Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH HIV/AIDS

“HIV/AIDS dan Long Term Care”

FASILITATOR
Heny Eka Puji L, S.ST.,M.Kes.

KELOMPOK 3:
1. Alvin Billy Revanra .W (201902048)
2. Dina Arini Anisa (201902057)
3. Cantika Rintan Novia M (201902055)
4. Ega Krisdianto (201902060)
5. Fitria Zahratun Nisa (201902065)
6. Kholida Septi Utami (201902075)
7. Rera Octavia (201902082)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
Jalan Taman Praja. no. 25 Madiun Kec. Taman Kota Madiun
Tahun 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan petunjuk,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Makalah HIV/AIDS
“HIV/AIDS dan Long Term Care”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw, dan para keluarga serta sahabatnya.
Terima kasih kepada Ibu Heny Eka Puji L, S.ST.,M.Kes selaku dosen mata kuliah HIV/AIDS
yang telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih juga kepada seluruh pihak yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Penulis sadar bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Madiun, 24 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………….
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................
1.4 Manfaat Penulisan………………………..……………………………….
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..
2.1 Definisi ...............................................................................................................
2.2 Epidemologi .......................................................................................................
2.3 Etiologi ...............................................................................................................
2.4 Klasifikasi ...........................................................................................................
2.5 Manifestasi ..........................................................................................................
2.6 Patofisiologi …………………………………………………………………….

BAB 3 TINJAUAN AGAMA TERHADAP HIV/AIDS…………………………..


3.1 Aspek Agama Pada ODHA ...................................................................
3.1.1 Peran Agama ..........................................................................................
3.1.2 Sikap Masyarakat ...............................................................................
3.1.3 HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama ..................................................
3.1.4 Pencegahan .......................................................................................
3.1.5 Penanggulangan ..................................................................................
3.2 Long Term Care ...................................................................................
3.2.1 Definisi ................................................................................................
3.2.2 Tujuan Long Term Care .....................................................................
3.2.4 Jenis dan Sumber Long Term Care ........................................................
3.2.5 Kondisi Pasient Memeprlukan Long Term Care ………………………...
3.2.6 Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS ................................................
BAB 4 PENUTUP…………………………………………………………………
4.1 Kesimpulan ............................................................................................
4.2 Saran………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu penyakit yang belum ada obatnya adalah HIV/AIDS. Virus Human
Immunodefeciency (Virus HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan
menginfeksi tubuh dalam periode inkubasi yang panjang. HIV dapat menyebabkan
kerusakan pada sistem imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari
CD4 + dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses tersebut, virus menghancurkan
CD4 + dan limfosit sehingga terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS (Nursalam & Kurniawati, 2007).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga
menurunkan kekebalan (lmunitas) tubuh seseorang. Penyakit AIDS ini disebabkan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Wirawan, 2016).
Penyakit HIV/AIDS antara 80-90% penyebabnya adalah berzina dalam
pengertiannya yang luas yang menurut pandangan agama merupakan perbuatan keji
yang diharamkan dan dikutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak hanya pelakunya yang
dikenai sanksi hukuman yang berat, tetapi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan
perzinahan yang dapat menularkan dan menyebabkan penyakit HIV/AIDS (Bahruddin,
2010). Menyadari betapa bahayanya virus HIV/AIDS tersebut, maka ada kewajiban
kolektif (kewajiban) bagi semua pihak untuk mengusahakan pencegahan tertularnya
virus HIV/AIDS ini melalui berbagai cara untuk memungkinkan penularan tersebut,
dengan melibatkan peran tokoh agama. Sehingga tinjauan atau pandangan agama
terhadap ODHA sangat penting untuk menghindari penyebab yang dapat menimbulkan
orang-orang dari penyakit HIV/AIDS ini.
Perawatan pada pasien HIV/AIDS yang diberikan dengan pendekatan secara
komprehensif, mencakup pengobatan sakit, pengobatan gejala, konsultasi dan
pengobatan untuk mengatasi masalah kejiwaan dan psikologis, dukungan dalam
mengatasi stigma dan diskriminasi atau penolakan dari keluarga, rujukan pada layanan
sosial, layanan kesehatan primer, perawatan rohani dan konsultasi, perawatan akhir-
kehidupan, dan dukungan dukacita bagi keluarga.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud untuk melakukan penyusunan
makalah mengenai Tinjauan Agama tentang HIV/AIDS dan Long Term Care pada
pasien HIV/AIDS.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana tinjauan agama tentang HIV/AIDS dan Long Term Care ?
1.3. Tujuan Masalah
1.3.1.Tujuan Masalah Umum Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
HIV/AIDS dan mengetahui lebih detail lagi mengenai tinjauan agama tentang
HIV/AIDS dan long term care.
1.3.2.Tujuan Masalah Khusus
a) Untuk mengetahui bagaimana penyakit HIV/AIDS
b)Untuk mengetahui tinjuan agama mengenai penyakit HIV/AIDS

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1 Mahasiswa
a) Sebagai sarana pembelajaran untuk mengetahui tinjauan agama tentang HIV/AIDS
dan long term care.
b) Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang tinjauan agama tentang
HIV/AIDS dan long term care.
1.4.2 Masyarakat
a) Sebagai pengetahuan masyarakat mengenai tinjauan agama tentang HIV/AIDS dan
long term care.
1.4.3 Instansi a) Dapat menambah referensi atau bahan pembelajaran mengenai tinjauan
agama tentang HIV/AIDS dan long term care.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Human Immunodeficiency virus ( HIV ) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunya kekebalan tubuh
manusia (Kemenkes RI 2015). HIV merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah
putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4).
Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang
menjadi AIDS (Rosella, 2013).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena turunya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV. Akibat
menurunya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit infeksi
( infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal. Virus ini merupakan kelompok
retrovirus yang memiliki enzim reverse transcriptase untuk mengkodekan RNA yang
dimilikinya menjadi DNA rantai ganda sehingga terintegrasi pada sel genom host
( Dapkes RI dalam Yusri 2012).
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyebabkan penurunan sistem imun
yang di sebabkan oleh virus HIV. HIV bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-
sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik
yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (Handoko, 2012).

2.2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh HIV. HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus
Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri
dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein
p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat
komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian
envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada
terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik
CD4 dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
membran selubung yang mengandung protein (Harisson, 2009).
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV
ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV
ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi (Wainberg MA et al,
2011). Penularan virus ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual (anal, oral , vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom)
dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
b. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.
c. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV.
d. Ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan , saat
melahirkan atau melalui air susu ibu/ASI.

2.3. Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut Centers for Disease Control (CDC)
dibagi atas empat tahap, yaitu:
2.4.1.Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul setelah 2-4 minggu
terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam merah pada kulit, nyeri telan,
badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena
keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes serologi standar masih negatif.
2.4.2.Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi gejala asimtomatis.
Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan penderita bisa tidak mengalami
keluhan apapun selama sepuluh tahun atau lebih.
2.4.3.Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua tempat selain
limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan limfe berfungsi sebagai tempat
penampungan utama HIV. PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV
asimtomatis.
2.4.4.Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat pengobatan, akan
berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV bergantung pada karakteristik
virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang
menyertai, dan faktor genetik merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas.
Bersamaan dengan progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita HIV lebih rentan
terhadap infeksi. Beberapa penderita mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan
penurunan berat badan, yang tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain
mengalami diare kronis dengan penurunan berat badan. Penderita yang mengalami
infeksi oportunistik dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus biasanya akan
meninggal kurang dari dua tahun kemudian.
2.4. Manifestasi
Manifestasi klinis Menurut Rosella (2013), pada stadium AIDS dibagi antara lain :
a) Gejala utama/mayor
- Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan
- Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan
b) Gejala minor
- Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan
- Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida albican
- Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.

2.5. Patofisiologi
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus
HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus
masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik
virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak
dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel
virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang
memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T
penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan
(misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya
limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan.
Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan
sasaran baru yang harus diserang. Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan
waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua
orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun.

2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama dari HIV/AIDS adalah terapi ARV. Panduan ART WHO
tahun 2013 merekomendasikan inisiasi ART dilakukan pada setiap individu dengan HIV
dan dengan jumlah CD4+ kurang dari sama dengan 500 sel/mm3 , pada stadium klinis
apapun, dan memprioritaskan pasien HIV yang sudah parah atau yang sudah
terkomplikasi (stadium klinis 3 atau 4) atau pasien dengan jumlah CD4+ kurang dari
sama dengan 350 sel/mm3 (WHO, 2015) Pada ibu hamil dan neonatus, pencegahan
transmisi dari ibu ke anak (PMTCT) merupakan pencegahan penularan HIV dari seorang
wanita HIV positif kepada anaknya selama kehailan, persalinan, atau sedang menyusui.
Empat elemen PMTCT - yang merupakan pencegahan primer HIV (Darmadi dan
Ruslie, 2012)
2.8.1.Antepartum
Antenatal care bertujuan untuk memperbaiki kualitas kesehatan ibu dan mencegah
mortalitas, identifikasi perempuan dengan HIV positif, meyakinkan perempuan dengan
HIV positif untuk mengikuti program PMTCT, mencegah transmisi dari ibu ke anaknya,
menyediakan AZT (Zidovudine) sejak usia kehamilan 14 minggu atau ART seumur
hidup sesegera mungkin. Tes HIV harus dilakukan sebagai langkah pertama pada
pelayanan antenatal. Jika hasil tes negatif dan wanita yang diperiksa asimtomatik,
dianggap sebagai HIV negatif. Wanita dengan HIV negatif perlu disarankan untuk tes
ulang pada usia kehamilan 32 minggu untuk mendeteksi serokonversi atau infeksi yang
baru terjadi.
2.8.2.Antiretroviral (ARV)
Terapi ARV direkomendasikan kepada semua wanita hamil dengan risiko transmisi
perinatal tanpa memerhatikan jumlah CD4+ atau HIV RNA. Jika ibu belum mendapatkan
regimen pengobatan, maka dilakukan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART).
Ketaatan dalam meminum obat sanagat penting karena jika tidak, resistensi obat akan
menurun. Wanita hamil sebaiknya dibagi berdasarkan stadium klinis dan jumlah CD4+.
Kriteria pemberian pada wanita hamil: Wanita dengan CD4 lebih dari 350 sel/mm3 dan
tergolong dalam stadium 1 dan 2 sebaiknya mendapatkan profilaksis antiretrovirus
dengan AZT untuk mengurangi transmisi ke bayinya. Wanita dengan CD4 350 sel/mm3
atau kurang dari 350 sel/mm3 dan tergolong stadium 3 dan 4 sebaiknya mendapat terapi
antiretrovirus seumur hidup.
BAB 3
TINJAUAN AGAMA DAN LONG TERM CARE TERHADAP HIV/AIDS

3.1. Aspek Agama Pada ODHA


Spiritualitas dan agama berperan penting pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Hasil penelitian mengenai pengaruh spiritualitas/agama terhadap ODHA
cenderung bervariasi. Terdapat studi yang menyatakan bahwa spiritualitas atau agama
berpengaruh dalam menurunnya perkembangan penyakit (menurunnya jumlah CD4 atau
viral load) Tingginya tingkat spiritualitas/agama dapat dihubungkan dengan menurunnya
distres psikologis, nyeri, dan meningkatnya keinginan untuk hidup, aspek kognitif dan
fungsi sosial yang lebih baik semenjak terdiagnosa HIV (Szaflarski, 2013).
Namun, spiritualitas/agama dapat memperburuk hasil karena potensial
kepercayaan pada Tuhan dan penolakan terapi ARV serta pandangan bahwa HIV
merupakan hukuman dari Tuhan atas kebiasaan dan gaya hidup yang penuh dosa. Hal ini
sering dihubungkan dengan tingginya tingkat depresi, kesendirian, dan memburuknya
kepatuhan terhadap tindakan medis pada ODHA (Szaflarski, 2013).
Mekanisme bagaimana spiritualitas/agama memengaruhi ODHA yakni peran
ganda spiritualitas/agama sebagai mekanisme koping dan stresor. Kremer, et al dalam
Szaflarski, (2013), menunjukkan bahwa spiritualitas memengaruhi HIV dari sisi positif
atau negatif dalam hidup ODHA. ODHA dapat merasakan peningkatan spiritualitas dan
menganggap bahwa ia sebagai orang ‘terpilih’ untuk memiliki penyakit HIV dan
mempersepsikan penyakit tersebut sebagai titik positif dalam hidupnya. Sebaliknya,
ODHA yang merasakan penurunanan tingkat spiritualitas menganggap HIV sebagai
sesuatu yang negatif.
3.1.1. Peran Agama
Dalam perspektif religius, masalah HIV/ AIDS adalah suatu peringatan pada
setiap orang, bahwa ada krisis dalam penyelenggaraan kehidupan bersama. Dalam situasi
ini tidak pada tempatnya lembaga-lembaga agama bersikukuh dengan kaca mata hitam-
putihnya menuntut apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh umat atau
masyarakat. Dengan menghakimi situasi masyarakat termasuk mengadili para ODHA,
agamaagama tidak bisa memberi peran apa pun ditengah ketidakadilan yang sangat
menyulitkan ini.
Banyak problem kemanusiaan yang terlambat ditanggapi agama-agama, salah
satunya adalah permasalahan HIV/ AIDS. Tidak ada cara lain bagi institusi-institusi
keagamaan selain memperbaharui wacana yang dikembangkan agar lebih bisa menjadi
berkat, rahmat dan memberi damai dalam kehidupan. Agama sudah seharusnya menjadi
‘obat’ bagi masalah kehidupan (termasuk masalah HIV/ AIDS), bukannya menjadi
‘racun’ yang memperburuk masalah ( Aminah, 2010 ).

3.1.2. Sikap Masyarakat


Sikap masyarakat berdampak pada segala aspek kehidupan ODHA termasuk
makna ajaran agama. Terdapat studi yang menemukan bahwa keyakinan masyarakat
ditempat tersebut memiliki pengaruh negatif yang signifikan pada sikap dan perilaku
orang-orang terhadap ODHA. Hal ini dikarenakan ODHA dikaitkan dengan perilaku dan
preferensi seksual tertentu, atau penggunaan zat obat yang dilarang oleh gereja (Hidayat,
Agung dan Riri 2017).
ODHA mengukapkan bahwa dalam ajaran agama mereka (Islam dan Kristen)
terdapat larangan keras dan berakibat dosa terhadap larangan yang keras dan berakibat
dosa terhadap beberapa perilaku seperti berhubungan seks secara bebas dan
mengkibatkan mereka tertular HIV, namun masyarakat lebih memaknai ajaran agama
sebagai suatu pendorong yang kuat untuk bersikap baik dan saling mengasihi termasuk
kepada ODHA (Hidayat, Agung dan Riri 2017).
Semua agama mendorong orang untuk berbelas kasih terhadap orang lain tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, status sosial, penyakit dan perbedaan yang ada.
Meskipun beberapa dari pengikut agama mungkin memiliki perasaan negative dan
diskriminatif terhadap orang orang yang berbeda dari keyakinan mereka (Hidayat, Agung
dan Riri 2017).
3.1.3. HIV/AIDS Dalam Perspektif Agama
A. Agama Islam
a) Sejarah yang ditutupi dari penyakit HIV/AIDS
Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) adalah perilau yang menyimpang
tapi menurut ilmu psikologi disepakati bukan sebagai penyakit melainkan stuktur otak
yang berbeda dari manusia umumnya. Tentunya bertentangan dengan ahli saraf dari
poliandia ini menurut Jamski knofski tahun 1948 memperkenalkan sebuah teori bahwa
otak manusia itu sifatnya fleksible. Berdasarkan apa yang diterima informasi yang masuk
kedalam otak manusia itulah otak akan bersikap dan teori ini membantah teori
sebelumnya yang mengatakan bahwa otak itu cenderung baku (Hidayat, 2017).
Contohnya pada saat kita melihat sesuatu yang baik,mendengar perkataan yang baik, dan
diperlakukan dengan baik maka ribuan saraf akan berespon baik itu yang dirasakannya.
Semakin sering dilihat maka respon kita itu akan disalurkan oleh ribuan saraf ke tangan
ke kaki dan ke imajinasi maka itu yang akan mempengaruhi seluruh tubuhnya dalam
kebaikan. Apa yang dilihatnya disambungkan ke dalam hati maka semua perilakunya
baik.namun sebaliknya apabila sering melihat yang jelek, mendengar perkataan yang
kurang baik dan melakukan sesuatu yang tidak baik maka saraf-sarafnya akam
menyesuaikan seketika dan apabila terus-menerus dilakukannya maka menjadi
kepribadaian yang kurang baik (Hidayat, Adi., 2017).
Jadi kita ketahui perilaku-perilaku penympangan LGBT itu bukan normal. Itu
disebabkan dari seseorang manusia tidak bisa mengontrol fungsi-fungsi informasinya,
menerima informasi yang buruk itulah yang akan melahirkan suatu perilaku menyimpang
yaitu LGBT. Sedangkan penyakit HIV diawali dengan 2 orang melakukan homoksexual,
sperma yang tertampug di pusat kotoran itu melahirkan suatu penyakit yaitu HIV
(Hidayat, Adi., 2017).
b) Menurut bahaya HID/AIDS berita Islami masa kini
“Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”(Surah Al: Isra ayat 32). Apabila
seseorang menjauhi zina dan menjauhi sex maka akan menjadi prisai dari HIV/AIDS.
HIV dapat tertular melalui jarum suntik yang bergantian yang biasa digunakan untuk
narkoba sedangkan penyalahgunaan narkoba merupakan perbuatan yang dilarang oleh
agama menurut para ulama yang didasarkan pada Al-Quran dan Hadis.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan” (surah Al:
Bakarah ayat 195). Pencegahan dengan melakukan penyuluhan tentang bahaya penyakit
HIV/AIDS. Penyuluhan tersebut dapat dilakukan melalui ceramah agama, khutbah,
ataupun pengajian. “Serulah manusia kejalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantulah pula dengan cara yang baik” (surah An: Nahl ayat 25)
Meskipun penyakit HIV/AIDS berbahaya namun tidak lantas kita menjauhi dan
memusuhi orang dengan HIV/AIDS atau ODHA dalam berbagai kasus ODHA kerap
sekali mengalami diskriminasi, ODHA selalu dianggap menular dan berbahaya padahal
mereka seharusnya diberi dukungan semangat terutama bagi orang yang tekena HIV
bukan karena keinginannya, terutama bayi yang terlahir dengan ibu yang menderita HIV
atau jarum suntik yang terkena HIV apalagi sesama islam kita harus menyayangi sesama
manusia dan berbuat baik terhadap sesama
B. Agama Kristen
a) Teologi Penciptaan.
Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama melukiskan bahwa semua yang disebut
sebagai makhluk hidup selalu berada dalam suatu relasi : Relasi antara Tuhan dan
manusia serta makhluk lain, baik manusia dan non-manusia, relasi antara sesama
makhluk hidup, baik manusia dan non- manusia. "Relasi" tersebut merupakan simpul
yang menentukan kualitas kehidupan secara utuh (tubuh, jiwa, roh, dan sosial) (Sahertian
dalam Aminah 2010)
b) Teologi Penderitaan dan Kematian, Pengharapan dan Kebangkitan
Bagi pemahaman Kristiani, Allah adalah Allah pemelihara dan penuh kasih setia.
Oleh karena itu Ia tetap memelihara relasi dengan makhluk-Nya. Hal itu dimanifestasikan
melalui tindakan keselamatan kepada manusia. Ia membuka jalan keselamatan bagi
manusia dan kemudian mendidik umatnya untuk kembali ke jalan yang benar (bertobat).
Berbagai upaya dilakukan yakni memanggil dan mengutus utusan-utusan-Nya, para
imam, para nabi dan para hakim untuk mengoreksi, menegur dan mengasuh ciptaan-Nya.
Inilah kerangka dasar sikap Kristiani dalam menghadapi HIV/ AIDS yakni mengambil
pola pelayanan Kristus. Bagaimana menjadi "the caring/ healing community" bagi
sesama yang sedang terpuruk dalam belukar.
c) Gereja dalam kapasitas sebagai komunitas peduli dalam rangka merespon epidemik
HIV dan AIDS :
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk mengembangkan suatu iklim dan tempat
yang penuh cinta kasih, penerimaan, dan dukungan bagi mereka yang rentan atau
yang telah terkena HIV/ AIDS tanpa memandang latar belakang agama,suku,
status sosial maupun keberadaan personal seseorang.
 Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi pada basis pemahaman
teologinya dalam rangka merespons tantangan HIV/ AIDS.
 Meminta perhatian gereja untuk bersama-sama berefleksi masalah-masalah etik
yang timbul karena pandemik ini, bagaimana menginterpretasikannya ke dalam
konteks lokal dan menawarkan panduan bagi mereka yang menghadapi kesulitan
dalam menentukan pilihan.
 Meminta perhatian gereja supaya terlibat aktif dalam berbagai diskusi di
masyarakat mengenai isu-isu etik yang muncul karena HIV/ AIDS, dan
mendukung warga jemaatnya, khususnya yang melayani dibidang kesehatan, yang
menghadapi kesulitan menentukan keputusan etis dalam hal pencegahan dan
perawatan.
d) Kesaksian gereja dalam hubungannya dengan masalah langsung HIV/ AIDS:
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk melayani sebaik mungkin mereka yang
hidup dengan HIV/ AIDS.
 Meminta perhatian gereja untuk memberikan perhatian khusus bagi bayi dan
anak-anak yang hidup dengan HIV/ AIDS dan mencari jalan keluar dalam
membangun lingkup yang mendukung.
 Meminta perhatian gereja untuk membantu melindungi hakhak mereka yang
hidup dengan HIV/ AIDS, mempelajari, mengembangkan dan
mempromosikan HAM dari ODHA.
 Meminta perhatian gereja untuk memberikan informasi yang akurat tentang
HIV/ AIDS, mempromosikan kondisi yang memungkinkan diskusi terbuka
dalam rangka menanggulangi penyebaran informasi yang salah yang bisa
mengakibatkan reaksi takut.
 Meminta perhatian gereja untuk meningkatkan advokasi dan dukungan bagi
upaya yang telah dilakukan pemerintah dan fasilitas kesehatan untuk
menemukan jalan keluar dari masalah yang ada baik masalah sosial maupun
medis.
 Gereja tidak boleh lagi tabu dalam memberikan informasi dan edukasi tentang
seksualitas dan kesehatan reproduksi pada kelompok umur dengan pendekatan
dan metodologi yang bertanggung jawab, sebab penyelamatan Allah secara
holistik menyangkut tubuh dan berbagai dimensinya, mental, rohani dan
sosial, bukan hanya rohani saja.
e) Kesaksian Gereja sehubungan dengan masalah yang berkepanjangan dan faktor-faktor
yang dapat memberikan pengharapan.
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk menyadari, mengakui bahwa ada
hubungan antara AIDS dan kemiskinan, dan mengadvokasi upaya promosi
keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.
 Meminta perhatian gereja untuk memberi perhatian khusus pada situasi yang
dapat memperluas kerentanan terhadap AIDS seperti isu pekerja migran,
pengungsian darurat dalam jumlah besar serta isu aktifitas seks komersial.
 Lebih khusus lagi, gereja-gereja perlu bekerja sama dengan kelompok perempuan
di mana selama ini mereka berjuang untuk hak dan martabat mereka serta
mengaktualisasikan keterampilan mereka secara maksimal.
 Meminta perhatian gereja-gereja untuk membina dan melibatkan kaum muda dan
para pria dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/ AIDS
C. Agama Katolik
a) Upaya-Upaya Gereja Katolik
Gereja berpihak kepada para korban penyalahgunaan penderita AIDS.
Keberpihakan itu diwujudkan dalam berbagai bidang usaha untuk menggapai
permasalahan HIV/ AIDS dan narkoba secara serius. Bidang yang diusahakan untuk
menangani kasus-kasus HIV/ AIDS dan narkoba meliputi pencegahan, perawatan,
pendampingan psikologis sosial dan spiritual.
Strategi yang bisa dipikirkan adalah menyiapkan paroki atau komunitas-
komunitas umat beriman sebagai 'keluarga kedua' dimana setiap orang dengan bebas
datang dan memperoleh kesegaran hidup manusiawi. Komunitas yang demikian dapat
mengubah orang menjadi lebih santun dan manusiawi ( Prapdi dalam Aminah 2010 )
D. Agama Budha Darma
a) Buddha Dharma & HIV/AIDS Sila (Moralitas)
Ada atau tidak ada HIV/ AIDS di muka bumi ini, moralitas (sila) adalah masalah
manusia yang abadi. Dalam Buddha Dharma, moralitas tidak dipandang sebagai
tanggung jawab manusia terhadap “Tuhan Pencipta”, melainkan sebagai tanggung jawab
terhadap diri sendiri.
Apabila diakui bahwa penularan HIV/ AIDS untuk sebagian besar terjadi melalui
perilaku yang tidak sesuai dengan sila hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan
yang bergantiganti, dan penggunaan obat suntik dengan alat suntik yang tidak steril maka
dapat dipahami bahwa pengembangan dan peningkatan sila di dalam diri individu
berdasarkan kesadaran pribadi merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi
penularan HIV/AIDS (Hupudio dalam Aminah 2010)
b) Pandangan Dan Langkah-Langkah Hindu Dalam Penanggulangan Hiv/Aids Dan
Narkoba (Dukuh Samiaga)
a. Upaya Hindu dalam Pencegahan HIV / AIDS
Agama Hindu yang sering disebut DHARMA (kewajiban mulia) selalu
menekankan umatnya untuk hidup dalam jalan Dharma (jalan mulia) yang tidak keluar
dari perintah Hyang Widhi dan selalu mentaati larangan-larangan yang ada. Di dalam
Dharma Sastra (Hukum Hindu) ditentukan laranganlarangan keras terhadap perilaku
moral yang menyimpang, tidak sesuai dengan jalan mulia Hyang Widhi. Hindu
menganggap seks itu adalah sesuatu yang murni dan luhur sehingga tidak dibenarkan
melakukannya di sembarang tempat atau dengan sembarang orang yang bukan
pasangannya.
b. Perlakuan Umat terhadap Penderita
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa HIV/ AIDS bukanlah penyakit kutukan
tetapi semata-mata penyakit lahiriah yang disebabkan terjadinya kontak langsung para
penderita melalui empat jalan tadi (seks, jarum suntik, transfusi darah, lewat ibu
melahirkan) sehingga masyarakat Hindu selalu menerima penderita HIV/ AIDS sebagai
masyarakat biasa yang tidak merupakan momok yang menakutkan, yang diterima apa
adanya baik kekurangan maupun kelebihannya.
Jadi untuk penderita AIDS khususnya di masyarakat Hindu (Bali) tidak terjadi
diskriminatif, tetapi diterima sebagai hamba Tuhan yang perlu dirawat dan dibesarkan
semangatnya, sehingga penderita bisa menapak kehidupannya dengan lebih baik. Dan
bagi penderita yang meninggal dunia, juga mendapat perlakuan yang sama seperti
layaknya bukan penderita.
3.1.4. Pencegahan
Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia dan semesta alam (rahmatan lil `alamin), salah
satunya adalah mengenai etika dan moral (akhlak) yang mengajarkan bagaimana bersikap
dan berperilaku terhadap sesama makhluk Tuhan, termasuk di dalamnya adalah
bagaimana memperlakukan orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (ODHA). Mereka tidak
boleh didiskriminasi dalam hal apapun karena sama-sama memiliki derajat sebagai
manusia yang dimuliakan Tuhan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al Isra/
I7:70: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan".
Namun ironisnya, hingga saat ini masih banyak kalangan agamawan (dari Islam)
yang meyakini bahwa fenomena HIV/ AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan atau identik
dengan kaum Luth yang menyukai homoseksual, sebagaimana yang dikisahkan Tuhan
dalam Al-Qur'an surat 7/Al-A'raf : 80-84, surat 27/ An Naml: 56. Begitu juga norma
masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa HIV/ AIDS adalah penyakit menular
seksual. Padahal bila dilihat dari cara penularannya HIV/ AIDS sesungguhnya bukan
merupakan penyakit seksual, karena orang yang tidak melakukan hubungan seks dengan
penderita HIV pun bisa tertular seperti penularan melalui transfusi darah, jarum suntik,
pisau cukur, dan sebagainya. Pandangan tokoh agama dan masyarakat tersebut harus
diluruskan dengan informasi yang benar mengenai HIV/ AIDS supaya tidak dianggap
sebagai norma masyarakat. Jika tidak, maka akan berbahaya karena terjebak pada
lingkaran normatif yang tidak menguntungkan ODHA.
Begitu juga pandangan mengenai kondom sebagai salah satu cara pencegahan
HIV/ AIDS hingga saat ini masih kontroversial karena dikhawatirkan disalahgunakan
oleh pasangan di luar nikah, dianggap melegalisisir perzinahan dan sebagainya.
Pandangan tersebut hendaknya diubah dengan pendekatan solutif menggunakan kaidah
fiqhiyyah yaitu "memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah
yang lebih membahayakan". Dalam hal ini mensosialisasikan pemakaian kondom sebagai
salah satu cara pencegahan HIV/AIDS jauh lebih ringan bahayanya dibandingkan dengan
melarang kondom disosialisasikan ( Anshor dalam Aminah 2010 ).
3.1.5. Penanggulangan
HIV/AIDS telah mewabah tidak hanya di kalangan komunitas yang dianggap
resiko tinggi dan bukan orang-orang yang taat agama tetapi tanpa pandang bulu
menyerang siapapun. Persepsi masyarakat tidak lagi dikaitkan dengan mitos dan
hukuman/kutukan Tuhan. Sikap umat Islam terhadap masalah ini melahirkan perdebatan
yang disebabkan berbeda dalam mendifinisikan HIV/AIDS maupun memahami korban.
Perbedaan sikap tersebut disebabkan antara lain oleh: (1) Memandang HIV/AIDS
semata-mata menjadi masalah medis. (2) HIV/AIDS sebagai masalah penyimpangan
seksual. (3) HIV/AIDS sebagai masalah penyimpangan sosial. (4) HIV/AIDS sebagai
masalah agama. (5) HIV/AIDS merupakan masalah kapitalisme global.
Menurut pandangan yang representatif dari konservatif sebagaimana
dikemukakan ahli psikiater dan guru besar FKUI, Prof. Dr. dr. II.Dadang Hawari5 bahwa
upaya-upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS selama ini, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun LSM lebih menekankan kepada pendekatan sekuler dan medis
semata, baik dalam upaya pencegahan ataupun terapinya, termasuk tidak menyentuh akar
permasalahan penyebab utamanya. Akar masalah menurut pandangan ini adalah penyakit
mental dan perilaku. Karcnanya, integrasi medis dan moral (agama) adalah pendekatan
yang seharusnya diterapkan. Pendekatan model ini, analisisnya tampak kurang tajam dan
menyentuh empati semua pihak, terkesan diskriminatif terhadap ODHA.
Narnun demikian pendapat ini sekurang-kurangnya menjadi motivasi masyarakat
khususnya muslim dalam mencegah perilaku beresiko terkena HIV/AIDS. Berbeda
halnya dengan pandangan progresif bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui
pendekatan multidimensional, HIV/AIDS terkait juga dengan masalah sosial, budaya,
politik, ekonomi dan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, kajian Islam tentang
masalah ini harus melalui pendekatan studi Islam kontcmporer, terpadu dengan
pendekatan sosial budaya. Mengingat sejumlah kasus penularan HIV tidak hanya melalui
seks bebas atau penggunaan jarum suntuk narkoba, tetapi juga suami istri yang salah
satunya adalah beresiko, bayi terinfeksi dari ibunya, dan cara-cara lain yang tampak tidak
terkait dengan masalah moral. Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi bagian penting
dalam upaya pencegahan HIV/AIDS di masyarakat, misalnya dilandasi dengan
prinsipprinsip keadilan, kesetaraan, empaty, demokrasi, khusunya dalam melakukan
advokasi terhadap ODHA.
3.2. Long Term Care
3.2.1. Definisi
Perawatan jangka panjang mengacu pada rangkaian layanan medis dan sosial
yang dirancang untuk mendukung kebutuhan orang yang hidup dengan masalah
kesehatan kronis yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Layanan perawatan jangka panjang termasuk layanan medis tradisional,
layanan sosial, dan perumahan. Tujuan perawatan jangka panjang jauh lebih rumit dan
jauh lebih banyak sulit diukur dari pada tujuan perawatan medis akut. Sedangkan yang
utama Tujuan perawatan akut adalah mengembalikan individu ke tingkat fungsi
sebelumnya, Perawatan jangka panjang bertujuan untuk mencegah kemerosotan dan
meningkatkan penyesuaian sosial ke tahap penurunan (Harris,K., Sengupta, M., Park,
Lee, E., Valverde, R., 2013).
Kebutuhan akan perawatan jangka panjang dipengaruhi oleh perubahan kapasitas
fungsional fisik, mental, dan / atau kognitif yang pada gilirannya, selama kehidupan
individu, dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak orang mendapatkan kembali kapasitas
fungsional yang hilang, sementara yang lain mengalami penurunan. Jenis perawatan yang
dibutuhkan dan durasi perawatan semacam itu seringkali sulit diprediksi ( WHO, 2000).
Perawatan jangka panjang atau kronis mencakup rentang layanan yang jauh lebih
luas daripada perawatan akut, menekankan layanan sosial dan medis. Sementara
perawatan akut biasanya terbatas pada penyedia khusus, penyedia perawatan jangka
panjang lebih luas. Mereka termasuk penyedia obat tradisional seperti itu seperti dokter
dan rumah sakit, pengasuh masyarakat formal seperti rumahagen perawatan kesehatan,
penyedia fasilitas seperti panti jompo dan kehidupan yang dibantu fasilitas, dan perawat
informal seperti teman atau anggota keluarga. Perawatan jangka panjang merupakan
komponen dari pendekatan komprehensif, bersifat holistik tercermin disetiap aspek
perawatan secara menyeluruh dari klinis, psikososial, dan sosial ekonomi (Harris,K.,
Sengupta, M., Park, Lee, E., Valverde, R., 2013).
Pelayanan LTC terdiri dari berbagai tipe pelayanan berdasarkan kebutuhan
individu, yaitu (Singh, 2016):
a. Perlayanan medis, keperawatan dan rehabilitasi
b. Pelayanan kesehatan mental dan pelayanan demensia
c. Social support
d. Supportive housing
e. Pelayanan hospice
Sistem pelayanan LTC yang ideal akan memuat 10 dimensi berikut
(Singh, 2016):
a. Pelayanan yang bervariasi
b. Pelayanan khusus individual
c. Pelayanan total yang terkoordinasi
d. Peningkatan fungsi independen pasien
e. Perawatan jangka panjang
f. Menggunakan teknologi baru
g. Menggunakan praktik evidence-based
h. Pendekatan holistik
i. Meningkatkan kualitas perawatan
j. Meningkatkan kualitas hidup pasien
3.2.2. Tujuan Long Term Care
Tujuan dari perawatan jangka panjang atau long term care (LTC) adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang hidup dengan HIV dan penyakit
lainnya yang membutuhkan perawatan, secara rinci tujuan utamanya adalah :
a) meningkatkan kapasitas keluarga untuk memberikan perawatan
b) mendukung peningkatan akses untuk mendapatkan perawatan
c) secara terus menerus
d) mengintegrasikan perawatan, dukungan, dan layanan pengobatan
e) yang ada
f) menganjurkan untuk perawatan yang berkelanjutan dan holistik
g) meningkatkan akses terhadap obat-obatan dan komoditas penting
h) dalam perawatan meningkatkan kualitas pelayanan perawatan (Pratt JR., 2010).
3.2.3. Peran Perawat
A. Pelaksana perawatan
Sebagai pelaksana perawatan, perawat dapat bertindak sebagai pemberi asuhan
keperawatan pada pasien HIV/AIDS, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien
dan keluarganya, memberikan advokasi serta melakukan peran kolaborasi dengan profesi
lain yang terlibat dalam perawatan pasien HIV/AIDS. Perawat juga dapat melakukan
fasilitasi terhadap semua kebutuhan pasien serta melakukan modifikasi lingkungan untuk
memberikan kenyamanan kepada pasien HIV/AIDS.
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien
terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson dalam Nursalam, 2007). Sehingga PHIV akan
dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil
hikmah. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan menurut Nursalam (2007) adalah:
a) Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan Harapan
merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak
mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun
kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk
berobat.
b) Pandai mengambil hikmah Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan
mengajarkan kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan
yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga
pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
c) Ketabahan hati Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan
hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat,
akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya
mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati
sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak;
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (QS : Al. Baqarah 286)
B. Pengelolah
Sebagai pengelola perawatan, perawat dapat berperan sebagai manajer kasus,
maupun konsultan pasien HIV/AIDS dan keluarganya (Nursalam, 2007).
Menurut Pratt JR (2010) berbagai intervensi dapat diberikan untuk pasien HIV
pada perawatan jangka panjang, termasuk didalamnya perawatan secara umum,
perawatan fisik, perawatan emosional, sosial dan rohani pada pasien dan keluarga.
a) Perawatan secara umum
Intervensi yang dapat dilakukan:
 Penilaian holistik terhadap kebutuhan fisik, emosi,sosial, dan spiritual dan
keluarganya.
 Sistem rujukan untuk menghubungkan klien yang dapat membantu
mengatasi masalah yang telah teridentfikasi
b) Perawatan Fisik
Intervensi yang dapat dilakukan :
 Penilaian, pencegahan, dan pengobatan rasa sakit
 Penilaian,pencegahan dan pengobatan gejala lain
 Pengajaran kemampuan perawatan diri untuk mengelola gejala efek
samping di rumah dan mengetahui tanda-tanda bahaya
 Pemperhatikan kebutuhan fisik dalam masa akhir kehidupan
 Perawatan oleh pengasuh kelompok dukungan konsultasi
c) Perawatan Sosial
Intervensi yang dapat dilakukan :
 Bantuan dalam pengelolaan stigma dan diskriminasi
 Dukungan dengan isu-isu hukum seperti mempersiapkan surat wasiat
 Bantuan terhadap kebutuhan keuangan, kebutahan gizi perumahan dan
pendidikan
d) Perawatan Rohani
Intervensi yang dapat dilakukan:
 Konsultasi spiitual
 Konsultasi harian untuk aktifitas ruhani
3.2.4. Jenis dan Sumber Long Term Care
Perawatan jangka panjang mungkin bersifat institusional atau berbasis rumah,
formal atau informal. Perawatan jangka panjang institusional atau residensial
didefinisikan sebagai penyediaan perawatan semacam itu kepada tiga atau lebih orang
yang tidak terkait di tempat yang sama. Perawatan berbasis rumah dapat diberikan secara
eksklusif di rumah atau dikombinasikan dengan perawatan di masyarakat (seperti di pusat
hari, atau di bawah pengaturan yang dibuat untuk perawatan peristirahatan). Istilahnya
mencakup asuhan asuh. Perawatan berbasis rumah juga dapat dipertimbangkan untuk
mencakup perawatan yang diberikan kepada orangorang yang "rumah" berada di luar
definisi konvensional (misalnya keluarga keliling, orang-orang yang tinggal di tempat
pembuangan sampah atau di daerah kumuh).
Perawatan formal dapat didanai dan diatur secara publik, namun layanan tersebut
dapat disediakan oleh organisasi pemerintah, oleh LSM (lokal, nasional, atau
internasional), atau oleh sektor swasta. Biasanya disediakan oleh profesional (dokter,
perawat, pekerja sosial) dan organisasi pelengkap, seperti pekerja perawatan pribadi
(yang membantu mandi, berpakaian, dll.). Penyembuh tradisional mungkin merupakan
sumber perawatan tambahan yang penting. Perawatan informal termasuk yang diberikan
oleh anggota keluarga inti dan keluarga besar, tetangga, teman, dan relawan individual,
serta bantuan yang diselenggarakan melalui organisasi sukarela seperti badan keagamaan
( WHO, 2000).
3.2.5. Kondisi Pasient Memeprlukan Long Term Care
LTC dapat diberikan ke seseorang bila dalam keadaan berikut (Singh,
2016):
a) Memerlukan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) Terdapat
skala untuk mengukur ketergantungan (dependency) seseorang. Skala ADL
digunakan untuk menentukan apakah seseorang memerlukan bantuan dalam
melakukan enam aktivitas dasar, seperti makan, mandi, berpakaian, menggunakan
toilet, mempertahankan kontinensia, dan mobilitas. Skala pengukuran kedua
yakni instrumental activities of daily living (IADL) yang terdiri dari aktivitas
yang diperlukan untuk kehidupan independenseperti melakukan pekerjaan rumah,
memasak, mencuci pakaian, berbelanja, meminum obat, menggunakan telepon,
mengatur uang, dan bergerak di sekitar luar rumah (Lawton & Broody dalam
Singh, 2016)
b) Memerlukan perawatan berkelanjutan setelah hospitalisasi Seringkali disebut
subacute care, yaitu pelayanan untuk pasien yang sedang menjalani perawatan
setelah hospitalisasi akibat penyakit berat, luka, atau bedah. Pasien seperti ini
masih menjalani masa pemulihan, namun berisiko mengalami komplikasi dalam
masa pemulihannya. Pasien juga mungkin membutuhkan perawatan kompleks
seperti pemberian makan melalui selang atau terapi IV.
c) Memerlukan perawatan lingkungan khusus Biasanya terjadi pada anak dan remaja
yang memiliki disabilitas fisik dan/atau mental. Banyak anak yang menderita
kelainan sejak lahir, seprti spina bifida dan epilepsi. Pasien dengan demensia
berat juga memerlukan lingkungan khusus.
Hal yang paling utama dalam memberikan fasilitas Long Term Care (LTC) bagi
pemberi perawatan adalah dalam menentukan bagaimana perawat yang professional
memberikan konsultasi secara rutin dan efektif LTC dalam memberikan perawatan
berfokus pada manajemen penyakit kronis dan promosi kesehatan. Strategi yang
digunakan selama beberapa dekade terakhir adalah dengan menggunaan kombinasi terapi
antiretroviral umumnya menghasilkan kontrol viremia HIV yang cepat dan berkelanjutan
dan peningkatan CD4+ T-cell yang terus meningkat. Dengan keefektifan ART dalam
perbaikan CD4+ T-cell, pengobatan tersebut memberikan penekanan viral load HIV di
bawah batas deteksi tes rutin (<50 Copies/mL) pada semua pasien. Pada sebagian besar
pasien, penekanan viral load akan dikaitkan dengan peningkatan CD4+ T-cell perifer
yang terus berlanjut ke kisaran normal. Kemajuan ini telah sangat mengubah prognosis
pasien terinfeksi HIV, yang menyebabkan infeksi oportunistik menurun. LTC juga
memungkinkan ODHA berjuang melawan stigma, trauma, dan penolakan yang ada pada
dirinya dengan memebrikan dukungan dan stabilitas, sehingga mereka dapat terlibat dan
tetap dalam perawatan (Jelliman 2017).
3.2.6. Long Term Care Pada Pasien HIV/AIDS
Dengan maraknya penggunaan highly active antiretroviral therapy (HAART),
kondisi pasien AIDS berubah dari end-stage terminal illness menjadi kondisi kronis.
Dengan menurunnya angka mortalitas, prevalensi HIV meningkat pada populasi manusia.
Perawatan pada pasien HIV/AIDS mirip dengan karakteristik pasien LTC (Singh, 2016)
Pasien HIV/AIDS rentan mengalami berbagai komorbiditas dan gangguan kognitif.
Penyakit hati dan kardiovaskuler seringkali dikaitkan dengan penggunaan HAART
jangka panjang. Pasien HIV/AODS juga berisiko tinggi mengalami bermacam-macam
jenis kanker, depresi, demensia, dan penyakit Alzheimer (Cahill & Valadez, dalam Singh,
2016) dan memiliki berisiko mengalami penurunan berat badan dan inkontinensia urin
(Shin, et al., dalam Singh, 2016) Banyak laporan bahwa lansia dengan HIV/AIDS
memiliki kemampuan fisik yang rendah dan tidak independen.
Faktor-faktor inilah yang mengindikasikan bahwa diperlukannya LTC bagi pasien
HIV/AIDS. Pasien HIV/AIDS memerlukan perawatan medis dan dukungan sosial setiap
waktunya (Singh, 2016).
HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan
sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Stigma negatif dan
diskriminatif dapat menghambat proses penanganan penyakit HIV dan penyebaran
epidemik HIV/AIDS. Stigma tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas
hidup seorang pasien dengan HIV. Rendahnya kualitas hidup pasien HIV akan
mempengaruhi kesehatan dari pasien itu sendiri. Peningkatan kualitas hidup tidak hanya
dapat dilakukan melalui proses penyembuhan secara fisik, hal yang paling utama adalah
meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya dan merubah orientasi pemikiran
pasien dari kesembuhan menjadi kearah penyerahan diri kepada Tuhan dan hubungan
dengan orang lain (hubungan sosial). Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam
pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi
spiritual. Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan
makna spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Spiritualitas merupakan bagian dari
kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai
personal, standar personal dan kepercayaan. Terdapat empat hal yang diakui sebagai
kebutuhan spiritual yaitu proses mencari makna baru dalam kehidupan, pengampunan,
kebutuhan untuk dicintai, dan pengharapan. Penemuan makna baru dalam kehidupan ini
akan memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan terhadap dirinya sendiri
(Hidayanti, dkk., 2015).
Penyakit HIV/AIDS dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya seperti
meningkatkan ketergantungan pada orang lain, mental disorder seperti depresi, cemas,
putus asa, dan khawatir, serta berpengaruh pada rusaknya kehidupan sosial seperti
mengisolasikan diri dan mendapat stigmatisasi. HIV/AIDS adalah ”medical illness” dan
juga ”terminal illness”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa individu dengan HIV/AIDS
membutuhkan terapi dengan pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual, artinya melihat pasien
tidak semata-mata dari segi organobiologik, psikologik, psiko-sosial tetapi juga aspek
spritual/kerohanian. Dengan demikian jelaslah bahwa penderita HIV/AIDS memiliki
masalah yang kompleks (biopsiko-sosio-religius). Penderita HIV/AIDS dengan berbagai
masalahnya membutuhkan perawatan holistik. Perawatan holistik bagi pasien penyakit
terminal dalam dunia kedokteran dikenal dengan perawatan paliatif. perawatan paliatif
adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah
lain, fisik, psikososial dan spiritual. dan juga untuk memenuhi kebutuhan pasien dengan
memadukan perawatan medis, dukungan social emosional, konseling, dan perawatan
spiritual. Dengan demikian artinya implementasi perawatan paliatif membutuhkan
keterlibatan berbagai profesi. Tim perawatan kesehatan seharusnya meliputi dokter,
perawat dan ahli terapis serta kelompok profesional lainnya seperti pekerja sosial dan
rohaniawan. Mereka yang memiliki peningkatan spiritual memberikan efek positif seperti
berkurangnya rasa sakit, munculnya energi positif, hilangnya psychological distress,
hilangnya depresi, kesehatan mental yang lebih baik, meningkatnya fungsi kognitif dan
sosial, serta berkurangnya perkembangan gejala HIV. Sementara mereka yang
mengembangkan respons spiritual yang negatif seperti marah kepada Tuhan,
menganggap penyakit sebagai hukuman, dan mengalami keputusasaan justru
mempercepat progresivitas penyakit HIV/AIDS. Efektivitas pendekatan holistik dengan
menyentuh aspek spiritual dalam merawat orang dengan HIV/AIDS (Odha) mampu
mengantarkan mereka menemukan kembali harapan dan makna hidup, serta memperbaiki
martabat yang mendapat stigma dan dihantui perasaan bersalah terhadap diri sendiri atau
keluarga, dan meningkatkan ketrampilan untuk bertahan hidup. Dengan demikian
diketahui bahwa kebutuhan spiritualitas memberikan kontribusi yang maha penting
dalam perjalanan hidup orang dengan HIV/AIDS. Pemenuhan kebutuhan rohani pasien
HIV/AIDS dilakukan dalam bentuk konseling Islam yang terintegrasi dalam pelayanan
kesehatan melalui klinik VCT HIV/AIDS (Hidayanti, dkk., 2015).
3.2.7. Tantangan Pelaksanaan Long Term Care
Tantangan dalam pelaksanaan long term care (perawatan jangka panjang) adalah
adanya perubahan budaya, serta pengembangan lahan praktik dan pendidikan yang belum
memadai. Dalam perawatan, keterlibatan orang-orang di sekitar klien diperlukan dalam
pengambilan keputusan bagi tindakan perawatan klien. Dampak positif dari long term
care meliputi peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan klien, penurunan biaya
karena meningkatkan kesehatan, serta meningkatkan kompetensi perawat(1). Pada long
term care, praktisi perawat mampu memberikan kualitas pelayanan yang tinggi, seperti
mengelola penyakit kronis, manajemen nyeri, serta mengurangi kunjungan ke rumah
sakit. Praktisi perawat mampu menilai kondisi akut, memberikan pelayanan teratur, dan
mengelola kondisi klien (manajemen kasus). Donald, et al (2013) melaporkan adanya
peningkatan status kesehatan dan kualitas hidup dewasa lanjut, serta kepuasan keluarga
pada long term care. Stollee, et al (2006) dalam McAiney, et al (2008) dan Kaaslalainen,
et al (2010), menunjukkan bahwa praktisi perawat asuhan keperawatan pada jangka
panjang memiliki pengaruh positif, meningkatkan keterampilan dalam mengindentifikasi
masalah potensial, mengelola kondisi medis, dan masalah psikososial. Fasilitas long term
care berpotensi untuk meningkatkan keuangan melalui pengurangan pembiayaan rumah
sakit dalam merujuk ke instalansi darurat (Kane, et al, 2003; Klassen, Lamont, dan
Krishan, 2009). Fasilitas untuk mengimplementasikan praktisi perawat pada long term
care termasuk mendapatkan dukungan dan komitmen untuk kepemimpinan keperawatan,
menghasilan pengetahuan dan komunikasi,menyediakan pelayanan yang efektif dan
efesien, serta membangun interaksi interdisipliner.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Human Immunodeficiency virus ( HIV ) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunya kekebalan tubuh manusia.
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta
perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. HIV/AID ini disebabkan hubungan seksual,
pertukaran cairan dan penggunaan jarum suntik yang secara bergantian. spiritualitas/agama dapat
memperburuk hasil karena potensial kepercayaan pada Tuhan dan penolakan terapi ARV serta
pandangan bahwa HIV merupakan hukuman dari Tuhan atas kebiasaan dan gaya hidup yang
penuh dosa akan tetapi menurut Hasil penelitian mengenai pengaruh spiritualitas/agama terhadap
ODHA cenderung bervariasi dan Tingginya tingkat spiritualitas/agama dapat dihubungkan
dengan menurunnya distres psikologis, nyeri, dan meningkatnya keinginan untuk hidup, aspek
kognitif dan fungsi sosial yang lebih baik semenjak terdiagnosa HIV. Terapi yang dapat
digunakan pada pasien HIV adalah terapi ARV dan juga menggunkan Long Term Care yang
bertujuan satu diantaranya adalah sebagai mendukung peningkatan akses untuk mendapatkan
perawatan secara terus menerus
4.2. Saran
4.2.1. Dalam mempelajari Tinjauan Agama Tentang HIV/AIDS dan Long Term Care,
seorang calon perawat atau tenaga kesehatan lainnya diharapkan mengetahui mengenai HIV,
aspek keyakinan agama pasien HIV, mengetahui dan mampu melaksanakan Long Term Care
sesuai dengan prosedur keperawatan.
4.2.2. Kepada pembaca, jika menggunakan bahan ini sebagai acuan dalam pembuatan
makalah atau karya tulis yang berkaitan dengan judul makalah ini, diharapkan kekurangan yang
ada pada makalah ini dapat diperbaharui dengan lebih baik.
3.1.2. Sikap Masyarakat
Sikap masyarakat berdampak pada segala aspek kehidupan ODHA termasuk
makna ajaran agama. Terdapat studi yang menemukan bahwa keyakinan masyarakat
ditempat tersebut memiliki pengaruh negatif yang signifikan pada sikap dan perilaku
orang-orang terhadap ODHA. Hal ini dikarenakan ODHA dikaitkan dengan perilaku dan
preferensi seksual tertentu, atau penggunaan zat obat yang dilarang oleh gereja (Hidayat,
Agung dan Riri 2017).
ODHA mengukapkan bahwa dalam ajaran agama mereka (Islam dan Kristen)
terdapat larangan keras dan berakibat dosa terhadap larangan yang keras dan berakibat
dosa terhadap beberapa perilaku seperti berhubungan seks secara bebas dan
mengkibatkan mereka tertular HIV, namun masyarakat lebih memaknai ajaran agama
sebagai suatu pendorong yang kuat untuk bersikap baik dan saling mengasihi termasuk
kepada ODHA (Hidayat, Agung dan Riri 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Alhumair, Inshan Kamila. (2017) . Pengetahuan Dasar Tentang HIV/AIDS. ( Diakses tanggal 04
oktober 2017 https://siamik.upnjatim.ac.id/poliklinik/aid.pdf )
Aminah, Siti Mardiatul. (2010). Memperbarui Sikap Agama-agama Terhadap Masalah
HIV/AIDS. Diakses tanggal 20 oktober 2017 https://www.scribd.com/doc/45937183/
Memperbaharui-Sikap-AgamaTerhadap-HIV-AIDS
Aristiana, N., Baidi Bukhori., Hasyim Hasanah. (2015). Pelayanan Bimbingan Dan Konseling
Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Pasien Hiv/Aids Di Klinik Vct Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang. Jurnal Ilmu Dakwah.  35(2) ISSN 1693-8054. Diakses pada
tanggal 4 okteber 2017. http://journal.walisongo.ac.id/index.php/dakwah/article/view/1609/1279.
Palliative Care Bagi Pasien Hiv/Aids Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.RELIGIA,
Vol. 19, No. 1, April 2016.

Anda mungkin juga menyukai