Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEPERAWATAN HIV / AIDS


VCT DAN DASAR – DASAR KONSELING BAGI PASIEN DENGAN HIV /
AIDS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

MAYANG WULANDARI

VISIE FEBRIDESNOVI V

SELLY APRILIYANTI

SYAFRINA

YUNISTRI

PROGRAM NON REGULER SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH TANJUNGPINANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya serta hidayah-Nya sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah
dengan judul ‘ Konsep Dasar Medis dan Asuhan Keperawatan DM, Hipertiroid, dan
Hipotiroid ‘. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya hingga pada umatnya sampai akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Keperawatan
HIV / AIDS di jurusan keperawatan stikes Hangtuah. Dalam kesempatan ini penyusun juga
bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Heri Priatna, Sst.FT, SKM, S. Sos, MM, Sp. FOM selaku Ketua Stikes
Hangtuah Tanjungpinang.
2. Bapak dr. Bukit Gultom Selaku Direktur RSUD Dabo.
3. Ibu Zakiah Rahman, S. Kep, Ns, M. Kep Selaku Dosen mata kuliah Keperawatan Hiv /
Aids.
4. Teman – teman seperjuangan yang tiada hentinya saling memberi motovasi.
Semoga Allah SWT memberi balasan yang setimpal kepada semuanya.
Penyusun berharap makalah yang telah disusun ini bisa memberikan sumbangsih
untuk menambah pengetahuan para pembaca, dan akhir kata, dalam rangka perbaikan
selanjutnya, penyusun akan terbuka terhadap saran dan masukan dari semua pihak karena
penyusun menyadari makalah yang telah disusun ini memiliki banyak sekali kekurangan.

Dabo Singkep, 11 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...
…………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH..........................................................................................3
1.3 TUJUAN...................................................................................................................3
A. TUJUAN UMUM...............................................................................................3
B. TUJUAN KHUSUS.............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................4


2.1 VCT / Voluntary Counseling and Testing...................................................................4
A. Sejarah VCT / Voluntary Counseling and Testing................................................4
B. Gambaran Umum Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)..........4
2.2 DASAR – DASAR KONSELING PADA PASIEN DENGAN HIV / AIDS………5
A. Komponen dasar VCT ………………………………………………………….5
B. Tahapan VCT …………………………………………………………………...6
C. Contoh SOP Penatalaksanaan VCT……………………………………………..8

DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………………….13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trend kejadian HIV/AIDS didunia cenderung meningkat setiap tahunnya.


Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 di dunia didapatkan
36.900.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia menurut Dirjen PP dan PL
Kemenkes RI (2014),ada sekitar 150.285orang terinfeksi HIV/AIDS.Bila dilihat
keseluruhan provinsi di Indonesia, DKI Jakarta menempati urutan pertama HIV/AIDS
sebanyak 32.782 orang dan provinsi Jambi menempati urutan ke23 sebanyak 751 orang
dan 15,4% berasal dari kota Jambi (Dinkes Kota Jambi, 2014). Jadi di Indonesia dan
dunia memerlukan penangganan HIV/AIDS yang samasehingga dapat menekan
peningkatan HIV/AIDS.
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS dengan
berbagai macam cara. Menurut Permenkes RI (2013), penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan melalui 5 (lima) kegiatan yaitu; 1) promosi kesehatan; 2) pencegahan
penularan HIV/AIDS; 3) pemeriksaan diagnosis HIV/AIDS; 4) pengobatan, perawatan
dan dukungan; serta 5) rehabilitasi. Menurut Kemenkes RI (2014), layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS diwujudkan melalui voluntary
counseling and testing (VCT).Hal ini menunjukkan bahwa VCT sebagai upaya untuk
penanggulanggan HIV/AIDS. VCT berperan dalam pencegahan dan pengobatan pada
klien HIV/AIDS.
VCT termasuk layanan yang diterapkan secara global. Menurut WHO (2012),
layanan VCT mengacu kepada lima prinsip dasar penangganan HIV secara global yaitu;
1)informed consent; 2) confidentiality; 3) counseling; 4) correct test result; dan 5)
connections to care, treatment and prevention service. Prinsip tersebut telah menjadi
acuan Indonesia untuk dikembangkan secara nasional.
Tenaga kesehatan bertanggungjawab memberikan layanan VCT kepada klien.
Menurut Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia/PKVHI(2014), tenaga kesehatan
yang memberikan layanan VCT disebut konselor. Konselor adalah orang yang memberi
pelayanan konseling yang telah dilatih keterampilan konseling HIV-AIDS dan
dinyatakan mampu.Konselor VCT memiliki kompetensi yang diantaranya berupa; tulus,
empati, aktif mendengarkan, care, percaya, peka akan budaya, sabar, jujur, mempunyai

1
alternatif, menyadari keterbatasan diri, mendukung ekspresi perasaan/pikiran, tidak
menghakimi dan berpengetahuan (Kemenkes RI, 2012).Berdasarkan kompetensi tersebut
konselor dapat memberikan layanan VCT dengan baik.
Pelaksanaan VCT tidak selalu berjalan dengan baik.Menurut Commonwealth
Regional Health Community Secretariat (2002), ada 3 (tiga) masalah serius dalam
pelaksanaan VCT yaitu 1) menciptakan kesadaran masyarakat;2) kekuatan dan
infrastruktur konselor VCT; dan 3) mempertahankan kualitas layanan VCT. Sedangkan
menurut Layer, et al.(2014), ada 3 (tiga) hambatan dalam pelaksanaan VCT meliputi;1)
individu; 2) fasilitas; dan 3) masyarakat dan struktural.Adapun Menurut Dayaningsih
(2009), ada 5 (lima) faktor hambatanpelaksanaaan VCT, yaitu;1) faktor konselor;2)
faktor klien; 3) faktor keluarga;4) faktor masyarakat; dan 5) faktor fasilitas pelayanan
VCT. Jadidapat disimpulkan bahwa faktor yang sering menjadi hambatan pelaksanaan
VCT adalah faktor konselor, klien, keluarga,masyarakat dan fasilitas pelayanan.
Konselor merupakan faktor pertama yang dikaitkan berperan penting dalam layanan
VCT.
Menurut Senyonyi (2012) di Uganda, konseling menjadi dasar dalam menekan
epidemi HIV/AIDS dan pengembangan konselor dilakukan dengan menetapkan
kewenangan hukum untuk mengatur pelatihan konselor, pengawasan dan praktek.
MenurutSetyoadi dan Triyanto (2012), konselor mempertahankan layanan VCT
bertujuan agar klien HIV/AIDS menerima kondisinya, meningkatkan kualitas hidup dan
terus mendapatkan konseling dalam mengatasi stress dan depresi klien HIV/AIDS,
membangun kembali perasaan, sikap dan perilaku baru.
Faktor kedua yang menjadi penghambat pelaksanaan VCT yaitu klien. Klien
HIV/AIDS harus menentukan sikap untuk mendapatkan layanan VCT. Menurut Wei Ma
(2010), tingginya angka kemiskinan dan ketidakmauan terhadap VCT menjadi penyebab
kurangnya pemanfaatan layanan VCT oleh klien. Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (2012) menyatakan bahwa adanya hambatan dari klien dalam mengakses
layanan karena rasa malu atau takut.Menurut hasil penelitian Bhoobun, Shaline (2013)
didapatkan lebih dari 90% peserta menyatakan keinginan privasi agar fasilitas
layananVCT jauh dari rumah dan tidak ada satu akan mengenalnya mereka.
Keluarga dan masyarakat termasuk faktor ketiga dan keempat penghambat
pelaksanaan VCT yang memberikan pengaruh bagi klien HIV/AIDS. Menurut UNAIDS
(2000), stigmasisasi, penolakan sosial dan diskriminasi terhadap klien HIV/AIDS terjadi
di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut NAM-aidsmap (2012), stigma

2
mengakibatkan klien HIV/AIDS dihina, ditolak, dipergunjingkan dan dikucilkan dari
kegiatan sosial. Sehingga klien HIV/AIDS ketakutan, mengisolasi diri dan tidak
mendapat bantuan. Adapun menurut Departement For International Development (2007),
individu yang hidup dalam masyarakat yang ketakutan dan menolak HIV cenderung
tidak mau melakukan tes HIV/AIDS, mengungkapkan status kepada orang lain, akses
perawatan dan pengobatan.
Faktor kelima yang menghambat pelaksanaan VCT yaitu fasilitas pelayanan
VCT. Menurut Kemenkes RI dan Dirjen PP dan PL (2011), fasilitas layanan mencakup
sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan
birokratik berperan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan klien tidak
dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Fasilitas layanan juga termasuk
ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang
ramah dan membantu klien. Jadi hambatan dari faktor fasilitas pelayanan dapat
menyebabkan klien HIV/AIDS tidak mendapatkan kemudahan mengakses layanan VCT.
Pemanfaatan fasilitas layanan VCT kurang optimal berpengaruh terhadap kepatuhan
klien HIV/AIDS dalam kegiatan konseling.
Kepatuhan klien HIV/AIDS menjalani konseling teridentifikasi dari kunjungan konseling
pra dan pasca tes.Hasil penelitian Ladner, et al. (1996) di Kigali (Rwanda) didapatkan
bahwa hasil tes HIV/AIDS positif menjadi penyebab klien tidak melakukan konseling
pasca tes.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini bagaimana mengetahui tentang vct
dan dasar – dasar konseling pada pasien dengan HIV / AIDS ?

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan makalah ini untuk mengetahui tentang VCT dann dasar – dasar
konseling pada pasien dengan HIV / AIDS.

b. Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui tentang VCT


 Untuk mengetahui dasar – dasar konseling pada pasien dengan HIV / AIDS

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 VCT / Voluntary Counseling and Testing


A. Sejarah VCT / Voluntary Counseling and Testing
Voluntary Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan oleh World
Health Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th Regional Health
Ministers’ Conference di Seychelles. Kemudian penerapannya sendiri di Indonesia
dilakukan tidak lama setelah itu. Namun perundangan secara jelas yang mengatur
tentang pemberlakuan VCT baru dicanangkan pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1507 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pelayanan dan Tseting HIV/AIDS secara Sukarela (Depkes RI, 2005). Kini
layanan VCT telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia baik itu oleh
pihak pemerintah maupun pihak swasta, dimana pelayanan VCT oleh pihak swasta
telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 04 Tahun 2002 tentang
Laboratorium Klinik Swasta (LKS) (Depkes RI, 2002). Selain itu aturan lain
mengenai Tim Pelatih Konseling dan Testing HIV Secara Sukarela diatur dalam
Keputusan Menkes RI No. 060 tahun 2009 (Depkes RI, 2009).

B. Gambaran Umum Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah suatu proses konseling
terhadap suatu individu sehingga individu tersebut memperoleh informasi dan
dapat memutuskan untuk melakukan tes HIV atau tidak, dimana keputusan yang
diambil oleh individu tersebut merupakan keinginan dari dalam dirinya sendiri
tanpa paksaan dan hasil tes sepenuhnya dirahasiakan dari pihak lain. Konseling
dalam VCT merupakan kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat
dan lebih aman (CDC, 2014).
Proses konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan
konseling serta pemahaman akan HIV. Adapun pihak-pihak yang membutuhkan
VCT antara lain: mereka yang ingin mengetahui status HIVnya karena merasa

4
telah melakukan tindakan yang berisiko untuk tertular HIV, mereka yang telah
tertular HIV dan keluarganya, mereka yang membutuhkan VCT untuk 9
kepentingan dinas atau pekerjaan, serta mereka yang termasuk ke dalam kelompok
berisiko tinggi. (UNAIDS, 2000).

2.2 DASAR – DASAR KONSELING PADA PASIEN DENGAN HIV / AIDS


a. Komponen dasar VCT

Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara
global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality;
counseling; correct test results; connections to care, treatment and prevention
services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling
dan Tes HIV.

1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan


laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh
petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas
dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien
untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling pra-
Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan

5
sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang
memeriksa.
5. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus
dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

b. Tahapan VCT

a. Konseling Pre Test


Merupakan diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk
menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang
HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien
tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah
menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien
memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling
seks yang aman.
Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan
meluruskan pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya.
Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat keseimbangan antara
pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien.
Banyak orang takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan
diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT
senantiasa melindungi klien dengan menjaga kerahasiaan. Peletakan kepercayaan
klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya rahasia dan terbinanya
hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan konseling mikro sangat penting
untuk membina rapport dan menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada
klien .

b. Tes HIV
Secara konvensional tes HIV dilakukan dengan mendeteksi antibodi HIV. Jika
seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang
itu telah terinfeksi HIV. Kini berbagai varian tes antibodi HIV telah tersedia antara
lain Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay (ELISA), Western Blot dan tes
lainnya yang prinsip penggunaannya lebih mudah dan harga lebih terjangkau. Hasil
test HIV dapat digolongkan ke dalam 3 hasil yakni:

6
1. Non Reaktif Hasil tes non reaktif menunjukkan bahwa tidak terdeteksi
antibodi di dalam darah. Hasil ini dapat mempunyai beberapa arti yakni
individu tersebut tidak terinfeksi HIV atau individu tersebut mungkin
terinfeksi HIV tetapi tubuhnya belum dapat memproduksi antibodi HIV
dimana dalam kondisi ini individu tersebut berada dalam status window period
sehingga untuk memastikannya dapat dilakukan kembali tes HIV 3 atau 6
berikutnya.

2. Reaktif
Hasil tes reaktif menunjukkan bahwa antibodi HIV terdeteksi di dalam darah.
Hasil ini menunjukkan bahwa individu dengan hasil tes HIV reaktif berarti
telah terinfeksi HIV, tetapi belum tentu individu tersebut telah mengidap
AIDS. Untuk hasil tes reaktif konselor akan menjelaskan makna hasil tes
reaktif dan menanyakan kepada klien siapa saja yang boleh mengetahui hasil
tes. Sedangkan untuk hasil tes non reaktif dan intermediate konselor
menjelaskan makna hasil tes dimana klien juga diberikan konseling mengenai
perubahan perilaku.
3. Intermediate
Hasil tes intermediate menunjukkan hal sebagai berikut: individu tersebut
mungkin terinfeksi HIV dan sedang dalam proses membentuk antibodi
(serokonversi akut), atau individu tersebut mempunyai antibodi dalam darah
yang mirip dengan antibodi HIV

c. Konseling Post Test


Konseling post-test merupakan diskusi antara konselor dengan klien yang
bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan
hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional
klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam
kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti
dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan membuat perencanaan
dukungan (UNAIDS, 2000).

7
c. Contoh SOP Penatalaksanaan VCT
1. TUJUAN.
Sebagai acuan dalam  penatalaksanaan  Konseling  dan Testing  HIV/AIDS
secara sukarela
2. RUANG LINGKUP
Tindakan dimulai  dari anamnesa, konseling, tindakan, sampai  dengan
pencatatan
3. KRITERIA PENCAPAIAN
Penatalaksanaan  VCT  dapat  dilaksanakan 100%  sesuai prosedur
penatalaksanaan klinik  VCT
4. DEFINISI
Voluntary  Counseling  Test (VCT) adalah  Proses konseling pra testing,
konseling post testing, dan testing HIV  secara  sukarela  yang  bersifat
confidential dan secara lebih dini membantu orang  mengetahui  status HIV.
Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang  HIV  &  manfaat
testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue  HIV
yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk
mengerti & menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan.
Voluntary Counseling Test (VCT) merupakan pintu masuk penting untuk
pencegahan dan perawatan HIV
5. URAIAN UMUM
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh
seorang ahli (disebut konselor / pembimbing) kepada individu  yang mengalami
sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara pada  teratasinya masalah
yang dihadapi pelanggan. Konseling merupakan dialog yang  terjaga
kerahasiaan antara konselor dan pelanggan.
6. PERALATAN
1) Alat
2) Papan nama dan petunjuk
3) Poster HIV/AIDS dan IMS
4) Leaflet HIV/AIDS dan IMS
5) Brosur HIV/AIDS dan IMS
6) Kotak saran
7) Tempat sampah

8
8) Meja dan kursi
9) Jam kerja layanan, kalender dan kondom.
10) Alat peraga penis dan alat peraga reproduksi wanita
11) Lemari arsip  dan dokumen
12) Bahan
13) Tisu
14) Air  minum
15) Persedian air minum

7. INTRUKSI KERJA

NO INSTRUKSI KERJA PETUGAS

1 KONSELING PRE TESTING


1.1    Menyiapkan perlengkapan untuk konseling
1.2    Memanggil pelanggan (dengan menyebutkan nomor registrasi)
dan mempersilahkan masuk keruangan.
1.3    Mempersilahkan pelanggan duduk dengan nyaman di kursi
yang telah tersedia.
1.4    Memberi salam  dan memperkenalkan diri.
1.5    Memeriksa ulang  nomor kode pelanggan dalam formulir
dokumen pelanggan.
1.6    Menanyakan latar belakang dan alasan kunjungan.
1.7    Memberi informasi tentang  HIV/AIDS sesuai dengan yang PERAWAT
ada pada cek list untuk konseling pre test (cek list pada lampiran)
1.8    Mengklarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV/AIDS,
termasuk tentang IMS dan menawarkan pemeriksaan IMS secara
rutin, khususnya pada penasun (IDU)
1.9    Membantu pelanggan untuk menilai resiko pelanggan
1.10 Membantu pelanggan untuk membuat keputusan untuk
dilakukan tes HIV, antara lain dengan menjelaskan keuntungan dan
akibat melakukan  tes HIV.
1.11 Mendikusikan prosedur HIV/AIDS, waktu untuk mendapatkan
hasil dan arti dari tes HIV.
1.12 Mendiskusikan kemungkinan tindak lanjut setelah ada hasil

9
test.
1.13 Menjelaskan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan
memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status
HIV.
1.14 Menjajaki kemapuan pelanggan dalam mengatasi masalah.
1.15 Melakukan penilaian system dukungan.
1.16 Memberi waktu untuk berfikir.
1.17 Bila pelanggan menyetujui untuk test, konselor memberikan
form informed consent kepada pelanggan dan meminta tanda
tangannya setelah pelanggan membaca isi form HIV/.AIDS.
1.18 Mengisi dokumen pelanggan dengan lengkap dan mengisi form
rujukan ke laboratorium.
1.19 Membuat perjanjian dengan pelanggan untuk menunggu hasil
test.
1.20 Mengantar pelanggan ke tempat pengambilan darah dan
menyerahkan form laboratorium kepada petugas pengambilan darah.
1.21 Bila pelanggan tidak menyetujui untuk di test, konselor
menawarkan kepada pelanggan untuk dating kembali sewaktu-waktu
bila masih memerlukan dukungan dan / atau untuk dilakukan test.
1.22 Mengucapkan salam dan mengakhiri proses.

2 KONSELING POST TESTING


2.1  Memangggil pelanggan dengan menyebutkan nomor regester
seperti prosedur pemanggilan konseling pre-test.
2.2  Memperhatikan komunikasi non verbal saat pelanggan
memasuki ruang konseling.
2.3  Menanyakan kesiapan pelanggan untuk menerima test.
2.4  Mengkaji ulang secara singkat dan menayakan keadaan umum
pelanggan. PERAWAT
2.5  Memperhatikan  amplop hasil test yang masih tertutup kepada
pelanggan.
2.6  Menanyakan kesiapan pelanggan untuk menerima hasil test.
2.6.1   Apabila pelanggan menyatakan sudah siap / sanggup

10
menerima hasil test, maka konselor menawarkan kepada pelanggan
untuk membuka amplop bersama konselor.
2.6.2   Apabila pelanggan menyatakan belum siap, konselor meberi
dukungan kepada pelanggan untuk menerima hasil dan beri waktu
sampai pelanggan menyatakan dirinya siap.
2.7  Membuka amplop dan menyampaikan secara lisan hasil testing
HIV.
2.8  Memberi kesempatan pelanggan membaca hasil.
2.9  Menjelaskan kepada pelanggan tentang hasil  testing HIV  yang
telah dibuka dan yang telah dibaca bersama.
2.10        Memberi kesempatandanventilasikankeadaanemosinya.
Menerapkanmanajemenreaksi.

3 3.1          BILA HASIL TEST POSITIF


3.1.1          Memeriksaapa yang diketahuitentanghasil test.
3.1.2          Menjelaskandengantenangartihasilpemeriksaan.
3.1.3          Memberi kesempatan untuk memventilasikan emosi.
3.1.4         Memfasilitasi coping problem
(kemampuanmenyelesaikanmasalah).
3.1.5          Setelah pelanggan cukup tenang dan konseling dapat
dilanjutkan konselor menyelesaikan informasi sebagai berikut : PERAWAT
3.1.5.1      Pengobatan ARV
3.1.5.2      Kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual
3.1.5.3      Menawarkan konseling pasangan
3.1.6          Menawarkan secara rutin pelanggan mengikuti
pemeriksaan sifilis dan manfaat pengobatan sifilis.
3.1.7          Untuk pelanggan perempuan terdapat fasilitas layanan
pemeriksaan kehamilan dan rencana penggunaan alat kontrasepsi
bagi laki-laki dan perempuan.
3.1.8          Memotivasi agar dating ke klinik untuk evaluasi awal
secara medis.
3.1.9          Konselor dan pelanggan menyepakati waktu kunjungan
berikutnya.
3.1.10       Apabila pada waktu yang ditentukan pelanggan tidak bias

11
hadir, disarankan untuk menghubungi konselor melalui telepon
untuk perjanjian berikutnya.
3.1.11       Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk bertanya
mengenai hal-hal yang belum diketahui.
3.1.12       Menawarkan pelayanan VCT pada pasangan pelanggan.
3.1.13       Apabila pelanggan sudah jelas dan tidak ada pertanyaan,
maka konseling pasca-testing ditutup.
3.1.14       Memotivasi agar bersama di damping oleh MK.
3.1.15       Konselor mengisi form pasca-konseling.

3.2          BILA HASIL TEST NEGATIF


3.2.1          Mendiskusikan kemungkinan pelanggan masih berada
dalam periode jendela.
3.2.2          Membuat ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai
hambatan.
3.2.3          Memastikan pelanggan paham mengenai hasil test yang
diterima dan pengertian periode jendela.
3.2.4          Menjelaskan kebutuhan untuk melakukan test ulang dan
pelayanan VCT bagi pasangan.
3.2.5          Menjelaskan upaya penurunan resiko yang dapat
dilakukan.
3.2.6          Memberi kesempatan kepada pelanggan untuk bertanya
mengenai hal-hal yang belum diketahui.
3.2.7          Apabila pelanggan sudah jelas dan tidak ada pertanyaan,
maka konseling pasca-testing ditutup.
3.2.8          Memotivasi agar bersedia didampingi oleh MK untuk
mempertanyakan perilaku yang aman.
3.2.9          Membuat perjanjian untuk kunjungan ulang apabila
dibutuhkan.
Mengisi form pasca konseling.

DAFTAR PUSTAKA

12
Booklet HIV & AIDS. BKKBN. 2011
http://m.metrotvnews.com/read/2015/11/30/196222/jumlah-kasus-hiv-aids-di-indonesia-
meningkat.
Katiandagho, Desmon. 2015. EPIDEMIOLOGI HIV-AIDS. In Media : Bogor
Nursalam, dkk. 2007. Asuhan Keperwatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba
Medika : Jakarta
Yan Deivita. 2017. “MANAJEMEN HIV/AIDS” DETEKSI DAN PERAWATAN
HIV/AIDS (VCT & CST). Diakses tanggal 11 maret 2020

13

Anda mungkin juga menyukai