Anda di halaman 1dari 73

MAKALAH

PEMERIKSAAN FISIK PADA IBU HAMIL

"Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Maternitas"

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Ajeung Nuraeni Rossadi Mentari Espa S
Anisa Eka R Ranika Aprilia
Atin Lestiani Rina Anggraeni
Detri Diningsih Rismayanti
Dewi Suci A Silvi Agustin
Lulu Lusiana Sri Mulyati

STIKES KARSA HUSADA GARUT


D3 KEPERAWATAN
2018-2019

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemeriksaan fisik pada ibu hamil dapat dilakukan dengan beberapa

pemeriksaan. Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala

atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien. Pemeriksaan fisik bertujuan untuk

mengumpulkan data tentang kesehatan pasien, menambah informasi, menyangkal data

yang diperoleh dari riwayat pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai

perubahan status pasien, dan mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah diberikan.

Adapun tujuan pemeriksaan pada ibu hamil yaitu untuk menilai keadaan umum ibu,

status gizi, tingkat keasadaran, serta ada tidaknya kelainan bentuk badan.

Dalam melakukan pemeriksaan fisik terdapat teknik dasar yang perlu

dipahami, antara lain inspeksi (melihat), palpasi (meraba), perkusi (ketukan), dan

auskultasi (mendengar).

Observasi (pengamatan secara seksama) Pemeriksaan dilakukan pada seluruh

tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki, namun tidak harus dengan urutan

tertentu. Pemeriksaan yang menggunakan alat seperti pemeriksaan tengkorak, mulut,

telinga, suhu tubuh, tekanan darah, dan lain-lainnya, sebaiknya dilakukan paling akhir,

karena dengan melihat atau memakai alat-alat.

Dalam pemeriksaan fisik ini tentunya diperlukan konsep dan prinsip dasar,

kemudian kita mengetahui bagaiamana teknik pemeriksaan fisik dengan baik agar

hasil pemeriksaan yang kita peroleh tidak akan keliru. Oleh karena alasan tersebut ,

penulis membuat makalah ini yang bertujuan untuk memberi pemahaman dan

pengetahuan kepada pembaca mengenai pemeriksaan fisik pada ibu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar pemeriksaan fisik pada ibu ?

2. Apa prinsip dasar yang digunakan pada pemeriksaan fisik ibu ?

3. Bagaimana teknik dasar pemeriksaan fisik pada ibu ?

4. Bagaimana pemeriksaan fisik ?

5. Bagaimana pemeriksaan fisik head to toe ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar pemeriksaan fisik pada

ibu.

2. Untuk mengetahui dan memahami prinsip dasar pemeriksaan fisik pada

ibu.

3. Untuk mengetahui dan memahami teknik dasar pemeriksaan fisik pada

ibu.

4. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik.

5. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik head to toe.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang lengkap dari penderita untuk

mengetahui keadaan atau kelainan dari penderitaan. Tujuannya adalah untuk

mengetahui bagaimana kesehatan umum ibu (bila keadaan umumnya baik agar di

pertahankan jangan sampai daya tahan tubuh menurun) , untuk mengetahui adanya

kelainan, bila ada kelainan, kelainan itu lekas diobati dan disembuhkan agar tidak

menganggu.

Pemeriksaan dilakukan pada klien yang baru pertama kali datang periksaan ,

ini di lakukan dengan lengkap. Pada pemeriksaan ulangan, di lakukan yang perlu saja

jadi tidak semuanya. Waktu persalinan, untuk penderita yang belum pernah diperiksa

di lakukan dengan lengkap bila masih ada waktu dan bagi ibu yang pernah periksa di

lakukan yang perlu saja.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan pemeriksaan fisik,

diantaranya sikap petugas kesehatan saat melakukan pengkajian. Selain itu, harus

menjaga kesopanan, petugas harus membina hubungan yang baik dengan pasien.

Sebelum melakukan pemeriksaan, pastikan lingkungan tempat peemeriksaan

senyaman mungkin, termasuk mengatur pencahayaan. Asuhan kebidanan pada ibu

hamil dengan adanya pencatatan data yang akurat, diharapkan pengambilan tindakan

yang dilakukan sesuai dengan masalah atau kondisi klien.

2.2 Prinsip Dasar Pemeriksaan Fisik

Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai

status kesehatan pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama, untuk

mengidentifikasi status “normal” dan kemudian mengetahui adanya variasi dari

keadaan normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala


pasien, penapisan/skrining keadaan wellbeing pasien, dan pemantauan masalah

kesehatan/penyakit pasien saat ini. Informasi ini menjadi bagian dari catatan/rekam

medis (medical record) pasien, menjadi dasar data awal dari temuantemuan klinis

yang kemudian selalu diperbarui (updated) dan ditambahkan sepanjang waktu.

Prinsip Pelaksanaan Pemeriksaan Fisik :

1. Cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan .

2. Pastikan bahwa kuku jari bersih tidak panjang, sehingga tidak menyakiti

pasien.

3. Terlebih dahulu hangatkan tangan dengan air hangat sebelum menyentuh

pasien atau gosok bersama-sama kedua telapak tangan dengan telapak tangan

satunya.

4. Jelaskan pada pasien secara umum apa yang akan dilakukan .

5. Gunakan sentuhan yang lembut tetapi,tidak menggelitik pasien dan cukup kuat

untuk memeperoleh informasi yamg akurat.

6. Buatlah pendekatan dan sentuhan sehingga menghargai jasmani pasien dengan

baik, serta sesuai dengan hak pasien terhadap kepantasan dan atas hak pribadi.

7. Tutupi badab pasien selama pemeriksaan dan hanya bagian yang di periksa

yang terbuka.

Prinsip umum dari pemeriksaan fisik adalah dilakukan secara komprehensif.

2.3 Teknik Dasar Pemeriksaan Fisik

Terdapat empat teknik pengkajian yang secara universal diterima untuk

digunakan selama pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Teknik-

teknik ini digunakan sebagai bingkai kerja yang menfokuskan pada indera penglihatan,

pendengaran, sentuhan dan penciuman. Data dikumpulkan berdasarkan semua indera

tersebut secara simultan untuk membentuk informasi yang koheren. Teknik-teknik


tersebut secara keseluruhan disebut sebagai observasi/pengamatan, dan harus

dilakukan sesuai dengan urutan di atas, dan setiap teknik akan menambah data yang

telah diperoleh sebelumnya.

Pemeriksaan fisik pada kehamilan dapat dilakukan melalui pemeriksaan

sebagai berikut :

a. Inspeksi (Pandang)

Langkah pertama pada pemeriksaan pasien adalah inspeksi, yaitu melihat

dan mengevaluasi pasien secara visual dan merupakan metode tertua yang digunakan

untuk mengkaji/menilai pasien. Inspeksi dilakukan untuk menilai keadaan ada

tidaknya cloasma gravidarum pada muka/wajah, pucat atau tidak pada selaput mata,

dan ada tidaknya edema. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan pada leher

untuk menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar gondok atau kelenjar limfe.

Pemeriksaan dada untuk menilai bentuk buah dada dan pigmentasi putting susu.

Pemeriksaan perut untuk menilai apakah perut membesar ke depan atau ke samping,

keadaan pusat, pigmentasi linea alba, serta ada tidaknya striae gravidarum.

Pemeriksaan vulva untuk menilai keadaan perineum, ada tidaknya tanda chadwick,

dan adanya fluor. Kemudian pemeriksaan ekstremitas untuk menilai ada tidaknya

varises.

b. Palpasi ( Meraba )

Palpasi , di lakukan untuk menentukan besarnya rahim dengan menentukan

usia kehamilan serta menentukan letak anak dalam rahim. Pemeriksaan secara palpasi

di lakukan dengan menggunakan metode leopold , yakni :

1. Leopold I
Leopold I digunakan untuk menentukan usia kehamilan dan bagian apa

yang ada dalam fundus, dengan cara pemeriksa berdiri sebelah kanan dan

menghadap ke muka ibu, kemudian kaki ibu di bengkokkan pada lutut dan

lipat paha, lengkungkan jari-jari kedua tangan untuk mengelilingi bagian atas

fundus, lalu tentukan apa yang ada di dalam fundus. Bila kepala sifatnya

keras, bundar, dan melenting. Sedangkan bokong akan lunak, kurang bundar,

dan kurang melenting.tinggi normal fundus selama kehamilan dapat di

tentukan.

2. Leopold II

Leopold II digunakan untuk menetukan letak punggung anak dan letak

bagian kecil pada anak. Caranya :

1. Kedua tangan pemeriksa berada di sebelah kanan dan kiri perut

ibu.
2. Ketika memeriksa sebelah kanan, maka tangan kanan menahan

perut sebelah kiri kea arah kanan.

3. Raba perut sebelah kanan menggunakan tangan kiri dan rasakan

bagian apa yang ada di sebelah kanan (jika teraba benda yang rata,

atau tidak teraba bagian kecil, terasa ada tahanan, maka itu adalah

punggung bayi, namun jika teraba bagian-bagian yang kecil dan

menonjol maka itu adalah bagian kecil janin)

3. Leopold III

Leopold III digunakan untuk menentukan bagian apa yang terdapat di

bagian bawah dan apakah bagian anak sudah atau belum terpegang oleh

pintu atas panggul. Caranya :

1. Tangan kiri menahan fundus uteri.

2. Tangan kanan meraba bagian yang ada di bagian bawah uterus. Jika

teraba bagian tang bulat, melenting keras, dan dapat digoyangkan

maka itu adalah kepala. Namun jika teraba bagian yang bulat, besar,

lunak, dan sulit digerakkan, maka itu adalah bokong. Jika dibagian

bawah tidak ditemukan kedua bagian seperti yang diatas, maka

pertimbangan apakah janin dalam letak melintang.


3. Pada letak sungsang (melintang) dapat dirasakan ketika tangan kanan

menggoyangkan bagian bawah, tangan kiri akan merasakan

ballottement (pantulan dari kepala janin, terutama ini ditemukan pada

usia kehamilan 5-7 bulan).

4. Tangan kanan meraba bagian bawah (jika teraba kepala, goyangkan,

jika masih mudah digoyangkan, berarti kepala belum masuk panggul,

namun jika tidak dapat digoyangkan, berarti kepala sudah masuk

panggul). Lalu lanjutkan pada pemeriksaan Leopold VI untuk

mengetahui seberapa jauh kepala sudah masuk panggul.

4. Leopold IV

Leopold IV digunakan untuk menentukan apa yang menjadi bagian

bawah dan seberapa masuknya bagian bawah tersebut ke dalam rongga

punggung. Caranya :

1. Pemeriksa menghadap ke kaki pasien

2. Kedua tangan meraba bagian janin yang ada dibawah

3. Jika teraba kepala, tempatkan kedua tangan di dua belah pihak yang

berlawanandi bagian bawah

4. Jika kedua tangan konvergen (dapat saling bertemu) berarti kepala

belum masuk ke panggul


5. Jika kedua tangan divergen (tidak saling bertemu) berarti kepala

sudah masuk ke panggul.

c. Perkusi (ketukan)

Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendegarkan bunyi

getaran/gelombang suara yang di hantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh

yang di periksa. Pemeriksaan di lakukan dengan ketokan jari atau tangan pada

permukaan tubuh. Perjalanan getaran/gelombang suara tergantung oleh kepadatan

media yang dilalui. Derajat bunyi di sebut dengan resonansi. Karakter bunyi yang di

hasilkan dapat menentukan lokasi , ukuran , bentuk , dan kepadatan struktur di bawah

kulit. Sifat gelombang suara yaitu semakin banyak jaringan , semakin lemah

hantarannya dan udara/gas paling resonan.

d. Auskultasi (mendengar)

Auskultasi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan

bunyi yang terbentuk dalam organ tubuh. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi

adanya kelainan dengan cara membandingkan dengan bunyi normal. Auskultasi,

dilakukan umumnya dengan stetoskop monoaural untuk mendengarkan bunyi jantung

anak,bising talipusat, gerakan anak, bising rahim, bunyi aorta , serta bising usus.

Bunyi jantung anak dapat di dengar pada akhir bulan ke-5, walaupun dengan

ultrasonografi dapat diketahui pada akhir bulan ke-3. Bunyi jantung pada anak dapat

terdengar di kiri dan kanan di bawah tali pusat bila presentasi kepala. Bila terdengar

setinggi tali pusat, maka presentasidi daerah bokong. Bila terdengar pada pihak

berlawanan dengan bagian kecil, maka anak fleksi dan bila sepihak maka defleksi.

Dalam keadaan sehat, bunyi jantung antara 120-140 kali per menit. Bunyi

jantung dihitung dengan menedengarknnya selama 1 menit penuh. Bila kurang dari

120 kli per menit atau lebih dari 140 per menit, kemungkinan janin dalam keadaan
gawat janin. Selain bunyi jantung anak, dapat didengarkan bising tali pusat seperti

denyut nadi ibu, bunyi aorta frekuensinya sama seperti denyut nadi dan bising usus

yang sifatnya tidak teratur.

2.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada ibu hamil dapat dilakukan dengan beberapa

pemeriksaan. Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala

atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien. Pemeriksaan fisik bertujuan untuk

mengumpulkan data tentang kesehatan pasien, menambah informasi, menyangkal data

yang diperoleh dari riwayat pasien, mengidentifikasi masalah pasien, menilai

perubahan status pasien, dan mengevaluasi pelaksanaan tindakan yang telah diberikan.

Berikut adalah uraian dari pemeriksaan fisik secara umum, yang terdiri dari :

1. Keadaan Umum

Keadaan umum menunjukkan kondisi pasien secara umum akibat penyakit atau

keadaan yang dirasakan pasien.

Dilihat secara langsung oleh pemeriksa dan dilakukan penilaian. Yang dapat

dilakukan saat kontak pertama, saat wawancara atau selama melakukan

pemeriksaan yang lain.

Hal – hal yang perlu dikaji dan dicatat :

1. Penampilan umum : tegak/baik, lemah, sakit akut/kronis.

2. Tanda distress : merintih, berkeringat, gemetar

3. warna kulit : pucat, sianosis, icterus

4. Tinggi dan bentuk tubuh : tinggi/pendek, berotot

5. Perkembangan seksual : rambut majah, suara, payudara

6. BB/TB pengukuran dan penampilan : kurus, gemuk , tinggi kurus

7. Postur dan gaya berjalan : ataksia, pincang, paralysis


8. Cara berpakaian, berhias dan kebersihan : rapi dan bersih

9. Ekspresi wajah : tegang, rileks, takut, cemas

10. Bicara : lambat, serak, cepat

2. Keasadaran

Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap

rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

1. Compos Mentis adalah ketika seseorang masih tersadar penuh.

2. Apatis adalah yaitu kurangnya respon terhadap keadaan sekeliling ditandai

dengan tidak adanya kontak mata atau mata terlihat menerawang dan tidak

fokus.

3. Samnolen (letargie) adalah keadaan dimana seseorang sangat mudah

mengantuk dan tidur terus menerus tapi masih mudah di bangunkan.

4. Sopor adalah kondisi tidak sadar atau tidur berkepanjangan tetapi masih

memberikan reaksi terhadap rangsangan.

5. Koma adalah kondisi tidak sadar dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan

tertentu.

6. Delirium adalah penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus

tidur bangun. pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-

meronta.

7. Semi Koma adalah penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon

rangsangan verbal dan tidak dapat di bangunkan sama sekali ( kornea, pupil )

masih baik. Respon nyeri tidak adekuat.


8. GCS ( glasgow coma scale ) adalah skala yang dipakai untuk menentukan atau

menilai tingkat kesadaran pasien atau klien, mulai dari sadar sepenuhnya

hingga koma. teknik ini terdiri dari 3 bagian yang di tunjukan oleh pasien

setelah di beri stimulasi tertentu, yakni respon buka mata, respon verbal dan

respon motorik.

1. Respon membuka mata  ( nilai 1-4 )

Dekati pasien dan perhatikan respon membuka mata pasien dan beri

stimula si perintah dan nyeri pada pemeriksaan berikutnya :

1. Membuka spontan

2. Dengan perintah

3. Dengan rangsangan nyeri

4. Dengan nangsangan nyeri tidak membuka mata

2. Respon verbal ( nilai 1-5 )

Tanyakan kepada pasien dengan pertanyaan mudah dan sederhana :

1. Orientasi baik ( sesuai pertanyaan dan kalimat baik )

2. Tidak sesuai dengan pertanyaan, struktur kalimat baik

3. Struktur kalimat kacau

4. Hanya bersuara

5. Tidak bersuara

3.    Respon motorik ( nilai 1 – 6 )

Perintahkan pasien untuk menggerakkan  tangan dan beri stimulasi nyeri

pada pemeriksaan berikutnya :

1. Dapat menggerakkan  tangan sesuai perintah

2. Melokalisir dengan stimulasi

3. Menghindar/ menolak / meronta dengan stimulasi


4. Fleksi dengan stimulasi

5. Ekstensi dengan stimulasi

6. Tidak ada respon

Keadaan Emosional

Riwayat Psikososial, untuk mengetahui keadaan emosional ibu. Hal-hal yang

dikaji, yaitu :

1. Kehamilan ini direncanakan/tidak,

2. Respon ibu, suami, dan keluarga terhadap kehamilan,

3. Keadaan hubungan ibu dengan suami, keluarga, dan tetangga, dan

4. Ada atau tidaknya kekhawatiran-kekhawatiran khusus.

3. TB, BB dan LILA

 Tujuan : Untuk memastikan kesan terhadap pasien atau klien terutama

mengenai derajat kesehatan. Pada pasien gemuk atau kurus memberi gambaran

kemungkinan mengidap penyakit.

- BB ( Berat Badan )

Untuk timbangan berat badan di klinik kehamilan tersedia timbangan yang

praktis. Timbangan ini model jembatan dan ukuran tinggi badan bersama-

sama timbangan itu. Ada pula tersedia timbangan kodok yang tidak disertai

tinggi badan, jadi ukuran tinggi badan tersendiri.

 Cara pemeriksaan :

1) Penderita diberitahu, pakaian yang perlu dibuka, atau ganti dengan

pakaian klinik.

2) Balans disetel

3) Penderita dipersilahkan naik diatas timbangan


4) Lihat skala menunjukan angka berapa, sampai keseimbangan balans

dan berat badan dicapai

5) Hasil dilihat dan dicatat

6) Pasien dibereskan

- Tinggi Badan

Mengukur tinggi badan kadang-kadang dilakukan pada ibu yang pertama

kali datang pengukuran ini bermanfaat apabila ibu datang sudah hamil

muda. Tinggi badan ini untuk menetapkan ibu itu kurus atau normal,

disesuaikan dengan berat badannya.

 Cara mengukur tinggi badan :

1) Ibu hamil diberitahu, sandal/sepatu dilepaskan.

2) Ibu hamil berdiri membelakangi ukuran tinggi badan yang

mempunyai skala dengan angka yang menunjukan tinggi badan

dalam sentimeter.

3) Ujung ukuran tinggi badan diletakan di atas kepala pada bagian

yang rata.

4) Lihat ujung yang sebelah lagi dan ukuran yang terletak diatas

kepala itu menunjukkan tinggi badan

5) Hasil dilihat dan dicatat

- LiLA ( Lingkar Lengan Atas )

Pada ibu hamil (bumil) pengukuran LiLA merupakan deteksi dini Kurang

Energi Kronis (KEK). Bumil yang KEK berpotensi melahirkan bayi

dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR berkaitan dengan

volume otak dan IQ seorang anak.


 Alat : pita LiLA sepanjang 33 cm dengan ketelitian 0,1 cm atau

meteran kain.

 Persiapan :

1) Pastikan pita LiLA tidak kusut, tidak terlipat-lipat atau tidak sobek

2) Jika lengan responden > 33cm, gunakan meteran kain

3) Responden diminta berdiri dengan tegak tetapi rileks, tidak

memegang apapun serta otot lengan tidak tegang

4) Baju pada lengan kiri disingsingkan keatas sampai pangkal bahu

terlihat atau lengan bagian atas tidak tertutup.

 Cara mengukur LiLA :

Sebelum pengukuran, dengan sopan minta izin kepada responden

bahwa petugas akan menyingsingkan baju lengan kiri responden sampai

pangkal bahu. Bila responden keberatan, minta izin pengukuran

dilakukan di dalam ruangan yang tertutup.

1. Tentukan posisi pangkal bahu.

2. Tentukan posisi ujung siku dengan cara siku dilipat dengan telapak

tangan ke arah perut.

3. Tentukan titik tengah antara pangkal bahu dan ujung siku dengan

menggunakan pita LiLA atau meteran, dan beri tanda dengan

pulpen/spidol (sebelumnya dengan sopan minta izin kepada

responden). Bila menggunakan pita LiLA perhatikan titik nolnya.

4. Lingkarkan pita LiLA sesuai tanda pulpen di sekeliling lengan

responden sesuai tanda (di pertengahan antara pangkal bahu dan

siku).
5. Masukkan ujung pita di lubang yang ada pada pita LiLA.

6. Pita ditarik dengan perlahan, jangan terlalu ketat atau longgar.

7. Baca angka yang ditunjukkan oleh tanda panah pada pita LiLA

(kearah angka yang lebih besar).

8. Tuliskan angka pembacaan

Keterangan: Jika lengan kiri lumpuh, yang diukur adalah lengan

kanan (beri keterangan pada kolom catatan pengumpul data).

4. Pemeriksaan Tanda-tanda vital

A. Tekanan Darah

 Tujuan : untuk menilai system kardiovaskular/keadaan hemodinamik klien

(curah jantung, tahanan vaskuler perifer, volume darah dan viskositas, dan

elastisitas arteri).

 Alat dan bahan pengukuran pemeriksaan tekanan darah :

1. Sfigmomanometer (Tensimeter) yang terdiri dari :

- Manometer air raksa + klep penutup dan pembuka

- Manset udara

- Slang karet

- Pompa udara dari karet + sekrup pembuka dan penutup

2. Stetoskop

3. Buku catatan tanda vital

4. Pena

 Cara pemeriksaan :

1) Jelaskan prosedur pada pasien


2) Cuci tangan

3) Atur posisi pasien

4) Letakkan lengan pasien yang hendak diukur pada posisi terlentang

5) Lengan baju dibuka

6) Pasang manometer pada lengan kanan/kiri atas, sekitar 3 cm diatas

fossa cubiti (Siku lengan bagian dalam). Jangan terlalu ketat atau terlalu

longgar

7) Tentukan denyut nadi arteri radialis  (nadi pada siku bagian dalam)

dekstra/sinistra dengan jari tangan kita

8) Pompa balon udara manset samapi denyut nadi arteri radialis tidak

teraba

9) Pompa terus sampai manometer setinggi 20 mmHg lebih tinggi dari

titik radialis tidak teraba

10) Letakkan diafragma stetoskop diatas arteri brakhialis dan dengarkan

11) Kempeskan balon udara manset secara perlahan dan berkesinambungan

dengan memutar sekrup  pada pompa udara berlawanan arah jarum jam.

12) Catat mmHg manometer saat pertama kali denyut nadi terdengar nilai

ini menunjukkan tekanan sistolik dan catat mmHg denyut nadi yang

terakhir terdengar, niali ini menunjukkan tekanan dastolik.

Suara Korotkoff I : Menunjukkan besarnya tekanan sistolik secara

auskultasi

Suara Korotkoff IV/V: Menunjukkan besarnya tekanan diastolik

secara auskultasi

13) Catat hasilnya pada catatan pasien

14) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan


B. Suhu Tubuh

Suhu tubuh normal : 36 – 37oC

Suhu bayi yang normal minimal 36,5˚C

Nilai standar untuk mengetahui batas normal suhu tubuh manusia dibagi

menjadi empat yaitu :

1. Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C. Untuk mengukur suhu

hipotermi diperlukan termometer ukuran rendah (low reading thermometer)

yang dapat mengukur sampai 25°C

2. Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36,5 - 37,5°C

3. Febris / pireksia / panas, bila suhu tubuh diatas 37,5 - 40°C

4. Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C

 Tujuan : Untuk mengetahui rentang suhu tubuh.

 Persiapan Alat dan Bahan :

1. Stetoskop

2. Tensimeter/Sphygmomanometer

3. Alcohol swab

4. Sarung tangan/handscoen

5. Jam tangan

6. Thermometer (raksadigital/elektrik)

7. Thermometer tympani/aural

8. Thermometer rectal

9. Tissue

10. Kassa

11. Jelly/Lubrikan

12. Bullpen
13. Bengkok

14. Lembar dokumentasi

 Pemeriksaan suhu Oral

Suhu dapat diambil melalui mulut baik menggunakan termometer kaca

klasik atau yang lebih modern termometer digital yang menggunakan probe elektronik

untuk mengukur suhu tubuh.

Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut :

1. Jelaskan prosedur pada klien.

2. Cuci tangan.

3. Gunakan sarung tangan.

4. Atur posisi pasien

5. Tentukan letak bawah lidah.

6. Turunkan suhu termometer di bawah 340 -350C

7. Letakan termometer di bawah lidah sejajar dengan gusi.

8. Anjurkan mulut di katupkan selama 3-5 menit.

9. Angkat termometer dan baca hasilnya.

10. Catat hasil

11. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.

12. Cuci dengan air sabun, desinfektan, bilas dengan air bersih, dan

keringkan.

13. Cuci tangan setelah prosedur di lakukan.

 Pemeriksaan suhu rektal.

Suhu yang diambil melalui dubur (menggunakan termometer gelas atau

termometer digital) cenderung 0,5-0,7˚ lebih tinggi daripada ketika diambil oleh

mulut.
Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut :

1. Jelaskan prosedur pada klien.

2. Cuci tangan.

3. Gunakan sarung tangan.

4. Atur posisi pasien dengan posisi miring.

5. Pakaian di turunkan sampai bawah glutea.

6. Tentukan termometer dan atur pada nilai nol lalu oleskan vaselin.

7. Letakan telapak tangan pada sisi glutea pasien dan masukan termometer

ke dalam rektal jangan sampai berubah tempatnya dan ukur suhu.

8. Setelah 3-5 menit angkat termometer.

9. Catat hasil.

10. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.

11. Cuci dengan air sabun, desinfektan, bilas dengan air bersih, dan

keringkan.

12. Cuci tangan setelah prosedur di lakukan.

 Pemeriksaan suhu Aksila.

Temperatur dapat diambil di bawah lengan dengan

menggunakan termometer gelas atau termometer digital. Suhu yang diambil oleh rute

ini cenderung 0,3-0,4˚ lebih rendah daripada suhu yang diambil oleh mulut.

Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut :

1. Jelaskan prosedur pada klien.

2. Cuci tangan.

3. Gunakan sarung tangan.

4. Atur posisi pasien


5. Tentukan letak aksila dan bersihkan daerah aksila dengan

menggunakan tisu.

6. Turunkan termometer di bawah suhu 340 -350C.

7. Letakan termometer pada daerah aksila dan lengan pasien fleksi di atas

dada.

8. setelah 3-10 menit termometer diangkat dan di baca hasilnya.

9. Catat hasil.

10. Bersihkan termometer dengan kertas tisu.

11. Cuci dengan air sabun, desinfektan, bilas dengan air bersih, dan

keringkan.

12. Cuci tangan setelah prosedur di lakukan.

 Prosedur pengukuran suhu aural

Termometer khusus dengan cepat dapat mengukur suhu gendang telinga,

yang mencerminkan suhu inti tubuh (suhu dari organ-organ internal).

Mungkin suhu tubuh abnormal karena demam (suhu tinggi) atau hipotermia (suhu

rendah). Demam ditandai ketika suhu tubuh meningkat di atas 37˚C secara oral  atau

37,7˚C melalui dubur, menurut American Medical Association. Hipotermia

didefinisikan sebagai penurunan suhu tubuh di bawah 35˚C.

Prosedur pemeriksaan adalah sebagai berikut :

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan pada klien

2. Cuci tangan dan persiapkan alat-alat di dekat klien

3. Pakai sarung tangan

4. Siapkan thermometer tympani, jika klien menggunakan alat bantu

dengar, keluarkan dengan hati-hati dan tunggu hingga 1-2 menit

5. Bersihkan telinga dengan kapas


6. Buka bagian luar telinga, dengan perlahan-lahan masukkan

thermometer sampai liang telinga.

7. Tekan tombol untuk mengaktifkan thermometer

8. Pertahankan posisi thermometer selama pengukuran sampai muncul

suara atau timbul tanda cahaya pada thermometer

9. Ambil thermometer dan baca hasilnya

10. Rapikan klien

11. Cuci tangan

12. Dokumentasikan hasil pemeriksaan

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh manusia yaitu :

a. Kecepatan metabolisme basal

Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini memberi

dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi berbeda pula. Suhu tubuh

sangat terkait dengan laju metabolisme.

b. Rangsangan saraf simpatis

Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan metabolisme

menjadi 100% lebih cepat. Disamping itu, rangsangan saraf simpatis dapat

mencegah lemak coklat yang tertimbun dalam jaringan untuk dimetabolisme.

Hampir seluruh metabolisme lemak coklat adalah produksi panas. Umumnya,

rangsangan saraf simpatis ini dipengaruhi stress individu yang menyebabkan

peningkatan produksi epineprin dan norepineprin yang meningkatkan

metabolisme.
c. Hormon pertumbuhan

Hormon pertumbuhan (growth hormone) dapat menyebabkan peningkatan

kecepatan metabolisme sebesar 15-20%. Akibatnya, produksi panas tubuh juga

meningkat.

d. Hormon tiroid

Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hamper semua reaksi kimia

dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin dapat memengaruhi laju

metabolisme menjadi 50-100% diatas normal.

e. Hormon kelamin

Hormon kelamin pria (testosterone)dapat meningkatkan kecepatan

metabolisme basal kira-kira 10-15% kecepatan normal, menyebabkan peningkatan

produksi panas. Pada perempuan, fluktuasi suhu lebih bervariasi dari pada laki-laki

karena pengeluaran hormone progesterone pada masa ovulasi meningkatkan suhu

tubuh sekitar 0,3 – 0,6°C di atas suhu basal.

f. Demam (peradangan)

Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan peningkatan metabolisme

sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10°C.

g. Status gizi

Malnutrisi yang cukup lama dapat menurunkan kecepatan metabolisme 20 –

30%. Hal ini terjadi karena di dalam sel tidak ada zat makanan yang dibutuhkan

untuk mengadakan metabolisme. Dengan demikian, orang yang mengalami mal

nutrisi mudah mengalami penurunan suhu tubuh (hipotermia). Selain itu, individu

dengan lapisan lemak tebal cenderung tidak mudah mengalami hipotermia karena

lemak merupakan isolator yang cukup baik, dalam arti lemak menyalurkan panas

dengan kecepatan sepertiga kecepatan jaringan yang lain.


h. Aktivitas

Aktivitas selain merangsang peningkatan laju metabolisme, mengakibatkan

gesekan antar komponen otot / organ yang menghasilkan energi termal. Latihan

(aktivitas) dapat meningkatkan suhu tubuh hingga 38,3 – 40,0 °C.

i. Gangguan organ

Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus, dapat

menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan. Berbagai zat

pirogen yang dikeluarkan pada saai terjadi infeksi dapat merangsang peningkatan

suhu tubuh. Kelainan kulit berupa jumlah kelenjar keringat yang sedikit juga dapat

menyebabkan mekanisme pengaturan suhu tubuh terganggu.

j. Lingkungan

Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan, artinya panas

tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan yang lebih dingin. Begitu

juga sebaliknya, lingkungan dapat memengaruhi suhu tubuh manusia.

Perpindahan suhu antara manusia dan lingkungan terjadi sebagian besar melalui

kulit. Proses kehilangan panas melalui kulit dimungkinkan karena panas

diedarkan melalui pembuluh darah dan juga disuplai langsung ke fleksus arteri

kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang mengandung banyak otot.

Kecepatan aliran dalam fleksus arteriovenosa yang cukup tinggi (kadang

mencapai 30% total curah jantung) akan menyebabkan konduksi panas dari inti

tubuh ke kulit menjadi sangat efisien. Dengan demikian, kulit merupakan radiator

panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh.


Berikut adalah mekanisme kehilangan panas tubuh secara garis besar, ada empat

yaitu melalui :

1. Radiasi

Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam bentuk gelombang

panas inframerah. Gelombang inframerah yang dipancarkan dari tubuh memiliki

panjang gelombang 5 – 20 mikrometer. Tubuh manusia memancarkan gelombang

panas ke segala penjuru tubuh. Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas

paling besar pada kulit (60%) atau 15% seluruh mekanisme kehilangan panas.

Panas adalah energi kinetic pada gerakan molekul. Sebagian besar energi pada gerakan

ini dapat di pindahkan ke udara bila suhu udara lebih dingin dari kulit. Sekali suhu

udara bersentuhan dengan kulit, suhu udara menjadi sama dan tidak terjadi lagi

pertukaran panas, yang terjadi hanya proses pergerakan udara sehingga udara baru

yang suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.

2. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung kulit dengan

benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses kehilangan panas dengan

mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan dengan benda umumnya memberi

dampak kehilangan suhu yang kecil karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan

tubuh untuk terpapar langsung dengan benda relative jauh lebih kecil dari pada

paparan dengan udara, dan sifat isolator benda menyebabkan proses perpindahan

panas tidak dapat terjadi secara efektif terus menerus.

3. Evaporasi

Evaporasi ( penguapan air dari kulit ) dapat memfasilitasi perpindahan panas

tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami evaporasi akan menyebabkan kehilangan
panas tubuh sebesar 0,58 kilokalori. Pada kondisi individu tidak berkeringat,

mekanisme evaporasi berlangsung sekitar 450 – 600 ml/hari.

Hal ini menyebabkan kehilangan panas terus menerus dengan kecepatan 12 –

16 kalori per jam. Evaporasi ini tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi

akibat difusi molekul air secara terus menerus melalui kulit dan system pernafasan.

Selama suhu kulit lebih tinggi dari pada suhu lingkungan, panas hilang melalui radiasi

dan konduksi. Namun ketika suuhu lingkungan lebih tinggi dari suhu tubuh, tubuh

memperoleh suhu dari lingkungan melalui radiasi dan konduksi. Pada keadaan ini,

satu-satunya cara tubuh melepaskan panas adalah melalui evaporasi.

Memperhatikan pengaruh lingkungan terhadap suhu tubuh, sebenarnya suhu

tubuh actual ( yang dapat diukur ) merupakan suhu yang dihasilkan dari keseimbangan

antara produksi panas oleh tubuh dan proses kehilangan panas tubuh dari lingkungan.

C. Denyut Nadi

Denyut merupakan pemeriksaan pada pembuluh nadi atau arteri. Ukuran

kecepatannya diukur pada beberapa titik denyut, misalnya denyut arteri radialis pada

pergelangan tangan, arteri bracialis pada lengan atas, arteri karotis pada leher, arteri

poplitea pada belakang lutut, arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior pada

kaki. Pemeriksaan denyut dapat dilakukan dengan bantuan stetoskop.

Jumlah denyut nadi yang normal berdasarkan usia seseorang adalah:

a.       Bayi baru lahir : 140 kali per menit

b.      Umur di bawah umur 1 bulan : 110 kali per menit

c.       Umur 1 - 6 bulan : 130 kali per menit

d.      Umur 6 - 12 bulan : 115 kali per menit

e.       Umur 1 - 2 tahun : 110 kali per menit

f.        Umur 2 - 6 tahu : 105 kali per menit


g.       Umur 6 - 10 tahun : 95 kali per menit

h.       Umur 10 - 14 tahun : 85 kali per menit

i.         Umur 14 - 18 tahun : 82 kali per menit

j.        Umur di atas 18 tahun : 60 - 100 kali per menit

k.      Usia Lanjut : 60 -70 kali per menit

Jika jumlah denyut nadi di bawah kondisi normal, maka disebut pradicardi.

Jika jumlah denyut nadi di atas kondisi normal, maka disebut tachicardi.

D. Pernafasan

Proses fisiologis yang berperan pada proses pernafasan adalah : ventilasi

pulmoner, respirasi eksternal dan internal. Laju pernafasan meningkat pada keadaan

stres, kelainan metabolik, penyakit jantung paru, dan pada peningkatan suhu tubuh.

Pernafasan yang normal bila kecepatannya 14-20x/menit pada dewasa, dan sampai

44x/menit pada bayi. Kecepatan dan irama pernafasan serta usaha bernafas perlu

diperiksa untuk menilai adanya kelainan.

2.5 Pemeriksaan Fisik Head to Toe (Pemeriksaan Fisik Kepala hingga Kaki)

Pemeriksaan fisik head to toe merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan

bagian tubuh klien sebagai acuan yaitu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Maksudnya disini adalah pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari

bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak.

1. PEMERIKSAAN FISIK KULIT, RAMBUT DAN KUKU

a. Tujuan : Untuk mengetahui kondisi kulit, rambut dan kuku

b. Cara Kerja :

1. Inspeksi kulit mengenai warna, jaringan perut, lesi/perlukaan dan kondisi

vaskularisasi supervisial.
2. Palpasi kulit untuk mengetahui suhu kulit, tekstur (halus,kasar),

mobilitas/turgor dan adanya lesi

3. Inspeksi dan Palpasi kuku dan catat mengenai warna, bentuk dan setiap ada

ketidaknormalan/lesi.

4. Inspeksi dan palpasi rambut dan perhatikan jumlah, distribusi dan

teksturnya.

VARIASI WARNA KULIT

WARNA PROSES PENYEBAB LOKASI


COKLAT Deposisi Sinar matahari, Area terbuka, muka
Melanin hamil, dan (topeng
beberapa tumor kehamilan/Kloasma/melas
pituitari. ma), putting susu, areola,
Deposisi Hemakromatosis linea nigra, dan vulva.
Melanin Area terbuka, genetalia,
Hemosiderin jaringan perut, sering
menyeluruh.
BIRU/SIAN Deoksi Anxietas/dingin. Kuku, kadang bibir. Bibir,
OSIS Hemoglobin Penyakit mukosa mulut, lidah,
meningkat jantung/paru- kuku.
akibat hipoksia paru.
yang Methemoglobine
merupakan mia kongenital;
perlpheral/kapi sulhemoglobin.
ler atau
sentral/arteri
al.Hb
abnormal.
KUNING Kadar Penyakit hati, Lebih nampak meningkat
(IKTERIK) Bilirubin hemolisis sel pada konjungtiva daripada
meningkat. darah merah. selaput lendir yang lain
dan bagian yang lain.
KAROTENE Kadar karotin Peningkatan Telapak tangan, telapak
MIA meningkat. asupan karotin kaki, muka, tidak
yang dikandung mempengaruhi
sayur dan buah- konjungtiva atau selaput
buahan : lendir yang lain.
miksedema,
hipopituitarisme,
diabetes mellitus,
anoreksia
nervosa.
UREMIA Akibat retensi Penyakit ginjal Banyak terjadi pada area
KRONIS kromogen kronis terbuka, mungkin
urinaria menyeluruh, tidak
mengenai konjungtiva dan
selaput lendir lainnya
WARNA Penurunan Albinisme Kekurangan pigmen pada
BERKURA kadar vitilingo tinea kulit, rambut, mata/ tak
NG melanin : versikolor (inf. sempurna, simetris, sering
 Kelainan Jamur yang pada area yang terbuka.
bawaan tidak umum). Sinkop, Dada, punggung atas,
dapat beberapa variasi leher. Sering pada muka,
membentuk normal. Anemia konjungtiva, mulut, kuku.
melanin nefrotik sindrom Sering pada muka,
 Kehilangan konjungtiva, mulut, kuku.
melanin. Area yang edema.
 Kemunduran
visibiltas
oksihemoglo
bin
 Aliran darah
menurun
dalam aliran
darah
superfisial
 Kadar
oksihemoglo
bin menurun
 Edema

BERBAGAI KONDISI KUKU

Gambar Keterangan Contoh pada kondisi


Kuku Normal
Mempunyai sudut 160o
antara batas kuku dengan
permukaan kulit jari- jari

Clubbing Hipoksia, kanker paru-paru


Sudut lebih dari 160o
membengkak agak
mengembung

Beau’s line Penyakit akut berat ,


anemia defisiensi besi

Koilonychia

Plinter Hemorrhages Endokarditis bacterial


Trikhinosis trauma
Paronychia

2. PEMERIKSAAN KEPALA

a. Tujuan : Untuk mengetahui bentuk dan fungsi kepala

b. Cara kerja :

1. Atur pasien dalam posisi duduk atau berdiri (tergantung pada kondisi

pasien dan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan.

2. Bila pasien memakai kacamata, anjurkan untuk melepasnya.

3. Lakukan inspeksi yaitu dengan memperhatikan kesimetrisan muka,

tengkorak, warna dan distribusi rambut serta kulit kepala.

4. Muka normalnya simetris antara kanan dan kiri. Ketidaksimetrisan muka

dapat merupakan suatu petunjuk adanya kelumpuhan parase saraf ketujuh.

5. Bentuk tengkorak yang normal adalah simetris dengan bagian frontal

menghadap kedepan dan bagian pariental menghadap ke belakang.

6. Distribusi rambut sangat bervariasi pada setiap orang dan kulit kepala

normalnya tidak mengalami peradangan, tumor maupun bekas

luka/sikatrik.

7. Lanjutkan pemeriksaan dengan palpasi untuk mengetahui keadaan rambut,

massa, pembengkakan, nyeri tekan, keadaan tengkorak, dan kulit

kepala.Palpasi tulang, tengkorak pada bayi dilakukan juga dengan tujuan

untuk mengtahui ukuran fontanella.

3. PEMERIKSAAN MATA

a. Tujuan : Untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata


- Sebelum melakukan pemeriksaan, harus tersedia sumber penerangan/lampu

yang baik dan ruang gelap untuk tujuan tertentu.

- Pasien harus diberitahu sebelumnya sehingga ia dapat bekerja sama.

- Untuk mempermudah pemeriksaan, bidan dapat berdiri atau duduk dihadapan

pasien.

- Dalam pemeriksaan selalu bandingkan antara mata kanan dengan mata kiri.

Normalnya mata berbentuk bulat/sperik

 Inspeksi :

1) Amati bola mata terhadap adanya protrusis, gerakan mata, medan

penglihatan dan visus.

2) Amati kelopak mata, perhatikan terhadap bentuk dan setiap ada kelainan

dengan cara sebagai berikut :

 Anjurkan pasien melihat ke depan.

 Bandingkan mata kanan dan mata kiri.

 Anjurkan pasien menutup kedua mata.

 Amati bentuk dan keadaan kulit pada kelopak mata, serta pada

bagian pinggir kelopak mata, catat setiap ada kelainan misalnya ada

keerah-merahan.

 Amati pertumbuhan rambut pada kelopak mata terhadap

ada/tidaknya bulu mata dan posisi bulu mata.

 Perhatikan kelurusan mata dapat membuka dan catat bila ada

dropping kelopak mata atas atau sewaktu mata mebuka (ptosis).

3) Amati konjungtiva dan sklera dengan cara sebagai berikut :

a. Anjurkan pasien melihat lurus ke depan


b. Amati konjungtiva, untuk mengetahui ada/tidaknya kemerah-

merahan, keadaan vaskularisasi serta lokasinya.

c. Tarik kelopak mata bagian bawah ke bawah dengan menggunakan

ibu jari.

d. Amati keadaan konjungtiva dan kantong konjungtiva bagian bawah,

catat bila di dapatkan infeksi atau pus atau bila warnanya tidak

normal, misalnya anemi.

e. Bila diperlukan amati konjungtiva bagian atas

f. Amati warna sklera waktu memeriksa konjungtiva yang pada

keadaaan tertentu warnanya dapat menjadi ikterik.

 Inspeksi gerakan mata :

1) Anjurkan pasien untuk melihat lurus ke depan

2) Amati apakah kedua mata tetap diam atau bergerak secara spontan

(nistagmus) yaitu gerakan ritmis bola mata, mula-mula lambat bergerak

ke satu arah, kemudian dengan cepat kembali ke posisi semula

3) Bila ditemukan adanya nistagmus, maka amati bentuk, frekuesni (cepat

atau lambat) , amplitudo (luas/sempit) dan durasinya (hari/minggu).

4) Amati apakah kedua mata memandang lurus ke depan ata salah satu

defisi

5) Luruskan jari telunjuk anda dan dekatkan dengan jarak sekitar 15-30.

Beritahu pasien untuk mengikuti gerakan jari anda, dan juga posisi

kepala pasien tetap.gerakan jari anda ke 8 arah, untuk mengetahui fungsi

6 otot mata.

 Pemeriksaan visus (ketajaman penglihatan) :


1) Siapkan kartu snellen/kartu lain untuk pasien dewasa atau kartu gambar

untuk anak-anak.

2) Atur kursi tempat duduk pasien dengan jarak 5 atau 6 meter dari kartu

snellen.

3) Atur penerangan yang memadai sehingga kartu snellen dapat di baca

dengan jelas.

4) Beritahu pasien untuk menutup mata kiri dengan satu tangan.

5) Pemeriksaan mata kanan dengan cara pasien disuruh membaca mulai

huruf yang paling besar menuju huruf yang kecil dan catat tulisan

terakhir yang masih dapat dibaca oleh pasien.

6) Selanjutnya pemeriksaan mata kiri.

4. PEMERIKSAAN TELINGA

a. Tujuan : untuk mengetahui keadaan telinga luar, slauran telinga, gendang

telinga/membran timpanidan pendengaran.

- Telinga mempunyai fungsi sebagai alat pendengaran dan menjaga

keseimbangan.

- Menurut struktur anatominya, telinga dapat dibagi menjadi tiga bagian :

→ Telinga luar : aurikel (pinna) dan saluran pendengaran luar.

→ Telinga tengah (rongga timpani) terpisah dengan telinga luar oleh adanya

membran timpani (gendang telinga). Terdapat komponen pendengaran

(maleolus, inkus, stapes) yang berhungan dengan tubaeustasia

(pendengaran), sinus-sinus mastoid, telinga luar dan telinga dalam.

→ Telinga dalam : labirin yang bertulang dan bermembran yang meliputi

kohlea, vestibulum, dan saluran, semiskular.


b. Alat-alat yang perlu dipersiapkan dalam pemeriksaan fisik telinga, antara

lain : otoskop, garpu tala, arloji.

c. Cara Kerja :

 Inspeksi dan palpasi

1) Bantu pasien dalam posisi duduk. Pasien yang masih anak-anak

dapat diatur duduk di pangkuan orang lain.

2) Atur posisi anda menghadap pada sisi telinga pasien yang akan

diperiksa.

3) Untuk pencahayaan, gunakan auroskop, lampu kepala atau sumber

cahaya yang lain sebagai tangan anda akan bebas kerja.

4) Mulailah mengamati telinga luar, periksa keadaan pinna terhadap

ukuran, bentuk, lesi dan adanya massa.

5) Lanjutkan pemriksaan palpasi dengan memegang telinga luar

dengan jempol dan jari telunjuk.

6) Palpasi kartilago telinga luar secara sistematis dari jaringan lunak,

jaringan keras dan catat bila ada nyeri.

7) Tekan bagian tragus ke dalam dan tekan pula tulang telinga di

bawah daun telinga. Bila ada peradangan maka pasien akan meras

nyeri.

8) Bandingkan telinga kiri dan telinga kanan.

9) Bila diperlukan, lanjutkan pemeriksaan telinga bagian dalam.

10) Pegang bagian pinggir daun telinga/heliks dan secara perlahan-

lahan tarik daun telinga ke atas dan kebelakang sebagi lubang

telinga menjadi lurus dan mudah diamati. Pada anak-anak daun

telinga ditarik ke bawah.


11) Amati pintu masuk lubang telinga dan pertikan ada tidaknya

peradangan, peredaran, kotoran/serumen.

12) Dengan hati-hati amsukkan otoskop yang menyala kedalam lubang

telinga.

13) Bila letak otoskop sudah tepat, letakkan mata di eye-piece.

14) Amati dinding lubang telinga thd kotoran, serumen,

peradangan/adanya benda asing.

15) Amati membran timpani mengenai bentuk, transparansi, kilau,

perforasi terhadap adanya darah/cairan.

 Pemeriksaan pendengaran :

1) Pemeriksaan pendengaran dilakukan untuk mengetahui fungsi telinga

2) Secara sederhana pendengaran dapat diperiksa dengan menggunakan

suara bisikan.

3) Pendengan yang baik akan dengan mudah dapat mengetahui adanya

bisikan.

4) Bila pendengaran dicurigai tidak berfungsi baik, maka pemeriksaan

yang lebih teliti dapat dilakukan yi dengan menggunakan garpu tala

atau test audiometri.

 Pemeriksaan pendengaran dengan bisikan :

1) Atur posisi pasien berdiri membelakangi anda pada jarak sekitar 4,5-6

meter.

2) Anjurkan pasien untuk menutup salah satu telinga yang tidak diperiksa.

3) Bisikan suatu bilangan (mis 76).

4) Beritahu pasien untuk mengulang bilangan yang didengar.

5) Pemeriksaan telinga yang satunya dengan cara sama.


6) Bandingkan kemampuan mendengar telinga kanan dan kiri pasien.

 Pemeriksaan pendengaran dengan arloji

1) Pegang sebuah arloji disamping pasien.

2) Suruh pasien menyatakan apakah mendengar detak arloji.

3) Pindah posisi arloji perlahan-lahan menjauhi telinga dan suruh pasien

menyatakan bila tak dapat mendengar lagi. Normalnya detak arloji

masih dapat didengar sampai jarak sekitar 30 cm dari telinga.

4) Bandingkan telinga kanan dan telinga kiri.

 Pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala :

1) Tujuan : untuk mengetahui kualitas pendengar secara lebih teliti

2) Pemeriksaan garpu tala dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

pemeriksaan rinne dan pemeriksaan weber.

3) Pemeriksaan rinne dilakukan untuk membandingkan antara konduksi

udara dengan konduksi tulang. Normalnya konduksi udara lebih baik

ddibandingkan dengan konduksi tulang.

4) Pemeriksaan weber digunakan untuk mengetahui lateralisasi fibrasi

(getaran, yang dirasakan baik oleh telinga kanan maupun kiri).

Normalnya vibrasi/suara dirasakan ditengah-tengah kepala atau

seimbang antara 2 telinga.

5. PEMERIKSAAN FISIK HIDUNG DAN SINUS-SINUS

a. Tujuan : Untuk mengetahui keadaan bentuk dan fungsi hidung.

Pemeriksaan hidung dimulai dari bagian luar, bagian dalam lalu sinus-sinus-

sinus, pasien dipersiapkan dalam posisi duduk bila memungkinkan.

b. Peralatan yang dipersiapkan, antara lain :

→ otoskop.
→ spekulum hidung.

→ cermin kecil.

→ Sumber penerangan/lampu.

c. Cara kerja pemeriksaan fisik hidung dan sinus-sinus

 Inspeksi dan palpasi hidung bagian luar palpasi sinus-sinus:

1) Duduklah menghadap pada pasien.

2) Atur penerangan dan amati hidung bagian luar sisi depan,samping dan

sisi atas.perhatikan bentuk/tulang hidug dari ketiga sisi ini.

3) Amati keadaan kulit hidung terhadap warna dan pembengkakan.

4) Amati kesimentrisan lubang hidung.

5) Lanjutkan dengan melakukan palpasi hidung luar dan catat bila

ditemukan ketidaknormalan kulit/tulang hidung.

6) Kaji mobilitas septum hidung.

7) Palpasi sinus maksilaris,frontalis dan etmoidalis,perhatikan terhadap

adanya nyeri tekan.

 Inpeksi hidung bagian dalam:

1) Duduklah menghadap pada pasien.

2) Pasang lampu kepala.

3) Atur lampu sehingga sisi untuk menerangi lubang hidung.

4) Elevasikan ujung hidung pasien dengan cara menekan hidung secara

ringan dengan ibu jari anda,kemudian amati bagian anterior lubang

hidung.

5) Amati posisi septum hidung dan kemungkinan adanya perfusi.

6) Amati bagian turbin interior.


7) Pasang ujung spekulum hidung pada lubang hidung sehingga rongga

hidung dapat diamati.

8) Untuk memudahkan pengamatan pada dasar hidung maka atur posisi

kepala sedikit menengadah.

9) Dorong kepala menengadah sehingga bagian atas rongga hidung mudah

diamati.

10) Amati bentuk dan posisi septum, kartilago dan dinding-dinding rongga

hidung serta selaput lendir pada rongga hidung(warna, sekresi,

bengkak).

11) Bila sudah selesai,lepas spekulum secara perlahan-lahan.

6. PEMERIKSAAN FISIK MULUT DAN FARING

a. Tujuan : Untuk mengetahui keadaan mulut dan faring

Pemeriksaan mulut dan faring dilakukan dengan posisi pasien duduk.

Pencahayaan harus baik sehingga semua bagian dalam mulut dapat diamati

dengan jelas.

Pemeriksaan dimulai dengan mengamati bibir, gigi, gusi, selaput lendir, pipi

bagian dalam,lantai dasar mulut dan palatum/langit-langit mulut,kemudian

faring.

b. Cara kerja pemeriksaan mulut dan faring

 Inspeksi :

1) Bantu pasien duduk berhadapan dengan anda,dengan tinggi yang

sejajar.

2) Amati bibir untuk mengetahui adanya kelainan kongenital,bibir

sumbing,warna bibir,ulkus,lesi dan massa.


3) Lanjutkan pengamatan pada gigi dengan pasien dianjurkan membuka

mulut.

4) Atur pencahayaan yang memadai dan bila diperlukan gunakan penekan

lidah untuk menekan lidah sehingga gigi akan tampak lebih jelas.

5) Amati keadan setiap gigi mengenai posisi,jarak,gigi rahang atas dan

rahang bawah, ukuran, warna, lesi/adanya tumor. Amati juga secara

khusus pada akar-akar gigi dan gusi.

6) Pemeriksaan setiap gigi dengan cara mengetuk secara sistematis,

bandingkan gigi bagian kiri, kanan, atas dan bawah dan anjurkan pasien

untuk memberitahu bila merasa nyeri sewaktu diketuk.

7) Perhatikan pula ciri-ciri umum sewaktu melakukan pengkajian, antara

lain kebersihan mulut, dan bau mulut.

8) Lanjutkan pengamatan pada lidah dan perhatikan kesimetrisannya.

Suruh pasien menjulurkan lidah dan amati mengenai kelurusan, warna,

ulkus, maupun setiap ada kelainan.

9) Amati selaptu lendir mulut secara sistematis pada semua bagian mulut

mengenal warna, adanya pembengkakan, tumor, sekresi, peradangan,

ulkus, dan pendarahan.

10) Beri kesempatan pasien untuk istirahat dengan menutup mulut sejenak

bila capai, lalu lanutkan dengan inpeksi faring dengan cara pasien

dianjurkan membuka mulut, tekan lidah ke bawah pasien sewaktu

pasien berkata ”ah”. Amati faring terhadap kesimentrisan ovula.

 Palpasi

1) Palpasi pada pemeriksaan mulut dilakukan terutama bila dari inspeksi

belum diperoleh data yang menyakinkan.


2) Tujuan : untuk mengetahui bentuk dan setiap ada kelainan pada mulut

yang dapat diketahui dengan palpasi, meliputi pipi, dasar mulut,

palatum/langit-langit mulut dan lidah.

3) Palpasi harus dilakukan secara hati-hati dan perlu diupayakan agar

pasien tidak muntah, yaitu:

 Atur posisi pasien duduk menghadap anda.

 Anjurkan pasien membuka mulut.

 Pegang pipi diantara ibu jari dan jari telunjuk (jari telunjuk berada

didalam). Palpasi pipi secara sistematis dan perhatikan terhadap

adanya tumor/pembengkakan.Bila pembengkakan deter minasikan

menurut ukuran, konsistensi, hubungan dengan daerah sekitarnya

dan adanya nyeri.

4) Lanjutkan dengan palpasi pada palatum dengan jari telunjuk dan

rasakan terhadap adanya pembengkakan dan fisura.

5) Palpasi dasar mulut dengan cara pasien disuruh mengatakan ”el”

kemudian palpasi dilakukan pada dasar mulut secara sistematis dengan

jari penunjuk tangan kanan. Bila diperlukan beri sedikit penekanan

dengan ibu jari dari bawah dagu untuk mempermudah palpasi.Catat

bila didapatkan pembengkakan.

6) Palpasi lidah dengan cara pasien disuruh menjulurkan lidah, pegang

lidah dengan kassa steril menggunakan tangan kiri.Dengan jari

penunjuk tangan kanan lakukan palpasi lidah terutama bagian

belakang dan batas-batas lidah.

7. PEMERIKSAAN FISIK LEHER


a) Tujuan secara umum : Untuk mengetahui bentuk leher serta organ-organ

penting berkaitan.

Dalam pemeriksaan, baju pasien dilepas sehinga leher dapat diperiksa dengan

mudah. Pemeriksaan dimulai dengan inspeksi kemudian palpasi lalu

dilanjutkan dengan pemeriksaan mobilitas leher.

b) Cara Kerja Pemeriksaan Leher

 INSPEKSI:

1) Anjurkan pasien untuk melepas baju.

2) Atur pencahayaan yang baik.

3) Lakukan inspeksi leher mengenai bentuk leher, warna, kulit, adanya

pembengkakan, jaringan parut dan adanya massa.

4) Inspeksi dilakukan secara sistematis mulai dari garis tengah sisi depan

leher, dari samping dan dari belakang.

5) Bentuk leher yang panjang dan ramping umumnya ditemukan pada

orang berbentuk ektomorf, orang dengan gizi jelek/orang dengan tbc

paru.

6) Bentuk leher pendek dan gemuk di dapatkan pada orang berbentuk

endomorf/obesitas.

7) Warna kulit leher normalnya sama dengan kulit sekitarnya. Dapat

menjadi kuning pada semua jenis ikterus, dan menjadi merah, bengkak,

panas dan nyeri tekan bila mengalami peradangan.

8) Inspeksi tiroid dengan cara pasien disuruh menelan dan amati gerakan

kelenjar tiroid pada takik supraternal.Normalnya gerakan kelenjar tiroid

tidak dapat dilihat, kecuali pada orang yang sangat kurus.

PALPASI KELENJAR LIMFE, KELENJAR TIROID DAN TRAKEA:


1. Duduklah dihadapan pasien.

2. Anjurkan pasien untuk menengadah ke samping menjauhi pemeriksa sehingga

jaringan lunak dan otot-otot akan relaks.

3. Lakukan palpasi secara sistematis dan determinasikan menurut lokasi, batas-

batas, ukuran, bentuk, dan nyeritekan pada setiap kelompok kelenjar limfe

yang terdiri dari:

- Preaurikular-di depan telinga.

- Posterior aurikuler-superpisial terhadap prosesus mastoidius.

- Osipital-di dasar posterior tulan kepala.

- Tonsilar-di sudut mandibula.

- Submaksilaris-di tenmgah-tenngah antara sudut dan ujung mandibula.

4. Lakukan palpasi secara sistematis dan determinasikan menurut lokasi, batas-

batas, ukuran, bentuk, dan nyeri tekan pada setiap kelompok kelenjar limfe

yang tidak :

 Submental- pada garis tengah beberapa cm di belakang ujung mandibula.

 Servikal supersial-supersial terhadap stenomastidius.

 Servikal dalam- dalam sternomastoid dan sering tidak dapat di palpasi.

 Supraklavikula- dalam suatu sudut yang terbentuk oleh klavikula dan

sternomastidius.

4. Lakukan palpasi kelenjar tiroid dengan cara:

1. Letakkan tangan anda pada leher pasien.

2. Palpasi pada fossa supraternal dengan jari penujuk dan jari tengah.

3. Suruh pasien menelan/minum untuk memudahkan palpasi.


4. Palpasi dapat pula dilakukan dengan bidan berdiri di belakang pasien,

tangan diletakkan mengelilingi leher dan palpasi dilakukan dengan jari

kedua dan ketiga.

5. Bila teraba kelenjar tiroid, maka determinasikan menurut bentuk, ukuran,

konstitensi, dan permukannya.

6. Lakukan palpasi trakea dengan casra berdiri di samping kanan

pasien.Letakkan jari tengah pada bagian bawah trakea dan trakea ke atas,

ke bawah, dan ke samping sehingga kedudukan trakea dapat diketahui.

MOBILITAS LEHER:

1. Dilakukan paling akhir pada pemeriksaan leher.

2. Untuk mendapatkan data yang akurat, maka leher dan dada bagian atas harus

bebas dari pakaian dan bidan berdiri/duduk di belakang pasien.

3. Lakukan pemeriksaan mobilitas secara aktif.Suruh pasien menggerakan leher

dengan urutan :

1. Anteflekksi, normalnya 450

2. Dorsifleksi, normalnya 600

3. Rotasi ke kanan, normalnya 700

4. Rotasi ke kiri, normalnya 700

5. Lateral fleksi ke kiri, normalnya 400

6. Lateral fleksi ke kanan, normalnya 400

4. Determinasikan sejauh mana pasien mampu menggerakkan lehernya.

Normalnya gerakan dapat dilakukan secara terkoordinasi, tanpa gangguan.

5. Bila diperlukan lakukan pemeriksaan mobilitas secara pasif dewngan cara

kepala pasien dipegang dengan dua tangan kemudian digerakkan dengan

urutan yang sama seperti pada pemeriksaan mobilitas leher secara aktif.
8. PEMERIKSAAN FISIK DADA DAN PARU-PARU

a. Tujuan : Untuk mengetahui keadaan dada dan paru-paru.

 INSPEKSI :

→ Dada di inspeksi terutama mengenal postur, bentuk dan kesimentrisan,

ekspansi serta keadan kulit.

→ Bentuk dada berbeda antara bayi dan orang dewasa.

→ Dada bayi berbentuk melingkar dengan diameter dari depan ke

belakang (anteroror-pasterior) sama dengan diameter transversal.

→ Pada orang dewasa perbandingan antara diameter anteroropasterior

dengan diameter transversal adalah 1:2.

→ Inspeksi dada dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat

diam terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan pernafasan.

→ Sedangkan untuk mengamati adanya kelainan bentuk tulang

punggung (kiposis, lordosis, skoliosis) akan lebih mudah dilakukan

pada saat dada tidak bergerak.

 Berbagai kelainan bentuk dada :

1. Pigoen chest : bentuk dada yang ditandai dengan diameter transversal

sempit, diameter antero-posterior membesar dan sternum sangat

menonjol ke depan.

2. Funnel chest : bentuk dada yang tidak normal sebagai kelainan bawaan

yang mempunyai ciri-ciri berlawanan dengan pigeon chest, yaitu

sternum menyempit ke dalam dan diameter antero-posterior yang

mengecil.

3. Barel chest : bentuk dada yang ditandai dengan diameter

anteroposterior dan transversal yang mempunyai perbandingan 1:1.


 Pola pernafasan :

1. Eupnea : Irama dan kecepata pernafasan.

2. Takipnea : Peningkatan kecepatan pernafasan.

3. Bradipnea : Lambat tetapi merupakan pernafasan normal.

4. Apnea : Tidak terdapatnya pernafasan (mungkin secara periodik).

5. Hyperventilasi :pernafasan dalam kecepatan normal.

 Pola pernafasan

1. Cheyne-stokes : Pernafasan yang secara bertahap menjadi cepat dan

dalam dari normal, kemudian melambat, diselingi dengan periode apnea.

2. Blots : Pernafasan cepat dan dalam dari normal, dengan terhenti tiba-tiba

diantaranya, pernafasan mempunyai kedalaman yang sama.

3. Kussmaul : Pernafasan cepat dan tanpa terhenti.

4. Apneustik : Inspirasi tersengal-sengal, lama di ikuti ekspirasi yang

sangat pendek.

b. Cara kerja pemeriksaan inspeksi dada

1) Lepas baju pasien dan tampakkan badan pasien sampai batas pinggang.

2) Atur posisi pasien (pasien diatur tergantung pada tahap pemeriksaan dan

kondisinya). Pasien dapat diatur pda posisi duduk atau berdiri.

3) Yakinkan bahwa anada sudah siap (tangan bersih dan hangat), ruangan

stetoskop sudah siap.

4) Beri penjelasan pada pasien tentang apa yang akan dikerjakan dan

anjurkan pasien tetap relaks.

5) Lakukan inspeksi bentuk dada dari 4 sisi (depan, belakang, kanan, kiri,)

pada saat istirahat (diam), saat inspirasi dan saat ekspirasi.


6) Pada saat inspeksi dari depan perhatikan area pada klavikula, foossa supra

dan infra klavikula, sternum dan tulang rusuk.

7) Dari sisi belakang amati lokasi vertebra torakalis ke 7 (puncak skapula

terletak sejajar dengan vertebra torakalis ke 8), perhatikan pula bentuk

tulang belakang dan catat bila ada kelainan bentuk.

8) Terakhir inspeksi bentuk dada secara keseluruhan untuk mengetrahui

adanya kelainan bentuk dada, misalnya bentuk dada barel chest.

9) Amati lebih teliti keadan kulit dada catat setiap ditemukan adanya pulpasi

pada interkostalis / di bawah jantung retraksi intrakostalis selama

bernafas, jaringan perut dan setiap ditemukan tanda-tanda menonjol

lainnya.

 PALPASI

a. Tujuan : untuk mengetrahui keadan kulit pada dinding dada, nyeri tekan,

massa, peradangan, kesimentrisan ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi

yang dapat teraba yang di hantarkkan melalui sistem bronkopulmonal

selama seseorang berbicara).

b. Cara kerja pemeriksaan palpasi dada

1. Lakukan palpasi untuk mengetahui ekspansi paru-paru/dinding dada :

 Letakkan kedua tangan secara datar pada dinding dada depan.

 Anjurkan pasien untuk menarik nafas.

 Rasakan gerakan dinding dada dan bandingkan sisi kanan dan sisi

kiri.

 Berdirilah di belakang pasien,letakkan tangan anda pada sisi dada

pasien, perhatikan getaran ke samping sewaktu pasien bernafas.


 Letakkan kedua tangan anda di punggung pasien dan bandingkan

gerakan kedua sisi dinding dada.

2. Lakukan palpasi untuk memeriksa tactil vremitus. Suruh pasien

menyebut bilangan “enam-enam” sambil anda melakukan palpasi

dengan cara :

 Letakkan telapak tangan anda pada bagian belakang dinding dada

dekat apeks paru-paru.

 Ulangi langkah di atas dengan tangan bergerak ke bagian dasar

paru-paru.

 Bandingkan vremitus pada kedua sisi paru-paru dan diantara

apeks serta dasar paru-paru.

 Lakukan palpasi tactil vremitus pada dinding dada anterior.

3. Vibrasi/getaran bicara secara normal dapat di trans-misikan melalui

dinding dada.

4. Getaran lebih jelas terasa pada apeks paru-paru dan dinding dada

kanan lebih keras daripada dinding dada kiri karena bronkus pada

sisis kanan lebih besar.

 Suara/bunyi perkusi pada paru-paru orang normal adalah resonan

yang terdengar seperti “dug-dug-dug”.

 Pada keadaan tertentu bunyi resonan ini dapat menjadi lebih atau

kurang resonan.

 Bunyi kurang resonan = “bleg-bleg-bleg” karna bagian padat

lebih besar daripada bagian udara.

 Bunyi hiperresonan =”deng-deng-deng”karna udara relatif lebih

besar daripada zat padat.


 Bunyi timpani =”dang-dang-dang” karna terdapat banyak udara

 Selain untuk mengetahui keadaan paru-paru , juga dapat di

gunakan untuk mengetahui batas paru-paru dengan organ lain di

sekitarnya.

Cara kerja pemeriksaan perkusi paru-paru :

1. Lakukan perkusi paru-paru anterior dengan posisi supinasi :

 Perkusi mulai dari atas klavikula ke bawah pada setiap spasium

interkostalis.

 Bandingkan sisi kanan dan sisi kiri.

2. Lakukan perkusi paru-paru postersior dengan posisi sebaiknya duduk atau

berdiri :

 Yakinkan dulu bahwa pasien telah duduk lurus.

 Mulai perkusi dari puncak paru-paru ke bawah.

 Bandingakn sisi kanan dan sisi kiri.

 Catat hasil perkusi secara jelas.

3. Lakukan perkusi paru-paru posterior untuk mendeterminasi gerakan

diafragma (penting pada pasien empisema).

 Suruh pasien untuk menarik nafas panjang dan menahannya.

 Memulai perkusi dari atas ke bawah (dari resonan ke redup) sampai

bunyi redup didapatkan.

 Beri tanda dengan spidol pada tempat dimana didapatkan bunyi

redup(biasanya pada spasium interkostalis ke-9, sedikit lebih tinggi

dari posisi hati di dadda kanan).

 Suruh pasien untuk mengembusakan nafas secara maksimal dan

menahannya.
 Lakukan perkusi dari bunyi redup(tanda I) ke atas biasnya bunyi redup

ke II ditemukan di atas tanda I.beri tanda pada kulit yang di temukan

bunyi redyp (tanda II).

4. Lakukan perkusi paru-paru posterior untuk mendetrminasi gerakan

diafragma (penting pada pasien empisema).

 Ukur jarak antara tanda I dan II. Pada wanita jarak ke dua tanda ini

normalnya 3-5 cm dan pada pria 5-6 cm.

 Auskultasi

→ Untuk memeriksa aliran udara melalui batang trakeobronkeal dan untuk

mengetahui adanya sumbatan aliran udara, serta memeriksa kondisi

paru-paru & rongga pleura.

→ Suara nafas yang didengar melalui stetoskop dapat menjadi tidak normal

apabila paru-paru mengalami suatu gangguan.

→ Ada beberapa bunyi/suara yang merupakan suara tambahan : ronchi

kering,ronchi basah & gesekan pleura.

→ Ronchi kering : bunyi yang terputus yang tejadi oleh adanya getaran

dalam lumen saluran nafas akibat penyempitan, kelainan selaput lendir,

atau akibat adanya sekret kental atau lengket. Semakin kecil/sempit

diameter saluran nafas , maka nada bunyi nafas juga semakin tinggi &

keras.

→ Ronchi basah (rales) : suara berisik yang terputus akibat aliran udara

melewati cairan.ronchi basah dapat terdengar halus, sedang atau kasar

tergantung pada besranya brochus yang terkena. Umumnya ronchi

terdengar pada saat inspirasi.


→ Gesekan pleura bunyi yang timbul sebagai manifestasi kelainan pleura

akibat gesekan pleura yang menebal/menjadi kasar karena mengalami

peradangan . Bunyi ini biasanya terdengar pada akhir inspirasi dan awal

ekspirasi.

Cara kerja pemeriksaan auskultasi paru-paru :

 Duduklah menghadap pada pasien.

 Suruh pasien bernafas secara normal dan mulailah auskultasi dengan

pertama kali meletakkan stetoskop pada trakea, dengar bunyi nafas

secara teliti.

 Lanjutkan auskultasi dengan arah seperti pada perkusi, dengan suara

nafas yang normal dan perhatikan bila ada suara tambahan.

 Ulangi auskultasi pada dada lateral dan posterior serta bandingkan sisi

kanan dan kiri.

BUNYI-BUNYI NAFAS

Bunyi Nafas Durasi Bunyi Nada Intensitas Lokasi


Inspirasi Dan Bunyi Bunyi
Ekspirasi Ekspirasi Ekspirasi
Vesikuler Insp > Eksp Rendah Lembut Sebagian area paru-
paru kanan dan kiri.
Sering pada
Bronkoveskuler Insp = Eksp Sedang Sedang spasium
interkostalis ke 1
dan ke 2 bagian dan
diantara skapula.
Bronkeal Eksp > Insp Tinggi Keras Di atas manubrium
Trakeal Insp = Eksp Sangat Sangat keras Di atas trakea pada
tinggi leher

9. PEMERIKSAAN FISIK KARDIOVASKULER


SISTEM KARDIOVASKULAR TERHADAP JANTUNG DAN PEMBULUH

DARAH

 Inspeksi dan Palpasi

1. Area jantung (prekordial) diinspeksi secara silmutan untuk mengetahui

adanya ketidak normalan denyutan/dorongan (heaves).

2. Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi janttung

mulai dari area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area

epigastrik.

3. Hasil palpasi di jelaskan mengenai lokasi , yaitu pada spasi interkostale ke

berapa ,jarak dari garis midsternal , midklavikula , dan garis aksilaris.

CARA KERJA PALPASI :

1. Bantu pasien mengatur posisi supinasi dan pemeriksa berdiri di sisi kanan

pasien.

2. Tentukan lokasi sudut louis dengan palpasi. Sudut ini terletak di antara

manubrium dan badan sternum. Ini akan terasa seperti bagian dari sternum.

3. Pindah jari-jari ke bawah ke arah tiap sisi sudut sehingga akan teraba

spasium interkostalis ke-2. Area aorta terletak di spasium interkostalis ke-2

kanan dan area pulmonal terletak pada spasi interkostale ke-2 kiri.

4. Inspeksi dan palpasi area aorta dan area pulmonal untuk mengetahui

ada/tidaknya uplsasi.

5. Dari area pulmonal, pindahkan jari-jari anda kebawah sepanjang 3 spasi

Interkostale kiri menghadap ke sternum. Amati thd ada tidaknya pulsasi.

6. Dari area trikuspidalis, pindah tangan anda secara lateral 5-7 cm ke garis

midklavikularis kiri dan akan ditemukan area apikal/pmi (point of maximal

impulse).
7. Isnpeksi dan palpasi pulsasi pada area apikal. Sekitar 50% orang dewasa

akan memperlihatkan pulpasi apikal. Ukuran jantung dapat diketahui

dengan mengamati lokasi pulsasi apikal. Apabila jantung membesar, maka

pulsasi ini bergeser secara lateral ke garis midklavikula.

8. Untuk mengetahui pulsasi aorta, lakukan inspeksi dan palsasi pada area

epigastrik.

 Perkusi

1) Perkusi jantung dilakukan untuk mengetahu ukuran dan bentuk jantung

secara kasar.

2) Perkusi jantung dilakukan hanya dalam keadaan yang sangat diperlukan.

3) Perkusi dilakukan dengan meletakkan jari tengah tangan kiri sebagai

plesimeter (landasan) rapat-rapat di dinding dada.

4) Perkusi dapat dikerjakan dari semua arah menuju letak jantung.

5) Untuk menentukan batas sisi kanan dan kiri, perkusi dikerjakan dari arah

samping ke tengah dada. Batas atas jantung diketahui dengan perkusi

dari atas ke bawah.

6) Pemeriksa hendaknya mengetahui lokasi redup jantung. Batas kiri

umumnya tidak lebih dari 4,7 dan 10 cm ke arah kiri dari garis

midsternal pada spasium interkostalis ke 4,5 dan 8.

7) Perkusi dapat pula dilakukan dariarah sternum keluar dengan jari yang

stasioner secara paralel pada spasium interkostalis sampai suara redup

tidak terdengar. Ukurlah jarak dari garis midsternal dan tentukan dalam

cm.
8) Dengan adanya foto rontogen, maka perkusi pada area jantung jarang

dilakukan karena gambaran jantung dapat diihat pada foto thorak antero

posterior.

 Auskultasi

1. Jantung dapat didengar dengan auskultasi.

2. Bunyi jantung dihasilkan oleh penutupan katup-katup jantung.

3. Bunyi jantung I (s1) timbul akibat penutupan katub mitralis

trikuspidalis.

4. Bunyi jantung ii (s2) timbul akibat penutupan katup aorta dan

pulmonalis.

5. Biasanya s1 terdengar lebih keras dari pada s2, namun nada s1 lebih

rendah sedangkan s2 tinggi.

6. S1 didiskripsikan sebagai bunyi “lub” dan s2 bunyi “dub”. Jarak kedua

bunyi adalah 1 detik/kurang.

7. Periode yang berkaitan dengan bunyi jantung s1 dan s2 adalah periode

sistole dan diastole.

8. Periode sistole adalah periode saat ventrikel berkontraksi, yang dimulai

dari s1 sampai s2.

9. Periode distole adalah periode saat ventrikel relaksasi, yang dimulai dari

s2 dan berakhir pada saat/mendekati s1. Sistole biasanya lebih pendek

dari diastole.

10. Secara normal tidak ada bunyi lain yang terdengar selama periode-2

diatas, tetap pemeriksa yang sudah berpengalaman dapat mendengar

bunyi tambahan (s3 dan s4) selama periode diastole.


11. S3 dan s4 dapat didengar lebih jelas pada area aplikal dengan

menggunakan bagian sungkup (bell) stetoskop.

12. S3 timbul pada awal diastole yang terdengar seperti “lub-dub-ee”. S3

normal terdengar pada anak-anak dan dewasa muda. Bila didapatkan

pada orang dewasa, maka dapat pertanda adanya kegagalan jantung.

13. S4 jarang terdengar pada orang normal. Bila ada, ini terdengar saat

mendekati akhir diastole sebelum s1 dan dinyatakan kira2 seperti “dee-

lub-dub” (s4-s1-s2). S4 dapat sebagai tanda adanya hipertensi

14. Aukultasi harus dilakukan paada area auskultasi utama dengan

menggunakan stetoskop bagian diafragma kemudian dengan bagian

bell. Gunakan tekanan yang lembut sewaktu menggunakan bagian

diafragma dan tekanan yang mantap sewaktu menggunakan bagian bell.

BUNYI/ CIRI AORTA PULMONAL TRIKUSPIDALI APIKAL


FASE IS S
S1 Tumpul,nad Intensitas > Intensitas > s2 Lebih keras/ = Lebih
a < s2 “lub” s2 s2 keras/=s2
S2 Nada tinggi Lebih keras Lebih keras Intensitas Intensitas
> pendek dari pada s1 dari pada s1 kurang/=s1 kurang/=s1
dari s1
“dub”
SISTOLE PD INTERVAL S1 & S2
DISTOLE ANTARA S2 & S1
15. Lima area utama yang digunakan untuk mendengarkan bunyi jantung :

katup aorta, pulmonalis, trikus pidalis, apikal dan epigastrik.

CARA KERJA :

1. Kaji ritme dan kecepatan jantung secara umum, perhatikan dan tentukan

area aukutasi
2. Anjurkan pasien untuk bernafas secara normal dan kemudian tahan nafas

saat ekspirasi. Dengarkan s1 sambil melakukan palpasi nadi karotis. Bunyi

s1 seirama dengan saat nadi korotis berdenyut. Perhatikan intensitas,

adanya kelainan/variasi, pengaruh respirasi, dan adanya spilittin s1 (bunyi

s1 ganda yang terjadi dalam waktu yang sangat berhimpitan).

3. Konsentrasikan pada sistole, dengarkan secara saksama untuk mengetahui

adanya bunyi tambahan/murmur s1 pada awal sistole.

4. Konsentrasikan pada sistole, yang mirip interval yang lebih panjang dari

sistole, perhatikan secara seksama untuk mengetahui adanya bunyi

tambahan/murmur (durasi sistole dan diastole adalah sebanding pada saat

kecepatan jantung meningkat).

5. Anjurkan pasien bernafas secara normal, dengarkan s2 secara seksama

untuk mengetahui apakah ada spilitting s2 saat inspirasi.

6. Anjurkan pasien untuk menghembuskan dan menahan nafas, kemudian

menghirup/inhalasi dan menahan. Dengarkan s2 untuk mengetahui apakah

s2 menjadi bunyi tunggal.

10. PEMERIKSAAN FISIK PAYUDARA

a. Dalam pemeriksaan payudara wanita, harus dipertimbangkan aspek psikososial

dan aspek fisik saja

b. Karena payudara merupakan organ yang sensitif, maka kesopanan tetap dijaga

selama pemeriksaan sehingga paien tidak merasa malu.

c. Bidan perlu melakukan penyuluhan tentang perawatan payudara dan deteksi

kanker payudara.

d. Pada wanita hamil, payudara juga mengalami peubahan. Payudara menjadi

lebih besar akibat floriferasi dan hipertrofi sel-sel acini dan kelenjar
susu(duktus laktiferus). Perubahan ini terjadi sebagai respon terhadap hormon

dari kropus luteum dan plasenta.

 INSPEKSI:

1. Bantu pasien mengatur posisi duduk menghadap kedepan, telanjang

dada dengan kedua tangan rileks di sisi tubuh.

2. Mulai inspeksi mengenai ukuran, bentuk dan kesimentrisan payudara.

Payudara normalnya melingkar dan agak simetris dan dapat

didiskripsikan kecil, sedang, dan besar.

3. Inspeksi warna areola. Pada wanita hamil pada umumnya berwarna lebih

gelap.

4. Inspeksi payudara dan putting susu mengenai setiap adanya

penonjolan/retraksi akibat adanya skar/lesi.

5. Inspeksi puting susu mengenai setiap adanya keluaran, ulkus,

pergerakan/pembengkakan amati juga posisi kedua putting susu yang

normalnya mempunyai arah yang sama.

6. Inspeksi ketiak dan klavikula untuk mengetahui. Adanya

pembengkakan/tanda kemerah-merahan.

 PALPASI :

1. Lakukan palpasi di sekeliling puting susu untuk mengetahui adanya

keluaran. Bila ditemukan keluaran maka identifikasikan keluaran

tersebut mengenai sumber, jumlah, warna, konsistensi dan kaji terhadap

adanya nyeri tekanan.

2. Palpasi daerah klavikula dan ketiak itu. Pada area limfe nodi.
3. Lakukan palpasi setiap payudara dengan tehnis bimanual tu payudara

yang berukuran besar dengan cara : tekankan telapak tangan/tiga jari

tengah ke permukaan payudara pada kuadran samping atas. Lakukan

palpasi dengan gerakan memutar terhdap dinding dada dari tepi menuju

areola dan memutar searah jarum jam.

4. Lakukan palpasi payudara sebelahnya.

5. Bila diperlukan lakukan pula pengkajian dengan posisi pasien supoinasi

dan diganjal bantal/selimut dibawah bahunya.

11. PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN

a. Perut abdomen merupakan suatu bagian tubuh yang menyerupai rongga

tempat beberapa organ-organ penting tubuh, yaitu; lambung,usus, hati, limpa,

serta ganjil.

b. Bentuk perut yang normal adalah. Simetris baik pada orang yang gemuk

maupun kurus.

c. Perut menjadi besar dan tidak simetris pada beberapa keadaan, misalnya :

kehamilan, tumor dalam rongga perut, tumor ovarium/tumor kandung kemih.

d. Perut menjadi besar dan tidak simetris pada beberapa keadaan, misalnya :

kehamilan, tumor dalam rongga perut, tumor ovarium/tumor kandung mesih.

e. Perut dapat membesar setempat, misalnya : pada pembengkakan hati ginjal,

limpa/kandung empedu.

f. Permukaan perut normal nampak halus, lembut dengan kobntur datar,

melingkar/cekung.

g. Apabila ada pembesaran, maka kulit perut menjadi tegang, licin dan tipis.

h. Pada keadaan setelah distensi berat, kulit perut menjadi berkeriput, dan pada

keadaan ikterik, kulit perut akan nampak kuning.


INSPEKSI :

1. Anjurkan pasien membuka baju untuk menampakkan daerah perut

2. Pasien diatur berbaring ditempat permukaan datar dengan kepala pasien

diatur sedikit ke atas pada bantal.

3. Pasien dianjurkan relaks dengan kedua tangan diletakkan disamping

tubuhnya serta dianjurkan bernafas secara bebas.

4. Pemeriksaan dapat berdiri/ duduk disebelah kanan pasien.

5. Lakukan pengamatan mengenai bentuk perut secara umum, kontur

permukaan perut dan adanya retraksi, penonjolan dan adanya

ketidaksimetrisan.

6. Amati gerkan-gerakan kulit pada perut saat inspirasi dan ekspirasi.

7. Amati keadaan kulit secara lebih teliti mengenai pertumm-buhn rambut

dan pigmentasi.

AUSKULTASI :

1. Siapkan stetoskop,hangatkan tangan dan bagian diagfragma stetoskop.

2. Tanya pasien tentang waktu terakhir makan. Suara usus meningkat pada

orang setelah makan.

3. Tentukan bagian stetoskop yang akan digunakan. Bagian diafragma

digunakan untuk mendengarkan suara usus, sedangkan bagian bell untuk

mendengarkan suara pembuluh darah.

4. Letakkan diafragma stetoskop dengan tekanan ringan pad setiap area 4

kuadran perut dan dengar suara peristalik aktif dan suara mendeguk

(gurgling) yang secara normal terdengar setiap 5-20 detik dengan durasi

</> 1 detik frekw suara tergantung pada status pencernaan/ada dan

tidaknya makanan dalam sel cerna. Suara usus dapat di nyatakan dengan :
terdengar tidak ada/hipoaktif, sangat lambat (misalnya : hanya terdengar

1x/mnt) dan hiperaktif/meningkat (misalnya : terdengar setiap 3 detik).

Bila suara usus terdengar jarang sekali/tidak ada maka sebelum di pastikan

dengarkan dulu selama 3-5.

5. Letakkan bagian bell stetoskop di atas aorta , arteri renale dan arteri iliaka.

Dengarkan suara-2 arteri/bruit. Auskultasi pada aorta dilakukan dari arah

superior ke umbilikus. Auskultasi arteri renale di lakukan dengan cara

meletakkan stetoskop pada garis tengah perut/kearah kanan kiri dari garis

perut bag atas mendekati panggul. Auskultasi arteriiliaka di lakukan

dengan cara meletakkan stetoskop pada area bawah umbilikus di sebelah

kanan dan kiri garis tengah perut.

6. Letakkan bagian bell stetoskop di atas area preumbilikal untuk

mendengarkan bising vena (jarang terdengar).

7. Dalam melakukan auskultasi pada setiap tempat khususnya pada area

hepar dan lien , kaji pula kemungkinan terdengar suara-2 gesekan seperti

suara gesekan 2 benda. untuk mengkaji suara gesekan pada area lien maka

letakkan stetoskop pada area bawah tulang rusak di garis aksilaris anterior

dan suruh pasien menarik nafas dalam. Untuk mengkaji suara gesekan

pada area hepar, letakkan stetoskop pada sisi bawah kanan tulang rusuk.

PERKUSI

1. Perkusi di mulai dari kuadran kanan atas kemudian bergerak searah jarum

jam (dari sudut pandang/perspektif pasien).

2. Perhatikan reaksi pasien dan catat bila pasien merasa nyeri/nyeri tekan

3. Lakukan perkusi pada area timpani dan redup. Suara timpani mempunyai

ciri nada>tinggi daripada resonan , yang mana suara ini dapat di dengarkan
pada ronggan/organ yang berisi udara. Suara redup mempunyai ciri nada>

rendah / > datar daripada resonan . suara ini dapat di dengarkan pada massa

yang padat , mis : keadaan asites , keadaan distensi kandung kemih serta

pada pembesaran atau tumor hepar dan limfe.

PALPASI

1. Hangatkan tangan. Tangan yang dingin bila dirabakan pada perut akan

membuat pasien secara refleks mengencangkan otot-otot perutnya sehingga

akan menyulitkan pemeriksaan.

2. Pada palpasi ringan, letak telapak tangan pada perut pasien dengan jari-jari

paralel terhadap perut. Jari-jari digerakan secara agak melingkar dan

ditekankan ke bawah kira-kira sedalam 1cm / sedalam jar subkutan. Selama

melakukan palpasi ringan, tetap perhatikan ekspresi wajah pasien dan

anjurkan pasien untuk memberitahu area-area yang nyeri tekan.

3. Pada palpasi dalam, tekankan ¼ distal permukaan tangan pada tangan yang

lain yang diletakkan di dinding perut pasien. Penekanan ke bawah

dilakukan sedalam 4-5 cm/ mendekati jar subkutan. Raba adanya massa

dan jelaskan menurut uukuran, letak, mobilisasi, kontur, konsisten, dan

nyeri tekan. Harus teliti dalam mendeterminasi massa untuk menghindari

kekeliruan. Struktur-struktur dalam rongga perut normal yang sering dikira

massa adalah batas lateral otot rektus abdominal dan feses yang terdapat

dalam kolon ascende, desenden dan sigmoid.

12. PEMERIKSAAN FISIK GENETALIA WANITA

1. Berbagai masalah yang berkaitan dengan sistem reproduksi wanita dapat

terjadi misalnya: masalah kotrasepsi, infertilasi, gangguan menstruasi, maupun

menupause.
2. Sistem reproduksi wanita terbagi 2 bagian utama, yaitu: alat kelamin luar dan

alat kelamin dalam yang berkembang dan berfungsi sesuai dengan pengaruh

hormon-hormon yang juga mempengaruhi fertilasi, kehamilan, melahirkan,

dan kemampuan mencapai kepuasan seksual.

3. Alat kelamin luar tidak : mons plubis, klitoris, labia mayora, labia minora,

kelenjar bartholini, kelenjar skene’s, dan meatus urethra.

4. Alat kelamin keluar tidak : vagina, uretus, ovarium, tuba faloppi.

PEMERIKSAAN BAGIAN LUAR :

1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengosongkan kandungan kemih sebelum

pemeriksaan dimulai. Bila diperlukan urine untuk/specimen lab, kumpulkan

pada saat ini.

2. Anjurkan pasien membuka celana, bantu mengatur posisi litotomi dan selimut

bagian yang tidak diamati.

3. Mulai dengan mengamati rambut pubis, perhatikan distribusi dan jumlahnya

dan bandingkan sisi usia perkembangan pasien.

4. Amati kulit dan area pubis, perhatikan adanya lesi, eritema, fisura, leukoplakia,

dan eksoriasi.

5. Buk labia mayora dan amati bagian dalam labia mayora, labia minora, klitoris,

dan meatus urethar. Perhatikan setiap ada pembengkakan ulkus, keluaran,

pembengkakan atau nodula.

PEMERIKSAAN BAGIAN DALAM :

1. Atur posisi pasien

2. Lumasi jari telunjuk anda dengan air steril dan masukkan kedalam vagina dan

identifikasi serviks mengenai kelunakannya, serta permukaannya, Tindakan ini


berguna untuk mempergunakan dan memilih spekulum yang tepat. Cabut jari

bila sudah selesai.

3. Siapkan spekulum dengan ukuran dan bentuk yang sesuai dan lumasi dengan

air hangat. Bila akan diambil specimen.

4. Letakkan 2 jari pada pintu vagina dan tekankan ke bawah ke arah perianal.

5. Yakinkan tidak ada rambut pubis pada pintu vagina dan dengan tangan satunya

masukkan spekulum dengan sudut 45o dan hati-hatilah sehingga tidak menjepit

rambut pubis/labia.

6. Bila spekulum sudah berada di vagina, keluarkan 2 jari anda, dan putar

spekulum ke arah posisi horizontal dan pertahankan penekanan tetap pada sisi

bawah/posterior.

7. Buka paru spekulum, lokasikan pada serviks dan kunci paru sehingga tetap

membuka.

8. Bila serviks sudah terlihat, atur lampu untuk memperjelas penglihatan dan

amatiserviks mengenai ukuran, laserasi, erosi, nodula, massa, keluaran, dan

warnanya. Normalnya pada nulipara bentuk serviks melingkar / oval, sedang

pada para membentuk celah.

9. Bila diperlukan spesimen sitologi, maka ambillah dengan cara usapan

menggunakan aplikator dari kapas.

10. Bila sudah selesi, kendorkan screw spekulum, tutup spekulum dan tarik keluar

secara perlahan-lahan.

PEMERIKSAAN BAGIAN DALAM :

1. Lakukan palpasi secara bimanual bila diperlukan dengan cara keanakan sarung

tangan steril, lumasi jari telunjuk dan jari tengah kemudian masukkan ke

lubang vagina dengan penekanan ke arah posterior dan raba dinding vagina
untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan nodul. Dan raba dinding vagina

untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan nodul.

2. Palpasi serviks dengan 2 jari dan perhatikan posisi, ukuran, konsistensi,

regularitasi, mobilitasi, dan nyeri tekan. Normalnya serviks dapat digerakkan

tanpa terasa nyeri.

3. Palpasi uterus dengan cara geser 2 jari menghadap ke atas. Tangan yang diluar

taruh di perut dan tekankan ke bawah. Palpasi uterus mengenal ukuran, bentuk,

konsistensi, dan mobilitasi.

4. Palpasi ovarium dengan cara geser 2 jari yang ada dalam vagina pada forniks

lateral kanan, Tangan yang di perut tekankan ke bawah kearah kuadran kanan

bawah. Palpasi ovarium kanan mengenal ukuran, mobilitas, bentuk,

konsistensi, dan nyeri tekan (normalnya tak teraba). Ulangi untuk ovarium

sebelahnya.

13. PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MUSKULSKELETAL

a. Tujuan : untukk memperoleh dari dasar tentang oto, tulang, dan persendian serta

untuk mengetahui adanya mobilitas,kekuatan, atau adanya gangguan pada

bagian 2 tertentu.

- OTOT

1) Lakukan inspeksi mengenai ukuran otot, misalnya : pada lengan dan paha.

Bandingkan 1 sisi dengan sisi yang lain serta amati mengenai ada dan

tidaknya atrofi maupun hipertrofi.

2) Bila didapatkan perbedaan antara kedua sisi, ukur keduanya dengan

menggunakan meteran.

3) Amati otot dan tendo untuk mengetahui kemungkinan mengalami kontraktur

yang ditunjukka dengan terjadinya mal posisi suatu bagian tubuh.


4) Amati otot untuk mengetahui kemungkinan terjadi kontraksi normal dan

tremmor.

5) Lakukan palpasi pada oto saat istirahat untuk mengetahui tonus otot.

6) Lakukan palpasi otot pada sat bergerak secara aktif dan pasif untuk

mengetahui adanya kelemahan (flasiditas), kontraksi tiba-tiba secara

involunter (spasitas) dan kehalusan gerakan.

7) Uji kekuatan otot dengan cara menyuruh pasien menarik/mendorong tangan

pemeriksa, dan bandingkan kekuatan otot anggota gerak kanan dan anggota

gerak kiri. Kekuatan otot juga dapat diuji dengan cara pasien disuruh

menggerakkan kepala/lengan. Normalnya pasien dapat menggerakkan

anggota tubuh ke arah horisontal terhadap gravitasi.

8) Amati kekuatan suatu bagian tubuh dengan cara memberi penahanan secara

resisten. Secara normal kekuatan otot dinilai dalam 5 tingkatan gradiasi

seperti terlihat pada tabel di bawah ini :

KENORMALAN
SKALA CIRI-CIRI
KEKUATAN (%)
0 0 Paralisis total
Tidak ada gerakan, teraba / terlihat
1 10
adanya kontraksi otot.
Gerakan otot penuh menentang
2 25
gravitasi, dengan sokongan.
Gerakan normal menentang
3 50
gravitasi.
Gerakan normal penuh menentang
4 75
gravitasi dengan sedikit penahanan.
5 100 Gerakan normal penuh menentang
gravitasi dengan penahanan penuh.

- TULANG

1. Amati kenormalan susunan tulang dan deformitas.

2. Lakukan palpasi tulang untuk mengetahui adanya oedema /nyeri tekan.

3. Amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya pembengkakan.

- PERSENDIAN

1. Lakukan inspeksi persendian untuk mengetahui adanya kelainan

persendian.

2. Lakukan palpasi persendian untuk mengetahui adanya nyeri tekan,

gerakan, bengkak, kapitasi dan nodula.

3. Periksa rentang gerak persendian (rang of motion).

4. Catat hasil pemeriksaan.

14. PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

a. Tujuan dari perspektif medis : Untuk mendiagnosa, mendeterminasi adanya

penyakit, lokasi, perkembangan penyakit saraf serta sebagai upaya penentuan

pengobatan.

b. Dalam pelaksanaannya dibagi menjadi : Status mental, nervus carniall, motor,

cerebellar, sensori dan refleks.

c. Tujuan dari segi perawatan : Untuk membantu manusia mengatasi secara

efektif tentang perubahan kehidupan sehari-hari dan perawatan diri baik


aktual maupun potensial yang disebabkan karena adanya masalah

kesehatan/penyakit.

d. Dalam pelaksanaannya dibagi menjadi : Kesadaran, mentasi gerakan, sensasi,

fungsi regulasi integrasi dan pola pengatasan masalah terhadap

kecacatan/masalah.

e. Kesadaran

1) Mempunyai 2 komponen : kewaspadaan dan kesadaran diri.

2) Kewaspadan → memperhatikan respon seseoraang terhadap rangsangan

lingkungan, rangsangn verbal, rangsangan nyeri.

3) Kesadaran → Memberi pertanyaan pada pasien tentang siapa namanya,

sekarang hari/tahun berapa, dan lain-lain.

4) Skala koma glasgow (gcs/glasow coma scale).

PARAMETER NILAI
Mata Membuka secara spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak berespon 1
Respon Verbal Orientasi baik 5
Bingung 4
Kata-kata tidak jelas 3
Bunyi tidak jelas 1
Respon Mengikuti perintah 6
motorik/gerak Gerakan lokal 5
Fleksi, menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada 1

- MENTASI
a. Merupakan segala aktivitas yang memerlukan penyatuan/integrasi

perhatian, memori dan proses berpikir yang tergantung pada kondisi

korteks serebri yang di aktivasi oleh sistem aktifasi retikular.

b. Pengujian mentasi meliputi : perhatian/atensi, mengingat, perasaan/afektif,

bahasa, berpikir dan persepsi spasial.

c. Perhatian/atensi : mengulang sederetan angka.

d. Mengingat : jangka pendek dan jangka panjang

e. Perasaan/afektif : perasaan pasien, ekspresi wajah dan gerakan tubuh

f. Bahasa : perhatikan isi dan kuantitas bicara secara spontan

g. Berpikir : menjawab beberapa pertanyaan sederhana

h. Persepsi spasial : meniru gambaran kubus, tanda silang, peta ruangan,

menunjukkan sisi kanan dan kiri/menggunakan sikat gigi

- PERGERAKAN

a. Merupakan fungsi keseluruhan yang mengacu pada koordinasi aktivitas

muskulokeletal secara volunter dan otomatis

b. Meliputi : cara melihat, berbicara, makan, bergerak dan berjalan pasien

c. Uji saraf kranial : anjurkan pasien memutar kepala menentang penahanan

dari tangan pemeriksa, lakukan palpasi pada otot sterno-kleidomastoid

d. Uji kekuatan otot : anjurkan pasien menaikkan kedua lengan melawan

penahanan dari pemeriksa

e. Uji bisep dan trisep (fleksor dan ekstensor) : pasien di suruh menarik dan

mendorong lengan melawan penahanan pemeriksa

f. Uji fleksor dan ekstensor pergelangan tangan : suruh pasien memfleksikan

dan mengekstensikan pergelangan tangan menentang penahanan


g. Uji kekuatan otot tangan : suruh pasien membuka jari-jari menentang

penahanan pemeriksa

h. Uji fleksi dan ekstensi bawah serta kekuatan tulang panggul : suruh pasien

mengangkat kaki menentang penahanan dari pemeriksa

i. Uji kekuatan tungkai atas : suruh pasien mefleksikan dan ekstensikan lutut

menentang penahan dari pemeriksa

j. Uji kekuatan tungkai bawah : suruh pasien memfleksikan dan ekstensikan

pergelangan kaki menentang penahanan dari pemeriksa

k. Koordinasi ekstremitas atas : suruh pasien menyentuh hidungnya dengan

jari penunjuk, kemudian menyentuh jari pemeriksa

l. Koordinasi ekstremitas bawah : suruh pasien jalan lurus ke depan setapak

demi setapak dengan tumit dan jempol kaki bersinggungan

m.Kestabilan batang tubuh : suruh pasien berdiri lurus dengan mata tertutup

(seharusnya dapat berdiri tegak dan tidak jatuh)

n. Refleks : berikan stimulus (input sensori) dan mengamati respon yang

ditimbulkan, terjadi pada tulang/otot lunak

o. Muscle stretc refleks : suatu pukulan cepat dengan refleks hammer pada

tendon-tendon suatu kelompok otot

 Tidak adanya reflek menunjukkan adanya gangguan pada

penghantar/serabut reflek

 Refleks menjadi hiperaktif pada keadaan adanya lesi pada neuron

motorik ata

 Skala untuk reflek :

 0 : Tidak ada

 1 : Ada tapi melemah


 2 : Normal

 3 : Meningkat tapi tidak patologis

 4 : Hiperaktif

1) Reflek Babinski → menggoreskan suatu benda agak tajam pada

telapak tangan dari tumit ke atas menuju bawah jempol

Reflek normal : adanya fleksi pergelangan kaki

2) Reflek snout → mengetuk bibir atas atau mengusap bibir dengan

spatel lidah. Respon abnormal : bibir mengerut atau menonjol

3) Reflek menghisap → menstimulasi bibir

4) Reflek Glabellar → mengetuk – ngetuk dahi tepat di atas hidung.

Reflek positif bila mata terus berkedip tidak berhenti

- SENSASI

 Merupakan fenomena subyektif

 Meliputi : sensasi khusus (penglihatan, pembauan dan pendengaran),

sensasi somatis (perasaan) dan sensasi kortikal.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang lengkap dari penderita untuk

mengetahui keadaan atau kelainan dari penderitaan. Tujuannya adalah untuk

mengetahui bagaimana kesehatan umum ibu (bila keadaan umumnya baik agar di

pertahankan jangan sampai daya tahan tubuh menurun), untuk mengetahui adanya

kelainan, bila ada kelainan, kelainan itu lekas diobati dan disembuhkan agar tidak
menganggu. Prinsip umum dari pemeriksaan fisik adalah dilakukan secara

komprehensif.

Dalam melakukan pemeriksaan fisik terdapat teknik dasar yang perlu

dipahami, antara lain inspeksi (melihat), palpasi (meraba), perkusi (ketukan), dan

auskultasi (mendengar).

Pada pemeriksaan fisik, yang diperiksa mulai dari pemeriksaan keadaan umum

hingga pemeriksaan fisik head to toe ( pemeriksaan fisik kepala hingga kaki).

3.2 Saran

Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca,

dan dapat memberikan pengetahuan sedikit tentang pemeriksaan fisik pada ibu. Kami

mengetahui bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan

baik dari segi penulisannya, bahasa dan lain sebagainnya. Untuk itu saran dari

pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dapat terciptanya

makalah yang baik sehingga dapat memberi pengetahuan yang benar kepada pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 1992, Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Dalam Konteks
Keluarga, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 1998, Asuhan Keperawatan Ibu Hamil (Antematal), Modul
Diklat Jarak Jauh, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 1999, Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Dasar,
Jakarta
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2003, Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan
Fisiologi Bagi Dosen Diploma III Kebidanan, Asuhan Antenatal, Buku 2, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai