengan perkembangan

peradaban. Dalam hal ini bentuk-bentuk kesenian, tidak mungkin hanya

terbatas pada model seni Islam, melainkan harus mampu beradaptasi dengan

bentuk-bentuk seni kontemporer. Yang terpenting, bagaimana nilai-nilai


234

Islam dibumikan menjadi nilai-nilai seni profetik dan diletakkan sebagai

dasar kreativitas seni profetik yang dihasilkan. Implikasi dari model seni

seperti ini bisa jadi secara visual bentuknya tidak seperti seni Islam dalam ter-

minologi tradisional.

Di Indonesia, fenomena pengembangan “seni profetik” tersebut

misalnya bisa dilihat ada pada seni sastra karya-karya Sutardji Calzoem

Bachri, Danarto, Abdul Hadi WM, Hamka, Emha Ainun Nadjib, A.A. Navis,

dan lainnya. Memang tidak semua karya yang mereka hasilkan bermuatan

nilai-nilai profetik Islam, tetapi beberapa karya seperti "Q O, Amuk"

(Sutardji); "Adam Ma'rifat, Rintrik, Asmaradana, Armagedon" (Danarto);

"Slilit Kiai" (Emha); "Robohnya Surau Kami" (A.A. Navis), dan lainnya jelas

menunjukkan adanya upaya pencarian hakikat ketuhanan dalam konsep

spiritualisme Islam.

Dalam bidang musik, dapat kita lihat musik-musik kontemporer

seperti yang diciptakan grup "Kantata Taqwa" Iwan Fals dan Setiawan Jodi,

grup Soneta Rhoma Irama, atau Bimbo. Berdasarkan bentuk dan aliran

musiknya, mereka jelas tidak bisa disebut sebagai musik Islam dalam arti

tradisi. Namun secara substansial lagu-lagu yang mereka ciptakan sebagian

besar didasari nilai-nilai Islam.

Fenomena lain yang tidak kalah menarik adalah reaktualisasi seni

tradisi yang digarap oleh Emha Ainun Nadjib dengan kelompok Kiai

Kanjeng. Secara berkala seni tradisi seperti wayang atau garapan baru musik

tradisi Jawa ternyata telah dijadikan media dakwah pada setiap bulan
235

purnama di desa kelahiran Emha, yang kemudian terkenal dengan tradisi

Padang Bulan. Yang perlu dicermati adalah kemampuan kelompok-kelompok

tersebut dalam menyedot penonton. Dapat dipastikan bahwa setiap

pertunjukan minimal dihadiri sekitar 10.000 orang.

Seni profetik sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam sebenarnya

mampu beradaptasi dengan perubahan budaya yang terjadi. Karena itu, tidak

perlu dipertanyakan apakah seni tersebut muncul dalam bentuk sastra

kontemporer, musik kontemporer, atau teater kontemporer. Justru dengan

munculnya kreativitas bentuk seni seperti ini, nilai-nilai Islam akan tetap

lestari, tetap diminati, dan tetap aktutal. Yang terpenting adalah bagaimana

seniman dengan produk kesenian yang dihasilkan mampu mengekspresikan

ruh (af’idah, spiritualisme) dalam konsep ke'sini'an dan ke'kini'an (Endang

Saifudin Anshari, 1993: 42). Inilah peluang yang harus dikembangkan oleh

seniman Islam.

Pengembangan seni dengan nilai-nilai profetik Islam ini bukannya

tanpa tantangan. Tantangan pertama justru banyak berasal dari intelektual

muslim atau kalangan ulama sendiri yang memandang bahwa bentuk-bentuk

seni kontemporer cenderung bersifat syubhat (lih. diskusi estetika Islam

dalam (Yustiono [ed], 1993: 66). Barangkali munculnya pandangan seperti ini

secara tidak langsung melahirkan "ketakutan" bagi seniman muslim untuk

mengoptimalkan kreativitas seninya dengan label seni Islam. Sebagai

ilustrasi, kita mengakui bahwa pertunjukan wayang kulit bukanlah seni Islam,

bahkan bisa disebut sebagai seni agama Hindu. Namun berkat kreativitas para
236

wali, konsep pakem lakon pertunjukan wayang kulit diubah dengan

memasukkan nilai-nilai profetik ajaran Islam. Menyebarnya Islam di Jawa

khususnya, di antaranya adalah berkat pertunjukan wayang kulit.

Dalam konteks ke'kini'an, pertunjukan wayang kulit, cenderung dilihat

dari kerangka historis. Para intelektual muslim atau ulama, tampaknya tidak

interes terhadap keberadaan wayang kulit sebagai media dakwah Islam, apa-

lagi terlibat dalam proses kreatif pengembangan pakem-pakem pertunjukan.

Adanya indikator ini, tampaknya dilihat oleh pemeluk agama lain sehingga

mereka mulai memanfaatkan pertunjukan wayang kulit sebagai media

dakwahnya. Jika hal ini terjadi, sungguh merupakan kerugian besar bagi umat

Islam Indonesia.

Tantangan kedua, dapat dilihat dari kemampuan seniman muslim

sendiri. Dari segi kuantitas, seniman Indonesia yang beragama Islam

sangatlah besar. Namun kemampuan, pemahaman, dan kesadaran untuk

menghasilkan produk seni yang secara substansial bermuatan nilai-nilai

profetik Islam sangatlah terbatas. Dalam seni sinematografi sebagaimana

diulas Abdurrahman Wahid (1983: 52) disebutkan bahwa apa yang

disebutnya sebagai seni film Islam apabila di dalamnya memuat visualisasi

normatif atau formalitas seperti gambar masjid, wudhu., sembahyang,

mengaji, berdoa, dan lainnya. Insan film jarang menampilkan potret Islam

dalam arti refleksi esensi keyakinan kebenaran ajaran. Film-film dakwah

Islam Indonesia seperti Panggilan Tanah Suci, Atheis, Wali Songo, adalah

contoh kongkrit lebih ditonjolkannya formalitas daripada esensi. Kenyataan


237

ini oleh Abdurrahman Wahid disebut sebagai hambatan kolosal dunia perfilm

Indonesia. Hal tersebut jauh berbeda dengan model penggarapan film asing,

meskipun dengan tema yang sama. Misalnya saja film-film yang digarap

Moustapha Akkad seperti The Message, Lion of the Desert, Ten

Commandement. Pesan keagamaan yang bersumber pada nilai-nilai Islam

dapat divisualisasikan secara utuh, sehingga menampilkan "inilah esensi

kebenaran Islam". Padahal aktor yang memainkan bukan aktor muslim,

misalnya Steve McQuin. Apalagi jika dibandingkan dengan film-film dakwah

agama lain, jelas kita sangat ketinggalan. Film-film seperti The Priest of St.

Pauli, Boys Town, Our Lady of Fatima, The Singer not the Song merupakan

contoh film yang mampu memberikan potret agama Kristen sebagai sebuah

kebenaran yang mendasarkan pada konflik-konflik kehidupan keseharian dan

kekinian.

Tuntutan terhadap kreativitas seni profetik ternyata tidak harus

dilandasi eksplisitas normatif keagamaan. Yang penting adalah bagaimana

esensi kebenaran Islam mampu direaktualisasi dalam konteks ke'kini'an dan

ke’sini’an. Inilah barangkali salah satu tantangan kreativitas seniman muslim

dalam menyiasati perubahan yang terjadi.

Pengembangan kesenian Islam tampaknya perlu penanganan yang

lebih serius. Secara historis dapat dilihat bahwa seni merupakan salah satu

media efektif dalam mengembangkan dakwah Islamiyah. Nilai- nilai profetik

Islam yang bersifat universal dan tidak membedakan lintas ruang dan waktu,

sudah saatnya lebih dikembangkan melalui media kesenian bernama seni


238

profetik. Hal tersebut di samping dimaksudkan sebagai sosialisasi nilai-nilai

Islam, juga sebagai bagian pembentukan peradaban muslim pasca

modernisme. Kekosongan nilai-nilai pada peradaban modern dan bangkitnya

masyarakat untuk mengembangkan peradaban dengan nilai-nilai humanis dan

religius, sebenarnya merupakan momentum yang sangat tepat untuk

mengedepankan nilai- nilai profetik Islam sebagai alternatif dalam segala

matra kehidupan. Mampu dan beranikah kita memanfaatkan peluang dan

tantangan tersebut.

F. Pendidikan dan Kesenian Islam dalam Paradigma Profetik

1. Faktor-faktor Penyebab Dikotomi Sistem Pendidikan Islam

Secara umum, dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim

disebabkan oleh beberapa faktor yakni:

a. Stagnasi Pemikiran Islam

Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi

sejak abad XVI hingga abad XVII M. Kondisi tersebut secara umum

merupakan imbas dari kelesuan bidang politik dan budaya. Masyarakat

muslim saat itu cenderung hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap

kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa kenyataan yang tengah

terjadi di lapangan. Maka para sarjana Barat mengatakan, rasa

kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para

sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang

dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut


239

ditanggapi secara positif dan lebih arif, dunia muslim dapat

mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian memberinya

arah baru (Haid, 1994 : 33).

b. Penjajahan Barat atas Dunia Muslim

Penjajahan Barat atas dunia Muslim telah dicatat para

sejarahwan berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M. Pada

saat itu dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan

imperialisme Barat.

Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia muslim

menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya

dan peradaban modern Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat

mendominasi budaya "tradisional" setempat yang dibangun sejak lama.

Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah

menggantikan ilmu-ilmu aqliah Muslim dan menurunkan derajat ilmu

naqliah. Ilmu "pengganti" Barat itulah yang kemudian didominasikan

dalam mata-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah di dunia

muslim.

Integrasi kedua ilmu pengetahuan tidak diupayakan apalagi

dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya pemikiran

sarjana Barat yang memang berupaya memisahkan antara urusan ilmu

dengan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan harus dipisahkan

dari kajian keagamaan. Dan agaknya ini yang "meracuni" para

penggemar kajian para sarjana Barat. Sehingga di dunia muslim juga


240

berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu dan teknologi harus

terpisah dari kajian agama. Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya

menjelang akhir abad XIX M. Mulai mempengaruhi cabang ilmu lain

terutama ilmu yang menyangkut masyarakat, seperti, ilmu sejarah,

sosiologi, antrapologi, ekonomi, dan politik (Asyraf, 1991: 33).

c. Modernisasi atas Dunia Muslim

Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya

dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim adalah modernisasi. Yang

harus disadari, modernisasi itu muncul sebagai suatu perpaduan antara

ideologi Barat, Teknikisme dan Nasionalisme. Teknikisme muncul

sebagai suatu reaksi terhadap dogma, sedangkan Nasionalisme

ditemukan di Eropa dan diinjeksikan secara "paksa" kepada rakyat

muslim. Perpaduan kedua paham modernisme inilah, menurut

Ziauddin Sardar, (Sardar, 1986 : 75) yang sangat membahayakan

dibandingkan dengan tradisionalisme yang sempit.

Zaki Badawi, mengatakan bahwa, salah satu faktor penyebab

dikotomi sistem pendidikan Islam adalah diterimanya budaya Barat

secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan

teknologinya. Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut

berkeyakinan, kemajuanlah yang penting bukan agama. Oleh

karenanya, kajian agama dibatasi bidangnya. Agama hanya

membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan

urusan agama.
241

Amrullah Ahmad" menilai bahwa penyebab utama terjadinya

dikotomi adalah peradaban umat Islam yang tidak bisa menyajikan

Islam secara kaffah. Sebagai penyebab dari dikotomi itu, lahirnya

pendidikan umat Islam yang sekularistik. Menurutnya, pokok pangkal

penyebab dualisme sistem pendidikan di dunia Muslim adalah dua hal.

Pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan cara bertauhid.

Kedua, kegagalan butir pertama di atas, menyebabkan lahirnya syirik

yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islami. Dikotomi fikrah Islami

inilah yang menyebabkan timbulnya dikotomi proses pencapaian

tujuan pendidikannya.

2. Dampak Negatif dari Dikotomi Sistem Pendidikan

Persaingan antara sistem pendidikan warisan kolonial dengan

sistem pendidikan tradisional Muslim terus berlangsung cukup lama.

Dalam kondisi seperti itu, tentu kemenangan akan diperoleh oleh sistem

yang sudah dirancang dengan matang. Sementara hal itu merupakan

karakteristik utama dari sistem pertama. Sistem pendidikan Barat telah

dikenal sebagai sistem yang matang dalam persiapan, dan mampu dalam

perekayasaan sosial (Social Engineering). Karenanya, sistem inilah yang

memenangi persaingan, yang mengatur, serta mengendalikan warna sosial

komunitas Muslim.

Dunia Muslim telah merdeka, namun sebenarnya itu hanya bersifat

politis belaka. Sebab bidang-bidang lain, ekonomi, budaya, sistem sosial,

dan termasuk sistem pendidikan, penjajahan masih tetap berlangsung dan


242

dianut oleh bangsa Muslim kebanyakan. Sehingga ketergantungan di

bidang pendidikan, yang disadari sebagai faktor terpenting dalam

membina umat, hampir tidak dapat dihindarkan dari pengaruh Barat.

Ujungnya, krisis identitas pun tidak bisa dihindarkan melanda ummat

Muslim. Menurut istilah A. M. Saefuddin, (Saefudin, 1991: 97)

ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya bersifat taqiyah. Artinya,

kaum muslimin lebih menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa

takut dan malu. Sikap seperti ini, menurut A. M. Saifuddin, banyak

melanda ummat Islam di segala tingkatan di mana pun berada, baik di

infrastruktur, maupun suprastruktur.

Berikut akan diuraikan beberapa permasalahan yang menyelimuti

dunia pendidikan Islam, sebagai akibat munculnya dualisme pendidikan

tersebut.

Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam. Salah

satu dampak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama di

Indonesia, adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam."

Dalam Pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya semacam

"kekurangan" dalam program pendidikan yang diterapkan. Misalnya,

dalam bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup

penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, terdapat anggapan,

bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam,

melainkan bidang garapan khusus sistem pendidikan sekuler. Sistem

madrasah, apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah membagi


243

porsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum dalam

prosentase tertentu. Hal itu tentu menunjukkan bahwa pendidikan Islam

tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. Namun

ironisnya, juga tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada

akhirnya, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi (terutama

umum) diketahui sebagai materi pelengkap yang menempel bagi

pencapaian orientasi pendidikan sekuler.

Kedua, kesenjangan antar sistem pendidikan Islam dan ajaran

Islam. Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalensi mencerminkan

pandangan dikotomis yang memisahkan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu-

ilmu dunia" (baca: umum) (Kuntowidjojo, 1991 : 352). Pandangan ini jelas

bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri. Islam memiliki ajaran

integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisah dengan

urusan akhirat. Dengan lain kata, Islam mengakui adanya ajaran kesatuan

dunia akhirat.

Implikasinya, bila merujuk pada ajaran Islam ilmu-ilmu umum

seharusnya dipahami sebagai bagian tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu

agama. Oleh karenanya, bila paham dikotomis dan ambivalen

dipertahankan, out put pendidikannya tentu jauh dari cita-cita pendidikan

Islam itu sendiri. Ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam. Hingga saat

ini boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadi

perpaduan (usaha integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh

ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama.


244

Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru

agama dan kebutuhan anak didik, terutama di sekolah umum (Saefudin,

1991 : 352).

Keempat, inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam.

Usaha untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan Islam,

sebagaimana pendidikan umum, masih sangat erat kaitannya dengan

sistem pendidikan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Dalam

kenyataannya, cara pandang semacam ini senantiasa memunculkan

pendekatan dengan suatu hipotesis defisit. Sistem pendidikan Islam selalu

dipandang sebagai sosok terbelakang (Saefudin, 1991 : 352).

Konsekuensinya, perubahan-perubahan yang dilakukan, karena mengikuti

pola tersebut, seperti yang ditetapkan umumnya di pesantren dan

madrasah, telah menghasilkan bentuk-bentuk yang tidak fungsional. Tidak

cukup di situ, para pengasuh pun - terkadang - merasa rendah (inferior).

Dan imbasnya melebar pada aktivitas pendidikan yang ditanganinya.

Pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh sistem dikotomi

pendidikan tersebut sangat merugikan dunia pendidikan Islam.

Kecenderungan untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, sebagai

tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui atau tidak telah mempe-

ngaruhi sistem pendidikan Islam. Sehingga sistem pendidikan agama

Islam menjadi terpecah dalam tiga bentuk. Yakni sistem pesantren,

madrasah, dan sistem perguruan tinggi Islam. (Arifin, 1994 : 167). Yang

masing-masing memiliki orientasi yang tidak saling memadu. Sistem


245

pesantren berorientasi pada tujuan institusionalnya, antara lain terciptanya

ahli ilmu agama (baca: ulama atau kyai). Sistem madrasah bergeser

orientasi ke penguasaan ilmu umum sebagai tujuan sekunder. Akhirnya

pendidikan Islam berkembang menjadi sekolah Islam atau sekolah tinggi

Islam yang tujuan institusional primernya adalah ilmu-ilmu umum,

sedangkan ilmu-ilmu agama menjadi tujuan sekunder.

Sistem pendidikan dikotomik semacam ini mesti kita tolak, karena

sejarah telah membuktikan, sistem pendidikan Barat menjadi penghalang

dalam membandingkan Islam secara utuh di dalam kehidupan umat Islam.

Memang, saat ini umat Islam dalam suasana dilema. Yakni kebingungan

dalam mengambil sikap dan keputusan. Mengambil keputusan untuk

bersikeras menganut sistem pendidikan tradisional berarti menolak

kenyataan, bahwa sistem tersebut tidak "jamani". Sebab sistem pendidikan

jaman klasik itu tidak lagi mempunyai daya saing dengan perkembangan

ilmu dan teknologi yang deras mengalir dari Barat. Sementara bila harus

memutuskan untuk menganut sistem pendidikan hasil olahan para

cendekiawan Barat, jelas dirasakan adanya upaya pengetahuan dalam

Islam sendiri. Karena pada hakekatnya, sistem pendidikan Barat itu hanya

cocok untuk orang-orang Barat saja.

Pada tataran epistemologis, polarisasi pemikiran Islam yang

tersekulerkan banyak melanda para pemikir Islam. Hal ini muncul karena

adanya asumsi tentang dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.

Sebab utama adalah adanya arus besar pemikiran Barat sekuler-


246

materialistik yang melanda dunia Islam. Sehingga praktek pendidikan

lebih cenderung bersifat antrophosentris dengan mengesampingkan nilai

transendental dan menimbulkan dehumanisasi. (Djamal, 1995: 19-20).

Dalam pada itu, metode berpikir rasional empirik yang bertumpu

pada kebenaran sensual, atau paling jauh mencapai kebenaran logik,

banyak mewarnai dunia pendidikan Islam. Tidak sedikit teori pendidikan

Islam yang dibangun berangkat dari telaah bio-phisik ini. Sedang hasil

penelitian yang melandaskan pada telaah bio-phisik yang kemudian

dijadikan kerangka pikir ilmu pendidikan Islam tentu saja tidak sampai

pada kebenaran hakiki. Karena itu, pada tataran paradigmatik secara

operasional penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini adalah

merupakan Islamic education for the moslem, yaitu pendidikan Islam yang

diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya

menyesuaikan dengan pendidikan modern, dan bukan islamic education

for Islamic Education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai,

dilandasi dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam (Muhadjir, 1996

: 34-35).

Pada tahun 1977 diselenggarakan sebuah Konperensi Dunia yang

pertama tentang Pendidikan Muslim di Mekkah. (Bakar, 1994 : 234)

Konperensi yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz

University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-

sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan

dan penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh


247

umat Islam di seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan

adalah menyangkut Islamisasi ilmu pengetahuan (Muhaimin, 2001: 34).

Gagasan ini antara lain dilantarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas

(1981) dalam makalahnya yang berjudul "Prelinainary Thoughts on the

Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Pducation", dan

Ismail R. Al-Faruqi (1986: 125) dalam makalahnya Islamicizing Social

Science". Diadakannya konferensi ini, salah satunya adalah usaha untuk

menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang ada di seluruh dunia

muslim. Kemudian diputuskan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah

perlu segera dirumuskan sistem terpadu bidang keilmuan. Semua cabang

keilmuan harus diintegralisasikan dengan ajaran-ajaran Islam (Hussen,

2000: 23). Ajuan gagasan itu bertitik tolak dari anggapan bahwa sistem

pendidikan yang datang dari dunia Barat itu hanya dapat mengembangkan

peradaban materialistik belaka. Sistem pendidikan Barat hanya dapat

memberikan pengetahuan yang "menggenjot" kemajuan teknologis.

Padahal di sisi lain ilmu-ilmu Barat itu, tentu bila tidak diadaptasi dan

disterilisasi, dapat menciptakan keraguan dan kebingungan di kalangan

intelektual muslim. Di samping itu juga adanya kekhawatiran terusaknya

nilai-nilai spiritual dan moral, yang ternyata juga terjadi di dunia Barat.

S.M. Naquib Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang

secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah

tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi

pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh


248

peradaban Barat (Al-Attas, 1994: 65). Dan menurut al-Faruqi bahwa

sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat,

sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami

umat." Ia mengkritik ilmu pengetahuan Barat yang berkembang dewasa ini

sebagai telah terlepas dari nilai dan harkat manusia, dari nilai-nilai

spiritual dan harkat dengan Tuhan (Agus, 1999: 122). Begitu

bersemangatnya, Sayyed Hussen Nasr, juga menganjurkan visinya yang

menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular dan

humanistik (dari sains modern). la mengkritik apa yang disebutnya sebagai

sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Begitu

juga dengan Sardar, mengatakan bahwa pencarian sains yang Islami

adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dewasa

ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja

karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologinya secara

mendasar bertentangan dengan pandangan Islam (Hood Boy, 1996: 132).

Dalam posisi yang sama Syed Hossen Nasr, mengatakan: "Saat ini

semakin banyak orang menjadi sadar bahwa aplikasi ilmu pengetahuan

modern, yang sampai beberapa dekade yang lalu berasal dari Barat dan

yang sekarang menyebar ke benua lainnya, telah menyebabkan secara

langsung atau tidak langsung malapetaka lingkungan yang belum pernah

terjadi sebelumnya, menyebabkan kemungkinan yang sangat nyata akan

terjadinya kebangkrutan total tatanan alam" (Nasr, 1993: 71). AI-Faruqi

juga mengatakan: ". . .keadaan umat saat ini dikonfrontasikan dengan


249

masalah yang sangat berat pada semua aspek. Masalah-masalah ekonomi,

sosial, politik yang dikuasai oleh suatu standar merupakan "puncak

gunung es" dari krisis yang sangat mendalam pada tingkat intelektual dan

moral... Kearifan disiplin harus diarahkan pada penyelesaian masalah

umat, yaitu yang memungkinkan umat Islam untuk memahami dirinya

sendiri dengan benar...."(1988: 58).

Al-Faruqi, berpendapat bahwa tugas yang paling besar seorang

Muslim adalah "memecahkan masalah pendidikan". Selanjutnya ia

mengatakan: "Tidak akan ada harapan kebangkitan sejati umat Islam ke-

cuali sistem pendidikan dirubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki...

Dualisme yang ada dalam dunia pendidikan Muslim, kemenduaannya

dalam bentuk sistem pendidikan Islam dan sekuler harus dihentikan dan

dihilangkan. Kedua sistem tersebut harus disatukan dan diintegrasikan.

Ilmu pengetahuan harus diislamkan sebagai persyaratan untuk

menghilangkan dualisme sistem pendidikan dan sistem hidup Muslim".

Al-Faruqi mengatakan: "Ilmu pengetahuan, menurut tradisi Islam,

tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah

dan independen dari Realitas Absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai

bagian yang integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu

pengetahuan harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesa

tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola)

Tuhan (divine pattern)."


250

Sejalan dengan Faruqi, di atas Syed M. Naquib al-Attas

mengatakan: "Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah

filsafat yang sejak periode paling awalnya telah mengukuhkan pandangan

bahwa segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu lainnya. Segala yang

ada adalah kemajuan, perkembangan atau evolusi dari potensi laten di

dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang dilihat dari perspektif ini

adalah suatu alam semesta yang tidak tergantung pada apapun dan kekal

(tidak diciptakan); suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang

menurut hukumnya sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan

Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini... Dengan demikian, pengakuan kita

terhadap wahyu, sebagai satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan

kebenaran terakhir yang berkenaan dengan makhluk dan Khaliq-nya,

memberikan landasan bagi suatu kerangka rnetafisika. Dalam kerangka

inilah filsafat sains kita kembangkan sebagai sistem terpadu yang

menerangkan realitas dan kebenaran itu dengan suatu cara yang tidak

dapat dilakukan oleh metode-metode sekular filsafat dan sains

modern"(Al-Attas, 1995: 27).

Gerakan pencarian epistemologi Islam ini tampak semakin nyata

ketika pada tahun 1984 terbit majalah Afkar/ Inquiry. Di situ banyak

dibahas masalah-masalah di sekitar epistemologi Islam. Bahkan beberapa

penulis di antaranya telah maju selangkah dengan membahas dari sudut

pandang Islam- temuan-temuan mutakhir sains modern dalam berbagai

bidang, seperti biologi, antropologi, masalah lingkungan dan sebagainya.


251

Dari kelompok ini bisa dicatat nama-nama Ziauddin Sardar, Munawar

Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haider, Meryll Wynn Davies

yang juga adalah redaksi di majalah tersebut." Mereka menyatakan bahwa

dikotomi harus diakhiri dengan mengintegrasikan sistem pendidikan yang

akan menghilangkan distingsi antara pengetahuan lama dan baru, dan

meniadakan antagonisme. Apa solusi yang ditawarkan? Para pakar

pendidikan Muslim untuk mengatasi soal dikotomi, adalah perlu

dirumuskannya sistem pendidikan terpadu, di samping perlu diciptakan

dan dikembangkan epistemologi Islam. Melalui usaha tersebut diharapkan

dapat ditemukan metode-metode pengetahuan yang mampu membantu

para sarjana Muslim dalam mengatasi masalah moral dan etika. Yang

tentunya di samping adanya upaya peninjauan kembali kerangka teoritis

sistem pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan

sistem modern.

Ziauddin Sardar" memberikan solusi untuk menghilangkan

dikotomi itu yakni dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem

pendidikan yang bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan

sistem pendidikan dikotomis di dunia Islam perlu dilakukan usaha-usaha

berikut: Pertama, dari segi epistemologi, umat Islam harus berani

mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi

sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang harus

aplikatif, tidak sekadar "menara gading" saja. Kerangka pengetahuan

dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode-metode dan


252

pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu para pakar muslim

dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang sangat dominan

di masa sekarang.

Kedua, perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang

menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktivitas ilmiah dan

teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencerminkan nilai dan norma

budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem pendidikan

yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern.

Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu pada

konsep ajaran Islam, misalnya, konsep tazkiah al-nafs, tauhid, dan

sebagainya. Di samping itu, sistem tersebut juga harus mampu memenuhi

kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim secara multidimensional masa

depan. Dan yang terpenting lagi, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu

"talabul ilmi", sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.

Sejalan dengan pendapat Sardar, al-Faruqi sebagaimana dikutip

Amrullah Ahmad (1991: 66), mengatakan bahwa dikotomi sistem

pendidikan Islam yang telah menjadikan "malaise" penyakit umat Islam itu

hanya dapat disembuhkan dengan "injeksi" epistemologis. Namun

sebaliknya, Sardar mengatakan, dikotomi sistem pendidikan dan ilmu

merupakan persoalan rumit, karenanya tidak mudah diselesaikan. Artinya,

perlu langkah hati-hati. la berpendapat, dari pada mengislamkan disiplin

ilmu yang telah berkembang di lingkungan sosial, etik, dan kultural Barat,

lebih baik para pakar muslim memikirkan bagaimana menciptakan


253

paradigma-paradigma Islam. Melalui jalan inilah kiranya kebutuhan-

kebutuhan umat Muslim dapat terpenuhi.

Menurut Syed All Asyraf Ahmad, 1991: 65), dikotomi sistem

pendidikan yang ada di negara-negara Muslim itu bisa dilebur dalam satu

sistem. Namun ada syarat utama yakni fondasi filosofis harus Islam.

Bersamaan dengan itu, kandungan materi (subyek kurikulum) religius

harus tetap ada untuk spesialisasi. Setiap pelajar harus memiliki semua

pengetahuan dasar yang diperlukan sebagai seorang muslim. Dan agar

memenuhi tuntutan sebagai sistem pendidikan modern, semua

pengetahuan yang termuat di dalamnya harus diatur dan disusun atas

prinsip kesinambungan, urutan dan integrasi.

Situasi dikotomi pendidikan yang semakin kritis itu perlu upaya

konsep pemecahannya. Dan untuk memperoleh kembali identitas

peradaban dan intelektualitas Islam digelontorkanlah gebrakan Islamisasi

semua ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial (Barzinji, 1998: 50).

Gagasan awal paradigma Islamisasi ilmu pengetahuan rupanya

lebih melihat pemikiran dan pandangan non-muslim, terutama pandangan

ilmuwan Barat, sebagai ancaman yang sangat dominan dan orang-orang

Islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentisitas ajaran

agamanya. Karena itu ia cenderung menggali teks dalam rangka

mengendalikan perubahan sosial, dan perlu merumuskan ukuran-ukuran

normatif di bidang pengetahuan agar ditemukan corak yang lebih "khas

Islam".
254

Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan

pengkudusan/penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim

(Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana

pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan

yang bercorak "khas Islami". Namun kendati sudah berjalan lebih satu

dasawarsa, hasil konkrit dari upaya ini belum dapat dirasakan. Dan bah-

kan, upaya Islamisasi ilmu ini telah ditentang oleh Mohammed Arkoun,

seorang guru besar Islamic Studies pada Universitas Sorbone Perancis. Dia

mengatakan bahwa merupakan kesalahan bila ada keinginan dari para

cendekiawan muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu dan teknologi,

sebab hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap

Islam hanya semata-mata sebagai ideologi.

Pervez Hoodbhoy, seorang fisikawan muda Universitas Quad-i-

Azam, Pakistan, mengatakan: "Meskipun selama beberapa abad telah

beredar argumen-argumen bersemangat yang menegaskan mengapa sains

Islam harus ada, dan meskipun sejumlah besar konferensi internasional

telah dilaksanakan demi terbentuknya sains Islam, secara umum usaha-

usaha untuk menciptakan sains yang diberkahi dan dilengkapi dengan

sebuah epistemologi baru telah gagal. Secara tegas dapat dikatakan hanya

sedikit manfaat pencarian ini. Sains Islam tidak mengarah ke pembuatan

mesin atau instrumen sains, sintesis senyawa kimia atau obat-obatan yang

baru, rencana percobaan baru, atau penemuan hal-hal yang sampai

sekarang belum diketahui dengan fakta fisik yang dapat diuji. Malah
255

sebaliknya, para pelaku sains Islam telah mengarahkan penelitian mereka

kepada masalah-masalah yang terletak di luar wilayah sains yang umum,

misalnya, masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan seperti kecepatan

Surga, temperatur Neraka, komposisi kimia Jin, rumusan untuk

menghitung derajat kemunafikan, penjelasan tentang Isra' Mi'raj

berdasarkan teori relativitas dan sejumlah contoh-contoh lain yang

digambarkan dalam artikel Mereka menyebutnya sains Islam. Masih

menjadi tanda tanya, apakah penemuan-penemuan yang disebut sains

Islam ini sesuai dengan Tauhid Islam. Tetapi bila menurut kriteria teori-

teori ilmiah, jelas sekali tidak memenuhi syarat (Hoodbhoy, 1996: 139).

Fazlur Rahman, misalnya dengan jelas menolak gagasan Islamisasi

pengetahuan. Dia mengatakan: "Selama masalah ini masih menyangkut

Islamisasi ilmu pengetahuan, saya menyimpulkan bahwa kita seharusnya

tidak perlu susah payah membuat rencana dan bagan bagaimana

menciptakan ilmu pengetahuan yang Islami. Lebih baik kita manfaatkan

waktu, energi dan uang untuk berkreasi (Fadjar, 1998: 166)."

Sejalan dengan para pakar di atas, Kuntowidjojo (1994: 100) yang

sosial Barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum diislamkan? Bagaimana

nasib Islam tanpa ilmu?". Dengan ungkapan seperti ini, Kunto tidak

bermaksud menolak Islamisasi Ilmu; tapi selain membedakan antara ilmu

sosial profetik dengan Islamisasi ilmu itu sendiri, juga bermaksud

menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-

ilmu Islam dan bukan Islam.


256

Dengan gagasannya ini, Kunto merumuskan sebuah cara berfikir

dengan sebuah paradigma baru. Dalam sebuah wawancara dengan Jurnal

Ulumul Qur'an, mengatakan: "Karena Islam, dalam sejarahnya memang

telah memainkan peran yang cukup penting dalam mata rantai peradaban

dunia, hal ini juga membuktikan bahwa paradigma Islam itu bersifat

terbuka. Dengan demikian Islam tidak sekadar mewarisi, tetapi juga

melakukan enrichment dalam substansi dan bentuknya. Melalui inilah

Islam akhirnya mampu menyumbangkan warisan-warisannya sendiri yang

otentik. Karl Marx dan para pengikutnya saja telah menyumbangkan

sebuah paradigma. Sebagai salah satu pewaris dalam mata rantai

kemanusiaan, kita pun punya hak yang sama. Ini berarti bahwa ilmu sosial

profetik itu untuk semua orang. Dan memang Islam sendiri adalah

rahmatan li al-`alamin, tidak khusus li al-muslimin".

Pada titik inilah Kunto mengedepankan perlunya menjadikan

Alqur’an sebagai paradigma dalam perumusan teori, khususnya dalam

ilmu sosial. Apa yang dimaksud "paradigma" oleh Kunto adalah seperti

dipahami oleh Thomas Kuhn, bahwa realitas sosial itu dikonstruksi oleh

mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan

menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dengan mengikuti

pengertian ini, paradigma Alqur’an, bagi Kunto, berarti "suatu konstruksi

pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana

Alqur’an memahaminya". Konstruksi pengetahuan ini dibangun oleh al-

Qur'an agar kaum muslim memiliki "hikmah" yang atas dasar itu dibentuk
257

perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Alqur’an, baik pada level

moral maupun sosial. Selain itu konstruksi pengetahuan ini juga akan

membantu terumuskannya desain-desain mengenai sistem Islam, termasuk

sistem pengetahuan. Jadi, demikian Kunto, di samping memberikan

gambaran aksiologis, paradigma Alqur’an juga dapat berfungsi untuk

memberikan wawasan epistemologis.

Menurut Kuhn (Sardar, 2002: V), ilmu bergerak melalui tahapan-

tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian

"membusuk" karena digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian

seterusnya. Paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya

juga menjadi paradigma baru, sehingga terjadilah proses benturan dan

perang antar paradigma. Salah satu kasus yang bisa ditunjuk sebagai

contoh perang paradigma itu adalah perdebatan tentang status ilmu: bebas

nilai atau penuh kepentingan. Sebagaimana kasus krusial dalam

pembahasan ini, antara yang pro dan kontra tentang "Islamisasi Ilmu

Pengetahuan".

Kuhn menunjukkan bagaimana ilmu telah menjadi simbol kultural

yang diperebutkan, dan memperlihatkan perlunya sebuah sintesis baru

`pasca normal' untuk melampaui berbagai perdebatan lama. Ilmu bukan

lagi persoalan pembuktian-pembuktian oleh para pakar keilmuan semata,

melainkan sebuah dialog antar semua pihak yang terlibat dalam suatu

masalah.
258

Kunto, juga menyarankan agar umat Islam perlu mengubah cara

berfikir dan bertindaknya, dari pola ideologi ke pola keilmuan. Islam

sebagai konsep normatif, memang dapat dijabarkan sebagai sebuah

ideologi sebagaimana yang diketengahkan selama ini. Hanya saja, kata

Kunto, ideologi itu justru lebih bersifat subyektif, normatif dan tertutup.

Untuk itulah, Kunto menawarkan alternatif berupa penjabaran Islam

normatif menjadi teori-teori. Maksudnya Islam perlu dipahami sebagai dan

dalam kerangka ilmu. Sebab, pola keilmuan akan lebih menjanjikan sifat

yang obyektif, faktual dan terbuka. Sehingga, lewat kerangka ilmu itu,

terutama yang empiris, umat Islam akan lebih bisa memahami realitas

sebagaimana Alqur’an memahaminya. Dengan cara itu, umat akan dapat

melakukan transformasi sosial berdasarkan cita-cita etik dan profetik

searah yang ditunjuk Alqur’an, yaitu humanisasi, liberasi dan transen-

densi.

Realisasi gagasan ini, Kunto menawarkan pendekatan sintetik

analitik dalam memahami Alqur’an. Suatu pendekatan yang

memberlakukan Alqur’an sebagai konsep-konsep dan kisah- kisah sejarah

atau amsal agar dengan mengacu kepada hal itu, manusia dapat

melakukan transformasi psikologis, sekaligus memberlakukan al- Qur'an

sebagai data atau dokumen dari Tuhan yang berisi postulat teoritis dan

teologis sekaligus. Dengan pendekatan seperti ini, demikian Kunto, ayat-

ayat Alqur’an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif


259

yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang obyektif, bukan

subyektif semata.

Menurut Kunto, perlu reorientasi kesadaran agar konsep-konsep

normatif dapat dipahami secara empiris. Kesadaran yang dikehendaki

adalah bentuk kesadaran ilmiah untuk memformulasikan konsep-konsep

normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Hal ini memerlukan obyek-

tifikasi dan konseptualisasi agar tingkat kesadaran teologis kita pada

tingkat normatif, dapat menjadi lebih historis dan kontekstual. Di sinilah,

Kunto ingin menekankan agar teologi kita bisa fungsional secara empiris,

maka kita harus menderivasikan konsep-konsep normatif menjadi teoritis.

Caranya lewat upaya konseptualisasi ke dalam bahasa ilmu, bahasa yang

obyektif, karena hanya melalui bahasa ilmulah, kita dapat berdialog dan

berkomunikasi dengan realitas secara obyektif. Dengan kata lain, kita

melakukan proses yang oleh Kunto dinamakan theory construction

perumusan teori-teori ilmu, yaitu dengan menderivasikan premis-premis

dari konsep-konsep normatif. Kunto yakin bahwa tanpa melalui proses

teoretisasi ini, bukan hanya tidak mampu dalam memahami realitas sosial

dalam perspektif Islam, tetapi juga membuat kita "terombang-ambing"

dalam menyikapi arus perubahan sosial yang begitu dahsyat. Di sinilah

Kunto berspekulasi tentang "Paradigma Islam tentang Transformasi

Sosial". la berkeyakinan bahwa perlunya itu semua, karena penerjemahan

ideologi Islam dalam kenyataan, berarti mengubah masyarakat sesuai

dengan cita-cita dan visi Islam mengenai transformasi sosial. Suatu teori
260

sosial, menurut Kunto, pada umumnya bersifat transformatif. Karena itu

teori Islam pun harus bersifat transformatif.

Cita-cita transformasi Islam menurut Kunto adalah, "Bahwa cita-

cita itu, berakar pada misi ideologis amar ma'ruf dan nahiy munkar. Yang

pertama berarti humanisasi, dan yang kedua lebih liberasi (pembebasan).

Setiap gerakan Islam ke arah transformasi sosial pasti melibatkan unsur

humanisasi, liberasi dan transendensi. Karena itu, agar terancang lebih

sistematis dan ilmiah, suatu gerakan sosial, harus dimotivasikan dan

didasarkan pada teori sosiai. Tetapi karena teori sosial Islam, sedang

dibangun, kita perlu melihat perkembangan teori sosial Barat khususnya

yang berkaitan dengan transformasi sosial.

Istilah "transformasi" yang dipakai Kunto, lebih tepat kita sebut

"perubahan sosial" seperti sering muncul dalam khazanah ilmu sosial Dur-

kheimian maupun Parsonian.

Tiga muatan nilai inilah humanisasi, liberasi dan transendensi yang

mengkarakteristikkan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai,

humanisasi, liberasi dan transendensi, ilmu sosial prafetik diarahkan untuk

rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.

Paradigma profetik sebagaimana penjelasan Kunto, di atas, tetap menjadi

acuan penulis dalam memotret dunia pendidikan Islam yang segera

membutuhkan penanganan serius dalam kaitannya dengan isu krusial

tentang dikotomi ilmu pengetahuan, termasuk kesenian. Hanya saja,

paradigma profetik di sini tidak sepenuhnya setia dengan gagasan awal


261

Kunto dalam memotret ilmu-ilmu sosial yang dirasakannya telah

kehilangan ruh-ruh mendasarnya, meskipun bukan berarti lepas sama

sekali.

Dalam konteks pengembangan pendidikan Islam dan kesenian,

ketiga nilai profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) tetap menjadi

acuan penulis sebagai kerangka acuan kajian filosofis. Karena

sebagaimana yang dikatakan oleh Kunto: "Bahwa setiap gerakan Islam ke

arah transformasi sosial pasti melibatkan unsur humanisasi, liberasi dan

transendensi. Karena itu, agar terancang lebih sistematis dan ilmiah., suatu

gerakan sosial, harus dimotivasikan dan didasarkan pada teori sosial.

Tetapi karena teori sosiai Islam, sedang dibangun, kita perlu melihat

perkembangan teori sosial Barat khususnya yang berkaitan dengan

transformasi sosial".

Islam adalah agama yang menghendaki perubahan, ia datang bukan

untuk melegitimasikan status quo; sebaliknya, ia lahir dalam konteks

sosio-politik Makkah yang pincang untuk merubahnya menjadi tatanan

yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter. Banyak pemikir Muslim juga non

muslim yang mengidentifikasikan Islam sebagai agama pembebasan.

Tercatat nama-nama pemikir Islam modernis seperti Jamaluddin al-

Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Sayyed Qutb dan

Muhammad Rasyid Ridha. Sementara, di kalangan pemikir kontemporer,

tercatat pula nama-nama seperti Ali Syari'ati, Asghar Ali Engineer, Paulo

Freire, A. Ezzati, Murtadha Muthahari, Mahmud Muhammad Thaha,


262

Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed

Arkoun, hingga pemikir muslim Indonesia seperti Haji Misbah, HOS

Tjokroaminoto, Nurcholish Madjid, Kuntowidjojo, K. H. Abdurrahman

Wahid dan Jalaluddin Rahmat. Kesemuanya berpijak pada dasar yang

kurang lebih sama, bahwa Islam adalah rahmatan lil al`alamin, antitesis

dari segala sistem yang menindas.

Sayyid Qutb (Mansur, 1994: 143) misalnya menegaskan, bahwa

Islam adalah aqidah revolusioner yang aktif, yang merupakan suatu

proklamasi pembebasan manusia dari perbudakan manusia. Meminjam

istilah yang pernah diwacanakan oleh Muhammed Arkoun, bahwa

kebebasan merupakan data khas Islam, karena agama Islam adalah agama

yang memproklamirkan diri sebagai agama pembebasan. Maka,

sesungguhnya pendidikan Islam sebagai sarana transformasi nilai-nilai

keislaman juga seharusnya mampu memproses manusia-manusia

pembebas. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan dalam

Islam juga berperan sebagai praktek pembebasan." Islam telah

mengajarkan kepada umat manusia bagaimana kebebasan berpikir itu

sesuai dengan ortodoksi keagamaan. Dan sebagai implikasinya, Islam

mendefinisikan kebenaran sebagai ha1 yang umum dan mencakup kaum

muslim maupun non-muslim (Arkoen, 1994: 175). Yang perlu

digarisbawahi adalah sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah

pembebasan manusia (Kuntowidjojo, 1991: 164).


263

Dalam konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama

berarti harus membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran

pemikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai

kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Dunia modernlah yang telah

menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia; yang berupa

sistem-sistem produksi karena ketergantungannya kepada hasil rekayasa

teknologi, sistem-sistem sosial dan ekonomi, maupun sistem-sistem lain

yang menyebabkan manusia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya

sebagai makhluk yang merdeka dan bermartabat mulia. Sekali lagi, Islam

harus mengambil inisiatif melakukan revolusi untuk merombak semua

tatanan yang membelenggu, yaitu sebuah misi revolusioner bagi

pembebasan manusia.

Dengan kebebasan, Islam memiliki komitmen yang tinggi dan

bahkan mernberikan tempat terhormat kepada pengembang ilmu

pengetahuan dan teknologi. Jangkauan misi Islam menurut Mohammed

Arkoen adalah: "Mampu menyatukan kebebasan-kebebasan dan peraturan-

peraturan, individualisme dan kolektivisme, ilmu dan agama, rasionalisme

dan efektivitas, jiwa dan materi, wahyu dan nalar, kehidupan ini dan yang

lain, dunia misteri dan dunia meraba, stabilitas dan evolusi, masa lalu dan

masa kini, pelestarian dan pembaharuan, Islam dan kemanusiaan".

Semestinya, semangat pembebasan lebih menggiatkan kinerja

pendidikan Islam, sehingga mampu mengambil prakarsa yang mengarah

kepada kondisi-kondisi pembebasan meskipun tetap menjaga keterpaduan


264

dengan norma-norma agama. Menurut Asghar Ali Engineer, seluruh

kandungan Alqur’an berintikan semangat pembebasan manusia dari

eksploitasi dan penindasan. Teologi pembebasan dalam Islam

mendapatkan kekuatannya dari ajaran-ajaran Alqur’an. Orang-orang yang

tidak berjuang untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dan lemah

tidak mengaku benar-benar beriman dengan hanya beriman secara verba1

(Enggeneer, 1993: 97). Pandangan ini didasarkan kepada ayat Alqur’an:

Apakah manusia itu mengira bahwa dirinya dibiarkan (saja) mengatakan:

"Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi". (Q. S. al-Ankabut:

2).

Maka, untuk bisa melahirkan sosok-sosok pembebas, nilai

kebebasan harus sudah tercermin dalam proses pendidikan semenjak dini,

ketika seorang anak sudah mulai mengenal huruf-huruf Alqur’an. Hal ini

sangat mungkin jika pendidikan Islam dikembangkan dengan pendekatan

seni budaya masyarakat yang demokratis dan dialogis.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa pendidikan

Islam seringkali hanya berkutat pada romantisme pemikiran klasik. Hanya

sebatas mengkaji karya-karya klasik atau warisan tradisi masa lalu tanpa

mempertautkan dengan realitas aktual? Pertanyaan kritis ini sekaligus

memunculkan suatu image, yang dalam kenyataannya, pendidikan Islam

masih terkesan ketinggalan zaman. Inilah pekerjaan rumah yang harus

diselesaikan.
265

3. Pendidikan dan Seni Profetik sebagai Proses Humanisasi dan Liberasi

Hakekat pendidikan dan seni profetik untuk kebebasan adalah

dialog, yang membebaskan manusia dari kepasifan, dan juga mem-

bebaskannya dari dominasi terhadap manusia lain. Dialog adalah

keniscayaan bagi proses humanisasi, sebab dengan dialog manusia

menjadi bermakna, dihargai dan sederajat. Dengan demikian, dialog

menjadi hak yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses

memanusiakan manusia mencapai apa yang disebut "hidup bersama"

secara manusiawi. Munculnya kesadaran kritis manusia tidak bisa dipisah-

kan dari proses dialog yang sejati, tentu saja, melibatkan pemikiran kritis.

Pengertian pemikiran kritis dalam hal ini adalah pemikiran yang melihat

suatu hubungan yang tidak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa

melakukan dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis melihat realitas

sebagai proses dan perubahan, bukannya entitas yang statis. Oleh

karenanya pemikiran kritis tidak memisahkan dirinya dari tindakan, akan

tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah dunia tanpa gentar

dan selalu siap menghadapi resiko.

Humanisasi (Freire, 1984:1) adalah proses manusia untuk

memanusiakan manusia, sebagaimana juga pendidikan dan seni, maka la

harus dimulai dari suatu proses yang dialogis dengan melibatkan

kesadaran kritis. Itu berarti bahwa manusia harus ditempatkan dalam

proses sejarahnya masing-masing juga proses sejarah masyarakatnya

sebagai subyek yang menentukan pilihannya sendiri. Hubungannya


266

dengan manusia lain dan realitas yang hendak diubahnya haruslah berupa

dialektika. Oleh karenanya konsientisasi juga harus melibatkan praksis,

karena ia tidak saja merupakan teori, akan tetapi sekaligus tindakan dan

refleksi.

Humanisasi menegaskan manusia sebagai makhluk yang

berkesadaran. la ada di dalam dan bersama dengan dunia. Implikasinya, ia

harus "hidup sendiri" bersama dengan manusia lain dan realitas yang

melingkupinya. Bagi Freire," humanisasi inilah yang akan membawa

rakyat pada perubahan realitas secara manusiawi. Dalam konteks ini,

perubahan bukan berarti berbaliknya realitas kaum penindas menjadi

tertindas, melainkan teratasinya kontradiksi antara kaum penindas dan

kaum tertindas, sehingga berubah menjadi saling memanusiawikan.

Dalam konteks pendidikan dan seni profetik Islam, humanisasi

tidak sekadar diartikan kesadaran akan realitas aktual, tetapi juga

mencakup kesadaran terhadap diri pribadi sebagai manusia yang

sesungguhnya memiliki jati diri yang utuh. Suatu proses pendidikan dan

seni profetik yang lebih mementingkan proses penyadaran terhadap

realitas-realitas aktual ansich adalah sebuah proses pendidikan dan seni

profetik yang tidak sejalan dengan konsep Islam tentang manusia.

Nilai dasar menjadi manusia yang sesungguhnya adalah

berfungsinya potensi dasar manusia secara optimal, sehingga sanggup

menjalankan aktivitas kehidupan, dan cara untuk mengoptimalisasi, tidak

lain, melalui rangsangan pendidikan dan seni secara integratif. Manusia


267

dapat menjadi manusia karena pendidikan, begitu tesis Immanuel Kant.

Tesis ini mengandung pengertian, bilamana seorang anak tidak

mendapatkan pendidikan yang baik, maka tidak akan menjadi manusia

yang sebenarnya diharapkan. Dalam artian tidak sempurna hidupnya dan

tidak akan memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam

hidup dan kehidupannya. Untuk memenuhi fungsinya, setidaknya ia

memerlukan lima pokok yang harus dipenuhinya, yaitu: kebutuhan

biologis, psikhis, sosial, agama dan pedagogis.

Pendidikan dan seni profetik sebagai proses humanisasi dan liberasi

dapat berarti suatu proses penyadaran akan eksistensi diri manusia sendiri

(manusia sesungguhnya menurut pandangan Islam) terhadap realitas

historis yang obyektif dan aktual sebagai bentuk tuntutan yang

menghendaki pertanggungjawaban akan makna hidup di tengah-tengah

lingkungan masyarakat. Untuk proses penyadaran yang terakhir ini

diperlukan efektivitas pendidikan dan seni profetik yang menggunakan

pendekatan - meminjam istilah Paulo Freire- Problem solving, atau yang

populer disebut possing of education.

Apabila dalam proses pendidikan dan seni profetik itu menafikan

upaya penyadaran, maka pendidikan dan seni profetik tersebut telah

berubah menjadi praktek penindasan dan praktek pemerkosaan terhadap

hak hidup manusia yang bermartabat mulia. Pendidikan tidak ubahnya

membawa anak didik sekadar menjalani rutinitas hidup, dan bukannya

mengantar anak didik kepada the process of being or becoming.


268

Secara sosiologis, model pendidikan seperti tadi akhirnya menjadi

instrumen yang akan menguatkan terbentuknya masyarakat tertutup dan

melanggengkan budaya bisu, di mana tidak ada lagi masalah yang perlu

dipersoalkan, semuanya sudah dianggap beres, walaupun secara tidak

sadar hak- hak hidup mereka sebenarnya telah terpasung.

Pendidikan dan seni profetik sebagai proses humanisasi dan liberasi

adalah menghidupkan aktivitas belajar mengajar dan berkesenian secara

bersama-sama, yang terbangun atas kerjasama sinergis antara murid dan

guru dikarenakan pendidikan dan seni merupakan penggarapan realitas

mereka sendiri. Dengan kata lain, anak didik menjadi subyek yang belajar,

subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan

berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga

sang guru selaku pendidik.

Antara guru dan murid mesti saling belajar satu sama lain, take and

give dan saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan

pelajaran untuk dipertimbangkan oleh murid, atau untuk didiskusikan

ulang bersama gurunya. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek,

bukan subyek-obyek. Sedangkan yang menjadi obyek belajar mereka

adalah realitas kehidupan. Dengan demikian terciptalah suasana dialogis

yang bersifat intersubyek di dalam memahami suatu obyek bersama.

Proses penyadaran yang berlangsung dalam pendidikan dan seni

profetik ini, output yang dihasilkan diharapkan dapat memainkan peran

yang menentukan perwujudan dan pergantian kurun-kurun sejarah. Sebab,


269

dapat dan tidaknya manusia menangkap tema-tema zaman -terutama

terkait dengan realitas yang melahirkan tema-tema itu- sebagian besar

akan turut menentukan, apakah mereka mengalami humanisasi atau

dehumanisasi (Freire, 1984: 5). Mereka yang sanggup menangani realitas

yang melahirkan tema-tema zamannya, adalah mereka yang memiliki

sikap integritas bersama lingkungannya. Menyatu dengan lingkungan

adalah khas aktivitas manusia yang muncul dari kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah dengan kemampuan kritis

untuk membuat pilihan-pilihan dan mengubah realitas. Persoalan

humanisasi secara aksiologis adalah masalah utama manusia. Keprihatinan

terhadap masalah humanisasi akan segera membawa kita kepada

pengakuan akan adanya masalah dehumanisasi. Pengakuan ini tentu saja

bukan hanya bersifat ontologis, tetapi juga merupakan realitas sejarah.

Sepanjang humanisasi dan dehumanisasi merupakan pilihan paling nyata,

maka hanya yang pertama, yang merupakan fitrah rnanusia. Dalam rangka

proses humanisasi inilah, panggilan manusia dalam sejarah ontologis

adalah menjadi subyek. Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek.

Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi saja, adalah posisi manusia

sebagai objek. Karena adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang

paling rapuh. Seseorang yang hanya melulu beradaptasi, tidak akan

mampu mengubah dunia. Itulah sebabnya, dalam rangka humanisasi,

manusia harus menjadi subjek.


270

Konsep pendidikan sebagai proses humanisasi versi Paulo Freire

bisa dijadikan anjakan untuk melihat problema pendidikan dan seni

profetik Islam masa kini dan mendatang. Mampukah pendidikan dan seni

profetik Islam yang merupakan media transformasi nilai-nilai Islam yang

di dalamnya terdapat misi pembebasan menggunakan prinsip-prinsip

pembebasan sebagai wujud nyata dari Islam sebagai agama pembebasan.

Praktek-praktek pendidikan dan seni profetik yang didasarkan pada

prinsip-prinsip kebebasan ini, menuntut keterbukaan dan intensitas dialog

dalam proses belajar mengajar. Hal ini diperlukan karena dengan

penciptaan suasana dialogis, secara psikologis membuat anak didik

merasakan dirinya turut terlibat, ikut menciptakan dan bahkan merasa

memiliki. Proses semacam ini akan berdampak positif terhadap

berkembangnya potensi-potensi dasar anak, sehingga mudah mencipta

gagasan kreatif, mandiri dan mampu merekayasa perubahan-perubahan

secara bertanggungjawab. Sikap-sikap kemandirian inilah yang

dikehendaki dari kerja-kerja pendidikan sebagai praktek pembebasan.

Mengacu pada arti kebebasan, keterlibatan anak di dalam proses

pendidikan dan berkesenian profetik sebaiknya dimulai sejak dini dan

dibiasakan bersikap mandiri, sehingga pada saatnya nanti ia akan mampu

berhadapan dengan problema-problema dan sanggup mengatasinya. Tidak

lagi bergantung pada bantuan orang lain selagi ia mampu melakukannya

sendiri.
271

Al-Abrasy dengan konsep al-Tarbiyah al-Istiqlaliyah, atau

kebebasan kemandirian (pendidikan pembebasan) mengatakan: "Bahwa

asas terpenting at-Tarbiyah al-Istiqlaliyah adalah membiasakan peserta

didik berpegang teguh pada kemampuan diri sendiri sebagai refleksi dasar

dari sikap percaya diri, percaya dengan pikiran diri sendiri. Azas ini hanya

bisa dipakai jika proses pendidikan dilakukan dengan terbuka dan

dialogis". (Al-Abrasy, 1964: 285).

Mencermati kenyataan di atas, pendidikan dan seni profetik Islam

semestinya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang memiliki

dimensi pembebasan dari segala bentuk penindasan; orientasi pada

materialisme dan hedonisme, atau keterkungkungan pada kapitalisme

global. Menjadi manusia yang mampu memposisikan diri sebagai pemain

perubahan serta dapat mengendalikannya.

Paradigma pendidikan dan seni profetik Islami harus tetap berpijak

dan berporos pada Alqur’an dan Hadis. Itu berarti, konstruksi paradigma

baru ini berangkat dari filsafat teosentris. Di sini, sumber ilmu

pengetahuan tidak semata-mata didasarkan pada dimensi rasionalitas dan

realitas empiris semata, tapi juga perlu juga mencakup dimensi

transendental (intuisi). Di sinilah tampak sekali perbedaan mendasar

antara aliran pendidikan dan seni umum dengan pendidikan dan seni

profetik Islam.

Alqur’an sendiri sesungguhnya sebagai sumber inspirasi dan

motivasi yang dapat menggerakkan umat Islam untuk melibatkan diri


272

dalam kerja dan pengembangan ilmu pengetahuan. Banyaknya kata al-ilm

beserta kata jadiannya yang disebutkan dalam Alqur’an, yaitu sekitar 780

kali seperti yang dikatakan Mahdi Gulsyani, menjadi bukti yang autentik

akan tingkat apresiasi Alqur’an terhadap ilmu pengetahuan. Bagi umat

Islam, semuanya ini menjadi dasar teologis yang sangat kuat, sehingga

tidak ada alasan untuk tidak menindak lanjuti, dengan melibatkan diri

secara kritis dan kreatif dalam kerja ilmu pengetahuan. Dalam pandangan

Alqur’an, kerja ilmu pengetahuan bukan sekadar dimaksudkan untuk

membaca hasil ciptaan Allah secara diskriptif semata-mata diletakkan

sebagai obyek ilmu apalagi seperti paradigma keilmuan modern yang

menolak penjelasan metafisis dan filosofis terhadap alam kosmik. Lebih

dari itu, ilmu pengetahuan dalam pandangan Alqur’an. perlu diarahkan

secara teologis, estetis, etis dan moral untuk membangun hubungan yang

lebih dekat antara manusia dengan Allah Swt, sebagai Pencipta dari mana

semua pengetahuan bersumber, serta untuk membantu manusia

menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi. (Q.S. 45:3,4; 35:39;

45:12). Dengan demikian, ilmu pengetahuan dalam Islam pada tataran

metafisis-filosofis dan praksisnya sangat kaya dengan pertimbangan

teologis, spiritual, estetis, dan etis hal mana dalam paradigma keilmuan

modern direduksi sedemikian rupa semata-mata untuk mempertahankan

"utopia" obyektivitas ilmu."

Penekanan pada dimensi metafisis dan filosofis ini meskipun

penting dengan alasan kerja keilmuan sangat tergantung pada asumsi


273

metafisis-filosofis yang berkaitan dengan aspek Ontologi, Epistemologi,

dan Aksiologi ilmu pengetahuan, tetapi dirasakan kurang memadai jika

tidak dilanjutkan pada tahap teoritisasi dengan melakukan kegiatan yang

oleh Kuntowijayo" disebut dengan Quranic theory building. Hal ini,

Alqur’an telah menyediakan kerangka teologis dan filosotis di bidang ilmu

pengetahuan, di samping itu juga kaya dengan pernyataan-pernyataan

normatif, yang perlu diformulasi lebih lanjut menjadi teori-teori yang

empirik dan rasional, seperti yang ditempuh oleh ilmu-ilmu modern.

Barang kali inilah yang paling esensial dilakukan di perguruan tinggi

untuk melakukan integrasi dan kontekstualisasi Islam di bidang ilmu

pengetahuan dan kesenian.

Ajaran Islam seperti dikatakan Kuntowidjojo di atas, terkandung

nilai-nilai profetik yang dapat dijadikan bingkai acuan dalam

mengarahkan perubahan masyarakat, yakni humanisasi, liberasi dan

transendensi yang merupakan derivasi dari Alqur’an surat Ali-Imran ayat

110: "Engkau adalah umat yang terbaik di tengah manusia untuk

menegaakkan kebaikan (humanisasi), mencegah kemungkaran (liberasi)

dan beriman kepada Allah (transendensi)." Dalam konteks perubahan

masyarakat yang kita sadari telah mendatangkan ekses negative, ketiga

nilai itu sangat signifikan kita jadikan bingkai teologis-etis. Dalam hal ini

Islam secara epistemologis agak berbeda dengan ilmu-ilmu sosial

konvensional yang sekadar menjelaskan dan mengubah fenomena sosial.

Lebih dari itu tegas Kuntowidjojo, Islam juga memberi petunjuk ke arah
274

mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Dengan

humanisasi, Islam menekankan pentingnya memanusiakan dalam proses

perubahan. Sedangkan dengan liberasi, Islam mendorong gerakan

pembebasan terhadap segala bentuk determinisme kultural dan struktural

seperti kemiskinan, kebodohan. Dan dengan transendensi, perubahan

dicoba diberi sentuhan yang lebih maknawi, yaitu perubahan yang tetap

berada dalam bingkai kemanusiaan dan ketuhanan. "Kita ingin merasakan

kembali dunia ini sebagai rahmat T'uhan. Kita ingin hidup kembali dalam

suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan

kebesarara Tuhan", demikian ungkap Kuntowidjojo.

Peran imperatif teologis-etis-estetis di atas jika berlaku juga untuk

pendidikan Islam, persoalannya apakah institusi ini betul-betul telah

menjadi kekuatan transformatif yang dapat mengarahkan jalannya

perubahan sebagaimana yang dicita-citakan Islam. Menjawab pertanyaan

ini kita akan mencoba melakukan refleksi kritis terhadap dimensi yang

paling fundamental, yakni wacana kefilsafatan sebagai titik tolak utama

orientasi pendidikan Islam. Salah satu muatan fundamental dalam wacana

filsafat pendidikan adalah manusia. Kemana pendidikan diarahkan salah

satunya sangat tergantung pada pencanderaan secara filosofis tentang

manusia. Kenapa manusia? Dan apa kaitannya dengan imperatif teologis-

etis pendidikan dalam perubahan? Dalam perubahan, manusia menempati

posisi kunci. Maka tugas pendidikan dan seni profetik adalah

mengembangkan potensi atau kekuatan internal yang dimiliki oleh


275

manusia sehingga nantinya dalam realitas kehidupan yang senantiasa

mengalami perubahan tidak hanya menjadi objek, tetapi subyek

perubahan. Dan itu semua sangat tergantung pada bagaimana pendidikan

mendidik manusia.

Dalam konteks pengembangan pendidikan dan juga seni profetik,

ketiga nilai profetik (humanisasi, liberasi dan transendensi) di atas perlu

dipertimbangkan sebagai kerangka acuan kajian filosofis.

G. Implementasi Seni Profetik dalam Pendidikan Seni Islam

Implentasi Seni Profetik dalam Pendidikan Islam, tepatnya dalam

pendidikan kesenian Islam adalah gagasan baru. Secara konsep dan teoritik

kesenian profetik –meminjam konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowidjojo—

berdasarkan kajian filosofisnya sangat mungkin dilaksanakan dan ditawarkan

sebagai ilmu baru atau teori baru yang berharga bagi kemaslahatan peradaban.

Ketiga nilai profetik ISP yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi bisa menjadi

pijakan konsep gagasan menuju implementasi seni profetik diterapkan dalam

pendidikan seni Islam. Ini sebuah perkerjaan yang cukup berat, sebab konsep seni

profetik ini adalah sebuah ide yang melompat dua langkah ke depan bagi wacana

seni sendiri di dalam paradigma Islam. Pertama, pekerjaan mensosialisasikan

apresiasi seni Islam sendiri masih menjadi pro-kontra dalam kajian hukumnya di

kalangan ulama dan masyarakat. Kedua, gagasan seni profetik sendiri

memerlukan perasan ide brilian dari para seniman muslim dan guru seni muslim

yang mereka tidak hanya harus menampilkan seni Islam ansich, tetapi juga harus

menjadikan seni Islam itu dapat membumi diterima di semua kalangan


276

masyarakat tanpa menimbulkan diskriminasi perbedaan agama dan perbedaan

nilai-nilai kultur peradaban. Jelasnya, seni Islam mesti dipoles sedemikian rupa

menjadi seni yang populis Islamis dan atau mengandung nilai-nilai profetis

Islamis (kebenaran, kebaikan dan keindahan). Contohnya adalah, seni wayang

yang telah dipoles para walisongo menjadi Seni Islam Profetis.

Implementasi seni profetik dalam pendidikan seni Islam memang perlu

dirumuskan dalam konsep praktis. Langkah-langkah perumusan konsep praktis

implementasi seni profetik dalam pendidikan seni Islam tentunya bisa meminjam

rumus-rumus dasar teori dan metode belajar dan mengajar. Beberapa di antaranya

bagaimana cara merumuskan softwarenya dahulu seperti apa bahan ajar yang

perlu dituliskan dalam buku ajar, dan handbooknya. Bagaimana filosofis seni

profetik itu, tujuannya, visi misinya, manfaat dan kompentensinya. Kemudian

baru hardwarenya seperti kurikulumnya bagaimana, satuan ajar, penilaian,

evaluasi dan seterusnya.

Garapan kerja perumusan implementasi seni profetik ini dalam pendidikan

seni Islam tentu membutuhkan pemikiran dan tenaga ekstra tersendiri. Tulisan ini

hanya sebagai gagasan awal mendeskripsikan dan mengkonsepsikan apa itu sosok

seni profetik yang seterusnya akan menjadi dasar pijak harapan implementasinya

dalam ranah praksis dalam pendidikan seni Islam.

Saat ini seni Islam yang sudah popular dan tidak mendatangkan

perdebatan seperti: arsitektur Islam, kaligrafi, sastra, qiro’ah, rebana dan beberapa

tarian di aceh dan lain sebagainya bisa dijadikan pilot proyek untuk dijadikan

menjadi seni profetik Islamis. Beberapa kesenian tersebut yang sudah diajarkan
277

dan menjadi matapelajaran di pondok pesantren dan juga di sekolah-sekolah Islam

(MI, MTS dan MAN) tentunya dapat dijadikan titik pijakan awal

mengimplementasikan konsep seni profetik ke dalam pendidikan seni Islam. Baru

kemudian kita bisa melirik pada jenis kesenian popular seperti, musik modern,

tarian modern, nyanyian, seni pertunjukkan, seni visual dan audio modern dan

lain sebagainya.

Akhirnya, janganlah seni Islam hanya menjadi penonton di pinggiran dan

terkungkung dalam tempurung kura-kura yang hanya dapat berjalan sangat lambat

berkarya dan beramar-ma’ruf nahi munkar dalam membangun peradaban

masyarakat.
278

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Estetika dan seni merupakan konsep epistemologi yang tidak populer di

dalam wacana kajian Islam, umat Islam pada umumnya belum mempunyai

pengetahuan seni yang mapan dan applicable, baik secara filosofis

(estetika ataupun filsafat seni Islam, yang merumuskan nilai keindahan

sesuai ajaran Islam), teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada

seni Islam atau seni Muslim), praktis (kajian tentang teknik-teknik

perbidang) dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni

Islam dalam hubunganya dengan perkembangan masyarakat Muslim

termasuk di dalam dunia pendidikan). Di dalam paradigma yang demikian

syukurlah kita masih mempunyai beberapa tokoh seni Islam. Al-Faruqi

misalnya di dalam karya monumentalnya The Cultural Atlas of Islam,

telah melakukan pembahasan yang sangat mendasar dan merumuskan

secara komprehensif tentang bagaimana estetika Islam itu dan apa seni

Islam itu. Pengklasifikasiannya terhadap produk estetis dilakukan secara

konsisten dengan dasar pandangan tauhid yang ia ajukan. Di samping Al-

Faruqi juga mengadvokasi satu jenis seni tertentu dan menolak jenis seni

yang lain yang ada dalam sejarah Islam. Bagi Faruqi seni bukan untuk

seni. Seni merupakan ekspresi estetis yang akan menghantarkan kesadaran

penikmat seni kepada ide transenden. Demikian juga dengan Rumi melalui

kreasi dan apresiasi keindahan dalam suatu karya seni ikut menghantarkan

266
279

Rumi mengalami pengembaraan dalam alam spiritual, di mana keluar dari

alam bentuk dan masuk ke dalam alam tanpa bentuk dan sarat dengan

makna. Kondisi ini membawa pencerahan pada manusia dan kembali ke

pusat sistemnya, kemudian mengalami kehidupan sebagai keseluruhan di

mana manusia menjadi satu bagiannya.

2. Agama dan paradigma profetik sebenarnya memiliki jalinan struktur yang

erat. Paradigma profetik lebih banyak menggunakan rasio dalam

memaknai fenomena qauliyah dan kauniyah untuk difungsikan dalam

kehidupan nyata. Karena secara etik normatif rasio itu diciptakan, maka ia

bertanggung jawab kepada penciptanya. Pada titik inilah agama dijadikan

sebagai sandaran, terutama pada dimensi ketauhidannya yang dielaborasi

dan diserap sebagai etika profetik. Singkatnya, teori pengetahuan yang

dikembangkan itu berporos pada tali hubungan antara manusia dan Tuhan,

yang memanifestasikan nilai transendental dan memihak pada eksistensi

kehidupan sebagai pertanggung jawaban kepada yang maha Kuasa. Karena

itu semua pemikir, terutama pemikir Muslim di dalam elaborasinya

terhadap persoalan kesenian, maka yang muncul adalah sarana ekspresi

seorang hamba untuk mengetahui eksistensi kehidupan secara transenden,

di mana pada batas-batas tertentu masuk ke dalam ruang penghambaan

yang menerobos dari jalan keshalehan berdasarkan paradigma estetikanya

yang mencerahkan.

3. Pengembangan kesenian Islam yang diformasi dalam seni profetik

nampaknya perlu penanganan yang lebih serius. Secara historis dapat

dilihat bahwa seni merupakan salah satu media efektif dalam


280

mengembangkan dakwah Islamiyahnya, terutama di dalam wilayah

pendidikan. Nilai - nilai profetik Islam yang bersifat universal dan tidak

membedakan lintas ruang dan waktu, sudah saatnya diproduktifkan

melalui media kesenian profetik. Hal tersebut di samping dimaksudkan

sebagai sosialisasi nilai-nilai Islam, juga sebagai bagian pembentukan

peradaban muslim pascamodernisme. Kekosongan nilai-nilai pada

peradaban modern dan bangkitnya masyarakat untuk mengembangkan

peradaban melalui dunia pendidikan dengan niali-nilai humanis dan

religious, sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk

mengedepankan nilai-nilai profetik sebagai alternatif dalam segala matra

kehidupan.

B. Implikasi Penelitian

1. Penelitian ini sedikit banyak akan melahirkan dan menstimulasi paradigma

seni dan estetika Islam yang punya sandaran trasendental yang kokoh dan

universal. Keadaan yang demikian dimungkinkan akan

menumbuhkembangkan corak seni profetik yang digali dari subtansi

ruhiyah masyarakat dengan galian sendi-sendi tauhid yang transformatif

dan mencerahkan.

2. Seni dan estetika di dalam basis yang demikian tersebut di atas, jika

dihubungkan dan ditarik ke dalam aspek ataupun wilayah pendidikan,

maka akan memberikan udara dan iklim yang menyejukkan dan

menyegarkan untuk bangunan pendidikan Islam yang sangat gayung


281

bersambut terhadap tujuan luhur dan fungsi Islam sebagai agama rahmatan

lil alamin.

3. Basis kekuatan seni profetik adalah sebuah konversi yang menyatukan

antara agama, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam

sungsum epistemologi keilmuan. Karena itu ke depan Kesenian Profetik

akan mewujud menjadi sistem yang utuh dan tidak terdistorsi oleh ruang

lingkup yurisprudensi yang multi agama dan madzhab filsafat.

C. Saran-Saran

1. Perlunya sebuah konsep luas mengenai ilmu pengetahuan dan perlunya

memberikan kebebasan tumbuhnya berbagai disiplin ilmu. Konsep dasar

penyatuannya adalah pada tauhid. Tauhidlah yang memungkinkah fitrah

manusia menjadi salimah, terpadunya ilmu humaniora dan ilmu keislaman

melalui penekanan pembentukan karakteristik di dalam dunia pendidikan.

Kesadaran untuk menerima Islam secara kaffah total dan ridho serta

kehendak memunculkan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan dan

teknologi adalah sebuah keharusan.

2. Konseptualisasi, yakni keharusan mengembangkan konsep turunan dari

Alqur’an dan as-Sunnah sebagai usaha akumulatif bersamaan dengan

penelitian dan pengembangan konsep menjadi suatu teori pendidikan seni

profetik yang aplikatif.

3. Bagi civitas akademika dan pecinta keilmuan, diharapkan

mengembangkan sikap kritis, inovatif, dan minat belajar yang progresif

serta menumbuhkan semangat ruhul jihad fi ilmi agar mereka bukan


282

sekedar mencari ijazah untuk kemudian kerja, melainkan mereka punya

tangung jawab terhadap masa depan umat dan masyarakat, kemudian

menyuburkan kajian Islam dan kebudayaan, Iptek secara akumulatif-

integratif, tekstual-kontekstual, ilmiah-alamiah.


283

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an dan Terjemahan. Departemen Agama Republik Indonesia.

Al-Attas, Syed M. Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. (Terj) Bandung:
Mizan.

Arifin, Syamsul dan Tobroni. 1994. Islam Pluralitas Budaya dan Politik.
Yogyakarta: SIPRES.

Arifin, Syamsul dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan.
Yogyakarta: SIPRESS.

Arifin, Syamsul. 2000. Merambah jalan Baru dalam Beragama. Yogyakara:


Bigraf.

AR, Sirajuddin. 1989. Alqur’an dan Reformasi Kaligrafi Arab. dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. I.
Ayyad, Muhammad. 1982. al-Madkhal Ila ‘Ilm al-Uslub, Riyad: Darul Ulum.
Audah, Ali. 1993. Kreativitas Kesenian dalam Tradisi Islam. Dalam Yustiono
(ed). Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal.
B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer.
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains Esai-Esai Tentang Sejarah Filsafat Sains
Islam. Bandung: Pustaka Hidayah.
Baker SJ, J. W. M. 2001. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar Penerbit
Kanisius. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia.
Beg, M. Abdul Jabbar. 1988. Seni di Dalam Peradaban Islam. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Brakinsky. 1993. Tasawuf dan Sastra Melayu, Kajian dan Teks-teks. Jakarta: Seri
Publikai Bersama Pusat Bahasa dan Universitas Leiden.
Dananjaya, James. 1983. Fungsi Teater Rakyat bagi Kehidupan Masyarakat
Indonesia, dalam Edi Sedyawati (ed). Seni dalam Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Gramedia.

Djamal, A. Noerhadi. 1995. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Telaah Refektif


Qur’ani, dalam Ahmad Tafsir. Epistemologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam.
Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.

Eliade, Mircea. 1987. The Encyclopaedia of Religion, New York: Macmillan.


284

Engineer, Asghar Ali. 1993. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Esa, Sulaiman. 1993. Islam Art and Culture Identity: The Search for
Transendence in The Contemporary Plastic Arts Malaysia, dalam Yustiono
(ed), Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta:
yayasan Festival Istiqlal.

Fadjar, A. Malik. 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakata: LP3NI.

Faruqi, Ismail Raji al. 1984. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka.

Faruqi, Ismail Raji’. 1999. Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam.
Yogyakarta: Bentang.

Fathul A. Husein. 2000. Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur.
(artikel). Jakarta : Dhiyakarya.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan. Jakarta: Gramedia.

G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese
Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff.

Garaudy, R. 1982. Janji-janji Isla. alih bahasa H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan


Bintang.

——— . 1986. Mencari Agama Pada Abad XX, Wasiat Filsafat Roger Garaudy
(Biographie du XX Siecle, Le Testament Philosophique de Roger Garaudy). alih
bahasa H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Gazalba, Sidi, 1988, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dan Seni Budaya Karya
Manusia. Jakarta: Pustaka Alhusna.

Ghulsyani, Mahdi. 1998. Filsafat sains Menurut Alqur’an. (Terj). Bandung:


Mizan.

Gusmian, Islah. 2003. Kaligrafi Islam: dari Nalar Seni hingga Simbolisme
Spiritual. dalam Jurnal al-Jami’ah, vol. 41 No. 1.
Hadi, Abdul, WM.. 2006. Sunan Bonang dan Peranan Pemikiran Sufistiknya.
(artikel). Jakarta : Paramadina.

Hossein, S. H. 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: al-Mawardi.

Iqbal, M. 2002. Reconstruction of Religious Thought in Islam. Yogyakarta:


Jalasutra.

Iqbal, M. 1966. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction


of Religious Thought In Islam). alih bahasa Osman Raliby. Jakarta: Bulan
Bintang.
285

Jassin, HB. 1995. Kontroversi Alqur’an Berwajah Puisi. Jakarta: Grafiti.


Kardiyanto, Wawan. 2006. Kesenian Prophetik. (artikel). Surakarta: Jurnal Gelar
ISI Surakarta

Kattsoff, Louis, O. 1987. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kermani, Navid 2002. The Aesthetic Reception of the Quran as Reflected in Early
Muslim History. dalam Issa J Boullata (ed) Literary Structures of
Religious Meaning in the Quran, Curzon: Curzon Press.

Khan, A. Warid. 2002. Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Istawa.

Kuntowidjojo. 194. Alqur’an Sebagai Paradigma. Wawancara dengan Jurnal


Ulumul Qur’an No. 4 Vol. V.

-----------------. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.

-----------------. 1997. Menuju Ilmu Sosial Profetik, dalam republika, 8 Agustus


1997.

-----------------. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera


Media.

Leaman, Oliver. 2005. Menafsirkan Seni dan Keindahan Estetika Islam. Bandung:
Mizan.

Ma’arif, syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung:


Mizan.

Ma’arif, Syafi’i. Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan, dalam


Muslih Usa. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Maftuh, Ahnan. 1414 H.. Walisongo: Hidup dan Perjuangannya. Surabaya :


Anugerah.

Majlis Kebudayaan Muhammadiyah. 1995. Islam dan Kesenian. Yogyakarta:


Lembaga Litbang PP Muhammadiyah.

Mami, Anak. Mengenal Leo Tolstoy dan Pandangannya Terhadap Seni. (artikel).
http//www.anakmami.co.tv.htm.

Minorsky, V., 1959. Calligraphers and Painters, Washington DC: tnp.


Nasr, Sayyid Husein. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan.
286

Nasr, Sayyid Hussein. 1997. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Nasr, Sayyid Husein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung:
Pustaka.

Nasr, Sayyid Husein. 1994. Menjelajah Dunia Modern. Bandung: Mizan.

Noeng, Muhadjir.1996. Pendidikan Islami Untuk Masa Depan Kemanusiaan.


Cirebon: IAIN SGD.

O’dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta:


PT.CV. Rajawali.

Parma, Gede. 1993. Postmodernisme ?. Kompas, 4 Desember. 1993.

Parmono, Kartini. 2009. Horizon Estetika. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat


UGM.

Parsons, Talcott. 1975. Social Systems and The Evolution of Action Theory. New
York: The Free Press.

Qalyubi, Syihabuddin. 1997. Stilistika Alqur’an,Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Qardhawy, Yusuf. 1998. Seni dan Hiburan dalam Islam. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.

Qardhawy, Yusuf. 2002. Islam Berbicara Seni. Terj. Wahid Ahmadi. Solo: Era
Intermedia.

R.Pinat@cwcom.net, apakabar@radix.net.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Ritzer, G. 1996. Modern Sociological Theory. New York: Mc. Graw - Hill
Companies.

Rumi, Jalaluddin. 2001. Kisah Keajaiban Cinta (Renungan Sufistik Mutiara


Diwan-I Syam- I Tabriz. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Saifuddin, A.M. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung:


Mizan.

Sardar, Ziauddin. 2002. Rekayasa Masa Depan Muslim. Yogyakarta: Jendela.


287

Schimel, Amnemarie. 2002. Dunia Rumi (Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi).
Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Schoun, F. 1981. Understanding Islam. London.

Shihab, Quraish. 1997. Mu’jizat Alqur’an, Bandung: Mizan.


Simon, Hasanu, 2006, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo Dalam
Mengislamkan Tanah Jawa, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.

Siregar, Amir Meison. 2000. Rumi: Cinta dan Tasawuf. Magelang: Tamboer
Press.

Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogjakarta : Pustaka


Pelajar.

Strauss, Levi. 1990. Strukturalisme dan Teori Sosiologi. Yogjakarta: Insight


Reference.

Sulaiman, Abdul Hamid Abu. 1994. Krisis Pemikiran Islam. Terj. Rifyal Ka’bah.
Jakarta: Media Dakwah.

Sumardjo, Jacob. 1983. Filsafat Seni. Bandung : ITB Badung.

Sutrisno, Mudji dkk. 2005. Teks-Teks Kunci Filsafat Seni. Yogyakarta: Galang
Press.

Sutrisno, Mudji, S. J. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.

Syaristani, Muhammad. Tt. Kitab Milal wa Nihal. Volume. II.

Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum. Bandung.

Titus, Smith, Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Terj. H. M. Rasjidi.


Jakarta: Bulan Bintang.

Wahid, Abdurrahman. 1982. Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan


Kebebasan Bentuk. Dalam Edi Sedyawati (ed). Seni Dalam Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Waridi, 2006, Serpihan-Serpihan Kekaryaan Pembentuk Teori dan Penumbuh


Keilmuan Karawitan, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar), ISI
Surakarta, Surakarta.

Waters. 1994. Resources Engineering. Luigia P: academic Press.

Anda mungkin juga menyukai